• Tidak ada hasil yang ditemukan

Studi Pengendalian Gulma Dengan Menggunakan Herbisida Pada Budidaya Kedelai Jenuh Air Di Lahan Pasang Surut

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2017

Membagikan "Studi Pengendalian Gulma Dengan Menggunakan Herbisida Pada Budidaya Kedelai Jenuh Air Di Lahan Pasang Surut"

Copied!
65
0
0

Teks penuh

(1)

STUDI PENGENDALIAN GULMA DENGAN MENGGUNAKAN

HERBISIDA PADA BUDIDAYA KEDELAI JENUH AIR

DI LAHAN PASANG SURUT

ACHMAD YOZAR PERKASA

SEKOLAH PASCASARJANA

INSTITUT PERTANIAN BOGOR

(2)
(3)

PERNYATAAN MENGENAI TESIS DAN

SUMBER INFORMASI SERTA PELIMPAHAN HAK CIPTA*

Dengan ini saya menyatakan bahwa tesis berjudul Studi Pengendalian Gulma dengan Menggunakan Herbisida pada Budidaya Kedelai Jenuh Air di Lahan Pasang Surut adalah benar karya saya dengan arahan dari komisi pembimbing dan belum diajukan dalam bentuk apapun kepada perguruan tinggi manapun. Sumber informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan maupun tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam Daftar Pustaka di bagian akhir tesis ini.

Dengan ini saya melimpahkan hak cipta dari karya tulis saya kepada Institut Pertanian Bogor.

Bogor, Juni 2015

(4)

RINGKASAN

ACHMAD YOZAR PERKASA. Studi Pengendalian Gulma dengan Menggunakan Herbisida pada Budidaya Kedelai Jenuh Air di Lahan Pasang Surut. Dibimbing oleh MUNIF GHULAMAHDI dan DWI GUNTORO.

Salah satu masalah dalam budidaya kedelai jenuh air di lahan pasang surut adalah gangguan gulma. Tujuan penelitian adalah untuk mendapatkan herbisida yang paling efektif untuk mengendalikan gulma pada budidaya kedelai jenuh air di lahan pasang surut. Penelitian dilaksanakan di lahan pasang surut pada tanah mineral di Desa Banyu Urip dan tanah mineral bergambut di Desa Muliasari, Kecamatan Tanjung Lago, Kabupaten Banyuasin, Palembang, Sumatera Selatan pada bulan Juli sampai Desember 2013.

Penelitian dilakukan dengan menggunakan rancangan acak kelompok satu faktor yaitu jenis herbisida. Percobaan terdiri atas delapan perlakuan dengan tiga ulangan. Perlakuan yang diuji yaitu kontrol (P0), penyiangan manual 4 minggu setelah tanam (MST) (P1), paraquat 2 l/ha 4 MST (P2), glifosat 3 l/ha 4 MST (P3), oksifluorfen 2 l/ha 3 hari sebelum tanam (HSbT) (P4), oksifluorfen 2 l/ha 3 HSbT di ikuti aplikasi paraquat 2 l/ha4 MST (P5), oksifluorfen 2 l/ha 3 HSbT di ikuti aplikasi glifosat 3 l/ha4 MST (P6), aplikasi herbisida penoksulam 1 l/ha 2 MST (P7).

(5)

SUMMARY

ACHMAD YOZAR PERKASA. Study of Weed Control by Herbicides under Soybean Saturated Culture in Tidal Swamp. Supervised by MUNIF GHULAMAHDI and DWI GUNTORO

One of the problem on soybean saturated culture in tidal swamp is weed. The objective of this study was to obtain the most effective herbicide for weeds control on soybean saturated culture in tidal swamp. The research was conducted between July - December 2013, in tidal swamp of mineral soil at Banyu Urip and peaty mineral soil at Muliasari village, Tanjung Lago Districs, Banyuasin, Palembang, South Sumatera.

The study was conducted using a randomized block design which one factor were the type of herbicides. The experiment consisted of eight treatments with three replications. The treatments were: control (P0), manual weeding at 4 weeks after planting (P1), paraquat 2 l/ha at 4 weeks after planting (P2), glyphosate 3 l/ha at 4 weeks after planting (P3), oxyfluorfen 2 l/ha at 3 days before planting (P4), oxyfluorfen 2 l/ha at 3 days before planting followed application of paraquat 2 l/ha at 4 weeks after planting (P5), oxyfluorfen 2 l/ha at 3 days before planting followed application of glyphosate 3 l/ha at 4 weeks after planting (P6), application penoxulam 1 l/ha at 2 weeks after planting (P7).

The results showed that Cyperus iria were the most dominant weeds in the field with SDR 37.77% on mineral soil whereas 26.43% on peaty mineral soil. Paraquat herbicide effectively suppressed total dry weight of weeds on mineral soils at 4, 6, and 8 weeks after planting. Glyphosate herbicide effectively suppressed total dry weight of weeds on peaty mineral soil at 4 and 8 weeks after planting. The best herbicide for soybean production on mineral soils was glyphosate 3.76 tons/haproductivity. Whereas paraquat was the best herbicide for peaty mineral soil which was indicated by the productivity of 1.5 tons/ha. Pre-emergence herbicide should be applicated before soybeans planting. Post-emergence herbicide application must be done carefully by using a nozzle lid to prevent toxicity in plants.

(6)

© Hak Cipta Milik IPB, Tahun 2015

Hak Cipta Dilindungi Undang-Undang

Dilarang mengutip sebagian atau seluruh karya tulis ini tanpa mencantumkan atau menyebutkan sumbernya. Pengutipan hanya untuk kepentingan pendidikan, penelitian, penulisan karya ilmiah, penyusunan laporan, penulisan kritik, atau tinjauan suatu masalah; dan pengutipan tersebut tidak merugikan kepentingan IPB

(7)

Tesis

sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Magister Sains

pada

Program Studi Agronomi dan Hortikultura

STUDI PENGENDALIAN GULMA DENGAN MENGGUNAKAN

HERBISIDA PADA BUDIDAYA KEDELAI JENUH AIR

DI LAHAN PASANG SURUT

SEKOLAH PASCASARJANA

INSTITUT PERTANIAN BOGOR

BOGOR

2015

(8)
(9)
(10)
(11)

PRAKATA

Puji dan syukur penulis panjatkan kepada Allah subhanahu wa ta’ala atas segala karunia-Nya sehingga karya ilmiah ini berhasil diselesaikan. Judul penelitian yang dilaksanakan sejak bulan Juli - Desember 2013 ini adalah Studi Pengendalian Gulma dengan Menggunakan Herbisida pada Budidaya Kedelai Jenuh Air di Lahan Pasang Surut.

Pada kesempatan ini penulis menyampaikan terima kasih kepada:

1. Prof Dr Ir Munif Ghulamahdi, MS dan Dr Dwi Guntoro, SP, MSi selaku komisi pembimbing penelitian yang telah banyak memberikan saran dan dukungan materi dan nonmateri bagi kesempurnaan penelitian dan karya ilmiah ini.

2. Dr Ir Iskandar Lubis dan Dr Dewi Sukma, SP, MSi selaku dosen penguji yang banyak memberikan masukan dan saran untuk perbaikan karya ilmiah ini.

3. Direktorat Jenderal Pendidikan Tinggi atas dana penelitian yang telah diberikan.

4. Keluarga tercinta Ayah, Ibu, Kakak dan saudara-saudara atas doa, bantuan, dukungan, perhatian dan kasih sayang yang telah diberikan selama ini.

5. Keluarga Bapak Suaji dan Wakidi serta petani Desa Banyu Urip dan Muliasari atas bantuan yang telah diberikan selama penelitian.

6. Teman-teman Pascasarjana AGH atas segala doa dan bantuan yang telah diberikan.

Semoga karya ilmiah ini dapat memberikan informasi ilmu pengetahuan dan manfaat bagi pihak-pihak yang memerlukan.

(12)

DAFTAR ISI

DAFTAR TABEL vi

DAFTAR GAMBAR vi

DAFTAR LAMPIRAN vi

PENDAHULUAN 1

Latar Belakang 1

Tujuan Penelitian 2

Hipotesis 2

Manfaat Penelitian 2

TINJAUAN PUSTAKA 3

Karakteristik Lahan Rawa Pasang Surut 3

Budidaya Jenuh Air pada Tanaman Kedelai 3

Pengendalian Gulma pada Tanaman Kedelai 4

Herbisida 4

METODE 8

Tempat dan Waktu 8

Bahan dan Alat 8

Metode 8

Pelaksanaan 9

Persiapan Lahan 9

Penanaman dan Pemupukan 9

Aplikasi Herbisida 9

Pemeliharaan dan Panen 9

Pengamatan 10

HASIL DAN PEMBAHASAN 13

Hasil 13

Pembahasan 23

KESIMPULAN DAN SARAN 28

Kesimpulan 28

Saran 28

DAFTAR PUSTAKA 28

LAMPIRAN 33

(13)

DAFTAR TABEL

1 Perbandingan hasil analisis tanah awal 13

2 Data analisis air 14

3 Kondisi vegetasi awal lahan percobaan di tanah mineral 15 4 Pengaruh perlakuan terhadap bobot kering gulma total di tanah mineral 15 5 Pengaruh perlakuan terhadap bobot kering gulma per spesies di tanah

mineral 16

6 Pengaruh perlakuan terhadap vegetatif dan fisiologi tanaman kedelai di

tanah mineral 17

7 Pengaruh perlakuan terhadap hasil dan mutu hasil tanaman kedelai di

tanah mineral 17

8 Pengaruh perlakuan terhadap tingkat keracunan tanaman di tanah

mineral 18

9 Kondisi vegetasi awal lahan percobaan di tanah mineral bergambut 19 10 Pengaruh perlakuan terhadap bobot kering gulma total di tanah mineral

bergambut 19

11 Pengaruh perlakuan terhadap bobot kering gulma per spesies di tanah

mineral bergambut 20

12 Pengaruh perlakuan terhadap vegetatif dan fisiologi tanaman kedelai di

tanah mineral bergambut 21

13 Pengaruh perlakuan terhadap hasil dan mutu hasil tanaman kedelai di

tanah mineral bergambut 21

14 Pengaruh perlakuan terhadap tingkat keracunan tanaman di tanah

mineral bergambut 22

DAFTAR GAMBAR

1 Struktur kimia glifosat 5

2 Struktur kimia paraquat 6

(14)

