• Tidak ada hasil yang ditemukan

Evaluasi Aspek Teknis dan Strategi Pengembangan Sapi Perah Rakyat di Kabupaten Karo Sumatera Utara

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2017

Membagikan "Evaluasi Aspek Teknis dan Strategi Pengembangan Sapi Perah Rakyat di Kabupaten Karo Sumatera Utara"

Copied!
51
0
0

Teks penuh

(1)

EVALUASI ASPEK TEKNIS DAN STRATEGI PENGEMBANGAN

SAPI PERAH RAKYAT DI KABUPATEN KARO

SUMATERA UTARA

TURE SIMAMORA

SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR

(2)

PERNYATAAN MENGENAI TESIS DAN

SUMBER INFORMASI SERTA PELIMPAHAN HAK CIPTA

Dengan ini saya menyatakan bahwa tesis berjudul Evaluasi Aspek Teknis dan Strategi Pengembangan Sapi Perah Rakyat di Kabupaten Karo Sumatera Utara adalah benar karya saya dengan arahan dari komisi pembimbing dan belum diajukan dalam bentuk apa pun kepada perguruan tinggi mana pun. Sumber informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan maupun tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam Daftar Pustaka di bagian akhir tesis ini.

Dengan ini saya melimpahkan hak cipta dari karya tulis saya kepada Institut Pertanian Bogor.

Bogor, Juli 2015

Ture Simamora

(3)
(4)

RINGKASAN

TURE SIMAMORA. Evaluasi Aspek Teknis dan Strategi Pengembangan Sapi Perah Rakyat di Kabupaten Karo Sumatera Utara. Dibimbing oleh ASNATH MARIA FUAH, AFTON ATABANY dan BURHANUDDIN.

Peternakan sapi perah merupaka salahsatu usaha di bidang peternakan yang memiliki peran strategis dalam memenuhi kebutuhan pangan. Pengembangan sapi perah mendorong terciptanya peternakan berkelanjutan. Salah satu daerah peternakan sapi perah rakyat di Sumatera Utara adalah Kabupaten Karo yang hingga kini masih mengalami stagnasi. Badan Pusat Statistik Kabupaten Karo tahun 2014 mencatat populasi sapi perah tahun 2009-2011 menurun sebesar 35.46%. Pada tahun 2012-2013 kembali meningkat sebesar 29.07% dari populasi tahun 2011, tetapi secara umum data lima tahun terakhir menunjukkan penurunan populasi

sebesar 16.70%. Kecenderungan

penurunan sangat dipengaruhi oleh manajemen dan lingkungan. Produktivitas peternakan sapi perah rakyat rendah juga dipengaruhi lingkungan internal dan eksternal sehingga penelitian bertujuan untuk evaluasi aspek teknis peternakan dan strategi pengembangan peternakan sapi perah rakyat sesuai prinsip Good Dairy Farming Practices (GFDP). Metode yang digunakan adalah survei. Pengambilan sampel responden peternak menggunakan sensus dengan total sampling sebanyak 18 orang. Penggunaan responden ahli penelitian ditujukan untuk mendapatkan informasi yang relevan dalam penyusunan strategi pengembangan sapi perah rakyat. Penentuan dilakukan secara purposive sampling sebanyak 4 orang. Pengolahan data hasil penelitian menggunakan uji chi-square. Perumusan strategi dilakukan dengan mengklasifikasikan lingkungan internal dan eksternal serta analisis Strenghts Weaknesses Opportunities Treats (SWOT). Hasil penelitian menunjukkan nilai GDFP tertinggi pada aspek pengelolaan sebesar 3.05 (kategori baik) dan terendah berada pada aspek kesehatan ternak sebesar 1.52 (kategori kurang baik). Total skor bobot lingkungan internal sebesar 2.502 dan total skor bobot lingkungan eksternal sebesar 2.525 menunjukkan posisi pengembangan peternakan sapi perah rakyat pada matrik internal eksternal berada pada sel 5 yang menunjukkan pengembangan peternakan sapi perah rakyat yang sesuai di Kabupaten Karo adalah strategi pertumbuhan melalui integrasi horizontal.

Kata kunci: aspek teknis, evaluasi, karo, sapi perah, strategi

(5)

TURE SIMAMORA. Evaluation Of The Technical Aspects And Strategies Of Small Holder Dairy Farm In Karo District Of North Sumatera. Supervised by ASNATH MARIA FUAH, AFTON ATABANY and BURHANUDDIN.

Animal husbandry of dairy cattle is one effort in the field of a farm that has strategic role in meet the needs of food. The development of dairy cattle encourages the creation of animal husbandry is sustained. One of the areas animal husbandry of dairy cattle the people in North Sumatera are Karo District which until now are still experiencing stagnation. The Central Bureau of Statistics Karo year 2014 noted the population of dairy cattle years 2009-2011 down by 35.46%. In the 2012-2013 back increased by 29.07% of the population of 2011 but in general the data the last five years showed that the decrease in the population as much as 16.70%.

A trend of decreasing is

greatly affected by the condition of management and environment. Farm productivity of dairy cattle the people low was also affected the environment of the internal and external research so that aims for the evaluation of the technical aspects of animal husbandry and animal husbandry development strategy of dairy cattle the people according to the principle of good dairy farming practices (GDFP). The method used is the survey. The sample collection farmers use the survey respondents with a total of sampling as many as 18 peoples. The use of expert respondents research aimed to obtain relevant information in the preparation of the strategy the development of dairy cattle the people. The determination of purposively sampling done as many as 4 peoples. Data processing using chi-square test the results of research . The preparation of strategies carried out by classifying two enviroment factors which is external factors and internal analysis and training. The result showed the value of GDFP highest on the management aspects of as much as 3.05 (good category) and the lowest is at the health aspect of livestock 1.52 (category less good). The total score weights the internal environment factor of 2.502 the score and the total weight of the external environment factor 2.525. The position of internal external matrix be on a cell 5 shows the development of animal husbandry of dairy cattle the people who fit in karo district use strategy growth through horizontal integration.

(6)

©Hak Cipta Milik IPB, Tahun 2015 Hak Cipta Dilindungi Undang-Undang

Dilarang mengutip sebagian atau seluruh karya tulis ini tanpa mencantumkan atau menyebutkan sumbernya. Pengutipan hanya untuk kepentingan pendidikan, penelitian, penulisan karya ilmiah, penyusunan laporan, penulisan kritik, atau tinjauan suatu masalah; dan pengutipan tersebut tidak merugikan kepentingan IPB

(7)

Tesis

sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Magister Sains

pada

Program Studi Ilmu Produksi dan Teknologi Peternakan

EVALUASI ASPEK TEKNIS DAN STRATEGI PENGEMBANGAN

SAPI PERAH RAKYAT DI KABUPATEN KARO

SUMATERAUTARA

SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR

BOGOR 2015

(8)
(9)

Judul Tesis: Evaluasi Aspek Teknis dan Strategi Pengembangan Sapi Perah Rakyat di Kabupaten Karo Sumatera Utara

Nama : Ture Simamora NIM : D151130201

Disetujui oleh Komisi Pembimbing

Dr Ir Asnath Maria Fuah, MS Ketua

Dr Ir Afton Atabany, MSi Anggota

Dr Ir Burhanuddin, MM Anggota

Diketahui oleh

Ketua Program Studi Ilmu Produksi dan

Teknologi Peternakan

Dr Ir Salundik, MSi

Dekan Sekolah Pascasarjana

Dr Ir Dahrul Syah, MScAgr

(10)

PRAKATA

Puji dan syukur penulis panjatkan kepada Tuhan Yesus Kristus atas segala kasih anugerahNya sehingga karya ilmiah ini berhasil diselesaikan. Tema yang dipilih dalam penelitian yang dilakukan sejak bulan Desember 2014 sampai Januari 2015 adalah Evaluasi Aspek Teknis dan Strategi Pengembangan Sapi Perah Rakyat di Kabupaten Karo Sumatera Utara. Tesis disusun sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar magister pada program studi Ilmu Produksi dan Teknologi Peternakan (IPTP), Sekolah Pascasarjana, Institut Pertanian Bogor.

Terimakasih kepada Ibu Dr Ir Asnath Maria Fuah, MS. Bapak Afton Atabany, MSi dan Bapak Dr Ir Burhanuddin, MM selaku komisi pembimbing. Penulis menyampaikan ucapan terimakasih atas waktu, arahan, bimbingan, dan doronga semangat mulai dari penyusunan proposal, pelaksanaan penelitian hingga penulisan tesis. Kepada Kepala Dinas Peternakan dan Perikanan Kabupaten Karo beserta staf, Kepala Badan Pusat Statistik Kabupaten Karo beserta staf, Dosen Program Studi Peternakan Universitas Sumatera Utara (Bapak Usman Budi, SPt MSi dan Bapak Ir Iskandar Sembiring, MM), Kelompok Peternak Sapi Perah Rakyat di Kabupaten Karo penulis mengucapkan terimakasih atas bantuan selama melakukan penelitian.

Terimakasih juga kepada Dr Ir Salundik, MSi selaku Ketua Program Studi/Mayor IPT beserta jajarannya atas pelayanan prima selama penulis menempuh studi. Ucapan terimakasih oleh penulis kepada Direktorat Jenderal Pendidikan Tinggi yang telah memberikan Beasiswa Program Pascasarjana Dalam Negeri (BPPDN). Kepada teman-teman angkatan 2013 terimakasih atas kebersamaan selama ini. Kiranya persahabatan serta kerjasama tetap terjalin pada waktu mendatang. Kepada pihak yang telah membantu yang tidak dapat disebutkan satu persatu penulis juga mengucapkan terimakasih.

Ucapan terimakasih juga disampaikan kepada Bapak tercinta Santun Simamora dan Mama terkasih Bunga Purba serta keluarga besar atas doa, cinta kasih, kesabaran dan dukungan serta motivasi yang selalu diberikan pada penulis.

