• Tidak ada hasil yang ditemukan

KONDISI KESENJANGAN EKONOMI ANTAR WILAYAH DAN IMPLIKASI KEBIJAKANNYA TERHADAP KEBIJAKAN PEMBANGUNAN DI PROVINSI JAWA TENGAH

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "KONDISI KESENJANGAN EKONOMI ANTAR WILAYAH DAN IMPLIKASI KEBIJAKANNYA TERHADAP KEBIJAKAN PEMBANGUNAN DI PROVINSI JAWA TENGAH"

Copied!
92
0
0

Teks penuh

(1)

KONDISI KESENJANGAN EKONOMI ANTAR WILAYAH

DAN IMPLIKASI KEBIJAKANNYA TERHADAP KEBIJAKAN

PEMBANGUNAN DI PROVINSI JAWA TENGAH

OLEH

PUSPA RATIH ANGGRAENI H14080130

DEPARTEMEN ILMU EKONOMI

FAKULTAS EKONOMI DAN MANAJEMEN

INSTITUT PERTANIAN BOGOR

2012

(2)

RINGKASAN

PUSPA RATIH ANGGRAENI. H14080130. Kondisi Kesenjangan Ekonomi Antar Wilayah dan Implikasi Kebijakannya Terhadap Kebijakan Pembangunan di Provinsi Jawa Tengah (dibimbing oleh Manuntun Parulian Hutagaol).

Kesenjangan ekonomi antar wilayah merupakan masalah klasik di Indonesia. Pada masa Orde Baru, strategi kebijakan pembangunan ekonomi Indonesia diarahkan untuk pencapaian pertumbuhan ekonomi yang tinggi, namun pemerintah kurang memperhatikan tercapainya pemerataan hasil pembangunan di seluruh wilayah sehingga terdapat kecenderungan kebijakan pembangunan yang dirancang untuk meningkatkan pertumbuhan ekonomi justru memperburuk kondisi kesenjangan ekonomi antar wilayah di Indonesia. Oleh karena itu, masalah kesenjangan ekonomi antar wilayah telah menjadi pembahasan utama dalam penetapan kebijakan pembangunan di Indonesia sejak puluhan tahun lalu. Salah satu upaya pemerintah untuk mengatasi kesenjangan ekonomi antar wilayah di Indonesia adalah kebijakan otonomi daerah yang berdampak positif bagi pertumbuhan ekonomi, khususnya di Provinsi Jawa Tengah. Namun, peningkatan pertumbuhan ekonomi tersebut tidak merata di seluruh wilayah sehingga menimbulkan gap antara wilayah yang memiliki PDRB per kapita tertinggi dan terendah, dimana Kabupaten Kudus memiliki PDRB per kapita tujuh kali lipat lebih tinggi dari PDRB per kapita Kabupaten Grobogan. Adanya gap tersebut mengindikasikan masih terjadi kesenjangan ekonomi antar wilayah di Provinsi Jawa Tengah.

Dalam rangka mengurangi kesenjangan ekonomi antar wilayah di Provinsi Jawa Tengah, pemahaman pertama yang perlu ditelaah adalah mengenai kondisi kesenjangan ekonomi antar wilayah di Provinsi Jawa Tengah apakah semakin melebar atau berkurang, serta kesenjangan yang terjadi masih dalam taraf rendah, sedang, atau tinggi. Adanya kesenjangan ekonomi antar wilayah berarti terdapat beberapa daerah yang cepat tumbuh, namun terdapat daerah lain yang tertinggal karena mengalami pertumbuhan ekonomi lambat. Oleh karena itu, pemerintah harus menyusun prioritas kebijakan untuk lebih memajukan perekonomian di daerah tertinggal. Langkah pertama yang perlu dilakukan adalah mengidentifikasi wilayah yang tergolong daerah tertinggal. Setelah diketahui daerah tertinggal, dilakukan analisis faktor-faktor yang mempengaruhi laju pertumbuhan ekonomi di daerah tertinggal Provinsi Jawa Tengah. Perhatian difokuskan pada daerah yang tertinggal supaya daerah ini mampu meningkatkan laju pertumbuhan ekonominya dalam rangka mengejar ketertinggalan dari daerah maju. Sehingga kesenjangan ekonomi antar wilayah di Provinsi Jawa Tengah dapat dikurangi.

Tujuan dari penelitian ini adalah: 1) menganalisis trend kesenjangan ekonomi antar wilayah di Provinsi Jawa Tengah; 2) menganalisis klasifikasi wilayah di Provinsi Jawa Tengah untuk mengidentifikasi wilayah yang masuk dalam kategori daerah tertinggal; 3) mengestimasi faktor-faktor yang signifikan mempengaruhi laju pertumbuhan ekonomi di daerah tertinggal Provinsi Jawa Tengah; dan 4) merumuskan implikasi kebijakan untuk meningkatkan laju pertumbuhan ekonomi di daerah tertinggal Provinsi Jawa Tengah. Penelitian ini menggunakan data sekunder yang berasal dari Badan Pusat Statistik (BPS) pusat

(3)

dan Provinsi Jawa Tengah. Penelitian ini menggunakan metode penelitian kuantitatif, yakni tujuan 1 diukur dengan menggunakan Indeks Kesenjangan Williamson, tujuan 2 diukur dengan menggunakan analisis Klassen Typology, dan tujuan 3 diukur dengan menggunakan analisis panel data.

Hasil penelitian ini menunjukan trend kesenjangan ekonomi antar wilayah di Provinsi Jawa Tengah pada masa sebelum otonomi daerah cenderung meningkat hingga tahun 2000. Pada tahap awal pelaksanaan otonomi daerah tahun 2001, trend kesenjangan ekonomi antar wilayah meningkat terlebih dahulu hingga tahun 2003. Setelah tahun 2004, trend kesenjangan ekonomi antar wilayah di Provinsi Jawa Tengah berangsur-angsur menurun tetapi masih dalam taraf tinggi. Menurut analisis Klassen Typology, setelah pelaksanaan otonomi daerah jumlah wilayah yang terolong daerah maju dan cepat tumbuh bertambah dari empat wilayah menjadi delapan wilayah. Namun, wilayah yang masuk dalam kategori daerah relatif tertinggal masih banyak yaitu enam belas wilayah.

Berdasarkan analisis panel data, variabel yang berdampak positif secara signifikan mempengaruhi laju pertumbuhan ekonomi di daerah tertinggal Provinsi Jawa Tengah yaitu rata-rata lama sekolah, angka harapan hidup, dan panjang jalan. Dari ketiga variabel yang signifikan dapat dikelompokan menjadi dua faktor yaitu sumber daya manusia (SDM) dan infrastruktur. Namun, terdapat tiga variabel yang tidak berpengaruh secara signifikan terhadap laju pertumbuhan ekonomi di daerah tertinggal Provinsi Jawa Tengah yaitu jumlah tenaga kerja, belanja modal/pembangunan dan penyaluran air bersih.

Implikasi kebijakan yang dapat dibuat dan dilaksanakan oleh pemerintah dalam rangka meningkatkan laju pertumbuhan ekonomi daerah tertinggal Provinsi Jawa Tengah yaitu peningkatan kualitas SDM dan infrastruktur. Peningkatan kualitas SDM dilakukan dengan meningkatkan kualitas pendidikan dan kesehatan. Peningkatan kualitas pendidikan dapat dilakukan melalui penambahan jumlah guru dengan memberikan insentif bagi guru yang bersedia mengajar di daerah tertinggal, melakukan perbaikan sarana dan prasarana pendidikan seperti gedung-gedung sekolah, perpustakaan sekolah maupun perpustakaan umum di daerah, serta menambah bantuan belajar bagi murid seperti beasiswa.

Peningkatan kualitas kesehatan dapat dilakukan dengan pemberian kemudahan akses terhadap pelayanan kesehatan serta ketersediaan fasilitas kesehatan yang memadai berupa puskesmas, rumah sakit atau fasilitas kesehatan lain seperti apotik, toko obat, distributor obat tradisional yang tersebar di seluruh daerah tertinggal. Peningkatan kualitas kesehatan juga dapat dilakukan dengan penambahan jumlah dokter dengan memberikan insentif bagi dokter yang bersedia bekerja di daerah tertinggal Provinsi Jawa Tengah. Selain SDM, pemerintah perlu meningkatkan kualitas infrastruktur, terutama pembangunan jalan yang menghubungkan antar wilayah. Hal ini dapat dilakukan dengan perbaikan jalan yang rusak. Dapat juga dilakukan perpanjangan jalan di daerah tertinggal untuk memperlancar kegiatan perekonomian di daerah tersebut.

(4)

KONDISI KESENJANGAN EKONOMI ANTAR WILAYAH

DAN IMPLIKASI KEBIJAKANNYA TERHADAP KEBIJAKAN

PEMBANGUNAN DI PROVINSI JAWA TENGAH

Oleh

PUSPA RATIH ANGGRAENI H14080130

Skripsi

Sebagai salah satu syarat memperoleh gelar Sarjana Ekonomi pada Departemen Ilmu Ekonomi

DEPARTEMEN ILMU EKONOMI

FAKULTAS EKONOMI DAN MANAJEMEN

INSTITUT PERTANIAN BOGOR

2012

(5)

INSTITUT PERTANIAN BOGOR FAKULTAS EKONOMI DAN MANAJEMEN

DEPARTEMEN ILMU EKONOMI Dengan ini menyatakan bahwa skripsi yang disusun oleh, Nama Mahasiswa : Puspa Ratih Anggraeni Nomor Registrasi Pokok : H14080130

Program Studi : Ilmu Ekonomi

Judul Skripsi : Kondisi Kesenjangan Ekonomi Antar Wilayah dan Implikasi Kebijakannya Terhadap Kebijakan Pembangunan di Provinsi Jawa Tengah

dapat diterima sebagai syarat untuk memperoleh gelar Sarjana Ekonomi pada Departemen Ilmu Ekonomi, Fakultas Ekonomi dan Manajemen, Institut Pertanian Bogor

Menyetujui, Dosen Pembimbing,

Manuntun Parulian Hutagaol, Ph.D NIP. 195709041983031005

Mengetahui,

Ketua Departemen Ilmu Ekonomi,

Dedi Budiman Hakim, Ph.D NIP. 196410221989031003

(6)

PERNYATAAN

DENGAN INI SAYA MENYATAKAN BAHWA SKRIPSI INI ADALAH BENAR-BENAR HASIL KARYA SAYA SENDIRI YANG BELUM PERNAH DIGUNAKAN SEBAGAI SKRIPSI ATAU KARYA ILMIAH PADA PERGURUAN TINGGI ATAU LEMBAGA MANAPUN.

