• Tidak ada hasil yang ditemukan

Balanced Diet Index Development of Adult Females in Indonesia

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2017

Membagikan "Balanced Diet Index Development of Adult Females in Indonesia"

Copied!
73
0
0

Teks penuh

(1)

PENGEMBANGAN INDEKS GIZI SEIMBANG BAGI WANITA

DEWASA INDONESIA

SILVIA MAWARTI PERDANA

SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR

(2)
(3)

PERNYATAAN MENGENAI TESIS DAN

SUMBER INFORMASI SERTA PELIMPAHAN HAK CIPTA

Dengan ini saya menyatakan bahwa tesis berjudul Pengembangan Indeks Gizi Seimbang bagi Wanita Dewasa Indonesia adalah karya saya dengan arahan dari komisi pembimbing dan belum diajukan dalam bentuk apapun kepada perguruan tinggi manapun. Sumber informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan maupun tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam Daftar Pustaka di bagian akhir tesis ini.

Dengan ini saya melimpahkan hak cipta dari karya tulis saya kepada Institut Pertanian Bogor.

Bogor, Maret 2014

(4)

RINGKASAN

SILVIA MAWARTI PERDANA. Pengembangan Indeks Gizi Seimbang bagi Wanita Dewasa Indonesia. Dibimbing oleh HARDINSYAH dan EVY DAMAYANTHI.

Penelitian ini bertujuan mengembangkan indeks gizi seimbang (IGS) bagi wanita dewasa Indonesia berdasarkan data Riskesdas 2010. Tujuan khusus penelitian ini adalah untuk (1) menganalisis pola konsumsi pangan wanita dewasa Indonesia, (2) mengembangkan beberapa alternatif IGS wanita dewasa Indonesia, (3) memilih IGSyang paling valid pada wanita dewasa Indonesia, (4) menganalisis faktor-faktor determinan IGSwanita dewasa Indonesia.

Penelitian ini menggunakan data konsumsi pangan hasil Riset Kesehatan Dasar (Riskesdas) 2010 yang dilakukan oleh Badan Penelitian dan Pengembangan Kesehatan Kementerian Kesehatan Republik Indonesia (Balitbangkes Kemenkes RI). Pengumpulan data konsumsi pangan menggunakan metode food recall 1 x 24 jam dengan desain studi cross-sectional dan subjek wanita dewasa yang berjumlah 68486 orang berusia 19-55 tahun. Pengumpulan data di beberapa daerah oleh tim pengumpul data Riskesdas dilakukan pada bulan Mei-Agustus 2010. Penelitian ini dilakukan pada bulan Juni-November 2013 di Kampus IPB Dramaga, Bogor, Jawa Barat. Studi ini menggunakan 61759 orang subjek wanita dewasa. Alternatif IGS dikembangkan berdasarkan kelompok pangan/zat gizi, kuantitas, dan tiga sampai empat tingkat skor. Mutu gizi konsumsi pangan (MGP) dari 16 zat gizi digunakan sebagai standar dalam pengujian validitas IGS.

Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa kelompok pangan yang paling banyak dikonsumsi adalah pangan karbohidrat dengan jumlah konsumsi sebesar 539.5 ± 216.2 g (99.9%), sedangkan kelompok pangan yang paling sedikit dikonsumsi adalah buah, gula tambahan, dan susu dengan rata-rata konsumsi 31.0 ± 86.0 g (22.0%), 2.4 ± 12.5 g (7.6%), dan 3.1 ± 24.0 g (4.8%). Asupan semua zat gizi, kecuali natrium, belum memenuhi kebutuhan gizi per hari. MGP wanita dewasa di Indonesia masih tergolong kurang (44.0 ± 13.2). Alternatif IGS yang dikembangkan didasarkan pada kelompok pangan/zat gizi dan kuantitas serta tingkat skor, yang terdiri dari: IGS 3-50, IGS 3-60, IGS 3-61, IGS 3-83, IGS 3-105, IGS 4-50, IGS 4-60, IGS 4-61, IGS 4-83, dan IGS 4-105. IGS 3-60 adalah indeks gizi seimbang yang paling valid dan sederhana (korelasi koefisien dengan MGP sebesar 0.70) yang dikembangkan berdasarkan tiga tingkat skor (nol, lima, dan 10) dan enam kelompok pangan (pangan karbohidrat, protein hewani, protein nabati, sayur, buah, dan susu), tanpa mempertimbangkan lemak total, lemak jenuh, kolesterol, gula tambahan, dan natrium. Susu dimasukkan ke dalam komponen penilaian karena mempertimbangkan manfaat yang sangat penting bagi wanita dewasa. Skor rata-rata IGS 3-60 pada wanita dewasa adalah 31.0 ± 12.1.

(5)

memiliki skor IGS 3-60 lebih tinggi dibandingkan pendidikan SD. Pegawai negeri dan wiraswasta/lainnya memiliki peluang masing-masing 11% dan 5% memiliki skor IGS 3-60 lebih tinggi dibandingkan subjek yang tidak bekerja/sekolah. Wanita berusia 30-49 tahun dan 50-55 tahun memiliki peluang masing-masing 23% dan 25% memiliki skor IGS 3-60 lebih tinggi dibandingkan wanita berusia 19-29 tahun.

IGS 3-60 yang dikembangkan berdasarkan tiga tingkat skor dan enam kelompok pangan (pangan karbohidrat, lauk pauk, sayur, buah, dan susu) dapat digunakan sebagai salah satu cara sederhana dalam mengevaluasi MGP wanita dewasa Indonesia karena penilaian hanya didasarkan pada jumlah porsi kelompok pangan/zat gizi yang dikonsumsi. IGS 3-105 mungkin bisa menjadi lebih valid dibandingkan IGS 3-60 jika kandungan gizi pangan yang diperhitungkan lebih lengkap (kolesterol, lemak jenuh, dan natrium) dari pangan Indonesia. Oleh karena itu, diperlukan studi lebih lanjut.

Diperlukan promosi gizi seimbang untuk meningkatkan kualitas konsumsi pangan bagi wanita dewasa Indonesia. Promosi gizi seimbang diperlukan, terutama untuk konsumsi pangan hewani, sayur, dan buah.

Studi lanjutan dapat dilakukan dengan mengembangkan indeks gizi seimbang untuk kelompok umur yang lain dengan cara menyesuaikan satuan porsi sesuai kebutuhan gizinya; serta menganalisis hubungan skor IGS 3-60 dengan outcome gizi dan kesehatan, seperti status gizi generasi yang dihasilkan.

(6)

SUMMARY

SILVIA MAWARTI PERDANA. Balanced Diet Index Development of Adult Females in Indonesia. Supervised by HARDINSYAH and EVY DAMAYANTHI.

The objective of this study was to develop a balanced diet index (BDI) in relation to nutritional quality of the diet (NQ) of adult females in Indonesia. The specific objectives was (1) analyze food consumption pattern of Indonesia adult females, (2) develop BDI alternatives of Indonesia adult females, (3) select the most valid BDI of Indonesia adult females, (4) analyze determinant factors of BDI of Indonesia adult females.

This study used food consumption data from the Basic Health Research (Riskesdas) of 2010 collected by the Agency for Research and Health Development of the Ministry of Health. The food consumption data were collected using 24-h food recall method through a cross-sectional study design of 68486 adult females 19-55 years on May-August 2010. This study conducted on June-November 2013 in IPB Dramaga, Bogor, West Java. The final sample of this study was 61759 adult females. Ten alternatives of balanced diet indexes (BDI) were developed based on food groups, their intake, and three to four scoring system levels. The NQ of 16 nutrients was used as a gold standard in the validity testing.

The results showed that the most food group consumed was carbohydrate food 539.5 ± 216.2 g (99.9%), whereas the least food groups consumed was the fruit, added sugar, and milk with average consumption was 31.0 ± 86.0 g (22.0%), 2.4 ± 12.5 g (7.6%), and 3.1 ± 24.0 g (4.8%). The intake of all nutrients, except sodium, did not meet the nutritional requirements per day. NQ of adult females in Indonesia was still relatively less (44.0 ± 13.2). Alternatives of BDI was developed based on the food groups/nutrients, quantity, and the score level, which consists of: BDI 3-50, BDI 3-60, BDI 3-61, BDI 3-83, BDI 3-105, BDI 4-50 , BDI 4-60, BDI 4-61, BDI 4-83, and BDI 4-105. The simplest and the most valid measurement was BDI 3-60 (correlation coefficients with the NQ 0.70) which is based on three levels of scoring system (zero, five, and 10) and six food groups (carbohydrate food, animal protein food, plant protein food, vegetable, fruit, and milk), without considering fat, saturated fat, cholesterol, and sodium. The mean score of BDI 3-60 was 31.0 ± 12.1.

BDI 3-60 affected by marital status, economic status, education, occupation, and age. Adult females who married had 29% higher scores of BDI 3-60 than others. Medium to high economic status (quintiles 3, 4, and 5) had 39% higher scores of BDI 3-60 than the low economic status (quintiles 1 and 2). Middle and high school education had opportunities 17% and 30% higher scores of BDI 3-60 than elementary education, respectively. Civil servants and self-employed/others had opportunities 11% and 5% higher scores of BDI 3-60 than subjects who did not work/school, respectively. Females aged 30-49 years and 50-55 years had opportunities 23% and 25% higher scores of BDI 3-60 than females aged 19-29 years, respectively.

(7)

Indonesia because the assessment was based only on the number of servings of food groups consumed/nutrients intake. BDI 3-105 might be more valid than BDI 3-60 if more complete calculation of nutrients (cholesterol, saturated fat, and sodium) of Indonesian food.

Promotion of balanced diet necessary to improve the quality of food consumption for adult females of Indonesia. Promotion of balanced diet is needed, especially for the consumption of animal protein food, vegetables, and fruits.

