• Tidak ada hasil yang ditemukan

Analisis perkembangan ekonomi wilayah untuk arahan pembangunan kecamatan di wilayah pesisir Kabupaten Garut

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2017

Membagikan "Analisis perkembangan ekonomi wilayah untuk arahan pembangunan kecamatan di wilayah pesisir Kabupaten Garut"

Copied!
111
0
0

Teks penuh

(1)

ANALISIS PERKEMBANGAN EKONOMI WILAYAH

UNTUK ARAHAN PEMBANGUNAN KECAMATAN DI

WILAYAH PESISIR KABUPATEN GARUT

DUDU SUDARYA

SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR

(2)
(3)

PERNYATAAN MENGENAI TESIS DAN

SUMBER INFORMASI SERTA PELIMPAHAN HAK CIPTA

Dengan ini saya menyatakan bahwa tesis berjudul “Analisis Perkembangan Ekonomi Wilayah untuk Arahan Pembangunan Kecamatan di Wilayah Pesisir

Kabupaten Garut” adalah benar karya saya dengan arahan dari komisi pembimbing dan belum diajukan dalam bentuk apa pun kepada perguruan tinggi mana pun. Sumber informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan maupun tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam Daftar Pustaka di bagian akhir tesis ini.

Dengan ini saya melimpahkan hak cipta dari karya tulis saya kepada Institut Pertanian Bogor.

Bogor, Desember 2013

Dudu Sudarya

(4)
(5)

RINGKASAN

DUDU SUDARYA. Analisis Perkembangan Ekonomi Wilayah untuk Arahan Pembangunan Kecamatan di Wilayah Pesisir Kabupaten Garut. Dibimbing oleh SANTUN R.P. SITORUS dan MUHAMMAD FIRDAUS.

Wilayah pesisir Kabupaten Garut merupakan wilayah yang relatif kurang berkembang, dari sisi ekonomi. Pembangunan kecamatan-kecamatan di wilayah pesisir perlu mendapatkan prioritas. Oleh sebab itu, perlu dilakukan penelitian terkait potensi dan karakteristik ekonomi sehingga dapat dirumuskan suatu arahan dan strategi yang efektif bagi pembangunan kecamatan di wilayah pesisir. Tujuan penelitian adalah: (1) mengetahui tingkat perkembangan ekonomi wilayah di kecamatan pesisir; (2) mengetahui sektor ekonomi unggulan; (3) mengetahui hirarki dan efisiensi wilayah pembangunan; dan (4) merumuskan arahan pembangunan wilayah dan sektor ekonomi kecamatan pesisir. Analisis dilakukan dengan menggunakan metode analisis Entropi, Analisis Location Quotient (LQ),

Shift Share Analysis (SSA), Analisis Skalogram, Analisis DEA dan analisis MCDM-TOPSIS.

Hasil analisis Entropi menunjukan bahwa Kecamatan wilayah pesisir memiliki tingkat perkembangan sebesar 72% dari total kemampuan maksimumnya. Nilai ini lebih rendah dibandingkan dengan Kabupaten Garut sebagai induk wilayah yang memiliki tingkat perkembangan sebesar sebesar 81%. Secara umum wilayah pesisir memiliki keunggulan komparatif di sektor primer terutama di sektor pertanian. Dari sisi keunggulan kompetitif wilayah, sektor yang paling cepat tumbuh di kecamatan pesisir adalah sektor sekunder yaitu sektor listrik, gas dan air minum serta sektor industri pengolahan. Hasil analisis skalogram menunjukan bahwa sebagian besar perdesaan di kecamatan pesisir berada pada tingkat perkembangan yang rendah. Dari 65 desa yang dianalisis, hanya ada 3 desa atau sekitar 4,6% yang masuk kategori Hirarki I. Desa yang masuk Hirarki II berjumlah 22 desa atau sekitar 33,9%, sisanya sebanyak 40 desa atau sekitar 61,5% termasuk Hirarki III. Hasil analisis efisiensi wilayah menunjukan bahwa dari sisi serapan tenaga kerja tiap sektor, terdapat empat kecamatan yang belum efisien yaitu Kecamatan Bungbulang, Mekarmukti, Pakenjeng dan Cikelet. Dari sisi efisiensi pemanfaatan lahan, terdapat dua kecamatan yang belum efisien yaitu Kecamatan Caringin dan Kecamatan Cikelet. Arahan pengembangan wilayah pembangunan dengan menggunakan analisis MCDM-TOPSIS menunjukan bahwa prioritas wilayah pembangunan adalah sebagai berikut: (1) Kecamatan Mekarmukti, (2) Kecamatan Pakenjeng dan (3) Kecamatan Caringin. Sebanyak 25 desa diarahkan menjadi pusat pertumbuhan ekonomi melalui pengembangan sarana pelayanan dan 40 desa diarahkan sebagai pemasok sumberdaya bagi wilayah inti melalui peningkatan sarana produksi. Untuk meningkatkan perkembangan ekonomi wilayah di kecamatan pesisir, prioritas pembangunan sektor ekonomi diarahkan pada (1) sektor pertanian, (2) industri pengolahan, (3) sektor perdagangan, hotel dan restoran, serta (4) sektor listrik, gas dan air minum.

(6)

diabetes. Tujuan penelitian ini adalah memperoleh fraksid, hambat aktivitas

-amilase dari ekstrak etann

SUMMARY

DUDU SUDARYA. Regional Economic Growth Analysis as Direction of Coastal Regional Development in Garut Regency. Supervised by SANTUN R.P. SITORUS and MUHAMMAD FIRDAUS.

Economy of coastal areas was less developed than other regions in Garut Regency. Development of districts in coastal areas should get priority to push economic growth in Garut Regency. Therefore, it is necessary to study characteristics of the region's economic potential and to formulate the direction of development. The aims of this research were: (1) to determine the level of regional economic growth in the coastal districts, (2) to determine the leading sectors of economic, (3) to determine hierarchy and efficiency of development and (4) to formulate direction of regional and economic development of coastal districts. The analytical methods used were Entropy Analysis, Location Quotient ( LQ) Analysis, Shift Share Analysis (SSA), schallogram Analysis, Data Envelopment Analysis (DEA) and the MCDM (Multi-Criteria Decision Making) Analysis using TOPSIS (Technique for Order Performance by Similarity to Ideal Solution) .

The results of Entropy Analysis showed that level of diversity and balanced economic sectors in the district of coastal areas are still low. Rate of economic growth in coastal areas was 72% of its maximum capacity. This value was lower than the development of Garut district that has a value growth 81% of maximum capacity. Based on LQ and SSA Analyses, the basis of economic sectors of coastal areas in Garut regency mainly in the primary sectors of agriculture. Secondary sector was the fastest growing sector especially manufacturing sector and electricity, gas and water sector. Based on schallogram analysis, rural economic facilities development in 7 districts at coastal areas was still low. There were only 3 villages or approximately 4.6 % belongs to Hierarchy I as core areas and growth centers. 20 villages or 33.8 % belongs to Hierarchy II and 40 villages or 61.5 % belongs to Hierarchy III. DEA analysis showed that efficiency level of labour in districts of Bungbulang, Mekarmukti, Pakenjeng and Cikelet were not efficient to push GDP. Efficiency of landuse still low in Caringin and Cikelet district.

The result of TOPSIS analysis showed that priority of development areas to push economic growth and equity directed to: Mekarmukti, Pakenjeng and Caringin districts. To improve rural economic growth, 25 villages directed to develop as growth economic centers and 40 vilages directed to develope as hinterland areas. Development of economic sectors is directed to: (1) agriculture, (2) manufacturing, (3) trade, hotels and restaurants, and (4) electricity, gas and water.in Isia is widely used as herbal

Keywords: development, economic sectors, regional planning

(7)

© Hak Cipta Milik IPB, Tahun 2013

Hak Cipta Dilindungi Undang-Undang

Dilarang mengutip sebagian atau seluruh karya tulis ini tanpa mencantumkan atau menyebutkan sumbernya. Pengutipan hanya untuk kepentingan pendidikan, penelitian, penulisan karya ilmiah, penyusunan laporan, penulisan kritik, atau tinjauan suatu masalah; dan pengutipan tersebut tidak merugikan kepentingan IPB

(8)
(9)

Tesis

sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Magister Sains

pada

Program Studi Ilmu Perencanaan Wilayah

ANALISIS PERKEMBANGAN EKONOMI WILAYAH

UNTUK ARAHAN PEMBANGUNAN KECAMATAN DI

WILAYAH PESISIR KABUPATEN GARUT

SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR

BOGOR 2013

(10)
(11)

Judul Tesis : Analisis Perkembangan Ekonomi Wilayah untuk Arahan Pembangunan Kecamatan di Wilayah Pesisir Kabupaten Garut Nama : Dudu Sudarya

NIM : A.156120284

Disetujui oleh Komisi Pembimbing

Prof. Dr. Ir. Santun R.P. Sitorus Ketua

Prof. Dr. Ir. M. Firdaus, M.Si. Anggota

Diketahui oleh

Ketua Program Studi Ilmu Perencanaan Wilayah

Prof. Dr. Ir. Santun R.P. Sitorus.

Dekan Sekolah Pascasarjana

Dr. Ir. Dahrul Syah, M.Sc.Agr.

(12)

PRAKATA

Puji dan syukur penulis panjatkan kepada Allah S.W.T. atas segala karunia-Nya sehingga karya ilmiah ini berhasil diselesaikan. Tema yang dipilih dalam penelitian ini ialah perkembangan ekonomi wilayah dengan judul Analisis Perkembangan Ekonomi Wilayah untuk Arahan Pembangunan Kecamatan di Wilayah Pesisir Kabupaten Garut..

