• Tidak ada hasil yang ditemukan

The difference of Type and Water Depth of Attractor Setting on Squid Egg Attachment

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2017

Membagikan "The difference of Type and Water Depth of Attractor Setting on Squid Egg Attachment"

Copied!
138
0
0

Teks penuh

(1)

PERBEDAAN JENIS DAN KEDALAMAN PEMASANGAN

ATRAKTOR TERHADAP PENEMPELAN TELUR CUMI-CUMI

ISMAWAN TALLO

SEKOLAH PASCASARJANA

INSTITUT PERTANIAN BOGOR

(2)

PERNYATAAN MENGENAI TESIS

DAN SUMBER INFORMASI

Dengan ini saya menyatakan bahwa tesis Perbedaan Jenis dan Kedalaman Pemasangan Atraktor Terhadap Penempelan Telur Cumi-cumi adalah karya saya sendiri dan belum diajukan dalam bentuk apapun kepada perguruan tinggi mana pun. Sumber informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan maupun tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam Daftar Pustaka di bagian akhir tesis ini.

Bogor, September 2006

(3)

ABSTRAK

ISMAWAN TALLO. Perbedaan Jenis dan Kedalaman Pemasangan Atraktor Terhadap Penempelan Telur Cumi-cumi. Dibimbing oleh Mulyono S. Baskoro dan Sulaeman Martasuganda.

Cumi-cumi merupakan salah satu sumber daya hayati laut yang bernilai ekonomis tinggi. Musim penangkapan cumi-cumi yang paling intensif terjadi pada musim pemijahan dimana pada musim ini cumi-cumi yang tertangkap pada umumnya telah matang gonad. Aktivitas penangkapan seperti ini akan menyebabkan penurunan jumlah cumi-cumi di alam. Teknologi budidaya laut seperti pemijahan diperlukan untuk menyeimbangkan aktivitas penangkapan dan pengkayaan stok cumi-cumi di alam. Ketersediaan telur-telur cumi-cumi secara berkesinambungan merupakan salah satu faktor pendukung upaya pengkayaan stok cumi-cumi di alam. Telur cumi-cumi dapat dikumpulkan dari alam dengan bantuan atraktor cumi-cumi. Aktivitas mengumpulkan telur-cumi-cumi dari alam dengan bantuan atraktor dapat menjadi mata pencaharian alternatif atau aktivitas tambahan bagi para nelayan. Berdasarkan hal ini maka diperlukan penelitian tentang jenis dan kedalaman pemasangan atraktor terhadap penempelan telur cumi-cumi. Penelitian ini telah dilakukan di Teluk Mutiara Kabupaten Alor Propinsi NTT selama empat bulan yaitu dari tanggal 17 Agustus 2005 hingga 18 Desember 2005. Tujuan dari penelitian ini adalah mengkaji pengaruh jenis atraktor terhadap penempelan telur cumi-cumi, mengkaji pengaruh kedalaman pemasangan atraktor terhadap penempelan telur cumi-cumi, menentukan waktu penempelan telur cumi-cumi pada atraktor, dan mengetahui waktu penetasan telur cumi-cumi. Atraktor terbuat dari bahan-bahan lokal seperti bambu dan serat ijuk. Percobaan menggunakan dua jenis atraktor dan dipasang pada tiga tingkat kedalaman perairan. Jenis-jenis atraktor adalah atraktor bertutup karung goni dan atraktor tidak tertutup karung goni. Kedalaman pemasangan atraktor adalah pada bagian permukaan (kedalaman 0 – 1meter), tengah (kedalaman 2 – 3 meter) dan di dasar perairan (kedalaman 4 – 5 meter). Data dianalisis dengan uji rata-rata (uji-t). Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa telur cumi-cumi hanya menempel telurnya pada jenis atraktor berpenutup karung goni. Telur cumi-cumi menempel pada atraktor tersebut di dasar perairan pada kedalaman 4 - 5 meter. Telur cumi-cumi menempel di atraktor terjadi pada malam hari. Telur cumi-cumi menetas pada hari ke 28 hingga hari ke 30.

(4)

ABSTRACT

ISMAWAN TALLO. The difference of Type and Water Depth of Attractor Setting on Squid Egg Attachment. Under the direction of Mulyono S. Baskoro and Sulaeman Martasuganda

Squid represent marine resources that involves high economic value. Most intensive squid fishing season occurred at the spawning season where in this season most of squid has matured gonad. This activity make degradate squid amount in nature. Marine culture technology like breeding or hatchery need to balance squid fishing activity and to enhance stock of squid in nature. The hatchery needs squid egg supplied continuously. Attractor can be used to collect squid egg from nature. The squid egg collecting activity from nature can become additional activity or alternative job for fisherman. Based on this case, research was conducted on types and water depth differences of attractor setting on squid egg attachment. The research has been conducted in Mutiara Bay, Alor Regency, NTT Province for four months from 17 August 2005 to 18 December 2005. Aim of this research was to find out the effect of type and water depth differences of attractor setting on squid egg attachment and to determine what type and depth of attractor setting that suitable for squid lays their egg. Attractor was made from local materials like bamboo and palm tree fiber. The treatment design of this research used two types of attractors and three levels of water depth. The type of attractors were covered by goony sack and uncovered by goony sack. Setting difference of attractors were placed in surface (0-1 m), middle (2-3 m) and bottom (4-5 m) of coastal waters. Data was analysed by average test (t-test). The result of this research show that squids attach their eggs on the covered attractor by goony sack that placed in the bottom of coastal waters at 4 -5 m. The eggs hatched in 28 to 30 days.

(5)

PERBEDAAN JENIS DAN KEDALAMAN PEMASANGAN

ATRAKTOR TERHADAP PENEMPELAN TELUR CUMI-CUMI

ISMAWAN TALLO

Tesis

Sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Magister Sains pada

Program Studi Teknologi Kelautan

SEKOLAH PASCASARJANA

INSTITUT PERTANIAN BOGOR

(6)

Judul Tesis : Perbedaan Jenis dan Kedalaman Pemasangan Atraktor Terhadap Penempelan Telur Cumi-cumi

Nama : Ismawan Tallo NRP : C551040011 Program studi : Teknologi Kelautan

Disetujui

Komisi Pembimbing

Dr. Ir. Mulyono S. Baskoro, M.Sc Dr. Sulaeman Martasuganda, B.fish.Sc, M.Sc Ketua Anggota

Diketahui

Ketua Program Studi Teknologi Dekan Sekolah Pascasarjana IPB Kelautan

Prof. Dr. Ir. John Haluan, M.Sc Prof. Dr. Ir. Khairil A. Notodiputro, MS

(7)

©

Hak cipta milik Institut Pertanian Bogor, Tahun 2006

Hak cipta dilindungi

(8)

P R A K A T A

Puji dan syukur ke hadirat Allah SWT karena berkat limpahan kasih, kesempatan dan kesehatan yang diberikan-Nya maka penulisan tesis ini dapat diselesaikan. Tesis ini dibuat sebagai suatu syarat dalam rangka penyelesaian studi Program Magister pada Program Studi Teknologi Kelautan Sekolah Pascasarjana Institut Pertanian Bogor.

Dalam penyelesaian tulisan ini, penulis telah banyak mendapatkan arahan serta perbaikan dari komisi pembimbing, dan bantuan baik moril maupun materil dari banyak pihak. Oleh karena itu pada kesempatan ini penulis menyampaikan terima kasih yang dalam kepada :

(1) Bapak Dr. Ir. Mulyono S. Baskoro, M.Sc dan Bapak Dr. Sulaeman Martasuganda, B.fish.sc M.Sc, yang telah mendidik dan membimbing penulis hingga penyelesaian tulisan ini

(2) Bapak Prof. Dr. Ir John Haluan, M.Sc dan Bapak Prof. Dr. Ir. Daniel R. Monintja, M.Sc serta semua Dosen Sekolah Pascasarjana Program Studi Teknologi Kelautan Institut Pertanian Bogor yang telah mengajar dan mendidik penulis

(3) Bapak Prof. Dr. Ir. Dr. Khairil A. Notodiputro, MS, sebagai Dekan Sekolah Pascasarjana Institut Pertanian Bogor.

(4) Bapak Bupati Alor, Ir. Ans Takalapeta yang telah memberikan dukungan moril dan materil kepada penulis

(5) Ayah, Ibu, Kakak Aba, Kakak Boys, Adik Satri, Adik Mat Koho, Adik Lin dan Adik Juwita yang selalu memberikan dorongan kepada penulis

(6) Paman Hasym, Paman Mar, Kakak Man dan Kakak Jani yang telah membantu penulis

(7) Pimpinan dan staf LEPP-M3/KSU LEPP Mitra Mina yang telah mendukung dan membantu penulis

(9)

(9) Semua teman-temanku di Kupang terutama Priyo Santoso, S.Pi, Ir. Sunadji, MP, Ir. Jotham S.R Ninef, M.Sc dan Gasper Enga, SE yang telah

banyak membantu

(10) Rekan-rekan mahasiswa Program Studi TKL S.Ps IPB (Pak Yahyah, Pak Alfa, Pak Jamal, Ibu Nusa, Ibu Fonny, Ibu Desy, Pak Chua, Pak Wesley, Ibu Rina, Ibu Lisa, Nia, Hasan, Irham, Jabal, Yanti dan Devy serta kepada semua pihak yang tidak dapat disebutkan satu per satu, yang telah ikut mendukung tulisan ini.

Penulis menyadari bahwa dalam penulisan tesis ini, masih ditemukan banyak kekurangan yang membutuhkan perbaikan. Oleh karena itu semua saran dan kritik yang bertujuan memperbaiki dan menyempurnakan tulisan ini akan diterima dengan senang hati.

Bogor, September 2006

(10)

DAFTAR ISI

Halaman

DAFTAR TABEL ……….. DAFTAR GAMBAR ………. DAFTAR LAMPIRAN ……….

viii ix

x

1 PENDAHULUAN ……… 1.1 Latar Belakang ……….…….. 1.2 Perumusan Masalah …..……… 1.3 Tujuan dan Manfaat Penelitian ………...………… 1.4 Hipotesis ………

1

1 2 4 4

2 TINJAUAN PUSTAKA ………...……..……… 2.1 Klasifikasi Cumi-cumi……….………... 2.2 Reproduksi dan Siklus Hidup Cumi-cumi ……….……… 2.3 Makanan Cumi-cumi ………...………... 2.4 Distribusi dan Habitat Cumi-cumi ………. 2.5 Atraktor Cumi-cumi ………... 2.6 Kapsul Telur Cumi-cumi ... 2.7 Inkubasi dan Penetasan Telur Cumi-cumi ...

