0
ANALISIS BIPLOT UNTUK PEMETAAN PROVINSI BERDASARKAN
PEUBAH-PEUBAH PENDIDIKAN
FUKA ANING LESTARI
DEPARTEMEN MATEMATIKA
FAKULTAS MATEMATIKA DAN ILMU PENGETAHUAN ALAM
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
Pendidikan. Dibimbing oleh ENDAR H. NUGRAHANI dan NGAKAN KOMANG KUTHA ARDANA.
Karya ilmiah ini memberikan gambaran secara umum mengenai pendidikan di Indonesia dan pemetaan provinsi. Pemetaan provinsi tersebut diperoleh berdasarkan peubah-peubah pendidikan. Angka partisipasi kasar, angka partisipasi sekolah, angka buta huruf, angka mengulang, angka putus sekolah, dan rata-rata lama sekolah merupakan peubah-peubah pendidikan yang digunakan pada karya ilmiah ini. Pemetaan provinsi dilakukan dengan menggunakan analisis biplot. Analisis biplot memberikan hasil sebagai berikut. Berdasarkan kedekatan antar objek dan keterkaitan provinsi dengan peubah pendidikan, maka provinsi-provinsi di Indonesia dapat dikelompokkan menjadi tujuh kelompok pada tingkat SD, enam kelompok pada tingkat SMP, dan enam kelompok pada tingkat SMA. Provinsi Papua memiliki angka buta huruf paling tinggi pada tingkat SD, SMP, dan SMA. Sedangkan provinsi Sumatera Barat dan Papua Barat memiliki angka mengulang yang cukup tinggi. Sementara itu, provinsi Jambi dan Sulawesi Tengah memiliki nilai mendekati rata-rata pada semua peubah. Hasil pemetaan provinsi ini diharapkan dapat memberikan masukan dalam mengidentifikasi keunggulan dan kekurangan dari setiap provinsi untuk memperbaiki mutu pendidikan nasional.
ABSTRACT
FUKA ANING LESTARI. Provincial mapping in Indonesia based on educational variables. Supervised by ENDAR H. NUGRAHANI and NGAKAN KOMANG KUTHA ARDANA.
This paper provides a general overview about education in Indonesia and mapping of the provinces. The analysis is based on some educational variables, i.e. rough participation rate, pure participation rate, school participation, illiteracy rate, repetition rate, drop-outs rate and the average school duration. Provincial mapping is conducted by biplot analysis, which gives the following results. Based on the proximity among province and the interrelationship of province with educational variables, the provinces can be grouped into seven groups for elementary school, six groups for junior high school, and six groups for senior high school. The province of Papua has the highest illiteracy rate at all education levels being considered, i.e. elementary, junior, as well as senior high schools. On the other hand, the provinces of West Sumatra and West Papua have relatively high repetition rate. Moreover, the provinces of Jambi and Central Sulawesi have average values on all variables. This provincial mapping is expected to provide input in identifying the advantages and disadvantages of each province in order to improve the quality of national educational.
FUKA ANING LESTARI
Skripsi
Sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar
Sarjana Sains pada
Departemen Matematika
DEPARTEMEN MATEMATIKA
FAKULTAS MATEMATIKA DAN ILMU PENGETAHUAN ALAM
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
Judul Skripsi : Pemetaan Provinsi di Indonesia Berdasarkan Peubah-Peubah
Pendidikan
Nama
: Fuka Aning Lestari
NIM
: G54080046
Disetujui
Pembimbing I
Pembimbing II
Dr. Ir. Endar H. Nugrahani, MS.
Ir. N. K. Kutha Ardana, M.Sc.
NIP. 19631228 198903 2 001
NIP. 19640823 198903 1 001
Diketahui
Ketua Departemen Matematika
Dr. Berlian Setiawaty, MS
NIP. 19650505 198903 2 004
ilmiah ini dapat diselesaikan. Penyusunan karya ilmiah ini tidak terlepas dari bantuan berbagai pihak. Untuk itu penulis mengucapkan terima kasih kepada:
1. Dr. Ir. Endar H. Nugrahani, MS. selaku dosen pembimbing I, terima kasih atas semua ilmu, kesabaran, motivasi, dan bantuannya selama penulisan karya ilmiah ini,
2. Ir. N. K. Kutha Ardana, M.Sc. selaku dosen pembimbing II, terima kasih atas semua ilmu, motivasi, bantuan dan sarannya,
3. Dr. Ir. Hadi Sumarno, MS. selaku dosen penguji, terima kasih atas semua ilmu dan sarannya, 4. semua dosen dan staf Departemen Matematika, terima kasih atas semua yang sudah diberikan, 5. Bapak dan Ibu yang selalu memberikan doa, motivasi, dan kasih sayang setiap harinya, 6. kakakku tersayang Fajar Reztosa Pratama yang sudah rela dijadikan tempat curhat, terima
kasih atas saran, motivasi, dan bantuannya,
7. keluargaku tercinta: nenek, om, tante, dan adik-adikku terima kasih atas dukungannya, 8. teman-teman OMDA KKB: Marisa, Hesty, Syafa, Riska, Zuhdan, Hanifah, Arini, Fatma,
teman-teman omda yang tidak bisa disebutkan satu-satu, terima kasih sudah mau menjadi keluarga keduaku yang selalu memberikan semangat,
9. teman-teman Pondsur: Tya, Novi, Dwi, Norma, Lina, Dewi, Ninda, Riyah, serta teman-teman Pondsur lainya, terima kasih atas semangatnya,
10. temen-temen kosan 107B: Ika, Arum, Lala, Ita, Sasha, Tina, Tiwi, Widhi,
11. teman-teman satu bimbingan: Mega, Mya, Kak Cici, Putri, Kak Della terima kasih atas bantuannya,
12. sahabat-sahabat: Nova, Aci, Hendri, Herlan, Arbi, Kak Eny, Beni, Ridwan, Irwan, Hafidz, dan Haryanto,
13. teman-teman Matematika 45: Ana, Yunda, Tya, Fitri, Fina, Ade, Rischa, Fenny, Dono, Prama, Fikri, Tiwi, serta temen-temen Matematika 45 lainnya, terima kasih atas kenangan, bantuan dan dukungannya,
14. kakak-kakak Matematika 44 dan adik-adik Matematika 46 terima kasih atas dukungannya. Semoga karya ilmiah ini dapat bermanfaat bagi dunia ilmu pengetahuan khususnya Matematika dan menjadi inspirasi bagi penelitian selanjutnya.
Bogor, Februari 2013
RIWAYAT HIDUP
Penulis dilahirkan di Demak pada tanggal 4 Januari 1990 sebagai anak kedua dari dua bersaudara, anak dari pasangan Witono Budi Utomo dan Suciati.
Tahun 2002 penulis lulus dari SD Wilalung 1 Gajah Demak. Tahun 2005 penulis lulus dari SMP 1 Kudus. Tahun 2008 penulis lulus dari SMA 1 Kudus dan pada tahun yang sama penulis lulus seleksi masuk IPB melalui jalur Undangan Seleksi Masuk IPB (USMI). Penulis memilih Departemen Matematika, Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam.
Halaman
DAFTAR TABEL ... viii
DAFTAR GAMBAR ... viii
DAFTAR LAMPIRAN ... viii
I PENDAHULUAN ... 1
1.1 Latar Belakang ... 1
1.2 Tujuan ... 1
1.3 Sistematika Penulisan ……… .. 1
II LANDASAN ANALISIS ... 2
2.1 Nilai Eigen dan Vektor Eigen ... 2
2.2 Analisis Biplot ... 2
2.3 Ukuran Kesesuaian Biplot ... 3
2.4 Korelasi... 3
2.5 Model Logistik ... 4
2.6 Definisi Peubah Pendidikan ... 4
III METODE PENELITIAN ... 6
3.1 Sumber Data ... 6
3.2 Peubah dan Objek Penelitian ... 6
3.3 Analisis ... 6
IV HASIL DAN PEMBAHASAN ... 7
4.1 Eksplorasi Data ... 7
4.2 Korelasi... 10
4.3 Analisis Biplot ... 10
SIMPULAN ... 16
DAFTAR PUSTAKA ... 17
DAFTAR GAMBAR
Halaman
1 Kurva pertumbuhan logistik ... 4
2 Angka partisipasi kasar pendidikan di Indonesia ... 7
3 Angka partisipasi murni pendidikan di Indonesia ... 8
4 Angka buta huruf di Indonesia ... 8
5 Penduduk usia 15 tahun ke atas yang tidak sekolah atau tidak tamat SD ... 9
6 Penduduk usia 15 tahun ke atas yang hanya tamat SD, SMP, dan SMA ... 9
7 Fitting model rata-rata lama sekolah ... 10
8 Biplot kondisi pendidikan di Indonesia pada tingkat SD ... 11
9 Biplot kondisi pendidikan di Indonesia pada tingkat SMP ... 13
10 Biplot kondisi pendidikan di Indonesia pada tingkat SMA ... 14
DAFTAR TABEL
Halaman 1 Objek penelitian ... 6DAFTAR LAMPIRAN
Halaman 1 Persamaan logistik ... 192 Data objek dan peubah jenjang pendidikan SD ... 21
3 Data objek dan peubah jenjang pendidikan SMP ... 22
4 Data objek dan peubah jenjang pendidikan SMA ... 23
5 Model logistik rata-rata lama sekolah ... 24
6 Matriks korelasi ... 25
7 Koordinat biplot SD ... 26
8 Koordinat biplot SMP ... 27
9 Koordinat biplot SMA ... 28
I PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Analisis biplot merupakan salah satu analisis data peubah ganda yang dapat memberikan visualisasi secara grafik tentang kedekatan antar objek, keragaman peubah, korelasi antar peubah, dan keterkaitan antar peubah dengan objek. Selain itu, analisis biplot digunakan untuk menggambarkan hubungan antara peubah dengan objek yang berada pada ruang berdimensi tinggi ke dalam ruang berdimensi rendah (dua atau tiga).