Terima kasih penulis ucapkan kepada Prof. Dr. Ir. Santun R.P. Sitorus, M.Sc. dan Prof. Dr. Ir. M. Firdaus, M.Si selaku ketua dan anggota komisi pembimbing yang telah memberi saran, bimbingan dan konsultasi sehingga penelitian berhasil diselesaikan dan diwujudkan dalam bentuk karya tulis ilmiah. Di samping itu, penghargaan penulis sampaikan kepada PUSBINDIKLATREN BAPPENAS selaku sponsor beasiswa serta Pemerintah Daerah Kabupaten Garut yang telah memberikan dukungan selama pelaksanaan penelitian. Ungkapan terima kasih juga disampaikan kepada orang tua dan seluruh keluarga saya atas doa dan restunya.

Semoga karya ilmiah ini bermanfaat.

Bogor, Desember 2013

(13)

DAFTAR ISI

DAFTAR TABEL ii

DAFTAR GAMBAR iii

DAFTAR LAMPIRAN iv

1 PENDAHULUAN 1

Latar Belakang 1

Perumusan Masalah 3

Tujuan Penelitian 4

Manfaat Penelitian 4

Ruang Lingkup Penelitian 5

Kerangka Pemikiran 5

2 TINJAUAN PUSTAKA 7

Konsep Pengembangan Wilayah 7

Pusat Pertumbuhan dan Hirarki Wilayah 9

Pembangunan Sektor Ekonomi 10

Perencanaan Pembangunan Wilayah 12

Pembangunan Wilayah Pesisir 13

3 METODE PENELITIAN 16

Lokasi dan Waktu Penelitian 16

Jenis dan Metode Pengumpulan Data 16

Metode Analisis Data 18

4 KONDISI UMUM WILAYAH 32

Kondisi Fisik Wilayah 32

Demografi Penduduk 35

Kondisi Sosial Ekonomi 37

Kondisi Wilayah Pesisir 41

5 HASIL DAN PEMBAHASAN 47

Perkembangan Ekonomi Kecamatan di Wilayah Pesisir 47

Keunggulan Komparatif dan Kompetitif Wilayah 49

Hirarki dan Efisiensi Wilayah Pembangunan 57

Arahan Pembangunan Kecamatan Pesisir 63

6 SIMPULAN DAN SARAN 78

Simpulan 78

Saran 79

DAFTAR PUSTAKA 80

LAMPIRAN

(14)

DAFTAR TABEL

1. Jenis Data, Sumber Data, Teknik Analisis dan Keluaran 17

2. Struktur Tabel Analisis Skalogram 24

3. Rincian Data Responden 28

4. Jenis Penggunaan Lahan di Kabupaten Garut Tahun 2008-2010 34 5. Perkembangan Jumlah, Laju dan Kepadatan Penduduk Kabupaten

Garut Tahun 2006-2011 36

6. Persentase Penduduk yang Bekerja Menurut Lapangan Pekerjaan

Utama di Kabupaten Garut Tahun 2011 37

7. Capaian PDRB Atas Dasar Harga Berlaku dan Harga Konstan

Kabupaten Garut Tahun 2008-2011 39

8. Perkembangan IPM Kabupaten Garut dan Komponennya Tahun

2007-2011 40

9. Pola Penggunaan Lahan di Wilayah Kecamatan Pesisir Tahun 2011 42 10. Demografi Penduduk Kecamatan di Wilayah Pesisir Kabupaten

Garut Tahun 2011 42

11. Capaian IPM Kecamatan di Wilayah Pesisir Kabupaten Garut Tahun

2011 43

12. Produk Domestik Regional Bruto Kecamatan di Wilayah Pesisir Kabupaten Garut Tahun 2007 (Atas Harga Dasar Konstan Tahun

2000) (juta rupiah)* 45

13. Hasil Analisis Entropi terhadap Nilai PDRB Tiap Sektor Ekonomi Kecamatan di Wilayah Pesisir Kabupaten Garut* 48 14. Hasil Analisis Location Quotient (LQ) terhadap Nilai PDRB Sektor

Ekonomi Kecamatan di Wilayah Pesisir 51

15. Struktur Sektor Ekonomi Basis Hasil Analisis Location Quotient

(LQ) Kecamatan di Wilayah Pesisir 53

16. Keunggulan Kompetitif Wilayah Hasil Shift Share Analysis (SSA)

terhadap Nilai PDRB Sub-Sektor Ekonomi Kecamatan di Wilayah

Pesisir 54

17. Proportional Shift dan Regional Share Hasil Shift Share Analysis

(SSA) terhadap Nilai PDRB Kecamatan di Wilayah Pesisir 55

18. Pergeseran Struktur Ekonomi Kecamatan di Wilayah Pesisir

berdasarkan Keunggulan Kompetitif Wilayah 56

19. Efisiensi jumlah sarana pelayanan, serapan tenaga kerja dan luas pemanfaatan lahan terhadap capaian PDRB Kecamatan di Wilayah

Pesisir Kabupaten Garut 62

20. Arahan Pengembangan Desa di Kecamatan Pesisir Kabupaten Garut 70 21. Arahan Pengembangan Sub-sektor Prioritas di Kecamatan Wilayah

(15)

DAFTAR GAMBAR

1. Peta Rencana Kawasan Strategis Kabupaten Garut 2

2. Kerangka Pikir Penelitian 6

3. Bagan Alir Penelitian 18

4. Nilai Entropi pada Berbagai Nilai Peluang 20 5. Grafik Representasi Satu Input dan Satu Output DEA 26 6. Peta Wilayah Administrasi Kabupaten Garut 32 7. Peta Penggunaan Lahan di Kabupaten Garut 35 8. Peta Administrasi Kecamatan di Wilayah Pesisir Kabupaten

Garut 46

9. Peta Tingkat Perkembangan Ekonomi Wilayah 42 Kecamatan di Kabupaten Garut berdasarkan Hasil Analisis Entropi 49 10. Peta Hirarki Perkembangan Wilayah Desa di Kecamatan Pesisir

Kabupaten Garut 60

11. Grafik Ranking of Alternatives Wilayah Pembangunan Kecamatan Pesisir berdasarkan analisis TOPSIS 67 12. Peta prioritas pengembangan Kecamatan di Wilayah Pesisir

Kabupaten Garut 68

13. Peta arahan wilayah pengembangan desa di Kecamatan Pesisir

Kabupaten Garut 71

14. Grafik Ranking of Alternatives Pengembangan Jenis Sarana

Prasarana di Wilayah Kecamatan Pesisir 72

15. Grafik Ranking of Alternatives Pengembangan Sektor Ekonomi di

Wilayah Kecamatan Pesisir 74

16. Peta Arahan Pengembangan Sub-Sektor Prioritas di Wilayah

(16)

DAFTAR LAMPIRAN

1. Produk Domestik Regional Bruto Kabupaten Garut Menurut Lapangan Usaha Tahun 2007-2011 (Atas Dasar Harga Konstan

Tahun 2000) (Juta Rupiah) 81

2. Produk Domestik Regional Bruto Kecamatan di Kabupaten Garut Menurut Lapangan Usaha Tahun 2007 (Atas Dasar Harga Konstan

Tahun 2000) (Juta Rupiah) 81

3. Produk Domestik Regional Bruto Sub- Sektor Ekonomi Kecamatan di Wilayah Pesisir Kabupaten Garut Menurut Lapangan Usaha Tahun 2001 dan Tahun 2008 (Atas Dasar Harga Konstan Tahun

2000) (Juta Rupiah) 81

4. Hasil Analisis Entropi terhadap Nilai PDRB Tiap Sektor di 42

Kecamatan di Kabupaten Garut 81

5. Hasil Analisis Location Quotient (LQ) terhadap Nilai PDRB Sektor

Ekonomi 42 Kecamatan di Kabupaten Garut 81

6. Hasil Analisis Skalogram terhadap Jarak dan Jumlah Sarana Prasarana Wilayah berdasarkan data PODES Tahun 2011 81 7. Hasil Analisis Efisiensi Wilayah dengan Menggunakan Data

Envelopment Analyisis (DEA) 81

(17)
(18)
(19)

1

PENDAHULUAN

Latar Belakang

Otonomi daerah memberikan pengaruh yang luas terhadap berkembangnya sistem perencanaan wilayah di Indonesia. Dalam batas tertentu, pemerintah daerah diberikan kewenangan untuk merencanakan pembangunan di wilayahnya sendiri berdasarkan potensi yang dimiliki. Otonomi diharapkan dapat mendorong pemerintah daerah untuk mampu memecahkan berbagai permasalahan pembangunan melalui pengembangan potensi regional. Dengan adanya desentralisasi kewenangan, pemerintah daerah diharapkan mampu memberikan upaya maksimal dalam menumbuhkan ekonomi wilayah sekaligus mengurangi kesenjangan antar sub-wilayah di daerahnya.

Dalam melaksanakan pembangunan, salah satu masalah yang sering dihadapi pemerintah daerah adalah masih terbatasnya informasi terkait potensi dan perkembangan wilayah itu sendiri. Akibatnya, penetapan dan pelaksanaan program-program pembangunan umumnya lebih bersifat politis tanpa didasarkan pada suatu kajian ilmiah. Tingkat perkembangan ekonomi sub-wilayah serta hubungan antar sektor seringkali diabaikan dalam pengambilan keputusan. Hal ini menyebabkan fokus pembangunan menjadi bias dan tidak menyentuh akar masalah yang sebenarnya.

Sebagai wilayah yang sedang tumbuh dan berkembang, pembangunan Kabupaten Garut masih banyak terkendala karena minimnya informasi tentang perkembangan setiap sub-wilayah. Perencanaan pembangunan yang belum sepenuhnya didasarkan pada kajian yang komprehensif serta masih dijalankannya konsep pembangunan yang bersifat sektoral bertendensi menciptakan pertumbuhan yang tidak seimbang. Akibatnya, terjadi disparitas perkembangan antar wilayah. Secara faktual, fenomena ini tampak pada perkembangan wilayah pesisir.

