• Tidak ada hasil yang ditemukan

Pengaruh Intervensi Penambahan Fitosterol pada Minyak Sawit Terhadap Profil Lipid Subyek dengan Sindroma Metabolik.

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2017

Membagikan "Pengaruh Intervensi Penambahan Fitosterol pada Minyak Sawit Terhadap Profil Lipid Subyek dengan Sindroma Metabolik."

Copied!
72
0
0

Teks penuh

(1)

PENGARUH INTERVENSI PENAMBAHAN FITOSTEROL

PADA MINYAK GORENG SAWIT TERHADAP PROFIL

LIPID SUBJEK DENGAN SINDROMA METABOLIK

NAUFAL MUHARAM NURDIN

SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR

(2)
(3)

PERNYATAAN MENGENAI TESIS DAN

SUMBER INFORMASI SERTA PELIMPAHAN HAK

CIPTA*

Dengan ini saya menyatakan bahwa tesis berjudul Pengaruh Intervensi Penambahan Fitosterol pada Minyak Sawit terhadap Profil Lipid Subyek dengan Sindroma Metabolik adalah benar karya saya dengan arahan dari komisi pembimbing dan belum diajukan dalam bentuk apa pun kepada perguruan tinggi mana pun. Sumber informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan maupun tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam Daftar Pustaka di bagian akhir tesis ini.

Dengan ini saya melimpahkan hak cipta dari karya tulis saya kepada Institut Pertanian Bogor.

Bogor, November 2014

Naufal Muharam Nurdin

(4)

RINGKASAN

NAUFAL MUHARAM NURDIN. Pengaruh Intervensi Penambahan Fitosterol pada Minyak Sawit Terhadap Profil Lipid Subyek dengan Sindroma Metabolik. Dibimbing oleh RIMBAWAN dan DRAJAT MARTIANTO

Sindroma metabolik (SM) merupakan suatu kondisi yang penting untuk dikaji karena akan meningkatkan resiko penyakit kronis terutama penyakit jantung koroner (PJK) dan diabetes mellitus tipe 2 (DMT2). Sindroma metabolik adalah pengelompokan kriteria terkait abnormalitas metabolik terdiri dari obesitas abdominal, hipertensi, dislipidemia atrogenik dan intoleransi glukosa (Alberti et al. 2009). Fitosterol merupakan sterol utama yang ditemukan pada minyak nabati sehingga disebut juga plant sterol. Fitosterol dapat mengurangi absorpsi kolesterol di saluran pencernaan dan potensial untuk digunakan dalam pencegahan dan terapi hyperlipidemia (Bender 2006). Fitosterol dalam bentuk ester dapat larut pada minyak dan mempunyai stabilitas yang cukup baik terhadap panas sehingga dapat dapat dicampurkan pada minyak sawit dan digunakan sebagai minyak goreng (Hallikainen 2001, Soupas et al. 2005, Dewi et al. 2013).

Tujuan penelitian ini adalah untuk mengevaluasi pengaruh intervensi penambahan fitosterol pada minyak sawit yang digunakan sebagai minyak goreng terhadap profil lipid yang terdiri dari kolesterol total, kolesterol HDL, kolesterol LDL dan trigliserida pada subjek sindroma metabolik. Penelitian ini merupakan uji klinis acak tersamar ganda. Sebanyak 30 subjek dewasa umur 40-60 tahun yang memenuhi kriteria sindroma metabolik terlibat pada penelitian ini. Subjek dibagi menjadi 2 kelompok yaitu kelompok kontrol dan perlakuan. Kelompok perlakuan diberikan minyak sawit yang diperkaya 6.5% (w/w) fitosterol dan digunakan sebagai minyak goreng sesuai kebiasaan sehari-hari. Pada kelompok kontrol diberikan minyak sawit tanpa fitosterol. Perlakuan ini diberikan selama 8 minggu. Konsumsi pangan dinilai melalui metode 24 jam-recall setiap 2 minggu. Pengukuran antropometri dan profil lipid darah dilakukan pada awal dan akhir intervensi.

Setelah 8 minggu intervensi, estimasi rata-rata total konsumsi minyak sawit yaitu 46 ± 23 g/hari dan rata-rata estimasi asupan fitosterol pada kelompok perlakuan yaitu sebesar dan 2.0 ± 1 g/hari. Tidak terdapat perbedaan nyata asupan pada kedua kelompok tersebut. Rata-rata konsumsi kalori dari lemak pada kedua kelompok mencapai 40% dari total konsumsi kalori pada kelompok tersebut. Asupan fitosterol telah diatas jumlah yang disyaratkan (>1.3 g/hari).

(5)

kolesterol total dan walaupun secara statistik tidak berbeda nyata. Hal ini dapat disebabkan karena konsumsi minyak sawit yang tinggi

Kesimpulan pada penelitian ini adalah dengan konsumsi minyak sawit yang diperkaya fitosterol sekitar 40 g/hari, dapat mencapai asupan fitosterol sebesar 2 g/hari dan memenuhi asupan fitosterol yang dipersyarakan (1.3 g/hari). Terdapat perbaikan kadar kolestorol total dan TG namun tidak terdapat perbedaan yang signifikan pada kadar kolesterol LDL.

(6)

SUMMARY

NAUFAL MUHARAM NURDIN. The Effect of Phytosterol-enriched Palm Oil Intervention on Lipid Profile among Metabolic Syndrome Subject. Supervised by RIMBAWAN and DRAJAT MARTIANTO

Metabolic syndrome (MetS) is a grouping criteria of metabolic abnormality linked to obesity and insulin resistance which increases the risk of chronic diseases such as diabetes mellitus and coronary heart disease. Phytosterols (plant sterols) is the major sterols found in vegetable oils. Phytosterols may reduce the absorption of cholesterol in the digestive tract and can be used for prevention and therapy for hyperlipidemia. Phytosterol esters are soluble in palm oil and has a good stability to heat and there for can be used as cooking oil.

The objective of this study was to evaluate the effect of palm oil enriched with phytosterol among metabolic syndrome (MetS) subject. This study was a clinical trial with randomized double blind controlled design. Thirty subject with MetS are devided into 2 groups. Intervention group were given palm oil enriched with 6.5% phytosterol and used as cooking oil for habitual use for 8 week. The control group were given palm oil without phytosterol. Nutriens intake was assesed by 24 hours recalls every 2 weeks. Blood lipid profile and nutritional status as measured by anthropometry were analyzed at pre and post intevention. After 8 week intervention, estimated palm cooking oil and phytosterol consumption on intervention group were 46 ± 23 g/day and 2 ± 1 g/day respectively.

No significant changes were observed for LDL cholesterol. This is possible because of low intestinal cholesterol absorption and increased endogenous cholesterol synthesis on the subject with MetS and it is associated with a reduced efficacy of phytosterol ester as hypolipemic agents. There were significant reduction of serum total cholesterol and triglyceride (TG) level compared to the control group (p<0.05). Mechanism of decrease in total cholesterol and TG on the research allegedly associated with VLDL cholesterol.

It was concluded that the intervention of palm cooking oil fortified with phytosterols on the subject of MetS with high oil consumption obtained phytosterol intake as expected. There are improvements in lipid profiles in term of total-cholesterol and TG but not on LDL-cholesterol.

(7)

© Hak Cipta Milik IPB, Tahun 2014

Hak Cipta Dilindungi Undang-Undang

Dilarang mengutip sebagian atau seluruh karya tulis ini tanpa mencantumkan atau menyebutkan sumbernya. Pengutipan hanya untuk kepentingan pendidikan, penelitian, penulisan karya ilmiah, penyusunan laporan, penulisan kritik, atau tinjauan suatu masalah; dan pengutipan tersebut tidak merugikan kepentingan IPB

(8)
(9)

Tesis

sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Magister Sains

pada

Program Studi Ilmu Gizi Masyarakat

PENGARUH INTERVENSI PENAMBAHAN FITOSTEROL

PADA MINYAK SAWIT TERHADAP PROFIL LIPID SUBYEK

DENGAN SINDROMA METABOLIK.

SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR

BOGOR 2014

(10)
(11)

Judul Tesis : Pengaruh Intervensi Penambahan Fitosterol pada Minyak Sawit Terhadap Profil Lipid Subyek dengan Sindroma Metabolik. Nama : Naufal Muharam Nurdin

NIM : I151114131

Disetujui oleh

Komisi Pembimbing

Dr Rimbawan Ketua

Dr Ir Drajat Martianto, MS Anggota

Diketahui oleh

Ketua Program Studi Ilmu Gizi Masyarakat

Prof Dr Ir Dodik Briawan, MCN

Dekan Sekolah Pascasarjana

Dr Ir Dahrul Syah, MScAgr

(12)

PRAKATA

Puji dan syukur penulis panjatkan kepada Allah subhanahu wa ta’ala atas segala karunia-Nya sehingga karya ilmiah ini berhasil diselesaikan. Judul penelitian yang dilaksanakan sejak bulan September 2012 ini ialah Pengaruh Intervensi Penambahan Fitosterol pada Minyak Sawit Terhadap Profil Lipid Subyek dengan Sindroma Metabolik.

Terima kasih penulis ucapkan kepada Bapak Dr Rimbawan dan Bapak Dr Ir Drajat Martianto MS selaku pembimbing atas bantuan dan kesabarannya sehingga makalah tesis ini dapat diselesaikan, serta Ibu Dr Ir Sri Anna Marliyati MS sebagai penguji dan turut memberikan masukan yang berharga. Ucapan terima kasih juga disampaikan kepada Ibu dr Mira Dewi MSi yang telah banyak memberikan saran dan memberikan kesempatan untuk terlibat dalam penelitian utama. Disampang itu, penghargaan penulis sampaikan kepada Bapak Dr Ir Budi Setiawan MS selaku ketua departemen Gizi Masyarakat FEMA IPB periode 2009-2013 dan ketua program studi Magister Ilmu Gizi Masyarakat Prof Dr Ir Dodik Briawan MCN. Ungkapan terima kasih juga disampaikan atas seluruh dukungan dan motivasi serta doa yang tidak pernah putus kepada yang tercinta istri saya Aditya Rahayu dan anak saya Afiq Abqory serta kepada kedua orang tua saya Dede Nurdin dan Lilis Hilmiah beserta seluruh keluarga.

