1.1 Latar Belakang
Kesenjangan ekonomi antar wilayah merupakan fenomena global yang
sering terjadi di negara berkembang, termasuk di Indonesia. Bahkan masalah
kesenjangan ekonomi ini telah menjadi pembahasan utama dalam penetapan
kebijakan pembangunan ekonomi di negara berkembang sejak puluhan tahun lalu.
Perhatian ini timbul karena ada kecenderungan bahwa kebijakan pembangunan
yang dirancang untuk meningkatkan pertumbuhan ekonomi justru memperburuk
kondisi kesenjangan ekonomi antar wilayah dalam suatu negara.
Secara teoritik, masalah kesenjangan ekonomi tersebut dapat dijelaskan
menggunakan hipotesis Neoklasik. Dari teori ini, muncul sebuah prediksi tentang
hubungan antara tingkat pembangunan suatu negara dengan tingkat kesenjangan
ekonomi antar wilayah. Menurut Bort (1960) dalam model analisisnya dengan
menggunakan teori Neoklasik menunjukkan pada proses awal pembangunan suatu
negara, kesenjangan ekonomi antar wilayah cenderung melebar (divergen). Hal ini disebabkan mobilitas faktor produksi (modal dan tenaga kerja) kurang berjalan
lancar sehingga terkonsentrasi di daerah yang maju. Bila proses pembangunan
terus berlanjut, dengan semakin baiknya infrastruktur maka mobilitas faktor
produksi akan semakin lancar sehingga kesenjangan ekonomi antar wilayah akan
berkurang (convergen). Dapat disimpulkan sementara, pada wilayah berkembang umumnya kesenjangan ekonomi antar wilayah cenderung lebih tinggi, sedangkan
wilayah maju kesenjangannya akan menjadi lebih rendah. Kondisi tersebut dapat
Hipotesis Neoklasik tersebut, kemudian diuji kebenarannya oleh
Williamson (1966) melalui studi tentang kesenjangan regional pada negara maju
dan negara sedang berkembang menggunakan data time series dan cross section. Ukuran kesenjangan yang digunakan adalah Indeks Williamson. Hasil
penelitiannya menunjukkan hipotesis Neoklasik yang diformulasikan secara
teoritis terbukti benar secara empirik. Ini berarti proses pembangunan suatu
negara tidak otomatis menurunkan kesenjangan ekonomi antar wilayah, tetapi
pada tahap awal justru terjadi peningkatan kesenjangan (Sjafrizal, 2008).
Seperti di negara berkembang, kesenjangan ekonomi antar wilayah juga
terjadi di Indonesia. Kesenjangan ini berkaitan dengan strategi pembangunan
Indonesia yang bertumpu pada aspek pertumbuhan ekonomi sejak masa orde baru.
Sasaran pembangunan diarahkan untuk pencapaian pertumbuhan ekonomi tinggi,
namun tidak memperhatikan pemerataan pembangunan ekonomi di seluruh
wilayah Indonesia. Walaupun aspek pemerataan sempat mendapatkan perhatian
ketika urutan prioritas trilogi pembangunan diubah dari pertumbuhan, pemerataan,
dan stabilitas pada Pelita II (1974-1979) menjadi pemerataaan, pertumbuhan, dan
stabilitas dari pada Pelita III (1979-1984), namun inti tumpuan pembangunan
Indonesia tetap saja pertumbuhan (growth bukan equity). Dalam praktiknya, pemerintah hanya menetapkan target tingkat pertumbuhan yang hendak dicapai,
namun tidak menetapkan target mengenai tingkat kemerataan. (Dumairy, 1996).
Kesenjangan ekonomi di Indonesia terjadi dalam berbagai dimensi,
diantaranya kesenjangan antar kawasan, dimana kualitas hidup di Kawasan Barat
dan Tengah Indonesia lebih baik dibandingkan Kawasan Timur Indonesia.
Indonesia lebih tinggi dari
Timur Indonesia lebih rendah dari nilai IMH Indonesia.
Sumber: BPS, 1990
Gambar 1.1 Nilai IMH Antar Kawasan di I Kesenjangan ekonomi
Jawa. Ini tampak nyata berkenaan
ekonomi di Indonesia yang
terpusat di Pulau Jawa
pertumbuhan ekonomi yang
Pulau Jawa memiliki kontribusi
Domestik Bruto (PDB) Indonesia.
kerja terampil dari luar Jawa
tinggi, namun akan timbul
kawasan kumuh, dan meningkatnya angka krimi
Tabel 1.1 PDRB ADHK Ja
bih rendah dari nilai IMH Indonesia.
Antar Kawasan di Indonesia Tahun 1980 dan 1985
Kesenjangan ekonomi di Indonesia juga terjadi antara Jawa dan
nyata berkenaan dengan implementasi kebijakan pembangunan
Indonesia yang cenderung Jawa sentris. Aktivitas ekonomi
Jawa sehingga beberapa wilayah di Pulau Jawa men
ekonomi yang lebih cepat dibanding wilayah lain di luar
memiliki kontribusi yang tinggi sebesar 61 persen terhadap
(PDB) Indonesia. Hal ini dapat memicu arus perpindahan
uar Jawa ke Jawa. Meskipun PDRB di Pulau Jawa
akan timbul masalah seperti bertambahnya pengangguran,
an meningkatnya angka kriminalitas.
Tabel 1.1 PDRB ADHK Jawa dan Luar Jawa di Indonesia Tahun 2009 dan 2010
2009 2010
di Indonesia Tahun 2009 dan 2010
Ketidakmerataan kesejahteraan di Indonesia tersebut, dapat menimbulkan
kecemburuan sosial yang memicu terjadinya konflik dan kerawanan disintegrasi
antar wilayah. Bila dibiarkan terus menerus dapat menyebabkan ketidakstabilan
perekonomian Indonesia. Oleh karena itu, kesenjangan ekonomi antar wilayah
harus mendapatkan penanganan dari pemerintah. Setidaknya harus dicari cara
mengurangi kesenjangan ekonomi antar wilayah sampai pada taraf rendah karena
kesenjangan ekonomi itu sendiri tidak dapat dihilangkan secara sekaligus.
1.2 Perumusan Masalah
Kesenjangan ekonomi antar wilayah merupakan masalah klasik di
Indonesia. Permasalahan ini menjadi tantangan bagi pelaksanaan pembangunan
nasional. Proses pembangunan ekonomi yang berjalan tidak merata di seluruh
wilayah Indonesia dapat menimbulkan permasalahan sosisal dan ekonomi yang
menganggu kestabilan perekonomian negara.
Pemerintah telah melakukan upaya untuk mengatasi masalah kesenjangan
ekonomi antar wilayah di Indonesia sejak pemerintahan Orde Baru. Pada program
Pelita II (1974-1979), pembangunan difokuskan pada pembangunan berimbang
antardaerah. Kebijakan yang dikeluarkan antara lain program Inpres berupa
bantuan pembangunan, pendirian Bappenas, dan pembentukan Bappeda Tingkat I
pada tahun 1974. Pada Pelita III (1979-1984), pemerintah mengganti urutan
prioritas pembangunan yang pertama menjadi pemerataan, oleh karena itu
pemerintah lebih meningkatakan program Inpres yang sudah dijalankan
sebelumnya, membentuk lembaga-lembaga pembangunan desa, serta pendidiran
pembangunan ekonomi di Indonesia dititikberatkan pada pembangunan desa
terbelakang. Kebijakan yang dikeluarkan adalah program Inpres Desa Tertinggal
(IDT) dengan tujuan pemerataan pembangunan dan hasil-hasilnya di seluruh
daerah Indonesia.
Upaya pemerintah tersebut ternyata kurang efektif dalam mengurangi
kesenjangan ekonomi antar wilayah di Indonesia. Berbagai kebijakan
pembangunan diputuskan secara terpusat dengan instrumen utama Garis-garis
Besar Haluan Negara (GBHN) dan Rencana Pembangunan Lima Tahun
(Repelita). Sentralisasi pengambilan keputusan pada pemerintah pusat ini justru
memperbesar inefisiensi karena banyak program pembangunan daerah yang
dilakukan tidak sesuai dengan potensi dan kepentingan daerah yang bersangkutan.
Pada era Reformasi pemerintah menetapkan kebijakan otonomi daerah
yang diharapkan efektif mengurangi kesenjangan ekonomi antar wilayah di
Indonesia. Tujuan kebijakan otonomi daerah adalah memberikan ruang bagi
pemerintah pusat untuk fokus pada kebijakan makro strategis. Sedangkan
pemerintah daerah ditantang untuk meningkatkan kemandirian sehingga mampu
menyelesaikan berbagai permasalahan yang dihadapi daerah. Pemerintah daerah
beserta masyarakat lokal lebih mengetahui potensi dan kebutuhan daerahnya
masing-masing. Sehingga pelaksanaan otonomi daerah dapat menghasilkan
kebijakan pembangunan daerah yang efektif di seluruh wilayah Indonesia.
