• Tidak ada hasil yang ditemukan

Kajian pengelolaan ekosistem mangrove pada kawasan hutan lindung di desa Dabong, Kecamatan Kubu, Kabupaten Kubu Raya, Kalimantan Barat

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2017

Membagikan "Kajian pengelolaan ekosistem mangrove pada kawasan hutan lindung di desa Dabong, Kecamatan Kubu, Kabupaten Kubu Raya, Kalimantan Barat"

Copied!
224
0
0

Teks penuh

(1)

KAJIAN PENGELOLAAN EKOSISTEM MANGROVE

PADA KAWASAN HUTAN LINDUNG DI DESA DABONG,

KECAMATAN KUBU, KABUPATEN KUBU RAYA,

KALIMANTAN BARAT

TEGUH SETYO NUGROHO

SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR

(2)

Dengan ini saya menyatakan bahwa tesis saya yang berjudul Kajian Pengelolaan Ekosistem Mangrove Pada Kawasan Hutan Lindung di Desa Dabong, Kecamatan Kubu, Kabupaten Kubu Raya, Kalimntan Barat adalah hasil karya saya sendiri dan belum diajukan dalam bentuk apapun kepada perguruan tinggi manapun. Sumber informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan maupun tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam daftar pustaka di bagian akhir tesis ini.

Bogor, Desember 2009

(3)

TEGUH SETYO NUGROHO, Management Study of Mangrove Ecosystem at Protected Forest Area in Dabong Village, Kubu District, Kubu Raya Regency, Province of West Kalimantan. Supervised by GATOT YULIANTO and ZAIRION.

The mangrove ecosystem in Dabong has been specified to become mangrove protected forest because having important role for life prop of coastal area and sea, but this is not fully can protect mangrove ecosystem from degradation due to some of mangrove areas has been converted to be shrimp ponds by local community. The study objective is to find alternatives policy for mangrove ecosystem management, so for the purpose need to be analysed mangrove condition; economics value of mangrove ecosystem and shrimp ponds; and institutional from mangrove ecosystem management. Data were obtained through sampling, field observation, respondent information, and bibliography study. Study result showed that already happened degradation of mangrove forest wide 502.77 ha (17.65%) in range of time 16 years (1991-2007). Economics value of mangrove ecosystem is equal to Rp.10,637,453.28 /ha/year, higher from shrimp ponds which equal to Rp.3,561,772.66 /ha/year. Institution structure (jurisdiction boundaries, property rights and rules of representation) in mangrove ecosystem management still weakening because still having problems with local community. Management policy of mangrove ecosystem which can be done is by strengthening institutional structure passed revision to zonation of mangrove protected forest area and makes agreement of conservation with local community.

(4)

TEGUH SETYO NUGROHO, Kajian Pengelolaan Ekosistem Mangrove Pada Kawasan Hutan Lindung di Desa Dabong Kecamatan Kubu Kabupaten Kubu Raya Provinsi Kalimantan Barat. Dibimbing oleh GATOT YULIANTO dan ZAIRION.

Ekosistem mangrove di Desa Dabong telah ditetapkan menjadi hutan lindung mangrove karena memegang peranan penting untuk penyangga kehidupan pesisir dan laut. Akan tetapi hal ini tidak sepenuhnya dapat melindungi ekosistem mangrove dari degradasi karena sebagian kawasan mangrove telah dikonversi menjadi tambak oleh masyarakat. Hal ini terjadi akibat lemahnya pengelolaan hutan lindung mangrove. Kajian pengelolaan ekosistem mangrove terutama yang terkait dengan kelembagaan perlu dilakukan agar didapat alternatif solusi kebijakan pengelolaan mangrove yang berkelanjutan. Penelitian ini bertujuan untuk mencari alternatif kebijakan dalam pengelolaan mangrove sehingga untuk itu perlu dikaji situasi dan kondisi mangrove, nilai ekonomi mangrove dan tambak serta akar penyebab permasalahan adanya tambak, pemukimana dan lahan garapan di kawasan hutan lindung mangrove.

Pengumpulan data dilakukan melalui metode observasi (pengamatan) langsung di lapangan, kuisioner, wawancara secara mendalam (depth interview), diskusi dan penelusuran berbagai data penunjang. Perubahan luasan mangrove dan tambak didapatkan dari analisis Citra Landsat 7 ETM+ tahun 1991, 2002 dan 2007 dengan kombinasi warna RGB 542. Analisis struktur vegetasi mangrove dilakukan dengan menghitung kerapatan spesies, kerapatan relatif spesies, frekuensi spesies, frekuensi relatif spesies, penutupan spesies dan penutupan relatif spesies untuk mendapatkan indek nilai penting species (INPi). Nilai ekonomi total manfaat hutan mangrove didapatkan dari nilai manfaat langsung (hasil hutan dan perikanan), nilai manfaat tidak langsung (penahan abrasi, interusi air laut dan penyedia unsur hara), nilai manfaat pilihan dan nilai keberadaan. Nilai manfaat ekonomi tambak dihitung berdasarkan hasil panen udang dikurangi dengan biaya tetap dan biaya operasional. Pandangan masyarakat terhadap pengelolaan ekosistem mangrove dihitung dari hasil kuisioner (50 responden) dengan menggunakan rating scale. Analisis kelembagaan dilakukan melalui kajian terhadap berbagai situasi sebagai sumber interdependensi, struktur kelembagaan (batas yuridiksi, property right dan aturan representasi), serta pengaruhnya terhadap performance.

(5)

Rhizophora apiculata, Sonneratia alba, Xylocarpus granatum dan Xylocarpus moluccensis. Indeks Nilai Penting (INP) tertinggi untuk tingkat pohon, pancang dan semai terdapat pada jenis Rhizophora apiculata yang secara berturut-turut nilainya 216.59%, 235.50% dan 155.79%., lalu di ikuti oleh Bruguiera gymnorrhiza dengan nilai INP untuk tingkat pohon, pancang dan semai secara berturut-turut sebesar 60.57 %, 58.05% dan 37.03%, dan selanjutnya kemudian diikuti oleh Sonneratia alba dan Avicennia alba. INP yang besar pada jenis Rhizophora apiculata dan Bruguiera gymnorrhiza menunjukan bahwa jenis ini merupakan jenis yang paling dominan dan mampu menyesuaikan diri dengan kondisi lingkungan yang ada, sehingga jika ada upaya rehabilitasi terhadap kawasan yang rusak, maka prioritas utama jenis vegatasi mangrove yang ditanam adalah Rhizophora apiculata kemudian diikuti Bruguiera gymnorrhiza lalu Sonneratia alba dan Avicennia alba.

Nilai manfaat ekonomi mangrove adalah sebesar Rp.10.637.453.28 /ha/thn, lebih tinggi dari nilai ekonomi tambak yang sebesar Rp.3.561.772.66 /ha/thn. Nilai ekonomi ekosistem mangrove sekitar 3 (tiga) kali lebih besar jika bandingkan dengan nilai ekonomi tambak. Hal ini menunjukan bahwa jika dilihat dari nilai ekonomi, lebih menguntungkan mangrove dibiarkan dalam kondisi lestari daripada dikonversi menjadi tambak. Akan tetapi, jika nilai ekonomi tambak dibandingkan dengan nilai manfaat langsung ekosistem mangrove (Rp.2.047.671.16 /ha/thn), maka nilai ekonomi tambak memiliki nilai yang lebih besar.

Akar penyebab permasalahan adanya tambak, pemukimana dan lahan garapan di kawasan hutan lindung mangrove di Desa Dabong selama ini adalah masih lemah dan belum efektif organisasi, struktur kelembagaan (batas yuridiksi, property right dan aturan representasi) dalam pengelolaan ekosistem mangrove sehinga belum dapat mengontrol berbagai situasi sebagai sumber interdependensi. Kelembagaan yang kurang effektifi meyebabkan kondisi performance yang buruk seperti potensi konflik sosial yang tinggi, lingkungan alam yang terdegradasi dan kondisi sosial ekonomi masyarakat yang buruk. Hal ini ditunjang dari pandangan masyarakat terhadap pengelolaan ekosistem mangrove yang hanya sebesar 49.1%, artinya masyarakat masih memandang pengelolaan Ekosistem Mangrove di Desa Dabong selama ini berjalan kurang baik.

(6)

Dengan berbagai alternatif solusi yang telah dipaparkan sebelumya, maka diharapkan performance yang baik dari pengelolaan ekosistem mangrove di Desa Dabong dapat dicapai. Performance yang baik dari kelembagaan ekosistem mangrove yaitu kelestarian lingkungan alam (ekosistem mangrove) yang meningkat/lestari, kondisi sosial ekonomi masyarakat yang semakin baik dan rendahnya potensi konflik sosial dengan biaya penegakan status yang rendah.

Kata kunci : ekosistem mangrove, hutan lindung, degradasi, kebijakan pengelolaan, kelembagaan.

(7)

@ Hak Cipta milik IPB, tahun 2009 Hak Cipta dilindungi Undang-undang

Dilarang mengutip sebagian atau seluruh karya tulis ini tanpa mencantumkan atau menyebutkan sumbernya. Pengutipan hanya untuk kepentingan pendidikan, penelitian, penulisan karya ilmiah, penyusunan laporan, penulisan kritik atau tinjauan suatu masalah; dan pengutipan tidak merugikan kepentingan yang wajar IPB.

(8)

KAJIAN PENGELOLAAN EKOSISTEM MANGROVE

PADA KAWASAN HUTAN LINDUNG DI DESA DABONG,

KECAMATAN KUBU, KABUPATEN KUBU RAYA,

KALIMANTAN BARAT

TEGUH SETYO NUGROHO

Tesis

sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Magister Sains pada

Program Studi Pengelolaan Sumberdaya Pesisir dan Lautan

SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR

(9)

Kabupaten Kubu Raya, Kalimntan Barat Nama Mahasiswa : Teguh Setyo Nugroho

Nomor Pokok : C.252070051

Disetujui

Komisi Pembimbing

Ir. Gatot Yulianto, M.Si Ir. Zairion, M.Sc Ketua Anggota

Diketahui

Ketua Program Studi

Pengelolaan Sumberdaya Pesisir dan Lautan

Prof. Dr. Ir. Mennofatria Boer, DEA

Tanggal Ujian : 24 Nopember 2009 Tanggal Lulus :

Dekan Sekolah Pascasarjana

(10)
(11)

Bukalah mata, telinga, pikiran dan hati seluas-luasnya, agar kita

dapat melihat, mendengar, mengetahui dan merasakan kebenaran yang

sesungguhnya.