Semoga karya ilmiah ini bermanfaat.

Bogor, Agustus 2014

(13)

DAFTAR ISI

DAFTAR ISI v

DAFTAR TABEL vi

DAFTAR GAMBAR vii

DAFTAR LAMPIRAN vii

PENDAHULUAN 1

Latar Belakang 1

Perumusan Masalah 2

Hipotesis 2

Tujuan Penelitian 2

Manfaat Penelitian 2

TINJAUAN PUSTAKA 3

Sindroma Metabolik 3

Patofisiologi Sindroma Metabolik 3

Komponen Sindroma Metabolik 4

Kriteria Sindroma Metabolik 5

Sindroma Metabolik di Indonesia 6

Fitosterol (Plant Sterol) 6

Karakteristik Fitosterol 6

Efek Klinis Fitosterol 7

Mekanisme Kerja Fitosterol 8

Asupan Minimal Fitosterol 8

Keamanan Fitosterol 8

Minyak Sawit 9

METODE 10

Desain, Tempat dan Waktu 10

Kriteria, Cara Pemilihan dan Jumlah Subjek 10

Bahan dan Alat 11

Pelaksanaan Penelitian 11

Analisis Profil Lipid 12

Pengukuran Kolesterol Total 12

Pengukuran Kolesterol HDL 13

Pengukuran Trigliserida 13

Pengukuran Kolesterol LDL 14

Pengolahan dan Analisis Data 14

HASIL dan PEMBAHASAN 15

Keterbatasan Penelitian 15

Karakteristik Subjek 15

(14)

Konsumsi Minyak Sawit dan Asupan Fitosterol Selama Intervensi 18 Hasil Intervensi terhadap Parameter SM dan Profil Lipid 19

SIMPULAN dan SARAN 20

Simpulan 20

Saran 20

DAFTAR PUSTAKA 20

LAMPIRAN 26

RIWAYAT HIDUP 28

DAFTAR TABEL

Tabel 1. Kriteria Sindroma Metabolik 10

Tabel 2. Karakteristik Subyek pada Awal Intervensi 16

Tabel 3. Asupan Gizi Selama Intevensi 18

Tabel 4. Konsumsi Minyak Intervensi dan Fitosterol Selama Penelitian 18

Tabel 5. Hasil Intervensi terhadap Profil Lipid 19

DAFTAR LAMPIRAN

LAMPIRAN 1. Persetujuan Etik (ethical clearance) 26

(15)

PENDAHULUAN

Latar Belakang

Sindroma metabolik (SM) merupakan suatu topik kajian penting mengingat SM meningkatkan risiko berbagai penyakit kronis terutama penyakit kardiovaskular dan diabetes mellitus. SM merupakan suatu pengelompokan kriteria berupa abnormalitas metabolik terkait obesitas dan resistensi insulin yang dapat meningkatkan risiko penyakit kardiovaskular, stroke dan diabetes mellitus (Alberti et al. 2009). Kriteria SM terdiri dari 4 kriteria utama yaitu obesitas abdominal, tekanan darah tinggi dan dislipidemia aterogenik yang ditandai oleh rendahnya kolesterol-HDL (kolesterol-HDL) dan tingginya kadar trigliserida darah (TG), serta intoleransi glukosa yang ditandai dengan peningkatan kadar glukosa darah puasa (Alberti et al. 2009). Selain itu penurunan absorpsi kolesterol di usus juga diusulkan menjadi salah satu kriteria SM (Simonen et al. 2000, Berglund & Dianne 2003).

Prevalensi SM di dunia termasuk Indonesia terus meningkat hingga taraf mengkhawatirkan (Alberti et al. 2009, Puspitadewi et al. 2013). Berdasarkan hasil Riset Kesehatan Dasar 2007, prevalensi obesitas sentral cukup tinggi yaitu sebesar 18.8% (Balitbangkes 2008). Penelitian di beberapa kota di Indonesia menunjukkan prevalensi SM yang tinggi diantaranya di Depok sebesar 25.3%, Jakarta 28.4%, dan Surabaya 34% (Soewondo et al. 2005, Soewondo et al. 2010, Pranoto et al. 2005). Tingginya prevalensi SM akan meningkatkan terjadinya penyakit kronis dan masalah sosial ekonomi. Penelitian Curtis et al. (2007), menunjukkan bahwa terjadi peningkatan biaya kesehatan lebih dari 20% pada subjek SM serta peningkatan biaya hingga 5 kali lipat pada penderita penyakit kronis.

Diet tinggi lemak merupakan salah satu pemicu terjadinya obesitas dan resistensi insulin yang pada akhirnya meningkatkan prevalensi SM dan penyakit kronis (Misra et al. 2010). Di Indonesia, asupan lemak terus terjadi peningkatan dari 58.1 g/kap/hari pada tahun 2002 menjadi 61.5 g/kap/hari pada tahun 2007 dan data terakhir pada tahun 2009 meningkat hingga 64.7 g/kap/hari (Hardinsyah 2011).

Minyak sawit merupakan sumber lemak utama pada penduduk Indonesia, separuh dari asupan lemak penduduk Indonesia berasal dari minyak sawit, santan kelapa dan mentega (Hardinsyah 2011). Minyak sawit dikonsumsi oleh 100% penduduk Indonesia sebagai minyak goreng dengan jumlah banyak yaitu sebesar 23 g/kapita/hari (Martianto et al. 2005). Minyak sawit mempunyai berbagai efek menguntungkan bagi kesehatan, namun penggunaan sebagai minyak goreng dapat berakibat sebaliknya hal ini terkait dengan tingkat oksidasi minyak tersebut (Edem 2002).

Fitosterol adalah merupakan sterol utama yang ditemukan pada minyak nabati sehingga disebut juga plant sterol. Fitosterol dapat mengurangi absorpsi kolesterol di saluran pencernaan dan potensial untuk digunakan dalam pencegahan dan terapi hiperlipidemia (Bender 2006). Fitosterol ester dapat larut dalam pangan tinggi lemak dan tidak mengubah rasa (Hallikainen 2001). Selain itu fitosterol juga stabil terhadap suhu tinggi (Soupas et al. 2005). Minyak sawit diduga merupakan wahana (vehicle) yang ideal bagi fitosterol. Fitosterol ester dapat larut pada minyak sawit dan mempunyai stabilitas yang cukup baik terhadap panas sehingga dapat digunakan sebagai minyak goreng.

Food and Drugs Administration (FDA) dan Badan Pengawas Obat dan

(16)

1.3 g/hari terbagi dalam 2 sajian sebagai bagian dari diet rendah lemak jenuh dan rendah kolesterol (FDA 2010, BPOM 2011). Pada berbagai penelitian, intervensi fitosterol tanpa diet rendah lemak juga dapat menurunkan kolesterol (Wu et al. 2009, Sialvera 2012)

Intervensi fitosterol telah banyak dilakukan pada subjek hiperkolesterolemia (Wu et al. 2009). Penelitian intervensi fitosterol terhadap subjek SM masih terbatas. Terdapat perbedaan karakteristik pada subjek hiperkolesterolemia tanpa SM dan dengan SM. Pada subjek SM terjadi penurunan absorpsi kolesterol yang dapat menurunkan efektivitas fitosterol dalam menurunkan kadar kolesterol. Selain itu walaupun fitosterol stabil terhadap suhu yang tinggi, belum didapatkan uji klinis mengenai efektivitas fitosterol setelah melalui proses penggorengan. Oleh karena itu, penelitian ini penting dilakukan untuk menilai pengaruh pemberian minyak sawit yang diperkaya fitosterol dan digunakan sebagai minyak goreng terhadap profil lipid pada subjek dengan SM.

Perumusan Masalah

Berdasarkan latar belakang di atas maka peneliti merumuskan masalah sebagai berikut:

1. Apakah rata-rata asupan fitosterol dapat mencapai jumlah yang diharapkan yaitu diatas 1.3 g/hari

2. Apakah terdapat perbedaan pengaruh intervensi minyak sawit yang diperkaya fitosterol terhadap profil lipid pada subjek SM dibandingkan dengan kelompok kontrol.

Hipotesis

1. Intervensi dapat menurunkan kadar kolesterol total dibandingkan kontrol 2. Intervensi dapat menurunkan kadar kolesterol LDL dibandingkan kontrol 3. Intervensi dapat menurunkan kadar TG dibandingkan kontrol

4. Intervensi dapat meningkatkan kadar kolesterol HDL dibandingkan kontrol

Tujuan Penelitian

Penelitian ini secara umum bertujuan untuk mengevaluasi pengaruh intervensi minyak sawit yang diperkaya fitosterol terhadap profil lipid pada subjek SM. Tujuan khusus penelitian ini meliputi menghitung asupan fitosterol pada kelompok perlakuan dan membandingkan pengaruh intervensi minyak sawit yang diperkaya fitosterol terhadap profil lipid yaitu 1) total, 2) LDL (LDL), 3) kolesterol-HDL (kolesterol-HDL), serta 4) trigliserida (TG).

Manfaat Penelitian

(17)

TINJAUAN PUSTAKA

Sindroma Metabolik

Indonesia sebagai negara berkembang dan dengan tingkat kemajuan ekonomi yang cukup tinggi serta semakin luasnya penggunaan teknologi merubah pola hidup masyarakat menjadi semakin berkurang aktivitas fisik dan meningkatnya kebiasaan makanan cepat saji yang tinggi kalori dan lemak. Fenomena ini meningkatkan resiko terjadinya obesitas serta penyakit kronis dan metabolik (Janus et al. 1996).

