KAJIAN DAMPAK KERAGAMAN IKLIM TERHADAP
DISTRIBUSI DAN PERUBAHAN STATUS HAMA
TANAMAN PADI DI PANTAI UTARA JAWA BARAT
DEDI HUTAPEA
SEKOLAH PASCASARJANA
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
Dengan ini saya menyatakan bahwa tesis Kajian Dampak Keragaman Iklim terhadap Distribusi dan Perubahan Status Hama Tanaman Padi di Pantai Utara Jawa Barat adalah karya saya dengan arahan dari komisi pembimbing dan belum diajukan dalam bentuk apa pun kepada perguruan tinggi mana pun. Sumber informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan maupun yang tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam Daftar Pustaka di bagian akhir tesis ini.
Bogor, Juli 2011
Dedi Hutapea
ABSTRACT
DEDI HUTAPEA. Study on the impact of climate variability on rice pest distribution and status shift in the Northern Coast of West Java. Supervised by ALI NURMANSYAH, RINI HIDAYATI and I WAYAN WINASA.
Every degree of earth temperature increasing will cause the life cycle of most insect pests to be speeded up. This equates to shorter time from egg hatching to full grown adult, thus creating larger pest populations. In the end, this will affect the distribution pattern and magnitude of pest invasion in the field. Brown plant hopper (BPH) and rice stem borer (RSB) are the two main types of rice pest that always gets attention from farmers due to the high damage caused by both pests. This study was aimed to analyze the impacts of climate variability on the distribution and pest status shifts of rice pests. An index of pest infestation was calculated to assest the status shift of a pest and a multiple regression technique was used to investigated the effect of climate variables on the magnitude of the pests (BPH and RSB) infestation. There was an increasing in earth temperature but a decreasing in precipitation in three districts of the Northern Coast of West Java during the period of 1990-2010. Contrary to the above two variables, the relative humidity was indicating a stable fluctuation over the period. Not all of the studied pests (Rats, BPH, RSB, and Leaffolder) indicated shifts in their status but only Rats and BPH did as the climate changed. Among the three climate variables, only the minimum temperature had a consistent effect on the infestation area of BPH and RSB. The infestation areas of BPH and RSB were increasing as the minimum temperature increased. The relative humidity had a similar but less consistent effect as the temperature effect on the pests infestation areas. The effect of precipitation on the pests infestation areas was not appearing to be significant in this study.
Key words: climate variability, brown plant hopper, rice stem borer, pest
Perubahan Status Hama Tanaman Padi di Pantai Utara Jawa Barat. Dibimbing oleh ALI NURMANSYAH, RINI HIDAYATI,dan I WAYAN WINASA.
Perubahan nilai varian dari unsur-unsur iklim seperti suhu, curah hujan, kelembaban, dan sebagainya dalam rentang waktu tertentu merupakan salah satu fenomena terjadinya keragaman iklim. Perubahan tersebut dapat berupa kejadian iklim ekstrim pada seluruh ruang dan waktu dari masing-masing unsur iklim, sehingga menyebabkan kondisi iklim yang tidak sama untuk setiap tahunnya. Penelitian ini bertujuan untuk menganalisis hubungan antara keragaman iklim dengan distribusi dan perubahan status hama wereng batang cokelat (WBC) dan penggerek batang padi (PBP) di Pantai Utara Jawa Barat. Penelitian dilakukan melalui dua pendekatan, yaitu: 1) survei petani tentang tingkat serangan OPT padi, dan 2) pengumpulan data sekunder tentang luas serangan hama WBC dan PBP, penggunaan varietas, luas tanam padi sawah dan peubah iklim (suhu, curah hujan, dan kelembaban udara). Survei petani dilaksanakan di tiga kabupaten, yaitu: Kabupaten Karawang, Subang, dan Indramayu. Keragaman kondisi suhu, curah hujan, dan kelembaban udara selama periode 1990-2009 dianalisis menggunakan kondisi iklim per musim tanam (musim hujan/MH dan musim kemarau/MK). Besaran suhu (minimum, maksimum, dan rata-rata), curah hujan, dan kelembaban per musim tanam dihitung dari data iklim bulanan dengan kriteria seperti berikut: MH meliputi bulan Oktober-Maret dan MK meliputi bulan April-September.
Analisis pergeseran status hama ditentukan dengan menghitung indeks serangan (IS) per periode (1990-1999, 2000-2010, dan 2010) terhadap data tingkat serangan hama padi hasil wawancara dengan petani. Nilai indeks serangan hama: 0 < ISh ≤ 3, mempunyai arti bahwa jika nilai ISh mendekati angka 0 maka status serangan hama adalah minor, sedangkan jika nilai ISh mendekati angka 3 maka status serangan hama adalah mayor. Hubungan antara besarnya serangan hama (WBC dan PBP), Y, dengan peubah iklim, X, dan peubah lain yang berkorelasi dengan serangan hama, Z, dimodelkan dengan menggunakan analisis regresi linier berganda. Koefisien-koefisien dalam model diduga dengan metode kuadrat terkecil biasa (ordinary least square). Pengujian terhadap koefisien-koefisien tersebut dilakukan dengan uji t dan pengujian terhadap model dilakukan dengan analisis ragam.
tingkat kelembaban udara bulanan pada musim hujan dan kemarau menunjukkan fluktuasi yang relatif stabil dan berada pada kisaran 75-85%.
Distribusi serangan hama WBC dan PBP pada setiap musim tanam umumnya bervariasi dan hampir merata pada setiap kabupaten. Pada musim tanam tertentu, luas serangannya rendah tetapi pada musim tanam berikutnya meningkat. Pada kondisi iklim normal, kejadian serangan WBC dan PBP umumnya lebih tinggi pada musim hujan. Sebaliknya pada kondisi iklim ektrim
(La Nina), luas serangan WBC dan PBP lebih tinggi pada musim kemarau. Dari
empat jenis OPT yang dianalisis datanya (tikus, WBC,PBP, HPP) hanya dua OPT saja yang mengalami pergeseran status serangan, yaitu WBC dan PBP. Status serangan WBC meningkat dari serangan minor menjadi mayor sedangkan status serangan PBP mengalami penurunan. Status serangan tikus berfluktuasi sedangkan status serangan HPP relatif stabil dan masih tergolong dalam kategori serangan minor.
Dari keempat peubah bebas yang digunakan dalam model, hanya peubah suhu minimum dan kerentanan varietas yang menunjukkan pengaruh nyata dan konsisten. Kedua peubah ini memiliki korelasi positif terhadap luas serangan WBC dan PBP yang ditunjukkan dengan tanda positif pada nilai koefisiennya. Kelembaban udara yang relatif stabil berpengaruh nyata hanya pada musim hujan pada serangan WBC dan musim kemarau pada serangan PBP. Curah hujan belum terlihat pengaruhnya terhadap luas serangan WBC dan PBP.
© Hak cipta milik IPB, tahun 2011 Hak cipta dilindungi Undang-Undang
1. Dilarang mengutip sebagian atau seluruh karya tulis ini tanpa
mencantumkan atau menyebutkan sumber
a. Pengutipan hanya untuk kepentingan pendidikan, penelitian, penulisan
karya ilmiah, penyusunan laporan, penulisan kritik atau tinjauan suatu masalah.
b. Pengutipan tidak merugikan kepentingan yang wajar IPB
2. Dilarang mengumumkan dan memperbanyak sebagian atau seluruh karya
KAJIAN DAMPAK KERAGAMAN IKLIM TERHADAP
DISTRIBUSI DAN PERUBAHAN STATUS HAMA
TANAMAN PADI DI PANTAI UTARA JAWA BARAT
DEDI HUTAPEA
Tesis
sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Magister Sains pada
Departemen Proteksi Tanaman
SEKOLAH PASCASARJANA
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
Judul Tesis : Kajian Dampak Keragaman Iklim terhadap Distribusi dan Perubahan Status Hama Tanaman Padi di Pantai Utara Jawa Barat
Nama Mahasiswa : Dedi Hutapea
NRP : A351080011
Disetujui
Komisi Pembimbing
Dr. Ir. Ali Nurmansyah, M.Si Ketua
Dr. Ir. I Wayan Winasa, M.S Dr. Ir. Rini Hidayati, M.S Anggota Anggota
Diketahui
Koordinator Mayor Entomologi Dekan Sekolah Pascasarjana
Dr. Ir. Pudjianto, M.Si Dr. Ir. Dahrul Syah, M.Sc.Agr
Puji dan syukur penulis panjatkan kepada Tuhan Yang Maha Kuasa atas
segala berkat, kasih dan karunia-Nya sehingga dapat menyelesaikan penulisan
karya ilmiah ini guna memenuhi salah satu syarat untuk memperoleh gelar
Magister Sains pada Mayor Entomologi, Sekolah Pascasarjana Institut Pertanian
Bogor. Judul yang dipilih dalam penelitian adalah Kajian Dampak Keragaman
Iklim terhadap Distribusi dan Perubahan Status Hama Tanaman Padi di Pantai
Utara Jawa Barat. Pelaksanaan penelitian ini dibiayai oleh I-MHERE B2C IPB
Nomor : 11/13.24.4/SPP/I-MHERE/2010 Tanggal : 4 Januari 2010 dari komisi
pembimbing.