Gunakanlah semuanya sebagai dasar untuk setiap tindakan yang akan

kita tempuh, agar kebijaksanaan selalu mengiringi langkah kita.

(Tyo 2009)

Karya ini kupersembahkan bagi Istriku “Uji Sukmawati” dan putriku “Nada Aurellia Izdihar” yang tersayang dan tercinta, terima kasih atas pengertian, pengorbanan dan

dukungannya yang tulus selama menunggu selesainya masa studiku.

Tidak lupa pula juga untuk Ibunda “Hj. Tasmisih”, Ayahanda “Soenggono (alm)”, Bapak Mertua “Sumaryono”, Ibu Mertua “Sri Lestari” dan seluruh saudara-saudaraku yang juga sangat kusayangi.

(12)

PRAKATA

Puji syukur penulis panjatkan ke hadirat Allah SWT atas atas segala karuniaNya sehingga tesis dengan judul “Kajian Pengelolaan Ekosistem Mangrove Pada Kawasan Hutan Lindung di Desa Dabong, Kecamatan Kubu, Kabupaten Kubu Raya, Kalimantan Barat” dapat terselesaikan. Hasil penelitian ini diharapkan dapat menjadi menjadi dasar pertimbangan dalam menentukan kebijakan dan strategi pengelolaan ekosistem mangrove dalam rangka menangani kasus pemukiman, lahan garapan dan tambak udang masyarakat di dalam kawasan hutan lindung bakau di Desa Dabong.

Terima kasih dan penghargaan yang setinggi-tingginya penulis sampaikan kepada Bapak Ir. Gatot Yulianto, M.Si dan Ir. Zairion, M.Sc selaku pembimbing, serta Bapak Dr.Ir. Fredinan Yulianda, M.Sc dan Prof.Dr. Ir Mennofatria Boer, DEA yang telah banyak memberikan saran. Di samping itu, terima kasih juga penulis ucapkan kepada seluruh jajaran di Dinas Kelautan dan Perikanan (DKP) dan Dinas Kehutanan Provinsi Kalimantan Barat dan Kabupaten Kubu Raya yang telah banyak membantu dalam penyediaan informasi dan data. Ungkapan terima kasih juga disampaikan kepada masyarakat Desa Dabong yang telah banyak membantu dalam penelitian ini.

Penulis menyadari bahwa dalam penyusunan tesis ini masih terdapat berbagai kekurangan, sehingga kritik dan saran yang konstruktif sangat penulis harapkan sehingga penelitian yang akan dilaksanakan nantinya dapat memberikan hasil sesuai dengan yang diharapkan. Semoga karya ilmiah ini bermanfaat bagi kita semua.

Bogor, Desember 2009

(13)

RIWAYAT HIDUP

Penulis dilahirkan di Desa Kembang Kecamatan Dukuhseti, Kabupaten Pati, Provinsi Jawa Tengah, pada tanggal 8 April 1980 dari ayah Soenggono (alm) dan Ibu Hj. Tasmisih. Penulis merupakan putra kelima dari enam bersaudara.

(14)

DAFTAR ISI

2.2. Faktor Lingkungan Yang Mempengaruhi Kehidupan Mangrove ... 12

2.3. Zonasi dan Struktur Vegetasi Ekosistem Mangrove ... 16

2.4. Fungsi dan Manfaat Ekosistem Mangrove ... 17

2.5. Konsep dan Metode Valuasi Ekonomi ... 19

2.5.1. Konsep Valuasi Ekonomi ... 19

2.5.2. Metode Valuasi Ekonomi ... 21

2.6. Analisis Kelembagaan ... 26

2.6. Konsep Pengelolaan Berkelanjutan ... 27

2.7. Pengelolaan Ekosistem Mangrove ... 29

3. METODE PENELITIAN 3.1. Lokasi dan Waktu Penelitian ... 33

3.2. Pengumpulan Data ... 34

3.2.1. Pengumpulan data ekosistem mangrove dan tambak ... 34

3.2.2. Pengumpulan data sosial ekonomi dan kelembagaan ... 36

3.2.3. Pengumpulan berbagai data penunjang ... 37

3.3. Analisis Data ... 39

3.3.1. Analisis data luas ekosistem mangrove dan tambak ... 39

3.3.2. Analisis terhadap struktur vegetasi mangrove ... 39

3.3.3. Analisis nilai manfaat ekonomi ekosistem mangrove ... 41

3.3.4. Analisis nilai manfaat ekonomi tambak ... 45

3.3.5. Analisis Pandangan Masyarakat Terhadap Pengelolaan Ekosistem Mangrove ... 45

3.3.6. Analisis kelembagaan ... 46

4. HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1. Keadaan Umum Wilayah Penelitian ... 48

4.1.1. Keadaan Iklim, Topografi, Hidrologi, dan Tanah ... 48

4.1.2. Kondisi sosial ekonomi masyarakat ... 50

4.1.3. Aktivitas perekonomian ... 54

4.1.4. Penggunaan Lahan di Kawasan Dabong ... 57

4.1.5. Kondisi Sosial Budaya Masyarakat ... 57

(15)

4.2. Luas Ekosistem Mangrove, Tambak dan Kawasan Lindung

Mangrove ... 61

4.3. Struktur Vegetasi Mangrove ... 63

4.3.1. Kerapatan dan Kerapatan Relatif Jenis Mangrove ... 65

4.3.2. Frekuensi dan Frekuensi Relatif Jenis Mangrove ... 67

4.3.3. Penutupan dan Penutupan Relatif Jenis Mangrove ... 68

4.3.4. Indeks Nilai Penting (INP) ... 70

4.4. Keanekaragaman Fauna ... 72

4.5. Kondisi Fisik Lingkungan Ekosistem Mangrove ... 73

4.5.1. Derajat Keasaman (pH) ... 74

4.5.2. Suhu ... 75

4.5.3. Salinitas ... 76

4.5.4. Jenis Tanah ... 77

4.6. Nilai Manfaat Ekonomi Ekosistem Hutan Mangrove ... 77

4.6.1. Nilai Manfaat Langsung ( Direct Use Value) ... 78

4.6.2. Nilai Manfaat Tidak Langsung ( Indirect Use Value) ... 85

4.6.3. Nilai Manfaat Pilihan ... 87

4.6.4. Nilai Manfaat Keberadaan ... 88

4.6.5. Nilai Manfaat Ekonomi Total Ekosistem Mangrove di Desa Dabong ... 89

4.7. Nilai Ekonomi Tambak di Kawasan Hutan Mangrove Dabong ... 91

4.8. Sejarah dan Pola Penguasaan Lahan di Kawasan Dabong ... 92

4.9. Pandangan Masyarakat Terhadap Pengelolaan Ekosistem Mangrove ... 95

4.10. Analisis Kelembagaan Pengelolaan Ekosistem Mangrove ... 99

4.10.1. Organisasi pengelola kawasan hutan lindung mangrove di Desa Dabong ... 101

4.10.2. Berbagai situasi sebagai sumber interdependensi dalam pengelolaan ekosistem mangrove di Desa Dabong ... 103

4.10.3. Analisis struktur kelembagaan dalam pengelolaan ekosistem mangrove di Desa Dabong ... 105

4.11. Sintesa dan Alternatif Solusi ... 119

5. KESIMPULAN DAN SARAN 5.1. Kesimpulan ... 128

5.2. Saran ... 129

DAFTAR PUSTAKA ... 131

(16)

DAFTAR TABEL

Halaman 1. Penyebaran jenis-jenis pohon mangrove berdasarkan kelas genangan.… 10

2. Ikhtihar dampak kegiatan menusia terhadap ekosistem mangrove ... 11

3. Contoh hipotesis penilaian dampak ekonomi pembukaan hutan mengrove untuk lahan tambak ... 25

4. Jenis dan variabel data yang dikumpulkan beserta metode pengumpulan datanya. ... 37

5. Kondisi iklim di wilayah studi ... 48

6. Jumlah penduduk Desa Dabong... 50

7. Perkembangan jumlah penduduk Desa Dabong ... 51

8. Struktur penduduk di Dusun-Dusun Desa Dabong berdasarkan mata pencaharian ... 52

9. Distribusi penduduk Desa Dabong berdasarkan tingkat pendidikan ... 53

10. Distribusi penduduk Desa Dabong berdasarkan agama... 54

11. Alat tangkap ikan di Desa Dabong ... 56

12. Produksi perikanan laut yang didaratkan di TPI/PPI Dabong ... 56

13. Penggunaan lahan di Kawasan Dabong Kecamatan Kubu Tahun 2007 ... 57

14. Route trayek transportasi umum di kawasan studi. ... 58

15. Banyaknya sarana dan tenaga kesehatan di Desa Dabong ... 60

16. Luas hutan mangrove, tambak dan kawasan lindung mangrove di Desa Dabong ... 61

17. Jenis pohon mangrove yang ditemukan di Lokasi Penelitian ... 64

18. Kerapatan jenis dan kerapatan relatif jenis mangrove pada tiap tingkatan pohon, pancang, dan semai ... 65

19. Frekuensi jenis dan frekuensi relatif jenis mangrove pada tiap tingkatan pohon, pancang, dan semai ... 67

20. Penutupan jenis dan penutupan relatif jenis... 69

21. Indeks Nilai Penting (INP) Mangrove ... 70

22. Sebaran pH, Suhu dan Salinitas di Tiap Jalur Pengamatan ... 74

23. Nilai manfaat potensi kayu komersial ... 79

24. Nilai manfaat kayu bakar hutan mangrove Dabong ... 80

(17)

26. Nilai manfaat daun nipah hutan mangrove Dabong ... 81

27. Nilai manfaat ikan hutan mangrove Dabong ... 82

28. Nilai manfaat kerang hutan mangrove Dabong ... 83

29. Nilai manfaat ale-ale hutan mangrove Dabong ... 83

30. Nilai manfaat kepah hutan mangrove Dabong... 84

31. Nilai manfaat kepiting hutan mangrove Dabong ... 84

32. Nilai manfaat langsung ekosistem mangrove di Desa Dabong ... 85

33. Nilai manfaat tidak langsung ekosistem mangrove di Desa Dabong ... 87

34. Nilai manfaat keberadaan ekosistem mangrove di Desa Dabong ... 88

35. Total nilai manfaat ekosistem mangrove Desa Dabong ... 89

36. Nilai manfaat ekonomi tambak. ... 92

37. Pandangan masyarakat terhadap pengelolaan ekosistem mangrove di Desa Dabong ... 95

38. Aturan representatif di dalam kawasan hutan lindung mangrove Desa Dabong ... 114

(18)

