• Tidak ada hasil yang ditemukan

Funcional Interaction of Squid (Loligo chinensis. Gray 1849) Egg Attachment on Atractor Squid Aggregate Device in Tuing Sea Bangka Regency

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2017

Membagikan "Funcional Interaction of Squid (Loligo chinensis. Gray 1849) Egg Attachment on Atractor Squid Aggregate Device in Tuing Sea Bangka Regency"

Copied!
54
0
0

Teks penuh

(1)

INTERAKSI FUNGSIONAL PENEMPELAN TELUR CUMI (Loligo

chinensis. Gray, 1849) PADA MODIFIKASI RUMPON ATRAKTOR

CUMI DI PERAIRAN TUING KABUPATEN BANGKA

INDRA AMBALIKA SYARI

SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR

(2)
(3)

PERNYATAAN MENGENAI TESIS DAN

SUMBER INFORMASI SERTA PELIMPAHAN HAK

CIPTA*

Dengan ini saya menyatakan bahwa tesis berjudul : “Interaksi Fungsional Penempelan Telur Cumi (Loligo chinensis, Gray. 1849) pada Modifikasi Rumpon Atraktor Cumi di Perairan Tuing Kabupaten Bangka” adalah benar karya saya dengan arahan dari komisi pembimbing dan belum diajukan dalam bentuk apa pun kepada perguruan tinggi mana pun. Sumber informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan maupun tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam Daftar Pustaka di bagian akhir thesis ini.

Dengan ini saya melimpahkan hak cipta dari karya tulis saya kepada Institut Pertanian Bogor.

Bogor, Januari 2014

Indra Ambalika Syari

(4)

RINGKASAN

INDRA AMBALIKA SYARI. Interaksi Fungsional Penempelan Telur Cumi (Loligo chinensis. Gray, 1849) pada Modifikasi Rumpon Atraktor Cumi di Perairan Tuing Kabupaten Bangka. Dibimbing oleh MUJIZAT KAWAROE and MULYONO S. BASKORO

Jumlah armada dan modernisasi alat tangkap tidak diiringi dengan program pengkayaan stok cumi-cumi. Rumpon atraktor cumi merupakan salah satu teknologi tepat guna untuk pengembangan program pengkayaan stok cumi di masa yang akan datang. Bentuk dan bahan pembuat rumpon atraktor cumi saat ini kurang aplikatif dengan kondisi nelayan kecil dan di daerah terpencil. Oleh karena itu dirancang modifikasi model rumpon atraktor cumi yang lebih sederhana menggunakan bahan yang relatif murah dan mudah diperolah sesuai dengan potensi lokal di daerah.

Penelitian ini dilakukan di Perairan Tuing Kabupaten Bangka Provinsi Kepulauan Bangka Belitung pada bulan Oktober 2012 – Juni 2013 dengan menggunakan 12 unit rumpon atraktor cumi. Rumpon atraktor cumi yang digunakan terdiri dari dua jenis yaitu bentuk kotak dari bahan kayu dan bentuk silindris dari bahan drum bekas dengan jumlah masing-masing tiap jenis 6 unit. Rumpon atraktor cumi ditenggelamkan pada kedalaman 3 meter dan 5 meter dengan waktu pengamatan sebanyak 5 kali.

Hasil uji-t menunjukkan bahwa faktor waktu pengamatan dan bentuk rumpon yang paling mempengaruhi penempelan telur cumi-cumi pada rumpon. Hasil penelitian menunjukkan bahwa penempelan telur cumi-cumi lebih efektif pada rumpon bentuk silindris, kedalaman 3 meter dan pada waktu November – Desember 2012. Waktu pengamatan pada November – Desember 2012 diprediksi sebagai waktu pemijahan cumi-cumi di lokasi penelitian karena banyak kapsul telur cumi-cumi-cumi-cumi yang menempel pada rumpon atraktor cumi bentuk silindris. Rumpon atraktor cumi bentuk silindris lebih tertutup dan terlindung sehingga cumi-cumi lebih menyukai untuk menempelkan telurnya dibanding rumpon atraktor bentuk kotak. Selama lima kali pengamatan penelitian, dari 12 unit rumpon atraktor cumi yang diteliti ditemukan sebanyak 3.449 kapsul telur yang menempel dengan jumlah telur sebanyak 3 – 6 telur cumi-cumi. Jenis ikan yang selalu ditemui pada lokasi penenggelaman rumpon atraktor cumi adalah Lutjanus lutjanus.

(5)

SUMMARY

INDRA AMBALIKA SYARI. Funcional Interaction of Squid (Loligo chinensis. Gray 1849) Egg Attachment on Atractor Squid Aggregate Device in Tuing Sea Bangka Regency. Supervised by MUJIZAT KAWAROE and MULYONO S. BASKORO

Numbers of armada and fishing gear modernisation are not accompanied by squid stock enrichment program. Atractor squid aggregate device is one of the efficient technology for squid stock enrichment program development in the future. Atractor squid aggregate device form and material recently are less applicative for fisherman condition in the remote area. Therefore atractor squid aggregate device model modified to become less complicated by using cheaper and easy to find material based on local potency in the area.

This research was conducted in Tuing Sea, Bangka Regency, Bangka Belitung Province since October 2012 until June 2013 by using 12 units of atractor squid aggregate device. There are two type of squid aggregates devices in this research which are 6 units square form with wood material and 6 units cylindrical form made from used drum. Each atractor squid aggregate device drowned in 3 meter and 5 meter depth and monitored 5 times.

The result of t-test show that time of monitoring factor and atractor squid aggregate device form are two factors which most influenced the squid eggs attachment to aggregate device. The result of research shows that squid eggs attach effectively to cylindrical form Squid aggregatee device, 3 meter depth and in November – Desember 2012. Monitoring in November-December 2012 was predicted as time of squid spawning in the study site because of many egg capsules of squid attached. Atractor squid aggregate device that cylindrical form was more enclosed and protected so squids prefer to attach their eggs than rumpon atractor that box form. During the five times monitoring of the study, from 12 units of atractor squid aggregate device that surveyed were found as many as 3,449 egg capsules attached with the number of capsules as many as 3-6 eggs of squid. Spesies of fish that are always found in the location of the drowned of atractor squid aggregate device is Lutjanus lutjanus.

(6)

© Hak Cipta Milik IPB, Tahun 2014

Hak Cipta Dilindungi Undang-Undang

Dilarang mengutip sebagian atau seluruh karya tulis ini tanpa mencantumkan atau menyebutkan sumbernya. Pengutipan hanya untuk kepentingan pendidikan, penelitian, penulisan karya ilmiah, penyusunan laporan, penulisan kritik, atau tinjauan suatu masalah; dan pengutipan tersebut tidak merugikan kepentingan IPB

(7)

Tesis

sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Magister Sains

pada

Program Studi Ilmu Kelautan

INTERAKSI FUNGSIONAL PENEMPELAN TELUR CUMI (Loligo

chinensis. Gray, 1849) PADA MODIFIKASI RUMPON ATRAKTOR

CUMI DI PERAIRAN TUING KABUPATEN BANGKA

INDRA AMBALIKA SYARI

SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR

(8)
(9)

Judul Tesis : Interaksi Fungsional Penempelan Telur Cumi (Loligo chilensis. Gray, 1849) pada Modifikasi Rumpon Atraktor Cumi di Perairan Tuing Kabupaten Bangka

Nama : Indra Ambalika Syari NIM : C551110011

Disetujui oleh Komisi Pembimbing

Dr Ir Mujizat Kawaroe, MSi Ketua

Prof Dr Ir Mulyono S. Baskoro, MSc Anggota

Diketahui oleh

Ketua Program Studi Ilmu Kelautan

Dr Ir Neviaty Putri Zamani, MSc

Dekan Sekolah Pascasarjana

Dr Ir Dahrul Syah, MSc Agr

(10)
(11)

ii

PRAKATA

Puji syukur penulis panjatkan kehadirat Allah SWT, karena atas rahmat dan izinNya penulis dapat menyelesaikan tesis dengan judul penelitian Interaksi Fungsional Penempelan Telur Cumi (Loligo chinensis. Gray, 1849) pada Modifikasi Rumpon Atraktor Cumi di Perairan Tuing Kabupaten Bangka. Tesis ini tidak akan terwujud tanpa ada sumbangan pikiran dan tenaga dari berbagai pihak. Untuk itu penulis mengucapkan banyak terima kasih kepada :

 Dr Ir Mujizat Kawaroe, MSi sebagai Pembimbing I dan Prof Dr Ir Mulyono S. Baskoro MSc sebagai Pembimbing II penelitian tesis.  Keluarga tersayang (orang tua, mertua, istri dan anak) sebagai sumber

motivasi dalam berjuang.

 Dr Ir Neviaty P. Zamani, MSc dan Prof. Dr. Ir Dietriech G. Bengen, DEA yang banyak memberikan masukan untuk kesempurnaan tesis ini.

 Teman-teman senasib sesama mahasiswa program studi Ilmu Kelautan – IPB 2011 atas kebersamaan dan keceriaan, spesial untuk Tim ”Scientific Mistake”.

 Saudara seperantauan di Ikatan Mahasiswa Bangka (ISBA) Bogor untuk sharing semangat dan inspirasi.

 Universitas Bangka Belitung, Pemerintah Provinsi Kepulauan Bangka Belitung dan Yayasan Sayang Babel Kite (SBK) atas bantuan selama kuliah dan penelitian.

 Tiko Pajri, Marwazi dan Bapak Wawan Oktariza yang banyak membantu selama pengambilan data di lapangan.

Penulis menyadari bahwa isi tesis ini masih jauh dari sempurna. Namun, terlepas dari kesempurnaan tersebut, penulis berharap tesis ini setidaknya bisa memberikan sedikit sumbangan bagi perkembangan penelitian cumi-cumi di Indonesia. Penulis mohon maaf apabila ada kesalahan di dalam tesis ini. Semoga tesis ini bermanfaat.