Semoga karya ilmiah ini bermanfaat.

Bogor, Juli 2015

(11)

DAFTAR ISI

DAFTAR TABEL ix

DAFTAR GAMBAR x

DAFTAR LAMPIRAN xi

PENDAHULUAN 1

Latar Belakang 1

Tujuan Penelitian 2

Manfaat Penelitian 2

Kerangka Pemikiran 2

MATERI DAN METODE 4

Lokasi dan Waktu Penelitian 4

Materi dan Alat Penelitian 4

Metode Penelitian 4

Komposisi Sapi Perah 4

Faktor Penentu Sapi Perah 5

Lingkungan Internal 5

Lingkungan Eksternal 6

Analisis Deskriptif 7

Analisis Statistik 7

Analisis Matriks IFE dan EFE 7

Analisis SWOT 7

HASIL DAN PEMBAHASAN 7

Keadaan Umum Wilayah Kabupaten Karo 7

Karakteristik Peternak dan Komposisi Sapi Perah 8

Umur Peternak 8

Pendidikan Peternak 9

Pengalaman Peternak 9

Komposisi Sapi Perah 10

Faktor Penentu Ternak Sapi Perah 10

Aspek Pembibitan dan Reproduksi 11

Aspek Pakan dan Air Minum 12

Aspek Pengelolaan 14

Aspek Kandang dan Peralatan 16

Aspek Kesehatan Hewan 18

Perumusan Strategi Pengembangan Sapi Perah Rakyat 19

Identifikasi Lingkungan Internal 19

Identifikasi LingkunganEksternal 22

SIMPULAN DAN SARAN 27

DAFTAR PUSTAKA 28

(12)

DAFTAR TABEL

1 Nilai konversi keterampilan teknis peternak 6

2 Kelompok peternak sapi perah 8

3 Karakteristik peternak berdasarkan umur 8

4 Karakteristik peternak berdasarkan pendidikan 9

5 Komposisi sapi perah rakyat 10

6 Nilai GDFP peternak 10

7 Nilai GDFP peternak pada aspek pembibitan dan reproduksi 11 8 Nilai GDFP peternak pada aspek pakan dan air minum 13 9 Nilai GDFP peternak pada aspek pengelolaan 15 10 Nilai GDFP peternak pada aspek kandang dan peralatan 17 11 Nilai GDFP peternak pada aspek kesehatan hewan 19 12 Lingkungan internal peternakan sapi perah rakyat 22 13 Lingkungan eksternal peternakan sapi perah rakyat 24 14 Matriks SWOT pengembangan sapi perah rakyat 26

DAFTAR GAMBAR

1 Kerangka pemikiran penelitian 3

2 Sel matrik internal eksternal 25

DAFTAR LAMPIRAN

1 Faktor penentu ternak sapi perah aspek pembibitan dan reproduksi 30 2 Faktor penentu ternak sapi perah aspek pakan dan air minum 31 3 Faktor penentu ternak sapi perah aspek pengelolaan 32 4 Faktor penentu ternak sapi perah aspek kandang dan peralatan 34 5 Faktor penentu ternak sapi perah aspek kesehatan hewan 35 6 Pair comparison matrix lingkungan internal sapi perah rakyat 36 7 Pair comparison matrix lingkungan eksternal sapi perah rakyat 36

PENDAHULUAN

Latar Belakang

(13)

2

Berbagai kebijakan dilakukan untuk mengembangkan sapi perah di Indonesia. Pengembangan sapi perah mendorong terciptanya usaha peternakan berkelanjutan, penyediaan protein hewani, penyediaan bahan baku industri, dan penambahan lapangan kerja. Pengembangan sapi perah memiliki peran besar dalam peningkatan kemampuan produksi susu dalam negeri. Peternakan sapi perah bila diklasifikasikan berdasarkan skala usaha terdiri atas perusahaan peternakan sapi perah dan peternakan sapi perah rakyat. Pulungan dan Pambudy (1993) menyatakan usaha peternakan sapi perah rakyat adalah usaha peternakan yang memiliki total sapi perah di bawah 20 ekor, sedangkan perusahaan peternakan sapi perah adalah usaha peternakan yang memiliki lebih dari 20 ekor sapi perah. Peternakan sapi perah skala rakyat belum menunjukkan arah pengembangan sistem berkelanjutan. Skala usaha pemeliharaan 3-4 ekor sapi laktasi per rumah tangga peternak belum mampu memenuhi konsumsi susu nasional dan peningkatan usaha peternakan sapi perah secara kompetitif.

Faktor terpenting untuk sukses dalam

usaha peternakan sapi perah adalah peternak harus dapat menggabungkan kemampuan tata laksana yang baik dengan menentukan lokasi peternakan yang baik, komposisi ternak, pemilihan sapi berproduksi tinggi, pemakaian peralatan secara tepat, pemilihan tanah subur untuk tanaman hijauan makanan ternak dan pemasaran yang baik. Provinsi Sumatera Utara adalah salah satu provinsi luar pulau Jawa memiliki peternakan sapi perah. Populasi sapi perah Sumatera Utara tahun 2013 sebanyak 1 901 ekor terdiri atas 453 ekor sapi jantan dan 1 448 ekor sapi betina (BPS 2014). Salah satu daerah peternakan sapi perah rakyat di Sumatera Utara adalah Kabupaten Karo yang memiliki luas 2 127.25 km² atau 2.97% dari luas provinsi Sumatera Utara dan terletak pada ketinggian 280-1420 meter diatas permukaan laut. Suhu udara 16.4 ºC sampai 23.9 ºC menjadikan daerah ini bagus untuk peternakan sapi perah rakyat. Sejak tahun 1983 daerah Karo dijadikan menjadi sentra pengembangan melalui berbagai program bantuan dari tahun ke tahun, namun upaya tersebut belum mampu mengatasi permasalahan dengan solusi yang tepat sasaran. Data lima tahun terakhir menunjukkan populasi sapi perah rakyat cenderung mengalami penurunan.

Badan Pusat Statistik (BPS) Kabupaten Karo tahun 2014 mencatat populasi sapi perah tahun 2009-2011 menurun sebesar 35.46%. Pada tahun 2012-2013 kembali meningkat sebesar 29.07% dari populasi tahun 2011, namun secara keseluruhan data lima tahun terakhir menunjukkan terjadi penurunan populasi sebesar 16.70%. Terjadinya penurunan populasi sapi perah rakyat dipengaruhi oleh kemampuan aspek teknis, lingkungan dan strategi kebijakan yang diterapkan. Kemampuan manajemen melalui tingkat penerapan aspek teknis yang dilakukan peternak pada aspek kesehatan, aspek pembibitan dan reproduksi, aspek pakan dan air minum, aspek pengelolaan, serta aspek kandang dan peralatan sesuai prinsip

Good Dairy Farming Practices (GDFP) berpengaruh nyata bagi keberhasilan

peternakan sapi perah rakyat. Analisis kondisi

(14)

3 langkah yang harus dilakukan untuk mengetahui kondisi peternakan yang sebenarnya. Hasil penilaian tersebut menjadi dasar pedoman dalam perumusan strategi pengembangan sapi perah rakyat secara tepat dan berkelanjutan.

Tujuan Penelitian

Tujuan penelitian untuk mengevaluasi aspek teknis peternakan sapi perah rakyat sesuai dengan prinsip GDFP, mengidentifikasi lingkungan internal dan eksternal peternakan sapi perah rakyat, dan merumuskan strategi pengembangan yang sesuai di Kabupaten Karo.

Manfaat Penelitian

Hasil penelitian diharapkan memberikan informasi sebagai bahan pertimbangan perbaikan tata laksana pemeliharaan sapi perah sesuai prinsip GDFP dengan menyajikan alternatif strategi pengembangan peternakan sapi perah rakyat bagi pelaku pembangunan (stakeholders) di Kabupaten Karo.

Kerangka Pemikiran

Peternakan yang berkelanjutan membutuhkan kemampuan manajemen aspek teknis dan lingkungan yang baik. Penyusunan strategi pengembangan secara tepat dan mencapai sasaran diwujudkan melalui pendekatan evaluasi aspek teknis secara menyeluruh. Hasil evaluasi mengenai kondisi terkini teknis peternakan sapi perah rakyat menjadi rujukan yang digunakan dalam menetapkan strategi proritas. Lingkungan internal dan eksternal secara langsung dan tidak langsung mempengaruhi peternakan sapi perah rakyat diidentifikasi melalui pendekatan subsistem.

(15)

4

Gambar 1 Kerangka Pemikiran Penelitian

MATERI DAN METODE

Evaluasi aspek teknis dan strategi pengembangan sapi perah rakyat di

Kabupaten Karo

Aspek Teknis:  Skala

kepemilikan ternak  Kesehatan

ternak

 Pembibitan dan reproduksi  Manajemen

pakan dan air minum  Pengelolaan  Kandang dan

peralatan

Lingkungan Internal:  Subsistem

input  Subsistem

budidaya  Subsistem

penunjang

Lingkungan Eksternal:  Ekonomi  Politik/

hukum/ pemerintahan  Sosial budaya/

demografi/ lingkungan  IPTEK

Alternatif strategi

Strategi pengembangan sapi

(16)

5

Lokasi dan Waktu Penelitian

Penelitian difokuskan pada Kecamatan yang diidentifikasi memiliki populasi Rumah Tangga Peternak (RTP) sapi perah berdasarkan data sekunder Dinas Peternakan dan Perikanan Kabupaten Karo. Penelitian dilaksanakan bulan Desember 2014 sampai Januari 2015.

Materi dan alat Penelitian

Penelitian dilaksanakan terhadap peternak yang memiliki sapi kurang dari 20 ekor sebagai responden. Peralatan yang digunakan meliputi alat tulis, kamera, handphone, dan kuisioner.