Bogor, Juni 2012

Puspa Ratih Anggraeni H14080130

(7)

RIWAYAT HIDUP

Penulis bernama Puspa Ratih Anggraeni lahir pada tanggal 10 Juli 1990 di Kabupaten Purbalingga, Provinsi Jawa Tengah. Penulis adalah anak kedua dari tiga bersaudara, dari pasangan Tofik dengan Rachmawati. Jenjang pendidikan penulis diawali dengan memasuki Taman Kanak-kanak Pertiwi pada tahun 1995 hingga 1996 di Kabupaten Purbalingga, Jawa Tengah. Kemudian dilanjutkan ke SDN 4 Kertanegara pada tahun 1996 hingga 2002. Pada tahun 2002 penulis melanjutkan ke SMP N 1 Bobotsari dan lulus pada tahun 2005. Pada tahun 2005 penulis diterima di SMAN 1 Bobotsari dan lulus pada tahun 2008. Penulis masuk Institut Pertanian Bogor melalui program SNMPTN dan diterima menjadi mahasiswa Departemen Ilmu Ekonomi Fakultas Ekonomi dan Manajemen pada tahun 2008.

Selama menjadi mahasiswa, penulis aktif menadi staff Sumber Daya Insani di Sharia Economics Student Club (SES-C) FEM IPB. Penulis sering terlibat dalam kepanitiaan seperti Indonesian Economic Festifal (2009), Seminar Politik Ceria (2010), Orange Fakultas Ekonomi dan Manajemen (2010), Sharia Economics at Seminar, Expo, and Campaign 6 (2010), dan Journalistic and Blogging Training (2011). Penulis berkesempatan menerima beasiswa PPA pada tahun 2009-2012.

(8)

KATA PENGANTAR

Segala puji bagi Allah Tuhan Semesta alam, pujian yang memenuhi seluruh nikmat-Nya bagi keagungan kekuasaan-Nya. Atas anugrah-Nya penulis dapat menyelesaikan pembuatan skripsi penelitian dengan judul “Kondisi Kesenjangan Ekonomi Antar Wilayah dan Implikasi Kebijakannya Terhadap Kebijakan Pembangunan di Provinsi Jawa Tengah”. Skripsi ini merupakan salah satu syarat untuk memperoleh gelar Sarjana Ekonomi pada Departemen Ilmu Ekonomi, Fakultas Ekonomi dan Manajemen, Institut Pertanian Bogor.

Pada kesempatan kali ini penulis mengucapkan terimakasih yang sebesar-besarnya kepada berbagai pihak yang telah memberikan kontribusi dalam penyelesaian skripsi ini, diantaranya:

1. Kedua orang tua penulis yaitu Tofik dan Rachmawati, kakak penulis yaitu Dimas Rangga Hadi Saputra, serta adik penulis yaitu Noviana Setyowati atas doa, semangat dan dukungan baik moril maupun materil.

2. Manuntun Parulian Hutagaol, Ph. D selaku dosen pembimbing yang telah meluangkan waktu untuk memberikan bimbingan baik secara teknis maupun teoritis dalam penyempurnaan skripsi ini.

3. Dr. Ir. Yeti Lis Purnamadewi, M. Sc. Agr selaku dosen penguji utama yang telah memberikan kritik dan saran demi perbaikan skripsi ini.

4. Deniey Adi Purwanto, M. SE selaku dosen penguji komisi pendidikan atas berbagai perbaikan dalam penyempurnaan skripsi ini.

5. Teman satu bimbingan skripsi yaitu Soulma Arum Mardiana, Fitri Karlinda, dan Aries Romario Sitinjak.

6. Sahabat terbaik saya yaitu Astary Pradipta Hadiputri atas dukungannya.

7. Teman-teman Ilmu Ekonomi 45 atas kebersamaan yang indah serta dukungannya.

8. Semua pihak yang telah membantu penulis dalam menyelesaikan skripsi ini yang tidak dapat penulis sebutkan satu per satu.

(9)

Semoga skripsi ini dapat bermanfaat bagi penulis dan pihak lain yang membutuhkan.

Bogor, Juni 2012

Puspa Ratih Anggraeni H14080130

(10)

DAFTAR ISI

Halaman

DAFTAR TABEL ... i

DAFTAR GAMBAR ... iii

DAFTAR LAMPIRAN ... iv I. PENDAHULUAN ... 1 1.1 Latar Belakang ... 1 1.2 Perumusan Masalah ... 4 1.3 Tujuan Penelitian ... 8 1.4 Manfaat Penelitian ... 9

1.5 Ruang Lingkup Penelitian ... 9

II. TINJAUAN PUSTAKA DAN KERANGKA PEMIKIRAN ... 10

2.1 Kesenjangan Ekonomi Antarwilayah ... 10

2.2 Indikator Kesenjangan Ekonomi Antar Wilayah ... 12

2.3 Strategi Mengatasi Kesenjangan Ekonomi Antar Wilayah ... 13

2.3.1 Klassen Typology ... 14

2.3.2 Faktor-faktor yang Mempengaruhi Pertumbuhan Ekonomi ... 15

2.4 Penelitian Terdahulu ... 19

2.5 Kerangka Pemikiran Konseptual ... 21

2.6 Hipotesis Penelitian ... 23

III. METODE PENELITIAN ... 24

3.1 Jenis dan Sumer Data ... 24

3.2 Metode Pengolahan dan Analisis Data... 24

3.2.1 Analisis Trend Kesenjangan Ekonomi Antar Wilayah ... 24

3.2.2 Analisis Klassen Typology ... 25

3.2.3 Faktor-faktor yang Mempengaruhi Laju Pertumbuhan Ekonomi di Daerah Tertinggal ... 27

3.3 Metode Pemilihan Model ... 29

3.3.1 Uji Chow ... 29

3.3.2 Uji Hausman ...30

3.4 Uji Statistik ... 30

(11)

3.4.2 Pengujian Secara Serempak (Uji F) ... 31

3.4.3 Pengujian Signifikasi Individu (Uji t) ... 31

3.5 Uji Asumsi Klasik ... 32

3.5.1 Uji Normalitas ... 32

3.5.2 Uji Multikolinearitas ... 32

3.5.3 Uji Heteroskedastisitas ... 33

3.5.4 Uji Autokorelasi ... 33

3.6 Spesifikasi Model Penelitian ... 34

3.7 Definisi Operasional ... 34

IV. GAMBARAN UMUM ... 36

4.1 Kondisi Geografis ... 36 4.2 Pemerintahan ... 37 4.3 Kependudukan ... 38 4.4 Ketenagakerjaan ... 39 4.5 Kondisi Sosial ... 40 4.5.1 Pendidikan ... 40 4.5.2 Kesehatan ... 40 4.6 Perekonomian ... 41

V. HASIL DAN PEMBAHASAN ... 44

5.1 Trend Kesenjangan Ekonomi Antar Wilayah Provinsi Jawa Tengah ... 44

5.2 Klasifikasi Wilayah di Provinsi Jawa Tengah ... 46

5.3 Faktor-faktor yang Mempengaruhi Laju Pertumbuhan Ekonomi di Daerah Tertinggal di Provinsi Jawa Tengah ... 51

5.4 Implikasi Kebijakan ... 56

5.4.2 Peningkatan Kualitas SDM ... 56

5.4.3 Peningkatan kualias Infrastruktur ... 59

VI. KESIMPULAN DAN SARAN ... 60

6.1 Kesimpulan ... 60

6.2 Saran ... 60

DAFTAR PUSTAKA ... 62

(12)

DAFTAR TABEL

Nomor Halaman

1. PDRB ADHK Jawa dan Luar Jawa di Indonesia Tahun 2009 dan 2010... 3

2. Laju Pertumbuhan PDRB dan PDRB Per Kapita di Jawa Tengah ... 6

3. Indeks Ketimpangan Pendapatan di Provinsi Jawa Tengah Tahun 1993-2003 ... 20

4. Jenis data dan Satuan yang Digunakan dalam Penelitian ... 24

5. Klasifikasi Daerah Berdasarkan Klassen Typology... 26

6. Daerah Uji Statistik Durbin-Watson ... 33

7. Pembagian Wilayah Pembangunan Provinsi Jawa Tengah Tahun 2010... 37

8. Jumlah Penduduk Provinsi Jawa Tengah Tahun 1998-2010... 39

9. PDRB dan Laju PDRB ADHK Provinsi Jawa Tengah Tahun 1998-2010.... 42

10. PDRB ADHK Jawa Tengah Menurut Lapangan Usaha Tahun 2010... 42

11. Penggolongan Daerah menurut Sektor yang Dominan Tahun 2007... 43

12. Klasifikasi Kabupaten/Kota di Provinsi Jawa Tengah menurut Klassen Typology Tahun 1998 dan 2010 ... 48

13. Hasil Uji Chow Faktor-faktor yang Mempengaruhi Laju Pertumbuhan Ekonomi di Daerah Tertinggal Provinsi Jawa Tengah ... 51

14. Hasil Uji Hausman Faktor-faktor yang Mempengaruhi Laju Pertumbuhan Ekonomi di Daerah Tertinggal Provinsi Jawa Tengah... 51

15. Hasil Estimasi Regresi Panel Data dengan Pendekatan Fixed Effect dengan Pembobotan dan White Cross Section ... 54

16. Perkembangan Rata-rata Lama Sekolah di Daerah Tertinggal Provinsi Jawa Tengah Tahun 2001-2010 ... 56

17. Perbandingan Jumlah Guru, Murid, Rasio Murid Terhadap Guru di Provinsi Jawa Tengah Tahun 2010 ... 57

18. Perkembangan Angka Harapan Hidup di Daerah Tertinggal Provinsi Jawa Tengah Tahun 2001-2010 ... 58

(13)

19. Perbandingan Jumlah Dokter dan Dokter Per Puskesmas di Provinsi

Jawa Tengah Tahun 2010 ... 58 20. Panjang Jalan Menurut Kondisi di Daerah Tertinggal Provinsi Jawa

(14)

DAFTAR GAMBAR

Nomor Halaman

1. Nilai IMH Antar Kawasan di Indonesia Tahun 1980 dan 1985... 3

2. Kurva U terbalik ... 12

3. Kerangka Pemikiran Konseptual ... 23

4. Peta Provinsi Jawa Tengah ... 36

5. Trend Kesenjangan Ekonomi Antar Wilayah di Provinsi Jawa Tengah Tahun 1998-2010 ... 41

(15)

DAFTAR LAMPIRAN

Nomor Halaman

1. PDRB Per Kapita ADHK 2000 Antar Wilayah di Provinsi Jawa

Tengah Tahun 1998-2003... 64 2. PDRB Per Kapita ADHK 2000 Antar Wilayah di Provinsi Jawa

Tengah Tahun 2004-2010... 66 3. Jumlah Penduduk Antar Wilayah di Provinsi Jawa Tengah

Tahun 1998-2004 ... 68 4. Jumlah Penduduk Antar Wilayah di Provinsi Jawa Tengah

Tahun 2005-2010 ... 70 5. Penghitungan Indeks Kesenjangan Ekonomi Antar Wilayah

di Provinsi Jawa Tengah Tahun 1998-2010 ... 72 6. Matriks Korelasi Pearson Antar Variabel Independen ... 73 7. Uji Normalitas ... 73 8. Faktor-faktor yang Mempengaruhi Laju Pertumbuhan Ekonomi

di Daerah Tertinggal Pendekatan Fixed Effect dengan Cross Section

Weight dan White Heteroskedasticity ... 74 9. Faktor-faktor yang Mempengaruhi Laju Pertumbuhan Ekonomi di

Daerah Tertinggal Pendekatan PLS ... 75 10. Faktor-faktor yang Mempengaruhi Laju Pertumbuhan Ekonomi di

(16)

1.1 Latar Belakang

Kesenjangan ekonomi antar wilayah merupakan fenomena global yang sering terjadi di negara berkembang, termasuk di Indonesia. Bahkan masalah kesenjangan ekonomi ini telah menjadi pembahasan utama dalam penetapan kebijakan pembangunan ekonomi di negara berkembang sejak puluhan tahun lalu. Perhatian ini timbul karena ada kecenderungan bahwa kebijakan pembangunan yang dirancang untuk meningkatkan pertumbuhan ekonomi justru memperburuk kondisi kesenjangan ekonomi antar wilayah dalam suatu negara.