Salah satu kegunaan biplot adalah untuk memperoleh pemetaan. Analisis biplot untuk pemetaan provinsi dalam kaitan prestasi akademik di IPB sudah dilakukan oleh Mariyam (2011). Akan tetapi pada karya ilmiah ini, pemetaan provinsi digunakan untuk memperoleh gambaran posisi mutu pendidikan nasional. Pemetaan ini diharapkan dapat memberikan masukan dalam memperoleh gambaran keunggulan dan kekurangan setiap provinsi berdasarkan peubah-peubah pendidikan sehingga dapat dilakukan upaya perbaikan mutu pendidikan nasional.
Saat ini Indonesia sedang menghadapi berbagai permasalahan yang cukup besar seperti rendahnya kualitas sumberdaya manusia yang dimiliki. Pengembangan sumberdaya manusia dengan investasi pendidikan akan berdampak pada peningkatan kompetensi sumber daya manusia itu sendiri. Data Badan Pusat Statistik (BPS) juga menyebutkan jumlah persentase angka putus sekolah atau mengulang sekitar 16.5% pada anak usia 13 hingga 15 tahun. Hal ini mengindikasikan angka putus sekolah di SD tahun 2004 hingga 2005 cukup tinggi, mendekati angka satu juta. Sedangkan angka buta aksara penduduk Indonesia di atas usia 15 tahun berkisar pada angka 9.55% (Mulyasana
2011). Hal ini menunjukkan rendahnya mutu pendidikan di Indonesia.
Mutu pendidikan pada dasarnya terdiri atas berbagai indikator dan komponen yang saling berkaitan. Mutu pendidikan adalah konsep yang kompleks karena mutu pendidikan memiliki banyak dimensi, menyangkut serangkaian proses, dan menunjukkan berbagai indikator yang harus dijelaskan secara rinci (Amtu 2011).
Wilayah Indonesia yang berbentuk kepulauan luas menyebabkan pemerintah Indonesia kesulitan dalam mengamati perkembangan mutu pendidikan di semua daerah. Oleh karena itu, pemerintah Indonesia perlu melakukan pemetaan provinsi terhadap pendidikan.
Pada karya ilmiah ini, pemetaan provinsi dari peubah-peubah pendidikan perlu dilakukan untuk mengetahui penyebaran pendidikan di Indonesia.
1.2 Tujuan Penulisan
Tujuan utama penulisan karya ilmiah ini adalah
1. Memperoleh gambaran umum mengenai pendidikan di Indonesia.
2. Menerapkan analisis biplot dalam pemetaan provinsi berdasarkan peubah-peubah pendidikan.
1.3 Sistematika Penulisan
2
II LANDASAN TEORI
2.1 Nilai Eigen dan Vektor Eigen
Misalkan A adalah suatu matriks n×n.
Skalar λ disebut sebagai suatu nilai eigen
atau nilai karakteristik dari A jika terdapat suatu vektor taknol x sehingga Ax = λx. Vektor x disebut vektor eigen atau vektor karakteristik matriks A yang berpadanan dengan nilai eigen λ (Leon 2001).
Nilai eigen λ dapat diperoleh dengan menggunakan persamaan det − � = .
2.2 Analisis Biplot
Analisis biplot diperkenalkan oleh Gabriel pada tahun 1971. Analisis biplot merupakan suatu tampilan grafik dengan menumpangtindihkan vektor-vektor dalam ruang berdimensi rendah (dua atau tiga) yang merepresentasikan vektor-vektor baris sebagai gambaran objek dengan vektor-vektor kolom sebagai gambaran peubah.
Biplot dan geometrinya berlaku untuk ruang-ruang dimensi manapun, tetapi akan perlu mengurangi dimensi ketika matriks data memiliki dimensi tinggi sedangkan representasi memerlukan dimensi rendah, biasanya dua atau tiga (Greenacre 2010).
Informasi yang dapat diperoleh dari analisis biplot antara lain ialah:
1. Kedekatan antarobjek.
Dua objek dengan karakteristik yang sama akan digambarkan sebagai dua titik yang posisinya berdekatan.
2. Keragaman peubah.
Peubah dengan keragaman kecil digambarkan sebagai vektor yang pendek. Begitu pula sebaliknya, peubah dengan keragaman besar digambarkan sebagai vektor yang panjang.
3. Korelasi antarpeubah.
Peubah digambarkan sebagai vektor. Jika sudut dua peubah lancip (< 90o) maka korelasinya
bernilai positif. Apabila sudut dua peubah tumpul (> 90o) maka
korelasinya bernilai negatif. Sedangkan jika sudut dua peubah siku-siku maka tidak saling berkorelasi.
4. Keterkaitan peubah dengan objek. Karakteristik suatu objek bisa disimpulkan dari posisi relatifnya terhadap suatu peubah. Jika posisi objek searah dengan arah vektor
peubah maka objek tersebut bernilai di atas rata-rata, jika berlawanan maka nilainya di bawah rata-rata, dan jika hampir di tengah-tengah maka nilainya mendekati rata-rata. Analisis biplot dikembangkan berdasarkan Dekomposisi Nilai Singular (DNS) atau Singular Value Decomposition
(SVD). Misalkan nY*p merupakan matriks data dengan n objek dan p peubah. Kemudian Y* dikoreksi terhadap nilai
rata-rata kolomnya sehingga didapat matriks Y,
� = �∗−
� T�∗ (1)
dengan 1 adalah vektor berdimensi n×1 yang semua elemennya bernilai 1. Matriks koragam (S) peubah ganda tersebut ialah
� =�− �T� (2)
dengan matriks korelasi (R = [rij]) dari matriks Y adalah R = D−1/2S D−1/2 (3)
dengan �− ⁄ = diag (
√� ,√� , … ,√�pp) adalah matriks diagonal.
Misalkan matriks nYp = [y1, y2, …, yn]T maka jarak Euclid antara objek ke-i dan objek ke-j didefinisikan sebagai �(� , � ) =
√(� − � ) (� − � ) dan jarak Mahalanobis antara objek ke-i dan ke-j sebagai
(� , � ) = √(� − � )T −(� − � ). Matriks Y yang berdimensi n×p dan berpangkat r dengan r ≤ min{n,p} dinyatakan sebagai dekomposisi nilai singular berikut:
nYp = nUrLr�� T , � ∈ [ , ] (4) (Aitchison & Greenacre, 2002) di mana U
dan W merupakan matriks dengan kolom ortonormal, �T� = �T� = �. Matriks W
adalah matriks yang kolom-kolomnya terdiri dari vektor eigen wi yang berpadanan dengan nilai eigen λi dari matriks YTY. Matriks U adalah matriks yang kolom-kolomnya merupakan vektor eigen yang berpadanan dengan nilai eigen dari matriks
YYT dengan hubungan:
rLr= diag (√� , √� , … , √��) (5)
pWr = , , … , � (6)
Dalam Jollife (2002) persamaan (4) dapat diuraikan menjadi
� = ��α�−α�T . (8)
Dengan mendefinisikan :
= ��α= [ , , … ,
�]T dan =
��−α= [ , , … ,
�]T maka persamaan
(8) menjadi
� = T (9)
dengan demikian setiap elemen ke- (i, j) unsur matriks Y dapat dinyatakan sebagai
berikut: = T . Vektor
menerangkan objek ke-i matriks Y dan vektor menerangkan peubah ke- j matriks
Y.
