• Tidak ada hasil yang ditemukan

Dampak pembentukan Kabupaten baru terhadap pemupukan modal sosial dan pertumbuhan ekonomi wilayah: kasus Wilayah Teluk Lewoleba Kabupaten Lembata Provinsi Nusa Tenggar Timur

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2017

Membagikan "Dampak pembentukan Kabupaten baru terhadap pemupukan modal sosial dan pertumbuhan ekonomi wilayah: kasus Wilayah Teluk Lewoleba Kabupaten Lembata Provinsi Nusa Tenggar Timur"

Copied!
167
0
0

Teks penuh

(1)

DAMPAK PEMBENTU

KABUPATEN BARU

TERNADAP PEMUPU

MODAL SOSIAL

DAN PERTUMBU

EKONOMI WILAYAN

Kasus Wilayah Pesisir Teluk Lewoleba

Kabupaten Lembata Provinsi Nusa Tenggara Timur

KRbSTOFORUS LABA

SEKOLAW PASCASARJANA

IPlTSTITUT PERT

N

BOGOR

(2)

SURAT PERNYATAAN

Saya menyatakan dengan sebenar-benarnya bahwa segala pernyataan dalam tesis yang berjudul:

DAMPAK PEMBENTUKAN KABUPATEN BARU TERHADAP PEMWUKAN MODAL SOSIAL

Kasus Wilayah Pesisir Teluk Lewoleba, Kabupaten Lembata, Provinsi Nusa Tenggara Timur

adalah benar merupakan hasil karya sendiri dan belum pernah dipublikasikan.

Semua sumber data dan informasi yang digunakan telah dinyatakan secara jelas dan dapat diperiksa kebenarannya.

Bogor, 2 1 Juni 2007 Yang menyatakan,

Kristoforus Laba

(3)

ABSTRAK

KRISTOFORUS LABA. Dampak Pembentukan Kabupaten Baru terhadap

Pemupukan Modal Sosial dan Pertumbuhan Ekonomi Wilayah, Kasus Wilayah Pesisir Teiuk Lewoleba, Kabupaten Lembata, Provinsi Nusa Tenggara Timur (Isang Gonarsyah sebagai Ketua dan D.S. Priyarsono sebagai Anggota Komisi Pembimbing).

Kabupaten Lembata merupakan hasil pemekaran dari Kabupaten Flores

Timur, Provinsi Nusa Tenggara Timur

(NIT).

Pembentukan Kabupaten Lembata

diharapkan dapat meningkatkan stok modal sosial yang diperlukan untuk mendorong dan menjaga keberlanjutan pertumbuhan ekonomi wilayah. Penelitian ini bertujuan untuk menganalisis dampak pembentukan Kabupaten Lembata terhadap pemupukan modal sosial dan pertumbuhan ekonomi wilayah di dua kecamatan di wilayah Kabupaten Lembata. Analisis data dilakukan secara deskriptif dan statistik uji beda nyata, serta analisis regresi. Temuan utama penelitian ini adalah pembentukan kabupaten baru berdampak positif terhadap pemupukan modal sosial dan pertumbuhan ekonomi wilayah. Di samping sumberdaya alam, stok modal sosial juga sangat menentukan keberhasilan pembangunan wilayah.

(4)

OHak cipta milik Institut Pertanian Bogor, tahun 2007

Hak cipta dilindungi

Dilarang meizgutip dart i?zemperbaizyak tanpa izin terfulis dari Institut Pertatlian Bogor, sebagian aiau selurrrlrnya dalam betztuk apaputt,

(5)

DAMPAK PEMBENTUKAN KABUPATEN BARU

TERHADAP PEMUPUKAN MODAL SOSIAL

DAN PERTUMBUHAN EKONOMI WILAYAH

Kasus Wilayah Pesisir Teluk Lewoleba Kabupaten Lembata Provinsi Nusa Tenggara Timur

KRISTOFORUS LABA

Tesis

Sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Magister Sains pada Program Studi Ilmu-ilmu Perencanaan Pembangunan Wilayah dan Perdesaan

SEKOLAH PASCASARJANA

INSTITUT PERTANIAN BOGOR

(6)

Judul Tesis : Dampak Pembentukan Kabupaten Baru terhadap Pemupukan Modal Sosial dan Pertumbuhan Ekonomi Wilayah (Kasus Wilayah Pesisir Teluk Lewoleba, Kabupaten Lembata, Provinsi Nusa Tenggara Timur)

Nama : Kristoforus Laba

Nomor Pokok : A15503001 1

Program Studi : Ilmu-ilmu Perencanaan Pembangunan Wilayah dan Perdesaan

Menyetujui,

1. Ko~nisi Pembimbing

Prof. Ir. Isang Gonarsvah. Ph.D Dr. Ir.

b.

S. Privarsono, MS

Ketua Anggota

Mengetahui,

2. Ketua Program Studi Ilinu-ilmu 3. Dekan Sekolah Pascasarjana

Perencanaan Pe~nbangunan Wilayah dan Perdesaan

Prof. Ir. Isang Gonarsyah, Ph.D

(7)

PRAKATA

Segala puji dan syukur penulis panjatkan kehadirat Tuhan Yang Maha Kuasa atas segala karuniaya, sehingga dapat menyelesaikan tesis dengan judul:

"Dampak Pembentukan Kabupaten Baru terhadap Pemupukan Modal Sosial dan Pertumbuhan Ekonomi Wilayah (Kasus Wilayah Pesisir Teluk Lewoleba, Kabupaten Lembata, Provinsi Nusa Tenggara Timur)". Tesis ini merupakan tugas akhir pendidikan magister sains pada Sekolah Pascasarjana Institut Pertanian Bogor.

Pada kesempatan ini penulis mengucapkan terima kasih yang sedalam- dalamnya kepada Prof. Ir. Isang Gonarsyah, PhD sebagai Ketua Komisi Pembimbing dan kepada Dr. Ir. D. S. Priyarsono, MS sebagai Anggota Komisi Pembimbing yang dengan tulus dan ikhlas telah meluangkan waktunya memberi bimbingan dan arahan serta memotivasi penulis sehingga dapat menyelesaikan tesis ini.

Kepada Dekan Sekolah Pascasarjana Institut Pertanian Bogor, Bapak Prof. Dr.

Ir.

Khairil Anwar Notodiputro, MS d m Ketua Program Studi Iimu-Ilmu Perencanaan Pembangunan Wilayah dan Perdesaan, Bapak Prof. Ir. Isang Gonarsyah, Ph.D, penulis mengucapkan terima kasih atas kesediaanya menerima penulis untuk mengikuti pendidikan magister serta segala bantuan dan kesempatan yang diberikan selama mengikuti pendidikan. Demikian juga penulis haturkan terima kasih kepada para Dosen PS. PWD atas bekal ilmu yang diberikan serta pandangan dan kekeluargaan yang terjalin selama ini.
(8)

seluruh keluarga dan rekan-rekan di Lewoleba dan Kupang, serta semua relawan yang telah membantu penulis ketika melakukan penelitian lapangan dan penulisan tesis, penulis sampaikan terima kasih yang tak terhingga. Ucapan terima kasih juga penulis sampaikan kepada rekan-rekan PS.PWD 2003 yang sulit disebut satu per satu atas kebersamaan yang terbina dalam meniti ilmu di bumi Pakuan. Kepada teman-teman: om Hasan, Mai, A.Lan, Bu Siti, Asdi, dan p.Yunus terima kasih atas bantuan, perhatian dan motivasi yang diberikan. Kepada warga komunitas RT 03 Kampung Gedong Ciampea serta keluarga Pondok Intan- Cibanteng, terima kasih saya ucapkan atas segala perhatian dan fasilitas yang diberikan selama tinggal dan menempuh pendidikan di Bogor. Kepada istri tercinta M. Emi Kusnawati, S.Sos. serta anak-anak tersayang Ius, Emilio, dan Satrio, karya ini ayah persembahkan atas kesabaran, dedikasi, dan segala pengorbanan kalian terhadap pendidikan ayah.

Akhirnya disadari tesis ini masih terdapat kekurangan yang disebabkan oleh keterbatasan penulis. Untuk kesempurnaannya kritik dan saran diharapkan, semoga tesis ini bermanfaat.

Bogor, Juni 2007

(9)

RIWAYAT WDUP

Penulis dilahirkan di Lembata, Provinsi Nusa Tenggara Timur pada tanggal 31 Oktober 1971 sebagai anak pertama dari sembilan bersaudara dari pasangan Bpk. Yohanes Duli Langobelen dan Ibu Theresia Ose Namang.

Pendidikan sekolah dasar ditempuh pada SD Inpres I Lewoleba dan tamat tahun 1983, pendidikan sekolah menengah pertama ditempuh pada SMP Negeri Lewoleba dan tamat tahun 1986 selanjutnya pendidikan sekolah menengah atas ditempuh pada SMA Negeri Lewoleba dan tamat tahun 1989. Pendidikan sarjana pada Jurusan Sosial Ekonomi Fakultas Pertanian Universitas Nusa Cendana Kupang dan tamat pada tahun 1994.

(10)

DAFTAR IS1

Hal

.

DAFTAR TABEL

...

DAFTAR GAMBAR

...

DAFTAR

LAMPIRAN

...

I

.

PENDAHULUAN

...

1.1. Latar Belakang

1.2. Perumusan Masalah

...

...

1.3. Tujuan Penelitian

...

1.4. Manfaat Penelitian

I1

.

TINJAUAN TEORITIS DAN PENELITIAN TERDAHULU

...

2.1. Definisi Modal Sosial

...

2.2. Klasifikasi dan Determinan Modal Sosial

...

2.3. Modal Sosial dan Pertumbuhan Ekonomi Wilayah

...

2.4. Pendekatan Ekonomi terhadap Modal Sosial

...

2.5. Pendekatan dalam Investasi Modal Sosial

...

2.6. Peranan Pemerintah dalam Pembentukan Modal Sosial

I11

.

METODOLOGI PENELITIAN

3.1. Kerangka Pemikiran

...

3.2. Hipotesis

...

3.3. Metode Penelitian

...