Further study can be done by developing balanced diet index for other age groups by adjusting the food servings with nutritional requirements; and analyze the relationship between the score of BDI 3-60 with nutrition and health outcomes, such as nutritional status of next generation .

(8)

© Hak Cipta Milik IPB, Tahun 2014

Hak Cipta Dilindungi Undang-Undang

Dilarang mengutip sebagian atau seluruh karya tulis ini tanpa mencantumkan atau menyebutkan sumbernya. Pengutipan hanya untuk kepentingan pendidikan, penelitian, penulisan karya ilmiah, penyusunan laporan, penulisan kritik, atau tinjauan suatu masalah; dan pengutipan tersebut tidak merugikan kepentingan IPB

(9)

PENGEMBANGAN INDEKS GIZI SEIMBANG BAGI WANITA

DEWASA INDONESIA

SILVIA MAWARTI PERDANA

Tesis

sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Magister Sains

pada

Program Studi Ilmu Gizi Masyarakat

SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR

(10)
(11)

Judul Tesis : Pengembangan Indeks Gizi Seimbang bagi Wanita Dewasa Indonesia

Nama : Silvia Mawarti Perdana

NIM : I151114111

Disetujui oleh Komisi Pembimbing

Prof. Dr. Ir. Hardinsyah, MS Prof. Dr. Ir. Evy Damayanthi, MS Ketua Anggota

Diketahui oleh

Ketua Program Studi Dekan Sekolah Pascasarjana Ilmu Gizi Masyarakat

Dr. Ir. Dodik Briawan, MCN Dr. Ir. Dahrul Syah, MSc.Agr

(12)
(13)

PRAKATA

Puji dan syukur penulis panjatkan kepada Allah SWT atas segala karunia-Nya sehingga karya ilmiah ini berhasil diselesaikan. Penulisan tesis yang berjudul

“Pengembangan Indeks Gizi Seimbang bagi Wanita Dewasa Indonesia” dilakukan sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Magister Sains pada Program Studi Ilmu Gizi Masyarakat, Sekolah Pascasarjana, Institut Pertanian Bogor.

Pada kesempatan ini, penulis ingin mengucapkan terima kasih kepada Prof. Dr. Ir. Hardinsyah, MS dan Prof. Dr. Ir. Evy Damayanthi, MS selaku komisi pembimbing atas arahan, masukan, kritikan, dan dorongan untuk menyelesaikan tesis; Ir. Doddy Izwardy, MA selaku penguji luar komisi pada ujian tesis; dan Badan Penelitian dan Pengembangan Kesehatan Kementerian Kesehatan RI yang telah memberikan izin untuk menggunakan data Riset Kesehatan Dasar (Riskesdas) 2010.

Penulis juga mengucapkan terima kasih kepada Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan Direktorat Jenderal Pendidikan Tinggi atas bantuan Beasiswa Unggulan yang diberikan selama menjalani pendidikan di IPB. Ungkapan terima kasih juga disampaikan kepada ayah, ibu, adik, Diki Sunaryo, SPt, dan Atika Primadala Amrin, SGz, MSi atas doa dan kasih sayangnya.

Semoga karya ilmiah ini bermanfaat.

Bogor, Maret 2014

(14)

DAFTAR ISI

DAFAR TABEL ... xv

DAFTAR GAMBAR ... xvi

DAFTAR LAMPIRAN ... xvi

PENDAHULUAN Latar Belakang ... 1

Tujuan ... 2

Manfaat ... 2

TINJAUAN PUSTAKA Masalah Gizi Wanita ... 3

Konsep Gizi Seimbang ... 4

Indeks Gizi Seimbang (IGS) ... 6

Mutu gizi konsumsi pangan ... 6

Indeks keragaman makanan ... 7

PPH (Pola Pangan Harapan) ... 9

HEI (Healthy Eating Index) ... 10

HEI Amerika ... 10

HEI Australia ... 12

HEI Thailand ... 14

Prinsip Pengembangan HEI ... 15

Pengelompokan ... 15

Scoring system ... 15

Faktor-faktor yang Berhubungan dengan HEI ... 16

KERANGKA PEMIKIRAN ... 18

METODE Desain, Waktu, dan Tempat ... 21

Jumlah dan Cara Penarikan Subjek ... 21

Jenis dan Cara Pengumpulan Data ... 22

Pengolahan dan Analisis Data ... 23

Definisi Operasional ... 29

HASIL DAN PEMBAHASAN Karakteristik Sosial Ekonomi ... 31

Status Gizi ... 32

Pola Konsumsi Pangan ... 33

Alternatif Indeks Gizi Seimbang (IGS) ... 35

Pengujian Validitas IGS terhadap MGP ... 42

Faktor-faktor Determinan IGS ... 43

SIMPULAN DAN SARAN Simpulan ... 45

(15)
(16)

DAFTAR TABEL

1 Komponen HEI-1995 dan skor masing-masing komponen ... 11

2 Komponen HEI-2005 dan skor masing-masing komponen ... 12

3 Komponen Aust-HEI dan skor masing-masing komponen ... 13

4 Komponen THEI dan skor masing-masing komponen ... 14

5 Jenis dan cara pengumpulan data ... 23

6 Kategori status gizi dewasa berdasarkan IMT ... 24

7 Perhitungan kebutuhan energi wanita dewasa menurut status gizi ... 25

8 Angka kecukupan zat gizi wanita dewasa berdasarkan usia ... 26

9 Alternatif indeks gizi seimbang (IGS) ... 27

10 Penilaian indeks gizi seimbang berdasarkan tiga kategori skor (IGS 3) ... 28

11 Penilaian indeks gizi seimbang berdasarkan empat kategori skor (IGS 4) 28

12 Sebaran subjek berdasarkan karakteristik sosial ekonomi ... 31

13 Sebaran status gizi subjek berdasarkan kelompok usia ... 32

14 Konsumsi pangan (g) per kapita/hari dan tingkat partisipasi konsumsi (%) pada wanita dewasa Indonesia ... 33

15 Asupan dan tingkat kecukupan gizi per kapita/hari pada wanita dewasa menurut kelompok usia ... 34

16 Skor IGS 3-50 wanita dewasa menurut kelompok usia ... 35

17 Skor IGS 3-60 wanita dewasa menurut kelompok usia ... 36

18 Skor IGS 3-61 wanita dewasa menurut kelompok usia ... 37

19 Skor IGS 3-83 wanita dewasa menurut kelompok usia ... 37

20 Skor IGS 3-105 wanita dewasa menurut kelompok usia ... 38

21 Skor IGS 4-50 wanita dewasa menurut kelompok usia ... 38

22 Skor IGS 4-60 wanita dewasa menurut kelompok usia ... 39

23 Skor IGS 4-61 wanita dewasa menurut kelompok usia ... 40

24 Skor IGS 4-83 wanita dewasa menurut kelompok usia ... 40

25 Skor IGS 4-105 wanita dewasa menurut kelompok usia ... 41

26 Kategori MGP pada wanita dewasa menurut kelompok usia ... 42

27 Uji korelasi Pearson hubungan skor IGS dengan mutu gizi pangan ... 42

(17)

29 Hasil uji regresi logistik faktor-faktor yang mempengaruhi IGS 3-60

pada wanita dewasa ... 44

DAFTAR GAMBAR

1 Tumpeng pedoman gizi seimbang ... 5

2 Komponen HEI-1995 ... 10

3 Kerangka pemikiran pengembangan HEI pada wanita dewasa Indonesia ... 19

4 Kerangka pemikiran faktor determinan HEI wanita dewasa Indonesia ... 20

5 Alur cleaning data subjek penelitian ... 22

DAFTAR LAMPIRAN

1 Cara pengumpulan data karakteristik, antropometri dan recall pangan 1x24 jam oleh tim Riskesdas 2010 ... 50

2 Kebutuhan zat gizi pada wanita dewasa menurut kelompok usia ... 53

3 Berat badan, tinggi badan, dan IMT wanita dewasa menurut kelompok usia ... 53

4 Konsumsi pangan dan asupan gizi pada wanita dewasa menurut kelompok usia per kapita/hari ... 54

(18)

PENDAHULUAN

Latar Belakang

Negara berkembang menghadapi berbagai jenis transisi, salah satunya transisi epidemiologi yang menimbulkan masalah gizi ganda (double burden of communicable and non-communicable diseases) (Kapoor & Anand 2002). Malnutrisi dan infeksi pada awal kehidupan akan meningkatkan risiko chronic noncommunicable diseases (NCDs) di tahap kehidupan selanjutnya. Pada usia dewasa, kombinasi NCDs dan penyakit infeksi dapat berdampak merugikan (Bygbjerg 2012).

Hasil analisis Riskesdas 2013 menunjukkan bahwa prevalensi kegemukan pada wanita dewasa sebesar 32.9% pada tahun 2013 yang meningkat dari sebelumnya 23.8% pada tahun 2007. Berdasarkan karakteristik, masalah kegemukan cenderung lebih tinggi pada penduduk yang tinggal di perkotaan, berpendidikan lebih tinggi dan pada kelompok status ekonomi yang tertinggi pula (Balitbangkes 2013).

Wanita dewasa perlu mendapat perhatian terhadap penanganan masalah gizi ganda karena berperan penting dalam upaya pencegahan penyakit kronis bagi dirinya dan generasi mendatang. Pemenuhan gizi secara optimal yang dilakukan ibu selama masa 1000 hari pertama kehidupan (sejak janin dalam kandungan sampai berusia dua tahun), selain memberi kesempatan bagi anak untuk hidup lebih lama, lebih sehat, dan lebih produktif, juga menurunkan risiko anak menderita penyakit degeneratif di usia dewasa. Teori Barker menyebutkan bahwa gizi memiliki peranan penting dalam membentuk kehidupan. Masalah gizi yang terjadi pada awal kehidupan anak akan berdampak pada kualitas sumberdaya manusia. Status gizi dan keadaan kesehatan anak-anak sampai menjadi dewasa dimulai dari wanita dewasa yang berperan penting dalam menyiapkan generasi selanjutnya (Koletzko et al. 2011).