Metode Penelitian

Penelitian menggunakan metode survei. Populasi penelitian adalah seluruh Rumah Tangga Peternak (RTP) sapi perah di Kabupaten Karo. Cara pengambilan sampel menggunakan sensus dengan total sampling. Penggunaan cara ini didasarkan pada pertimbangan jumlah populasi relatif kecil dan mudah dijangkau. Penelitian bersumber dari data primer dan data sekunder. Data primer diperoleh dari kuisioner yang disusun berdasarkan kriteria Good Dairy Farming Practice (GDFP) sesuai standar penilaian Direktorat Jenderal Peternakan (1983). Penggunaan responden ahli penelitian ditujukan untuk mendapatkan informasi yang relevan dalam penyusunan strategi pengembangan sapi perah rakyat. Penentuan dilakukan secara purposive sampling, di antaranya akademisi 2 orang, pihak swasta 1 orang, unsur Dinas Peternakan Kabupaten Karo 1 orang. Penentuan responden ahli menggunakan kriteria Marimin (2004), sebagai berikut:

a Memiliki kompetensi dan pengalaman dalam bidang yang diteliti b Bekerja/memiliki jabatan dalam bidang yang akan diteliti.

c Memiliki sikap krediblitas dan kesediaan serta berada dalam lokasi penelitian

Lingkungan internal dan eksternal diidentifikasi oleh responden ahli menggunakan skala likert. Menurut Sugiono (2011) skala likert digunakan untuk mengukur sikap, pendapat, dan persepsi seseorang atau sekelompok orang tentang fenomena sosial. Data sekunder akan ditelusuri melalui dokumen-dokumen dari instansi terkait.

Komposisi Sapi Perah

(17)

6

tahun, dihitung sama dengan 0.25 ST. Sapi dara yaitu sapi betina yang berumur lebih dari 1 tahun dan belum pernah beranak dihitung sama dengan 0.50 ST. Sapi laktasi yaitu sapi betina yang sedang dalam masa menghasilkan susu dihitung sama dengan 1.00 ST. Sapi kering kandang yaitu sapi betina dewasa yang tidak dalam masa menghasilkan susu, dihitung sama dengan 1.00 ST. Sapi jantan muda yaitu sapi jantan yang berumur lebih dari 1 tahun dan kurang dari 2 tahun dihitung sama dengan 0.50 ST.

Faktor Penentu Sapi Perah

Faktor penentu sapi perah terdiri atas 5 aspek teknis meliputi aspek pembibitan dan reproduksi ternak, aspek pakan ternak, aspek pengelolaan, aspek kandang dan peralatan, aspek kesehatan ternak. Indikator aspek pembibitan dan reproduksi meliputi bangsa sapi, cara seleksi, cara kawin, pengetahuan berahi, umur beranak pertama, saat dikawinkan setelah beranak dan selang beranak (calving interval). Indikator aspek pakan meliputi cara pemberian, jumlah pemberian, frekuensi pemberian, kualitas hijauan makanan ternak, konsentrat dan pemberian

air minum. Indikator

aspek pengelolaan meliputi kebersihan ternak, kebersihan kandang, cara pemerahan, penanganan pascapanen, pemeliharaan pedet dan dara, pengeringan sapi laktasi serta pencatatan usaha. Indikator aspek kandang dan peralatan meliputi tata letak, konstruksi, drainase, tempat kotoran, peralatan kandang dan peralatan susu. Indikator kesehatan hewan meliputi pengetahuan peternak tentang penyakit, cara pencegahan dan pengobatan penyakit.

Lingkungan Internal

Lingkungan internal adalah faktor-faktor yang terdapat di dalam peternakan sapi perah rakyat secara keseluruhan. Lingkungan internal terdiri atas kekuatan dan kelemahan yang dapat dikendalikan. Identifikasi aspek pada lingkungan internal dilakukan melalui penentuan indikator pengamatan. Indikator aspek input meliputi ketersediaan bibit, ketersedian sarana prasarana kandang, ketersediaan hijauan, ketersediaan konsentrat, dan ketersediaan obat obatan. Indikator aspek budidaya meliputi keadaan geografis, ketersediaan modal, ketersediaan tenaga kerja, ketersediaan lahan, ketersediaan air, pengalaman dan penguasaan teknis beternak.

Indikator

pascapanen meliputi tingkat produksi dan kualitas susu, tingkat penguasaaan dan penggunaan teknologi pengolahan susu. Indikator pemasaran meliputi tingkat harga susu dan saluran pemasaran. Indikator penunjang meliputi ketersediaan penyuluh dan program pemberdayaaan serta ketersediaan akses modal.

(18)

7 Lingkungan eksternal adalah faktor-faktor di luar peternakan sapi perah rakyat secara keseluruhan. Lingkungan eksternal terdiri atas peluang dan ancaman yang tidak dapat dikendalikan sepenuhnya. Identifikasi aspek pada lingkungan eksternal dilakukan melalui penentuan indikator pengamatan. Indikator aspek ekonomi meliputi daya beli dan tingkat permintaan produk hasil susu, fluktuasi harga pakan, tingkat ketertarikan produk susu impor. Indikator aspek politik hukum dan keamanan meliputi dukungan program pemerintah, infrastruktur penunjang

pengembangan peternakan. Indikator aspek sosial

budaya dan lingkungan meliputi iklim, kondisi alam, kesadaran masyarakat akan konsumsi susu, dan daya tarik sektor lain. Indikator aspek ilmu pengetahuan dan teknologi meliputi tingkat penguasaan teknologi peternakan dan inovasi peternakan.

Analisis Deskriptif

Analisis deskriptif digunakan untuk mendeskripsikan karakteristik peternak. Karakteristik peternak yang diamati meliputi umur, pendidikan, pengalaman beternak, kepemilikan ternak dan keterampilan teknis peternak. Nilai konversi keterampilan teknis peternak berdasarkan berdasarkan prinsip GDFP disajikan pada Tabel 1.

Tabel 1 Nilai konversi keterampilan teknis peternak Nilai rataan GDFP Nilai mutu

Keterangan

0.00-0.50 E Sangat

buruk

0.51-1.00 D

Buruk

1.01-2.00 C Kurang

baik

2.01-3.00 B Cukup

baik

3.01-4.00 A

Baik

Analisis Statistik

Keterampilan teknis peternak diuji dengan menggunakan uji chi-square untuk membandingkan nilai hasil pengamatan dengan nilai harapan faktor penentu ternak sapi perah. Bentuk persamaan menurut Nazir (2003) yaitu:

χ² = ∑ �� − ���� ²

�=1 Keterangan :

(19)

8

oi = frekuensi yang diamati, kategori ke-i

ei = frekuensi yang diharapkan dari kategori ke-i n = jumlah kategori

Analisis EFE (External Factor Evaluation) IFE (Internal Factor

Evaluation)

Perumusan strategi dilakukan dengan mengklasifikasikan lingkungan internal dan eksternal (Rangkuti 1999). Lingkungan internal menyangkut dengan kondisi yang terjadi di dalam dan menjadi kekuatan atau kelemahan untuk pengembangan. Lingkungan eksternal menyangkut kondisi yang terjadi di luar dan peluang atau ancaman (Fahmi 2011). Lingkungan internal diklasifikasikan berdasarkan hasil penilaian responden kemudian ditabulasi ke dalam faktor kekuatan dan kelemahan. Lingkungan eksternal diklasifikasikan kemudian ditabulasi ke dalam faktor peluang dan ancaman.

Penentuan nilai bobot digunakan teknik AHP (Analycal Hierachy Process). dengan perangkat lunak kumputer program excel. Menurut Saaty (2007) metode AHP adalah metode untuk dapat mengorganisasikan informasi dan berbagai keputusan secara rasional (judgement). Skor bobot lingkungan disesuaikan dengan matrik IE (internal exsternal). Hasil penjumlahan skor memberikan posisi pada sel matrik IE dan sekaligus menentukan strategi yang sesuai dari objek penelitian. Penentuan skor digunakan formula sebagai berikut:

SN = BN x RN Keterangan:

SN = Skor Nilai BN = Bobot Nilai RN = Rating Nilai

Analisis SWOT (Strenghts Weaknesses Opportunities Threats)

Analisis digunakan untuk mengetahui pengaruh internal dan eksternal peternakan sapi perah rakyat terhadap kekuatan, kelemahan, peluang dan ancaman serta perumusan strategi pengembangan berdasarkan potensi Kabupaten Karo. Untuk merumuskan strategi pengembangan sapi perah rakyat digunakan Matrik SWOT. Pembuatan Matrik SWOT berpedoman kepada matrik IFE dan EFE sekaligus melihat kuadrannya.

HASIL DAN PEMBAHASAN

Keadaan Umum Wilayah Kabupaten Karo

(20)

9 memiliki batas sebagai berikut: sebelah utara berbatasan dengan Langkat dan Deli Serdang, sebelah timur berbatasan dengan Deli Serdang dan Simalungun, sebelah selatan berbatasan dengan Dairi dan Toba Samosir, sebelah barat berbatasan dengan Aceh Tenggara. Data Dinas Peternakan dan Perikanan Kabupaten Karo menunjukkan peternakan sapi perah rakyat terbagi ke dalam beberapa kelompok yang disajikan pada Tabel 2.