Berdasarkan hasil penelitian Gumilar (2009), dalam kurun waktu tahun 2001-2007, tingkat disparitas di Kabupaten Garut terus mengalami kenaikan, yang ditunjukkan dengan meningkatnya indeks Williamson sebesar 0,2628 pada tahun 2001 menjadi 0,4154 pada tahun 2007. Wilayah Pengembangan Garut Utara merupakan wilayah yang relatif berimbang dengan nilai disparitas paling rendah. Sementara Wilayah Pengembangan Garut Tengah dan Garut Selatan merupakan wilayah pengembangan yang mengalami disparitas. Kawasan pesisir yang berada di Wilayah Pengembangan Garut Selatan merupakan wilayah yang relatif tertinggal dan mengalami peningkatan disparitas pembangunan paling tinggi dari 0.2864 pada Tahun 2001 menjadi 0.3075 pada Tahun 2007.

(20)

2

suatu daerah. Dinamika perkembangannya sangat menentukan pertumbuhan sektor-sektor pembangunan lainnya, menentukan pertumbuhan wilayah-wilayah di sekelilingnya secara lintas pelaku. Peranan strategis wilayah pesisir salah satunya bisa tercapai jika memiliki basis ekonomi yang bertumbuh atas sumberdaya domestik yang terbarui.

Dari sisi perencanaan tata ruang, pesisir Kabupaten Garut memiliki nilai strategis, baik dilihat dari sudut pandang ekonomi, ekologi, sosial maupun pertahanan keamanan. Dalam Rencana Tata Ruang Wilayah (RTRW) Kabupaten Garut Tahun 2011-2031 (Perda No. 29 Tahun 2011), wilayah pesisir Kabupaten Garut ditetapkan sebagai Kawasan Strategis Kabupaten (KSK) Koridor Jalan Lintas Jabar Selatan yang dianggap memiliki nilai strategis ekonomi yang berpengaruh terhadap tingkat pertumbuhan ekonomi kabupaten. KSK Tersebut meliputi tujuh kecamatan di wilayah pesisir yaitu Kecamatan Cibalong, Kecamatan Cikelet, Kecamatan Pameungpeuk, Kecamatan Mekarmukti, Kecamatan Pakenjeng, Kecamatan Bungbulang dan Kecamatan Caringin (Gambar 1).

Selain ditetapkan sebagai Kawasan Strategis Kabupaten, Kecamatan-kecamatan di wilayah Pesisir Kabupaten Garut juga ditetapkan sebagai wilayah pengembangan. Berdasarkan Peraturan Daerah Provinsi Jawa Barat Nomor 28 Tahun 2010 tentang Pengembangan Wilayah Jawa Barat Bagian Selatan yang merupakan penjabaran dari Rencana Tata Ruang Wilayah Provinsi Jawa Barat Tahun 2009-2029, dari 16 kecamatan yang ditetapkan sebagai wilayah rencana pengembangan di Kabupaten Garut, seluruh kecamatan di wilayah pesisir masuk ke dalam target pengembangan yaitu Kecamatan Pameungpeuk, Kecamatan

(21)

3 Cikelet, Kecamatan Bungbulang, Kecamatan Caringin, Kecamatan Cibalong dan Kecamatan Mekarmukti. Berdasarkan hal tersebut, maka pemerintah daerah perlu menetapkan suatu strategi pembangunan dalam mendorong tumbuhnya kekuatan sektor-sektor pembangunan berbasis sumberdaya lokal yang bisa menjadi penggerak perekonomian masyararakat di wilayah pesisir.

Penetapan kecamatan-kecamatan di wilayah pesisir sebagai kawasan ekonomi strategis dan kawasan pengembangan merupakan tantangan bagi Pemerintah Daerah untuk menetapkan strategi perencanaan yang matang dalam mendorong pertumbuhan ekonomi di wilayah pesisir. Oleh sebab itu dibutuhkan informasi terkait potensi ekonomi serta tingkat perkembangan wilayah pesisir sebagai dasar bagi penetapan kebijakan. Disisi lain, sampai saat ini kajian tentang perkembangan ekonomi wilayah pesisir di Kabupaten Garut masih belum banyak dilakukan. Oleh sebab itu, dalam menetapkan strategi pembangunan, diperlukan suatu penelitian untuk menganalisis tingkat perkembangan ekonomi wilayah serta mengidentifikasi potensi wilayah berdasarkan keunggulan kompetitif dan keunggulan komparatif. Hasil penelitian tersebut diharapkan bisa dijadikan dasar bagi Pemerintah Daerah dalam merumuskan strategi kebijakan pembangunan untuk mendorong pertumbuhan ekonomi wilayah pesisir secara merata dan berkelanjutan.

Perumusan Masalah

Disparitas pembangunan antar kecamatan di Kabupaten Garut menyebabkan terjadinya ketimpangan pertumbuhan ekonomi di tiap sub-wilayah. Ada subwilayah yang tumbuh makin pesat, tetapi ada pula yang mengalami perkembangan yang lambat. Wilayah pesisir Garut yang terletak di Wilayah Pembangunan (WP) Garut Selatan termasuk wilayah yang mengalami perkembangan paling lambat dan dapat dikategorikan sebagai wilayah tertinggal. Menurut Gumilar (2009), ketertinggalan tersebut diakibatkan terjadinya kendala pembangunan antara lain kendala ekonomi (kurangnya ketersediaan sarana-prasarana yang dapat menunjang perekonomian wilayah serta tingkat PDRB), kendala geografis (kemiringan lereng, dan kerentanan bencana), kendala pola penggunaan lahan serta keterbatasan kemampuan sumberdaya manusia.

Masyarakat pesisir Kabupaten Garut sampai saat ini masih berada dalam strata sosial ekonomi yang rendah. Berdasarkan data Bappeda Kabupaten Garut Tahun 2011, hampir semua kecamatan di wilayah pesisir memiliki nilai IPM (Indeks Pembangunan Manusia) yang termasuk ke dalam kelompok empat (kelompok bawah) yang terdiri dari kecamatan-kecamatan yang memiliki level rendah dibandingkan dengan kecamatan-kecamatan lainnya. Hanya ada satu kecamatan yaitu Kecamatan Pameungpeuk yang termasuk dalam kelompok dua (rata-rata atas).

(22)

4

ekonomi dan diversitas sektor-sektor pembangunan di kecamatan pesisir dibandingkan dengan kecamatan-kecamatan lainnya di Kabupaten Garut. Untuk melihat bagaimana kondisi daya dukung sarana-prasarana pelayanan di kecamatan pesisir, dilakukan analisis hirarki wilayah berdasarkan konsep nodal untuk melihat struktur hirarki perkembangan wilayah desa/kelurahan di masing-masing kecamatan.

Untuk mengetahui potensi sektor-sektor ekonomi yang bisa dikembangkan, perlu dilakukan analisis komparatif dan kompetitif untuk mengidentifikasi kekuatan ekonomi lokal yang dimiliki wilayah pesisir. Melalui analisis tersebut, dapat diketahui sektor-sektor pembangunan mana saja yang merupakan sektor ekonomi basis dan sektor unggulan. Melalui analisis komparatif dan kompetitif wilayah, dapat ditetapkan suatu arahan pemilihan sektor ekonomi yang bisa menjadi dasar pengambilan keputusan dalam mendorong pertumbuhan dan pemerataan ekonomi di wilayah tersebut.

Berdasarkan rumusan masalah diatas, perlu dilakukan penelitian dan analisis untuk menjawab pertanyaan penelitian sebagai berikut:

1. Bagaimana perkembangan ekonomi wilayah kecamatan pesisir dibanding wilayah-wilayah lainnya di Kabupaten Garut?

2. Sektor-sektor ekonomi mana yang perlu diprioritaskan untuk dikembangkan dari sisi keunggulan komparatif dan kompetitif?

3. Wilayah mana yang perlu mendapatkan prioritas pembangunan dari sisi ketersediaan sarana prasarana maupun efisiensi pembangunan?

4. Bagaimana rumusan strategi pengembangan wilayah pesisir Kabupaten Garut ke depan berdasarkan potensi ekonomi yang dimiliki masing-masing subwilayah?

Untuk menjawab pertanyaan-pertanyaan diatas, digunakan pendekatan analisis perkembangan ekonomi wilayah yang hasilnya dapat dijadikan acuan bagi perencanaan pembangunan wilayah pesisir secara bersinergi dan berkelanjutan.

Tujuan Penelitian

Tujuan penelitian ini adalah:

1. Mengetahui tingkat perkembangan ekonomi wilayah di kecamatan pesisir; 2. Mengetahui sektor ekonomi unggulan;

3. Mengetahui hirarki dan efisiensi wilayah pembangunan;

4. Merumuskan arahan pembangunan wilayah dan sektor ekonomi kecamatan pesisir.

Manfaat Penelitian

(23)

5

Ruang Lingkup Penelitian

Dalam penelitian ini, yang dimaksud dengan wilayah pesisir lebih merujuk pada wilayah terkait batasan administrasi dan bukan pada wilayah dalam arti fungsi kawasan. Menurut UU No. 27 Tahun 2007 Tentang Pengelolaan Wilayah Pesisir dan pulau-pulau kecil, pada Pasal 2 dikatakan bahwa ruang lingkup pengaturan wilayah pesisir ke arah darat mencakup wilayah administrasi kecamatan dan ke arah laut sejauh 12 (dua belas) mil laut diukur dari garis pantai. Pada penelitian ini, wilayah penelitian dibatasi pada wilayah daratan yaitu wilayah administrasi kecamatan yang memiliki garis pantai dan ditetapkan sebagai Kawasan Strategi Kabupaten (KSK) Koridor Jalan Lintas Jabar Selatan meliputi 7 Kecamatan yaitu Kecamatan Cibalong, Pameungpeuk, Cikelet, Pakenjeng, Mekarmukti, Bungbulang dan Caringin.