Sindroma metabolik yaitu kumpulan sindrom dari abnormalitas metabolik yang erat kaitannya dengan resiko penyakit jantung koroner (PJK), stroke dan kematian akibat penyakit jantung dan pembuluh darah (kardiovaskular) (Alberti et al. 2009). SM disebut juga sebagai pluri-metabolic syndrome, sindroma resistensi insulin, sindroma X, sindrom dismetabolik dan lain sebagainya. World Health Organization (WHO), European Group for Study of Insulin Resistance (EGIR), International Diabetes Foundation (IDF) dan National Cholesterol Education Program Adult Treatment Panel III (NCEP ATP III) secara resmi menyetujui penggunaan istilah sindroma metabolik (Alberti et al. 2009). SM meningkatkan resiko berbagai penyakit kronis terutama penyakit kardiovaskular (PJK) dan diabetes mellitus tipe 2 (DMT2). Orang dengan SM memiliki resiko 3 kali menderita penyakit kardiovaskular serta beresiko 5 kali lipat menderita diabetes mellitus (IDF 2012). Seperti diketahui penyakit kardiovaskular dan diabetas mellitus merupakan penyebab kematian utama didunia.

Patofisiologi Sindroma Metabolik

Sindroma metabolik disebabkan terutama oleh 2 faktor utama yaitu resistensi insulin dan obesitas distribusi lemak yang abnormal (obesitas sentral). Faktor lain yang berperan dalam SM adalah genetik, gaya hidup yang tidak aktif (sedentary activity), umur, dan disregulasi hormon dan peningkatan faktor-faktor pro-inflamasi. (Alberti et al. 2006).

Resistensi insulin dipercaya merupakan penyebab utama dari SM walaupun mekanisme hubungan tersebut belum sepenuhnya diketahui. Resistensi insulin dapat disebabkan oleh aktivitas fisik rendah, obesitas, dan penuaan. Resistensi insulin terjadi apabila sensitivitas sel terhadap insulin berkurang. Insulin berfungsi untuk memicu reseptor GLUT yang memfasilitasi absorbsi glukosa ke dalam sel. Hal ini menyebabkan dibutuhkan lebih banyak insulin (hiperinsulinemia) agar berfungsi ‘normal’. Hiperinsulinemia akan membebani pankreas dan dalam jangka panjang akan merusak pankreas. (Alberti et al. 2006). Hiperinsulinemia juga akan menyebabkan peningkatan reabsorpsi sodium dan peningkatan aktivitas sistem saraf simpatik dan berperan dalam terjadinya hipertensi (Eckel et al. 2005).

(18)

utama yang menyebabkan gangguan fungsi insulin di otot rangka. Selain itu jaringan lemak yang berlebihan juga menyebabkan penurunan produksi adinopectin, adinopectin diketahui berfungsi sebagai antidiabetes, athreosklerotik dan anti-inflamasi, penurunan adinopectin diduga terkait dengan gangguan sensitivitas insulin. (Alberti et al. 2006). Jaringan adiposa viseral yang berlebih juga menyebabkan peningkatan pelepasan asam lemak bebas. Di hati, asam lemak bebas menyebabkan terjadinya peningkatan produksi glukosa, trigliserida (TG) dan sekresi very low density lipoprotein (VLDL). Selain itu, terjadi ketidaknormalan lipid/lipoprotein antara lain penurunan kadar kolesterol HDL dan peningkatan kadar low density lipoprotein (LDL). (Eckel et al. 2005)

Komponen Sindrom Metabolik

National Cholesterol Education Program Adult Treatment Panel III (NCEP ATP III) berdasarkan survei dan penelitian yang dilakukan di Amerika Serikat telah mengidentifikasi 6 komponen SM yang terkait dengan penyakit kardiovaskuler yaitu : obesitas sentral, dislipidemia aterogenik, peningkatan tekanan darah, resistensi insulin ± Intoleransi glukosa, status pro-inflamasi, status protrombosis. Komponen tersebut merupakan faktor resiko yang mendasar dan utama dari penyakit kardiovaskular. (NCEP 2002). Selain itu penurunan absorpsi kolesterol di usus juga diusulkan menjadi salah satu kriteria SM (Simonen et al. 2000; Berglund & Hyson 2003).

Pada individu obes umumnya terjadi beberapa perubahan yang berkaitan dengan jumlah lemak viseral dibandingkan lemak tubuh. Obesitas sentral merupakan bentuk obesitas memiliki hubungan paling kuat dengan SM. Obesitas sentral disebut juga sebagai obesitas abdominal (perut) atau obesitas viseral. Secara klinis Obesitas sentral diukur melalui lingkar perut/abdomen (Grundy et al. 2004). Batasan obesitas menurut AHA/NHLBI pada penduduk barat adalah ≥ 102 cm untuk laki-laki dan ≥ 88 cm pada perempuan. Sedangkan pada populasi penduduk asia tenggara batasan yang digunakan adalah lingkar perut sebesar ≥ 90 cm untuk pria dan ≥ 80 cm untuk wanita (Alberti et al. 2009). Di Indonesia berdasarkan hasil Riskesdas 2007 ditemukan prevalensi obesitas sentral sebesar 18.8% (Balitbangkes Depkes 2008).

Dislipidemi aterogenik merupakan abnormalitas profil lipid yang dapat memicu terjadi proses pengkakuan pembuluh darah (aterosklerosis). Dislipidemi aterogenik tercemin pada analisis lipoprotein dengan peningkatan kadar trigliserida (TG) dan kadar kolesterol-HDL yang rendah. Analisis lebih detail akan didapatkan abnormalitas lipoprotein lainnya yaitu peningkatan lipoprotein remnant, peningkatan apolipoprotein B (Apo-B), small LDL particles, dan small HDL particles. (Grundy 2004). Pada SM batasan dislipidemi dilihat dari 2 indikator yaitu TG ≥ 150 mg/dL dan kadar kolesterol-HDL < 40 mg/dL untuk pria dan < 50 untuk wanita (Alberti et al.

2009).

Kolesterol-HDL (high density lipoprotein atau lipoprotein kepadatan tinggi adalah partikel kecil dengan kandungan protein terbanyak. HDL memiliki efek protektif, yaitu dengan membawa kolesterol dari jaringan dan pembuluh darah kembali ke hati, sehingga dapat mengurangi plak kolesterol pada pembuluh darah (Mahan et al. 2011).

(19)

pembentukan dan sekresi VLDL. Pada kondisi hiperinsulinemia / resistensi insulin dapat terjadi peningkatan produksi VLDL-dan juga peningkatan trigliserida (Grundy

et al. 2004)

Hipertensi adalah peningkatan tekanan darah kronis. Hipertensi terutama disebabkan oleh obesitas dan seringpula disebabkan adanya resistensi isulin. Hipertensi juga secara umum dikaitkan dengan faktor resiko metabolik walaupun para ahli berpendapat kaitan tersebut lebih rendah dibanding dengan faktor metabolik yang lain. Hal ini terkait dengan penyebab hipertensi yang multifaktor. Walaupun demikian para ahli sepakat untuk memasukkan hipertensi sebagai salah satu komponen SM. (Grundy et al. 2004) Batasan tekanan darah pada SM yaitu ≥130/≥85mm Hg (Alberti

et al. 2009)

Resistensi insulin ada pada mayoritas orang dengan SM. Resistensi insulin juga berkaitan erat dengan faktor resiko metabolik lainnya dan juga faktor resiko penyakit kardiovaskular. Walapun mekanisme dasar hubungan antara resistensi insulin dan penyakit kardiovaskuler masih belum pasti, namun resistensi insulin jangka panjang yang bermanifestasi pada intoleransi glukosa selanjutnya meningkat menjadi hiperglikemia. Hiperglikemia merupakan faktor resiko utama penyakit kardiovaskular.

Intoleransi glukosa ditandai dengan naiknya glukosa darah puasa diatas 100 mg/dl (Alberti et al, 2009). Peningkatan glukosa ini disebabkan oleh adanya resistensi insulin dan terkait dengan obesitas. Pada tahap selajutnya intoleransi glukosa dapat berkembang menjadi diabetes mellitus, seperti diketahui SM meningkatkan resiko terjadinya diabetes mellitus tipe II sebanyak 5 kali lipat (IDF 2012).

Resistensi insulin dan obesitas dapat merubah mekanisme absorpsi pada mukosa saluran pencernaan. Pada kondisi tersebut menurunkan efesiensi absorpsi kolesterol di usus, ketika absorpsi kolesterol rendah sintesis kolesterol hati akan meningkat. Sintesis kolesterol akan meningkat terutama pada subjek DM tipe 2 dan subjek gemuk non-DM yang hiperglikemik, namun sintesis kolesterol akan menurun ketika kadar gula darah kembali normal (euglikemik) (Simonen et al. 2009)

Kriteria Sindroma Metabolik

Pada tahun 1998 kriteria formal SM telah diperkenalkan oleh WHO. Kriteria tersebut berdasarkan pada resistensi insulin ditambah dengan resiko lain seperti obesitas, hipertensi, kadar TG yang tinggi, kadar HDL-C yang rendah atau mikroalbuminuria. (WHO 1999)

Selanjutnya NCEP juga membuat kriteria SM yang berbeda berdasarkan panduan ATP III, kriteria SM dari ATP III mensyaratkan terpenuhinya 3 dari 5 faktor untuk menegakkan diagnosis. Kriteria tersebut adalah obesitas abdominal, peningkatan kadar TG, kadar HDL yang rendah, peningkatan tekanan darah, dan peningkatan gula darah puasa (NCEP 2001). Pada tahun 2005 IDF dan American

Heart Association/National Heart Lung and Blood Institute (AHA/NHLBI)

melakukan pembahasan untuk mengumpulkan berbagai definisi kriteria SM. IDF merekomendasikan untuk mensyaratkan kriteria obesitas abdominal sebagai kriteria utama ditambah dengan 2 dari 4 kriteria lain yaitu kadar HDL rendah, kadar TG tinggi, dan hipertensi, peningkatan gula darah puasa. (Alberti et al. 2006)