Tabel 2 Kelompok peternak sapi perah di Kabupaten Karo

Kelompok Desa Kecamatan

Rejeki Ternak Manuk Mulia Tiga panah Delima Surbakti Simpang Empat Udara Gundaling Berastagi Berastagi Nabar Simalem Ajibuara Tiga Panah Pindonta Regaji Merek Ndokum Siroga Siroga Simpang Empat Sukses M Sejahtera Sempajaya Berastagi Erguna Kacaribu Kacaribu

Sumber: Dinas Peternakan dan Perikanan (2015)

Karakteristik Peternak dan Komposisi Sapi Perah

Penilaian aspek teknis sapi perah rakyat dilakukan terhadap anggota kelompok peternak yang aktif sebanyak 18 orang. Karakteristik peternak meliputi umur, pendidikan, pengalaman. Umur peternak di kelompokkan menjadi 3 kategori yaitu muda, sedang dan tua. Pendidikan dikelompokkan 4 tingkatan yaitu SD, SMP, SMA dan PT. Pengalaman peternak di kelompokkan menjadi 3 kategori yaitu baru, berpengalaman dan sangat berpengalaman (Hernanto 1989).

Umur Peternak

Umur berpengaruh terhadap kinerja dan keberlangsungan usaha peternakan. Hasil analisis menunjukkan peternak kelompok umur 20-35 tahun sebesar 5.56%. Kelompok umur 36-51 tahun sebesar 88.88%. Kelompok umur 52-67 tahun sebesar 5.56%. Peternak sebagian besar berada pada umur 20-51 tahun (produktif). Nilai GDFP peternak umur 36-51 tahun (sedang) paling tinggi dibandingkan dengan dua kelompok umur lainnya. Peternak umur 20-35 tahun (muda) memiliki nilai GDFP terendah di dalam cara seleksi dan pengetahuan penyakit. Kemampuan mengenali penyakit pada sapi perah tergolong rendah. Karakteristik peternak berdasarkan umur disajikan pada Tabel 3.

Tabel 3 Karakteristik peternak berdasarkan umur

Umur (tahun) Jumlah peternak (%)

Nilai GDFP

20-35 (muda) 5.56

(21)

10

2.68±0.95 52-67 (tua) 5.56

2.66±0.86

Kelompok umur 36-51 tahun memiliki nilai GDFP terendah pada manajemenpemberian konsentrat. Peternak pada tingkatan umur ini umumnya tidak memberikan konsentrat. Peternak kelompok umur 52-67 tahun sudah memberikan konsentrat namun belum memperhatikan jumlah kebutuhan ternak dan tidak dilakukan secara rutin. Secara keseluruhan peternak memiliki kendala di bidang manajemen pemberian konsentrat, cara seleksi dan manajemen kesehatan ternak.

Pendidikan Peternak

Perbedaan tingkat pendidikan peternak memungkinkan perbedaan pola pikir, cara kerja dan pengetahuan. Hasil analisis menunjukkan tingkat pendidikan responden peternak sebagian besar adalah tingkat SMA sebesar 72.22%. Peternak menyelesaikan pendidikan sampai tingkat SMP sebesar 5.56%, sisanya sebesar 22.22% adalah peternak berpendidikan perguruan tinggi. Nilai GDFP paling rendah berada pada peternak tingkat pendidikan SMA sebesar 2.50. Peternak tingkat pendidikan SMA merupakan peternak pemula. Nilai GDFP peternak berpendidikan SMP paling tinggi disebabkan karena peternak tersebut sudah beberapa kali mengikuti kegiatan pelatihan teknis dan pengolahan produk sehingga mampu mengaplikasikan ilmu yang telah diperoleh. Karakteristik responden peternak berdasarkan pendidikan disajikan pada Tabel 4.

Tabel 4 Karakteristik peternak berdasarkan pendidikan

Pendidikan Jumlah Peternak (%) Nilai GDFP

SMP 5.56

2.66±0.99 SMA 72.22

2.50±0.78 PT 22.22

2.64±0.90

Peternak tingkatan pendidikan SMP mengalami kendala dalam cara seleksi ternak bibitdan penanganan penyakit. Peternak tingkat pendidikan SMA yang baru menekuni usaha sapi perah memiliki kemampuan teknis yang rendah pada manajemen pemberian konsentrat dan pencegahan penyakit. Peternak berpendidikan perguruan tinggi memiliki kemampuan aspek teknis yang rendah pada cara seleksi ternak bibit dan pencegahan penyakit. Peternak berpendidikan perguruan tinggi umumnya berasal dari luar bidang peternakan.

Pengalaman Peternak

(22)

11 peternakan sapi perah. Perolehan nilai GDFP secara keseluruhan berdasarkan pengalaman peternak 1-8 tahun adalah sebesar 2.60. Peternak memerlukan pelatihan dan pendampingan lebih intensif dari petugas penyuluh lapangan guna meningkatkan kemampuan melaksanakan tatalaksana pemeliharaan yang baik.

Komposisi Sapi Perah

Populasi sapi perah rakyat berjumlah 70 ekor atau 49.75 ST, sebesar 71.37% adalah sapi perah non produktif dan sapi laktasi hanya sebesar 26.13%. Persentase induk laktasi dan jumlah ternak ini berpengaruh positif terhadap produksi susu. Komposisi sapi perah peternak disajikan pada Tabel 5.

Tabel 5 Komposisi sapi perah rakyat di Kabupaten Karo

Ternak Jumlah (ekor) Satuan Ternak (ST) Rataan ST(%)

Pedet Betina 5 1.25 2.51

Dara 33 16.5 33.17

Dewasa Kering 18 18 36.18 Dewasa Laktasi 13 13 26.13 Dewasa Jantan 1 1 2.01 Jumlah 70 49.75 100

Faktor Penentu Ternak Sapi Perah

Faktor-faktor penentu merupakan indikator yang digunakan untuk mengukur tingkat penerapan GDFP pada usaha sapi perah. Faktor-faktor penentu terdiri atas lima aspek teknis penilaian sesuai standar Direktorat Jenderal Peternakan (1983). Aspek teknis meliputi pembibitan dan reproduksi, pakan ternak, pengelolaan, kandang dan peralatan, serta kesehatan hewan. Nilai GDFP aspek teknis peternakan sapi perah rakyat di kabupaten Karo nyata lebih rendah dari nilai

harapan GDFP (4.00). Hasil analisis

menunjukkan rata rata penerapan aspek teknis peternak masih rendah yaitu 2.60. Aspek pengelolaan merupakan aspek yang memiliki nilai GDFP tertinggi sebesar 3.05. Nilai GDFP terendah terdapat pada aspek kesehatan hewan sebesar 1.52. Rendahnya pengetahuan penyakit dan upaya pencegahan menjadi salah satu pemicu permasalahan penyakit yang sering dihadapi peternak. Nilai GDFP peternak sapi perah rakyat disajikan pada Tabel 6.

Tabel 6 Nilai GDFP peternak sapi perah rakyat di Kabupaten Karo

Faktor Penentu Nilai GDFP Kategori GDFP Pembibitan dan Reproduksi 2.64±0.60* Cukup baik

Pakan Ternak 2.33±0.55*

Cukup baik

Pengelolaan 3.05±0.37

(23)

12

Kandang dan Peralatan 2.76±0.80* Cukup baik

Kesehatan Hewan 1.52±0.30*

Kurang baik

Rataan 2.60±0.52

Cukup baik

*Berbeda nyata (P<0.05)

Aspek Pembibitan dan Reproduksi

Aspek pembibitan dan reproduksi menunjukkan bahwa bangsa sapi yang dipelihara dan cara kawin sudah sesuai nilai harapan GDFP. Sapi perah yang dipelihara adalah FH (Friesian Holstein). Chandan et al. (2008) menyatakan sapi FH mampu berproduksi 9000 liter per ekor per 305 hari periode laktasi. Cara kawin ternak sudah menggunakan Inseminasi Buatan (IB). Kabupaten Karo memiliki tenaga inseminator yang terampil. Tenaga inseminator berasal dari Dinas Peternakan dan Perikanan dan inseminator swadaya. Beberapa faktor penentu tidak memenuhi nilai harapan GDFP. Faktor penentu cara seleksi memiliki nilai paling rendah. Pada umumnya peternak rakyat belum menggunakan cara seleksi dalam

beternak. Kecenderungan peternak hanya

sebatas memelihara sapi perah, belum memperhatikan asal usul dan tingkat produksi susu. Keberhasilan suatu peternakan sapi perah dipengaruhi oleh bibit sapi perah yang dipelihara. Beberapa hal harus diperhatikan meliputi bibit sapi berasal dari induk berproduktivitas tinggi, memiliki ambing yang besar dan keseluruhan penampilan bibit sapi harus proporsional. Peternak mengetahui tanda tanda berahi ketika melihat sapi gelisah dan keluarnya lendir dari vulva. Peternak belum mengetahui adanya tanda berahi lain yakni pangkal ekor terangkat dan tidak nafsu

makan. Kondisi peternak yang belum terampil

mengidentifikasi tanda berahi mempengaruhi efisiensi reproduksi dan calving interval. Pengetahuan peternak yang terbatas dalam mendeteksi berahi menyebabkan keterlambatan waktu pengawinan ternak. Daya reproduksi sapi bisa menurun atau sulit untuk bunting disebabkan oleh keterlambatan pengawinan. Masyarakat hanya mengenal jenis sapi perah FH. Warna sapi FH berwarna hitam dan putih, kadang kadang merah dan putih dengan batas batas warna yang jelas. Nilai GDFP peternak sapi perah rakyat di Kabupaten Karo pada aspek pembibitan dan reproduksi disajikan pada Tabel 7.