Bogor, Januari 2014

(12)

iii

Uji Perbedaan Jenis, Waktu Pengamatan, Kedalaman dan Faktor Lingkungan Terhadap Penempelan Telur Cumi-cumi 15

(13)

iv 6 Jumlah penempelan kapsul telur cumi-cumi pada rumpon atraktor cumi 19 7 Jenis ikan yang ditemukan pada lokasi penenggelaman rumpon 26 8 Tingkat keefektifan rumpon atraktor cumi 27 9 Analisa pengaruh waktu pengamatan, kedalaman dan jenis rumpon terhadap penempelan telur cumi-cumi 30 10 Hasil analisa Two-way Anova untuk faktor perlakuan waktu pengamatan dan jenis rumpon 39

11 Hasil analisa Two-way Anova untuk faktor perlakuan kedalaman dan jenis rumpon 39 12 Hasil analisa Two-way Anova untuk faktor perlakuan waktu pengamatan dan kedalaman 39

7 Kondisi rumpon pada pengamatan ke 3 (A; rumpon atraktor cumi bentuk kotak yang tersisa. B; rumpon bentuk silindris yang tertimbun substrat. C; atraktor dari tali rami yang rusak. D; telur cumi-cumi yang sebagian kondisinya telah rusak dimakan predator) 19

12 Jumlah penempelan kapsul telur cumi pada rumpon atraktor cumi bentuk kotak dan silindris 25

13 Rumpon atraktor cumi bentuk kotak (kiri) dan silindris (kanan) yang ditempel oleh telur cumi-cumi pada hasil pengamatan ke 5 26

(14)

v

DAFTAR LAMPIRAN

1 Foto pembuatan dan penenggelaman rumpon cumi di Perairan Tuing 35 2 Kondisi telur cumi-cumi yang menempel pada rumpon atrkator cumi 36 3 Biota-biota yang hidup disekitar dan yang menempel pada rumpon

atraktor cumi 37

4 Hasil Ujit t untuk pengaruh masingmasing faktor perlakuan; waktu

(15)

1

PENDAHULUAN

Latar Belakang

Indonesia memiliki potensi yang sangat besar untuk mengembangkan sektor perikanan cumi-cumi. Hal ini karena Indonesia memiliki laut yang luas sebagai kawasan tangkap maupun pengembangan budidaya cumi-cumi. Cumi-cumi termasuk jenis makanan laut favorit bagi banyak orang sehingga harga cumi-cumi di pasaran relatif tinggi dan stabil. Cumi-cumi merupakan komoditi ekspor Indonesia dengan nilai tertinggi kedua untuk komoditi non ikan setelah udang. Permintaan cumi-cumi tertinggi adalah dari negara Italia dan Korea kemudian diikuti oleh Taiwan dan Jepang. Nilai ekspor cumi-cumi Tahun 2005 Indonesia sebesar US$ 42.380 (Samudera, Edisi 48, September 2006). Saat musim cumi-cumi melimpah, komoditi ini dapat diolah menjadi produk olahan cumi-cumi kering atau cumi asin dengan harga yang lebih tinggi dan memiliki waktu pemanfaatan yang lebih lama. Selain itu, cumi-cumi merupakan bahan baku utama untuk berbagai produk olahan makanan khas seperti kerupuk dan beberapa jenis makanan lainnya.

Kerusakan ekosistem pesisir di Indonesia telah menjadi permasalahan yang tak dapat dipungkiri. Tingginya aktivitas yang berhubungan dengan ekosistem pesisir membuat laju kerusakan ekosistem pesisir semakin meningkat dari waktu ke waktu. Padahal ekosistem ini merupakan daerah pemijahan (spawning ground) dan daerah pembesaran (nursery ground) yang sangat penting bagi cumi-cumi. Kerusakan habitat ini mengakibatkan hasil tangkapan cumi-cumi di daerah pesisir cenderung semakin berkurang. Selain permasalahan diatas, teknologi penangkapan cumi-cumi di Indonesia pun sampai saat ini masih relatif tradisional terutama yang diterapkan oleh nelayan tradisional di daerah terpencil atau pulau-pulau kecil. Cumi-cumi masih diperoleh dari hasil tangkapan di alam sehingga jumlahnya sangat bergantung dengan kondisi alam. Budidaya cumi-cumi hingga saat ini masih dalam tahap penelitian belum pada tahap ekonomis karenanya dibutuhkan suatu teknologi tepat guna dan aplikatif oleh masyarakat sehingga dapat memperkaya sumberdaya perikanan khususnya cumi-cumi di suatu kawasan perairan.

(16)

2

untuk dilakukan sehingga dapat menjadi rekomendasi bahwa hasil modifikasi rumpon atraktor cumi ini dapat diterapkan kepada masyarakat nelayan pesisir.

Penelitian ini dilakukan di Pulau Bangka yang sudah dikenal sebagai penghasil Cumi Bangka (Loligo chinensis). Spesies cumi ini sebenarnya terdapat pula di perairan lain di Indonesia tapi karena ditangkap di perairan Pulau Bangka

sehingga dikenal dengan nama dagang “Cumi Bangka”. Harga Cumi Bangka dijual lebih mahal di swalayan-swalayan di kota-kota besar seperti Jakarta, Bogor, Depok, Tangerang dan Bekasi (Jabodetabek) dengan selisih hingga Rp 10.000/kg jika dibandingkan dengan cumi jenis yang sama namun ditangkap di daerah lain. Hal ini menunjukkan bahwa peminat Cumi Bangka cukup banyak meskipun kondisinya sudah tidak segar saat dijual di swalayan. Selain harganya yang lebih mahal, Cumi Bangka pun menjadi bahan baku utama dalam pembuatan berbagai produk makanan khas Pulau Bangka dan Belitung seperti kripik cumi (kricu), getas dan kerupuk.

Laporan pendaratan komoditi perikanan di Pelabuhan Perikanan Nusantara (PPN) Sungailiat Provinsi Kepulauan Bangka Belitung mulai dari Januari 2007 sampai Juli 2012 menunjukkan hasil tangkapan yang cenderung menurun secara berturut-turut adalah 166.567 kg (2007), 189.527 kg (2008), 166.517 kg (2009), 246.262 kg (2010), 24.681 kg (2011) dan 58.687 kg (Juli 2012). Ironisnya, meskipun terkenal dengan penghasil Cumi Bangka, laju kerusakan ekosistem pesisir di Pulau Bangka sangat tinggi terutama sejak izin pertambangan timah diberlakukan dengan izin pemerintah daerah dan penambangan illegal yang dilakukan oleh masyarakat di laut menyebabkan sedimentasi yang semakin tinggi di perairan Pulau Bangka akibat tailing tambang yang langsung dibuang ke laut. Hasil penelitian Firdaus et al. 2010 menunjukan nilai rata-rata Total Suspended Solid di perairan Pulau Bangka diambang batas baku mutu untuk kehidupan biota karang yaitu 41,5 mg/L. Hal ini menyebabkan laju kerusakan ekosistem pesisir dibeberapa lokasi di Pulau Bangka semakin tinggi dan membuat Cumi Bangka pun semakin sedikit dan harganya semakin mahal. Karenanya, penelitian melihat interaksi fungsional antara penempelan telur cumi-cumi dengan rumpon atraktor cumi modifikasi menjadi sangat penting untuk dilakukan sebagai solusi dari permasalahan di daerah Pulau Bangka khususnya dan daerah-daerah lain pada umumnya di Indonesia.

Perumusan Masalah

Salah satu indikator kunci dalam menilai interaksi fungsional penempelan telur cumi-cumi dengan modifikasi rumpon atraktor cumi di suatu perairan adalah keberhasilan penempelan telur cumi-cumi pada rumpon atraktor cumi. Selain itu rumpon atraktor cumi menjadi habitat baru bagi berbagai biota laut lainnya. Oleh Karena itu bentuk, jenis bahan, musim dan kedalaman penenggelaman menjadi faktor yang sangat penting untuk diketahui dan dianalisis. Dari uraian diatas, dapat dirumuskan permasalahan dalam penelitian ini adalah :

1. Apakah perbedaan jenis rumpon, kedalaman, dan waktu penenggelaman rumpon atraktor cumi berpengaruh terhadap penempelan telur cumi-cumi? 2. Apakah rumpon atraktor cumi dapat menjadi artificial reef yang baik

(17)

3

Tujuan Penelitian

Penelitian ini bertujuan untuk:

1. Mengkaji efektifitas rumpon atraktor cumi berdasarkan modifikasi bentuk dan bahan rumpon atraktor cumi.

2. Mengkaji kedalaman yang disukai oleh cumi-cumi untuk menempelkan telurnya.

3. Mengkaji pengaruh waktu pengamatan terhadap penempelan telur cumi-cumi pada rumpon atraktor cumi-cumi.

4. Menentukan faktor perlakuan yang paling mempengaruhi terhadap penempelan telur cumi-cumi pada rumpon termasuk interaksi antar perlakuan.

Manfaat Penelitian

Hasil penelitian ini diharapkan dapat memberikan informasi mengenai :

1. Model rumpon atraktor cumi yang dapat berfungsi untuk penempelan telur cumi-cumi sehingga dapat digunakan sebagai sarana pengkayaan stok cumi-cumi maupun jenis ikan dasar.

2. Memberikan informasi pengaruh kedalaman, dan waktu yang disukai oleh cumi-cumi untuk menempelkan telur.

3. Memberikan informasi rumpon atraktor cumi yang efektif sebagai

artificial reef.

