• Tidak ada hasil yang ditemukan

Keefektifan Biomulsa Arachis pintoi Karp & Greg untuk Konservasi Tanah dan Pengendalian Gulma pada Pertanaman Jagung di Lahan Kering

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2017

Membagikan "Keefektifan Biomulsa Arachis pintoi Karp & Greg untuk Konservasi Tanah dan Pengendalian Gulma pada Pertanaman Jagung di Lahan Kering"

Copied!
48
0
0

Teks penuh

(1)

KEEFEKTIFAN BIOMULSA

Arachis pintoi

Karp. & Greg.

UNTUK KONSERVASI TANAH DAN PENGENDALIAN

GULMA PADA PERTANAMAN JAGUNG DI LAHAN

KERING

ADE SUMIAHADI

SEKOLAH PASCASARJANA

INSTITUT PERTANIAN BOGOR

(2)
(3)

PERNYATAAN MENGENAI TESIS DAN

SUMBER INFORMASI SERTA PELIMPAHAN HAK CIPTA*

Dengan ini saya menyatakan bahwa tesis berjudul Keefektifan Biomulsa Arachis pintoi Karp. & Greg. untuk Konservasi Tanah dan Pengendalian Gulma pada Pertanaman Jagung di Lahan Kering adalah benar karya saya dengan arahan dari komisi pembimbing dan belum diajukan dalam bentuk apapun kepada perguruan tinggi manapun. Sumber informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan maupun tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam Daftar Pustaka di bagian akhir tesis ini.

Dengan ini saya melimpahkan hak cipta dari karya tulis saya kepada Institut Pertanian Bogor.

Bogor, Oktober 2014

(4)

RINGKASAN

ADE SUMIAHADI. Keefektifan Biomulsa Arachis pintoi Karp. & Greg. untuk Konservasi Tanah dan Pengendalian Gulma pada Pertanaman Jagung di Lahan Kering. Dibimbing oleh MUHAMAD ACHMAD CHOZIN dan DWI GUNTORO.

Mulsa merupakan salah satu teknologi yang dapat digunakan untuk konservasi tanah dan pengendalian gulma di lahan pertanian. Selain mulsa plastik dan jerami yang sering digunakan, biomulsa atau tanaman penutup tanah (cover crop) banyak digunakan karena keunggulannya dalam budidaya tanaman, khususnya di lahan kering. Arachis pintoi merupakan tumbuhan legum yang memiliki sifat-sifat yang memenuhi karakter sebagai biomulsa. Tujuan dari penelitian ini adalah untuk mempelajari karakteristik pertumbuhan dan perkembangan A. pintoi, mempelajari keefektifan A. pintoi dalam konservasi lahan dan pengendalian gulma serta mempelajari pengaruh penggunaan A. pintoi sebagai biomulsa terhadap pertumbuhan dan hasil tanaman jagung.

Penelitian dilaksanakan mulai bulan Agustus 2013 sampai Mei 2014 di Kebun Percobaan Cikabayan IPB, Dramaga, Bogor. Penelitian terdiri atas 2 percobaan. Percobaan pertama adalah studi analisis pertumbuhan dan perkembangan A. pintoi dan percobaan ke dua adalah studi keefektifan penggunaan biomulsa A. pintoi dalam konservasi tanah dan pengendalian gulma pada pertanaman jagung. Pada percobaan pertama dilakukan pengamatan pada 10 tanaman setiap minggu selama 12 minggu. Bahan tanam yang digunakan adalah stek A. pintoi dengan panjang 4 ruas dan ditanam masing-masing 1 stek pada petakan berukuran 0.5 m x 0.5 m. Percobaan ke dua menggunakan rancangan acak kelompok faktorial dengan pola tersarang. Faktor pertama adalah kemiringan lahan yang terdiri atas 2 taraf (lahan datar dan lahan miring) dan faktor ke dua adalah jenis mulsa yang terdiri atas 5 taraf (tanpa mulsa tanpa penyiangan, tanpa mulsa dengan penyiangan, mulsa plastik hitam perak, mulsa jerami dan biomulsa A. pintoi) yang tersarang pada faktor kemiringan lahan. Setiap satuan percobaan diulang 3 kali.

Hasil percobaan pertama menunjukkan bahwa A. pintoi mulai berakar pada pengamatan 3 MST dan pada 12 MST mampu menghasilkan rata-rata 42.4 akar dengan panjang 17.10 cm. A. pintoi memiliki laju pertumbuhan yang lambat dengan rata-rata laju asimilasi bersih (LAB) 0.0023 g cm-2 hari-1 dan laju pertumbuhan relatif (LTR) sebesar 0.052 g hari-1. Dengan laju pertumbuhan tersebut, pada umur 12 MST A. pintoi mampu menutup lahan 58% dan menghasilkan biomassa 10.08 g tanaman-1. A. pintoi menghasilkan bunga pada 4 MST dan polong pada 7 MST. Polong yang terbentuk sangat sedikit yaitu 1.8 buah pada 12 MST. A. pintoi mampu membentuk bintil akar melalui simbiosis dengan Rhizobium lokal di lahan penelitian.

(5)

golongan rumput. Penggunaan biomulsa A. pintoi pada pertanaman jagung di musim pertama dengan teknik penutupan yang digunakan menekan pertumbuhan dan hasil tanaman jagung dibandingkan dengan perlakuan tanpa mulsa dengan penyiangan (kontrol).

(6)

SUMMARY

ADE SUMIAHADI. Effectiveness of Arachis pintoi Karp. & Greg. as Biomulch for Soil Conservation and Weed Control on Upland Maize Cultivation. Supervised by MUHAMAD ACHMAD CHOZIN and DWI GUNTORO

Mulch can be used for land conservation and weeds control on agricultural lands. Beside plastic and straw that are often used as mulch, cover crops or biomulch are also widely used because of its adventage in crop cultivation, especially in upland agriculture. The objectives of this research were to study growth and development of A. pintoi, to study the effectiveness of A. pintoi for land conservation and weeds control and to study the effect of A. pintoi as biomulch on maize growth and production.

Two experiments were conducted at Cikabayan Farm, Dramaga, Bogor from August 2013 until May 2014. The first experiment was study of growth and development of A. pintoi and the second one was study of effectiveness of A. pintoi for land conservation and weeds control on maize cultivation. On first experiment, observation was done every week up to 12 weeks, each observation used ten plants. Stolons of A. pintoi with 4 internodes were used and planted 1 stolon for each 0.25 m2. The second experiment used nested-complete randomized design with the first factor was slopes of land consisted of 2 levels (flat and sloped land) and the second factor was the types of mulch consisted of 5 levels (without mulch without weeding, without mulch with weeding, plastic mulch, straw mulch and A. pintoi biomulch). Types of mulch nested on slope factor. Each experimental unit was replicated three times.

The results of fisrt experiment showed that root initiation of A. pintoi occured at 3 weeks after planting (wap) and produced 42.4 roots with average of root lenght was 17.10 cm on 12 wap. A. pintoi had slow growth and development rate with average of nett assimilation rate was 0.0023 g cm-2 day-1 and relative growth rate was 0.052 g day-1. With this growth rate, A. pintoi covered 58% of land and produced biomass 10.08 g plant-1 at 12 wap. A. pintoi produced flowers at 4 wap

and pods at 7 wap. A. pintoi could produce root nodules through mutualism symbiosis with local Rhizobium.

The second experiment showed that A. pintoi reduced erosion more than 70% compared to without mulch with weeding treatment. A. pintoi could increas soil phosphor (P) but could not increase other soil macronutrients. Use of A. pintoi could also suppress weeds more than 58% compared to without mulch without weeding treatment. In addition, A. pintoi effectively suppressed sedges and broadleaves weeds but did not suppress grasses. The results also showed that A. pintoi biomulch on first season maize cultivation supressed growth and yield of maize compared to without mulch with weeding treatment (control).

(7)

© Hak Cipta Milik IPB, Tahun 2014

Hak Cipta Dilindungi Undang-Undang

Dilarang mengutip sebagian atau seluruh karya tulis ini tanpa mencantumkan atau menyebutkan sumbernya. Pengutipan hanya untuk kepentingan pendidikan, penelitian, penulisan karya ilmiah, penyusunan laporan, penulisan kritik, atau tinjauan suatu masalah; dan pengutipan tersebut tidak merugikan kepentingan IPB

(8)
(9)

Tesis

sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Magister Sains

pada

Program Studi Agronomi dan Hortikultura

KEEFEKTIFAN BIOMULSA

Arachis pintoi

Karp. & Greg.

UNTUK KONSERVASI TANAH DAN PENGENDALIAN

GULMA PADA PERTANAMAN JAGUNG DI LAHAN

KERING

SEKOLAH PASCASARJANA

INSTITUT PERTANIAN BOGOR

BOGOR

2014

(10)
(11)

Judul Tesis : Keefektifan Biomulsa Arachis pintoi Karp. & Greg. untuk Konservasi Tanah dan Pengendalian Gulma pada Pertanaman Jagung di Lahan Kering

Nama : Ade Sumiahadi NIM : A252120091

Disetujui oleh Komisi Pembimbing

Prof Dr Ir M Achmad Chozin, MAgr Ketua

Dr Dwi Guntoro, SP, MSi Anggota

Diketahui oleh

Ketua Program Studi Agronomi dan Hortikultura

Dr Ir Maya Melati, MS, MSc

Dekan Sekolah Pascasarjana

Dr Ir Dahrul Syah, MScAgr

(12)
(13)

PRAKATA

Puji dan syukur penulis panjatkan kepada Allah subhanahu wa ta’ala atas segala karunia-Nya sehingga karya ilmiah ini berhasil diselesaikan. Tema yang dipilih dalam penelitian yang dilaksanakan sejak bulan Agsutus 2013 - Mei 2014 ini ialah pemanfaatan biomulsa, dengan judul Keefektifan Biomulsa Arachis pintoi Karp. & Greg. untuk Konservasi Tanah dan Pengendalian Gulma pada Pertanaman Jagung di Lahan Kering.

Pada kesempatan ini penulis menyampaikan terima kasih kepada:

1. Prof Dr Ir M Achmad Chozin, MAgr dan Dr Dwi Guntoro, SP, MSi selaku komisi pembimbing penelitian yang telah banyak memberikan saran dan dukungan materi dan nonmateri bagi kesempurnaan penelitian dan karya ilmiah ini.

2. Dr Ir Sudradjat, MS dan Dr Ir Maya Melati, MS, MSc selaku dosen penguji yang banyak memberikan masukan dan saran untuk perbaikan karya ilmiah ini.