Tabel 7 Nilai GFDP peternak pada aspek pembibitan dan reproduksi Faktor Penentu Nilai GDFP Kategori GDFP Bangsa sapi yang dipelihara 4.00±0 Baik

Cara seleksi 0.66±1.53* Buruk

Cara kawin 4.00±0 Baik

Pengetahuan berahi 2.27±0.46* Cukup baik

(24)

13 Dikawinkan setelah beranak 2.50±0.98* Cukup baik

Calving interval 2.39±0.69* Cukup baik

Rataan 2.64±0.60 Cukup

baik

*Berbeda nyata (P<0.05)

Hasil analisis menunjukkan 83.33% peternak tidak melakukan seleksi, sisanya 16.67% melakukan seleksi berdasarkan produksi susu. Kurangnya pengetahuan peternak tentang manfaat seleksi menjadi alasan peternak tidak melakukan seleksi. Proses perkawinan melalui IB sudah dilakukan seluruh peternak, namun peternak belum melakukan pencatatan ternak (recording) dengan baik. Pelaksanaan IB menggunakan semen beku pejantan unggul yang berasal dari Balai Inseminasi Buatan Lembang dan Balai Inseminasi Buatan Singosari. Peternak apabila melihat sapi berahi segera memanggil petugas inseminator dari dinas maupun inseminator swadaya yang tersedia di Kabupaten Karo. Kondisi ini mempengaruhi efisiensi dan efektivitas inseminasi buatan.

Mugisha et al. (2014) menyatakan tingkat adopsi IB tergantung pada ketersediaan layanan penyuluhan dan pencatatan (recording). Perkawinan melalui inseminasi buatan menghemat biaya pengeluaran peternak karena tidak perlu memelihara pejantan. Hasil analisis menunjukkan 72.22% peternak dalam mengetahui gejala berahi masih kategori kurang paham. Peternak lebih dominan mengenal sapi perah sedang berahi melalui sapi terlihat gelisah dan mengeluarkan lendir dari vulva. Peternak tergolong paham mengetahui gejala berahi sebesar 27.78%.

Tanda tanda berahi yang bisa diamati meliputi sapi gelisah, frekuensi sapi mengeluarkan urin meningkat, vulva terlihat bengkat dan mengeluarkan lendir, diam apabila dinaiki, dan keluar bercak darah (Hosein dan Gibson 2006). Hasil pengamatan menunjukkan umur sapi perah beranak 31-36 bulan sebesar 72.22%. Sapi perah memiliki umur beranak 36-42 bulan sebesar 27.78%. Lama umur beranak disebabkan oleh keterlambatan peternak mulai mengawinkan ternak. Mwambilwa et al. (2013) menyatakan tingkat deteksi estrus rendah, pemenuhan nutrisi ternak rendah, dan kurangnya pencatatan reproduksi memberikan kontribusi

buruk terhadap peternakan. Hasil analisis

menunjukkan 77.78% ternak kawin lagi setelah beranak pada 61-90 hari. Keterlambatan pengawinan sesuai dengan harapan 40-60 hari setelah beranak dipengaruhi oleh pengetahuan berahi, ketersediaan semen, ketersediaan inseminator, penyakit reproduksi dan gangguan kesehatan. Peternakan sapi perah rakyat memiliki selang beranak (calving interval) 13-18 bulan sebesar 50%, bahkan terdapat 38.89% selang beranak 19-24 bulan dan sisanya 11.11% tidak dikawinkan lagi karena alasan gangguan kesehatan. Hertanto et al. (2012) menyatakan perbaikan calving interval 12-13 bulan mampu memperbaiki profitabilitas usaha pada peternakan sapi perah rakyat. Perlu perbaikan selang beranak untuk meningkatkan efisiensi peternakan sapi perah rakyat. Selang beranak optimal antara 12 dan 13 bulan.

(25)

14

Menurut Siregar (2007) pakan adalah faktor penentu kemampuan berproduksi susu sapi-sapi perah. Sapi perah berproduksi tinggi bila tidak mendapat pakan yang cukup baik kuantitas maupun kualitas tidak akan menghasilkan susu yang sesuai dengan kemampuannya. Pada aspek pakan kesalahan dalam manajemen pemberian pakan dapat mengakibatkan penurunan produksi, gangguan kesehatan bahkan dapat juga menyebabkan kematian. Manajemen pemberian pakan harus dilakukan secara cermat dengan memperhitungkan efektifitas dan efisiensi.

Hasil analisis terhadap aspek pakan dan air minum terdapat faktor penentu cara pemberian hijauan dan frekuensi pemberian hijauan sudah memenuhi nilai harapan. Faktor penentu jumlah pemberian hijauan, cara pemberian konsentrat, jumlah pemberian konsentrat dan frekuensi pemberian konsentrat tidak memenuhi nilai harapan. Jumlah pemberian konsentrat menjadi faktor penentu yang memiliki nilai terendah. Pemberian konsentrat tidak rutin dilakukan sebagian besar peternak. Peternak yang memberikan konsentrat secara rutin belum memperhatikan kualitas dan kandungan nutrisi sesuai kebutuhan ternak. Hijauan yang biasa diberikan peternak meliputi rumput gajah, rumput lapang dan jerami jagung.

Rata rata peternak memiliki lahan hijauan pakan ternak lebih kurang 3 ha sehingga tidak kesulitan dalam penyediaan hijauan. Pemberian hijauan belum mempertimbangkan kualitas dan kandungan nutrisi. Pengetahuan peternak mengenai kesesuaian kandungan nutrisi hijauan dan konsentrat yang diberikan masih terbatas. Jumlah pemberian hijauan dan konsentrat dilakukan sesuai perkiraan peternak. Kondisi ini bisa menyebabkan ganguan kesehatan dan produksi susu sapi perah rendah. Ngongoni et al. (2006) menyatakan pemenuhan pakan secara kuantitatif dan kualitatif menjadi keterbatasan peternak kecil.

Ketersedian rumput alami dan limbah hasil pertanian merupakan sumber utama pakan. Biaya tinggi menyebabkan pemberian konsentrat tidak konsisten sehingga tidak mampu meningkatkan produksi susu. Seluruh responden peternak memberikan hijauan setelah diperah. Jumlah pemberian pakan hijauan yang dilakukan sebagian besar peternak berada dalam kategori cukup berdasarkan kebutuhan sapi laktasi 10% dari rata rata bobot badan. Peternak memberikan hijauan tidak menimbang hanya melalui perkiraan disesuaikan dengan bobot badan. Frekuensi pemberian hijauan 2 kali per hari sudah sesuai dengan nilai harapan GDFP. Nilai GFDP peternak pada aspek pakan dan air minum disajikan pada Tabel 8.

Tabel 8 Nilai GDFP peternak pada aspek pakan dan air minum

Faktor Penentu Nilai GDFP Kategori GDFP Hijauan

Cara Pemberian 4.00±0 Baik

Jumlah Pemberian 2.88±0.47*

Cukup baik

Frekuensi Pemberian 4.00±0 Baik

Konsentrat

Cara Pemberian 1.22±1.35* Kurang baik

Jumlah Pemberian 0.72±0.75*

(26)

15 Frekuensi Pemberian 1.55±1.09* Kurang baik

Air Minum 1.94±0.23*

Kurang baik

Rataan 2.33±0.55

Cukup baik

*Berbeda nyata (P<0.05)

Peternak tidak mengalami kendala dalam penyediaan hijauan pakan. Ketersediaan lahan yang luas membuat hijauan di Kabupaten Karo melimpah. Karo sebagai daerah pertanian holtikultura turut menambah pasokan ketersediaan pakan ternak. Limbah sayuran berasal dari kentang, wortel, terong belum dimanfaatkan secara maksimal oleh peternak. Kreativitas peternak dalam memanfaaatkan potensi limbah pertanian sebagai pakan merupakan solusi untuk mengembangkan usaha peternakan sapi perah. Pengetahuan peternak mengenai penggunaan limbah hasil pertanian sebagai pakan ternak masih terbatas. Peternak tidak menggunakan limbah pertanian karena takut memiliki efek negatif terhadap sistem pencernaan dan kesehatan sapi yang dipelihara. Pemberian konsentrat sebagai pakan tambahan sangat mempengaruhi produktivitas susu sapi. Hasil analisis menunjukkan 16.66% peternak memberikan konsentrat setelah diperah. Peternak memberikan konsentrat sebelum sapi diperah sebesar 55.55%. Konsentrat yang diberikan berupa campuran dedak dan ampas tahu. Produksi susu rendah (rata rata 3 liter per ekor per hari) salah satu disebabkan pemberian kosentrat yang tidak sesuai kebutuhan ternak. Pemberian konsentrat tanpa tambahan mineral diduga menyebabkan banyak sapi lumpuh akibat kekurangan mineral.

Hasil analisis menunjukkan 38.89% peternak tidak memberikan konsentrat karena usaha pemeliharaan sapi perah belum mampu memberikan keuntungan bagi peternak. Hertanto et al. (2012) menyatakan tipe usaha, ketersediaan hijauan dan pakan memiliki pengaruh nyata terhadap produktivitas sapi perah. Tempat pemberian air minum seluruhnya menggunakan ember. Pemberian air minum 2 kali per hari dilakukan 94.44% responden peternak, sisanya 5.56% peternak memberikan air minum hanya 1 kali per hari disebabkan ketersedian air terbatas di areal kandang.

Aspek Pengelolaan

Aspek pengelolaan menunjukkan faktor penentu membersihkan sapi dan pengeringan sapi laktasi telah sesuai dengan nilai harapan GDFP. Peternak membersihkan sapi dua kali sehari sebelum pemerahan. Kebersihan sapi sangat penting demi menjaga kualitas susu dan kesehatan ternak. Pengeringan sapi laktasi dilakukan dua bulan sebelum beranak. Faktor penentu cara membersihkan kandang, membersihkan kandang, cara pemerahan, penanganan pasca panen, pemeliharaan pedet dan dara, pencatatan usaha dan manajemen kotoran tidak sesuai dengan harapan GDFP.