DAFTAR LAMPIRAN

1 Deskripsi varietas Tanggamus 33

2 Gambar petakan 34

3 Data curah hujan (mm/bulan) daerah penelitian tahun 2013 35

4 Data suhu 0C daerah penelitian tahun 2013 36

5 Kelembaban nisbi (%) daerah penelitian tahun 2013 37 6 Pengaruh perlakuan terhadap jenis gulma dan dominasinya di tanah

mineral 38

7 Pengaruh perlakuan terhadap jenis gulma dan dominasinya di tanah

mineral bergambut 39

8 Koefisien komunitas antar petak perlakuan sebelum percobaan pada

tanah mineral 40

9 Koefisien komunitas antar petak perlakuan sebelum percobaan pada

tanah mineral bergambut 41

10 Jenis - jenis gulma di lahan pasang surut pada tanah mineral 42 11 Jenis - jenis gulma di lahan pasang surut pada tanah mineral

bergambut 43

12 Analisis usahatani untuk perlakuan kontrol

(tanpa pengendalian gulma) di tanah mineral 44

13 Analisis usahatani untuk perlakuan penyiangan manual

di tanah mineral 45

14 Analisis usahatani untuk perlakuan herbisida glifosat

di tanah mineral 46

15 Analisis usahatani untuk perlakuan kontrol

(tanpa pengendalian gulma) di tanah mineral bergambut 47 16 Analisis usahatani untuk perlakuan penyiangan manual

di tanah mineral bergambut 48

17 Analisis usahatani untuk perlakuan herbisida paraquat

di tanah mineral bergambut 49

18 Perbandingan analisis usahatani/ha untuk masing-masing perlakuan tanah mineral dan tanah mineral bergambut

(15)

PENDAHULUAN

Latar Belakang

Kedelai telah lama dibudidayakan di Indonesia, namun perkembangan luas areal tanam sangat lambat dan petani lebih mengutamakan menanam padi dan jagung sehingga kedelai tidak pernah menjadi tanaman utama. Produksi kedelai Indonesia pada tahun 2013 hanya 851 647 ton biji kering dan produktivitas 1.3 ton/ha, sementara kebutuhan kedelai nasional sebanyak 2.3 juta ton. Kekurangan kebutuhan kedelai nasional dipasok melalui impor dari Amerika Serikat dan Brazil sebanyak 1.4 juta ton (BPS 2014).

Peningkatan produksi kedelai harus terus diusahakan melalui upaya pengembangan lahan pertanian potensial, salah satunya lahan rawa pasang surut. Kelebihan air di lahan rawa pasang surut merupakan kendala dalam penanaman kedelai (Sabran et al. 2000). Namun kedelai relatif toleran terhadap kelebihan air sesaat apabila dibandingkan dengan tanaman kacang-kacangan lainnya, dan cepat memperbaiki pertumbuhannya setelah air berkurang (Stanley et al. 1980).

Budidaya jenuh air (BJA) merupakan penanaman dengan memberikan air secara terus-menerus dan membuat tinggi muka air di bawah permukaan tanah tetap sehingga lapisan di bawah perakaran jenuh air (Hunter et al. 1980). Penelitian Ghulamahdi et al. (2009) membuktikan bahwa produktivitas kedelai kuning varietas Tanggamus dapat mencapai 4.63 ton/ha dengan teknik budidaya jenuh air (BJA). Sagala et al. (2013) juga berpendapat teknologi budidaya jenuh air dapat meningkatkan pertumbuhan dan produksi kedelai di lahan rawa pasang surut salin.

Karakteristik lahan rawa apabila dikeringkan akan mengoksidasi pirit yang dapat menyebabkan rendahnya pH tanah. Kadar pirit yang tinggi menyebabkan produktivitas kedelai di lahan pasang surut masih rendah yaitu sekitar 800 kg/ha. Rendahnya produktivitas tanaman di lahan pasang surut disebabkan oleh kemasaman tanah yang tinggi sehingga kelarutan Fe, Al, dan Mn menjadi tinggi, serta rendahnya ketersediaan P dan K (Suastika dan Sutriadi 2001).

Kendala peningkatan produksi kedelai di lahan pasang surut selain masalah biofisik tanah yang menyebabkan produksi kedelai rendah juga disebabkan adanya gulma. Gulma di lahan pasang surut masih menjadi faktor pembatas produksi dan menjadi penting karena investasinya cukup besar, pertumbuhannya sangat cepat dan subur. Gulma perlu dikelola dengan baik agar tidak menimbulkan kerugian. Penelitian Nurjanah (2003) menyatakan terjadi penurunan jumlah polong dan jumlah polong isi pada kedelai tanpa olah tanah pada perlakuan tanpa pengendalian gulma.

(16)

2

dilakukan mengingat terdapat beberapa jenis herbisida di lapangan yang digunakan untuk mengendalikan gulma pada tanaman kedelai, tetapi belum ditemukan jenis herbisida yang paling efektif untuk mengendalikan gulma pada budidaya kedelai jenuh air di lahan pasang surut.

Tujuan Penelitian

Tujuan dari penelitian ini adalah untuk mendapatkan herbisida yang paling efektif untuk mengendalikan gulma pada budidaya kedelai jenuh air di lahan pasang surut.

Hipotesis

Hipotesis yang diajukan pada penelitian ini adalah sebagai berikut:

1. Terdapat jenis herbisida yang paling efektif untuk mengendalikan gulma pada budidaya kedelai jenuh air di lahan pasang surut.

2. Terdapat jenis herbisida yang berpengaruh baik pada pertumbuhan dan produksi kedelai budidaya jenuh air di lahan pasang surut.

Manfaat Penelitian

(17)

3

TINJAUAN PUSTAKA

Karakteristik Lahan Rawa Pasang Surut

Lahan rawa merupakan lahan yang menempati posisi peralihan di antara sistem daratan dan sistem perairan (sungai, danau, atau laut) yaitu antara daratan dan laut atau di daratan sendiri yaitu antara wilayah lahan kering (uplands) dan sungai atau danau. Karakteristik lahan ini adalah tergenang dangkal, selalu jenuh air atau mempunyai air tanah yang dangkal sepanjang tahun atau dalam waktu yang panjang dalam setahun (Subagyo 2006).

Menurut Noor (2004), lahan rawa pasang surut dibagi menjadi empat tipe luapan yaitu tipe A, B, C dan D. Tipe A merupakan daerah yang diluapi baik oleh air pasang besar maupun kecil. Tipe B merupakan daerah yang hanya diluapi oleh air pasang besar. Sementara tipe C dan D tidak mengalami luapan air pasang namun muka air tanah berada pada kedalaman kurang dari 50 cm untuk tipe C dan lebih dari 50 cm untuk tipe D.

Lahan sulfat masam merupakan bagian dari lahan rawa pasang surut yang dapat diklasifikasikan menurut posisi bahan sulfidik di dalam tanah. Tanah dengan reaksi masam ekstrim yang banyak mengandung ion sulfat ini disebut tanah sulfat masam (acid sulphate soils). Tanah sulfat masam potensial mengandung pirit pada jeluk > 50 cm yang bila terbuka ke udara akan terjadi reaksi oksidasi membentuk asam sulfat dan oksida besi sehingga tanah tidak dapat digunakan untuk pertanian (Suriadikarta 2005).

Berdasarkan proses dan lokasi pembentukannya, tanah gambut juga merupakan bagian dari lahan pasang surut. Tanah gambut merupakan lapisan bahan organik dengan kadar C-organik > 18% serta ketebalan 50 cm atau lebih. Bahan organik penyusun tanah gambut terbentuk dari sisa-sisa tanaman yang belum lapuk secara sempurna karena kondisi lingkungan jenuh air dan miskin hara (Agus dan Subiksa 2008).

Lahan pasang surut juga diketahui memiliki permasalahan pada tanah gambut yang tergolong tanah suboptimal dengan tingkat kesuburan tanah yang rendah. Gambut jika dikelola dengan sistem sawah juga akan menghasilkan asam-asam organik meracun terutama derivate asam-asam fenolat seperti p-kumarat, p-hidroksibenzoat, vanilat, dan asam ferulat (Sabiham 1997). Asam-asam fenolat tersebut merupakan hasil biodegradasi anaerob dari senyawa lignin dalam bahan asal kayu-kayuan. Asam-asam organik yang bersifat fitotoksik diduga merupakan permasalahan utama yang harus ditanggulangi sebelum mengatasi masalah lainnya seperti pH dan unsur hara essensial bagi tanaman (Tsutsuki dan Kondo 1995).

Budidaya Jenuh Air pada Tanaman Kedelai

(18)

4

pengelolaan air di lahan pasang surut lebih tepat menggunakan budidaya jenuh air untuk meningkatkan produksi kedelai di lahan pasang surut. Teknik budidaya ini juga berguna untuk mengatasi kendala di lahan pasang surut seperti adanya pirit.

Budidaya jenuh air merupakan penanaman dengan memberikan irigasi terus-menerus dan membuat kedalaman muka air tetap, sehingga lapisan di bawah permukaan tanah jenuh air. Kedalaman muka air tetap akan menghilangkan pengaruh negatif dari kelebihan air pada pertumbuhan tanaman, karena kedelai akan beraklimatisasi dan selanjutnya tanaman memperbaiki pertumbuhannya (Troedson et al. 1983). Budidaya jenuh air dilakukan dengan membuat kondisi bedengan jenuh air secara terus menerus sejak 2 minggu setelah tanam (MST) sampai masak fisiologis. Cara pemberian air pada budidaya jenuh air adalah dengan mengalirkan air melalui saluran di antara petak-petak percobaan dengan tinggi genangan dipertahankan maksimum 20 cm dibawah permukaan tanah (Sagala, 2010). Pembuatan saluran dengan kedalaman muka air 20 cm akan lebih mudah dan lebih murah dibandingkankan dengan saluran dengan kedalaman 30 cm dan 40 cm dibawah permukaan tanah. Oleh karena itu kedalaman 20 cm merupakan kedalaman muka air yang paling cocok untuk penanaman kedelai dengan teknologi BJA di lahan pasang surut yang mempunyai kandungan liat tinggi (Sagala, 2010).