3.3.1. Lokasi dan Waktu Penelitian

...

3.3.2. Metode Penarikan Sampel

...

...

3.3.3. Jenis dan Sumber Data

3.3.4. Metode Analisis Data

...

3.3.4.1. Analisis Stok

Existing

Modal Sosial

...

3.3.4.2. Analisis Dampak Pembentukan Kabupaten Baru

terhadap Peningkatan Stok Modal Sosial dan Peningkatan Kesejahteraan Rurnahtangga

...

3.3.4.3. Analisis Dampak Pembentukan Kabupaten Baru

terhadap Pertumbuhan Ekonomi Wilayah

...

...

3.3.5. Definisi Operasion al
(11)

IV. HASIL DAN PEMBAHASAN

...

4.1. Keadaan Umum Lokasi Penelitian

...

4.2. Stok

kisting

Modal Sosial

...

4.2.1 .Dimensi Struktural Modal Sosial

4.2.1.1. Kepadatan Keanggotaan dalam Asosiasi

...

Lokal

...

4.2.1.2. Keragaman Keanggotaan

...

4.2.1.3. Partisipasi dalam Pembuatan Keputusan

...

4.3.1.4. Dukungan dalam Situasi Krisis

4.3.1.5. Derajat Pembatasan

...

4.2.2.Dimensi Kognitif

...

...

4.2.2.1. Derajat Kesetiakawanan

4.2.2.2. Kepercayaan

...

4.2.2.3. Kerjasama

...

4.2.2.4. Penyelesaian Konflik

...

...

4.2.3 .Aksi Kolektif

4.2.3.1. Tingkat Aksi Kolektif

...

4.2.3.2. Jenis Kegiatan Kolektif

...

4.2.3.3. Kesediaan

untuk

Berpartisipasi dalam Aksi Kolektif

...

4.3. Dampak Pembentukan Kabupaten

Baru

terhadap

Peningkatan Stok Modal Sosial dan Peningkatan

...

Kesejahteraan Rumahtangga

4.3.1. Dampak Pembentukan Kabupaten

Baru

terhadap Peningkatan Stok Modal

-

Sosial

...

4.3.2. Hubungan antara Peningkatan Stok Modal Sosial dengan Peningkatan Kesejahteraan

Rumahtangga

...

4.4. Dampak Pembentukan Kabupaten

Baru

terhadap

...

Pertumbuhan Ekonomi Wilayah

...

4.5. Pembahasan

V. SIMPULAN DAN SARAN

5.1.

Simpulan

...

5.2. Saran dan Implementasi Kebijakan

...

...

DAFTAR PUSTAKA..
(12)

DAFTAR TABEL

Nomor Hal

Kerangka Hubungan antara Pendapat Woolcock dan Narayan (2000) dengan Pendapat Grootaert dan van Bastaeler (2002)

...

11

Keadaan Umum Kecamatan Nubatukan, Kecamatan Ile Ape, dan Kabupaten Lembata, 2006

...

27 Stok Existing Modal Sosial di Kecamatan Nubatukan dan Kecamatan Ile Ape, Kabupaten Lembata, 2006

...

29 Dimensi Struktural Stok Existing Modal Sosial di Kecamatan Nubatukan dan di Kecamatan Ile Ape, Kabupaten Lembata, 2006

...

30 Kepadatan Keanggotaan dalam Asosiasi Lokal di Kecamatan Nubatukan dan di Kecamatan Ile Ape, Kabupaten Lembata, 2006

...

33 Keragaman Keanggotaan di dalam Tiga Asosiasi Lokal yang Paling Penting bagi Rumahtangga di Kecamatan Nubatukan dan di Kecamatan Ile Ape, Kabupaten Lembata, 2006.

...

35 Dimensi Kognitif Stok Existing Modal Sosial di Kecamatan Nubatukan dan di Kecamatan Ile Ape, Kabupaten Lembata, 2006

...

38 Stok Existing Aksi Kolektif di Kecamatan Nubatukan dan di Kecamatan Ile Ape, Kabupaten Lembata, 2006

...

42 Dampak Pembentukan Kabupaten Lembata terhadap Peningkatan Stok Modal Sosial di Kecamatan Nubatukan dan di Kecamatan Ile Ape, Kabupaten Lembata

...

45 Korelasi antara Peningkatan Stok Modal Sosiai dan Tingkat Kesejahteraan Rumahtangga di Kecamatan Nubatukan dan di

...

Kecamatan Ile Ape, Kabupaten Lembata 47

Koefisien Regresi (Model Agregat) Faktor-faktor yang Mempengaruhi Tingkat Kesejahteraan Rumahtangga di Kecamatan Nubatukan dan di Kecamatan Ile Ape, Kabupaten

...

Lembata 48

Koefisien Regresi (Model Disagregat) Faktor-faktor yang Mempengaruhi Tingkat Kesejahteraan Rumahtangga di Kecamatan Nubatukan dan di Kecamatan Ile Ape, Kabupaten

...

Lembata 48

Pertumbuhan Ekonomi Wilayah di Kecamatan Nubatukan dan di Kecamatan Ile Ape, serta di Kabupaten Lembata Tahun

...

(13)

DAFTAR GAMBAR

Nomor Hal

1. Laju Rataan Pertumbuhan Ekonomi Wilayah di Kecamatan Nubatukan, di Kecamatan Ile Ape, dan Kabupaten Lembata

Tahun 1997-1999 dan 1999-2001

...

3

2. Hubungan antara Penyebab Dasar Polarisasi Sosial dan

Indikator Modal Sosial

...

21

...

3. Skematik Kerangka Pemikiran 23

4. Pertumbuhan ~ k o n o m i Wilayah di Kecamatan Nubatukan, di Kecamatan Ile Aoe, dan di Kabuoaten Lembata Tahun 1997-

.

.

2004

...

5 1

5 . Rataan Pertumbuhan Ekonomi Wilayah di Kecamatan

Nubatukan, di Kecamatan Ile Ape, dan di Kabupaten Lembata dalam Tiga Periode Pembentukan Kabupaten Baru

...

52

6 . Dampak Pembentukan Kabupaten Lembata terhadap

Peningkatan Laju Rataan Pertumbuhan Ekonomi Wilayah di Kecamatan Nubatukan, di Kecamatan Ile Ape, dan di

(14)

Nomor 1.

DAFTAR

LAMPIRAN

Definisi Operasional, Pengukuran Variabel, dan Pengolahan Data

...

Perbandingan Beberapa Karakteristik Wilayah antara Kecamatan Ile Ape dan Kecamatan Nubatukan, Kabupaten

...

Lembata, 2002

Rumus Perhitungan Indeks Komposit Modal Sosial (BPS, Bappenas, UNDP 2004)

...

Model Logit Faktor-faktor yang Mempengaruhi Tingkat

...

Kesejahteraan Rumahtangga

Hasil Analisis Data dengan Program Aplikasi Minitab 13.1 untuk Regresi Model Logit dengan Peningkatan Stok Modal Sosial Agregat sebagai Variabel Penjelas terhadap Tingkat Kesejahteraan Rumahtangga di Kecamatan Nubatukan,

...

Kabupaten Lembata

Hasil Analisis Data dengan Program Aplikasi Minitab 13.1 untuk Regresi Model Logit dengan Peningkatan Stok Modal Sosial Disagregat sebagai Variabel Penjelas terhadap Tingkat Kesejahteraan Rumahtangga di Kecamatan Nubatukan,

...

Kabupaten Lembata

Hasil Analisis Data dengan Program Aplikasi Minitab 13.1 untuk Regresi Model Logit dengan Peningkatan Stok Modal Sosial Agregat sebagai Variabel Penjelas terhadap Tingkat Kesejahteraan Rumahtangga di Kecamatan Ile Ape, Kabupaten Lembata

...

Hasil Analisis Data dengan Program Aplikasi Minitab 13.1 untuk Regresi Model Logit dengan Peningkatan Stok Modal Sosial Disagregat sebagai Variabel Penjelas terhadap Tingkat Kesejahteraan Rumahtangga di Kecamatan Ile Ape, Kabupaten Lembata

...

(15)

I.

PENDAHULUAN

1.1. L a t a r Belakang

Kabupaten Lembata merupakan hasil pemekaran dari Kabupaten Flores Timur, Provinsi Nusa Tenggara Timur

(NTT)

berdasarkan UU No. 52 Tahun 1999. Kabupaten Lembata terdiri atas satu pulau, yaitu Pulau Lembata dengan

luas 1.166,39 km2 (Bappeda dan BPS Kabupaten Lembata 2002), yang tergolong

sebagai pulau kecil karena luasnya kurang dari 10.000 kmz dan jumlah penduduknya kurang dari 200.000 orang (batasan Surat Keputusan Menteri

Kelautan dan Perikanan No. 41 Tahun 2000 tentang Pedoman Umum Pengelolaan Pulau-pulau Kecil yang Berkelanjutan dan Berbasis Masyarakat).

Secara konseptual, pemanfaatan sebuah pulau kecil hendaknya berbasis pada konsemasi, yakni luas wilayah daratan yang dimanfaatkan untuk kegiatan

sosial ekonomi dan demografi hanya sekitar 50% dari total luas wilayah pulau (Bengen 2004). Untuk itu kepadatan penduduk pulau kecil seperti Pulau Lembata hendaknya tidak lebih dari 20 orang per km2, sehingga jumlah penduduk ideal

untuk pemanfaatan Pulau Lembata dengan basis konsemasi adalah 23.328 orang. Kenyataannya penduduk di Pulau Lembata pada tahun 2002 berjumlah 961763 orang. Dengan jumlah penduduk empat kali lebih besar dari batas ideal tersebut,

maka pemanfaatan ruang dan sumberdaya alam di dalam pembangunan ekonomi telah memberikan tekanan yang sangat tinggi terhadap keberlanjutan daya dukungnya terhadap pertumbuhan ekonomi wilayah. Tekanan penduduk ini terus

meningkat karena pertumbuhan penduduk yang tinggi, yaitu antara tahun 2000 dan 2002 mengalami pertumbuhan sebesar 7,88% (BPS Kabupaten Lembata 2002).