6 6 8 9 9 11 12 13

3 METODOLOGI PENELITIAN ……..…………...………...……… 3.1 Waktu dan Tempat Penelitian ……… 3.2 Bahan dan Alat Penelitian ………..……… 3.2.1 Bahan ... 3.2.2 Alat ... 3.3 Prosedur Kerja ... ………. 3.3.1 Pembuatan atraktor ...……….………. 3.3.2 Pembuatan keramba apung ... 3.3.3 Survey lokasi ... 3.3.4 Pemasangan atraktor ... 3.4 Pengumpulan data ………... 3.4.1 Pengamatan telur cumi-cumi pada atraktor ... 3.4.2 Penetasan telur cumi-cumi ... 3.4.3 Pengukuran parameter oseanografi ... 3.5 Analisis Data ………

(11)

PERBEDAAN JENIS DAN KEDALAMAN PEMASANGAN

ATRAKTOR TERHADAP PENEMPELAN TELUR CUMI-CUMI

ISMAWAN TALLO

SEKOLAH PASCASARJANA

INSTITUT PERTANIAN BOGOR

(12)

PERNYATAAN MENGENAI TESIS

DAN SUMBER INFORMASI

Dengan ini saya menyatakan bahwa tesis Perbedaan Jenis dan Kedalaman Pemasangan Atraktor Terhadap Penempelan Telur Cumi-cumi adalah karya saya sendiri dan belum diajukan dalam bentuk apapun kepada perguruan tinggi mana pun. Sumber informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan maupun tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam Daftar Pustaka di bagian akhir tesis ini.

Bogor, September 2006

(13)

ABSTRAK

ISMAWAN TALLO. Perbedaan Jenis dan Kedalaman Pemasangan Atraktor Terhadap Penempelan Telur Cumi-cumi. Dibimbing oleh Mulyono S. Baskoro dan Sulaeman Martasuganda.

Cumi-cumi merupakan salah satu sumber daya hayati laut yang bernilai ekonomis tinggi. Musim penangkapan cumi-cumi yang paling intensif terjadi pada musim pemijahan dimana pada musim ini cumi-cumi yang tertangkap pada umumnya telah matang gonad. Aktivitas penangkapan seperti ini akan menyebabkan penurunan jumlah cumi-cumi di alam. Teknologi budidaya laut seperti pemijahan diperlukan untuk menyeimbangkan aktivitas penangkapan dan pengkayaan stok cumi-cumi di alam. Ketersediaan telur-telur cumi-cumi secara berkesinambungan merupakan salah satu faktor pendukung upaya pengkayaan stok cumi-cumi di alam. Telur cumi-cumi dapat dikumpulkan dari alam dengan bantuan atraktor cumi-cumi. Aktivitas mengumpulkan telur-cumi-cumi dari alam dengan bantuan atraktor dapat menjadi mata pencaharian alternatif atau aktivitas tambahan bagi para nelayan. Berdasarkan hal ini maka diperlukan penelitian tentang jenis dan kedalaman pemasangan atraktor terhadap penempelan telur cumi-cumi. Penelitian ini telah dilakukan di Teluk Mutiara Kabupaten Alor Propinsi NTT selama empat bulan yaitu dari tanggal 17 Agustus 2005 hingga 18 Desember 2005. Tujuan dari penelitian ini adalah mengkaji pengaruh jenis atraktor terhadap penempelan telur cumi-cumi, mengkaji pengaruh kedalaman pemasangan atraktor terhadap penempelan telur cumi-cumi, menentukan waktu penempelan telur cumi-cumi pada atraktor, dan mengetahui waktu penetasan telur cumi-cumi. Atraktor terbuat dari bahan-bahan lokal seperti bambu dan serat ijuk. Percobaan menggunakan dua jenis atraktor dan dipasang pada tiga tingkat kedalaman perairan. Jenis-jenis atraktor adalah atraktor bertutup karung goni dan atraktor tidak tertutup karung goni. Kedalaman pemasangan atraktor adalah pada bagian permukaan (kedalaman 0 – 1meter), tengah (kedalaman 2 – 3 meter) dan di dasar perairan (kedalaman 4 – 5 meter). Data dianalisis dengan uji rata-rata (uji-t). Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa telur cumi-cumi hanya menempel telurnya pada jenis atraktor berpenutup karung goni. Telur cumi-cumi menempel pada atraktor tersebut di dasar perairan pada kedalaman 4 - 5 meter. Telur cumi-cumi menempel di atraktor terjadi pada malam hari. Telur cumi-cumi menetas pada hari ke 28 hingga hari ke 30.

(14)

ABSTRACT

ISMAWAN TALLO. The difference of Type and Water Depth of Attractor Setting on Squid Egg Attachment. Under the direction of Mulyono S. Baskoro and Sulaeman Martasuganda

Squid represent marine resources that involves high economic value. Most intensive squid fishing season occurred at the spawning season where in this season most of squid has matured gonad. This activity make degradate squid amount in nature. Marine culture technology like breeding or hatchery need to balance squid fishing activity and to enhance stock of squid in nature. The hatchery needs squid egg supplied continuously. Attractor can be used to collect squid egg from nature. The squid egg collecting activity from nature can become additional activity or alternative job for fisherman. Based on this case, research was conducted on types and water depth differences of attractor setting on squid egg attachment. The research has been conducted in Mutiara Bay, Alor Regency, NTT Province for four months from 17 August 2005 to 18 December 2005. Aim of this research was to find out the effect of type and water depth differences of attractor setting on squid egg attachment and to determine what type and depth of attractor setting that suitable for squid lays their egg. Attractor was made from local materials like bamboo and palm tree fiber. The treatment design of this research used two types of attractors and three levels of water depth. The type of attractors were covered by goony sack and uncovered by goony sack. Setting difference of attractors were placed in surface (0-1 m), middle (2-3 m) and bottom (4-5 m) of coastal waters. Data was analysed by average test (t-test). The result of this research show that squids attach their eggs on the covered attractor by goony sack that placed in the bottom of coastal waters at 4 -5 m. The eggs hatched in 28 to 30 days.

(15)

PERBEDAAN JENIS DAN KEDALAMAN PEMASANGAN

ATRAKTOR TERHADAP PENEMPELAN TELUR CUMI-CUMI

ISMAWAN TALLO

Tesis

Sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Magister Sains pada

Program Studi Teknologi Kelautan

SEKOLAH PASCASARJANA

INSTITUT PERTANIAN BOGOR

(16)

Judul Tesis : Perbedaan Jenis dan Kedalaman Pemasangan Atraktor Terhadap Penempelan Telur Cumi-cumi

Nama : Ismawan Tallo NRP : C551040011 Program studi : Teknologi Kelautan

Disetujui

Komisi Pembimbing

Dr. Ir. Mulyono S. Baskoro, M.Sc Dr. Sulaeman Martasuganda, B.fish.Sc, M.Sc Ketua Anggota

Diketahui

Ketua Program Studi Teknologi Dekan Sekolah Pascasarjana IPB Kelautan

Prof. Dr. Ir. John Haluan, M.Sc Prof. Dr. Ir. Khairil A. Notodiputro, MS

(17)

©

Hak cipta milik Institut Pertanian Bogor, Tahun 2006

Hak cipta dilindungi

(18)

P R A K A T A

Puji dan syukur ke hadirat Allah SWT karena berkat limpahan kasih, kesempatan dan kesehatan yang diberikan-Nya maka penulisan tesis ini dapat diselesaikan. Tesis ini dibuat sebagai suatu syarat dalam rangka penyelesaian studi Program Magister pada Program Studi Teknologi Kelautan Sekolah Pascasarjana Institut Pertanian Bogor.

Dalam penyelesaian tulisan ini, penulis telah banyak mendapatkan arahan serta perbaikan dari komisi pembimbing, dan bantuan baik moril maupun materil dari banyak pihak. Oleh karena itu pada kesempatan ini penulis menyampaikan terima kasih yang dalam kepada :

(1) Bapak Dr. Ir. Mulyono S. Baskoro, M.Sc dan Bapak Dr. Sulaeman Martasuganda, B.fish.sc M.Sc, yang telah mendidik dan membimbing penulis hingga penyelesaian tulisan ini

(2) Bapak Prof. Dr. Ir John Haluan, M.Sc dan Bapak Prof. Dr. Ir. Daniel R. Monintja, M.Sc serta semua Dosen Sekolah Pascasarjana Program Studi Teknologi Kelautan Institut Pertanian Bogor yang telah mengajar dan mendidik penulis

(3) Bapak Prof. Dr. Ir. Dr. Khairil A. Notodiputro, MS, sebagai Dekan Sekolah Pascasarjana Institut Pertanian Bogor.

(4) Bapak Bupati Alor, Ir. Ans Takalapeta yang telah memberikan dukungan moril dan materil kepada penulis

(5) Ayah, Ibu, Kakak Aba, Kakak Boys, Adik Satri, Adik Mat Koho, Adik Lin dan Adik Juwita yang selalu memberikan dorongan kepada penulis

(6) Paman Hasym, Paman Mar, Kakak Man dan Kakak Jani yang telah membantu penulis

(7) Pimpinan dan staf LEPP-M3/KSU LEPP Mitra Mina yang telah mendukung dan membantu penulis

(19)

(9) Semua teman-temanku di Kupang terutama Priyo Santoso, S.Pi, Ir. Sunadji, MP, Ir. Jotham S.R Ninef, M.Sc dan Gasper Enga, SE yang telah

banyak membantu

(10) Rekan-rekan mahasiswa Program Studi TKL S.Ps IPB (Pak Yahyah, Pak Alfa, Pak Jamal, Ibu Nusa, Ibu Fonny, Ibu Desy, Pak Chua, Pak Wesley, Ibu Rina, Ibu Lisa, Nia, Hasan, Irham, Jabal, Yanti dan Devy serta kepada semua pihak yang tidak dapat disebutkan satu per satu, yang telah ikut mendukung tulisan ini.

Penulis menyadari bahwa dalam penulisan tesis ini, masih ditemukan banyak kekurangan yang membutuhkan perbaikan. Oleh karena itu semua saran dan kritik yang bertujuan memperbaiki dan menyempurnakan tulisan ini akan diterima dengan senang hati.