Pengendalian Gulma pada Tanaman Kedelai

Gulma adalah tumbuhan yang merugikan tanaman budidaya melalui kompetisi ruang, waktu, dan sumber nutrisi. Pengendalian gulma dilakukan dengan tujuan untuk membatasi investasi gulma sedemikian rupa sehingga tanaman dapat dibudidayakan secara produktif dan efisien serta tidak merugikan secara ekonomi. Gulma pada tanaman kedelai menimbulkan persaingan dalam pemanfaatan faktor-faktor tumbuh seperti cahaya, air, unsur hara, dan ruang untuk tumbuh serta menjadi inang bagi hama dan penyakit tanaman tertentu (Krauz, Kapusta, dan Mathews 1994). Pengendalian gulma sudah merupakan suatu keharusan pada budidaya kedelai di rawa pasang surut. Umumnya petani mengendalikan gulma secara manual dengan menggunakan tangan sehingga sangat mahal dan tidak efisien (Sasmita et al., 2005). Kendala yang dihadapi petani kedelai di lahan pasang surut adalah masih tingginya biaya yang dikeluarkan petani untuk mengendalikan gulma. Saat ini, metode pengendalian yang paling banyak dilakukan adalah secara kimiawi dengan menggunakan herbisida (Barus, 2003). Pengendalian kimia dinilai lebih efektif untuk mengurangi populasi gulma dibandingkan dengan pengendalian lainnya. Penggunaan herbisida sebagai salah satu cara dalam usaha pengendalian gulma mempunyai dampak positif yakni gulma dapat dikendalikan dalam waktu yang relatif singkat dan mencakup areal yang luas.

Herbisida

(19)

5 menentukan efektifitas dan daya kerja herbisida tersebut. Herbisida yang diabsorbsi oleh akar atau masuk melalui organ lain akan ditranslokasikan ke dalam tumbuhan menuju titik peka dari tumbuhan atau diakumulasikan pada bagian tertentu dari tubuh tumbuhan.

Penggunaan herbisida pada budidaya tanaman ditunjukkan untuk menekan pertumbuhan dan perkembangan gulma dan mencegah timbulnya gulma yang berasal dari biji. Saat ini banyak herbisida yang digunakan memiliki selektivitas tinggi, tetapi karena tanaman budidaya (padi, jagung, dan kedelai) sangat rentan terhadap herbisida, maka timbul masalah dalam penggunaanya (De Datta 1995).

Perubahan komposisi jenis gulma terjadi dihampir semua cara pengendalian gulma. Perubahan yang jelas terjadi karena penggunaan herbisida. Perubahan spektrum gulma kemungkinan karena kemampuan herbisida yang tinggi terhadap komunitas gulma jika dibandingkan dengan cara non herbisida (Utomo et al. 1955).

Penggunaan herbisida harus dilakukan secara bijaksana dengan pengertian tepat, aman, dan benar. Hal ini mengingat bahwa selain dapat memberikan manfaat, herbisida juga dapat menimbulkan dampak negatif. Dampak negatif yang ditimbulkan diantaranya timbulnya keracunan pada manusia dan organisme bukan sasaran, serta resistensi hama, pencemaran lingkungan, dan adanya residu herbisida terutama di pertanaman (Daryanto 1996).

Glifosat

Glifosat (Etilen diamine), nama kimiawi N-(phosphonomethyl) glycine merupakan herbisida sistemik non selektif yang diaplikasikan melalui daun, mempunyai spektrum luas, bersifat translokatif kuat, tidak aktif dalam tanah, cepat terdegradasi dan mempunyai kemampuan mengendalikan gulma annual, biennial, dan perennial dari jenis rumput, teki, dan berdaun lebar. Gejala kematian gulma terlihat pada 2 - 4 minggu setelah aplikasi (Lamidet al.1998).

Herbisida glifosat bekerja dengan menghambat sintesis protein, yaitu menghentikan penggabungan asam amino aromatik, fenil alanin, triptofan, dan tirosin (Ashton and Craft 1981). Moenandir (1990) berpendapat bahwa gejala umum yang terlihat pada gulma setelah aplikasi glifosat adalah klorosis yang diikuti dengan nekrosis. Pertumbuhan kembali gulma berdaun lebar dan berkayu menunjukkan gejala tidak normal pada daun dengan adanya bintik-bintik putih bergaris.

Gambar 1 Struktur kimia glifosat (Franz 1985)

(20)

6

Suwarni et al. (2000) menyatakan herbisida glifosat sampai dosis 4.5 l/ha menunjukkan hasil tertinggi pada kacang tanah.

Paraquat

Paraquat atau 1.1-dimethyl-4, 4-bipyridynium (kation) dichloride, termasuk herbisida pasca tumbuh yang bersifat kontak. Herbisida ini tidak dapat diserap oleh bagian tumbuhan yang tidak berwarna hijau seperti batang dan akar, serta hanya mematikan bagian tumbuhan yang terkena butir semprot secara langsung, sedangkan bagian lain yang tidak terkena semprot akan tetap normal (Moenandir 1990). Menurut Vencill et al. (2002) lipid hidroperoksida yang merupakan cara kerja herbisida paraquat akan menghancurkan membran sel yang menyebabkan pecahnya sitoplasma menjadi bagian-bagian interseluler sehingga daun akan menjadi layu dan menguning dengan cepat. Rao (2000) menjelaskan paraquat merupakan herbisida kontak dan bila molekul herbisida ini terkena sinar matahari setelah berpenetrasi ke dalam daun atau bagian lain yang berwarna hijau, maka molekul ini akan bereaksi menghasilkan hydrogen peroksida yang dapat merusak membran sel dan seluruh organ tumbuhan.

Penelitian Adnan et al. (2012) menyatakan herbisida paraquat pada pengamatan 14 hari setelah aplikasi (HSA) pada dosis 0.75, 1.50, dan 2.25 kg bahan aktif/ha telah mampu mengendalikan gulma pada tanaman kedelai sebesar 100%. Juleha (2002) melaporkan bahwa herbisida pra tumbuh paraquat mampu meningkatkan jumlah polong isi dan berat kering berangkasan tanaman kedelai pada penerapan budidaya kedelai dengan teknologi konvensional dan olah tanah konservasi pada beberapa cara pengendalian gulma.

Gambar 2 Struktur kimia paruquat Vencill et al. (2002)

Penoksulam

Penoksulam merupakan herbisida golongan sulfonilurea yang dapat digunakan sebagai herbisida pasca tumbuh, setelah mempunyai 3 - 4 daun (Brown 1989; Hay 1990). Herbisida ini mempunyai spektrum yang luas dan mempunyai sifat yang selektif (Mobreg dan Cross 1990). Penoksulam bekerja menghambat enzim acetolactate synthase (ALS) merupakan enzim yang terbentuk saat awal pembentukan rantai cabang asam amino (valin, isolisin dan lisin). ALS Menghambat sintesis DNA tanaman akibat produksi asam amino terganggu. Penoksulam memiliki spektrum luas, diabsorbsi oleh gulma terutama melalui daun dan sebagian kecil melalui akar, kemudian ditranslokasikan. Rumus kimia dari herbisida penoksulam adalah C16H14F5N5O5S. Penoksulam merupakan

(21)

7 saat 14 hari setelah transplanting dapat mengendalikan gulma umum pada budidaya tanaman padi sawah pasang surut pada pengamatan 1 minggu setelah aplikasi (MSA) hingga 4 MSA. Gulma dominan yang dapat dikendalikan oleh aplikasi herbisida penoksulam antara lain Fimbristylis littoralis (golongan teki), Ludwigia octovalvis (gulma golongan berdaun lebar), dan Cyperus iria (gulma golongan teki).

Oksifluorfen

Oksifluorfen merupakan herbisida pra tumbuh yang bersifat selektif dan efektif untuk mengendalikan gulma golongan berdaun lebar dan golongan rumput pada kedelai (Moenandir 1990). Herbisida oksifluorfen ini dapat membunuh biji-biji gulma yang akan berkecambah, sehingga biji-biji-biji-biji gulma tersebut tidak bisa tumbuh dan berkembang. Herbisida ini menyebabkan perobekan sel dan berpengaruh terhadap fotosintesa setelah jaringan layu. Oksifluorfen juga menghambat perkecambahan, pertumbuhan dan perkembangan jaringan meristem, kerusakan jaringan lebih banyak terjadi pada bagian tajuk daripada akar (Moenandir 1990).

Gambar 3 Struktur kimia oksifluorfen (Moenandir 1990)

Ashton dan Craft (1981) menambahkan bahwa persistensi oksifluorfen dalam tanah yaitu sekitar 2 - 3 bulan. Herbisida ini sangat kuat diabsorbsi oleh koloid tanah sehingga pencucian oleh air hujan sangat kecil. Oksifluorfen di dalam tanah tahan terhadap dekomposisi oleh cahaya matahari, tetapi jika di dalam air akan lebih cepat terdekomposisi. Oksifluorfen juga tahan terhadap dekomposisi yang disebabkan oleh mikroorganisme.

(22)

8

METODE

Tempat dan Waktu

Penelitian dilaksanakan di lahan pasang surut pada tanah mineral di Desa Banyu Urip dan tanah mineral bergambut di Desa Muliasari, Kecamatan Tanjung Lago, Kabupaten Banyu Asin Sumatera Selatan pada bulan Juli sampai Desember 2013.

Bahan dan Alat

Bahan dan alat yang digunakan adalah benih kedelai varietas Tanggamus (Lampiran 1), herbisida dengan bahan aktif paraquat, glifosat, oksifluorfen, dan penoksulam. Pupuk Urea, SP-36, KCl, Marshall, insektisida dengan bahan aktif klorantraniliprol 50 g/lair dan fipronil 50 g/l air, semi automatic knapsack sprayer bertekanan 1 kg/cm2 (15 - 20 psi) volume semprot 400 l/ha, nozzel T-jet warna kuning lebar semprot 0.5 m, sungkup plastik botol air mineral, kuadran berukuran 0.5 m x 0.5 m dan alat penunjang lainnya.

Metode

Penelitian menggunakan rancangan acak kelompok satu faktor, yaitu jenis herbisida. Percobaan terdiri dari 8 perlakuan masing-masing diulang sebanyak 3 kali sehingga terdapat 24 petak percobaan (Lampiran 2). Jenis perlakuan yang diberikan yaitu:

Kontrol atau tanpa pengendalian gulma (P0), penyiangan manual 4 minggu setelah tanam (MST) (P1), aplikasi paraquat 4 MST 2 l/ha(P2), aplikasi glifosat 4 MST 3 l/ha(P3), aplikasi oksifluorfen 3 hari sebelum tanam (HSbT) 2 l/ha(P4), aplikasi oksifluorfen 3 HSbT 2 l/ha diikuti aplikasi paraquat 4 MST 2 l/ha(P5), aplikasi oksifluorfen 3 HSbT 2 l/hadiikuti aplikasi glifosat 4 MST 3 l/ha(P6), serta aplikasi penoksulam 2 MST 1 l/ha (P7).