Jika Y berpangkat dua, maka vektor baris T dan vektor kolom dapat digambarkan dalam ruang berdimensi dua. Sedangkan bagi matriks Y yang berpangkat lebih dari dua dapat didekati dengan matriks berpangkat dua, sehingga persamaan (9) dapat ditulis menjadi
= ∗T ∗
nYp = nGr � T ≈ nG2 � T = T dengan masing-masing ∗ dan ∗ mengandung dua unsur pertama vektor dan , A dan BT berturut-turut berisi
unsur-unsur dua kolom pertama matriks G dan HT.
Dengan pendekatan tersebut matriks Y dapat disajikan dalam ruang dimensi dua.
Nilai α yang digunakan dapat merupakan nilai sebarang � ∈ [ , ] tetapi pengambilan nilai-nilai ekstrem yaitu α = 0 dan α = 1 berimplikasi pada intepretasi biplot.
1. Jika α = 0, maka = � dan = �� akibatnya :
�T� = T T T
= T T
= �T� T
= T (10)
diperoleh :
T = � − , dengan
adalah koragam peubah ke-i dan ke-j.
‖ ‖ = √� − , dengan =
√ menggambarkan keragaman peubah ke-i.
Korelasi antara peubah ke-i dan
ke-j dijelaskan oleh cosinus sudut antara h dan h (misal: θ), yaitu :
cos � =‖ ‖‖ ‖T
=√ √
=
Jika Y berpangkat p maka (� −
� )T�− (� − � ) = � −
( − )T( − ) artinya
kuadrat jarak Mahalanobis antara
� dan � sebanding dengan kuadrat jarak Euclid antara dan serta S adalah matriks koragam dari Y.
2. Jika � = , maka = �� dan = � akibatnya :
�T� = T T T
= T T
= �T� T
= T (11)
artinya
(� − � )T(� − � ) =
( − )T( − ) atau kuadrat jarak Euclid antara � dan � akan sama dengan kuadrat jarak Euclid antara dan .
2.3 Ukuran Kesesuian Biplot
Pereduksian dimensi pada analisis biplot mengakibatkan terjadinya kehilangan beberapa informasi. Hal ini dapat diukur dengan ukuran kesesuaian biplot.
Untuk biplot pada ruang dimensi dua, dengan memilih α = 0 dapat ditunjukkan oleh Gabriel (1971) bahwa ukuran kesesuaian data adalah
GF �, T =∑= λ
∑�= λ .
2.4 Korelasi
Korelasi adalah nilai yang menunjukkan kekuatan dan arah hubungan linear antara dua peubah acak. Nilai korelasi antara peubah x dan y dapat diperoleh dengan rumus (Walpole 2005)
= � ∑ − ∑ ∑
√[� ∑ − ∑ ][� ∑ − ∑ ]
dengan i = 1, 2, 3, . . ., n.
4
2.5 Model Logistik
Persamaan logistik sering digunakan untuk menggambarkan pertumbuhan populasi dalam suatu lingkungan dengan mempertimbangkan daya dukung lingkungan yang terbatas.
Persamaan umum model logistik :
� = −� (12)
dengan
r adalah laju pertumbuhan intrinsik dan mewakili laju pertumbuhan per kapita
K adalah daya dukung lingkungan. Persamaan (12) mempunyai solusi:
=
�− � −��+ , (13) dengan adalah ukuran populasi pada saatt = 0. Salah satu sifat fungsi logistik adalah
�im
�→∞ = �
yang menyatakan bahwa ukuran populasi akan sama dengan daya dukung lingkungan dalam waktu jangka panjang (Tsoularis & Wallace 2002). Bukti solusi persamaan (13) dan salah satu sifat fungsi logistik diberikan pada Lampiran 1.
Gambar 1 Kurva pertumbuhan logistik. Persamaan logistik menghasilkan suatu kurva berbentuk S, yaitu bahwa pada awal adalah serupa dengan eksponensial, proses dapat dilihat terus meningkat sampai akhirnya konvergen ke titik tertentu (Florio & Colautti 2005).
2.6 Definisi Peubah Pendidikan
Pendidikan dapat diartikan sebagai upaya untuk mengarahkan perkembangan peserta didik sesuai dengan norma-norma dan nilai-nilai yang berkembang dan diterima oleh masyarakat (Meirawan 2010). Indikator pendidikan dapat dihitung berdasarkan Angka Melek Huruf (AMH),
Rata-rata Lama Sekolah (RLS), Angka Putus Sekolah (APtS), Angka Partisipasi Sekolah (APS), Angka Partisipasi Kasar (APK) dan Angka Partisipasi Murni (APM) (BPS 2010).
Angka Partisipasi Kasar (APK) merupakan persentase proporsi para peserta didik pada suatu jenjang pendidikan tertentu dalam kelompok umur yang sesuai dengan jenjang pendidikan tersebut (BPS 2010).
� = × %
dengan
banya�nya murid SD S�P S�A⁄ ⁄
banya�nya pendudu� �e�ompo� usia −
tahun, − tahun, − tahun .
Angka Partisipasi Murni (APM) merupakan persentase proporsi anak sekolah pada suatu jenjang pendidikan tertentu pada kelompok umurnya (BPS 2010).
= × %
dengan
x banyaknya murid (SD / SMP / SMA) dalam kelompok usia tertentu
Tingkat SD: kelompok usia 7-12 tahun Tingkat SMP: kelompok usia 13-15 tahun Tingkat SMA: kelompok usia 16-18 tahun
y banyaknya penduduk kelompok usia (7 – 12 tahun, 13 – 15 tahun, 16 – 18 tahun).
Angka Partisipasi Sekolah (APS) didefinisikan sebagai persentase perbandingan antara jumlah murid kelompok tertentu yang bersekolah pada berbagai jenjang pendidikan dengan penduduk kelompok usia sekolah yang sesuai (BPS 2010).
� = × %
dengan
z banyaknya murid sekolah kelompok usia (7 – 12 tahun, 13 – 15 tahun, 16 – 18 tahun)
y banyaknya penduduk kelompok usia (7 – 12 tahun, 13 – 15 tahun, 16 – 18 tahun).
Angka Buta Huruf (ABH) merupakan persentase penduduk usia 10 tahun ke atas yang tidak dapat membaca dan menulis huruf latin dan atau huruf lainnya (BPS 2010).
� = ×
dengan
SMP dan SMA) yang tidak bisa membaca dan menulis
q banyaknya seluruh penduduk kelompok usia (10 tahun ke atas, 15 – 44 tahun).
Rata-rata Lama Sekolah (RLS) menggambarkan lamanya waktu (tahun) yang digunakan oleh penduduk usia 15 tahun ke atas dalam menjalani pendidikan formal. Rata-rata lama sekolah dihitung dari peubah pendidikan tertinggi yang ditamatkan dan tingkat pendidikan yang sedang diduduki. Rata-rata lama sekolah mempunyai batas maksimum 15 tahun dan batas minimum sebesar 0 tahun (BPS 2010).
Pendidikan yang ditamatkan (PdT) digunakan untuk mengetahui tingkat kualitas pendidikan penduduk dengan menggunakan SD, SMP, SMA sebagai batasan minimal. Semakin besar presentase penduduk tamat SD, SMP, atau SMA, semakin tinggi kualitas pendidikan penduduk (Mulyasana 2011).
Angka Putus Sekolah (APtS) merupakan persentase anak-anak usia sekolah yang sudah tidak bersekolah lagi atau yang tidak tamat suatu jenjang pendidikan tertentu. APtS sering digunakan sebagai ukuran tingkat pendidikan dan dapat menunjukkan tingkat kegagalan sistem pendidikan menurut jenjangnya (BPS 2010).
Angka Mengulang (AM) didefinisikan sebagai persentase perbandingan antara jumlah murid mengulang pada jenjang pendidikan tertentu (SD, SMP, SMA) dengan murid pada jenjang pendidikan tertentu (Mulyasana 2011).
= × %
dengan
s banyaknya murid mengulang (SD / SMP / SMA) dalam kelompok usia tertentu
Tingkat SD: kelompok usia 7-12 tahun Tingkat SMP: kelompok usia 13-15 tahun Tingkat SMA: kelompok usia 16-18 tahun
6
III METODE PENELITIAN
Pada bagian ini akan dijelaskan objek dan peubah yang akan digunakan dalam penelitian serta tahapan analisis yang dilakukan pada pembahasan.