3. Ditjen DIKTI atas dana penelitian yang telah diberikan.

4. Keluarga tercinta Bapak, Ibu dan saudara-saudara atas doa, bantuan, dukungan, perhatian dan kasih sayang yang telah diberikan selama ini.

5. Bapak Milin beserta staf Kebun Percobaan Cikabayan IPB Dramaga atas bantuan yang selah diberikan selama penelitian.

6. Teman-teman Pascasarjana AGH atas segala doa dan bantuan yang telah diberikan.

Semoga karya ilmiah ini dapat memberikan informasi ilmu pengetahuan dan manfaat bagi pihak-pihak yang memerlukan.

(14)

DAFTAR ISI

Percobaan 1 Analisis Pertumbuhan dan Perkembangan A. pintoi 5

Waktu dan Tempat 5

Bahan dan Alat 6

Prosedur Percobaan 6

Percobaan 2 Keefektifan A. pintoi dalam Menekan Laju Erosi dan

Meningkatkan Kesuburan Tanah serta Menekan Pertumbuhan Gulma

pada Lahan Pertanaman Jagung 8

Waktu dan Tempat 8

Bahan dan Alat 8

Prosedur Analisis Data 8

Prosedur Percobaan 9

HASIL DAN PEMBAHASAN 12

Percobaan 1 Analisis Pertumbuhan dan Perkembangan A. pintoi 12

Awal Pertumbuhan Akar 12

Pertumbuhan dan Perkembangan Tanaman 12

Kecepatan Penutupan Tanah 15

Kemampuan Membentuk Bintil Akar 16

Percobaan 2 Keefektifan A. pintoi dalam Menekan Laju Erosi dan

Meningkatkan Kesuburan Tanah serta Menekan Pertumbuhan Gulma

pada Lahan Pertanaman Jagung 17

Laju Erosi Tanah 17

Kandungan Hara Tanah 19

Pertumbuhan Gulma 21

Pertumbuhan dan Hasil Tanaman Jagung 23

(15)

DAFTAR TABEL

1 Rata-rata panjang tanaman, jumlah cabang, jumlah daun, ILD dan

dan penutupan tanah tanaman A. pintoi pada 1-12 MST 13 2 Rata-rata bobot tanah tererosi dan potensi kehilangan tanah tererosi

pada lahan miring dan datar dengan berbagai perlakuan jenis mulsa 18 3 Rata-rata awal, akhir dan perubahan unsur hara pada perlakuan

berbagai jenis mulsa di lahan datar dan lahan miring 20 4 Rata-rata bobot kering gulma pada perlakuan kemiringan lahan dan

jenis mulsa 21

5 Jenis gulma dan dominansinya pada perlakuan jenis gulma di lahan

datar 22

6 Jenis gulma dan dominansinya pada perlakuan jenis gulma di lahan

miring 23

7 Rata-rata jumlah daun tanaman jagung pada perlakuan kemiringan

lahan dan jenis mulsa 23

8 Rata-rata tinggi tanaman jagung pada perlakuan kemiringan lahan

dan jenis mulsa 24

9 Rata-rata indeks luas daun (ILD), bobot kering brangkasan dan waktu berbunga tanaman jagung pada perlakuan kemiringan lahan dan

jenis mulsa 24

10 Rata-rata komponen produksi dan produksi tanaman jagung pada

perlakuan kemiringan lahan dan jenis mulsa 25

DAFTAR GAMBAR

1 Ruang lingkup penelitian 5

2 Desain petakan erosi 10

3 Rata-rata panjang dan jumlah akar tanaman A. pintoi pada 1-12 MST 12 4 Rata-rata bobot basah dan kering (tajuk dan akar) tanaman A. pintoi

pada 1-12 MST 13

5 Rata-rata Laju Asimilasi Bersih tanaman A. pintoi pada 3-12 MST 14 6 Rata-rata Laju Tumbuh Relatif tanaman A. pintoi pada 3-12 MST 15

7 Bintil akar A. pintoi pada 12 MST 16

8 Hubungan antara curah hujan dan bobot kering tanah tererosi

perlakuan tanpa mulsa dengan penyiangan dan biomulsa A. pintoi 17

DAFTAR LAMPIRAN

Data curah hujan harian bulan Desember 2013 – Maret 2014 di daerah

(16)
(17)

PENDAHULUAN

Latar Belakang

Indonesia memiliki potensi lahan kering yang sesuai untuk budidaya pertanian yang sangat besar yaitu sekitar 76.2 juta ha yang sebagian besar (70.7 juta ha) terletak di dataran rendah dan sisanya di dataran tinggi. Lahan kering tersebut terdiri dari lahan datar (<3%) dan lahan berlereng (>3%). Sebagian besar lahan kering merupakan lahan berlereng (>3%) yaitu sekitar 77% dengan topografi datar, agak berombak, berombak, berbukit sampai bergunung dan sisanya adalah lahan datar (<3%). Secara umum, lahan berlereng di setiap pulau di Indonesia lebih luas daripada lahan datar. Sebagai contoh, Pulau Jawa memiliki lahan berlereng mencapai 10.8 juta ha, sedangkan lahan datar hanya sekitar 2.4 juta ha. Pulau Sumatera memiliki lahan berlereng mencapai sekitar 33.7 juta ha dan lahan datar sekitar 13.5 juta ha. Kedua pulau tersebut dan sebagian besar wilayah Indonesia yang lain merupakan wilayah yang memiliki iklim basah dengan curah hujan >2000 mm tahun-1, sehingga potensi bahaya erosi dan degradasi lahan cukup tinggi (Juarsah et al. 2008). Oleh karena itu, perlu adanya upaya konservasi lahan untuk mengurangi dan mencegah bahaya erosi dan degradasi lahan tersebut.

Salah satu teknologi yang dapat digunakan sebagai upaya konservasi lahan berlereng adalah penggunaan mulsa. Mulsa merupakan bahan atau material yang dengan sengaja dihamparkan di permukaan tanah atau lahan pertanian. Manfaat penggunaan mulsa adalah melindungi permukaan tanah terhadap erosi dan kehilangan struktur yang diakibatkan oleh curah hujan yang lebat, menghambat munculnya gulma, menurunkan suhu tanah, penggunaan mulsa dari bahan organik menambah bahan organik tanah setelah mengalami dekomposisi dan dapat menambah atau menahan hara tanah (William et al. 1993).

Selain mulsa plastik dan mulsa organik yang sering digunakan, penggunaan mulsa hidup atau biomulsa dapat menjadi alternatif penggunaan mulsa pada budidaya tanaman karena memiliki banyak keunggulan terutama di lahan kering. Mulsa hidup atau biomulsa yang baik adalah tanaman yang tumbuh rendah, tumbuh cukup rapat untuk menekan pertumbuhan gulma dan memiliki respon yang baik terhadap penyiangan. Petani umumnya menggunakan leguminosa (kacang-kacangan) sebagai biomulsa di antara baris, dan lebih umum digunakan pada fase rotasi untuk meningkatkan nitrogen di lahan serta menurunkan serangga tanah dan penyakit (Clark 2010).

(18)

2

Tanaman penutup tanah juga dapat menekan gulma baik dengan pengurangan ketersediaan sumber daya (Ngouajio dan Mennan 2005) ataupun dengan penghambatan pertumbuhan gulma melalui allelopathy (Reberg-Horton et al. 2005). Akses terhadap cahaya, nutrisi, air dan tanah yang dipengaruhi oleh tanaman penutup tanah dapat mempengaruhi keberadaan gulma (Ngouajio dan Mennan 2005) dan komposisi tumbuhan gulma (Wright et al. 2003; Fitriana et al. 2013). Residu tanaman penutup tanah juga dapat mengubah ekologi mikroba tanah atau meningkatkan keragaman mikroba, sehingga meningkatkan predasi benih gulma oleh mikroorganisme tanah dan penurunan vigor benih gulma (Ngouajio dan McGiffen 2002; Pullaro et al. 2006) dan dapat mempengaruhi dinamika populasi gulma (Jordan et al. 2000; den Hollande et al. 2007). Tanaman penutup tanah juga dapat meningkatkan kadar C dan N, dua komponen utama yang mengatur aktivitas biologi tanah (Wagger 1998), sehingga meningkatkan keberadaan organisme yang menguntungkan yang dapat menekan pesaing biologis seperti gulma (Kremer dan Li 2003), nematoda parasit dan patogen tanah melalui allelochemicals (Bailey dan Lazarovits 2003).

A. pintoi adalah tumbuhan golongan leguminosa yang tumbuh merambat di atas permukaan tanah, merupakan kerabat dekat dengan tanaman kacang tanah (Arachis hypogea). A. pintoi di Indonesia dikenal dengan sebutan kacang hias. Tanaman ini merupakan spesies eksotik berasal dari Brazil yang didatangkan ke Indonesia melalui Singapura untuk digunakan sebagai tanaman hias dan penutup tanah (Maswar 2004).

Berdasarkan penyebarannya, A. pintoi mempunyai daya adaptasi yang cukup luas. Jenis tanaman ini tumbuh dan berkembang dengan baik pada daerah sub tropika dan tropika dengan curah hujan tahunan lebih dari 1 000 mm tahun-1. Tanaman ini cukup toleran terhadap kekeringan, dan dapat bertahan dalam kondisi 3–4 bulan kering, tetapi akan menggugurkan banyak daun pada periode tersebut. Pertumbuhan A. pintoi akan terhambat dan daunnya menjadi kuning pada tanah yang kekurangan atau kelebihan air. Tanaman ini juga mempunyai daya adaptasi yang baik terhadap berbagai jenis tanah, mampu tumbuh dengan baik pada tanah dengan tekstur liat sampai tanah berpasir. Tanaman ini juga mampu beradaptasi baik pada kondisi kesuburan tanah rendah dan pH sangat masam, serta toleran terhadap kejenuhan aluminium yang tinggi (Mannetje dan Jones 1992; Maswar 2004). Selain itu, tanaman ini juga diduga akan sesuai bila digunakan sebagai biomulsa pada tanaman perkebunan. Fisher dan Cruz (1993) menyatakan bahwa A. pintoi toleran terhadap cahaya rendah atau naungan, bahkan lebih baik dibandingkan dengan keadaan terbuka atau cahaya penuh.

(19)

3 sebagai biomulsa meliputi analisis pertumbuhan dan perkembangan, kecepatan menutup tanah, efektivitasnya dalam menekan erosi, menekan gulma dan meningkatkan kesuburan tanah serta sifat interaksinya dengan tanaman belum banyak dilakukan.