Model rancangan yang digunakan adalah : Yijk = µ + τi + βj + εij

Keterangan :

Yijk = Pengamatan pada perlakuan ke-i dan kelompok ke-j

µ = Rataan umum

τi = Pengaruh perlakuan ke-i

βj = Pengaruh kelompok ke-j

εij = Pengaruh acak pada perlakuan ke-i dan kelompok ke-j

(23)

9

Pelaksanaan

Persiapan Lahan

Lahan percobaan yaitu lahan pasang surut. Satuan petak berukuran 2 m x 3 m. Setiap ulangan dikelilingi saluran air yang berukuran lebar 30 cm dan kedalaman 25 cm, dengan demikian kondisi petakan akan selalu basah pada saat air irigasi diberikan. Air irigasi diberikan sejak tanam dengan ketinggian muka air 15 cm di bawah permukaan tanah. Sebelum persiapan lahan, terlebih dahulu dilakukan analisis vegetasi gulma menggunakan kuadran berukuran 0.5 m x 0.5 m untuk mengetahui komposisi dan dominansi gulma yang terdapat di areal percobaan.

Penanaman dan Pemupukan

Benih kedelai yang telah diberi insektisida berbahan aktif karbosulfan 25.53% 15 g/kg (untuk menghindari serangan lalat bibit) dan inokulan Rhizobium sp. sebanyak 5 g/kg benih ditanam dengan cara ditugal dengan jarak tanam 40 cm x 12.5 cm dan ditanam sebanyak 2 benih per lubang tanam (populasi 400.000 tanaman/ha) kedalaman tugal dangkal 1 - 2 cm lalu ditutup dengan tanah. Pada saat tanam diberikan pupuk 200 kg SP-36/ha dan 100 kg KCl/ha. Pupuk diberikan pada larikan 5 - 7 cm dari lubang tanam. Urea dengan konsentrasi 10 g/l air dalam volume semprot 400 l/ha diberikan pada 3, 4, dan 6 minggu setelah tanam (MST).

Aplikasi Herbisida

Herbisida diaplikasikan sesuai dengan perlakuan yang dicobakan. Aplikasi herbisida dilakukan pada pagi hari sekitar pukul 07.00 - 08.00 WIB dan disesuaikan dengan kondisi angin dan curah hujan. Pada saat aplikasi herbisida pasca tumbuh, sprayer yang digunakan disungkup dengan botol air mineral plastik yang sudah di modifikasi untuk menghindarkan tanaman kedelai dari resiko terkena semprotan paraquat dan glifosat. Penyemprotan dilakukan secara hati-hati dengan jarak rendah dari permukaan tanah pada jalur antar baris tanaman kedelai. Aplikasi perlakuan herbisida dilakukan dengan mempertimbangkan keadaan tanah yang cukup kering dan angin yang tenang.

Pemeliharaan dan Panen

(24)

10

Pengamatan

Pengamatan penelitian terbagi ke dalam 2 bagian, yaitu : 1. Pengamatan Gulma

Pengamatan terhadap gulma meliputi: analisis vegetasi (jenis gulma, kerapatan, frekuensi, bobot kering, nilai jumlah dominansi), serta koefisien komunitas. Pengamatan dilakukan menggunakan metode kuadran dengan petak contoh berukuran 0.5 m x 0.5 m. Pengambilan sampel gulma dengan cara gulma yang masih segar dipotong tepat setinggi permukaan tanah, kemudian dipisahkan setiap spesies. Bobot kering gulma diperoleh setelah dioven pada suhu 105 0C selama 24 jam. Pengamatan gulma dilakukan 4 kali yaitu 2, 4, 6, dan 8 MST. Pengamatan ini bertujuan untuk melihat gulma-gulma yang dominan pada tiap-tiap pengamatan dan pada setiap-tiap perlakuan, dengan rumus sebagai berikut (Moenandir 1990):

Kerapatan mutlak (KM) = Jumlah individu jenis tertentu dalam petak contoh Kerapatan relatif (KR) = KM jenis tertentu

Jumlah KM semua jenis x 100%

Bobot kering mutlak = Bobot kering (biomass) setiap spesies gulma (BKM)

Bobot kering relatif = bobot kering (biomass ) setiap spesies gulma

Jumlah nilai bobot kering mutlak semua jenis x 100%

(BKR)

Frekuensi mutlak (FM) = Jumlah petak contoh yang berisi spesies tertentu

Jumlah semua petak contoh yang diambil

Frekuensi relatif (FR) = Nilai FM jenis tertentu

Jumlah nilai FM semua jenis x 100%

Nilai penting (NP) = KR+BKR+FR Nilai jumlah dominansi = Nilai penting

3

(NJD)

Koefisien komunitas (C) = 2w

a+b x 100%

dimana :

w = jumlah terkecil dari dua komunitas a = jumlah total kuantitas dari komunitas 1 b = jumlah total kuantitas dari komunitas 2

(25)

11 2. Pengamatan Tanaman Kedelai

Pengamatan dilakukan setiap 2 minggu dan dimulai sejak tanaman berumur 2 MST. Variabel pengamatan yang diamati adalah:

1. Tinggi tanaman diukur mulai dari permukaan tanah sampai titik tumbuh. Pengukuran tinggi tanaman dilakukan setiap minggu mulai 2 MST.

2. Jumlah daun trifolia yang telah membuka sempurna pada seluruh tanaman, trifolia daun dihitung sebagai satu unit daun dilakukan setiap minggu mulai 2 MST.

3. Jumlah cabang yang muncul dari batang utama diamati saat panen. 4. Indeks luas daun (ILD), pengukuran dilakukan pada 2, 4, 6, dan 8

MST luas daun dihitung dengan metode gravimetri.

5. Laju asimilasi bersih (LAB), merupakan hasil asimilasi bersih dari hasil asimilasi per satuan luas daun dan waktu yang diukur dengan pengamatan destruktif yaitu pada 2, 4, 6, dan 8 MST. Rata-rata laju asimilasi bersih dihitung dengan menggunakan rumus berikut (Gardner

et al. 1991):

LAB = Laju asimilasi bersih (g/cm2/hari) W1 = bobot kering tanaman pada waktu t1 (g)

W2 = bobot kering tanaman pada waktu t2 (g)

A1 = luas daun total pada waktu t1 (cm2)

A2 = luas daun total pada waktu t2 (cm2)

t1 = waktu pengamatan awal (hari)

t2 = waktu pengamatan akhir (hari)

6. Laju tumbuh relatif (LTR). Rata-rata laju tumbuh relatif (Relative growth rate/LTR) yang diukur pada pengamatan destruktif yaitu pada 2, 4, 6, dan 8 MST. Perhitungan LTR menggunakan rumus berikut

LTR = Laju tumbuh relatif (g/hari)

W1 = bobot kering tanaman pada waktu t1 (g)

W2 = bobot kering tanaman pada waktu t2 (g)

t1 = waktu pengamatan awal (hari)

t2 = waktu pengamatan akhir (hari)

(26)

12

10.Umur panen, diamati ketika 85% daun telah menguning dan rontok serta polong berwarna kecoklatan.

11.Bobot biji per ubinan, dihitung dari hasil ubinan yang berukuran 1 m x 1 m di setiap petak perlakuan.

12.Fitotoksisitas tanaman kedelai

Pengamatan fitotoksisitas terhadap tanaman kedelai pada saat 1 sampai 5 minggu setelah aplikasi dengan cara skoring :

0 = tidak ada keracunan, 0-5% bentuk daun atau warna daun dan atau pertumbuhan tanaman tidak normal;

1 = keracunan ringan, > 5-10% bentuk daun atau warna daun dan atau pertumbuhan tanaman tidak normal;

2 = keracunan sedang, > 10-20% bentuk daun atau warna daun dan atau pertumbuhan tanaman tidak normal;

3 = keracunan berat, > 20-50% bentuk daun atau warna daun dan atau pertumbuhan tanaman tidak normal;

4 = keracunan sangat berat, > 50% bentuk daun atau warna daun dan atau pertumbuhan tanaman tidak normal sampai tanaman mati. 13.Analisis tanah sebelum tanam

Analisis tanah dilakukan untuk komposisi tekstur tanah (pasir, debu, dan liat), pH, C organik, N, P2O5, K2O, nilai tukar kation Ca, Mg, K,

Na, dan KTK, kejenuhan basa, Al3+, H+, unsur hara mikro Fe, S, dan

Mn, serta pirit. Tekstur tanah ditentukan dengan metode pipet. Keasaman tanah (pH) ditentukan dengan ekstrak 1:5 menggunakan H2O dan KCl. C organik ditentukan dengan metode kurmis. N

ditentukan dengan metode Kjeldahl. P2O5 ditentukan dengan metode

Bray I, K2O ditentukan dengan metode Morgan. Kation dan unsur hara

(27)

13

HASIL DAN PEMBAHASAN

Hasil

Kondisi Umum Penelitian

Kondisi umum tanaman kedelai selama penelitian menunjukkan pertumbuhan yang cukup baik. Kondisi cuaca dari awal penanaman sampai panen sangat bervariasi. Pengukuran suhu, kelembaban dan curah hujan dilakukan selama penelitian. Data pengukuran didapat dari Badan Meteorologi Klimatologi dan Geofisika (BMKG) Palembang (Lampiran 3, 4, dan 5).

Rata-rata curah hujan selama penelitian yaitu 17 hari hujan/bulan dan suhu harian rata-rata saat penelitian sekitar 27.42 oC dengan suhu harian rata-rata maksimum dan minimum masing-masing 32.78 oC dan 24.15 oC. Menurut Prihatman (2000) selama pertumbuhan dan perkembangan tanaman kedelai membutuhkan curah hujan antara 100 - 200 mm/bulan atau 3.33 - 6.66 mm/hari. FAO (2011) melaporkan bahwa suhu rata-rata bulanan pada kedelai berkisar antara 27.3 oC - 29.35 oC. Suhu minimum pertumbuhan dan produksi tanaman kedelai sekitar 10 oC - 15 oC, namun pada suhu di bawah 18 oC dapat menurunkan pertumbuhan kedelai dan apabila suhu lebih dari 37 oC menyebabkan tanaman kedelai berbunga lebih awal, jumlah polong meningkat namun ukuran biji menjadi lebih kecil. Penyinaran matahari rata-rata 55.25% dan tekanan udara 1009.27 mb. Kelembaban di daerah penelitian rata-rata berkisar 83.5%. Arah angin terbanyak menuju tenggara (SE) dengan kecepatan angin rata-rata 3.75 km/jam yang termasuk kecepatan angin tinggi (Lampiran 3, 4, dan 5). Berdasarkan data lingkungan dan syarat tumbuh kedelai, maka lokasi tersebut sesuai untuk budidaya kedelai.