Pelaksanaan otonomi daerah menunjukkan dampak yang positif bagi
pertumbuhan ekonomi di Indonesia, khususnya di Provinsi Jawa Tengah. Hal ini
dapat dilihat dari peningkatan laju PDRB dan PDRB per kapita yang cukup tinggi
Tabel 1.2 Laju Pertumbuhan PDRB dan PDRB Per Kapita Provinsi Jawa Tengah
Kab.Cilacap -5,20 5,65 1.312.744 7.915.518
Kab.Banyumas -6,80 5,77 701.319 2.994.244
Kab.Purbalingga -8,27 5,95 772.048 2.975.283
Kab.Banjarnegara -4,15 4,89 1.016.178 3.324.296
Kab.Kebumen -13,03 4,15 749.777 2.539.670
Kab.Purworejo -6,49 5,01 922.476 4.337.763
Kab.Wonosobo -9,37 4,46 740.991 2.502.120
Kab.Magelang -3,14 4,51 956.704 3.483.379
Kab.Boyolali -9,51 3,59 1.009.232 4.565.187
Kab.Klaten -11,35 1,73 1.035.396 4.285.881
Kab.Sukoharjo -11,23 4,65 1.458.601 6.039.837
Kab.Wonogiri -4,67 3,14 756.054 3.221.855
Kab.Karanganyar -11,29 7,40 1.484.226 6.704.946
Kab.Sragen -9,10 6,06 781.799 3.575.655
Kab.Grobogan -9,74 5,04 569.012 2.485.984
Kab.Blora -5,16 5,19 819.407 2.549.473
Kab.Rembang -9,56 4,45 841.869 3.862.232
Kab.Pati -4,02 5,11 839.078 3.845.406
Kab.Kudus -11,79 4,33 4.354.798 16.271.812
Kab.Jepara -0,03 4,52 1.036.906 3.891.674
Kab.Demak -10,52 4,12 764.890 2.861.766
Kab.Semarang -17,79 4,90 1.196.885 5.974.417
Kab.Temanggung -10,57 4,31 1.020.047 3.400.465
Kab.Kendal -9,29 7,43 1.746.668 5.990.100
Kab.Batang -10,17 4,97 1.108.922 3.342.675
Kab.Pekalongan -8,66 4,27 1.114.130 3.851.979
Kab.Pemalang -1,63 4,94 846.519 2.739.687
Kab.Tegal -9,02 4,63 646.710 2.600.442
Kab.Brebes -2,28 4,94 748.051 3.176.366
Kota Magelang -7,29 6,12 2.383.047 9.376.907
Kota Surakarta -13,93 5,94 2.342.395 10.221.325
Kota Salatiga -1,51 5,01 2.318.184 5.360.237
Kota Semarang -1,82 6,52 3.381.894 13.731.386
Kota Pekalongan -8,13 6,12 1.094.877 7.415.998
Kota Tegal -6,12 4,58 1.019.231 5.348.637
Namun, permasalahannya adalah peningkatan PDRB per kapita tersebut
tidak merata di seluruh wilayah Provinsi Jawa Tengah sehingga pada tahun 2010
terdapat adanya gap antara wilayah yang memiliki PDRB per kapita tertinggi
yaitu Kabupaten Kudus sebesar 16.271.812 rupiah daengan wilayah memiliki
PDRB per kapita terendah yaitu Kabupaten Grobogan sebesar 2.485.984 rupiah
sehingga Kabupaten Kudus memiliki PDRB per kapita tujuh kali lipat lebih tinggi
dari PDRB per kapita di Kabupaten Grobogan. Adanya gap tersebut
mengindikasikan kesenjangan ekonomi antar wilayah masih terjadi di Provinsi
Jawa Tengah. Sehingga perlu adanya upaya untuk mengatasi masalah kesenjangan
ekonomi antar wilayah di Provinsi Jawa Tengah.
Pemahaman pertama yang perlu ditelaah yaitu bagaimana kondisi
kesenjangan ekonomi antar wilayah di Provinsi Jawa Tengah apakah semakin
melebar atau berkurang, serta tingkat kesenjangannya apakah masih tergolong
rendah, sedang, atau tinggi. Apabila tingkat kesenjangannya masih tinggi, maka
pemerintah harus membuat kebijakan untuk menguranginya. Terjadinya
kesenjangan ekonomi antar wilayah berarti terdapat beberapa daerah yang lebih
cepat tumbuh, sementara di sisi lain terdapat daerah yang masih tertinggal karena
mengalami pertumbuhan ekonomi yang lambat. Oleh karena itu dalam rangka
mengurangi kesenjangan ekonomi antar wilayah, pemerintah harus menyusun
prioritas kebijakan pembangunan ekonomi bagi daerah-daerah yang tertinggal.
Langkah pertama yang perlu dilakukan adalah mengidentifikasi wilayah
yang tergolong daerah tertinggal. Setelah diketahui daerah tertinggal, dilakukan
analisis faktor-faktor yang mampu meningkatkan laju pertumbuhan ekonominya
ekonomi antar wilayah di Provinsi Jawa Tengah dapat dikurangi. Beberapa faktor
yang nampaknya berpengaruh terhadap laju pertumbuhan ekonomi adalah sumber
daya manusia (SDM), belanja modal/pembangunan, dan infrastruktur.
Berdasarkan pada penjelasan sebelumnya, seperti yang ada pada latar
belakang dan perumusan masalah, dapat dirumuskan beberapa masalah yang ingin
dikaji dalam penelitian ini, yaitu:
1. Bagaimana trend kesenjangan ekonomi antar wilayah yang terjadi di Provinsi Jawa Tengah?
2. Bagaimana klasifikasi wilayah di Provinsi Jawa Tengah untuk
mengidentifikasi daerah-daerah yang tertinggal?
3. Faktor apa saja yang signifikan mempengaruhi laju pertumbuhan ekonomi di
daerah tertinggal Provinsi Jawa Tengah?
4. Bagaimana implikasi kebijakan untuk meningkatkan laju pertumbuhan
ekonomi di daerah tertinggal Provinsi Jawa Tengah?
1.3 Tujuan Penelitian
1. Menganalisis trend kesenjangan ekonomi antar wilayah di Provinsi Jawa Tengah.
2. Menganalisis klasifikasi wilayah di Provinsi Jawa Tengah untuk
mengidentifikasi wilayah yang masuk dalam kategori daerah tertinggal.
3. Mengestimasi faktor-faktor yang signifikan mempengaruhi laju pertumbuhan
ekonomi di daerah tertinggal di Provinsi Jawa Tengah.
4. Merumuskan implikasi kebijakan untuk meningkatkan laju pertumbuhan
1.4 Manfaat Penelitian
1. Memberi informasi kepada pemerintah daerah mengenai:
a. Gambaran kondisi kesenjangan ekonomi antar wilayah di Provinsi Jawa
Tengah sehingga dapat membantu memberikan alternatif pemecahan
masalah apakah setiap wilayah memerlukan penangan yang sama atau tidak
dalam meningkatkan kesejahteraan masyarakat.
b. Gambaran klasifikasi wilayah di Provinsi Jawa Tengah dan faktor-faktor
yang mempengaruhi laju pertumbuhan ekonomi di daerah tertinggal dapat
menjadi acuan bagi pemerintah daerah dalam membuat kebijakan yang
tepat untuk memacu laju pertumbuhan ekonomi di daerah tertinggal.
2. Dapat menambah perbendaharaan penelitian yang telah ada serta dapat
dijadikan sebagai bahan acuan bagi pengembangan penelitian selanjutnya.
1.5 Ruang Lingkup Penelitian
Penelitian ini menganalisis kondisi kesenjangan ekonomi antar wilayah
dan implikasi kebijakannya terhadap kebijakan pembangunan di Provinsi Jawa
Tengah. Hal yang dibahas adalah khusus kesenjangan dari sudut ekonomi antar
wilayah. Oleh karena itu, kesenjangan sosial tidak tercakup dalam penelitian ini.
Untuk faktor-faktor yang mempengaruhi laju pertumbuhan ekonomi hanya
difokuskan di daerah-daerah yang tertinggal saja karena daerah ini mempunyai
pendapatan per kapita dan laju pertumbuhan ekonomi yang lebih rendah
dibandingkan daerah lain di Provinsi Jawa Tengah sehingga perlu untuk
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA DAN KERANGKA PEMIKIRAN
2.1 Kesenjangan Ekonomi Antar Wilayah
Sjafrizal (2008) menyatakan kesenjangan ekonomi antar wilayah
merupakan aspek yang umum terjadi dalam kegiatan pembangunan ekonomi
suatu negara. Terdapat kecenderungan bahwa kebijakan pembangunan yang
dirancang untuk meningkatkan pertumbuhan ekonomi justru memperburuk
kondisi kesenjangan ekonomi antar wilayah. Kesenjangan ekonomi antar wilayah
sering menjadi permasalahan serius karena beberapa daerah dapat mencapai
pertumbuhan ekonomi cepat, sementara beberapa daerah lain mengalami
pertumbuhan lambat. Hal ini dapat memicu migrasi penduduk dari wilayah
terbelakang ke wilayah maju sehingga timbul permasalahan sosial ekonomi di
wilayah maju. Selain itu, kemajuan perekonomian yang tidak sama di setiap
wilayah dapat menimbulkan kecemburuan sosial yang memicu terjadinya konflik
antar wilayah. Apabila dibiarkan semakin parah, dapat mengganggu kestabilan
perekonomian negara
Secara teoritik, permasalahan kesenjangan ekonomi antar wilayah dapat
dijelaskan menggunakan Hipotesis Neoklasik. Penganut Hipotesis Neoklasik
menyatakan pada permulaan proses pembangunan suatu negara, kesenjangan
ekonomi antar wilayah cenderung meningkat. Proses ini akan terjadi sampai
kesenjangan tersebut mencapai titik puncak. Bila proses pembangunan berlanjut,
maka secara berangsur-angsur kesenjangan ekonomi antar wilayah akan menurun.