3.1 Sumber Data
Data yang digunakan dalam penelitian ini adalah data sekunder dari Badan Pusat Statistik (BPS) dan Pusat Statistik Pendidikan tahun 1994 s.d. tahun 2010. Data lengkap tahun 2010 diberikan pada Lampiran 2, Lampiran 3, dan Lampiran 4.
3.2 Peubah dan Objek Penelitian
Peubah pendidikan yang digunakan pada penelitian ini :
1. Angka partisipasi sekolah (APS) 2. Angka partisispasi kasar (APK) 3. Angka mengulang (AM) 4. Angka putus sekolah (APtS) 5. Angka buta huruf (ABH) 6. Rata-rata lama sekolah (RLS)
Objek penelitian ini terdiri dari seluruh provinsi di Indonesia yang diberikan pada Tabel 1.
3.3 Analisis
Eksplorasi data dilakukan dengan menggunakan grafik Microsoft Excel dan
fitting model menggunakan software Mathematica 8.
Pemetaan provinsi berdasarkan peubah-peubah pendidikan dilakukan dengan analisis biplot menggunakan paket Biplot versi 4.1.0 dengan software Mathematica 8 (Ardana 2011).
Tabel 1 Objek Penelitian Kode Provinsi
1 Aceh
2 Sumatera Utara 3 Sumatera Barat 4 R i a u
5 Kepulauan Riau 6 Jambi
7 Sumatera Selatan 8 Kep Bangka Belitung 9 Bengkulu
10 Lampung 11 DKI Jakarta 12 Jawa Barat 13 Banten 14 Jawa Tengah 15 Yogyakarta 16 Jawa Timur 17 B a l i
18 Nusa Tenggara Barat 19 Nusa Tenggara Timur 20 Kalimantan Barat 21 Kalimantan Tengah 22 Kalimantan Selatan 23 Kalimantan Timur 24 Sulawesi Utara 25 Gorontalo 26 Sulawesi Tengah 27 Sulawesi Selatan 28 Sulawesi Barat 29 Sulawesi Tenggara 30 Maluku
IV PEMBAHASAN
4.1 Eksplorasi Data
Indonesia menetapkan program pendidikan dasar sembilan tahun: enam tahun di sekolah dasar (anak usia 7–12 tahun) dan tiga tahun di SMP (anak usia 13– 15 tahun). Dengan demikian, sasaran untuk Indonesia lebih tinggi dari pada standar
internasional untuk pendidikan dasar. Angka partisipasi kasar dapat menjadi indikator keberhasilan pencapaian target wajib belajar sembilan tahun yang dilakukan pemerintah. Gambar 2 menyajikan eksplorasi umum data angka partisipasi kasar secara nasional.
Sumber: BPS 2011
Gambar 2 Angka partisipasi kasar pendidikan di Indonesia.
Gambar 2 juga menunjukkan angka partisipasi kasar (APK) SD bernilai lebih dari 100% setiap tahunnya. Hal ini disebabkan begitu banyak anak di bawah usia 7 tahun yang sudah mengikuti pendidikan di SD/MI. Di sisi lain, anak di atas 12 tahun ada juga yang masih di SD/MI. Hal ini karena ada dua kemungkinan. Pertama, anak-anak yang masuk SD berusia lebih dari 7 tahun. Kedua, adanya anak-anak yang mengulang kelas sehingga baru dapat menyelesaikan SD pada usia di atas 12 tahun.
Tren APK SMA mengalami kenaikan setiap tahunnya. APK SMA mencapai 62.53% pada tahun 2010. Nilai tersebut masih tergolong rendah dibandingkan dengan APK SD sebesar 111.63% dan APK SMP sebesar 80.35%. APK SD cenderung lebih tinggi daripada yang lain karena SD merupakan pendidikan dasar formal pertama yang harus dilalui oleh anak sekolah.
Selain angka partisipasi kasar, angka partisipasi murni juga dapat menjadi indikator keberhasilan program wajib belajar sembilan tahun. Pada Gambar 3 telah disajikan angka partisipasi murni pada setiap jenjang pendidikan.
8
Sumber: BPS 2011
Gambar 3 Angka partisipasi murni pendidikan di Indonesia.
Target penuntasan wajib belajar sembilan tahun yang pada awalnya sampai tahun 2004 harus mundur sampai tahun 2009 karena krisis moneter. Selain krisis moneter, kondisi geografis Indonesia sebagai negara kepulauan yang sangat sulit dijangkau oleh layanan pendidikan juga menjadi penyebab pencapaian target program belajar menjadi tertunda. Hal ini yang menyebabkan masih tingginya angka buta huruf di Indonesia (BPPN 2007).
Pada awal program wajib belajar sembilan tahun angka buta huruf mencapai
12.74% untuk usia 10 tahun ke atas dan 36.06% untuk usia di atas 45 tahun. Pada tahun 2010, angka buta huruf mengalami penurunan sebesar 0.25% untuk usia di atas 10 tahun menjadi 6.34%. Angka buta huruf untuk usia 45 tahun ke atas turun hingga 18.25% pada tahun 2010. Penurunan angka buta huruf lebih jelas disajikan pada Gambar 4. Angka penurunan tersebut menunjukkan bahwa program wajib belajar sembilan tahun berhasil meskipun angka buta huruf untuk usia di atas 45 tahun masih relatif tinggi.
Sumber: BPS 2011
Gambar 4 Angka buta huruf di Indonesia.
Pencapaian target wajib belajar sembilan tahun juga dapat dilihat dari banyaknya penduduk berusia 15 tahun ke atas yang tamat di setiap jenjang pendidikan. Dapat dilihat juga bahwa masih ada beberapa persen penduduk yang tidak sekolah.
Gambar 5 menunjukkan bahwa persentase penduduk yang tidak/belum
sekolah mengalami penurunan. Tren penurunan juga terjadi pada penduduk yang tidak tamat SD. Penurunan persentase penduduk yang tidak/belum sekolah dan penduduk yang tidak tamat SD setiap tahunnya dapat dilihat pada Gambar 5. 0 20 40 60 80 100 19 94 19 95 19 96 19 97 19 98 19 99 20 00 20 01 20 02 20 03 20 04 20 05 20 06 20 07 20 08 20 09 20 10 Per sen tase ( % ) Tahun SD/MI SMP/MTs SM/MA 0 10 20 30 40 50 60 70 80 19 94 19 95 19 96 19 97 19 98 19 99 20 00 20 01 20 02 20 03 20 04 20 05 20 06 20 07 20 08 20 09 20 10 Per sen tase ( % ) Tahun
usia 45 th +
usia 15-44 th
usia 15 th +
Sumber: BPS 2011
Gambar 5 Penduduk usia 15 tahun ke atas yang tidak sekolah atau tidak tamat SD.
Persentase penduduk yang hanya tamat SMP dan SMA mengalami kenaikan setiap tahunnya. Kenaikan ini disebabkan pada tahun 2007 pemerintah mencanangkan program pendidikan nonformal berupa paket A (setara SD), paket B (setara SMP), dan paket C (setara SMA) untuk penduduk yang ingin sekolah meskipun usianya sudah melebihi usia yang sesuai dengan jenjang
pendidikan tersebut. Akan tetapi, penduduk yang hanya tamat pendidikan SD/sederajat mengalami penurunan meskipun tidak terlalu signifikan. Untuk lebih jelasnya mengenai eksplorasi setiap jenjang pendidikan yang ditamatkan oleh penduduk yang berusia di atas 15 tahun dapat dilihat pada Gambar 6.
Sumber: BPS 2011
Gambar 6 Penduduk usia 15 tahun ke atas yang hanya tamat SD, SMP dan SMA.
Berdasarkan data lama waktu sekolah rata-rata seluruh provinsi dari tahun 1994 sampai dengan tahun 2010 diperoleh fitting model logistik berikut (Lampiran 5)
= . +. 97 �. 97 � .
Plot data beserta fitting model tersebut diberikan pada Gambar 7. Rata-rata lama
sekolah menunjukkan bahwa pada tahun tertentu peserta didik mampu menyelesaikan pendidikannya. Rata-rata lama sekolah memiliki model berupa fungsi logistik dengan koefisien determinasi R2 sebesar
98.5%. Hasil ini menunjukkan bahwa model logistik dapat menjelaskan keragaman dinamika rata-rata lama sekolah.
10
Pada Gambar 7 juga terlihat bahwa laju peningkatan rata-rata lama sekolah dapat
mencapai maksimum setelah 100 tahun kemudian.
Gambar 7 Fitting model rata-rata lama sekolah.