(20)

Kriteria SM tersebut yaitu bila ditemukan sedikitnya 3 kelainan dari 5 kriteria berikut: obesitas sentral (abdominal) yaitu lingkar pinggang pada orang asia yaitu > 90cm pada pria dan > 80cm pada wanita, hipertensi yaitu tekanan darah > 130/ 85 mmHg atau sedang dalam pengobatan dengan obat antihipertensi, kadar trigliserida > 150 mg/dl, kadar kolesterol HDL <40mg/dl pada pria atau < 50 mg/dl pada wanita, dan intoleransi glukosa yaitu kadar glukosa puasa > 100mg/dl. (Alberti et al. 2009)

Sindroma Metabolik di Indonesia

Di Indonesia telah dilakukan berbagai survei dan penelitian terkait dengan SM. Hasil Survei Kesehatan Rumah Tangga (SKRT) di tahun 1995 memperlihatkan bahwa prevalensi hipertensi yang merupakan salah satu komponen SM sebesar 8.2%. Di tahun 2001, prevalensi hipertensi bertambah menjadi 28% dan pada tahun 2007 menjadi 31.7% (Depkes 2003, Khan et al. 2005, Balitbangkes 2008). Riset Kesehatan Dasar (Riskesdas) 2007 di Indonesia menunjukkan bahwa resiko terkena SM cukup tinggi dengan prevalensi penduduk dengan pola hidup sedenterial sebesar 48.2%, obesitas berdasarkan IMT sebesar 19.1% dan obesitas sentral sebesar 18.8%. Prevalensi SM dapat dipastikan meningkat oleh karena meningkatnya obesitas maupun obesitas sentral. Prevalensi SM di berbagai kota besar di Indonesia sudah cukup tinggi. Prevalensi SM di Depok 25.3% (Soewondo et al. 2005), Jakarta sebesar 28.4% (Soewondo et al. 2010), Surabaya sebesar 34% (Pranoto et al. 2005). dan di Bali sebesar 18.2% (Dwipayana et al. 2011)

Fitosterol (Plant Sterol)

Fitosterol atau disebut juga plant sterol merupakan suatu steroid alkohol. Fitosterol tidak disentesis dalam tubuh manusia sehingga seluruhnya didapatkan dari diet makanan. Fitosterol memiliki struktur mirip dengan kolesterol. Lebih dari 250 jenis fitosterol dan komponen terkait didapatkan pada berbagai tanaman dan bahan laut. Bentuk fitosterol yang paling umum diketahui yaitu sitosterol, campesterol dan stigmasterol. Didapatkan pula jenis fitosterol dalam bentuk jenuh (saturated fitosterol) seperti sitostanol dan campestanol. Di alam fitosterol banyak didapatkan pada minyak sayur, sereal, dan kacang-kacangan (Hallikainen 2001).

Sejak tahun 1950 telah diteliti bahwa fitosterol memiliki efek menurunkan kadar kolesterol dalam darah (hipokolesterolemik). Fungsi ini terkait dengan kemampuannya dalam menghambat absorbsi dari kolesterol garam empedu dan kolesterol makanan. Pada tahun 1970, fitosterol pertama kali dipasarkan sebagai penurun kolesterol, namun karena membutuhkan dosis tinggi, rendahnya tingkat kelarutan dan rasa yang tidak enak menyebabkan fitosterol tersebut tidak diterima pasar. Pada tahun 1990an ditemukan inovasi fitosterol teresterifikasi pada asam lemak (fitosterol ester) sehingga memungkinkan untuk menambahkannya pada makanan yang mengandung lemak (misalnya margarin) dalam bentuk solubel tanpa mempengaruhi rasa sehingga lebih dapat diterima serta berkembangnya penelitian mengenai manfaat fitosterol ester yang lebih luas (Hallikainen 2001).

Karakteristik Fitosterol

(21)

dengan proses trans-esterifikasi dengan asam lemak sehingga memungkinkan fitosterol tersesbut dapat larut dan ditambahkan pada makanan berbasis lemak (seperti margarin, mentega, susu, minyak sawit dan sebagainya) tanpa mengubah rasa dan tekstur (Hallikainen 2001).

Fitosterol ester memiliki karakteristik larut dalam pelarut non-polar, lemak dan minyak sayur. Fitosterol ester juga dapat mensubstitusi lemak sehingga memperbaiki komposisi lemak dan menurunkan jumlah lemak. Secara kimia fitosterol ester relatif stabil dan tahan terhadap suhu tinggi (Cantrill 2008)

Tingkat degradasi fitosterol terhadap pemanasan dipengaruhi oleh waktu pemanasan (semakin lama semakin banyak yang terdegradasi), metode penggorengan (degradasi fitosterol lebih tinggi dengan metode pan-frying dibandingkan dengan deep-frying), dan jenis minyak yang dipakai (minyak tidak jenuh tunggal lebih banyak terdegradasi dibandang lemak tidak jenuh ganda). Degradaasi fitosterol lebih cepat terjadi pada metode pan-frying dibandingkan metode deep-frying diduga karena pada metode deep-frying lebih sedikit mengandung oksigen, seperti diketahui oksigen merupakan faktor pembatas pada proses oksidasi fitosterol (Salta et al, 2008). Hasil degradasi fitosterol terutama dalam bentuk kandungan hidroksil, epoksi dan keton. (Soupas et al. 2004)

Penelitian Salta et al 2008, untuk penggorengan pertama dengan menggunakan metode pan-frying, retensi fitosterol sebesar 80% sedangkan pada metode deep-frying retensi tersebut sebesar 91%. Penelitian Winkler et al. (2008), dengan metode deep frying didapatkan retensi fitosterol sebesar 87 – 93%.

Efek Klinis Fitosterol

Penelitian fitosterol dalam menurunkan serum kolesterol pada manusia pertama kali dilakukan oleh Pollak et al. pada tahun 1953. Pollak (1953) meneliti konsumsi 5-10 g per hari fitosterol pada 26 orang sehat dan didapatkan rata-rata penurunan kadar kolesterol total sebesar 28%.

Berbagai penelitian meta-analisis telah membuktikan bahwa plant sterol dengan jumlah yang sesuai dapat menurunkan kadar LDL-C antara 4% hingga 15% (Genser et al. 2011, Gupta et al. 2011, Berger et al. 2004). Pada mayoritas penelitian mengenai konsumsi fitosterol menyebutkan bahwa fitosterol tidak berpengaruh terhadap kadar HDL-C. namun beberapa penelitian menyebutkan bahwa fitosterol dapat meningkatkan kadar HDL-C (Gyling et al. 1999) dan pada penelitian lain fitosterol justru menurunkan kadar HDL-C (Jones et al. 1999)

Pada banyak penelitian, responden yang memiliki kadar TG diatas 3 mmol/l (265 mg/dl) tidak dilibatkan (eklusi) dalam penelitian. Mayoritas penelitian, fitosterol dilaporkan tidak memiliki efek signifikan terhadap kadar serum TG. Namun pada beberapa penelitian kadar serum TG mengalami sedikit peningkatan (Lees et al.

1977) sedangkan pada penelitian lain mengalami penurunan (Vanhanen et al. 1992). Penelitian meta-analisis yang lebih baru oleh Demonty et al. (2013) yang khusus menganalisis pengaruh fitosterol pada kadar TG disimpulkan bahwa terdapat penurunan kadar TG terutama pada subjek dengan kadar TG awal (baseline) yang tinggi.

(22)

yang lebih muda (Law et al. 2000). Berdasarkan jenis kelamin, tidak terdapat perbedaan signifikan pada fungsi fitosterold sebagai penurun kolesterol pada jenis kelamin yang berbeda (Vanhanen et al. 1994) . Berat badan juga diketahui tidak memiliki pengaruh terhadap perbedaan efikasi fitosterol pada subyek yang normal dan overweight (Nguyen et al. 1999). Kadar serum kolesterol total turut mempengaruhi efektifitas fitosterol, semakin tinggi kadar awal (baseline) serum kolesterol total, semakin tinggi penurunan TC tersebut (Miettinen et al. 1995).

Efikasi fitosterol dalam menurunkan kolesterol sangat dipengaruhi oleh pembawa (vehicle) dari fitosterol dan jenis diet subyek. Mencampurkan fitosterol pada pangan berbasis lemak dapat meningkatkan efikasi fitosterol tersebut bila dibandingkan pemberian secara suplementasi (kapsul) (Berger et al. 2004). Fitosterol lebih efektif apabila dikonsumsi dengan diet rendah lemak (Hallikainen et al. 1999). FDA mensyaratkan konsumsi dengan diet rendah lemak jenuh dan kolesterol untuk dapat mengklaim manfaat kesehatan physterol pada produk komersial (FDA 2010). Pada penelitian lain, intervensi fitosterol dengan pola makan tanpa diet rendah lemak juga dapat menurunkan kolesterol total dan kadar LDL-C (Jones et al. 1999; Weidner

et al. 2008 )

Mekanisme Kerja Fitosterol

Struktur yang mirip antara fitosterol dengan kolesterol menyebabkan terjadi kompetisi dalam absorbsi kolesterol (competitve inhibitor). Fitosterol dengan berikatan pada miselles dan menurunkan jumlah kolesterol yang terdapat dan diangkut dalam miselles yang merupakan pembawa utama dalam absorbsi kolesterol di usus (Gupta et al. 2011). Konsumsi kolesterol dari makanan sebesar 250-500 mg/hari dan produksi kolesterol dalam bentuk getah empedu di usus halus sebesar 600-1000 mg/hari, dengan pemberian fitosterol pada makanan maka akan menghambat proses absorbsi kolesterol, efek ini akan bertambah jika dikombinasikan dengan diet rendah lemak. (Berger et al. 2011). Fitosterol juga dapat menghambat sintesis kolesterol endogen. Penelitian Ho & Pal (2005) secara in vitro pada kultur sel HepG2 hati menunjukkan bahwa fitosterol dapat menghambat sintessa kolesterol di hati yaitu dengan menghambat pembentukan VLDL.

