• Tidak ada hasil yang ditemukan

Study on the impact of climate variability on rice pest distribution and status shift in the Northern Coast of West Java

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2017

Membagikan "Study on the impact of climate variability on rice pest distribution and status shift in the Northern Coast of West Java"

Copied!
86
0
0

Teks penuh

(1)

KAJIAN DAMPAK KERAGAMAN IKLIM TERHADAP

DISTRIBUSI DAN PERUBAHAN STATUS HAMA

TANAMAN PADI DI PANTAI UTARA JAWA BARAT

DEDI HUTAPEA

SEKOLAH PASCASARJANA

INSTITUT PERTANIAN BOGOR

(2)

Dengan ini saya menyatakan bahwa tesis Kajian Dampak Keragaman Iklim terhadap Distribusi dan Perubahan Status Hama Tanaman Padi di Pantai Utara Jawa Barat adalah karya saya dengan arahan dari komisi pembimbing dan belum diajukan dalam bentuk apa pun kepada perguruan tinggi mana pun. Sumber informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan maupun yang tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam Daftar Pustaka di bagian akhir tesis ini.

Bogor, Juli 2011

Dedi Hutapea

(3)

ABSTRACT

DEDI HUTAPEA. Study on the impact of climate variability on rice pest distribution and status shift in the Northern Coast of West Java. Supervised by ALI NURMANSYAH, RINI HIDAYATI and I WAYAN WINASA.

Every degree of earth temperature increasing will cause the life cycle of most insect pests to be speeded up. This equates to shorter time from egg hatching to full grown adult, thus creating larger pest populations. In the end, this will affect the distribution pattern and magnitude of pest invasion in the field. Brown plant hopper (BPH) and rice stem borer (RSB) are the two main types of rice pest that always gets attention from farmers due to the high damage caused by both pests. This study was aimed to analyze the impacts of climate variability on the distribution and pest status shifts of rice pests. An index of pest infestation was calculated to assest the status shift of a pest and a multiple regression technique was used to investigated the effect of climate variables on the magnitude of the pests (BPH and RSB) infestation. There was an increasing in earth temperature but a decreasing in precipitation in three districts of the Northern Coast of West Java during the period of 1990-2010. Contrary to the above two variables, the relative humidity was indicating a stable fluctuation over the period. Not all of the studied pests (Rats, BPH, RSB, and Leaffolder) indicated shifts in their status but only Rats and BPH did as the climate changed. Among the three climate variables, only the minimum temperature had a consistent effect on the infestation area of BPH and RSB. The infestation areas of BPH and RSB were increasing as the minimum temperature increased. The relative humidity had a similar but less consistent effect as the temperature effect on the pests infestation areas. The effect of precipitation on the pests infestation areas was not appearing to be significant in this study.

Key words: climate variability, brown plant hopper, rice stem borer, pest

(4)

Perubahan Status Hama Tanaman Padi di Pantai Utara Jawa Barat. Dibimbing oleh ALI NURMANSYAH, RINI HIDAYATI,dan I WAYAN WINASA.

Perubahan nilai varian dari unsur-unsur iklim seperti suhu, curah hujan, kelembaban, dan sebagainya dalam rentang waktu tertentu merupakan salah satu fenomena terjadinya keragaman iklim. Perubahan tersebut dapat berupa kejadian iklim ekstrim pada seluruh ruang dan waktu dari masing-masing unsur iklim, sehingga menyebabkan kondisi iklim yang tidak sama untuk setiap tahunnya. Penelitian ini bertujuan untuk menganalisis hubungan antara keragaman iklim dengan distribusi dan perubahan status hama wereng batang cokelat (WBC) dan penggerek batang padi (PBP) di Pantai Utara Jawa Barat. Penelitian dilakukan melalui dua pendekatan, yaitu: 1) survei petani tentang tingkat serangan OPT padi, dan 2) pengumpulan data sekunder tentang luas serangan hama WBC dan PBP, penggunaan varietas, luas tanam padi sawah dan peubah iklim (suhu, curah hujan, dan kelembaban udara). Survei petani dilaksanakan di tiga kabupaten, yaitu: Kabupaten Karawang, Subang, dan Indramayu. Keragaman kondisi suhu, curah hujan, dan kelembaban udara selama periode 1990-2009 dianalisis menggunakan kondisi iklim per musim tanam (musim hujan/MH dan musim kemarau/MK). Besaran suhu (minimum, maksimum, dan rata-rata), curah hujan, dan kelembaban per musim tanam dihitung dari data iklim bulanan dengan kriteria seperti berikut: MH meliputi bulan Oktober-Maret dan MK meliputi bulan April-September.

Analisis pergeseran status hama ditentukan dengan menghitung indeks serangan (IS) per periode (1990-1999, 2000-2010, dan 2010) terhadap data tingkat serangan hama padi hasil wawancara dengan petani. Nilai indeks serangan hama: 0 < ISh ≤ 3, mempunyai arti bahwa jika nilai ISh mendekati angka 0 maka status serangan hama adalah minor, sedangkan jika nilai ISh mendekati angka 3 maka status serangan hama adalah mayor. Hubungan antara besarnya serangan hama (WBC dan PBP), Y, dengan peubah iklim, X, dan peubah lain yang berkorelasi dengan serangan hama, Z, dimodelkan dengan menggunakan analisis regresi linier berganda. Koefisien-koefisien dalam model diduga dengan metode kuadrat terkecil biasa (ordinary least square). Pengujian terhadap koefisien-koefisien tersebut dilakukan dengan uji t dan pengujian terhadap model dilakukan dengan analisis ragam.

(5)

tingkat kelembaban udara bulanan pada musim hujan dan kemarau menunjukkan fluktuasi yang relatif stabil dan berada pada kisaran 75-85%.

Distribusi serangan hama WBC dan PBP pada setiap musim tanam umumnya bervariasi dan hampir merata pada setiap kabupaten. Pada musim tanam tertentu, luas serangannya rendah tetapi pada musim tanam berikutnya meningkat. Pada kondisi iklim normal, kejadian serangan WBC dan PBP umumnya lebih tinggi pada musim hujan. Sebaliknya pada kondisi iklim ektrim

(La Nina), luas serangan WBC dan PBP lebih tinggi pada musim kemarau. Dari

empat jenis OPT yang dianalisis datanya (tikus, WBC,PBP, HPP) hanya dua OPT saja yang mengalami pergeseran status serangan, yaitu WBC dan PBP. Status serangan WBC meningkat dari serangan minor menjadi mayor sedangkan status serangan PBP mengalami penurunan. Status serangan tikus berfluktuasi sedangkan status serangan HPP relatif stabil dan masih tergolong dalam kategori serangan minor.

Dari keempat peubah bebas yang digunakan dalam model, hanya peubah suhu minimum dan kerentanan varietas yang menunjukkan pengaruh nyata dan konsisten. Kedua peubah ini memiliki korelasi positif terhadap luas serangan WBC dan PBP yang ditunjukkan dengan tanda positif pada nilai koefisiennya. Kelembaban udara yang relatif stabil berpengaruh nyata hanya pada musim hujan pada serangan WBC dan musim kemarau pada serangan PBP. Curah hujan belum terlihat pengaruhnya terhadap luas serangan WBC dan PBP.

(6)

© Hak cipta milik IPB, tahun 2011 Hak cipta dilindungi Undang-Undang

1. Dilarang mengutip sebagian atau seluruh karya tulis ini tanpa

mencantumkan atau menyebutkan sumber

a. Pengutipan hanya untuk kepentingan pendidikan, penelitian, penulisan

karya ilmiah, penyusunan laporan, penulisan kritik atau tinjauan suatu masalah.

b. Pengutipan tidak merugikan kepentingan yang wajar IPB

2. Dilarang mengumumkan dan memperbanyak sebagian atau seluruh karya

(7)

KAJIAN DAMPAK KERAGAMAN IKLIM TERHADAP

DISTRIBUSI DAN PERUBAHAN STATUS HAMA

TANAMAN PADI DI PANTAI UTARA JAWA BARAT

DEDI HUTAPEA

Tesis

sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Magister Sains pada

Departemen Proteksi Tanaman

SEKOLAH PASCASARJANA

INSTITUT PERTANIAN BOGOR

(8)
(9)

Judul Tesis : Kajian Dampak Keragaman Iklim terhadap Distribusi dan Perubahan Status Hama Tanaman Padi di Pantai Utara Jawa Barat

Nama Mahasiswa : Dedi Hutapea

NRP : A351080011

Disetujui

Komisi Pembimbing

Dr. Ir. Ali Nurmansyah, M.Si Ketua

Dr. Ir. I Wayan Winasa, M.S Dr. Ir. Rini Hidayati, M.S Anggota Anggota

Diketahui

Koordinator Mayor Entomologi Dekan Sekolah Pascasarjana

Dr. Ir. Pudjianto, M.Si Dr. Ir. Dahrul Syah, M.Sc.Agr

(10)

Puji dan syukur penulis panjatkan kepada Tuhan Yang Maha Kuasa atas

segala berkat, kasih dan karunia-Nya sehingga dapat menyelesaikan penulisan

karya ilmiah ini guna memenuhi salah satu syarat untuk memperoleh gelar

Magister Sains pada Mayor Entomologi, Sekolah Pascasarjana Institut Pertanian

Bogor. Judul yang dipilih dalam penelitian adalah Kajian Dampak Keragaman

Iklim terhadap Distribusi dan Perubahan Status Hama Tanaman Padi di Pantai

Utara Jawa Barat. Pelaksanaan penelitian ini dibiayai oleh I-MHERE B2C IPB

Nomor : 11/13.24.4/SPP/I-MHERE/2010 Tanggal : 4 Januari 2010 dari komisi

pembimbing.