(18)

4

Gambar 1. Kerangka Pikir Penelitian Kedalaman

Pemantauan

Jumlah penempelan telur cumi-cumi

jenis ikan

Kedalaman, Musim dan Jenis rumpon atraktor cumi yang paling

sesuai Penenggelaman

Rumpon Atraktor Cumi (2 tipe)

Kondisi Lingkungan

Habitat cumi-cumi - Stok cumi-cumi yang semakin menurun

- Belum ada usaha pengkayaan stok cumi-cumi - Habitat bertelur cumi-cumi banyak yang rusak

(19)

5

2

TINJAUAN PUSTAKA

Klasifikasi dan Distribusi Cumi-Cumi

Cumi-cumi termasuk dalam class Cephalopoda subclass Coleoidea (termasuk pula sotong dan gurita) famili Loligonidae. Famili ini terdiri dari lima genus dan ditemukan lebih dari 40 spesies di perairan dunia (Norman 2003). Sebanyak 13 spesies cumi-cumi dijumpai di Indonesia. Beberapa jenis cumi-cumi yang ada di Indonesia yang mempunyai nilai jual cukup tinggi seperti Loligo duvaucelli,

Loligo edulis, dan Sepioteuthis lessoniana (Hamzah 1991 dalam Baskoro et al. 2011). Sepiotheutis lessoniana termasuk dalam jenis cumi-cumi dalam famili

Loliginidae tapi bentuk mantelnya sekilas hampir sama dengan sotong sehingga cumi S. lessoniana atau bigfin squid ini lebih dikenal dengan nama sotong. Siklus hidupnya relatif singkat yaitu: 4 bulan, dan pertumbuhannya meningkat drastis setelah berumur lebih dari 10 minggu (Delianis dan Murdjani 2008).

Cumi Bangka (Loligo chinensis) merupakan jenis cumi-cumi yang menjadi tangkapan utama bagi nelayan di Indonesia. Cumi-cumi ini memiliki panjang tubuh rata-rata 30 cm. Secara lengkap klasifikasi Cumi Bangka menurut Norman 2003 adalah sebagai berikut:

Phylum : Mollusca

Kelas : Cephalopoda

Ordo : Decapoda

Family : Loligonidae

Genus : Loligo

Spesies : Loligo chinensis. Gray, 1849. Nama Lokal : Cumi Bangka

(20)

6

Famili Loligonidae merupakan perenang cepat dan ditemukan pada perairan pantai hingga kedalaman maksimum sekitar 400 meter. Beberapa spesies cumi-cumi hidup sampai di perairan payau. Cumi-cumi-cumi digolongkan sebagai organisme damersal karena sering berada di dasar perairan. Cumi-cumi melakukan pergerakan diurnal, yaitu pada siang hari akan berkelompok dekat dasar perairan dan akan menyebar pada kolom perairan pada malam hari (Brodziak and Rosenberg 1993).

Anderson and Rodhouse (2001) menyatakan bahwa populasi cumi-cumi tidak dipengaruhi secara langsung oleh kejadian atau peristiwa yang terjadi pada perairan skala luas tapi lebih dipengaruhi oleh kondisi mereka dalam lingkungan lokal. Cumi-cumi menghuni perairan dengan suhu antara 8 - 32 oC dan salinitas 8,5 - 30 o/oo. Terjadinya kelimpahan cumi-cumi ditunjang oleh adanya zat hara

yang terbawa oleh arus dari daratan (run off). Zat hara tersebut dimanfaatkan oleh fithoplankton yang selanjutnya dimanfaatkan oleh zooplankton, juvenil ikan ataupun ikan-ikan kecil yang merupakan makanan cumi-cumi (Tasywiruddin 1999 dalam Tallo 2006). Setiap setiap jenis cumi-cumi memiliki selang ketahanan yang berbeda-beda. Illex argentinus tidak ditemukan pada perairan dengan suhu dibawah 11,5 oC (Sakai et al. 1998 dalam Anderson and Rodhouse 2001). Pada usaha pembesaran S. lessoniana yang telah dibudidayakan skala laboratorium diketahui bahwa konsentrasi amonia dan nitrit tidak lebih dari 0,1 mg/L, nitrat tidak lebih dari 50 mg/L dan pH 7,9 – 8,1 merupakan selang yang baik untuk ketahanan dan reproduksi cumi jenis ini (Walsh et al. 2002).

Cumi-cumi biasanya bermigrasi secara bergerombol (schooling). Migrasi harian cumi-cumi dipengaruhi pula oleh kehadiran predator dan penyebaran makanan. Cumi-cumi dewasa pada umumnya bermigrasi ke daerah pemijahan secara bergerombol. Genus Ommastrephid diketahui memijah di daerah lepas pantai sedangkan Loligonidae memijah di dekat pantai (in shore). Pada waktu bermigrasi ke daerah dekat pantai untuk memijah, cumi-cumi jantan dari genus

Loligo tiba lebih dahulu di pantai dari betina. Cumi-cumi akan segera meninggalkan suatu lingkungan perairan yang telah tercemar dan mencari perairan yang lebih baik (Sauer et al. 1999).

Secara vertikal Loligo chinensis hidup mulai dari perairan pantai hingga kedalaman 170 meter. Cumi ini tersebar di perairan bagian barat Samudera Pasifik; Laut Cina Selatan dan Timur hingga Jepang, Laut Arafuru, bagian timur laut perairan Australia hingga New South Wales (Roper et al. 1984). Loligo chinensis banyak menjadi tangkapan nelayan Thailand, Hongkong dan China (Norman 2003).

Reproduksi Cumi-cumi

Iwata et al. 2010 mengemukakan bahwa pada Cephalopoda, selain dari

(21)

7

membuahi telurnya pada beberapa kumpulan yang terpisah. Pertumbuhan somatik terus berlanjut dan terpisah antara aktivitas peneluran (terjadi sehari dalam sebuah kumpulan hamparan telur). (3) Peneluran yang terjadi sedikit-sedikit (Intermittent terminal spawning), hampir sama dengan pola reproduksi jenis ke-2, tapi pertumbuhan somatik tidak teramati antara hari-hari saat proses peneluran. (4) Peneluran berlanjut (continous spawning), spesies ini menghasilkan telur dalam kantung/kapsul telur secara terus menerus dan tidak berhenti setelah proses peneluran. Pertumbuhan somatis tetap terjadi selama masa peneluran. Spesies dari famili Loligonidae seperti L. bleekeri termasuk dalam intermittent terminal spawning kecuali pada L. opalescens yang termasuk dalam simultaneous terminal spawning (Rocha et al. 2001).

Reproduksi Loligo spp. berlangsung secara seksual, dimana memiliki organ reproduksi berumah dua (dioseus). Alat reproduksinya terpisah, masing-masing dengan gonad yang terletak dekat ujung rongga mantel bagian dorsal. Organ reproduksi jantan terdiri dari testis dan struktur untuk melepaskan sperma dalam paket yang disebut dengan spermatofor. Organ reproduksi betina menghasilkan telur yang besar dengan yolk dan termodifikasi oleh kelenjar khusus dimana akan mengeluarkan gel yang akan membungkus telur (kapsul). Kapsul tersebut akan mengeras setelah terekspos air laut (Miller and Harley. 2001).

Sudjoko (1989) dalam Omar (2002) menemukan bahwa cumi-cumi sirip besar (Sepiotheutihis lessoniana) yang hidup di Teluk Banten mencapai 50% matang gonad pada bulan April dan Oktober. Penelitian tersebut menyimpulkan bahwa pemijahan cumi sirip besar terjadi pada awal musim penghujan dan awal musim kemarau. Berbeda halnya di Perairan Bojo Sulawesi Selatan, musim pemijahan cumi sirip besar terjadi pada Juni-Juli (Danakusumah et al. 1995 dalam Omar 2002). Hal ini menyimpulkan bahwa musim pemijahan cumi-cumi dapat berbeda-beda tergantung dimana lokasi cumi-cumi tersebut hidup. Hasil penelitian Anderson and Rodhouse 2001 menyatakan bahwa waktu reproduksi cumi-cumi lebih dipengaruhi oleh kondisi lingkungan lokal dibandingkan dengan pengaruh dari kondisi perairan global atau skala luas seperti suhu perairan setempat dan komposisi spesies dan populasi dalam komunitas di suatu kawasan perairan. Secara umum, cumi-cumi diduga memiliki karakteristik daerah pemijahan yang relatif bersuhu hangat. Di derah subtropis, cumi-cumi jenis Illex argentinus

memijah saat musim dingin dan gugur di daerah perairan yang dilalui oleh arus Perairan Brazil yang hangat. Pada musim panas, cumi-cumi ini memijah di daerah dimana mereka berada.

Telur yang telah dibuahi dibungkus dengan albumin, kemudian dilapisi zat semacam agar yang mengeras apabila terkena air laut. Oviduct bermuara di rongga mantel. Kapsul telur cumi-cumi biasanya besar dapat mencapai 20 cm, dan mengandung banyak kuning telur. Jumlah telur yang dihasilkan bervariasi, jumlah telur pada Sepioteuthis 300-1500 butir (Delianis dan Murdjani 2008). S. lessoniana mulai bertelur pada kisaran usia 146 - 224 hari (4,9 – 7,5 bulan), rata-rata pada usia 171 hari atau 5,7 bulan (Walsh et al. 2002).

(22)

8

Nusa Tenggara Timur mendapatkan hasil bahwa telur cumi-cumi yang diambil langsung dari rumpon atraktor cumi yang kemudian dipindahkan ke keramba jaring apung menetas pada usia 28 - 30 hari. Spesies laut dalam dan cumi-cumi pelagis murni melepaskan telurnya satu per satu ke air atau telur tetap melayang sebagai plankton. Pada Cephalopoda tidak ada stadium larva, telur menetas menjadi anak dengan bentuk seperti dewasa dan langsung mampu berenang dan mencari makan (Roper et al. 1984).

