• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB II LANDASAN TEORI - Perbedaan Adversity Quotient Pada Wirausahawan Batak Toba Dan Jawa

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2019

Membagikan "BAB II LANDASAN TEORI - Perbedaan Adversity Quotient Pada Wirausahawan Batak Toba Dan Jawa"

Copied!
33
0
0

Teks penuh

(1)

BAB II

LANDASAN TEORI

A. ADVERSITY QUOTIENT (AQ) 1. Pengertian Adversity Quotient

Menurut Stoltz (2000) Adversity Quotient (AQ) adalah sikap mental yang

berupa kemampuan seseorang untuk bertahan dalam menghadapi kesulitan dan

mengatasinya sehingga dapat terus bertahan untuk mencapai kesuksesan pada

pekerjaan dan hidup. AQ mempunyai tiga bentuk definisi (Stoltz, 2000). Pertama,

AQ adalah suatu kerangka kerja konseptual yang baru untuk memahami dan

meningkatkan semua segi kesuksesan. Kedua, AQ adalah suatu ukuran untuk

mengetahui respon individu terhadap kesulitan. Ketiga, AQ adalah serangkaian

peralatan yang memiliki dasar ilmiah untuk memperbaiki respon individu

terhadap kesulitan.

Menurut Stoltz (2000) dengan AQ kita dapat melihat beberapa hal, yaitu:

a. Seberapa jauh seseorang dapat bertahan dalam menghadapi

kesulitan dan kemampuan seseorang untuk mengatasinya

b. Meramalkan siapa yang mampu mengatasi kesulitan dan siapa

yang akan hancur

c. Meramalkan siapa yang akan melampaui harapan-harapan atas

kinerja dan potensi mereka serta siapa yang akan gagal

(2)

2. Dimensi Adversity Quotient

Adversity Quotient secara umum dapat diungkap melalui empat dimensi

yang oleh Stoltz (2000) dikenal dengan CO2RE, meliputi:

a. Control

Dimensi ini mempertanyakan tentang seberapa besar kendali yang

individu rasakan terhadap sebuah peristiwa yang menimbulkan kesulitan. Individu

yang memiliki skor control yang tinggi merasakan kendali yang lebih besar atas

peristiwa-peristiwa dalam hidup daripada yang skor control-nya lebih rendah.

Mereka yang memiliki AQ yang lebih tinggi cenderung melakukan pendakian,

sementara orang-orang yang AQ nya lebih rendah cenderung berkemah atau

berhenti. Sedangkan individu yang memiliki skor rendah pada dimensi control

merasa bahwa peristiwa-peristiwa buruk berada di luar kendali dan hanya sedikit

yang bisa dilakukan untuk mencegahnya atau membatasi kerugiannya. Individu

yang rendah kemampuan pengendaliannya sering menjadi tidak berdaya saat

menghadapi kesulitan.

b. Origin dan Ownership

Dimensi ini mempertanyakan dua hal yaitu siapa atau apa yang menjadi

asal usul kesulitan dan sampai sejauh manakah seseorang mengakui akibat-akibat

kesulitan itu. Dimensi origin berkaitan dengan rasa bersalah. Individu yang skor

origin-nya rendah cenderung menempatkan rasa bersalah yang tidak semestinya

atas peristiwa-peristiwa buruk yang terjadi. Dalam banyak hal, mereka melihat

(3)

tersebut. Sedangkan individu yang skor origin-nya tinggi cenderung menganggap

sumber kesulitan berasal dari orang lain atau dari luar.

Individu yang skor ownership-nya tinggi akan mengakui akibat dari suatu

perbuatan, bertanggungjawab terhadap kesulitan dan mampu belajar dari

kesalahan. Sedangkan individu yang skor ownership-nya rendah cenderung tidak

mengakui masalah dan menuding orang lain.

c. Reach

Dimensi ini mempertanyakan sejauh manakah kesulitan akan menjangkau

bagian-bagian lain dari kehidupan seseorang. Individu yang skor reach-nya

rendah cenderung membuat kesulitan merembes ke segi-segi lain dari kehidupan.

Sedangkan individu yang skor reach-nya tinggi cenderung membatasi jangkauan

masalahnya pada peristiwa yang sedang dihadapi.

d. Endurance

Dimensi ini mempertanyakan berapa lamakah kesulitan akan berlangsung

dan berapa lamakah penyebab kesulitan itu akan berlangsung. Individu yang skor

endurance-nya rendah menganggap kesulitan dan/atau penyebab-penyebabnya

akan berlangsung lama dan menganggap peristiwa positif sebagai sesuatu yang

bersifat sementara. Sedangkan Individu yang skor endurance-nya tinggi

menganggap kesulitan dan penyebab-penyebabnya sebagai sesuatu yang bersifat

(4)

3. Tipe Adversity Quotient

Dengan menganalogikan pada pendakian gunung, Stoltz (2000) membagi

orang-orang dalam pendakian itu dalam tiga golongan, yaitu quitter, camper dan

climber.

a. Quitter

Quitter adalah orang yang berhenti dan tidak mencoba untuk mendaki.

Mereka adalah orang yang memilih untuk keluar, menghindari kewajiban, mundur

dan berhenti. Mereka menolak kesempatan untuk mendaki. Mereka mengabaikan,

menutupi atau meninggalkan dorongan inti yang manusiawi untuk mendaki dan

dengan demikian juga meninggalkan banyak hal yang ditawarkan oleh kehidupan.

b. Camper

Camper adalah orang-orang yang pergi untuk mendaki tetapi tidak

seberapa jauh mereka berhenti dan memilih untuk menetap di situ dan tidak

meneruskan pendakiannya karena telah merasa nyaman, aman dan mungkin takut

akan hal yang terjadi jika mereka terus mendaki.

c. Climber

Climber merupakan orang-orang yang seumur hidup digunakan untuk

mendaki. Mereka selalu terus menerus maju dengan memikirkan

kemungkinan-kemungkinan serta tidak membiarkan umur, jenis kelamin, ras, cacat fisik atau

(5)

4. Faktor-Faktor Pendukung Kesuksesan

Dalam menggambarkan faktor-faktor yang mendukung kesuksesan

seseorang, Stoltz (2000) mengibaratkannya dengan sebuah pohon.

a. Daun: Kinerja

Daun diibaratkan dengan kinerja karena merujuk pada bagian yang paling

mudah terlihat oleh orang lain. Daun adalah bagian yang terlihat dari pohon. Pada

kesuksesan seseorang, bagian yang dapat dilihat adalah kinerjanya. Kinerja adalah

bagian yang paling sering dievaluasi atau dinilai, baik itu yang berhubungan

dengan pendidikan, pekerjaan, hubungan interpersonal ataupun hubungan dengan

lingkungan. Namun, kinerja seseorang tidak muncul begitu saja, daun harus

tumbuh di cabang pohon.

b. Cabang: Bakat dan Kemauan

Cabang pertama merujuk pada apa yang disebut faktor simpulan (resume

factor). Simpulan menggambarkan keterampilan, kompetensi, pengalaman dan

pengetahuan yakni apa yang diketahui dan mampu dikerjakan oleh seseorang.