Dosis Fitosterol

Pada berbagai penelitian konsumsi fitosterol sebesar 800-1000 mg per hari telah menunjukkan hasil signifikan dalam menurunkan LDL-C (Berger et al. 2004). Penelitian meta-analisis yang lain menyebutkan bahwa dibutuhkan minimal konsumsi fitosterol 1.5 g/hari dan secara konsisten mampu menurunkan kadar LDL-C apabila dikonsumsi sebanyak 2 s/d 3 g/hari (Gupta et al. 2011). Food and Drugs

Administration (FDA) dan Badan Pengawas Obat dan Makanan RI telah menyetujui

klaim kesehatan fitosterol dalam menurunkan risiko penyakit jantung dengan asupan fitosterol bentuk ester minimal 1.3 g/hari terbagi dalam 2 sajian sebagai bagian dari diet rendah lemak jenuh dan rendah kolesterol (FDA 2010, BPOM 2011).

Keamanan Fitosterol

(23)

Fitosterol telah terbukti aman dan efektif tanpa menimbulkan malabsorbsi yang signifikan dari zat gizi termasuk vitamin larut lemak. (Jenkins & kendal 1999). Pada penelitian klinis tidak menunjukkan adanya bahaya dan interaksi obat-makanan pada penggunaan fitosterol, namun penggunaan dalam jangka waktu lebih dari 5 tahun masih harus diteliti lebih lanjut (Gupta et al. 2011)

Minyak sawit

Minyak goreng adalah minyak yang digunakan untuk menggoreng maupun melakukan proses memasak lainnya. Minyak goreng yang paling banyak digunakan di Indonesia adalah minyak dengan bahan baku minyak sawit (Simatupang dan Purwoto, 1996). Minyak sawit dapat dipergunakan untuk bahan makanan dan industri setelah melalui proses penyulingan, penjernihan dan penghilangan bau atau RBDPO (refine, bleached and deodorized palm oil).

Minyak sawit memiliki kandungan asam lemak jenuh yang tinggi yaitu hampir sekitar 50%. Minyak sawit (palm oil) juga dijadikan nama asam lemak jenuh rantai karbon 16 yaitu asam palmitat. Selain lemak jenuh yang tinggi, minyak sawit juga memiliki kadar lemak tidak jenuh tunggal yang cukup tinggi yaitu sekitar 40%. Secara lengkap minyak sawit memiliki kandungan sebagai berikut yaitu lemak jenuh terdiri dari asam palmitat (C16) sebesar 44.3%, Stearat (C18) sebesar 4.6%, asam miristat (C14) sebesar 1.0%. Lemak tidak jenuh tunggal yang terdiri dari asam oleat (C18:1) sebesar 38.7% dan asam lemak tidak jenuh ganda terdiri dari linoleat (C18:2) sebesar 10.5% (Mukherjee & Mitra 2009)

Minyak sawit merupakan salah satu sumber lemak utama bagi orang Indonesia. Asupan lemak penduduk indonesia terus meningkat dari 58,1 g/kap/hr pada tahun 2002, meningkat menjadi 61.5 g/kap/hari pada tahun 2007 dan 64.7 g/kap/hari tahun 2009. Dan hampir separuhnya berasal dari lemak tampak yang terdiri dari minyak goreng (terutama minyak sawit), santan kelapa dan mentega (Hardinsyah 2011). Berdasarkan survei yang dilakukan Martianto et al. (2005), rata-rata konsumsi minyak goreng di Indonesia sebesar 23 gram per hari.

Minyak sawit biasa digunakan untuk menggoreng dengan berbagai metode seperti metode 1) deep frying yaitu menggoreng dengan menggunakan minyak yangg banyak pada suhu tinggi sehingga bahan makanan seluruhnya tercelup dalam minyak, 2) sauting yaitu menggunakan wajan sedikit minyak dengan panas yg tinggi dalam waktu cepat dan 3) pan-frying yaitu memasak cepat dengan menggunakan minyak secukupnya dengan panas sedang. Metode deep frying yang merupakan metode penggorengan paling umum dilakukan masyarakat Indonesia (Winarno 1999)

Minyak sawit dikonsumsi dengan cara langsung maupun sebagai minyak

goreng. Minyak sawit mempunyai berbagai efek menguntungkan bagi kesehatan,

(24)

METODE

Desain, Tempat, dan Waktu

Desain studi yang digunakan pada penelitian ini adalah uji klinis acak tersamar ganda (Randomized double blind clinical trial). Penelitian ini dilakukan 3 kecamatan yaitu kecamatan Dramaga dan Ciampea (Kabupaten Bogor) serta Kecamatan Bogor Tengah (Kota Bogor). Intervensi dilakukan selama 8 minggu. Penelitian ini merupakan bagian dari penelitian payung dengan judul Studi Efikasi Intervensi Minyak Kelapa Sawit yang Diperkaya Plant Sterol Untuk Memperbaiki Profil Lipid Darah dan Status Inflamasi Pada Penderita Hiperlipidemia (Dewi et al.

2013) yang dibiayai oleh BASF Nutrition and Health Research Grant, Asia. Penelitian ini telah mendapat persetujuan etik dari Komisi Etik Penelitian Kesehatan Fakultas Kedokteran Universitas Diponegoro/RSUP Dr. Kariadi Semarang No. 333/EC/FK/RSDK/2012.

Kriteria, Cara Pemilihan dan Jumlah Subjek

Kriteria Sindroma Metabolik yang digunakan adalah kriteria berdasarkan konsensus dari IDF, NHLBI, AHA, WHF, IAS, dan IASO (Alberti et al, 2009) yang disajikan pada Tabel 1.

Kriteria inklusi pada penelitian ini adalah 1) wanita dan pria dengan umur 40-60 tahun. 2) memenuhi 3 dari 5 kriteria Sindroma metabolik. 3) Bersedia berpartisipasi dan menandatangani informed consent.

Kriteria esklusi pada penelitian ini memenuhi salah satu dari kriteria berikut : 1) Hiperlipidemia sekunder 2) menderita diabetes mellitus atau gula darah puasa > 126 mg/dl. 3) Indeks massa tubuh > 35 kg/m2. 4) Menggunakan obat penurun kolesterol selama penelitian 5) Menderita penyakit pencernaan kronis maupun penyakit lain yang berat.

Tabel 1. Kriteria Sindroma Metabolik

Sindrom Metabolik apabila memiliki 3 dari 5 kriteria dibawah ini.

Obesitas Sentral Lingkar perut/abdomen (untuk Asia Selatan: Cina,

Melayu, Asia-India)

Pria : ≥ 90 cm ; Wanita : ≥ 80 cm

Trigliserida (TG) ≥ 150 mg/dL (1.7 mmol/L)

atau dalam pengobatan dislipidemi

Kolesterol-HDL Pria : < 40 mg/dL (1.03 mmol/L)

Wanita : < 50 mg/dL (1.29 mmol/L)

Jumlah sampel minimal dihitung dengan menggunakan rumus :

(25)

Penelitian ini menggunakan selang kepercayaan sebesar 95% dan power test

sebesar 80% dengan standar deviasi kolesterol total dari penelitian sebelumnya yaitu 22 mg/dl (Mijares et al. 2011). Perubahan kadar kolesterol total antara kontrol dan perlakuan sebesar 6% maka jumlah subjek minimal yang dibutuhkan yaitu 14 orang untuk setiap kelompok. Untuk mencegah drop out maka pada penelitian ini merekrut 15 orang untuk setiap kelompok.

Pemilihan subjek pada penelitian ini mengikuti protokol pada penelitian payung. Tahap pertama dilakukan sosialisasi penelitian dan undangan untuk berpartisipasi pada warga yang berusia 40-60 tahun di kelurahan lokasi penelitian. Setelah dilakukan penjelasan, subjek yang bersedia diminta untuk menandatangani informed consent. Tahap selanjutnya adalah screening kadar kolesterol dengan pemeriksaan finger prick test dengan alat easy touch cholesterol kit. Subjek yang memiliki kadar kolesterol di atas 200 mg/dl diikutsertakan dalam pemeriksaan lanjutan yang meliputi pemeriksaan antropometri dan biokimia darah (GDP dan profil lipid). Subjek yang masuk dalam kriteria SM diikutsertakan pada penelitian ini. Jumlah subjek dari penelitian payung yang memenuhi kriteria SM dan diikutsertakan dalam penelitian ini sebanyak 30 orang dan dibagi secara acak menjadi kelompok kontrol (K) sebanyak 15 subjek dan kelompok perlakuan sebanyak 15 subjek.

Bahan dan Alat

Minyak sawit yang digunakan adalah RBDPO (Refine, Bleached, and Deodorized Palm Oil) atau secara umum disebut sebagai minyak sawit. Minyak sawit untuk kelompok perlakuan yaitu minyak goreng yang telah diperkaya dengan 65 g fitosterol ester dalam 1 kg minyak (6.5% w/w). Fitosterol ester yang digunakan yaitu Vegapure 95 FF® berasal dari derivasi kedelai yang mengandung campesterol, stigmasterol dan beta-sitosterol. (Cognis 2008). Proses pencampuran dilakukan dengan cara memanaskan minyak sawit hingga suhu 30-40oC untuk meningkatkan kelarutan dan memanaskan Vegapure 95 FF® hingga suhu 50-70oC. Lalu mencampurkan kedua bahan tersebut dan mengaduk secara konstan hingga bercampur sempurna, proses pencampuran ini (filling) dilakukan dengan nitrogen (Cognis 2008).