Tabel 1 Perbandingan hasil analisis tanah awal

Parameter Nilai

Tanah mineral Tanah mineral bergambut

pH H2O 5.00 (masam) 4.30 (masam)

pH KCl 4.10 (masam) 3.40 (masam)

C-Organik 3.44 % (mineral) 33.18 % (mineral bergambut)

N total 0.22 % (sedang) 0.48 % (sedang)

P tersedia 7.6 ppm (sedang) 23.2 ppm (sangat tinggi)

Ca 4.55 me/100 g (rendah) 3.91 me/100 g (rendah)

Sumber: Laboratorium Ilmu Tanah dan Sumberdaya Lahan, IPB 2013.

(28)

14

3.44% sedangkan pada tanah mineral bergambut lebih besar yaitu sebesar 33.18%. Hasil analisa tanah pada Tabel 1, menunjukkan bahwa kapasitas tukar kation (KTK) pada tanah mineral bergambut dan tanah mineral tergolong tinggi masing-masing sebesar 30.01 me/100 g dan 24.60 me/100 g.

Analisis tanah menunjukkan bahwa Al pada tanah mineral bergambut tergolong tinggi sebesar 4.12 me/100 g sedangkan pada tanah mineral tergolong cukup sebesar 1.06 me/100 g. Analisis tanah memperlihatkan bahwa kandungan Fe pada tanah mineral bergambut dan tanah mineral tergolong tinggi masing-masing sebesar 17.02 me/100 g dan 24.25 me/100 g (Tabel 1). Tanaman kedelai pada konsentrasi Al sebesar 8 ppm telah menghambat pertumbuhan akar (Koecihan 1995). Berdasarkan data analisis tanah, maka dapat disimpulkan tanaman kedelai cukup sesuai ditanam di areal tersebut.

Tabel 2 Data analisis air

No Parameter

Jenis air

Air mineral Air mineral bergambut

1 C 172.8 ppm 175.6 ppm

Keterangan : Tr = tidak terbaca oleh alat.

Sumber: Laboratorium Ilmu Tanah dan Sumberdaya Lahan, IPB 2013.

Kandungan mineral K dan Mg pada air mineral mempunyai kandungan yang cukup tinggi yaitu 12.13 ppm dan 12.69 ppm apabila dibandingkan dengan kandungan K dan Mg pada air mineral bergambut yang hanya mengandung masing-masing sebesar 1.63 ppm dan 0.44 ppm. Air mineral memiliki kemasaman yang tinggi dengan pH 4.30 sedangkan untuk air mineral bergambut memiliki nilai pH 6.40 yang tergolong pH netral (Tabel 2). Menurut Prihatman (2000), toleransi kemasaman air sebagai syarat tumbuh bagi kedelai adalah 5.8 - 7.0 tetapi pada pH 4.5 kedelai masih dapat tumbuh.

Kecambah kedelai mulai muncul di permukaan tanah pada umur 5 hari setelah tanam (HST), tetapi pertumbuhan kurang serempak. Daun trifolia pertama terbentuk sempurna pada umur 14 HST, pada pertanaman di tanah mineral terdapat tanaman yang terkena pengaruh herbisida namun efek keracunan dalam skala ringan, begitu juga pada tanah mineral bergambut tanaman kedelai mengalami sedikit keracunan sehingga terdapat beberapa tanaman yang rusak.

(29)

15 menguning tersebut berangsur-angsur berkurang setelah pemberian N 100% melalui daun pada umur 30 HST. Tanaman mulai muncul bunga pada kisaran umur 40 HST.

Hama yang menyerang tanaman kedelai yaitu ulat grayak (Spodoptera litura), serta belalang (Valanga nigricornis). Saat dilaksanakan penelitian, penyakit yang menyerang adalah karat daun (Phakopspora pachyrhizi Syd.). Pada stadia generatif mulai muncul serangan kepik hijau Nezara viridula. Gulma yang banyak tumbuh di pertanaman secara keseluruhan adalah gulma golongan teki yaitu jekeng (Cyperus iria), kemudian golongan rumput yaitu Axonopus compresus (papahitan), Cynodon dactylon (rumput grinting) dan gulma golongan berdaun lebar yaitu Eclipta prostata (urang-aring). Keberadaan penyakit di lahan pertanaman kedelai yaitu penyakit karat daun pada beberapa tanaman dan bisa diatasi dengan mencabut beberapa tanaman yang terinfeksi kemudian membuangnya ke luar areal percobaan.

Pertumbuhan Gulma di Tanah Mineral

Hasil analisis vegetasi sebelum perlakuan pada lahan percobaan menunjukkan gulma golongan teki yaitu Cyperus iria nilai jumlah dominansi (NJD) sebesar 37.77% diikuti oleh golongan rumput yaitu Axonopus compressus 15.44% dan Cynodon dactylon 9.56%, jenis gulma yang mendominasi selanjutnya adalah golongan berdaun lebar diantaranya Borreria alata 13.85%, Phylanthus urinaria 12.87%, dan Melastoma affine 10.51% (Tabel 3).

Tabel 3 Kondisi vegetasi awal lahan percobaan di tanah mineral

No Spesies Golongan NJD (%)

1 Cyperus iria Teki 37.77

2 Axonopus compressus Rumput 15.44 3 Borreria alata Daun Lebar 13.85 4 Phylanthus urinaria Daun Lebar 12.87 5 Melastoma affine Daun Lebar 10.51 6 Cynodon dactylon Rumput 9.56

Perlakuan berpengaruh terhadap bobot kering gulma pada 4, 6, dan 8 MST. Herbisida paraquat paling efektif menekan gulma ditunjukkan dengan bobot kering gulma paling rendah pada 4, 6, dan 8 MST (Tabel 4).

Tabel 4 Pengaruh perlakuan terhadap bobot kering gulma total di tanah mineral

Perlakuan Bobot kering gulma total (g/0.25 m

2 )

2 MST 4 MST 6 MST 8 MST

Kontrol 46.49a 57.27a 69.34a 50.06a

Penyiangan manual 44.75a 18.92bc 31.25bc 16.05bc

Paraquat 38.23a 13.72c 9.34c 6.67c

Glifosat 47.43a 27.23bc 24.22bc 16.55bc

Oksifluorfen 29.50a 25.07bc 37.40b 23.20b

Oksifluorfen-paraquat 38.42a 11.98c 13.73bc 12.72bc

Oksifluorfen-glifosat 28.77a 21.55bc 27.72bc 18.99bc

Penoksulam 46.95a 39.59ab 34.56bc 19.54bc

Keterangan : Angka yang diikuti huruf yang sama pada kolom yang sama menunjukkan tidak berbeda nyata uji lanjut DMRT pada taraf nyata 5%.

(30)

16

dibandingkan dengan bobot kering gulma spesies lainnya, penyiangan menggunakan herbisida paraquat mampu menurunkan bobot kering spesies Cyperus iria pada akhir pengamatan (Tabel 5).

Tabel 5 Pengaruh perlakuan terhadap bobot kering gulma per spesies di tanah

Oksifluorfen-paraquat 0 30.33a 0.83c 3.00a 1.33ab 1.41ab 3.80a

2 29.81a 0.82a 1.43ab 2.25ab 1.53ab 2.58a

4 10.08b 0.27c 0.00b 0.43b 0.18b 1.01ab

6 9.98b 0.30b 0.22b 0.70cd 0.80b 1.71b

8 10.52b 0.26d 0.19bc 0.70b 0.97b 0.68b

Oksifluorfen-glifosat 0 51.00a 1.40bc 1.33a 0.87b 1.78ab 2.73a

2 22.21a 1.52a 0.44b 1.45ab 1.10ab 1.67a berbeda nyata uji lanjut DMRT pada taraf nyata 5%.

(31)

17 terjadi pergeseran jenis gulma dominan. Dominasi gulma golongan teki Cyperus iria lebih tinggi di setiap petak percobaan (Lampiran 6).

Pertumbuhan, Komponen Hasil, dan Hasil Kedelai di Tanah Mineral

Perlakuan berpengaruh terhadap pertumbuhan vegetatif tanaman kedelai diantaranya tinggi tanaman, jumlah cabang, jumlah daun trifolia dan umur berbunga, tetapi tidak berpengaruh terhadap fisiologi tanaman kedelai yaitu ILD, LAB, dan LTR. Aplikasi herbisida oksifluorfen yang diikuti dengan aplikasi herbisida paraquat menghasilkan tinggi tanaman paling rendah. Pengendalian gulma menggunakan herbisida glifosat berpengaruh meningkatkan jumlah daun trifolia (jumlah daun trifolia paling banyak). Herbisida oksifluorfen menyebabkan umur berbunga tanaman kedelai menjadi lebih lama (Tabel 6).

Tabel 6 Pengaruh perlakuan terhadap vegetatif dan fisiologi tanaman kedelai di tanah mineral

Oksifluorfen-paraquat 58.33b 4.86abc 20.00bc 40.00b 0.596a 0.23x10-3a 0.037a

Oksifluorfen-glifosat 67.53ab 4.40bc 21.40bc 39.66bc 0.646a 0.14x10-3a 0.025a

Penoksulam 72.93ab 4.26c 26.33ab 39.00bc 0.570a 0.21x10-3a 0.037a

Keterangan: Angka-angka yang diikuti huruf yang sama tidak berbeda nyata pada DMRT taraf 5%. TT (tinggi tanaman), JC (jumlah cabang), JDT (jumlah daun trifolia), UB (umur berbunga), ILD (indeks luas daun), LAB (laju asimilasi bersih), LTR (laju tumbuh relatif), hst (hari setelah tanam).

Analisis data pada Tabel 7 menunjukkan perlakuan berpengaruh terhadap peubah hasil dan mutu hasil tanaman kedelai di tanah mineral.