Gabungan pengetahuan dan kemampuan ini disebut bakat. Cabang yang kedua

adalah kemauan, menggambarkan motivasi, antusiasme, gairah, dorongan, ambisi

dan semangat. Seseorang yang memiliki bakat tetapi tidak memiliki kemauan

tidak mungkin menjadi sukses. Seseorang membutuhkan bakat dan kemauan

untuk mencapai kesuksesan. Namun, seperti cabang pohon, bakat dan hasrat tidak

muncul begitu saja. Oleh karena itu, seseorang juga harus memperhatikan pada

(6)

c. Batang: Kecerdasan, Kesehatan dan Karakter

Pada awalnya banyak orang mengartikan kecerdasan sebagai hasil

pengukuran suatu tes semacam IQ, GPA atau SAT. Howard Gardner, seorang

profesor psikologi di Harvard University adalah satu di antara banyak peneliti

yang memperluas pengertian kecerdasan dengan menunjukan bahwa kecerdasan

mempunyai tujuh bentuk yaitu linguistik, kinestetik, spasial, logika matematis,

musik, interpersonal dan intrapersonal.

Kesehatan emosi dan fisik juga dapat mempengaruhi kemampuan

seseorang dalam menggapai kesuksesan. Jika seseorang sakit, penyakit akan

mengalihkan perhatiannya dari gunung yang sedang didakinya. Pendakian itu

menjadi sekadar perjuangan hari demi hari untuk bertahan hidup. Sebaliknya

emosi dan fisik yang sehat dapat sangat membantu pendakian seseorang. Karakter

seperti kejujuran, keadilan, kelurusan hati, kebijaksanaan, kebaikan, keberanian

dan kedermawanan, semuanya penting bagi seseorang untuk meraih kesuksesan.

d. Akar: Genetika, Pendidikan dan Keyakinan

Semua faktor yang ada seperti kinerja, bakat, kemauan, kecerdasan,

kesehatan dan karakter penting bagi kesuksesan, tapi tak satupun dari faktor

tersebut bisa tumbuh tanpa faktor akar, yaitu genetika, pendidikan dan keyakinan.

Meskipun warisan genetis tidak akan menentukan nasib seseorang, namun

berdasarkan penelitian yang telah ada ternyata menunjukkan genetika

berpengaruh terhadap perilaku seseorang.

(7)

watak, keterampilan, hasrat dan kinerja yang dihasilkan. Faktor akar yang ketiga

adalah keyakinan, seseorang yang sukses mutlak harus memiliki keyakinan diri.

B. KEBUDAYAAN

Menurut Koentjaraningrat (dalam Simanjuntak, 2009) banyak definisi

tentang kebudayaan yang telah diajukan oleh para ahli antropologi, sosiologi,

sejarah, filsafat dan kesusasteraan. Bahkan ada sekitar 160 rumusan definisi

kebudayaan menurut hasil studi Kluckhohn dan Kroeber (dalam Simanjuntak,

2009). Definisi kebudayaan menurut Kluchohn adalah (1) keseluruhaan cara

hidup manusia; (2) warisan sosial yang diperoleh setiap orang dari kelompoknya;

(3) cara berpikir, merasakan dan kepercayaan; (4) suatu abstraksi tingkah laku; (5)

suatu teori di bidang antropologi tentang cara satu kelompok bertingkah laku

secara nyata; (6) gudang terhadap pelajaran yang dikumpulkan; (7) suatu orientasi

yang baku terhadap masalah yang sering terjadi; (8) tingkah laku yang dipelajari;

(9) suatu mekanisme peraturan tingkah laku; (10) suatu teknik penyesuaian baik

terhadap lingkungan eksternal maupun kepada orang lain; (11) suatu endapan

sejarah.

Rumusan definisi tersebut bila dikaji secara mendalam sebenarnya

menampilkan nilai-nilai dan sistem-sistem. Nilai dan sistem yang terdapat dalam

keseluruhan cara hidup setiap bangsa atau suku diwarisi orang dan kelompoknya,

terdapat pula dalam cara berpikir, berperasaan dan berkepercayaan. Definisi

terakhir (nomor 11) dari Kluchohn (dalam Simanjuntak, 2009) termasuk endapan

(8)

dari keduanya yang merangkai sejarah suatu bangsa atau suku bangsa. Oleh

karena itu, kedudukan peranan nilai dan sistem budaya menjadi hal yang penting.

Menurut Koentjaraningrat (dalam Simanjuntak, 2009) konsep nilai budaya ialah

konsep yang hidup dalam alam pikiran warga masyarakat yang dipandang

bernilai, berharga dan penting sehingga mampu berfungsi sebagai pedoman arah

dan orientasi bagi kehidupan warga masyarakat. Ogburn dan Nimkoff (dalam

Simanjuntak, 2009) mengemukkan bahwa di dalam masyarakat terdapat sejumlah

nilai yang berkaitan satu sama lain sehingga membentuk suatu sistem. Sistem

tersebut seperti dikatakan Koentjaranigrat menjadi pedoman dan pendorong dalam

menata kehidupan warga masyarakat.

Menurut Koentjaraningrat (dalam Simanjuntak, 2009) nilai budaya ialah

nilai yang dikandung oleh suatu kebudayaan dan unsur-unsurnya yang

membedakannya dari kebudayaan lain. Nilai budaya merupakan tingkat tertinggi

dan abstrak dari adat-istiadat serta memberikan ciri dan karakter bangsa, suku

bangsa bahkan kelompok-kelompok masyarakat. Dengan demikian ada perbedaan

nilai dan sistem budaya dalam setiap kebudayaan. Nilai budaya tersebut meresapi

hidup anggota masyarakat sejak dini sehingga mengakar di dalam jiwa. Nilai

budaya yang terdapat dalam suatu kebudayaan tidak dapat diganti begitu saja

dalam waktu singkat dengan nilai budaya lain.

Adapun dua budaya yang akan diteliti dalam penelitian ini yaitu budaya

(9)

1. Budaya Batak Toba

Suku bangsa Batak terdiri atas enam sub bagian, yaitu Toba, Karo,

Simalungun, Pakpak, Angkola dan Mandailing. Di antara ke enam sub suku

tersebut terdapat persamaan bahasa dan budaya. Walaupun demikian terdapat pula

perbedaannya, misalnya dalam hal dialek, tulisan, istilah-istilah dan beberapa adat

kebiasaan. Struktur sosial ke enam sub suku tersebut pada dasarnya sama, yakni

terdiri dari tiga unsur utama. Pada sub suku Batak Toba dinamakan dalihan na

tolu yang terdiri dari hulahula (sumber istri), dongan tubu (saudara semarga) dan

boru (penerima istri). Ketiga unsur sosial itu terdapat pada semua sub suku

dengan istilah yang sedikit berbeda, namun fungsi ketiganya sama (Simanjuntak,

2009).