Pembentukan Kabupaten Lembata sebagai akibat dari pemekaran Kabupaten Flores Timur diharapkan dapat meningkatkan dan menjaga keberlanjutan pertumbuhan ekonomi wilayah. Dengan tekanan penduduk yang

relatif tinggi, maka pertumbuhan ekonomi Kabupaten Lembata akan mengalami stagnasi apabila hanya mengandalkan sumberdaya alam saja. Oleh karena itu,

(16)

juga diharapkan dapat meningkatkan stok modal sosial yang diperlukan untuk mendorong dan menjaga keberlanjutan pertumbuhan ekonomi wilayah. Peranan modal sosial terhadap pertumbuhan ekonomi wilayah ditegaskan oleh Grootaert (1998), yang menyatakan bahwa modal sosial dapat mendorong dan menjaga keberlanjutan pertumbuhan ekonomi wilayah.

Setelah pembentukan Kabupaten Lembata, wilayah pesisir Lewoleba yang mencakup Kecamatan Nubatukan dan Kecamatan Ile Ape dikembangkan menjadi kawasan pusat kegiatan perekonomian dan pemerintahan di Kabupaten

Lembata. Sekalipun bemda di dalam satu wilayah pengembangan, pertumbuhan ekonomi di kedua kecamatan itu sangat berbeda. Penelitian ini menelaah

bagaimana dampak pembentukan Kabupaten Lembata sebagai akibat dari pemekaran Kabupaten Flores Timur terhadap peningkatan stok modal sosial dan

pertumbuhan ekonomi di kedua wilayah kecamatan tersebut.

1.2. Perumusan Masalah

Kinerja perekonomian yang diukur dari PDRB riil tanpa migas yang disesuaikan pada tahun 2000, untuk Kabupaten Flores Timur adalah sebesar Rp 781.000 per kapita sedangkan Kabupaten Lembata jauh lebih rendah, yaitu

sebesar Rp 445.000 per kapita (BPS, Bappenas, UNDP 2004).

Laju pertumbuhan ekonomi di Kabupaten Lembata serta di Kecamatan Nubatukan dan di Kecamatan Ile Ape berkaitan dengan pembentukan Kabupaten

Lembata, sebagaimana disajikan di dalam Gambar 1, memperlihatkan bahwa

pertumbuhan ekonomi di Kabupaten Lembata pada tahun 1999 meningkat 21,00% dibandingkan dengan tahun 1997. Demikian pula pertumbuhan ekonomi di

Kecamatan Ile Ape mengalami lonjakan yang sangat tinggi (53,15%). Sebaliknya pertumbuhan ekonomi di Kecamatan Nubatukan justru mengalami penurunan sebesar 8,80%. Setelah pembentukan Kabupaten Lembata pada tahun 1999,

pertumbuhan ekonomi di Kecamatan Nubatukan jauh lebih tinggi dibandingkan dengan di Kecamatan Ile Ape dan di Kabupaten Lembata. Pertumbuhan ekonomi

(17)
[image:17.523.80.455.68.426.2]

di Kecamatan Ile Ape dan di Kabupaten Lembata menurun masing-masing sebesar -27.52% dan -8.60% (Bappeda dan BPS Kabupaten Lembata 2002).

Gambar 1. Laju Rataan Pertumbuhan Ekonomi di Kecamatan Nubatukan, di Kecamatan Ile Ape, dan di Kabupaten Lembata Tahun 1997-1999 dan 1999-2001.

Sayangnya, laju rataan pertumbuhan ekonomi yang lebih tinggi di Kecamatan Nubatukan setelah pembentukan Kabupaten Lembata sebagai hasil dari pemekaran Kabupaten Flores Timur jnstru diikuti dengan meningkatnya berbagai kegiatan ekonomi yang dapat menyebabkan kerusakan lingkungan di wilayah pesisir (antara lain, penebangan pohon bakau dan pengambilan karang laut), meningkatnya konflik pemanfaatan ruang pesisir (antara lain, konflik antara nelayan tangkap dengan petani rumput laut), dan berkurangnya kemampuan pemerintah dan masyarakat di Kecamatan Nubatukan untuk menyelesaikan konflik tersebut (Laba dan Rahman 2004).

(18)

1.3. Tujuan Penelitian

Penelitian ini bertujuan untuk menganalisis dampak pembentukan kabupaten baru sebagai akibat pemekaran kabupaten terhadap peningkatan stok modal sosial dan pertumbuhan ekonomi wilayah.

1.4. Manfaat Penelitian

(19)

11.

TINJAUAN TEORITIS DAN PENELITIAN

TERDAHULU

2.1. Definisi Modal Sosial

Modal sosial adalah konsep baru di dalam bidang ekonomi tetapi telah

lama berakar di dalam ilmu-ilmu sosial yang lain (Paldam dan Svendsen 2000a diacu Lene dan Svendsen 2000). Konsep modal sosial yang paling terkenal

dikemukakan oleh Putnam pada tahun 1993, yang melihat modal sosial sebagai sekumpulan "asosiasi horisontal" di antara orang-orang yang mempengaruhi produktivitas komunitas. Asosiasi ini mencakup jaringan dan norma sosial. Ada dua asumsi yang melandasi konsep ini. Pertama, jaringan dan norma secara

empirik saling berhubungan. Ke-dua, jaringan dan norma memiliki konsekuensi ekonomi yang penting. Modal sosial berperan dalam memfasilitasi kerjasama dan koordinasi untuk kemanfaatan bersama bagi anggota-anggota perkumpulan (Putnam 1993).

Modal sosial menjadi bermakna karena memiliki ciri yang dapat dibedakan dari bentuk modal yang lain, karena modal sosial adalah "sosial" dan

dapat dibedakan dari bentuk sosial yang lain karena modal sosial adalah "modal". Modal sosial dikatakan "sosial" karena mencakup kemampuan orang untuk

bersosialisasi. Modal sosial dapat menjadi sosial karena muncul dari interaksi dari berbagai pihak di luar pasar (non market interaction), namun memiliki pengaruh

ekonomi. Pengaruh ini tidak terinternalisasi ke dalam perhitungan para pelaku ekonomi yang tercermin dari harga pasar, atau dalam istilah ekonomi disebut sebagai eksternalitas. Modal sosial dicirikan oleh adanya eksternalitas, yakni:

inisiasi interaksi sosial selalu mengandung eksternalitas, interaksi sosial

mempunyai pengaruh ekonomi yang tidak dimediasi melalui pasar, dan biasanya pengaruh ekonomi itu bukan merupakan tujuan utama dari interaksi sosial, melainkan bersifat insidentil dan bahkan tidak direncanakan. Jadi modal sosial

adalah "sosial" apabila terdapat interaksi sosial yang berpengaruh terhadap

munculnya eksternalitas. Modal sosial dikatakan "modal" karena berpengaruh secara ekonomi. Interaksi sosial yang tidak menghasilkan manfaat ekonomi tidak

(20)

Modal sosial umumnya didefinisikan sebagai suatu kumpulan norma, jaringan, dan organisasi dengan mana orang-orang mendapatkan akses terhadap kekuasaan dan sumberdaya sebagai alat yang memungkinkan pengambilan keputusan dan perumusan kebijakan (Coleman 1988). Paldam (2000) yang diacu

Lene dan Svendsen (2000) menggambarkan modal sosial sebagai perekat yang

menyatukan masyarakat. Pendekatan teoritis terhadap modal sosial

dikelo~npokkan menjadi tiga, yakni: kepercayaan, kerjasama, dan jaringan. Dengan mengasumsikan bahwa kepercayaan memudahkan kerelaan untuk bekerjasama, ditunjukkan bahwa hubungan yang sama juga berlaku antara kepercayaan dan jaringan. Paldam menyimpulkan bahwa definisi dari jaringan akan lebih bermakna bila ditempatkan dalam definisi kepercayaan-kerjasama. Konsekuensinya, perekat sosial atau modal sosial dapat didefinisikan sebagai kepercayaan timbal-balik dalam suatu kelompok.

Portes (1998) mendefiniskan modal sosial sebagai kemampuan dari para pelaku untuk mendapatkan manfaat melalui keanggotaan di dalam jaringan sosial atau struktur sosial lainnya. Narayan (1998) memberikan definisi modal sosial sebagai norma dan hubungan sosial yang tertambat di dalam struktur sosial masyarakat yang memungkinkan orang-orang untuk mengkoordinasikan tindakan

dan mencapai tujuan bersama.

Dasgupta (1999) menguraikan tentang penggunaan dan interpretasi modal sosial dari latar belakang sosiologi, namun lebih menekankan pada latar belakang ekonomi. Pertama, modal sosial dapat dianalisis pada berbagai level masyarakat, yaitu pada level mikro (individu/rumahtangga/lingkungan), level meso (institusi-

institusi), dan level makro (level nasional). Ke-dua, Narayan dan Pritchett (2000) memisahkan literatur modal sosial ke dalam tiga aliran, yaitu: berkenaan dengan politik pada level negara (mencakup aspek pertumbuhan), fokusnya pada level

mezo (kehandalan institusi-institusi), dan modal sosial berperan di dalam mengatasi kegagalan pasar pada level mikro. Berkenaan dengan pengukuran,

(21)

dibangun oleh fungsi dari institusi, penegakan hukum, pemerintah, dan lain-lain. Disamping itu, modal sosial juga dibedakan atas dua dimensi, yakni dimensi struktural yang berfungsi memperlancar interaksi sosial, dan dimensi kognitif yang mempengaruhi/mendorong orang untuk bertindak dengan cara yang bermanfaat secara sosial.