Keberhasilan yang penulis peroleh tidak terlepas dari bantuan, arahan dan

dorongan dari berbagai pihak. Pada kesempatan ini penulis menyampaikan

terimakasih dan rasa hormat kepada Bapak Dr. Ir. Ali Nurmansyah, M.Si selaku

ketua komisi pembimbing, Ibu Dr. Ir. Rini Hidayati, M.S dan Bapak

Dr. Ir. I Wayan Winasa, M.S selaku anggota komisi pembimbing yang telah

memberikan berbagai masukan dan arahan yang sangat konstruktif sejak

penyusunan proposal sampai selesainya penyusunan tesis. Bapak Dr. Ir. Suryo

Wiyono, M.Sc.Agr yang telah bersedia menjadi dosen penguji dan memberikan

saran-saran pada perbaikan tesis.

Terimakasih penulis ucapkan kepada teman-teman mahasiswa Mayor

Entomologi 2008: Lufthi Rusniarsyah, SP, Mia Nuratni Yanti Rachman, S.P,

M.Si, Yani Maharani, S.P, M.Si, Petronella Nenotek, S.P, M.Si, Rika Ludji, S.P,

M.Si, Yohanes Umbu Rebu,S.P, M.Si, Aser Kocu, S.P, Gatot Budi Santoso, S.P,

dan Ir. Betty Sahetapy, M.S. Teman-teman Persekutuan Alumni Kristen Bogor,

khususnya: Dr. Ir. Surya Abadi Sembiring, M.Si, Liston Siringoringo, S.P, M.Si,

Danner Sagala, S.P, M.Si, Bartho Sihombing, S.Si, M.Si, Pamona Sinaga, S.Hut,

Jose Bonatua Hasibuan, S.Si, Novansi, S.P, dan Benny Sinaga, S.TP.

Teman-teman Paduan Suara Gita Swara Pascasarjana: khususnya Adrien Jems Akiles

Unitly, S.Si, M.Si, Cerria Inara, S.Pi, M.Si, Ir. Alfred Dima, M.Si, dan Ir.

Adelayda Lumingkewas,M.Si, atas kerjasama yang baik, bantuan intelektual,

(11)

Ungkapan terima kasih juga disampaikan kepada beberapa instansi yang

menjadi sumber data, antara lain Unit Pelaksana Teknis Dinas Balai Proteksi

Tanaman Pangan dan Hortikultura (UPTD BPTPH) - Dinas Pertanian Provinsi

Jawa Barat, Balai Besar Peramalan OPT Jatisari, Karawang, Balai Pengawasan

dan Sertifikasi Benih Tanaman Pangan dan Hortikultura-Dinas Pertanian Propinsi

Jawa Barat, Badan Meteorologi Klimatologi dan Geofisika (BMKG) wilayah I

Jawa Barat.

Selanjutnya pada kesempatan ini, secara khusus penulis menyampaikan rasa

hormat dan terimakasih yang sangat dalam kepada Ayahanda T. Hutapea dan

Ibunda O. br Marbun yang selalu melimpahkan kasih dan sayang, memberikan

dukungan dan arahan serta doa yang tulus ikhlas demi keberhasilan penulis. Juga

kepada Abang dan Adik-adikku tercinta: Leonard Hutapea, Triandri Hutapea,

Edika Sari Rebeka Sinaga, Naomi Lamtio Hutapea, Purna Doli Hutapea, dan

Asina Marulam Hutapea, serta Lentina Ria Siregar atas dukungan dan doanya.

Akhir kata, penulis berharap semoga karya ilmiah ini dapat memberikan

manfaat dan mampu memperkaya khasanah keilmuan bidang perlindungan

tanaman pangan di masa mendatang.

Bogor, Agustus 2011

(12)

Penulis dilahirkan di Tarutung, Tapanuli Utara pada tanggal 13 Desember

1980 dari ayah T. Hutapea dan ibu R. Purba (Almh). Penulis merupakan putra

kedua dari tujuh bersaudara.

Pendidikan sarjana ditempuh mulai tahun 1999 saat penulis lulus dari SMU

Negeri I Tarutung dan pada tahun yang sama lulus seleksi masuk USU melalui

jalur Ujian Masuk Perguruan Tinggi Negeri (UMPTN). Penulis memilih Jurusan

Ilmu Hama dan Penyakit Tumbuhan, Fakultas Pertanian. Tahun 2004 penulis

memperoleh gelar sarjana pertanian dan bekerja di PT. SMART Tbk sebagai

supervisor pada tahun 2005 sampai 2008. Pada tahun 2008, penulis melanjutkan

studi ke Program Magister pada Mayor Entomologi, Sekolah Pascasarjana Institut

(13)

DAFTAR ISI

Halaman

PENDAHULUAN

Latar Belakang……….…. ... 1

Tujuan Penelitian ... 3

Manfaat Penelitian ... 3

TINJAUAN PUSTAKA Keragaman Iklim ... 5

Iklim dan Kehidupan Serangga ... 6

Dampak Perubahan Iklim Terhadap Serangga ... 8

Bioekologi Wereng Batang Cokelat (Nilaparvata lugens Stal) ... 9

Bioekologi Penggerek Batang Padi ... 12

Pemodelan Perkembangan Organisme Pengganggu Tumbuhan ... 15

BAHAN DAN METODE Waktu dan Tempat Penelitian ... 17

Survei Tingkat Serangan Hama ... 17

Pengumpulan Data Sekunder ... 17

Analisis Data ... 18

HASIL DAN PEMBAHASAN Perkembangan Suhu, Curah Hujan, dan Kelembaban ... 21

Distribusi Serangan Hama WBC dan PBP ... 24

Pergeseran Status Hama Tanaman Padi ... 27

Model Distribusi Serangan Hama WBC dan PBP ... 29

KESIMPULAN DAN SARAN Kesimpulan ... 43

Saran ... 44

(14)

Halaman

1 Distribusi rata-rata luas serangan hama WBC dan PBP musim

hujan dan kemarau pada tahun normal, El Nino, dan La Nina ... 25

2 Hasil analisis regresi berganda luas serangan WBC terhadap suhu,

curah hujan, kelembaban udara dan varietas. ... 29

3 Hasil analisis regresi berganda luas serangan PBP terhadap suhu,

curah hujan, kelembaban udara dan varietas. ... 35

4 Peluang suhu minimum terhadap serangan WBC dengan kriteria

serangan ringan, sedang dan berat pada musim hujan dan kemarau ... . 39

5 Peluang kelembaban udara terhadap serangan WBC dengan

kriteria serangan ringan, sedang dan berat pada musim hujan. ... 40

6 Peluang suhu minimum terhadap serangan PBP dengan kriteria

serangan ringan, sedang dan berat pada musim kemarau. . ... 41

7 Peluang kelembaban udara kritis terhadap serangan PBP dengan

(15)

DAFTAR GAMBAR

Halaman

1 Fluktuasi suhu udara maksimum (Tmax), minimum (Tmin) dan

rata- rata (Tav) pada musim hujan periode 1990-2009. ... 21

2 Fluktuasi suhu udara maksimum (Tmax), minimum (Tmin) dan

rata- rata (Tav) pada musim kemarau periode 1990-2009... 22

3 Fluktuasi rata-rata curah hujan (CH) dan kelembaban udara (RH)

pada musim kemarau (a) dan musim hujan (b) periode 1990-2009. .... 22

4 Hubungan antara distribusi serangan WBC (a) dan PBP (b) pada setiap musim tanam dengan kejadian iklim El Nino dan La Nina

periode 1990 – 2010. ... 26

5 Persepsi petani tentang perubahan status hama padi di tiga

kabupaten Pantura Jawa Barat dalam periode 1990-2010. ... 27

6 Hubungan antara suhu minimum dan luas serangan WBC pada musim hujan (a) dan kemarau (b) di tiga kabupaten Pantura Jawa

Barat periode 1990-2009. ... 32

7 Hubungan antara kelembaban udara dan luas serangan WBC pada musim hujan di tiga kabupaten Pantura Jawa Barat periode

1990-2009. ... 33

8 Hubungan antara suhu minimum dan luas serangan PBP pada musim kemarau di tiga kabupaten Pantura Jawa Barat periode

(16)

Halaman

1 Hasil analisis regresi berganda luas serangan WBC musim hujan

terhadap suhu, curah hujan, kelembaban udara dan varietas ... 53

2 Hasil analisis regresi berganda luas serangan WBC musim kemarau terhadap suhu, curah hujan, kelembaban udara dan

varietas ... 54

3 Hasil analisis regresi berganda luas serangan PBP musim hujan

terhadap suhu, curah hujan, kelembaban udara dan varietas ... 55

4 Hasil analisis regresi berganda luas serangan PBP terhadap suhu,

curah hujan, kelembaban udara dan varietas ... 56

5 Rata-rata luas serangan WBC dan PBP serta rata-rata luas tanam padi sawah musim tanam 1990-2009/2010 pada tiga kabupaten

Pantura Jawa Barat. ... 57

6 Dominasi varietas unggul padi yang ditanam di tiga kabupaten

Pantai Utara Jawa Barat dan ketahanannya terhadap hama ... 58

7 Plot peluang suhu minimum kritis terhadap serangan WBC dengan

kriteria serangan ringan pada musim hujan. ... 59

8 Plot peluang suhu minimum kritis terhadap serangan WBC dengan

kriteria serangan sedang pada musim hujan. ... 60

9 Plot peluang suhu minimum kritis terhadap serangan WBC dengan

kriteria serangan berat pada musim hujan. ... 61

10 Plot peluang suhu minimum kritis terhadap serangan WBC dengan

kriteria serangan ringan pada musim kemarau. ... 62

11 Plot peluang suhu minimum kritis terhadap serangan WBC dengan

kriteria serangan sedang pada musim kemarau. ... 63

12 Plot peluang suhu minimum kritis terhadap serangan WBC dengan

(17)