Kecamatan-kecamatan yang ada di wilayah pesisir dianggap sebagai satu kesatuan unit wilayah yang tidak terpisah. dengan mengambil asumsi bahwa faktor-faktor diluar objek penelitian dianggap konstan dimana tidak ada pengaruh dari wilayah luar, baik dalam bentuk interaksi wilayah maupun interaksi antar sektor. Hal ini sejalan dengan pendapat Haley (2009) bahwa kebijakan pem bangunan pesisi r harus dil aksanakan secara t erpadu dimana wilayah pesisir diperlakukan sebagai zona tunggal dan bukan sebagai unit terpisah.

Lingkup analisis dilakukan terhadap aspek perkembangan ekonomi wilayah berdasarkan indikator perkembangan sektor-sektor ekonomi serta ketersediaan sarana prasarana. Penentuan lokasi penelitian, objek penelitian maupun responden ditentukan dengan metode purposive berdasarkan pertimbangan efektivitas dan kemudahan dalam pencapaian tujuan penelitian.

Kerangka Pemikiran

Wilayah pesisir Kabupaten Garut merupakan wilayah yang relatif kurang berkembang baik dari sisi ekonomi maupun kesejahteraan sosial. Sebagai wilayah yang relatif teringgal dibandingkan dengan wilayah lainnya, perencanaan pembangunan kecamatan di wilayah pesisir perlu mendapatkan prioritas sehingga wilayah pesisir mampu berkembang dan memberikan dampak ekonomi yang positif bagi masyarakat. Oleh sebab itu perlu dirumuskan arahan dan strategi pembangunan kecamatan pesisir Kabupaten Garut yang sesuai dengan karakteristik ekonomi wilayah.

Dalam perumusan strategi pembangunan, perlu dilakukan analisis tingkat perkembangan wilayah serta potensi ekonomi di kecamatan pesisir. Untuk mengidentifikasi sejauhmana tingkat perkembangan wilayah pesisir, dilakukan analisis tingkat perkembangan ekonomi wilayah tiap kecamatan berdasarkan tingkat sebaran (diversitas) tiap sektor pembangunan. Selanjutnya dilakukan identifikasi potensi ekonomi wilayah melalui analisis komparatif dan kompetitif untuk melihat sektor ekonomi mana yang menjadi basis dan unggulan yang perlu dikembangkan untuk mendorong pertumbuhan ekonomi.

(24)

6

dikembangkan dari sisi sarana pelayanan serta tingkat efisiensinya terhadap capaian PDRB dan IPM. Selanjutnya berdasarkan hasil kuisioner, dilakukan pemilihan alternatif strategi pembangunan berdasarkan preferensi stakeholder. Kerangka pikir penelitian dapat dilihat pada Gambar 2.

Gambar 2 Kerangka Pikir Penelitian

Potensi Ekonomi Wilayah - Keunggulan Komparatif

- Keunggulan Kompetitif

Preferensi

Stakeholders

Pembangunan Sektor-Sektor Perekonomian Tingkat Perkembangan Wilayah

- Perkembangan Ekonomi wilayah kecamatan

- Tingkat Hirarki Wilayah Desa

Analisis Perkembangan Ekonomi

Analisis Pengambilan

Keputusan

Arahan Pembangunan Kecamatan Pesisir Kegiatan Pembangunan Wilayah Pesisir Kabupaten

Garut

Prioritas Wilayah Pembangunan

(25)

7

2

TINJAUAN PUSTAKA

Konsep Pengembangan Wilayah

Pengembangan atau pembangunan didefinisikan sebagai upaya yang terkoordinasi dan sistematik untuk menciptakan suatu keadaan dimana terdapat lebih banyak alternatif yang sah bagi setiap warga negara untuk memenuhi aspirasinya yang paling humanistik yaitu peningkatan kesejahteraan (Sitorus, 2012). Dari sisi keberlanjutan atau sustainability, terdapat tiga sudut pandang

terkait keberlanjutan dari sebuah pembangunan yaitu sudut pandang „literal‟, „ekologi‟ dan „sosial‟. Sudut pandang literal menekankan pada keberlanjutan

segala sesuatu. Sudut pandang ekologi lebih menekankan pada pembangunan berkelanjutan ekologi yang berbasis pada kehidupan manusia. Sementara dari sisi sosial, keberlanjutan lebih menekankan pada sisi sosial ekonomi yang berbasis kehidupan manusia. Jadi keberlanjutan adalah suatu upaya mempertahankan kehidupan manusia dengan penekanan pada aspek ekologi, sosial dan ekonomi (Lele, 1991).

Menurut Chen et al. (2013), penetapan kebijakan terkait pembangunan wilayah pesisir harus mempertimbangkan tiga dimensi pembangunan berkelanjutan yaitu lingkungan, ekonomi dan sosial. Dalam pengambilan keputusan pembangunan wilayah pesisir, terutama di negara-negara berkembang, perlu dipertimbangkan bagaimana menyeimbangkan antara tiga hal tersebut dan bagaimana memilih alternatif optimal untuk mengatasi berbagai konflik kepentingan dalam pemanfaatan sumberdaya pesisir. Kebijakan pengembangan wilayah pesisir harus diimbangi dengan mempertimbangkan dampak pembangunan terhadap kondisi sosial ekonomi masyarakat. Evaluasi tentang program-program pembangunan terkait ekonomi dan sosial merupakan hal yang penting sebagai dasar penentuan kebijakan pembangunan wilayah pesisir di masa depan.

(26)

8

wilayah dengan mengintegrasikan aspek sosial dan lingkungan untuk mencapai kesejahteraan yang optimal dan berkelanjutan (Dahuri dan Nugroho, 2004).

Menurut Rustiadi et al. (2009), dalam menyusun perencanaan pembangunan berbasis wilayah penting untuk diperhatikan keterpaduan sektoral, spasial serta keterpaduan antarpelaku pembangunan di dalam dan antar wilayah. Salah satu ciri penting pembangunan wilayah adalah adanya upaya mencapai pembangunan berimbang (balanced development), dengan terpenuhinya potensi-potensi pembangunan sesuai dengan kapasitas pembangunan setiap wilayah maupun daerah yang beragam sehingga dapat memberikan keuntungan dan manfaat yang optimal bagi masyarakat di seluruh wilayah.

Dalam pembangunan wilayah perlu senantiasa diarahkan pada tujuan pengembangan wilayah, antara lain mencapai: (1) pertumbuhan (growth), yaitu terkait dengan alokasi sumber daya-sumber daya yang langka terdiri atas sumber daya manusia, sumber daya alam, dan sumber daya buatan untuk hasil yang maksimal sehingga dapat dimanfaatkan untuk kebutuhan manusia dalam meningkatkan kegiatan produktivitasnya; (2) pemerataan (equity), yang terkait dengan pembagian manfaat hasil pembangunan secara adil sehingga setiap warga negara yang terlibat perlu memperoleh pembagian hasil yang memadai secara adil. Dalam hal ini perlu adanya kelembagaan yang dapat mengatur manfaat yang diperoleh dari proses pertumbuhan material maupun non-material di suatu wilayah secara adil; serta (3) keberlanjutan (sustainability), bahwa penggunaan sumber daya baik yang ditransaksikan melalui sistem pasar maupun di luar sistem pasar harus tidak melampaui kapasitas kemampuan produksinya (Anwar, 2005).

Pengembangan ekonomi wilayah pesisir sangat erat kaitannya dengan disparitas antar wilayah. Masyarakat pesisir telah menemukan diri mereka terjebak dalam lingkaran setan kemiskinan, over-eksploitasi sumberdaya alam, yang mengakibatkan degradasi sumberdaya untuk makanan dan kelangsungan hidup, sehingga mendorong pemiskinan (Hidayati, 2000).

Moreno-Casasola (2000), kemiskinan dan degradasi sumberdaya lahan merupakan akibat dari kurangnya dirasakan pilihan mata pencaharian masyarakat pesisir dan praktek eksploitasi berlebihan terhadap sumberdaya. Kekuatan-kekuatan luar seperti kondisi pasar dan akses memainkan peran penting dalam membentuk situasi ini, termasuk diantaranya adalah kebijakan pembangunan di wilayah pesisir itu sendiri. Kendala yang terjadi dalam pengelolaan pesisir salah satunya adalah kurangnya kesadaran di antara pembuat kebijakan terhadap pemenuhan kebutuhan masyarakat pesisir dan peran mereka dalam mengelola lingkungan.

(27)

9 Instabilitas politik serta sistem administrasi yang tidak efisien akan menghambat pengembangan wilayah dalam hal hilangnya peluang investasi akibat ketidakpastian usaha terutama di bidang ekonomi dan perijinan yang rumit. Demikian juga kebijakan pemerintah yang tidak tepat dengan lebih menekankan pada pertumbuhan pembangunan tanpa diimbangi dengan pemerataan. Nilai-nilai sosial-budaya masyarakat yang konservatif dan kontraproduktif akan menghambat perkembangan ekonomi wilayahnya.

Salah satu upaya yang dilakukan dalam rangka penyerasian pembangunan daerah untuk mengurangi disparitas, mewujudkan keterpaduan pembangunan, serta mempercepat kemajuan pembangunan daerah, dilaksanakan melalui pendekatan berbasis wilayah yang pada prinsipnya adalah meminimalisasi friksi dan memaksimalisasi sinergitas sehingga terwujud keserasian pembangunan daerah di wilayah pengembangan, yang mencakup tiga aspek, yaitu: (1) keserasian pertumbuhan antar daerah, antar wilayah maupun antar kawasan yang berorientasi pada kepentingan bersama pengembangan potensi lokal, (2) keserasian kebijakan dan program-program pembangunan sektoral dan daerah dalam skenario pengembangan wilayah, serta (3) keserasian di antara stakeholder

dalam dinamika pengembangan wilayah (Sumarsono 2004).

