KAJIAN PENGELOLAAN EKOSISTEM MANGROVE
PADA KAWASAN HUTAN LINDUNG DI DESA DABONG,
KECAMATAN KUBU, KABUPATEN KUBU RAYA,
KALIMANTAN BARAT
TEGUH SETYO NUGROHO
SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR
Dengan ini saya menyatakan bahwa tesis saya yang berjudul Kajian Pengelolaan Ekosistem Mangrove Pada Kawasan Hutan Lindung di Desa Dabong, Kecamatan Kubu, Kabupaten Kubu Raya, Kalimntan Barat adalah hasil karya saya sendiri dan belum diajukan dalam bentuk apapun kepada perguruan tinggi manapun. Sumber informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan maupun tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam daftar pustaka di bagian akhir tesis ini.
Bogor, Desember 2009
TEGUH SETYO NUGROHO, Management Study of Mangrove Ecosystem at Protected Forest Area in Dabong Village, Kubu District, Kubu Raya Regency, Province of West Kalimantan. Supervised by GATOT YULIANTO and ZAIRION.
The mangrove ecosystem in Dabong has been specified to become mangrove protected forest because having important role for life prop of coastal area and sea, but this is not fully can protect mangrove ecosystem from degradation due to some of mangrove areas has been converted to be shrimp ponds by local community. The study objective is to find alternatives policy for mangrove ecosystem management, so for the purpose need to be analysed mangrove condition; economics value of mangrove ecosystem and shrimp ponds; and institutional from mangrove ecosystem management. Data were obtained through sampling, field observation, respondent information, and bibliography study. Study result showed that already happened degradation of mangrove forest wide 502.77 ha (17.65%) in range of time 16 years (1991-2007). Economics value of mangrove ecosystem is equal to Rp.10,637,453.28 /ha/year, higher from shrimp ponds which equal to Rp.3,561,772.66 /ha/year. Institution structure (jurisdiction boundaries, property rights and rules of representation) in mangrove ecosystem management still weakening because still having problems with local community. Management policy of mangrove ecosystem which can be done is by strengthening institutional structure passed revision to zonation of mangrove protected forest area and makes agreement of conservation with local community.
TEGUH SETYO NUGROHO, Kajian Pengelolaan Ekosistem Mangrove Pada Kawasan Hutan Lindung di Desa Dabong Kecamatan Kubu Kabupaten Kubu Raya Provinsi Kalimantan Barat. Dibimbing oleh GATOT YULIANTO dan ZAIRION.
Ekosistem mangrove di Desa Dabong telah ditetapkan menjadi hutan lindung mangrove karena memegang peranan penting untuk penyangga kehidupan pesisir dan laut. Akan tetapi hal ini tidak sepenuhnya dapat melindungi ekosistem mangrove dari degradasi karena sebagian kawasan mangrove telah dikonversi menjadi tambak oleh masyarakat. Hal ini terjadi akibat lemahnya pengelolaan hutan lindung mangrove. Kajian pengelolaan ekosistem mangrove terutama yang terkait dengan kelembagaan perlu dilakukan agar didapat alternatif solusi kebijakan pengelolaan mangrove yang berkelanjutan. Penelitian ini bertujuan untuk mencari alternatif kebijakan dalam pengelolaan mangrove sehingga untuk itu perlu dikaji situasi dan kondisi mangrove, nilai ekonomi mangrove dan tambak serta akar penyebab permasalahan adanya tambak, pemukimana dan lahan garapan di kawasan hutan lindung mangrove.