13 Plot peluang kelembaban udara kritis terhadap serangan WBC

dengan kriteria serangan ringan pada musim hujan. ... 65

14 Plot peluang kelembaban udara kritis terhadap serangan WBC

dengan kriteria serangan sedang pada musim hujan. ... 66

15 Plot peluang kelembaban udara kritis terhadap serangan WBC

dengan kriteria serangan berat pada musim hujan. ... 67

16 Plot peluang suhu minimum kritis terhadap serangan PBP dengan

kriteria serangan ringan pada musim kemarau. ... 68

17 Plot peluang suhu minimum kritis terhadap serangan PBP dengan

kriteria serangan sedang pada musim kemarau. ... 69

18 Plot peluang suhu minimum kritis terhadap serangan PBP dengan

kriteria serangan berat pada musim kemarau. ... 70

19 Plot peluang kelembaban udara kritis terhadap serangan PBP

dengan kriteria serangan ringan pada musim kemarau. ... 71

20 Plot peluang kelembaban udara kritis terhadap serangan PBP

dengan kriteria serangan sedang pada musim kemarau. ... 72

21 Plot peluang suhu minimum kritis terhadap serangan PBP dengan

(18)

PENDAHULUAN

Latar Belakang

Data dari Biro Pusat Statistik (BPS) menunjukkan bahwa lebih dari

setengah produksi padi Indonesia dihasilkan di Pulau Jawa. Selama periode

2000-2009, total produksi padi Indonesia sebesar 55-60% (25,938,623 ton) dihasilkan

di Pulau Jawa dan Jawa Barat merupakan provinsi terbesar penghasil padi dengan

produksi sebesar 21-23% (9,556,334 ton) dari total produksi padi nasional (BPS

2011). Kabupaten-kabupaten yang berada di Pantai Utara (Pantura) Jawa Barat,

seperti: Karawang, Subang, dan Indramayu merupakan kabupaten penghasil padi

tertinggi dan merupakan sentra produksi padi di Provinsi Jawa Barat (Dinas

Pertanian Tanaman Pangan Jawa Barat 2011).

Tanaman padi merupakan tanaman pangan terpenting di Indonesia karena

selain berfungsi sebagai makanan pokok, padi juga merupakan sumber

pencaharian. Oleh karena itu, upaya peningkatan produksi komoditas pangan

penting ini senantiasa mendapat prioritas yang tinggi dari pemerintah baik dalam

hal anggaran maupun sarana dan prasarana produksi. Akan tetapi, upaya

peningkatan produksi padi sering terganggu oleh faktor-faktor ekternal alam yang

salah satunya adalah terjadinya perubahan iklim. Perubahan iklim menyebabkan

terjadinya perubahan pola musim hujan dan musim kemarau yang mengakibatkan

meledaknya populasi hama dan penyakit pada tanaman padi.

Pemanasan global mengakibatkan keragaman iklim makin besar yang salah

satunya ditandai dengan terjadinya peningkatan intensitas kejadian iklim ekstrim

(El Nino dan La Nina). Untuk wilayah tropis, dampak yang dirasakan adalah

berubahnya jumlah dan pola curah hujan sehingga mengakibatkan terjadinya

pergeseran awal musim dan periode tanam (Susanti et al. 2009a). Perubahan pola

curah hujan dan musim yang cenderung tidak menentu dapat mempengaruhi pola

tanam padi yang sangat bergantung pada ketersediaan air (Las et al. 2009a). Hal

ini menyebabkan kurangnya realisasi penanaman padi dan waktu tanam menjadi

tidak serempak pada suatu hamparan akibat kekurangan air. Implikasinya adalah

tingginya keragaman stadia tanaman di lapangan sehingga tanaman rentan

(19)

2

Perubahan curah hujan, suhu udara, dan kelembaban udara dapat

mempengaruhi kelimpahan, distribusi dan fluktuasi serangan hama dan penyakit

yang memungkinkan terjadinya ledakan serangan organisme pengganggu tanaman

(OPT). Musolin et al. (2010) mengatakan bahwa perubahan iklim dengan adanya

peningkatan suhu dapat menyebabkan siklus hidup serangga menjadi lebih

singkat. Suhu dapat mempengaruhi laju reproduksi dan kelangsungan hidup

(survival) serangga sehingga menyebabkan terjadinya peningkatan kelimpahan

dan distribusinya. Hasil penelitian International Rice Research Institute (IRRI)

menunjukkan bahwa adanya peningkatan suhu antara 25 oC sampai dengan 40 oC

dapat meningkatkan kelimpahan populasi wereng batang cokelat (WBC)

(Nilaparvata lugens Stal) di lapangan dengan suhu optimal 30 oC (Heong et al.

1995).

Selain kelimpahan dan distribusi, perubahan iklim juga dapat mengubah

status hama dari hama minor (minor pest) menjadi hama utama (major pest),

karena adanya peningkatan interaksi antara serangga dengan tanaman inang

sehingga tingkat kerusakan yang ditimbulkan menjadi semakin besar (Lastuvka

2009). Lebih lanjut Ganaha et al. (2007) mengemukakan bahwa serangga

herbivora dapat berubah statusnya menjadi hama ketika beberapa faktor

lingkungan mengubah preferensi serangga tersebut. Salah satu di antaranya adalah

perubahan durasi waktu musim hujan dan musim kemarau yang salah satunya

menjadi lebih lama. Dengan demikian terjadi keragaman stadia tanaman di

lapangan sehingga menyebabkan tersediannya pakan yang cukup bagi hama.

Berdasarkan laporan Wiyono (2007), di beberapa kabupaten di Jawa Barat

dan Jawa Tengah telah terjadi pergeseran status beberapa jenis hama dan penyakit

padi. Misalnya, hama penggerek batang padi merah jambu (Sesamia inferens)

yang sebelumnya merupakan hama minor, dibandingkan dengan penggerek

batang padi kuning (Scirpophaga incertulas) dan penggerek batang padi putih

(Scirpophaga innotata), saat itu sudah menjadi hama penting. Penyakit bacterial

leaf blight (Xanthomonas oryzae pv.oryzae) atau yang lebih dikenal dengan nama

penyakit kresek yang sebelumnya tidak menjadi masalah saat itu, sudah menjadi

penyakit yang merugikan. Ini menunjukkan adanya indikasi kuat tentang kaitan

(20)

dengan peningkatan status dan distribusi hama dan penyakit pada beberapa jenis

OPT. Saat ini, data empirik tentang korelasi antara fenomena keragaman iklim

dengan perubahan distribusi dan pergeseran status hama dan penyakit tanaman

padi di Indonesia belum terdokumentasi dengan baik. Oleh karena itu, kajian

tentang dampak keragaman iklim ini perlu dilakukan.

Tujuan Penelitian

Penelitian ini bertujuan untuk menganalisis hubungan antara keragaman

iklim dengan distribusi dan perubahan status hama wereng batang cokelat dan

penggerek batang padi di Pantai Utara Jawa Barat.

Manfaat Penelitian

Hasil penelitian ini diharapkan dapat digunakan sebagai alat analisis untuk

meramalkan intensitas serangan hama wereng batang cokelat dan penggerek

batang padi sehingga dapat dilakukan persiapan pengendalian lebih awal terhadap

(21)

TINJAUAN PUSTAKA

Keragaman Iklim

Keragaman iklim merupakan perubahan nilai rerata atau varian dari

unsur-unsur iklim seperti radiasi matahari, suhu, curah hujan, kelembaban, angin dan

sebagainya dalam rentang waktu tertentu. Perubahan tersebut dapat berupa

kejadian iklim ekstrim pada seluruh ruang dan waktu dari masing-masing unsur

iklim, sehingga menyebabkan kondisi iklim yang tidak sama untuk setiap

tahunnya (Meehl et al.2000). Hal tersebut merupakan proses internal natural atau

variasi natural, atau akibat adanya campur tangan manusia pada sistem iklim.

Keragaman iklim dapat bersifat intra-seasonal (periode lebih pendek dari tiga

bulan) maupun inter-annual (periode dua tahun atau lebih) (IPPC 2002).

Keragaman iklim inter-annual antara lain adalah ENSO (El Nino and Southern

Oscillation) atau yang lebih dikenal dengan fenomena El Nino dan La Nina

(Pulhin et al. 2008).

Kejadian El Nino biasanya berasosiasi dengan kejadian kemarau panjang

atau kekeringan karena terjadinya penurunan curah hujan jauh dari normal

khususnya pada musim kemarau. Sebaliknya kejadian La Nina seringkali

berasosiasi dengan kejadian banjir karena terjadinya peningkatan curah hujan jauh

dari normal. Oleh karena itu, apabila sifat dari fenomena ini tidak dipahami baik

dari segi waktu pembentukannya, intensitas, serta lama berlangsungnya, dapat

menimbulkan dampak ekonomi yang cukup besar. Kejadian El Nino tahun

1997-1998 misalnya, telah menyebabkan terjadinya penurunan curah hujan sebesar 33%

pada musim kemarau dibandingkan rata-rata curah hujan selama 30 tahun terakhir

(Boer 2002).