Bank Dunia mendefinisikan modal sosial menurut dua versi. Pertama, modal sosial merujuk pada norma, institusi dan hubungan sosial yang membentuk kualitas interaksi sosial di dalam masyarakat. Ke-dua, modal sosial adalah norma, institusi, dan hubungan sosial yang memungkinkan orang dapat bekerja sama. Interaksi ini memungkinkan para pihak untuk memobilisasi lebih banyak sumberdaya dan mencapai tujuan bersama (Bank Dunia 2001). Kedua definisi menyatakan dengan jelas adanya kesamaan dalam variabel bebas (norma, institusi, dan hubungan sosial), namun berbeda dalam variabel terikatnya. Definisi pertama menunjuk kualitas interaksi sosial di dalam masyarakat sebagai variabel terikatnya, sedangkan pada definisi ke-dua, yang menjadi variabel terikatnya adalah peluang orang dapat bekerjasama. Lawang (2004) mendefinisikan modal sosial sebagai kekuatan sosial komunitas bersama modal-modal lainnya yang tertambat pada struktur sosial mikro, mezo, dan makro yang menentukan efisiensi dan efektifitas dalam pengentasan masalah.

Secara umum definisi modal sosial dicirikan oleh keterikatan modal sosial pada struktur sosial, sehingga kekuatan modal sosial sangat tergantung pada struktur sosial dimana modal sosial tertambat. Analisis modal sosial juga kemudian mengikuti level struktur sosial, sehingga dapat dilakukan pada level mikro, mezo, dan makro.

2.2. Klasifikasi dan Determinan Modal Sosial

(22)

memperoleh sumberdaya yang tidak dimiliki oleh si aktor. Sedangkan tindakan ekspresif dilakukan untuk mempertahankan sumberdaya yang telah ada pada si

aktor. Tindakan instrumental dapat menghasilkan tiga return, yaitu return ekonomi, politik dan sosial. Return ekonomi adalah kesejahteraan, termasuk

penghasilan, dan aset. Return politik direpresentasikan melalui posisi di dalam hirarki suatu perkumpulan. Return sosial adalah reputasi yang didefinisikan sebagai pendapat umum yang sesuailtidak sesuai tentang seseorang di dalam suatu

perkumpulan. Untuk tindakan ekspresif, modal sosial merupakan sesuatu yang berarti untuk mengkonsolidasi sumberdaya dan mencegah hilangnya sumberdaya yang dimiliki si aktor. Prinsipnya adalah menganalisis dan memobilisasi orang lain yang memiliki kepentingan dan kendali atas sumberdaya yang sama sehingga sumberdaya yang tertambat pada struktur sosial dapat disatukan dan dimiliki

bersama guna melindungi sumberdaya yang telah ada pada mereka. Return dari

tindakan ekspresif, yaitu: kesehatan fisik, kesehatan mental, dan kepuasan hidup. Return dari tindakan instrumental dan ekspresif sering memperkuat satu sama lain.

Modal sosial dapat dikelompokkan dengan membedakan bentuk interaksi sosial, tipe eksternalitas yang dihasilkan, dan mekanisme yang diinduksi untuk

menghasilkan modal sosial. Interaksi sosial terdiri atas interaksi satu arah (one-

way interaction) dan interaksi timbal-balik (reciprocal interaction). Menurut tingkatan kapasitas dalam keputusan kelompok, maka interaksi sosial dapat

dibedakan atas dua kelompok. Kelompok pertama, mencakup observasi dan

jaringan, yaitu bentuk interaksi sosial dengan tingkatan kapasitas yang lebih rendah. Kelompok ke-dua, bentuk interaksi sosial dengan tingkatan kapasitas

yang lebih tinggi di dalam pembuatan keputusan kelompok, meliputi hirarki dan klub. Secara umum, hirarki berkaitan dengan observasi, sementara klub berkaitan dengan jaringan. Sedangkan eksternalitas yang dihasilkan dari interaksi sosial

terdiri atas tiga, yaitu eksternalitas pengetahuan mengenai perilaku pihak lain, ekstemalitas pengetahuan mengenai lingkungan yang tidak berkaitan dengan

(23)

dari aksi kolektif, yaitu ketika aksi kolektif itu dapat mengatasi masalah penunggang gratis wee-riders). Modal sosial dapat dihasilkan melalui dua mekanisme, yaitu pengendalian (copying) yang dapat terjadi melalui interaksi sosial satu arah, dan penyatuan @ooling) yang dapat terjadi melalui interaksi sosial timbal balik (Collier 1998).

Falk dan Kilpatrick (2000), menyatakan bahwa modal sosial terbangun tidak saja dari knowledge resource tetapi juga identity resource. Knowledge resource mencakup informasi tradisi individu dan kolektif, keterampilan, nilai dan pola perilaku. Identify resource adalah persepsi masyarakat atau kelompok mengenai dirinya sendiri atau orang lain serta hubungannya dengan masyarakat atau kelompok yang lebih besar. Perspektif bersama mengenai masa depan dan hubungan saling percaya merupakan komponen penting dari identity resource. Knowledge dan identity resource dibangun dan di gunakan secara simultan melalui interaksi yang menguntungkan masyarakat dan anggotanya.

(24)

Pendapat dari beberapa ahli yang membedakan modal sosial ke dalam dimensi struktural dan kognitif terinspirasi oleh pandangan Coleman (1988), bahwa modal sosial bukanlah merupakan entitas tunggal melainkan terdiri atas sejumlah entitas dengan dua elemen yang sama, yaitu semuanya terdiri atas aspek struktur sosial, dan berfbngsi dalam memfasilitasi tindakan tertentu dari aktor

-

apakah individu atau badan hukum- di dalam struktur sosial itu.

Menurut Isham et a1 (1999) yang diacu Woolcock dan Narayan (2000), modal sosial dapat dibedakan ke dalam empat perspektif, yaitu: 1) pandangan

komunitarian (communitiarian view), menyamakan modal sosial dengan

organisasi pada level lokal (seperti asosiasi, klub, dan kelompok-kelompok

warga), 2) pandangan jaringan (nehvorh view), menekankan pentingnya asosiasi vertikal seperti halnya asosiasi horisontal, dan hubungan di dalam organisasi dan antar organisasi seperti kelompok-kelompok komunitas dan perusahaan. Dalam pandangan ini terdapat dua dimensi dasar dari modal sosial pada level komunitas, yaitu 'strong' intra-community ties ("bonds'? dan 'weak' extra-coniniunity ties

("bridges'?, 3) pandangan kelembagaan (the institutional view), menekankan bahwa jaringan komunitas dan masyarakat sipil, secara luas merupakan produk politik, undang-undang, dan lingkungan kelembagaan. Jika pandangan

komunitarian dan jaringan menempatkan modal sosial sebagai variabel bebas; maka pandangan kelembagaan meletakkan modal sosial sebagai variabel terikat,

4) pandangan sinergi (the synergy view), yaitu pandangan yang menggabungkan pandangan jaringan dan kelembagaan dengan asumsi bahwa tidak satupun pelaku pembangunan yang dapat berjalan sendiri dalam mengakses sumberdaya yang dibutuhkan untuk menciptakan pertumbuhan yang berkelanjutan dan berkeadilan,

sehingga pandangan ini memfokuskan pada hubungan di dalam dan di antara pemerintah dan masyarakat sipil.

Modal sosial juga dapat dinilai pada level mikro, mezo, dan makro. Pada level mikro, modal sosial dapat terlihat dalam bentuk jaringan horisontal antara

individu dan rumahtangga serta norma-norma yang mengatur hubungan itu dan

nilai-nilai yang melandasi jaringan horisontal ini. Pengamatan modal sosial

pads

(25)

diilustrasikan dengan pengelompokan asosiasi lokal menurut wilayah. Sedangkan pada level makro, modal sosial dapat diamati di dalam bentuk lingkungan kelembagaan dan politik yang mempengamhi seluruh kegiatan ekonomi dan sosial, serta kualitas dari pengaturan pemerintah. Pada level makro, modal sosial berkaitan dengan ekonomi kelembagaan yaitu kualitas insentif dan kelembagaan

yang merupakan faktor penentu utama dari pertumbuhan ekonomi (Grootaert dan Bastelaer 2002).

I

~ttbsritution

Sumber: Diolah dari Woolcock dan Narayan (2000), Grootaert dan Bastelaer (2002).

Tabel 1. Kerangka Hubungan antara Pendapat Woolcock dan Narayan (2000) dengan Pendapat Grootaert dan Bastelaer (2002).

2.3. Modal Sosial dan Pertumbuhan Ekonomi Wilayah

Penelitian modal sosial yang dilakukan oleh Putnam (1993), menunjukkan

Level Modal Sosial (Grootaert dan Bastaeler 2002) Mikro Meso Makro Mikro+ Meso+Makro

bahwa wilayah Italia Utara lebih kaya dibanding Italia Selatan. Perbedaan

tersebut berkaitan dengan struktur sosial yang ada di masing-masing wilayah.

Fokus Penilaian

Hubungan Horisontal (Bondinglikatan yang "kuat" di dalam organisasi dan kelompok

lokal)

Hubungan Vertikal (Bridginglikatan "lemah" antara satu komunitas dengan

komunitas lain)

Kekuatan Jaringan antar komunitas ditentukan oleh

Lingkungan politik, UU, dan kelembagaan.

Hubungan di dalam dan di antara Masyarakat dan Pemerintah, dapat

berbentuk: Complententaty

Wilayah Italia Utara memiliki struktur sosial horisontal sedangkan struktur sosial

di wilayah Italia Selatan lebih berbentuk hirarkhi. Modal sosial diukur dari indeks perluasan civic comntunity, keterlibatan warga negara dan efisiensi pemerintah.

Pandangan Mengenai Modal Sosial

(Woolcock dan Narayan 2000)

The Conrntlrnitarian view

Modal sosial merupakan variabel bebas The Network view

Modal sosial merupakan variabel bebas The Inslilutional vieiv

Modal sosial merupakan variabel terikat The Synegty viev:

[image:25.530.68.458.176.667.2]
(26)

Putnam menggunakan pengukuran modal sosial untuk menjelaskan perbedaan laju dan tingkat pertumbuhan ekonomi antara kedua wilayah. Perbedaan lainnya

diasumsikan tidak terlalu besar. Hasil penelitian menunjukkan konvergensi lebih cepat dan keseimbangan pendapatan terjadi pada tingkat yang lebih tinggi di wilayah dengan modal sosial yang lebih besar.