Pengumpulan data dilakukan melalui metode observasi (pengamatan) langsung di lapangan, kuisioner, wawancara secara mendalam (depth interview), diskusi dan penelusuran berbagai data penunjang. Perubahan luasan mangrove dan tambak didapatkan dari analisis Citra Landsat 7 ETM+ tahun 1991, 2002 dan 2007 dengan kombinasi warna RGB 542. Analisis struktur vegetasi mangrove dilakukan dengan menghitung kerapatan spesies, kerapatan relatif spesies, frekuensi spesies, frekuensi relatif spesies, penutupan spesies dan penutupan relatif spesies untuk mendapatkan indek nilai penting species (INPi). Nilai ekonomi total manfaat hutan mangrove didapatkan dari nilai manfaat langsung (hasil hutan dan perikanan), nilai manfaat tidak langsung (penahan abrasi, interusi air laut dan penyedia unsur hara), nilai manfaat pilihan dan nilai keberadaan. Nilai manfaat ekonomi tambak dihitung berdasarkan hasil panen udang dikurangi dengan biaya tetap dan biaya operasional. Pandangan masyarakat terhadap pengelolaan ekosistem mangrove dihitung dari hasil kuisioner (50 responden) dengan menggunakan rating scale. Analisis kelembagaan dilakukan melalui kajian terhadap berbagai situasi sebagai sumber interdependensi, struktur kelembagaan (batas yuridiksi, property right dan aturan representasi), serta pengaruhnya terhadap performance.
Rhizophora apiculata, Sonneratia alba, Xylocarpus granatum dan Xylocarpus moluccensis. Indeks Nilai Penting (INP) tertinggi untuk tingkat pohon, pancang dan semai terdapat pada jenis Rhizophora apiculata yang secara berturut-turut nilainya 216.59%, 235.50% dan 155.79%., lalu di ikuti oleh Bruguiera gymnorrhiza dengan nilai INP untuk tingkat pohon, pancang dan semai secara berturut-turut sebesar 60.57 %, 58.05% dan 37.03%, dan selanjutnya kemudian diikuti oleh Sonneratia alba dan Avicennia alba. INP yang besar pada jenis Rhizophora apiculata dan Bruguiera gymnorrhiza menunjukan bahwa jenis ini merupakan jenis yang paling dominan dan mampu menyesuaikan diri dengan kondisi lingkungan yang ada, sehingga jika ada upaya rehabilitasi terhadap kawasan yang rusak, maka prioritas utama jenis vegatasi mangrove yang ditanam adalah Rhizophora apiculata kemudian diikuti Bruguiera gymnorrhiza lalu Sonneratia alba dan Avicennia alba.
Nilai manfaat ekonomi mangrove adalah sebesar Rp.10.637.453.28 /ha/thn, lebih tinggi dari nilai ekonomi tambak yang sebesar Rp.3.561.772.66 /ha/thn. Nilai ekonomi ekosistem mangrove sekitar 3 (tiga) kali lebih besar jika bandingkan dengan nilai ekonomi tambak. Hal ini menunjukan bahwa jika dilihat dari nilai ekonomi, lebih menguntungkan mangrove dibiarkan dalam kondisi lestari daripada dikonversi menjadi tambak. Akan tetapi, jika nilai ekonomi tambak dibandingkan dengan nilai manfaat langsung ekosistem mangrove (Rp.2.047.671.16 /ha/thn), maka nilai ekonomi tambak memiliki nilai yang lebih besar.
Akar penyebab permasalahan adanya tambak, pemukimana dan lahan garapan di kawasan hutan lindung mangrove di Desa Dabong selama ini adalah masih lemah dan belum efektif organisasi, struktur kelembagaan (batas yuridiksi, property right dan aturan representasi) dalam pengelolaan ekosistem mangrove sehinga belum dapat mengontrol berbagai situasi sebagai sumber interdependensi. Kelembagaan yang kurang effektifi meyebabkan kondisi performance yang buruk seperti potensi konflik sosial yang tinggi, lingkungan alam yang terdegradasi dan kondisi sosial ekonomi masyarakat yang buruk. Hal ini ditunjang dari pandangan masyarakat terhadap pengelolaan ekosistem mangrove yang hanya sebesar 49.1%, artinya masyarakat masih memandang pengelolaan Ekosistem Mangrove di Desa Dabong selama ini berjalan kurang baik.