Tabel 7 Pengaruh perlakuan terhadap hasil dan mutu hasil tanaman kedelai di

Oksifluorfen 5.40b 97.87a 103.66a 262.00b 2.16b 10.85a

Oksifluorfen-paraquat 9.53ab 96.93a 103.66a 352.67ab 2.93ab 10.82a

Oksifluorfen-glifosat 8.60ab 102.87a 104.33a 393.33ab 3.26ab 10.84a

Penoksulam 6.60b 87.13a 101.66a 315.67ab 2.63ab 10.50a

Keterangan: Angka-angka yang diikuti huruf yang sama tidak berbeda nyata pada DMRT taraf 5%. JPH (jumlah polong hampa), JPI (jumlah polong isi), UP (umur panen), BPPU (bobot produksi per ubinan), BPPH (bobot produksi per hektar), BSB (bobot seratus biji), hst (hari setelah tanam).

(32)

18

menggunakan herbisida glifosat menghasilkan jumlah polong hampa paling rendah jika dibandingkan dengan kontrol dan herbisida lainnya. Herbisida glifosat lebih memiliki hasil tertinggi dengan bobot produksi per ubinan 453.00 g/m2 dan bobot produksi per hektar 3.76 ton/ha.

Tingkat Keracunan Tanaman Kedelai di Tanah Mineral

Tanaman kedelai pada stadia muda sampai fase vegetatif awal mengalami keracunan yang disebabkan penggunaan herbisida paraquat, glifosat, oksifluorfen dan penoksulam. Keracunan herbisida oksifluorfen mulai terlihat pada umur 7 HST atau 4 hari setelah aplikasi (HSA), tingkat keracunan masih dalam skala ringan ditandai dengan pertumbuhan kedelai yang daunya kurang normal. Penggunaan herbisida paraquat mulai terlihat keracunan dengan skala sedang pada umur 21 HST atau 7 HSA ditandai dengan adanya beberapa tanaman yang daunya terbakar. Penggunaan herbisida glifosat mulai menampakkan gejala keracunan dengan skala sedang pada umur 35 HST atau 21 HSA ditandai dengan adanya beberapa tanaman yang daunnya mengalami klorosis, sedangkan gejala keracunan herbisida penoksulam pada tanaman kedelai umur 35 HST atau 14 HSA ditunjukkan adanya beberapa tanaman kedelai yang daunnya mengalami nekrosis (Tabel 8).

Keterangan : Skala penilaian kualitatif berdasakan metode scoring yang dikembangkan Truelove (1977). 0= Tingkat keracunan (bentuk dan warna daun tidak normal 0-5%); 1=Ringan (5-10%); 2=Sedang (>10-20%); 3=berat (>20-50%); dan sangat berat (>50%).

Analisis Usahatani Kedelai di Tanah Mineral

(33)

19 oksifluorfen 2 l/ha diikuti aplikasi herbisida paraquat 2 l/ha (P4) dengan keuntungan mencapai 5 929 000 dan B/C rasio sebesar 1.75 (Lampiran 18).

Pertumbuhan Gulma di Tanah Mineral Bergambut

Analisis vegetasi sebelum perlakuan menunjukkan lahan percobaan ditumbuhi oleh 6 spesies gulma terbagi atas 4 spesies gulma golongan berdaun lebar dan 2 spesies masing-masing 1 spesies golongan teki dan 1 spesies golongan rumput (Tabel 9). Nilai jumlah dominansi sebesar 43.71% dari lahan percobaan didominasi oleh 2 spesies gulma yang mempunyai NJD di atas 15% yaitu Cyperus iria (26.43%) dan Eclipta prostata (17.28%). Nilai jumlah dominansi kurang dari 15% ditemukan pada 4 spesies lainnya diantaranya Diodia sarmentosa (13.90%), Borreria alata (11.26%), Chromolaena odorata (11.03%), dan Cynodon dactylon (10.40%).

Tabel 9 Kondisi vegetasi awal lahan percobaan di tanah mineral bergambut

No Spesies Golongan SDR (%)

1 Cyperus iria Teki 26.43

2 Eclipta prostata Daun Lebar 17.28 3 Diodia sarmentosa Daun Lebar 13.9 4 Borreria alata Daun Lebar 11.26 5 Chromolaena odorata Daun Lebar 11.03 6 Cynodon dactylon Rumput 10.40

Terjadi perubahan NJD setelah aplikasi perlakuan jenis herbisida dengan NJD yang beragam. Aplikasi herbisida penoksulam ternyata mampu menekan golongan gulma daun lebar yaitu Diodia sarmentosa dan Chromolaena odorata sehingga gulma tersebut tidak mampu tumbuh kembali. Pada pengamatan 2 MST penyiangan menggunakan herbisida oksifluorfen juga mampu menekan pertumbuhan gulma berdaun lebar. Pada akhir pengamatan tidak ditemukan adanya gulma baru. Secara umum dominasi gulma masih tetap didominasi oleh Cyperus iria (Lampiran 7).

Tabel 10 Pengaruh perlakuan terhadap bobot kering gulma total di tanah mineral bergambut

Perlakuan jenis herbisida Bobot kering gulma (g/0.25 m

2 )

2 MST 4 MST 6 MST 8 MST

Kontrol 42.12a 19.77a 22.70a 20.85a

Penyiangan manual 28.65bc 18.58a 21.18a 21.25ab

Paraquat 31.22ab 15.85a 23.46a 23.79a

Glifosat 34.87ab 19.82a 21.97a 21.64a

Oksifluorfen 15.68d 5.79b 8.40b 9.07c

Oksifluorfen-paraquat 16.57d 4.98b 9.80b 10.47bc

Oksifluorfen-glifosat 18.24cd 7.41b 8.10b 8.77c

Penoksulam 14.07d 6.61b 10.27b 13.60abc

Keterangan : Angka yang diikuti huruf yang sama pada kolom yang sama menunjukkan tidak berbeda nyata uji lanjut DMRT pada taraf nyata 5%.

(34)

20

Selanjutnya pada umur 6 dan 8 MST bobot kering gulma total paling rendah diperlihatkan pada perlakuan herbisida oksifluorfen yang diikuti aplikasi herbisida glifosat (Tabel 10).

Oksifluorfen-paraquat 0 13.00bc 3.02c 1.00bc 0.00b 0.66a 3.33a

2 12.27b 2.16c 0.22c 1.43a 0.41ab 1.71a

4 2.82b 0.60b 0.00b 0.00a 0.82b 0.72ab

6 6.23a 1.19c 0.00b 0.57a 0.55ab 1.25ab

8 4.73ab 1.06cd 0.00d 1.00ab 0.43cd 1.92ab

Oksifluorfen-glifosat 0 12.66bc 3.33bc 1.00bc 0.33b 0.00a 2.00a

2 13.05b 2.21c 0.62bc 0.33a 0.36ab 1.83a berbeda nyata uji lanjut DMRT pada taraf nyata 5%.

(35)

21 bobot kering gulma masing-masing spesies. Bobot kering gulma teki yaitu spesies C. iria terlihat paling tinggi dibandingkan gulma spesies lainnya (Tabel 11).

Pertumbuhan, Komponen Hasil, dan Hasil Kedelai di Tanah Mineral Bergambut

Jenis herbisida berpengaruh terhadap peubah vegetatif tanaman yaitu pada jumlah daun trifolia dan umur berbunga tetapi tidak berpengaruh terhadap tinggi tanaman dan jumlah cabang sedangkan pada peubah fisiologi berpengaruh terhadap LTR, tetapi tidak berpengaruh terhadap ILD dan LAB. Penyiangan gulma menggunakan herbisida penoksulam menurunkan jumlah daun kedelai jika dibandingkan terhadap kontrol, selain itu penyiangan menggunakan herbisida penoksulam menunjukkan umur berbunga paling lama namun menghasilkan LTR paling tinggi (Tabel 12).

Tabel 12 Pengaruh perlakuan terhadap vegetatif dan fisiologi tanaman kedelai di tanah mineral bergambut

Oksifluorfen-paraquat 53.40a 3.26a 21.60ab 38.00bc 1.28a 0.38x10-3a 0.067ab

Oksifluorfen-glifosat 49.93a 2.46a 21.53ab 38.00bc 0.94a 0.14x10-3a 0.029c

Penoksulam 49.67a 3.26a 18.66b 40.00a 1.16a 0.50x10-3a 0.085a

Keterangan: Angka-angka yang diikuti huruf yang sama tidak berbeda nyata pada DMRT taraf 5%. TT (tinggi tanaman), JC (jumlah cabang), JDT (jumlah daun trifolia), UB (umur berbunga), ILD (indeks luas daun), LAB (laju asimilasi bersih), LTR (laju tumbuh relatif), hst (hari setelah tanam).

Berdasarkan Tabel 13 pengaruh perlakuan terhadap hasil dan mutu hasil tanaman kedelai terlihat hanya pada peubah jumlah polong isi.

Tabel 13 Pengaruh perlakuan terhadap hasil dan mutu hasil tanaman kedelai di

Oksifluorfen 1.26a 37.33ab 87.00a 178.67a 1.50a 10.64a

Oksifluorfen-paraquat 1.20a 37.40ab 87.00a 179.33a 1.50a 10.78a

Oksifluorfen-glifosat 2.20a 30.33b 87.00a 120.33a 1.00a 10.50a

Penoksulam 1.53a 34.00ab 87.00a 143.33a 1.20a 10.51a

Keterangan: Angka-angka yang diikuti huruf yang sama tidak berbeda nyata pada DMRT taraf 5%. JPH (jumlah polong hampa), JPI (jumlah polong isi), UP (umur panen), BPPU (bobot produksi per ubinan), BPPH (bobot produksi per hektar), BSB (bobot seratus biji), hst (hari setelah tanam).

(36)

22

kedelai yang lebih tinggi dibandingkan dengan jenis herbisida lainnya. Hal ini ditunjukkan oleh variabel bobot produksi ubinan 182.67 g/m2 dan bobot produksi per hektar 1.5 ton/ha.

Tingkat Keracunan Tanaman Kedelai di Tanah Mineral Bergambut

Penggunaan herbisida paraquat menyebabkan kedelai keracunan pada umur 21 HST atau 7 HSA ditandai dengan daun terbakar skala ringan. Glifosat menampakkan efek toksiknya pada umur 35 HST atau 21 HSA dengan skala sedang ditandai dengan beberapa daun tanaman kedelai layu, sedangkan oksifluorfen menunjukkan gejala keracunan pada tanaman kedelai pada umur 7 HST atau 4 HSA dengan skala ringan yang ditandai oleh bentuk daun yang keriput dan warna tulang daun kemerah-merahan, kemudian berangsur pulih dengan bertambahnya umur tanaman. Penoksulam menyebabkan keracunan pada tanaman kedelai yang ditandai dengan daun menguning dan kering dengan skala keracunan sedang namun pada umur 35 HST atau 14 HSA tanaman kedelai berangsur pulih (Tabel 14).