Suku bangsa Batak menjalani hidup sehari-hari berdasarkan

prinsip-prinsip falsafah batak. Falsafah Batak adalah suatu kebenaran hakiki yang

menggambarkan tentang ciri-ciri khas Batak, yang mengatur perilaku hubungan

kekerabatan dan interaksi antara yang satu dengan yang lainnya, yang saling

mempengaruhi, saling menentukan, saling berhubungan dan saling membutuhkan

yang diikat dengan sistem Dalihan Natolu. Prinsip-prinsip yang mendasar tersebut

masih aktual dan sangat sering dilakonkan oleh sebagian besar orang Batak untuk

mewujudkan kesatuan dan persatuan, kekerabatan dan adat istiadat dalam

kehidupan bermasyarakat, berbangsa dan bernegara. Adapun tujuh falsafah hidup

yang menjadi pegangan hidup dalam acara-acara adat, keagamaan, pesta, acara

kekeluargaan dan kegiatan-kegiatan lain yang dilakukan oleh komunitas Batak

(10)

a. Mardebata = Punya Tuhan

Orang Batak sangat taat dan takwa kepada Debata Mulajadi Nabolon

(Tuhan). Orang Batak selalu memperlihatkan hubungan yang dalam kepada Maha

Pencipta. Sejak zaman dahulu kala, nenek moyang orang Batak mempunyai

tradisi martonggo (berdoa) dalam setiap memulai dan mengakhiri suatu acara adat

dan acara-acara lainnya yang dapat memberikan kenyamanan dan kebaikan bagi

orang Batak dalam suatu acara atau pesta yang akan dilaksanakan.

b. Marpinompar = Punya Keturunan

Orang Batak sangat peduli pada keturunan, terutama anak laki-laki, agar

silsilah atau torombo tidak terputus dan tetap berkesinambungan. Oleh sebab itu,

orang Batak yang belum punya anak laki-laki masih belum dianggap memiliki

hagabeon (lengkap punya anak laki-laki dan perempuan), walaupun sudah

memiliki hasangapon (terpandang) di masyarakat dan memiliki hamoraon (punya

harta).

c. Martutur = Punya Kekerabatan

Bagi masyarakat keturunan Batak, kekerabatan berdasarkan Dalihan

Natolu merupakan suatu keharusan dan dilaksanakan dengan komitmen. Bila ada

orang yang tidak paham lagi posisinya pada generasi ke berapa dalam silsilah

marga, maka dia dianggap tidak paham partuturan (kekerabatan). Martutur

(saling memberitahukan marga dan urutan generasi ke berapa dalam susunan

kekerabatan marga) sejak anak-anak telah diajarkan oleh orangtua. Oleh karena

(11)

duka merupakan konsepsi sistem dalam keluarga menjalankan/melakonkan

Dalihan Natolu.

Setiap pertemuan, orang Batak selalu tampak dan mudah akrab

berdasarkan partuturan (kekerabatan). Contohnya keturunan Parna, yakni

kelompok Nai Ambaton yang baru saling kenal tampak seperti kakak/adik

kandung. Kelompok ini masih teguh dalam pelaksanaan padan (perjanjian) untuk

tidak saling beristrikan atau bersuamikan dalam satu marga Parna. Jika ada yang

melanggar, maka pasangan yang menikah itu akan dikucilkan. Konon, orang yang

semarga membentuk rumah tangga akan mati ditombak/dirajam pada zaman

dahulu. Bagi masyarakat Batak (dulu), pernikahan pasangan yang semarga

dianggap melanggar adat dan harus dikutuk atau dibinasakan. Bahkan ada yang

tidak semarga tidak dapat membentuk keluarga (perkawinan).

d. Maradat = Punya Adat Istiadat

Perkembangan masyarakat dipengaruhi oleh modernisasi hubungan

antarmanusia, tanah Batak tidak terisolasi lagi, kian terbuka terhadap nilai-nilai

baru yang dibawa oleh kaum kolonialisme Belanda. Orang Batak melaksanakan

pernikahan silang dengan suku-suku lainnya di Indonesia. Akan tetapi,

keterbukaan tidaklah mengubah total kebiasaan masyarakat Batak. Suatu hal

prinsipil yang dipegang oleh orang Batak adalah filosofi Dalihan Natolu.

Adat adalah sebagai habitat (sistem) dalam suatu kekerabatan, yang

mengatur dengan kokoh segenap rangkuman ke segala segi. Dalam hubungan dan

kehidupan secara serentak menjadi rangkuman segala hukum, bentuk

(12)

cara penguburan orang yang meninggal, mengurus perkawinan, mengatur

gondang (pesta), yang dipelihara dan dihormati sampai sekarang. Dengan filosofi

Dalihan Natolu, masyarakat Batak adalah pelaksana demokrasi sejati, yang tidak

memandang suku, agama, ras, marga, jabatan, pangkat dan harta/status sosial.

Semua orang mempunyai kedudukan yang sama dalam lingkup Dalihan Natolu.

e. Marpangkirimon = Punya Pengharapan

Tiga pengharapan atau cita-cita hidup orang Batak, yakni Hagabeon,

Hasangapon, dan Hamoraon yang diusahakan diwujudkan selama hidup.

1) Hagabeon

Orang Batak sangat mendambakan punya keturunan laki-laki dan

perempuan agar orang tersebut dapat menyandang gabe. Jika pasangan

suami-istri hanya mempunyai anak perempuan, maka keluarga tersebut

belum layak disebut gabe, karena tidak punya anak laki-laki.

2) Hasangapon

Cita-cita kedua adalah Hasangapon, artinya berusaha menjadi orang

terpandang dan dihormati dalam masyarakat. Dalam hal ini, orang Batak

sangat peduli dengan pendidikan anaknya. Walaupun harta tidak punya,

asal anaknya bisa sekolah, inilah yang menjadi prinsip bagi orang Batak.

3) Hamoraon

Setiap orang Batak bercita-cita ingin memiliki harta dan kekayaan. Oleh

karena itu, orang Batak begitu gigih mencari uang. Laki-laki ataupun

(13)

dipakai untuk mencari hasangapon (terpandang) dengan menyekolahkan

anak setinggi-tingginya.

f. Marpatik = Punya Aturan dan Undang-Undang

Patik adalah suatu aturan dan undang-undang dalam masyarakat Batak

yang selalu dibarengi dengan nasihat ataupun petuah-petuah, yang dapat membuat

orang Batak terikat dan patuh dengan aturan tersebut.

g. Maruhum = Punya Hukum

Hukum dalam adat Batak cenderung untuk meneliti sumber kebenaran dan

keadilan serta melihat kesalahan berdasarkan pertimbangan-pertimbangan hati

nurani dan imajinasi.

2. Budaya Jawa

Salah satu budaya tradisional di Indonesia yang sudah cukup tua adalah

budaya Jawa yang dianut secara turun-temurun oleh penduduk di sepanjang

wilayah Jawa Tengah dan Jawa Timur. Meskipun banyak orang Jawa yang

menganggap bahwa budaya Jawa itu hanya satu dan tidak terbagi-bagi, akan tetapi

dalam kenyataannya terdapat berbagai perbedaan sikap dan perilaku

masyarakatnya di dalam memahami budaya Jawa itu sendiri. Perbedaan tersebut

antara lain disebabkan oleh kondisi geografis yang menjadikan budaya Jawa

terbagi ke dalam beberapa wilayah kebudayaan. Setiap wilayah kebudayaan

mempunyai karakteristik khas tersendiri dalam mengimplementasikan falsafah

budaya Jawa ke dalam kehidupan keseharian. Di samping kondisi geografis,

(14)

disebabkan oleh masuknya pengaruh nilai-nilai agama maupun budaya lain (Hadi,

2003).