Keberhasilan yang penulis peroleh tidak terlepas dari bantuan, arahan dan
dorongan dari berbagai pihak. Pada kesempatan ini penulis menyampaikan
terimakasih dan rasa hormat kepada Bapak Dr. Ir. Ali Nurmansyah, M.Si selaku
ketua komisi pembimbing, Ibu Dr. Ir. Rini Hidayati, M.S dan Bapak
Dr. Ir. I Wayan Winasa, M.S selaku anggota komisi pembimbing yang telah
memberikan berbagai masukan dan arahan yang sangat konstruktif sejak
penyusunan proposal sampai selesainya penyusunan tesis. Bapak Dr. Ir. Suryo
Wiyono, M.Sc.Agr yang telah bersedia menjadi dosen penguji dan memberikan
saran-saran pada perbaikan tesis.
Terimakasih penulis ucapkan kepada teman-teman mahasiswa Mayor
Entomologi 2008: Lufthi Rusniarsyah, SP, Mia Nuratni Yanti Rachman, S.P,
M.Si, Yani Maharani, S.P, M.Si, Petronella Nenotek, S.P, M.Si, Rika Ludji, S.P,
M.Si, Yohanes Umbu Rebu,S.P, M.Si, Aser Kocu, S.P, Gatot Budi Santoso, S.P,
dan Ir. Betty Sahetapy, M.S. Teman-teman Persekutuan Alumni Kristen Bogor,
khususnya: Dr. Ir. Surya Abadi Sembiring, M.Si, Liston Siringoringo, S.P, M.Si,
Danner Sagala, S.P, M.Si, Bartho Sihombing, S.Si, M.Si, Pamona Sinaga, S.Hut,
Jose Bonatua Hasibuan, S.Si, Novansi, S.P, dan Benny Sinaga, S.TP.
Teman-teman Paduan Suara Gita Swara Pascasarjana: khususnya Adrien Jems Akiles
Unitly, S.Si, M.Si, Cerria Inara, S.Pi, M.Si, Ir. Alfred Dima, M.Si, dan Ir.
Adelayda Lumingkewas,M.Si, atas kerjasama yang baik, bantuan intelektual,
Ungkapan terima kasih juga disampaikan kepada beberapa instansi yang
menjadi sumber data, antara lain Unit Pelaksana Teknis Dinas Balai Proteksi
Tanaman Pangan dan Hortikultura (UPTD BPTPH) - Dinas Pertanian Provinsi
Jawa Barat, Balai Besar Peramalan OPT Jatisari, Karawang, Balai Pengawasan
dan Sertifikasi Benih Tanaman Pangan dan Hortikultura-Dinas Pertanian Propinsi
Jawa Barat, Badan Meteorologi Klimatologi dan Geofisika (BMKG) wilayah I
Jawa Barat.
Selanjutnya pada kesempatan ini, secara khusus penulis menyampaikan rasa
hormat dan terimakasih yang sangat dalam kepada Ayahanda T. Hutapea dan
Ibunda O. br Marbun yang selalu melimpahkan kasih dan sayang, memberikan
dukungan dan arahan serta doa yang tulus ikhlas demi keberhasilan penulis. Juga
kepada Abang dan Adik-adikku tercinta: Leonard Hutapea, Triandri Hutapea,
Edika Sari Rebeka Sinaga, Naomi Lamtio Hutapea, Purna Doli Hutapea, dan
Asina Marulam Hutapea, serta Lentina Ria Siregar atas dukungan dan doanya.
Akhir kata, penulis berharap semoga karya ilmiah ini dapat memberikan
manfaat dan mampu memperkaya khasanah keilmuan bidang perlindungan
tanaman pangan di masa mendatang.
Bogor, Agustus 2011
Penulis dilahirkan di Tarutung, Tapanuli Utara pada tanggal 13 Desember
1980 dari ayah T. Hutapea dan ibu R. Purba (Almh). Penulis merupakan putra
kedua dari tujuh bersaudara.
Pendidikan sarjana ditempuh mulai tahun 1999 saat penulis lulus dari SMU
Negeri I Tarutung dan pada tahun yang sama lulus seleksi masuk USU melalui
jalur Ujian Masuk Perguruan Tinggi Negeri (UMPTN). Penulis memilih Jurusan
Ilmu Hama dan Penyakit Tumbuhan, Fakultas Pertanian. Tahun 2004 penulis
memperoleh gelar sarjana pertanian dan bekerja di PT. SMART Tbk sebagai
supervisor pada tahun 2005 sampai 2008. Pada tahun 2008, penulis melanjutkan
studi ke Program Magister pada Mayor Entomologi, Sekolah Pascasarjana Institut
DAFTAR ISI
Halaman
PENDAHULUAN
Latar Belakang……….…. ... 1
Tujuan Penelitian ... 3
Manfaat Penelitian ... 3
TINJAUAN PUSTAKA Keragaman Iklim ... 5
Iklim dan Kehidupan Serangga ... 6
Dampak Perubahan Iklim Terhadap Serangga ... 8
Bioekologi Wereng Batang Cokelat (Nilaparvata lugens Stal) ... 9
Bioekologi Penggerek Batang Padi ... 12
Pemodelan Perkembangan Organisme Pengganggu Tumbuhan ... 15
BAHAN DAN METODE Waktu dan Tempat Penelitian ... 17
Survei Tingkat Serangan Hama ... 17
Pengumpulan Data Sekunder ... 17
Analisis Data ... 18
HASIL DAN PEMBAHASAN Perkembangan Suhu, Curah Hujan, dan Kelembaban ... 21
Distribusi Serangan Hama WBC dan PBP ... 24
Pergeseran Status Hama Tanaman Padi ... 27
Model Distribusi Serangan Hama WBC dan PBP ... 29
KESIMPULAN DAN SARAN Kesimpulan ... 43
Saran ... 44
Halaman
1 Distribusi rata-rata luas serangan hama WBC dan PBP musim
hujan dan kemarau pada tahun normal, El Nino, dan La Nina ... 25
2 Hasil analisis regresi berganda luas serangan WBC terhadap suhu,
curah hujan, kelembaban udara dan varietas. ... 29
3 Hasil analisis regresi berganda luas serangan PBP terhadap suhu,
curah hujan, kelembaban udara dan varietas. ... 35
4 Peluang suhu minimum terhadap serangan WBC dengan kriteria
serangan ringan, sedang dan berat pada musim hujan dan kemarau ... . 39
5 Peluang kelembaban udara terhadap serangan WBC dengan
kriteria serangan ringan, sedang dan berat pada musim hujan. ... 40
6 Peluang suhu minimum terhadap serangan PBP dengan kriteria
serangan ringan, sedang dan berat pada musim kemarau. . ... 41
7 Peluang kelembaban udara kritis terhadap serangan PBP dengan
DAFTAR GAMBAR
Halaman
1 Fluktuasi suhu udara maksimum (Tmax), minimum (Tmin) dan
rata- rata (Tav) pada musim hujan periode 1990-2009. ... 21
2 Fluktuasi suhu udara maksimum (Tmax), minimum (Tmin) dan
rata- rata (Tav) pada musim kemarau periode 1990-2009... 22
3 Fluktuasi rata-rata curah hujan (CH) dan kelembaban udara (RH)
pada musim kemarau (a) dan musim hujan (b) periode 1990-2009. .... 22
4 Hubungan antara distribusi serangan WBC (a) dan PBP (b) pada setiap musim tanam dengan kejadian iklim El Nino dan La Nina
periode 1990 – 2010. ... 26
5 Persepsi petani tentang perubahan status hama padi di tiga
kabupaten Pantura Jawa Barat dalam periode 1990-2010. ... 27
6 Hubungan antara suhu minimum dan luas serangan WBC pada musim hujan (a) dan kemarau (b) di tiga kabupaten Pantura Jawa
Barat periode 1990-2009. ... 32
7 Hubungan antara kelembaban udara dan luas serangan WBC pada musim hujan di tiga kabupaten Pantura Jawa Barat periode
1990-2009. ... 33
8 Hubungan antara suhu minimum dan luas serangan PBP pada musim kemarau di tiga kabupaten Pantura Jawa Barat periode
Halaman
1 Hasil analisis regresi berganda luas serangan WBC musim hujan
terhadap suhu, curah hujan, kelembaban udara dan varietas ... 53
2 Hasil analisis regresi berganda luas serangan WBC musim kemarau terhadap suhu, curah hujan, kelembaban udara dan
varietas ... 54
3 Hasil analisis regresi berganda luas serangan PBP musim hujan
terhadap suhu, curah hujan, kelembaban udara dan varietas ... 55
4 Hasil analisis regresi berganda luas serangan PBP terhadap suhu,
curah hujan, kelembaban udara dan varietas ... 56
5 Rata-rata luas serangan WBC dan PBP serta rata-rata luas tanam padi sawah musim tanam 1990-2009/2010 pada tiga kabupaten
Pantura Jawa Barat. ... 57
6 Dominasi varietas unggul padi yang ditanam di tiga kabupaten
Pantai Utara Jawa Barat dan ketahanannya terhadap hama ... 58
7 Plot peluang suhu minimum kritis terhadap serangan WBC dengan
kriteria serangan ringan pada musim hujan. ... 59
8 Plot peluang suhu minimum kritis terhadap serangan WBC dengan
kriteria serangan sedang pada musim hujan. ... 60
9 Plot peluang suhu minimum kritis terhadap serangan WBC dengan
kriteria serangan berat pada musim hujan. ... 61
10 Plot peluang suhu minimum kritis terhadap serangan WBC dengan
kriteria serangan ringan pada musim kemarau. ... 62
11 Plot peluang suhu minimum kritis terhadap serangan WBC dengan
kriteria serangan sedang pada musim kemarau. ... 63
12 Plot peluang suhu minimum kritis terhadap serangan WBC dengan
13 Plot peluang kelembaban udara kritis terhadap serangan WBC
dengan kriteria serangan ringan pada musim hujan. ... 65
14 Plot peluang kelembaban udara kritis terhadap serangan WBC
dengan kriteria serangan sedang pada musim hujan. ... 66
15 Plot peluang kelembaban udara kritis terhadap serangan WBC
dengan kriteria serangan berat pada musim hujan. ... 67
16 Plot peluang suhu minimum kritis terhadap serangan PBP dengan
kriteria serangan ringan pada musim kemarau. ... 68
17 Plot peluang suhu minimum kritis terhadap serangan PBP dengan
kriteria serangan sedang pada musim kemarau. ... 69
18 Plot peluang suhu minimum kritis terhadap serangan PBP dengan
kriteria serangan berat pada musim kemarau. ... 70
19 Plot peluang kelembaban udara kritis terhadap serangan PBP
dengan kriteria serangan ringan pada musim kemarau. ... 71
20 Plot peluang kelembaban udara kritis terhadap serangan PBP
dengan kriteria serangan sedang pada musim kemarau. ... 72
21 Plot peluang suhu minimum kritis terhadap serangan PBP dengan
PENDAHULUAN
Latar Belakang
Data dari Biro Pusat Statistik (BPS) menunjukkan bahwa lebih dari
setengah produksi padi Indonesia dihasilkan di Pulau Jawa. Selama periode
2000-2009, total produksi padi Indonesia sebesar 55-60% (25,938,623 ton) dihasilkan
di Pulau Jawa dan Jawa Barat merupakan provinsi terbesar penghasil padi dengan
produksi sebesar 21-23% (9,556,334 ton) dari total produksi padi nasional (BPS
2011). Kabupaten-kabupaten yang berada di Pantai Utara (Pantura) Jawa Barat,
seperti: Karawang, Subang, dan Indramayu merupakan kabupaten penghasil padi
tertinggi dan merupakan sentra produksi padi di Provinsi Jawa Barat (Dinas
Pertanian Tanaman Pangan Jawa Barat 2011).