4.2 Korelasi
Korelasi antar peubah pendidikan pada tingkat SD, SMP, dan SMA diberikan pada Lampiran 6. Pada tingkat SD, korelasi terbesar ditunjukkan antara peubah APK dan APS. Sedangkan korelasi terkecil ditunjukkan oleh peubah ABH dan APS. Korelasi terbesar pada tingkat SMP ditunjukkan oleh peubah APK dan APS sedangkan korelasi terkecil ditunjukkan oleh peubah ABH dan APS. Korelasi antara peubah APS dan APK menunjukkan korelasi terbesar sedangkan korelasi antara peubah ABH dan RLS menunjukkan korelasi terkecil pada tingkat SMA.
4.3 Analisis Biplot
Analisis biplot yang diperkenalkan oleh Gabriel tahun 1971 dapat memberikan informasi berupa kedekatan antar objek, keragaman peubah, korelasi antar peubah, dan kedekatan peubah dengan objek. Pada karya ilmiah ini, informasi yang diberikan dapat menggambarkan kondisi pendidikan pada setiap jenjang pendidikan. Analisis biplot juga dapat digunakan untuk menerangkan keragaman data pada setiap jenjang pendidikan.
Pada biplot, kedekatan provinsi dengan peubah ditunjukkan oleh letak provinsi tersebut terhadap vektor peubah. Jika posisi provinsi sepihak dengan arah vektor peubah maka provinsi tersebut bernilai di atas rata-rata. Jika posisi provinsi berlawanan arah dengan arah vektor peubah maka provinsi tersebut bernilai di bawah rata-rata dan nilai akan mendekati rata-rata jika posisi provinsi berada hampir di tengah-tengah.
Dengan menggunakan peubah yang sama pada setiap jenjang pendidikan, biplot mendapatkan hasil yang berbeda pada hubungan antara peubah dengan objek yaitu provinsi. Dilihat dari grafiknya menunjukkan bahwa beberapa provinsi mempunyai karakteristik yang sama terhadap suatu peubah jika posisi antar provinsi searah dengan posisi peubah serta posisi antar provinsi saling berdekatan.
Kondisi Pendidikan Tingkat SD
Berdasarkan dekomposisi nilai singular dengan � = akan diperoleh koordinat biplot yang diberikan pada Lampiran 7. Gambar 8 menyajikan biplot kondisi pendidikan pada tingkat SD.
y =
15 0.02972t 1.46305 0.02972t20 40 60 80 100 120 Tahun
Gambar 8 Biplot kondisi pendidikan di Indonesia pada tingkat SD. Gambar 8 menunjukkan peubah ABH,
APK, APtS, dan AM memiliki panjang vektor yang relatif sama panjang. Hal ini menunjukkan bahwa keragaman data pada peubah-peubah tersebut relatif sama besar. Peubah RLS dan APS digambarkan dengan vektor yang lebih pendek dari peubah lainnya. Hal ini menunjukkan bahwa peubah tersebut memiliki keragaman yang relatif kecil.
Peubah APS membentuk sudut lancip terhadap peubah RLS dan APK. Dengan kata lain, semakin tinggi angka partisipasi sekolah maka rata-rata lama sekolah dan angka partisipasi kasar semakin meningkat. Peubah APS berkorelasi negatif dengan peubah ABH. Peubah APS hampir membentuk sudut siku-siku terhadap peubah AM dan peubah APtS, artinya angka partisipasi sekolah tidak berkorelasi dengan angka mengulang dan angka putus sekolah. Dapat dikatakan bahwa pada tingkat SD, besarnya angka partisipasi sekolah tidak dapat digunakan sebagai indikator menentukan tingginya angka mengulang dan angka putus sekolah.
Ukuran kesesuaian data analisis biplot sebesar 75.45%. Hal ini menunjukkan bahwa analisis biplot mampu menerangkan 75.45% keragaman data. Pereduksian
dimensi mengakibatkan hilangnya informasi sebesar 24.55%. Terjadinya pereduksian dimensi inilah yang mengakibatkan adanya perbedaan antara hasil eksplorasi data awal dengan analisis biplot. Pada hasil analisis biplot terlihat bahwa vektor AM dan APtS berimpit sehingga dapat dikatakan bahwa memiliki nilai korelasi mendekati 1. Akan tetapi, pada hasil perhitungan diperoleh korelasi sebesar 0.543 (Lampiran 6).
Gambar 8 juga memberikan gambaran posisi provinsi dan vektor peubah dalam biplot. Berdasarkan kedekatan antar provinsi dan kedekatan provinsi dengan peubah, provinsi tersebut dapat dikelompokkan sebagai berikut :
Kelompok 1 : Papua (32). Provinsi ini memiliki angka buta huruf paling tinggi.
Kelompok 2 : Nusa Tenggara Barat (18) dan Sulawesi Barat (28). Kedua provinsi ini memiliki angka buta huruf cukup tinggi.
Kelompok 3 : Sumatera Barat (3), Kalimantan Barat (20), Gorontalo (25), Papua Barat (33). Provinsi-provinsi tersebut memiliki angka putus sekolah dan angka mengulang yang cukup tinggi.
Kelompok 4 : Kep. Bangka Belitung (8) dan Nusa Tenggara Timur (19). Kedua 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10
11 1312
14 15 16 17 18 19 20 21 22 23 24 25 26 27 28 29 30 31 32 33 AM APtS APK APS RLS ABH
0.6 0.4 0.2 0.0 0.2 0.4 0.6 0.8
0.4 0.2 0.0 0.2 0.4
Dim 1 50.76
D im 2 24 .6 9
12
provinsi ini memiliki angka mengulang dan angka putus sekolah yang cukup tinggi tetapi memliki angka buta huruf yang relatif rendah.
Kelompok 5 : DI Aceh (1), Riau (4), Sumatera Selatan (7), Bengkulu (9), Kalimantan Tengah (21), Kalimantan Selatan (22), Kalimantan Timur (23), Sulawesi Tengah (26), dan Maluku Utara (31). Kelompok ini memliki nilai angka partisipasi kasar dan angka partisipasi sekolah mendekati rata-rata.
Kelompok 6 : DKI Jakarta (11), Jawa Barat (12), Banten (13), Yogyakarta (15), Jawa Timur (16), Bali (17), Sulawesi Selatan (27). Kelompok ini memiliki rata-rata lama sekolah dan angka buta huruf mendekati nilai rata-rata.
Kelompok 7 : Sumatera Utara (2), Kep. Riau (5), Jambi (6), Lampung (10), Jawa Tengah (14), Sulawesi Utara (24), Sulawesi Tenggara (29) dan Maluku (30),. Kelompok ini memiliki nilai mendekati rata-rata pada semua peubah.
Kondisi Pendidikan Tingkat SMPBerdasarkan dekomposisi nilai singular dengan � = akan diperoleh koordinat biplot yang diberikan pada Lampiran 8. Gambar 9 menyajikan biplot kondisi pendidikan pada tingkat SMP.
Gambar 9 menunjukkan bahwa panjang vektor peubah-peubah pendidikan pada tingkat SMP relatif sama panjang sehingga
menunjukkan bahwa keragaman peubah-peubah tersebut relatif sama besar. Akan tetapi peubah APtS dan AM digambarkan dengan vektor yang lebih panjang. Hal ini menunjukkan bahwa angka putus sekolah dan angka mengulang memiliki keragaman yang lebih tinggi dibandingkan peubah lainnya.
Peubah APS membentuk sudut terkecil terhadap peubah RLS dan APK. Dengan kata lain, semakin tinggi angka partsisipasi sekolah maka semakin meningkat pula rata-rata lama sekolah dan angka partisipasi kasar. Peubah APS memiliki korelasi negatif dengan peubah ABH dan APtS. Peubah APS dan peubah AM hampir membentuk sudut siku-siku, artinya angka partisipasi sekolah tidak memengaruhi angka mengulang. Sehingga angka partisipasi sekolah tidak dapat dijadikan indikator angka mengulang.
Gambar 9 Biplot kondisi pendidikan di Indonesia pada tingkat SMP. Gambaran posisi provinsi dan vektor
peubah diberikan pada Gambar 9. Berdasarkan kedekatan antar provinsi dan kedekatan provinsi dengan peubah, provinsi tersebut dapat dikelompokkan sebagai berikut.
Kelompok 1: Kep. Bangka Belitung (8), Nusa Tenggara Timur (19), Kalimantan Barat (20), dan Sulawesi Barat (28). Keempat Provinsi tersebut memiliki angka buta huruf cukup tinggi.
Kelompok 2: Papua (32). Provinsi ini memiliki angka buta huruf paling tinggi.
Kelompok 3: Riau (4), Lampung (10), Jawa Barat (12), Banten (13), Gorontalo (25). Provinsi tersebut memiliki angka putus sekolah cukup tinggi.