Diet merupakan faktor penting dalam pencegahan penyakit degeneratif (obesitas, diabetes melitus tipe dua, hipertensi, dislipidemia, penyakit jantung koroner, dan stroke) dan pemeliharaan kesehatan (WHO 2002; WHO 2003). Bahan pangan dalam pola makan yang kompleks, contohnya sayur dan buah, memiliki efek protektif yang potensial dalam pencegahan penyakit degeneratif, seperti kanker, penyakit kardiovaskuler, diabetes melitus, stroke, dan obesitas (Steinmetz & Potter 1996; Gerber 2001).

Studi yang dilakukan oleh Fung et al. (2004) menunjukkan bahwa pola makanan barat, khususnya tinggi konsumsi daging yang diproses, dapat meningkatkan risiko diabetes melitus tipe dua pada wanita. Terdapat bukti yang cukup kuat, terutama dari studi observasi prospektif, bahwa pola makan yang tinggi konsumsi buah, sayur, dan whole grains; rendah daging dan refined grains; serta asupan sumber lemak yang sehat berperan dalam pencegahan CHD, stroke, dan kanker kolorektal (Schulze & Hoffmann 2006; Miller et al. 2010).

(19)

wanita dewasa. Saat ini, Kemenkes sedang menyempurnakan Pedoman Gizi Seimbang. Penilaian pemenuhan gizi seimbang pada wanita dewasa sangat diperlukan sebagai bagian upaya penanganan masalah gizi ganda.

Implikasi dari permasalahan di atas adalah diperlukannya Indeks Gizi Seimbang (IGS) sebagai cara sederhana yang memenuhi kriteria validitas dan reliabilitas untuk menilai gizi seimbang dalam diet wanita dewasa Indonesia. Hal ini dilakukan sebagai upaya penanganan masalah gizi ganda mengingat di Indonesia belum terdapat cara mengukur kualitas diet. Sementara itu, sejak tahun 1995 USDA (U.S. Department of Agriculture) sudah mengembangkan Healthy Eating Index yang berpedoman pada Dietary Guidelines for Americans. Thailand dan Australia pada tahun 2007 juga mengembangkan Healthy Eating Index yang berpedoman pada Dietary Guidelines negara masing-masing. Sampai saat ini belum ada kajian ilmiah yang membahas penilaian pemenuhan gizi seimbang pada wanita dewasa.

Tujuan

Penelitian ini bertujuan mengembangkan Indeks Gizi Seimbang (IGS) bagi wanita dewasa Indonesia berdasarkan data Riskesdas 2010, sedangkan secara khusus bertujuan:

1. Menganalisis pola konsumsi pangan wanita dewasa Indonesia 2. Mengembangkan beberapa alternatif IGS wanita dewasa Indonesia 3. Memilih IGS yang paling valid pada wanita dewasa Indonesia 4. Menganalisis faktor-faktor determinan IGS wanita dewasa Indonesia

Manfaat

(20)

TINJAUAN PUSTAKA

Masalah Gizi Wanita

Negara berkembang sudah mulai menghadapi masalah kesehatan masyarakat yang berhubungan dengan masalah gizi ganda (kombinasi antara penyakit infeksi dan penyakit degeneratif). Prevalensi penyakit degeneratif meningkat dengan cepat di berbagai negara, termasuk negara berkembang. Kelompok usia dewasa (20-64 tahun) sebanyak lebih dari 15 juta orang mengalami kematian setiap tahun, yang sebagian besar dapat dicegah (WHO 1998). Pada tahun 2001, penyakit degeneratif memiliki kontribusi kira-kira 60% dari 56.5 juta total kematian yang dilaporkan di dunia dan kira-kira 46% dari beban penyakit secara global. Prevalensi non-communicable diseases diperkirakan meningkat hingga 57% pada tahun 2020. Hampir separuh dari kematian akibat penyakit degeneratif disebabkan oleh penyakit kardiovaskuler (penyakit jantung koroner dan stroke). Sementara itu, obesitas dan diabetes juga menunjukkan kecenderungan yang mengkhawatirkan, bukan hanya karena sudah mempengaruhi populasi dalam jumlah besar, tetapi juga sudah memasuki tahap awal kehidupan (WHO 2003).

Di negara berkembang, prevalensi penyakit degeneratif semakin meningkat karena adopsi dari gaya hidup barat yang diikuti dengan beberapa faktor risiko. Faktor risiko dari masalah gizi ganda tersebut secara global terdiri dari: underweight; seks tidak aman; tekanan darah tinggi; perilaku merokok; konsumsi alkohol; sanitasi, higiene, dan air yang tidak bersih dan aman; defisiensi zat besi; polusi; asupan kolesterol tinggi; dan obesitas. Tekanan darah dan kolesterol darah yang tinggi berhubungan erat dengan meningkatnya konsumsi lemak, gula, dan garam. Hal ini menjadi semakin berbahaya, jika digabungkan dengan perilaku merokok dan konsumsi alkohol yang berlebihan sebagai penyebab dari timbulnya kanker, penyakit jantung, stroke, dan penyakit degeneratif lainnya (WHO 2002).

Transisi gizi ke arah pola penyakit degeneratif terjadi secara pesat di negara berkembang. Data di negara Cina yang ditunjukkan oleh China Health and Nutrition Survey menunjukkan bahwa antara tahun 1989 dan 1993 terjadi peningkatan orang dewasa yang mengonsumsi diet tinggi lemak dari 22.8% menjadi 66.6%. Salah satu konsekuensi dari transisi gizi adalah menurunnya undernutrition yang diikuti dengan meningkatnya obesitas (Popkin 2001).

(21)

dengan tingkat sosial ekonomi yang lebih tinggi), prevalensi overweight pada wanita berusia 20-49 tahun, baik di pedesaan maupun perkotaan, lebih tinggi dibandingkan wanita underweight. Di Asia dan Afrika, prevalensi overweight masih rendah tetapi kejadian ini cukup tinggi di daerah perkotaan. Penyebab utamanya adalah transisi gizi menjadi diet tinggi lemak dan berkurangnya aktivitas fisik.

Kasus diabetes pada dewasa akan meningkat menjadi dua kali lipat secara global, dari 143 juta pada tahun 1997 menjadi 300 juta pada tahun 2025 yang disebabkan oleh faktor diet dan gaya hidup yang lain (WHO 1998). Meskipun terdapat bukti bahwa obesitas adalah faktor risiko penting terhadap kejadian diabetes melitus tipe dua, bukti lain menunjukkan bahwa makanan tertentu dan faktor pola makan memiliki hubungan dengan kejadian diabetes melitus. Risiko terjadinya diabetes pada wanita karena mengonsumsi makanan dengan pola makan barat (khususnya tinggi konsumsi daging yang diproses) adalah 1.49 (Fung et al. 2004).

Hasil analisis Riskesdas 2007 menyebutkan bahwa non-communicable disease (59.5%) merupakan penyebab mortalitas tertinggi pada seluruh kelompok usia. Tiga penyakit degeneratif dengan prevalensi tertinggi, terdiri atas: stroke (26.9%), hipertensi (12.3%), dan diabetes mellitus (10.2%). Sementara itu, penyakit degeneratif dengan prevalensi tertinggi pada wanita berusia 15-44 tahun dan 45-54 tahun adalah penyakit hati (9.6%) dan diabetes melitus (16.3%) (Balitbangkes 2007).

Studi cross-sectional di 57 negara dengan pendapatan rendah hingga menengah yang dilakukan oleh Corsi et al. (2011) menunjukkan bahwa terdapat korelasi negatif yang kuat antara kecenderungan menjadi underweight dan overweight di tingkat global (r=-0.79) dan antar negara (r=-0.51) dengan status sosial ekonomi. Sementara itu, di tingkat global korelasi underweight dan overweight pada wanita berusia 25-49 tahun di negara dengan pendapatan rendah hingga menengah bernilai -0.78.

Usia, jenis kelamin, dan genetik merupakan faktor yang tidak dapat dimodifikasi dalam kejadian penyakit kronis. Sementara itu, beberapa risiko lainnya yang dapat dimodifikasi terdiri atas faktor perilaku (diet, aktivitas fisik, perilaku merokok, dan konsumsi alkohol); faktor biologi (dislipidemia, hipertensi, overweight, hiperinsulinemia); serta faktor sosial (sosial ekonomi, budaya, dan lingkungan) (WHO 2003). Diet diketahui memegang peranan dalam faktor risiko terjadinya penyakit kronis. Makanan berbasis nabati saat ini telah digantikan oleh makanan hewani yang tinggi lemak dan energi. Bahan pangan seperti daging, kentang, dan serealia memiliki korelasi positif dengan risiko terjadinya kanker kolorektal pada wanita (OR = 2.20, 95% CI = 1.08–4.50) (Miller et al. 2010).

Konsep Gizi Seimbang

(22)

gizi, dapat dicegah dan dikurangi. Namun pada kenyataannya, hal ini tidak terwujud baik di Indonesia maupun di negara-negara lain. Pada tahun 1992 diselenggarakan kongres gizi internasional di Roma yang membahas pentingnya gizi seimbang untuk menghasilkan manusia yang berkualitas. Salah satu rekomendasi kongres tersebut adalah anjuran kepada setiap negara untuk menyusun Pedoman Umum Gizi Seimbang (PUGS) (Depkes 2005).