Hal tersebut dikarenakan pada waktu proses pembangunan baru dimulai di NSB,
kondisi pembangunan sudah lebih baik. Sedang daerah yang tertinggal tidak
mampu memanfaatkan peluang ini karena keterbatasan sarana dan prasarana serta
rendahnya kualitas SDM. Karena pertumbuhan ekonomi lebih cepat di daerah
dengan kondisinya lebih baik, sedangkan daerah yang terbelakang tidak banyak
mengalami kemajuan maka kesenjangan ekonomi antar wilayah cenderung
meningkat. Keadaan yang berbeda terjadi di negara maju dimana kondisi
daerahnya umumnya dalam kondisi yang lebih baik dari segi sarana dan prasarana
serta kualitas SDM. Dalam kondisi demikian, setiap peluang pembangunan dapat
dimanfaatkan secara lebih merata antar daerah. Akibatnya, proses pembangunan
pada negara maju akan mengurangi kesenjangan ekonomi antar wilayah.
Bort (1960) menjadi pelopor yang mendasarkan analisisnya pada teori
ekonomi Neoklasik, menyebutkan bahwa pertumbuhan ekonomi suatu daerah
sangat ditentukan oleh kemampuan daerah tersebut untuk meningkatkan kegiatan
produksinya. Sedangkan kegiatan produksi pada suatu daerah tidak hanya
ditentukan oleh potensi daerah yang bersangkutan, tetapi ditentukan pula oleh
mobilitas tenaga kerja dan mobilitas modal antar daerah. Bort menyatakan pada
awal pembangunan suatu negara, kesenjangan ekonomi antar wilayah cenderung
meningkat. Hal ini disebabkan mobilitas faktor produksi (modal dan tenaga kerja)
kurang berjalan lancar. Dampaknya modal dan tenaga kerja akan terkonsentrasi di
daerah yang lebih maju sehingga kesenjangan ekonomi antar wilayah melebar
(divergen). Bila pembangunan terus berlanjut, dengan semakin baiknya fasilitas maka mobilitas faktor produksi semakin lancar sehingga kesenjangan ekonomi
Kesenjangan ekonomi antar wilayah
Pembangunan nasional Sumber: Sjafrizal (2008)
Gambar 2.1 Kurva U terbalik
Kebenaran Hipotesis Neoklasik ini diuji kebenarannya oleh Jefrey G.
Williamson pada tahun 1966 melalui studi tentang kesenjangan ekonomi antar
wilayah pada negara maju dan negara sedang berkembang dengan menggunakan
data time series dan cross section. Hasil penelitian tersebut menunjukkan bahwa Hipotesis Neoklasik yang diformulasikan secara teoritis ternyata terbukti benar
secara empirik. Ini berarti bahwa proses pembangunan suatu negara tidak
otomatis menurunkan kesenjangan ekonomi antar wilayah, tetapi pada tahap
permulaan justru terjadi sebaliknya (Sjafrizal, 2008).
2.2 Indikator Kesenjangan Ekonomi Antar Wilayah
Tingkat kesenjangan ekonomi antar wilayah dapat diukur menggunakan
perhitungan indeks ketimpangan regional Williamson. Istilah indeks Williamson
muncul sebagai penghargaan kepada Jeffrey G. Williamson yang mula-mula
menggunakan teknik ini untuk mengukur kesenjangan ekonomi antar wilayah
pada negara maju dan negara sedang berkembang. Secara statistik, indeks
dasar karena yang diperbandingkan adalah tingkat pembangunan antar wilayah
dan bukan tingkat kemakmuran antar kelompok. Hal yang dipersoalkan bukan
antara kelompok kaya dan miskin, tetapi antara daerah maju dan terbelakang.
Dari indeks Williamson dapat diketahui kesenjangan ekonomi antar
wilayah yang terjadi semakin melebar atau berkurang. Jika semakin tinggi nilai
indeks Williamson, berarti kesenjangan ekonomi antar wilayah semakin besar,
dan sebaliknya. Batasan untuk tingkat kesenjangan ekonomi antar wilayah, yaitu:
CVw < 0,35 = Kesenjangan taraf rendah
0,35 ≤ CVw ≤ 0,5 = Kesenjangan taraf sedang
CVw > 0,5 = Kesenjangan taraf tinggi
Apabila kesenjangan ekonomi antar wilayah dalam suatu negara masih
tergolong dalam kesenjangan taraf tinggi, maka harus segera dicari solusi untuk
mengurangi tingkat kesenjangan ekonomi tersebutkarena apabila kesenjangan
ekonomi antar wilayah dibiarkan semakin tinggi, dapat menimbulkan konsekuensi
sosial, ekonomi, dan politik yang mengancam rasa persatuan dan kesatuan bangsa,
bahkan dapat mengganggu kestabilan perekonomian negara.
2.3 Strategi Mengatasi Kesenjangan Ekonomi Antar Wilayah
Adanya indikasi kesenjangan ekonomi antar wilayah menandakan terdapat
beberapa daerah yang lebih cepat tumbuh, sedangkan beberapa daerah lain
mengalami pertumbuhan ekonomi lambat. Dalam rangka mengurangi kesenjangan
ekonomi antar wilayah tersebut, maka pemerintah dapat menyusun prioritas untuk
lebih membangun daerah-daerah yang tertinggal. Oleh karena itu perlu adanya
Setelah diketahui daerah-daerah tertinggal. Kemudian dilakukan analisis
faktor-faktor yang mampu memacu laju pertumbuhan ekonomi di daerah tertinggal
tersebut. Sehingga pemerintah dapat membuat kebijakan yang tepat untuk
memajukan perekonomian daerah-daerah yang tertinggal tanpa menghambat
pertumbuhan ekonomi daerah-daerah yang sudah maju. Sehingga kesenjangan
ekonomi antar wilayah dapat dikurangi.
2.3.1 Klassen Typology
Identifikasi wilayah dapat dilakukan menggunakan alat analisis Klassen Typology yang membagi daerah berdasarkan dua indikator utama, yaitu tingkat pertumbuhan ekonomi daerah dan pendapatan (PDRB) per kapita daerah. Melalui
analisis ini diperoleh empat karateristik daerah yang berbeda, yaitu:
1. Daerah cepat maju dan cepat tumbuh (high growth and high income)
Merupakan daerah yang mengalami tingkat pertumbuhan ekonomi dan
pendapatan per kapita yang lebih tinggi dari rata-rata seluruh daerah. Pada
dasarnya, daerah-daerah tersebut merupakan daerah yang paling maju, baik dari
segi tingkat pembangunan maupun kecepatan pertumbuhan. Pada umumnya
daerah tersebut mempunyai potensi pembangunan yang sangat besar dan telah
dimanfaatkan secara baik untuk kemakmuran masyarakat.
2. Daerah maju tapi tertekan (high income but low growth)
Merupakan daerah-daerah yang memiliki pendapatan per kapita tinggi,
tetapi dalam beberapa tahun terakhir tingkat pertumbuhan ekonomi daerahnya
menurun. Walaupun wilayah ini telah maju tetapi di masa mendatang
3. Daerah berkembang cepat (high growth but low income)
Merupakan daerah yang memiliki potensi pengembangan yang sangat
besar tetapi masih belum diolah dengan baik. Walaupun tingkat pertumbuhan
ekonominya sangat tinggi, namun tingkat pendapatan per kapita yang
mencerminkan tahap pembangunan yang telah dicapai masih relatif rendah
dibandingkan dengan daerah-daerah lain. Wilayah ini diperkirakan akan mampu
berkembang dengan pesat untuk mengejar ketertinggalannya dari daerah maju.
4. Daerah relatif tertinggal (low growth and low income)
Merupakan daerah yang mempunyai tingkat pertumbuhan ekonomi daerah
dan pendapatan per kapita daerah yang berada di bawah rata-rata. Ini artinya, baik
tingkat kemakmuran masyarakat maupun tingkat pertumbuhan ekonomi di daerah
ini masih rendah. (Sjafrizal, 1997).
Setelah dilakukan analisis Klassen Typologi dapat diidentifikasi wilayah mana saja yang tergolong daerah tertinggal. Wilayah tersebut harus mendapat
perhatian dan penanganan khusus dari pemerintah dalam penetapan kebijakan
pembangunan ekonomi sehingga daerah tertinggal dapat mengejar ketertinggalan
dari daerah maju. Perlu juga dilakukan monitoring dan evaluasi pelaksanaan
pembangunan supaya kesenjangan ekonomi antar wilayah tidak semakin melebar.