Selain di Italia, terdapat bukti-bukti bahwa modal sosial memberikan kontribusi terhadap pertumbuhan ekonomi di wilayah lain. Hasil penelitian Christoforou (2003) menunjukkan bahwa modal sosial berperan di dalam

memperkokoh pertumbuhan ekonomi di Yunani. Modal sosial dalam penelitian tersebut merujuk kepada hubungan sosial yang berdasarkan norma, jaringan kerjasama dan rasa percaya mempengaruhi pasar dan pemerintah dalam menguatkan collective action antar pelaku dan memperbaiki pertumbuhan dan

efisiensi sosial. Regresi dilakukan terhadap indeks keanggotaan individu. Selain

itu, juga dilakukan regresi antara pendapatan perkapita masyarakat dan indeks keanggotaan masyarakat. Selanjutnya dikatakan bahwa tradisi kevvargaan yang rendah menghambat reformasi dan pembangunan di Yunani. Perilaku partisipasi masyarakat tidak saja ditentukan oleh determinan individu tetapi juga determinan

agregat dari modal sosial. Peningkatan dalam tingkat pendidikan dan kesempatan

kerja akan meningkatkan intensif untuk berpartisipasi dalam kelompok sehingga menguatkan stok modal sosial.

Hubungan positif antar modal sosial terutama dalam bentuk rasa saling percaya dan aktivitas organisasi terhadap pertumbuhan ekonomi wilayah juga di

tunjukkan oleh Beugelsdijk dan Schaik (2003) di 54 negara Eropa pada kurun waktu 1950-1998. Berdasarkan hasil analisis diketahui bahwa aktivitas organisasi

(associational activity) berhubungan secara positif dengan perbedaan pertumbuhan ekonomi wilayah. Oleh karena itu, hasil penelitian Putnam di Italia

dapat digeneralisasi. Hasil penelitian juga menyatakan bahwa tidak hanya keberadaan jaringan kerjasama saja yang memacu pertumbuhan ekonomi wilayah

(27)

mengujinya. Modal sosial dibedakan atas bonding dan bridging sesuai dengan pendapatan Putnam. Hasil penelitiannya menunjukkan bahwa modal sosial yang lebih tinggi dapat mendongkrak (crowd out) pertumbuhan ekonomi wilayah.

Semakin kuat modal sosial yang bersifat bridging akan menguatkan pertumbuhan ekonomi karena partisipasi dalam jaringan kerja interkomunitas mengurangi insentif untuk melakukan kegiatan rent seeking dan berlaku curang.

Menurut Grootaert dan Bastaeler (2002) modal sosial mempengaruhi pertumbuhan ekonomi dengan memperlancar transaksi di antara individu,

rumahtangga, dan kelompok di negara-negara berkembang. Pengaruhnya dalam tiga bentuk, yaitu: 1) melalui partisipasi individu di dalam jaringan sosial, maka meningkatkan informasi yang diperolehnya dan mengurangi biaya informasi.

Kemiskinan salah satunya disebabkan oleh informasi yang tidak sempurna, 2) partisipasi di dalam jaringan lokal dan sikap saling percaya memudahkan kelompok-kelompok untuk mencapai keputusan kolektif dan mewujudkan aksi

kolektif sehingga menjamin akses terhadap sumberdaya, 3) jaringan dan aturan mengurangi perilaku "opportunistic" oleh anggota komunitas, sehingga modal sosial dapat mengontrol perilaku menyimpang dari individu.

Knack dan Keefer (1997) telah melakukan investigasi lintas negara di 29 negara untuk mengukur kinerja perekonomian menggunakan indikator kepercayaan dan norma dengan data yang berasal dari World Valzres Survey

(WVS). Penelitian ini menemukan bahwa kepercayaan dan norma warga dapat berpengaruh secara langsung maupun tidak langsung terhadap kinerja perekonomian yang lebih baik, yakni: 1) pengaruh langsung dari kepercayaan dan

norma terhadap kinerja perekonomian. Masyarakat yang memiliki saling percaya yang kuat, tidak hanya memiliki insentif yang lebih kuat untuk melakukan inovasi dan mengakumulasi modal fisik, tetapi juga mendapat hasil yang lebih tinggi di

dalam akumulasi modal manusia. Sedangkan norma dapat dikaitkan dengan hasil-hasil ekonomi, yaitu norma yang dilaksanakan bersama-sama akan

menghalangi kepentingan pribadi yang sempit, dan mengarahkan orang untuk

(28)

ekstemalitas negatif yang menimpa pihak-pihak yang tidak terlibat, 2) secara tidak langsung, kepercayaan dan norma mempengaruhi kinerja perekonomian melalui jaiur politik. Kepercayaan dan norma dapat memperbaiki kinerja pemerintah dan kualitas kebijakan ekonomi melalui peningkatan partisipasi masyarakat di dalam politik. Norma dapat membantu warga sebagai principals untuk melakukan aksi

kolektif di dalam memantau kinerja pejabat pemerintah (agents). Sedangkan kegiatan berasosiasi tidak berhubungan dengan kinerja perekonomian- bertentangan dengan temuan Putnam (1993) di Italia.

Narayan dan Princhett (1999) menunjukkan fakta empirik bahwa karateristik sosial desa, khususnya kerapatan jaringan horisontal dari asosiasi mempengaruhi penghasilan individu. Penelitian ini menggunakan instrumen survey, the Social Capital and Prover@ Survey (SCPS), yang ditujukan untuk menggambarkan aspek kehidupan desa. Rumah tangga yang menjadi responden dipilih secara random cluster. Data tiga dimensi modal sosial dikumpulkan

melalui: keanggotaan dalam kelompok, karateristik kelompok dimana

rumahtangga berpartisipasi sebagai anggota, serta nilai dan perilaku individu khususnya pemahaman mengenai definisi, rasa percaya dan persepsinya terhadap

kohesi sosial.

Penelitian mengenai peran modal sosial terhadap kesejahteraan rumah tangga di Indonesia dilakukan oleh Grootaert e l a1 (1999) di tiga propinsi yaitu

Jambi, Jawa Tengah dan Nusa Tenggara Timur. Penelitian dibatasi pada modal sosial di tingkat mikro (individu, rumah tangga) dan mezo (komunitas). Definisi

yang digunakan mencakup asosiasi horisontal dan vertikal. Tujuan penelitian ini adalah untuk menginvestigasi secara empirik hubungan antara modal sosial,

kesejahteraan rumah tangga dan kemiskinan di Indonesia. Selain itu juga ingin diperbandingkan antar peran htrnzan capital dan modal sosial dalam upaya

peningkatan kcsejahteraan tersebut. Data dianalisis menggunakan analisis

multivariat untuk mengetahui sejauhmana institusi lokal mempengaruhi

kesejahteraan rumah tangga dan kemiskinan serta menentukan akses ke jasa. Untuk menentukan variabel-variabel yang berkaitan erat dengan modal sosial

(29)

ditemukan bahwa variabel yang digunakan untuk mengukur modal sosial adalah kerapatan organisasi, heterogenitas dan partisipasi dalam pengambilan keputusan. Hasil penelitian menunjukkan bahwa peran modal sosial dalam peningkatan kesejahteraan hampir sama dengan peran sumber daya manusia. Selain itu,

ditemukan ada korelasi positif antara modal sosial dan kesejahteraan rumah tangga dimana rumahtangga dengan modal sosial tinggi memilliki pengeluaran

per kapita lebih tinggi, memiliki aset dan tabungan lebih banyak dan akses kepada kredit yang lebih baik. Sayangnya determinan modal sosial dalam penelitian ini masih ditentukan dalam variasi yang sangat terbatas hanya mempertimbangkan kerapatan keanggotaan, heterogenitas, partisipasi, kehadiran dan orentasi individu. Peneliti lain yang juga melakukan penelitian di Indonesia adalah Kinven dan Pierce (2002) khususnya meneliti mengenai rekonstruksi rasa saling percaya antar masyarakat setelah adanya konflik di Maluku. Penelitian ini hanya

menekankan pada rasa saling percaya dan hasilnya menunjukkan bahwa membangun rasa percaya dapat dilakukan melalui mediasi pihak ketiga dan penyediaan ruang-ruang untuk melakukan aktivitas bersama. Namun yang

terpenting adalah penciptaan pengelolaan pemerintahan yang lebih demokratis dan transparan serta memiliki akuntabilitas yang tinggi.

Miguel et a1 (2002) menguji dampak industrialisasi terhadap modal sosial selama tahun 1985 hingga 1997, menemukan bahwa kabupaten dengan tingkat industiralisasi tinggi memiliki modal sosial yang lebih tinggi dibandingkan

kabupaten di sekitamya. Artinya kemajuan ekonomi justru mendorong bertambahnya modal sosial di suatu wilayah. Temuan ini bertentangan dengan penelitian Putnam (1993) yang menyimpulkan bahwa modal sosial yang lebih

tinggi akan mendorong pertumbuhan ekonomi.

2.4. Pendekatan Ekonomi terhadap Modal Sosial

Untuk kepentingan pemodelan mekanisme investasi di dalam modal sosial, maka pandangan ekonomi membedakan modal sosial atas dua, yaitu modal

(30)

ekonom melihat bahwa terdapat perbedaan perilaku antar individu yang tidak dspat dijelaskan dengan basis kelompok atau komunitas. Modal sosial individu didefinisikan sebagai karakteristik sosial dari orang-termasuk keterampilan sosial,

karisma- yang memungkinkan individu untuk mendapatkan market return

maupun non-market return dari interaksi dengan orang lain. Sehingga modal sosial dapat dipandang sebagai komponen sosial dari hutnan capital, dengan mengasumsikan modal sosial individu mencakup kemampuan intrinsik (misalnya ekstrovert dan karismatik), dan sebagai hasil dari investasi di dalam modal sosial.

Dalam praktek keduanya sulit dibedakan sehingga keduanya digabungkan (Glaeser et a1 2001).

Ketetapatan prediksi dari model ekonomi tidak sebaik secara empirik, sehingga untuk mengatasi kegagalan dari model ini, maka dibahas kemungkinan

apakah keterampilan sosial diperlukan untuk mengatasinya atau melengkapi bentuk-bentuk lain dari huntan capital. Dengan cara ini, maka pendekatan

ekonomi terhadap modal sosial menjadi lebih sesuai secara empirik (Glaeser et a1 2001).