DAFTAR GAMBAR

Halaman 1. Kerangka berpikir penelitian kajian pengelolaan ekosistem mangrove

pada kawasan hutan lindung di Desa Dabong ... 7

2. Pengelompokan Nilai Ekonomi Lingkungan dan Hubungannya Dengan Metode Valuasi Ekonomi Lingkungan ... 23

3. Kerangka analisis kelembagaan ... 27

4. Tiga pilar pengelolaan berbasis sosial ekosistem ... 28

5. Peta lokasi penelitian dan titik sampling mangrove ... 33

6. Skema penempatan petak contoh ... 35

7. Tipologi Nilai Ekonomi Total ... 42

8. Peta sebaran mangrove dan tambak pada tahun 1991, 2002 dan 2007. .... 62

9. Kerapatan jenis mangrove tingkat pohon pada setiap jalur pengamatan. . 66

10. Kerapatan relatif jenis mangrove tingkat pohon pada setiap jalur pengamatan ... 66

11. Frekuensi jenis mangrove tingkat pohon pada setiap jalur pengamatan ... 68

12. Frekuensi relatif jenis mangrove tingkat pohon pada setiap jalur pengamatan ... 68

13. Penutupan jenis mangrove tingkat pohon pada setiap jalur pengamatan . 69 14. Penutupan relatif jenis mangrove tingkat pohon pada setiap jalur pengamatan ... 70

15. Indeks Nilai Penting komunitas mangrove tingkat pohon pada setiap jalur pengamatan ... 72

16. Sebaran pH air dan tanah di Lokasi Pengamatan... 74

17. Sebaran suhu pada setiap jalur pengamatan ... 75

18. Sebaran salinitas pada setiap jalur pengamatan ... 76

19. Struktur Organisasi Dinas Kehutanan dan Perkebunan Kabupaten Kubu Raya ... 101

(19)

DAFTAR LAMPIRAN

Halaman

1. Peta Kawasan Hutan Lindung Mangrove di Desa Dabong ... 137

2. Citra Landsat ETM+7 Desa Dabong Tahun 1991 ... 138

3. Citra Landsat ETM+7 Desa Dabong Tahun 2002 ... 139

4. Citra Landsat ETM+7 Desa Dabong Tahun 2007 ... 140

5. Analisis Vegetasi Tingkat Pohon ... 141

6. Analisis Vegetasi Tingkat Pancang ... 143

7. Analisis Vegetasi Tingkat Semai ... 145

8. Rekapitulasi Analisis Vegetasi ... 147

9. Beberapa Jenis Fauna Pada Ekosistem Mangrove Desa Dabong ... 148

10. Data Fisika Kimia Lingkungan Ekosistem Mangrove di Desa Dabong ... 150

11. Hasil Analisis Nilai Manfaat Langsung Potensi Kayu Mangrove ... 153

12. Hasil Analisis Nilai Manfaat Langsung Kayu Bakar Mangrove ... 154

13. Hasil Analisis Nilai Manfaat Langsung Cerucuk ... 156

14. Hasil Analisis Nilai Manfaat Langsung Daun Nipah ... 157

15. Hasil Analisis Nilai Manfaat Langsung Ikan ... 158

16. Hasil Analisis Nilai Manfaat Langsung Kerang ... 162

17. Hasil Analisis Nilai Manfaat Langsung Ale-ale ... 165

18. Hasil Analisis Nilai Manfaat Langsung Kepah ... 168

19. Hasil Analisis Nilai Manfaat Langsung Kepiting ... 171

20. Rekapitulasi Nilai Manfaat ... 174

21. Nilai Manfaat Budidaya Tambak Tradisional (Udang Vannamei) di Desa Dabong ... 175

22. Rekapitulasi Jawaban Responden untuk Nilai Manfaat Eksistensi Hutan Mangrove Dabong ... 179

23. Rekapitulasi Jawaban Responden untuk Pengelolaan Ekosistem Mangrove di Desa Dabong ... 181

24. Kuesioner Pengeloaan Ekosistem Mangrove... 184

25. Panduan Wawancara Mendalam Pengelolaan Kawasan Hutan Lindung Mangrove ... 192

(20)

27. Contoh perijinan yang dimiliki petambak di Desa Dabong yang berupa

“Ijin Usaha Perikanan (IUP)” ... 200

28. Contoh perijinan yang dimiliki petambak di Desa Dabong yang berupa

“Surat Pembudidayaan Ikan (SBI)” ... 201

(21)

1.1. Latar Belakang

Desa Dabong merupakan salah satu desa di Kecamatan Kubu, Kabupaten

Kubu Raya, Kalimantan Barat yang memiliki hamparan hutan mangrove yang

cukup luas. Berdasarkan Surat Keputusan Menteri Kehutanan No

259/kpts-II/2000, sejumlah lahan di kawasan pesisir Desa Dabong telah ditetapkan menjadi

hutan lindung mangrove (luas ± 4 895.5 ha) dari 34 884 hektar hutan lindung

mangrove yang ada di Kabupaten Kubu Raya, Kalimantan Barat.

Ekosistem mangrove memegang peranan penting untuk kehidupan pesisir

dan laut. Di kawasan pesisir, ekosistem mangrove ini akan mendukung

lingkungan pantai, menjadi tempat yang ideal bagi ikan-ikan untuk berkembang

biak, rumah yang nyaman bagi kepiting dan burung air, dalam saat berbahaya

mangrove juga berfungsi menyaring pencemaran logam berat dari daratan

sebelum masuk lautan.

Sebagai salah satu ekosistem pesisir utama di Desa Dabong, ekosistem

mangrove di sepanjang pantai memberikan kontribusi yang sangat penting, baik

manfaat langsung (direct) maupun manfaat tidak langsung (indirect). Manfaat

tersebut diantaranya secara fisik, khususnya dalam melindungi pantai dari

gelombang, angin dan badai. Tegakan mangrove dapat melindungi pemukiman,

bangunan dan pertanian dari angin kencang dan interusi air laut. Mangrove juga

memegang peranan penting dalam dalam melindungi pesisir dari terpaan badai.

Kemampuan mangrove dalam mengembangkan wilayahnya kearah laut

merupakan salah satu peran penting mangrove dalam pembentukan lahan baru.

Akar mangrove mampu mengikat dan menstabilkan substrat lumpur, pohonnya

mengurangi energi gelombang dan memperlambat arus, sementara vegetasi secara

keseluruhan dapat memerangkap sedimen. Mangrove juga mempunyai fungsi

sebagai spawning ground, feeding ground, dan juga nursery ground guna mendukung produksi perikanan. Beberapa studi menunjukan bahwa terdapat

hubungan yang positif antara luasan mangrove dengan produksi perikanan

(Martosubroto & Naamin 1977; de Graaf & Xuan 1998). Jika mangrove tidak ada,

(22)

hutan mangrove merupakan ekosistem dengan tingkat produktivitas yang tinggi

dengan berbagai macam fungsi ekonomi, sosial, dan ekologi/lingkungan yang

penting.

Walaupun hutan mangrove di Desa Dabong telah ditetapkan sebagai Hutan

Lindung berdasarkan Surat Keputusan Menteri Kehutanan No 259/kpts-II/2000,

akan tetapi tidak sepenuhnya dapat melindungi ekosistem mangrove dari

kerusakan dan degradasi. Kawasan mangrove di Desa Dabong ini mengalami

kerusakan karena sebagian telah dikonversi menjadi tambak tanpa ada proses

pelepasan kawasan hutan terlebih dahulu dari Menteri Kehutanan RI.

Pengambilan pohon mangrove untuk kayu bakar dan bahan bangunan oleh

masyarakat setempat juga ikut menambah kerusakan hutan mangrove di Desa

Dabong ini. Kegiatan ini akan berdampak negatif pada ekosistem pesisir dan

lautan. Degradasi ekosistem mangrove di Desa Dabong akibat berbagai aktifitas

pemanfaatan seperti konversi untuk lahan tambak dan pengambilan

kayu/penebangan liar perlu mendapat perhatian dan penanganan khusus dari

semua pihak. Melihat hal tersebut, maka penelitian ini diharapkan dapat mengurai

akar penyebab permasalahan sehingga dapat dirumuskan alternative pengelolaan

yang tepat. Alternative pengelolaan yang didapat hendaknya mampu

menjembatani antara kepentingan ekologi (konservasi) dengan kepentingan sosial

ekonomi masyarakat.

1.2. Perumusan Masalah

Kawasan hutan mangrove di Kabupaten Kubu Raya, Kalimantan Barat

termasuk diantaranya hutan mangrove yang ada di Desa Dabong berdasarkan

Surat Keputusan Menteri Kehutanan Nomor 259/kpts-II/2000 telah ditetapkan

statusnya sebagai Hutan Lindung Mangrove. Keluarnya SK MenHut No

259/kpts-II/2000 ini didasarkan padu-serasi antara Tata Guna Hutan Kesepakatan (TGHK)

yang tertuang dalam SK Menteri Pertanian Nomor 757/Kpts/Um/10/1982, Perda

Nomor I/1995 Tentang Rencana Tata Ruang Wilayah (RTRW) Provinsi Kalbar

dan Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 47/1999 tentang RTRW Nasional.

Berdasarkan otonomi daerah, wewenang pengelolaan hutan lindung mangrove di

Desa Dabong berada pada pemerintah daerah yaitu Dinas Kehutanan dan

(23)

ini ditujukan untuk perlindungan sistem penyangga kehidupan di pesisir dan laut

serta bertujuan untuk mencegah timbulnya kerusakan fungsi lingkungan hidup.

Pengelolaan kawasan lindung meliputi upaya penetapan, pelestarian dan

pengendalian pemanfaatan kawasan lindung.