2.3.2 Faktor-faktor yang Mempengaruhi Pertumbuhan Ekonomi
Todaro (2006), mendefinisikan pertumbuhan ekonomi sebagai suatu
proses peningkatan kapasitas produktif dalam suatu perekonomian secara
terus-menerus sepanjang waktu sehingga menghasilkan tingkat pendapatan dan output
Model pertumbuhan Neoklasik Solow berpegang pada konsep skala hasil
yang terus berkurang (diminishing return) dari input tenaga kerja dan modal jika keduanya dianalisis secara terpisah, sedangkan jika keduanya dianalisis secara
bersamaan atau sekaligus, Solow memakai asumsi skala hasil tetap (constant return to scale). Kemajuan teknologi ditetapkan sebagai faktor residu untuk menjelaskan pertumbuhan ekonomi dalam jangka panjang, dan tinggi rendahnya
pertumbuhan itu sendiri oleh Solow diasumsikan bersifat eksogen yang
dipengaruhi oleh berbagai macam faktor. Model pertumbuhan Neoklasik Solow
menggunakan fungsi produksi agregat standar, yakni :
Y = AeμtKα L1-α
Dimana Y adalah produk domestik bruto, K adalah stok modal fisik dan
modal manusia, L adalah tenaga kerja non terampil, A adalah suatu konstanta yang
merefleksikan tingkat teknologi dasar, sedangkan eμ melambangkan konstanta tingkat
kemajuan teknologi. Adapun simbol α melambangkan elastisitas output terhadap
modal (atau persentase kenaikan GDP yang bersumber dari 1 persen penambahan
modal fisik dan modal manusia). Hal itu biasanya dihitung secara statistik sebagai
pangsa modal dalam total pendapatan nasional suatu negara. Karena α diasumsikan
kurang dari 1 dan modal swasta diasumsikan dibayar berdasarkan produk marjinalnya
sehingga tidak ada ekonomi eksternal, maka formulasi teori pertumbuhan Neoklasik
ini memunculkan skala hasil modal dan tenaga kerja yang terus berkurang
(diminishing returns). Menurut model pertumbuhan ini, pertumbuhan output selalu bersumber dari satu atau lebih dari tiga faktor yaitu kenaikan kuantitas dan kualitas
tenaga kerja (melalui pertumbuhan jumlah penduduk dan perbaikan pendidikan),
penambahan modal (melalui tabungan dan investasi), serta penyempurnaan teknologi
Bebrapa faktor yang diduga mempengaruhi laju pertumbuhan ekonomi,
antar lain:
a. Sumber Daya Manusia
Input sumber daya manusia (SDM) merupakan faktor terpenting bagi
keberhasilan perekonomian. Menurut Todaro (2006), pertumbuhan penduduk dan
pertumbuhan angkatan kerja secara tradisional dianggap sebagai salah satu faktor
positif yang memacu pertumbuhan ekonomi. Jumlah tenaga kerja yang lebih besar
akan menambah tingkat produksi, sedangkan pertumbuhan penduduk yang lebih
besar berarti ukuran pasar domestiknya lebih besar. Pengaruh positif atau negatif
dari pertumbuhan penduduk tergantung pada kemampuan sistem perekonomian
daerah dalam menyerap dan memanfaatkan pertambahan tenaga kerja yang
dipengaruhi oleh tingkat akumulasi modal dan tersedianya input dan faktor
penunjang seperti kecakapan manajerial dan administrasi.
Menurut BPS (2010), penduduk usia kerja didefinisikan sebagai penduduk
berumur 15 tahun ke atas, dibedakan angkatan kerja dan bukan angkatan kerja.
Angkatan kerja dikatakan bekerja bila mereka melakukan pekerjaan dengan
maksud memperoleh atau membantu memperoleh pendapatan dan lamanya
bekerja paling sedikit satu jam secara kontinu selama seminggu yang lalu.
Sedangkan penduduk yang tidak bekerja tetapi sedang mencari pekerjaan disebut
menganggur. Jumlah tenaga kerja yang bekerja merupakan gambaran kondisi dari
lapangan kerja yang tersedia. Semakin bertambah besar lapangan kerja yang
tersedia maka akan meningkatkan total produksi di suatu daerah.
Kualitas sumber daya manusia dapat dilihat dari tingkat pendidikan,
merupakan komponen yang mewakili tingkat pendidikan penduduk. Teori Human Capital mengemukakan pentingnya tingkat pendidikan terhadap pertumbuhan ekonomi. Teori ini menjelaskan bahwa seseorang dapat meningkatkan
penghasilannya melalui jenjang pendidikan yang lebih tinggi. Selain penundaan
penerimaan penghasilan, orang yang melanjutkan pendidikan harus membayar
biaya. Namun, setelah tamat dari pendidikan yang ditempuhnya, sangat
diharapkan orang tersebut dapat mendapatkan penghasilan yang lebih tinggi dan
berjuang pada pertumbuhan ekonomi di daerahnya (Todaro, 2006).
Sedangkan angka harapan hidup (AHH) sering digunakan untuk
mengevaluasi kinerja pemerintah dalam hal meningkatkan kesejahteraan
penduduk di bidang kesehatan (BPS, 2008). Tingkat kesehatan yang rendah akan
berdampak pada produktivitas penduduk tidak maksimal. Harapan hidup yang
lebih lama akan meningkatkan pengembalian atas investasi dalam pendidikan
(Todaro, 2006). Tingkat pendidikan yang baik dibarengi dengan tingkat kesehatan
yang baik akan meningkatkan produktivitas tenaga kerja sehingga dapat
meningkatkan pertumbuhan ekonomi.
b. Belanja Modal
Pengeluaran pemerintah merupakan salah satu unsur permintaan
agregat.Konsep perhitungan pendapatan nasional dengan pendekatan pengeluaran
menyatakan bahwa Y = C + I + G + (X-M). Variabel Y melambangkan
pendapatan nasional, sekaligus mencerminkan penawaran agregat. Sedangkan
variabel-variabel diruas kanan disebut permintaan agragat. Variabel G
diketahui seberapa besar kontribusi pengeluaran pemerintah dalam pembentukan
permintaan agregat atau pendapatan nasional dan seberapa penting peranan
pemerintah dalam perekonomian nasional.
Pengeluaran pemerintah diukur dari total belanja rutin dan belanja modal
untuk pembangunan dari pemerintah daerah. Belanja modal (BM) terdiri dari
belanja modal tanah, peralatan dan mesin, gedung dan bangunan, serta jalan,
irigasi, dan jaringan. Alokasi belanja modal untuk pengembangan infrastruktur
penunjang perekonomian akan mendorong produktivitas penduduk yang dapat
meningkatkan pertumbuhan ekonomi daerah dan kesejahteraan penduduk.
c. Infrastruktur
Infrastruktur merupakan elemen penting bagi pertumbuhan ekonomi dan
perkembangan suatu daerah. Adanya fasilitas transportasi dapat membuka
keterisolasian suatu daerah sehingga dapat menggerakan perekonomian daerah
tersebut dengan lancarnya transaksi perdagangan ke daerah lain. Ketersediaan
listrik, air, dan telekomunikasi memungkinkan peningkatan produktivitas nilai
tambah bagi faktor-faktor produksi (Prahara, 2010).
2.4 Penelitian Terdahulu
Supriyantoro (2005) menganalisis ketimpangan pendapatan antar
kabupaten-kota di Provinsi Jawa Tengah. Periode penelitian ini adalah tahun
1993-2003. Metode yang digunakan yaitu indeks Williamson berdasarkan data
PDRB per kapita daerah yang dikelompokan berdasarkan pembagian sepuluh
Tabel 2.1 Indeks Ketimpangan Pendapatan di Provinsi Jawa Tengah Tahun 1993-
Hasil penelitian menunjukkan pada periode penelitian tingkat ketimpangan
pendapatan antar wilayah di Provinsi Jawa Tengah tergolong rendah yang dilihat
dari nilai CVw yang kecil. Namun, dari tahun ke tahun ketimpangan pendapatan
antarkabupaten-kota di Provinsi Jawa Tengah mengalami perkembangan yang
kurang baik karena nilai ketimpangan pendapatan antar wilayah tersebut
cenderung meningkat.
Fabia (2006) menganalisis dampak otonomi daerah terhadap kondisi
ketimpangan pendapatan antar kabupaten/kota di Pulau Sumatera. Periode tahun
penelitian ini adalah tahun 1995, tahun 2001, dan tahun 2004. Metode yang
digunakan yaitu analisis regresi linier sederhana dan regresi linier berganda
dengan PDRB per kapita tahun analisis sebagai variabel dependen dan PDRB per
kapita tahun dasar dan tingkat pendidikan sebagai variabel independen. Hasil
penelitian menunjukkan pendapatan antar kabupaten/kota di pulau Sumatera
cenderung konvergen. Hal ini dilihat dari nilai koefisien regresi lebih kecil dari
nol. Hasil uji menunjukkan otonomi daerah berpengaruh positif terhadap
antar kabupaten/kota di Pulau Sumatera. PDRB per kapita tahun dasar signifikan
mempengaruhi PDRB per kapita tahun analisis sedangkan tingkat pendidikan
tidak signifikan. Hal ini menunjukkan tingkat pendidikan kurang mempengaruhi
peningkatan konvergensi pada konvergensi bersyarat.
Satrio (2009) menganalisis ketimpangan pendapatan antar pulau di Negara
Indonesia. Periode penelitian ini adalah tahun 1996-2006. Metode yang digunakan
yaitu indeks Williamson, trend ketimpangan, analisis korelasi dan koefisien determinan. Hasil penelitian yaitu ketimpangan pendapatan antar pulau di
Indonesia tergolong taraf rendah dengan nilai indeks ketimpangan antara 0,210
sampai 0,261, yang berarti masih berada di bawah 0,35. Untuk ketimpangan
pendapatan yang terjadi di dalam setiap pulau berada pada ketimpangan taraf
tinggi untuk Pulau Sumatra, Jawa, Kalimantan, Maluku & Irian yaitu antara 0,521
sampai 0,996, pada Pulau Sulawesi taraf ketimpangannya rendah yaitu antara
0,050-0,109, sedangkan Pulau Bali taraf ketimpangannya sedang yaitu antara
0,379-0,498. Analisis trend ketimpangan pendapatan antar pulau menunjukkan trend yang menurun. Ketimpangan pendapatan menurut pulau juga menunjukkan trend yang menurun kecuali Pulau Jawa dan Sulawesi. Hasil analisis korelasi dan koefisien determinan menunjukkan bahwa hubungan pertumbuhan PDRB dengan
indeks ketimpangan pendapatan lemah dan besarnya kontribusi pertumbuhan
PDRB terhadap perubahan ketimpangan pendapatan kecil yaitu sebesar 14 persen.