Pada kelompok kontrol diberikan minyak sawit tanpa fitosterol. Seluruh proses produksi termasuk uji stabilitas minyak tersebut dilakukan oleh perusahaan minyak goreng multinasional. Kedua jenis minyak goreng tersebut memiliki penampakan, rasa dan warna serta kemasan yang tidak berbeda. Botol kemasan diberi label dengan kode 3 huruf yang dilakukan oleh pihak BASF yang tidak terlibat secara langsung pada penelitian ini. Kode tersebut dibuka setelah intervensi dan pengumpulan data penelitian selesai dilakukan. Peneliti maupun subjek tidak mengetahui kemasan minyak sawit mana yang diperkaya phystosterol dan yang tidak (double blind).

Pelaksanaan penelitian

(26)

Subjek dibagi dalam 2 kelompok yaitu kelompok perlakuan dan kontrol. Kelompok perlakuan mendapat minyak sawit yang diperkaya fitosterol sebanyak 6.5% w/w sedangkan kelompok kontrol mendapat minyak sawit yang sama namun tidak diperkaya fitosterol. Seluruh subjek diminta untuk menggunakan minyak sawit tersebut sebagai pengganti (substitusi) minyak goreng yang biasa dipakai sesuai dengan kebiasaan sehari-hari (habitual use) dan tidak diperkenankan mencampur dengan minyak goreng lain.

Intervensi dilakukan selama 8 minggu. Sebanyak 2 liter minyak sawit didistribusikan setiap 2 minggu ke rumah subjek. Data konsumsi diperoleh dari wawancara enumerator pada subjek dengan menggunakan metode 24 hours-recall

konsumsi pangan setiap 2 minggu. Pangan yang diolah menggunakan minyak goreng (misal digoreng, ditumis) dicatat secara lebih spesifik.

Pengukuran antropometri, tekanan darah dan pengambilan sampel darah dilakukan 2 kali pada saat awal penelitian (baseline) dan akhir penelitian (endline).

Pengukuran antropometri meliputi yaitu berat badan (BB), tinggi badan (TB), Indeks Massa Tubuh (IMT), lingkar abdomen/perut (LA), dan persentase lemak tubuh. Berat badan diukur menggunakan timbangan injak (ketelitian 0.1 kg) dan pengukuran tinggi badan menggunakan microtoise (ketelitian 0.1 cm). Lingkar abdomen diukur menggunakan meterline (ketelitian 0.1 cm). Persentase lemak tubuh diukur menggunakan alat Body Fat Monitoring OMRON HBF306 (ketelitian 4.1% dengan kisaran 4.0 – 50.0 %).

Pengukuran tekanan darah dilakukan dengan menggunakan alat pengukur tekanan darah otomatis OMRON SEM-1 (ketelitian ±3 mmHg dengan kisaran 0-299 mmHg). Tekanan darah subjek diukur setelah subjek beristirahat minimal selama 15 menit. Tekanan darah diukur pada lengan kanan dengan posisi duduk.

Pengambilan sampel darah dilakukan pada vena mediana cubiti oleh tenaga medis dengan mengikuti prosedur terstandar. Subjek dipuasakan selama minimal 8 jam sebelum pengambilan darah. Analisis biokimia darah dilakukan oleh laboratorium terakreditasi Prodia® Kota Bogor. Analisis Biokimia darah yang diperiksa meliputi gula darah puasa (GDP), kolesterol-total, kolesterol-HDL (HDL), kolesterol-LDL (LDL), trigliserida (TG). Metode analisis yang digunakan menggunakan metode standar yaitu GDP dengan metode heksokinase, kolesterol total dengan metode CHOD-PAP, LDL dan HDL dengan metode homogenous, TG dengan metode GPO-PAP .

Analisis Profil Lipid

Analisis profil lipid dilakukan di laboratorium Prodia Kota Bogor. Laboratorium tersebut telah mendapatkan akreditasi SNI ISO 15189. Preparasi sampel dilakukan di laboratorium prodia dengan waktu kurang dari 2 jam sejak pengambilan darah. Setelah dilakukan preparasi sampel, serum yang didapatkan disimpan di lemari pendingin dengan suhu terkontrol –20oC. Sampel dianalisis kurang dari 24 jam sejak pengambilan darah. Secara lebih detail analisis profil lipid dilakukan dengan cara sebagai berikut :

Pengukuran Kadar Kolesterol Total

(27)

reaksi antara hidrogen peroksida dan 4-aminophenezone dengan adanya fenol dan peroksidase.

Prinsi reaksi

Kolesterol ester + H2O ---> kolesterol + asam lemak Kolesterol + O2 ---> kolesterol-3-one + H2O2 2H2O2 + 4-aminophenazone + phenol ---> quinoneimine + 4H2O

Pengukuran Kadar Kolesterol HDL

Pengukuran kadar kolesterol HDL dilakukan dengan Cholesterol HDL Analysis kit. Sampel adalah serum yang berasal dari darah jantung yang diambil menggunakan spuit sesaat setelah tikus dimatikan dan dibedah. Pengukuran dilakukan dengan terlebih dahulu melakukan presipitasi terhadap lipoprotein densitas rendah (LDL dan VLDL) dan kilomikron. Presipitasi dilakukan dengan penambahan asam fosfotungstat dan ion magnesium(MgCl2). Setelah proses sentrifugasi, HDL dalam supernatan diukur menggunakan pereaksi kit untuk pengukuran kadar kolesterol (CHOD-PAP).

a. Prosedur presipitasi.

Sebanyak 200 µl serum darah dicampurkan dengan 500 µl pereaksi. Presipitasi yang telah diencerkan dengan akuabides (rasio 4:1), kemudian diinkubasi selama 10 menit pada suhu kamar. Setelah sentrifugasi pada 4000 rpm selama 10 menit, dihasilkan supernatan yang siap untuk dianalisis.

b. Prosedur analisis

1) 200 ul serum + 500 ul pereaksi yang telah diencerkan dengan akuabides, diinkubasi selama10 mnt, lalu disentrifugasi selama 10 menit pada 4000 rpm. 2) Sebanyak 100 ul supernatan yang dihasilkan dicampur dengan 1000 ul pereaksi (kolesterol esterase, kolesterol oksidase, fenol, 4-aminoantipirin, peroksidase dan

buffer. 3)Campuran diinkubasi pada suhu 37 C selama 5 menit. 4) Absorbansi dibaca pada λ=600 nm

Pengukuruan Kadar Trigliserida

Analisis untuk mengukur kadar trigliserida serum dilakukan menggunakan

Triglyceride Analysis Kit. Kadar trigliserida ditentukan setelah reaksi hidrolisis enzimatik dengan lipase. Indikator yang digunakan adalah quinoneimin yang dibentuk dari hidrogen peroksida, 4-amino-antipirin dan 4-klorofenol di bawah pengaruh katalitik dari peroksidase.

(28)

kemudian dibaca absorbansinya pada panjang gelombang (λ) 500 nm. Perhitungan kadar trigliserida dilakukan dengan menggunakan rumus:

Penetapan Kadar Kolesterol LDL

Analisis kolesterol LDL menggunakan metode langsung sehingga dapat mengukur secara langsung kadar LDL-kolesterol dan dapat digunakan untuk memperkirakan kadar small dense LDL dengan menggunakan rasio kolesterol LDL /Apo B (Widiastuti 2003). Metode tersebut dengan menggunakan reaksi enzimatik, dimana pada reaksi awal LDL kolesterol diisolasi dengan protecting agent, kemudian ditambahkan enzim reaktan yang beraksi dengan LDL-kolesterol yang telah terisolasi.

Kolesterol dipisahkan dari VLDL, kilomikron dan HDL, lalu dengan bantuan kolesterol esterasi dan kolesterol oksidase membentuk H202. H202 dengan aminoantipirin dengan bantuan peroksidase membentuk produk tidak berwarna. Pada reaksi pertama, LDL tetap. Pada reaksi kedua kolesterol terlepas dar LDL. Dengan koleserol esterase dan kolesterol oksidase membentuk H2O2 yang kemudian dengan aminoantipirin dan DSBT dengan bantuan enzim peroksidase akan memberikan hasil berwarna. Warna yang dihasilkan adalah biru. Intensitas warna menunjukkan kadar LDL-kolesterol. Lalu diukur pada panjang gelombang 550nm

Pengolahan dan Analisis Data

Analisis data menggunakan perangkat lunak Microsoft Excel 2007. Konsumsi pangan dihitung menggunakan Daftar Komposisi Bahan Makanan Indonesia 2007/2008 (DKBM 2007/2008). Estimasi konsumsi minyak goreng dihitung menggunakan Daftar Konversi Penyerapan Minyak (DPM) (Hardinsyah & Briawan 1994).

Estimasi konsumsi minyak goreng diperoleh dari perhitungan dengan menggunakan Daftar Konversi Penyerapan Minyak (DPM) dan Daftar Konversi Berat Mentah Matang (DMM). Berat minyak yang diserap makanan diperoleh dari perkalian antara faktor konversi penyerapan minyak (DPM) dengan berat makanan dalam bentuk mentah. Untuk mendapatkan berat makanan dalam bentuk mentah, maka berat makanan masak dikonversi terlebih dahulu menjadi berat mentah dengan menggunakan DMM. DMM memuat angka perbandingan berat bahan sebelum dan setelah diolah. Berat mentah diperoleh dari hasil perkalian antara DMM dengan berat masak.

Estimasi asupan fitosterol dihitung berdasarkan konsumsi minyak goreng dan tingkat retensi. Retensi fitosterol dipengaruhi oleh metode penggorengan dan tingkat pemanasan minyak goreng. Penelitian Salta et al 2008, untuk penggorengan pertama dengan menggunakan metode pan-frying didapatkan bahwa retensi fitosterol sebesar 80%, sedangkan dengan menggunakan metode deep-frying didapatkan retensi fitosterol sebesar 91%. Penelitian Winkler et al. (2008), dengan metode deep frying

(29)

6.5% dikalikan retensi fitosterol sebesar 90% sehingga dalam 100 g minyak sawit yang dikonsumsi terdapat 5.85 g fitosterol.