Upaya mewujudkan keseimbangan antar kawasan menjadi penting karena pada dasarnya keterkaitan yang bersifat simetris akan mampu mengurangi kesenjangan antarwilayah yang pada akhirnya akan mampu memperkuat pembangunan ekonomi wilayah secara menyeluruh. Kesenjangan antarwilayah selama ini telah menimbulkan banyak permasalahan, baik sosial, ekonomi maupun politik, terlebih karena kemiskinan yang terjadi di suatu tempat akan berbahaya bagi wilayah lainnya dan juga ketika kesejahteraan di suatu tempat yang lain tidak terdistribusikan secara adil ke seluruh wilayah (Rustiadi et al.

2009).

Pusat Pertumbuhan dan Hirarki Wilayah

Dalam kaitannya dengan strategi pengembangan wilayah, perlu diidentifikasi wilayah-wilayah yang menjadi pusat pertumbuhan yang mampu menggerakan ekonomi wilayah di sekitarnya. Melalui pendekatan konsep wilayah nodal, dapat diketahui wilayah yang menjadi pusat-pusat pertumbuhan dan seberapa besar dampaknya dalam memberikan multiplier effect terhadap wilayah lain.

(28)

10

sektor dengan sektor lainnya, keberadaan sektor-sektor yang saling terkait menciptakan efek pengganda yang mampu mendorong pertumbuhan daerah belakangnya, adanya konsentrasi geografis berbagai sektor atau fasilitas yang menciptakan efisiensi, serta terdapat hubungan yang harmonis antara pusat pertumbuhan dengan daerah belakangnya.

Anwar (2005) mengemukakan bahwa pendekatan analisis pembangunan wilayah yang lebih tepat harus mampu mencerminkan adanya kerangka berfikir yang menyangkut interaksi antara aktivitas-aktivitas ekonomi spasial dan mengarah pada pemanfaatan sumberdaya secara optimal antara kegiatan di kawasan kota-kota dan wilayah-wilayah belakangnya (hinterland), di samping interaksi tersebut berlangsung dengan wilayah-wilayah lainnya yang lebih jauh. Kawasan kota dan wilayah belakangnya dapat terjadi hubungan fungsional yang tumbuh secara interaktif yang dapat saling mendorong atau saling menghambat dalam mencapai tingkat kemajuan optimum bagi keseluruhannya.

Menurut Panuju (2012), berdasarkan konsep wilayah nodal, pusat maupun

hinterland suatu wilayah memiliki ciri khas dimana inti mengatur proses berjalannya interaksi dari komponen sel dan hinterland mendukung keberlangsungan hidup sel dan mengikuti pengaturan yang dibangun oleh inti. Jika suatu wilayah dianalogikan sebagai satu sel, maka dalam wilayah kota utama yang menjadi inti dari wilayah memiliki fungsi penting yang berperan besar dalam mempengaruhi jalannya interaksi antar berbagai hinterland. Pusat memiliki daya tarik kuat bagi elemen di hinterland. Daya tarik tersebut secara harfiah berupa berbagai layanan yang didukung fasilitas dan infrastruktur yang lengkap.

Hinterland mendukung berjalannya proses penting yang dilakukan di pusat. Proses-proses penting tersebut terdiri dari proses-proses transaksi dan peningkatan nilai tambah produksi. Industri dan jasa sebagai aktifitas yang berperan besar dalam peningkatan nilai tambah akan berkembang pesat di inti (kota) dengan fasilitas yang lengkap tersebut. Sebaliknya, hinterland sebagai pendukung berlangsungnya proses di pusat memiliki keunggulan sumberdaya dasar untuk mendukung proses peningkatan nilai tambah di pusat.

Secara teknis identifikasi pusat dan hinterland dapat dilakukan dengan mengidentifikasi jumlah dan jenis fasilitas umum, industri dan jumlah penduduknya. Pusat yang memiliki daya tarik kuat karena lengkapnya fasilitas dicirikan dengan jumlah unit dan jumlah jenis fasilitas yang lebih lengkap dibandingkan dengan hinterland. Disamping fasilitas umum, pusat juga berpotensi memiliki industri dan jumlah penduduk dengan kuantitas dan kualitas yang secara relatif paling lengkap dibandingkan dengan unit wilayah yang lain. Selanjutnya wilayah pusat tersebut disebut sebagai wilayah berhirarki.

Pembangunan Sektor Ekonomi

Salah satu solusi pembangunan wilayah pesisir adalah melalui upaya peningkatan ekonomi masyarakat. Menurut Spurgeon (1999), ekonomi bisa

didefinisikan sebagai “studi efisiensi alokasi sumberdaya”. Pemerintah

(29)

11 Perubahan menuju pasar tunggal dan peningkatan globaliasi membutuhkan upaya meningkatkan kompetisi dan keberlanjutan sektor ekonomi. Analisis ekonomi, baik nasional dan sub-nasional sangat dibutuhkan sebagai informasi bagi kebijakan publik, tata kelola dan regulasi sektor tersebut. Analisis ekonomi wilayah, menyediakan akses bagi pemegang kebijakan terkait dampak sektor ekonomi. Analisis juga bisa digunakan untuk kebijakan wilayah regional masa depan untuk memastikan keberlanjutan sektor secara ekonomi dan lingkungan

(Morrissey dan O‟Donoghue, 2012).

Rustiadi et al. (2009) mengemukakan bahwa keterpaduan sektoral menuntut adanya keterkaitan fungsional dan sinergis antara sektor-sektor pembangunan, sehingga setiap program-program pembangunan dalam kelembagaan sektoral dilaksanakan dalam kerangka pembangunan wilayah. Keterpaduan sektoral tidak hanya mencakup hubungan antarlembaga pemerintahan tetapi juga antara pelaku-pelaku ekonomi secara luas dengan latar sektor yang berbeda. Dalam hal ini wilayah yang berkembang ditunjukkan dengan adanya keterkaitan antarsektor ekonomi wilayah, sehingga terjadi transfer input dan output barang dan jasa antar sektor yang sangat dinamis. Keterpaduan spasial membutuhkan interaksi spasial yang optimal yang ditunjukkan dengan adanya struktur keterkaitan antarwilayah yang dinamis.

Pendekatan sektoral dilakukan dengan menentukan sektor unggulan yang memiliki kontribusi dalam perekonomian secara keseluruhan. Suatu sektor dikatakan sebagai sektor kunci atau sektor unggulan apabila memenuhi kriteria sebagai berikut: (1) mempunyai keterkaitan ke depan dan ke belakang yang relatif tinggi; (2) menghasilkan output bruto yang relatif tinggi sehingga mampu mempertahankan final demand yang relatif tinggi pula; (3) mampu menghasilkan penerimaan bersih devisa yang relatif tinggi; dan (4) mampu menciptakan lapangan kerja yang relatif tinggi (Arief, 1993).

Berlakunya otonomi daerah membawa implikasi bagi setiap pemerintah daerah untuk mampu melihat sektor-sektor yang memiliki keunggulan ataupun kelemahan di wilayahnya. Oleh karena itu, setelah berlakunya otonomi daerah, setiap daerah memiliki kewenangan dalam menetapkan sektor atau komoditas yang akan menjadi prioritas pengembangan. Sektor atau komoditas yang memiliki keunggulan memiliki prospek yang lebih baik untuk dikembangkan dan diharapkan dapat menjadi push factor bagi sektor-sektor lain untuk berkembang (Tarigan, 2008).

(30)

12

Upaya pengembangan keunggulan komparatif suatu sub-sektor dilakukan melalui pendekatan pada potensi sumberdaya lokal. Sektor yang dikembangkan harus mampu menyerap tenaga kerja lokal dengan didukung oleh kesesuaian lingkungan sumberdaya lokal. Untuk memetakan sektor unggulan di suatu wilayah, salah satunya bisa didekati dengan menggunakan data nilai tambah (PDRB) yang dicapai masing-masing sektor. Analisis capaian PDRB merupakan salah satu pendekatan yang bisa digunakan untuk mengidentifikasi sektor unggulan bedasarkan kapasitas aktual masing-masing sektor (Rustiadi et al., 2009)

Perencanaan Pembangunan Wilayah

Dalam perspektif paradigma keterkaitan antar wilayah, perencanaan pembangunan wilayah dapat dilakukan melalui dua pendekatan, yaitu melalui pendekatan sektoral dan pendekatan wilayah. Pendekatan sektoral dilaksanakan dengan memfokuskan perhatian pada sektor-sektor kegiatan yang ada di wilayah tersebut. Pendekatan ini mengelompokkan kegiatan ekonomi atas sektor-sektor yang seragam atau dianggap seragam. Pendekatan wilayah dilakukan bertujuan melihat pemanfaatan ruang serta interaksi berbagai kegiatan dalam ruang wilayah, sehingga terlihat perbedaan fungsi ruang yang satu dengan ruang yang lainnya. Perbedaan fungsi tersebut terjadi karena perbedaan lokasi, perbedaan potensi, dan perbedaan aktivitas utama pada masing-masing ruang yang harus diarahkan untuk bersinergi agar saling mendukung penciptaan pertumbuhan yang serasi dan seimbang (Tarigan, 2008).

Perencanaan pembangunan wilayah dalam hubungannya dengan suatu daerah sebagai wilayah pembangunan, merupakan suatu proses perencanaan pembangunan yang bertujuan melakukan perubahan menuju arah perkembangan yang lebih baik bagi suatu komunitas masyarakat, pemerintah, dan lingkungannya dalam wilayah atau daerah tertentu, dengan memanfaatkan atau mendayagunakan berbagai sumberdaya yang ada, serta harus memiliki orientasi yang bersifat menyeluruh, lengkap, namun tetap berpegang pada asas prioritas (Riyadi dan Bratakusumah, 2005).