Tanaman padi merupakan tanaman pangan terpenting di Indonesia karena
selain berfungsi sebagai makanan pokok, padi juga merupakan sumber
pencaharian. Oleh karena itu, upaya peningkatan produksi komoditas pangan
penting ini senantiasa mendapat prioritas yang tinggi dari pemerintah baik dalam
hal anggaran maupun sarana dan prasarana produksi. Akan tetapi, upaya
peningkatan produksi padi sering terganggu oleh faktor-faktor ekternal alam yang
salah satunya adalah terjadinya perubahan iklim. Perubahan iklim menyebabkan
terjadinya perubahan pola musim hujan dan musim kemarau yang mengakibatkan
meledaknya populasi hama dan penyakit pada tanaman padi.
Pemanasan global mengakibatkan keragaman iklim makin besar yang salah
satunya ditandai dengan terjadinya peningkatan intensitas kejadian iklim ekstrim
(El Nino dan La Nina). Untuk wilayah tropis, dampak yang dirasakan adalah
berubahnya jumlah dan pola curah hujan sehingga mengakibatkan terjadinya
pergeseran awal musim dan periode tanam (Susanti et al. 2009a). Perubahan pola
curah hujan dan musim yang cenderung tidak menentu dapat mempengaruhi pola
tanam padi yang sangat bergantung pada ketersediaan air (Las et al. 2009a). Hal
ini menyebabkan kurangnya realisasi penanaman padi dan waktu tanam menjadi
tidak serempak pada suatu hamparan akibat kekurangan air. Implikasinya adalah
tingginya keragaman stadia tanaman di lapangan sehingga tanaman rentan
2
Perubahan curah hujan, suhu udara, dan kelembaban udara dapat
mempengaruhi kelimpahan, distribusi dan fluktuasi serangan hama dan penyakit
yang memungkinkan terjadinya ledakan serangan organisme pengganggu tanaman
(OPT). Musolin et al. (2010) mengatakan bahwa perubahan iklim dengan adanya
peningkatan suhu dapat menyebabkan siklus hidup serangga menjadi lebih
singkat. Suhu dapat mempengaruhi laju reproduksi dan kelangsungan hidup
(survival) serangga sehingga menyebabkan terjadinya peningkatan kelimpahan
dan distribusinya. Hasil penelitian International Rice Research Institute (IRRI)
menunjukkan bahwa adanya peningkatan suhu antara 25 oC sampai dengan 40 oC
dapat meningkatkan kelimpahan populasi wereng batang cokelat (WBC)
(Nilaparvata lugens Stal) di lapangan dengan suhu optimal 30 oC (Heong et al.
1995).
Selain kelimpahan dan distribusi, perubahan iklim juga dapat mengubah
status hama dari hama minor (minor pest) menjadi hama utama (major pest),
karena adanya peningkatan interaksi antara serangga dengan tanaman inang
sehingga tingkat kerusakan yang ditimbulkan menjadi semakin besar (Lastuvka
2009). Lebih lanjut Ganaha et al. (2007) mengemukakan bahwa serangga
herbivora dapat berubah statusnya menjadi hama ketika beberapa faktor
lingkungan mengubah preferensi serangga tersebut. Salah satu di antaranya adalah
perubahan durasi waktu musim hujan dan musim kemarau yang salah satunya
menjadi lebih lama. Dengan demikian terjadi keragaman stadia tanaman di
lapangan sehingga menyebabkan tersediannya pakan yang cukup bagi hama.
Berdasarkan laporan Wiyono (2007), di beberapa kabupaten di Jawa Barat
dan Jawa Tengah telah terjadi pergeseran status beberapa jenis hama dan penyakit
padi. Misalnya, hama penggerek batang padi merah jambu (Sesamia inferens)
yang sebelumnya merupakan hama minor, dibandingkan dengan penggerek
batang padi kuning (Scirpophaga incertulas) dan penggerek batang padi putih
(Scirpophaga innotata), saat itu sudah menjadi hama penting. Penyakit bacterial
leaf blight (Xanthomonas oryzae pv.oryzae) atau yang lebih dikenal dengan nama
penyakit kresek yang sebelumnya tidak menjadi masalah saat itu, sudah menjadi
penyakit yang merugikan. Ini menunjukkan adanya indikasi kuat tentang kaitan
dengan peningkatan status dan distribusi hama dan penyakit pada beberapa jenis
OPT. Saat ini, data empirik tentang korelasi antara fenomena keragaman iklim
dengan perubahan distribusi dan pergeseran status hama dan penyakit tanaman
padi di Indonesia belum terdokumentasi dengan baik. Oleh karena itu, kajian
tentang dampak keragaman iklim ini perlu dilakukan.
Tujuan Penelitian
Penelitian ini bertujuan untuk menganalisis hubungan antara keragaman
iklim dengan distribusi dan perubahan status hama wereng batang cokelat dan
penggerek batang padi di Pantai Utara Jawa Barat.
Manfaat Penelitian
Hasil penelitian ini diharapkan dapat digunakan sebagai alat analisis untuk
meramalkan intensitas serangan hama wereng batang cokelat dan penggerek
batang padi sehingga dapat dilakukan persiapan pengendalian lebih awal terhadap
TINJAUAN PUSTAKA
Keragaman Iklim
Keragaman iklim merupakan perubahan nilai rerata atau varian dari
unsur-unsur iklim seperti radiasi matahari, suhu, curah hujan, kelembaban, angin dan
sebagainya dalam rentang waktu tertentu. Perubahan tersebut dapat berupa
kejadian iklim ekstrim pada seluruh ruang dan waktu dari masing-masing unsur
iklim, sehingga menyebabkan kondisi iklim yang tidak sama untuk setiap
tahunnya (Meehl et al.2000). Hal tersebut merupakan proses internal natural atau
variasi natural, atau akibat adanya campur tangan manusia pada sistem iklim.
Keragaman iklim dapat bersifat intra-seasonal (periode lebih pendek dari tiga
bulan) maupun inter-annual (periode dua tahun atau lebih) (IPPC 2002).
Keragaman iklim inter-annual antara lain adalah ENSO (El Nino and Southern
Oscillation) atau yang lebih dikenal dengan fenomena El Nino dan La Nina
(Pulhin et al. 2008).
Kejadian El Nino biasanya berasosiasi dengan kejadian kemarau panjang
atau kekeringan karena terjadinya penurunan curah hujan jauh dari normal
khususnya pada musim kemarau. Sebaliknya kejadian La Nina seringkali
berasosiasi dengan kejadian banjir karena terjadinya peningkatan curah hujan jauh
dari normal. Oleh karena itu, apabila sifat dari fenomena ini tidak dipahami baik
dari segi waktu pembentukannya, intensitas, serta lama berlangsungnya, dapat
menimbulkan dampak ekonomi yang cukup besar. Kejadian El Nino tahun
1997-1998 misalnya, telah menyebabkan terjadinya penurunan curah hujan sebesar 33%
pada musim kemarau dibandingkan rata-rata curah hujan selama 30 tahun terakhir
(Boer 2002).