Rumpon Atraktor Cumi

Rumpon atraktor cumi mulai dikembangkan di Jepang dengan tujuan utama memperkaya sumberdaya cumi-cumi di suatu kawasan perairan. Hal ini dikarenakan fungsi dari rumpon atraktor cumi tersebut sebagai tempat cumi-cumi menempelkan telurnya pada rumpon dan pada akhirnya menetas. Selain sebagai tempat memijah, rumpon juga berperan sebagai daerah pengasuhan dan pembesaran. Berbagai jenis ikan akan mencari makan dan bermain di sekitar rumpon tersebut. Hal inilah yang kemudian menjadikan daerah penenggelaman rumpon atraktor cumi sebagai daerah penangkapan yang potensial. Dengan pengelolaan dan pengembangan penangkapan ikan berbasis masyarakat nelayan, fungsi rumpon tersebut sangat potensial untuk dikembangkan membantu nelayan yang terlibat di dalam suatu kawasan untuk melakukan efisiensi usaha, pengembangan mata pencaharian alternative dan pengkayaan sumberdaya cumi-cumi dengan cara alami.

Rumpon atraktor cumi memiliki manfaat antara lain : (1) Dapat berperan sebagai terumbu buatan sehingga membentuk ekosistem baru. (2) Sebagai alat pengumpul cumi-cumi dan sebagai tempat cumi-cumi melepaskan telurnya sehingga pemasangan rumpon ini pada suatu kawasan perairan akan menciptakan pemandangan bawah air yang unik, yaitu pemandangan hamparan telur cumi-cumi. (3) Dapat menjadi daerah asuhan dan pembesaran yang pada akhirnya dapat berkembang menjadi daerah penangkapan yang potensial. (4) Dengan adanya rumpon atraktor cumi pada suatu perairan dapat menjadi daerah yang menarik untuk dikembangkan sebagai daerah ekowisata pantai dengan kegiatan penyelaman dan pemancingan. (5) Alih teknologi yang mudah kepada masyarakat dalam rangka pemberdayaan masyarakat pesisir, meningkatkan keterampilan masyarakat pesisir dalam berpartisipasi pada pengelolaan ekowisata di kawasan pantai. (6) Dapat dipadukan dengan kegiatan budidaya cumi-cumi yang berbasis sumberdaya alam. (7) Pengembangan penelitian (Baskoro et al. 2011).

(23)

9

3

METODE

Lokasi dan Waktu Penelitian

Penelitin dilakukan di Perairan Tuing Kecamatan Riau Silip Kabupaten Bangka Provinsi Kepulauan Bangka Belitung mulai dari bulan Oktober 2012 hingga awal Juni 2013. Secara geografis, lokasi penelitian terletak pada 01o35.4’ LS dan 106o01,8’ BT. Kegiatan penelitian di lapangan dibagi menjadi dua tahap masa pelaksanaan (temporal) yaitu pada bulan Oktober – Desember 2012 untuk waktu pengamatan tahap 1dan bulan Maret – Mei 2013 untuk waktu pengamatan tahap 2. Kegiatan terdiri dari survei lokasi penelitian, pembuatan modifikasi rumpon atraktor cumi, penenggelaman rumpon atraktor cumi, waktu pengamatan hasil penenggelaman dan analisis labratoium. Analisis data dilakukan di Laboratorium Perikanan Universits Bangka Belitung (UBB) dan Laboratorium Lingkungan Departemen Budidaya Perikanan (BDP) Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan – IPB.

Dusun Tuing yang tersaji pada Gambar 3 merupakan dusun terpencil dengan ekosistem mangrove dan terumbu karang yang masih alami. Ekosistem daratan di sekitar pesisir masih sangat baik karena merupakan kawasan hutan lindung. Perairan Tuing terdapat di sebelah timur laut Pulau Bangka yang berbatasan langsung dengan Laut Cina Selatan.

Sumber : Peta dasar BAKOSURTANAL 2007

(24)

10

Alat dan Bahan Penelitian

Bahan utama penelitian ini adalah rumpon atraktor cumi yang telah dimodifikasi. Jenis modifikasi rumpon atraktor cumi terdiri dari 2 jenis yaitu rumpon atraktor cumi bentuk kotak dengan ukuran 75 x 50 x 35 cm3 dengan kerangka dari bahan kayu. Biasanya, rumpon atraktor cumi menggunakan rangka besi namun bagi nelayan terpencil seperti Dusun Tuing sangat sulit memperoleh bahan tersebut. Karenanya, rangka berbahan kayu merupakan salah satu alternatif yang dapat dijadikan sebagai bahan pengganti karena jumlahnya masih banyak terdapat di lokasi penelitian. Rumpon atraktor cumi model kotak ini menggunakan penutup waring. Jenis kedua adalah dari drum bekas yang dirancang menjadi rumpon atraktor cumi. Drum-drum ini adalah bekas dari aspal yang biasanya digunakan untuk wadah aspal curah jalan raya. Setiap jenis rumpon atraktor cumi akan diberikan 6 buah pemikat (atraktor) dari bahan tali rami (organik) agar cumi-cumi tertarik meletakkan telurnya di dalam rumpon atraktor cumi-cumi yang telah ditenggelamkan. Desain dari modifikasi rumpon atraktor cumi sederhana dapat dilihat pada Gambar 4 dan 5. Bahan yang digunakan untuk pembuatan rumpon atraktor cumi adalah :

 24 batang kayu dengan diameter sekitar 10 cm

 Tali Polyethylen (PE) diameter 5 mm, 10 mm dan 20 mm.  Tali dari bahan sabut kelapa : 100 meter

 Waring (mesh size 2 mm) : 24 meter  Pemberat (7,5 kg) : 24 buah

 Paku (panjang 15 cm) : 4 kg  Drum bekas aspal : 12 buah

Gambar 4. Desain bentuk kotak dari rangka kayu dan penutup waring 75 cm

50 cm 35 cm

(25)

11

Gambar 5. Desain bentuk silindris dari bahan drum bekas

Ada dua jenis kegiatan yang dilakukan dalam penelitian ini, yaitu kegiatan di lapangan berupa pengambilan data jumlah kapsul telur dan pengamatan beberapa parameter fisika kimia air secara in situ, serta kegiatan di laboratorium berupa pengamatan lebih lanjut terhadap data dan sampel yang diperoleh di lapangan. Alat dan bahan yang digunakan dalam penelitian untuk mengukur parameter fisika kimia perairan dan substrat beserta fungsinya dapat dilihat pada Tabel 1. Tabel 1. Parameter físika dan kimia perairan dan substrat yang diukur

No Parameter Unit Alat/Metode

Fisika Air

1. Suhu Perairan oC Termometer Hg

2. Kecerahan cm Secchi disk

3. Kecepatan Arus m/s Current meter 4. Total Suspended Solid* mg/L Spektrofotometer

5. TDS* mg/L Spektrofotometer

Kimia Air

1. Derajat Keasaman (pH)* pH meter

2. Salinitas* o/oo Refraktometer

Fisika Substrat

1. Tekstur* % Saringan Bertingkat/Hydrometri

Keterangan : * Substrat dianalisis di Laboratorium Lingkungan Departemen Budidaya Perairan Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan - IPB Pengambilan data Total Suspended Solid (TSS) akan menjadi data dasar bagi penelitian lebih lanjut di perairan Pulau Bangka mengingat di pulau ini sedang marak terjadi penambangan timah lepas pantai yang menyebabkan terjadinya peningkatan sedimentasi di perairan pada kawasan-kawasan tertentu. Alat dan perlengkapan tambahan pada penelitian ini disajikan pada Tabel 2.

(26)

12

Tabel 2. Alat bantu dalam penelitian

No Alat Fungsi

1. Alat scuba diving Penenggelaman dan pengamatan underwater

2. GPS Penentuan titik koordinat dan posisi 3. Jangkar Penguat ikatan pada rangkaian rumpon 4. Perahu Transportasi selama di laut

5. Alat tulis underwater Pencatatan data pengamatan 6. Kamera underwater Dokumentasi kegiatan

7. Peralatan pertukangan Pembuatan rumpon atraktor cumi Prosedur Penelitian

Penentuan Lokasi Penelitian

Lokasi pengambilan contoh data terdiri dari 2 (dua) titik penenggelaman dimana setiap titik terdiri dari 6 unit rumpon atraktor cumi dengan 3 unit tiap jenis rumpon atraktor cumi sehingga total rumpon atraktor cumi sebanyak 12 unit. Titik 1 pada kedalaman sekitar 3 meter dan Titik 2 pada kedalaman sekitar 5 meter yang diukur saat surut terendah. Kedua titik berada pada satu kawasan perairan dengan kondisi perairan dianggap homogen antara titik penenggelaman. Setiap titik, rumpon akan dipasang secara berkelompok tiap jenis rumpon. Tujuan pengelompokan ini adalah agar dapat dilihat tingkat keberhasilan rumpon atraktor cumi dari penempelan telur cumi-cumi, dan ikan yang terdapat di sekitar rumpon atraktor cumi sesuai dengan jenis rumpon atraktor cumi. Setiap unit rumpon atraktor cumi berjarak sekitar 3 meter untuk jenis yang sama dan 5 meter untuk jenis yang berbeda. Jarak antar rumpon atraktor cumi yang berbeda jenis lebih jauh agar perbedaan pengelompokan untuk kedua jenis rumpon atraktor cumi yang berbeda dapat lebih terlihat. Tiap rumpon atraktor cumi terhubung oleh tali untuk memudahkan dalam pengamatan. Pola penyusunan rumpon atraktor cumi pada setiap titik digambarkan pada Gambar 6.