Secara teoritik, masalah kesenjangan ekonomi tersebut dapat dijelaskan menggunakan hipotesis Neoklasik. Dari teori ini, muncul sebuah prediksi tentang hubungan antara tingkat pembangunan suatu negara dengan tingkat kesenjangan ekonomi antar wilayah. Menurut Bort (1960) dalam model analisisnya dengan menggunakan teori Neoklasik menunjukkan pada proses awal pembangunan suatu negara, kesenjangan ekonomi antar wilayah cenderung melebar (divergen). Hal ini disebabkan mobilitas faktor produksi (modal dan tenaga kerja) kurang berjalan lancar sehingga terkonsentrasi di daerah yang maju. Bila proses pembangunan terus berlanjut, dengan semakin baiknya infrastruktur maka mobilitas faktor produksi akan semakin lancar sehingga kesenjangan ekonomi antar wilayah akan berkurang (convergen). Dapat disimpulkan sementara, pada wilayah berkembang umumnya kesenjangan ekonomi antar wilayah cenderung lebih tinggi, sedangkan wilayah maju kesenjangannya akan menjadi lebih rendah. Kondisi tersebut dapat digambarkan dalam kurva yang membentuk U terbalik (Sjafrizal, 2008).

(17)

Hipotesis Neoklasik tersebut, kemudian diuji kebenarannya oleh Williamson (1966) melalui studi tentang kesenjangan regional pada negara maju dan negara sedang berkembang menggunakan data time series dan cross section. Ukuran kesenjangan yang digunakan adalah Indeks Williamson. Hasil penelitiannya menunjukkan hipotesis Neoklasik yang diformulasikan secara teoritis terbukti benar secara empirik. Ini berarti proses pembangunan suatu negara tidak otomatis menurunkan kesenjangan ekonomi antar wilayah, tetapi pada tahap awal justru terjadi peningkatan kesenjangan (Sjafrizal, 2008).

Seperti di negara berkembang, kesenjangan ekonomi antar wilayah juga terjadi di Indonesia. Kesenjangan ini berkaitan dengan strategi pembangunan Indonesia yang bertumpu pada aspek pertumbuhan ekonomi sejak masa orde baru. Sasaran pembangunan diarahkan untuk pencapaian pertumbuhan ekonomi tinggi, namun tidak memperhatikan pemerataan pembangunan ekonomi di seluruh wilayah Indonesia. Walaupun aspek pemerataan sempat mendapatkan perhatian ketika urutan prioritas trilogi pembangunan diubah dari pertumbuhan, pemerataan, dan stabilitas pada Pelita II (1974-1979) menjadi pemerataaan, pertumbuhan, dan stabilitas dari pada Pelita III (1979-1984), namun inti tumpuan pembangunan Indonesia tetap saja pertumbuhan (growth bukan equity). Dalam praktiknya, pemerintah hanya menetapkan target tingkat pertumbuhan yang hendak dicapai, namun tidak menetapkan target mengenai tingkat kemerataan. (Dumairy, 1996).

Kesenjangan ekonomi di Indonesia terjadi dalam berbagai dimensi, diantaranya kesenjangan antar kawasan, dimana kualitas hidup di Kawasan Barat dan Tengah Indonesia lebih baik dibandingkan Kawasan Timur Indonesia. Berdasarkan gambar 1.1 Indeks Mutu Hidup (IMH) Kawasan Barat dan Tengah

(18)

Indonesia lebih tinggi dari nilai IMH Indonesia, sedangkan nilai IMH Kawasan Timur Indonesia lebih rendah dari nilai IMH Indonesia.

Sumber: BPS, 1990

Gambar 1.1 Nilai IMH Antar Kawasan di Indonesia Tahun 1980 dan 1985 Kesenjangan ekonomi di Ind

Jawa. Ini tampak nyata berkenaan dengan implementasi kebijakan pembangunan ekonomi di Indonesia yang cenderung Jawa sentris. Aktivitas ekonomi lebih terpusat di Pulau Jawa sehingga beberapa wilayah di Pulau Jawa men

pertumbuhan ekonomi yang lebih cepat dibanding wilayah lain di luar Jawa. Pulau Jawa memiliki kontribusi yang tinggi sebesar 61 persen terhadap Produk Domestik Bruto (PDB) Indonesia. Hal ini dapat memicu arus perpindahan tenaga kerja terampil dari luar Jawa ke Jawa. Meskipun PDRB di Pulau Jawa menjadi tinggi, namun akan timbul masalah seperti bertambahnya pengangguran, muncul kawasan kumuh, dan meningkatnya angka kriminalitas.

Tabel 1.1 PDRB ADHK Jawa dan Luar Jawa di Indonesia Tahun 2009 dan 2010 (Juta Rupiah) Wilayah Jawa Luar Jawa Indonesia Sumber: BPS, 2010 0 10 20 30 40 50 60 70 80 1980 IM H

Indonesia lebih tinggi dari nilai IMH Indonesia, sedangkan nilai IMH Kawasan Timur Indonesia lebih rendah dari nilai IMH Indonesia.

Gambar 1.1 Nilai IMH Antar Kawasan di Indonesia Tahun 1980 dan 1985

Kesenjangan ekonomi di Indonesia juga terjadi antara Jawa dan Luar Jawa. Ini tampak nyata berkenaan dengan implementasi kebijakan pembangunan ekonomi di Indonesia yang cenderung Jawa sentris. Aktivitas ekonomi lebih terpusat di Pulau Jawa sehingga beberapa wilayah di Pulau Jawa men

pertumbuhan ekonomi yang lebih cepat dibanding wilayah lain di luar Jawa. Pulau Jawa memiliki kontribusi yang tinggi sebesar 61 persen terhadap Produk Domestik Bruto (PDB) Indonesia. Hal ini dapat memicu arus perpindahan tenaga uar Jawa ke Jawa. Meskipun PDRB di Pulau Jawa menjadi tinggi, namun akan timbul masalah seperti bertambahnya pengangguran, muncul kawasan kumuh, dan meningkatnya angka kriminalitas.

Tabel 1.1 PDRB ADHK Jawa dan Luar Jawa di Indonesia Tahun 2009 dan 2010

2009 2010 1.356.252.622 1.275.913.846 865.351.236 818.402.440 2.221.603.860 2.094.316.286 1985 Tahun

Kawasan Barat Indonesia Kawasan Tengah Indonesia Kawasan Timur Indonesia Indonesia

Indonesia lebih tinggi dari nilai IMH Indonesia, sedangkan nilai IMH Kawasan

onesia juga terjadi antara Jawa dan Luar Jawa. Ini tampak nyata berkenaan dengan implementasi kebijakan pembangunan ekonomi di Indonesia yang cenderung Jawa sentris. Aktivitas ekonomi lebih terpusat di Pulau Jawa sehingga beberapa wilayah di Pulau Jawa mengalami pertumbuhan ekonomi yang lebih cepat dibanding wilayah lain di luar Jawa. Pulau Jawa memiliki kontribusi yang tinggi sebesar 61 persen terhadap Produk Domestik Bruto (PDB) Indonesia. Hal ini dapat memicu arus perpindahan tenaga uar Jawa ke Jawa. Meskipun PDRB di Pulau Jawa menjadi tinggi, namun akan timbul masalah seperti bertambahnya pengangguran, muncul

Tabel 1.1 PDRB ADHK Jawa dan Luar Jawa di Indonesia Tahun 2009 dan 2010 2010

1.275.913.846 818.402.440 2.094.316.286

Kawasan Barat Indonesia Kawasan Tengah Indonesia Kawasan Timur Indonesia

(19)

Ketidakmerataan kesejahteraan di Indonesia tersebut, dapat menimbulkan kecemburuan sosial yang memicu terjadinya konflik dan kerawanan disintegrasi antar wilayah. Bila dibiarkan terus menerus dapat menyebabkan ketidakstabilan perekonomian Indonesia. Oleh karena itu, kesenjangan ekonomi antar wilayah harus mendapatkan penanganan dari pemerintah. Setidaknya harus dicari cara mengurangi kesenjangan ekonomi antar wilayah sampai pada taraf rendah karena kesenjangan ekonomi itu sendiri tidak dapat dihilangkan secara sekaligus.

1.2 Perumusan Masalah

Kesenjangan ekonomi antar wilayah merupakan masalah klasik di Indonesia. Permasalahan ini menjadi tantangan bagi pelaksanaan pembangunan nasional. Proses pembangunan ekonomi yang berjalan tidak merata di seluruh wilayah Indonesia dapat menimbulkan permasalahan sosisal dan ekonomi yang menganggu kestabilan perekonomian negara.

Pemerintah telah melakukan upaya untuk mengatasi masalah kesenjangan ekonomi antar wilayah di Indonesia sejak pemerintahan Orde Baru. Pada program Pelita II (1974-1979), pembangunan difokuskan pada pembangunan berimbang antardaerah. Kebijakan yang dikeluarkan antara lain program Inpres berupa bantuan pembangunan, pendirian Bappenas, dan pembentukan Bappeda Tingkat I pada tahun 1974. Pada Pelita III (1979-1984), pemerintah mengganti urutan prioritas pembangunan yang pertama menjadi pemerataan, oleh karena itu pemerintah lebih meningkatakan program Inpres yang sudah dijalankan sebelumnya, membentuk lembaga-lembaga pembangunan desa, serta pendidiran Bappeda Tingkat II pada tahun 1980. Kemudian pada Pelita VI (1994-1999),

(20)

pembangunan ekonomi di Indonesia dititikberatkan pada pembangunan desa terbelakang. Kebijakan yang dikeluarkan adalah program Inpres Desa Tertinggal (IDT) dengan tujuan pemerataan pembangunan dan hasil-hasilnya di seluruh daerah Indonesia.