Dalam masyarakat Jawa, salah satu unsur sistem budaya yang tetap

dipertahankan dan diajarkan dari satu generasi ke generasi berikutnya adalah

falsafah hidup. Falsafah hidup merupakan anggapan, gagasan dan sikap batin

yang paling umum yang dimiliki oleh seseorang atau sekelompok orang

(masyarakat). Falsafah hidup menjadi landasan dan memberi makna pada sikap

hidup suatu masyarakat. Biasanya falsafah hidup tercermin dalam berbagai

ungkapan yang dikenal dalam masyarakat. Secara pasti dapat dikatakan bahwa

jarang sekali ditemukan orang Jawa yang tidak mengenal beberapa atau sebagian

dari falsafah hidup mereka. Hanya saja, pengalaman hidup yang berbeda dan

perubahan tahapan kehidupan telah mengakibatkan berbedanya pemahaman akan

falsafah hidup tersebut (Hadi, 2003).

Adapun falsafah hidup masyarakat Jawa terdiri dari lima hakekat pokok

yaitu hakekat hidup, hakekat kerja, hakekat waktu, hakekat hubungan manusia

dengan sesamanya dan hakekat hubungan manusia dengan alam sekitarnya.

Berdasarkan penelitian yang dilakukan Gauthama di lima daerah yaitu kota

Yogyakarta, Kediri, Banyumas, Pekalongan dan Pasuruan diperoleh hasil bahwa

sebagian besar masyarakat, baik masyarakat kelas bawah, menengah maupun atas

masih memahami dan menganut falsafah ini dan hanya sebagian kecil yang tidak

(15)

a. Hakekat Hidup

Pandangan orang Jawa tentang hakekat hidup sangat dipengaruhi oleh

pengalamannya di masa lalu dan konsep-konsep religius yang bernuansa mistis.

Hakekat hidup ini terlihat pada berbagai falsafah hidup yang menunjukkan sikap

pasrah kepada Yang Maha Kuasa. Falsafah hidup masyarakat Jawa sangat

dipengaruhi oleh budaya, agama (Hindu dan Islam) dan batas-batas tertentu

dipengaruhi pula oleh kondisi geografis wilayahnya.

Banyak falsafah Jawa yang berisi hakekat hidup dan hampir semua orang

Jawa mengenal falsafah nrima ing pandum, yang artinya menerima apa yang telah

diberikan oleh Tuhan secara apa adanya. Dengan falsafah seperti ini, orang Jawa

menganggap hidup harus dijalankan dengan tabah dan pasrah. Mereka harus

menerima dengan ikhlas apa-apa yang telah diperolehnya, sebab segala sesuatu

sudah diatur oleh Tuhan. Mereka percaya bahwa hidup manusia di dunia ini diatur

oleh Yang Maha Kuasa sedemikian rupa, sehingga tidak perlu bekerja keras untuk

mendapatkan sesuatu.

Nrima Ing Pandum selanjutnya diikuti oleh falsafah mawas diri. Artinya,

orang Jawa harus senantiasa melakukan introspeksi terhadap diri sendiri sebagai

pedoman dalam cara bertindak. Dengan mawas diri, seseorang akan berusaha agar

tindakannya secara moral dapat dibenarkan dan dipertanggung jawabkan. Falsafah

ini sering pula digunakan dalam hakekat hubungan manusia dengan sesamanya.

b. Hakekat Kerja

Masyarakat Jawa kelas bawah yang tinggal di pedesaan maupun perkotaan

(16)

harus terus berikhtiar dan bekerja. Bagi mereka, bekerja itu memang sudah

merupakan suatu keharusan untuk mempertahankan hidup. Oleh sebab itu, di

kalangan masyarakat kelas bawah dikenal falsafah ngupaya upa, yang artinya

bekerja hanya untuk mendapatkan makanan. Sebaliknya masyarakat kelas

menengah dan atas telah memiliki tujuan dari hakekat kerja, sehingga segala

usaha yang dijalankannya selalu dihubungkan dengan hasil yang diharapkan.

Falsafah yang banyak dipahami oleh mereka adalah jer basuki mawa beya, yang

artinya bekerja merupakan segala sesuatu yang dicita-citakan dan harus disertai

dengan usaha yang sungguh-sungguh. Dengan falsafah ini masyarakat Jawa kelas

menengah dan atas sudah memahami bahwa untuk mewujudkan cita-cita

diperlukan biaya (termasuk pengorbanan dalam bentuk uang). Falsafah lain yang

sering dihubungkan dengan hakekat kerja adalah sepi ing pamrih rame ing gawe.

Falsafah ini mengandung arti bahwa setiap orang mau menolong orang lain tanpa

mengharap pujian dan imbalan materil.

c. Hakekat Waktu

Banyak orang berpendapat bahwa budaya Jawa kurang menghargai

hakekat waktu. Pendapat ini muncul akibat pemahaman yang salah terhadap

falsafah alon-alon waton kelakon. Dalam masyarakat Jawa tradisional yang

tergolong ke dalam kelas masyarakat bawah, falsafah tersebut sering diartikan

bahwa bekerja tidak usah terburu-buru, yang penting selesai. Melakukan sesuatu

pekerjaan dengan perlahan-lahan tampaknya memang sudah merupakan sifat

(17)

terjadi memang sudah ada waton-nya, yakni ketentuan yang memang telah

digariskan.

Pada masyarakat Jawa kelas menengah dan kelas atas, falsafah alon-alon

waton kelakon diartikan secara positif yaitu jika mengerjakan sesuatu, seseorang

harus berhati-hati agar hasilnya baik. Dengan demikian, dari falsafah ini muncul

pemahaman bahwa harus ada unsur ketelitian, kecermatan dan tahapan rencana

dalam melaksanakan suatu pekerjaan agar tercapai hasil yang diinginkan.

Hakekat waktu pada masyarakat Jawa tradisional tercermin dalam

kemampuan mereka menghitung waktu yang cocok untuk melaksanakan berbagai

kegiatan, atau lebih dikenal dengan sebutan petungan. Di samping itu, hakekat

waktu juga berhubungan dengan kemampuan meramalkan berbagai hal yang

berkaitan dengan siklus kehidupan maupun watak seseorang, yang oleh

masyarakat Jawa disebut pasaran. Penggunaan petungan dan pasaran bertalian

dengan kepercayaan bahwa peristiwa masa lalu akan menentukan keberhasilan

kegiatan masa mendatang. Dalam masyarakat Jawa yang sudah merasa menjadi

masyarakat modern, penggunaan petungan dan pasaran diorientasikan untuk

merencanakan atau meramalkan kebutuhan yang akan datang berdasarkan

pengalaman masa lampau.

d. Hakekat Hubungan Manusia dengan Sesamanya

Masyarakat Jawa menghendaki hidup yang selaras dan serasi dengan pola

pergaulan saling menghormati. Hidup yang saling menghormati akan

menumbuhkan kerukunan, baik di lingkungan rumah tangga maupun di luar

(18)

pergaulan masyarakat Jawa adalah rukun dan hormat. Dengan memegang teguh

prinsip rukun dalam berhubungan dengan sesama, maka tidak akan terjadi konflik.