Besar kecilnya dampak keragaman iklim pada suatu sistem tergantung pada

sensitivitas, kemampuan adaptif dan kerentanan dari sistem tersebut terhadap

keragaman iklim. Dampak tersebut dapat bersifat langsung, misalnya: berubahnya

hasil tanaman sebagai respon terhadap perubahan kondisi iklim rata-rata dan

keragaman suhu, atau tidak langsung, misalnya: kerusakan yang diakibatkan oleh

meningkatnya frekuensi kejadian banjir pada daerah pantai akibat meningkatnya

(22)

tersebut menyesuaikan diri atau beradaptasi terhadap keragaman iklim sehingga

potensi kerusakan akibat keragaman iklim dapat berkurang (IPCC 2001 dalam

Boer et al. 2003).

Pada ekosistem pertanian, keragaman iklim menyebabkan terjadinya

perubahan biodiversitas serangga hama sebagai akibat dari peningkatan suhu,

perubahan curah hujan dan peningkatan frekuensi serta intensitas dari beberapa

kejadian iklim ekstrim sehingga menyebabkan terjadinya peningkatan frekuensi

kejadian hama dan penyakit (IPPC 2002). La Nina dapat menyebabkan kondisi

iklim mikro terutama kelembaban nisbi menjadi lebih menguntungkan bagi

perkembangan wereng batang cokelat. Selain itu, keragaman iklim dapat

menimbulkan intensitas kejadian hama dan penyakit menjadi lebih tinggi sebagai

akibat dari kurangnya efektivitas pestisida pada saat aplikasi (Budianto 2003;

Rosenzweig & Hillel 2008 ).

Iklim dan Kehidupan Serangga

Serangga seperti mahluk hidup lainnya perkembangannya dipengaruhi oleh

faktor iklim baik secara langsung maupun tidak langsung di antaranya curah

hujan, temperatur, kelembaban relatif udara dan fotoperiodisitas. Besarnya

pengaruh ini berbeda untuk tiap spesies serangga dan dampak secara langsung

dapat terlihat pada siklus hidup, keperidian, lama hidup, serta kemampuan

diapause serangga (Ganaha et al. 2007; Lastuvka 2009). Keragaman iklim dapat

mempengaruhi pertumbuhan populasi dan penyebaran serangga sehingga dalam

kurun waktu singkat dapat menimbulkan ledakan populasi serangga hama

tertentu (Wiyono 2007; Dale 1994; Sunjaya 1970 dalam Koesmaryono 1985).

Suhu

Suhu merupakan salah satu faktor pembatas dalam pertumbuhan dan

perkembangan serangga, seperti siklus hidup, dan kelangsungan hidup serangga.

Kisaran suhu yang sesuai bagi pertumbuhan serangga berhubungan erat dengan

karakteristik tempat suatu spesies hidup. Oleh karena itu, dalam hal adaptasi

lingkungan pada tempat yang berbeda karakteristik tempatnya, suhu akan

berpengaruh terhadap laju pertumbuhan suatu spesies (Gutierrez et al. 2008).

(23)

7

kesenjangan suhu yang besar, misalnya beberapa larva nyamuk, kutu air, dan

kumbang air dapat berada di dalam air secara normal pada suhu 38-49 oC. Lebih

lanjut Leather dan Awmack (1998) menjelaskan bahwa respon serangga pada

suhu rendah maupun suhu tinggi tidak sama untuk semua spesies serangga. Suhu

untuk perkembangan awal serangga biasanya lebih rendah dibandingkan dengan

suhu untuk reproduksi.

Baco (1984) merangkum hasil penelitian Suenaga (1963) mengenai

perkembangan siklus hidup hama wereng cokelat bahwa kisaran suhu untuk

aktivitas normal imago wereng batang cokelat adalah 10-32 oC pada betina

makroptera dan 9-30 oC pada jantan makroptera. Kisaran suhu untuk aktivitas

normal instar IV dan V wereng batang cokelat adalah pada suhu 12-31oC.

Sementara itu, menurut Khan et al. (1991) siklus hidup larva instar IV penggerek

batang padi pada suhu tinggi (29-35 oC) dapat dengan cepat berubah menjadi

larva stadia V pada kondisi lingkungan dan makanan yang cukup. Laju

perkembangan pupa Chilo suppressalis meningkat secara linear dari kisaran suhu

15-30 oC, tetapi akan menurun jika suhu melebihi 35 oC. Pada kondisi tersebut

pupa akan mengalami kematian atau menghasilkan ngengat yang bentuk fisiknya

berubah.

Kelembaban

Kelembaban dapat mempengaruhi perkembangbiakan, pertumbuhan, dan

keaktifan serangga baik secara langsung maupun tidak langsung. Kemampuan

serangga bertahan terhadap keadaan kelembaban udara sekitarnya sangat berbeda

menurut jenisnya. Dalam hal ini kisaran toleransi terhadap kelembaban udara

berbeda untuk setiap spesies maupun stadia perkembangannya, tetapi kisaran

toleransi ini tidak jelas seperti pada suhu. Namun bagi serangga pada umumnya

kisaran toleransi terhadap kelembaban udara yang optimum terletak di dekat titik

maksimum, antara 73-100% (Andrewartha & Birch 1974).

Kelembaban udara dapat meningkatkan fekunditas dan fertilitas serangga.

Sebagai contoh, hasil penelitian IRRI tentang kelembaban relatif udara pada

wereng batang cokelat di Filipina menunjukkan bahwa hama tersebut akan

tertekan perkembangannya pada kelembaban 50-60%, dan sangat sesuai pada

(24)

(1998) menjelaskan bahwa laju oviposisi ngengat Helicoverpa armigera akan

meningkat seiring dengan meningkatnya kelembaban dan persentase telur yang

menetas lebih tinggi pada kondisi kelembaban rendah. Akan tetapi hal tersebut

tidak berpengaruh pada kualitas generasi berikutnya, hanya pada jumlah telur

yang menetas.

Hujan

Hujan mempunyai arti penting dalam kehidupan serangga, dan dapat

memberikan pengaruh secara langsung maupun tidak langsung pada pertumbuhan

serangga. Dampak secara langsung misalnya, hujan deras dapat mencuci kutudaun

dari tanaman inangnya, sedangkan dampak secara tidak langsung, dapat

meningkatkan kelembaban udara sehingga mendukung pertumbuhan populasi

hama (Dale 1994). Kelimpahan populasi serangga sangat berpengaruh pada

variasi musim hujan. Kurangnya hari hujan dapat menimbulkan kekeringan dan

kematian pada serangga, tetapi jika curah hujan tinggi, maka populasi hama

tersebut akan menurun akibat tercuci oleh hujan (Speight et al. 1999;

Koesmaryono 1985; Mochida et al. 1986).

Dampak Perubahan Iklim terhadap Serangga

Selama dekade belakangan ini, keragaman dan perubahan iklim telah

menimbulkan dampak yang sangat besar terhadap keanekaragaman hayati dan

fungsi ekosistem. Dampak yang paling besar pengaruhnya adalah pada ekosistem

pertanian yang menyebabkan terjadinya perubahan populasi dan status hama dan

penyakit akibat peningkatan suhu dan perubahan curah hujan (Holzkamper et al.

2011). Lebih lanjut Moraal et al. (2011) menjelaskan bahwa berdasarkan analisis

data perkembangan hama tahun 1946-2006, diketahui bahwa hampir semua

populasi hama hutan menunjukkan perubahan sebagai akibat dari perubahan

dalam pengelolaan hutan, pergeseran komposisi hutan, perubahan iklim dan

kedatangan hama baru.

Perubahan iklim menurut Patterson et al. (1999) dapat mempengaruhi

distribusi dan derajat infestasi serangga hama melalui dampak secara langsung

pada siklus hidup serangga dan secara tidak langsung melalui pengaruh iklim pada

(25)

9

siklus hidup serangga termasuk di antaranya: lama hidup, fekunditas, diapause,

penyebaran, kematian dan adaptasi genetik. Lebih lanjut Hulle et al. (2010)

menyebutkan bahwa dampak secara langsung pemanasan global terhadap

serangga adalah terjadinya perubahan fisiologi serangga sehingga dapat

mempengaruhi interaksi antar spesies. Selain itu, dampak secara tidak langsung

yang ditimbulkan adalah terjadinya perubahan habitat serangga.

Berdasarkan penelitian yang dilakukan Chen dan McCarl (2001) diketahui

bahwa salah satu faktor yang menyebabkan terjadinya ledakan populasi dan

migrasi hama merupakan pengaruh dari menurunnya efektivitas pestisida sebagai

dampak dari perubahan iklim. Perubahan iklim tersebut dapat berupa peningkatan

suhu dan durasi curah hujan yang tidak menentu. Disamping itu, Cannon (1998)

menjelaskan bahwa serangga hama umumnya akan menjadi lebih berlimpah

populasinya seiring dengan meningkatnya suhu melalui sejumlah proses yang

saling terkait, termasuk di antaranya perubahan siklus hidup serangga.

Sebagai contoh, suhu merupakan faktor utama yang menentukan dalam

penyebaran hama kutudaun (aphid). Peningkatan suhu sebesar 2 oC di Inggris

dapat menyebabkan peningkatan populasi sebesar 18-23 ekor/individu aphid

dalam satu siklus hidup sehingga berpotensi dalam meningkatkan ukuran populasi

(Cannon 1998; Hulle et al. 2010). Disamping dapat meningkatkan jumlah

populasi hama, sebagian besar ledakan populasi serangga hama disebabkan oleh

adanya perubahan iklim dan peningkatan konsentrasi CO2 di atmosfer (Gray

2008). Selain itu, perubahan iklim juga dapat meningkatkan fragmentasi habitat

dan menyebabkan kepunahan organisme dalam skala kecil maupun besar

(Cormont et al. 2011).