Meskipun kawasan hutan mangrove tersebut telah ditetapkan statusnya

sebagai Kawasan Hutan Lindung, akan tetapi tidak sepenuhnya dapat melindungi

ekosistem mangrove ini dari kerusakan dan degradasi. Pada tahun 2009 tercatat

sekitar 564,35 hektar area hutan lindung mangrove di Desa Dabong telah

dikonversi menjadi tambak oleh masyarakat setempat tanpa adanya proses

pelepasan kawasan hutan terlebih dahulu dari Menteri Kehutanan. Konversi hutan

manggrove menjadi tambak pola tradisional oleh masyarakat ini diduga telah

terjadi sejak tahun 1991 dan berkembang dengan pesat mulai tahun 1998 sampai

sekarang. Perkembangan tambak didalam kawasan hutan lindung mangrove ini

tidak terlepas dari adanya Program Peningkatan Ekspor Hasil Perikanan

(Protekan). Pada tahun 1998-1999, Dinas Perikanan Pontianak menjalankan

Protekan dari Departemen Kelautan dan Perikanan dan mendorong pembangunan

tambak udang di area yang ternyata merupakan kawasan hutan lindung mangrove.

Hampir semua petambak di Desa Dabong merupakan binaan dari Dinas

Perikanan. Petambak memiliki Ijin Usaha Perikanan (IUP) dan Surat

Pembudidayaan Ikan (SBI) yang diterbitkan oleh Dinas Perikanan Kabupaten

Pontianak (yang merupakan kabupaten induk dari Kabupaten Kubu Raya sebelum

pemekaran). Ijin ini mengacu kepada Perda No 12 tahun 1998 tanggal 4

Nopember tentang penertiban perizinan usaha perikanan. Hal ini menunjukan

adanya ketidakjelasan kebijakan dan ketiadaan koordinasi antara instansi di

pemerintah pusat, provinsi dan kabupaten yang menyebabkan munculnya areal

tambak didalam hutan lindung mangrove.

Permasalahan lain yang serius adalah masuknya sebagian besar lahan

masyakat seperti pemukiman, lahan garapan dan berbagai fasilitas umum ke

dalam kawasan hutan lindung mangrove tanpa adanya proses pelepasan hak (ganti

rugi/kompensasi), padahal masyarakat sudah lama bermukim di daerah tersebut.

Bahkan hampir semua dusun/kampung termasuk pusat pemerintahan desa masuk

(24)

pemanfaatan ruang antara antara pengelola hutan lindung dengan masyarakat.

Pengambilan kayu mangrove secara liar untuk berbagai keperluan juga membuat

semakin terancamnya kelestarian hutan mangrove di daerah tersebut.

Dalam realisasinya, implementasi pengelolaan ekosistem akan

menghadapi berbagai macam rintangan seperti sengketa lahan, birokrasi yang

buruk dan kebijakan publik yang kurang berpihak pada upaya konservasi (Yaffee

et al. 1996). Lemah dan buruknya dalam perencanaan dan pelaksanaan sistem pengelolaan sumberdaya hutan mangrove dapat memberikan dampak negatif

seperti degradasi lingkungan dan buruknya kondisi sosial ekonomi masyarakat

sekitar kawasan hutan. Mengatasi berbagai rintangan pada pengelolaan ekosistem,

maka hendaknya dilakukan pengelolaan yang adaptip (Sampson 1993; Brunner &

Clark 1997). Untuk mencapai hal ini, maka diperlukan keterpaduan yang efektif

dari para praktisi, peneliti dan berbagai stakeholder untuk berbagi pandangan,

pengetahuan dan pengalaman (Yaffee 1999).

Sistem pengelolaan sumberdaya mangrove di Desa Dabong hendaknya

lestari, terpadu dan berkesinambungan. Penilaian atas keberlanjutan dalam

pengelolaan sumberdaya alam haruslah multidisplin dan mencakup aspek

lingkungan, sosial dan ekonomi (Glaser & Diele 2004). Lebih lanjut Bengen

(2002) menyatakan, bahwa masalah pengelolaan mengrove secara lestari adalah

bagaimana menggabungkan antara kepentingan ekologi (konservasi hutan

mangrove) dengan kepentingan sosial dan ekonomi masyarakat.

Untuk itu perlu dilakukan suatu penelitian yang dapat menjembatani antara

kepentingan ekologi (konservasi hutan mangrove) dengan kepentingan sosial dan

ekonomi masyarakat yang sudah lama bermukim di kawasan tersebut sebelum

ditetapkan sebagai kawasan hutan lindung mangrove, sehingga selanjutnya dapat

dicari alternatif kebijakan pengelolan yang tepat. Penelitian ini diharapkan dapat

memberikan rekomendasi arah kebijakan yang diperlukan dalam upaya

pengelolaan ekosistem mangrove yang lestari, terpadu dan berkelanjutan di Desa

(25)

1.3. Tujuan dan Manfaat Penelitian

Penelitian kajian pengelolaan ekosistem mangrove pada kawasan hutan

lindung di Desa Dabong, Kecamatan Kubu, Kabupaten Kubu Raya, Kalimantan

Barat ini bertujuan untuk :

1. Mengkaji situasi dan kondisi ekosistem mangrove.

2. Mengkaji manfaat ekonomi hutan mangrove dan tambak.

3. Mengkaji akar penyebab permasalahan adanya tambak, permukiman dan

lahan garapan masyarakat di dalam kawasan hutan lindung mangrove

dengan menganalisis kelembagaan pengelolaan.

4. Menentukan alternatif solusi kebijakan pengelolaan ekosistem mangrove

pada kawasan hutan lindung yang tepat dan berkelanjutan serta

menjembatani antara kepentingan ekologi (konservasi) dengan

kepentingan sosial ekonomi masyarakat.

Manfaat penelitian ini diharapkan dapat memberikan informasi bagi upaya

pengelolaan kawasan ekosistem mangrove yang berkelanjutan di Desa Dabong,

Kecamatan Kubu, Kabupaten Kubu Raya, Kalimantan Barat di masa mendatang.

1.4. Kerangka Pemikiran

 Ekosistem mangrove memiliki peran yang sangat penting sebagai

penyangga kehidupan di wilayah pesisir dan laut. Sebagai upaya perlindungan

ekosistem mangrove, maka pemerintah telah menetapkan sejumlah lahan di

kawasan pesisir Desa Dabong menjadi hutan lindung mangrove berdasarkan SK

Menhut No 259/kpts-II/2000. Namun pemanfaatan ekosistem mangrove sering

kali rawan terhadap konflik kepentingan. Kerusakan hutan mangrove akan

membawa dampak negatif bagi kehidupan masyarakat, baik dari sisi ekologi

maupun social ekonomi.

Adanya tambak udang, pemukiman dan lahan garapan masyarakat di

dalam kawasan hutan lindung mangrove serta kegiatan pengambilan kayu

mangrove secara liar pada dasarnya merupakan bentuk dari lemah atau kurang

efektifnya institusi/kelembagaan pengelolaan hutan mengrove di daerah tersebut.

Institusi pengelolaan yang ada saat ini masih belum mampu mengatur dan

(26)

tidak merusak hutan mangrove. Hal ini menyebabkan performance yang buruk,

baik dari sisi ekologi (konservasi) maupun sosial ekonomi masyarakat.

Untuk mengatasi permasalahan tersebut, maka perlu dilakukan analisis

kelembagaan guna mencari akar penyebab permasalahan kurang efektifnya

kelembagaan selama ini. Analisis kelembagaan akan mengkaji/menganalisis

berbagai situasi sebagai sumber interdependensi dan struktur kelembagaan (batas

yuridiksi, property right dan aturan representatif) pengelolaan mangrove selama ini serta pengaruhnya terhadap performance baik dari sisi ekologi (konservasi)

maupun sosial ekonomi masyarakat. Sebagai penunjang dalam analisis

kelembagaan, maka perlu dilakukan juga berbagai kajian seperti:

1. Mengkaji kondisi dan potensi mangrove dan berapa besarnya

degradasi/kerusakan mangrove pada daerah tersebut. Pada kajian ini akan

ditelaah: (a) luas liputan mangrove, luas areal mangrove yang dikonversi

menjadi tambak dan perubahan status lahan. (b) struktur dan komposisi

mangrove seperti kerapatan, frekuensi, penutupan dan indeks nilai penting

species (INPi). (c) kondisi fisika kimia mangrove (meliputi suhu, salinitas, ph

dan jenis substrat).

2. Mengkaji berapa besarnya nilai manfaat total/valuasi ekonomi ekosistem

mangrove (manfaat langsung, manfaat tidak langsung, manfaat pilihan, dan

manfaat eksistensi) dibandingkan dengan nilai ekonomi tambak di daerah

tersebut.

3. Mengkaji sejarah dan pola penguasaan lahan di kawasan ekosistem mangrove

Desa Dabong.

4. Mengkaji proses ditetapkannya kawasan ini menjadi status kawasan Hutan

Lindung Mangrove berdasarkan SK MenHut No.259/kpts-II/2000 dan

berbagai upaya yang telah dilakukan oleh pihak pengelola kawasan untuk

penegakan status kawasan lindung (sosialisasi, pengawasan dan penegakan

hukum).

Output dari analisis kelembagaan ini adalah perubahan struktur

kelembagaan yang akan digunakan sebagai dasar dalam menentukan alternative

solusi yang tepat dan reformulasi kebijakan pengelolaan. Alternative solusi dalam

(27)

memberikan performance yang lebih baik, baik dari sisi ekologi (konservasi) maupun sosial ekonomi masyarakat. Secara sederhana diagram kerangka berpikir

kajian pengelolaan ekosistem mangrove pada kawasan hutan lindung di Desa

Dabong dapat dilihat pada Gambar 1.

Gambar 1. Kerangka berpikir penelitian kajian pengelolaan ekosistem mangrove pada kawasan hutan lindung di Desa Dabong

Situasi dan Kondisi Mangrove

•Alih fungsi lahan menjadi tambak •Pemukiman di dalam hutan lindung •Pengambilan kayu

Institusi Pengelolaan saat ini

(Status Hutan Lindung SK MenHut No.259/kpts-II/2000)

(28)

2.1. Ekosistem Mangrove

Istilah mangrove berasal dari kata mangro yaitu nama yang biasa

digunakan untuk tumbuhan Rhizophora mangle di Suriname (Karsten 1890 in

Chapman 1972). Menurut Macnae (1968), kata mangrove merupakan perpaduan

antara kata mangal dari bahasa Portugis dan kata grove dari bahasa Inggris.

Dalam bahasa Portugis, kata mangrove dipergunakan untuk individu jenis

tumbuhan dan kata mangal untuk komunitas hutan yang terdiri atas

individu-individu jenis mangrove tersebut. Dalam bahasa Inggris, kata mangrove

dipergunakan baik untuk komunitas pohon-pohon atau rumput-rumput maupun

semak belukar yang tumbuh di laut maupun untuk individu jenis tumbuhan yang

berasosiasi dengannya.