Perencanaan pembangunan wilayah dari aspek ekonomi adalah penentuan peranan sektor-sektor pembangunan dalam mencapai target pembangunan yaitu pertumbuhan, yang kemudian diikuti dengan kegiatan investasi pembangunan baik investasi pemerintah maupun swasta. Penentuan peranan sektor-sektor pembangunan diharapkan dapat mewujudkan keserasian antarsektor pembangunan, sehingga dapat meminimalisasi inkompabilitas antarsektor dalam pemanfaatan ruang, mewujudkan keterkaitan antarsektor baik ke depan maupun ke belakang, serta proses pembangunan yang berjalan secara bertahap ke arah yang lebih maju dan menghindari kebocoran maupun kemubaziran sumberdaya (Anwar 2005).

(31)

13 spesifik, beberapa sektor cenderung memiliki aktivitas yang terpusat dan terkait dengan sebaran sumberdaya alam, buatan dan sosial yang ada. Atas dasar pemikiran tersebut maka di setiap wilayah selalu terdapat sektor-sektor yang bersifat strategis karena besarnya sumbangan yang diberikan sektor tersebut terhadap perekonomian wilayah serta keterkaitan sektoral dan spasialnya. Perkembangan sektor strategis tersebut memberikan dampak langsung dan tidak langsung yang signifikan, dimana dampak tidak langsung terwujud akibat perkembangan sektor tersebut berdampak bagi berkembangnya sektor-sektor lain dan secara spasial berdampak luas di seluruh wilayah. Menurut Saefulhakim (2004), keterbatasan dalam hal ketersediaan sumber daya harus menjadi pertimbangan pemerintah khususnya pemerintah daerah dalam melaksanakan program-program pembangunan daerahnya sehingga dalam perencanaan pembangunan perlu ditetapkan adanya skala prioritas pembangunan.

Pembangunan Wilayah Pesisir

Menurut UU No. 27 Tahun 2007 tentang Pengelolaan Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil, ruang lingkup pengaturan wilayah pesisir meliputi daerah peralihan antara ekosistem darat dan laut yang dipengaruhi oleh perubahan di darat dan laut, dimana ke arah darat mencakup wilayah administrasi kecamatan. Untuk membangun wilayah pesisir, dibutuhkan arahan dan strategi pembangunan yang didasarkan pada potensi yang dimiliki wilayah tersebut.

Dalam membangun wilayah pesisir diperlukan strategi yang tepat. Menurut Hopkins (2001), strategi adalah serangkaian tindakan yang bisa dianggap sebagai sebuah pohon keputusan (decision tree). Strategi dibutuhkan sebagai alat untuk menentukan tindakan apa yang harus dilakukan saat ini dalam hubungannya dengan tindakan di masa depan. Strategi dibutuhkan dalam situasi dimana ada banyak tindakan yang harus dibuat dimana tindakan-tindakan tersebut berada dibawah banyak otoritas dalam jangka waktu yang lama dan dalam sebuah lingkungan yang tidak mendukung. Strategi adalah sebuah dasar perencanaan karena secara eksplisit menjelaskan tentang bagaimana mengambil sebuah tindakan nyata dari beragam pilihan yang pada akhirnya akan memberikan konsekwensi atas hasil yang ingin dicapai.

Strategi dan manajemen pembangunan dalam meningkatkan ekonomi masyarakat pesisir dan pemanfaatan sumberdaya membutuhkan pendekatan hirarki dan terintegrasi. Indikator-indikator utama berdasarkan hasil identifikasi pada level wilayah lokal harus digunakan untuk mengidentifikasikan prioritas untuk menduga manfaat dan batasan-batasan yang dimiliki komunitas dalam menyusun strategi manajemen wilayah pesisir (Kronen et al., 2010).

(32)

14

Dalam pembangunan ekonomi pesisir, kapasitas daya tampung ekosistem dan kapasitas produksi ekonomi menjadi faktor pembatas yang perlu diperhatikan. Menurut Nobre et al. (2009), faktor-faktor pembatas tersebut meliputi:

1. Batasan wilayah, terkait area lahan yang dapat dimanfaatkan untuk aktivitas budidaya dan penggunaan lainnya;

2. Batasan sumberdaya, terkait ketersediaan sumberdaya, densitas panen dan pelaksanaan yang berpengaruh pada laju produksi;

3. Batasan lingkungan, berupa efek dari kondisi lingkungan yang akan berpengaruh terhadap tingkat produksi. Efek ini sangat tergantung dari proses budidaya dan kapasitas asimilasi dari ekosistem;

4. Batasan skala, dimana setiap pengurangan maupun penambahan unit variabel input akan memberikan dampak pada pengurangan maupun penambahan kapasitas output produksi.

5. Batasan biaya, terkait dengan jumlah input yang bisa digunakan;

6. Maksimalisasi keuntungan, besarnya keuntungan yang dapat meningkatkan produksi sehingga keuntungan bisa terus diraih.

Menurut Asmawi et al. (2012), program-program terkait manajemen pesisir merupakan pendekatan penting dalam melaksanakan tujuan dan strategi pembangunan berkelanjutan. Secara global, manajemen pesisir merupakan alat manajemen yang efektif yang bekerja secara lintas disiplin, lintas sektoral dan lintas institusional dalam mengelola sumberdaya. Manajemen pesisir memberikan banyak implikasi positif bagi sektor lingkungan, sosial dan ekonomi serta merupakan suatu kerangka kerja universal yang dapal diaplikasikan di semua negara untuk memenuhi aspirasi nasional dalam meningkatan pertumbuhan dan pembangunan fisik maupun sosial-ekonomi.

Di masa depan, keberlanjutan manajemen sumberdaya pesisir merupakan target kebijakan yang sangat penting bagi seluruh pemerintahan di negara-negara yang memiliki garis pantai. Area pesisir mendapatkan tekanan kuat akibat efek dari sistem alam dan sistem manusia. Integrasi sosial-ekonomi di kawasan pesisir membutuhkan dua konteks analisis yaitu: (1) Memahami efek kekuatan perubahan sosial ekonomi seperti pertumbuhan polulasi, urbanisasi dan perubahan penggunaan lahan; dan (2) menduga dampak perubahan terhadap kesejahteraan masyarakat serta menduga biaya dan manfaat sosial yang dirasakan masyarakat dalam penggunaan sumberdaya (Turner, 2000).

Dalam rangka untuk mencoba dan mencapai pendekatan yang lebih terpadu terhadap isu-isu pembangunan pesisir, pemerintah sebaiknya membangun pesisir berdasarkan model pada prinsip-prinsip yang terkandung dalam konsep Pengelolaan Kawasan Pesisir secara terintegrasi (Integrated Coastal Zone Management-ICZM). Bentuk pengelolaan seperti ini membutuhkan kemampuan kelembagaan untuk menangani masalah-masalah inter-sektoral seperti, lintas disiplin ilmu, kewenangan-kewenangan dari lembaga pemerintah dan batas-batas kelembagaan (Dirhamsyah, 2006).

Menurut Haley (2009), prinsip-prinsip ICZM meliputi:

(33)

15 2. Wilayah laut dan pesisir diperlakukan sebagai zona tunggal dan bukan sebagai

unit terpisah

3. Perlu pendekatan jangka panjang untuk pengelolaan wilayah pesisir dan laut 4. Sistem pemerintahan yang memungkinkan semua pemangku kepentingan

untuk berkontribusi dalam memformulasikan kebijakan agar lebih efektif. Conyers (1994) mengemukakan bahwa konsep pembangunan harus bersifat

top down dan melibatkan stakeholder dengan mendorong partisipasi aktif masyarakat dalam perencanaan. Pendekatan-pendekatan yang bisa dilakukan diantaranya adalah:

(1) Para perencana harus mulai menyadari perlunya diperhitungkan variabel non-ekonomis apabila mengingingkan keberhasilan dalam implementasi pembangunan;

(2) Penentuan kebijakan pembangunan dan pengambilan keputusan harus mempertimbangkan kondisi sosial, kebutuhan orang-orang yang menjadi objek pembangunan serta informasi-informasi terkait dampak pembangunan terhadap masyarakat di sekitarnya;

(3) Perencana harus mengubah mind set yang pada awalnya menganggap aspek ekonomi sebagai tujuan akhir pembangunan menjadi kesadaran bahwa tujuan akhir dari pembangunan adalah aspek sosial. Yang menjadi target adalah kondisi sosial masyarakat, bukan hanya pertumbuhan ekonomi semata.

(34)

16

3

METODE PENELITIAN

Lokasi dan Waktu Penelitian

Penelitian dilakukan di Kabupaten Garut yang secara geografis terletak pada

-6057‟ 34”-7044‟ 57” Lintang Selatan dan 1070 24‟ 33”-10807‟ 34” Bujur Timur. Lokasi penelitian difokuskan pada kecamatan-kecamatan pesisir yang termasuk dalam Kawasan Strategi Kabupaten (KSK) Lintas Jabar Selatan meliputi tujuh kecamatan yaitu Kecamatan Caringin, Kecamatan Bungbulang, Kecamatan Mekarmukti, Kecamatan Pakenjeng, Kecamatan Cikelet, Kecamatan Pameungpeuk dan Kecamatan Cibalong. Penelitian dilaksanakan pada Bulan April-Oktober 2013.

Jenis dan Metode Pengumpulan Data

Jenis data yang digunakan dalam penelitian ini terdiri dari data sekunder dan data primer. Data sekunder meliputi:

(1) Data Potensi Desa (PODES) Kecamatan Pesisir Tahun 2011. Data yang digunakan adalah (a) data jarak wilayah ke pusat pelayanan, (b) data jumlah dan jenis sarana kesehatan, (c) data jumlah dan jenis sarana pendidikan, (d) data sarana transportasi, (e) data jumlah dan jenis sarana komunikasi, (f) data jumlah dan jenis industri, (g) data jumlah dan jenis sarana perdagangan, (h) data jumlah dan jenis koperasi serta (i) data jumlah dan jenis fasilitas pelayanan kredit/perbankan. Data diperoleh dari BPS Kabupaten Garut.