Sedangkan prinsip hormat membuat seseorang akan berbicara dan membawa

dirinya sesuai dengan derajat dan kedudukannya.

Falsafah budaya Jawa yang menyinggung hakekat hubungan manusia

dengan sesamanya antara lain adalah aja dumeh (jangan sok) dan tepa salira

(tenggang rasa). Meskipun tampak sederhana, aja dumeh mengandung makna

yang mendalam. Falsafah ini digunakan untuk memperingatkan seseorang agar

jangan berperilaku aji mumpung, jangan berbuat sewenang-wenang sekehendak

hati sehingga lupa diri dan jangan mamandang rendah orang lain agar hubungan

baik dengan sesamanya tetap terjaga. Sedangkan tepa salira secara sederhana

diartikan sebagai perilaku seseorang yang mampu memahami perasaan orang lain.

Dengan demikian, seseorang tidak akan bertindak sewenang-wenang jika ia

menjadi pemimpin.

e. Hakekat Hubungan Manusia dengan Alam Sekitarnya

Hakekat hubungan manusia dengan alam sekitarnya tidak terlepas dari

pandangan hidup masyarakat Jawa yang mengharuskan manusia mengusahakan

keselamatan dunia beserta segala isinya agar tetap terpelihara dan harmonis.

Hakekat ini diimplementasikan antara lain melalui falsafah memayu hayuning

bawana. Pada masyarakat Jawa tradisional (umumnya kelas bawah), falsafah ini

memberikan kewajiban pada manusia untuk memelihara dan melestarikan alam,

(19)

pemahaman bahwa manusia harus dapat memelihara perdamaian dunia agar bebas

dari rasa ketakutan, kemiskinan, kelaparan, kekurangan dan peperangan. Falsafah

tersebut juga mengajarkan manusia agar memiliki budi pekerti yang luhur,

sehingga dunia menjadi aman dan tenteram.

Falsafah Jawa lainnya yang berkaitan dengan hakekat hubungan manusia

dengan alamnya adalah gugontuhon. Falsafah ini mengandung makna bahwa

untuk mencapai suatu tujuan, kita harus berhati-hati dan selalu memohon kepada

Tuhan agar segala selalu yang dilakukan dapat tercapai tanpa aral melintang.

Namun demikian, dalam praktiknya gugontuhon lebih banyak menggambarkan

kepercayaan orang Jawa pada takhayul dan magis yang seringkali ditandai dengan

pemikiran-pemikiran tidak logis.

C. KEWIRAUSAHAAN

1. Pengertian Kewirausahaan

Kewirausahaan berasal dari kata dasar wirausaha dan wirausaha terdiri

dari dua kata yaitu, wira yang berarti ksatria, pahlawan, pejuang, unggul, gagah

berani, sedangkan satu lagi adalah kata usaha yang berarti bekerja, melakukan

sesuatu. Wirausaha adalah kemampuan yang dimiliki oleh seseorang untuk

melihat dan menilai kesempatan-kesempatan bisnis, mengumpulkan sumber

daya-sumber daya yang dibutuhkan untuk mengambil tindakan yang tepat dan

mengambil keuntungan dalam meraih sukses. Kewirausahaan pada hakekatnya

adalah sifat, ciri dan watak seseorang yang memiliki kemauan dalam mewujudkan

(20)

dengan seorang wirausahawan adalah orang-orang memiliki kemampuan melihat

dan menilai kesempatan-kesempatan bisnis, mengumpulkan sumber daya -

sumber daya yang dibutuhkan untuk mengambil tindakan yang tepat, mengambil

keuntungan serta memiliki sifat, watak dan kemauan untuk mewujudkan gagasan

inovatif ke dalam dunia nyata secara kreatif dalam rangka meraih

sukses/meningkatkan pendapatan. Sedangkan menurut KBBI (Kamus Besar

Bahasa Indonesia) mendefinisikan wirausahawan sebagai “orang yang pandai atau

berbakat mengenali produk baru, menyusun cara baru dalam berproduksi,

menyusun operasi untuk pengadaan produk baru, mengatur permodalan

operasinya, serta memasarkannya (Soetadi, 2010).

Sebenarnya definisi wirausahawan bervariasi. Ada beberapa tokoh

wirausaha yang mendefinisikan wirausahawan sebagai berikut:

a. Dan Steinhoff dan John F. Burgess mengatakan bahwa

wirausahawan adalah orang yang mengorganisir, mengelola dan

berani menanggung resiko untuk menciptakan usaha baru dan

peluang berusaha

b. Rambat Lupiyoadi dan Jero Wacik mendefinisikan bahwa

wirausahawan adalah orang yang melaksanakan proses penciptaan

kekayaan dan nilai tambah melalui peneloran dan penetasan

gagasan, memadukan sumber daya dan merealisasikan gagasan

tersebut menjadi kenyataan

(21)

wawasan serta pola pikir dan pola tindak seseorang terhadap tugas-tugas yang

menjadi tanggung jawabnya dan selalu berorientasi kepada pelanggan. Seorang

wirausahawan juga adalah seseorang yang menciptakan usaha baru dan siap

dengan resiko dan ketidakpastian di dalam tujuannya meraih keuntungan dan

perkembangan dengan memidentifikasi kesempatan-kesempatan dan menjadikan

sumber daya-sumber daya yang diperlukan untuk dijadikan modal di dalam

memanfaatkan kesempatan-kesempatan yang ada. Sedangkan wirausaha juga

adalah mereka yang mendirikan, mengelola, mengembangkan, dan melembagakan

perusahaan miliknya sendiri dan bisa menciptakan kerja bagi orang lain dengan

berswadaya (Soetadi, 2010).

2. Sifat-Sifat Wirausaha

Dari berbagai penelitian yang ada ditemukan sembilan belas sifat penting

wirausaha yang diperoleh dari tujuh penelitian yang pernah dilakukan. Menurut

Hutagalung dan Situmorang (2008) kesembilan belas sifat itu dikelompokkan

menjadi enam sifat unggul , sebagai berikut:

a. Percaya diri, seorang wirausaha haruslah memiliki sifat percaya

diri yang tercermin dari:

1) Yakin dan Optimisme: ia harus yakin dan optimis bahwa

usahanya akan maju dan berkembang untuk itu seorang

wirausaha harus mampu menyusun rencana keberhasilan

(22)

2) Mandiri: tidak mengandalkan dan bergantung pada orang lain

atau keluarga.

3) Kepemimpinan dan dinamis: seorang wirausaha harus mampu

bertanggung jawab terhadap segala aktivitas yang

dijalankannya, baik sekarang maupun yang akan datang.