Kelompok 4: DI Aceh (1), Sumatera Barat (3), Bengkulu (9), Sulawesi Tenggara (29), Maluku Utara (31), Papua Barat (33). Provinsi tersebut memiliki angka partsipasi sekolah yang cukup rendah.
Kelompok 5: Sumatera Utara (2), Kep. Riau (5), DKI Jakarta (11), Yogyakarta (15), Kalimantan Timur (23), Sulawesi Utara (24), Maluku (30). Kelompok ini memiliki angka parstisipasi kasar, angka partisipasi sekolah, dan rata-rata lama sekolah relatif tinggi.
Kelompok 6: Jambi (6), Sumatera Selatan (7), Jawa Tengah (14), Jawa Timur (16), Bali (17), Nusa Tenggara Barat (18), Kalimantan Tengah (21), Kalimantan Selatan (22), Sulawesi Tengah (26), dan Sulawesi Selatan (27), Provinsi-provinsi tersebut berada di tengah-tengah. Hal ini berarti nilai semua peubah mendekati rata-rata.
Kondisi Pendidikan Tingkat SMA
Berdasarkan dekomposisi nilai singular dengan � = akan diperoleh koordinat biplot yang diberikan pada Lampiran 9 dan biplot kondisi pendidikan tingkat SMA disajikan pada Gambar 10.
Ukuran kesesuaian data pada analisis biplot diperoleh sebesar 72%. Hal ini menunjukkan bahwa analisis biplot mampu menjelaskan sebesar 72% dari keseluruhan informasi data.
Pereduksian dimensi mengakibatkan adanya perbedaan hasil antara eksplorasi data awal dengan analisis biplot. Seperti pada hasil analisis biplot untuk tingkat SD, pada tingkat SMA juga terlihat bahwa peubah AM dan APtS berimpit sehingga dapat dikatakan bahwa kedua peubah tersebut hampir berkorelasi sempurna (r = 1). Akan tetapi dalam perhitungan diperoleh
1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13 14 15 16 17 18 19 20 21 22 23 24 25 26 27 28 29 30 31 32 33 APtS AM APK APS ABH RLS
0.6 0.4 0.2 0.0 0.2 0.4 0.6
0.4 0.2 0.0 0.2 0.4
Dim 1 51.75
D im 2 19 .4 1
14
korelasi hanya sebesar 0.369 (Lampiran 6). Terjadinya perbedaan hasil yang cukup besar ini diakibatkan hilangnya informasi sebesar 28% dari hasil pereduksian dimensi.
Pada Gambar 10 terlihat bahwa semua peubah memiliki vektor yang relatif sama panjang. Hal ini menunjukkan keragaman yang dimiliki semua peubah tersebut relatif
sama besar. Akan tetapi peubah AM mempunyai panjang vektor yang cenderung relatif panjang dibandingkan dengan peubah lainnya. Hal ini menunjukkan bahwa AM memiliki tingkat keragaman lebih tinggi daripada peubah lainnya. Vektor AM dan APtS berhimpit sehingga dapat dikatakan bahwa memiliki karakteristik yang sama.
Gambar 10 Biplot kondisi pendidikan di Indonesia pada tingkat SMA. Sudut lancip dibentuk oleh peubah APS
terhadap peubah APK dan RLS. Dengan kata lain semakin tinggi angka partisipasi sekolah maka semakin tinggi pula rata-rata lama sekolah dan angka partisipasi kasar. Peubah APS dan peubah APtS, AM, ABH hampir membentuk sudut siku-siku. Jadi dapat dikatakan bahwa perubahan angka partisipasi sekolah tidak memengaruhi tinggi atau rendahnya angka putus sekolah, angka mengulang dan angka buta huruf.
Gambar 10 juga memberikan gambaran posisi provinsi dan vektor peubah dalam biplot. Berdasarkan kedekatan antar provinsi dan kedekatan provinsi dengan peubah, provinsi tersebut dapat dikelompokkan menjadi sebagai berikut.
Kelompok 1: Papua (32). Provinsi ini memiliki angka buta huruf paling tinggi.
Kelompok 2: Nusa Tenggara Timur (19), Kalimantan Barat (20). Provinsi ini memiliki angka buta huruf cukup tinggi.
Kelompok 3: Sumatera Utara (2), Riau (4), Bengkulu (9), DKI Jakarta (11), Yogyakarta (15), Bali (17), Sulawesi Utara (24), dan Sulawesi Tenggara (29). Kelompok ini memiliki rata-rata lama sekolah cukup tinggi.
Kelompok 4: Jambi (6), Sumatera Selatan (7), Kep. Bangka Belitung (8), Jawa Timur (16), Nusa Tenggara Barat (18), Kalimantan Selatan (22), Gorontalo (25), Sulawesi Tengah (26), Sulawesi Selatan (27), Sulawesi Barat (28). Kelompok ini memiliki nilai mendekati rata-rata pada semua peubah.
Kelompok 5: DI Aceh (1), Sumatera Barat (3), Kep. Riau (5), Kalimantan
1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13 14 15 16 17 18 19 20 21 22 23 24 25 26 27 28 29 30 31 32 33 AM APtS APK APS ABH RLS
0.6 0.4 0.2 0.0 0.2 0.4
0.4 0.2 0.0 0.2 0.4
Dim 1 48.13
D im 2 23 .8 6
Timur (23), Maluku (30), Maluku Utara (31), dan Papua Barat (33). Provinsi tersebut memiliki nilai angka putus sekolah, angka mengulang, dan angka partisipasi kasar dan angka partisipasi sekolah mendekati rata-rata.
Kelompok 6: Lampung (10), Jawa Barat (12), Banten (13), Jawa Tengah (14), dan Kalimantan Tengah (21).
16
V SIMPULAN
Dari hasil penelitian dapat diambil simpulan: 1. Pemetaan provinsi berdasarkan
peubah-peubah pendidikan dapat
direpresentasikan menggunakan analisis biplot.
2. Berdasarkan analisis biplot, didapatkan ukuran kesesuaian data maksimum sebesar 75.45%. Hal ini mengakibatkan dapat terjadinya perbedaan hasil eksplorasi data awal dengan analisis biplot.
3. Berdasarkan kedekatan antar provinsi dan kedekatan provinsi dengan peubah, provinsi terbagi menjadi tujuh kelompok pada tingkat SD, lima kelompok pada tingkat SMP, dan lima kelompok pada tingkat SMA.
4. Berdasarkan analisis biplot pada setiap jenjang pendidikan, peubah AM dan APtS memiliki karakteristik yang sama pada jenjang SD dan SMA.
5. Berdasarkan representasi vektor peubah dalam analisis biplot pada setiap jenjang pendidikan, peubah APK, APS, dan RLS memiliki korelasi positif satu sama lain terutama pada jenjang pendidikan SMP dan SMA.
DAFTAR PUSTAKA
Aitchison J, Greenacre M. 2002. Biplots for compositional data. Applied Statistics
51 (part 4): 375-392.
Amtu O. 2011. Manajemen Pendidikan di Era Otonomi Daerah. Bandung: Alfabeta.
Ardana NKK. 2011. Biplot Versi 4.1.0 A Mathematica Package for Multivariate Data Visualization. Bogor: Departemen Matematika FMIPA IPB.
[BPS] Badan Pusat Statistik. 2010. Profil Indikator Pendidikan Indonesia 2009
(Kajian Indikator). Jakarta: BPS. [BPPN] Badan Perencanaan Pembangunan
Nasional. 2007. Laporan Perkembangan Pencapaian Millenium Development Goals Indonesia 2007. Jakarta: BPPN. Florio M, Colauti S. 2005. A Logistic
Growth theory of Public Expenditure: A Study of Five Countries Over 100 years. Public Choice 122: 355-393. Gabriel KR. 1971. The Biplot-graphic
display of matrices with application to principal component analysis.
Biometrika 58: 453-467.
Greenacre MJ. 2010. Biplots in Practice. Madrid: Foundation BBVA.
Juanda B. 2009. Pemodelan dan Pendugaan. Bogor: IPB Press.
Jolliffe IT. 2002. Principal Component Analysis. 2nd Ed. Berlin:
Springer-Verlag.
Leon SJ. 2001. Aljabar Linear dan Aplikasinya. Ed ke-5. Bondan A, penerjemah; Hardani HW, editor. Jakarta: Erlangga. Terjemahan dari:
Linear Algebra with Applications, 5th Ed.
Mariyam. 2011. Ukuran Kesesuaian dalam Analisis Biplot Biasa dan Analisis Biplot Imbuhan [Skripsi]. Bogor: Program Sarjana Institut Pertanian Bogor.
Meirawan D. 2010. Kepemimpinan dan Manajemen Pendidikan Masa Depan. Bogor : IPB Press.