(27)

16

menyiram sapi tanpa membersihkan sebesar 50%. Mereka menganggap dengan cara menyiram menggunakan selang kotoran yang melekat pada sapi akan terbuang. Bagian yang dibersihkan meliputi lipatan paha, ambing dan bagian tubuh belakang. Sudono (1999) menyarankan sebelum sapi diperah bagian badan sapi sekitar lipat paha dan bagian belakang harus dibersihkan untuk mencegah kotoran yang menempel pada bagian-bagian tersebut jatuh kedalam susu pada waktu sapi diperah. Hasil analisis menunjukkan 94.25% peternak membersihkan kandang 2 kali per hari. Mereka rajin membersihkan kandang karena ketersedian air memadai di lokasi kandang sehingga tidak menyulitkan peternak dalam mengambil air. Berbeda dengan peternak yang membersihkan kandang 1 kali per hari sebesar 11.11% disebabkan oleh kandang terletak cukup jauh dari sumber air. Kondisi ini membuat peternak memandikan sapi perah hanya 1 kali per hari. Pendirian kandang harus memperhatikan ketersediaan sumber air disekitar lokasi agar memudahkan pengambilan air. Nilai GDFP peternak pada aspek pengelolaan disajikan pada Tabel 9.

Tabel 9 Nilai GFDP peternak pada aspek pengelolaan

Faktor Penentu Nilai GDFP Kategori GDFP

Membersihkan sapi 4.00±0

Baik

Cara membersihkan sapi 3.50±0.51 Baik

Membersihkan kandang 3.77±0.64 Baik Cara pemerahan 2.66±0.48* Cukup baik Penanganan pasca panen 2.61±0.50* Cukup baik

Pemeliharaan pedet dan dara 2.66±0.48* Cukup baik

Pengeringan sapi laktasi 4.00±0 Baik

Pencatatan usaha 1.22±0.54*

Kurang Baik

Manajemen kotoran 3.05±0.24

Baik

Rataan 3.05±0.37

Baik

*Berbeda nyata (P<0.05)

(28)

17 sulit dihindari (Hidayat et al. 2002).

Pengetahuan peternak terkait sensitifitas puting terhadap penyakit mastistis dinilai kurang, Penanganan pasca panen setelah pemerahan langsung disaring menggunakan kain halus dari tempat ember kaleng pemerahan ke dalam tempat ember kaleng penggumpulan (milk can). Hasil analisis menunjukkan 33.33% responden peternak memerah menggunakan cara kurang benar dengan menarik narik puting dari atas kebawah. Proses pemerahan seperti ini dikhawatirkan akan mengakibatkan puting bertambah panjang. Siregar et al. (1996) menyatakan kebiasan peternak dalam memerah dengan cara menarik-narik akan mengakibatkan

puting menjadi melar dan panjang. Susu yang

diperah saat pagi hari tidak langsung dipasarkan. Susu ditempatkan dalam lemari pendingin menunggu susu hasil pemerahan sore hari. Susu hasil pemerahan pagi dan sore hari kemudian dibawa langsung untuk distribusikan kepada pelanggan. Seluruh peternak sudah melakukan pengeringan 2 bulan sebelum melahirkan. Pada sapi-sapi yang sedang berproduksi dan sudah bunting 7-7.5 bulan harus dikeringkan artinya tidak boleh diperah lagi. Cara mengeringkan sapi adalah dengan pemerahan berselang atau penghentian pemerahan secara mendadak.

Hasil analisis menunjukkan 66.67% peternak melakukan

pemeliharaan pedet dan sapi dara benar namun kurang baik. Peternak menyamakan pedet dan sapi dara dengan pemeliharaan sapi induk. Pemeliharaan pedet dan sapi dara belum memperhatikan kebutuhan nutrisi. Pemberian pakan yang terbatas menghambat pertumbuhan pedet dan dara. Kondisi ini memperlambat sapi dara untuk bisa dikawinkan. Pemeliharaan pedet dan dara yang kurang benar sebesar 33.33% karena memelihara sapi pedet dan dara dalam satu kandang dengan induk dan kurang memperhatikan kebutuhan pakan dan pertumbuhan ternak.

Peternak memelihara pedet harus memperhatikan pemberian pakan, penyediaan kandang, pencegahan penyakit, pemotongan tanduk, kastrasi, pemasangan kaling, pemberian tanda pengenal dan menghilangkan tanduk. Lyimo

et al. (2004) menyarankan perlu perbaikan manajemen pemeliharaan pedet dengan strategi pemberian pakan, peningkatan manajemen pengawasan, penggunaan konsentrat murah, dan penyediaan kandang terpisah dan memadai.

Peternak yang peduli untuk membuat pencatatan usaha hanya 11.11%. Kondisi usaha peternakan stagnan menyebabkan peternak merasa tidak perlu catatan usaha. Sulit menemukan catatan operasional usaha peternak selama memelihara ternak. Catatan kelahiran sapi, waktu berahi, waktu berahi, biaya pengeluaran dan biaya pengeluaran nyaris tidak ada dalam setiap peternak. Costa

et al. (2013) menyatakan ketidaktersediaan catatan produksi dan kesehatan pada sapi perah rakyat menyebabkan peternak semakin sulit mengenali dan mengatasi masalah yang timbul.

Pengolahan kotoran untuk dijadikan pupuk sudah dilakukan 94.44% responden peternak bahkan 5.56% peternak sudah memanfaatkan kotoran sebagai sumber biogas. Permintaan pupuk organik sangat tinggi di Kabupaten Karo untuk tanaman holtikultura. Pupuk berasal dari kotoran sapi menjadi sumber pendapatan baru bagi responden peternak.. Muriithi et al. (2014) menyatakan integrasi antara usaha sapi perah dengan tanaman holtikultura memberikan keuntungan bagi peternak melalui penggunaan pemanfaatan kotoran sapi menjadi pupuk tanaman.

(29)

18

Kandang dan peralatan adalah bagian yang tidak terpisahkan dalam sebuah usaha peternakan sapi perah. Ginting dan Sitepu (1989) menyatakan kandang memiliki fungsi untuk menjaga ternak berada dalam kondisi nyaman agar mampu berproduksi secara maksimal. Manajemen kandang yang baik akan meningkatkan produktivitas usaha peternakan. Hasil analisis menunjukkan tidak satu pun faktor penentu pada aspek kandang dan peralatan memenuhi nilai harapan. Nilai pengamatan tertinggi terletak pada faktor penentu tempat kotoran. Faktor penentu peralatan pemerahan susu menjadi nilai terendah tidak memenuhi nilai harapan. Peternak belum memprioritaskan pembelian alat pemerahan susu yang sesuai standar karena harga relatif mahal.

Lokasi kandang sapi perah yang berada tersendiri lebih dari 10 meter dari rumah sebesar 33.33%. Kandang tersebut berada dilokasi sekitar perkebunan milik peternak.Tujuan peternak mendirikan kandang di areal perkebunan agar mudah dikontrol ketika mereka melakukan aktivitas pertanian. Tata letak kandang tidak sesuai prinsip GDFP sebesar 66.67% berada tersendiri 5-9 meter dari rumah. Lahan sempit disekitar rumah membuat peternak mendirikan kandang dengan jarak kurang dari 10 meter dari rumah. Letak kandang terlalu dekat dengan rumah mengakibatkan aroma bau kotoran sapi tercium ketika berada

didalam rumah. Pemilihan lokasi kandang harus

memperhatikan beberapa pertimbangan antara lain ketersediaan sumber air, lokasi dekat dengan sumber pakan, memiliki areal perluasan, ketersediaan akses transportasi, jarak kandang dengan perumahan minimal 10 meter. Kontruksi kandang dibuat sekokoh mungkin sehingga mampu menahan beban dan benturan serta dorongan dari ternak. Kontruksi kandang dirancang sesuai agroklimat wilayah, tujuan pemeliharaan dan status fisiologis ternak. Bahan kandang disesuaikan dengan tujuan usaha dan kemampuan ekonomi minimal tahan digunakan untuk jangka waktu 5-10 tahun. Tingkat kemiringan lantai tidak boleh lebih dari 5%. Nilai GFDP peternak pada aspek kandang dan peralatan disajikan pada Tabel 10.

Tabel 10 Nilai GFDP peternak pada aspek kandang dan peralatan

Faktor Penentu Nilai GDFP Kategori GDFP

Tata letak kandang 3.33±0.48

Baik

Konstruksi kandang 3.16±0.70

Baik

Drainase kandang 2.94±0.72*

Cukup baik

Tempat kotoran 3.83±0.70 Baik

Peralatan kandang 2.38±0.77*

Cukup baik

Peralatan pemerahan susu 0.88±1.44* Buruk

Rataan 2.76±0.80

Cukup baik

*Berbeda nyata (P<0.05)

(30)

19 disebakan oleh bahan terbuat dari bambu dan beratap alang alang sudah mulai keropos sehingga perlu untuk direnovasi. Kandang kurang baik dan kurang memenuhi syarat sebesar 5.56% disebabkan oleh kontruksi kandang yang tidak memperhatikan ukuran ternak. Tinggi atap kandang hanya 2 meter. Posisi kandang tidak searah dengan matahari terbit. Hasket et al. (2006) menyarankan pembuatan kandang sebaiknya memperhatikan ruang bebas ternak bisa bergerak. Kandang tidak sesuai ukuran ternak berpontesi memiliki efek cedera dan gangguan terhadap kesehatan kaki sapi perah. Kandang sapi perah yang baik adalah kandang yang memenuhi persyaratan kebutuhan dan kesehatan sapi perah. Kandang peternakan sapi perah di Kabupaten Karo menggunakan kandang tunggal dan kandang ganda. Sudono et al. (2003) menyatakan kandang sapi perah yang baik adalah kandang yang sesuai dan memenuhi persyaratan kebutuhan dan kesehatan sapi perah.Persyaratan umum kandang untuk sapi perah yaitu sirkulasi udara cukup dan mendapat sinar matahari sehingga kandang tidak lembab (kelembaban ideal 60%-70%), lantai kandang selalu kering, tempat pakan yang lebar dan tempat air dibuat agar air selalu tersedia sepanjang hari.