Bogor, September 2006

(20)

DAFTAR ISI

Halaman

DAFTAR TABEL ……….. DAFTAR GAMBAR ………. DAFTAR LAMPIRAN ……….

viii ix

x

1 PENDAHULUAN ……… 1.1 Latar Belakang ……….…….. 1.2 Perumusan Masalah …..……… 1.3 Tujuan dan Manfaat Penelitian ………...………… 1.4 Hipotesis ………

1

1 2 4 4

2 TINJAUAN PUSTAKA ………...……..……… 2.1 Klasifikasi Cumi-cumi……….………... 2.2 Reproduksi dan Siklus Hidup Cumi-cumi ……….……… 2.3 Makanan Cumi-cumi ………...………... 2.4 Distribusi dan Habitat Cumi-cumi ………. 2.5 Atraktor Cumi-cumi ………... 2.6 Kapsul Telur Cumi-cumi ... 2.7 Inkubasi dan Penetasan Telur Cumi-cumi ...

6 6 8 9 9 11 12 13

3 METODOLOGI PENELITIAN ……..…………...………...……… 3.1 Waktu dan Tempat Penelitian ……… 3.2 Bahan dan Alat Penelitian ………..……… 3.2.1 Bahan ... 3.2.2 Alat ... 3.3 Prosedur Kerja ... ………. 3.3.1 Pembuatan atraktor ...……….………. 3.3.2 Pembuatan keramba apung ... 3.3.3 Survey lokasi ... 3.3.4 Pemasangan atraktor ... 3.4 Pengumpulan data ………... 3.4.1 Pengamatan telur cumi-cumi pada atraktor ... 3.4.2 Penetasan telur cumi-cumi ... 3.4.3 Pengukuran parameter oseanografi ... 3.5 Analisis Data ………

(21)

4 HASIL DAN PEMBAHASAN ……….……… 4.1 Keadaan Umum Teluk Mutiara ……… 4.2 Parameter Oseanografi ……… 4.3 Penempelan Telur Cumi-cumi pada Atraktor ...

24

24 25 28 4.4 Waktu Penempelan Telur ……….

4.5 Waktu Penetasan Telur Cumi-cumi ………..

32 33

5 KESIMPULAN DAN SARAN ………

5.1 Kesimpulan ………

5.2 Saran ………..

37

37 37

DAFTAR PUSTAKA ……… LAMPIRAN……… GLOSARIUM………..

38

42

(22)

DAFTAR TABEL

Halaman

1

2

3

4

Bentuk rancangan percobaan ……….………...

Parameter oseanografi di lokasi penelitian ...………...

Perbedaan parameter oseanografi di lokasi penelitian ...

Jumlah telur pada setiap jenis dan kedalaman pemasangan atraktor ... 21

26

26

(23)

DAFTAR GAMBAR

Halaman 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13 14 15 16 17 18

Skema pendekatan dan pemecahan masalah ……….

Anatomi cumi-cumi Loligo sp (Hegner and Engemann 1989) …..…..

Organ genital cumi-cumi (Nateewathana 1997) ...

Peta penyebaran cumi-cumi di Indonesia (Ditjen Perikanan

DEPTAN 1987) ………..

Telur cumi-cumi ...

Peta lokasi penelitian ………....

Atraktor cumi – cumi tipe terbuka...………...

Atraktor cumi – cumi tipe tertutup...….……

Tahapan proses penelitian mengenai pemasangan atraktor …….……

Bentuk pemasangan atraktor cumi-cumi dengan sistem long line…....

Teluk Mutiara Kabupaten Alor ...

Nilai parameter osanografi di lokasi penelitian pada saat pagi,

siang dan malam hari ...

Jumlah rata-rata telur pada masing-masing jenis dan kedalaman pemasangan atraktor ...

Persentase penempelan telur cumi-cumi pada atraktor

selama waktu penelitian ...

Pengangkatan atraktor cumi-cumi ...

Cara penetasan telur cumi-cumi di dalam keramba jaring apung ...

Perbedaan warna telur cumi-cumi awal dan mendekati waktu

menetas ...

Cumi-cumi hasil penetasan di dalam keramba jaring apung ...

(24)

DAFTAR LAMPIRAN

Halaman

1

2

3

4

5

6

Foto bentuk keramba pemeliharaan cumi-cumi ……….

Foto pengangkutan atraktor dengan perahu ...………

Foto pengukuran parameter oseanografi ……....………

Data parameter oseanografi setiap minggu selama penelitian ...

Uji rata-rata dengan uji-t ...

Foto telur cumi-cumi menempel pada atraktor tipe tertutup ... 42

43

44

45

46

(25)

RIWAYAT HIDUP

Penulis dilahirkan di Kadelang Kalabahi Timur Kabupaten Alor Provinsi Nusa Tenggara Timur, pada tanggal 15 Juli 1970. Penulis merupakan anak ketiga dari tujuh bersaudara dari Ayah Klaping Tallo dan Ibu Kulsum T. Sallo.

Penulis lulus Sekolah Dasar Islam Cokroaminoto Kadelang tahun 1984 dan masuk SMP Negeri Molla. Pada tahun 1987 penulis lulus dari SMP Negeri Molla dan masuk SMA Negeri Kalabahi. Tahun 1990 Penulis lulus dari SMA Negeri Kalabahi. Pada Tahun 1991 lulus seleksi masuk Fakultas Perikanan Universitas Sam Ratulangi Manado melalui Ujian Masuk Perguruan Tinggi Negeri. Penulis memilih Program Studi Manajemen Sumberdaya Perairan, Jurusan Manajemen Sumberdaya Perairan. Penulis lulus dari Fakultas Perikanan Universitas Sam Ratulangi Manado pada tahun 1995 dan mendapat gelar Sarjana Perikanan.

(26)

1 PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Cumi-cumi merupakan salah satu sumberdaya hayati laut bernilai ekonomis tinggi karena memiliki daging yang gurih dan lezat, hampir 80 % bagian tubuhnya merupakan bagian yang dapat dimakan (edible portion) yaitu 50 % mantel, 30 % lengan dan tentakel. Konsumen cumi-cumi terbesar adalah Jepang, Spanyol, Italia, dan Korea (Sudjoko 1988). Tahun-tahun terakhir ini, sangatlah dirasakan adanya peningkatan permintaan dan kebutuhan akan cumi-cumi dan kerabatnya dari beberapa negara seperti Jepang, Hongkong, Perancis, Jerman Barat maupun Amerika. Hal ini dapat memacu kita untuk memanfaatkan peluang yang ada tersebut (Gunarso dan Purwangka 1998). Harga pasar cumi-cumi segar dalam negeri bervariasi antara Rp.10.000 hingga Rp.15.000/kg tergantung pada ukuran per ekor dan musimnya (Warsiati 2003). Indonesia menduduki urutan ke-18 sebagai negara penghasil cephalopoda termasuk cumi-cumi di dunia sebesar 0,7 % (Anonymous 1989). Urutan pertama penghasil cephalopoda dunia termasuk cumi-cumi adalah negara Jepang sebesar 35 %. Harga cumi-cumi-cumi-cumi bergantung pada musim. Harga cumi-cumi di pasar Jepang lebih mahal dari pasar Eropa. Di Jepang harga cumi-cumi adalah 6 US$ / kg untuk ukuran 21-25 ekor/kg. Harga cumi-cumi di Eropa adalah 3 US $/ kg.

Pemanfaatan sumberdaya cumi-cumi ini dilakukan dengan cara penangkapan. Alat tangkap yang sering digunakan untuk menangkap organisme ini adalah serok, jaring angkat, beach seine, boat seine dan pancing ulur. Musim penangkapan cumi-cumi yang paling intensif adalah pada musim memijah dimana pada musim ini cumi-cumi yang tertangkap sebagian besar telah matang gonad (Tasywiruddin 1999).

Kegiatan penangkapan seperti ini apabila dibiarkan secara terus menerus dapat mengakibatkan penurunan stok cumi-cumi di alam. Gejala over fishing pernah terjadi pada tahun 1994 di beberapa pantai di Provinsi Nusa Tenggara Barat, dimana hasil tangkapan cumi-cumi pada tahun 1994 menurun hingga 38,4 ton (Hartati 1998). Hal yang sama terjadi pada penangkapan cumi-cumi dunia, sejak dua dekade penangkapan meningkat dari 1,5 juta ton di tahun 1979 menjadi 3 juta ton di tahun 1996 dan hasil tangkapan cumi-cumi menurun lagi pada tahun 1998 (Gappindo 1999).

(27)

kegiatan budidaya yang meliputi upaya pemijahan (hatchery) dan pelepasan ke alam. Upaya ini dapat memperbaiki kerusakan sumberdaya cumi-cumi karena dapat di lakukan pengkayaan stok untuk memperbaiki dan mempertahankan kelestarian sumberdaya cumi-cumi. Salah satu faktor yang sangat penting untuk mendukung upaya budidaya cumi-cumi adalah adanya ketersediaan (supply) telur dan keberhasilan pemijahan.

Cumi-cumi biasanya memilih kedalaman perairan dan benda-benda yang terdapat dalam perairan untuk meletakkan telurnya (Brandt 1984). Cumi-cumi cenderung menempelkan telurnya pada benda berbentuk helaian atau tangkai yang letaknya agak terlindung dan tempat agak gelap (Nabhitabhata 1996). Informasi tentang musim penangkapan cumi-cumi dan adanya pemilihan cumi-cumi terhadap tempat dan benda-benda yang terdapat di dalam perairan untuk meletakkan telurnya, dapat dijadikan sebagai landasan dalam menciptakan teknik dan metode penangkapan serta atraktor untuk menarik cumi-cumi menempelkan telurnya.

Atraktor dapat dibuat dari berbagai bahan dan dapat pula diatur bentuknya sesuai dengan tujuan dari pemasangan atraktor tersebut. Hingga saat ini penggunaan atraktor untuk mempengaruhi cumi-cumi menempelkan telurnya belum banyak dilakukan. Oleh karena itu perlu dilakukan penelitian tentang hal tersebut diantaranya adalah mengenai pengaruh perbedaan jenis dan kedalaman perairan tempat pemasangan atraktor terhadap penempelan telur cumi-cumi.