Upaya pemerintah tersebut ternyata kurang efektif dalam mengurangi kesenjangan ekonomi antar wilayah di Indonesia. Berbagai kebijakan pembangunan diputuskan secara terpusat dengan instrumen utama Garis-garis Besar Haluan Negara (GBHN) dan Rencana Pembangunan Lima Tahun (Repelita). Sentralisasi pengambilan keputusan pada pemerintah pusat ini justru memperbesar inefisiensi karena banyak program pembangunan daerah yang dilakukan tidak sesuai dengan potensi dan kepentingan daerah yang bersangkutan.

Pada era Reformasi pemerintah menetapkan kebijakan otonomi daerah yang diharapkan efektif mengurangi kesenjangan ekonomi antar wilayah di Indonesia. Tujuan kebijakan otonomi daerah adalah memberikan ruang bagi pemerintah pusat untuk fokus pada kebijakan makro strategis. Sedangkan pemerintah daerah ditantang untuk meningkatkan kemandirian sehingga mampu menyelesaikan berbagai permasalahan yang dihadapi daerah. Pemerintah daerah beserta masyarakat lokal lebih mengetahui potensi dan kebutuhan daerahnya masing-masing. Sehingga pelaksanaan otonomi daerah dapat menghasilkan kebijakan pembangunan daerah yang efektif di seluruh wilayah Indonesia.

Pelaksanaan otonomi daerah menunjukkan dampak yang positif bagi pertumbuhan ekonomi di Indonesia, khususnya di Provinsi Jawa Tengah. Hal ini dapat dilihat dari peningkatan laju PDRB dan PDRB per kapita yang cukup tinggi di seluruh wilayah Provinsi Jawa Tengah setelah pelaksanaan otonomi daerah.

(21)

Tabel 1.2 Laju Pertumbuhan PDRB dan PDRB Per Kapita Provinsi Jawa Tengah Kabupaten/Kota Laju Pertumbuhan PDRB

(Persen) PDRB Per Kapita(Rupiah)

1998 2010 1998 2010 Kab.Cilacap -5,20 5,65 1.312.744 7.915.518 Kab.Banyumas -6,80 5,77 701.319 2.994.244 Kab.Purbalingga -8,27 5,95 772.048 2.975.283 Kab.Banjarnegara -4,15 4,89 1.016.178 3.324.296 Kab.Kebumen -13,03 4,15 749.777 2.539.670 Kab.Purworejo -6,49 5,01 922.476 4.337.763 Kab.Wonosobo -9,37 4,46 740.991 2.502.120 Kab.Magelang -3,14 4,51 956.704 3.483.379 Kab.Boyolali -9,51 3,59 1.009.232 4.565.187 Kab.Klaten -11,35 1,73 1.035.396 4.285.881 Kab.Sukoharjo -11,23 4,65 1.458.601 6.039.837 Kab.Wonogiri -4,67 3,14 756.054 3.221.855 Kab.Karanganyar -11,29 7,40 1.484.226 6.704.946 Kab.Sragen -9,10 6,06 781.799 3.575.655 Kab.Grobogan -9,74 5,04 569.012 2.485.984 Kab.Blora -5,16 5,19 819.407 2.549.473 Kab.Rembang -9,56 4,45 841.869 3.862.232 Kab.Pati -4,02 5,11 839.078 3.845.406 Kab.Kudus -11,79 4,33 4.354.798 16.271.812 Kab.Jepara -0,03 4,52 1.036.906 3.891.674 Kab.Demak -10,52 4,12 764.890 2.861.766 Kab.Semarang -17,79 4,90 1.196.885 5.974.417 Kab.Temanggung -10,57 4,31 1.020.047 3.400.465 Kab.Kendal -9,29 7,43 1.746.668 5.990.100 Kab.Batang -10,17 4,97 1.108.922 3.342.675 Kab.Pekalongan -8,66 4,27 1.114.130 3.851.979 Kab.Pemalang -1,63 4,94 846.519 2.739.687 Kab.Tegal -9,02 4,63 646.710 2.600.442 Kab.Brebes -2,28 4,94 748.051 3.176.366 Kota Magelang -7,29 6,12 2.383.047 9.376.907 Kota Surakarta -13,93 5,94 2.342.395 10.221.325 Kota Salatiga -1,51 5,01 2.318.184 5.360.237 Kota Semarang -1,82 6,52 3.381.894 13.731.386 Kota Pekalongan -8,13 6,12 1.094.877 7.415.998 Kota Tegal -6,12 4,58 1.019.231 5.348.637 Sumber: BPS, 1998-2010

(22)

Namun, permasalahannya adalah peningkatan PDRB per kapita tersebut tidak merata di seluruh wilayah Provinsi Jawa Tengah sehingga pada tahun 2010 terdapat adanya gap antara wilayah yang memiliki PDRB per kapita tertinggi yaitu Kabupaten Kudus sebesar 16.271.812 rupiah daengan wilayah memiliki PDRB per kapita terendah yaitu Kabupaten Grobogan sebesar 2.485.984 rupiah sehingga Kabupaten Kudus memiliki PDRB per kapita tujuh kali lipat lebih tinggi dari PDRB per kapita di Kabupaten Grobogan. Adanya gap tersebut mengindikasikan kesenjangan ekonomi antar wilayah masih terjadi di Provinsi Jawa Tengah. Sehingga perlu adanya upaya untuk mengatasi masalah kesenjangan ekonomi antar wilayah di Provinsi Jawa Tengah.

Pemahaman pertama yang perlu ditelaah yaitu bagaimana kondisi kesenjangan ekonomi antar wilayah di Provinsi Jawa Tengah apakah semakin melebar atau berkurang, serta tingkat kesenjangannya apakah masih tergolong rendah, sedang, atau tinggi. Apabila tingkat kesenjangannya masih tinggi, maka pemerintah harus membuat kebijakan untuk menguranginya. Terjadinya kesenjangan ekonomi antar wilayah berarti terdapat beberapa daerah yang lebih cepat tumbuh, sementara di sisi lain terdapat daerah yang masih tertinggal karena mengalami pertumbuhan ekonomi yang lambat. Oleh karena itu dalam rangka mengurangi kesenjangan ekonomi antar wilayah, pemerintah harus menyusun prioritas kebijakan pembangunan ekonomi bagi daerah-daerah yang tertinggal.

Langkah pertama yang perlu dilakukan adalah mengidentifikasi wilayah yang tergolong daerah tertinggal. Setelah diketahui daerah tertinggal, dilakukan analisis faktor-faktor yang mampu meningkatkan laju pertumbuhan ekonominya dalam rangka mengejar ketertinggalan daerah maju. Sehingga kesenjangan

(23)

ekonomi antar wilayah di Provinsi Jawa Tengah dapat dikurangi. Beberapa faktor yang nampaknya berpengaruh terhadap laju pertumbuhan ekonomi adalah sumber daya manusia (SDM), belanja modal/pembangunan, dan infrastruktur.

Berdasarkan pada penjelasan sebelumnya, seperti yang ada pada latar belakang dan perumusan masalah, dapat dirumuskan beberapa masalah yang ingin dikaji dalam penelitian ini, yaitu:

1. Bagaimana trend kesenjangan ekonomi antar wilayah yang terjadi di Provinsi Jawa Tengah?

2. Bagaimana klasifikasi wilayah di Provinsi Jawa Tengah untuk mengidentifikasi daerah-daerah yang tertinggal?

3. Faktor apa saja yang signifikan mempengaruhi laju pertumbuhan ekonomi di daerah tertinggal Provinsi Jawa Tengah?

4. Bagaimana implikasi kebijakan untuk meningkatkan laju pertumbuhan ekonomi di daerah tertinggal Provinsi Jawa Tengah?

1.3 Tujuan Penelitian

1. Menganalisis trend kesenjangan ekonomi antar wilayah di Provinsi Jawa Tengah.

2. Menganalisis klasifikasi wilayah di Provinsi Jawa Tengah untuk mengidentifikasi wilayah yang masuk dalam kategori daerah tertinggal.

3. Mengestimasi faktor-faktor yang signifikan mempengaruhi laju pertumbuhan ekonomi di daerah tertinggal di Provinsi Jawa Tengah.

4. Merumuskan implikasi kebijakan untuk meningkatkan laju pertumbuhan ekonomi di daerah tertinggal Provinsi Jawa Tengah?

(24)

1.4 Manfaat Penelitian

1. Memberi informasi kepada pemerintah daerah mengenai:

a. Gambaran kondisi kesenjangan ekonomi antar wilayah di Provinsi Jawa Tengah sehingga dapat membantu memberikan alternatif pemecahan masalah apakah setiap wilayah memerlukan penangan yang sama atau tidak dalam meningkatkan kesejahteraan masyarakat.

b. Gambaran klasifikasi wilayah di Provinsi Jawa Tengah dan faktor-faktor yang mempengaruhi laju pertumbuhan ekonomi di daerah tertinggal dapat menjadi acuan bagi pemerintah daerah dalam membuat kebijakan yang tepat untuk memacu laju pertumbuhan ekonomi di daerah tertinggal.

2. Dapat menambah perbendaharaan penelitian yang telah ada serta dapat dijadikan sebagai bahan acuan bagi pengembangan penelitian selanjutnya.

1.5 Ruang Lingkup Penelitian

Penelitian ini menganalisis kondisi kesenjangan ekonomi antar wilayah dan implikasi kebijakannya terhadap kebijakan pembangunan di Provinsi Jawa Tengah. Hal yang dibahas adalah khusus kesenjangan dari sudut ekonomi antar wilayah. Oleh karena itu, kesenjangan sosial tidak tercakup dalam penelitian ini. Untuk faktor-faktor yang mempengaruhi laju pertumbuhan ekonomi hanya difokuskan di daerah-daerah yang tertinggal saja karena daerah ini mempunyai pendapatan per kapita dan laju pertumbuhan ekonomi yang lebih rendah dibandingkan daerah lain di Provinsi Jawa Tengah sehingga perlu untuk diprioritaskan.