2.5 Kerangka Pemikiran Konseptual
Kesenjangan ekonomi antar wilayah merupakan fenomena yang sering
kecenderungan kebijakan pembangunan yang bertumpu pada peningkatan
pertumbuhan ekonomi justru memperburuk kondisi kesenjangan ekonomi antar
wilayah di Provinsi Jawa Tengah. Besarnya kesenjangan ekonomi antar wilayah
di Provinsi Jawa tengah diukur menggunakan analisis indeks kesenjangan
regional Williamson. Dapat dilihat apakah kesenjangan ekonomi yang terjadi
semakin melebar atau berkurang serta masih dalam taraf rendah, sedang, atau
tinggi. Apabila kesenjangan masih dalam taraf tinggi, maka pemerintah harus
membuat kebijakan untuk mengurangi tingkat kesenjangan ekonomi tersebut.
Adanya kesenjangan ekonomi antar wilayah berarti terdapat daerah yang lebih
cepat tumbuh, tetapi terdapat daerah lain yang tumbuh lebih lambat. Oleh karena
itu, pemerintah perlu menyusun prioritas kebijakan pembangunan ekonomi bagi
daerah yang tertinggal. Langkah pertama yaitu mengidentifikasi
daerah-daerah tertinggal terlebih dahulu menggunakan alat analisis klassen Typology. Kemudian setelah diketahui daerah-daerah yang tertinggal, dilakukan analisis
faktor-faktor yang signifikan mempengaruhi laju pertumbuhan ekonomi di daerah
tertinggal. Faktor-faktor yang diduga kuat mempengaruhi adalah SDM, belanja
modal/pembangunan, dan infrastruktur. SDM dilihat dari jumlah angkatan kerja,
rata-rata lama sekolah (pendidikan), serta angka harapan hidup (kesehatan).
Belanja modal dilihat dari alokasi belanja daerah untuk pembangunan, Sedangkan
infratsruktur dilihat dari panjang jalan, dan penyaluran air bersih. Faktor-faktor
yang signifikan tersebut dapat dijadikan informasi bagi daerah tertinggal untuk
lebih meningkatkan laju pertumbuhan ekonominya mengejar ketertinggalan dari
meningkatkan laju pertumbuhan ekonomi di daerah-daerah tertinggal sehingga
tercipta pemerataan pendapatan ekonomi antar wilayah di Provinsi Jawa Tengah.
Gambar 2.2 Kerangka Pemikiran Konseptual
2.6 Hipotesis Penelitian
1. Pada tahap awal otonomi daerah, trendkesenjangan ekonomi antar wilayah di Provinsi Jawa Tengah meningkat terlebih dahulu, dan ketika pembangunan
daerah terus berlangsung maka trend kesenjangan ekonomi antar wilayah menurun.
2. Setelah otonomi daerah, semakin banyak wilayah yang bergeser ke daerah
maju.
3. Variabel-variabel yang dianalisis yakni jumlah tenaga kerja, rata-rata lama
sekolah, angka harapan hidup, belanja modal/pembangunan, panjang jalan,
dan penyaluran air secara signifikan berpengaruh positif terhadap laju
pertumbuhan ekonomi di daerah-daerah tertinggal Provinsi Jawa Tengah Kebijakan yang bertumpu pada aspek pertumbuhan
cenderung memperburuk kesenjangan ekonomi antar wilayah di Provinsi Jawa Tengah
Trend kesenjangan ekonomi antar wilayah
Klasifikasi daerah maju cepat tumbuh, maju tapi tertekan, berkembang cepat, dan daerah tertinggal
Faktor-faktor yang mempengaruhi laju pertumbuhan ekonomi di daerah tertinggal Indeks Williamson
Klassen Typology
Analisis Panel Data
BAB III METODE PENELITIAN
3.1 Jenis dan Sumber Data
Jenis data yang digunakan dalam penelitian ini adalah data sekunder
berupa kombinasi data time seriesdan cross sectiondari tahun 1998 sampai tahun 2010 yang mencakup 35 wilayah, terdiri dari 29 kabupaten dan 6 kota di Provinsi
Jawa Tengah. Data diperoleh dari Badan Pusat Statistik (BPS) Pusat dan BPS
Provinsi Jawa Tengah. Data sekunder yang digunakan adalah sebagai berikut.
Tabel 3.1 Jenis data dan Satuan yang Digunakan dalam Penelitian
Data Satuan
PDRB Per Kapita ADHK 2000 Rupiah
Jumlah penduduk Jiwa
Laju pertumbuhan PDRB Persen
Jumlah angkatan kerja Jiwa
Belanja daerah untuk modal/pembangunan Rupiah
Angka melek huruf Persen
Rata-rata lama sekolah Tahun
Angka harapan hidup Tahun
Panjang jalan Kilometer (km)
Penyaluran air bersih Meter3(m3)
3.2 Metode Analisis Data
3.2.1 Analisis TrendKesenjangan Ekonomi Antar Wilayah
Besarnya kesenjangan ekonomi antar wilayah di Provinsi Jawa Tengah
ditentukan menggunakan Indeks Williamson. Indeks Williamson merupakan salah
satu alat ukur untuk mengukur tingkat kesenjangan regional yang semula
dipergunakan oleh J. G. Williamson. Metode ini diperoleh dari perhitungan
pendapatan regional per kapita dan jumlah penduduk masing-masing wilayah.
Rumus dari Indeks Williamson adalah sebagai berikut:
Dimana:
CVw = Indeks Williamson
f
i = Jumlah penduduk kabupaten/kota ke-idi Provinsi Jawa Tengah (jiwa) f = Jumlah penduduk seluruh wilayah di Provinsi Tengah (jiwa)
Yi = PDRB per kapita kabupaten/kota ke-i di Provinsi Jawa Tengah (rupiah)
Y = PDRB per kapita rata-rata seluruh wilayah di Provinsi Jawa Tengah (rupiah)
Jika nilai indeks ketimpangan Williamson mendekati nol, menunjukan
kesenjangan ekonomi antar wilayah di Provinsi Jawa Tengah semakin kecil.
Sebaliknya semakin mendekati 1, menunjukkan kesenjangan ekonomi semakin
melebar. Kriteria untuk menentukan tingkat kesenjangan adalah sebagai berikut:
CVw < 0,35 = Kesenjangan taraf rendah
0,35 ≤ CVw ≤ 0,5 = Kesenjangan taraf sedang
CVw > 0,5 = Kesenjangan taraf tinggi
3.2.2 Analisis Klassen Typology
Alat analisis Klassen Typology digunakan untuk mengetahui gambaran tentang pola pertumbuhan ekonomi setiap daerah sehingga diketahui apakah
pelaksanaan pembangunan telah terjadi secara merata di seluruh wilayah atau
sebaliknya. Klassen Typology membagi daerah berdasarkan dua indikator utama, yaitu tingkat pertumbuhan ekonomi daerah dan pendapatan (PDRB) per kapita
daerah. Melalui analisis ini diperoleh empat klasifikasi daerah yang berbeda,
yaitu:
1. Daerah maju dan cepat tumbuh ( Kuadran I)
Merupakan wilayah yang mengalami tingkat pertumbuhan PDRB dan PDRB
per kapita lebih tinggi dari rata-rata seluruh wilayah di Provinsi Jawa Tengah.
2. Daerah maju tapi tertekan (Kuadran II)
Merupakan wilayah yang relatif maju karena PDRB per kapita daerah lebih
tinggi dari rata-rata seluruh wilayah di Provinsi Jawa Tengah. Tetapi dalam
beberapa tahun terakhir tingkat pertumbuhan PDRB daerah menurun, lebih
rendah dibanding rata-rata seluruh wilayah di Provinsi Jawa Tengah.
3. Daerah berkembang cepat (Kuadran III)
Merupakan wilayah yang memiliki tingkat pertumbuhan PDRB daerah tinggi,
namun PDRB per kapita daerahnya relatif rendah dibandingkan dengan
rata-rata seluruh wilayah di Provinsi Jawa Tengah.
4. Daerah relatif tertinggal (Kuadran IV)
Merupakan wilayah yang mempunyai tingkat pertumbuhan PDRB daerah dan
PDRB per kapita daerah yang berada dibawah rata-rata dari seluruh wilayah
di Provinsi Jawa Tengah. Tingkat kemakmuran masyarakat maupun tingkat
pertumbuhan ekonomi di wilayah ini masih relatif rendah.
Dimana:
Ri = laju pertumbuhan PDRB ADHK kabupaten/kota i di Provinsi Jawa Tengah
R = rata-rata laju pertumbuhan PDRB ADHK seluruh kabupaten/kota di
Provinsi Jawa Tengah
Yi = PDRB per kapita kabupaten/kota idi Provinsi Jawa Tengah
Y = rata-rata PDRB per kapita seluruh kabupaten/kota di Provinsi Jawa
Tengah
3.2.3 Faktor-faktor yang Mempengaruhi Laju Pertumbuhan Ekonomi di Daerah Tertinggal
Estimasi faktor-faktor yang mempengaruhi laju pertumbuhan ekonomi di
daerah tertinggal Provinsi Jawa Tengah dalam penelitian ini menggunakan alat
analisis panel data yang merupakan gabungan dari data time series (antar waktu) dan data cross section (antar individu). Beberapa keunggulan menggunakan pendekatan panel data dibandingkan dengan pendekatan standar cross sectiondan time series, yaitu :
1. Mampu mengontrol heterogenitas individu
2. Memberikan lebih banyak informasi, lebih bervariasi, mengurangi kolinearitas
antar variabel, meningkatkan degree of freedom, dan lebih efisien.