Besar kecilnya dampak keragaman iklim pada suatu sistem tergantung pada
sensitivitas, kemampuan adaptif dan kerentanan dari sistem tersebut terhadap
keragaman iklim. Dampak tersebut dapat bersifat langsung, misalnya: berubahnya
hasil tanaman sebagai respon terhadap perubahan kondisi iklim rata-rata dan
keragaman suhu, atau tidak langsung, misalnya: kerusakan yang diakibatkan oleh
meningkatnya frekuensi kejadian banjir pada daerah pantai akibat meningkatnya
tersebut menyesuaikan diri atau beradaptasi terhadap keragaman iklim sehingga
potensi kerusakan akibat keragaman iklim dapat berkurang (IPCC 2001 dalam
Boer et al. 2003).
Pada ekosistem pertanian, keragaman iklim menyebabkan terjadinya
perubahan biodiversitas serangga hama sebagai akibat dari peningkatan suhu,
perubahan curah hujan dan peningkatan frekuensi serta intensitas dari beberapa
kejadian iklim ekstrim sehingga menyebabkan terjadinya peningkatan frekuensi
kejadian hama dan penyakit (IPPC 2002). La Nina dapat menyebabkan kondisi
iklim mikro terutama kelembaban nisbi menjadi lebih menguntungkan bagi
perkembangan wereng batang cokelat. Selain itu, keragaman iklim dapat
menimbulkan intensitas kejadian hama dan penyakit menjadi lebih tinggi sebagai
akibat dari kurangnya efektivitas pestisida pada saat aplikasi (Budianto 2003;
Rosenzweig & Hillel 2008 ).
Iklim dan Kehidupan Serangga
Serangga seperti mahluk hidup lainnya perkembangannya dipengaruhi oleh
faktor iklim baik secara langsung maupun tidak langsung di antaranya curah
hujan, temperatur, kelembaban relatif udara dan fotoperiodisitas. Besarnya
pengaruh ini berbeda untuk tiap spesies serangga dan dampak secara langsung
dapat terlihat pada siklus hidup, keperidian, lama hidup, serta kemampuan
diapause serangga (Ganaha et al. 2007; Lastuvka 2009). Keragaman iklim dapat
mempengaruhi pertumbuhan populasi dan penyebaran serangga sehingga dalam
kurun waktu singkat dapat menimbulkan ledakan populasi serangga hama
tertentu (Wiyono 2007; Dale 1994; Sunjaya 1970 dalam Koesmaryono 1985).
Suhu
Suhu merupakan salah satu faktor pembatas dalam pertumbuhan dan
perkembangan serangga, seperti siklus hidup, dan kelangsungan hidup serangga.
Kisaran suhu yang sesuai bagi pertumbuhan serangga berhubungan erat dengan
karakteristik tempat suatu spesies hidup. Oleh karena itu, dalam hal adaptasi
lingkungan pada tempat yang berbeda karakteristik tempatnya, suhu akan
berpengaruh terhadap laju pertumbuhan suatu spesies (Gutierrez et al. 2008).
7
kesenjangan suhu yang besar, misalnya beberapa larva nyamuk, kutu air, dan
kumbang air dapat berada di dalam air secara normal pada suhu 38-49 oC. Lebih
lanjut Leather dan Awmack (1998) menjelaskan bahwa respon serangga pada
suhu rendah maupun suhu tinggi tidak sama untuk semua spesies serangga. Suhu
untuk perkembangan awal serangga biasanya lebih rendah dibandingkan dengan
suhu untuk reproduksi.
Baco (1984) merangkum hasil penelitian Suenaga (1963) mengenai
perkembangan siklus hidup hama wereng cokelat bahwa kisaran suhu untuk
aktivitas normal imago wereng batang cokelat adalah 10-32 oC pada betina
makroptera dan 9-30 oC pada jantan makroptera. Kisaran suhu untuk aktivitas
normal instar IV dan V wereng batang cokelat adalah pada suhu 12-31oC.
Sementara itu, menurut Khan et al. (1991) siklus hidup larva instar IV penggerek
batang padi pada suhu tinggi (29-35 oC) dapat dengan cepat berubah menjadi
larva stadia V pada kondisi lingkungan dan makanan yang cukup. Laju
perkembangan pupa Chilo suppressalis meningkat secara linear dari kisaran suhu
15-30 oC, tetapi akan menurun jika suhu melebihi 35 oC. Pada kondisi tersebut
pupa akan mengalami kematian atau menghasilkan ngengat yang bentuk fisiknya
berubah.
Kelembaban
Kelembaban dapat mempengaruhi perkembangbiakan, pertumbuhan, dan
keaktifan serangga baik secara langsung maupun tidak langsung. Kemampuan
serangga bertahan terhadap keadaan kelembaban udara sekitarnya sangat berbeda
menurut jenisnya. Dalam hal ini kisaran toleransi terhadap kelembaban udara
berbeda untuk setiap spesies maupun stadia perkembangannya, tetapi kisaran
toleransi ini tidak jelas seperti pada suhu. Namun bagi serangga pada umumnya
kisaran toleransi terhadap kelembaban udara yang optimum terletak di dekat titik
maksimum, antara 73-100% (Andrewartha & Birch 1974).
Kelembaban udara dapat meningkatkan fekunditas dan fertilitas serangga.
Sebagai contoh, hasil penelitian IRRI tentang kelembaban relatif udara pada
wereng batang cokelat di Filipina menunjukkan bahwa hama tersebut akan
tertekan perkembangannya pada kelembaban 50-60%, dan sangat sesuai pada
(1998) menjelaskan bahwa laju oviposisi ngengat Helicoverpa armigera akan
meningkat seiring dengan meningkatnya kelembaban dan persentase telur yang
menetas lebih tinggi pada kondisi kelembaban rendah. Akan tetapi hal tersebut
tidak berpengaruh pada kualitas generasi berikutnya, hanya pada jumlah telur
yang menetas.
Hujan
Hujan mempunyai arti penting dalam kehidupan serangga, dan dapat
memberikan pengaruh secara langsung maupun tidak langsung pada pertumbuhan
serangga. Dampak secara langsung misalnya, hujan deras dapat mencuci kutudaun
dari tanaman inangnya, sedangkan dampak secara tidak langsung, dapat
meningkatkan kelembaban udara sehingga mendukung pertumbuhan populasi
hama (Dale 1994). Kelimpahan populasi serangga sangat berpengaruh pada
variasi musim hujan. Kurangnya hari hujan dapat menimbulkan kekeringan dan
kematian pada serangga, tetapi jika curah hujan tinggi, maka populasi hama
tersebut akan menurun akibat tercuci oleh hujan (Speight et al. 1999;
Koesmaryono 1985; Mochida et al. 1986).
Dampak Perubahan Iklim terhadap Serangga
Selama dekade belakangan ini, keragaman dan perubahan iklim telah
menimbulkan dampak yang sangat besar terhadap keanekaragaman hayati dan
fungsi ekosistem. Dampak yang paling besar pengaruhnya adalah pada ekosistem
pertanian yang menyebabkan terjadinya perubahan populasi dan status hama dan
penyakit akibat peningkatan suhu dan perubahan curah hujan (Holzkamper et al.
2011). Lebih lanjut Moraal et al. (2011) menjelaskan bahwa berdasarkan analisis
data perkembangan hama tahun 1946-2006, diketahui bahwa hampir semua
populasi hama hutan menunjukkan perubahan sebagai akibat dari perubahan
dalam pengelolaan hutan, pergeseran komposisi hutan, perubahan iklim dan
kedatangan hama baru.
Perubahan iklim menurut Patterson et al. (1999) dapat mempengaruhi
distribusi dan derajat infestasi serangga hama melalui dampak secara langsung
pada siklus hidup serangga dan secara tidak langsung melalui pengaruh iklim pada
9
siklus hidup serangga termasuk di antaranya: lama hidup, fekunditas, diapause,
penyebaran, kematian dan adaptasi genetik. Lebih lanjut Hulle et al. (2010)
menyebutkan bahwa dampak secara langsung pemanasan global terhadap
serangga adalah terjadinya perubahan fisiologi serangga sehingga dapat
mempengaruhi interaksi antar spesies. Selain itu, dampak secara tidak langsung
yang ditimbulkan adalah terjadinya perubahan habitat serangga.
Berdasarkan penelitian yang dilakukan Chen dan McCarl (2001) diketahui
bahwa salah satu faktor yang menyebabkan terjadinya ledakan populasi dan
migrasi hama merupakan pengaruh dari menurunnya efektivitas pestisida sebagai
dampak dari perubahan iklim. Perubahan iklim tersebut dapat berupa peningkatan
suhu dan durasi curah hujan yang tidak menentu. Disamping itu, Cannon (1998)
menjelaskan bahwa serangga hama umumnya akan menjadi lebih berlimpah
populasinya seiring dengan meningkatnya suhu melalui sejumlah proses yang
saling terkait, termasuk di antaranya perubahan siklus hidup serangga.