Beberapa penelitian telah dilakukan untuk mengetahui potensi A. pintoi sebagai biomulsa. Penelitian Samad et al. (2009) menunjukkan bahwa penggunaan A. pintoi dapat mendorong tinggi tanaman kentang. Selain itu, juga berperan memperkecil kompetisi tanaman dengan gulma dan menekan serangan hama dan penyakit. Penelitian lain dilakukan oleh Baharuddin (2010) mengindikasikan pertumbuhan awal tanaman ini relatif lambat sehingga penutupan tanah secara sempurna mulai dicapai pada saat tanaman berumur 7–10 minggu. Penelitian tersebut juga menunjukkan bahwa penggunaan biomulsa A. pintoi memiliki keefektifan yang tidak berbeda dengan Mulsa Hitam Perak dalam meningkatkan produksi tomat. Hasil penelitian Taufik et al. (2011) juga menunjukkan bahwa penggunaan A. pintoi sebagai biomulsa dapat memacu pertumbuhan tanaman lada lebih dari 5 kali lipat. Informasi lain diperoleh dari penelitian Purnamasari (2013) bahwa biomulsa A. pintoi cukup efektif menekan gulma berdaun lebar, tetapi kurang efektif menekan gulma golongan teki dan beberapa jenis rumput. Febrianto dan Chozin (2014) juga melaporkan bahwa penggunaan A. pintoi efektif menekan gulma golongan daun lebar dan teki tapi tidak efektif menekan gulma golongan rumput. Mengenai potensi A. pintoi dalam menekan erosi, Maswar (2004) menyatakan bahwa penanaman A. pintoi pada pertanaman kopi di Sumberjaya, Lampung Barat mampu menekan erosi 11–85%.

Berbeda dengan LCC lain yang telah lebih awal dikenal, hasil penelitian tentang manfaat A. pintoi sebagai penutup tanah atau biomulsa belum banyak dilaporkan. Meskipun demikian, berdasarkan sifat-sifat tanaman ini, Kartika et al. (2009) memperkirakan A. pintoi memiliki manfaat bagi lingkungan yang tidak berbeda dengan LCC lain yang populer, bahkan memiliki keunggulan lain sebagai alternatif baru untuk tanaman hias, dan sebagai sumber nektar yang baik untuk lebah.

Pengembangan penggunaan A. pintoi sebagai biomulsa belum dapat dilakukan secara luas karena keterbatasan data ilmiah terutama mengenai efektifitasnya dalam menekan erosi, menekan gulma dan meningkatkan kesuburan tanah serta sifat interaksinya dengan tanaman. Oleh karena itu, perlu adanya penelitian untuk menguji keefektifan biomulsa A. pintoi dalam menekan erosi, menekan pertumbuhan dan perkembangan gulma dan meningkatkan kesuburan tanah serta sifat interaksinya dengan tanaman.

Perumusan Masalah

(20)

4

merupakan salah satu alternatif pengganti mulsa sintetik. Salah satu tanaman yang berpotensi untuk digunakan sebagai biomulsa adalah A. pintoi. Akan tetapi belum banyak informasi mengenai keefektifan penggunaan A. pintoi sebagai biomulsa khususnya dalam menekan erosi, menekan gulma dan meningkatkan kesuburan tanah, sehingga perlu penelitian untuk menjawab masalah tersebut.

Tujuan Penelitian

Tujuan dari penelitian ini adalah sebagai berikut:

1. Mempelajari karakteristik pertumbuhan dan perkembangan tanaman A. pintoi 2. Mempelajari keefektifan biomulsa A. pintoi dalam menekan laju erosi tanah

pada lahan pertanaman jagung dengan kemiringan yang berbeda.

3. Mempelajari keefektifan biomulsa A. pintoi dalam meningkatkan kesuburan tanah.

4. Mempelajari keefektifan biomulsa A. pintoi dalam menekan pertumbuhan dan perkembangan gulma pada pertanaman jagung.

5. Mempelajari pengaruh penanaman biomulsa A. pintoi terhadap pertumbuhan dan produksi jagung.

Hipotesis

Hipotesis yang diajukan pada penelitian ini adalah sebagai berikut:

1. Penggunaan biomulsa A. pintoi dapat menekan laju erosi tanah pada lahan pertanaman jagung dengan kemiringan yang berbeda.

2. Penggunaan biomulsa A. pintoi dapat meningkatkan kesuburan tanah pada lahan pertanaman jagung.

3. Penggunaan biomulsa A. pintoi dapat menekan pertumbuhan dan perkembangan gulma pada lahan pertanaman jagung.

4. Penggunaan biomulsa A. pintoi dapat meningkatkan pertumbuhan dan produksi tanaman jagung.

Manfaat Penelitian

Manfaat penelitian ini adalah memberikan informasi mengenai karakteristik pertumbuhan dan perkembangan tanaman A. pintoi, serta potensi penggunaan A. pintoi dalam menekan laju erosi tanah di lahan miring, meningkatkan kesuburan lahan dan menekan pertumbuhan dan perkembangan gulma sehingga A. pintoi dapat digunakan sebagai biomulsa pada budidaya pertanian di lahan kering.

Ruang Lingkup Penelitian

(21)

5 pertumbuhan gulma pada lahan pertanaman jagung. Ruang lingkup penelitian dapat dilihat pada Gambar 1.

Gambar 1. Ruang lingkup penelitian

METODE

Penelitian terdiri atas dua percobaan. Percobaan pertama dilakukan untuk menganalisis pertumbuhan dan perkembangan tanaman A. pintoi sebagai informasi dasar mengenai potensi penggunaannya sebagai biomulsa. Percobaan kedua ditujukan untuk mengetahui pengaruh berbagai jenis mulsa termasuk A. pintoi terhadap tingkat erosi tanah, kesuburan tanah dan pertumbuhan gulma pada lahan pertanaman jagung dengan tingkat kemiringan lahan yang berbeda.

Percobaan 1 Analisis Pertumbuhan dan Perkembangan A. pintoi

Waktu dan Tempat

Percobaan ini adalah percobaan lapangan yang dilaksanakan di Kebun Percobaan Cikabayan Kampus IPB Bogor pada bulan Februari - Mei 2014.

Keefektifan A. pintoi dalam menekan laju erosi dan meningkatkan kesuburan tanah serta

menekan pertumbuhan gulma pada lahan pertanaman jagung

Kemiringan lahan Jenis mulsa

Analisis pertumbuhan dan perkembangan A. pintoi

Keefektifan A. pintoi dalam menekan laju erosi

tanah Karakteristik pertumbuhan dan perkembangan A. pintoi

Keefektifan A. pintoi dalam meningkatkan

kesuburan tanah Keefektifan A. pintoi dalam mengendalikan

gulma

Pengaruh penanaman A. pintoi terhadap

(22)

6

Bahan dan Alat

Bahan yang digunakan antara lain stek batang A. pintoi yang berasal dari Kebun Cikabayan Kampus IPB Bogor, pupuk urea, pupuk SP36, pupuk KCl, pupuk kandang hormon perangsang perakaran dan bambu. Peralatan yang digunakan antara lain neraca analitik, oven, kertas, meteran, gunting stek, kuadran ukuran 0.5 m x 0.5 m dan alat penunjang lainnya.

Prosedur Percobaan

Percobaan ini dilakukan dengan pengamatan secara destruktif terhadap 10 tanaman setiap minggu selama 12 minggu sehingga terdapat 120 satuan pengamatan.

Persiapan bahan tanam. Bahan tanam yang digunakan adalah bibit stek tengah A. pintoi dengan panjang stek 4 ruas.

Persiapan lahan. Lahan yang digunakan dibersihkan dari gulma, kemudian dibentuk petakan besar dengan ukuran 5 m x 6 m. Petakan besar tersebut kemudian dibagi menjadi petakan-petakan kecil dengan ukuran 0.5 m x 0.5 m dan setiap petakan diberi pembatas dengan menggunakan bambu. Setelah diolah, lahan diberi pupuk kandang dengan dosis 5 ton ha-1.

Penanaman. Bibit stek A. pintoi ditanam satu batang setiap petak. Sebelum ditanam, A. pintoi direndam terlebih dahulu dalam larutan hormon perangsang perakaran dengan konsentrasi 600 ppm (600 mg L-1 air) untuk mempercepat pertumbuhan akar.

Pemupukan. Pemupukan dilakukan dengan dosis per hektar 50 kg Urea, 150 kg SP36, dan 50 kg KCl. Pemupukan SP36 dan KCl dilakukan pada saat penanaman, sedangkan untuk pemupukan Urea diberikan secara bertahap yaitu 2/3 dosis diberikan pada saat penanaman dan 1/3 dosis dilakukan setelah tanaman berumur 4 Minggu Setelah Tanam (MST).

Pemeliharaan. Pemeliharaan tanaman meliputi penyiangan gulma dan penyiraman. Penyiangan gulma disesuaikan dengan kondisi di lapangan atau dilakukan ketika ada gulma yang tumbuh, sedangkan penyiraman dilaksanakan pada pagi hari ketika tidak turun hujan.

Pengamatan. Pengamatan dilakukan secara destruktif pada 10 tanaman ulangan setiap minggu. Peubah yang diamati merupakan peubah yang berkaitan dengan pertumbuhan dan perkembangan tanaman A. pintoi, yang terdiri dari:

1. Panjang tanaman, dilakukan dengan mengukur panjang cabang terpanjang pada setiap tanaman menggukan mistar atau meteran.

2. Panjang akar, dilakukan dengan mengukur panjang akar terpanjang yang tumbuh pada batang stek tanaman menggunakan mistar.

3. Jumlah akar, dilakukan dengan menghitung jumlah akar yang muncul pada batang stek tanaman.

4. Jumlah cabang, dilakuakn dengan menghitung cabang yang terbentuk pada batang stek tanaman.

(23)

7 6. Indeks Luas Daun (ILD), pengukuran luas daun dihitung dengan menggunakan metode gravimetri. Kemudian ILD dihitung dengan menggunakan rumus sebagai berikut (Gardner et al. 2008):

� =

Keterangan:

A = Luas daun (cm2) L = Luas lahan (cm2)

7. Laju Asimilasi Bersih (LAB), LAB merupakan hasil asimilasi bersih dari hasil asimilasi per satuan luas daun. Rata-rata laju asimilasi bersih dihitung dengan menggunakan rumus berikut (Gardner et al. 2008):

= � − � � ln − ln

Keterangan:

LAB = Laju Asimilasi Bersih (g cm-2 hari-1) W1 = bobot kering tanaman pada waktu t1 (g) W2 = bobot kering tanaman pada waktu t2 (g) A1 = luas daun total pada waktu t1 (cm2) A2 = luas daun total pada waktu t2 (cm2) t1 = waktu pengamatan awal (hari) t2 = waktu pengamatan akhir (hari)

8. Laju Tumbuh Relatif (LTR), Rata-rata laju tumbuh relatif (Relative Growth Rate). Perhitungan LTR menggunakan rumus berikut (Gardner et al. 2008):

�� = ln � − ln �

Keterangan:

LTR = Laju Tumbuh Relatif (g hari-1)

W1 = bobot kering tanaman pada waktu t1 (g) W2 = bobot kering tanaman pada waktu t2 (g) t1 = waktu pengamatan awal (hari)

t2 = waktu pengamatan akhir (hari)

9. Persentase penutupan, dihitung dengan menggunakan kuadran 0.5 m x 0.5 m pada setiap tanaman.

10.Bunga, mengamati waktu pertama muncul bunga dan menghitung jumlah bunga yang terbentuk setiap minggunya.