Mulyasana D. 2011. Pendidikan Bermutu dan Berdaya Saing. Bandung: Rosdakarya.
Tsoularis A, Wallace J. 2002. Analysis of Logistic Growth Models.
Mathematical Biosciences 179: 21-55.
18
Lampiran 1 Persamaan logistik
i) Solusi umum persamaan logistik Akan dibuktikan
� = −� mempunyai solusi umum = �
�− ��+ .
Bukti:
= ( − �)
= � � −
� − = �
∫ � − = ∫ �
� − = + � −
= ma�a = � sehingga = �
= � ma�a = � sehingga = �
dipero�eh: ∫ � − = ∫ � + ∫ � � − = ∫ �
� �n| | −� �n|� − | =� +
� �n| | − �n|� − | = � +
�n| | − �n|� − | = +
ln| |−ln|�− |= ��
ln| |
ln|�− |= ��
� − = ��
= � − ��
= � ��− ��
20
= � ��
+ ��
Ketika = ma�a = ��
+�
+ = �
+ = �
= � −
= � −
Jika
=
�− maka
=
� �−�� �� +�−�� ��
=
��
�−� ��
�−�
�−� +�−�� ��
= � −� +�� ��
=
�− � −��+ ▀ii) Sifat-sifat Logistik Akan dibuktikan:
�im
�→∞ = �
Bukti:
�im
�→∞ = �im�→∞
�
� − −��+
= � − � +
=�
= � (terbukti bahwa �im
Lampiran 2 Data objek dan peubah jenjang pendidikan SD
Provinsi Angka
Mengulang
Angka Putus Sekolah
Angka Partisipasi
Kasar
Angka Partisipasi
Sekolah
Rata-rata Lama Sekolah
Angka Buta Huruf
Aceh 4.18 2.17 115.06 99.19 8.81 2.74
Sumatera Utara 2.42 1.44 114.2 98.9 8.85 2.4
Sumatera Barat 7.32 2.52 110.63 98.24 8.48 2.6
R i a u 4.23 2.56 114.73 98.75 8.58 1.49
Kepulauan Riau 4.82 1.17 111.61 99.35 9.16 2.51
Jambi 4.22 1.24 113.02 98.27 7.84 3.67
Sumatera Selatan 4.37 1.66 113.75 98 7.82 2.34
Kep Bangka
Belitung 9.52 2.66 116.19 97.1 7.45 4.12
Bengkulu 3.69 2.58 112.83 98.67 8.25 4.15
Lampung 2.51 2.36 111.18 98.71 7.75 4.75
DKI Jakarta 2.29 1.64 110.45 99.16 10.93 0.81
Jawa Barat 1.41 1.44 110.31 98.29 8.02 3.38
Banten 2.1 1.1 111.28 98.01 8.32 3.4
Jawa Tengah 4.81 1.05 113.19 98.95 7.24 8.98
Dista Yogyakarta 3.56 1.05 108.16 99.69 9.07 8.38
Jawa Timur 2.89 1.09 110.2 98.74 7.24 10.53
B a l i 1.81 1.95 111.56 98.69 8.21 10.51
Nusa Tenggara
Barat 3.93 1.94 109.47 98.26 6.77 16.51
Nusa Tenggara
Timur 8.78 3.36 115.59 96.49 6.99 9.84
Kalimantan Barat 7.31 2.56 115.61 97.04 6.82 8.57
Kalimantan Tengah 4.2 1.83 117.7 98.7 8.03 2.22
Kalimantan Selatan 4.53 2.25 112.77 97.9 7.65 3.66
Kalimantan Timur 3.4 3.28 113.85 98.68 8.87 2.64
Sulawesi Utara 2.73 1.52 115.61 98.3 8.89 0.65
Gorontalo 9 2.06 109.16 96.86 7.38 3.61
Sulawesi Tengah 4.81 2.13 112.08 97.52 8 3.5
Sulawesi Selatan 4 1.49 108.57 97 7.84 10.84
Sulawesi Barat 4.7 2.21 110.88 95.93 7.11 10.09
Sulawesi Tenggara 2.36 1.45 114.77 97.81 8.11 7.1
Maluku 2.71 1.01 118.13 98.27 8.76 2.21
Maluku Utara 2.75 2.1 116.74 97.23 8.63 3.48
Papua 6.19 2.81 93.27 76.22 6.66 29.59
22
Lampiran 3 Data Objek dan Peubah jenjang pendidikan SMP
Provinsi Angka Mengulang
Angka Putus Sekolah
Angka Partisipasi
Kasar
Angka Partsipasi
Sekolah
Angka Buta Huruf
Rata-rata Lama Sekolah
Aceh 0.66 0.35 87.99 94.99 0.74 8.81
Sumatera Utara 0.32 0.02 89.83 92.26 0.51 8.85
Sumatera Barat 0.98 0.04 80.34 89.51 0.55 8.48
R i a u 0.57 5.96 85.43 92.09 0.3 8.58
Kepulauan Riau 0.55 0.87 89.68 92.16 0.65 9.16
Jambi 0.37 0.91 79.29 85.56 0.68 7.84
Sumatera Selatan 0.3 2.34 82.12 85.41 0.37 7.82 Kep Bangka
Belitung 1.03 2.51 68.75 80.59 0.65 7.45
Bengkulu 1.17 2.65 81.34 88.25 0.82 8.25
Lampung 0.18 3.59 82.05 86.62 0.63 7.75
DKI Jakarta 0.62 1.47 91.42 91.45 0.19 10.93
Jawa Barat 0.09 5.29 79.27 82.73 0.42 8.02
Banten 0.2 5.04 74.19 81.7 0.67 8.32
Jawa Tengah 0.25 0.63 80.6 85.33 1.32 7.24
Dista Yogyakarta 0.33 0.24 93.47 94.02 0.62 9.07
Jawa Timur 0.16 1.39 83.1 88.82 2.39 7.24
B a l i 0.07 0.31 76.69 89.26 2.63 8.21
Nusa Tenggara
Barat 0.48 2.27 85.07 86.52 6.48 6.77
Nusa Tenggara
Timur 1.05 0.84 68.52 81.24 3.95 6.99
Kalimantan Barat 0.75 0.99 69.65 84.48 3.29 6.82 Kalimantan
Tengah 0.28 0.27 74.6 86.83 0.45 8.03
Kalimantan
Selatan 0.32 2.21 75.59 80.59 0.78 7.65
Kalimantan Timur 0.33 1.48 90.86 92.49 0.78 8.87
Sulawesi Utara 0.22 0.05 82.92 89.06 0.29 8.89
Gorontalo 0.4 4.27 73.5 81.78 1.3 7.38
Sulawesi Tengah 0.73 2.9 74.46 84.17 1.14 8
Sulawesi Selatan 0.41 0.7 75.05 82.63 4.04 7.84
Sulawesi Barat 0.63 0.11 65.09 77.92 4.94 7.11 Sulawesi
Tenggara 1.06 1.71 77.28 88.17 1.96 8.11
Maluku 0.38 1.66 86.76 92.85 0.8 8.76
Maluku Utara 0.64 0.03 80.52 90.76 0.59 8.63
Papua 1.3 2.73 60.05 74.35 30.73 6.66
Lampiran 4 Data Objek dan Peubah jenjang pendidikan SMA
Provinsi Angka Mengulang
Angka Putus Sekolah
Angka Partsipasi
Kasar
Angka Partisispasi
Sekolah
Angka Buta Huruf
Rata-rata Lama Sekolah
Aceh 1.18 3.79 80.96 73.53 0.74 8.81
Sumatera Utara 0.21 3.13 72.69 66.94 0.51 8.85
Sumatera Barat 0.71 5.43 72.82 65.65 0.55 8.48
R i a u 0.48 3.49 67.94 64.54 0.3 8.58
Kepulauan Riau 0.3 6.9 79.63 66.56 0.65 9.16
Jambi 0.43 5.64 63.21 56.11 0.68 7.84
Sumatera Selatan 0.23 5.43 60.87 54.79 0.37 7.82 Kep Bangka
Belitung 0.72 4.22 60.59 47.51 0.65 7.45
Bengkulu 0.35 3.63 68.83 59.63 0.82 8.25
Lampung 0.33 1.77 57.81 51.34 0.63 7.75
DKI Jakarta 0.57 2.25 63.14 61.99 0.19 10.93
Jawa Barat 0.18 2.87 51.37 47.82 0.42 8.02
Banten 0.13 3.1 58.35 50.9 0.67 8.32
Jawa Tengah 0.3 0.95 61.61 53.72 1.32 7.24
Dista Yogyakarta 0.39 1.4 79.29 73.06 0.62 9.07
Jawa Timur 0.27 1.82 67.06 59.39 2.39 7.24
B a l i 0.07 1.57 82.36 65.22 2.63 8.21
Nusa Tenggara
Barat 0.57 4.51 62.89 57.71 6.48 6.77
Nusa Tenggara
Timur 1.17 7.74 58.95 49.22 3.95 6.99
Kalimantan Barat 1.09 7.51 57.55 50.35 3.29 6.82
Kalimantan Tengah 0.32 1.24 57.61 54.5 0.45 8.03
Kalimantan Selatan 0.71 5.14 55.75 50.23 0.78 7.65
Kalimantan Timur 0.53 6.59 72.39 64.76 0.78 8.87
Sulawesi Utara 0.29 5.48 71.31 56.75 0.29 8.89
Gorontalo 0.34 4.76 61.93 49.61 1.3 7.38
Sulawesi Tengah 1.01 2.97 60.32 50.06 1.14 8
Sulawesi Selatan 0.55 2.81 67.71 53 4.04 7.84
Sulawesi Barat 0.21 6.4 52.17 44.54 4.94 7.11
Sulawesi Tenggara 0.43 3.44 73.02 59.93 1.96 8.11
Maluku 0.49 5.91 86.92 72.4 0.8 8.76
Maluku Utara 0.93 3.29 74.96 64.12 0.59 8.63
Papua 1.77 5.66 48.2 48.28 30.73 6.66
24
Lampiran 5 Model logistik rata-rata lama sekolah
data
Import "
D:\\karil\\Excel\\ratarata.xlsx
"
1
0., 6.09 , 1., 6.02 , 2., 6.24 , 3., 6.51 , 4., 6.57 , 5., 6.71 , 6., 6.79 , 7., 6.74 ,
8., 7.05 , 9., 7.08 , 10., 7.24 , 11., 7.3 , 12., 7.44 , 13., 7.47 , 14., 7.52 , 15., 7.72 , 16., 7.92
sol DSolve x' t r x t 1 x t
15 ,x 0 6.09 ,x t ,t
x t 15.