Bioekologi Wereng Batang Cokelat (Nilaparvata lugens Stal)

Wereng batang cokelat (WBC) termasuk ordo Hemiptera, subordo

Auchenorrhynca, dan famili Delphacidae. Hama ini menyerang tanaman padi

sebagai tanaman inang utama dan inang lainnya dari famili Graminae. Hama

WBC mudah beradaptasi dengan lingkungannya dan termasuk mudah beradaptasi

dengan varietas tahan. Menurut Baehaki (1985) WBC merupakan hama bertipe

strategi-r dengan ciri: 1) populasi hama dapat menemukan habitatnya dengan

(26)

makanan dengan baik sebelum serangga lain ikut berkompetisi, 3) mempunyai

sifat menyebar dengan cepat ke habitat baru sebelum habitat lama tidak berguna

lagi, dan 4) hama ini mempunyai potensi biotik yang tinggi, dapat memanfaatkan

makanan yang banyak dalam waktu singkat sehingga terjadi ledakan populasi dan

mengakibatkan kerugian yang tidak sedikit.

Telur WBC biasanya diletakkan secara berkelompok dalam jaringan

tanaman, terutama pada pelepah daun. Jumlah dan letak telur sangat bervariasi.

Apabila kepadatan populasi tinggi, telur dapat ditemukan pada bagian atas

tanaman (Baco 1984). Satu kelompok terdiri atas 3-21 butir telur. Bentuknya

lonjong agak melngkung berdiameter 0.067-0.133 mm dengan panjang antara

0.83-1.00 mm. satu ekor WBC betina tidak meletakkan telur hanya pada satu

rumpun, tetapi pada beberapa rumpun dengan berpindah-pindah (Baehaki 1987).

Di daerah tropis masa inkubasi telur berkisar antara 7-11 hari, stadia nimfa antara

10-15 hari. Pra-oviposisi 3-4 hari baik untuk brakhiptera maupun makroptera

(Dale 1994; Pathak & Khan 1994). Telur menetas antara 7-11 hari dengan

rata-rata 9 hari (Baehaki 1987). Nimfa dan serangga dewasa biasanya terdapat pada

pangkal batang tanaman padi di atas permukaan air. tetapi apabila populasi sangat

tinggi dapat ditemukan juga pada daun bendera dan pangkal malai (Subroto et al.

1992).

Pada umumnya persentase telur pada musim kemarau lebih rendah

dibandingkan dengan musim hujan. Hal tersebut diduga karena tingginya faktor

mortalitas terutama parasit dan predatornya (Subroto et al. 1992). Nilaparvata

lugens mempunyai 5 instar pada stadia nimfanya. Masing-masing instar ini dapat

dibedakan berdasarkan bentuk dari mesonotum dan metanotumnya serta panjang

tubuhnya (Baco 1984).

Serangga muda yang menetas dari telur disebut nimfa dan makanannya

serupa dengan induknya. Nimfa WBC mengalami lima kali pergantian kulit dan

rata-rata waktu yang diperlukan untuk menyelesaikan stadium nimfa adalah

12.8 hari (Baco 1984). Lamanya waktu untuk menyelesaikan stadium nimfa

beragam, tergantung dari bentuk dewasa yang akan muncul. Nimfa dapat

berkembang menjadi dua bentuk wereng dewasa. Bentuk pertama adalah

(27)

11

sayap belakang normal. Bentuk kedua adalah brakhiptera (bersayap kerdil) yaitu

WBC dewasa yang mempunyai sayap depan dan sayap belakang tumbuh tidak

normal, terutama sayap belakang sangat rudimenter (Baehaki 1987).

Adanya dua bentuk sayap pada imago WBC menunjukkan bahwa WBC

brakhiptera berfungsi untuk berkembang biak di tempat asal

perkembangbiakannya (breeding site) dan tetap tinggal di tempat itu. Fungsi

wereng makroptera adalah untuk migrasi ke tempat yang jauh dari tempat

perkembangbiakan semula, mencari tempat baru, dan pada generasi pertama akan

membentuk wereng brakhiptera. Munculnya betina makroptera pada setiap

kombinasi populasi terjadi pada generasi kedua pada saat kepadatan cukup tinggi

dan rusaknya tanaman. Imago makroptera lebih banyak muncul pada tanaman tua

daripada tanaman muda, dan kemunculan makroptera lebih banyak pada tanaman

setengah rusak daripada tanaman sehat (Baehaki & Widiarta 2009).

Dinamika Populasi Wereng Batang Cokelat

Studi sebaran spasial dan pengambilan sampel beruntun yang dilakukan

oleh Untung et al. (1988) menemukan bahwa distribusi spasial WBC pada awal

pertumbuhan tanaman padi adalah secara acak (random). Setelah mengalami

perkembangan populasi, bentuk distribusinya menjadi mengelompok, atau

mengikuti distribusi binomial negatif. Hasil penelitian Baehaki dan Widiarta

(2009) di Sukamandi menunjukkan bahwa, populasi WBC yang datang pertama

kali ke pertanaman adalah bentuk makroptera sebagai wereng imigran. Satu

pasang wereng makroptera, pada generasi pertama dapat menghasilkan wereng

dewasa 174.5 ekor dan pada generasi kedua mencapai 3,700 ekor. Cepatnya

perkembangan populasi WBC disebabkan oleh tingginya fekunditas yang

mencapai 805-908 telur/betina pada generasi ketiga.

Setelah telur menetas, WBC berkembang biak secara eksponensial untuk

satu atau dua generasi pada tanaman padi fase vegetatif, tergantung pada saat

migrasinya. Apabila migrasi terjadi pada umur 2 atau 3 minggu setelah tanam,

maka WBC dapat berkembang biak sebanyak dua generasi. Puncak populasi

nimfa generasi pertama (G1) dan kedua (G2) berturut-turut muncul pada umur 5-6

minggu setelah tanam dan 10-11 minggu setelah tanam. Apabila migrasi terjadi

(28)

dijumpai satu kali, yaitu pada umur 9-10 minggu setelah tanam. Pada keadaan

lain kepadatan populasi tertinggi terjadi pada fase pembungaan tanaman padi

yaitu pada umur 9-11 minggu setelah tanam. Apabila kepadatan populasi

mencapai 300-500 ekor per rumpun, tanaman akan segera mati kekeringan

(hopper burn) (Ditlin 1986).

Bioekologi Penggerek Batang Padi

Spesies penggerek batang padi yang paling dominan dan selalu muncul pada

setiap musim tanam di Pantai Utara Jawa Barat adalah penggerek batang padi

kuning dan putih. Kedua spesies hama tersebut berkembang secara terus-menerus

sepanjang tahun. Dominasi kedua spesies hama tersebut sering berubah-ubah,

misalnya tahun 1995 di kawasan Pantai Utara Jawa Barat populasi penggerek

batang padi putih rendah sekali, sedangkan populasi penggerek batang padi

kuning meningkat 30%. Sejak saat itu penggerek batang padi kuning lebih

mendominasi dengan populasi lebih dari 90%. Gejala kerusakan tanaman padi

yang disebabkan oleh penggerek batang padi kuning hampir sama dengan yang

disebabkan oleh penggerek batang padi putih (Suharto & Usyati 2009).

Penggerek Batang Padi Kuning

Telur yang dihasilkan imago betina diletakkan berkelompok berkisar antara

50-150 butir/kelompok, ditutupi rambut halus berwarna cokelat kekuningan. Telur

diletakkan pada malam hari antara pukul 19.00-21.00 selama 3-5 malam sejak

malam pertama (Dale 1994). Telur diletakkan pada daun, pelepah daun dan

kadang-kadang pada pangkal batang (Pathak & Khan 1994). Keperidian satu ekor

betina adalah 100-600 butir tiap betina, stadium telur antara 6-7 hari. Pada saat

telur menetas, larva keluar melalui 2-3 lubang yang dibuat pada bagian bawah

telur menembus permukaan daun (Kanno 1984).

Larva yang baru muncul (instar 1) biasanya bergerak menuju bagian ujung

daun dan menggantung dengan benang halus atau membuat tabung kecil, terayun

oleh angin dan jatuh ke bagian tanaman lain atau permukaan air (Balitpa 2009b).

Larvanya berwarna putih kekuningan sampai kehijauan dengan panjang

maksimum 25 mm. Stadium larva antara 28-35 hari, dan terdiri atas 5-7 instar

(Dale 1994). Selama hidupnya larva dapat berpindah dari satu tunas ke tunas

(29)

13

permukaan air dan memencar ke rumpun yang lain. Larva instar akhir tinggal di

dalam batang sampai stadium pupa (Balitpa 2009b).

Sebelum menjadi pupa, larva membuat lubang keluar pada pangkal batang

dekat permukaan air atau tanah, yang ditutupi membran tipis untuk jalan keluar

setelah menjadi imago. Pupa berwarna kekuning-kuningan atau agak putih.

Kokon berupa selaput benang berwarna putih dengan panjang 12-15 mm. Lama

stadium pupa antara 6-23 hari (Pathak & Khan 1994). Ngengat jantan mempunyai

bintik-bintik gelap pada sayap depan, sedangkan ngengat betina berwarna kuning

dengan bintik hitam di bagian tengah sayap depan. Panjang ngengat jantan 14 mm

dan betina 17 mm. Ngengat aktif pada malam hari dan tertarik cahaya, imago

dapat terbang dengan jangkauan mencapai 6-10 km. Lama hidup ngengat antara

5-10 hari dengan siklus hidup 39-58 hari (Khan et al. 1991; Balitpa 2009b).