Menurut Aksornkoae (1993), mangrove adalah tumbuhan halophit yang

hidup di sepanjang areal pantai yang dipengaruhi oleh pasang tertinggi sampai

daerah mendekati ketinggian rata-rata air laut yang tumbuh di daerah tropis dan

subtropis. Hutan mangrove meliputi pohon-pohonan dan semak yang terdiri atas

12 genera tumbuhan berbunga (Avicennia, Sonneratia, Rhizophora, Bruguiera,

Ceriops, Xylocarpus, Lumnitzera, Laguncularia, Aegiceras, Aegiatilis, Snaeda, dan Canocarpus), yang termasuk dalam delapan family.

Vegetasi hutan mangrove di Indonesia memiliki keanekaragaman jenis

yang tinggi, dengan jumlah jenis tercatat sebanyak 202 jenis yang terdiri atas 89

jenis pohon, 5 jenis palem, 19 jenis liana, 44 jenis epifit dan 1 jenis sikas. Namun

demikian hanya terdapat kurang lebih 47 jenis tumbuhan yang spesifik hutan

mangrove. Paling tidak di dalam hutan mangrove terdapat salah satu jenis

tumbuhan penting/dominan yang termasuk ke dalam 4 famili : Rhizophoracea

(Rhizophora, Bruguiera dan Ceriops), Soneratiaceae (Sonneratia), Avicenniaceae

(Avicennia) dan Meliaceae (Xylocarpus) (Bengen 2004).

Dennis (1992) mengambarkan habitat mangrove berupa sistem akar

tunjang atau akar napas yang berada dipinggir pantai, laguna, dan teluk yang

berasal dari mangrove. Karakteristik habitat mangrove yakni: (1) umumnya

(29)

berpasir, (2) daerah yang tergenang air laut secara berkala baik setiap hari maupun

yang hanya tergenang pada saat pasang purnama, frekuensi genangan menentukan

komposisi vegetasi mangrove, (3) menerima pasokan air tawar yang cukup dari

darat, (4) terlindung dari gelombang besar dan arus pasang yang kuat. air yang

bersalinitas payau (2/22 per mil) hingga asin (mencapai 38 per mil) (Bengen

2004).

Tumbuhan mangrove mempunyai kemampuan khusus untuk beradaptasi

dengan kondisi lingkungan yang ekstrim, seperti kondisi tanah yang tergenang,

kadar garam yang tinggi serta kondisi tanah yang kurang stabil. Dengan kondisi

lingkungan seperti ini beberapa jenis mangrove mengembangkan mekanisme yang

memungkinkan aktif mengeluakan garam dari jaringan, sementara yang lain

mengembangkan system akar napas untuk membantu memperoleh oksigen bagi

sistem perakarannya (Bengen 2004).

Menurut Supriharyono (2000) walaupun tumbuhan mangrove dapat

berkembang pada lingkungan yang buruk, tetapi setiap tumbuhan mangrove

mempunyai kemampuan yang berbeda dalam mempertahankan diri terhadap

kondisi lingkungan fisika dan kimia di lingkungannya. Empat faktor utama yang

mempengaruhi penyebaran tumbuhan mangrove, yaitu : (1) frekuensi arus pasang,

(1) salinitas tanah, (3) air tanah, dan (4) suhu air. Keempat faktor tersebut akan

menentukan dominasi jenis mangrove yang ada di tempat yang bersangkutan.

Mangrove dapat berkembang dimana tidak terdapat gelombang. Kondisi

fisik pertama yang harus terdapat pada daerah mangrove ialah gerakan air yang

minimal. Kurangnya gerakan air ini mempunyai pengaruh yang nyata. Gerakan air

yang lambat dapat menyebabkan partikel sedimen yang halus cenderung

mengendap dan berkumpul didasar. Hasilnya berupa kumpulan lumpur, jadi

substrat pada rawa mangrove biasanya lumpur. Substrat inilah yang nantinya

bermanfaat bagi penambahan luasan bagi suatu daerah (Supriharyono 2000).

Jenis-jenis pohon mangrove umumnya menyebar di pantai yang terlindung

dan di muara-muara sungai, dengan komposisi jenis yang berbeda tergantung pada

kondisi habitatnya. Berdasarkan berbagai hasil penelitian dapat disimpulkan

bahwa penyebaran jenis mangrove berkaitan dengan salinitas, tipe pasang dan

(30)

Hann (1931) in Kusmana et al.(2005) membuat korelasi antara salinitas, frekuensi

genangan pasang (kelas genangan) dan jenis pohon mangrove yang tumbuh pada

daerah yang bersangkutan (Tabel 1) .

Tabel 1. Penyebaran jenis-jenis pohon mangrove berdasarkan kelas genangan

Tipe pasang/ ppt, selalu tergenang A1. 1-2 kultur, min 20 hr/bln.

A2. 10-19 hr/bln

A3. 9 hari/bln

A4. Beberapa hr/bln

B. Air tawar sampai payau

Sumber: Kusmana et al.(2005)

Mangrove adalah salah satu sumberdaya yang dapat pulih (renewable).

Peran dan fungsi mangrove yang sangat penting, akan tetapi kondisi hutan

mangrove saat ini telah mengalami banyak kerusakan. Kerusakan mangrove

disebabkan oleh dua faktor, yaitu faktor alam dan faktor manusia. Sekalipun

demikian faktor utama kerusakan mangrove adalah karena faktor manusia, seperti

aktifitas produksi, eksploitasi, konversi lahan untuk peruntukan lain atau aktifitas

non-poduksi seperti polusi dari limbah rumah tangga atau limbah industry (Fauzi

2004).

Lebih lanjut Kusmana (1991) menyatakan, bahwa kerusakan ekosistem

mangrove terjadi karena pengaruh dua faktor, yaitu faktor alam dan faktor

manusia. Dari faktor alam, kerusakan tersebut dapat terjadi melalui pengaruh

(31)

manusia, kerusakan yang terjadi akibat prilaku manusia itu sendiri seperti

aforestasi, reforestasi dan eksploitasi hutan mangrove yang tidak terkendali serta

pencemaran di perairan estuaria tempat lokasi tumbuhnya mangrove. Uraian

secara ringkas dampak kegiatan manusia pada ekosistem mangrove dapat dilihat

pada Tabel 2.

Tabel 2. Ikhtisar dampak kegiatan manusia terhadap ekosistem mangrove

No Kegiatan Dampak potensial 1. mineral, baik di dalam hutan maupun di daratan sekitar mangrove

a. berubahnya komposisi tumbuhan mangrove b. tidak berfungsi sebagai daerah mencari

makanan dan pengasuhan

a. peningkatan salinitas pada lahan mangrove b. menurun tingkat kesubuan hutan mangrove

a. mengancam regenerasi stok ikan dan udang di perairan lepas pantai yang memerlukan mangrove

b. terjadi pencemaran laut oleh bahan pencemar yang sebelumnya diikat oleh substrat mangrove

c. pendangkalan perairan pantai d. erosi garis pantai dan intrusi garam.

a. Penurunan kandungan oksigen terlarut, peningkatan gas H2S

a. Kemungkinan tertutupnya pneumatofora yang mengakibatkan matinya pohon mangrove

b. Perembesan bahan-bahan pencemar dalam sampah padat

a. Kematian pohon mangrove

a. Kerusakan total ekosistem mangrove sehingga menurunkan fungsi ekologis mangrove (daerah mencari makanan dan asuhan).

(32)

2.2. Faktor Lingkungan yang Mempengaruhi Kehidupan Mangrove

Kusmana et al. (2005) berpendapat bahwa terdapat beberapa faktor lingkungan yang mendukung ekosistem mangrove (struktur, fungsi, komposisi

dan distribusi spesies, dan pola pertumbuhan) yakni sebagai berikut:

1. Fisiografi pantai

Topografi pantai merupakan factor penting yang mempengaruhi karakteristik

struktur mangrove, khususnya komposisi spesies, distribusi spesies dan

ukuran serta luas mangrove. Semakin datar pantai dan semakin besar pasang

surut maka semakin lebar mangrove yang tumbuh.

2. Iklim

a. Cahaya

Umumnya tanamaan mangrove membutuhkan intensitas cahaya matahari

yang tinggi dan penuh, sehingga zona pantai tropis merupakan habitat

ideal bagi mangrove. Kisaran intensitas cahaya optimal untuk

pertumbuhan mangrove adalah 3000 – 3800 kkal/m2/hari. Pada saat masih

kecil (semai) tanaman mangrove memerlukan naungan. Beberapa hasil

penelitian menunjukkan:

− Intensitas cahaya 50% dapat meningkatkan daya tumbuh bibit Rhizopora mucronata dan Rhizophora apiculata.

− Intensitas cahaya 75% mempercepat pertumbuhan bibit Bruguiera gymnorrhiza.

− Intensitas cahaya 75% meningkatkan pertumbuhan tinggi bibit Rhizopora mucronata, Rhizophora apiculata dan Bruguiera gymnorrhiza.

b. Curah hujan

Curah hujan mempengaruhi factor lingkungan seperti suhu air dan udara,

salinitas air permukaan tanah yang berpengaruh pada daya tahan spesies

mangrove. Dalam hal ini mangrove tumbuh subur di daerah curah hujan

rata-rata 1500 – 3000 mm/thn.

c. Suhu udara

Suhu penting dalam proses fisiologi seperti fotosintesis dan respirasi.

(33)

suhu rata-rata bulanan dengan kisaran dari 26.3 0C pada Bulan Desember

sampai dengan 28.7 0C.

Hutching dan Saenger (1987) in Kusmana et al. (2005) mendapatkan kisaran suhu optimum untuk pertumbuhan beberapa jenis tumbuhan

mangrove yaitu: Avicennia marinna tumbuh baik pada suhu 18–20 0C,

Rhizophora stylosa, Criops spp., Exceocaria agallocha dan Lumnitzera racemosa pertumbuhan daun segar tertinggi dicapai pada suhu 26–28 0C, suhu optimum Bruguiera spp. 27 0C, Xylocarpus spp. berkisar antara 21–

26 0C dan Xylocarpus granatum 28 0C. Pertumbuhan mangrove yang baik

memerlukan suhu rata-rata minimal lebih besar dari 20 0C dan perbedaan

suhu musiman tidak melebihi 5 0C kecuali di Afrika Timur dimana

perbedaan suhu musiman mencapai suhu 10 0C.

d. Angin

Angin berpengaruh terhadap gelombang dan arus pantai, yang dapat

menyebabkan abrasi dan mengubah struktur mangrove, meningkatkan

evapotranspirasi dan angin kuat dapat menghalangi pertumbuhan dan

menyebabkan karakteristik fisiologis abnormal, namun demikian

diperlukan untuk proses polinasi dan penyebaran benih tanaman.