11.Polong, mengamati waktu pertama muncul polong dan menghitung jumlah polong yang terbentuk setiap minggunya.

12.Bintil akar, mengamati waktu kemunculan bintil akar dan jumlah bintil akar yang diproduksi setiap minggunya.

(24)

8

14.Bobot kering biomassa, dilakukan dengan menimbang semua bagian tanaman (akar dan tajuk) pada setiap tanaman sampel setelah dikeringkan dengan menggunakan oven selama 2 hari dengan suhu 80 oC.

Percobaan 2 Keefektifan A. pintoi dalam Menekan Laju Erosi dan Meningkatkan Kesuburan Tanah serta Menekan Pertumbuhan Gulma pada

Lahan Pertanaman Jagung

Waktu dan Tempat

Percobaan kedua merupakan percobaan lapangan yang dilaksanakan di lokasi yang sama dengan percobaan pertama. Pelaksananaan percobaan ini dilaksanakan pada bulan Agustus 2013 sampai Maret 2014. Analisis hara tanah dilakukan di Labortorium Tanah Departemen Ilmu Tanah dan Sumber Daya Lingkungan, Fakultas Pertanian IPB.

Bahan dan Alat

Bahan yang digunakan antara lain stek batang A. pintoi yang berasal dari Kebun Cikabayan Kampus IPB Bogor, benih jagung hibrida varietas Pertiwi 3, pupuk urea, pupuk SP36, pupuk KCl, pupuk kandang, pertisida, hormon perangsang perakaran, mulsa plastik hitam perak, jerami, papan, bambu dan bahan kimia untuk analisis hara. Peralatan yang digunakan antara lain neraca analitik, oven, kertas, gunting stek, kuadran ukuran 0.5 m x 0.5 m, bak dan alat penunjang lainnya.

Prosedur Analisis Data

Rancangan yang digunakan adalah RAK dua faktor dengan pola tersarang. Faktor pertama adalah kemiringan lahan dan faktor kedua adalah jenis mulsa (yang tersarang pada kemiringan lahan). Taraf dari masing-masing faktor adalah sebagai berikut:

Faktor pertama (kemiringan lahan): L1 = Lahan datar

L2 = Lahan miring (13.33 %) Faktor kedua (jenis mulsa):

M1 = Tanpa mulsa tanpa penyianyan (vegetasi alami) M2 = Tanpa mulsa dengan penyiangan (konvensional) M3 = Mulsa pelastik hitam

M4 = Mulsa jerami M5 = Biomulsa A. pintoi

Terdapat 10 kombinasi perlakuan dan setiap perlakuan diulang 3 kali sehingga terdapat 30 satuan percobaan yang diamati. Model statistik yang digunakan untuk rancanganRAKpolatersarang adalah:

(25)

9 Keterangan:

Yijk : Nilai pengamatan pada kemiringan lahan ke-i, jenis mulsa ke-j, dan kelompok ke-k.

µ : Rataan umum.

αi : Pengaruh perlakuan kemiringan lahan ke-i (i = 1, 2)

ρk(i) : Pengaruh kelompok ke-k (k = 1, 2, 3) pada kemiringan lahan ke-i ßj : Pengaruh perlakuan jenis mulsa ke-j (j = 1, 2, 3, 4, 5)

(αß)ij : Pengaruh interaksi antara perlakuan kemiringan lahan ke-i dan jenis mulsa ke-j.

Persiapan bahan tanam. Bahan tanam yang digunakan adalah bibit stek tengah A. pintoi dengan panjang 4 ruas, sedangkan tanaman jagung yang digunakan adalah benih jagung hibrida varietas Pertiwi-3.

Persiapan lahan. Lahan yang digunakan dibersihkan dari gulma, kemudian dibentuk petakan dengan ukuran 5 m x 3 m sebanyak 30 petak (masing-masing 15 petak untuk lahan datar dan lahan miring). Jarak antar petak dalam kelompok adalah 0.5 m dan jarak antar kelompok adalah 1 m. Setelah lahan diolah kemudian diberi pupuk kandang sebanyak 5 ton ha-1.

Pemberian mulsa. Mulsa plastik hitam perak dan mulsa jerami diberikan seminggu sebelum tanaman jagung ditanam.

Penanaman. Penanaman A. pintoi dilakukan terlebih dahulu sebelum penanaman jangung. A. pintoi hanya ditanam pada lahan dengan perlakuan biomulsa A. pintoi dengan jarak tanam 15 cm x 15 cm. Sebelum ditanam, A. pintoi direndam terlebih dahulu dalam larutan hormon perangsang perakaran dengan konsentrasi 600 ppm (600 mg L-1 air) untuk mempercepat perakaran. Benih jagung ditanam setelah penutupan A. pintoi mencapai lebih dari 70% penutupan yaitu sekitar 4 bulan setelah tanam. Benih jagung ditanam dengan jarak tanam 75 cm x 20 cm dengan cara ditugal. Setiap lubang tanam ditanam sebanyak 2 benih dan setelah 1 MST dilakukan penjarangan dengan menyisakan 1 tanaman.

Pemupukan. Pemupukan dilakukan pada A. pintoi dan tanaman jagung. Pemupukan untuk A. pintoi dilakukan dengan dosis per hektar 50 kg Urea, 150 kg SP36, dan 50 kg KCl. Dosis pemupukan tanaman jagung per hektar 300 kg Urea, 100 kg SP36, dan 100 kg KCl. Pemupukan SP36 dan KCl dilakukan pada saat penanaman, sedangkan untuk pemupukan Urea diberikan secara bertahap yaitu 2/3 dosis pada saat penanaman dan 1/3 dosis dilakukan setelah tanaman berumur 4 MST.

(26)

10

tanaman dengan menggunakan pestisida, sedangkan penyiraman dilaksanakan pada pagi hari ketika tidak turun hujan.

Pemanenan. Pemanenan jagung dilakukan setelah jagung masak panen pada 100 HST.

Pengamatan. Pengamatan dilakukan terhadap 3 komponen yaitu pengamatan tanah, gulma dan tanaman jagung.

a. Pengamatan tanah dilakukan pada semua petakan percobaan yang meliputi: 1. Laju erosi tanah, pengamatan erosi tanah dilakukan setiap selesai turun

hujan dengan menggunakan metode Sistem Petak Kecil (Djunaedi et al. 2000).

Gambar 2 Desain petakan erosi

Setiap keliling petakan dibuat parit selebar 25 cm dan setiap parit antar petakan disekat atau dibuat pembatas dengan menggunakan papan dengan ketinggian 15-20 cm untuk menghindari aliran air hujan dan erosi dari petakan lain. Kemudian pada tiap petak penelitian dipasang pipa untuk mengalirkan erosi dan aliran permukaan ke bak penampungan. Penempatan pipa pada petak penelitian berdasarkan titik terendah pada kemiringan saluran air. Pada ujung bawah petak dipasang bak yang berfungsi untuk menampung air dan tanah tererosi. Penghitungan tanah tererosi dilakukan dengan mengukur kadar air tanah terlebih dahulu. Sampel tanah tererosi diambil dari tanah tererosi yang tertampung di bak penampung kemudian ditimbang berat basahnya dan dioven selama 3 jam, setelah itu ditimbang berat kering tanah. Kadar air tanah dihitung dengan rumus berikut:

� % = ℎ − � �

� � � %

Arah kemiringan

Bak penampung

Ta pak atas Ta pak sa pi g

(27)

11 Kemudian jumlah tanah tererosi dihitung dengan rumus berikut:

ℎ ℎ � � = +

2. Kandungan hara makro tanah (N, P, K, Ca dan Mg) dan C-organik sebelum dan sesudah percobaan.

b. Pengamatan gulma dilakukan pada semua petakan percobaan dengan analisis vegetasi menggunakan metode kuadrat dengan kuadran berukuran 0.5 m x 0.5 m. Peubah yang diamati adalah peubah-peubah untuk menentukan nilai Nisbah Jumlah Dominansi yang meliputi:

1. Jenis gulma dan jumlah gulma, dilakukan dengan mengidentifikasi jenis gulma yang tumbuh dan menghitung jumlah dari masing-masing jenis gulma yang tumbuh

2. Bobot kering biomassa, dilakukan dengan menimbang semua gulma berdasarkan jenisnya setelah dikeringkan dengan menggunakan oven selama 2 hari dengan suhu 80 oC

c. Pengamatan tanaman jagung dilakukan pada 10 tanaman sampel yang dipilih secara acak. Pengamatan yang dilakukan meliputi:

1. Tinggi tanaman, diukur mulai dari permukaan tanah sampai daun tertinggi. Pengukuran tinggi tanaman dilakukan setiap minggu mulai 2 MST.

2. Jumlah daun, dihitung dari jumlah daun yang berbentuk daun sempurna setiap minggu mulai 2 MST.

3. Indek Luas Daun (ILD), dilakukan pada saat masa vegetatif maksimal yaitu pada saat uncul bunga jantan. Luas daun dihitung dengan menggunakan leaf area meter. Kemudian ILD dihitung dengan menggunakan rumus sebagai berikut (Gardner et al. 2008):

� =

Keterangan:

A = Luas daun (cm2) L = Luas lahan (cm2)

4. Waktu muncul bunga, pengamatan dilakukan pada saat tanaman dalam satu petak sudah berunga minimal 70%.

5. Bobot basah panen, dilakukan dengan menimbang semua jagung pada tanaman sampel setelah dibuang klobotnya.

6. Bobot kering panen, dilakukan dengan menimbang semua jagung pada tanaman sampel setelah dikeringkan di bawah terik sinar matahari selama kurnag lebih satu minggu.