Depkes melalui Direktorat Bina Gizi Masyarakat pada tahun 1994 telah mengeluarkan Pedoman Umum Gizi Seimbang (PUGS). Tujuan PUGS adalah sebagai alat untuk memberikan penyuluhan pangan dan gizi kepada masyarakat luas, dalam rangka memasyarakatkan gizi seimbang. Yayasan Institut Danone (2010) mendefinisikan gizi seimbang sebagai susunan makanan sehari-hari yang mengandung zat-zat gizi dalam jenis dan jumlah yang sesuai dengan kebutuhan tubuh, dengan memperhatikan prinsip keanekaragaman atau variasi makanan, aktivitas fisik, kebersihan, dan berat badan ideal. Visualisasi prinsip gizi seimbang di berbagai negara disesuaikan dengan budaya dan pola makan setempat.

Gambar 1 Tumpeng pedoman gizi seimbang (Depkes 2005)

Terdapat beberapa alasan penggantian slogan “empat sehat lima

sempurna” dengan pedoman gizi seimbang. Pertama, susunan makanan yang

terdiri atas empat kelompok belum tentu sehat, bergantung pada porsi dan jenis zat gizinya apakah telah sesuai dengan kebutuhan sedangkan PGS, selain jenis makanan ditekankan pula proporsi yang berbeda pada setiap kelompok. PGS juga mencakup aspek kebersihan makanan, aktivitas fisik, dan kaitannya dengan pola hidup sehat yang lain. Kedua, susu bukan makanan sempurna. Susu adalah sumber protein hewani yang juga terdapat pada telur, ikan dan daging. Oleh karena itu, susu ditempatkan dalam satu kelompok dengan sumber protein hewani yang lain. Ketiga, slogan “empat sehat lima sempurna”yang dipopulerkan oleh Bapak Gizi Indonesia Prof. Poerwo Soedarmo dan dianggap relevan pada zamannya, sejak tahun 1990-an dianggap tak sesuai lagi dengan perkembangan iptek gizi (Yayasan Institut Danone 2010).

(23)

sumber karbohidrat setengah dari kebutuhan energi; (4) batasi konsumsi lemak dan minyak sampai seperempat dari kebutuhan energi; (5) gunakan garam beryodium; (6) makanlah makanan sumber zat besi; (7) berikan ASI saja kepada bayi sampai umur enam bulan dan tambahkan MP-ASI sesudahnya; (8) biasakan makan pagi; (9) minumlah air bersih yang aman dan cukup jumlahnya; (10) lakukan aktivitas fisik secara teratur; (11) hindari minum minuman berakohol; (12) makanlah makanan yang aman bagi kesehatan; dan (13) bacalah label makanan yang dikemas (Depkes 2005).

Berdasarkan Undang-undang Republik Indonesia Nomor 18 Tahun 2012 tentang Pangan, pasal 60 sampai 62 menjelaskan bahwa penganekaragaman konsumsi pangan diarahkan untuk meningkatkan kesadaran masyarakat dan membudayakan pola konsumsi pangan yang beragam, bergizi seimbang, dan aman serta sesuai dengan potensi dan kearifan lokal yang dilakukan melalui peningkatan pengetahuan dan kesadaran masyarakat untuk mengonsumsi aneka ragam pangan dengan prinsip gizi seimbang. Tercapainya penganekaragaman konsumsi Pangan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 60 diukur melalui pencapaian nilai komposisi pola pangan dan gizi seimbang. Gizi seimbang yang dimaksud dalam UU Kesehatan No 36 Tahun 2009 didefinisikan sebagai asupan gizi sesuai kebutuhan seseorang untuk mencegah risiko gizi lebih dan gizi kurang. Hasil analisis Riskesdas 2010 menyatakan bahwa masalah gizi yang ada di masyarakat berkaitan dengan masalah asupan zat gizi yang tidak seimbang. Kontribusi konsumsi karbohidrat terhadap konsumsi energi adalah 61%, sedikit diatas angka yang dianjurkan PUGS. Kontribusi protein terhadap konsumsi energi hanya 13.3% dan kontribusi konsumsi lemak terhadap energi sebesar 25.6% (lebih dari anjuran PUGS).

Indeks Gizi Seimbang

Saat ini belum terdapat alat ukur gizi seimbang secara spesifik, khususnya di Indonesia. Beberapa alat ukur kualitas diet yang telah dikembangkan hingga saat ini, yaitu Mutu Gizi Konsumsi Pangan (MGP), Indeks Keragaman Makanan, Pola Pangan Harapan (PPH), dan Healthy Eating Index (HEI) dari beberapa negara.

Mutu Gizi Konsumsi Pangan (MGP)

Berdasarkan UU No. 18 Tahun 2012, pangan adalah segala sesuatu yang berasal dari sumber hayati produk pertanian, perkebunan, kehutanan, perikanan, peternakan, perairan, dan air, baik yang diolah maupun tidak diolah yang diperuntukkan sebagai makanan atau minuman bagi konsumsi manusia, termasuk bahan tambahan pangan, bahan baku pangan, dan bahan lainnya yang digunakan dalam proses penyiapan, pengolahan, dan/atau pembuatan makanan atau minuman. Mutu pangan adalah nilai yang ditentukan atas dasar kriteria keamanan dan kandungan gizi pangan.

(24)

yaitu persentase asupan zat gizi terhadap kecukupan atau kebutuhannya. Kandungan gizi pangan merupakan salah satu ukuran mutu gizi pangan. Perhitungan kandungan gizi pangan dilakukan dengan menggunakan Daftar Komposisi Bahan Makanan (DKBM) yang menunjukkan berbagai kandungan zat gizi dari bahan pangan dalam 100 g bagian yang dapat dimakan (BDD). Asupan zat gizi tertentu per hari yang diperoleh dari mengonsumsi aneka makanan adalah penjumlahan dari zat gizi yang sama yang diperoleh dari aneka makanan tersebut (Hardinsyah & Atmojo 2000). Konsep serupa juga digunakan oleh Jadhav dan Vali (2010) dalam mengukur mutu gizi pangan/kombinasi beberapa pangan yang dinyatakan sebagai rasio asupan zat gizi terhadap kebutuhan/kecukupan zat gizi.

Setelah diperoleh kandungan zat gizi tertentu dalam bahan pangan, kemudian dihitung tingkat kecukupan zat gizi tersebut. Penggunaan nilai tingkat kecukupan gizi lebih rasional dan mudah digunakan untuk menghitung mutu gizi makanan (Hardinsyah & Atmojo 2000). Selanjutnya perhitungan MGP dapat dilakukan dengan menggunakan rumus sebagai berikut :

MGP = Keterangan :

MGP = Mutu Gizi Pangan

TKGi = Tingkat kecukupan zat gizi ke-i, yaitu (konsumsi zat gizi ke-i/kecukupan zat gizi ke-i) x 100

n = Jumlah zat gizi yang dipertimbangkan dalam penilaian MGP

Hardinsyah (1998) mengembangkan sistem skor makanan untuk penilaian mutu gizi makanan (MGM) ibu hamil dan anak batita secara cepat dan sederhana di masyarakat. Studi tersebut menunjukkan bahwa dari empat alternatif skor makanan, terpilih SM63 yang terdiri dari enam kelompok pangan utama (makanan pokok, pangan hewani, tahu dan tempe, sayur, buah, dan susu) dan tiga tingkat skor (nol, satu, dan dua) sebagai skor makanan paling sederhana dan valid sebagai penduga sederhana MGM pada ibu hamil dan batita.

Penilaian MGP memiliki keunggulan dari segi gizi dan statistik, yaitu karena zat gizi di dalam tubuh digunakan secara interaktif bukan secara parsial, sehingga cara ini dapat menghasilkan satu nilai yang dengan mudah dapat dibandingkan dan dianalisis. Selain itu, MGP yang merupakan peubah kontinyu dapat menghasilkan nilai rataan, median, dan standar deviasi, serta dapat digunakan pada analisis regresi. Sementara itu, terdapat dua hal yang harus dipertimbangkan dalam penilaian MGP, yaitu jumlah dan jenis zat gizi yang perlu dipertimbangkan serta metode pengumpulan data konsumsi pangan yang sebaiknya digunakan (Hardinsyah & Atmojo 2000).

Indeks Keragaman Makanan

(25)

kaya vitamin A; umbi-umbian; sayuran berdaun hijau; sayuran lain; buah kaya vitamin A; buah lain; organ meat; flesh meat; telur; ikan; kacang-kacangan; susu dan produk susu; minyak dan lemak (FAO 2007).

Drescher et al. (2007) mengembangkan indikator keragaman makanan sehat yang mempertimbangkan tiga aspek penting, yaitu jumlah, distribusi, dan nilai kesehatan makanan yang dikonsumsi. Aspek keragaman makanan secara internasional diterima sebagai rekomendasi untuk diet yang sehat, karena dihubungkan dengan dampak kesehatan yang positif seperti mengurangi kejadian kanker atau mortalitas. Pengukuran keragaman makanan dalam konsumsi individu membutuhkan alat ukur yang tepat. Ukuran kuantitatif yang menghitung jumlah jenis makanan dan kelompok pangan yang dikonsumsi sering diterapkan. Perbandingan dengan Berry-Index dan Count-Index menunjukkan bahwa Healthy Food Diversity lebih sesuai untuk merefleksikan keragaman makanan yang sehat.

Ukuran untuk mengevaluasi keragaman yang meliputi distribusi jenis makanan berbeda adalah Berry-Index. Indeks ini diterapkan terutama dalam studi keragaman pangan ekonomi. Katanoda et al. (2006)menerapkan Berry-Index atau Simpson-Index untuk mengukur keragaman diet dan perubahan per tahunnya di Jepang. Berry-Index (BI) didefinisikan sebagai 1-∑si2, dimana si adalah

pembagian produk i dalam jumlah total makanan yang dikonsumsi. Nilai indeks berkisar dari 0 hingga 1-1/n, sehingga BI = 0 mengindikasikan individu hanya mengonsumsi 1 produk makanan dan BI = 1-1/n menggambarkan situasi individu mengonsumsi pembagian yang sama dari semua produk. Nilai indeks tertinggi didefinisikan sebagai individu mengonsumsi pembagian kelompok pangan yang direkomendasikan.