Sebagai contoh, suhu merupakan faktor utama yang menentukan dalam
penyebaran hama kutudaun (aphid). Peningkatan suhu sebesar 2 oC di Inggris
dapat menyebabkan peningkatan populasi sebesar 18-23 ekor/individu aphid
dalam satu siklus hidup sehingga berpotensi dalam meningkatkan ukuran populasi
(Cannon 1998; Hulle et al. 2010). Disamping dapat meningkatkan jumlah
populasi hama, sebagian besar ledakan populasi serangga hama disebabkan oleh
adanya perubahan iklim dan peningkatan konsentrasi CO2 di atmosfer (Gray
2008). Selain itu, perubahan iklim juga dapat meningkatkan fragmentasi habitat
dan menyebabkan kepunahan organisme dalam skala kecil maupun besar
(Cormont et al. 2011).
Bioekologi Wereng Batang Cokelat (Nilaparvata lugens Stal)
Wereng batang cokelat (WBC) termasuk ordo Hemiptera, subordo
Auchenorrhynca, dan famili Delphacidae. Hama ini menyerang tanaman padi
sebagai tanaman inang utama dan inang lainnya dari famili Graminae. Hama
WBC mudah beradaptasi dengan lingkungannya dan termasuk mudah beradaptasi
dengan varietas tahan. Menurut Baehaki (1985) WBC merupakan hama bertipe
strategi-r dengan ciri: 1) populasi hama dapat menemukan habitatnya dengan
makanan dengan baik sebelum serangga lain ikut berkompetisi, 3) mempunyai
sifat menyebar dengan cepat ke habitat baru sebelum habitat lama tidak berguna
lagi, dan 4) hama ini mempunyai potensi biotik yang tinggi, dapat memanfaatkan
makanan yang banyak dalam waktu singkat sehingga terjadi ledakan populasi dan
mengakibatkan kerugian yang tidak sedikit.
Telur WBC biasanya diletakkan secara berkelompok dalam jaringan
tanaman, terutama pada pelepah daun. Jumlah dan letak telur sangat bervariasi.
Apabila kepadatan populasi tinggi, telur dapat ditemukan pada bagian atas
tanaman (Baco 1984). Satu kelompok terdiri atas 3-21 butir telur. Bentuknya
lonjong agak melngkung berdiameter 0.067-0.133 mm dengan panjang antara
0.83-1.00 mm. satu ekor WBC betina tidak meletakkan telur hanya pada satu
rumpun, tetapi pada beberapa rumpun dengan berpindah-pindah (Baehaki 1987).
Di daerah tropis masa inkubasi telur berkisar antara 7-11 hari, stadia nimfa antara
10-15 hari. Pra-oviposisi 3-4 hari baik untuk brakhiptera maupun makroptera
(Dale 1994; Pathak & Khan 1994). Telur menetas antara 7-11 hari dengan
rata-rata 9 hari (Baehaki 1987). Nimfa dan serangga dewasa biasanya terdapat pada
pangkal batang tanaman padi di atas permukaan air. tetapi apabila populasi sangat
tinggi dapat ditemukan juga pada daun bendera dan pangkal malai (Subroto et al.
1992).
Pada umumnya persentase telur pada musim kemarau lebih rendah
dibandingkan dengan musim hujan. Hal tersebut diduga karena tingginya faktor
mortalitas terutama parasit dan predatornya (Subroto et al. 1992). Nilaparvata
lugens mempunyai 5 instar pada stadia nimfanya. Masing-masing instar ini dapat
dibedakan berdasarkan bentuk dari mesonotum dan metanotumnya serta panjang
tubuhnya (Baco 1984).
Serangga muda yang menetas dari telur disebut nimfa dan makanannya
serupa dengan induknya. Nimfa WBC mengalami lima kali pergantian kulit dan
rata-rata waktu yang diperlukan untuk menyelesaikan stadium nimfa adalah
12.8 hari (Baco 1984). Lamanya waktu untuk menyelesaikan stadium nimfa
beragam, tergantung dari bentuk dewasa yang akan muncul. Nimfa dapat
berkembang menjadi dua bentuk wereng dewasa. Bentuk pertama adalah
11
sayap belakang normal. Bentuk kedua adalah brakhiptera (bersayap kerdil) yaitu
WBC dewasa yang mempunyai sayap depan dan sayap belakang tumbuh tidak
normal, terutama sayap belakang sangat rudimenter (Baehaki 1987).
Adanya dua bentuk sayap pada imago WBC menunjukkan bahwa WBC
brakhiptera berfungsi untuk berkembang biak di tempat asal
perkembangbiakannya (breeding site) dan tetap tinggal di tempat itu. Fungsi
wereng makroptera adalah untuk migrasi ke tempat yang jauh dari tempat
perkembangbiakan semula, mencari tempat baru, dan pada generasi pertama akan
membentuk wereng brakhiptera. Munculnya betina makroptera pada setiap
kombinasi populasi terjadi pada generasi kedua pada saat kepadatan cukup tinggi
dan rusaknya tanaman. Imago makroptera lebih banyak muncul pada tanaman tua
daripada tanaman muda, dan kemunculan makroptera lebih banyak pada tanaman
setengah rusak daripada tanaman sehat (Baehaki & Widiarta 2009).
Dinamika Populasi Wereng Batang Cokelat
Studi sebaran spasial dan pengambilan sampel beruntun yang dilakukan
oleh Untung et al. (1988) menemukan bahwa distribusi spasial WBC pada awal
pertumbuhan tanaman padi adalah secara acak (random). Setelah mengalami
perkembangan populasi, bentuk distribusinya menjadi mengelompok, atau
mengikuti distribusi binomial negatif. Hasil penelitian Baehaki dan Widiarta
(2009) di Sukamandi menunjukkan bahwa, populasi WBC yang datang pertama
kali ke pertanaman adalah bentuk makroptera sebagai wereng imigran. Satu
pasang wereng makroptera, pada generasi pertama dapat menghasilkan wereng
dewasa 174.5 ekor dan pada generasi kedua mencapai 3,700 ekor. Cepatnya
perkembangan populasi WBC disebabkan oleh tingginya fekunditas yang
mencapai 805-908 telur/betina pada generasi ketiga.
Setelah telur menetas, WBC berkembang biak secara eksponensial untuk
satu atau dua generasi pada tanaman padi fase vegetatif, tergantung pada saat
migrasinya. Apabila migrasi terjadi pada umur 2 atau 3 minggu setelah tanam,
maka WBC dapat berkembang biak sebanyak dua generasi. Puncak populasi
nimfa generasi pertama (G1) dan kedua (G2) berturut-turut muncul pada umur 5-6
minggu setelah tanam dan 10-11 minggu setelah tanam. Apabila migrasi terjadi
dijumpai satu kali, yaitu pada umur 9-10 minggu setelah tanam. Pada keadaan
lain kepadatan populasi tertinggi terjadi pada fase pembungaan tanaman padi
yaitu pada umur 9-11 minggu setelah tanam. Apabila kepadatan populasi
mencapai 300-500 ekor per rumpun, tanaman akan segera mati kekeringan
(hopper burn) (Ditlin 1986).
Bioekologi Penggerek Batang Padi
Spesies penggerek batang padi yang paling dominan dan selalu muncul pada
setiap musim tanam di Pantai Utara Jawa Barat adalah penggerek batang padi
kuning dan putih. Kedua spesies hama tersebut berkembang secara terus-menerus
sepanjang tahun. Dominasi kedua spesies hama tersebut sering berubah-ubah,
misalnya tahun 1995 di kawasan Pantai Utara Jawa Barat populasi penggerek
batang padi putih rendah sekali, sedangkan populasi penggerek batang padi
kuning meningkat 30%. Sejak saat itu penggerek batang padi kuning lebih
mendominasi dengan populasi lebih dari 90%. Gejala kerusakan tanaman padi
yang disebabkan oleh penggerek batang padi kuning hampir sama dengan yang
disebabkan oleh penggerek batang padi putih (Suharto & Usyati 2009).
Penggerek Batang Padi Kuning
Telur yang dihasilkan imago betina diletakkan berkelompok berkisar antara
50-150 butir/kelompok, ditutupi rambut halus berwarna cokelat kekuningan. Telur
diletakkan pada malam hari antara pukul 19.00-21.00 selama 3-5 malam sejak
malam pertama (Dale 1994). Telur diletakkan pada daun, pelepah daun dan
kadang-kadang pada pangkal batang (Pathak & Khan 1994). Keperidian satu ekor
betina adalah 100-600 butir tiap betina, stadium telur antara 6-7 hari. Pada saat
telur menetas, larva keluar melalui 2-3 lubang yang dibuat pada bagian bawah
telur menembus permukaan daun (Kanno 1984).
Larva yang baru muncul (instar 1) biasanya bergerak menuju bagian ujung
daun dan menggantung dengan benang halus atau membuat tabung kecil, terayun
oleh angin dan jatuh ke bagian tanaman lain atau permukaan air (Balitpa 2009b).