(25)

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA DAN KERANGKA PEMIKIRAN

2.1 Kesenjangan Ekonomi Antar Wilayah

Sjafrizal (2008) menyatakan kesenjangan ekonomi antar wilayah merupakan aspek yang umum terjadi dalam kegiatan pembangunan ekonomi suatu negara. Terdapat kecenderungan bahwa kebijakan pembangunan yang dirancang untuk meningkatkan pertumbuhan ekonomi justru memperburuk kondisi kesenjangan ekonomi antar wilayah. Kesenjangan ekonomi antar wilayah sering menjadi permasalahan serius karena beberapa daerah dapat mencapai pertumbuhan ekonomi cepat, sementara beberapa daerah lain mengalami pertumbuhan lambat. Hal ini dapat memicu migrasi penduduk dari wilayah terbelakang ke wilayah maju sehingga timbul permasalahan sosial ekonomi di wilayah maju. Selain itu, kemajuan perekonomian yang tidak sama di setiap wilayah dapat menimbulkan kecemburuan sosial yang memicu terjadinya konflik antar wilayah. Apabila dibiarkan semakin parah, dapat mengganggu kestabilan perekonomian negara

Secara teoritik, permasalahan kesenjangan ekonomi antar wilayah dapat dijelaskan menggunakan Hipotesis Neoklasik. Penganut Hipotesis Neoklasik menyatakan pada permulaan proses pembangunan suatu negara, kesenjangan ekonomi antar wilayah cenderung meningkat. Proses ini akan terjadi sampai kesenjangan tersebut mencapai titik puncak. Bila proses pembangunan berlanjut, maka secara berangsur-angsur kesenjangan ekonomi antar wilayah akan menurun. Hal tersebut dikarenakan pada waktu proses pembangunan baru dimulai di NSB, peluang pembangunan yang ada umumnya dimanfaatkan oleh daerah-daerah yang

(26)

kondisi pembangunan sudah lebih baik. Sedang daerah yang tertinggal tidak mampu memanfaatkan peluang ini karena keterbatasan sarana dan prasarana serta rendahnya kualitas SDM. Karena pertumbuhan ekonomi lebih cepat di daerah dengan kondisinya lebih baik, sedangkan daerah yang terbelakang tidak banyak mengalami kemajuan maka kesenjangan ekonomi antar wilayah cenderung meningkat. Keadaan yang berbeda terjadi di negara maju dimana kondisi daerahnya umumnya dalam kondisi yang lebih baik dari segi sarana dan prasarana serta kualitas SDM. Dalam kondisi demikian, setiap peluang pembangunan dapat dimanfaatkan secara lebih merata antar daerah. Akibatnya, proses pembangunan pada negara maju akan mengurangi kesenjangan ekonomi antar wilayah.

Bort (1960) menjadi pelopor yang mendasarkan analisisnya pada teori ekonomi Neoklasik, menyebutkan bahwa pertumbuhan ekonomi suatu daerah sangat ditentukan oleh kemampuan daerah tersebut untuk meningkatkan kegiatan produksinya. Sedangkan kegiatan produksi pada suatu daerah tidak hanya ditentukan oleh potensi daerah yang bersangkutan, tetapi ditentukan pula oleh mobilitas tenaga kerja dan mobilitas modal antar daerah. Bort menyatakan pada awal pembangunan suatu negara, kesenjangan ekonomi antar wilayah cenderung meningkat. Hal ini disebabkan mobilitas faktor produksi (modal dan tenaga kerja) kurang berjalan lancar. Dampaknya modal dan tenaga kerja akan terkonsentrasi di daerah yang lebih maju sehingga kesenjangan ekonomi antar wilayah melebar (divergen). Bila pembangunan terus berlanjut, dengan semakin baiknya fasilitas maka mobilitas faktor produksi semakin lancar sehingga kesenjangan ekonomi antar wilayah akan berkurang (convergen). Kondisi tersebut dapat digambarkan dalam kurva kesenjangan ekonomi antar wilayah yang berbentuk U terbalik.

(27)

Kesenjangan ekonomi antar wilayah

Pembangunan nasional Sumber: Sjafrizal (2008)

Gambar 2.1 Kurva U terbalik

Kebenaran Hipotesis Neoklasik ini diuji kebenarannya oleh Jefrey G. Williamson pada tahun 1966 melalui studi tentang kesenjangan ekonomi antar wilayah pada negara maju dan negara sedang berkembang dengan menggunakan data time series dan cross section. Hasil penelitian tersebut menunjukkan bahwa Hipotesis Neoklasik yang diformulasikan secara teoritis ternyata terbukti benar secara empirik. Ini berarti bahwa proses pembangunan suatu negara tidak otomatis menurunkan kesenjangan ekonomi antar wilayah, tetapi pada tahap permulaan justru terjadi sebaliknya (Sjafrizal, 2008).

2.2 Indikator Kesenjangan Ekonomi Antar Wilayah

Tingkat kesenjangan ekonomi antar wilayah dapat diukur menggunakan perhitungan indeks ketimpangan regional Williamson. Istilah indeks Williamson muncul sebagai penghargaan kepada Jeffrey G. Williamson yang mula-mula menggunakan teknik ini untuk mengukur kesenjangan ekonomi antar wilayah pada negara maju dan negara sedang berkembang. Secara statistik, indeks Williamson ini adalah coefficient of variation yang biasa digunakan untuk mengukur perbedaan. Indeks ini menggunakan PDRB per kapita sebagai data

(28)

dasar karena yang diperbandingkan adalah tingkat pembangunan antar wilayah dan bukan tingkat kemakmuran antar kelompok. Hal yang dipersoalkan bukan antara kelompok kaya dan miskin, tetapi antara daerah maju dan terbelakang.

Dari indeks Williamson dapat diketahui kesenjangan ekonomi antar wilayah yang terjadi semakin melebar atau berkurang. Jika semakin tinggi nilai indeks Williamson, berarti kesenjangan ekonomi antar wilayah semakin besar, dan sebaliknya. Batasan untuk tingkat kesenjangan ekonomi antar wilayah, yaitu: CVw < 0,35 = Kesenjangan taraf rendah

0,35 ≤ CVw ≤ 0,5 = Kesenjangan taraf sedang CVw > 0,5 = Kesenjangan taraf tinggi

Apabila kesenjangan ekonomi antar wilayah dalam suatu negara masih tergolong dalam kesenjangan taraf tinggi, maka harus segera dicari solusi untuk mengurangi tingkat kesenjangan ekonomi tersebutkarena apabila kesenjangan ekonomi antar wilayah dibiarkan semakin tinggi, dapat menimbulkan konsekuensi sosial, ekonomi, dan politik yang mengancam rasa persatuan dan kesatuan bangsa, bahkan dapat mengganggu kestabilan perekonomian negara.

2.3 Strategi Mengatasi Kesenjangan Ekonomi Antar Wilayah

Adanya indikasi kesenjangan ekonomi antar wilayah menandakan terdapat beberapa daerah yang lebih cepat tumbuh, sedangkan beberapa daerah lain mengalami pertumbuhan ekonomi lambat. Dalam rangka mengurangi kesenjangan ekonomi antar wilayah tersebut, maka pemerintah dapat menyusun prioritas untuk lebih membangun daerah-daerah yang tertinggal. Oleh karena itu perlu adanya identifikasi wilayah mana saja yang masuk dalam kategori daerah yang tertinggal.

(29)

Setelah diketahui daerah-daerah tertinggal. Kemudian dilakukan analisis faktor-faktor yang mampu memacu laju pertumbuhan ekonomi di daerah tertinggal tersebut. Sehingga pemerintah dapat membuat kebijakan yang tepat untuk memajukan perekonomian daerah-daerah yang tertinggal tanpa menghambat pertumbuhan ekonomi daerah-daerah yang sudah maju. Sehingga kesenjangan ekonomi antar wilayah dapat dikurangi.

2.3.1 Klassen Typology

Identifikasi wilayah dapat dilakukan menggunakan alat analisis Klassen Typology yang membagi daerah berdasarkan dua indikator utama, yaitu tingkat pertumbuhan ekonomi daerah dan pendapatan (PDRB) per kapita daerah. Melalui analisis ini diperoleh empat karateristik daerah yang berbeda, yaitu:

1. Daerah cepat maju dan cepat tumbuh (high growth and high income)

Merupakan daerah yang mengalami tingkat pertumbuhan ekonomi dan pendapatan per kapita yang lebih tinggi dari rata-rata seluruh daerah. Pada dasarnya, daerah-daerah tersebut merupakan daerah yang paling maju, baik dari segi tingkat pembangunan maupun kecepatan pertumbuhan. Pada umumnya daerah tersebut mempunyai potensi pembangunan yang sangat besar dan telah dimanfaatkan secara baik untuk kemakmuran masyarakat.

2. Daerah maju tapi tertekan (high income but low growth)

Merupakan daerah-daerah yang memiliki pendapatan per kapita tinggi, tetapi dalam beberapa tahun terakhir tingkat pertumbuhan ekonomi daerahnya menurun. Walaupun wilayah ini telah maju tetapi di masa mendatang diperkirakan pertumbuhannya tidak akan begitu cepat.

(30)

3. Daerah berkembang cepat (high growth but low income)

Merupakan daerah yang memiliki potensi pengembangan yang sangat besar tetapi masih belum diolah dengan baik. Walaupun tingkat pertumbuhan ekonominya sangat tinggi, namun tingkat pendapatan per kapita yang mencerminkan tahap pembangunan yang telah dicapai masih relatif rendah dibandingkan dengan daerah-daerah lain. Wilayah ini diperkirakan akan mampu berkembang dengan pesat untuk mengejar ketertinggalannya dari daerah maju. 4. Daerah relatif tertinggal (low growth and low income)

Merupakan daerah yang mempunyai tingkat pertumbuhan ekonomi daerah dan pendapatan per kapita daerah yang berada di bawah rata-rata. Ini artinya, baik tingkat kemakmuran masyarakat maupun tingkat pertumbuhan ekonomi di daerah ini masih rendah. (Sjafrizal, 1997).

Setelah dilakukan analisis Klassen Typologi dapat diidentifikasi wilayah mana saja yang tergolong daerah tertinggal. Wilayah tersebut harus mendapat perhatian dan penanganan khusus dari pemerintah dalam penetapan kebijakan pembangunan ekonomi sehingga daerah tertinggal dapat mengejar ketertinggalan dari daerah maju. Perlu juga dilakukan monitoring dan evaluasi pelaksanaan pembangunan supaya kesenjangan ekonomi antar wilayah tidak semakin melebar.

2.3.2 Faktor-faktor yang Mempengaruhi Pertumbuhan Ekonomi

Todaro (2006), mendefinisikan pertumbuhan ekonomi sebagai suatu proses peningkatan kapasitas produktif dalam suatu perekonomian secara terus-menerus sepanjang waktu sehingga menghasilkan tingkat pendapatan dan output nasional yang semakin lama semakin besar.