Pengembangan keragaman makanan sehat didasarkan pada Berry-Index sehingga indeks akan meningkat jika distribusi makanan terdiri atas produk yang lebih sehat. Berdasarkan piramida makanan, pembagian ini dibagi menjadi tiga kelompok, yaitu 73% makanan nabati, 25% makanan hewani, serta 2% lemak dan minyak. Konstruksi akhir dari indeks keragaman makanan sehat diperoleh dengan mengkombinasikan health value (hv = ∑hfi . si) dan keragaman makanan BI =

(1-∑si2). Healthy Food Diversity (HFD)-Index didefinisikan sebagai HFD = (1-∑si2) hv.

Penetapan American food guidelines (MyPyramid) sebagai dasar penyusunan HFD-Index akan memberikan hasil yang lebih baik karena memberikan perhatian pada produk susu rendah lemak. Pengembangan indikator keragaman makanan sehat bergantung pada pedoman gizi yang digunakan untuk distribusi makanan yang optimal (Drescher et al. 2007).

(26)

keragaman berfokus pada penghitungan kelompok dan sub-kelompok makanan berbeda, tetapi distribusi kuantitas makanan tersebut tidak diperhitungkan.

Pola Pangan Harapan (PPH)

Pendekatan yang dikenal selama ini untuk perencanaan penyediaan pangan dalam pembangunan pangan ada dua macam, yaitu pendekatan kecenderungan (trend) konsumsi/permintaan dan pendekatan kecenderungan produksi. Salah satu pendekatan yang dapat digunakan untuk menganalisis situasi ketersediaan maupun konsumsi pangan wilayah adalah analisis pola pangan harapan (PPH). Menurut FAO-RAPA (1989) diacu dalam Hardinsyah et al. (2002), PPH (Desirable Dietary Pattern) adalah komposisi kelompok pangan utama yang bila dikonsumsi dapat memenuhi kebutuhan energi dan zat gizi lainnya. PPH pertama kali diperkenalkan oleh FAO-RAPA pada tahun 1988, yang kemudian dikembangkan oleh Departemen Pertanian Republik Indonesia. Dengan pendekatan PPH dapat dinilai mutu pangan penduduk berdasarkan skor pangannya (dietary score). Semakin tinggi skor mutu pangan, menunjukkan situasi pangan yang semakin beragam dan semakin baik komposisi dan mutu gizinya. Secara umum rumus yang digunakan untuk menghitung skor PPH adalah sebagai berikut:

SPPH = ∑ (TKEi x Ri)

Keterangan :

SPPH = Skor Pola Pangan Harapan

TKEi = Tingkat kecukupan energi (%) kelompok pangan ke-i Ri = Rating untuk kelompok pangan ke-i

Tujuan PPH adalah untuk menghasilkan suatu komposisi norma (standar) pangan untuk memenuhi kebutuhan gizi penduduk, sekaligus juga mempertimbangkan keseimbangan gizi (nutritional balance) yang didukung oleh cita rasa (palatability), daya cerna (digestibility), daya terima masyarakat (acceptability), kualitas dan kemampuan daya beli (affortability). PPH berguna sebagai instrumen sederhana untuk menilai situasi ketersediaan konsumsi pangan berupa jumlah dan komposisi pangan menurut jenis pangan secara agregat. PPH dapat digunakan untuk perencanaan konsumsi dan ketersediaan pangan (Hardinsyah et al. 2002). Sejumlah golongan bahan makanan yang tersusun secara seimbang akan mampu memenuhi kebutuhan zat gizi. Golongan pangan tersebut mencakup:

1. Padi-padian, meliputi beras, jagung, terigu, dan hasil olahannya.

2. Umbi-umbian atau pangan berpati, meliputi ubi kayu, ubi jalar, kentang, talas, sagu, dan hasil olahannya.

3. Pangan hewani, meliputi ikan, daging, telur, susu, dan hasil olahannya. 4. Minyak dan lemak, meliputi minyak kelapa, minyak jagung, minyak

goreng/kelapa sawit, dan margarine.

5. Buah dan biji berminyak, meliputi mete, kelapa, kenari, kemiri, dan cokelat.

6. Kacang-kacangan, meliputi kacang kedelai, kacang tanah, kacang tunggak, kacang polong, kacang merah, kacang hijau, dan kacang lainnya.

7. Gula, meliputi gula pasir, gula merah/mangkok, dan sirup.

(27)

Di Indonesia, PPH telah digunakan sebagai basis perencanaan dan penilaian kecukupan gizi seimbang pada tingkat makro seperti pada tingkat negara atau wilayah. Skor PPH juga telah dimasukkan dalam kebijakan pembangunan pangan sebagai salah satu indikator output pembangunan pangan termasuk evaluasi penyediaan pangan dan diversifikasi pangan. PPH memiliki keunggulan, diantaranya: direkayasa sesuai perilaku konsumen dan produsen, sangat relevan dengan tujuan ketahanan pangan, sesuai anjuran mutu gizi, memenuhi diversifikasi pangan dan gizi, relatif mudah, dan terdapat keseimbangan antarkelompok pangan (Hardinsyah et al. 2002).

Healty Eating Index (HEI)

Healty Eating Index (HEI) adalah instrumen yang digunakan untuk menilai kualitas diet secara menyeluruh dan memonitor pola konsumsi pangan. HEI merupakan alat ukur yang pertama kali dikembangkan oleh Center for Nutrition Policy and Promotion USDA untuk mengukur kepatuhan konsumsi panganyang dihubungkan dengan angka kecukupan gizi berdasarkan piramida makanan (USDA-CNPP 1995). Beberapa negara yang telah membuat HEI adalah Amerika, Australia, dan Thailand. Indeks tersebut memiliki ciri masing-masing, menyangkut jumlah dan jenis komponen yang diukur, serta pemberian skor pada masing-masing komponen.

1. HEI Amerika

HEI-1995 adalah HEI pertama yang dibuat pada tahun 1995 oleh USDA-CNPP dengan menggunakan pedoman Dietary Guidelines for Americans. Kegunaan dari HEI-1995 ini adalah untuk memonitor perubahan diet Amerika dan mengukur kesesuaian diet Amerika dengan rekomendasi pola makan sehat. HEI terdiri atas 10 komponen (Gambar 2) yaitu lima komponen pertama berdasarkan lima kelompok pangan utama pada USDA Food Guide Pyramid 1992 yaitu serealia, buah-buahan, sayuran, daging dan susu. Komponen ke-enam sampai dengan 10 berdasarkan aspek yang tercantum dalam Dietary Guidelines for American tahun 1995 yaitu lemak total, lemak jenuh, kolesterol, sodium dan keragaman (USDA-CNPP 1995). Tabel 1 menunjukkan komponen HEI-1995 dan skor masing-masing komponen

Gambar 2 Komponen HEI-1995

(28)

memasukkan minyak dan SoFAAS (solid fat, alcohol, and added sugar), dan skor ditentukan berdasarkan jumlah absolut(USDA-CNPP 1995).

Tabel 1 Komponen HEI-1995 dan skor masing-masing komponen

No Komponen

Skor

0 5 8 10

Poin

1 Buah 0 2-4 takaran saji

(sekitar 1-2 gelas)

2 Sayur 0 3-5 takaran saji

(sekitar 1.5-2.5 gelas)

3 Serealia 0 6-11 takaran saji

(sekitar 6-11 oz eq)

4 Susu 0 2-3 takaran saji (2-3

gelas) 5 Daging (dan

kacang-kacangan)

0 2-3 takaran saji

(sekitar 5.5-7.0 oz eq)

6 Natrium ≥ 4.8 ≤ 2.4 g

7 Lemak jenuh ≥ 15 ≤ 10% energi

8 Lemak total ≥ 45 ≤ 30% energi

9 Kolesterol ≥ 450 ≤ 300 mg

10 Keragaman ≤ 6 ≥ 16 makanan

berbeda selama 3 hari HEI-2005 merupakan revisi dari HEI-1995 sehubungan dengan munculnya Dietary Guidelines 2005 di Amerika. Revisi ini meliputi peningkatan aspek-aspek penting dalam kualitas diet, seperti whole grains, berbagai jenis sayuran, jenis spesifik lemak, dan pengenalan konsep discretionary calories. Tujuan dari pengembangan HEI ini adalah mengembangkan alat ukur yang memiliki kesesuaian dengan rekomendasi diet yaitu Dietary Guidelines for Americans 2005 (Guenther et al. 2007).

(29)

Tabel 2 Komponen HEI-2005 dan skor masing-masing komponen

No Komponen

Skor

0 5 8 10 20

Poin 1 Total buah 0 ≥ 0.8 gelas eq/1000 Kal 2 Buah utuh 0 ≥ 0.4 gelas eq/1000 Kal 3 Total sayur 0 ≥ 1.1 gelas eq/1000 Kal 4 Sayuran berdaun

hijau dan orange, serta legumes

0 ≥ 0.4 gelas eq/1000 Kal

5 Total serealia 0 ≥ 3.0 oz eq/1000 Kal 6 Serealia utuh 0 ≥ 1.5 oz eq/1000 Kal

7 Susu 0 ≥ 1.3 gelas eq/1000 Kal 8 Daging dan

kacang-kacangan

0 ≥ 2.5 oz eq/1000 Kal 9 Minyak 0 ≥ 12 g/1000 Kal 10 Lemak jenuh ≥ 15 10 ≤ 7% energi 11 Sodium ≥ 2.0 1.1 ≤ 0.7 g/1000 Kal 12 Kalori dari SoFAAS ≥ 50 ≤20% energi

Kelebihan dari HEI-2005 ini adalah menggunakan pedoman Dietary Guidelines for Americans 2005, skor ditentukan berdasarkan densitas energi (per 1000 Kal), memasukkan konsumsi bahan pangan yang tinggi energi dan rendah zat gizi mikro, menekankan pada aspek diet amerika yang jauh dari rekomendasi, dan dapat digunakan untuk wanita hamil dan menyusui. Sementara itu, kekurangannya adalah tidak dapat digunakan untuk anak dibawah dua tahun; validitas untuk kelompok etnik dan budaya tertentu berbeda dengan amerika; tidak memenuhi RDA vitamin E dan AI Potasium; tidak mengukur pemenuhan terhadap MyPiramid; EAR lebih cocok digunakan untuk HEI; kebutuhan Fe dan Ca untuk kelompok usia dan jenis kelamin tertentu meningkat meskipun kebutuhan energinya lebih rendah; tidak menunjukkan kelebihan asupan pada kelompok pangan; tidak mengukur lemak total, lemak trans, dan kolesterol; tidak menekankan pentingnya PUFA dan MUFA di dalam minyak; serta tidak memasukkan pengaturan berat badan ideal, aktivitas fisik, dan keamanan pangan (Guenther et al. 2007).