3. Pasang surut

Pasang surut menentukan zonasi komunitas flora dan fauna mangrove. Durasi

pasang surut berpengaruh besar terhadap perubahan salinitas pada areal

mangrove. Perubahan tingkat salinitas pada saat pasang merupakan salah satu

factor yang membatasi distribusi spesies mangrove terutama distribusi

horizontal. Pada area yang selalu tergenang hanya Rhizophora mucronata

yang tumbuh baik, sedang Bruguiera spp., dan Xylocarpus spp. jarang mendominasi daerah yang sering tergenang.

4. Gelombang dan arus

Gelombang pantai yang dipengaruhi angin dan pasut merupakan penyebab

penting abrasi dan suspensi sedimen. Pada pantai berpasir dan berlumpur,

gelombang dapat membawa partikel pasir dan sedimen laut. Partikel besar

atau kasar akan mengendap terakumulasi membentuk pantai pasir. Mangrove

(34)

5. Salinitas

Salinitas air dan salinitas tanah rembesan merupakan faktor penting dari

pertumbuhan, daya tahan dan zonasi spesies mangrove. Tumbuhan mangrove

tumbuh subur di daerah estuaria dengan salinitas 10-30 ppt. beberapa spesies

dapat tumbuh di daerah dengan salinitas yang tinggi. Di Australia dilaporkan

Aviecennia marina dan Exceocaria agallocha dapat tumbuh di daerah dengan salinitas maksimun 63 ppt, Ceriops spp. pada 72 ppt, Sonneratia spp. pada 44

ppt, Rhizophora artikulata pada 65 ppt dan Rhizophora stylosa pada 74 ppt. Mangrove merupakan vegetasi yang bersifat tolerant bukan

salt-dimanding, oleh karena mangrove dapat tumbuh secara baik di habitat air tawar. Kebanyakan mangrove tumbuh di habitat maritim mungkin disebabkan

oleh beberapa faktor sebagai berikut: (a) penyebaran biji/propagul mangrove

terbatas oleh daya jangkau pasang surut, (b) anakan mangrove kalah bersaing

dengan tumbuhan darat, dan (c) mangrove dapat mentoleransi kadar garam.

Zonasi mangrove berdasarkan salinitas, menurut De Hann (1931) in Bengen

(2004) dibagi sebagai berikut:

a. Zona air payau hingga air laut dengan salinitas pada waktu terendam air

pasang berkisar antara 10-30 ppt:

− Area yang terendam sekali atau dua kali sehari selama 20 hari dalam sebulan hanya Rhizophora mucronata yang masih dapat tumbuh. − Area yang terendam 10-19 kali/bln, ditemukan Avicennia (Avicennia

alba, Avicennia marina), Sonneratia sp. dan didominasi oleh Rhizophora sp.

− Area yang terendam kurang dari 9 kali/bulan, ditemukan Rhizophora sp., Bruguiera sp.

− Area yang tergenang hanya beberapa kali dalam setahun (jarang), Bruguiera gymnorrhiza dominan dan Rhizophora apikulata masih dapat hidup.

b. Zona air tawar hingga relatif air payau, dimana salinitas berkisar antara

0-10 ppt:

- Area yang kurang lebih masih di bawah pengaruh pasang surut,

(35)

- Area yang terendam secara musiman, didominasi oleh Hibiscus.

6. Oksigen terlarut

Oksigen terlarut sangat penting bagi eksistensi flora dan fauna mangrove

(terutama dalam proses fotosintesis dan respirasi) dan percepatan

dekomposisi serasah sehingga konsentrasi oksigen terlarut berperan

mengontrol distribusi dan pertumbuhan mangrove. Konsentrasi oksigen

terlarut bervariasi menurut waktu, musim, kesuburan dan organisme akuatik.

Konsentrasi oksigen terlarut harian tertinggi dicapai pada siang hari dan

terendah pada malam hari. Konsentrasi oksigen terlarut di mangrove berkisar

antara 1.7-3.4 mg/l, lebih rendah di banding diluar mangrove yang besarnya

4.4 mg/l.

7. Tanah

Tanah mangrove dibentuk oleh akumulasi sedimen yang berasal dari pantai

dan erosi hulu sungai. Mangrove terutama tumbuh pada tanah lumpur, namun

berbagai jenis mangrove dapat tumbuh di tanah berpasir, koral, tanah

berkerikil bahkan tanah gambut.

8. Nutrien

Nutrient mangrove dibagi atas nutrien in-organik dan detritus organic.

Nutrien in-organik penting adalah N dan P (jumlahnya sering terbatas), serta

K, Mg dan Na (selalu cukup). Sumber nutrient in-organik adalah hujan, aliran

permukaan, sedimen, air laut dan bahan organic yang terdegradasi. Detritus

organic adalah nutrient organic yang berasal dari bahan-bahan biogenic melalu beberapa tahap degradasi microbial. Detritus organic berasal dari authochthonus (fitoplankton, diatom, bakteri, algae, sisa organisme dan kotoran organisme) dan allochthonus (partikulat dari air, limpasan sungai,

partikel tanah dari pantai dan erosi tanah, serta tanaman dan hewan yang mati

di zona pantai dan laut).

9. Proteksi

Mangrove berkembang baik di daerah pesisir yang terlindungi dari

gelombang yang kuat yang dapat menghempaskan anakan mangrove. Daerah

yang dimaksud dapat berupa laguna, teluk, estuaria, delta, dan lain-lain.

(36)

yang paling berperan dalam pertumbuhan mangrove adalah tipe tanah,

salinitas, drainase dan arus yang semuanya diakibatkan oleh kombinasi

pengaruh fenomena pasang surut dan ketinggian tempat dari rata-rata muka

air laut.

2.3. Zonasi dan Struktur Vegetasi Ekosistem Mangrove

Dalam perencanaan konservasi, distribusi/sebaran jenis tumbuhan dan

binatang disepanjang area sangat diperlukan sebagai informasi dasar (Pearce &

Ferrier 2001). Lebih lanjut Van Horne (1983) menyatakan, bahwa informasi

demografis dan utilisasi sumber daya yang lengkap adalah hal penting untuk

pemahaman kelayakan habitat dan akan mutunya.

Menurut Noor et al. (1999), mangrove pada umumya tumbuh dalam 4

(empat) zona yaitu, pada daerah terbuka, daerah tengah, daerah yang memiliki

sungai berair payau sampai hampir tawar, serta daerah ke arah daratan yang

memiliki air tawar. Lebih jelasnya masing-masing zona diuraikan sebagai berikut:

a) Mangrove terbuka, berada pada bagian yang berhadapan dengan laut. Komposisi floristic dari komunitas di zona terbuka sangat tergantung pada substratnya. Contoh tanamannya adalah Sonneratia alba yang mendominasi

daerah berpasir sementara Avicennia marina dan Rhizophora mucronata

cenderung untuk mendominasi daerah yang berlumpur.

b) Mangrove tengah, terletak di belakang mangrove zona terbuka. Di zona ini biasanya didominasi oleh jenis Rhizophora. Jenis-jenis penting lainnya yang

ditemukan adalah Bruguiera gymnorhiza, Excoecaria agallocha, Rhizophora

mucronata, Xylocarpus granatum dan X. moluccensis.

c) Mangrove payau, berada di sepanjang sungai berair payau hingga hampir tawar. Di zona ini biasanya didominasi oleh komunitas Nypa atau sonneratia.

Di jalur lain biasanya ditemukan tegakan Nypa fruticans yang bersambung

dengan vegetasi yang terdiri atas Cerbera sp., Gluta renghas, Stenochlaena

palustris, dan Xylocarpus granatum. Ke arah pantai campuran komunitas Sonneratia-Nypa lebih sering ditemukan.

d) Mangrove daratan, berada di zona perairan payau atau hampir tawar di belakang jalur hijau mangrove sebenarnya. Zona ini memiliki kekayaan jenis

(37)

ditemukan pada zona ini termasuk Ficus microcarpus, F. retusa, Intsia bijuga,

Nypa fruticans, Lumnitzera racemoza, Pandanus sp., dan Xylocarpus moluccensis.

2.4. Fungsi dan Manfaat Ekosistem Mangrove

Ekosistem mangrove merupakan sumberdaya alam tropika yang memiliki

banyak manfaat, baik aspek ekologi maupun aspek sosial ekonomi. Peranan

penting ekosistem mangove bagi kehidupan dapat diketahui dari banyaknya

makhluk hidup, baik yang hidup di parairan, di atas lahan maupun di tajuk-tajuk

pohon mangrove serta ketergantungan manusia terhadap ekosistem tersebut.

Mangrove berfungsi untuk mensuplai berbagai material ke daerah pantai (Alongi

1989; Hatcher et al. 1989; Chong et al. 1990; Lee 1995). Material ini

menstimulasi produktivitas pantai, dimana daerah pantai yang bermangrove akan

memiliki hasil perikanan yang lebih besar dibandingkan daerah pantai tanpa

mangrove (Marshall 1994). Detritus mangrove setelah terbawa air laut merupakan

nutrisi yang berpengaruh nyata bagi kehidupan pesisir dan laut (Rodelli et al.

1984, Hatcher et al. 1989, Fleming et al. 1990, Marguillier et al. 1997). Sebagai

tambahan, mangrove juga menyediakan bahan makanan, tempat bernaung, dan

sebagai tempat perlindungan untuk berbagai organisme intertidal maupun subtidal

(Blaber 1986; Robertson & Duke 1987).