(2) Data indikator perkembangan sektor-sektor ekonomi Kabupaten Garut. Data yang digunakan adalah data PDRB Kabupaten Garut Tahun 2011 atas dasar harga konstan Tahun 2000 yang merupakan data paling baru berdasarkan laporan BPS Tahun 2012.

(3) Data indikator perkembangan sektor-sektor ekonomi kecamatan di Kabupaten Garut. Data yang digunakan adalah data PDRB tiap Kecamatan di Kabupaten Garut Tahun 2007 atas dasar harga konstan tahun 2000. Data ini merupakan data PDRB terbaru yang dirilis BPS karena sejak Tahun 2009, BPS tidak lagi mempublikasikan data PDRB per kecamatan.

(4) Data indikator perkembangan sektor-sektor ekonomi kecamatan di wilayah pesisir.Data yang digunakan adalah data PDRB Tahun 2000 dan Tahun 2008 yang merupakan data terakhir berdasarkan kajian BPS terhadap PDRB 9 kecamatan di Kabupaten Garut yang dipublikasikan pada Tahun 2009.

(5) Peta dasar meliputi peta batas administrasi wilayah, peta penggunaan lahan, peta jalan dan peta lainnya. Peta diperoleh dari Bappeda Kabupaten Garut.

(35)

17 hasil-hasil pembangunan baik dari kalangan swasta maupun masyarakat. Pengambilan data dilakukan dengan menggunakan metode Purposive Sampling.

Alat analisis yang digunakan adalah software pengolah data (Excell, SANNA dan Win4DEAP) serta software pengolah peta (ArcGIS). Jenis data, sumber data, teknik analisis dan keluaran yang diharapkan untuk masing-masing tujuan penelitian dapat dilihat pada Tabel 1. Bagan Alir Penelitian disajikan pada Gambar 3.

Tabel 1 Jenis Data, Sumber Data, Teknik Analisis dan Keluaran

No. Tujuan Jenis Data Sumber Data Teknik

Analisis

Output yang diharapkan

1. Mengetahui Tingkat Perkembangan Ekonomi Kecamatan Pesisir

Mengetahui

2. Mengidentifikasi Sektor Ekonomi Unggulan

a. Identifikasi

3. Penentuan Hirarki dan Efisiensi Wilayah Pembangunan

(36)

18

Metode Analisis Data Analisis Perkembangan Ekonomi Wilayah

Perkembangan suatu wilayah dapat dipahami dari semakin meningkatnya jumlah komponen sistem serta penyebaran (jangkauan spasial) komponen sistem tersebut. Kedua hal tersebut pada dasarnya bermakna peningkatan kuantitas komponen serta perluasan hubungan spasial dari komponen di dalam sistem maupun dengan sistem luar. Suatu sistem dikatakan berkembang jika jumlah dari komponen/aktifitas sistem tersebut bertambah atau aktifitas dari komponen sistem

(37)

19 tersebar lebih luas. Perkembangan suatu wilayah dapat ditunjukkan dari semakin meningkatnya komponen wilayah, misalnya alternatif sumber pendapatan wilayah dan aktifitas perekonomian di wilayah tersebut, semakin luasnya hubungan yang dapat dijalin antara subwilayah-subwilayah dalam sistem tersebut maupun dengan sistem sekitarnya. Perluasan jumlah komponen aktifitas ini dapat dianalisis dengan menghitung indeks diversifikasi dengan konsep entropy (Panuju dan Rustiadi, 2012).

Prinsip pengertian indeks Entropi adalah semakin beragam aktifitas atau semakin luas jangkauan spasial, maka semakin tinggi Entropi wilayah. Artinya wilayah tersebut semakin berkembang. Semakin tinggi Entropi semakin berkembang suatu sistem. Entropi selalu lebih besar dari 0 dengan pola hubungan antara peluang komponen dengan nilai Entropinya berbentuk kurva kuadratik dengan nilai maksimum 1/n. Artinya Entropi akan maksimum pada saat peluang di seluruh komponen sama dengan 1/n. Nilai Entropi maksimumnya adalah sebesar ln (n).

Model Analisis Entropi merupakan salah satu konsep analisis yang dapat menghitung tingkat keragaman (diversifikasi) komponen aktivitas. Keunggulan dari konsep ini karena dapat digunakan untuk: (1) memahami perkembangan suatu wilayah, (2) memahami perkembangan atau kepunahan keragaman hayati, (3) memahami perkembangan aktivitas perusahaan, (4) memahami perkembangan aktivitas suatu sistem produksi pertanian dan lain-lain. Dalam perkembangannya, metode Entropi juga bisa digunakan sebagai metode pembobotan untuk mengkombinasikan perhitungan analisis kuantitatif dan kualitatif. Entropi dapat digunakan untuk mengukur informasi-informasi dari data yang diperoleh serta besar-kecilnya bobot Entropi dari suatu indikator (Dong dan Gao, 2012).

Persamaan umum Entropi adalah sebagai berikut:

dimana :

S : nilai entropi

Pij : nilai rasio frekuensi kejadian pada kategori ke-i di sub wilayah ke-j terhadap total kejadian di n kategori

i : kategori aktivitas ekonomi ke-i j : kategori wilayah ke-j

n : total kategori i dan j

Jika tabel terdiri dari baris dan kolom yang cukup banyak, maka persamaan untuk menghitung peluang titik pada kolom ke-i dan baris kej adalah :

Pij=Xij/Xij, dimana: i = 1,2,...,p ; j = 1,2,...,q



 

n

i n

j

ij

ij

P

P

S

1 1

(38)

20

Dalam identifikasi tingkat perkembangan sistem dengan konsep Entropi ini berlaku bahwa semakin tinggi nilai Entropi maka tingkat perkembangan suatu sistem akan semakin tinggi. Nilai Entropi selalu lebih besar atau paling tidak sama dengan 0 (S ≥ 0). Jika digambarkan dalam suatu grafik, hubungan antara nilai S dengan seluruh kemungkinan peluangnya akan berbentuk kurva kuadratik seperti pada Gambar 4.

Dari Gambar 4 diketahui nilai maksimum Entropi diperoleh pada saat nilai peluangnya sama dengan 1/n, dimana n adalah jumlah seluruh titik (sektor/ komponen/ jangkauan spasial). Nilai Entropi maksimum tersebut akan sama dengan ln (n). Nilai ln(n) maksimum terjadi dalam kondisi seluruh lokasi dan atau aktifitas memiliki nilai sama. Dengan demikian, dapat diartikan bahwa seluruh aktifitas berkembang dengan peluang perkembangan yang sama. Sementara itu nilai minimum sama dengan 0 yang terjadi pada saat seluruh aktifitas dan atau seluruh lokasi sama dengan 0.

Dalam penelitian ini, indeks entropi digunakan untuk mengukur perkembangan ekonomi wilayah kecamatan pesisir berdasarkan sebaran (diversitas) PDRB tiap sektor. Data yang digunakan adalah data indikator perkembangan sektor-sektor ekonomi tiap Kecamatan. Data yang digunakan adalah data PDRB 42 Kecamatan di Kabupaten Garut hasil kajian BPS dan BAPPEDA Kabupaten Garut yang terakhir dipublikasikan pada Tahun 2008.

Analisis Keunggulan Komparatif dan Keunggulan Kompetitif

Dalam konteks ilmu perencanaan pengembangan wilayah, upaya untuk mengidentifikasi aktivitas ekonomi basis sangat penting untuk memetakan komoditas atau sektor unggulan. Keunggulan komparatif wilayah dapat didekati melalui analisis Location Quotient (LQ). Analisis LQ merupakan teknik analisis yang digunakan untuk mengetahui pemusatan suatu aktivitas di suatu wilayah

(39)

21 dalam cakupan wilayah agregat yang lebih luas. Untuk mengetahui keunggulan kompetitif suatu wilayah dapat digunakan analisis shift-share (SSA). Suatu wilayah dikatakan memiliki keunggulan kompetitif apabila dalam waktu tertentu mengalami peningkatan dibandingkan dengan wilayah lain (Rustiadi, 2009).

Untuk menganalisis keunggulan komparatif dan keunggulan kompetitif kecamatan-kecamatan di wilayah pesisir, dalam penelitian ini digunakan data indikator perkembangan sektor-sektor ekonomi tujuh kecamatan pesisir dengan menggunakan data PDRB. Data yang digunakan adalah data PDRB tahun 2000 dan Tahun 2008 (data terakhir yang dikeluarkan BPS Kabupaten Garut).

1) Analisis Location Quotient (LQ)

Analisis LQ dapat digunakan untuk melihat sektor basis atau non basis pada suatu wilayah perencanaan dan dapat mengidentifikasi sektor basis atau keunggulan komparatif suatu wilayah (Rustiadi et al., 2011). Metode analisis LQ pada penelitian ini. menggunakan data PDRB per sektor dari tiap sub-wilayah.

Metode LQ dirumuskan sebagai berikut :

Dimana :

LQij : Indeks kuosien lokasi sub-wilayah i untuk sektor j.

Xij : PDRB masing-masing sektor j di sub-wilayah i.

Xi. : PDRB total di sub-wilayah i.

X.j : PDRB total sektor j di wilayah.

X.. : PDRB total seluruh sektor di wilayah.