Gambar 6. Pola susunan rumpon atraktor cumi dalam kawasan perairan 5 m

Model Kotak

Model Silindris 3 m

(27)

13

Penenggelaman Rumpon Atraktor Cumi

Rumpon yang telah dibuat sesuai dengan jenisnya ditenggelamkan di dasar perairan setelah dilakukan observasi daerah penenggelaman dengan melakukan penyelaman untuk melihat langsung kontur dan substrat dasar perairan. Empat kategori yang harus dipenuhi dalam penentuan lokasi penenggelaman rumpon atraktor cumi yaitu : (1) Kondisi perairan yang jernih atau tidak keruh. (2) Dasar perairan tidak berlumpur atau dasar perairan haruslah berpasir atau pada bekas terumbu karang rusak. (3) Arus saat penenggelaman tidak kuat atau tidak lebih dari 0,5 knot untuk memudahkan dalam proses penenggelaman. (4) Daerah penenggelaman merupakan daerah ruaya atau migrasi cumi (Baskoro et al. 2011). Karenanya perlu dilakukan wawancara langsung dengan nelayan cumi lokal untuk mengetahui daerah yang banyak ditemukan cumi-cumi. Rumpon atraktor cumi tidak ditempatkan di permukaan dan di kolom perairan karena berdasarkan hasil penelitian Tallo (2006) di Perairan Teluk Mutiara Kabupaten Alor Nusa Tenggara Timur menunjukkan bahwa tidak ditemukan telur cumi-cumi yang menempel pada rmpon atraktor cumi pada bagian perairan tersebut. Telur cumi-cumi hanya ditemukan menempel pada rumpon atraktor cumi di dasar perairan.

Setiap rumpon atraktor cumi ditenggelamkan dengan pemberat (sinker) sekitar 10 kg untuk memudahkan proses penenggelaman dan rumpon atraktor cumi tidak mudah bergeser terbawa arus dan gelombang. Penenggelaman rumpon dilakukan pada dua kedalaman yaitu pada kedalaman 3 meter dan 5 meter pada saat air surut dan perairan tenang sehingga memudahkan dalam proses penenggelaman. Semua kegiatan penenggelaman rumpon atraktor cumi dilakukan di satu kawasan perairan yang dibedakan sesuai kedalaman masing-masing. Setiap titik penenggelaman akan disimpan titik koordinantnya menggunakan GPS untuk memudahkan dalam proses pengamatan. Penenggelaman rumpon atraktor cumi dilakukan dua kali yaitu pada tanggal 15 Oktober 2012 untuk pengamatan bulan November - Desember 2012 (sebelum musim barat di perairan timur pulau Bangka). Penenggelaman kedua dilakukan pada tanggal 1 April 2013. Penenggelaman rumpon atraktor cumi kedua dilakukan karena berdasarkan hasil pengamatan ke 3 pada tanggal 30 Maret 2013 menunjukkan bahwa rumpon cumi yang lama sebagian besar hilang dan tertimbun substrat akibat hempasan gelombang dan arus yang kuat selama musim barat. Pembuatan rumpon baru dan penenggelaman rumpon yang hilang dan rusak dilakukan untuk mendapatkan data pada pengamatan April – Mei 2013. Foto pembuatan dan penenggelaman modifikasi rumpon atraktor cumi tersaji pada Lampiran 1.

Waktu Pengamatan

(28)

14

Pengamatan sebenarnya sudah dapat dilakukan seminggu setelah penenggelaman, namun pada penelitian ini pengamatan dilakukan pada minggu keempat dengan pertimbangan agar rumpon atraktor cumi telah dikenal dan siap digunakan oleh biota laut. Umumnya, periode pengamatan dilakukan setiap empat minggu dengan pertimbangan telur cumi-cumi telah menetas atau berubah menjadi larva pada selang waktu jarak antar periode tersebut sehingga meminimalisir terjadinya perhitungan ganda. Pengamatan dilakukan saat air laut surut dan arus lemah sehingga memudahkan dalam pelaksanaan kegiatan.

Pengamatan dilakukan minimal oleh 2 orang penyelam, satu orang menghitung dan mencatat data dan seorang lainnya melakukan pengambilan foto

underwater untuk dokumentasi kegiatan dan koleksi data untuk pengecekan data identifikasi lanjutan di laboratorium. Selain pengambilan data parameter fisika kimia perairan dan data tekstur substrat, data yang diambil adalah jumlah dan jenis telur cumi-cumi yang menempel pada rumpon dan jenis ikan yang terdapat disekitar spot titik penenggelaman rumpon atraktor cumi. Identifikasi jenis cumi menggunakan buku ”Cephalopods a World Guide” Norman 2003 dan Roper et al. 1984 “FAO species catalogue. Cephalopods of the world. An annotated and illustrated catalogue of species of interest to fisheries. FAO Fish Synop. 3“ serta

analisis contoh preparat cumi langsung di Museum Zoologi Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI) Cibinong – Bogor.

Prosedur Pengambilan Data

Pengukuran Parameter Oseanografi

Parameter oseanografi di lokasi penelitian yang diukur meliputi parameter fisika dan kimia perairan dan tipe substrat. Parameter fisika adalah suhu, arus, kecerahan dan Total Suspended Solid (TSS) sedangkan parameter kimia adalah TDS, salinitas dan keasaman perairan (pH). Data substrat adalah tekstur substrat di lokasi penenggelaman sehingga dapat di analisis jenis tipe substratnya. Pengukuran parameter oseanografi dilakukan bersamaan saat pengamatan pengambilan data penempelan telur cumi-cumi pada daerah penenggelaman rumpon atraktor cumi.

Pengambilan Data Telur Cumi-cumi

(29)

15

Pengambilan Data Ikan

Pengambilan data ikan menggunakan metode Underwater Visual Census

(UVC) dengan radial transek (Hill and Wilkinson 2004). Data ikan diambil dengan mengidentifikasi jenis ikan yang terdapat di radius 2,5 meter dari titik penelitian termasuk tinggi 5 meter dari dasar titik penenggelaman rumpon atraktor cumi. Pengambilan data dilakukan oleh dua orang penyelam dengan satu orang sebagai pencatat dan satu orang sebagai fotografer bawah laut. Pengambilan foto dilakukan untuk mengurangi kesalahan dalam identifikasi jenis ikan sehingga dapat diperiksa lagi di laboratorium. Durasi pengambilan data ikan sekitar 10 menit per titik penenggelaman rumpon. Semua jenis ikan yang masuk dalam radius tersebut pada lokasi penenggelaman rumpon diidentifikasi. Identifikasi jenis ikan mengunakan buku “Indonesian Reef Fishes” Jilid 1, 2 dan 3, Kuiter, Rudi and Tonozuka 2003 dan buku “Marine Fishes of South-East Asia” Allen 1999.

Prosedur Analisis Data

Tingkat Keefektifan Rumpon Atraktor Cumi

Tingkat keefektifan rumpon atraktor cumi dianalisis dengan menghitung tingkat keberhasilan rumpon dalam mengumpulkan cumi-cumi. Indikator tingkat keefektian adalah dengan menghitung prosentase jumlah rumpon (EA) yang terdapat telur cumi-cumi dengan menggunakan formula berdasar Baskoro dan Mustaruddin 2006 :

Uji Perbedaan Bentuk, Waktu Pengamatan, Kedalaman dan Faktor Lingkungan Terhadap Penempelan Telur Cumi-cumi

(30)

16

faktor lingkungan yaitu parameter fisika kimia perairan dan komposisi substrat pada lokasi penenggelaman rumpon dengan penempelan telur cumi-cumi (Bengen 2000). Pengolahan data Analisis Komponen Utama menggunakan program software STATISTICA 6. Form input data pada penelitian ini tersaji pada Tabel 3.

Tabel 3. Form input data penempelan kapsul telur cumi-cumi

Waktu Pengamatan : ... Jenis

Rumpon

Jumlah telur cumi-cumi per kedalaman

3m 5m

Kotak

X1a X1b

X2a X2b

X3a X3b

Silindris

Y1a Y1b

Y2a Y2b

Y3a Y3b

Keterangan : X : Rumpon atraktor cumi bentuk kotak Y : Rumpon atraktor cumi bentuk silindris 1, 2, 3 : Unit rumpon atraktor cumi ke –

(31)

17

4 HASIL DAN PEMBAHASAN

Keadaan Umum Perairan Tuing

Tuing adalah dusun terpencil dan jarang dikenal oleh masyarakat Pulau Bangka Provinsi Kepulauan Bangka Belitung. Dusun ini terletak di Kecamatan Riau Silip Kabupaten Bangka. Perairan Tuing merupakan benteng terakhir dari sumberdaya perikanan laut di Kabupaten Bangka karena hampir semua laut dari 0

– 4 mil laut sebagian besar telah dikeluarkan izin usaha pertambangan (IUP) laut oleh kepala daerah kabupaten ini untuk operasi penambangan timah dengan menggunakan kapal isap produksi. Akses menuju Dusun Tuing dari Kota Pangkalpinang ditempuh sekitar sekitar 100 km atau 2,5 jam perjalanan. Jarak Dusun Tuing dari Kota Sungailiat hanya sekitar 70 km, namun karena kondisi jalan kurang baik akibat aspal banyak yang rusak karena banyak truk bermuatan tandan buah kelapa sawit yang melewati jalan menuju dusun ini setiap hari. Dusun Tuing berjarak sekitar 350 meter dari pantai. Kondisi hutan disekitar pantai masih alami karena merupakan kawasan hutan lindung pantai. Pantai di pesisir Perairan Tuing merupakan pantai berpasir putih dengan hamparan karang tepi (fringging reef). Dengan hutan yang masih alami, pasir putih dan karang tepi yang terdapat disekitarnya membuat pantai di kawasan ini sangat potensial untuk dikembangkan sebagai kawasan wisata bahari.

(32)

18

Tuing yang menghalangi arah gelombang namun kondisi perairan tetap keruh meskipun kondisi gelombang tidak seperti saat musim barat.

Titik Penenggelaman Rumpon Atraktor Cumi

Penenggelaman rumpon atraktor cumi dilakukan di Perairan Tuing Kecamatan Riau Silip Kabupaten Bangka Provinsi Kepulauan Bangka Belitung pada kedalaman 3 dan 5 meter yang diukur saat surut terendah. Penenggelaman dilakukan pada satu kawasan perairan dengan jarak antar titik sekitar 50 meter. Lokasi penenggelaman berada diantara Tanjung Pelabuh Dalem dan Pulau Punggur dengan jarak sekitar 300 meter dari pantai. Titik kedalaman 3 meter berada pada koordinat 01o 35’ 42,9” LS dan 106o 02’ 20,7” BT sedangkan kedalaman 5 meter pada titik koordinat 01o35’ 40,7” LS dan 106o02’ 19,3” BT. Lokasi penenggelaman merupakan kawasan pantai bersubstrat pasir putih dan halus.