Drainase kandang baik dan memenuhi syarat sebesar 16.66%. Peternak membuat drainase kandang kurang baik namun memenuhi syarat sebesar 66.67% disebabkan saluran drainase terlalu kecil mengakibatkan air yang berasal dari pembersihan kandang dan pemandian sapi berjalan tidak lancar. Kandang memiliki drainase baik namun kurang memenuhi syarat sebesar 11.11% disebabkan oleh kurangnya kemiringan dari drainase. Air yang bercampur kotoran mengalir menjadi lambat. Drainase kandang kurang baik dan kurang memenuhi syarat sebesar 5.56% karena saluran akhir drainase tidak memiliki pembuangan sehingga pembuangan tersumbat di ujung saluran drainase. Hasil analisis menunjukkan 94.44% peternak sudah menyediakan tempat pembuangan akhir kotoran berupa tanah yang digali beberapa meter. Kotoran sapi setiap hari dikumpulkan ke tempat tersebut untuk diolah menjadi pupuk. Tempat kotoran kurang baik dan kurang memenuhi syarat sebesar 5.56% karena kotoran ditempatkan persis dibelakang kandang. Areal kandang begitu sempit menyebabkan sapi kurang nyaman. Peralatan kandang lengkap memenuhi syarat sebesar 16.66%. Peralatan kandang antara lain sekop, selang air, ember, sikat, dan sapu lidi. Peralatan kandang tidak lengkap namun memenuhi syarat sebesar 77.78% disebabkan oleh peralatan pencacah rumput belum dimiliki peternak. Rumput gajah, jerami jagung dan limbah hasil pertanian lain seharusnya dicacah terlebih dahulu agar memudahkan pemberian namun langsung diberikan ke sapi perah tanpa pencacahan. Hasil analisis menunjukkan 66.66% responden peternak tidak memiliki peralatan pemerahan susu. Peternak yang tidak memiliki alat pemerahan adalah peternak yang masih memelihara pedet dan sapi dara. Responden peternak memiliki peralatan pemerahan lengkap dan memenuhi syarat sebesar 11.11% berasal dari bantuan pemerintah. Responden peternak memiliki peralatan pemerahan tidak lengkap namun memenuhi syarat sebesar 11.11% antara lain ember perah (terbuat dari bahan stainless steel), milkcan (stainless steel), saringan (kain kassa), pelicin (mentega).

(31)

20

Aspek kesehatan hewan merupakan aspek yang sangat penting untuk menjaga produktivitas dan reproduksi sapi perah. Peternak meskipun tidak paham masalah kedokteran hewan tetapi perlu untuk mengenal gejala penyakit, penyebab dan cara pencegahan berbagai jenis penyakit. Hasil analisis menunjukkan pengetahuan penyakit dan pencegahan penyakit tidak memenuhi nilai GDFP. Pengetahuan tentang penyakit sapi perah sangat terbatas sehingga kemampuan peternak dalam mencegah penyakit juga sangat terbatas. Apabila sapi perah mengalami penyakit peternak langsung menghubungi petugas kesehatan hewan Dinas Peternakan dan Perikanan untuk memeriksa dan melakukan pengobatan. Peternak memiliki pengetahuan penyakit kategori kurang baik sebesar 22.22%. Peternak yang memiliki pengetahuan penyakit kategori tidak baik sebesar 77.78%. Menurut Suharno dan Nazaruddin (1994) beberapa penyakit dapat menyerang sapi perah antara lain TBC (tuberculosis), keluron (brucellosis), radang kelenjar susu (mastitis), radang limpa dan penyakit kulit dan kuku. Pengetahuan peternak yang rendah tehadap berbagai jenis penyakit pada sapi perah sejalan dengan sebagian kecil peternak (33.33%) melakukan pencegahan penyakit namun kurang teratur.

Pencegahan penyakit dilakukan

sesuai dengan arahan petugas kesehatan hewan ketika berkunjung ke kandang. Strategi komunikasi penyuluh sangat dibutuhkan dalam manajamen kesehatan sapi perah. Jansen et al. (2010) menyatakan strategi komunikasi efektif dalam edukasi manajemen kesehatan sapi perah mampu meningkatkan pengetahuan dan mengubah perilaku peternak. Suharno dan Nazaruddin (1994) menyarankan peternak sapi perah untuk mengembangkan pengetahuan agar mampu mencegah penyakit ternak. Pencegahan penyakit sedini mungkin dilakukan dengan menjaga kebersihan kandang, kebersihan ternak dan memberikan pakan sesuai dengan kebutuhan. Mekonnen et al. (2006) menyatakan prevalensi penyakit ternak berkaitan juga dengankondisi kandang yang buruk. Nilai GFDP peternak pada pada aspek kandang dan peralatan disajikan pada Tabel 11.

Tabel 11 Nilai GFDP peternak pada aspek kesehatan hewan

Faktor Penentu Nilai GDFP Kategori GDFP Pengetahuan penyakit 0.22±0.42* Sangat buruk Pencegahan penyakit 0.33±0.48* Sangat buruk

Pengobatan penyakit 4.00±0 Baik

Rataan 1.52±0.30 Kurang baik

*Berbeda nyata (P<0.05)

Perumusan Strategi Pengembangan Sapi Perah Rakyat

(32)

21 pengumpulan data, pemberian bobot dan rating, serta tahap analisis matriks internal-eksternal.

Identifikasi Lingkungan Internal

Lahan untuk pengembangan sapi perah rakyat di Kabupaten Karo masih tersedia. Meskipun pemanfaatan lahan utama diperuntukkan untuk pertanian, namun kepemilikan lahan pertanian memadai menjadikan ketersediaan lahan untuk pengembangan sapi perah masih terbuka. Hal ini dibuktikan dengan penanaman hijauan pakan ternak dilakukan pada lahan produktif bukan di pinggiran/tegalan lahan pertanian. Kepemilikan lahan hijauan yang dapat menghasilkan tanaman hijauan merupakan dorongan kuat untuk peternak dalam menjalankan usaha ternaknya. Hasil analisis dan informasi yang diperoleh potensi peternakan sapi perah rakyat sangat layak dikembangkan ditinjau berdasarkan ketersediaan lahan.

Salah satu daerah yang bisa

dimanfaatkan sebagai lahan pengembangan sapi perah rakyat adalah areal lahan Nodi milik pemerintah yang terdiri dari padang rumput dengan luas 2000 ha. Lahan Nodi berdasarkan SK Bupati 1971 diperuntukkan untuk areal pengembangan peternakan namun hingga kini lahan tersebut belum dimanfaatkan secara optimal. BPS (2014) mencatat terdapat 2 553 ha lahan bisa digunakan untuk penanaman hijauan tanaman ternak atau lahan penggembalaan di Kabupaten Karo meliputi daerah Lau baleng, Juhar, Kutabuluh, Payung, Tinganderket, Naman teran, Tiga panah dan Merek. Ketersediaan hijauan dalam rangka mendukung peternakan sapi perah rakyat sejalan dengan ketersediaan lahan. Peternak umumnya membudidayakan hijauan pakan ternak di lahan yang mereka miliki. Tanaman hijauan yang ditanam seperti rumput gajah dan rumput lapangan. Pemanfaatan limbah hasil pertanian sebagai pakan ternak menjadi faktor pontesial pendukung ketersediaan pakan ternak sapi perah rakyat. BPS (2014) mencatat produksi tomat tahun 2013 di Kabupaten Karo sebesar 74 578 ton per tahun. Produksi wortel tahun 2013 sebesar 30 693 ton per tahun.Produksi kentang tahun 2013 sebesar 40 420 ton per tahun.

Data produksi tanaman holtikultura tinggi setiap tahun potensial menghasilkan limbah hasil pertanian yang mendukung pasokan ketersediaan pakan ternak sapi perah secara berkelanjutan. Bibit sapi perah yang digunakan peternak akan mempengaruhi produktivitas yang dihasilkan. Bangsa sapi perah yang dipelihara adalah sapi FH impor. Seluruh peternak sapi perah melakukan perkawinan melalui inseminasi buatan. Semen beku sapi perah yang digunakan inseminator berasal dari Balai Inseminasi Buatan (BIB) Lembang dan Balai Inseminasi Buatan (BIB) Singosari.

Air merupakan kebutuhan yang mutlak dipenuhi dalam usaha peternakan sapi perah. Air tersedia setiap saat dalam jumlah yang cukup dan bersih. Ketersediaan air untuk peternakan sapi didukung dengan ketersediaan PDAM Tirta Simalem, bahkan sebagian besar peternak memiliki dan memanfaatkan sumur (air bawah tanah) untuk keperluan memandikan sapi, membersihkan kandang dan air minum sapi perah. Ketersediaan air secara kualitas dan kuantitas setiap saat mendorong peternak memandikan sapi dan membersihkan kandang sebanyak 2 kali sehari.

(33)

22

mencari pakan, memberi pakan, membersihkan kandang dan memerah susu. Tenaga kerja pada peternakan sapi perah rakyat umumnya seluruh anggota keluarga. Tenaga kerja keluarga terdiri atas Suami sudah cukup untuk menjalankan usaha ternak. Peternak tidak harus mencari tenaga kerja luar sehingga menambah biaya tenaga kerja, namun ada peternak yang mendatangkan tenaga kerja berpengalaman memelihara sapi perah dari Pengalengan Jawa Barat dengan tujuan agar mampu meningkatkan performa usaha dan mentransfer ilmu manajemen sapi perah.