3. Mampu mngidentifikasi dan mengukur efek yang secara sederhana tidak dapat
diperoleh dari data cross sectiondan time series.
Terdapat tiga metode pada teknik estimasi model panel data, yaitu :
1. Pooled OLS
Metode pooled OLS merupakan suatu metode pengkombinasian sederhana antara data time series dan cross section, selanjutnya dilakukan estimasi model yang mendasar menggunakan OLS. Spesifikasikan model yaitu: Yit= α + Xit Dimana i adalah urutan kabupaten/kota yang diobservasi pada datacross section, t menunjukkan periode pada data time series. Namun, pada metode ini intersep dan koefisien setiap variabel sama untuk setiap kabuapten/kota yang diobservasi.
2. Fixed Effect Model
Masalah yang timbul pada penggunaan metode pooled OLS yaitu adanya asumsi bahwa intersep dan koefisien dari setiap variabel sama pada setiap
kabupaten/kota yang diobservasi. Untuk memperhitungkan individualitas dari
setiap unit cross section dapat dilakukan dengan cara menjadikan intersep berbeda pada tiap kabupaten/kota. Pada metode fixed effect ditambahkan variabel dummy untuk mengubah intersep, tetapi koefisien-koefisien lainnya tetap sama bagi setiap
kabupaten/kota yang diobservasi. Spesifikasikan model yaitu:
Yit= α + iXit+ 2W2t+ 3 W3t + ...+ NWNT+ 2Zi2+ 3Zi3+... + TZit+ it
Dimana Wit = 1 untuk kabupaten/kota ke-i, i = 2,…, N
0 untuk lainnya
Zit = 1 untuk kabupaten/kota ke-t, t = 2,…, T
0 untuk lainnya
Penambahan variabel dummy (N-1)+(T-1) dalam model menghasilkan kolienaritas yang sempurna di antara variabel-variabel penjelas. Koefisien dari
3. Random Effect Model
Terdapat masalah dalam fixed effect yaitu dengan dimasukannya dummy akan menyebabkan berkurangnya derajat bebas sehingga mengurangi efisiensi
parameter. Masalah ini dapat diatasi menggunakan model random effect yang dapat mengamati individual effect di semua unit observasi karena dilakukan dengan pengambilan sampel dari populasi. Dalam model ini individual effecttidak berkorelasi dengan regressor atau individual effect yang mempunyai pola acak sehingga pada model individual effectterpisah dengan error term.
Yit= αi + Xit+ Uit, dimana αi = α + τi sehingga model pertama menjadi
Yit= α + Xit+ Uit+ τi
Dari model tersebut diketahui random effectmempunyai galat kombinasi, yaitu : Wit= Uit+ τi , dimana τimerupakan errordari unobserved variable.
Metode analisis dalam random effect menggunakan Generalized Least Square (GLS) untuk mengendalikan keragaman error agar lebih homogen karena ragam error selalu berubah-ubah. Dengan metode ini model ditransformasi dengan
memberikan bobot pada data asli lalu menerapkan metode OLS pada model yang
telah ditransformasi. Penduga GLS lebih konsisten dan efisien daripada OLS.
3.3 Metode Pemilihan Model 3.3.1 Uji Chow
Uji Chow digunakan untuk menentukan model yang akan digunakan,
apakah lebih tepat dijelaskan oleh model Pooled OLS atau model Fixed effect. Hipotesis: H0: α1 =α2 = ...=αN (PLS)
Kriteria uji: Prob.chi-square statistc< taraf nyata (α), maka tolak H0
Prob.chi-square statistic> taraf nyata (α), maka terima H0
Jika tolak Ho berarti model yang layak digunakan adalah fixed effect. Sebaliknya jika terima H0 berarti pendekatan yang tepat adalah PLS.
3.3.2 Uji Hausman
Digunakan untuk memilih menggunakan fixed effectatau random effect. Hipotesis: H0: E (τi xit )= 0 (Random effect)
H1: E (τi xit ) ≠ 0 (Fixed effect)
Kriteria uji: Prob.chi-square statistic< taraf nyata (α), maka tolak H0
Prob.chi-square statistic> taraf nyata (α), maka terima H0
Jika tolak H0 berarti model yang layak digunakan adalah fixed effect.
Sebaliknya terima H0 berarti pendekatan yang tepat adalah Random effect.
Terdapat tiga metode pada teknik estimasi model menggunakan data panel, yaitu
Pooled Ordinary Least Square (PLS), fixed effect, dan random effect. Dari ketiga metode tersebut akan dipilih model terbaik yang menggunakan Chow test dan Hausman test.
3.4 Uji Statistik
3.4.1 Uji Koefisien Determinasi (R2)
Uji R2digunakan untuk melihat sejauh mana variabel independen (bebas)
mampu menerangkan keragaman variabel dependen (tak bebas). Semakin besar
R2 berarti semakin cocok garis regresi menggambarkan pola hubungan variabel
independen dan dependen. Nilai R2 berkisar antara 0 sampai dengan 1. Nilai R2
menjelaskan variasi variabel dependen amat terbatas. Sebaliknya, jika nilai R2
mendekati satu berarti variabel independen memberikan hampir semua informasi
yang dibutuhkan untuk memprediksi variasi variabel dependen. (Gujarati, 2003).
3.4.2 Pengujian Secara Serempak (Uji-F)
Uji F digunakan untuk mengetahui apakah semua variabel independen
yang digunakan dalam model regresi secara bersama-sama berpengaruh terhadap
variabel dependen, perlu dilakukan pengujian koefisien regresi secara serempak.
Hipotesis: H0: 1= 2= 3= 4= 5= 0
H1: minimal ada satu parameter dugaan ( i) yang tidak sama dengan 0
Kriteria uji: Probability (P-Value) < taraf nyata (α), maka tolak H0
Probability (P-Value) > taraf nyata (α), maka terima H0
Jika tolak H0 berarti minimal ada satu variabel independen yang
berpengaruh signifikan terhadap variabel dependen dan model dapat diterima.
3.4.3 Pengujian Signifikasi Individu (Uji t)
Uji-t digunakan untuk mengetahui pengaruh dari variabel independen
secara parsial terhadap variabel dependen dengan asumsi variabel yang lain
konstan.
Hipotesis:H0: i = 0 (variabel independen tidak mempengaruhi variabel dependen)
H1: i ≠ 0 (variabel independen mempengaruhi variabel dependen)
Kriteria uji: Probability (P-Value) < taraf nyata (α), maka tolak H0
Probability (P-Value) > taraf nyata (α), maka terima H0
Jika tolak H0 berarti variabel independen berpengaruh secara signifikan
terhadap variabel dependen. Sebaliknya jika terima H0berarti variabel independen
3.5 Uji Asumsi Klasik 3.5.1 Uji Normalitas
Dilakukan jika sampel kurang dari 30. Uji ini berguna untuk melihat error term terdistribusi secara normal. Uji ini disebut uji Jarque-bera.
Hipotesis: H0: error term terdistribusi normal
H1: error term tidak terdistribusi normal
Kriteria uji: Probability (P-Value) < taraf nyata (α), maka tolak H0
Probability (P-Value) > taraf nyata (α), maka terima H0
Jika tolak H0 maka persamaan tersebut tidak memiliki error term
terdistribusi normal. Sebaliknya jika terima H0maka persamaan tersebut memiliki
error term terdistribusi normal.
3.5.2 Uji Multikolinearitas
Adanya hubungan linier antarvariabel independen dalam suatu regresi
disebut dengan multikolinearitas. Jika dalam suatu model terdapat
multikolinearitas akan menyebabkan nilai R2 yang tinggi dan lebih banyak
variabel bebas yang tidak signifikan dari pada variabel bebas yang signifikan atau
bahkan tidak satupun (Gujarati, 2003). Masalah multikolinearitas dapat dilihat
3.5.3 Uji Heteroskedastisitas
Heteroskedasitas adalah keadaan dimana faktor gangguan tidak memiliki
varian yang sama (konstan). Adanya masalah heteroskedastisitas dalam model
menyebabkan model menjadi tidak efisien meskipun tidak bias dan konsisten.
Untuk mendeteksi adanya pelanggaran asumsi heteroskedastisitas digunakan uji
White Heteroscedasticity yang diperoleh dari program EViews. Data panel dalam EViews 6 yang menggunakan metode General Least Square (Cross Section Weights) maka untuk mendeteksi adanya heteroskedastisitas adalah dengan membandingkan Sum Square Residual pada Weighted statistics dengan Sum Square Residual pada Unweight statistics. Jika Sum Square Residual pada Weighted statistics < Sum Square Residual pada Unweight statistics maka terjadi heteroskedastisitas. Untuk mengatasi pelanggaran tersebut, bisa mengestimasi
GLS dengan White Heteroscedasticity.
3.5.4 Uji Autokorelasi
Autokorelasi adalah keadaan dimana terdapat korelasi antar residual.