Parameter Oseanografi

Pengambilan data parameter oseanografi dilakukan saat dilakukan pengamatan. Pengambilan data ini dilakukan pada siang hari menjelang sore. Hasil pengamatan oseanografi tersaji pada Tabel 4.

Tabel 4. Parameter fisika kimia Perairan Tuing

No Parameter Kedalaman Satuan

3 m 5 m

Hasil pengukuran parameter oseanografi di Perairan Tuing memperlihatkan bahwa nilai yang diperoleh sesuai untuk kehidupan cumi-cumi secara umum yaitu pada salinitas 32 – 35 ppt dan pH 8,0 – 8,5 (Walsh et al. 2002). Nilai TSS < 20 mg/L sehingga masih tergolong sesuai untuk kehidupan biota terumbu karang (Kepmen LH No 51 Tahun 2004 tentang baku mutu air laut). Suhu Perairan Tuing tergolong hangat namun masih dalam selang yang dapat ditoleransi oleh cumi-cumi. Ketahanan cumi-cumi terhadap suhu tergantung pula oleh jenis cumi-cumi (Dunlop and King 2011). Penetasan cumi sirip lebar (Sepiotheuitis lessoniana) di laboratorium dilakukan pada suhu 23 – 25 oC (Walsh et al. 2002). Setelah menetas anak cumi akan menuju perairan yang lebih dalam hingga tumbuh lebih besar dan kembali ke perairan yang lebih dangkal untuk memempelkan telurnya.

Tipe substrat pada dasar Perairan Tuing termasuk dalam kategori pasir berlempung. Rumpon ditenggelamkan di perairan yang tidak berlumpur (Baskoro

(33)

19

dasar Perairan Tuing tergolong sesuai untuk daerah penenggelaman rumpon atraktor cumi seperti tersaji pada Tabel 5.

Tabel 5. Tekstur Substrat di Perairan Tuing

Kedalaman Tekstur (%) Kategori

Pasir Debu Liat

3 m 56,29 39,61 4,10 Pasir berlempung

5 m 56,23 41,30 2,48 Pasir berlempung

Penempelan Telur Cumi-cumi pada Rumpon Atraktor Cumi

Rumpon atraktor cumi yang telah ditenggelamkan ditempel oleh satu jenis telur cumi-cumi yaitu Cumi Bangka (Loligo chinensis). Tidak ditemukan telur cumi-cumi jenis lain selama proses pengamatan yang menempel pada atraktor di dalam rumpon atraktor cumi. Telur Sephia sp ditemukan pada pengamatan ke 3 namun tidak menempel pada bagian atraktor rumpon melainkan pada tali penghubung antar rumpon (foto tersaji pada Lampiran 3). Hasil pengamatan penempelan telur cumi-cumi pada rumpon yang di peroleh dari lima kali pengamatan disajikan pada Tabel 6.

Tabel 6. Jumlah penempelan kapsul telur cumi-cumi pada rumpon atraktor cumi Jenis

(34)

20

7.B). Rumpon atraktor cumi pada kedalaman 3 meter hanya tersisa tali dan pemberatnya saja sedangkan rumpon telah hilang karena terseret oleh gelombang yang besar dan kuat pada bulan Januari – Februari 2013.

Kondisi rumpon atraktor cumi jenis kotak yang tersisa tidak tersusun seperti pada metode awal penelitian karena ketiga rumpon menyatu dan atraktor (pemikat) yang berasal dari tali rami tidak ditemukan karena dimakan oleh biota laut (Gambar 7.C). Ketiga rumpon kotak ditempeli oleh telur Loligo chinensis

meskipun telur menempel pada tali pengikat untuk penguat rumpon berbahan plastik. Total telur cumi-cumi yang menempel pada rumpon kotak ini sebanyak 283 kaspsul. Dari pengamatan telur cumi-cumi, beberapa bagian telur cumi-cumi yang menempel pada tali telah dimakan oleh predator. Hal ini terlihat dari telur cumi-cumi yang rusak (Gambar 7.D).

Gambar 7. Kondisi rumpon pada pengamatan ke 3 (A; rumpon atraktor cumi bentuk kotak yang tersisa. B; rumpon bentuk silindris yang tertimbun substrat. C; atraktor dari tali rami yang rusak. D; telur cumi-cumi yang sebagian kondisinya telah rusak dimakan predator)

(35)

21

jumlah yang sedikit (37 kapsul) karena kondis rumpon yang tidak sesuai dengan posisi atraktor yang sejajar dengan dasar perairan (seharusnya posisi atraktor tegak lurus dasar perairan). Berdasarkan hasil pengamatan ini dapat disimpulkan bahwa rumpon atraktor cumi yang ditenggelamkan harus dalam kondisi yang stabil dengan pemberat (sinker) yang kuat dan posisi atraktor tegak lurus terhadap dasar perairan.

A. Penempelan kapsul telur cumi-cumi berdasarkan waktu pengamatan

Waktu pengamatan pada penelitian dikelompokkan menjadi 2 tahap utama pengamatan yaitu tahap 1 untuk pengamatan ke 1 dan 2 yaitu pengamatan bulan November – Desember 2012 dan pengamatan tahap 2 pada bulan April – Mei 2013 yang terdiri dari pengamatan ke 4 dan 5. Pengamatan ke 3 tidak dapat dianalisis karena data rumpon tidak lengkap. Karenanya, waktu pengamatan dalam penelitian ini di analisis terdiri dari 4 kali pengamatan yang tebagi menjadi dua kelompok utama pengamatan yaitu pengamatan tahap 1 dan pengamatan tahap 2. Berdasarkan hasil analisis dari dua kelompok pengamatan, jumlah penempelan telur cumi-cumi pada pengamatan tahap 1 (bulan November – Desember 2012) jauh lebih besar dibandingkan dengan pengamatan tahap 2 (April

– Mei 2013). Jumlah penempelan kapsul telur cumi-cumi pada masing-masing pengamatan tersaji pada Gambar 8.

(36)

22

Perairan Tuing merupakan daerah penempelan telur L. chinensis dan efektif untuk melakukan program penenggelaman rumpon atraktor cumi pada waktu pengamatan tahap 1. Karenanya perlu dipertahankan kelestarian lokasi ini sebagai daerah pemijahan (spawning ground) L. chinensis Sehingga dapat memberikan manfaat yang lebih besar untuk pengembangan Cumi Bangka di masa yang akan datang. Sebaliknya, Penempelan kapsul telur L. chinensis pada waktu pengamatan tahap 2 (April – Mei 2013) yang sangat sedikit menunjukkan bahwa pada waktu tersebut bukanlah musim pemijahan L. chinensis.

Data hasil tangkapan cumi yang didaratkan di Pelabuhan Perikanan Nusantara (PPN) Sungailiat Bangka menunjukkan bahwa hasil tangkapan cumi di perairan Kabupaten Bangka pada bulan November – Desember 2012 (pengamatan tahap 1) jauh lebih tinggi dibandingkan bulan April – Mei 2013 (pengamatan tahap 2). Hasil ini mengindikasikan bahwa L. chinensis tidak melakukan pemijahan sepanjang tahun di lokasi penelitian (perairan timur Pulau Bangka). Cumi-cumi melakukan migrasi horizontal dengan tujuan untuk mencari makanan dan untuk mencari daerah bertelur. Hasil penelitian tentang migrasi cumi-cumi (Todarodes pasificus) di Perairan Jepang menunjukan bahwa cumi-cumi jenis ini melakukan migrasi mencari sumber makanan (feeding ground) mengikuti pola sebaran suhu permukaan laut (Sea Surface Temperature) ke arah perairan Utara Jepang dan cumi-cumi melakukan migrasi untuk pemijahan (spawning ground) mengikuti pola sebaran klorofil-a menuju Perairan Selatan Jepang (Choi et al. 2008).

B. Penempelan kapsul telur cumi-cumi berdasarkan kedalaman

Cumi-cumi di daerah tropis biasanya melakukan migrasi vertikal yaitu dari perairan dalam ke perairan yang lebih dangkal untuk bertelur (Norman 2003). Pada penelitian ini, rumpon ditenggelamkan pada dua kedalaman yang berbeda dengan tujuan melihat kedalaman yang lebih disukai untuk penempelan kapsul telur cumi-cumi. Rumpon atraktor cumi ditenggelamkan pada kedalaman sekitar 3 dan 5 meter yang diukur saat air laut surut terendah. Berdasarkan hasil pengamatan yang dilakukan terlihat bahwa kedalaman 3 meter menunjukkan jumlah telur yang lebih banyak dibandingkan dengan kedalaman 5 meter seperti yang tersaji pada Gambar 9.

(37)

23

Data yang tersaji pada Gambar 9 menunjukkan terjadi penurunan nilai jumlah penempelan telur dari pengamatan ke 1 ke pengamatan ke 2 yang sangat signifikan pada kedalaman 3 meter yaitu 1.684 menjadi 334 kapsul telur cumi-cumi. Menurunnya jumlah ini karena jarak antara pengamatan ke 1 dengan pengamatan ke 2 hanya berjarak 20 hari (sekitar 3 minggu). Berdasarkan hasil pengamatan rumpon atraktor cumi yang dilakukan pada pengamatan ke 2, masih banyak ditemukan telur cumi-cumi yang belum hancur dari saat pengamatan ke 1 (Gambar 10). Hal ini menyebabkan jumlah telur baru yang menempel pada kedalaman 3 meter lebih sedikit ditemukan pada pengamatan ke 2 karena ruang untuk tempat menempel kapsul telur baru lebih sempit akibat telur-telur lama yang belum hancur (masih menempel). Berdasarkan penelitian Tallo 2006, telur cumi-cumi baru menetas pada umur 28 – 30 hari. Secara akumulatif dari semua pengamatan, jumlah kapsul telur cumi-cumi yang menempel pada rumpon yang ditenggelamkan di kedalaman 3 meter lebih banyak dibandingkan pada kedalaman 5 meter meskipun hanya ditemukan pada pengamatan ke 1 dan 2 saja. Kapsul telur cumi-cumi yang menempel pada rumpon cumi yang ditenggelamkan di kedalaman 5 meter ditemukan pada pengamatan ke 1, 2 dan 5 dengan jumlah secara berurutan 494, 374 dan 283 kapsul telur cumi-cumi.