Larvanya berwarna putih kekuningan sampai kehijauan dengan panjang
maksimum 25 mm. Stadium larva antara 28-35 hari, dan terdiri atas 5-7 instar
(Dale 1994). Selama hidupnya larva dapat berpindah dari satu tunas ke tunas
13
permukaan air dan memencar ke rumpun yang lain. Larva instar akhir tinggal di
dalam batang sampai stadium pupa (Balitpa 2009b).
Sebelum menjadi pupa, larva membuat lubang keluar pada pangkal batang
dekat permukaan air atau tanah, yang ditutupi membran tipis untuk jalan keluar
setelah menjadi imago. Pupa berwarna kekuning-kuningan atau agak putih.
Kokon berupa selaput benang berwarna putih dengan panjang 12-15 mm. Lama
stadium pupa antara 6-23 hari (Pathak & Khan 1994). Ngengat jantan mempunyai
bintik-bintik gelap pada sayap depan, sedangkan ngengat betina berwarna kuning
dengan bintik hitam di bagian tengah sayap depan. Panjang ngengat jantan 14 mm
dan betina 17 mm. Ngengat aktif pada malam hari dan tertarik cahaya, imago
dapat terbang dengan jangkauan mencapai 6-10 km. Lama hidup ngengat antara
5-10 hari dengan siklus hidup 39-58 hari (Khan et al. 1991; Balitpa 2009b).
Karakteristik penggerek batang padi kuning adalah kelompok telur
diletakkan pada daun bagian ujung, hanya seekor larva dalam satu tunas, pupa
berada di dalam pangkal tunas di bawah permukaan tanah, tanaman inang utama
adalah padi dan tanaman padi liar. Perubahan kepadatan populasi penggerek
batang padi kuning di lapangan sangat dipengaruhi oleh keadaan iklim (curah
hujan, suhu, kelembaban), varietas padi yang ditanam, dan musuh alami yaitu
parasitoid, predator, dan patogen (Dale 1994; Balitpa 2009b).
Penggerek Batang Padi Putih
Telur yang diletakkan penggerek batang padi putih berkisar antara 70-260
butir/kelompok, diletakkan dipermukaan atas daun atau pelepah, mirip telur
penggerek batang padi kuning. Kelompok telur ditutupi rambut halus, berwarna
cokelat kekuning-kuningan, stadium telur 4-9 hari. Larvanya mirip dengan
penggerek batang padi kuning, panjang maksimal 21 mm, berwarna putih
kekuningan. Larva yang sudah berkembang penuh pada saat menjelang musim
hujan berakhir dan setelah panen akan mengalami diapause pada batang padi tua
dan tunggul padi. Lamanya diapause tergantung pada lamanya musim kemarau.
Setelah turun hujan mencapai 10 mm dan saat tanah lembab, larva yang
berdiapause akan menjadi pupa dan selanjutnya menjadi ngengat. Stadium larva
Imago keluar dari pupa dalam periode waktu yang relatif bersamaan dan
meletakkan telur di persemaian. Imago berwarna putih dengan panjang betina 13
mm dan jantan 11 mm, imago tertarik cahaya. Imago aktif di lapangan selama
musim hujan. Tiga dari lima generasi dihasilkan selama musim tanam padi dan
tergantung pada durasi penanaman, jenis varietas, waktu panen dan penanaman
padi. Generasi pertama dari menyebabkan kerusakan pada persemaian dan
tanaman yang baru ditransplanting. Generasi kedua dan tiga menyebabkan
kerusakan pada fase vegetatif dan generatif (Dale 1994).
Karakteristik penggerek batang padi putih antara lain: kelompok telur, larva,
dan pupa mirip penggerek batang padi kuning. Larva mampu berdiapause selama
musim kemarau di dalam pangkal batang. Masa terbang ngengat pada awal musim
hujan terjadi hampir bersamaan. Dinamika populasi penggerek batang padi putih
sangat dipengaruhi oleh perubahan lingkungan terutama faktor iklim (curah
hujan), irigasi, dan musuh alami (Balitpa 2009b). Hama ini hidup pada dataran
rendah hingga ketinggian 200 m dari permukaan laut. Serangannya tidak terjadi
pada daerah dengan intensitas curah hujan tinggi, karena larva tidak dapat hidup
pada kondisi basah ekstrim (Dale 1994).
Dinamika Populasi Penggerek Batang Padi
Perkembangan populasi penggerek batang padi mengalami perubahan
dengan adanya perubahan pola tanam padi. Perubahan pola tanam padi erat
kaitannya dengan faktor iklim, khususnya curah hujan. Selain faktor iklim,
faktor-faktor yang dapat memicu terjadinya peningkatan populasi penggerek batang
adalah terjadinya perubahan biologi hama, dari yang tadinya berdiapause menjadi
tidak berdiapause (Balitpa 2009b). Disamping itu, ledakan penggerek batang padi
juga berhubungan dengan komposisi musuh alami di ekosistem padi misalnya
parasitoid (Rauf 2000). Lebih lanjut Khan et al. (1991) menjelaskan bahwa
perkembangan populasi penggerek batang padi dipengaruhi oleh umur tanaman,
varietas tanaman dan kesuburan tanah. Ngengat penggerek batang padi lebih
menyukai tanaman muda untuk meletakkan telur daripada tanaman tua. Tanaman
padi yang dipupuk dengan nitrogen dosis tinggi ditemukan telur penggerek batang
lebih banyak dan perkembangan larva menjadi lebih baik daripada tanaman yang
15
Pemodelan Perkembangan Organisme Pengganggu Tumbuhan
Penerapan pengelolaan hama secara terpadu mencakup upaya secara
preemtif dan responsif. Upaya preemtif adalah upaya pengendalian yang
didasarkan pada informasi dan pengalaman status organisme pengganggu
tumbuhan (OPT) waktu sebelumnya. Upaya ini mencakup penentuan pola tanam,
penentuan varietas, penentuan waktu tanam, keserentakan tanam, pemupukan,
pengairan, pengaturan jarak tanam, penyiangan, penggunaan agen hayati dan
teknik budidaya lainnya untuk menciptakan tanaman sehat. Upaya responsif
adalah upaya pengendalian yang didasarkan pada informasi status OPT dan faktor
yang berpengaruh pada musim yang sedang berlangsung, serta pertimbangan
biaya manfaat dari tindakan yang perlu dilakukan. Upaya ini antara lain seperti
penggunaan musuh alami, pestisida nabati, pengendalian mekanis, atraktan dan
pestisida kimia (Baehaki & Widiarta 2009).
Untuk melaksanakan tindakan tersebut di atas diperlukan informasi
ekologis, terutama tentang perkembangan populasi atau serangan OPT dan musuh
alaminya, perkembangan tanaman inang, dan faktor-faktor lain yang
mempengaruhi perkembangan OPT. Informasi tersebut artinya merupakan
pemahaman terhadap agroekosistem yang akan dikelola dengan melakukan
analisis terhadap data historis dan ekologis atau analisis ekosistem. Hasil analisis
ekosistem tersebut dapat disusun dalam suatu model prediksi kejadian serangan
OPT atau model peramalan OPT, yang selanjutnya hasil aplikasi model peramalan
berupa informasi peramalan OPT pada suatu daerah atau lokasi dapat dijadikan
Waktu dan Tempat Penelitian
Penelitian dilakukan melalui dua pendekatan, yaitu (1) survei petani tentang
tingkat serangan OPT padi dan (2) pengumpulan data sekunder tentang luas
serangan hama WBC dan PBP, penggunaan varietas, luas tanam padi sawah dan
peubah iklim. Survei petani dilaksanakan pada bulan April 2010 di tiga
kabupaten, yaitu: Kabupaten Karawang, Subang, dan Indramayu, sedangkan
pengumpulan data sekunder pada bulan Mei-Agustus 2010.
Survei Tingkat Serangan Hama
Survei tingkat serangan hama padi selama tiga periode, yaitu 1990-an,
2000-an, dan 2010, dilakukan dengan mewawancarai petani secara langsung di
lahan sawahnya. Pada setiap kabupaten studi, survei dilakukan dengan metode
pengambilan contoh dua tahap. Pada tahap pertama, lima kecamatan dipilih
berdasarkan tingkat kejadian serangan hama tertinggi. Pada tahap kedua, lima
petani pada setiap kecamatan terpilih dipilih secara sengaja (purposive sampling)
berdasarkan kemudahan ditemui di lahan sawahnya. Pertanyaan yang diajukan
dalam wawancara tersebut meliputi tingkat serangan (ringan, sedang, dan berat)
dari 4 jenis hama yang sering menyerang padi di daerah tersebut, yaitu tikus,
WBC, PBP, dan hama putih palsu (HPP).
Pengumpulan Data Sekunder
Data yang dikumpulkan dalam penelitian ini adalah luas serangan hama
WBC dan PBP, varietas padi yang ditanam petani, luas tanam padi sawah dan tiga
peubah iklim (suhu, curah hujan, dan kelembaban) untuk periode 1990-2009.