2. HEI Australia

(30)

Tabel 3 Komponen Aust-HEI dan skor masing-masing komponen No Komponen Kriteria untuk skor

maksimum

FFQ = food frequency questionnaire; SDQ = short dietary questions

Aust-HEI memiliki fokus terhadap pilihan diet dan perilaku sehat yang relevan dengan penyakit kronis (keragaman diet, konsumsi sayur dan buah, dan asupan lemak). Aust-HEI juga menggambarkan rekomendasi Dietary Guidelines for Australian Adults (NHMRC 2003) yang meliputi: konsumsi makanan bergizi yang beraneka ragam (sayuran, legumes, dan buah; sereal diutamakan sereal utuh, termasuk roti, beras, pasta, dan mi; daging merah, ikan, unggas, dan/atau alternatif; susu, yoghurt, keju, dan/atau alternatif diutamakan rendah lemak; air) serta batasi asupan lemak jenuh dan lemak total, konsumsi alkohol, konsumsi gula dan makanan dengan gula tambahan, pilih makanan rendah garam, hindari penambahan berat badan, simpan dan siapkan makanan dengan aman, dan dukung pemberian ASI.

(31)

3. HEI Thailand

The Healthy Eating Index for Thais (THEI) dikembangkan sebagai alat ukur penting yang mengukur status dietary masyarakat Thailand dan memonitor perubahan dalam pola konsumsi pangan untuk memenuhi tujuan gizi dan mempelajari kualitas diet secara keseluruhan. Indeks ini mengukur kesesuaian diet masyarakat Thailand dengan rekomendasi Food Guide Thailand Nutrition Flag. THEI terdiri atas 11 komponen yang masing-masing merepresentasikan aspek diet sehat yang berbeda-beda (Taechangam et al. 2008). Komponen dari THEI dapat dilihat pada Tabel 4

Tabel 4 Komponen THEI dan skor masing-masing komponen No Komponen Kisaran Komponen 1-5 mengukur tingkat kesesuaian diet dengan rekomendasi untuk lima kelompok pangan yang ada di dalam Thailand Nutrition Flag; komponen 6, 7, dan 8 mengukur asupan lemak total, lemak jenuh, dan gula tambahan; komponen 9 dan 10 mengukur asupan total kolesterol dan sodium; dan komponen 11 mengukur keragaman diet. Masing-masing dari 11 komponen memiliki skor yang berkisar dari 0-10, sehingga total skor adalah 110. Skor rata-rata THEI Thailand mengindikasikan bahwa diet Thailand perlu ditingkatkan. THEI dapat dijadikan sebagai dasar dalam melakukan promosi dan pendidikan gizi (Taechangam et al. 2008).

(32)

berdasarkan “total” dan “whole” dan penghitungan skor tidak didasarkan pada

densitas energi (Taechangam et al. 2008).

Prinsip Pengembangan HEI

Pengelompokan

Nurdiani (2011) dalam penelitiannya berjudul “Analisis Penyelenggaraan

Makan di Sekolah dan Kualitas Menu bagi Siswa Sekolah Dasar di Bogor” sebelumnya telah mengembangkan Indonesian Healthy Eating Index (I-HEI) secara sederhana yang didasarkan pada PUGS untuk anak berusia 10-12 tahun. Komponen dari I-HEI tersebut terdiri dari: sumber pangan karbohidrat, sayuran, buah-buahan, protein hewani, protein nabati, total lemak, total garam, total gula, Fe/zat besi, dan keragaman.

Hurley et al. (2009) mengembangkan The Youth HEI (YHEI) yang mengadopsi HEI untuk digunakan pada anak dan remaja. Seperti halnya pada HEI, skor total YHEI bekisar antara 0-100 dengan skor tertinggi mengindikasikan kualitas diet yang lebih baik. YHEI terdiri dari 13 komponen (komponen 1-7 memiliki skor 0-10, komponen 8-13 memiliki skor 0-5), yaitu sereal utuh;sayur; buah; susu; protein hewani; makanan snack yang tinggi gula atau garam; minuman manis; multivitamin; margarin dan mentega; makanan gorengan dari luar rumah; lemak visible pada daging; sarapan; dan makan malam.

Alternate Healthy Eating Index (AHEI) memiliki skor yang didasarkan pada sembilan komponen, yaitu sayur, buah, kacang dan kedelai, daging merah atau putih, lemak trans, lemak jenuh atau tidak jenuh, serat, multivitamin, dan alkohol. Masing-masing komponen memiliki skor sebesar 0-10 poin, kecuali untuk multivitamin dengan skor 2.5-7.5 poin. Total skor AHEI adalah 2.5 sampai 87.5 dengan skor tertinggi merefleksikan diet yang lebih sehat (McCullough et al. 2002).

Scoring System

(33)

Skor lemak jenuh (junk food) didasarkan pada konsumsi makanan tinggi lemak (Australian Institute of Health and Welfare 2007).

Faktor-faktor yang Berhubungan dengan HEI

Penilaian kualitas diet pada orang Amerika tahun 1994-1996 dan 2001-2002 dengan menggunakan HEI-2005 menunjukkan skor yang masih di bawah nilai maksimum untuk seluruh komponen, kecuali total serealia, daging dan kacang-kacangan. Komponen yang memiliki skor terendah meliputi serealia utuh; sayuran berwarna hijau gelap dan orange serta legumes; sodium; dan kalori dari SoFAAS (USDA-CNPP 2007). Studi mengenai skor total HEI-2005 pada dewasa berusia di atas 20 tahun di Amerika menunjukkan bahwa orang dewasa di Amerika memiliki skor HEI-2005 di bawah skor maksimum, kecuali untuk total serealia dan daging dan kacang-kacangan. Kelompok wanita dewasa dan yang berusia lebih tua lebih memenuhi rekomendasi Dietary Guidelines for Americans 2005 untuk komponen buah dan sayur, serta discretionary calories, dan memiliki skor kualitas diet secara keseluruhan yang lebih tinggi dibandingkan kelompok lainnya. Kelompok dewasa yang memiliki tingkat pendidikan yang tinggi juga lebih mendekati rekomendasi dibandingkan dewasa dengan pendidikan yang rendah. Hasil studi di atas menunjukkan bahwa karakteristik sosial demografi mempengaruhi pemilihan makanan dan keseluruhan kualitas diet (Ervin 2011).

Exebio et al. (2011) dalam penelitiannya mengenai skor HEI-2005 dihubungkan dengan gejala depresi pada subjek Cuban-Amerika membuktikan bahwa pria dengan diabetes tipe 2 dan wanita tanpa diabetes tipe 2 dengan kualitas diet yang rendah memiliki gejala depresi yang lebih tinggi. Hurley et al. (2009) dalam penelitiannya menunjukkan wanita (64.47±11.70) memiliki skor HEI yang lebih tinggi dibandingkan pria (61.15±11.61). Skor HEI dihubungkan dengan asupan mikronutrien dan total energi yang tinggi. Selain itu, skor HEI yang rendah dihubungkan dengan tingginya persentase lemak tubuh/abdominal dan tidak berhubungan dengan IMT. Sementara itu, Gao et al. (2008) dalam penelitiannya menunjukkan bahwa HEI-2005 dapat memprediksi kejadian obesitas pada populasi multi-etnis. Louzada et al. (2012) juga menunjukkan bahwa status perkawinan memiliki hubungan dengan Healthy Eating Index (individu yang menikah memiliki kualitas diet yang lebih baik). Penelitian McCabe-Sellers et al. (2007) menunjukkan bahwa faktor sosial ekonomi, seperti usia, ras, dan pendapatan mempengaruhi kualitas diet orang dewasa di Amerika.

(34)
(35)

KERANGKA PEMIKIRAN

Penyusunan Indeks Gizi Seimbang didasarkan pada metode yang dilakukan oleh Hardinsyah (1996). Tahap pertama adalah formulasi konsep dan tujuan penilaian kualitas diet dengan Indeks Gizi Seimbang pada wanita dewasa. Konsep gizi seimbang yang dijabarkan di dalam pedoman gizi seimbang (PGS) Indonesia diperoleh melalui studi literatur. PUGS memuat 13 pesan dasar yang diharapkan dapat digunakan masyarakat sebagai pedoman untuk mengatur makanan sehari-hari yang seimbang dan aman guna mencapai dan mempertahankan status gizi dan kesehatan yang optimal. Studi literatur juga dilakukan terhadap pengukuran gizi seimbang yang sudah ada, yaitu mutu gizi pangan (MGP), indeks keragaman makanan, dan pola pangan harapan (PPH) di Indonesia, serta healthy eating index (HEI) di Amerika, Australia, dan Thailand. Tahap selanjutnya adalah identifikasi kriteria, kelompok pangan, dan sistem skoring yang tepat. Setelah kelompok pangan sebagai komponen Indeks Gizi Seimbang berhasil dirumuskan, dilakukan formulasi sistem skoring dan pengujian validitas kriteria yang didasarkan pada MGP (Gambar 3).