Tanggung jawab seorang pengusaha tidak hanya pada material,

tetapi juga moral kepada berbagai pihak.

b. Originalitas, seorang wirausaha haruslah memiliki sifat originalitas

yang tercermin dari:

1) Kreatif: mampu mengembangkan ide-ide baru dan menemukan

cara-cara baru dalam memecahkan persoalan

2) Inovatif: mampu melakukan sesuatu yang baru yang belum

dilakukan banyak orang sebagai nilai tambah keunggulan

bersaing

3) Inisiatif/proaktif: mampu mengerjakan banyak hal dengan baik

dan memiliki pengetahuan. Inisiatif dan selalu proaktif. Ini

merupakan ciri mendasar dimana pengusaha tidak hanya

menunggu sesuatu terjadi, tetap terlebih dahulu memulai dan

mencari peluang sebagai pelopor dalam berbagai kegiatan

c. Berorientasi manusia, terdiri dari:

1) Sifat suka bergaul dengan orang lain berarti wirausaha harus

(23)

dengan usaha yang dijalankan atau tidak. Hubungan baik yang

perlu dijalankan antara lain kepada para pelanggan, pemerintah,

pemasok serta masyarakat luas.

2) Komitmen: komitmen pada berbagai pihak merupakan ciri

yang harus dipegang teguh dan harus ditepati. Komitmen untuk

melakukan sesuatu memang merupakan kewajiban untuk

segera ditepati dan direalisasikan

3) Responsif terhadap saran/kritik: menganggap saran dan kritik

adalah dasar untuk mencapai kemajuan. Saran dan kritik yang

masuk di respon dengan baik untuk memperbaiki pelayanan

kepada pelanggan, proses bisnis dan efisiensi perusahaan

d. Berorientasi hasil kerja, terdiri dari sifat:

1) Ingin berprestasi, kemauan untuk terus maju dan

mengembangkan usaha. IQ dan EQ tidak cukup untuk

memprediksi keberhasilan. Dibutuhkan AQ (Adversity

Quotient) yaitu tingkat ketahanan terhadap hambatan-hambatan

yang ditemuinya dalam mencapai keberhasilan.

2) Berorientasi keuntungan, semua cara dan usaha yang dilakukan

harus mendatangkan profit, karena bisnis tidak akan bisa

bertahan dan berkembang jika tidak ada profit

3) Teguh, tekun dan kerja keras. Jam kerja pengusaha tidak

terbatas pada waktu, di mana ada peluang di situ ia datang.

(24)

kerjanya. Benaknya selalu memikirkan kemajuan usahanya.

Ide-ide baru selalu mendorongnya untuk bekerja keras

merealisasikannya. Tidak ada kata sulit dan tidak ada masalah

yang tidak dapat diselesaikan

4) Penuh semangat dan energi. Melakukan semua aktivitas dengan

semangat untuk keberhasilan

e. Berorientasi masa depan, terdiri dari sifat:

1) Pandangan ke depan, ketajaman persepsi. Untuk itu wirausaha

harus memiliki visi dan tujuan yang jelas. Hal ini berfungsi

untuk menebak ke mana langkah dan arah yang dituju sehingga

dapat diketahui apa yang akan dilakukan oleh pengusaha

tersebut

2) Berorientasi pada prestasi. Pengusaha yang sukses selalu

mengejar prestasi yang lebih baik daripada prestasi

sebelumnya. Mutu produk, pelayanan yang diberikan serta

kepuasan pelanggan menjadi perhatian utama. Setiap waktu

segala aktivitas usaha yang dijalankan selalu dievaluasi dan

harus lebih baik dibanding sebelumnya

f. Berani mengambil resiko, terdiri dari sifat mampu mengambil

resiko dan suka tantangan. Hal ini merupakan sifat yang harus

dimiliki seorang pengusaha kapan pun dan di mana pun, baik

(25)

3. Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Keberhasilan Usaha

Menurut Hutagalung dan Situmorang (2008) terdapat faktor-faktor yang

mempengaruhi keberhasilan usaha yaitu motivasi, usia, pengalaman dan

pendidikan.

a. Motivasi

Hasil penelitian yang dilakukan oleh Center for Entrepreneurial Research

menemukan 69% siswa menengah atas ingin mulai menjalankan usaha mereka

sendiri. Motivasi utamanya adalah be their own boses.

b. Usia

Ronstandt menyatakan bahwa kebanyakan wirausaha memulai usahanya

antara usia 25-30 tahun. Sementara Staw mengungkapkan bahwa umumnya pria

memulai usaha sendiri ketika berumur 30 tahun dan wanita pada usia 35 tahun.

Hurlock berpendapat bahwa perkembangan karir berjalan seiring dengan

perkembangan manusia. Setiap kelompok manusia memiliki ciri-ciri khas bila

dikaitkan dengan perkembangan karir.

Pendapat Hurlock sama dengan pendapat Staw bahwa usia bisa terkait

dengan keberhasilan. Bedanya, Hurlock menekankan pada kemantapan karir,

sedangkan Staw menekankan bertambahnya pengalaman. Menurut Staw usia bisa

terkait dengan keberhasilan bila dihubungkan dengan lamanya seseorang menjadi

wirausaha. Dengan bertambahnya pengalaman ketika usia seseorang bertambah

(26)

c. Pengalaman

Staw berpendapat bahwa pengalaman dalam menjalankan usaha

merupakan prediktor terbaik bagi keberhasilan, terutama bila bisnis baru itu

berkaitan dengan pengalaman bisnis sebelumnya. Menurut Hisrich & Brush

wirausaha yang memiliki usaha maju saat ini bukanlah usaha pertama kali yang

dimiliki. Pengalaman mengelola usaha bisa diperoleh sejak kecil karena

pengasuhan yang diberikan oleh orang tua yang berprofesi sebagai wirausaha.

d. Pendidikan

Pendidikan merupakan syarat keberhasilan bagi seorang wirausaha.

Tingkat pendidikan rata-rata wirausaha adalah pendidikan menengah atas.

Pendidikan merupakan salah satu faktor yang menunjang keberhasilan usaha skala

kecil, dengan asumsi bahwa pendidikan yang lebih baik akan memberikan

pengetahuan yang lebih baik dalam mengelola usaha.

D. PERBEDAAN ADVERSITY QUOTIENT PADA WIRAUSAHA ETNIS BATAK TOBA DAN JAWA

Kewirausahaan pada dasarnya untuk semua orang karena hal itu dapat

dipelajari. Peter F. Drucker (dalam Purnomo, 2011) misalnya, pernah menulis

dalam Innovation and Entrepremeurship bahwa, “Setiap orang yang memiliki

keberanian untuk mengambil keputusan dapat belajar menjadi wirausaha dan

berperilaku seperti wirausaha”. Sebab kewirausahaan lebih merupakan perilaku

(27)

oleh siapapun juga. Sepanjang kita bersedia membuka hati dan pikiran untuk

belajar, maka kesempatan untuk menjadi wirausaha tetap terbuka. Sepanjang kita

sadar bahwa belajar pada hakekatnya merupakan suatu proses yang berkelanjutan,

yang tidak perlu berarti dimulai dan berakhir di sekolah atau universitas tertentu,

tetapi dapat dilakukan seumur hidup, dimana saja dan kapan saja, maka belajar

berwirausaha dapat dilakukan oleh siapa saja. Kewirausahaan adalah untuk semua

orang. Pandangan yang diyakini sebagian orang Indonesia bahwa hanya orang

yang berdarah Tionghoa saja yang dapat berwirausaha tidaklah benar. Sebab

dengan demikian bagaimana menjelaskan keberhasilan orang Aceh, Batak,

Minangkabau dan pribumi lainnya yang juga sukses berwirausaha.