Perhitungan nilai indeks LQ menggunakan beberapa asumsi berikut: (1) digali dari kondisi geografis wilayah yang menyebar relatif seragam, (2) pola-pola aktifitas di seluruh unit analisis bersifat seragam, dan (3) produk yang dihasilkan dari setiap aktifitas sama dan diukur dalam satuan yang sama. Implikasi dari asumsi tersebut adalah bahwa seluruh data representasi aktifitas yang diukur dapat dijumlahkan dan nilai penjumlahannya bermakna. Beberapa catatan untuk menginterpretasikan hasil analisis LQ, adalah sebagai berikut:

1. Jika nilai LQij > 1, maka terdapat indikasi konsentrasi aktifitas ke-j di sub wilayah ke-i atau terjadi pemusatan aktifitas ke-j di sub wilayah ke-i. Dapat juga diterjemahkan bahwa wilayah ke-i berpotensi untuk mengekspor produk aktifitas ke-j ke wilayah lain karena secara relatif produksinya di atas rata-rata produksi di seluruh cakupan wilayah analisis.

2. Jika nilai LQij = 1, maka sub wilayah ke-i mempunyai pangsa aktifitas ke-j setara dengan pangsa sektor ke-j di seluruh wilayah. Jika diasumsikan sistem perekonomian tertutup, dimana pertukaran produk atau perdagangan hanya terjadi dalam wilayah yang dianalisis dan bisa dicukupi secara internal dalam cakupan wilayah tersebut, maka wilayah i secara relatif mampu memenuhi

(40)

22

kebutuhan internalnya, namun tidak memiliki surplus produksi yang potensial bisa diekspor ke wilayah lain.

3. Jika LQij < 1, maka sub wilayah ke-i mempunyai pangsa relatif lebih kecil dibandingkan dengan pangsa aktifitas ke-j di seluruh wilayah, atau pangsa relatif aktifitas ke-j di wilayah ke-i lebih rendah dari rataan aktifitas ke-j di seluruh wilayah.

2) Shift Share Analysis (SSA)

Menurut Bowen (2012), Shift Share Analysis (SSA) biasanya digunakan sebagai analisis yang sensitif terhadap periode waktu, regionalisasi dan agregasi level industri. Saat ini teknik SSA banyak digunakan karena kesederhanaan prosedurnya sehingga mudah dipahami oleh mereka yang mendapatkan pelatihan minimal dalam analisis kuantitatif. SSA sangat bermanfaat untuk membandingkan antara ekonomi regional dengan nasional serta mengidentifikasi sektor yang paling pesat tumbuh atau paling lambat berdasarkan pola nasional.

Shift Share Analysis merupakan salah satu analisis untuk memahami pergeseran struktur aktivitas di suatu lokasi tertentu yang dibandingkan dengan suatu referensi (cakupan wilayah yang lebih luas) dalam dua titik waktu, juga menjelaskan kemampuan berkompetisi (competitiveness) aktivitas tertentu di suatu wilayah tertentu serta menjelaskan kinerja aktivitas tertentu di wilayah tertentu. Gambaran kinerja ini dapat dijelaskan dari 3 komponen hasil analisis, yaitu :

1. Komponen Laju Pertumbuhan Total (komponen regional share). Komponen ini menyatakan pertumbuhan total wilayah pada dua titik waktu yang menunjukkan dinamika total wilayah.

2. Komponen Pergeseran Proporsional (komponen proportional shift). Komponen ini menyatakan pertumbuhan total aktivitas tertentu secara relatif,dibandingkan dengan pertumbuhan secara umum dalam total wilayah yang menunjukkan dinamika sektor/aktivitas total dalam wilayah.

3. Komponen Pergeseran Diferensial (komponen differential shift). Ukuran ini menjelaskan bagaimana tingkat kompetisi (competitiveness) suatu aktivitas tertentu dibandingkan dengan pertumbuhan total sektor/aktivitas tersebut dalam wilayah. Komponen ini menggambarkan dinamika (keunggulan/ ketakunggulan) suatu sektor/aktivitas tertentu di sub wilayah tertentu terhadap aktivitas tersebut di sub wilayah lain.

Persamaan SSA adalah sebagai berikut :

(41)

23 c : Komponen differential shift

X.. : Nilai total aktivitas dalam total wilayah

X.j : Nilai total aktivitas tertentu dalam total wilayah Xij : Nilai aktivitas tertentu dalam unit wilayah tertentu t1 : Titik tahun akhir

t0 : Titik tahun awal

Pergeseran nilai PDRB per-sektor menggambarkan pergeseran daya tarik suatu sektor dalam meningkatkan produksi sekaligus untuk meningkatkan serapan tenaga kerja. Data yang digunakan dalam analisis SSA adalah data PDRB per-sektor di wilayah kecamatan pesisir dalam dua titik tahun yaitu Tahun 2000 dan Tahun 2008. Data ini merupakan data terakhir PDRB kecamatan di wilayah pesisir yang dipublikasikan BPS Kabupaten Garut pada Tahun 2009.

Analisis Hirarki dan Efisiensi Wilayah Pembangunan

Untuk menetapkan prioritas wilayah pembangunan, dalam penelitian ini digunakan dua metode analisis yaitu analisis hirarki wilayah dengan menggunakan metode skalogram dan analisis efisiensi wilayah menggunakan DEA (Data Envelopment Analysis). Analisis Skalogram digunakan untuk menentukan prioritas wilayah pembangunan desa di tiap kecamatan berdasarkan ketersediaan jumlah dan jenis sarana pelayanan. Sementara analisis DEA digunakan untuk menentukan prioritas wilayah pembangunan kecamatan berdasarkan tingkat efisiensi wilayah.

1) Analisis Skalogram

Dalam kaitannya dengan strategi pengembangan wilayah, perlu diidentifikasi wilayah-wilayah yang menjadi pusat pertumbuhan yang mampu menggerakan ekonomi wilayah di sekitarnya. Melalui pendekatan konsep wilayah nodal, dapat diketahui wilayah yang menjadi pusat-pusat (inti) dan wilayah yang menjadi pendukung (hinterland). Asumsi yang digunakan adalah bahwa penduduk mempunyai kecenderungan untuk bergerombol di suatu lokasi dengan kondisi fisik, sosial dan ekonomi yang secara relatif terbaik untuk komunitasnya. wilayah dengan fasilitas umum terlengkap memiliki kecenderungan sebagai pusat bagi wilayah di sekitarnya.

Metode yang banyak digunakan untuk menentukan hierarkhi wilayah adalah analisis struktural berdasarkan Guttman Scales. Metode ini mengidentifikasi hierarkhi pusat dari fasilitas umum yang dimiliki suatu wilayah. Identifikasi dan perankingan yang dilakukan didasarkan pada tingkat kelengkapan fasilitas yang ada di suatu wilayah dan membandingkannya dengan wilayah lain.

Salah satu metode yang merupakan gabungan atau penyederhanaan dari

(42)

24

Penyusunan tabel skalogram menggunakan asumsi bahwa masing-masing fasilitas mempunyai bobot dan kualitas yang bersifat indifferent. Proses analisis skalogram didasarkan pada struktur tabel sebagaimana ditampilkan pada Tabel 2.

Rumus umum analisis skalogram berdasarkan Indeks Hirarki adalah sebagai berikut:

adalah bobot fasilitas/faktor penentu hirarki. Tahap-tahap dalam penyusunan skalogram adalah sebagai berikut:

1. Menyusun fasilitas sesuai dengan penyebaran dan jumlah fasilitas di dalam unit-unit wilayah. Fasilitas yang tersebar merata di seluruh wilayah diletakkan dalam urutan paling kiri dan seterusnya sampai fasilitas yang terdapat paling jarang penyebarannya di dalam seluruh unit wilayah. Angka yang dituliskan adalah jumlah fasilitas yang dimiliki setiap unit wilayah.

2. Menyusun wilayah sedemikian rupa dimana unit wilayah yang mempunyai ketersediaan fasilitas paling lengkap terletak di susunan paling atas, sedangkan unit wilayah dengan ketersediaan fasilitas paling tidak lengkap terletak di susunan paling bawah.

3. Menjumlahkan seluruh fasilitas secara horizontal baik jumlah jenis fasilitas maupun jumlah unit fasilitas di setiap unit wilayah.

Gambar

Gambar 1 Peta Rencana Kawasan Strategis Kabupaten Garut
Gambar 2 Kerangka Pikir Penelitian
Gambar 3 Bagan Alir Penelitian
Gambar 4 Nilai Entropi pada Berbagai Nilai Peluang
+7

Referensi

Dokumen terkait

mengembangkan dua bidang ilmu, yaitu ilmu pengetahuan yang meliputi teknologi, dan seni, dengan ilmu agama yang meliputi keimanan, ketaqwaan dan akhlak. Hal ini

1) tidak menyelesaikan studi sesuai dengan kualifikasi program yang tertera pada Surat Keputusan Penerima Beasiswa tanpa unsur kesengajaan. 2) mengundurkan diri setelah

Berdasarkan latar belakang diatas yang telah diuraikan oleh peneliti, maka perlu diadakan penelitian yang bertujuan untuk mengetahui pengaruh orientasi pasar, inovasi

Begitu pula dalam pemberitaan Rapublika mengenai kasus Ba’asyir ini, framing dipakai sebagai cara untuk mengetaui perspektif atau cara pandang awak redaktur Harian Republika

Tujuan dari penelitian ini adalah untuk mengetahui aktivitas hepatoprotektor ekstrak etanol rimpang temu giring (EERTG) dilihat dari aktivitas ALT, AST dan gambaran

Jumlah genotipe yang tahan pustul bakteri di Pacet dan Ciwidey relatif rendah daripada di Ciranjang karena tekanan penyakit ( disease pressure ) terhadap genotipe kedelai di

- Sistem informasi dan monitoring zakat - Sistem informasi dan monitoring wakaf - Penguatan sosialisasi - Kerjasama kelembagaan (Baznas, BWI, dll) - Kerangka aturan sektor

Obyek utama dalam penelitian ini yaitu mengetahui torsi dan daya motor bakar 4 tak dengan pengaplikasian katup standart dan modifkasi yang memiliki ukuran