(31)

Model pertumbuhan Neoklasik Solow berpegang pada konsep skala hasil yang terus berkurang (diminishing return) dari input tenaga kerja dan modal jika keduanya dianalisis secara terpisah, sedangkan jika keduanya dianalisis secara bersamaan atau sekaligus, Solow memakai asumsi skala hasil tetap (constant return to scale). Kemajuan teknologi ditetapkan sebagai faktor residu untuk menjelaskan pertumbuhan ekonomi dalam jangka panjang, dan tinggi rendahnya pertumbuhan itu sendiri oleh Solow diasumsikan bersifat eksogen yang dipengaruhi oleh berbagai macam faktor. Model pertumbuhan Neoklasik Solow menggunakan fungsi produksi agregat standar, yakni :

Y = AeμtKα L1-α

Dimana Y adalah produk domestik bruto, K adalah stok modal fisik dan modal manusia, L adalah tenaga kerja non terampil, A adalah suatu konstanta yang merefleksikan tingkat teknologi dasar, sedangkan eμ melambangkan konstanta tingkat

kemajuan teknologi. Adapun simbol α melambangkan elastisitas output terhadap modal (atau persentase kenaikan GDP yang bersumber dari 1 persen penambahan modal fisik dan modal manusia). Hal itu biasanya dihitung secara statistik sebagai pangsa modal dalam total pendapatan nasional suatu negara. Karena α diasumsikan kurang dari 1 dan modal swasta diasumsikan dibayar berdasarkan produk marjinalnya sehingga tidak ada ekonomi eksternal, maka formulasi teori pertumbuhan Neoklasik ini memunculkan skala hasil modal dan tenaga kerja yang terus berkurang (diminishing returns). Menurut model pertumbuhan ini, pertumbuhan output selalu bersumber dari satu atau lebih dari tiga faktor yaitu kenaikan kuantitas dan kualitas tenaga kerja (melalui pertumbuhan jumlah penduduk dan perbaikan pendidikan), penambahan modal (melalui tabungan dan investasi), serta penyempurnaan teknologi (Todaro, 2006).

(32)

Bebrapa faktor yang diduga mempengaruhi laju pertumbuhan ekonomi, antar lain:

a. Sumber Daya Manusia

Input sumber daya manusia (SDM) merupakan faktor terpenting bagi keberhasilan perekonomian. Menurut Todaro (2006), pertumbuhan penduduk dan pertumbuhan angkatan kerja secara tradisional dianggap sebagai salah satu faktor positif yang memacu pertumbuhan ekonomi. Jumlah tenaga kerja yang lebih besar akan menambah tingkat produksi, sedangkan pertumbuhan penduduk yang lebih besar berarti ukuran pasar domestiknya lebih besar. Pengaruh positif atau negatif dari pertumbuhan penduduk tergantung pada kemampuan sistem perekonomian daerah dalam menyerap dan memanfaatkan pertambahan tenaga kerja yang dipengaruhi oleh tingkat akumulasi modal dan tersedianya input dan faktor penunjang seperti kecakapan manajerial dan administrasi.

Menurut BPS (2010), penduduk usia kerja didefinisikan sebagai penduduk berumur 15 tahun ke atas, dibedakan angkatan kerja dan bukan angkatan kerja. Angkatan kerja dikatakan bekerja bila mereka melakukan pekerjaan dengan maksud memperoleh atau membantu memperoleh pendapatan dan lamanya bekerja paling sedikit satu jam secara kontinu selama seminggu yang lalu. Sedangkan penduduk yang tidak bekerja tetapi sedang mencari pekerjaan disebut menganggur. Jumlah tenaga kerja yang bekerja merupakan gambaran kondisi dari lapangan kerja yang tersedia. Semakin bertambah besar lapangan kerja yang tersedia maka akan meningkatkan total produksi di suatu daerah.

Kualitas sumber daya manusia dapat dilihat dari tingkat pendidikan, kesehatan, ataupun indikator-indikator lainnya. Rata-rata lama sekolah (RLS)

(33)

merupakan komponen yang mewakili tingkat pendidikan penduduk. Teori Human Capital mengemukakan pentingnya tingkat pendidikan terhadap pertumbuhan ekonomi. Teori ini menjelaskan bahwa seseorang dapat meningkatkan penghasilannya melalui jenjang pendidikan yang lebih tinggi. Selain penundaan penerimaan penghasilan, orang yang melanjutkan pendidikan harus membayar biaya. Namun, setelah tamat dari pendidikan yang ditempuhnya, sangat diharapkan orang tersebut dapat mendapatkan penghasilan yang lebih tinggi dan berjuang pada pertumbuhan ekonomi di daerahnya (Todaro, 2006).

Sedangkan angka harapan hidup (AHH) sering digunakan untuk mengevaluasi kinerja pemerintah dalam hal meningkatkan kesejahteraan penduduk di bidang kesehatan (BPS, 2008). Tingkat kesehatan yang rendah akan berdampak pada produktivitas penduduk tidak maksimal. Harapan hidup yang lebih lama akan meningkatkan pengembalian atas investasi dalam pendidikan (Todaro, 2006). Tingkat pendidikan yang baik dibarengi dengan tingkat kesehatan yang baik akan meningkatkan produktivitas tenaga kerja sehingga dapat meningkatkan pertumbuhan ekonomi.

b. Belanja Modal

Pengeluaran pemerintah merupakan salah satu unsur permintaan agregat.Konsep perhitungan pendapatan nasional dengan pendekatan pengeluaran menyatakan bahwa Y = C + I + G + (X-M). Variabel Y melambangkan pendapatan nasional, sekaligus mencerminkan penawaran agregat. Sedangkan variabel-variabel diruas kanan disebut permintaan agragat. Variabel G melambangkan pengeluaran pemerintah (government expenditures). Dengan membandingkan nilai G terhadap Y, serta mengamati dari waktu ke waktu dapat

(34)

diketahui seberapa besar kontribusi pengeluaran pemerintah dalam pembentukan permintaan agregat atau pendapatan nasional dan seberapa penting peranan pemerintah dalam perekonomian nasional.

Pengeluaran pemerintah diukur dari total belanja rutin dan belanja modal untuk pembangunan dari pemerintah daerah. Belanja modal (BM) terdiri dari belanja modal tanah, peralatan dan mesin, gedung dan bangunan, serta jalan, irigasi, dan jaringan. Alokasi belanja modal untuk pengembangan infrastruktur penunjang perekonomian akan mendorong produktivitas penduduk yang dapat meningkatkan pertumbuhan ekonomi daerah dan kesejahteraan penduduk.

c. Infrastruktur

Infrastruktur merupakan elemen penting bagi pertumbuhan ekonomi dan perkembangan suatu daerah. Adanya fasilitas transportasi dapat membuka keterisolasian suatu daerah sehingga dapat menggerakan perekonomian daerah tersebut dengan lancarnya transaksi perdagangan ke daerah lain. Ketersediaan listrik, air, dan telekomunikasi memungkinkan peningkatan produktivitas nilai tambah bagi faktor-faktor produksi (Prahara, 2010).

2.4 Penelitian Terdahulu

Supriyantoro (2005) menganalisis ketimpangan pendapatan antar kabupaten-kota di Provinsi Jawa Tengah. Periode penelitian ini adalah tahun 1993-2003. Metode yang digunakan yaitu indeks Williamson berdasarkan data PDRB per kapita daerah yang dikelompokan berdasarkan pembagian sepuluh wilayah pembangunan di Provinsi Jawa Tengah.

(35)

Tabel 2.1 Indeks Ketimpangan Pendapatan di Provinsi Jawa Tengah Tahun 1993- 2003 Tahun CVw 1993 0,2864 1994 0,2991 1995 0,3018 1996 0,3129 1997 0,3182 1998 0,2830 1999 0,2828 2000 0,2787 2001 0,2808 2002 0,2768 2003 0,3427 Sumber: Supriyantoro, 2005

Hasil penelitian menunjukkan pada periode penelitian tingkat ketimpangan pendapatan antar wilayah di Provinsi Jawa Tengah tergolong rendah yang dilihat dari nilai CVw yang kecil. Namun, dari tahun ke tahun ketimpangan pendapatan antarkabupaten-kota di Provinsi Jawa Tengah mengalami perkembangan yang kurang baik karena nilai ketimpangan pendapatan antar wilayah tersebut cenderung meningkat.

Fabia (2006) menganalisis dampak otonomi daerah terhadap kondisi ketimpangan pendapatan antar kabupaten/kota di Pulau Sumatera. Periode tahun penelitian ini adalah tahun 1995, tahun 2001, dan tahun 2004. Metode yang digunakan yaitu analisis regresi linier sederhana dan regresi linier berganda dengan PDRB per kapita tahun analisis sebagai variabel dependen dan PDRB per kapita tahun dasar dan tingkat pendidikan sebagai variabel independen. Hasil penelitian menunjukkan pendapatan antar kabupaten/kota di pulau Sumatera cenderung konvergen. Hal ini dilihat dari nilai koefisien regresi lebih kecil dari nol. Hasil uji menunjukkan otonomi daerah berpengaruh positif terhadap peningkatan konvergensi pendapatan dan menurunnya ketimpangan pendapatan

(36)

antar kabupaten/kota di Pulau Sumatera. PDRB per kapita tahun dasar signifikan mempengaruhi PDRB per kapita tahun analisis sedangkan tingkat pendidikan tidak signifikan. Hal ini menunjukkan tingkat pendidikan kurang mempengaruhi peningkatan konvergensi pada konvergensi bersyarat.

Satrio (2009) menganalisis ketimpangan pendapatan antar pulau di Negara Indonesia. Periode penelitian ini adalah tahun 1996-2006. Metode yang digunakan yaitu indeks Williamson, trend ketimpangan, analisis korelasi dan koefisien determinan. Hasil penelitian yaitu ketimpangan pendapatan antar pulau di Indonesia tergolong taraf rendah dengan nilai indeks ketimpangan antara 0,210 sampai 0,261, yang berarti masih berada di bawah 0,35. Untuk ketimpangan pendapatan yang terjadi di dalam setiap pulau berada pada ketimpangan taraf tinggi untuk Pulau Sumatra, Jawa, Kalimantan, Maluku & Irian yaitu antara 0,521 sampai 0,996, pada Pulau Sulawesi taraf ketimpangannya rendah yaitu antara 0,050-0,109, sedangkan Pulau Bali taraf ketimpangannya sedang yaitu antara 0,379-0,498. Analisis trend ketimpangan pendapatan antar pulau menunjukkan trend yang menurun. Ketimpangan pendapatan menurut pulau juga menunjukkan trend yang menurun kecuali Pulau Jawa dan Sulawesi. Hasil analisis korelasi dan koefisien determinan menunjukkan bahwa hubungan pertumbuhan PDRB dengan indeks ketimpangan pendapatan lemah dan besarnya kontribusi pertumbuhan PDRB terhadap perubahan ketimpangan pendapatan kecil yaitu sebesar 14 persen.