Glaeser et a1 (2001) mengemukakan terdapat hubungan yang berarti di

antara variabel-variabel modal sosial, misalnya keanggotaan di dalam organisasi,

dengan dampak-dampak (outcontes) ekonomi yang penting. Bebarapa penelitian

yang dijadikan acuan adalah: 1) Putnam (1993) mendasari penelitiannya

mengenai modal sosial ketika dia melihat ada hubungan yang kuat antara kadartderajat kesepakatan bersama dengan kualitas pemerintah di antara wilayah utara dan selatan di Italia, 2) Knack dan Keefer (1997) menemukan bahwa

terdapat korelasi positif antara rasa saling percaya pada level negara dengan pertumbuhan ekonomi, 3) La Porta et al. (1997) menemukan bahwa kadar saling percaya meningkat (1,0), maka efisiensi pengadilan meningkat (0,7) dan korupsi

berkurang (0,3), 4) Goldin dan Katz (1999) membuktikan bahwa modal sosial di American Midwest memfasilitasi meningkatnya jumlah sekolah tinggi, 5) Greif (1993) mengatakan bahwa para ekonom memahami bahwa interaksi sosial yang bemlang-ulang dapat memainkan peranan di dalam memecahkan masalah free

(31)

berulang-ulang (Abreu 1988, Fudenberg dan Maskin 1986, Kreps et al. 1982) menjelaskan mengapa kerjasama akan menjadi lebih mudah ketika individu- individu menginginkan interaksi yang lebih sering di masa yang akan datang, 7) Arrow (1972) menemukan bahwa hubungan sosial dapat menggantikan struktur legal yang hilang atau terlalu memakan biaya di dalam memperlancar investasi dan transaksi keuangan yang lain.

Glaeser et al (2001) menemukan bahwa secara empirik, hanya sebagian kecil dari keragaman modal sosial yang terobservasi dapat dijelaskan oleh

variabei-variabel pada level kelompok. Bukti ini menunjukkan bahwa petunjuk dari kelompok yang terobservasi tidak sesuai untuk mejelaskan secara baik variasi di dalam modal sosial, sehingga mendorong untuk menggunakan pendekatan ekonomi yang bebasis individu. Pendekatan ekonomi menghasilkan sejumiah

prediksi yang hampir semuanya berasal dari data empirik, yakni: 1) modal sosial bertambah dan berkurang sejalan dengan bertambahnya umur, mobilitas akan mengurangi return modal sosial dan investasi modal sosial, individu yang bekerja

dengan keterampilan sosial relatif mengakumulasi modal sosial yang lebih besar lagi, dengan memiliki rumah akan mengurangi mobilitas dan meningkatkan

investasi di dalam lingkungan-modal sosial yang spesifik (DePasquale dan Glaeser 1999). Jarak fisik dan biaya perjalanan mengurangi hubungan sosial (Glaeser dan Sacerdote 1999, Putnam 2000), variasi di dalam toleransi antara

individu menghasilkan reducedfor~n korelasi antara akumulasi modal sosial dan investasi modal sosial di dalam modal yang lain, termasuk pendidikan (Nie et al.

1996, Helliwell dan Putnam 1999).

2.5. Pendekatan dalarn Investasi Modal Sosial

Pendekatan ekonomi menggunakan model sederhana dari investasi di dalam

modal sosial yang hampir identik dengan model-model standar di dalam investasi modal fisik dan modal manusia. Sekalipun demikian, modal sosial diperlakukan

(32)

sosial dengan asumsi (Glaeser et a1 2001) modal sosial individu diperlakukan sebagai sebuah variabel stok, S; modal sosial agregat per kapita dinyatakan

n

sebagai sebuah variabel stok S yaitu variabel yang diukur pada waktu tertentu, bukan per satuan waktulperiode; setiap individu menerima aliran utilitas per

n n

periode, S

*

R(S) dimana R(S) adalah sebuah fungsi yang terdiferensiasi dengan modal sosial agregat per kapita sebagai argumennya; aliran hasil yang diterima

n

S

*

R(S) mencerminkan hasil yang diterima dari pasar maupun bukan dari pasar; hasil yang diterima dari pasar dapat mencakup upah yang lebih tinggi atau prospek pasar yang lebih baik bagi orang-orang yang secara sosial memiliki

kompetensi; hasil yang diterima dari luar pasar dapat mencakup perbaikan di dalam komunitas, atau kesehatan atau kebahagiaan yang langsung dirasakan;

R1(S)20

artinya terdapat hubungan saling melengkapi secara positif di antara

orang-orang, sehingga tidak mendapat apa-apa jika melakukan sendiri-sendiri,

sehingga stok modal sosial mengikuti kendala anggaran dinamik,

S,+L

= " 1 + ' 8

dimana :

-

St = stok modal sosial yang terakumuiasi

-

6 = faktor penyusutan

-

1-6 = tingkat penyusutan

-

1, = tingkat investasi, mempunyai biaya waktu C(IJ, dimana C(.)

meningkat dan cembung (convex)

-

w = biaya terluang dari waktu, menyatakan tingkat upah atau nilai dari waktu bersantai jika suplai tenaga keda adalah in-elastis.

Dengan menasumsikan bahwa masa hidup individu T dan mereka

mendiscozmt masa depan dengan Discozrnt Factor

P,

peluang individu tinggal di

komunitas adalah 8, ketika sesesorang pindah, maka nilai modal sosialnya

menyusut secara diskrit sebesar h, maka faktor penyusutan akibat mobilitas sbesar

(33)

s . t .

S,,,

=

6 @ S ,

+

I , ,

V ,

Persamaan tersebut menggambarkan perubahan stok modal bersama dengan

penyusutan yang terjadi dari mobilitas yang diharapkan. Individu

n

memaksimumkan fungsi tujuannya, dengan mengambil modal sosial agregat, S,

yang tetap. First Order Condition (FOC) yang berhubungan dengan

pernasalahan investasi dinyatakan sebagai:

Hasil komparatif statik dari FOC di atas memberikan makna, bahwa

investasi modal sosial individu akan meningkat dengan, berkurang dengan adanya

mobilitas

4

dan biaya terluang dari waktu w

,

dengan tingkat penyusutan (1

-4,

dengan umur t, serta meningkat discount factor

P ,

dengan adanya hasil dari

pekerjaan yang dilakukan dengan keterampilan sosial R(*), di dalam komunitas

A

dengan modal sosial agregat yang lebih banyak S , ketika modal sosial adalah

less com~nunity specific,

4.

as

-=- C'((l -')') dimana

-

as

merupakan perubahan dari modal

aw

(1

-

6)wc"((l- 6 ) s ) '

aw

sosial individu dengan adanya perubahan di dalam biaya terluang dari waktu.

Jika T infinitif, dan pada tingkat steady state dari modal sosial, I = (I -6)S,

ketika tingkat upah individu berubah (dan tingkat modal sosial komunitas konstan):

1

dimana:

-

as

adalah pengganda sosial (social niztltiplier).

1--

(34)

2.5. Peranan Pemerintah dalam Pembentukan Modal Sosial

Pemerintah lokal dapat membantu pembentukan modal sosial (Warner 2001). Menurut Narayan (1999) terdapat dua fungsi dari lembaga pemerintahan, yaitu: 1) lingkungan pemerintah secara menyeluruh yang mendorong penegakan hukim, hak-hak warga dan kebebasan berkumpul, karena ini menghasilkan norma-norma sosial yang mempengaruhi muncul/lahir dan berkembangnya kelembagaan masyarakat, 2) aspek kompetensi, kewibawaan, sumberdaya dan akuntabilitas dari organisasi pemerintah yang bekerja di dalam seluruh lingkungan pemerintahan.

Keterkaitan antara masyarakat sipil (misalnya jaringan komunitas) dan lingkungan kelembagaan (misalnya pemerintah lokal) merupakan ha1 kritis di dalam memahami modal sosial dan perannya di dalam meningkatkan partisipasi masyarakat (Killerby 2001). Pandangan Killerby ini di dasarkan pada bukti dari temuan Fukuyama (1995), yaitu tingkat modal sosial masyarakat yang tinggi akan memperlancar terbentuknya kelembagaan yang efektif. Jadi lingkungan politik dapat mendorong atau menghambat organisasi lokal dan partisipasi (Grootaert 1998), dan menyediakan lingkungan yang lebih baik bagi berkembangnya modal sosial masyarakat sipil (Knack dan Keefer 1997).

Untuk menganalisis sifat interaksi dari negara-masyarakat, Evans (1996) mengintroduksi gagasan tentang sinergi antara aksi pemerintah dan warga. Sinergi ini didasarkan pada comple~tzentary and embeddedness. Complementary

(35)

usaha "top-down" adalah mengintroduksi, menjaga kerbelanjutan, dan melembagakan pendekatan "bottorn-up'' di dalam pembangunan.

Conlroi of c~rz'ption

Penyebabdasar Polarisasi Sorial: Politimlslobiii@

Bahasa yang berbeda Insti11,Iionol efftc~iveness

-

Elnik yang berbeda Budaya yang berbeda Nilai-nilai yang berbeda

Income yang berbeda Ketidakstabilan komunitas Tekananpolitik

Civil socioi copilol Generolired lrmt Coop~ralive nor!ns

[image:35.533.74.459.130.312.2]

Nehvorks ofossociation

Gambar 2. Hubungan antara Penyebab Dasar Polarisasi Sosial dan Indikator Modal Sosial

Mengacu kepada pendapat-pendapat di atas, maka disimpulkan bahwa pemerintah dapat berperan dalam meningkatkan stok modal sosial dengan cara menggabungkan pendekatan "top down" dan pendekatan "bottonz-up" di dalam

(36)

111. METODOLOGI PENELLTIAN

3.1. Kerangka Pemikiran

Perbedaan struktur sosial dan posisi individu di dalam struktur sosial, dan perbedaan stok kepercayaan dan norma sebagai aset kolektif menimbulkan variasi dalam akses terhadap kepercayaan dan norma, sehingga menyebabkan defisit modal sosial dan returnnya yang berakibat pada ketidakmerataan modal sosial (Lin 2001). Ketidakmerataan modal sosial mendorong pembentukan kabupaten baru, sehingga diharapkan dapat mengurangi ketidakmerataan modal sosial, karena dapat mendorong mobilisasi modal sosial. Mobilisasi modal sosial dapat meningkatkan stok modal sosial sehingga memfasilitasi tindakan instrumental, yang dapat menghasilkan return ekonomi dalam bentuk kesejahteraan masyarakat dan pertumbuhan ekonomi wilayah.