(36)

Gambar 3 Kerangka pemikiran pengembangan Indeks Gizi Seimbang pada wanita dewasa Indonesia (modifikasi Hardinsyah 1996)

Formulasi konsep dan tujuan penilaian kualitas diet dengan Indeks Gizi Seimbang pada wanita

dewasa

Studi literatur pengukuran gizi seimbang yang sudah ada di Indonesia

A. Identifikasi kriteria yang

tepat B.

Identifikasi kelompok

pangan

C. Identifikasi konsep sistem

skoring

Formulasi kelompok pangan

Formulasi sistem skoring

Pengujian validitas kriteria

(37)

Gambar 4 Kerangka pemikiran faktor-faktor determinan Indeks Gizi Seimbang wanita dewasa Indonesia

Keterangan :

: variabel yang diteliti : variabel yang tidak diteliti

Karakteristik individu

Konsumsi Pangan

Asupan gizi makro dan mikro Kebutuhan gizi

Kualitas diet

Indeks Gizi Seimbang

Antropometri Komposisi tubuh

Penyakit degeneratif

Pedoman gizi seimbang

Konsumsi makanan beragam

sesuai kebutuhan

 Kebersihan

 Aktivitas fisik

(38)

METODE

Desain, Waktu, dan Tempat

Desain penelitian ini mengacu kepada Riset Kesehatan Dasar (Riskesdas) 2010, yaitu cross sectional. Penentuan validasi dilakukan dengan menggunakan data konsumsi pangan hasil Riskesdas 2010 yang dilakukan oleh Badan Penelitian dan Pengembangan Kesehatan Kementerian Kesehatan Republik Indonesia (Balitbangkes Kemenkes RI) (Lampiran 1). Pengumpulan data di beberapa daerah oleh tim pengumpul data Riskesdas dilakukan pada bulan Mei-Agustus 2010. Penelitian ini dilakukan pada bulan Juni-November 2013 di Kampus IPB Dramaga, Bogor, Jawa Barat.

Jumlah dan Cara Penarikan Subjek

Jumlah dan cara pengambilan subjek penelitian mengikuti jumlah dan cara pengambilan subjek Riskesdas 2010. Subjek Riskesdas 2010 di tingkat kabupaten/kota berasal dari 441 kabupaten/kota yang tersebar di 33 provinsi. Jumlah tersebut telah mengalami pengurangan dari jumlah keseluruhan kabupaten/kota di Indonesia (497 kabupaten/kota). Alasan pengurangan tersebut adalah terdapat kabupaten/kota yang tidak memenuhi syarat yang telah ditetapkan dan terdapat 1 kabupaten di Provinsi Papua (Kabupaten Nduga) yang tidak dapat dikunjungi dalam periode waktu pengumpulan data Riskesdas.

Populasi dalam Riskesdas 2010 adalah seluruh rumah tangga yang mewakili 33 provinsi di Indonesia. Sampel rumah tangga dalam Riskesdas 2010 dipilih berdasarkan listing Sensus Penduduk tahun 2010. Proses pemilihan rumah tangga dilakukan oleh Badan Pusat Statistik (BPS) dengan two stage sampling. Riskesdas memilih blok sensus yang telah dikumpulkan pada sensus penduduk 2010. Pemilihan blok sensus tersebut dilakukan sepenuhnya oleh BPS dengan memperhatikan status ekonomi dan rasio perkotaan/perdesaan. Blok sensus tersebut proporsional terhadap jumlah rumah tangga di kabupaten/kota tersebut. Blok sensus yang dipilih untuk kesehatan masyarakat adalah sebesar 2800 blok sensus dengan 70000 rumah tangga.

(39)

Gambar 5 Alur cleaning data subjek penelitian

Jenis dan Cara Pengumpulan Data

Data yang digunakan dalam penelitian ini seluruhnya merupakan data sekunder (Tabel 5). Pengumpulan data telah dilakukan oleh Kementrian Kesehatan melalui Riskesdas 2010 dengan cara pengumpulan data terlampir (Lampiran 1). Data diperoleh dalam bentuk electronic file dalam bentuk entry data dan hasil pengolahan Riskesdas 2010.

68486 orang wanita dewasa (19-55 tahun)

Subjek : 61759 orang wanita dewasa Cleaning data:

- IMT < 13 dan > 40 : 186 orang

- Asupan energi total < 0.3 dan > 0.3 dari Energi Metabolisme Bassal : 1472 orang

- Tingkat kecukupan zat gizi > 400% :13 orang

Cleaning data:

- Tidak ada data berat badan : 127 orang

- Tidak ada data tinggi badan: 8 orang

- Tidak ada data status kehamilan : 1260 orang - Tidak ada data konsumsi

pangan : 101 orang Kriteria eksklusi: - Hamil : 2393 orang

- Kondisi konsumsi tidak biasa (hajatan, hari raya, puasa, sakit, dan diet) : 1167 orang

(40)

Tabel 5 Jenis dan cara pengumpulan data

Peubah Keterangan Cara pengumpulan data

Karakteristik subjek m dan ketelitian 0.1 cm) Konsumsi pangan

Pengolahan dan analisis data dilakukan menggunakan program komputer. Proses cleaning dilakukan untuk memastikan data yang digunakan logis dan sesuai dengan variabel yang ditentukan. Penyusunan Indeks Gizi Seimbang dilakukan melalui tahapan identifikasi konsep gizi seimbang, pengelompokan pangan dan zat gizi, identifikasi scoring system, serta pengujian validitas. Indeks Gizi Seimbang disusun dari komponen-komponen yang mencerminkan kualitas diet dan pola konsumsi pangan. Analisis faktor-faktor determinan IGS pada wanita dewasa Indonesia dilakukan dengan regresi logistik.

Karakteristik subjek

(41)

Daerah tempat tinggal subjek dikelompokkan menjadi perkotaan dan perdesaan. Status kawin dikelompokkan menjadi kawin dan tidak kawin. Usia dikelompokkan menjadi tiga kelompok, yaitu: 19-29 tahun, 30-49 tahun, dan 50-55 tahun. Status hamil dikelompokkan menjadi hamil dan tidak hamil. Pendidikan subjek dikelompokkan menjadi tiga kelompok, yaitu: tidak tamat/tamat SD/MI, tamat SLTP/MTS, dan tamat SMA/MA/PT (Perguruan Tinggi). Pekerjaan subjek dikelompokkan menjadi enam kelompok, yaitu: tidak bekerja, sekolah, TNI/Polri/PNS/Pegawai, wiraswasta/layanan jasa/dagang, petani/nelayan/buruh, dan lainnya. Status ekonomi dikelompokkan menurut kuintil yang didasarkan pada besar pengeluaran keluarga per kapita setiap bulannya.

Status gizi

Data status gizi merupakan hasil olahan dari data berat badan dan tinggi badan dengan menggunakan rumus

IMT =

Pengkategorian status gizi dilakukan berdasarkan WHO (2007) yang dapat dilihat pada Tabel 6.

Tabel 6 Kategori status gizi dewasa berdasarkan IMT

Status gizi IMT (kg/m2)

Kurus (Underweight) < 18.5

Normal 18.5-24.9

Gemuk (Overweight) ≥ 25.0

Kebutuhan zat gizi

Kebutuhan energi dihitung berdasarkan rumus perhitungan kebutuhan energi dari Institute of Medicine (IOM) tahun 2002 dalam Mahan dan Escoot-stump (2008) yang didasarkan pada oxford equation (Tabel 7). Perhitungan kebutuhan energi subjek disesuaikan dengan status gizi, usia, faktor aktivitas, berat badan dan tinggi badan berdasarkan Total Energy Expenditure (TEE) yang dikoreksi dengan Thermic Effect of Food (TEF). TEF adalah peningkatan pengeluaran energi yang berhubungan dengan konsumsi pangan. Besarnya nilai TEF dihitung dari total pengeluaran energi yaitu sebesar 10% dari TEE. Berat badan aktual digunakan untuk subjek yang berstatus gizi normal dan berat badan estimasi IMT = 24.9 kg/m2 untuk subjek yang berstatus gizi gemuk.

(42)

Tabel 7 Perhitungan kebutuhan energi wanita dewasa menurut status gizi

Rumus perhitungan kebutuhan energi Kebutuhan

energi (Kal) Status gizi normal

EER = TEE

TEE = 354 – (6.91xU) + PA x (9.36xBB+726xTB) Keterangan:

PA = 1.0 (sangat ringan) PA = 1.12 (ringan)

PA = 1.27 (aktif)

PA = 1.45 (sangat aktif) TEE + 10%

TEE Status gizi gemuk

EER = TEE

TEE = 448 – (7.95xU) + PA x (11.4xBB+619xTB) Keterangan:

PA = 1.0 (sangat ringan) PA = 1.16 (ringan) PA = 1.27 (aktif) PA = 1.44 (sangat aktif)

Sumber: Mahan dan Escoot-stump (2008) Keterangan:

U = usia (tahun), BB = berat badan (kg), TB = tinggi badan (m) EER = Estimated Energi Requirement (estimasi kebutuhan energi) (Kal) TEE = Total Energi Expenditure (total pengeluaran energi) (Kal)

PA = koefisien aktivitas fisik

Kebutuhan protein dihitung berdasarkan formula estimasi Angka Kecukupan Protein (AKP) dalam WNPG 2012 sesuai dengan kelompok usia. Kebutuhan protein dihitung sesuai dengan berat badan subjek dan dikoreksi dengan faktor koreksi mutu protein sebesar 1.3 (WNPG 2012). Berikut adalah penghitungan kebutuhan protein:

Kebutuhan protein = (AKP x BB) x faktor koreksi mutu protein Keterangan:

AKP = Angka kecukupan protein (g/kgBB/hari) (0.8/kg BB) BB = Berat badan aktual (kg)

Faktor koreksi mutu protein = 1.3

Kebutuhan lemak dihitung sebesar 30% dari kebutuhan energi untuk wanita berusia 19-55 tahun. Sementara itu, proporsi lemak jenuh adalah 10% dari kebutuhan energi. Setelah diperoleh kebutuhan energi, protein, dan lemak, kebutuhan karbohidrat dihitung berdasarkan selisih antara kebutuhan energi total dengan kebutuhan energi dari protein dan lemak yang dijelaskan sebagai berikut:

(43)

Kecukupan total serat pangan dan air pada dewasa adalah 14 g/1000 Kal dan 2300 ml. Anjuran konsumsi gula tambahan kurang dari 10% kebutuhan energi mengacu pada WHO (2003). Sementara itu, AHA (2000) dan WHO (2012) merekomendasikan asupan kolesterol dan natrium pada dewasa kurang dari 300 mg/hari dan 2000 mg/hari. Kebutuhan zat gizi mikro subjek diacu berdasarkan Angka Kecukupan Gizi (AKG) 2012 (WNPG 2012). Angka kecukupan gizi pada wanita dewasa usia 19-55 tahun disajikan pada Tabel 8. Kebutuhan gizi subjek dalam studi ini terlampir pada Lampiran 2.