Karakteristik penggerek batang padi kuning adalah kelompok telur

diletakkan pada daun bagian ujung, hanya seekor larva dalam satu tunas, pupa

berada di dalam pangkal tunas di bawah permukaan tanah, tanaman inang utama

adalah padi dan tanaman padi liar. Perubahan kepadatan populasi penggerek

batang padi kuning di lapangan sangat dipengaruhi oleh keadaan iklim (curah

hujan, suhu, kelembaban), varietas padi yang ditanam, dan musuh alami yaitu

parasitoid, predator, dan patogen (Dale 1994; Balitpa 2009b).

Penggerek Batang Padi Putih

Telur yang diletakkan penggerek batang padi putih berkisar antara 70-260

butir/kelompok, diletakkan dipermukaan atas daun atau pelepah, mirip telur

penggerek batang padi kuning. Kelompok telur ditutupi rambut halus, berwarna

cokelat kekuning-kuningan, stadium telur 4-9 hari. Larvanya mirip dengan

penggerek batang padi kuning, panjang maksimal 21 mm, berwarna putih

kekuningan. Larva yang sudah berkembang penuh pada saat menjelang musim

hujan berakhir dan setelah panen akan mengalami diapause pada batang padi tua

dan tunggul padi. Lamanya diapause tergantung pada lamanya musim kemarau.

Setelah turun hujan mencapai 10 mm dan saat tanah lembab, larva yang

berdiapause akan menjadi pupa dan selanjutnya menjadi ngengat. Stadium larva

(30)

Imago keluar dari pupa dalam periode waktu yang relatif bersamaan dan

meletakkan telur di persemaian. Imago berwarna putih dengan panjang betina 13

mm dan jantan 11 mm, imago tertarik cahaya. Imago aktif di lapangan selama

musim hujan. Tiga dari lima generasi dihasilkan selama musim tanam padi dan

tergantung pada durasi penanaman, jenis varietas, waktu panen dan penanaman

padi. Generasi pertama dari menyebabkan kerusakan pada persemaian dan

tanaman yang baru ditransplanting. Generasi kedua dan tiga menyebabkan

kerusakan pada fase vegetatif dan generatif (Dale 1994).

Karakteristik penggerek batang padi putih antara lain: kelompok telur, larva,

dan pupa mirip penggerek batang padi kuning. Larva mampu berdiapause selama

musim kemarau di dalam pangkal batang. Masa terbang ngengat pada awal musim

hujan terjadi hampir bersamaan. Dinamika populasi penggerek batang padi putih

sangat dipengaruhi oleh perubahan lingkungan terutama faktor iklim (curah

hujan), irigasi, dan musuh alami (Balitpa 2009b). Hama ini hidup pada dataran

rendah hingga ketinggian 200 m dari permukaan laut. Serangannya tidak terjadi

pada daerah dengan intensitas curah hujan tinggi, karena larva tidak dapat hidup

pada kondisi basah ekstrim (Dale 1994).

Dinamika Populasi Penggerek Batang Padi

Perkembangan populasi penggerek batang padi mengalami perubahan

dengan adanya perubahan pola tanam padi. Perubahan pola tanam padi erat

kaitannya dengan faktor iklim, khususnya curah hujan. Selain faktor iklim,

faktor-faktor yang dapat memicu terjadinya peningkatan populasi penggerek batang

adalah terjadinya perubahan biologi hama, dari yang tadinya berdiapause menjadi

tidak berdiapause (Balitpa 2009b). Disamping itu, ledakan penggerek batang padi

juga berhubungan dengan komposisi musuh alami di ekosistem padi misalnya

parasitoid (Rauf 2000). Lebih lanjut Khan et al. (1991) menjelaskan bahwa

perkembangan populasi penggerek batang padi dipengaruhi oleh umur tanaman,

varietas tanaman dan kesuburan tanah. Ngengat penggerek batang padi lebih

menyukai tanaman muda untuk meletakkan telur daripada tanaman tua. Tanaman

padi yang dipupuk dengan nitrogen dosis tinggi ditemukan telur penggerek batang

lebih banyak dan perkembangan larva menjadi lebih baik daripada tanaman yang

(31)

15

Pemodelan Perkembangan Organisme Pengganggu Tumbuhan

Penerapan pengelolaan hama secara terpadu mencakup upaya secara

preemtif dan responsif. Upaya preemtif adalah upaya pengendalian yang

didasarkan pada informasi dan pengalaman status organisme pengganggu

tumbuhan (OPT) waktu sebelumnya. Upaya ini mencakup penentuan pola tanam,

penentuan varietas, penentuan waktu tanam, keserentakan tanam, pemupukan,

pengairan, pengaturan jarak tanam, penyiangan, penggunaan agen hayati dan

teknik budidaya lainnya untuk menciptakan tanaman sehat. Upaya responsif

adalah upaya pengendalian yang didasarkan pada informasi status OPT dan faktor

yang berpengaruh pada musim yang sedang berlangsung, serta pertimbangan

biaya manfaat dari tindakan yang perlu dilakukan. Upaya ini antara lain seperti

penggunaan musuh alami, pestisida nabati, pengendalian mekanis, atraktan dan

pestisida kimia (Baehaki & Widiarta 2009).

Untuk melaksanakan tindakan tersebut di atas diperlukan informasi

ekologis, terutama tentang perkembangan populasi atau serangan OPT dan musuh

alaminya, perkembangan tanaman inang, dan faktor-faktor lain yang

mempengaruhi perkembangan OPT. Informasi tersebut artinya merupakan

pemahaman terhadap agroekosistem yang akan dikelola dengan melakukan

analisis terhadap data historis dan ekologis atau analisis ekosistem. Hasil analisis

ekosistem tersebut dapat disusun dalam suatu model prediksi kejadian serangan

OPT atau model peramalan OPT, yang selanjutnya hasil aplikasi model peramalan

berupa informasi peramalan OPT pada suatu daerah atau lokasi dapat dijadikan

(32)

Waktu dan Tempat Penelitian

Penelitian dilakukan melalui dua pendekatan, yaitu (1) survei petani tentang

tingkat serangan OPT padi dan (2) pengumpulan data sekunder tentang luas

serangan hama WBC dan PBP, penggunaan varietas, luas tanam padi sawah dan

peubah iklim. Survei petani dilaksanakan pada bulan April 2010 di tiga

kabupaten, yaitu: Kabupaten Karawang, Subang, dan Indramayu, sedangkan

pengumpulan data sekunder pada bulan Mei-Agustus 2010.

Survei Tingkat Serangan Hama

Survei tingkat serangan hama padi selama tiga periode, yaitu 1990-an,

2000-an, dan 2010, dilakukan dengan mewawancarai petani secara langsung di

lahan sawahnya. Pada setiap kabupaten studi, survei dilakukan dengan metode

pengambilan contoh dua tahap. Pada tahap pertama, lima kecamatan dipilih

berdasarkan tingkat kejadian serangan hama tertinggi. Pada tahap kedua, lima

petani pada setiap kecamatan terpilih dipilih secara sengaja (purposive sampling)

berdasarkan kemudahan ditemui di lahan sawahnya. Pertanyaan yang diajukan

dalam wawancara tersebut meliputi tingkat serangan (ringan, sedang, dan berat)

dari 4 jenis hama yang sering menyerang padi di daerah tersebut, yaitu tikus,

WBC, PBP, dan hama putih palsu (HPP).

Pengumpulan Data Sekunder

Data yang dikumpulkan dalam penelitian ini adalah luas serangan hama

WBC dan PBP, varietas padi yang ditanam petani, luas tanam padi sawah dan tiga

peubah iklim (suhu, curah hujan, dan kelembaban) untuk periode 1990-2009.

Data luas serangan WBC dan PBP diperoleh dari Unit Pelaksana Teknis Dinas

Balai Proteksi Tanaman Pangan dan Hortikultura (UPTD BPTPH)-Dinas

Pertanian Provinsi Jawa Barat dan Balai Besar Peramalan OPT Jatisari,

Karawang. Data varietas dan luas tanam padi sawah diperoleh dari Balai

Pengawasan dan Sertifikasi Benih Tanaman Pangan dan Hortikultura-Dinas

Pertanian Propinsi Jawa Barat. Data curah hujan, suhu (minimum, maksimum,

dan rata-rata), dan kelembaban diperoleh dari Badan Meteorologi Klimatologi dan

(33)

18

Analisis Data

Keragaman Iklim Selama Periode 1990 – 2009

Keragaman kondisi suhu, curah hujan, dan kelembaban selama periode

1990-2009 dianalisis menggunakan kondisi iklim per musim tanam (musim

hujan/MH dan musim kemarau/MK). Besaran suhu (minimum, maksimum, dan

rata-rata), curah hujan, dan kelembaban per musim tanam dihitung dari data iklim

bulanan dengan kriteria seperti berikut: MH meliputi bulan Oktober-Maret dan

MK meliputi bulan April-September. Data iklim per musim tanam ini kemudian

disajikan dalam bentuk grafik garis menggunakan program Microsoft Excel 2007.