Biasanya gejala autokorelasi terjadi dalam data time series. Uji autolorelasi yang paling sederhana adalah menggunakan uji Durbin-Watson (DW). Karena jumlah
variabel independen (k) 6 dan jumlah observasi (n) sebanyak 16, maka dU
bernilai 0,50 dan dL bernilai 2,39. Kriteria uji autokorelasi adalah sebagai berikut.
Tabel 3.3. Daerah Uji Statistik Durbin-Watson
Nilai statistik d Hasil
0 < d < 0,50 ada autokorelasi 0,50 ≤ d ≤ 1,61 tidak ada keputusan 1,61 ≤ d ≤ β,γ9 tidak ada autokorelasi 2,39 ≤ d ≤ γγ,5 tidak ada keputusan
3.6 Spesifikasi Model Penelitian
Secara matematis, hubungan antar variabel-variabel yang mempengaruhi
laju pertumbuhan ekonomi di daerah tertinggal di Provinsi Jawa Tengah
digambarkan dalam fungsi double log sebagai berikut:
Yit = α0 + α1 LnTKit+ α2LnRLSit+ α3LnAHHit+ α4LnBMit + α5LnJLNit+ α6 LnAIRit+ eit
Dimana:
Y = laju pertumbuhan ekonomi di daerah tertinggal Provinsi
Jawa Tengah
TK = jumlah tenaga kerja di daerah tertinggal Jawa Tengah
RLS = rata-rata lama sekolah di daerah tertinggal Jawa Tengah
AHH = angka harapan hidup di daerah tertinggal Jawa Tengah
BM = belanja modal/pembangunan di daerah tertinggal Jawa
Tengah
JLN = panjang jalan di daerah tertinggal Jawa Tengah
AIR = penyaluran air bersih di daerah tertinggal Jawa Tengah
α0 = intesrep
α1, α2, ... , α6 = koefisien regresi
e = residu
3.7 Definisi Operasional
1. PDRB adalah jumlah nilai barang dan jasa akhir yang dihasilkan oleh
2. Laju pertumbuhan ekonomi adalah PDRB tahun sekarang dikurangi PDRB
tahun lalu kemudian dibagi PDRB tahun lalu.
3. Tenaga kerja adalah penduduk yang masuk dalam usia kerja yaitu di atas
batas 15 tahun.
4. Rata-rata lama sekolah adalah perkiraan banyaknya tahun bagi seseorang
untuk mengenyam pendidikan.
5. Angka harapan hidup adalah perkiraan rata-rata banyaknya tahun yang
ditempuh oleh seseorang selama hidup.
6. Belanja modal adalah pengeluaran yang digunakan untuk pembelian/
pengadaan/pembangunan asset tetap berwujud yang nilai manfaatnya lebih
dari setahun dan atau pemakaian jasa dalam melaksanakan program dan
kegiatan pemerintah daerah.
7. Infrastruktur adalah segala sesuatu yang merupakan penunjang bagi
terselenggaranya pembangunan, misalnya panjang jalan dan kapasitas
BAB IV
GAMBARAN UMUM PROVINSI JAWA TENGAH
4.1 Kondisi Geografis
Jawa Tengah merupakan salah satu provinsi di Indonesia yang terletak di
tengah Pulau Jawa. Secara geografis, Provinsi Jawa Tengah terletak antara 5°40'
dan 8°30' Lintang Selatan dan antara 108°30' 111°30' Bujur Timur (termask Pulau
Karimunjawa). Provinsi ini berbatasan dengan Laut Jawa di sebelah utara,
Samudra Hindia dan D.I. Yogyakarta di sebelah selatan, Provinsi Jawa Barat di
sebelah barat, dan Provinsi Jawa Timur di sebelah timur. Luas wilayahnya tercatat
sebesar 3,25 juta hektar atau sekitar 25,04 persen dari luas Pulau Jawa dan 1,70
persen dari luas Indonesia.
Sumber : Wikipedia.com
4.2 Pemerintahan
Secara administratif Provinsi Jawa Tengah terbagi dalam 29 kabupaten
dan 6 kota yang terdiri atas 565 kecamatan, 764 kelurahan dan 7.804 desa.
Provinsi Jawa Tengah terbagi dalam 10 wilayah pembangunan. Berikut adalah
karakteristik dari setiap wilayah pembangunan.
Tabel.4.1 Pembagian Wilayah Pembangunan Provinsi Jawa Tengah Tahun 2010
Wilayah Pembangunan Kabupaten/Kota Luas Wilayah
(km2)
(terdapat 1 wilayah) Kabupaten Kebumen 1.282,74
Wilayah Pembangunan VI
(terdapat 1 wilayah) Kabupaten Banjarnegara 1.069,74
Wilayah Pembangunan IX
(terdapat 1 wilayah) Kabupaten Blora
1.794,40
Wilayah Pembangunan X (terdapat 4 wilayah)
Kabupaten Kudus 425,17
Kabupaten Pati 1.491,20
Kabupaten Jepara 1.004,16
Kabupaten Renbang 1.014,10
Sumber: BPS Jawa Tengah, 2010
Kabupaten yang memiliki wilayah terluas adalah Kabupaten Cilacap yaitu
sebesar 2.138,51 km2, sedangkan kabupaten yang memiliki luas wilayah terkecil
adalah Kabupaten Kudus sebesar 425,17 km2. Kota yang memiliki luas wilayah
terbesar yaitu Kota Semarang sebesar 373,67 km2, sedangkan kota yang memiliki
luas wilayah terkecil adalah Kota Magelang dengan luas 18,12 km2.
4.3 Kependudukan
Berdasarkan hasil Sensus Penduduk 2010, jumlah penduduk di Provinsi
Jawa Tengah tercatat sebesar 32.382.657 jiwa atau sekitar 14 persen dari jumlah
penduduk Indonesia. Jumlah tersebut menempatkan Jawa Tengah sebagai provinsi
ketiga di Indonesia dengan jumlah penduduk terbanyak setelah Jawa Barat dan
Jawa Timur. Penduduk Jawa Tengah belum menyebar secara merata di seluruh
wilayah Jawa Tengah. Umumnya penduduk terkonsentrasi di perkotaan dengan
dukungan aspek kegiatan ekonomi disertai sarana dan prasarana yang memadai.
Kawasan permukiman yang cukup padat berada di daerah Semarang Raya
(termasuk Ungaran dan sebagian wilayah Kabupaten Demak dan Kendal), Solo
Raya (termasuk sebagian wilayah Kabupaten Karanganyar, Sukoharjo, dan
Tengah tercatat sebesar 995 jiwa per km2. Wilayah terpadat adalah Kota Surakarta
dengan tingkat kepadatan sekitar 11.341 jiwa setiap km2.
Tabel 4.2 Jumlah Penduduk Provinsi Jawa Tengah Tahun 1998-2910 (Jiwa)
Tahun Penduduk
1998 30.385.499
1999 30.761.131
2000 30.775.846
2001 31.063.818
2002 31.651.875
2003 32.052.340
2004 32.397.431
2005 32.908.850
2006 32.177.730
2007 32.380.279
2008 32.626.390
2009 32.864.599
2010 32.382.657
Sumber: BPS 1998-2010
4.4 Ketenagakerjaan
Tenaga kerja yang terampil merupakan potensi sumberdaya manusia yang
sangat dibutuhkan dalam proses pembangunan. Menurut BPS, penduduk usia
kerja didefinisikan sebagai penduduk yang berumur 15 tahun ke atas, dan
dibedakan sebagi Angkatan Kerja dan Bukan Angkatan Kerja. Pertumbuhan
penduduk setiap tahunnya akan mempengaruhi pertumbuhan angkatan kerja.
Berdasarkan hasil Survei Angkatan Kerja Nasional (SAKERNAS), angkatan kerja
di Jawa Tengah tahun 2010 mencapai 16.856.330 jiwa atau turun sebesar 13
persen dibanding tahun sebelumnya. Tingkat partisispasi angkatan kerja penduduk
Jawa Tengah tercatat sebesar 70,60 persen. Sedangkan angka pengangguran
terbuka di Jawa Tengah relatif kecil, yaitu sebesar 6,21 persen. Dilihat dari
Tengah, sektor tersier merupakan sektor terbanyak menyerap pekerja sebesar
39,18 persen. Hal ini dikarenakan sektor tersebut tidak memerlukan pendidikan
khusus. Sektor lainnya, yaitu sektor primer dan sekunder, masing-masing
menyerap tenaga kerja sebesar 36,39 persen dan 24,43 persen.
4.5 Kondisi Sosial 4.5.1 Pendidikan
Penduduk yang bersekolah selama periode tahun pelajaran
2009/2010-2010/2011 mengalami penurunan. Hal ini dapat dilihat dari banyaknya murid
tercatat pada Dinas Pendidikan dan Kebudayaan Provinsi Jawa Tengah.
Penurunan murid ini terjadi pada jenjang pendidikan SD sebesar 1,86 persen dan
SLTP sebesar 1,09 persen. Sedangkan tingkat SLTA mengalami peningkatan
sebesar 3,17 persen. Penyediaan sarana fisik dan tenaga guru yang memadai
sangat diperlukan dalam menunjang pendidikan. Tahun 2010/2011 jumlah guru
SD turun sebesar 5,84 persen, SLTP menurun 0,56 persen, dan guru SLTA
menurun 0,44 persen. Banyaknya universitas/akademi pada tahun 2010/2011
tercatat sebanyak 244, terdiri dari 5 Perguruan Tinggi Negeri (PTN) dan 239
Perguruan Tinggi Swasta (PTS). Jumlah mahasiswa pada PTN naik sebesar 13,53
persen menjadi 137 ribu mahasiswa.