Tabel 14 Tingkat keracunan tanaman kedelai pada perlakuan jenis herbisida di tanah mineral bergambut

Keterangan : Skala penilaian kualitatif berdasakan metode scoring yang dikembangkan Truelove (1977). 0= Tingkat keracunan (bentuk dan warna daun tidak normal 0-5%); 1= Ringan (5-10%); 2=Sedang (>10-20%); 3=berat (>20-50%); dan sangat berat (>50%).

Analisis Usahatani Kedelai di Tanah Mineral Bergambut

(37)

23

Pembahasan

Kondisi Umum Penelitian

Nilai pH pada tanah mineral dan tanah mineral bergambut memiliki pH rendah yang umumnya mempunyai kejenuhan basa rendah, berarti kompleks jerapan lebih banyak diisi oleh kation-kation asam yaitu Al3+ dan H+ dibandingkan dengan kation-kation basa seperti Ca2+, Mg2+, K+ dan Na+. Marchner (1986) menyatakan bahwa tanah masam menjadi faktor penghambat pertumbuhan tanaman karena 1) tingginya konsentrasi H+ sehingga dapat menjadi keracunan H+ 2) tingginya konsentrasi Al sehingga dapat terjadi keracunan Al 3) rendahnya konsentrasi kation unsur makro sehingga menimbulkan defisiensi Mg, Ca, dan K 4) penurunan kelarutan P dan Mo 5) menyebabkan penghambatan pertumbuhan akar dan penyerapan air sehingga menyebabkan kekurangan unsur hara, cekaman kekeringan dan peningkatan pencucian unsur hara.

Kandungan C-organik menentukan klasifikasi jenis tanah, pada percobaan ini tanah mineral mengandung C-organik 3.44% sedangkan tanah mineral bergambut 33.8%. Menurut Haridjaja dan Herudjito (1978) mengklasifikasikan tanah berdasarkan tingkat kematangan tanah menjadi 3 kelompok yaitu: mineral (C-organik 18%), mineral bergambut (C-organik 18-38%), dan gambut (C-organik > 38%). Kapasitas tukar kation (KTK) tanah mineral dan mineral bergambut tergolong tinggi. Tanah yang mengandung KTK tinggi memerlukan pemupukan kation tertentu dalam jumlah banyak agar dapat tersedia bagi tanaman. Apabila diberikan dalam jumlah yang sedikit maka menjadi kurang tersedia bagi tanaman karena lebih banyak terjerap. Sebaliknya pada tanah-tanah yang KTK nya rendah, pemupukan kation tertentu tidak boleh banyak karena mudah tercuci bila diberikan dalam jumlah berlebihan.

Hasil penelitian menunjukkan kandungan Al dan Fe pada kedua jenis tanah tergolong tinggi. Al tinggi dapat menyebabkan kation dominan pada kompleks jerapan tanah. Keracunan Al pada tanaman merupakan faktor pembatas utama bagi pertumbuhan tanaman di lahan masam, Al menghambat pertumbuhan hanya pada bagian ujung (meristem) akar. Pada tanah sulfat masam pengaruh penggenangan sangat bervariasi bila dibandingkan dengan tanah jenis lain. Kecepatan reduksi pada tanah sulfat masam dihambat oleh tingkat kemasaman yang sangat tinggi, rendahnya status hara, rendahnya bahan organik yang mudah didekomposisi dan beberapa kombinasi dari kondisi yang tidak menguntungkan bagi kehidupan mikroba anaerob (Koechian 1995). Sumber air pada penelitian ini berasal dari drainase yang dipengaruhi pasang surut air laut sehingga berpengaruh pada kandungan kation dan anion dalam air yang didominasi oleh Na dan Cl. Berdasarkan hasil analisis sifat-sifat kimia tanah dan air, maka kedelai tersebut bisa dikatakan cukup sesuai untuk ditanam di areal tersebut.

(38)

24

Kerusakan akibat pengaruh herbisida pada tanaman baik di tanah mineral maupun di tanah mineral bergambut mengalami efek keracunan dalam skala ringan hal ini disebabkan oleh faktor perlakuan jenis herbisida yang disemprotkan mempengaruhi pertumbuhan tanaman kedelai.

Gejala daun menguning terlihat pada umur 21 HST, menurut Ghulamahdi (1999) hal ini karena kedelai beraklimatisasi dan selanjutnya tanaman memperbaiki pertumbuhannya. Pada awal aklimatisasi, kandungan N dalam daun menurun dan tanaman menjadi klorosis. Hal ini disebabkan berkurangnya penyerapan nitrogen dan terjadinya alokasi hasil fotosintesis ke bagian bawah tanaman (ke perakaran baru dan bintil akar).

Hama yang menyerang tanaman kedelai pada saat penelitian seperti ulat grayak (Spodoptera litura) menyerang daun, serta belalang (Valanga nigricornis) yang menyerang tanaman di bagian daun dengan cara memakan daun dari bagian tepi daun menuju tengah daun. Saat dilaksanakan penelitian, penyakit yang menyerang adalah karat daun (Phakopspora pachyrhizi Syd.). Kondisi gulma pada lahan percobaan sebelum dilakukan aplikasi herbisida menunjukan jenis gulma yang beragam. Efektivitas herbisida terlihat hingga 6 MST seiring dengan munculnya gulma secara drastis, pada saat itu juga tanaman kedelai sudah melewati periode kritis yang artinya tanaman sudah lebih tahan terhadap gangguan gulma.

Hama kepik hijau yang menyerang daun dan menghisap polong menyebabkan perkembangan generatif tanaman terganggu. Pengendalian hama selama penelitian berlangsung antara lain dengan cara mekanis dan kimia. Pengendalian mekanis yaitu dengan membunuh secara langsung. Pengendalian secara kimia juga dilakukan dengan penyemprotan insektisida dengan mempertimbangkan jenis hama, tingkat kerusakan yang ditimbulkan dan keadaan lingkungan serta pertumbuhan tanaman.

Pengendalian hama dilakukan dengan penyemprotan insektisida berbahan aktif klorantraniliprol 50 g/l air dan fipronil 50 g/l air. Pengendalian gulma dilakukan sesuai dengan perlakuan yang dicobakan. Perkembangan hama dan penyakit pada petakan kedelai tidak terlalu signifikan karena waktu tanam kedelai ditanam bersamaan dengan komoditas pertanian lain seperti jagung. Menurut Sukarna dan Harnoto (1985), untuk mengurangi populasi hama dan intensitas serangga adalah dengan pola bercocok tanam yang tepat, misalnya keserentakan waktu tanam. Keserentakan bertanam dalam areal yang luas menjadikan daerah sebaran suatu hama menjadi luas sehingga populasi hama menjadi rendah dan kerusakan yang ditimbulkannya berada dibawah ambang ekonomi.

Pertumbuhan Gulma di Tanah Mineral

Hasil penelitian memperlihatkan nilai koefisien komunitas yang dibandingkan antar petak sebelum perlakuan menunjukkan nilai yang seragam. Koefisien komunitas dihitung untuk mengetahui keseragaman komunitas gulma antar petak percobaan. Dua komunitas dinyatakan homogen apabila nilai C > 75% dan dinyatakan heterogen jika C < 75% (Numata 1982) (Lampiran 8).

(39)

25 baik secara manual atau menggunakan herbisida (Blum et al. 2000; Webster 2004). Kurangnya pengaruh penghambatan perlakuan jenis herbisida terhadap gulma Cyperus iria juga karena faktor pertahanan dari Cyperus iria secara morfologi maupun fisiologi terhadap tekanan lingkungan. Adaptasi morfologi didasarkan pada penghambatan atau pencegahan masuknya senyawa berbahaya ke dalam tubuh tumbuhan misalnya adanya lignin (Schulz dan Friebe 1999). Adanya lignin pada dinding sel Cyperus iria mencegah masuknya senyawa kimia pada membran, sehingga sistem membran tidak mengalami kerusakan.

Perlakuan jenis herbisida pada bobot kering gulma 4 MST (Tabel 4) menunjukkan aplikasi herbisida glifosat, oksifluorfen, dan oksifluorfen yang diikuti dengan herbisida glifosat sama-sama efektif dalam menekan gulma dengan perlakuan penyiangan manual. Penelitian Damalas (2004) menyebutkan bahwa dengan adanya perbedaan bahan kimia, mode of action, dan pengaruh terhadap jalur metabolisme, herbisida dapat menghambat kerja enzim atau proses fisiologis gulma. Pengendalian menggunakan herbisida paraquat mampu menurunkan bobot kering spesies Cyperus iria pada akhir pengamatan.

Herbisida paraquat efektif menekan pertumbuhan gulma menghasilkan bobot kering paling rendah karena merupakan herbisida kontak dan cepat mengendalikan gulma. Menurut Vencill et al. (2002) lipid hidroperoksida yang merupakan cara kerja herbisida paraquat akan menghancurkan membran sel yang menyebabkan pecahnya sitoplasma menjadi bagian-bagian interseluler sehingga daun pada gulma akan menjadi layu dan menguning dengan cepat. Penelitian Adnan et al. (2012) menyatakan aplikasi dosis herbisida paraquat meningkatkan persentase pengendalian gulma dan menurunkan bobot kering gulma serta meningkatkan komponen hasil dan hasil tanaman kedelai.

Pertumbuhan, Komponen Hasil, dan Hasil Kedelai di Tanah Mineral

Penyiangan gulma menggunakan herbisida glifosat menghasilkan jumlah daun trifolia tertinggi. Herbisida glifosat cukup efektif mengendalikan gulma dan memberi kesempatan tanaman kedelai untuk mengoptimalkan pertumbuhan vegetatifnya. Mawardi (2005) dalam penelitiannya mengungkapkan bahwa pada pengamatan 2 MST terlihat bahwa aplikasi herbisida glifosat dengan dosis 1 440 g/ha dan 1 920 g/ha mampu menekan pertumbuhan gulma. Hasil penelitian ini sesuai dengan penelitian Nurjanah (2003) yang menyatakan bahwa pertumbuhan tanaman kedelai secara langsung berkaitan dengan keberadaan gulma di sekitar tanaman yang telah mendapat perlakuan. Aplikasi herbisida glifosat 3 l/ha lebih memberi hasil kedelai tertinggi ditunjukkan oleh bobot produksi ubinan 453.00 g/m dan bobot produksi per hektar 3.76 ton/ha. Hasil ini sesuai dengan penelitian Suwarni et al. (2000) yang menyatakan herbisida glifosat sampai dosis 4.5 l/ha menunjukkan hasil tertinggi pada tanaman kacang tanah.