r t
1.46305 r t
ax sol 1, 1, 2
15. r t
1.46305 r t
nlm NonlinearModelFit data,ax,r,t
FittedModel
15. 0.0297179 t
1.46305 21 t
Show ListPlot
data, PlotStyle Red, Thick , AxesLabel
Tahun, Rata2_lama _sekolah , Plot
nlm
t
,
t
, 0, 120
y =
15 0.0297179 t 1.46305 0.0297179t20 40 60 80 100 120 Tahun
Lampiran 6 Matriks korelasi
Tingkat Pendidikan SD
Peubah AM APtS APK APS RLS
APtS 0.543
APK -0.053 -0.030
APS -0.288 -0.345 0.731
RLS -0.469 -0.264 0.248 0.401
ABH 0.171 0.163 -0.754 -0.757 -0.614
Tingkat Pendidikan SMP
Peubah AM APtS APK APS RLS
APtS -0.061
APK -0.421 -0.087
APS -0.227 -0.306 0.825
ABH 0.443 0.046 -0.519 -0.522
RLS -0.164 -0.142 0.693 0.721 -0.445
Tingkat Pendidikan SMA
Peubah AM APtS APK APS ABH
APtS 0.369
APK -0.160 -0.075
APS -0.099 -0.146 0.902
ABH 0.599 0.208 -0.369 -0.283
RLS -0.240 -0.218 0.565 0.661 -0.445
26
Lampiran 7 Koordinat Biplot SD
Koordinat Objek
Dim-1 Dim-2
1 -0.10745 0.06655
2 -0.15311 -0.10961
3 0.02012 0.18158
4 -0.0831 0.12558
5 -0.12413 -0.09006
6 -0.05761 -0.05479
7 -0.054 0.02207
8 0.07701 0.3902
9 -0.03007 0.07027
10 -0.0102 -0.01699
11 -0.22453 -0.20379
12 -0.07263 -0.19076
13 -0.09645 -0.2015
14 0.00905 -0.0632
15 -0.05835 -0.24293
16 0.03091 -0.19372
17 -0.00844 -0.14576
18 0.16871 -0.0842
19 0.18194 0.41
20 0.11925 0.26833
21 -0.10897 0.09166
22 0.00252 0.08306
23 -0.05949 0.14867
24 -0.16989 -0.05892
25 0.11808 0.19582
26 -0.00439 0.05689
27 0.07541 -0.15453
28 0.13137 0.02097
29 -0.06778 -0.11545
30 -0.19474 -0.09175
31 -0.1063 0.01348
32 0.80371 -0.32952
33 0.05357 0.20237
Koordinat Peubah
Dim-1 Dim-2
V1 0.26688 0.39168
V2 0.24225 0.36744
V3 -0.39982 0.28674
V4 -0.47113 0.09893
V5 -0.37599 -0.13262
V6 0.47598 -0.1726
Nilai Eigen
KU
Nilai
Eigen Proporsi Kumulatif
1 3.0459 50.8% 50.8%
2 1.4813 24.7% 75.5%
3 0.7369 12.3% 87.7%
4 0.4140 6.9% 94.6%
5 0.2007 3.3% 98.0%
Lampiran 8 Koordinat Biplot SMP
Koordinat Objek
Dim 1 Dim 2
1 0.19115 -0.19977
2 0.20970 -0.10217
3 0.04621 -0.26492
4 0.10017 0.25642
5 0.19719 -0.11868
6 0.00837 0.02228
7 0.02067 0.15063
8 -0.19740 -0.01058
9 -0.01113 -0.11823
10 0.02723 0.26470
11 0.28802 -0.14392
12 -0.01994 0.43220
13 -0.05573 0.37483
14 -0.01040 0.05426
15 0.25897 -0.10837
16 0.03448 0.10024
17 0.06445 0.00698
18 -0.06732 0.07192
19 -0.23094 -0.15219
20 -0.17043 -0.06842
21 0.01639 -0.01521
22 -0.08281 0.17013
23 0.20526 -0.00517
24 0.14538 -0.05138
25 -0.12494 0.28722
26 -0.07711 0.05800
27 -0.07624 -0.01240
28 -0.24697 -0.07224
29 -0.03721 -0.16070
30 0.17157 -0.00933
31 0.09648 -0.18263
32 -0.61655 -0.25252
33 -0.05657 -0.20097
Koordinat Peubah
Dim 1 Dim 2
V1 -0.27612 -0.35501
V2 -0.12685 0.43287
V3 0.51236 0.02405
V4 0.50851 -0.14403
V5 -0.41074 -0.16306
V6 0.45984 -0.10693
Nilai Eigen
KU
Nilai
Eigen Proporsi Kumulatif
1 3.1049 51.7% 51.7%
2 1.1649 19.4% 71.1%
3 0.8026 13.4% 84.5%
4 0.5031 8.4% 92.9%
5 0.3011 5.0% 97.9%
28
Lampiran 9 Koordinat Biplot SMA
Koordinat Objek
Dim 1 Dim 2
1 0.18679 -0.33089
2 0.19160 0.01630
3 0.09492 -0.16658
4 0.11115 -0.00916
5 0.19076 -0.17949
6 -0.03400 0.02558
7 -0.03482 0.10624
8 -0.13139 0.09093
9 0.07074 0.04856
10 -0.04395 0.25046
11 0.21116 0.01082
12 -0.08441 0.30506
13 -0.01125 0.23969
14 -0.03085 0.25135
15 0.28308 -0.05199
16 0.01802 0.14630
17 0.20895 0.05418
18 -0.12967 -0.01626
19 -0.25932 -0.16641
20 -0.25486 -0.12962
21 -0.00051 0.24580
22 -0.13953 0.06282
23 0.10827 -0.16590
24 0.08915 -0.00209
25 -0.09544 0.13434
26 -0.09798 0.03266
27 -0.03243 0.05867
28 -0.23219 0.16591
29 0.07381 0.00211
30 0.23903 -0.26552
31 0.11217 -0.14832
32 -0.57460 -0.44072
33 -0.00241 -0.17487
Koordinat Peubah
Dim 1 Dim 2
V1 -0.28477 -0.41135
V2 -0.20567 -0.30076
V3 0.47008 -0.24063
V4 0.47310 -0.26551
V5 -0.38374 -0.25210
V6 0.45685 -0.08101
Nilai Eigen KU Nilai
Eigen
Proporsi Kumulatif
1 2.8880 48.1% 48.1%
2 1.4318 23.9% 72.0%
3 0.8144 13.6% 85.6%
4 0.4646 7.7% 93.3%
5 0.3267 5.4% 98.8%