2.5 Kerangka Pemikiran Konseptual

Kesenjangan ekonomi antar wilayah merupakan fenomena yang sering terjadi dalam kegiatan pembangunan ekonomi suatu wilayah Terdapat

(37)

kecenderungan kebijakan pembangunan yang bertumpu pada peningkatan pertumbuhan ekonomi justru memperburuk kondisi kesenjangan ekonomi antar wilayah di Provinsi Jawa Tengah. Besarnya kesenjangan ekonomi antar wilayah di Provinsi Jawa tengah diukur menggunakan analisis indeks kesenjangan regional Williamson. Dapat dilihat apakah kesenjangan ekonomi yang terjadi semakin melebar atau berkurang serta masih dalam taraf rendah, sedang, atau tinggi. Apabila kesenjangan masih dalam taraf tinggi, maka pemerintah harus membuat kebijakan untuk mengurangi tingkat kesenjangan ekonomi tersebut. Adanya kesenjangan ekonomi antar wilayah berarti terdapat daerah yang lebih cepat tumbuh, tetapi terdapat daerah lain yang tumbuh lebih lambat. Oleh karena itu, pemerintah perlu menyusun prioritas kebijakan pembangunan ekonomi bagi daerah yang tertinggal. Langkah pertama yaitu mengidentifikasi daerah-daerah tertinggal terlebih dahulu menggunakan alat analisis klassen Typology. Kemudian setelah diketahui daerah-daerah yang tertinggal, dilakukan analisis faktor-faktor yang signifikan mempengaruhi laju pertumbuhan ekonomi di daerah tertinggal. Faktor-faktor yang diduga kuat mempengaruhi adalah SDM, belanja modal/pembangunan, dan infrastruktur. SDM dilihat dari jumlah angkatan kerja, rata-rata lama sekolah (pendidikan), serta angka harapan hidup (kesehatan). Belanja modal dilihat dari alokasi belanja daerah untuk pembangunan, Sedangkan infratsruktur dilihat dari panjang jalan, dan penyaluran air bersih. Faktor-faktor yang signifikan tersebut dapat dijadikan informasi bagi daerah tertinggal untuk lebih meningkatkan laju pertumbuhan ekonominya mengejar ketertinggalan dari daerah yang sudah maju. Pada akhirnya didapatkan kebijakan yang tepat untuk

(38)

meningkatkan laju pertumbuhan ekonomi di daerah-daerah tertinggal sehingga tercipta pemerataan pendapatan ekonomi antar wilayah di Provinsi Jawa Tengah.

Gambar 2.2 Kerangka Pemikiran Konseptual

2.6 Hipotesis Penelitian

1. Pada tahap awal otonomi daerah, trend kesenjangan ekonomi antar wilayah di Provinsi Jawa Tengah meningkat terlebih dahulu, dan ketika pembangunan daerah terus berlangsung maka trend kesenjangan ekonomi antar wilayah menurun.

2. Setelah otonomi daerah, semakin banyak wilayah yang bergeser ke daerah maju.

3. Variabel-variabel yang dianalisis yakni jumlah tenaga kerja, rata-rata lama sekolah, angka harapan hidup, belanja modal/pembangunan, panjang jalan, dan penyaluran air secara signifikan berpengaruh positif terhadap laju pertumbuhan ekonomi di daerah-daerah tertinggal Provinsi Jawa Tengah

Kebijakan yang bertumpu pada aspek pertumbuhan cenderung memperburuk kesenjangan ekonomi

antar wilayah di Provinsi Jawa Tengah Trend kesenjangan ekonomi antar wilayah

Klasifikasi daerah maju cepat tumbuh, maju tapi tertekan, berkembang cepat, dan daerah tertinggal

Faktor-faktor yang mempengaruhi laju pertumbuhan ekonomi di daerah tertinggal Indeks Williamson

Klassen Typology

Analisis Panel Data

Implikasi kebijakan untuk meningkatkan laju pertumbuhan ekonomi di daerah tertinggal

(39)

BAB III METODE PENELITIAN

3.1 Jenis dan Sumber Data

Jenis data yang digunakan dalam penelitian ini adalah data sekunder berupa kombinasi data time series dan cross section dari tahun 1998 sampai tahun 2010 yang mencakup 35 wilayah, terdiri dari 29 kabupaten dan 6 kota di Provinsi Jawa Tengah. Data diperoleh dari Badan Pusat Statistik (BPS) Pusat dan BPS Provinsi Jawa Tengah. Data sekunder yang digunakan adalah sebagai berikut. Tabel 3.1 Jenis data dan Satuan yang Digunakan dalam Penelitian

Data Satuan

PDRB Per Kapita ADHK 2000 Rupiah

Jumlah penduduk Jiwa

Laju pertumbuhan PDRB Persen

Jumlah angkatan kerja Jiwa

Belanja daerah untuk modal/pembangunan Rupiah

Angka melek huruf Persen

Rata-rata lama sekolah Tahun

Angka harapan hidup Tahun

Panjang jalan Kilometer (km)

Penyaluran air bersih Meter3(m3)

3.2 Metode Analisis Data

3.2.1 Analisis Trend Kesenjangan Ekonomi Antar Wilayah

Besarnya kesenjangan ekonomi antar wilayah di Provinsi Jawa Tengah ditentukan menggunakan Indeks Williamson. Indeks Williamson merupakan salah satu alat ukur untuk mengukur tingkat kesenjangan regional yang semula dipergunakan oleh J. G. Williamson. Metode ini diperoleh dari perhitungan pendapatan regional per kapita dan jumlah penduduk masing-masing wilayah. Trend kesenjangan ekonomi antar wilayah di Provinsi Jawa Tengah dapat diamati dari hasil perhitungan indeks Williamson yang digambarkan dalam sebuah grafik.

(40)

Rumus dari Indeks Williamson adalah sebagai berikut:

Dimana:

CVw = Indeks Williamson

f i = Jumlah penduduk kabupaten/kota ke-i di Provinsi Jawa Tengah (jiwa) f = Jumlah penduduk seluruh wilayah di Provinsi Tengah (jiwa)

Yi = PDRB per kapita kabupaten/kota ke-i di Provinsi Jawa Tengah (rupiah) Y = PDRB per kapita rata-rata seluruh wilayah di Provinsi Jawa Tengah

(rupiah)

Jika nilai indeks ketimpangan Williamson mendekati nol, menunjukan kesenjangan ekonomi antar wilayah di Provinsi Jawa Tengah semakin kecil. Sebaliknya semakin mendekati 1, menunjukkan kesenjangan ekonomi semakin melebar. Kriteria untuk menentukan tingkat kesenjangan adalah sebagai berikut: CVw < 0,35 = Kesenjangan taraf rendah

0,35 ≤ CVw ≤ 0,5 = Kesenjangan taraf sedang CVw > 0,5 = Kesenjangan taraf tinggi

3.2.2 Analisis Klassen Typology

Alat analisis Klassen Typology digunakan untuk mengetahui gambaran tentang pola pertumbuhan ekonomi setiap daerah sehingga diketahui apakah pelaksanaan pembangunan telah terjadi secara merata di seluruh wilayah atau sebaliknya. Klassen Typology membagi daerah berdasarkan dua indikator utama, yaitu tingkat pertumbuhan ekonomi daerah dan pendapatan (PDRB) per kapita

Y f fi Y Yi CVw

I   . 2

(41)

daerah. Melalui analisis ini diperoleh empat klasifikasi daerah yang berbeda, yaitu:

1. Daerah maju dan cepat tumbuh ( Kuadran I)

Merupakan wilayah yang mengalami tingkat pertumbuhan PDRB dan PDRB per kapita lebih tinggi dari rata-rata seluruh wilayah di Provinsi Jawa Tengah. 2. Daerah maju tapi tertekan (Kuadran II)

Merupakan wilayah yang relatif maju karena PDRB per kapita daerah lebih tinggi dari rata-rata seluruh wilayah di Provinsi Jawa Tengah. Tetapi dalam beberapa tahun terakhir tingkat pertumbuhan PDRB daerah menurun, lebih rendah dibanding rata-rata seluruh wilayah di Provinsi Jawa Tengah.

3. Daerah berkembang cepat (Kuadran III)

Merupakan wilayah yang memiliki tingkat pertumbuhan PDRB daerah tinggi, namun PDRB per kapita daerahnya relatif rendah dibandingkan dengan rata-rata seluruh wilayah di Provinsi Jawa Tengah.

4. Daerah relatif tertinggal (Kuadran IV)

Merupakan wilayah yang mempunyai tingkat pertumbuhan PDRB daerah dan PDRB per kapita daerah yang berada dibawah rata-rata dari seluruh wilayah di Provinsi Jawa Tengah. Tingkat kemakmuran masyarakat maupun tingkat pertumbuhan ekonomi di wilayah ini masih relatif rendah.

Tabel.3.2 Klasifikasi Daerah Berdasarkan Klassen Typology Y

R Yi> Y Yi< Y

Ri > R Daerah maju dan cepat tumbuhKuadran I Daerah berkembang cepatKuadran III

Ri < R Daerah maju tapi tertekanKuadran II Daerah relatif tertinggalKuadran IV Sumber: Sjafrizal, 1997

(42)

Dimana:

Ri = laju pertumbuhan PDRB ADHK kabupaten/kota i di Provinsi Jawa Tengah

R = rata-rata laju pertumbuhan PDRB ADHK seluruh kabupaten/kota di Provinsi Jawa Tengah

Yi = PDRB per kapita kabupaten/kota i di Provinsi Jawa Tengah

Y = rata-rata PDRB per kapita seluruh kabupaten/kota di Provinsi Jawa Tengah

3.2.3 Faktor-faktor yang Mempengaruhi Laju Pertumbuhan Ekonomi di Daerah Tertinggal

Estimasi faktor-faktor yang mempengaruhi laju pertumbuhan ekonomi di daerah tertinggal Provinsi Jawa Tengah dalam penelitian ini menggunakan alat analisis panel data yang merupakan gabungan dari data time series (antar waktu) dan data cross section (antar individu). Beberapa keunggulan menggunakan pendekatan panel data dibandingkan dengan pendekatan standar cross section dan time series, yaitu :

1. Mampu mengontrol heterogenitas individu

2. Memberikan lebih banyak informasi, lebih bervariasi, mengurangi kolinearitas antar variabel, meningkatkan degree of freedom, dan lebih efisien.

3. Mampu mngidentifikasi dan mengukur efek yang secara sederhana tidak dapat diperoleh dari data cross section dan time series.