Gambr 10. Kapsul telur cumi-cumi yang belum hancur

(38)

24

perairan yang lebih dangkal. Dengan demikian rumpon atraktor cumi masih tetap bertahan seperti yang terjadi pada pengamatan ke 3 di kedalaman 5 meter masih tersisa 3 unit rumpon (50% dari total rumpon yang ditenggelamkan).

Rumpon atraktor cumi yang ditenggelamkan pada kedalaman 3 meter ada yang rusak sehingga harus diperbaiki lagi meskipun tidak parah akibat adanya gelombang yang cukup kuat karena cuaca yang belum menentu saat itu pada pengamatan ke 4 (Gambar 11). Pada kedalaman 5 meter kondisi rumpon tetap baik (tidak mengalami kerusakan) karena kondisi gelombang relatif stabil dengan gelombang dan arus yang lemah. Hal ini menunjukkan bahwa semakin dalam perairan maka rumpon yang ditenggelamkan di dasar perairan semakin aman dari tempaan gelombang karena arus di dasar perairan semakin lemah dengan semakin bertambahnya kedalaman perairan.

Gambar 11. Kerusakan yang terjadi pada rumpon saat pengamatan ke 4 di kedalaman 3 meter

Kondisi ini menunjukkan bahwa kedalaman 3 meter merupakan kedalaman yang efektif sebagai lokasi penenggelaman rumpon atraktor cumi sebagai tempat penempelan telur cumi-cumi untuk waktu pengamatan ke 1 dan 2 namun tidak efektif sebagai daerah penempelan telur cumi-cumi dan rentan terhadap kerusakan akibat terpaan gelombang untuk waktu pengamatan ke 4 dan 5 penengelaman rumpon atraktor cumi. Pada waktu pengamatan tahap 2 (April – Mei 2013), rumpon lebih baik ditenggelamkan pada kedalaman yang lebih dalam (5 meter). Hal ini dikarenakan Perairan Tuing bukan tipe perairan tertutup (teluk) tetapi berada di bagian pesisir timur Pulau Bangka yang berbatasan langsung dengan Laut Cina Selatan yang merupakan kawasan yang terbuka dan langsung berhadapan dengan hantaman gelombang.

C. Penempelan kapsul telur cumi-cumi berdasarkan jenis rumpon

(39)

25

disimpulkan jenis rumpon atraktor cumi yang paling efektif untuk penempelan telur cumi-cumi.

Jenis rumpon atraktor cumi bentuk silindris dari bahan drum bekas lebih disukai oleh cumi-cumi sebagai tempat penempelan kapsul telur dibanding dengan jenis rumpon atraktor cumi bentuk kotak berbahan rangka kayu. Hasil pengamatan yang telah dilakukan diperoleh jumlah kapsul telur yang menempel pada rumpon atraktor cumi bentuk silindris pengamatan ke 1, 2 dan 5 secara berurutan adalah 2.178, 708 dan 142 kapsul telur cumi-cumi. Rumpon atraktor cumi bentuk kotak hanya ditempel oleh kapsul telur cumi-cumi pada pengamatan ke 5 sebanyak 141 kapsul telur cumi-cumi. Hasil penempelan telur cumi-cumi berdasarkan jenis rumpon tersaji pada Gambar 12.

Gambar 12. Jumlah penempelan kapsul telur cumi-cumi pada rumpon atraktor cumi bentuk kotak dan silindris

Kapsul telur cumi-cumi hanya ditemukan menempel pada rumpon atraktor cumi bentuk silindris dan tidak ditemukan sama sekali pada rumpon atraktor cumi bentuk kotak pada waktu pengamatan tahap 1 (pengamatan ke 1 dan 2). Hal ini disebabkan karena kondisi rumpon atraktor cumi bentuk kotak lebih terbuka dibandingkan rumpon bentuk silindris. Rumpon atraktor cumi bentuk kotak hanya tertutup pada bagian atas saja (Gambar 4). Berdasarkan hasil penyelaman, hal ini membuat kondisi di dalam rumpon kurang gelap (masih terang) berbeda dengan rumpon atraktor cumi bentuk silindris yang lebih gelap karena semua bagian sisi (kecuali bagian depan dan belakang drum) tertutup. Selain itu, hal ini membuat rumpon atraktor cumi bentuk silindris pun lebih terlindung dari arus dibandingkan dengan rumpon atraktor cumi bentuk kotak yang bagian sisi kanan, kiri, depan dan belakangnya terbuka (hanya bagian atas yang tertutup). Kondisi lebih terlindung dari arus dan lebih gelap inilah yang diprediksi membuat cumi lebih menyukai untuk menempelkan telur pada rumpon atraktor cumi bentuk silindris. Rumpon atraktor cumi bentuk silindris yang ditempelkan oleh telur cumi-cumi dan rumpon atraktor cumi bentuk kotak yang tidak ditempelkan oleh telur cumi-cumi tersaji pada Lampiran 2.

(40)

26

cumi-cumi pada kedua jenis rumpon atraktor cumi bentuk kotak dan selindris dengan jumlah kapsul telur secara berurutan 141 dan 142. Hasil ini menunjukkan bahwa hampir tidak ada perbedaan antara rumpon atraktor cumi bentuk kotak yang ditutup pada sisi bagian atas, kiri dan kanan dengan rumpon atraktor cumi bentuk silindris.

Gambar 13. Rumpon atraktor cumi bentuk kotak (kiri) dan silindris (kanan) yang ditempel oleh telur cumi-cumi pada hasil pengamatan ke 5.

Ikan Pada Rumpon Atraktor Cumi

Pengambilan data ikan dilakukan dengan mendokumentasikan ikan pada radius 2,5 meter ke kiri dan ke kanan yang berada disekitar rumpon atraktor cumi untuk melihat efektifitas fungsi rumpon atraktor cumi sebagai daerah baru untuk tempat ikan berkumpul dan mencari makan. Pengambilan data ikan dilakukan lebih dahulu baru kemudian dilakukan pengambilan data penempelan telur cumi-cumi. Bedasarkan hasil identifikasi, diperoleh data jenis ikan seperti tersaji pada Tabel 7.

Tabel 7. Jenis ikan yang ditemukan pada lokasi penenggelaman rumpon

No Spesies Family

Pengamatan

3 m 5 m

1 2 3 4 5 1 2 3 4 5

1 Synodus macrops Synodontidae

2 Sorsogana tuberculata Platycephalidae

3 Epinephelus bleekery Serranidae

4 Cromileptes altivelis Serranidae

5 Cephalopolis boenack Serranidae

6 Apogon cavitensis Apogonidae

7 Cheilodipterus parazonatus Apogonidae

8 Selaroides leptolepis Carangidae

9 Scolopsis monogramma Nemipteridae

10 Pentapodus paradiseus Nemipteridae

11 Lutjanus lutjanus Lutjanidae

12 Lutjanus biguttatus Lutjanidae

13 Upenesus tragula Mullidae

14 Parupeneus pleurostigma Mullidae

15 Siganus canaliculatus Siganidae

(41)

27

Jenis ikan yang tersaji pada Tabel 7 ditemukan sebanyak 16 spesies ikan yang terdiri dari 10 family. Ikan konsumsi ditemukan sebanyak 7 spesies yang terdiri dari family Serranidae, Carangidae, Lutjanidae dan Siganidae. Ikan jenis Lutjanus lutjanus merupakan jenis ikan yang paling sering ditemukan pada rumpon atraktor cumi berdasarkan analisis kehadiran ikan yang ditemukan selama pengamatan,. Ikan ini tidak ditemukan hanya pada Pengamatan ke 3 pada kedalaman 3 meter. Hal ini karena memang rumpon pada saat itu tidak ada/hilang karena tersapu oleh gelombang musim barat yang kuat. Selain dari waktu tersebut ikan ini selalu ditemukan. Oleh karena itu, ikan jenis ini dapat menjadi ikan indikator yang ada pada daerah penengelaman rumpon atraktor cumi di Perairan Tuing Pulau Bangka. Lutjanus lutjanus (big-eye snapper) merupakan ikan yang tersebar diperairan bagian barat indo pasifik. Ikan ini ditemukan pada daerah terumbu karang laut lepas (offshore coral reefs). Biasanya, ikan ini bermain di daerah tubir terumbu karang atau pada perairan yang lebih dalam hingga kedalaman 90 meter (Allen. 1999). Ikan ini hidup berkelompok dengan panjang tubuh hingga 30 cm namun biasanya ditangkap diperairan indonesia dengan ukuran sekitar 20 cm (Kuiter et al. 2003). Selain ikan, ditemukan pula softcoral yang menempel pada rumpon atraktor cumi jenis kotak pada pengamatan ke 5 kedalaman 3 meter jenis

Cerianthus sp (Collin and Arnesson 1995) sebanyak 2 individu, gastropoda dari

family Olividae (Dharma 1988), dan crustacea yang terdiri dari udang dan kepiting. Foto ikan dan biota lain yang ditemukan di sekitar dan yang menempel pada rumpon atraktor cumi disajikan pada Lampiran 3.

Tingkat Keefektifan Rumpon Atraktor Cumi

Tingkat keefektifan rumpon atraktor cumi ditentukan dari jumlah rumpon atraktor cumi yang ditempel oleh telur cumi-cumi. Semakin banyak jumlah suatu jenis rumpon ditempel oleh telur cumi-cumi maka semakin tinggi tingkat keefektifan jenis rumpon tersebut. Hasil analisis tingkat keefektifan rumpon atraktor cumi dengan bentuk kotak dan silindris yang ditenggelamkan di Perairan Tuing pada penelitian ini disajikan pada Tabel 8.