Jika kita kaitkan dengan budaya tertentu, misalnya orang Batak Toba dan

Jawa sangat cocok untuk bekerja di dunia kewirausahaan karena kedua etnis

tersebut memiliki salah satu sifat-sifat wirausaha, yaitu sifat suka bergaul dengan

orang lain. Dimana kedua etnis tersebut memiliki falsafah hidup yang

menekankan pada pemeliharaan hubungan yang baik dengan sesama manusia.

Pada orang Jawa sifat tersebut terdapat dalam falsafah tentang hakekat hubungan

manusia dengan sesamanya. Masyarakat Jawa menghendaki hidup yang selaras

dan serasi dengan pola pergaulan saling menghormati. Hidup yang saling

menghormati akan menumbuhkan kerukunan, baik di lingkungan rumah tangga

maupun di luar rumah tangga/masyarakat (Hadi, 2003). Sedangkan pada orang

Batak sifat tersebut terdapat dalam falsafah martutur (punya kekerabatan).

Masyarakat Batak memelihara hubungan yang baik dengan memegang teguh

(28)

mudah akrab berdasarkan pertuturannya (Tinambunan, 2010). Sifat suka bergaul

dengan orang lain sangat dibutuhkan untuk menjadi wirausahawan karena mereka

dituntut untuk mampu mengembangkan dan memelihara hubungan yang baik

dengan berbagai pihak, baik yang berhubungan langsung dengan usaha yang

dijalankan maupun yang tidak. Hubungan yang baik perlu dijalankan antara lain

kepada para pelanggan, pemerintah, pemasok serta masyarakat luas (Hutagalung

dan Situmorang, 2008).

Dunia kewirausahaan memiliki banyak tantangan dan hambatan yang akan

dihadapi. Kemungkinan gagal dalam berwirausaha adalah ancaman yang selalu

ada bagi wirausaha dan tidak ada jaminan kesuksesan. Sehingga seorang

wirausahawan membutuhkan adversity quotient untuk mencapai keberhasilannya.

Menurut Stoltz (2000) adversity quotient (AQ) merupakan sikap mental yang

berupa kemampuan seseorang untuk bertahan dalam menghadapi kesulitan dan

mengatasinya sehingga dapat terus bertahan untuk mencapai kesuksesan pada

pekerjaan dan hidup. AQ memiliki empat dimensi yaitu control, origin &

ownership, reach dan endurance.

Penelitian ini hendak melihat perbedaan adversity quotient pada

wirausahawan Batak Toba dan Jawa. Menurut Stoltz (2000) ada sembilan faktor

pendukung kesuksesan seseorang yaitu kinerja, bakat, kemauan, kecerdasan,

kesehatan, karakter, genetika, pendidikan dan keyakinan. Faktor tersebut dapat

mempengaruhi AQ yang dimiliki oleh seseorang. Salah satu faktor yang

(29)

karakter masing-masing budaya pada dimensi-dimensi yang membentuk AQ yaitu

control, origin & ownership, reach dan endurance. Karakter yang dimiliki oleh

masing-masing budaya adalah berbeda. Pewarisan kultur genetis suatu bangsa

dapat menjadi alasan mengapa suku atau bangsa tertentu memiliki karakter yang

berbeda. Perbedaan ini bukan semata-mata terjadi karena perbedaan iklim dan

geografis tempat pribadi hidup, melainkan pola perilaku, sifat, temperamen,

perangai bisa memiliki kesamaan yang membedakannya dengan suku atau bangsa

lain (Koesoema, 2007).

Perbedaan AQ pada wirausahawan Batak Toba dan Jawa dapat dilihat juga

dari karakter tiap budaya pada masing-masing dimensi AQ. Dimensi pertama AQ

adalah control. Dimensi ini mempertanyakan seberapa besar kendali yang

dirasakan oleh seseorang terhadap sebuah peristiwa yang menimbulkan kesulitan.

Orang yang memiliki AQ yang lebih tinggi merasakan kendali yang lebih besar

atas peristiwa-peristiwa dalam hidup daripada orang yang AQ nya lebih rendah.

Sehingga mereka akan mengambil tindakan yang akan menghasilkan lebih banyak

kendali lagi. Mereka yang AQ nya lebih tinggi cenderung melakukan pendakian,

sementara orang-orang yang AQ nya lebih rendah cenderung berkemah atau

berhenti (Stoltz, 2000). Jika dikaitkan dengan budaya Batak Toba dan Jawa, orang

Batak Toba cenderung memiliki control yang lebih tinggi dibandingkan orang

Jawa. Hal ini dapat dilihat dari kehidupan orang Batak Toba yang hanya

mayoritas bermata pencaharian sebagai petani dengan kehidupan yang sederhana,

namun orang tua menunjukkan aspirasi yang tinggi terhadap pendidikan anak.

(30)

tinggi dan berhasil meraih “gelar sarjana”. Sehingga banyak orang Batak Toba

yang berhasil menyekolahkan anaknya walaupun kehidupan mereka cukup

sederhana. Misalnya saja, seorang Ibu Batak Toba berperan sangat dominan dan

bersedia untuk memberikan segalanya (berkorban) untuk keberhasilan

anak-anaknya. Ia tidak memperdulikan penampilan, sambil mengasuh anak mencangkul

sawah, mengerjakan rumah tangga sehari-hari dan rela hanya makan ikan asin

sementara anaknya makan ikan basah. Bila suami sudah meninggal pada

umumnya mereka tidak menikah lagi. Hal ini menggambarkan bahwa orang Batak

Toba gigih dan berusaha keras untuk menjalankan kehidupan ini (Irmawati,

2007).

Sedangkan orang Jawa dalam menjalankan hidup menganggap hidup harus

dijalankan dengan tabah dan pasrah. Mereka harus menerima dengan ikhlas apa

yang telah diberikan oleh Tuhan secara apa adanya. Mereka juga percaya bahwa

hidup manusia di dunia ini diatur oleh Yang Maha Kuasa sedemikian rupa,

sehingga tidak perlu bekerja keras untuk mendapatkan sesuatu. Misalnya pada

masyarakat Jawa kelas bawah yang tinggal di pedesaan maupun perkotaan

menganggap bekerja hanya untuk mendapatkan makanan. Bekerja memang sudah

merupakan suatu keharusan untuk mempertahankan hidup. Mereka tidak

memikirkan hal lain seperti pendidikan. Sehingga dapat disimpulkan bahwa orang

Batak Toba memiliki kendali untuk menghadapi kesulitan dibandingkan orang

Jawa (Hadi, 2003).