Data luas serangan WBC dan PBP diperoleh dari Unit Pelaksana Teknis Dinas
Balai Proteksi Tanaman Pangan dan Hortikultura (UPTD BPTPH)-Dinas
Pertanian Provinsi Jawa Barat dan Balai Besar Peramalan OPT Jatisari,
Karawang. Data varietas dan luas tanam padi sawah diperoleh dari Balai
Pengawasan dan Sertifikasi Benih Tanaman Pangan dan Hortikultura-Dinas
Pertanian Propinsi Jawa Barat. Data curah hujan, suhu (minimum, maksimum,
dan rata-rata), dan kelembaban diperoleh dari Badan Meteorologi Klimatologi dan
18
Analisis Data
Keragaman Iklim Selama Periode 1990 – 2009
Keragaman kondisi suhu, curah hujan, dan kelembaban selama periode
1990-2009 dianalisis menggunakan kondisi iklim per musim tanam (musim
hujan/MH dan musim kemarau/MK). Besaran suhu (minimum, maksimum, dan
rata-rata), curah hujan, dan kelembaban per musim tanam dihitung dari data iklim
bulanan dengan kriteria seperti berikut: MH meliputi bulan Oktober-Maret dan
MK meliputi bulan April-September. Data iklim per musim tanam ini kemudian
disajikan dalam bentuk grafik garis menggunakan program Microsoft Excel 2007.
Pergeseran Status Hama
Analisis pergeseran status hama ditentukan dengan menghitung indeks
serangan (IS) per periode (1990-an, 2000-an, dan 2010) terhadap data tingkat
serangan hama padi hasil wawancara dengan petani. IS masing-masing jenis hama
(ISh) merupakan nilai rata-rata terboboti dari data tingkat serangan (ringan,
sedang, dan berat) yang didefinisikan sebagai berikut:
dengan qi adalah skor tingkat serangan hama i (1 = ringan, 2 = sedang, dan 3 =
berat), ni jumlah petani yang memberikan tingkat serangan q dari hama i, dan N
jumlah seluruh petani responden. Nilai indeks serangan hama: 0 < ISh ≤ 3, mempunyai arti bahwa jika nilai ISh mendekati angka 0 maka status serangan
hama adalah minor, sedangkan jika nilai ISh mendekati angka 3 maka status
serangan hama adalah mayor.
Model Distribusi Serangan WBC dan PBP
Hubungan antara besarnya serangan hama (WBC dan PBP), (Y), dengan
peubah iklim, (X), dan peubah lain yang berkorelasi dengan serangan hama, (Z),
dimodelkan dengan persamaan berikut:
Y = α + β1X1 + β2X2 + β3X3 + β4Z+ ε ……… (1) dimana Y adalah proporsi luas serangan hama per musim tanam terhadap luas
tanam, X1 rata-rata suhu udara minimum per musim tanam, X2 total curah hujan
per musim tanam, X3 rata-rata kelembaban udara per musim tanam, Z tingkat
pengaruh masing-masing peubah iklim dan varietas terhadap serangan hama, dan
ε pengaruh faktor lain terhadap serangan hama yang tidak masuk dalam model
(galat). Tingkat ketahanan varietas diperoleh dengan menghitung nilai rata-rata
terboboti dari skor ketahanan varietas terhadap hama (1 = rentan, 2 = agak rentan,
3 = agak tahan, dan 4 = tahan) dari semua jenis varietas yang di tanam.
Koefisien-koefisien dalam model (α, β1, β2, β3, dan β4) diduga dengan metode kuadrat terkecil biasa (ordinary least square). Pengujian terhadap koefisien-koefisien
tersebut dilakukan dengan uji t dan pengujian terhadap model dilakukan dengan
analisis ragam. Selain itu, koefisien determinasi (R2) dihitung untuk melihat
kesesuaian model dengan data yang teramati. Semua pendugaan dan pengujian di
atas dilakukan menggunakan program MINITAB versi 15.0.
Pendugaan Nilai Peubah Iklim yang Berpengaruh Nyata
Pendugaan nilai kritis dari setiap peubah yang berpengaruh nyata dilakukan
melalui pendekatan nilai peluang. Nilai peluang masing-masing peubah
ditentukan dengan menggunakan metode plot peluang (probability plot) sehingga
diperoleh nilai kritis yang paling menentukan faktor Y pada selang kepercayaan
95%. Bentuk fungsi peluang dari masing-masing peubah diuji dengan uji statistik
AD (Anderson-Darling) dengan hipotesis awal (H0) sebagai berikut: data memiliki
sebaran normal. Uji signifikansi sebaran data dilakukan dengan uji P. Jika nilai P
lebih kecil dari nilai alpha pada taraf 5%, maka H0 ditolak. Semua pengujian di
21
HASIL DAN PEMBAHASAN
Perkembangan Suhu, Curah Hujan, dan Kelembaban
Selama periode 1990-2009 rata-rata suhu udara bulanan di tiga kabupaten
Pantura Jawa Barat (Karawang, Subang, dan Indramayu) mengalami peningkatan
baik pada musim hujan maupun musim kemarau. Suhu minimum pada musim
periode 1990-2009 dari ketiga wilayah tersebut mengalami penurunan baik pada
musim hujan maupun musim kemarau. Rata-rata curah hujan pada musim hujan
menurun sebesar 42 mm dan musim kemarau sebesar 39 mm. Sementara itu,
tingkat kelembaban udara bulanan pada musim hujan dan kemarau menunjukkan
fluktuasi yang relatif stabil dan berada pada kisaran 75-85%. Keragaman iklim
musiman yang terjadi selama kurun waktu dua puluh tahun terakhir ini seperti
peningkatan suhu, penurunan curah hujan dengan tingkat kelembaban udara relatif
stabil (Gambar 1, 2 dan 3) mengindikasikan bahwa telah terjadi perubahan iklim
jangka pendek.
Gambar 1 Fluktuasi suhu udara maksimum (Tmax), minimum (Tmin) dan rata- rata (Tav) pada musim hujan periode 1990-2009.
Gambar 2 Fluktuasi suhu udara maksimum (Tmax), minimum (Tmin) dan rata- rata (Tav) pada musim kemarau periode 1990-2009.
Gambar 3 Fluktuasi rata-rata curah hujan (CH) dan kelembaban udara (RH) pada musim kemarau (a) dan musim hujan (b) periode 1990-2009.
23
Peningkatan suhu udara (maksimum, minimum dan rata-rata), penurunan
curah hujan dan kelembaban udara yang relatif stabil di tiga kabupaten Pantura
Jawa Barat telah mempengaruhi pertumbuhan dan perkembangan populasi hama
tanaman padi. Hal ini terlihat dari adanya peningkatan luas serangan hama
tanaman padi di daerah tersebut khususnya WBC. Peningkatan luas serangan
WBC dan fluktuasi serangan PBP selama periode 1990-2009 dipengaruhi oleh
keragaman iklim. Keragaman iklim tidak hanya mempengaruhi dinamika populasi
hama, namun juga mempengaruhi keberadaan musuh alami sehingga pengaturan
populasi hama menjadi kurang (Gutierrez 2000). Akibatnya, terjadi peningkatan
luas serangan hama yang menyebabkan terjadinya penurunan produksi padi.
Walaupun demikian, suhu udara, curah hujan dan kelembaban udara bukan
merupakan satu-satunya penyebab meluas dan meningkatnya serangan hama
tersebut. Namun beberapa faktor lain yang mempengaruhi di antaranya adalah
pola tanam yang tidak serentak, penanaman varietas rentan, dan aplikasi pestisida
yang tidak tepat (Untung & Trisyono 2010).
Terjadinya peningkatan suhu udara dan penurunan curah hujan serta
stabilnya kelembaban udara merupakan kondisi yang menguntungkan bagi hama
tanaman padi (WBC dan PBP) karena dapat memicu peningkatan populasinya di
lapangan. Hal ini sesuai dengan hasil penelitian yang dilakukan oleh Cannon
(1998) bahwa serangga hama umumnya akan menjadi lebih berlimpah
populasinya seiring dengan meningkatnya suhu udara melalui sejumlah proses
Distribusi Serangan Hama WBC dan PBP
Berdasarkan data musiman luas serangan WBC dan PBP periode 1990-
2010, diketahui bahwa distribusi serangan kedua jenis hama ini pada setiap
musim tanam umumnya bervariasi dan hampir merata pada setiap kabupaten.
Pada musim tanam tertentu, luas serangannya rendah tetapi pada musim tanam
berikutnya meningkat. Luas serangan WBC tertinggi terjadi pada musim tanam
1998 mencapai 14,960 ha (15.9% dari total luas tanam padi musim tanam 1998).
Serangan pada tahun 2008 menurun dengan luas serangan sebesar 17 ha (0.02%
dari total luas tanam padi musim tanam 2008), dan pada musim tanam 2009/2010
meningkat menjadi 2,700.67 ha (2.5% dari total luas tanam padi musim tanam
2009/2010). Luas serangan hama PBP tertinggi juga terjadi pada musim tanam
1998 dengan luas serangan mencapai 6,235 ha (6.6% dari total luas tanam padi
musim tanam 1998), sedangkan serangan terendah terjadi pada musim tanam 1997
dengan luas serangan sebesar 211 ha (0.25% dari total luas tanam padi musim
tanam 1997) (Lampiran 5).