1.2 Perumusan Masalah

Cumi-cumi biasanya memilih jenis benda dan kedalaman perairan untuk menempelkan telurnya. Hal ini dapat dimanfaatkan dengan pemasangan atraktor yang sesuai sebagai tempat penempelan telur cumi-cumi. Permasalahan dari penelitian ini adalah :

(1) Apakah atraktor dapat digunakan untuk mempengaruhi cumi-cumi menempelkan telurnya?

(2) Jenis atraktor seperti apakah yang lebih dipilih oleh cumi-cumi untuk menempelkan telurnya ?

Skema pendekatan dan pemecahan masalah ditampilkan pada Gambar 1.

Cumi-cumi

Atraktor Telur

(28)

Gambar 1 Skema pendekatan dan pemecahan masalah

(3) Apakah kedalaman pemasangan atraktor berpengaruh terhadap penempelan telur cumi-cumi ?

Kondisi oseanografi

Tipe dan kedalaman pemasangan atraktor

Penempelan telur cumi-cumi

Jumlah Telur cumi-cumi

Waktu penempelan Telur cumi-cumi

Periode pengangkatan atraktor Pengumpulan telur

cumi-cumi

Penetasan telur Cumi-cumi

Waktu penetasan Jumlah penetasan

(29)

(4) Bilamanakah cumi-cumi menempelkan telurnya pada atraktor ?

(5) Berapa lamakah waktu penetasan telur cumi-cumi yang diperoleh dengan atraktor ?

1.3 Tujuan dan Manfaat Penelitian Tujuan penelitian ini adalah

(1) Mengkaji jenis atraktor yang sesuai untuk penempelan telur cumi-cumi

(2) Mengkaji kedalamanan perairan tempat pemasangan atraktor yang sesuai untuk penempelan telur cumi-cumi

(3) Mengetahui waktu penempelan telur cumi-cumi pada atraktor (4) Mengetahui waktu penetasan telur cumi –cumi.

Manfaat penelitian ini adalah untuk memberikan informasi tentang (1) Jenis atraktor yang sesuai untuk penempelan telur cumi-cumi

(2) Kedalamanan pemasangan atraktor yang sesuai untuk penempelan telur cumi-cumi

(3) Waktu penempelan telur cumi-cumi pada atraktor (4) Waktu penetasan telur cumi –cumi.

1.4 Hipotesis

Hipotesis dari penelitian ini adalah

(1) Telur cumi-cumi dapat menempel pada atraktor

(2) Jenis dan kedalaman perairan tempat pemasangan atraktor berpengaruh terhadap penempelan telur cumi-cumi dengan analisis sebagai berikut :

a. Ho1(nilai t tabel 0.05) : Tidak ada perbedaan jumlah telur cumi-cumi yang menempel pada setiap atraktor

H11(nilai t tabel 0.05) : Ada perbedaan jumlah telur cumi-cumi yang menempel pada setiap jenis atraktor

b. Ho2(nilai t tabel 0.05) : Tidak ada pengaruh kedalaman jumlah telur cumi-cumi yang menempel pada setiap atraktor

(30)

(3) Penempelan telur cumi-cumi terjadi pada tempat yang terlindung dan kondisi agak gelap

(4) Telur cumi-cumi yang dikumpulkan dari atraktor dapat menetas.

(31)

2.1 Klasifikasi Cumi-cumi

Cumi-cumi termasuk ke dalam filum Mollusca, kelas Chephalopoda, sub-kelas Coleoidea dan ordo Teuthoidea (Roper et al. 1984). Klasifikasi cumi-cumi menurut Kreuzer (1984) adalah sebagai berikut :

Kingdom : Animalia

Phylum : Mollusca

Kelas : Cephalopoda

Ordo : Teuthoidea

Sub-Ordo : Myopsidae

Family : Loliginidae

Genus : - Loligo

- Ommastrephes - Todarodes - Illex

Ordo Theuthoidea merupakan ordo terbesar dari Chephalopoda, terdiri dari 25 suku tetapi hanya 4 suku yang mempunyai nilai ekonomi, yaitu suku Loliginidae,

Omastrephidae, Onychoteuthidae dan Thysanoteuthidae. Dari suku Loliginidae ada 8 marga, tetapi hanya 3 marga yang bernilai ekonomis, yaitu marga Loligo,

Sepioteuthis dan Uroteuthis. Dari ke 3 marga tersebut di atas terdapat 5 jenis yang bernilai ekonomis, yaitu Loligo duvauceli, Loligo edulis, Loligo singhalensis, Sepiteuthis lessoniana dan Uroteuthis bartsschi, sedangkan 3 suku lainnya masing-masing mempunyai 1 jenis yang bernilai ekonomis, Onytchotethis banksi,

(32)

butir-butir melanin (Johnson et al. 1977). Anatomi cumi-cumi ditampilkan pada Gambar 2.

Gambar 2 Anatomi cumi-cumi Loligo sp (Hegner dan Engemann, 1989).

[image:32.612.146.470.119.438.2]
(33)

Pada bagian kepala cumi-cumi terdapat lubang seperti corong mantel yang menghasilkan daya dorong untuk pergerakan cumi-cumi. Melalui siphon ini juga cumi-cumi kadang-kadang mengeluarkan tinta berwarna coklat atau hitam untuk menghindari predator (Buscbaum et al. 1987, diacu dalam Tasywiruddin 1999).

Ada 85 spesies cumi-cumi yang sejauh ini telah diketahui keberadaannya di dunia (FAO 1984, diacu dalam Gunarso dan Purwangka 1998). Di Indonesia terdapat 13 spesies cumi-cumi yaitu Loligo chinensis, L. duvaucelli, L. edulis, L. sibogae, L. singhalensis, Sepioteuthis lessoniana, Uroteuthis bartachi, Pterygioteuthis giardi, Onychoteuthis banksi, Pholidoteuthis boschmai, Architeuthis sp (cumi-cumi raksasa), Symplecteuthis oualaniensis, dan Thysanoteuthis rhombus

(Gunarso dan Purwangka 1998)

2.2 Reproduksi dan Siklus Hidup Cumi-cumi

Cumi-cumi berkelamin terpisah, ada cumi-cumi jantan dan betina. Perbedaan

anatomi cumi-cumi jantan dan betina ditampilkan pada Gambar 3.

Gambar 3 Organ genital cumi-cumi (Nateewathana 1997)

(34)

dapat dilihat bahwa pada yang jantan lengan 4 berubah menjadi alat kopulasi yang disebut hektokotil, yang berfungsi menyalurkan sperma ke cumi-cumi betina. Ketika melakukan kopulasi, hektokotil telah berisi sperma dimasukkan ke dalam rongga mantel betina, kemudian sperma akan membuahi telur-telur yang dikandung cumi-cumi betina. Sebelum melakukan kopulasi, cumi-cumi-cumi-cumi jantan akan mengambil sperma dari alat genitalianya. Sperma akan dikemas dalam tabung-tabung khitin, yang dinamakan spermatofor, besarnya 10 sampai 15 mm. Dalam 1 hari dapat diproduksi kurang lebih 12 spermatofor (Roper et al. 1984).

2.3 Makanan Cumi-cumi

Cumi-cumi digolongkan sebagai hewan karnivora karena cumi-cumi memakan udang dan ikan-ikan pelagis yang ditangkap dengan tentakelnya (Barnes 1987, diacu dalam Tasywiruddin 1999). Komponen makanan yang paling sering ditemukan dalam lambung cumi-cumi adalah ikan-ikan kecil. Selain ikan-ikan kecil, crustacea merupakan komponen makanan yang mempunyai frekuensi kejadian yang cukup besar (Raharjo dan Bengen 1984, diacu dalam Tasywiruddin 1999). Selain itu ditemukan beberapa jenis ikan kecil dan juga kelompok organisme lainnya seperti rebon (mysidacea), diatomae, protozoa dan larva kepiting. Perbedaan jenis makanan yang terdapat dalam lambung cumi-cumi tersebut tidak tergantung pada besar kecilnya cumi-cumi (Krissunari 1987 danTasywiruddin 1999).

2.4 Distribusi dan Habitat Cumi-cumi

Pada umumnya cumi-cumi ditemukan pada daerah pantai dan paparan benua hingga kedalaman 400 m. Beberapa spesies cumi-cumi hidup sampai di perairan payau. Cumi-cumi digolongkan sebagai organisme pelagik, tetapi kadang-kadang digolongkan sebagai organisme demersal karena sering berada di dasar perairan. Cumi-cumi melakukan pergerakan diurnal, yaitu pada siang hari akan berkelompok dekat dasar perairan dan akan menyebar pada kolom perairan pada malam hari. (Brodziak and Hendrickson 1999)

Menurut Soewito dan Syarif (1990), yang diacu dalam Tasywiruddin (1999) menyatakan cumi-cumi menghuni perairan dengan suhu antara 8 sampai 32 oC dan

(35)

zat hara yang terbawa arus (run off) dari daratan. Zat hara tersebut dimanfaatkan oleh fitoplankton yang selanjutnya dimanfaatkan oleh zooplankton, juvenil ikan ataupun ikan-ikan kecil yang merupakan makanan cumi-cumi (Tasywiruddin 1999).

[image:35.612.121.509.267.550.2]

Cumi-cumi pada siang hari berada di dasar perairan, pada malam hari cumi-cumi bergerak ke permukaan air. Cumi-cumi-cumi biasanya bermigrasi secara bergerombol (schooling). Cumi-cumi sangat berasosiasi dengan faktor lingkungan seperti salinitas, suhu dan kedalaman perairan. Kedalaman perairan berpengaruh terhadap keberadaan cumi-cumi (Brodziak and Hendrickson 1999). Peta penyebaran cumi-cumi di Indoensia dapat dilihat pada Gambar 4.

Gambar 4 Peta penyebaran cumi-cumi di Indonesia (Ditjen Perikanan DEPTAN, 1987)

Beberapa genus cumi-cumi seperti Ommastrephid harus beradaptasi secara fisiologi dan morfologis pada waktu bermigrasi jarak jauh. Migrasi harian cumi-cumi dipengaruhi pula oleh kehadiran predator dan penyebaran makanan. Cumi-cumi dewasa pada umumnya bermigrasi ke daerah pemijahan secara bergerombol. Genus Ommastrephid diketahui memijah di daerah lepas pantai, sedangkan

(36)

pantai dari betina. Cumi-cumi akan segera meninggalkan suatu lingkungan perairan yang telah tercemar dan mencari perairan yang lebih baik (Sauer et al. 1999 ).