Para ahli berpendapat bahwa hutan mangrove memiliki fungsi fisik, fungsi

biologi dan fungsi ekonomi. Menurut Hamilton dan Sneadaker (1984), Arief

(1994) dan Bann (1998), fungsi hutan mangrove dapat dipandang dari beberapa

aspek yaitu :

1. Fungsi biologi

Fungsi biologi dari hutan mangrove antara lain:

(a).Tempat pemijahan (spawning ground) dan pertumbuhan pasca larva

(nursery ground) komoditi perikanan bernilai ekonomis tinggi (ikan,

kepiting, udang dan kerang)

(b).Pelindung terhadap keanekaragaman hayati

(c).Penyerap karbon dan penghasil oksigen yang sangat berguna bagi

(38)

2. Fungsi fisik

Fungsi fisik dari hutan mangrove antara lain:

(a).Pembangunan lahan dan pengendapan lumpur sehingga dapat memperluas

daratan.

(b).Menjaga garis pantai agar tetap stabil, pelindung pantai dari abrasi akibat

gempuran ombak, arus, banjir akibat laut pasang dan terpaan angin

(c).Pencegah interusi air laut ke daratan

(d).Pengolah limbah organic dan perangkap zat-zat pencemar (pollutant trap).

3. Fungsi ekonomi

Fungsi ekonomi yang berkaitan dengan pemanfaatan langsung dari hutan

mangrove antara lain:

(a).Bahan bakar (kayu bakar dan arang)

(b).Bahan bangunan (kayu bangunan, tiang dan pagar)

(c).Alat penangkap ikan ( tiang sero, bubu, pelampung dan bagan)

(d).Makanan, minuman dan obat-obatan

(e).Bahan baku pulp dan kertas

(f).Bahan baku untuk membuat alat-alat rumah tangga dan kerajinan

(g).Pariwisata

Fungsi fisik dan biologi dapat dikatakan sebagai fungsi ekologis yang

belum mengalami perubahan dari aktivitas pembangunan manusia. Fungsi

ekonomi merupakan unsur tambahan dalam system ekologi tersebut yang telah

melibatkan berbagai aktifitas untuk memanfaatkan sumberdaya alam. Fungsi

ekologis secara ekonomis memberi manfaat tidak langsung terhadap manusia,

sedangkan fungsi ekonomi memberikan manfaat langsung kepada manusia.

Menurut Liyanage (2004), nilai keuntungan (manfaat) tidak langsung dari

eksosistem mangrove dirasakan lebih tinggi jika dibandingkan manfaat

langsungnya. Nilai penting ekosistem mangrove antara lain menurunkan tingkat

erosi di pantai dan sungai, mencegah banjir, mencegah intrusi air laut,

menurunkan tingkat polusi (pencemaran), poduksi bahan organik sebagai sumber

bahan makanan, sebagai wilayah (daerah) asuhan, pemijahan, dan mencari makan

untuk berbagai jenis biota laut. Mangrove juga akan menjadi sumberdaya penting

(39)

pada kenyataannya ekosistem ini menjaga kestabilan garis pantai, menyediakan

penghalang alami dari badai, topan, pasang surut yang tidak menentu dan bencana

alam lainnya. Untuk beberapa kasus, ekosistem mangrove berkontribusi secara

signifikan terhadap kehidupan social ekonomi masyarakat disekitarnya.

Melena et al. (2000) menambahkan bahwa terdapat 6 fungsi ekosistem mangrove ditinjau dari ekologi dan ekonomi, yaitu:

1. Mangrove menydiakan daerah asuhan untuk ikan, udang dan kepiting, dan

mendukung produksi perikanan di wilaiayah pesisir.

2. Mangrove menghasilkan serasah daun dan bahan-bahan pengurai yang

berguna sebagai bahan makanan hewan-hewan estuari dan perairan pesisir.

3. Mangrove melindungi lingkungan sekitar dengan melindungi daerah

pesisir dan masyarakat didalamnya dari badai, ombak, pasang surut dan

topan.

4. Mangrove menghasilkan bahan organik (organic biomass) yaitu karbon

dan menurunkan polusi bahan organik di daerah tepi dengan menjebak dan

menyerap berbagai polutan yang masuk kedalam perairan.

5. Dari segi estetika, mangrove menyediakan daerah wisata untuk

pengamatan burung, dan pengamatan jenis-jenis satwa lainnya.

6. Mangrove menyediakan kayu api untuk bahan bakar, kayu untuk bahan

bangunan, daun nipah untuk atap dan kerajinan tangan, serta lahan tambak

untuk budidaya perikanan. Ikan, udang-udangan, kerang dan berbagai

benih ikan juga dapat di panen dari ekosistem mangrove. Akuakultur dan

perikanan komersial (perikanan tangkap) juga tergantung dari sumberdaya

mangrove, yaitu sebagai tempat untuk tumbuh dan berkembang biak

berbagai jenis komoditas perikanan. Selain itu mangrove juga sebagai

sumber tannin, alkohol, dan obat-obatan. Nilai keseluruhan ekosistem

mangrove berkisar $500 US – $1 550 USD /ha/thn, nilai minim terjadi

ketika ekosistem mangrove dikonversi menjadi diperuntukan yang lain.

2.5. Konsep dan Metode Valuasi Ekonomi 2.5.1. Konsep Valuasi Ekonomi

Konsep nilai (value) adalah harga yang diberikan oleh seseorang terhadap

(40)

waktu, barang atau uang yang akan dikorbankan seseorang untuk atau

menggunakan barang atau jasa yang diinginkannya. Penilaian (valuation) adalah

kegiatan yang berkaitan dengan pembangunan konsep dan metodologi untuk

menduga nilai barang dan jasa. Kajian-kajian valuasi ekonomi membahas masalah

nilai lingkungan (valuing the environment) atau harga lingkungan (pricing the

environment).

Pada prinsipnya valuasi ekonomi bertujuan untuk memberikan nilai

ekonomi kepada sumberdaya yang digunakan sesuai dengan nilai riil dari sudut

pandang masyarakat. Menurut Thampapillai (1993) dalam Sanim (1997) tujuan

utama dari valuasi ekonomi barang-barang dan jasa lingkungan (environmental

goods dan services) adalah untuk dapat menempatkan lingkungan sebagai komponen integral dari setiap sistem ekonomi. Dengan demikian valuasi

lingkungan hidup harus merupakan suatu bagian integral dan prioritas sektoral

dalam mendeterminasi keseimbangan antara konservasi dan pembangunan.

Bermacam-macam teknik penilaian dapat digunakan untuk

mengkuantifikasi konsep dari nilai. Sanim (1997) menyatakan hal-hal yang harus

diperhatikan dan dipertimbangkan dalam memilih suatu metode valuasi ekonomi

dampak lingkungan adalah sebagai berikut :

1. Banyaknya tujuan atau perkiraan yang ingin diukur. Apabila analisis yang

dilakukan memiliki tujuan ganda, maka akan lebih meyakinkan bagi

seorang analis apabila mampu menyarankan besaran-besaran dampak yang

disarankan.

2. Konsep dan aspek yang ingin dinilai. Metode valuasi yang saling berbeda

satu sama lain bersifat saling melengkapi bukan berkompetisi, karena

mengukur aspek atau konsep yang berbeda.

3. Kebutuhan atau kepentingan pemakai hasil valuasi. Pemakai hasil valuasi

memiliki preferensi tertentu dan tersendiri terhadap suatu metode valuasi

ekonomi tergantung biaya, waktu dan tujuan.

4. Kepentingan umum atau masyarakat secara keseluruhan. Preferensi

masyarakat umum harus mampu ditangkap secara maksimal dan setepat

mungkin. Oleh karena itu, perlu ditempuh cara jajak pendapat yang

(41)

5. Perbandingan atau bobot antara biaya dengan nilai ekonomi penggunaan

hasil valuasi ekonomi. Apakah keuntungan yang diperoleh dari hasil

penggunaan valuasi tersebut sebanding dengan biaya yang akan

dikeluarkan.

2.5.2. Metode Valuasi Ekonomi

Kegiatan valuasi ekonomi terdiri dari 3 tahap yaitu: (1) melakukan

identifikasi manfaat dan fungsi sumberdaya, (2) melakukan kuantifikasi seluruh

manfaat dan fungsi sumberdaya, dan (3) melakukan pilihan alternatif pengelolaan

sumberdaya (Dahuri et al. 2004).

a. Identifikasi manfaat dan fungsi ekosistem mangrove

Manfaat ekosistem hutan mangrove yang dikonsumsi oleh masyarakat

dapat dikategorikan ke dalam dua komponen utama yaitu manfaat langsung (use

value) dan manfaat tidak langsung (non use value). Komponen manfaat langsung dikategorikan kembali ke dalam nilai kegunaan langsung (direct use value) dan

nilai kegunaan tidak langsung (indirect use value). Nilai kegunaan langsung

merujuk pada kegunaan langsung dari pemanfaatan hutan mangrove baik secara

komersial maupun non komersial. Sedangkan nilai kegunaan tidak langsung

merujuk pada nilai yang dirasakan secara tidak langsung terhadap barang dan jasa

yang dihasilkan oleh sumberdaya alam dan lingkungan (Dahuri et al. 2004).

Komponen manfaat tidak langsung adalah nilai yang diberikan kepada

hutan mangrove atas keberadaannya meskipun tidak dikonsumsi secara langsung

dan lebih bersifat sulit diukur karena lebih didasarkan pada preferensi terhadap

lingkungan ketimbang pemanfaatan langsung. Komponen manfaat tidak langsung

dibagi lagi ke dalam sub-class yaitu nilai keberadaan (existence value), nilai

pewarisan (bequest value) dan nilai pilihan (option value). Nilai keberadaan pada

dasarnya adalah penilaian yang diberikan dengan terpeliharanya sumberdaya.

Nilai pewarisan diartikan sebagai nilai yang diberikan oleh generasi kini dengan

menyediakan atau mewariskan sumberdaya untuk generasi mendatang. Nilai

pilihan diartikan sebagai nilai pemeliharaan sumberdaya sehingga pilihan untuk

memanfaatkannya masih tersedia untuk masa yang akan datang (Dahuri et al.

(42)

b. Kuantifikasi manfaat dan fungsi ekosistem hutan mangrove

Tipologi metode valuasi ekonomi dapat digolongkan dalam tiga bagian

besar, terantung pada derajat atau kemudahan aplikasinya yaitu: (1) umum

diaplikasikan, (2) potensial untuk diaplikasikan, dan (3) didasarkan atas survey.