Kejadian serangan WBC dan PBP selama musim tanam 1990-2010 erat
hubungannya dengan keragaman iklim yang terjadi selama periode tersebut. Ini
dapat dilihat pada musim tanam 1998 yang merupakan puncak serangan WBC dan
PBP sebagai dampak dari kejadian iklim ekstrim La Nina. Kejadian serangan
WBC dan PBP pada tahun normal lebih banyak daripada kejadian serangan tahun
La Nina, tetapi luas serangan pada tahun La Nina jauh lebih besar daripada luas
serangan tahun normal (Gambar 4 dan Tabel 1). Hal ini mengindikasikan bahwa
kejadian iklim ekstrim dapat meningkatkan terjadinya ledakan hama. La Nina
yang menyebabkan adanya hujan di musim kemarau dapat meningkatkan potensi
indeks penanaman padi di lapangan. Peningkatan luas areal penanaman padi
menurut Untung dan Trisyono (2010), dapat meningkatkan ketersediaan inang
bagi hama, meningkatkan jangkauan persebaran hama dan meningkatkan
keragaman jenis hama karena perubahan habitat alami. Disamping itu, kondisi
iklim yang lembab pada kemarau basah menyebabkan hama mudah berkembang
biak (Susanti et al. 2009b). La Nina mempengaruhi kondisi iklim mikro areal
persawahan, terutama kelembaban udara sehingga menjadi lebih menguntungkan
25
Informasi kejadian El Nino dan La Nina yang diunduh dari
http://ggweather.com/enso/oni.htm tanggal 11 Maret 2011, menunjukkan bahwa
telah terjadi El Nino‘kuat’ pada tahun 1991, 1997, dan 2009, sedangkan La Nina
‘sedang’ terjadi pada tahun 1998, 1999, 2007, dan 2010 (Gambar 4). Berdasarkan data tersebut, distribusi serangan WBC dan PBP pada saat La Nina lebih besar
dibandingkan pada saat El Nino dan iklim normal (Tabel 1). Peningkatan serangan
hama tanaman padi akibat keragaman iklim terutama La Nina terkait dengan dua
faktor utama, yaitu: a) ketidakserempakan tanam dalam satu hamparan, yang
mempengaruhi perkembangan hama melalui ketersediaan inang, dan b)
faktor-faktor fisik yang mendukung perkembangan hama terutama suhu dan kelembaban
udara (Budianto 2003).
Tabel 1 Distribusi rata-rata luas serangan WBC dan PBP musim hujan dan kemarau pada tahun normal, El Nino, dan La Nina.
Tahun Luas serangan (ha) Luas Persentase Serangan (%)
WBC PBP Tanam (ha) WBC PBP
Tahun Normal: 1990, 1992, 1993, 1995, 1996, 2000, 2001, 2003, 2004, 2005, 2006, 2008 Tahun El Nino: 1991, 1994, 1997, 2002, 2009
Tahun La Nina: 1998, 1999, 2007
Adanya ketidakteraturan musim akibat fenomena El Nino dan La Nina
selama periode 1990-2009, mempengaruhi pola tanam padi di Pantai Utara Jawa
Barat. Ketidakteraturan musim ini telah menyebabkan pergeseran waktu tanam
padi. Awal tanam bisa menjadi maju atau mundur sehingga pola tanam menjadi
tidak serentak. Akibatnya, dalam hamparan luas terdapat tanaman padi dalam
berbagai tingkatan umur, dari persemaian sampai dengan masa panen. Dengan
demikian stadia tanaman yang berbeda di lapangan memberikan kesempatan
kepada hama untuk bertelur pada stadia tanaman yang sesuai baginya, sehingga
0 9/1
27
Pergeseran Status Hama Tanaman Padi
Berdasarkan hasil wawancara dengan petani padi di tiga kabupaten Pantura
Jawa Barat, diketahui bahwa telah terjadi pergeseran status serangan beberapa
jenis hama tanaman padi di daerah tersebut. Pergeseran status serangan hama itu
ditentukan berdasarkan intensitas serangan dan tingkat kerugian yang
ditimbulkan. Dari empat jenis OPT yang dianalisis datanya (tikus, WBC,PBP,
HPP) hanya dua OPT saja yang mengalami pergeseran status serangan, yaitu
WBC dan PBP. Status serangan WBC meningkat dari serangan minor menjadi
mayor yang ditunjukkan dengan peningkatan nilai indeks serangan hama (ISh)
pada periode 1990-1999 sebesar 2.28, periode 2000-2009 sebesar 2.58, dan
periode 2010 sebesar 2.69. Sebaliknya, PBP tidak mengalami peningkatan status
serangan. Hal ini terlihat dari nilai ISh yang cenderung menurun selama tiga
dekade pengamatan, yaitu: periode 1990-1999 sebesar 2.24, periode 2000-2009
sebesar 2.03, dan periode 2010 sebesar 1.79. Sementara itu, status serangan tikus
berfluktuasi sesuai dengan nilai ISh periode 1990-1999 sebesar 1.85, periode
2000-2009 sebesar 1.99, dan periode 2010 sebesar 1.60. Status serangan HPP
relatif stabil dan masih tergolong dalam kategori serangan minor (Gambar 5).
Gambar 5 Persepsi petani tentang perubahan status hama padi di tiga kabupaten Pantura Jawa Barat dalam periode 1990-2010.
Berdasarkan hasil analisis tersebut di atas, diketahui bahwa pergeseran
status serangan hama WBC dan PBP memiliki pola yang sama dengan data aktual
hasil pengamatan petugas pengamat OPT di lapangan (Gambar 4). Dari gambar
WBC dan penurunan status serangan PBP. Peningkatan status serangan WBC
tersebut dipengaruhi oleh penanaman padi yang intensif dan keberadaan varietas
peka di lapangan serta stadia tanaman yang bervariasi. Hal ini sesuai dengan hasil
penelitian Natanegara dan Sawada (1992) bahwa serangan WBC meningkat akibat
tersediannya tanaman inang yang rentan dan beragamnya stadia tanaman inang di
lapangan. Lebih lanjut Baehaki (2009) menyebutkan bahwa kejadian iklim
ekstrim seperti El Nino dan La Nina dapat menyebabkan perbedaan waktu tanam.
Selain itu, WBC diketahui mampu berkembang dengan baik pada musim hujan
atau musim kemarau asal ada stimulan berupa curah hujan yang tinggi
(Susanti et al. 2009b).
Penurunan status serangan PBP selama periode 1990-2010 diduga karena
populasi hama ini rendah di lapangan. Menurunnya populasi PBP di lapangan
dipengaruhi oleh adanya peningkatan populasi musuh alami (khususnya parasitoid
telur) yang dapat membatasi populasi PBP di lapangan (Rauf 2000; Kusdiaman &
Kurniawaty 2007). Lebih lanjut Suharto dan Usyati (2009) menjelaskan bahwa
pengendalian mekanis dengan mengambil kelempok telur dan penangkapan
ngengat dengan menggunakan lampu perangkap secara massal yang dilakukan
petani dapat mengurangi populasi PBP. Penggunaan insektisida sistemik oleh
petani berbentuk granular seperti karbofuran, bensultap, bisultap, karbosulfan,
dimehipo, atau fipronil dapat mengendalikan PBP (Balitpa 2006). Selain itu,
adanya keragaman iklim seperti halnya El Nino dan La Nina menyebabkan
sebagian besar larva yang berdiapause menjadi tertekan akibat frekuensi
kekeringan makin sering terjadi (Boer 2007 dalam Suharto & Usyati 2009).
Pergeseran status serangan hama tanaman padi dipengaruhi oleh beberapa
faktor, diantaranya: jumlah individu hama, faktor sosio-ekonomi (misalnya
meningkatnya harga gabah padi dan input teknologi dalam budidaya padi) dan
toleransi biologi dari tanaman yang terserang hama (Cammel & Knight 1992).
Selain itu, pergeseran status hama juga terjadi karena adanya perubahan perilaku
(behavior), fisiologi, siklus hidup dan keberadaan musuh alami hama di lapangan
sebagai dampak dari keragaman iklim sehingga mendorong peningkatan populasi
29
Perubahan status hama juga dapat disebabkan oleh keberadaan tanaman
inang dan praktek budidaya yang dilakukan oleh petani. Tindakan yang dilakukan
petani seperti aplikasi pestisida yang tidak tepat (dosis, sasaran, konsentrasi, jenis
dan waktu aplikasi) cenderung mengurangi aktivitas musuh alami di lapangan
(Thomson et al. 2010). Selain itu, terjadinya perubahan ekosistem dapat
menyebabkan populasi hama pada beberapa generasi berikutnya menjadi berubah
(Untung & Trisyono 2010). Kombinasi dari semua faktor tersebut diyakini
merupakan penyebab utama yang memicu pergeseran status hama WBC dan PBP
di tiga kabupaten Pantai Utara Jawa Barat.
Model Distribusi Serangan WBC dan PBP Model Distribusi Serangan WBC
Analisis regresi linier berganda antara peubah iklim (suhu minimum, curah
hujan, dan kelembaban udara) dan varietas terhadap distribusi serangan WBC
menghasilkan model yang berbeda antara musim hujan dan kemarau. Peubah
bebas yang berpengaruh nyata pada model musim hujan adalah suhu minimum,
kelembaban udara dan varietas, sedangkan pada model musim kemarau hanya
suhu minimum dan varietas. Peubah bebas dalam model musim hujan mampu
menjelaskan peubah terikat (luas serangan WBC) sebesar 55.7% sementara pada
model musim kemarau sebesar 60.2% (Tabel 2).