4.5.2 Kesehatan
Peningkatan status kesehatan dan gizi dalam suatu masyarakat sangat
penting dalam upaya peningkatan kualitas manusia dalam aspek lainnya, seperti
pendidikan dan produktivitas tenaga kerja. Tercapainya kualitas kesehatan dan
generasi berikutnya. Tersedianya fasilitas kesehatan yang memadai sangat
diperlukan dalam upaya peningkatan status kesehatan dan gizi masyarakat. Hal ini
akan terwujud bila adanya dukungan pemerintah dan swasta sekaligus.
Pada tahun 2010 untuk jumlah rumah sakit pemerintah sebanyak 60 buah,
sementara rumah sakit khusus dan rumah sakit umum swasta tahun 2010 tercatat
179 buah. Didukung oleh tersedianya Pusat Kesehatan Masyarakat (Puskesmas)
yang terdapat hampir di seluruh wilayah kecamatan. Terdapat sebanyak 864 buah
Puskesmas di Jawa Tengah. Fasilitas kesehatan lainnya adalah apotik, toko obat,
distributor obat tradisional yang tersebar di seluruh kabupaten/kota, merupakan
sarana penyedia obat yang mudah dijangkau masyarakat. Pada tahun 2010 di Jawa
Tengah terdapat 2.206 apotik, 297 toko obat dan 322 pedagang besar farmasi.
Menurut Dinas Kesehatan, diare merupakan penyakit tertentu yang banyak
diderita penduduk Jawa Tengah, tahun 2010 yakni sekitar 609,34 ribu kasus diare,
penyakit Demam Berdarah 20,08 ribu ,malaria 3,3 ribu dan HIV/Aids 846 jiwa.
4.6 Perekonomian
Pertumbuhan ekonomi dan penciptaan kesejahteraan masyarakat di
Provinsi Jawa Tengah merupakan tujuan dari pembangunan Jawa Tengah yang
terkait dengan visi Jawa Tengah yaitu menciptakan Jawa Tengah yang mandiri,
berdaya saing, sejahtera, berkelanjutan dan menjadi pilar pembangunan nasional
dilandasi oleh ketaqwaan terhadap Tuhan YME dalam wadah NKRI. Salah satu
indikator yang dapat digunakan untuk mengetahui kondisi perekonomian suatu
Tabel 4.3 PDRB dan Laju PDRB ADHK Provinsi Jawa Tengah Tahun 1998-2010
Tahun PDRB (Juta Rupiah) Laju PDRB (Persen)
1998 38.065.273 -11,74
Dilihat dari sektor perekonomian dengan klasifikasi 9 sektor, ada tiga
sektor yang mempunyai porsi terbesar dalam PDRB Jawa Tengah, yaitu sektor
industri pengolahan, sektor perdagangan, hotel dan restoran dan sektor pertanian
serta sektor jasa-jasa. Sektor lain seperti sektor bangunan, sektor pengangkutan,
sektor keuangan, listrik dan sektor pertambangan tidak begitu dominan.
Tabel 4.4 PDRB ADHK Jawa Tengah Menurut Lapangan Usaha Tahun 2010
Sektor PDRB ( Miliar Rupiah)
Pertanian 34.956
Pertambangan dan Pengglian 2.091
Industri Pengolahan 61.390
Listrik, Gas dan Air Minum 1.615
Bangunan 11.051
Perdagangan, Hotel dan Restoran 40.055
Pengangkutan dan Komunikasi 9.806
Keuangan, Persewaan dan Jasa Perusahaan 7.038
Jasa-jasa 19.030
PDRB Total 186.995
Sumber BPS, 2010
Tabel 4.5 menunjukkan penggolongan daerah menurut empat sektor
migas). Dari tabel tersebut terlihat bahwa 19 kabupaten di Jawa Tengah masih
didominasi sektor pertanian. Terlihat bahwa sektor pertanian masih menjadi
sektor yang penting di sebagian besar daerah meskipun bukan sebagai porsi
terbesar dari PDRB provinsi. Beberapa kabupaten mengandalkan sektor
perdagangan dan industri dan untuk daerah perkotaan pada umumnya
mengandalkan sektor perdagangan dan sektor jasa. Hal ini karena daerah
perkotaan lahan pertanian sudah berkurang dan lebih mengandalkan sektor
nonpertanian. Kota Semarang, Pekalongan, Tegal dan Surakarta didominasi oleh
sektor perdagangan. Sedangkan sektor jasa-jasa lebih dominan di Kota Salatiga
dan Kota Magelang.
Tabel 4.5 Penggolongan Daerah menurut Sektor yang Dominan Tahun 2007
Sektor Kabupaten/Kota Jumlah
Pertanian Kab. Banyumas, Kab. Purbalingga, Kab. Banjarnegara, Kab. Kebumen, Kab.
Purworejo, Kab. Wonosobo, Kab. Magelang, Kab. Magelang, Kab. Boyolali, Kab.
Wonogiri, Kab. Sragen, Kab. Grobogan, Kab. Blora, Kab. Rembang, kab. Pati, Kab. Demak, Kab. Temanggung, Kab. Batang, Kab.
Pemalang, Kab. Brebes
19 Kabupaten
Industri Kab. Sukoharjo, Kab. Karanganyar, Kab. Kudus, Kab.Jepara, Kab. Semarang, Kab. Kendal, Kab. Pekalongan
7 Kabupaten
Perdagangan Kab. Klaten, Kab. Cilacap, Kab. Tegal, Kota Surakarta, Kota Semarang, Kota Pekalongan, Kota Tegal
3 kabupaten dan 4 kota
5.1Trend Kesenjangan Ekonomi Antar Kesenjangan ekonomi
Williamson yang kemudian
hasil perhitungan, pada masa
Williamson di Provinsi Jawa
Hal ini menunjukkan tingkat
sebelum otonomi daerah tergolong
Sumber: BPS (diolah)
Keterangan: Dihitung dengan data
Gambar 5.1 TrendKesenjangan Ekonomi Anta Tahun 1998
Pada Januari 2001
pemerintah daerah berwenang
tujuan pelayanan masyarakat
masing. Pada awal pelaksanaan
Kesenjangan Ekonomi Antar Wilayah di Provinsi Jawa Tengah ekonomi antar wilayah dapat ditentukan menggunakan
kemudian dikenal dengan CV Williamson (CVw). Berdasarkan
pada masa sebelum otonomi daerah (1998-2000) nilai
Provinsi Jawa Tengah berada pada kisaran antara 0,6219
menunjukkan tingkat kesenjangan ekonomi antar wilayah di Jawa
i daerah tergolong tinggi karena nilai CVw melebihi batas 0,5.
rangan: Dihitung dengan data PDRB per kapita ADHK
Kesenjangan Ekonomi Antar Wilayah di Provinsi Jawa Tengah Tahun 1998-2010
Januari 2001 pemerintah mulai menerapkan otonomi daerah
daerah berwenang menentukan arah kebijakannya sendiri
masyarakat dan memajukan perekonomian daerah
pelaksanaan otonomi daerah, trendnilai kesenjangan Provinsi Jawa Tengah meningkat dahulu hingga tahun 2003.
2000 2001 2002 2003 2004 2005 2006 2007 2008 2009
Tahun
r Wilayah di Provinsi Jawa Tengah
ini disebabkan oleh perbedaan kesiapandari masing-masing wilayah dalam
menghadapi otonomi daerah.Kesempatan dan peluang pembangunan yang ada
dimanfaatkan oleh daerah-daerah yang kondisi pembangunannya sudah lebih
baik. Sedangkan daerah yang masih tertinggal, kurang mampu memanfaatkan
peluang ini karena keterbatasan sarana dan prasarana serta rendahnya kualitas
SDM. Pertumbuhan ekonomi lebih cepat di daerah dengan kondisi yang lebih
baik, sedangkan daerah yang terbelakang tidak banyak mengalami kemajuan
sehingga kesenjangan ekonomi antar wilayah cenderung meningkat.
Pada tahun 2004, pelaksanaan otonomi daerah sudah mulai berjalan secara
efektif ditandai dengan peningkatan pertumbuhan ekonomi yang tinggi hampir di
seluruh kabupaten/kota di Provinsi Jawa Tengah. Peningkatan ini diikuti dengan
semakin menurunnya nilai indeks kesenjangan ekonomi antar wilayah di Provinsi
Jawa Tengah. Hal ini dikarenakan pelaksanaan pembangunan terus berlanjut di
seluruh kabupaten dan kota di Provinsi Jawa Tengah dimana arah pembangunan
tersebut telah disesuaikan dengan kepentingan dan potensi daerah masing-masing.
Sehingga setiap daerah umumnya telah dalam kondisi yang lebih baik dari segi
sarana dan prasarana serta kualitas sumber daya manusia. Dalam kondisi
demikian, setiap kesempatan dan peluang pembangunan dapat dimanfaatkan
secara lebih merata di seluruh wilayah Provinsi Jawa Tengah. Akibatnya, proses
pembangunan dapat mengurangi tingkat kesenjangan ekonomi antar wilayah di
Provinsi Jawa Tengah. Walaupun nilai kesenjangan ekonomi tersebut
berangsur-angsur menurun, namuntingkat kesenjangan ekonomi antar wilayah di Provinsi
Jawa Tengah masih tergolong dalam kategorikesenjangan taraf tinggi karena