Karena pembentukan kabupaten baru dapat meningkatkan stok modal sosial, maka dapat mengatasi penyebab dasar polarisasi sosial sebagaimana ditegaskan oleh Killerby (2001), dan meningkatkan stok kepercayaan dan norma sehingga dapat mengurangi penyebab dasar ketidakmerataan modal sosial sebagaimana ditegaskan oleh Lin (2001). Kerangka hububungan antara peningkatan stok modal sosial sebagai dampak pembentukan kabupaten baru dengan peningkatan kinerja ekonomi, dibangun dengan mengacu kepada Knack dan Keefer (1997) dan Putnam (1993), sedangkan hubungannya dengan peningkatan kesejahteraan masyarakat, mengacu kepada Lin (2001), Grootaert dan Bastelaer (2002), serta Grootaert et a1 (1999).

(37)

individu di dalam struktur sosial, Putnam (1993) menemukan bahwa wilayah

dengan modal sosial yang lebih besar memperlihatkan kinerja ekonomi yang lebih tinggi.

Tampaknya konsep mobilisasi modal sosial dapat diterapkan untuk menghubungkan dampak pembentukan kabupaten baru terhadap peningkatan kesejahteraan masyarakat (Lin 2001). Informasi yang tidak sempurna merupakan salah satu penyebab kemiskinan, sehingga meningkatnya partisipasi individu di dalam jaringan sosial dan sikap saling percaya dapat mengurangi biaya informasi,

meningkatkan akses terhadap informasi dan sumberdaya, serta mengontrol perilaku menyimpang dari individu (Grootaert dan Bastaeler 2002). Secara empirik, stok modal sosial yang meliputi kepadatan organisasi, heterogenitas

keanggotaan, dan partisipasi dalam pengambilan keputusan berkorelasi positif dengan kesejahteraan rumah tangga (Grootaert et a1 1999).

Oleh karena itu, diduga wilayah dengan stok modal sosial yang tinggi

akan memiliki laju pertumbuhan ekonomi wilayah dan peluang peningkatan kesejahteraan masyarakat yang lebih tinggi dibandingkan dengan wilayah yang

[image:37.533.68.459.278.665.2]

memiliki stok modal sosial yang rendah. Secara skematik, kerangka pemikiran disajikan di dalam Gambar 3.

(38)

3.2, Hipotesis

Berdasarkan kerangka pemikiran, maka hipotesis utama penelitian adalah pembentukan kabupaten baru berdampak positif terhadap peningkatan stok modal sosial dan pertumbuhan ekonomi wilayah.

3.3. Metode Penelitian

3.3.1. Lokasi d a n Waktu Penelitian

Penelitian lapangan dilaksanakan di Kecamatan Nubatukan (Kelurahan Lewoleba Tengah dan Lewoleba Timur) dan Kecamatan Ile Ape (Desa

Laranwutun dan Desa Petuntawa) Kabupaten Lembata selama enam bulan, yaitu mulai Bulan September 2005 sampai dengan Bulan Maret 2006.

3.3.2. Metode Penarikan Sampel

Sampel penelitian adalah rumahtangga yang dipilih dengan menggunakan

teknik penarikan sampel secara bertahap. Tahap pertama adalah penentuan secara sengaja dua desdkelurahan sampel di setiap kecamatan dengan pertimbangan satu desalkelurahan berada di wilayah pusat kecamatan, sedangkan satu desdkelurahan lainnya tidak berada di wilayah pusat kecamatan. Tahap selanjutnya penentuan

secara sengaja dua dusun1RW sampel di masing-masing desakelurahan dengan pertimbangan satu dusun/RW dekat dengan pantai dan satu dusunIRW Iainnya jauh dengan pantai, sehingga diperoleh empat dusun dan empat RW. Tahap

terakhir penarikan sampel rumahtangga secara acak. Jumlah sampel acak rumahtangga ditentukan dengan kuota 10 rumahtangga untuk tiap-tiap dusun/RW sampel sehingga total rumahtangga sampel adalah 80 rumahtangga.

3.3.3. Jenis d a n Sumber Data

Data yang dikumpulkan dalam penelitian ini meliputi data primer dan

sekunder. Data primer adalah data cross section modal sosial, diperoleh melalui wawancara terstruktur menggunakan kuisioner dan wawancara mendalam dengan

(39)

sampai dengan 1998, dan PDRB ADHK 1993 Provinsi NTT tahun 1994 sampai dengan 2003, serta PDRB ADHK 1993 Kabupaten Lembata tahun 1998 sampai dengan 2004. Data sekunder diperoleh dari Kantor Bappeda Kabupaten Lembata

dan BPS Kabupaten Lembata serta BPS Provinsi NTT.

3.3.4. Metode Analisis Data

3.3.4.1. Analisis Stok Existing Modal Sosial

Analisis modal sosial yang ada pada saat penelitian dilaksanakan (kondisi

existing), dimulai dengan menghitung indeks komposit modal sosial untuk

mengetahui stok existing modal sosial dengan menggunakan rumus sebagairnana

disajikan di dalam Lampiran 3, dilanjutkan dengan median indeks modal sosial untuk mengetahui perbandingan stok modal sosial antara kedua kecamatan.

3.3.4.2. Analisis D a m p a k Pembeutukan Kabupaten Baru terhadap

Pemupukan Modal Sosial

Analisis diawali dengan uji beda dua proporsi untuk mengetahui dampak

pembentukan kabupaten baru terhadap peningkatan stok modal sosial di masing- masing kecamatan. Selanjutnya, analisis korelasi antara peningkatan stok modal sosial dengan peningkatan kesejahteraan rumahtangga, dan regresi model logit (Thomas 1997), dengan menggunakan dua model yang berbeda, yaitu dengan model agregat dan model disagregat dari modal sosial. Model agregat artinya data indeks tunggal modal sosial, sedangkan model disagregat menggunakan data indeks dimensi struktural, dimensi kognitif, dan aksi kolektif. Uji kebaikan model

menggunakan chi-sqzrare pada Hosn~er and Len~eshow Test, dilanjutkan dengan uji hipotesis untuk mengetahui pengaruh peningkatan stok modal sosial secara

agregat dan disgregat terhadap peningkatan kesejahteraan rumahtangga. Model

logit disajikan di dalam Lampiran 4.

3.3.4.3. Analisis Dampak Pembentukan Kabupaten Baru terhadap

Pertumbuhan Ekonomi Wilayah

Analisis diawali dengan menghitung rataan pertumbuhan ekonomi wilayah

(40)

pembentukan kabupaten baru secara dejztre, dan periode pembentukan kabupaten baru secara defacto. Selanjutnya menghitung dampak pembentukan kabupaten baru terhadap peningkatan laju rataan pertumbuhan ekonomi wilayah, meliputi dampak dejztre, dampak defacto, dan dampak total.

3.3.5. Definisi Operasional

a. Modal sosial adalah kekuatan sosial yang terdapat di dalam suatu komunitas

rukun warga (RW) atau dusun, tertambat pada struktur sosial mikro, yang telah dimanfaatkan atau telah dinilai sebagai modal oleh individu-individu di dalam sebuah rumahtangga untuk dapat meningkatkan kesejahteraan

rumahtangganya sendiri maupun untuk mengatur pemanfaatan sumberdaya yang terdapat di wilayah kecamatannya.

b. Dimensi struktural adalah asosiasi lokal dan peranan komunitas di dalam

meningkatkan kesejahteraan rumahtangganya dan mengatasi masalah yang dihadapi rumahtangga-rumahtangga yang berada di dalam sebuah komunitas RW atau dusun.

c. Dimensi kognitif adalah pengetahuan individu-individu di dalam sebuah

rumahtangga mengenai kekuatan sosial yang terdapat di dalam komunitasnya

yang dapat dijadikan modal untuk membangun kepercayaan, kerjasama, kesetiakawanan, serta menyelesaikan konflik di dalam komunitas RW atau

dusun.

d, Aksi kolektif adalah output dari pemanfaatan maupun pengetahuan individu- individu di dalam sebuah rumahtangga mengenai kekuatan-kekuatan sosial.

e. Komunitas adalah rukun warga (RW) untuk wilayah perkotaan dan dusun untuk wilayah perdesaaan.

Definisi operasional, pengukuran variabel, dan tahap pengolahan data

(41)

IV. HASIL DAN PEMBAHASAN

4.1. Keadaan Umum Lokasi Penelitian

Indeks Pembangunan Manusia (IPM) Kabupaten Lembata pada tahun

2002 sebesar 61.6, lebih rendah daripada IPM Kabupaten Flores Timur yaitu 62.6. Secara nasional, IPM di Kabupaten Lembata pada tahun 2002 berada pada ranking 296, lebih redah daripada Kabupaten Flores Timur yang berada pada

ranking 280. Sedangkan lndeks Kemiskinan Manusia (IKM) Kabupaten Lembata

pada tahun 2002 sebesar 33.4 dan menempati ranking 300 dari 341

kabupatenlkota di Indonesia (BPS, Bappenas, UNDP 2004). Artinya tiga tahun

setelah pembentukan Kabupaten Lembata, ternyata kinerja makro dari

pembangunan di Kabupaten Lembata tidak menjadi lebih baik dibandingkan

dengan Kabupaten Flores Timur sebagai kabupaten asalnya. Hal ini dapat pula

dimaknai bahwa pembentukan kabupaten baru bukan merupakan jalan pintas, tetapi memerlukan usaha dalam waktu yang lebih lama untuk memperbaiki

tingkat kesejahteraan masyarakat di kabupaten baru hasil pemekaran. Gambaran umum Kecamatan Nubatukan dan Ile Ape, serta Kabupaten Lembata disajikan di dalam Tabel 2.