7. Bobot pipilan, dilakukan dengan menimbang jagung yang telah dikeringkan kemudian dipisahkan dari tongkolnya.

8. Bobot 100 butir, dilakukan dengan menimbang 100 butir biji jagung yang diambil dari tanaman sampel

(28)

12

10.Bobot kering brangkasan tanaman, dilakukan dengan menimbang semua bagian tanaman (akar dan tajuk) setelah dikeringkan dengan oven selama 2 hari pada suhu 80 oC.

HASIL DAN PEMBAHASAN

Percobaan 1 Analisis Pertumbuhan dan Perkembangan A. pintoi

Awal pertumbuhan akar

Tanaman A. pintoi yang digunakan berasal dari stek batang tanpa akar. Pemilihan stek sebagai bahan tanam didasarkan pada sulitnya mendapatkan benih A. pintoi, karena tanaman ini sulit menghasilkan biji. A. pintoi hanya dapat menghasilkan biji utuh 4-8% dari jumlah bunga yang dihasilkan (Adjolohoun et al. 2013a). Hal tersebut yang kemudian menjadi kendala dalam pengembangan A. pintoi sebagai penutup tanah maupun sebagai pakan ternak (Wunscher et al. 2004).

Gambar 3 Rata-rata panjang dan jumlah akar tanaman A. pintoi pada 1-12 MST Peubah yang penting dalam perbanyakan tanaman menggunakan stek adalah awal pertumbuhan akar. Data memperlihatkan bahwa kemunculan akar baru terlihat pada pengamatan 3 MST (Gambar 3). Hal ini menunjukkan bahwa stek A. pintoi membutuhkan waktu lebih dari 2 minggu untuk mulai tumbuh akar. Setelah kemunculan akar, perkembangan akar cukup cepat yang ditunjukkan dengan pertambahan jumlah dan panjang akar yang cukup besar. Rata-rata jumlah dan panjang akar yaitu 9.4 akar dan 5.69 cm pada 3 MST dan terus meningkat sampai pengamatan terakhir yaitu 12 MST dengan rata-rata jumlah dan panjang akar yaitu 42.4 akar dan 17.10 cm.

Pertumbuhan dan perkembangan tanaman

(29)

13 makanan dan air di dalam batang yang kemudian digunakan tanaman untuk pertumbuhan tunas.

Tabel 1 Rata-rata panjang tanaman, jumlah cabang, jumlah daun, ILD dan penutupan tanah tanaman A. pintoi pada 1-12 MST

Pertumbuhan A. pintoi tergolong lambat. Hal tersebut dapat terlihat pada panjang tanaman dan jumlah daun. A. pintoi memiliki rata-rata pertambahan panjang tanaman dan jumlah daun setiap minggunya masing-masing adalah 4.21 cm dan 13.1 daun (Tabel 1). Hasil penelitian ini tidak jauh berbeda dengan hasil penelitian Dianita dan Abdullah (2011) yang menunjukkan bahwa A. pintoi memiliki laju pertumbuhan yang lambat ditunjukkan dengan rata-rata pertambahan panjang tanaman dan jumlah daun masing-masing 1.60 cm minggu-1 dan 15 daun minggu-1 dalam kurun waktu pengamatan 3 bulan.

Gambar 4 Rata-rata bobot basah dan kering (tajuk dan akar) tanaman A. pintoi pada 1-12 MST

Secara akumulasi, pertumbuhan A. pintoi ditunjukkan pada pertambahan bobot segar maupun bobot kering tanaman (tajuk dan akar) (Gambar 4). Produksi bobot basah maupun bobot kering tanaman sangat dipengaruhi oleh tingkat laju fotosintesis tanaman yang dapat ditunjukkan dengan meningkatnya jumlah daun dan indeks luas daun (ILD) (Tabel 1), sehingga meningkatnya jumlah daun dan ILD pada batas tertentu akan meningkatkan bobot basah dan kering tanaman. Menurut Dwijosepoetro (1981), bahan kering tanaman sangat dipengaruhi oleh optimalnya proses fotosintesis. Bobot kering yang terbentuk mencerminkan jumlah fotosintat

1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12

Panjang Tanaman (cm) 0.00 1.19 3.36 3.66 6.49 6.87 11.38 13.73 19.62 30.82 37.26 46.32 Jumlah Cabang 2.5 2.6 2.6 2.9 2.9 2.9 3.4 3.6 5.0 5.2 5.4 5.4 Jumlah Daun 0.4 1.4 5.0 7.6 8.3 13.9 22.8 26.6 46.2 77.0 127.6 144.0 ILD 0.001 0.004 0.020 0.041 0.044 0.075 0.131 0.149 0.287 0.457 0.648 0.689 Penutupan (%) 0.51 0.88 1.71 2.67 2.90 5.10 11.60 15.00 23.50 36.50 54.80 58.00

(30)

14

sebagai hasil fotosintesis. Asimilat yang lebih besar memungkinkan pembentukan biomassa tanaman yang lebih besar.

Gambar 4 juga menunjukkan bahwa pada awal pertumbuhan, A. pintoi menghasilkan bobot segar maupun bobot kering yang rendah dengan pertambahan bobot yang lambat sampai pada 9 MST dan meningkat secara pesat pada 10 MST. Setelah itu, bobot basah dan kering terus meningkat dengan laju peningkatan yang lebih rendah dari sebelumnya. Hal tersebut akan berkorelasi dengan asimilat yang dihasilkan oleh A. pintoi tersebut yang dapat dilihat dalam bentuk bobot kering tanaman.

Pola pertambahan bobot tanaman pada A. pintoi tersebut dapat dijelaskan melalui laju asimilasi bersih A. pintoi yang ditunjukkan pada Gambar 5. Gambar tersebut menunjukkan bahwa pada rentang waktu 3-8 MST, A. pintoi memiliki laju asimilasi bersih yang rendah dan kemudian meningkat pesat pada rentang waktu 8-10 MST dan kembali turun pada rentang waktu 10-12 MST. Hal tersebut juga berkorelasi dengan laju pertumbuhan relatif Arahis pintoi, dimana laju pertumbuhan relatif merupakan rata-rata laju pertambahan berat kering tanaman per hari (Gardner et al. 2008). Laju pertumbuhan relatif A. pintoi memiliki pola yang sama dengan laju asimilasi bersih, dimana A. pintoi memiliki laju pertumbuhan yang rendah pada awal pertumbuhan sampai 8 MST dan meningkat secara pesat pada rentang wakru 8-10 MST dan kemudian setela itu akan mengalami penurunan laju pertumbuhan (Gambar 6).

(31)

15

Gambar 6 Rata-rata Laju Tumbuh Relatif tanaman A. pintoi pada 3-12 MST Menurut Fisher dan Cruz (1993), A. pintoi yang ditanam pada musim hujan akan mengalami laju pertumbuhan tertinggi pada rentang waktu 30-40 HST (4-6 MST) dan setelah 40 HST laju pertumbuhannya akan menurun, namun pertumbuhan akan terus berlanjut dengan disertai proses pengguguran daun tua. Walaupun hasil pengamatan yang telah dilakukan memiliki perbedaan waktu puncak pertumbuhan, tapi keduanya memiliki pola yang sama. Perbedaan tersebut dapat disebabkan oleh kondisi iklim atau perbedaan genotipe. Fanindi et al. (2012) melaporkan bahwa pertumbuhan A. pintoi akan lebih baik dan lebih cepat pada musim hujan. Castillo-Gallegos et al. (2009); Carvalho dan Quesenberry (2012); dan Adjolohoun et al. (2013a) juga melaporkan bahwa setiap genotipe yang berbeda memiliki kecepatan dan dinamika pertumbuhan dan perkembangan yang berbeda.

Bunga A. pintoi muncul pada 4 MST. Hasil penenelitian ini hampir sama dengan penelitian Ngome dan Mtei (2010) yang menunjukkan bahwa bunga A. pintoi mulai muncul pada 35-60 HST dan penelitian Adjolohoun et al. (2013a) yang menunjukkan bahwa bunga pertama muncul pada 26-40 HST. Polong A. pintoi muncul pada 7 MST atau sekitar 21 hari setelah antesis. Penelitian Adjolohoun et al. (2013a) juga menunjukkan hasil yang sama bahwa polong akan terbentuk pada 22-40 hari setelah antesis.

Bunga dan polong yang terbentuk pada penelitian ini sangat sedikit. A. pintoi hanya menghasilkan rata-rata 5 bunga dan 1.8 polong pada pengamatan 12 MST. Namun, jumlah bunga dan polong akan meningkat dengan bertambahnya umur tanaman. Hal ini dipertegas oleh hasil penelitian Carvalho et al. (2009), ketika pertumbuhan A. pintoi sudah tetap, maka pembentukan bunga dan polong bertambah seiring dengan bertambahnya umur tanaman.

Kecepatan penutupan tanah

(32)

16

cukup lama untuk tumbuh optimal dan menutupi lahan. Pada penelitian ini, dengan luasan lahan masing-masing individu tanaman 50 cm x 50 cm A. pintoi hanya dapat menutupi sekitar 58% luasan lahan 0.25 m2 dalam waktu 12 MST (Tabel 1).

Penelitian terdahulu juga menunjukkan hal yang sama, di antaranya hasil penelitian Castillo-Gallegos et al. (2009) yang menggunakan stek A. pintoi 5 ruas dengan jarak tanam 100 cm x 50 cm dengan penanaman 3-4 stek setiap lubang tanam menunjukkan bahwa A. pintoi tersebut membutuhkan waktu 20-25 minggu untuk mencapai 50% penutupan lahan. Carvalho dan Quesenbery (2012) melaporkan bahwa penanaman A. pintoi menggunakan stek yang telah memiliki akar dengan jarak tanam 100 cm x 100 cm hanya menutupi lahan kurang dari 50% dalam waktu 8 bulan setelah tanam. Hasil penelitian Adjolohoun et al. (2013b) yang menggunakan jarak tanam 50 cm x 22 cm, 50 cm x 11 cm dan 50 cm x 5.5 cm menunjukkan bahwa A. pintoi mencapai penutupan 50% lahan pada 14-16 MST pada ketiga jarak tanam tersebut, semakin rapat jarak tanam maka penutupan semakin cepat. Febrianto dan Chozin (2014) juga melaporkan bahwa semakin rapat jarak tanam maka penutupan A. pintoi akan semakin cepat. Jarak tanam yang digunakan adalah 20 cm x 20 cm, 20 cm x 15 cm, 20 cm x 10 cm dan 20 cm x 5 cm menghasilkan penutupan 68.00-99.61% lahan 7.5 m2 pada 90 HST.