Seluruh uji statistik menggunakan perangkat lunak SPSS for Macintosh versi 21.0. Seluruh data disajikan dalam bentuk rata-rata (mean). Uji beda antar kelompok menggunakan chi-square untuk variabel jenis kelamin, pendidikan, dan pekerjaan. Uji t-test tidak berpasangan (independent t-test) untuk variabel umur, IMT, lingkar abdomen, % lemak tubuh, kolesterol total, LDL, dan GDP. Uji Mann-Whitney digunakan pada variabel tekanan darah, HDL dan TG, konsumsi energi, protein, karbohidrat, lemak dan minyak. Uji beda data awal dan akhir penelitian pada setiap kelompok menggunakanuji berpasangan (paired t-test) pada variabel IMT, lingkar abdomen, % lemak tubuh, kolesterol total, LDL, dan GDP. Uji Wilcoxon digunakan pada data tekanan darah, HDL dan TG, konsumsi energi, protein, karbohidrat, lemak dan minyak.

HASIL DAN PEMBAHASAN

Keterbatasan Penelitian

Pada desain studi sudah dipertimbangkan berbagai hal, termasuk rancangan percobaan, minimalisasi bias, formulasi suplemen, kontrol peubah pengganggu dan sebagainya. Namun pada penelitian ini terdapat beberapa keterbatasan karena alasan teknis. Desain studi pada penelitian ini berusaha mendekati kondisi sebenarnya di masyarakat. Sehingga pemberian bahan intervensi dan konsumsi dilakukan dirumah subjek oleh karena itu perhitungan secara langsung konsumsi minyak sawit tidak dapat dilakukan. Jumlah konsumsi minyak sawit dihitung berdasarkan pendekatan 24

hour-recall konsumsi pangan dan diolah lebih lanjut dengan daftar konversi penyerapan minyak (DPM) oleh karena itu bias akibat ingatan (recall bias) dapat terjadi. Selain itu keterbatasan bahan pangan yang diolah dengan minyak goreng terutama dengan cara ditumis juga menjadi bias pada penelitian ini. Aktivitas fisik juga berperan penting terhadap perubahan profil lipid darah subjek, namun pada penelitian ini tidak diteliti karena keterbatasan teknis.

Karakteristik Subjek

Pada penelitian ini telah direkrut 30 orang subjek, seluruh subjek dapat menyelesaikan intervensi selama 8 minggu. Tidak didapatkan keluhan/efek samping terkait pemberian intervensi. Hasil data awal dapat dilihat pada tabel 2.

Sebagian besar subjek berjenis kelamin perempuan dengan umur rata-rata

yaitu 49 ± 9 tahun. Lebih dari separuh subyek memiliki pendidikan SD dan SMP (63%) atau berpendidikan rendah. Pekerjaan subyek mayoritas adalah ibu rumah tangga (50%) dan petani/buruh (40%) Hasil uji beda didapatkan tidak ada perbedaan bermakna antar kelompok kontrol dan perlakuan pada variabel umur, jenis kelamin, tingkat pendidikan dan pekerjaan (p>0.05).

(30)

berdasarkan ATP III, obesitas sentral merupakan kriteria yang wajib dimiliki. Pada kriteria SM yang lebih baru kriteria tersebut tidak wajib namun menjadi kriteria penting.

Tabel 2. Data Awal (baseline) Subjek Penelitian

Kelompok

Pada penelitian ini, untuk menilai ketersebaran subyek maka dilakukan uji beda antar kelompok. Uji beda ini diperlukan untuk menilai bahwa faktor bias yang akan mempengaruh hasil penelitian telah tersebar merata pada kedua kelompok tersebut

sehingga bias pada subyek dapat di minimalisis. Pada data awal penelitian ini penilaian

(31)

LDL, HDL, dan TG antara kedua kelompok. Data asupan juga menunjukkan tidak didapatkan perbedaan bermakna asupan energi, protein, karbohidrat, lemak dan konsumsi lemak antara kedua kelompok. Hal ini menunjukkan bahwa subjek telah tersebar rata pada kedua kelompok.

Pada DKBM Indonesia tidak terdapat data kadar lemak jenuh, lemak tidak jenuh, kolesterol dan serat makanan dalam pangan. Sehingga data tersebut dianalisis menggunakan data DKBM Singapura dan DKBM United States Department of Agricultural (USDA). Hal ini memiliki beberapa kelemahan yaitu data pada kedua DKBM tersebut merupakan makanan matang yang belum tentu digoreng/menggunakan minyak sawit dan tidak mengestimasi penggunaan minyak goreng secara terpisah selain itu cukup banyak pangan lokal yang tidak tercantum dalam data tersebut. Hal ini menyebabkan kadar lemak yang diperoleh jauh lebih rendah dibandingkan pada perhitungan menggunakan DKBM Indonesia.

Pada awal penelitian asupan lemak jenuh, tidak jenuh dan kolesterol pada kelompok kontrol adalah 11 ± 8 g/hari, 11 ± 5 g/hari dan 117 ± 37 mg/hari, sedangkan pada kelompok perlakuan adalah 11 ± 6 g/hari dan 13 ± 8 g/hari dan 136 ± 73 mg/hari. Tidak terdapat perbedaan nyata pada kedua kelompok tersebut (p>0.05).

Asupan serat makanan juga dihitung menggunakan data DKBM singapura dan USDA. Asupan serat makanan pada kelompok kontrol yaitu 8 g/hari sedangkan pada kelompok perlakuan 11 g/hari. Tidak didapatkan perbedaan nyata antara kedua kelompok tersebut (p>0.05). Pada subjek penelitian ini, asupan serat yang sangat rendah, jauh lebih rendah dibandingkan dengan anjuran pada AKG 2013 yaitu 28-33 g/hari. Konsumsi serat yang rendah merupakan faktor resiko obesitas dan sindroma metabolik.

Pada penelitian ini seluruh parameter yang diukur pada data awal dan potensial menjadi confounder seperti berat badan, IMT, jenis kelamin, umur, pekerjaan, profil lipid darah awal, asupan gizi terutama asupan energi, lemak, lemak jenuh, lemak tidak jenuh dan serat setelah dilakukan uji beda antar kelompok didapatkan hasil tidak berbeda nyata. Sehingga dapat disimpulkan bahwa data awal pada penelitian ini bukan merupakan confounder.

Asupan Gizi Selama Intervensi

(32)

mendekati 20 g/hari. Pada penelitian ini asupan lemak jenuh juga belum melebihi yang dianjurkan. Namun demikian perlu diingat bahwa perhitungan ini belum memasukkan konsumsi minyak goreng yang berdasarkan penelitian ini kontribusi terhadap asupan lemak cukup besar.

Tabel 3. Asupan gizi rata-rata selama intervensi 8 minggu

Rata-Rata Asupan Gizi (1) Rata-Rata Asupan gizi (2)

Kontrol Perlakuan p Kontrol Perlakuan Nilai P

Energi (kkal) 1845 ± 390 2145 ± 575 0.107 Kolesterol

1) analisis data menggunakan DKBM Indonesia, untuk asupan lemak termasuk lemak dari minyak sawit yang dihitung dengan DPM.

2) analisis data dilakukan terpisah menggunakan DKBM singapura dan USDA

Asupan serat pada kedua kelompok tidak berbeda nyata (P>0.05) namun asupan serat tersebut meningkat apabila dibandingkan data awal (p<0.05). Hal ini kemungkinan dapat diakibatkan pengaruh edukasi gizi maupun peningkatan kesadaran (awareness) subjek karena mengetahui tekanan darah dan kadar kolesterol darah ketika pengambilan data awal.

Konsumsi Minyak Sawit dan Asupan Fitosterol Selama Intervensi

Total konsumsi minyak goreng yaitu penjumlahan minyak goreng diberikan (intervensi) dan minyak goreng diluar yang diberikan/non-intervensi. Rata-rata total konsumsi minyak goreng setelah 8 minggu intervensi yaitu 46 ± 23 g/hari. Pada kelompok kontrol rata-rata total konsumsi minyak goreng yaitu 40 ± 16 g/hari sedangkan pada kelompok perlakuan 52 ± 27 g/hari untuk kelompok perlakuan, tida. Konsumsi ini jauh lebih tinggi dari rata-rata konsumsi nasional yaitu sebesar 23 g/kap/hari (Martianto et al. 2005). Konsumsi minyak sawit dan fitosterol selama penelitian disajikan pada Tabel 4.

Tabel 4. Konsumsi Minyak Sawit dan Fitosterol selama Penelitian Minggu Total Minyak Sawit Minyak Intervensi Minyak

non-Intervensi Fitosterol

(33)

minyak intervensi). Walaupun demikian pada uji statistik tidak didapatkan perbedaan nyata (p>0.05) antar kedua kelompok tersebut.

Rata-rata konsumsi minyak intervensi selama masa penelitian yaitu 30 ± 19 g/hari untuk kelompok kontrol dan 38 ± 19 g/hari untuk kelompok perlakuan. Tidak didapatkan perbedaan signifikan antara kelompok kontrol dan perlakuan (p>0.05) kecuali pada minggu ke 2 (p=0.016), konsumsi kelompok kontrol lebih rendah dibandingkan kelompok perlakuan. Rata-rata konsumsi minyak sawit intervensi sebesar 75% dari total konsumi minyak sawit.

Estimasi asupan fitosterol didapatkan dengan mempertimbangkan kandungan fitosterol yang terdapat dalam minyak dan retensi fitosterol setelah pemanasan/penggorengan. Asupan rata-rata fitosterol telah memenuhi harapan yaitu 2 g/hari. Hasil analisis konsumsi pangan didapatkan bahwa diet subjek tergolong diet tinggi lemak dengan rata-rata konsumsi kalori dari lemak pada subjek 41% dari total energi pada kelompok kontrol dan 39% pada kelompok perlakuan. BPOM RI dan FDA mensyaratkan minimal konsumsi fitosterol 1.3 g/hari dikombinasikan dengan diet tinggi serat, rendah lemak dan rendah kolesterol. Namun demikian dari berbagai penelitian, konsumsi fitosterol tanpa disertai diet rendah lemak juga dapat menurunkan kolesterol (Silviara et al. 2012 dan Blair et al. 2000).