Secara garis besar metode valuasi ekonomi dapat dibagi dalam dua kelompok

besar yaitu pendekatan manfaat (benefit based valuation) dan pendekatan biaya

(cost based valuation). Metode-metode tersebut pada dasarnya merupakan turunan

dari metode analisis biaya manfaat (Dixon and Hodgson 1988)

Metode valuasi dengan pendekatan manfaat dapat dikelompokkan ke

dalam 2 kategori umum yaitu: berdasarkan nilai pasar aktual (actual market based

methods) dan yang kedua berdasarkan nilai pasar pengganti (substitute or surrogate market based methods). Metode-metode valuasi ekonomi yang termasuk ke dalam pengukuran nilai pasar aktual adalah (1) perubahan nilai

produksi (change in productivity), (2) metode kehilangan penghasilan (loss of

earning methods). Untuk metode pasar pengganti terdiri dari: (1) biaya perjalanan (travel cost methods), (2) pendekatan perbedaan upah (wage differential methods),

(3) pendekatan nilai pemilikan (property value), dan (4) pendekatan nilai barang

yang dapat dipasarkan sebagai pengganti lingkungan (hedonic pricing).

Metode valuasi dengan pendekatan biaya terdiri dari: (1) pengeluaran

pencegahan (averted defensive expenditure methods), (2) proyek bayangan

(shadow project methods), (3) biaya penggantian (replacement cost methods), dan

(4) biaya perpindahan (relocation cost methods). Secara ringkas, hubungan antara

(43)

 

Gambar 2. Pengelompokan nilai ekonomi lingkungan dan hubungannya dengan metode valuasi ekonomi lingkungan (Dixon and Hodgson 1988).

Hufschmidt et al. (1996) mengelompokkan metode valuasi ekonomi berdasarkan pendekatan harga pasar (actual market based methods) dan

berdasarkan pendekatan survei atau penilaian hipotesis. Pendekatan berorientasi

pasar telah mencakup berbagai metode valuasi yang dikemukakan oleh Dixon dan

Hudgson (1988). Pendekatan berdasarkan survey (survey based methods), terdiri

dari metode pendekatan berdasarkan kondisi lapangan (contingen valuation

(44)

c. Pilihan alternatif pengelolaan ekosistem hutan mangrove

Dalam menetapkan kebijakan dengan mengutamakan prinsip

keseimbangan antara pemanfaatan dan pelestarian fungsi sumberdaya hutan

mangrove, maka pemahaman terhadap nilai ekonomi total (total economic value)

hutan mangrove serta kombinasi alokasi pemanfaatan sumberdaya yang efisien

mutlak diperlukan. Menurut Barbier (1989), konsep nilai ekonomi total terdiri dari

5 komponen yaitu nilai manfaat langsung (direct use value), nilai manfaat tidak

langsung (indirect use value), nilai manfaat pilihan (option value), nilai

keberadaan (existence value), dan nilai waris (bequest value).

Menurut Sanim (1997), nilai ekonomi dari aset lingkungan hidup dapat

dipecah-pecah kedalam suatu set bagian komponen. Sebagai ilustrasi dalam

konteks penentuan alternatif penggunaan lahan dari hutan mangrove. Bedasarkan

hukum biaya dan manfaat (benefit – cost rule), keputusan untuk mengembangkan

suatu hutan mangrove dapat dibenarkan apabila manfaat bersih dari

pengembangan hutan tersebut lebih besar dari manfaat bersih konservasi. Jadi

dalam hal ini manfaat konservasi diukur dengan nilai ekonomi total dari hutan

mangrove tersebut yang juga dapat diinterprestasikan sebagai perubahan kualitas

lingkungan hidup.

Ruitenbeek (1994) mengemukakan dengan teknik analisis biaya dan

manfaat dapat membantu dalam pengambilan keputusan untuk perencanaan dan

pengelolaan lingkungan. Dalam hal ini analisis biaya dan manfaat digunakan

untuk mengukur semua manfaat (benefit) dan biaya (cost) sebuah proyek dari

awal sampai akhir dalam bentuk nilai uang dan memberikan ukuran efisiensi

ekonomi proyek tersebut dari pandangan masyarakat.

Lubis (1995) mengemukakan bahwa analisis biaya dan manfaat dapat

digunakan jika :

1. Sebagian manfaat dan biaya proyek dapat dihitung dengan nilai uang

2. Manfaat dan biaya termasuk manfaat dan biaya lingkungan yang mengenai

sekelompok masyarakat tidak secara langsung dihitung dalam proyek

(dampak eksternal)

(45)

Adapun faktor-faktor yang perlu dibedakan dalam kuantifikasi manfaat

dan biaya yaitu :

1. Kemungkinan logis untuk menilai semua manfaat dan biaya sebuah proyek

2. Kemungkinan empiris untuk mengevaluasi

3. Penilaian moral atas valuasi tersebut

Dampak lingkungan sedapat mungkin diintegrasikan kedalam proses

valuasi proyek, sehingga memungkinkan bagi pembuat kebijakan untuk

membandingkan dampak lingkungan dengan dampak ekonomi dalam suatu unit

yang sama. Tabel 3 menunjukkan beberapa dampak lingkungan yang dapat

dihitung dalam ukuran uang dan dimasukkan dalam analisa manfaat dan biaya.

Dalam tabel tersebut terlihat adanya dampak positif (manfaat) dan dampak negatif

(biaya) dari pembukaan hutan bakau untuk tambak.

Tabel 3. Contoh hipotesis penilaian dampak ekonomi pembukaan hutan mangrove untuk lahan tambak

No Dampak Manfaat/

Biaya Pengukur

Kehilangan jenis ikan dan biota lain

Harga ikan atau udang setelah disesuaikan dengan

subsidi/pajak x produksi ???

Jumlah uang yang dibelanjakan oleh turis

Peningkatan harga tanah

Kehilangan lahan

Harga bahan bangunan, tenaga kerja, kapital dan alat

??? 8.

9. 10.

Operasi dan biaya pekerjaan pemeliharaan lainnya Pembersihan lahan Penurunan hasil ikan di muara dan lepas pantai

Biaya

Biaya Biaya

Harga bahan bangunan, tenaga kerja, kapital dan alat

Harga peralatan, tenaga kerja Harga ikan x jumlah ikan yang berkurang

(46)

2.6. Analisis Kelembagaan

Secara umum terdapat dua jenis pengertian institusi, pertama adalah

institusi sebagai organisasi dan kedua adalah institusi sebagi aturan main atau

“rules of the game”. Institusi sebagai suatu organisasi biasanya menunjukan pada lembaga-lembaga formal seperti departemen dalam pemerintahan, koperasi, bank,

rumah sakit, dan sejenisnya. Institusi sebagai “rules of the game” merupakan

aturan main, norma-norma, larangan-larangan, kontrak, dan lain sebagainya dalam

mengatur dan mengendalikan perilaku individu dalam masyarakat atau organisasi

(North 1990; Rodgers 1994). Bromley (1992) mengibaratkan organisasi sebagai

hardwere dan institusi adalah softwerenya.

Suatu institusi, terdiri dari tiga unsur utama yaitu batas jurisdiksi, property

rights, dan aturan representasi (rules of representations). Satu institusi berbeda dengan institusi lainnya apabila satu atau lebih dari unsur-unsur tersebut berbeda.

Untuk memahami institusi lebih mendalam dan dapat melihat dampak perubahan

alternatif institusi terhadap performa kita perlu terlebih dahulu mempelajari

unsur-unsur dari institusi itu sendiri (Schmid and Allan 1987).

Landasan kerangka analitik institusi adalah mempelajari dampak

perubahan alternatif institusi terhadap perubahan prilaku manusia yang akhirnya

akan menghasilkan performa yang berbeda. Perubahan institusi hanya akan

menghasilkan performa yang berbeda apabila perubahan tersebut dapat

mengkontrol sumber interdependensi antar individu seperti inkompatibilitas,

ongkos eksklusi tinggi (high exclusion cost), ongkos transaksi, skala ekonomi,

joint impact good,dan seterusnya. Kemampuan suatu institusi mengkordinasikan, mengendalikan, atau mengontrol interdependensi antar partisipan sangat

ditentukan oleh kemampuan institusi tersebut mengendalikan sumber

interdependensi. Oleh karena itu pengetahuan mengenai sumber interdependensi

dan alternatif institusi sangat penting karena kesalahan dalam pemahaman sumber

interdependensi akan menyebabkan perubahan institusi tidak efektif (Schmid and

Gambar

Tabel 1. Penyebaran jenis-jenis pohon mangrove berdasarkan kelas genangan
Tabel 2.  Ikhtisar dampak kegiatan manusia terhadap ekosistem mangrove
Gambar 2. Pengelompokan nilai ekonomi lingkungan dan hubungannya dengan metode valuasi ekonomi lingkungan (Dixon and Hodgson 1988)
Tabel 3.  Contoh hipotesis penilaian dampak ekonomi pembukaan hutan mangrove untuk lahan tambak
+7

Referensi

Dokumen terkait

Hasil identifikasi kapang mikroskopis yang diisolasi dari tiga tingkat kematangan gambut yang berbeda di Kawasan Hutan Lindung Gunung Ambawang Kabupaten Kubu Raya

HASIL DAN PEMBAHASAN Hasil penelitian menunjukkan di kawasan Hutan Lindung Gunung Ambawang ditemukan 19 jenis pohon penyusun tegakan hutan untuk semua tingkat

Kepadatan koloni bakteri pelarut fosfat pada tiap kematangan tanah gambut yang terdapat di Kawasan Hutan Lindung Gunung Ambawang Kecamatan Teluk Pakedai Kabupaten Kubu Raya

METODOLOGI PENELITIAN Penelitian ini dilaksanakan di areal Hutan Lindung Pinang Luar. Areal tersebut berada di Kecamatan Rasu Jaya Kabupaten Kubu Raya, Kalimantan Barat, Kawasan

Kondisi habitat pada hutan lindung Mangrove Teluk Besar Parit Kelabu memiliki keadaan lingkungan dan daya dukung yang sesuai bagi kehidupan satwa liar burung, dimana sumber daya

Hasil identifikasi kapang mikroskopis yang diisolasi dari tiga tingkat kematangan gambut yang berbeda di Kawasan Hutan Lindung Gunung Ambawang Kabupaten Kubu Raya

Dari ke-4 (empat) jalur pengamatan yang dilakukan di kawasan Hutan Lindung Gunung Raya Kabupaten Ketapang menunjukkan bahwa vegetasi tingkat pohon yang mendominasi

Kondisi habitat pada hutan lindung Mangrove Teluk Besar Parit Kelabu memiliki keadaan lingkungan dan daya dukung yang sesuai bagi kehidupan satwa liar burung, dimana sumber daya