Kemampuan membentuk bintil akar

Percobaan ini menunjukkan bahwa bintil akar mulai ditemukan pada pengamatan 4 MST dengan jumlah yang beragam setiap minggu pengamatan. Bintil akar merupakan tempat akumulasi fiksasi N2 hasil simbiosis dengan bakteri Rhizobium (Gambar 7). Kemampuan membentuk bintil akar tersebut menjadi kelebihan penggunaan legume cover crop (LCC) sebagai biomulsa. Pembentukan bintil akar dipengaruhi oleh keberadaan bakteri Rhizobium yang ada di dalam tanah di sekitar perakaran tanaman, jenis bakteri Rhizobium (de la Mora dan Cadisch 2010), genotipe A. pintoi dan jenis tanah (Adjolohoun et al. 2013b).

(33)

17

Percobaan 2 Keefektifan Penanaman A. pintoi dalam Menekan Laju Erosi dan Meningkatkan Kesuburan Tanah serta Menekan Pertumbuhan Gulma

pada Lahan Pertanaman Jagung

Laju erosi tanah

Laju erosi tanah berbeda-beda setiap bulannya tergantung dari curah hujan. Semakin tinggi curah hujan, semakin tinggi juga laju erosi yang terjadi ditandai dengan semakin tingginya bobot tanah tererosi, dengan peningkatan yang berbeda-beda tergantung dari jenis mulsa yang digunakan (Tabel 2). Pada perlakuan tanpa mulsa dengan penyiangan yang digunakan sebagai kontrol, laju erosi mengalami peningkatan yang sangat besar seiring dengan meningkatnya curah hujan. Pada perlakuan jenis mulsa lainya, laju erosi juga meningkat seiring dengan meningkatnya curah hujan, namun laju peningkatannya lebih kecil dibandingkan dengan kontrol.

Gambar 8 Hubungan antara curah hujan dan bobot kering tanah tererosi perlakuan tanpa mulsa dengan penyiangan dan biomulsa A. pintoi.

(34)

18

Tabel 2 Rata-rata bobot tanah tererosi dan potensi kehilangan tanah tererosi pada lahan miring dan datar dengan berbagai perlakuan jenis mulsa

Keterangan : Angka yang diikuti huruf yang sama pada peubah yang sama menunjukkan tidak berbeda nyata uji lanjut DMRT pada taraf nyata 5%.

Tabel 2 menunjukkan bahwa total tanah tererosi pada lahan miring jauh lebih banyak dibandingkan dengan lahan datar bergantung dari jenis mulsa yang digunakan. Secara rata-rata, kemiringan lahan yang digunakan dalam penelitian ini meningkatkan laju erosi sebesar 664.40% dibandingkan lahan datar. Hal tersebut menunjukkan bahwa budidaya tanaman di lahan miring sangat beresiko menyebabkan erosi.

Perlakuan tanpa mulsa dengan penyiangan pada lahan datar mengalami laju erosi yang cukup tinggi, berbeda nyata dengan perlakuan lainnya. Perlakuan vegetasi alami (tanpa mulsa tanpa penyiangan) dapat menekan laju erosi sebesar 46.91%, sedangkan perlakuan mulsa plastik hitam perak, mulsa jerami dan biomulsa A. pintoi dapat menekan laju erosi dengan sangat efektif. Secara berurutan persentase penekanan erosi dari perlakuan tersebut adalah 90.30%, 89.75% dan 88.24% (Tabel 2). Pada lahan miring, laju erosi tertinggi terjadi pada perlakuan tanpa mulsa dengan penyiangan dan berbeda nyata dengan perlakuan lain. Perlakuan tanpa mulsa tanpa penyiangan dapat menekan laju erosi sebesar 53.45%, Lahan Datar Lahan Miring Lahan Datar Lahan Miring

Tanpa mulsa tanpa penyiangan 178.75b 443.72a 1159.50d 3384.70b Tanpa mulsa dengan penyiangan 237.34b 626.85a 1814.60cd 6491.10a Mulsa Plastik Hitam Perak 61.00d 161.38bc 183.40e 1306.30d

Mulsa jerami 66.65cd 155.37bcd 191.90e 1412.50d

Biomulsa Arachis pintoi 62.49d 260.95b 233.90e 2107.10c Curah hujan (mm)

Tanpa mulsa tanpa penyiangan 0.00e 722.20b 0.00d 326.30b Tanpa mulsa dengan penyiangan 386.80c 2177.10a 81.90c 1181.60a Mulsa Plastik Hitam Perak 0.00e 198.20d 0.00d 101.60c

Mulsa jerami 0.00e 330.20c 0.00d 213.10bc

Biomulsa Arachis pintoi 0.00e 380.20c 0.00d 221.90bc Curah hujan (mm)

Tanpa mulsa tanpa penyiangan 1338.20e 4877.00b 892.13 3251.33 Tanpa mulsa dengan penyiangan 2520.60cd 10476.60a 1683.73 6984.40 Mulsa Plastik Hitam Perak 244.40f 1767.40de 162.93 1178.27

Mulsa jerami 258.50f 2111.20cde 172.33 1407.40

(35)

19 sedangkan penekanan laju erosi pada mulsa plastik hitam perak, mulsa jerami dan biomulsa A. pintoi secara berurutan sebesar 83.13%, 79.85% dan 71.65% dibandingkan dengan perlakuan tanpa mulsa dengan penyiangan.

Tabel 2 juga menunjukkan bahwa penggunaan biomulsa A. pintoi dan mulsa jerami pada lahan miring memiliki keefektifan yang sama dalam menekan laju erosi dan lebih efektif dibandingkan dengan perlakuan vegetasi alami (tanpa mulsa tanpa penyiangan). Perlakuan yang paling efektif dalam menekan erosi adalah mulsa plastik hitam. Selanjutnya dapat dilihat bahwa laju erosi pada perlakuan biomulsa A. pintoi di lahan miring (2970.10 g 15 m-2) tidak berbeda nyata dengan perlakuan tanpa mulsa dengan penyiangan di lahan datar sebagai kontol (2520.60 g 15 m-2). Perbandingan laju erosi pada perlakuan biomulsa A. pintoi dan perlakuan tanpa mulsa dengan penyiangan secara jelas diperlihatkan melalui grafik pada Gambar 8. Hal ini mengindikasikan bahwa budidaya tanaman jagung dapat dilakukan di lahan miring tanpa resiko erosi, bila dilakukan dengan penanaman biomulsa A. pintoi.

Hasil penelitian ini memperkuat pendapat beberapa penelitian sebelumnya yang melaporkan keefektifan tanaman penutup tanah dalam menekan laju erosi. Penelitian Armecin et al. (2005) menunjukkan bahwa penggunaan tanaman penutup tanah Desmodium ovalifolium dan Centrosoma pubescens sangat efektif menekan laju erosi pada pertanaman abaka (Musa textilis Nee.) dibandingkan dengan perlakuan kontrol (tanpa penutup tanah). Simatupang (2005) melaporkan bahwa penggunaan penutup tanah Brachiaria decumbens dan Centrosoma pubescens dapat menekan laju erosi mencapai 81% dan aliran permukaan mencapai 51% dibandingkan dengan kontrol (tanpa perlakuan). Penelitian Candog-Bangi dan Cosico (2007) yang menggunakan A. pintoi dan mungbean sebagai mulsa hidup menunjukkan hasil bahwa pemanfaatan mulsa hidup khususnya A. pintoi dan mungbean dapat mengurangi erosi pada pertanaman jagung (Zea mays L.), dimana penekanan erosi oleh A. pintoi lebih besar dibandingkan dengan mungbean.

Kandungan hara tanah

Hasil analisis ragam menunjukkan bahwa perlakuan kemiringan lahan dan jenis mulsa berpengaruh nyata terhadap perubahan unsur hara Fosfor (P) tanah tapi tidak berpengaruh terhadap perubahan unsur hara makro tanah lainnya (Tabel 3). Hal ini menunjukkan bahwa biomulsa A. pintoi dapat meningkatkan unsur hara P tanah namun tidak dapat meningkatkan unsur hara makro tanah lainnya. Rendahnya unsur hara makro setelah percobaan diduga karena tanaman jagung menyerap unsur hara dalam jumlah yang tinggi untuk proses pertumbuhan dan perkembangan. Walaupun demikian, biomulsa A. pintoi cenderung meningkatkan kandungan

C-organik dan N tanah jika dibandingkan dengan perlakuan lain.

(36)

20

Tabel 3 Rata-rata awal, akhir dan perubahan unsur hara pada perlakuan berbagai jenis mulsa di lahan datar dan lahan miring.

Keterangan : Angka yang diikuti huruf yang sama pada kolom yang sama menunjukkan tidak berbeda nyata uji lanjut DMRT pada taraf nyata 5%.

Penambahan hara P tersebut diduga berasal dari hasil simboisis dengan mikoriza tanah yang ada di lahan pertanian dan aktivitas enzim asam fosfatase. Penelitian Ortiz (2006), menunjukkan bahwa A. pintoi memiliki kemampuan untuk

Awal Akhir Perubahan Awal Akhir Perubahan Lahan Datar

Tanpa mulsa tanpa penyiangan 2.15 2.05 -0.10 0.20 0.20 -0.01 Tanpa mulsa dengan penyiangan 1.89 1.91 0.03 0.18 0.20 0.02 Mulsa Plastik Hitam Perak 2.02 2.13 0.11 0.19 0.21 0.01

Mulsa jerami 1.89 2.13 0.24 0.18 0.20 0.01

Biomulsa Arachis pintoi 1.83 2.15 0.32 0.18 0.20 0.02 Lahan Miring

Tanpa mulsa tanpa penyiangan 2.21 1.99 -0.22 0.21 0.20 -0.01 Tanpa mulsa dengan penyiangan 2.08 2.04 -0.03 0.20 0.21 0.01 Mulsa Plastik Hitam Perak 1.78 1.97 0.19 0.16 0.19 0.03

Mulsa jerami 1.88 2.50 0.61 0.18 0.23 0.05

Biomulsa Arachis pintoi 2.28 2.12 -0.16 0.22 0.20 -0.02

Lahan Datar

Tanpa mulsa tanpa penyiangan 4.90 9.40 4.50ef 0.13 0.19 0.06 Tanpa mulsa dengan penyiangan 5.77 10.03 4.27f 0.13 0.14 0.01 Mulsa Plastik Hitam Perak 5.70 10.47 4.77ef 0.12 0.16 0.04