Tabel 8. Tingkat keefektifan rumpon atraktor cumi

Keterangan * : dianggap tidak lengkap karena rumpon atraktor cumi hilang dan rusak karena gelombang musim barat.

(42)

28

atas masih terkesan terang didalam rumpon sedangkan cumi-cumi lebih menyukai kondis yang sedikit lebih gelap (remang-remang). Inilah yang menyebabkan rumpon atraktor cumi bentuk kotak tidak ditempel oleh kapsul telur cumi-cumi. Rumpon atraktor cumi bentuk kotak hanya ditemukan pada kedalaman 5 meter di pengamatan ke 3 dan Pengamatan ke 5 dengan tingkat keefektifan masing-masing 100% (sangat efektif) dan 33,33% (efektif). Nilai tingkat keefektifan pada pengamatan ke 3 sangat efektif karena dari hasil pengamatan yang tersisa dari rumpon yang ditenggelamkan hanya tiga rumpon bentuk kotak ini sedangkan Sembilan rumpon atraktor cumi lainnya yang ditenggelamkan hilang dan rusak akibat tempaan gelombang selama bulan Januari – Maret 2013. Artinya, cumi-cumi melekatkan kapsul telurnya karena tidak ada lagi rumpon jenis lain yang tersedia selain rumpon bentuk kotak di kedalaman 5 meter. Kapsul telur cumi-cumi yang menempel pada pengamatan ke 3 ini pun tidak menempel di bagian atrkator yang terletak di dalam rumpon atraktor cumi bentuk kotak melainkan pada tali pengikat rangka rumpon. Hal ini karena atraktor telah hilang (Gambar 7). Kondisi ini menyebabkan kapsul telur yang menempel pada rumpon atraktor cumi berada padakondisi terbuka dan sangat mudah dimangsa oleh predator. Dua hari setelah pengamatan ke 3, saat melakukan perbaikan dan penenggelaman rumpon baru pada tanggal 1 April 2013, semua kapsul telur sudah rusak dimakan oleh predator. Kondisi ini memperlihatkan bahwa rumpon atrkator cumi bentuk kotak yang telah di desain kurang efektif untuk diaplikasikan.

(43)

29

Analisis Pengaruh Kedalaman, Waktu Pengamatan dan Jenis Rumpon Atraktor Cumi Terhadap Penempelan Telur Cumi-cumi

Pengolahan data untuk melihat pengaruh dari kedalaman, waktu pengamatan, dan jenis rumpon dilakukan hanya dari hasil analisis pengamatan ke 1, 2, 4 dan 5. Data pengamatan yang ke 3 tidak dapat dilakukan analisis karena kondisi rumpon yang tidak lengkap. Hanya ada tiga rumpon yang dapat didata dari 12 rumpon atraktor cumi yang ditenggelamkan karena hilang dan rusak akibat tempaan dari gelombang besar dan kuat pada bulan Januari – Februari 2013.

Hasil Uji t-student digunakan untuk melihat pengaruh dari masing-masing faktor perlakuan. Faktor perlakuan kedalaman menunjukkan bahwa tidak memberikan perbedaan nyata terhadap hasil penempelan telur cumi-cumi pada rumpon yang ditenggelamkan. Nilai P-value > 0,05 sehingga menginterpretasikan bahwa tidak ada pengaruh yang signifikan antara kedalaman untuk tingkat kepercayaan 95%. Hal ini diestimasikan karena antara kedalaman 3 dan 5 meter tergolong relatif homogen dan titik penenggelaman rumpon pun pada satu kawasan perairan yang sama dan hanya berjarak sekitar 50 meter antar lokasi titik penenggelaman. Hasil ini menunjukkan bahwa antara kedalaman 3 dan 5 meter memiliki pengaruh yang sama terhadap enempelan telur cumi-cumi pada rumpon dan tergolong perairan dangkal. Jika dilakukan pada perairan yang lebih dalam (> 10 meter) sebagai pembanding diestimasikan akan memberikan hasil yang berbeda. Berdasarkan hasil uji t diketahui bahwa dari kedalaman 3 meter dan 5 meter terjadi penurunanan jumlah penempelan telur cumi-cumi pada rumpon (Hail Uji t disajikan pada Lampiran 4).

Faktor perlakuan perbedaan waktu pengamatan menunjukkan hasil berbeda nyata antara penempelan telur cumi-cumi pada kelompok waktu pengamatan tahap 1 (November – Desember 2012) dengan kelompok waktu pengamatan tahap 2 (April – Mei 2013). Nilai P-value < 0,05 sehingga menginterpretasikan bahwa ada pengaruh yang signifikan antara perbedaan waktu pengamatan dengan selang kepercayaan 95% untuk penempelan telur cumi-cumi. Hasil uji t menunjukkan penurunan nilai rata-rata yang sangat besar antara penempelan telur cumi-cumi pada kelompok waktu pengamatan tahap 1 (November – Desember 2012) dengan kelompok waktu pengamatan tahap 2 (April – Mei 2013). Hasil ini menyimpulkan bahwa pada waktu pengamatan tahap 1 (November – Desember 2012) merupakan musim pemijahan cumi L. chinensis di Perairan Tuing.

Faktor perlakuan berdasarkan jenis rumpon yaitu antara jenis silindris dari bahan drum bekas dan bentuk kotak berbahan kerangka dari kayu menunjukkan hasil yang berpengaruh signifikan atau berbeda nyata terhadap penempelan telur cumi-cumi (P-value < 0,05). Hasil ini menunjukan bahwa rumpon atraktor cumi bentuk silindris memiliki keberhasilan yang signifikan dibandingkan dengan rumpon atraktor cumi jenis kotak. Hasil ini menunjukkan bahwa rumpon atraktor cumi jenis silindris menjadi jenis rumpon yang dapat diaplikasikan sebagai pengumpul telur cumi-cumi yang efektif dibandingkan jenis rumpon atrakror cumi jenis kotak.

(44)

30

perlakuan waktu pengamatan (musim pemijahan) dan jenis rumpon yang digunakan. Untuk interaksi antara faktor perlakuan kedalaman dengan jenis rumpon dan interaksi antara faktor perlakuan waktu pengamatan dengan kedalaman menunjukkan hasil yang tidak signifikan atau tidak berbeda nyata terhadap penempelan telur cumi-cumi pada rumpon. Hasil analisis ini menunjukkan bahwa faktor yang harus disesuaikan untuk melakukan penenggelaman rumpon atraktor cumi yang efektif sebagai tempat penempelan telur cumi-cumi adalah dengan menyesuaikan dan menentukan faktor perlakuan jenis rumpon dan waktu cumi bertelur di suatu lokasi perairan. Berdasarkan hasil penelitian, waktu pengamatan yang paling efektif untuk penempelan telurcumi-cumi adalah pengamatan tahap 1 (November – Desember 2012) dan jenis rumpon atraktor cumi bentuk silindris dari bahan drum bekas. Tabel Anova untuk Two Faktor With Replication disajikan pada Lampiran 5. Hasil analisis untuk pengaruh jenis, waktu pengamatan dan kedalaman penenggelaman rumpon terhadap penempelan telur cumi-cumi tersaji pada Tabel 9.

Tabel 9. Analisis Pengaruh waktu pengamatan, kedalaman dan jenis rumpon terhadap penempelan telur cumi-cumi

No Faktor perlakuan P-value Interpretasi

1 Waktu Pengamatan 0.029653 Berbeda Nyata

2 Kedalaman 0.479046 Tidak Berbeda Nyata

3 Jenis Rumpon 0.015219 Berbeda Nyata

4 Waktu Pengamatan dan Jenis 0.006697 Sangat Berbeda Nyata 5 Jenis dan Kedalaman 0.323388 Tidak Berbeda Nyata 6 Kedalaman dan Waktu Pengamatan 0.222706 Tidak Berbeda Nyata

(45)

31

Gambar 14. Diagram lingkaran korelasi antara parameter fisika kimia perairan dan komposisi substrat dengan waktu pengamatan di proyeksi sumbu faktor 1 dan 2 (kiri) serta faktor 1 dan 3 (kanan).

Suhu dapat menjadi salah satu kunci untuk memprediksi masa reproduksi cumi-cumi di daerah temperate (empat musim) dan subtropis yang memiliki perbedaan suhu yang besar (Wals et al. 2002). Namun, untuk daerah tropis dengan kondisi perairan yang relatif hangat dengan perbedaan suhu tahunan yang kecil, suhu tidak dapat dijadikan sebagai faktor kunci untuk memprediksi masa reproduksi cumi-cumi. Pada famili Loligonidae, ketersediaan makanan menjadi faktor yang sangat menentukan terjadinya pemijahan (Gretta and Jackson 2006). Di daerah kawasan timur perairan Samudera Pasifik, cumi-cumi banyak melakukan reproduksi mengikuti siklus upwelling (Anderson and Rodhouse 2001). Konsentrasi nitrogen dan fosfor merupakan salah satu kunci untuk melihat kesuburan perairan (Lobban and Harrison 2004) yang akan mempengaruhi kelimpahan plankton di perairan. Plankton merupakan pakan alami bagi anak cumi-cumi yang sangat penting keberadaannya bagi perkembangan cumi-cumi (Norman 2003).

Projection of the variables on the factor-plane ( 1 x 2)

Active

Projection of the variables on the factor-plane ( 1 x 3)

Gambar

Gambar 2. Foto Loligo chinensis. Gray, 1849. tampak dorsal (A) dan ventral (B).
Gambar 3. Peta lokasi penelitian (ditunjukkan pada titik merah).
Gambar 4. Desain bentuk kotak dari rangka kayu dan penutup waring
Gambar 5. Desain bentuk silindris dari bahan drum bekas
+7

Referensi

Dokumen terkait