Pergeseran Status Hama

Analisis pergeseran status hama ditentukan dengan menghitung indeks

serangan (IS) per periode (1990-an, 2000-an, dan 2010) terhadap data tingkat

serangan hama padi hasil wawancara dengan petani. IS masing-masing jenis hama

(ISh) merupakan nilai rata-rata terboboti dari data tingkat serangan (ringan,

sedang, dan berat) yang didefinisikan sebagai berikut:

dengan qi adalah skor tingkat serangan hama i (1 = ringan, 2 = sedang, dan 3 =

berat), ni jumlah petani yang memberikan tingkat serangan q dari hama i, dan N

jumlah seluruh petani responden. Nilai indeks serangan hama: 0 < ISh ≤ 3, mempunyai arti bahwa jika nilai ISh mendekati angka 0 maka status serangan

hama adalah minor, sedangkan jika nilai ISh mendekati angka 3 maka status

serangan hama adalah mayor.

Model Distribusi Serangan WBC dan PBP

Hubungan antara besarnya serangan hama (WBC dan PBP), (Y), dengan

peubah iklim, (X), dan peubah lain yang berkorelasi dengan serangan hama, (Z),

dimodelkan dengan persamaan berikut:

Y = α + β1X1 + β2X2 + β3X3 + β4Z+ ε ……… (1) dimana Y adalah proporsi luas serangan hama per musim tanam terhadap luas

tanam, X1 rata-rata suhu udara minimum per musim tanam, X2 total curah hujan

per musim tanam, X3 rata-rata kelembaban udara per musim tanam, Z tingkat

(34)

pengaruh masing-masing peubah iklim dan varietas terhadap serangan hama, dan

ε pengaruh faktor lain terhadap serangan hama yang tidak masuk dalam model

(galat). Tingkat ketahanan varietas diperoleh dengan menghitung nilai rata-rata

terboboti dari skor ketahanan varietas terhadap hama (1 = rentan, 2 = agak rentan,

3 = agak tahan, dan 4 = tahan) dari semua jenis varietas yang di tanam.

Koefisien-koefisien dalam model (α, β1, β2, β3, dan β4) diduga dengan metode kuadrat terkecil biasa (ordinary least square). Pengujian terhadap koefisien-koefisien

tersebut dilakukan dengan uji t dan pengujian terhadap model dilakukan dengan

analisis ragam. Selain itu, koefisien determinasi (R2) dihitung untuk melihat

kesesuaian model dengan data yang teramati. Semua pendugaan dan pengujian di

atas dilakukan menggunakan program MINITAB versi 15.0.

Pendugaan Nilai Peubah Iklim yang Berpengaruh Nyata

Pendugaan nilai kritis dari setiap peubah yang berpengaruh nyata dilakukan

melalui pendekatan nilai peluang. Nilai peluang masing-masing peubah

ditentukan dengan menggunakan metode plot peluang (probability plot) sehingga

diperoleh nilai kritis yang paling menentukan faktor Y pada selang kepercayaan

95%. Bentuk fungsi peluang dari masing-masing peubah diuji dengan uji statistik

AD (Anderson-Darling) dengan hipotesis awal (H0) sebagai berikut: data memiliki

sebaran normal. Uji signifikansi sebaran data dilakukan dengan uji P. Jika nilai P

lebih kecil dari nilai alpha pada taraf 5%, maka H0 ditolak. Semua pengujian di

(35)

21

HASIL DAN PEMBAHASAN

Perkembangan Suhu, Curah Hujan, dan Kelembaban

Selama periode 1990-2009 rata-rata suhu udara bulanan di tiga kabupaten

Pantura Jawa Barat (Karawang, Subang, dan Indramayu) mengalami peningkatan

baik pada musim hujan maupun musim kemarau. Suhu minimum pada musim

periode 1990-2009 dari ketiga wilayah tersebut mengalami penurunan baik pada

musim hujan maupun musim kemarau. Rata-rata curah hujan pada musim hujan

menurun sebesar 42 mm dan musim kemarau sebesar 39 mm. Sementara itu,

tingkat kelembaban udara bulanan pada musim hujan dan kemarau menunjukkan

fluktuasi yang relatif stabil dan berada pada kisaran 75-85%. Keragaman iklim

musiman yang terjadi selama kurun waktu dua puluh tahun terakhir ini seperti

peningkatan suhu, penurunan curah hujan dengan tingkat kelembaban udara relatif

stabil (Gambar 1, 2 dan 3) mengindikasikan bahwa telah terjadi perubahan iklim

jangka pendek.

Gambar 1 Fluktuasi suhu udara maksimum (Tmax), minimum (Tmin) dan rata- rata (Tav) pada musim hujan periode 1990-2009.

(36)

Gambar 2 Fluktuasi suhu udara maksimum (Tmax), minimum (Tmin) dan rata- rata (Tav) pada musim kemarau periode 1990-2009.

Gambar 3 Fluktuasi rata-rata curah hujan (CH) dan kelembaban udara (RH) pada musim kemarau (a) dan musim hujan (b) periode 1990-2009.

(37)

23

Peningkatan suhu udara (maksimum, minimum dan rata-rata), penurunan

curah hujan dan kelembaban udara yang relatif stabil di tiga kabupaten Pantura

Jawa Barat telah mempengaruhi pertumbuhan dan perkembangan populasi hama

tanaman padi. Hal ini terlihat dari adanya peningkatan luas serangan hama

tanaman padi di daerah tersebut khususnya WBC. Peningkatan luas serangan

WBC dan fluktuasi serangan PBP selama periode 1990-2009 dipengaruhi oleh

keragaman iklim. Keragaman iklim tidak hanya mempengaruhi dinamika populasi

hama, namun juga mempengaruhi keberadaan musuh alami sehingga pengaturan

populasi hama menjadi kurang (Gutierrez 2000). Akibatnya, terjadi peningkatan

luas serangan hama yang menyebabkan terjadinya penurunan produksi padi.

Walaupun demikian, suhu udara, curah hujan dan kelembaban udara bukan

merupakan satu-satunya penyebab meluas dan meningkatnya serangan hama

tersebut. Namun beberapa faktor lain yang mempengaruhi di antaranya adalah

pola tanam yang tidak serentak, penanaman varietas rentan, dan aplikasi pestisida

yang tidak tepat (Untung & Trisyono 2010).

Terjadinya peningkatan suhu udara dan penurunan curah hujan serta

stabilnya kelembaban udara merupakan kondisi yang menguntungkan bagi hama

tanaman padi (WBC dan PBP) karena dapat memicu peningkatan populasinya di

lapangan. Hal ini sesuai dengan hasil penelitian yang dilakukan oleh Cannon

(1998) bahwa serangga hama umumnya akan menjadi lebih berlimpah

populasinya seiring dengan meningkatnya suhu udara melalui sejumlah proses

(38)

Distribusi Serangan Hama WBC dan PBP

Berdasarkan data musiman luas serangan WBC dan PBP periode 1990-

2010, diketahui bahwa distribusi serangan kedua jenis hama ini pada setiap

musim tanam umumnya bervariasi dan hampir merata pada setiap kabupaten.

Pada musim tanam tertentu, luas serangannya rendah tetapi pada musim tanam

berikutnya meningkat. Luas serangan WBC tertinggi terjadi pada musim tanam

1998 mencapai 14,960 ha (15.9% dari total luas tanam padi musim tanam 1998).

Serangan pada tahun 2008 menurun dengan luas serangan sebesar 17 ha (0.02%

dari total luas tanam padi musim tanam 2008), dan pada musim tanam 2009/2010

meningkat menjadi 2,700.67 ha (2.5% dari total luas tanam padi musim tanam

2009/2010). Luas serangan hama PBP tertinggi juga terjadi pada musim tanam

1998 dengan luas serangan mencapai 6,235 ha (6.6% dari total luas tanam padi

musim tanam 1998), sedangkan serangan terendah terjadi pada musim tanam 1997

dengan luas serangan sebesar 211 ha (0.25% dari total luas tanam padi musim

tanam 1997) (Lampiran 5).

Kejadian serangan WBC dan PBP selama musim tanam 1990-2010 erat

hubungannya dengan keragaman iklim yang terjadi selama periode tersebut. Ini

dapat dilihat pada musim tanam 1998 yang merupakan puncak serangan WBC dan

PBP sebagai dampak dari kejadian iklim ekstrim La Nina. Kejadian serangan

WBC dan PBP pada tahun normal lebih banyak daripada kejadian serangan tahun

La Nina, tetapi luas serangan pada tahun La Nina jauh lebih besar daripada luas

serangan tahun normal (Gambar 4 dan Tabel 1). Hal ini mengindikasikan bahwa

kejadian iklim ekstrim dapat meningkatkan terjadinya ledakan hama. La Nina

yang menyebabkan adanya hujan di musim kemarau dapat meningkatkan potensi

indeks penanaman padi di lapangan. Peningkatan luas areal penanaman padi

menurut Untung dan Trisyono (2010), dapat meningkatkan ketersediaan inang

bagi hama, meningkatkan jangkauan persebaran hama dan meningkatkan

keragaman jenis hama karena perubahan habitat alami. Disamping itu, kondisi

iklim yang lembab pada kemarau basah menyebabkan hama mudah berkembang

biak (Susanti et al. 2009b). La Nina mempengaruhi kondisi iklim mikro areal

persawahan, terutama kelembaban udara sehingga menjadi lebih menguntungkan

(39)

25

Informasi kejadian El Nino dan La Nina yang diunduh dari

http://ggweather.com/enso/oni.htm tanggal 11 Maret 2011, menunjukkan bahwa

telah terjadi El Nino‘kuat’ pada tahun 1991, 1997, dan 2009, sedangkan La Nina

‘sedang’ terjadi pada tahun 1998, 1999, 2007, dan 2010 (Gambar 4). Berdasarkan data tersebut, distribusi serangan WBC dan PBP pada saat La Nina lebih besar

dibandingkan pada saat El Nino dan iklim normal (Tabel 1). Peningkatan serangan

hama tanaman padi akibat keragaman iklim terutama La Nina terkait dengan dua

faktor utama, yaitu: a) ketidakserempakan tanam dalam satu hamparan, yang

mempengaruhi perkembangan hama melalui ketersediaan inang, dan b)

faktor-faktor fisik yang mendukung perkembangan hama terutama suhu dan kelembaban

udara (Budianto 2003).