Mulsa jerami 5.60 11.13 5.53de 0.13 0.24 0.11

Biomulsa Arachis pintoi 4.40 11.37 6.97bc 0.15 0.15 0.00 Lahan Miring

Tanpa mulsa tanpa penyiangan 4.20 8.97 4.77ef 0.12 0.12 0.00 Tanpa mulsa dengan penyiangan 4.47 8.73 4.27f 0.16 0.13 -0.03 Mulsa Plastik Hitam Perak 4.33 10.50 6.17cd 0.12 0.13 0.01

Mulsa jerami 4.30 12.67 8.37a 0.18 0.20 0.02

Biomulsa Arachis pintoi 4.07 11.53 7.47ab 0.16 0.17 0.01

Lahan Datar

Tanpa mulsa tanpa penyiangan 3.51 3.79 0.28 0.78 0.79 0.00 Tanpa mulsa dengan penyiangan 3.08 3.26 0.18 0.69 0.70 0.00 Mulsa Plastik Hitam Perak 3.20 3.07 -0.12 0.76 0.71 -0.05

Mulsa jerami 2.79 2.96 0.17 0.66 0.65 -0.01

Biomulsa Arachis pintoi 3.17 3.57 0.40 0.73 0.68 -0.05 Lahan Miring

Tanpa mulsa tanpa penyiangan 3.53 3.93 0.40 1.13 0.84 -0.29 Tanpa mulsa dengan penyiangan 2.50 2.79 0.29 0.88 0.80 -0.08 Mulsa Plastik Hitam Perak 3.05 3.68 0.64 0.88 1.15 0.27

Mulsa jerami 4.65 4.56 -0.09 1.34 1.16 -0.18

Biomulsa Arachis pintoi 3.46 3.77 0.31 1.06 1.02 -0.04 Ca (me 100 g-1) Mg (me 100 g-1)

C-organik (%) N (%)

Perlakuan

(37)

21 bersimbiosis dengan mikoriza tanah. A. pintoi yang bersimbiosis dengan mikoriza memiliki kandungan unsur hara yang cukup tinggi pada tanah maupun tajuk tanaman. A. pintoi juga memiliki kemampuan mensintesis enzim asam fosfatase dan mengeksresikannya ke larutan tanah disekitar perakaran tanaman. Enzim tersebut berfungsi untuk membuat P tanah yang tidak tersedia menjadi P tersedia bagi tanaman, sehingga kandungan hara P tersedia di dalam tanah akan meningkat. Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa dalam jangka panjang, A. pintoi memiliki potensi meningkatkan kesuburan tanah terutama meningkatkan hara C-organik, N dan P tanah sehingga dapat mengurangi penggunaan pupuk kimia terutama pupuk N dan P.

Pertumbuhan gulma

Hasil analisis ragam menunjukkan bahwa kemiringan lahan berpengaruh nyata terhadap bobot kering gulma pada 6 MST, tetapi tidak berpengaruh pada 10 MST, sedangkan perlakuan jenis mulsa memberikan pengaruh nyata terhadap bobot kering gulma pada 6 dan 10 MST. Tidak terjadi interaksi antara kemiringan lahan dan jenis mulsa terhadap bobot kering gulma pada 6 dan 10 MST.

Tabel 4 Rata-rata bobot kering gulma pada perlakuan kemiringan lahan dan jenis mulsa

Tanpa mulsa tanpa penyiangan 34.33a 57.15a

Tanpa mulsa dengan penyiangan 2.81c 9.68c

Mulsa Plastik Hitam Perak 2.91c 10.78c

Mulsa jerami 11.75b 32.00b

Biomulsa Arachis pintoi 14.22b 27.09b

Keterangan : Angka yang diikuti huruf yang sama pada kolom yang sama menunjukkan tidak berbeda nyata uji lanjut DMRT pada taraf nyata 5%. MST = Minggu Setelah Tanaman.

Tabel 4 menunjukkan bahwa biomulsa A. pintoi efektif dalam menekan pertumbuhan gulma. Bobot kering gulma perlakuan biomulsa A. pintoi sebesar 14.22 g pada 6 MST dan 27.09 g pada 10 MST, nyata lebih rendah dibandingkan dengan perlakuan tanpa mulsa tanpa penyiangan (kontrol) yaitu sebesar 34.33 g pada 6 MST dan 57.15 pada 10 MST. Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa A. pintoi dapat menekan pertumbuhan gulma sebesar 58.58% pada 6 MST dan 52.60% pada 10 MST. Penelitian sebelumnya melaporkan bahwa penggunaan A. pintoi efektif dalam menekan pertumbuhan gulma pada tanaman kopi (Perez-Nieto et al. 2005; Santos et al. 2013) dan pada tanaman kentang (Samad et al. 2009).

(38)

22

lahan datar sebelum perlakuan didominansi oleh gulma berdaun lebar Borreria alata dengan nisbah jumlah dominansi (NJD) sebesar 24.40%. Berikutnya gulma yang dominan adalah Axsonopus compressus (13.86%), Pennisetum polystachion (10.65%) dan Digitaria adscendens (10.49%). Ketiga gulma tersebut termasuk gulma golongan rumput.

Analisis berikutnya dilakukan 6 dan 10 MST yang menunjukkan bahwa perlakuan jenis gulma mempengaruhi komposisi jenis gulma dan dominansinya. Pada perlakuan tanpa mulsa tanpa penyiangan, gulma yang dominan adalah gulma golongan rumput Digitaria adscendens baik pada 6 maupun 10 MST. Pada perlakuan mulsa jerami, gulma yang dominan adalah Cyperus rotundus, baik pada 6 maupun 10 MST.Pada perlakuan biomulsa A. pintoi, dominansi gulma bergeser dari Borreria alata (sebelum perlakuan) menjadi Digitaria adscendens yang merupakan gulma golongan rumput dengan NJD 35.29% pada 6 MST dan 28.74% pada 10 MST.

Tabel 5 Jenis gulma dan dominansinya pada perlakuan jenis gulma di lahan datar

Pergeseran jenis gulma juga terjadi pada lahan miring. Tabel 6 menunjukkan bahwa sebelum perlakuan, lahan didominansi oleh gulma rumput yaitu spesies Pennisetum polystachion dengan nilai NJD sebesar 26.30%. Selanjutnya gulma yang dominan adalah gulma Melochia corchorifolia (13.58%), Borreria alata (10.92%) dan Axonopus compressus (10.68). Kemudian hasil analisis vegetasi gulma pada 6 dan 10 MST menunjukkan bahwa dominansi gulma berbeda antar perlakuan jenis mulsa. Pada perlakuan tanpa mulsa tanpa penyiangan, gulma yang dominan adalah gulma golongan daun lebar Borreria alata baik pada 6 maupun

Sebelum perlakuan 0 24.40 13.86 10.65 10.49 6.96 6.56 0.00

Tanpa mulsa tanpa penyiangan 6 16.15 11.42 0.00 43.54 2.86 16.64 1.52

10 14.41 6.77 5.27 45.79 3.59 6.78 0.00

Tanpa mulsa dengan penyiangan 6 36.77 0.00 0.00 22.92 3.22 37.09 0.00

10 27.81 11.64 9.36 10.51 14.59 17.42 0.00

Mulsa plastik hitam perak 6 22.83 5.40 0.00 33.37 0.00 31.48 0.00

10 28.21 18.57 0.00 33.32 0.00 6.80 0.00

Mulsa jerami 6 23.00 7.57 0.00 14.78 1.86 40.20 2.43

10 20.07 6.24 1.74 13.50 3.73 23.84 9.69

Biomulsa Arachis pintoi 6 23.15 6.32 0.00 35.29 5.93 9.31 4.54

10 19.19 9.69 6.03 28.74 6.50 2.97 3.13

Nisbah Jumlah Dominansi (%)

Jenis Mulsa Waktu

(39)

23 Tabel 6 Jenis gulma dan dominansinya pada perlakuan jenis mulsa di lahan miring

Hasil analisis vegetasi pada kedua lahan tersebut menunjukkan bahwa biomulsa A. pintoi mampu menekan gulma golongan daun lebar dan teki tapi tidak efektif menekan gulma golongan rumput. Hal ini sesuai dengan hasil penelitian Baharuddin (2010) dan Febrianto dan Chozin (2014) yang menunjukkan bahwa biomulsa A. pintoi efektif menekan gulma berdaun lebar dan golongan teki, tetapi kurang efektif menekan gulma golongan rumput.

Pertumbuhan dan hasil tanaman jagung

Analisis ragam menunjukkan bahwa kemiringan lahan berpengaruh pada peubah bobot 100 butir tapi tidak berpengaruh nyata terhadap semua peubah pertumbuhan maupun hasil tanaman jagung. Hal ini mengindikasikan bahwa pertumbuhan tanaman jagung secara umum tidak dipengaruhi oleh kemiringan lahan sampai batas kemirigan lahan yang digunakan pada penelitian ini.

Tabel 7 Rata-rata jumlah daun tanaman jagung pada perlakuan kemiringan lahan dan jenis mulsa

Keterangan : Angka yang diikuti huruf yang sama pada kolom yang sama menunjukkan tidak berbeda nyata uji lanjut DMRT pada taraf nyata 5%. MST = Minggu Setelah Tanaman.

P

Sebelum perlakuan 0 26.30 13.58 10.92 10.68 7.00 4.58 1.68

Tanpa mulsa tanpa penyiangan 6 4.39 15.38 27.59 6.64 17.80 6.41 8.30

10 2.56 12.94 27.70 7.61 14.48 8.13 2.36

Tanpa mulsa dengan penyiangan 6 0.00 15.41 37.40 10.37 5.49 13.32 0.00

10 0.00 5.45 25.92 16.07 17.31 18.34 0.00

Mulsa plastik hitam perak 6 0.00 7.88 27.28 0.00 6.50 30.38 8.32

10 0.00 20.89 24.40 0.00 21.15 10.46 5.27

Mulsa jerami 6 0.00 16.49 13.48 0.00 42.32 2.96 4.27

10 0.00 16.27 12.46 0.00 34.27 5.67 2.75

Biomulsa Arachis pintoi 6 5.82 2.00 25.70 10.65 16.42 14.04 5.06

10 11.74 10.76 9.17 22.80 21.36 10.84 8.04

Waktu

Lahan datar 4.7 6.3 8.3 9.4 10.5 11.6 15.0

Lahan miring 4.8 6.4 8.0 9.1 10.4 12.0 14.8

Jenis mulsa

Tanpa mulsa tanpa penyiangan 5.0 6.6a 8.3 9.2 10.3 11.9 15.0

Tanpa mulsa dengan penyiangan 4.8 6.6a 8.5 9.4 10.7 12.1 15.2

Mulsa Plastik Hitam Perak 4.6 6.5a 8.2 9.1 10.2 11.8 14.6

Mulsa jerami 4.6 6.3a 8.3 9.5 11.0 12.0 15.4

Biomulsa Arachis pintoi 4.6 5.7b 7.8 9.0 10.1 11.3 14.7

(40)

24

Jenis mulsa tidak mempengaruhi jumlah daun (Tabel 7) dan waktu berbunga tanaman jagung (Tabel 9). Hal tersebut menunjukkan bahwa modifikasi lingkungan yang diberikan pada penelitian ini tidak cukup memberikan pengaruh terhadap jumlah daun dan umur berbunga tanaman jagung. Menurut Gardner et al. (2008), jumlah daun, ukuran daun dan posisi daun juga umur berbunga dipengaruhi oleh genotipe dan lingkungan yang terutama dikendalikan oleh genotipe.