2.5 Atraktor Cumi-cumi

Brandt (1984) menginformasikan bahwa metode yang sederhana untuk memikat cumi-cumi untuk meletakkan telur adalah dengan cara menenggelamkan ranting pohon ke dalam perairan. Di pantai Kyushu, tempat peletakan telur cumi-cumi terbuat dari keranjang bambu. Keranjang-keranjang bambu ini direndam di dalam air dengan sistem long line. Danakusumah et al. (1995) yang berhasil memijahkan cumi-cumi dalam keramba jaring apung menginformasikan bahwa telur cumi-cumi ditempelkan pada sudut dasar keramba yaitu pada kedalaman 5 m. Sudut keramba merupakan tempat yang agak tersamar dibandingkan bagian lain di dalam keramba. Diinformasikan pula bahwa kebiasaan cumi-cumi menempelkan telurnya tidak dipengaruhi oleh bahan substrat tetapi lebih dipengaruhi oleh tipe dan letak suatu substrat.

Nabhitabhata (1996) menyatakan bahwa di alam, cumi-cumi menempelkan telurnya pada berbagai tipe substrat yaitu substrat alami seperti rumput laut, lamun,

sponge, batu-batuan dan coral dan substrat buatan seperti bubu bambu, daun kelapa, pot bunga, pipa PVC, tali maupun keranjang plastik. Tidak ada substrat alami yang secara khusus dipilih oleh cumi-cumi dalam meletakan telurnya. Substrat dipilih berdasarkan penglihatan dan rabaan induk, bentuk dan letak substrat lebih penting dari pada bahan penyusun substrat itu sendiri. Bentuk yang lebih dipilih adalah bentuk yang menyerupai pita atau tangkai dan letak substrat yang dipilih adalah pada tempat yang agak tersamar atau tersembunyi. Hal lain yang mengakibatkan cumi-cumi menempelkan telurnya adalah faktor keterpaksaan karena tidak ada substrat pilihan lain. Tulak (1999) menginformasikan bahwa telur cumi-cumi pada habitat alami lebih banyak ditemukan di dasar perairan yaitu menempel pada sponge dan karang mati.

2.6 Kapsul Telur

Istilah kapsul telur dimana di dalamnya terdapat telur-telur sering disertakan

di dalam menjelaskan perkembangan embrio. Kapsul pada mulanya disebut chorion

(37)

matang dan bebas dari jaringan folikel, dikeluarkan melalui saluran telur (oviduc) dengan cara satu persatu atau berturut-turut dalam satu rangkaian yang berisi

beberapa telur pada satu kali pelepasan telur (Boletzky 1977 dan Segawa 1987).

Bentuk telur cumi-cumi ditampilkan pada Gambar 5.

Gambar 5 Telur cumi-cumi

Telur-telur yang telah dibuahi akan dikeluarkan satu per satu atau dalam kapsul-kapsul gelatin, kemudian diletakkan atau ditempelkan pada karang, batu-batuan, ganggang, rumput laut atau benda lainnya. Telur cumi-cumi saling melekat hingga menyerupai untaian buah anggur. Pelindung tambahan gelatin yang membungkus masing-masing telur tadi akan mengeras saat bersentuhan dengan air laut. (Gunarso dan Purwangka 1998). Telur-telur diletakkan berserakan atau berkelompok dalam gumpalan atau untaian, kemudian akan menetas setelah 6 minggu atau lebih. Diameter telur antara 0,8 sampai 20 mm dan jumlahnya bervariasi sekitar 60 butir dalam satu kelompok. Cumi-cumi tidak mengenal tahap kehidupan sebagai larva, dimana setelah telur menetas bentuknya seperti induknya (Roper et al. 1984).

(38)

lesoniana adalah dua butir. Jumlah telur normal pada setiap kapsul adalah tiga atau lebih setiap kapsul (Segawa 1987).

2.7 Inkubasi dan Penetasan Telur

Penetasan telur sangat dipengaruhi oleh tingkat pergantian air harian. Tingkat pergantian air ideal adalah 100 % perhari (Danakusumah et al. 1997). Lama masa inkubasi sangat bergantung pada suhu. Suhu yang rendah akan memperlama masa inkubasi (Segawa 1987). Salinitas optimal selama masa inkubasi berkisar 32 sampai 38 ppt (Danakusumah et al. 1997).

Proses penetasan merupakan hasil pelunakan korion karena enzim yang disekresikan oleh embrio. Ukuran telur semakin membesar disebabkan korion yang

(39)

3

METODOLOGI PENELITIAN

3.1 Tempat dan Waktu Penelitian

Penelitian ini dilaksanakan di perairan Teluk Mutiara Kabupaten Alor Provinsi Nusa Tenggara Timur. Peta lokasi penelitian ditampilkan pada Gambar 6.

(40)

Posisi lokasi penelitian terletak pada koordinat 124o 13’ 14” BT dan 08o32’32’’ LS. Waktu penelitian selama 7 (tujuh) bulan yang dimulai dari studi literatur, persiapan, pengumpulan data lapangan dan penyusunan laporan. Penelitian lapangan dilakukan selama 4 bulan dari tanggal 17 Agustus 2005 hingga 18 Desember 2005. Alokasi waktu penelitian lapangan adalah dua bulan penelitian tentang atraktor cumi dan dua bulan penelitian tentang penetasan telur cumi-cumi. Penelitian tentang penetasan telur cumi-cumi dimulai sejak ditemukan telur cumi-cumi telah menempel pada atraktor.

3.2 Bahan dan Alat Penelitian 3.2.1 Bahan

Bahan-bahan penelitian yang digunakan adalah :

- tali polyethylene (PE) diameter 5 mm: 2 kg, 10 mm dan 12mm : 10 kg - waring (meshsize 2 mm dan 5 mm) : 60 meter

- serat ijuk : 20 kg

- batang bambu diameter 4-5 cm : 20 batang dan diameter 8-10 : 20 batang - karung goni : 12 lembar

- swivel : 24 buah

- pelampung (bola plastik) berdiameter 30 cm : 26 buah - semen : 2 sak

- pasir : 4 sak - kerikil : 2 sak

3.2.2 Alat

Peralatan yang digunakan di dalam penelitian ini adalah : - kamera (foto dan video) : masing-masing 1 unit

- alat ukur kualitas air (Horiba) : 1 unit

- meter roll : 1 unit

- Jam : 1 unit

- GPS (global positioning system-garmin 12 Ch) : 1 unit

- peralatan pertukangan (parang, gergaji, ketam, pahat dan sendok campuran) - ember plastik : 24 buah

(41)

3.3 Prosedur Kerja 3.3.1 Pembuatan atraktor

Atraktor cumi terbuat dari serat ijuk dan bambu. Bentuk atraktor cumi-cumi ditampilkan pada Gambar 7 dan Gambar 8.

Gambar 7 Atraktor cumi-cumi tipe terbuka.

(42)

penelitian ini. Kemudian setiap atraktor tersebut disambungkan dengan tali cabang. Antara tali cabang dan atraktor dipasangkan swivel untuk mencegah kusut dan putusnya tali cabang.

Gambar 8 Atraktor cumi-cumi tipe tertutup.

(43)

3.3.2 Pembuatan keramba apung

Bahan-bahan utama dalam pembuatan keramba apung adalah batang bambu dan waring. Bantalan apung keramba dibentuk dari batang bambu sebanya 2 buah dengan panjang 9 m dengan ukuran diameter 8 cm sampai 10 cm. Setiap bantalan apung keramba terdiri dari 4 buah batang bambu yang diikat menjadi satu ikatan. Kedua bantalan bambu disatukan dengan palang yang terbuat dari batang bambu. Jumlah palang sebanyak 3 buah, masing dipasang di bagian ujung dan tengah keramba. Jaring pemeliharaan terbuat dari waring berwarna hitam. Ukuran waring adalah panjang 8 m, lebar 2,2 m dan tinggi 1,1 m. Di dalam jaring pemeliharaan dipasang waring (meshsize 2 mm) sebagai tempat penetasan telur cumi-cumi. Ukuran tempat penetasan adalah panjang 2 m, lebar 2 m dan tinggi 1 meter. Di bagian dalam tempat penetasan telur cumi-cumi dibuat ruang petak sebanyak 4 buah dengan ukuran 1 m x 1 m x 1 m. Di bagian atas dari keramba di beri penutup dari waring (mesh size 5 mm) seukuran lebar dan panjang jaring pemeliharaan, untuk mencegah pemangsaan dari burung-burung laut. Foto bentuk keramba penetasan telur cumi-cumi ditampilkan pada Lampiran 1.

3.3.3 Survei lokasi

Pemilihan lokasi dimaksudkan untuk mendapatkan lokasi yang sesuai untuk pemasangan atraktor. Kedudukan atraktor di atas dasar perairan (kedalaman 4-5 m) karena kurang stabil bila diletakkan pada tempat dengan kemiringan terjal (slope). Atraktor akan terbalik pada saat terjadi pergerakan air (arus) yang dapat merusak karung goni sebagai penutup atraktor. Lokasi yang dipilih adalah bertopografi landai, bersubstrat dasar pasir dan tampak jelas dasar perairan jika dilihat dari atas permukaan air atau dilakukan pengamatan dengan cara menyelam.

(44)
[image:44.612.119.504.66.677.2]

Gambar 9 Tahapan proses penelitian mengenai pemasangan atraktor. Mulai

Membuat Atraktor : - lengkap

- kuat/kokoh - dapat tenggelam - seimbang Survey lokasi :

- landai

- substrat berpasir - cerah

Sesuai Sesuai

Tidak

Setting Atraktor Ya

Tidak

Pengumpulan telur

- Jumlah telur

- Parameter oseanografi - Waktu penempelan telur

Analisis Data

Hasil/Pembahasan

Selesai Kesimpulan

Membuat kejapung : - lengkap

- kuat/kokoh - dapat terapung - seimbang

Sesuai Tidak

Ya Ya

Penetasan telur

- Jumlah telur

(45)

Uji kelayakan atraktor dimaksudkan untuk mengetahui kemampuan tenggelam dan kesetimbangan pada saat dimasukan ke dalam air. Apabila atraktor masih terapung dan kurang seimbang saat digantung pada tali utama maka ditambah pemberat pada tiang kerangkanya. Pemberat yang dipakai adalah semen cor.