Tabel 1 Distribusi rata-rata luas serangan WBC dan PBP musim hujan dan kemarau pada tahun normal, El Nino, dan La Nina.

Tahun Luas serangan (ha) Luas Persentase Serangan (%)

WBC PBP Tanam (ha) WBC PBP

Tahun Normal: 1990, 1992, 1993, 1995, 1996, 2000, 2001, 2003, 2004, 2005, 2006, 2008 Tahun El Nino: 1991, 1994, 1997, 2002, 2009

Tahun La Nina: 1998, 1999, 2007

Adanya ketidakteraturan musim akibat fenomena El Nino dan La Nina

selama periode 1990-2009, mempengaruhi pola tanam padi di Pantai Utara Jawa

Barat. Ketidakteraturan musim ini telah menyebabkan pergeseran waktu tanam

padi. Awal tanam bisa menjadi maju atau mundur sehingga pola tanam menjadi

tidak serentak. Akibatnya, dalam hamparan luas terdapat tanaman padi dalam

berbagai tingkatan umur, dari persemaian sampai dengan masa panen. Dengan

demikian stadia tanaman yang berbeda di lapangan memberikan kesempatan

kepada hama untuk bertelur pada stadia tanaman yang sesuai baginya, sehingga

(40)

0 9/1

(41)

27

Pergeseran Status Hama Tanaman Padi

Berdasarkan hasil wawancara dengan petani padi di tiga kabupaten Pantura

Jawa Barat, diketahui bahwa telah terjadi pergeseran status serangan beberapa

jenis hama tanaman padi di daerah tersebut. Pergeseran status serangan hama itu

ditentukan berdasarkan intensitas serangan dan tingkat kerugian yang

ditimbulkan. Dari empat jenis OPT yang dianalisis datanya (tikus, WBC,PBP,

HPP) hanya dua OPT saja yang mengalami pergeseran status serangan, yaitu

WBC dan PBP. Status serangan WBC meningkat dari serangan minor menjadi

mayor yang ditunjukkan dengan peningkatan nilai indeks serangan hama (ISh)

pada periode 1990-1999 sebesar 2.28, periode 2000-2009 sebesar 2.58, dan

periode 2010 sebesar 2.69. Sebaliknya, PBP tidak mengalami peningkatan status

serangan. Hal ini terlihat dari nilai ISh yang cenderung menurun selama tiga

dekade pengamatan, yaitu: periode 1990-1999 sebesar 2.24, periode 2000-2009

sebesar 2.03, dan periode 2010 sebesar 1.79. Sementara itu, status serangan tikus

berfluktuasi sesuai dengan nilai ISh periode 1990-1999 sebesar 1.85, periode

2000-2009 sebesar 1.99, dan periode 2010 sebesar 1.60. Status serangan HPP

relatif stabil dan masih tergolong dalam kategori serangan minor (Gambar 5).

Gambar 5 Persepsi petani tentang perubahan status hama padi di tiga kabupaten Pantura Jawa Barat dalam periode 1990-2010.

Berdasarkan hasil analisis tersebut di atas, diketahui bahwa pergeseran

status serangan hama WBC dan PBP memiliki pola yang sama dengan data aktual

hasil pengamatan petugas pengamat OPT di lapangan (Gambar 4). Dari gambar

(42)

WBC dan penurunan status serangan PBP. Peningkatan status serangan WBC

tersebut dipengaruhi oleh penanaman padi yang intensif dan keberadaan varietas

peka di lapangan serta stadia tanaman yang bervariasi. Hal ini sesuai dengan hasil

penelitian Natanegara dan Sawada (1992) bahwa serangan WBC meningkat akibat

tersediannya tanaman inang yang rentan dan beragamnya stadia tanaman inang di

lapangan. Lebih lanjut Baehaki (2009) menyebutkan bahwa kejadian iklim

ekstrim seperti El Nino dan La Nina dapat menyebabkan perbedaan waktu tanam.

Selain itu, WBC diketahui mampu berkembang dengan baik pada musim hujan

atau musim kemarau asal ada stimulan berupa curah hujan yang tinggi

(Susanti et al. 2009b).

Penurunan status serangan PBP selama periode 1990-2010 diduga karena

populasi hama ini rendah di lapangan. Menurunnya populasi PBP di lapangan

dipengaruhi oleh adanya peningkatan populasi musuh alami (khususnya parasitoid

telur) yang dapat membatasi populasi PBP di lapangan (Rauf 2000; Kusdiaman &

Kurniawaty 2007). Lebih lanjut Suharto dan Usyati (2009) menjelaskan bahwa

pengendalian mekanis dengan mengambil kelempok telur dan penangkapan

ngengat dengan menggunakan lampu perangkap secara massal yang dilakukan

petani dapat mengurangi populasi PBP. Penggunaan insektisida sistemik oleh

petani berbentuk granular seperti karbofuran, bensultap, bisultap, karbosulfan,

dimehipo, atau fipronil dapat mengendalikan PBP (Balitpa 2006). Selain itu,

adanya keragaman iklim seperti halnya El Nino dan La Nina menyebabkan

sebagian besar larva yang berdiapause menjadi tertekan akibat frekuensi

kekeringan makin sering terjadi (Boer 2007 dalam Suharto & Usyati 2009).

Pergeseran status serangan hama tanaman padi dipengaruhi oleh beberapa

faktor, diantaranya: jumlah individu hama, faktor sosio-ekonomi (misalnya

meningkatnya harga gabah padi dan input teknologi dalam budidaya padi) dan

toleransi biologi dari tanaman yang terserang hama (Cammel & Knight 1992).

Selain itu, pergeseran status hama juga terjadi karena adanya perubahan perilaku

(behavior), fisiologi, siklus hidup dan keberadaan musuh alami hama di lapangan

sebagai dampak dari keragaman iklim sehingga mendorong peningkatan populasi

(43)

29

Perubahan status hama juga dapat disebabkan oleh keberadaan tanaman

inang dan praktek budidaya yang dilakukan oleh petani. Tindakan yang dilakukan

petani seperti aplikasi pestisida yang tidak tepat (dosis, sasaran, konsentrasi, jenis

dan waktu aplikasi) cenderung mengurangi aktivitas musuh alami di lapangan

(Thomson et al. 2010). Selain itu, terjadinya perubahan ekosistem dapat

menyebabkan populasi hama pada beberapa generasi berikutnya menjadi berubah

(Untung & Trisyono 2010). Kombinasi dari semua faktor tersebut diyakini

merupakan penyebab utama yang memicu pergeseran status hama WBC dan PBP

di tiga kabupaten Pantai Utara Jawa Barat.

Model Distribusi Serangan WBC dan PBP Model Distribusi Serangan WBC

Analisis regresi linier berganda antara peubah iklim (suhu minimum, curah

hujan, dan kelembaban udara) dan varietas terhadap distribusi serangan WBC

menghasilkan model yang berbeda antara musim hujan dan kemarau. Peubah

bebas yang berpengaruh nyata pada model musim hujan adalah suhu minimum,

kelembaban udara dan varietas, sedangkan pada model musim kemarau hanya

suhu minimum dan varietas. Peubah bebas dalam model musim hujan mampu

menjelaskan peubah terikat (luas serangan WBC) sebesar 55.7% sementara pada

model musim kemarau sebesar 60.2% (Tabel 2).

Gambar

Gambar 1 Fluktuasi suhu udara  maksimum (Tmax), minimum (Tmin)  dan  rata- rata (Tav) pada musim hujan periode 1990-2009
Gambar 3  Fluktuasi rata-rata curah hujan (CH) dan kelembaban udara (RH) pada musim kemarau (a)  dan musim hujan (b)  periode 1990-2009
Tabel 1  Distribusi  rata-rata luas serangan WBC dan PBP musim hujan dan
Gambar 4  Hubungan antara distribusi serangan WBC (a) dan PBP (b) pada setiap musim tanam dengan kejadian iklim El Nino dan La Nina periode 1990 – 2010
+7

Referensi

Dokumen terkait

[r]

Tugas tidak akan diterima jika dikumpulkan setelah periode Ujian Akhir dimulai , kecuali anda mendapatkan persetujuan dari Koordinator Mata Kuliah. Persetujuan tersebut hanya

Menguasai materi, struktur, konsep, dan pola pikir Menguraikan jenis-jenis jasa bank lainnya (transfer, Mengidentifikasi jenis jasa bank lainnya seperti.. keilmuan yang mendukung

[r]

Tujuan penelitian kinerja adalah memotivasi personel mencapai sasaran organisasi dan mematuhi standar perilaku yang telah ditetapkan sebelumnya, agar membuahkan tindakan

Yang dimaksud dengan “pengangkatan anak melalui lembaga pengasuhan anak” adalah pengangkatan anak yang dilakukan oleh calon orang tua angkat terhadap calon anak angkat yang

setiap personil De Oemar Bakrie dalam lagu longlife keroncong serta keunikan yang.. terdapat didalam lagu

(2) Gubernur sebagai wakil Pemerintah Pusat melakukan evaluasi terhadap rancangan Perda Kabupaten/Kota tentang pajak daerah dan retribusi daerah sebagaimana dimaksud