Tabel 8 Angka kecukupan zat gizi wanita dewasa berdasarkan usia Kelompok usia Vit A

Asupan gizi dan tingkat kecukupan gizi

Kandungan zat gizi pangan yang dikonsumsi dihitung dengan menggunakan Daftar Komposisi Bahan Makanan (DKBM) Singapura dan Riskesdas yang dihitung berdasarkan jenis dan jumlah bahan pangan dalam g/URT yang dikonsumsi subjek. Perhitungan kandungan zat gizi tersebut digunakan untuk menghitung tingkat kecukupan masing-masing zat gizi (Hardinsyah & Briawan 1994) sebagai berikut:

Keterangan :

KGij = Kandungan zat gizi-i dalam bahan makanan-j Bj = Berat bahan makanan-j yang dikonsumsi (g)

Gij = Kandungan zat gizi-i dalam 100 g bahan makanan-j BDDj = % bahan makanan-j yang dapat dimakan

Setelah dilakukan perhitungan asupan zat gizi, selanjutnya dapat dilakukan perhitungan tingkat kecukupan zat gizi sebagai berikut:

Tingkat kecukupan zat gizi (%) = Asupan zat gizi x 100% Kebutuhan zat gizi

Mutu gizi konsumsi pangan (MGP)

Penghitungan MGP pada studi ini menggunakan 16 zat gizi, yaitu: energi, protein, lemak, karbohidrat, serat, air, vitamin A, vitamin B1, vitamin B2, vitamin C, natrium, kalsium, besi, fosfor, kalium dan zink. Penilaian MGP menggunakan metode rata-rata tingkat kecukupan gizi (Hardinsyah & Atmojo 2000). MGP selanjutnya dijadikan sebagai baku (gold standard) untuk menguji validitas IGS. Secara umum rumus yang digunakan untuk penilaian MGP adalah sebagai berikut

MGP =

(44)

Keterangan :

MGP = Mutu gizi konsumsi pangan

TKGi = Tingkat kecukupan zat gizi ke-i, yaitu (konsumsi zat gizi ke-i/kecukupan

zat gizi ke-i) x 100

n = Jumlah zat gizi yang dipertimbangkan dalam penilaian MGP

Dalam menghitung tingkat kecukupan gizi ke-i (TKGi), setiap nilai TKGi

bernilai maksimum 100 (truncated at 100) dengan alasan untuk meminimalkan kompensasi antara nilai TKGi yang rendah dan tinggi secara matematik, karena

secara biologis antar zat gizi yang berbeda tidak dapat saling substitusi melainkan saling berinteraksi. Setelah diperoleh nilai MGP, lebih lanjut nilai tersebut dikategorikan berdasarkan lima kategori, yaitu kategori < 40 tergolong buruk, 40-54 tergolong kurang, 55-69 tergolong sedang, 70-84 tergolong baik/cukup, dan ≥ 85 tergolong sangat baik.

Indeks gizi seimbang (IGS) Cara pengelompokan

Studi ini mengembangkan dua kategori skor IGS, yaitu tiga tingkat (nol, lima, dan 10) dan empat tingkat (nol, empat, tujuh, dan 10). Penentuan skor dengan cara proporsional sudah diuji coba dengan nilai korelasi IGS 3-60 terhadap MGP sebesar 0.67, sehingga penentuan skor dengan cara kategori lebih baik dibandingkan secara proporsional. Masing-masing sistem skor memiliki lima pengelompokan kelompok pangan, yaitu lima (pangan karbohidrat, sayur, buah, pangan hewani (selain susu) dan pangan protein nabati, dan susu); enam (pangan karbohidrat, sayur, buah, pangan hewani (selain susu), pangan protein nabati, dan susu); enam (pangan karbohidrat, sayur, buah, pangan hewani, pangan protein nabati, dan lemak total); delapan (pangan karbohidrat, sayur, buah, pangan hewani, pangan protein nabati, lemak total, lemak jenuh, dan gula tambahan); serta 10 (pangan karbohidrat, sayur, buah, pangan hewani, pangan protein nabati, lemak total, lemak jenuh, gula tambahan, kolesterol, dan natrium) (Tabel 9).

Tabel 9 Alternatif indeks gizi seimbang (IGS) No Indeks gizi

(45)

3-50, IGS 3-60, IGS 3-61, IGS 3-83, IGS 3-105, IGS 4-3-50, IGS 4-60, IGS 4-61, IGS 4-83, IGS 4-105. Angka pertama (tiga dan empat) menunjukkan jumlah tingkat skor; angka kedua menunjukkan jumlah kelompok pangan dan zat gizi; dan angka ketiga menunjukkan jumlah zat gizi. Misal IGS 3-50 adalah IGS berdasarkan tiga tingkat skor, lima kelompok pangan, dan tidak terdapat zat gizi. IGS 4-105 adalah IGS berdasarkan empat tingkat skor, 10 kelompok pangan dan zat gizi, dan terdapat lima komponen zat gizi (Tabel 10 dan 11).

Tabel 10 Penilaian indeks gizi seimbang berdasarkan tiga tingkat skor (IGS 3)

No Komponen Ukuran Keterangan: %-e = persentase kebutuhan energi

Tabel 11 Penilaian indeks gizi seimbang berdasarkan empat tingkat skor (IGS 4)

(46)

Kuantitas

Anjuran jumlah porsi kelompok pangan karbohidrat, pangan hewani, dan pangan protein nabati mengacu pada panduan PUGS yang dikeluarkan oleh Kemenkes RI (2002), dengan jumlah anjuran masing-masing yaitu: empat porsi, empat porsi, dan tiga porsi. Anjuran jumlah porsi konsumsi sayur dan buah mengacu pada hasil studi Nurhayati (2013), yaitu masing-masing berjumlah tiga porsi dan dua porsi. Anjuran proporsi energi dari lemak sebesar 30% mengacu pada Hardinsyah et al. (2013). Anjuran asupan lemak jenuh dan gula tambahan kurang dari 10% kebutuhan energi mengacu pada WHO (2003). Sementara itu, AHA (2000) dan WHO (2012) merekomendasikan asupan kolesterol dan natrium pada dewasa kurang dari 300 mg/hari dan 2000 mg/hari.

Skoring

Pemberian skor dilakukan terhadap kelompok pangan dan zat gizi yang menjadi komponen IGS. Konsumsi pangan dari lima kelompok pangan yang tinggi menghasilkan skor yang tinggi pula, sedangkan tingginya asupan zat gizi yang dibatasi menghasilkan skor yang rendah. Skor masing-masing komponen dirumuskan sama satu dengan yang lain (0-10) karena pertimbangan masing-masing komponen memiliki kontribusi yang sama terhadap kualitas diet dan kesehatan. Nilai indeks gizi seimbang yang dikembangkan berkisar antara 0-100. Semakin tinggi nilai indeksnya, menunjukkan semakin tinggi kualitas diet.

Validasi

Penetapan komponen Indeks Gizi Seimbang (Healthy Eating Index) dilakukan secara teoritis kemudian dilakukan analisis korelasi skor IGS dengan mutu gizi konsumsi pangan (MGP) menggunakan korelasi pearson. IGS yang valid dipilih jika memiliki nilai koefisien korelasi tertinggi dibandingkan alternatif IGS yang lainnya.

Definisi Operasional

Asupan zat gizi adalah jumlah zat gizi yang masuk ke dalam tubuh subjek yang berasal dari makanan dan minuman. Asupan zat gizi diperoleh melalui recall 1x24 jam dan diolah menggunakan DKBM.

Faktor determinan IGS adalah faktor-faktor yang mempengaruhi kualitas diet (diukur mengunakan IGS)

Gizi seimbang adalah gizi sesuai kebutuhan gizi subjek untuk mencegah risiko gizi lebih dan gizi kurang. Pedoman gizi seimbang dalam penelitian ini mengikuti PUGS Indonesia.

Healthy eating index adalah instrumen yang digunakan untuk menilai kualitas diet secara menyeluruh dan memonitor pola konsumsi pangan, serta mengukur kesesuaian konsumsi pangan dengan pedoman gizi seimbang. Indeks keragaman makanan adalah alat ukur untuk menentukan keragaman

Gambar

Tabel 1  Komponen HEI-1995 dan skor masing-masing komponen
Tabel 3  Komponen Aust-HEI dan skor masing-masing komponen
Tabel 4  Komponen THEI dan skor masing-masing komponen
Gambar 3  Kerangka pemikiran pengembangan Indeks Gizi Seimbang pada
+7

Referensi

Dokumen terkait