(31)

sejauh manakah seseorang mengakui akibat kesulitan tersebut. Semakin tinggi

skor origin seseorang, semakin besar kecenderungan seseorang untuk

menganggap sumber kesulitan berasal dari orang lain atau luar dan menempatkan

peran sendiri pada tempat yang sewajarnya. Semakin tinggi skor ownership

seseorang, semakin besar seseorang mengakui akibat-akibat dari suatu perbuatan,

apa pun penyebabnya (Stoltz, 2000). Dimensi ini berkaitan dengan keterbukaan

diri yang dimiliki oleh seseorang. Individu yang memiliki keterbukaan diri akan

mampu mengatasi masalah atau kesulitan, khususnya perasaan bersalah melalui

pengungkapan diri. Individu menjadi lebih siap untuk mengatasi perasaan

bersalah dengan mengungkapkan perasaan dan menerima dukungan (Devito,

1997). Orang Batak cenderung memiliki origin dan ownership yang lebih tinggi

dibandingkan orang Jawa. Menurut Suseno dan Reksusilo (Gainau, 2009)

menyatakan bahwa dalam budaya Jawa seorang anak sejak kecil telah dilatih

untuk berafiliasi dan konformis, lebih-lebih pada anak perempuan yang dituntut

untuk bersikap pasif, menerima apa adanya dan pasrah. Disamping itu ada prinsip

hidup yang dipegang oleh masyarakat Jawa yang paling menentukan pola

pergaulan yakni prinsip kerukunan dan prinsip hormat. Hal inilah yang

menyebabkan rendahnya keterbukaan diri orang Jawa khususnya pada perempuan.

Budaya Jawa juga mengajarkan untuk melakukan pengekangan. Orang Jawa tidak

mengungkapkan pikiran perasaan apa adanya kepada orang lain. Sedangkan

menurut Tarigan (Gainau, 2009) orang Batak lebih terbuka.

Dimensi ketiga AQ adalah reach. Dimensi ini mempertanyakan sejauh

(32)

Semakin tinggi skor reach seseorang, semakin besar kemungkinan seseorang

tersebut membatasi jangkauan masalahnya pada peristiwa yang sedang dihadapi

dan semakin besar kemungkinan seseorang merespon kesulitan sebagai sesuatu

yang spesifik dan terbatas (Stoltz, 2000). Jika dikaitkan dengan budaya Batak

Toba dan Jawa, maka dapat dikatakan bahwa orang Batak Toba cenderung

memiliki reach yang lebih tinggi dibandingkan orang Jawa. Hal ini dapat dilihat

dari kehidupan orang Batak Toba yang mengalami kesulitan ekonomi, namun

mereka tidak menganggap kesulitan itu dapat menjangkau bagian lain dari

kehidupannya. Orang Batak Toba yang hanya dengan bermata pencaharian

sebagai petani, namun kesulitan tersebut tidak membuat anak-anak mereka tidak

bersekolah. Mereka tetap memikirkan pendidikan anak-anaknya (Irmawati, 2007).

Hal ini disebabkan oleh adanya nilai hidup yang dimiliki oleh orang Batak Toba

yaitu nilai hidup hasangapon yang artinya selalu berusaha menjadi orang yang

terpandang dan dihormati dalam masyarakat. Dalam hal ini, orang Batak sangat

peduli dengan pendidikan anaknya. Walaupun harta tidak ada, asal anaknya bisa

sekolah, inilah yang menjadi prinsip bagi orang Batak (Tinambunan, 2010).

Sedangkan orang Jawa berdasarkan falsafah Jawa yang masih dianutnya, mereka

memiliki falsafah hidup nrima ing pandum, yang artinya menerima apa yang telah

diberikan oleh Tuhan secara apa adanya. Dengan falsafah seperti ini, orang Jawa

menganggap hidup harus dijalankan dengan tabah dan pasrah. Misalnya saja

untuk masyarakat Jawa kelas bawah yang tinggal di pedesaan maupun perkotaan

(33)

merupakan suatu keharusan untuk mempertahankan hidup. Oleh sebab itu, di

kalangan masyarakat kelas bawah dikenal falsafah ngupaya upa, yang artinya

bekerja hanya untuk mendapatkan makanan. Hal ini berarti dengan kesulitan

ekonomi yang mereka miliki, mereka hanya memikirkan segala sesuatunya untuk

mendapatkan makanan. Mereka tidak memikirkan hal lain yang juga lebih

berguna seperti pendidikan (Hadi, 2003).

Dimensi keempat AQ adalah endurance. Dimensi ini mempertanyakan

seberapa lama kesulitan dan penyebab kesulitan akan berlangsung. Individu yang

cepat menyerah terhadap kesulitan berarti menganggap kesulitan akan

berlangsung lama (Stoltz, 2000). Jika dikaitkan dengan budaya Batak Toba dan

Jawa, maka dapat dikatakan orang Batak Toba cenderung memiliki endurance

yang lebih tinggi dibandingkan orang Jawa. Hal ini dapat dilihat dari sifat orang

Jawa yang lebih cepat menyerah (Hadi, 2003). Sedangkan orang Batak Toba

tidak gampang menyerah (Tinambunan, 2010).

Berdasarkan uraian di atas, peneliti berasumsi bahwa orang Batak Toba

memiliki adversity quotient yang lebih tinggi dibandingkan orang Jawa. Hal ini

dapat dilihat dari kecenderungan orang Batak Toba yang memiliki control, origin

& ownership, reach dan endurance yang lebih tinggi dibandingkan orang Jawa.

E. HIPOTESIS

Dalam penelitian ini, hipotesis yang diajukan adalah adversity quotient

Referensi

Dokumen terkait

Tepung pisang kepok merupakan alternatif utama dengan prospek yang baik sebagai salah satu sumber karbohidrat yang dapat dimanfaatkan sebagai bahan campuran dalam

Menurut (Muawanah & Poernawati, 2015:407) “Beban (expenses) adalah penurunan manfaat ekonomi selama suatu periode akuntansi dalam bentuk arus keluar atau

Puji Syukur Kehadirat Allah SWT yang maha Esa karena atas nikmat-Nya penyusunan Laporan Kuliah Kerja Magang (KKM) STIE PGRI Dewantara Jombang dapat diselesaikan tepat

Untuk mengetahui bagaimana pengaruh tingkat kebangkrutan menggunakan diskriminan Altman dan Springate bersama-sama terhadap return saham pada Perusahaan Garment dan

Berdasarkan hasil tersebut menunjukan bahwa kerak CuCO3 pada Boiler memiliki kondisi suhu yang sangat tinggi dan waktu panas yang lama sehingga membuat warna kerak CuCO3

Republik Indonesia, Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1986 Tentang Peradilan Tata Usaha Negara Pasal 1 Ayat 1 Lembaran Negara Nomor 77 Tambahan Lembaran Negara Nomor 3344 9.

Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui Pengaruh Quality of Service, Discrimination , Self Assessment terhadap Penggelapan pajak.. Populasi dalam penelitian ini

Berdasarkan hambatan – hambatan yang terjadi di atas, muncul suatu inisiatif untuk merancang suatu sistem informasi terkomputerisasi dan terintegrasi yang dapat menangani