Tabel 8 Rata-rata tinggi tanaman jagung pada perlakuan kemiringan lahan dan jenis mulsa

Keterangan : Angka yang diikuti huruf yang sama pada kolom yang sama menunjukkan tidak berbeda nyata uji lanjut DMRT pada taraf nyata 5%. MST = Minggu Setelah Tanaman.

Perlakuan jenis mulsa berpengaruh nyata terhadap peubah tinggi tanaman (Tabel 8), indek luas daun (ILD) dan bobot kering brangkasan (Tabel 9) serta produksi dan komponen produksi tanaman jagung (Tabel 10). Tidak terjadi interaksi antara kemiringan lahan dan jenis mulsa pada semua peubah yang diamati. Tabel 9 Rata-rata indeks luas daun (ILD), bobot kering brangkasan dan waktu

berbunga tanaman jagung pada perlakuan kemiringan lahan jenis dan mulsa.

Keterangan : Angka yang diikuti huruf yang sama pada kolom yang sama menunjukkan tidak berbeda nyata uji lanjut DMRT pada taraf nyata 5%. MST = Minggu Setelah Tanaman.

Data penelitian menunjukkan bahwa secara umum pertumbuhan, komponen produksi dan bobot pipilan jagung tertinggi diperoleh pada perlakuan penyiangan konvesional (tanpa mulsa dengan penyiangan) yang digunakan sebagai kontrol dan tiak berbeda nyata dengan perlakuan mulsa jerami. Pada peubah bobot pipilan kering yang merupakan peubah utama produksi tanaman jagung, pada perlakuan tanpa mulsa dengan penyiangan adalah 110.44 g tanaman-1 lebih tinggi dan berbeda

2 MST 3 MST 4 MST 5 MST 6 MST 7 MST 8 MST

Kemiringan lahan

Lahan datar 37.38 55.62 93.87 110.69 132.94 157.91 170.63

Lahan miring 36.48 52.38 92.93 110.62 129.72 151.99 168.69

Jenis mulsa

Tanpa mulsa tanpa penyiangan 36.60 54.50 92.86abc 107.96b 126.55b 149.57bc 164.01bc Tanpa mulsa dengan penyiangan 36.32 57.59 102.55a 120.20a 138.82a 164.15ab 177.82ab Mulsa Plastik Hitam Perak 33.36 47.80 85.56c 103.26b 127.15b 150.09bc 166.05bc

Mulsa jerami 37.00 57.63 99.63ab 120.85a 143.24a 169.33a 184.22a

Biomulsa Arachis pintoi 41.16 53.67 89.46bc 104.20b 123.27b 144.38c 158.95c

(41)

25 nyata dibandingkan dengan semua perlakuan, kecuali mulsa jerami (102.81 g tanaman-1).

Tabel 10 Rata-rata komponen produksi dan produksi tanaman jagung pada perlakuan kemiringan lahan dan jenis mulsa

Keterangan : Angka yang diikuti huruf yang sama pada kolom yang sama menunjukkan tidak berbeda nyata uji lanjut DMRT pada taraf nyata 5%. MST = Minggu Setelah Tanaman.

Perlakuan biomulsa A. pintoi, meskipun efektif menekan erosi dan mengendalikan gulma, namun tidak mampu meningkatkan produksi tanaman jagung. Bobot pipilan kering jagung pada perlakuan biomulsa A. pintoi adalah 79.36 g tanaman-1, lebih rendah dan berbeda nyata dengan perlakuan tanpa mulsa dengan penyiangan (110.44 g tanaman-1), tetapi tidak berbeda nyata dengan perlakuan tanpa mulsa tanpa penyiangan (87.23 g tanaman-1) dan perlakuan mulsa plastik hitam perak (86.64 g tanaman-1). Fenomena ini menunjukkan bahwa untuk tanaman semusim pada musim pertama, penanaman biomulsa A. pintoi diduga berkompetisi dengan tanam utama dalam penggunaan sumberdaya untuk pertumbuhannya. Namun, dengan potensinya dalam meningkatkan unsur hara makro tanah terutama C-organik, N dan P, biomulsa A. pintoi memiliki potensi meningkatkan pertumbuhan dan produksi tanaman pada musim tanam berikutnya.

Berkaitan dengan pengaruhnya terhadap pertumbuhan dan produksi tanaman, beberapa penelitian terdahulu menunjukkan bahwa penggunaan penutup tanah termasuk A. pintoi memberikan pengaruh yang tidak konsisten terhadap pertumbuhan maupun produksi tanaman. Penelitian Samad et al. (2009) menunjukkan bahwa penggunaan A. pintoi dapat meningkatkan tinggi tanaman kentang. Hasil penelitian Sumarni et al. (2009) yang menggunakan kacang tanah (Arachis hypogea) dan kacang merah (Vigna angularis) sebagai penutup tanah pada tanaman mentimun menunjukkan bahwa penutup tanah Arachis hipogea tidak memberikan pengaruh yang berbeda dengan perlakuan tanpa penutup tanah (kontrol), sedangkan tanaman mentimun dengan penutup tanah Vigna angularis memiliki luas daun, bobot kering tanaman dan produksi yang lebih rendah dibandingkan dengan kontrol. Hasil penelitian Baharuddin (2010) menunjukkan bahwa penggunaan A. pintoi sebagai biomulsa dapat meningkatkan pertumbuhan dan produksi tanaman tomat yang tidak bereda nyata dengan perlakuan mulsa plastik. Penelitian Taufik et al. (2011), penggunaan A. pintoi mampu meningkatkan pertumbuhan tanaman lada dibandingkan dengan kontrol. Kemudian penelitian Santos et al. (2013) menunjukkan bahwa penggunaan LCC (A. pintoi, Macrotyloma axillare, Neonotonia wightii dan Calopogonium mucunoides) tidak memberikan pengaruh yang nyata pada pertumbuhan dan hasil tanaman kopi dibandingkan

Perlakuan Bobot Basah

Lahan datar 165.05 115.41 93.57 32.08b 1 699.10 8.50

Lahan miring 161.28 112.93 90.56 33.15a 1 650.81 8.25

Jenis mulsa

Tanpa mulsa tanpa penyiangan 154.51bc 107.67bc 87.23b 31.97bc 1 629.96bc 8.15

Tanpa mulsa dengan penyiangan 196.31a 135.86a 110.44a 34.66a 1 844.37a 9.22

Mulsa Plastik Hitam Perak 161.91bc 110.83bc 86.64b 32.28bc 1 629.84bc 8.15

Mulsa jerami 176.59ab 127.75ab 102.81a 33.68ab 1 733.60ab 8.67

(42)

26

dengan pengendalian manual maupun kimia. Penelitian Febrianto dan Chozin (2014) juga menunjukkan bahwa penggunaan biomulsa A. pintoi tidak memberikan pengaruh yang nyata terhadap pertumbuhan dan produksi tanaman tomat.

Ketidakkonsistenan tersebut diduga karena perbedaan pengelolaan pertumbuhan LCC atau biomulsa yang digunakan terutama dalam pengendalian pertumbuhan LCC di sekitar tanaman utama. Pada penelitian ini, untuk melihat pengaruh A. pintoi terhadap pertumbuhan dan produksi jagung, biomulsa A. pintoi dibiarkan tumbuh menutupi seluruh permukaan termasuk di sekitar tanaman jagung. Mengingat manfaat biomulsa yang besar, khususnya dalam konservasi tanah dan air, pengendalian gulma serta pengaruh residunya dalam peningkatan kesuburan tanah, perlu dicari teknologi pengendalian pertumbuhan A. pintoi agar dampak negatifnya terhadap tanaman utama dapat dikurangi.

KESIMPULAN DAN SARAN

Kesimpulan

Berdasarkan penelitian ini, dapat disimpulkan bahwa :

1. A. pintoi memiliki pertumbuhan yang lambat dengan rata-rata penutupan sebesar 58% pada 12 MST dengan laju asimilasi bersih (LAB) 0.0023 g cm-2 hari-1 dan laju pertumbuhan relatif (LTR) sebesar 0.052 g hari-1.

2. A. pintoi yang ditanam dengan stek mulai berakar pada pengamatan 3 MST dan menghasilkan bunga dan polong masing-masing pada 4 MST dan 7 MST. A. pintoi mampu membentuk bintil akar yang menunjukkan bahwa terjadi simbiosis antara A. pintoi dan bakteri Rhizobium lokal di lahan penelitian. 3. Penggunaan biomulsa A. pintoi dapat menekan laju erosi hingga lebih dari 70%

dibandingkan dengan perlakuan tanpa mulsa dengan penyiangan.

4. Penggunaan biomulsa A. pintoi pada pertanaman jagung di musim petama tidak efektif meningkatkan unsur hara makro tanah kecuali hara P.

5. Penggunaan biomulsa A. pintoi dapat menekan pertumbuhan gulma lebih dari 58% dibandingkan dengan tanpa mulsa tanpa penyiangan. Biomulsa A. pintoi efektif menekan gulma golongan daun lebar dan teki tapi tidak efektif menekan gulma golongan rumput.

Gambar

Gambar 1. Ruang lingkup penelitian
Gambar 2 Desain petakan erosi
Gambar 3 Rata-rata panjang dan jumlah akar tanaman  A. pintoi pada 1-12 MST
Gambar 6 Rata-rata Laju Tumbuh Relatif tanaman A. pintoi pada 3-12 MST
+7

Referensi

Dokumen terkait

Bagi petani yang akan melakukan budidaya tanaman jagung dan tanaman kacang tanah dalam sistem tanam tumpangsari dapat menggunakan waktu tanam kacang tanah ditanam

Telah dilakukan percobaan pola tumpangsari jagung/kacang tanah yang bertujuan untuk menentukan dosis Nitrogen (N) yang optimum bagi tanaman jagung pada berbagai jarak tanam dalam