(40)

26

glifosat baru bekerja pada umur 35 HST atau 21 HSA akan tetapi setelahnya gejala toksik perlahan mulai berkurang. Penelitian ini sesuai dengan hasil penelitian Sprague & Hager (2003) yang menyatakan tanaman kedelai yang masih muda sangat tinggi tingkat penyerapannya baik dalam menyerap air, unsur hara maupun herbisida sehingga tingkat toksisitas terhadap tanaman kedelai muda sangat tinggi.

Pertumbuhan Gulma di Tanah Mineral Bergambut

Nilai koefisien komunitas sebelum perlakuan menunjukkan bahwa nilai C antar perlakuan yang dibandingkan lebih dari 75% yang berarti koefisien komunitas pada perlakuan yang dibandingkan tersebut memiliki komposisi gulma yang homogen (Lampiran 9). Nilai koefisien komunitas yang seragam antar petak yang dibandingkan sebelum perlakuan menunjukkan masing-masing perlakuan yang dibandingkan memiliki kesamaan komunitas. Tipe komunitas terjadi karena adanya sifat yang berbeda dalam dominansi jenis, komposisi, jenis dan struktur lapisan tajuk (Whittaker 1975).

Aplikasi herbisida penoksulam mampu menghasilkan bobot gulma total paling rendah pada umur 2 MST karena merupakan herbisida selektif pra tumbuh yang digunakan pada tanaman kedelai. Penelitian Guntoro et al. (2013) menyatakan bahwa aplikasi herbisida penoksulam mulai dosis 0.60 l/ha hingga 1.125 l/ha pada saat 14 hari setelah transplanting dapat mengendalikan gulma umum pada budidaya tanaman padi sawah pasang surut pada pengamatan 1 minggu setelah aplikasi (MSA) hingga 4 MSA. Gulma dominan yang dapat dikendalikan oleh aplikasi herbisida penoksulam antara lain Fimbristylis littoralis (golongan teki), Ludwigia octovalvis (gulma golongan berdaun lebar), dan Cyperus iria (gulma golongan teki).

Aplikasi herbisida oksifluorfen yang diikuti aplikasi herbisida paraquat memiliki bobot kering gulma paling rendah pada umur 4 MST, sedangkan pada umur 6 MST bobot kering gulma paling rendah yaitu perlakuan herbisida oksifluorfen yang diikuti herbisida glifosat. Penyiangan menggunakan herbisida oksifluorfen yang diikuti herbisida glifosat pada spesies Cyperus iria menghasilkan bobot kering paling rendah pada akhir pengamatan jika dibandingkan dengan jenis herbisida lainnya. Hal ini disebabkan racun herbisida tersebut sudah efektif bekerja sehingga gulma belum mampu mengadakan regenerasi. Fadhly dan Tabri (2004) berpendapat bahwa herbisida memiliki efektifitas yang beragam, berdasarkan sifat dan cara kerjanya. Penelitian Adnan et al. (2012) mendukung hasil penelitian ini dengan menyatakan pada pengamatan 14 hari setelah aplikasi (HSA) perlakuan paraquat pada dosis 0.75, 1.50, dan 2.25 kg bahan aktif/ha telah mampu mengendalikan gulma pada tanaman kedelai sebesar 100%.

Pertumbuhan, Komponen Hasil, dan Hasil Kedelai di Tanah Mineral Bergambut

(41)

27 vegetatifnya. Selanjutnya ketika tanaman kedelai sudah melewati fase kritis perkembangan tanaman menjadi lebih baik. Terkendalinya gulma dengan aplikasi herbisida penoksulam memberikan kesempatan kepada tanaman kedelai untuk memanfaatkan sumber daya dan ruang tumbuh menjadi lebih baik.

Aplikasi herbisida paraquat memiliki jumlah polong isi paling tinggi dan memiliki hasil yang tinggi pula (bobot produksi ubinan 182.67 g/m2 dan bobot produksi per hektar 1.5 ton/ha). Jumlah polong pada tanaman kedelai merupakan sifat agronomik penunjang potensi hasil kedelai, makin banyak polong yang dibentuk sehingga diharapkan menghasilkan biji semakin banyak. Lebih lanjut Wicks et al. (1994) mengemukakan bahwa peningkatan hasil tanaman merupakan refleksi penurunan tingkat persaingan dengan gulma, sehingga tanaman kedelai mengalami pertumbuhan yang lebih baik dengan memanfaatkan faktor tumbuh yang ada.

Penggunaan herbisida paraquat menyebabkan kedelai keracunan pada umur 21 HST atau 7 HSA ditandai dengan daun terbakar skala ringan, glifosat menampakkan efek toksiknya pada umur 35 HST atau 21 HSA dengan skala sedang ditandai dengan beberapa daun tanaman kedelai layu, sedangkan oksifluorfen menunjukkan gejala keracunan pada tanaman kedelai pada umur 7 HST atau 4 HSA sementara gejala keracunan penoksulam pada tanaman kedelai semakin berkurang pada umur 35 HST atau 21 HSA. Menurut Vazquez (2005) tanaman kedelai mampu menetralisir racun herbisida, diduga terjadi adanya biotransformasi melalui perubahan struktur kimia yang mengakibatkan deaktivasi atau penurunan toksisitas herbisida tersebut. Hasil biotransformasi tersebut kemungkinan besar adalah metabolit lain yang tidak beracun, yang ditunjukkan makin berkurangnya tingkat keracunan pada 35 HST pada perlakuan herbisida oksifluorfen dan penoksulam.

(42)

28

KESIMPULAN DAN SARAN

Kesimpulan

Herbisida yang paling efektif menekan gulma di tanah mineral adalah paraquat yang ditunjukkan dengan hasil bobot kering gulma paling rendah pada 4, 6, dan 8 MST. Herbisida yang paling efektif menekan gulma di tanah mineral bergambut adalah oksifluorfen yang ditunjukkan dengan hasil bobot kering gulma paling rendah pada 4 dan 8 MST. Herbisida yang paling efektif mendukung produksi kedelai di tanah mineral adalah glifosat yang ditunjukkan dengan produktivitas sebesar 3.76 ton/ha. Herbisida yang paling efektif mendukung produksi kedelai di tanah mineral bergambut yaitu paraquat yang ditunjukkan dengan produktivitas sebesar 1.5 ton/ha.

Saran

Aplikasi herbisida pre emergence sebaiknya dilakukan sebelum tanam kedelai. Aplikasi herbisida post emergence harus dilakukan secara hati-hati dengan menggunakan sungkup nozzle untuk mencegah keracunan pada tanaman.

DAFTAR PUSTAKA

Adnan, Hasanuddin, dan Manfarizah. 2012. Aplikasi beberapa dosis herbisida glifosat dan paraquat pada sistem tanpa olah tanah (TOT) serta pengaruhnya terhadap sifat kimia tanah, karakteristik gulma dan hasil kedelai. J. Agrista. 16(3):135-145.

Agus F, Subiksa IGM. 2008. Lahan Gambut: Potensi untuk Pertanian dan Aspek Lingkungan. Balai Penelitian Tanah, Bogor (ID).

Ashton FM and Craft AS. 1981. Mode of action of herbicides. A. Willey. Inter Sci Publ. John Willey and Sons.

Badan Meteorologi Klimatologi dan Geofisika. 2013. Klimatologi Kenten Palembang. Palembang (ID): BMKG Jakarta.

[BPS] Badan Pusat Statistik. 2014. Produksi, Luas Panen dan Produktivitas Palawija di Indonesia. www.bps.go.id [23 Mei 2014].

Barus E. 2003. Pengendalian Gulma di Perkebunan. Yogyakarta (ID): Kanisius. Blum RR, III J, Isgrigg and Yelverton FH. 2000. Purple (Cyperus rotundus) and

yellow nutsedge (C. esculentus) control in Bermuda grass (Cynodon dactylon). Weed Technol. 14(2):357-365.

Brown HM. 1989. Mode of action, crop selectivity, and soil relation of sulfonilurea herbicides. Pesticides Science. 29: 263-281.

Damalas CA. 2004. Herbicide tank mixtures: common interactions. J. Agri. Biol. 6(1):209-212.

Gambar

Tabel 1 Perbandingan hasil analisis tanah awal
Tabel 2 Data analisis air
Tabel 4 Pengaruh perlakuan terhadap bobot kering gulma total di tanah mineral
Tabel 5 Pengaruh perlakuan terhadap bobot kering gulma per spesies di tanah mineral compressus
+5

Referensi

Dokumen terkait

Mereka juga tidak memiliki kitab suci yang dijadikan pedoman seperti agama tradisional, pedoman mereka adalah nilai-nilai dari simbol dan ritual mereka. Ritual mereka juga

hitam adalah path untuk mendapatkan kesempatan Shoping Time atau kesempatan belanja item item bertahan dan menyerang, dan Path warna team adalah path yang digunakan

Tujuan penelitian adalah untuk memperoleh informasi tentang (1) perencanaan, pengorganisasian, pengarahan, dan pengawasan yang dilakukan oleh kepala madrasah; (2)

kaki-kulit kambing menunjukkan bahwa parame- ter tebal kulit bagian atas alas kaki-kulit kambing hasil penelitian semua variasi konsentrasi dapat memenuhi syarat dalam

Karena, begitu pesatnya minat masyarakat Tionghoa terutama bagi para pemuda dalam memainkan permainan ini, maka memunculkan inovasi baru bagi masyarakat Tionghoa

Antusias mitra mengikuti kegiatan sehingga adanya pemahaman dan keterampilan masyarakat mitra dalam mengolah limbah potongan kayu menjadi produk berkualitas

Vaikka hän on Schumpeterin kanssa yhtä mieltä siitä, että kansalaiset tuskin koskaan voivat olla kiinnostuneita kaikista kansallisen tason päätöksistä yhtä paljon

Puji dan syukur atas anugerah Tuhan Yang Maha Esa sehingga penulis dapat menyelesaikan Tugas Akhir ini sebagai syarat utama dalam memperoleh gelar sarjana Teknik dari