Tabel 2. Keadaan Umum Kecamatan Nubatukan, Kecamatan Ile Ape, dan

8

9

10

Sumber: Diolah dari Bappeda Kabupaten Lernbata 2006 lumlah unit komunitas

desaikelurahan

(42)

Proporsi kecamatan terhadap kabupaten untuk luas wilayah, luas lahan potensial, jumlah penduduk, jumlah penduduk miskin, jumlah penduduk yang menamatkan pendidikan dasar, realisasi pajak bumi dan bangunan, serta jumlah rumahtangga yang mendapatkan listrik di Kecamatan Nubatukan lebih besar dibandingkan dengan di Kecamatan Ile Ape. Sebaliknya proporsi untuk indikator

jumlah anak di bawah lima tahun yang mengalami gizi buruk, jumlah unit komunitas desa, serta jumlah rumahtangga yang mendapat air bersih di Kecamatan Nubatukan lebih rendah daripada di Kecamatan Ile Ape.

Hal itu menunjukkan bahwa pola pelayanan pemerintah yang selama ini mengacu kepada unit komunitas di desa dan kelurahan ternyata tidak

menguntungkan dalam upaya perbaikan kesejahteraan rumahtangga di Kecamatan Nubatukan yang memiliki proporsi luas wilayah terhadap kebupaten lebih besar dibandingkan dengan di Kecamatan Ile Ape. Hal ini disebabkan oleh jumlah penduduk yang dilayani lebih banyak serta wilayah yang lebih luas sehingga pelayanan pemerintah tidak dapat diakses oleh sebagian besar penduduk.

4.2. Stok Existing Modal Sosial

Stok existing modal sosial tidak dapat dipisahkan dengan struktur sosial,

sebagaimana ditegaskan oleh Coleman (1988), yang rnenyatakan bahwa konsep modal sosial tidak terlepas dari efektifitas fungsi struktur sosial di dalam mengatasi berbagai masalah. Struktur sosial yang dikaji dalam penelitian ini

dibatasi pada level mikro, sehingga modal sosial yang dikaji juga terbatas pada level mikro.

Struktur sosial di kelurahan-kelurahan di Kecamatan Nubatukan yang

terletak di wilayah pesisir Teluk Lewoleba secara umum merupakan struktur sosial yang muncul (emergent). Struktur sosial dimaksud lebih bersifat horisontal,

karena terbentuk melalui interaksi sosial antar warga dari berbagai desa di Pulau Lembata dan juga dengan warga yang berasal dari luar Pulau Lembata.

Sebaliknya struktur sosial masyarakat di desa-desa di Kecamatan Ile Ape yang

(43)
(44)

lebih tinggi untuk mengikuti lebih banyak asosiasi lokal yang anggotanya lebih

beragam, serta lebih aktif berpartisipasi dalam pembuatan keputusan di dalam asosiasi lokal, sebagaimana disajikan di dalam Tabel 4. Sedangkan di Kecamatan Ile Ape, karakteristik rumahtangganya lebih homogen dan asosiasi lokal sudah ada sebagai warisan mampu untuk berfungsi dan dapat diperluas fungsinya sesuai

kebutuhan masyarakat. Alasan ini menjelaskan temuan bahwa motivasi rumahtangga untuk masuk menjadi anggota asosiasi lokal dan berpartisipasi di dalam pembuatan keputusan di Kecamatan Ile Ape lebih rendah dibandingkan

dengan di Kecamatan Nubatukan.

4.2.1. Dimensi Struktural Modal Sosial

Dimensi struktural dari modal sosial terdiri atas dua indikator, yaitu indikator input dan indikator output. Kepadatan keanggotaan, keragaman

keanggotaan, serta partisipasi di dalam pembuatan keputusan tergolong ke dalam indikator input yang mengukur proses interaksi sosial.

Tabel 4. Dimensi Struktural Stok Existing Modal Sosial di Kecamatan Nubatukan dan di Kecamatan Ile Ape, Kabupaten Lembata, 2006.

Sumber: Olahan Data Primer 2006.

Menurut Lawang (2004), interaksi sosial di dalam masyarakat menunjuk

pada adanya tindakan sosial dalam suatu kolektivitas yang dibatasi oleh suatu institusi tertentu sehingga nilai dan nonnanya jelas, dan hubungan status yang

(45)

ini adalah dukungan dalam situasi krisis, serta derajat pembatasan seseorang dalam pelayanan terhadap jasa atau fasilitas umum.

Tampak di dalam Tabel 4, bahwa stok dimensi struktural dari modal sosial masyarakat di Kecamatan Nubatukan lebih tinggi dibandingkan dengan di Kecamatan Ile Ape. Temuan ini memberikan makna bahwa derajat interaksi sosial (meliputi hubungan, norma, dan institusi) di Kecamatan Nubatukan lebih tinggi sehingga kualitas dan kuantitas interaksi sosial di dalam kelompok mestinya lebih tinggi. Sayangnya, data di dalam Tabel 8 menunjukkan bahwa aksi kolektif di Kecamatan Ile Ape lebih tinggi dibandingkan dengan di Kecamatan Nubatukan. Hal ini menegaskan bahwa derajat interaksi sosial yang tinggi tidak selalu mencerminkan kualitas dan kuantitas interaksi sosial yang

tinggi. Artinya, oleh subyeknya derajat interaksi sosial belum sepenuhnya dinilai sebagai investasi di dalam modal sosial, tetapi hanya sebagai aktifitas mencari

rent, masih sebatas pada hubungan dengan kadar norma dan institusi yang rendah. Hal ini disebabkan oleh tingkat kepercayaan antar warga di Kecamatan Nubatukan lebih rendah dibandingkan dengan di Kecamatan Ile Ape,

sebegaimana disajikan di dalam Tabel 7.

4.2.1.1. Kepadatan Keanggotaan dalam Asosiasi Lokal

Kepadatan keanggotaan dalarn asosiasi lokal mengukur besamya jumlah

keanggotaan rumahtangga dalam asosiasi lokal. Secara umum, kepadatan

keanggotaan dalam asosiasi lokal lebih tinggi di Kecamatan Nubatukan dibandingkan dengan di Kecamatan Ile Ape. Temuan ini dapat dipahami melalui

konsep keragaman dalam suku, bahasa, daerah asal, pendidikan, setta pekerjaan, dan konsep struktur sosial. Rumahtangga di Kecamatan Nubatukan lebih beragam

sehingga fungsi asosiasi lokal semakin terspesialisasi. Sedangkan rumahtangga di Kecamatan Iie Ape lebih homogen sehingga asosiasi lokal yang ada terus diperkuat karena telah layak dipercaya dapat berfungsi untuk memenuhi

kebutuhan yang lebih banyak. Pemahaman terhadap temuan ini dari struktur sosial perlu dihubungkan dengan kompleksitas kebutuhan rumahtangga sebagai

(46)

wilayah pesisir di Kecamatan Nubatukan lebih tinggi sehingga mendorong spesialisasi struktur sosial, terutama struktur sosial mikro-subyektif sesuai dengan fungsinya di dalam pemenuhan kebutuhan manusia. Proses spesialisasi struktur

sosial ini (yang melahirkan struktur sosial mikro-subyektif yang baru) difasilitasi juga oleh keragaman yang tinggi dari rumahtangga di dalam komunitas. Lain halnya dengan di Kecamatan Nubatukan, justru di Kecamatan Ile Ape rumahtangga anggota komunitas memandang struktur sosial makro obyektif masih layak percaya untuk memenuhi kebutuhan hidup mereka.

Tampak di dalam Tabel 5, bahwa keanggotaan rumahtangga dalam asosiasi lokal yang tertinggi di Kecamatan Nubatukan maupun di Kecamatan Ile Ape adalah organisasi keagamaan. Hal ini menunjukkan adanya kesadaran akan pentingnya sebuah badan untuk pengamalan nilai-nilai keagamaa

Gambar

Gambar 1. Laju Rataan Pertumbuhan Ekonomi di Kecamatan Nubatukan, di
Tabel 1. Kerangka Hubungan antara Pendapat Woolcock dan Narayan (2000)
Gambar 2. Hubungan antara Penyebab Dasar Polarisasi Sosial dan
Gambar 3. Skematik Kerangka Pemikiran
+7

Referensi

Dokumen terkait

Adapun tujuan Penelitian ini adalah : Untuk menganalisis upaya yang dilakukan oeh Pemerintah Kabupaten/Kota dalam Provinsi Jambi dalam rangka meningkatkan rasio

Hasil uji a Chi Square untuk mencari hubungan derajat dehidrasi dengan kadar hematokrit pada anak penderita diare mendapatkan nilai p = 0,494 (Tabel 6), yang

Pada penelitian ini dilakukan perancangan sistem navigasi pergerakan atau manuver robot kapal yang ditentukan oleh pergerakan rudder yang berada di buritan kapal

Sistem informasi stok darah dan agenda donor darah ini dapat memberikan kemudahan kepada Keluarga Donor Darah (KDD) atau intansi dalam melakukan proses kerjasama

100 kg KCl, disesuaikan dengan tingkat kesuburan tanah, bagi tanah masam perlu dikapur 300 kg/ha sebagai sumber hara Ca atau Ca + Mg, pemberian 3 t/ha pupuk kandang kotoran ayam atau

Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui perbedaan pengungkapan etika bisnis (business ethics disclosure) di dalam laporan tahunan perusahaan- perusahaan di Indonesia,

- Variabel - Sampel yang - Sampel yang Menumbuhkan terikat: diteliti diteliti adalah Kecerdasan Multiple - Penelititan: siswa Majemuk Multiple Intelligences Kuantitatif, berprestasi

Teknik pemberian ransum yang baik untuk mencapai pertambahan bobot badan yang lebih tinggi pada penggemukan sapi potong adalah dengan mengatur jarak waktu