3.3.4 Pemasangan atraktor

Pemasangan atraktor di perairan dengan sistem long line. Atraktor dimuat dengan perahu (foto di Lampiran 2) ke tempat tali utama yang telah terpasang. Atraktor dipasang pada tali utama secara acak yaitu tidak ada unsur pilihan pada saat pemasangan atraktor. Setiap pelampung pada tali utama dipasang satu buah atraktor. Atraktor berjumlah 24 unit dipasang pada masing-masing pelampung. Jumlah pelampung adalah 24 unit. Bentuk pemasangan atraktor dengan sistem long line

ditampilkan pada Gambar 10.

Gambar 10. Bentuk pemasangan atraktor dengan sistem long line

(46)

kedalaman perairan pada saat pasang dan surut, yang dipasang di permukaan berada pada kedalaman 0 sampai 1 m. Kedalaman 0 sampai 1 m untuk atraktor di bagian permukaan adalah jarak antara permukaan air hingga bagian dasar atraktor setelah atraktor tersebut dipasang pada tali utama. Jarak ikatan antara setiap atraktor pada tali utama adalah 3 m.

3.4 Pengumpulan Data

3.4.1 Pengamatan telur cumi-cumi pada atraktor

Setelah pemasangan atraktor di perairan, selanjutnya dilakukan pengangkatan atraktor. Pengangkatan atraktor dilakukan dua kali setiap hari yaitu pada waktu pagi (jam 5.00 WITA) dan sore hari (jam 18.00 WITA) untuk mengamati ada tidaknya telur yang menempel pada atraktor dan untuk mengetahui waktu penempelan telur cumi-cumi pada atraktor. Telur cumi-cumi yang ditemukan pada pengangkatan atraktor jam 5.00 WITA diasumsikan menempel pada malam hari sedangkan yang ditemukan pada pengangkatan atraktor jam 18.00 WITA diasumsikan menempel pada siang hari. Telur cumi-cumi yang menempel pada masing-masing atraktor kemudian dicatat jumlahnya. Bentuk desain percobaan ditampilkan pada Tabel 1.

Tabel 1 Bentuk rancangan percobaan

Kedalaman perairan Jenis atraktor Permukaan

(0 – 1 m)

Kolom air (2 – 3 m)

Dasar (4 – 5 m) Ulangan 1

s/d Ulangan ke-4

Ulangan 1 s/d Ulangan ke-4

Ulangan 1 s/d Ulangan ke-4 Dengan

penutup karung goni

Rata-rata Rata-rata Rata-rata Ulangan 1

s/d Ulangan ke-4

Ulangan 1 s/d Ulangan ke-4

Ulangan 1 s/d Ulangan ke-4 Tanpa

penutup karung goni

(47)

3.4.2 Penetasan telur cumi-cumi

4 Telur cumi-cumi dikumpulkan dari atraktor dan selanjutnya dimasukkan ke dalam tempat penetasan. Tempat penetasan telah disiapkan terlebih dahulu di dalam keramba jaring apung. Telur cumi-cumi dari setiap jenis atraktor dan kedalaman pemasangannya dimasukkan pada masing-masing petak di dalam tempat penetasan. Tahap selanjutnya mengamati dan mencatat waktu menetas dari telur-telur tersebut.

3.4.3 Pengukuran parameter oseanografi

Parameter oseanografi di lokasi penelitian yang diukur meliputi parameter fisik dan kimia perairan. Parameter fisik adalah suhu, arus dan ombak, sedangkan parameter kimia adalah oksigen terlarut, salinitas, dan keasaman perairan (pH). Pengukuran parameter oseanografi dilakukan pada pagi, siang dan malam hari setiap minggu untuk mengetahui variasi mingguan kondisi oseanografi. Pengukuran juga dilakukan di dalam keramba jaring apung saat awal telur cumi-cumi diinkubasi.

3.5 Analisis Data

Data yang diperoleh disusun dalam bentuk matriks, dihitung rata-ratanya dan

kemudian dibandingkan dengan uji rata-rata (uji - t), dengan nilai t tabel 0,05. Analisis ini dilakukan untuk menentukan pengaruh dari perbedaan jenis dan kedalaman perairan tempat pemasangan atraktor terhadap jumlah penempelan telur cumi-cumi. Formulasi uji - t menurut petunjuk Nasoetion dan Barizi (1980) sebagai berikut :

n X

X =

……….. (1)

n X X

SS =

2 1 2 1 1 ) ( ………...……… (2) n X X
(48)

2 1

2 1

2 1 2

1

1 1

2 X n n

n n

SS SS SX

SX +

− +

+ =

− ………...………...(4)

t =

2 1

2 1

SX SX

X X

− −

(49)

4 HASIL

DAN

PEMBAHASAN

4.1 Keadaan Umum Teluk Mutiara

Perairan Teluk Mutiara terletak di Kabupaten Alor Provinsi Nusa Tenggara

Timur. Posisi Teluk Mutiara terletak pada koordinat 124o 24’, 25 – 124o, 34’, 33’’

BT dan 08o13’13’’ - 08o16’17’’ LS. Teluk Mutiara merupakan teluk semi terbuka yang dibatasi oleh Tanjung Wolwal dan Tanjung Mulut Kumbang. Luas Teluk Mutiara kira-kira 100 km2 . Kedalaman perairan teluk ini mencapai 70 m. Dasar perairan umum terdiri dari lumpur bercampur pasir dengan topografi pantai yang landai hingga curam (Bapedalda Kab. Alor 2000). Posisi lokasi penelitian terletak pada koordinat 124o 13’ 14” BT dan 08o32’32’’ LS

Beberapa buah sungai yang senantiasa mengalir ke teluk ini adalah Sungai Beldang, Kikilai, Fanating dan Buono. Sedangkan sungai-sungai yang hanya mengalirkan airnya pada saat musim penghujan adalah Sungai Lipa dan Kalabahi. Di beberapa bagian pantai dari teluk ini masih banyak ditumbuhi tanaman bakau. Hamparan terumbu karang meliputi sebagian besar teluk ini. Foto Teluk Mutiara di tampilkan pada Gambar 11 .

(50)

Iklim di Teluk Mutiara dan sekitarnya tergolong kering yaitu musim hujan terjadi kurang lebih 2 hingga 4 bulan sedangkan musim kemarau terjadi 8 hingga 10 bulan dan dipengaruhi oleh angin musim. Angin musim barat bertiup dari arah Laut Flores dan angin musim timur bertiup dari arah Laut Banda (Bapedalda Kab. Alor 2000). Teluk ini merupakan tumpuan harapan hidup bagi kebanyakan masyarakat pesisir Pulau Alor karena perannya yang sangat penting yaitu sebagai tempat penangkapan ikan dan digunakan sebagai jalur transportasi laut bagi masyarakat Alor pada umumnya. Di sekitar perairan teluk ini sedang dikembangkan budidaya rumput laut jenis Eucheuma cottonii oleh masyarakat di sekitarnya.

Teluk Mutiara merupakan teluk yang terlindung dari ombak besar pada musim barat maupun musim timur. Roper et al. (1984) menginformasikan bahwa cumi-cumi merupakan hewan neritik yang senang hidup bergerombol dan terkonsentrasi pada perairan dangkal. Nabhitabhata (1996) menginformasikan bahwa cumi-cumi meyukai daerah pantai, terumbu karang dan daerah estuaria. Menurut Field (1965) yang diacu dalam Krissunari (1987), daerah pemijahan cumi-cumi biasanya berada di teluk atau perairan yang terlindung. Cumi-cumi selalu ditangkap oleh nelayan di teluk ini. Alat tangkap yang digunakan oleh nelayan adalah jaring insang dan pancing. Hal ini menunjukan bahwa cumi-cumi hidup di dalam perairan teluk ini.

4.2 Parameter Oseanografi

(51)

Parameter oseanografi untuk perairan tropis yakni suhu 25 sampai 32o C, salinitas 30 sampai 34 ppt, oksigen terlarut 6 sampai 8 mg/liter dan dan pH 7 sampai 8. Parameter fisik seperti suhu dan salinitas merupakan faktor pembatas di laut (Nybakken 1988). Kriteria parameter kualitas perairan bagi kehidupan cumi-cumi dan cephalopoda pada umumnya adalah sebagai berikut : Oksigen terlarut (DO) > 5 mg/liter, salinitas 25 sampai 35 ppt, suhu 28 sampai 32 oC, pH 7,0 sampai 8,5 (Nabhibtabhata 1996). Parameter oseanografi yang terukur selama penelitian ditampilkan pada Tabel 2.

Tabel 2 Parameter oseanografi di lokasi penelitian Parameter

Oseanografi Terendah Tertinggi

Suhu 25,9oC 30,5 oC

Salinitas 31,5 ppt 32,6 ppt

Oksigen Terlarut 7,04 mg/liter 8,91 mg/liter

pH 8,1 8,18

[image:51.612.124.508.270.391.2]

Dari Tabel 2 tampak bahwa suhu rata-rata adalah 28,5 oC, salinitas rata-rata adalah 32,13 ppt, oksigen terlarut rata-rata adalah 7,85 mg/liter. Kisaran angka parameter oseanografi lokasi penelitian ini masih berada dalam persyaratan hidup bagi cumi-cumi. Perbandingan parameter oseanografi di lokasi penelitian pada waktu siang dan malam hari ditunjukkan pada Tabel 3.

Tabel 3 Perbedaan parameter oseanografi di lokasi penelitian

Waktu Suhu (oC) Salinitas (ppt) DO (mg/liter) pH

Pagi 25.9 32.3 7.04 8.18

Siang 29 31.5 8.91 8.10

Malam 30.5 2.6 7.6 8.14

[image:51.612.117.515.531.634.2]
(52)

0 5 10 15 20 25 30 35

N i

l a

i

Suhu (oC) Salinitas (ppt)

DO (mg/ltr) pH

Parameter Oseanografi

Pagi Siang Malam

Gambar 12 Nilai parameter oseanografi di lokasi penelitian pada saat pagi siang dan malam hari.

[image:52.612.146.492.76.320.2]

Berdasarkan kriteria yang diinformasikan oleh Nabhibtabhata (1996) dapat dinyatakan bahwa parameter oseanografi di lokasi penelitian seperti suhu, oksigen terlarut dan pH sesuai bagi kehidupan cumi-cumi. Substrat dasar perairan pada lokasi penelitian adalah pasir berlumpur.