Hasil Intervensi terhadap Profil Lipid

Pada banyak penelitian, intervensi fitosterol dapat menurunkan kadar LDL (Wu et al, 2009). Namun hasil yang berbeda didapatkan pada penelitian ini. Pada penelitian ini tidak terdapat perbedaan nyata kadar LDL pada awal dan akhir penelitian. Data profil lipid pada awal dan akhir intervensi disajikan pada Tabel 5.

Tabel 5. Profil lipid pada awal dan akhir intervensi

Parameter Kelompok Kontrol Kelompok Perlakuan Δ % Profil Lipid Awal Akhir Nilai p

(a) Nilai p dari hasil uji beda pada awal dan akhir intervensi menggunakan uji t-test berpasangan (paired t-test) untuk data berdistribusi normal dan uji Wilcoxon untuk data tersebar/skewed

(b) Nilai p dari hasil perbandingan antara kelompok kontrol dan perlakuan menggunakan uji t-test tidak berpassangan (independent t-test) untuk data berdistribusi normal dan Uji

Mann-Whitney untuk data tersebar/skewed

(34)

penelitian Sialvera et al (2012) yang meneliti pada subjek SM dengan tipe diet tinggi lemak (westernized type diet) namun dengan intervensi fitosterol yang tinggi (4 g per hari) dapat menurunkan kadar kolesterol-total, LDL dan TG pada subjek SM. Apabila dibandingkan pada penelitian ini dengan estimasi asupan sebesar 2.0 ± 1 g/hari maka diduga membutuhkan dosis yang jauh lebih besar untuk dapat menurunkan profil lipid. Hal ini terkait pada penelitian dengan subjek non-SM asupan fitosterol 1.3 g/hari dikombinasi dengan diet rendah lemak telah jelas terbukti dapat menurunkan kolesterol pada penderita hiperkolesterolemia (FDA 2010). Pada beberapa penelitian lain, intervensi fitosterol tanpa disertai dengan diet rendah lemak juga terbukti dapat menurunkan kolesterol (Blair 2000, Plat 2000, Visser 2000)

Pada parameter kolesterol total, didapatkan perbedaan bermakna antara kelompok kontrol dan kelompok perlakuan (p=0.007). Kelompok kontrol cenderung mengalami peningkatan kadar kolesterol total dari 229 ± 29 mg/dl menjadi 237 ± 36 mg/dl (p=0.060) dan sebaliknya pada kelompok perlakuan cenderung mengalami penurunan kadar kolesterol total dari 224 ± 37 mg/dl menjadi 216 ± 39 mg/dl (p= 0.058). Hal ini menggambarkan bahwa fitosterol memiliki pengaruh dalam menurunkan kolesterol total dibandingkan kontrol. Asupan lemak, lemak jenuh dan tidak jenuh dan serat merupakan faktor bias atas hasil ini. Analisis data recall menunjukkan tidak terdapat perbedaan rata-rata asupan kolesterol, lemak jenuh, lemak tidak jenuh dan serat antara kelompok perlakuan dan kontrol. Asupan lemak pada kelompok perlakuan relatif lebih tinggi dari pada kelompok kontrol (p>0.053). Namun rata-rata asupan kalori dari lemak kedua kelompok relatif sama (P.0.05), namun asupan tersebut cukup tinggi yaitu 41 ± 8% untuk kelompok kontrol dan 39 ± 8% untuk kelompok perlakuan jauh lebih tinggi daripada yang disarankan WHO sebesar 25-30% (WHO 2003). Penelitian Waloya et al. (2013) di Kota dan Kabupaten Bogor, didapatkan bahwa asupan lemak berpengaruh nyata terhadap kadar kolesterol (p<0.10). Pada penelitian ini, kelompok perlakuan memiliki asupan lemak yang relatif lebih tinggi dibandingkan kelompok kontrol, namun kelompok perlakuan memiliki kadar kolesterol yang lebih rendah dibandingkan kelompok kontrol sehingga diduga bahwa fitosterol berpengaruh dalam ‘menahan’ laju peningkatan kolesterol total pada subyek dengan diet tinggi lemak. disimpulkan bahwa terdapat penurunan kadar TG terutama pada subjek dengan kadar TG awal (baseline) yang tinggi. Hal tersebut sesuai dengan penelitian ini, kelompok perlakuan memiliki rata-rata kadar TG awal yang tinggi yaitu sebesar 205 ± 83 mg/dl dan setelah intervensi selama 8 minggu kadar TG turun menjadi sebesar 158 ± 85 mg/dl. Ketika dianalisis lebih lanjut pada subjek kelompok perlakuan dengan asupan fitosterol diatas 1.3 g dan kadar TG diatas 200 mg/dl (n=5) mengalami penurunan rata-rata sebesar 126 ± 66 mg/dl (40%) jauh lebih tinggi dibandingkan penurunan pada subjek dengan kadar TG dibawah 200 mg/dl (n=9) yaitu sebesar 33 ± 44 mg/dl (18%), sedangkan 1 subyek dengan asupan fitosterol dibawah 1.3 g justru mengalami peningkatan kadar TG.

(35)

bahwa fitosterol dapat menghambat sintesa VLDL. Uji klinis yang dilakukan Plat & Mensink(2009) yang menggunakan plant stanol pada subjek SM mendapatkan hasil yang mendukung mekanisme tersebut. Plat menemukan bahwa plant stanol ester dapat menurunkan konsentrasi VLDL dan TG pada subjek SM dan menduga bahwa penurunan TG ini berasal dari penurunan produksi partikel VLDL-1 yang tinggi TG (TG rich VLDL-1 particles) di hati (Plat & Mensink 2009).

SIMPULAN DAN SARAN

Simpulan

Intervensi pemberian fitosterol yang ditambahkan pada minyak sawit dan digunakan sebagai minyak goreng telah dilakukan selama 8 minggu dengan melibatkan 30 orang subjek yang terbagi menjadi kelompok perlakuan dan kontrol. Tidak didapatkan drop out maupun keluhan/efek samping pada penelitian ini. Rata-rata total konsumsi minyak goreng selama intervensi yaitu 46 ± 23 g/hari sedangkan rata-rata konsumsi minyak yang diperkaya fitosterol pada kelompok perlakuan adalah 38 ± 19 g/hari.

Kesimpulan pada penelitian ini adalah dengan konsumsi minyak sawit yang diperkaya fitosterol sekitar 38 g/hari, dapat mencapai asupan fitosterol sebesar 2 g/hari dan memenuhi asupan fitosterol yang dipersyarakan (>1.3 g/hari). Terdapat perbaikan kadar kolestorol total dan TG namun tidak terdapat perbedaan yang signifikan pada kadar kolesterol LDL.

Saran

Pada penelitian selanjutnya disarankan mengukur efikasi intervensi ini pada subjek dengan jumlah konsumsi minyak goreng normal dan mengukur kadar VLDL untuk melengkapi mekanisme kerja fitosterol

DAFTAR PUSTAKA

Alberti KGMM, Zimmet PZ, Shaw J. 2005. Metabolic Syndrome—A New world-wide definition. A Consensus Statement from the International Diabetes Federation. Diabetic Medicine. 23: 469–480

Alberti KGMM, Eckel RH, Grundy SM, Zimmet PZ, Cleeman JI, Donato KA, Fruchart JC, James WPT, Loria CM, Smith SC jr. 2009. Harmonizing the metabolic syndrome: a joint interim statement of the International Diabetes Federation Task Force on Epidemiology and Prevention; National Heart, Lung, and Blood Institute; American Heart Association; World Heart Federation; International Atherosclerosis Society; and International Association for the Study of Obesity. Circulation 120: 1640–1645. DOI: 10.1161/CIRCULATIONAHA.109.192644

Gambar

Tabel 1. Kriteria Sindroma Metabolik
Tabel 2. Data Awal (baseline) Subjek Penelitian  Kelompok
Tabel 3. Asupan gizi rata-rata selama intervensi 8 minggu
Tabel 2. Data Awal (baseline) Subjek Penelitian  Kelompok
+2

Referensi

Dokumen terkait

Penelitian ini tidak lebih untuk memberikan masukan kepada usaha yang bergerak dibidang service motor seperti bengkel agar mampu melakukan evaluasi yang didasarkan hasil

Agar keberlanjutan dari kegiatan ini tetap terjaga, maka perlu secara rutin diberikan penyuluhan pada masyarakat Desa Cileunyi Kulon berkenaan dengan informasi-informasi

Berdasarkan tabel 5.2 dapat dilihat bahwa interaksi sosial pada siswa kelas 3 SDN Kunciran 9 Tangerang sesudah (posttest) diberikan permainan tradisional bentengan selama

Dimana ketika sosialisasi pajak yang diberikan oleh DJP dapat terselenggara secara efektif dan tepat sasaran sebagai bentuk penambahan pengetahuan pajak, kemudian

Proses berpikir dalam menyelesaikan suatu permasalahan perlu memiliki kemampuan pemahaman masalah yang baik, sehingga dapat menggali informasi-informasi yang ada dalam

Perbedaan latar belakang antara anggota kelompok tersebut menyebabkan adanya prasangka sosial antar mereka, dan prasangka sosial ini berdampak pada tercipatanya

Siswa dapat menentukan pasangan senyawa karbon yang merupakan isomer gugus fungsi dari 5 macam contoh pasangan senyawa karbon. Nomor

ragam pendapatnya mengenai adegan kekerasannya maupun isi dari cerita sinetron Tendangan Si Madun Serial 3 bahwa mereka mempunyai pendapat masing ± masing seperti