(43)

Terdapat tiga metode pada teknik estimasi model panel data, yaitu : 1. Pooled OLS

Metode pooled OLS merupakan suatu metode pengkombinasian sederhana antara data time series dan cross section, selanjutnya dilakukan estimasi model yang mendasar menggunakan OLS. Spesifikasikan model yaitu: Yit= α + βXit Dimana i adalah urutan kabupaten/kota yang diobservasi pada data cross section, t menunjukkan periode pada data time series. Namun, pada metode ini intersep dan koefisien setiap variabel sama untuk setiap kabuapten/kota yang diobservasi. 2. Fixed Effect Model

Masalah yang timbul pada penggunaan metode pooled OLS yaitu adanya asumsi bahwa intersep dan koefisien dari setiap variabel sama pada setiap kabupaten/kota yang diobservasi. Untuk memperhitungkan individualitas dari setiap unit cross section dapat dilakukan dengan cara menjadikan intersep berbeda pada tiap kabupaten/kota. Pada metode fixed effect ditambahkan variabel dummy untuk mengubah intersep, tetapi koefisien-koefisien lainnya tetap sama bagi setiap kabupaten/kota yang diobservasi. Spesifikasikan model yaitu:

Yit= α + βiXit+ γ2W2t+γ3 W3t + ...+ γNWNT+ δ2Zi2+ δ3Zi3+... + δTZit+ε it

Dimana Wit = 1 untuk kabupaten/kota ke-i, i = 2,…, N 0 untuk lainnya

Zit = 1 untuk kabupaten/kota ke-t, t = 2,…, T 0 untuk lainnya

Penambahan variabel dummy (N-1)+(T-1) dalam model menghasilkan kolienaritas yang sempurna di antara variabel-variabel penjelas. Koefisien dari variabel dummy akan mengukur perubahan intersep cross section dan time series.

(44)

3. Random Effect Model

Terdapat masalah dalam fixed effect yaitu dengan dimasukannya dummy akan menyebabkan berkurangnya derajat bebas sehingga mengurangi efisiensi parameter. Masalah ini dapat diatasi menggunakan model random effect yang dapat mengamati individual effect di semua unit observasi karena dilakukan dengan pengambilan sampel dari populasi. Dalam model ini individual effect tidak berkorelasi dengan regressor atau individual effect yang mempunyai pola acak sehingga pada model individual effect terpisah dengan error term.

Yit= αi + β Xit+ Uit, dimana αi = α + τi sehingga model pertama menjadi

Yit= α + β Xit+ Uit+ τi

Dari model tersebut diketahui random effect mempunyai galat kombinasi, yaitu : Wit= Uit+ τi , dimana τimerupakan error dari unobserved variable.

Metode analisis dalam random effect menggunakan Generalized Least Square (GLS) untuk mengendalikan keragaman error agar lebih homogen karena ragam error selalu berubah-ubah. Dengan metode ini model ditransformasi dengan memberikan bobot pada data asli lalu menerapkan metode OLS pada model yang telah ditransformasi. Penduga GLS lebih konsisten dan efisien daripada OLS.

3.3 Metode Pemilihan Model 3.3.1 Uji Chow

Uji Chow digunakan untuk menentukan model yang akan digunakan, apakah lebih tepat dijelaskan oleh model Pooled OLS atau model Fixed effect. Hipotesis: H0: α1 =α2 = ...=αN (PLS)

(45)

Kriteria uji: Prob.chi-square statistc < taraf nyata (α), maka tolak H0

Prob.chi-square statistic > taraf nyata (α), maka terima H0

Jika tolak Ho berarti model yang layak digunakan adalah fixed effect. Sebaliknya jika terima H0 berarti pendekatan yang tepat adalah PLS.

3.3.2 Uji Hausman

Digunakan untuk memilih menggunakan fixed effect atau random effect. Hipotesis: H0: E (τi xit ) = 0 (Random effect)

H1: E (τi xit ) ≠ 0 (Fixed effect)

Kriteria uji: Prob.chi-square statistic < taraf nyata (α), maka tolak H0

Prob.chi-square statistic > taraf nyata (α), maka terima H0

Jika tolak H0 berarti model yang layak digunakan adalah fixed effect.

Sebaliknya terima H0 berarti pendekatan yang tepat adalah Random effect.

Terdapat tiga metode pada teknik estimasi model menggunakan data panel, yaitu Pooled Ordinary Least Square (PLS), fixed effect, dan random effect. Dari ketiga metode tersebut akan dipilih model terbaik yang menggunakan Chow test dan Hausman test.

3.4 Uji Statistik

3.4.1 Uji Koefisien Determinasi (R2)

Uji R2digunakan untuk melihat sejauh mana variabel independen (bebas) mampu menerangkan keragaman variabel dependen (tak bebas). Semakin besar R2 berarti semakin cocok garis regresi menggambarkan pola hubungan variabel independen dan dependen. Nilai R2 berkisar antara 0 sampai dengan 1. Nilai R2 yang kecil atau mendekati nol berarti kemampuan variabel independen dalam

(46)

menjelaskan variasi variabel dependen amat terbatas. Sebaliknya, jika nilai R2 mendekati satu berarti variabel independen memberikan hampir semua informasi yang dibutuhkan untuk memprediksi variasi variabel dependen. (Gujarati, 2003). 3.4.2 Pengujian Secara Serempak (Uji-F)

Uji F digunakan untuk mengetahui apakah semua variabel independen yang digunakan dalam model regresi secara bersama-sama berpengaruh terhadap variabel dependen, perlu dilakukan pengujian koefisien regresi secara serempak. Hipotesis: H0: β1= β2= β3= β4= β5= 0

H1: minimal ada satu parameter dugaan (βi) yang tidak sama dengan 0

Kriteria uji: Probability (P-Value) < taraf nyata (α), maka tolak H0

Probability (P-Value) > taraf nyata (α), maka terima H0

Jika tolak H0 berarti minimal ada satu variabel independen yang

berpengaruh signifikan terhadap variabel dependen dan model dapat diterima. 3.4.3 Pengujian Signifikasi Individu (Uji t)

Uji-t digunakan untuk mengetahui pengaruh dari variabel independen secara parsial terhadap variabel dependen dengan asumsi variabel yang lain konstan.

Hipotesis:H0: βi = 0 (variabel independen tidak mempengaruhi variabel dependen)

H1: βi ≠ 0 (variabel independen mempengaruhi variabel dependen)

Kriteria uji: Probability (P-Value) < taraf nyata (α), maka tolak H0

Probability (P-Value) > taraf nyata (α), maka terima H0

Jika tolak H0 berarti variabel independen berpengaruh secara signifikan

terhadap variabel dependen. Sebaliknya jika terima H0berarti variabel independen

(47)

3.5 Uji Asumsi Klasik 3.5.1 Uji Normalitas

Dilakukan jika sampel kurang dari 30. Uji ini berguna untuk melihat error term terdistribusi secara normal. Uji ini disebut uji Jarque-bera.

Hipotesis: H0: error term terdistribusi normal

H1: error term tidak terdistribusi normal

Kriteria uji: Probability (P-Value) < taraf nyata (α), maka tolak H0

Probability (P-Value) > taraf nyata (α), maka terima H0

Jika tolak H0 maka persamaan tersebut tidak memiliki error term

terdistribusi normal. Sebaliknya jika terima H0maka persamaan tersebut memiliki

error term terdistribusi normal. 3.5.2 Uji Multikolinearitas

Adanya hubungan linier antarvariabel independen dalam suatu regresi disebut dengan multikolinearitas. Jika dalam suatu model terdapat multikolinearitas akan menyebabkan nilai R2 yang tinggi dan lebih banyak variabel bebas yang tidak signifikan dari pada variabel bebas yang signifikan atau bahkan tidak satupun (Gujarati, 2003). Masalah multikolinearitas dapat dilihat melalui correlation matrix, yaitu dengan melihat koefisien korelasi antar variabel bebas. Jika korelasinya kurang dari 0,8 (rule of tumbs 0,8) maka dapat dikatakan tidak ada multikolinearitas. Gejala multikolineritas biasanya timbul pada data time series dimana korelasi antar variabel independen cukup tinggi. Sehingga dengan mengkombinasikan data yang ada dengan data cross section mengakibatkan masalah multikolineritas secara tekhnis dapat dikurangi.

Gambar

Gambar 1.1 Nilai IMH Antar Kawasan di Indonesia Tahun 1980 dan 1985 Kesenjangan  ekonomi  di  Ind
Tabel 1.2 Laju Pertumbuhan PDRB dan PDRB Per Kapita Provinsi Jawa Tengah  Kabupaten/Kota Laju Pertumbuhan PDRB
Gambar 2.1 Kurva U terbalik
Tabel 2.1 Indeks Ketimpangan Pendapatan di Provinsi Jawa Tengah Tahun 1993-            2003 Tahun CVw 1993 0,2864 1994 0,2991 1995 0,3018 1996 0,3129 1997 0,3182 1998 0,2830 1999 0,2828 2000 0,2787 2001 0,2808 2002 0,2768 2003 0,3427 Sumber: Supriyantoro,
+7

Referensi

Dokumen terkait

Dalam praktek yang terjadi di peradilan, meskipun proses penyelesaian sengketa dilaksanakan dengan berlandaskan kepada asas peradilan cepat, sederhana dan biaya ringan,

e. Pada Penjurian Tahap II, Dewan Juri akan mengundang 5 finalis Kelompok Peserta untuk melakukan presentasi dihadapan Tim Dewan Juri yang sudah ditentukan oleh Penyelenggara.

Adapun fenomena yang terjadi pada pembinaan narapidana dalam pengembangkan sumber daya manusia di Lembaga Pemasyarakatan Kelas 1 Kota Malang yaitu overloadnya penghuni

Dalam penilaian kinerja, prestasi kerja adalah faktor yang paling berpengaruh dan memberikan bobot nilai paling tinggi. Prestasi kerja ini dapat terlihat dari hasil kerja

Biasanya atribut merupakan teks string yang bernilai tunggal, bilangan atau daftar suatu nilai ( enumerated values ). Tetapi, pada suatu saat juga perlu menetapkan

Secara umum, baik berdasarkan hasil dari angket maupun wawancara yang dilakukan, minat mahasiswa terhadap bidang otomotif mempengaruhi ketertarikan mahasiswa konsentrasi

Berdasarkan pemaparan yang telah dikemukakan di atas, paling tidak ada dua alasan yang menjadi penting untuk dibahas dalam tulisan ini yaitu dimulai dari

Sistem presensi berbasis internet of things (IoT) merupakan penggabungan 3 sistem, yaitu (1) sistem presensi dengan pengenalan wajah menggunakan mini computer