(53)

kecepatan perkembangan embrio hewan air dipengaruhi oleh suhu air. Selanjutnya ditambahkan bahwa suhu air yang semakin tinggi hingga batas tertentu, akan mempercepat waktu penetasan telur cumi-cumi. Segawa (1987) menyatakan bahwa

perkembangan dan penetasan telur yang normal berada pada kisaran suhu 20 o – 30 o C.

4.3 Penempelan Telur Cumi-cumi Pada Atraktor

Kedalaman pemasangan atraktor adalah pada permukaan, kolom dan di atas dasar perairan. Khusus untuk atraktor yang dipasang di dasar perairan, kedalaman rata-rata tempat peletakan atraktor tersebut adalah 5 m pada saat pasang tertinggi dan 3 m pada saat surut terendah. Hal ini disesuaikan dengan kedalaman renang (Swimming layer) cumi – cumi yang paling banyak ditemukan pada kedalaman 5 m. Danakusumah et al. (1995) menginformasikan bahwa telur cumi-cumi paling banyak ditempelkan di kedalaman 5 m. Ditambahkan oleh Tulak (1999) bahwa kapsul telur cumi-cumi sering ditemukan juga pada kedalaman 3 meter.

Pemasangan penutup atraktor berupa karung goni merupakan upaya manipulasi lingkungan untuk membuat ruang atraktor berada dalam keadaan tersamar atau agak gelap. Kerangka berbentuk ruang persegi empat dimaksudkan untuk menyediakan ruang perlindungan bagi telur cumi-cumi. Tulak (1999) menginformasikan bahwa cumi-cumi menempelkan telurnya secara tersembunyi pada bagian dalam ranting-ranting sponge untuk menjamin keamanan telur tersebut.

Setelah dilakukan pemasangan atraktor dan dari hasil pengamatan diketahui bahwa telur cumi-cumi cenderung menempel pada atraktor berpenutup karung goni yang dipasang di atas dasar perairan. Telur cumi-cumi menempel pada helai tali ijuk atraktor. Telur cumi-cumi tidak menempel pada bagian lain dari aktraktor seperti penutup dari karung goni, bambu, tali pengikat ijuk dan tali cabang di bagian atas atraktor.

(54)
[image:54.612.141.500.417.650.2]

atraktor dan kedalaman perairan tempat pemasangan atraktor menunjukkan bahwa ada pengaruh yang sangat nyata dari jenis dan kedalaman pemasangan atraktor terhadap penempelan telur cumi-cumi. Data dan foto penempelan telur cumi-cumi dapat dilihat pada Lampiran 5 dan Lampiran 6. Jumlah rata-rata telur setiap atraktor berdasarkan kedalaman perairan tempat pemasangannya ditampilkan pada Tabel 4.

Tabel 4. Jumlah telur pada setiap jenis dan kedalaman pemasangan atraktor PERLAKUAN

Berpenutup Karung Goni Tanpa Penutup Karung Goni ULANGAN Permukaan (0-1 m) Kolom (2-3 m) Dasar (4 -5 m)

Permukaan (0 -1 m)

Kolom (2 -3 m)

Dasar (4 -5 m)

1 - - 125 - - -

2 - - 53 - - -

3 - - 150 - - -

4 - - 75 - - -

Rata-rata - - 100,75 - - -

Visualisasi dari perbedaan jumlah rata-rata telur yang menempel pada setiap jenis atraktor yang dipasang pada setiap kedalaman ditampilkan pada Gambar 13.

0 10 20 30 40 50 60 70 80 90 100 J u m la h r a ta -r a ta te lu r (0 - 1 m ) te rb uk a (0 - 1 m ) b e rp en ut u p (2 - 3 m ) te rb u k a (2 - 3 m ) b e rp en ut u p (4 - 5 m ) te rb u k a (4 - 5 m ) b e rp en ut u p

Jenis dan Kedalaman perairan

(55)

Jumlah rata-rata telur cumi-cumi yang menempel pada atraktor selama penelitian adalah 100,75 terdiri dari 5 kelompok telur. Jumlah individu pada kapsul telur bervariasi yaitu antara 3 sampai 5 individu. Dalam penelitian ini hanya ditemukan 1 kapsul yang berisi 3 butir telur, sedangkan yang lain semuanya berisi 5 butir telur. Segawa (1987) melaporkan bahwa telur-telur tersimpan dalam kapsul dan setiap kapsul dapat mencapai 10 sampai 275 kapsul telur. Jumlah telur yang dihasilkan berkisar 38 sampai 1734 butir. Jumlah menimum telur adalah 2 butir ditemukan pada kapsul telur Sepioteuthis lessonianna. Ahmat et al. (1996) menginformasikan makanan dapat merangsang pembentukan dan penyempurnaan kapsul telur cumi-cumi.Pongsapan et al. (1995) menginformasikan bahwa kapsul-kapsul telur tersebut berwarna putih, lunak, mempunyai gelatin tipis dan tembus cahaya. Jumlah kapsul yang dihasilkan dalam sekali pemijahan berkisar 78 sampai 408 dengan jumlah telur yang terkandung di dalamnya sebanyak 194 sampai 1350 butir. Danakusumah et al.

(1995) melaporkan bahwa jumlah kapsul telur cumi-cumi berkisar 380 -551 dengan jumlah telur yang terkandung di dalamnya 700 sampai 2241 butir, setiap kapsul berisi 1 sampai 6 butir.

(56)

lepas pantai (off shore) dan daerah pantai (in shore) sangat kuat dipengaruhi oleh kondisi lingkungan. Faktor lain yang berpengaruh adalah faktor biologi seperti pemangsaan dan kelimpahan makanan. Kelimpahan berkurang pada bulan september dan menurun secara dramatis pada bulan nopember (Anonymous 1994). Tidak ditemukannya telur cumi-cumi yang menempel pada atraktor pada minggu ke empat dan seterusnya adalah dikarenakan oleh waktu pemijahan yang telah lewat. Segawa (1987) menginformasikan bahwa musim pemijahan cumi-cumi terjadi pada bulan Juli-Agustus. Danakusumah et al. (1995) menginformasikan bahwa puncak musim pemijahan cumi-cumi terjadi pada bulan Juni-Agustus.

Penempelan telur cumi-cumi pada atraktor pertama terjadi pada minggu ke dua (hari ke 12). Pada minggu ke tiga ( hari ke 16, 19 dan 20) semua attraktor berpenutup karung goni yang dipasang di atas dasar ditemukan telur cumi-cumi.

Persentase penempelan telur cumi-cumi pada atraktor berpenutup karung goni berdasarkan waktu pengamatan (dalam minggu) di tampilkan pada Gambar 14.

0 10 20 30 40 50 60 70 80 90 100

P

enem

pel

an T

e

lu

r (%

)

1 2 3 4 5 6 7 8

M i n g g u

Gambar 14 Persentase penempelan telur cumi-cumi pada atraktor

(57)

Minggu ke 2 dan ke 3 dalam waktu penelitian ini berada pada akhir bulan Agustus dan awal bulan September tahun 2005. Informasi ini hampir sama dengan informasi yang dinyatakan oleh Segawa (1987) bahwa cumi-cumi melakukan pemijahan pada tanggal 27 Juni – 30 Agustus 1987 di Perairan Kominato (Jepang) dan sekitarnya. Danakusumah et al. (1995) menginformasikan bahwa musim puncak pemijahan cumi-cumi terjadi pada bulan Juni dan Juli. Berdasarkan informasi ini diketahui bahwa pada minggu ke empat hingga ke delapan cumi-cumi tidak menempelkan telurnya kemungkinan disebabkan oleh musim pemijahan yang telah lewat.

4.4 Waktu Penempelan Telur

Roper et al. (1984) menyatakan bahwa pada umumnya cumi-cumi ditemukan pada daerah pantai dan paparan benua cumi-cumi melakukan pergerakan diurnal, yaitu pada siang hari akan berkelompok dekat dasar perairan dan akan menyebar pada kolom perairan pada malam hari. Dari tingkah laku pergerakan ini kemungkinan dapat diketahui waktu penempelan telur cumi-cumi bila diuji cobakan dengan waktu pengangkatan atraktor.

[image:57.612.155.505.466.669.2]

Pengangkatan atraktor dilakukan setiap hari selama penelitian dimana dalam sehari dilakukan dua kali pengangkatan atraktor yaitu pada waktu menjelang malam dan menjelang pagi. Foto pengangkatan atraktor ditampilkan pada Gambar 15.

(58)

Pada Gambar 15 tampak peneliti sedang mengangkat atraktor tipe terbuka. Pengangkatan atraktor dibagi dalam dua tahap pengangkatan yaitu (1) jam 5 pagi hingga jam 6 sore, (waktu siang) dimana atraktor diangkat pada jam 6 sore, dan (2) jam 6 hingga jam 5 pagi (waktu malam) dimana atraktor diangkat pada jam 5 pagi. Adanya pembagian waktu dalam penelitian ini yaitu antara periode siang dan malam dimaksud untuk mengetahui waktu induk cumi-cumi menempelkan telurnya. Selama penelitian (62 hari) dilakukan pengangkatan atraktor sebanyak 124 kali untuk setiap atraktor dan 2976 kali pengangkatan untuk semua atraktor yang berjumlah 24 buah. Dalam penelitian ini penulis dibantu oleh 2 orang yang bekerja sebagai tenaga lapangan untuk pengangkatan dan penurunan atraktor.

Telur cumi-cumi tidak ditemukan menempel pada atraktor pada periode pengangkatan siang hari (pengangkatan jam 6 sore). Telur cumi-cumi ditemukan menempel pada atraktor pada periode pengangkatan malam (pengangkatan jam 5 pagi). Dari periode pengangkatan ini diketahui bahwa induk cumi-cumi menempelkan telurnya pada malam hari karena semua telur cumi-cumi yang menempel pada atraktor ditemukan pada saat pengangkatan atraktor pada waktu menjelang pagi.

4.5 Waktu Penetasan Telur Cumi-cumi

(59)
[image:59.612.154.504.172.422.2]

berenang berkelompok. Tingkah laku juvenil pada saat makan adalah mengejar dan menangkap mangsa. Setelah mangsa tertangkap juvenil cumi-cumi berenang mundur ke belakang dengan tetap memegang mangsa. Cara penetasan telur cumi-cumi ditampilkan pada Gambar 16.