Produksi susu peternakan sapi perah rakyat sangat rendah yaitu rata rata produksi 3 liter per induk laktasi. Hasil analisis dan informasi produksi susu dipengaruhi manajemen aspek pakan terutama pemberian konsentrat yang belum baik. Cara pemerahan sapi perah dilakukan peternak kurang memperhatikan kebersihan tangan, kebersihan ambing dan kebersihan peralatan yang digunakan membuat kualitas susu yang dihasilkan kurang terjamin dan diragukan para konsumen susu segar. Ketersediaan sarana dan prasarana kandang merupakan faktor yang mempengaruhi tingkat penerapan aspek teknis. Kandang sapi perah di Kabupaten Karo umumnya ada dibuat permanen maupun semi permanen. Kandang permanen dibuat dengan dinding dan lantai terbuat dari semen sedangkan kandang semi permanen lantai terbuat dari tanah padat atau lantai semen dan dinding terbuat dari bambu. Sarana kandang dan prasarana kandang yang digunakan peternak sapi perah terdiri atas sabit yang digunakan untuk memotong pakan hijauan di lahan. Keranjang sebagai wadah hijauan maupun wadah pakan limbah sayuran. Kaleng susu sebagai wadah susu pada saat pemerahan. Ember sebagai wadah air untuk mencampur pakan komboran. Sekop digunakan untuk membersihkan kotoran sapi. Karung sebagai wadah pakan hijauan maupun pakan komboran. Bak penampung air sebagai tempat penampungan air.

Ketidaktersediaan koperasi peternakan sapi perah turut memperlambat laju pemberdayaan peternak sapi perah rakyat. Informasi responden ahli menyatakan Gabungan Koperasi Susu Indonesia (GKSI) pertama kali tahun 1983 dengan mendistribusikan sapi perah sebanyak 1 200 ekor. Proyek pengembangan tidak berjalan sehingga GKSI ditutup. Pada tahun 2006 koperasi sapi perah didirikan kembali oleh kelompok peternak dengan nama Koperasi Susu Sumber Protein (KSSP). Koperasi ini memiliki dua buah unit mobil susu segar pasteurisasi yang berkeliling setiap hari memasarkan susu di sekitar Kabupaten Karo. Selang satu tahun berjalan koperasi tersebut tutup akibat kesulitan pemasaran susu dan manajemen keuangan, sehingga menyulitkan peternak untuk akses terhadap sarana dan prasarana usaha.Pengolahan susu pasca panen sangat terbatas akibat pengetahuan dan keterampilan peternak yang kurang dalam pengolahan produk. Penanganan pasca panen yang dilakukan peternak umumnya hanya menyimpan susu yang baru diperah ke dalam lemari pendingin sebelum susu segar dipasarkan. Peternak jarang mengolah susu segar menjadi berbagai produk olahan seperti susu pasteurisasi, youghurt, dan es krim. Tingkat pengolahan susu rendah berkorelasi dengan keterampilan dan pengalaman peternak sapi perah yang

tergolong baru. Para peternak sapi

(34)

23 tingkat adopsi informasi teknologi usaha sapi perah masih rendah. Hal ini akan mempengaruhi laju pengembangan peternakan sapi perah rakyat.

Pelatihan teknis dan penyuluhan tersedia. Hasil analisis dan informasi responden ahli menyatakan manajemen pemeliharaan sapi perah rakyat yang dilakukan peternak masih bersifat tradisional. Perbaikan manajemen pemeliharaan sapi perah rakyat perlu dilakukan melalui pelatihan teknis dan penyuluhan yang diselenggarakan secara intensif dan berkesinambungan.Ketersediaan konsentrat menjadi faktor yang mempengaruhi keberhasilan peternakan sapi perah rakyat. Ketersediaan konsentrat masih terbatas. Konsentrat didatangkan dari Kota Medan dengan menempuh waktu perjalanan kira kira 2 jam. Harga konsentrat di pasarkan tiga ribu per karung dengan berat 10 kg. Harga yang kurang terjangkau dan ketersediaan oleh peternak menyebabkan frekuensi pemberian konsentrat oleh peternak belum sesuai prinsip Good Dairy Farming Practices. Ketersediaan obat obatan sangat penting dalam usaha peternakan sapi perah. Kebutuhan obat diperlukan terutama saat sapi terserang penyakit. Obat obatan juga digunakan untuk menjaga agar sapi perah tidak terserang penyakit. Peternak sapi perah rakyat tidak menyediakan obat untuk ternaknya bila sewaktu waktu sapi bisa terserang penyakit.

Hasil identifikasi lingkungan internal menunjukkan total skor bobot sebesar 2.502 artinya usaha sapi perah rakyat berada pada posisi strategis dan memiliki kekuatan yang cukup dalam mengatasi kelemahan lingkungan internal. Kekuatan lingkungan yang paling berpengaruh terhadap usaha sapi perah adalah ketersediaan lahan dengan nilai 0.124. Kelemahan lingkungan internal yang paling berpengaruh terhadap usaha sapi perah adalah pengalaman beternak masih baru dan keterampilan beternak rendah. Identifikasi lingkungan internal peternakan sapi perah rakyat di Kabupaten Karo berdasarkan bobot rating dan skor bobot disajikan pada Tabel 12.

Tabel 12 Lingkungan internal peternakan sapi perah rakyat

Lingkungan internal Bobot Rating Skor

bobot

Kekuatan

1 Ketersediaan lahan 0.124 3 0.372

2 Ketersediaan hijauan 0.112 3 0.336

3 Ketersediaan bibit 0.109 3 0.327

4 Ketersediaan air 0.109 3 0.327

5 Ketersediaan tenaga kerja 0.072 3 0.216 6 Potensi limbah pertanian sebagai pakan 0.058 3 0.174

Kelemahan

1 Pengalaman dan keterampilan beternak rendah 0.068 2 0.136 2 Ketersediaan peralatan kandang terbatas 0.057 2 0.114 3 Kurangnyaketersediaan konsentrat 0.054 2 0.108 4 Kurangnya ketersediaan obat obatan 0.050 2 0.100 5 Kurangnyapelatihan teknis dan penyuluhan 0.044 2 0.088 6 Tidak tersedia koperasi 0.040 2 0.080 7 Tingkat produksi dan kualitas susu rendah 0.036 2 0.072

(35)

24

Total 1.000 2.502

Identifikasi Lingkungan Eksternal

Kondisi iklim seperti temperatur, kelembaban, dan ketinggian dari permukaan laut memegang peranan penting usahaternak sapi perah. Kesesuaian pengembangan sapi perah seperti sapi FH didukung dengan kondisi suhu udara 16.4 ⁰ C sampai 23.9 ⁰ C dan terletak pada ketinggian 280-1420 meter diatas permukaan laut. Yani dan Purwanto (2006) menyatakan sebagian besar sapi perah di Indonesia adalah sapi FH yang didatangkan dari negara negara Eropa yang memiliki iklim dengan suhu termonetral rendah yaitu 13 ⁰ C sampai 25 ⁰ C.

Dukungan pemerintah pusat dan daerah berupa pemberian bantuan sapi perah. Kelompok peternak umumnya menerima bantuan sapi perah. Tahun 2010 kelompok Delima menerima sebanyak 5 ekor sapi dara. Tahun 2011 kelompok Rejeki Ternak menerima 23 ekor sapi dara. Tahun 2012 kelompok Udara Gundaling, kelompok Sukses Makmur Sejahtera, kelompok Pindonta, kelompok Erguna dan kelompok Siroja menerima bantuan yang bersumber dari Direktorat Jenderal Peternakan dan Kesehatan Hewan masing masing 13 ekor, 17 ekor, 10 ekor, 10 ekor dan 12 ekor sapi dara.

Tahun 2013 kelompok Nabar Simalem menerima bantuan sapi dara sebanyak 8 ekor. Pemberian bantuan menambah semangat para peternak untuk memelihara sapi perah. Pemberian bantuan lain oleh pemerintah berupa bantuan IB, penyuluhan, pendampingan teknis. Pemberian berbagai bantuan ditujukan mendorong peternak agar mampu mengembangkan usaha ternaknya.Ketersediaan infrastruktur penunjang berupa akses transportasi dan komunikasi merupakan faktor yang mampu menunjang pengembangan sapi perah rakyat. Sarana jalan aspal dalam kondisi baik sehingga mudah untuk mengakses lokasi kandang peternakan sapi perah. Seluruh peternakan sapi perah rakyat bisa dijangkau menggunakan kendaraan roda dua maupun roda empat. Kondisi jalan mulus semakin mempersingkat waktu tempuh tempat pemasaran susu. Jarak lokasi peternakan dengan lokasi pemasaran susu umumnya rata rata 10 kilometer. Akses komunikasi telepon seluler yang mudah di setiap tempat turut memperlancar pengadaan sarana produksi. Ketersediaan akses informasi membuka peluang efisiensi biaya pemasaran susu dan harga sarana produksi ternak.

Terciptanya stabilitas politik, hukum

Gambar

Gambar 1  Kerangka Pemikiran Penelitian
Tabel 1  Nilai konversi keterampilan teknis peternak
Tabel 2  Kelompok peternak sapi perah di Kabupaten Karo
Tabel 5  Komposisi sapi perah rakyat di Kabupaten Karo
+6

Referensi

Dokumen terkait

Berdasarkan beberapa eksperimen yang telah dilakukan dan perhitungan hasil penilaian oleh responden dengan menggunakan metode MOS, maka dapat disimpulkan bahwa

Pada delay 30 detik dan juga 60 detik, rata-rata selisih waktu tamu terdeteksi yang didapatkan dengan delay 30 detik yaitu 6.05 detik dan delay 60 detik didapatkan

Beribu manfaat tentang informasi dan teknologi di bidang pendidikan dan kebudayaan bisa didapatkan oleh masyarakat melalui kanal-kanal di laman http://kemdikbud.go.id sesuai dengan

Kondisi Tempat Tinggal Lansia Di Pondok Ma’arif Muslimin..

Powered by

Adanya hubungan antara kenyamanan terhadap tingkat kepatuhan menggunakan APD dikarenakan pada saat dilakukan wawancara sebagian besar karyawan mengeluhkan

a/a! 1 *ari per!obaan diatas, untuk reaksi kulit yang menggunakan air panas, rasa yang terpadat adalah di bagian punggung tangan dan lengan baah. Dntuk reaksi kulit