Gambar 16 Cara penetasan telur cumi-cumi di dalam keramba jaring apung.

(60)

mulai sejak menetas di dalam laboratorium sampai mencapai tahap mendekati dewasa atau sampai dewasa. Metode pemeliharaan telur harus dibakukan dan setiap kemajuan perkembangan embrionik harus diamati. Perbedaan warna telur cumi-cumi awal dan mendekati saat menetas ditampilkan pada Gambar 17

A B

[image:60.612.125.510.179.402.2]

Keterangan : A = Warna telur cumi-cumi hari pertama B = Warna telur cumi-cumi hari ke-25

Gambar 17 Perbedaan warna telur cumi-cumi awal dan mendekati waktu menetas

Pada Gambar 17 tampak bahwa telur cumi-cumi pada awalnya berwarna putih cerah berubah menjadi gelap pada saat mendekati saat menetas. Ukuran diamater telur saat mendekati waktu menetas lebih besar dari ukuran diameter awal saat telur diambil dari atraktor. Embrio cephalopoda memiliki bentuk blastula yang unik dan berbeda dengan molusca lainnya (Boletzky 1998). Embrio ini berhasil mengembangkan perlengkapan untuk mengapung yang sangat baik (Sophisticated) dari sebuah cangkang yang sederhana (Bandel dan Boletzky 1979). Mereka memiliki alat-alat indera yang sempurna serta mata dan statocyst yang sangat mirip dengan organ-organ analog pada hewan vertebrata (Boletzky 1998).

(61)

A B Keterangan : A = anak cumi-cumi berumur 2 hari

[image:61.612.127.521.73.298.2]

B = cumi-cumi berumur 3 minggu (panjang tubuh 9 hingga 10 cm) Gambar 18 Cumi-cumi hasil pembesaran di dalam keramba jaring apung.

(62)

5 KESIMPULAN DAN SARAN

5.1 Kesimpulan

Berdasarkan hasil penelitian ini dapat disimpulkan beberapa hal sebagai berikut :

(1) Jenis dan kedalaman perairan tempat pemasangan atraktor berpengaruh tehadap penempelan telur cumi-cumi

(2) Telur cumi-cumi hanya menempel pada atraktor berpenutup karung goni

(3) Telur cumi-cumi menempel di atraktor pada kedalaman 4 hingga 5 m di atas dasar perairan

(4) Telur cumi-cumi menempel di atraktor pada waktu malam hari

(5) Telur cumi-cumi menetas pada hari ke dua puluh delapan hingga hari ke tiga puluh

5.2 Saran

Berdasarkan hasil penelitian ini dapat disarankan beberapa hal sebagai berikut :

(1) Penggunaan atraktor untuk mengumpulkan telur cumi-cumi dari alam lebih efektif dilakukan pada musim pemijahan cumi-cumi bulan Agustus hingga September

(63)

DAFTAR PUSTAKA

Ahmad, T, Gunarto, D. Pongsapan, A. G. Mangawe, M. Silele, M. I. Madeli, Muharijadi, E. Danakusumah. 1996. Penelitian Reproduksi dan Pemeliharaan Larva cumi-cumi Sebagai Upaya Menggali Pertumbuhan Produksi Pangan Baru. [Laporan Hasil Penelitian]. Maros : Balai Penelitian Perikanan Pantai. 27 hal.

Anonymous, 1989. Market Studi : Squid, Cuttle Fish and Octopus. A Study of The World Market for Cephalopods. Geneva : International Trade Center UNCTAD / GATT. 199 p

Anonymous, 1994. Offshore and Inshore Fisheries Development and Technologies. Squid Species. Ontario : Communications Directorate Department of Fisheries and Oceans.p 1-5.

Bandel, K and S. v. Boletzky. 1979. Comparativ Study of The Structure, Development, and Morphologycal Relationshipp of Chambered Cephalopod Shells. Veliger 21 (3) : 313-354

Bapedalda Kabupaten Alor. 2000. Strategi Pengelolaan Keanekaragaman Hayati Kabupaten Alor Provinsi Nusa Tenggara Timur. Kalabahi : Badan Pengendalian Dampak Lingkungan Daerah Kabupaten Alor. 70 hal.

Barnes, R. D. 1987. Invertebrate Zoology. Fish Edition. Philadelphia : Sounders College Publishing.

Boletzky, S.v. 1977. The Biology of Cephalopods. Post-hatching Behaviour and More of Life in Cephalopods.England : Academic Press. P 557 - 567.

Boletzky, S.v. 1998. Cephalopod Eggs and Masses. Oceanography and Marine Biology : an Annual Review 36 : 341 – 371

Brandt, A. v. 1984. Fish Catching Methods of The World. 3rd Edition. England: Fishing News Books Ltd. 418 p.

Brodziak, J and L. Hendrickson. 1999. An Analysis of Environmental Effects on Survey Sathes of squid Loligo pealey and Illex illebrosus in The Northwest Atlantic. Fis.Bull. 97 : p 9-24.

(64)

Danakusumah, E., A. Mansur dan S. Martinus 1995. Studi Mengenai Aspek-aspek Biologi dan Budidaya Cumi-cumi Sepioteuthis lessoniana LESSON . I Musim Pemijahan. Prosiding. Seminar Kelautan Nasional 15-16 November 1995. Jakarta : BPPT. 17 hal

Danakusumah, E. Mansur dan S. Martinus 1997. Studi Mengenai Aspek-aspek Biologi dan Budidaya Cumi-cumi Sepioteuthis lessoniana. II.

Pengaruh Pergantian Air Terhadap tingkat Penetasan Telur Cumi-cumi. [Makalah]. Bandar Lampung : Prosiding Seminar Nasional Biologi XV, 24-26 Juli 1997. p 868-871.

Direktorat Jenderal Perikanan. 1987. Penyebaran Beberapa Sumber Perikanan di Indonesia. Jakarta : Departemen Pertanian. 43 hal.

Djajasamita, M., S. Soemodiharjo, dan B. Sudjoko. 1993. Status sumberdaya Cephalopoda di Indonesia. Panitia Nasional Program MAB Indonesia. Jakarta : LIPI.

Effendie, M. I. 2002. Biologi Perikanan. Jogjakarta : Yayasan Pustaka Nusatama. 163 hal.

FAO. 1984. FAO Spesies Cataloque Vol 13. Cephalopods of The World. FAO Fisheries Synopsis No.125 (3). 274 p.

Field, W. G. 1965. The Strukture, Development, Food Relation, Reproduction, and Life History of The Squid, Loligo opalescens Berty. California : California Dept. Fish and Game, Fish Bull. 131 : 1-108.

Gappindo. 1999. Cephalopoda Suatu Industri dalam Masalah. Buletin Gappindo. Edisi Januari 1999. 34 -37.

Gunarso, W dan F. Purwangka. 1998. Cumi-cumi dan Kerabatnya. Biologi, Penangkapan, serta Prospek Bisnisnya. Bogor : Laboratorium Tingkah Laku Ikan. Jurusan Pemanfaatan Sumberdaya Perikanan. Fakultas Perikanan Institut Pertanian Bogor. 228 hal.

Hamzah, M.S. 1993. Pengamatan Tentang Perkembangan dan Kecepatan Penetasan Telur Sotong Buluh, Sepioteuthis lessoniana LESSON Pada Dua Kedalaman yang Berbeda di Teluk Un, Tual. Balai Litbang Sumberdaya Laut Puslitbang Oseanologi LIPPI Ambon. Ambon. Hal : 73-80

(65)

Hegner, R.W., and J. G. Engemann. 1989. Invertebrate Zoology. 2 nd Edition. New York : Macmillan Publishing Co., Inc. 619 p.

Johnson, H. Willis., E. D. Louis., W. C. Elliot., A. C. Thomas. 1977. Principle of Zoology. New York : Holt, Rinehart and Winston Inc.

Kreuzer, R. 1984. Squid – Seafood Extraordinaire. Infofish 6 (86) : 29-32

Krissunari, D. 1987. Kebiasaan Makanan dan Pertumbuhan Cumi-cumi (Loligo edulis, Hoile) di Perairan Pulau Rambut, Kepulauan Seribu. [Skripsi]. Bogor : Fakultas Perikanan, Institut Pertanian Bogor. 60 hal

Nabhitabhata, J. 1983. Eksternal Sex Characteristics and Seksual activities of Long Finned Squid, Sepioteuthis lessoniana LESSON. Technical Paper Rayong Brackishwater Fisheries Station : Brackishwater Fisheries Division, Departmen of Fisheries (1). 28 p.

Nabhitabhata, J. 1996. Life Cycle of Cultured Big Fin Squid, Sepioteuthis lessoniana LESSON. Phuket : Phuket Marine Biology Center. Special Publication 25 (1) : p 91 -99.

Nasoetion, A. H dan Barizi. 1980. Metode Statistik untuk Menarik Kesimpulan. Jakarta : PT. Gramedia Pustaka Utama. 223 hal.

Nateewathana, A. 1997. Systematic of Cephalopoda (Mollusca) of The Andaman Sea Thailand. Denmark. PhD Disertation [unpublicated]. Institute of Natural Science, Faculty of Natural Science, University of Aaurnus. 347 p

Nybakken, J. W. 1988. Biologi Laut. Suatu Pendekatan Ekologis (diterjemahkan oleh M. Eidman, Koesbiono dan D. G. Bengen). Jakarta. PT. Gramedia Pustaka Utama. 480 hal

Pongsapan, D.S., Usman, dan T. Ahmad. 1995.Pengaruh Padat Tebar Induk Sotong Buluh Sepioteuthis Lessoniana terhadap pertumbuhan, kelangsungan hidup, dan Jumlah Telur dalam Keramba Jaring Apung. [Laporan Hasil Penelitian]. Maros : Balai Penelitian Perikanan Pantai Maros. Hal. 83 – 91

Raharjo, S dan D. G. Bengen. 1984. Studi Beberapa Aspek biologi Cumi-cumi (Loligo sp) di Perairan Gugus Kepulauan Seribu. [Laporan Penelitian]. Bogor : Fakultas perikanan, Institut Pertanian Bogor.

Gambar

Gambar 2.
Gambar 4   Peta  penyebaran cumi-cumi di Indonesia (Ditjen Perikanan DEPTAN,
Gambar 9  Tahapan proses penelitian mengenai pemasangan atraktor.
Gambar 12.
+7

Referensi

Dokumen terkait