Dengan berbagai alternatif solusi yang telah dipaparkan sebelumya, maka diharapkan performance yang baik dari pengelolaan ekosistem mangrove di Desa Dabong dapat dicapai. Performance yang baik dari kelembagaan ekosistem mangrove yaitu kelestarian lingkungan alam (ekosistem mangrove) yang meningkat/lestari, kondisi sosial ekonomi masyarakat yang semakin baik dan rendahnya potensi konflik sosial dengan biaya penegakan status yang rendah.
Kata kunci : ekosistem mangrove, hutan lindung, degradasi, kebijakan pengelolaan, kelembagaan.
@ Hak Cipta milik IPB, tahun 2009 Hak Cipta dilindungi Undang-undang
Dilarang mengutip sebagian atau seluruh karya tulis ini tanpa mencantumkan atau menyebutkan sumbernya. Pengutipan hanya untuk kepentingan pendidikan, penelitian, penulisan karya ilmiah, penyusunan laporan, penulisan kritik atau tinjauan suatu masalah; dan pengutipan tidak merugikan kepentingan yang wajar IPB.
KAJIAN PENGELOLAAN EKOSISTEM MANGROVE
PADA KAWASAN HUTAN LINDUNG DI DESA DABONG,
KECAMATAN KUBU, KABUPATEN KUBU RAYA,
KALIMANTAN BARAT
TEGUH SETYO NUGROHO
Tesis
sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Magister Sains pada
Program Studi Pengelolaan Sumberdaya Pesisir dan Lautan
SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR
Kabupaten Kubu Raya, Kalimntan Barat Nama Mahasiswa : Teguh Setyo Nugroho
Nomor Pokok : C.252070051
Disetujui
Komisi Pembimbing
Ir. Gatot Yulianto, M.Si Ir. Zairion, M.Sc Ketua Anggota
Diketahui
Ketua Program Studi
Pengelolaan Sumberdaya Pesisir dan Lautan
Prof. Dr. Ir. Mennofatria Boer, DEA
Tanggal Ujian : 24 Nopember 2009 Tanggal Lulus :
Dekan Sekolah Pascasarjana
Bukalah mata, telinga, pikiran dan hati seluas-luasnya, agar kita
dapat melihat, mendengar, mengetahui dan merasakan kebenaran yang
sesungguhnya.
Gunakanlah semuanya sebagai dasar untuk setiap tindakan yang akan
kita tempuh, agar kebijaksanaan selalu mengiringi langkah kita.
(Tyo 2009)
Karya ini kupersembahkan bagi Istriku “Uji Sukmawati” dan putriku “Nada Aurellia Izdihar” yang tersayang dan tercinta, terima kasih atas pengertian, pengorbanan dan
dukungannya yang tulus selama menunggu selesainya masa studiku.
Tidak lupa pula juga untuk Ibunda “Hj. Tasmisih”, Ayahanda “Soenggono (alm)”, Bapak Mertua “Sumaryono”, Ibu Mertua “Sri Lestari” dan seluruh saudara-saudaraku yang juga sangat kusayangi.
PRAKATA
Puji syukur penulis panjatkan ke hadirat Allah SWT atas atas segala karuniaNya sehingga tesis dengan judul “Kajian Pengelolaan Ekosistem Mangrove Pada Kawasan Hutan Lindung di Desa Dabong, Kecamatan Kubu, Kabupaten Kubu Raya, Kalimantan Barat” dapat terselesaikan. Hasil penelitian ini diharapkan dapat menjadi menjadi dasar pertimbangan dalam menentukan kebijakan dan strategi pengelolaan ekosistem mangrove dalam rangka menangani kasus pemukiman, lahan garapan dan tambak udang masyarakat di dalam kawasan hutan lindung bakau di Desa Dabong.
Terima kasih dan penghargaan yang setinggi-tingginya penulis sampaikan kepada Bapak Ir. Gatot Yulianto, M.Si dan Ir. Zairion, M.Sc selaku pembimbing, serta Bapak Dr.Ir. Fredinan Yulianda, M.Sc dan Prof.Dr. Ir Mennofatria Boer, DEA yang telah banyak memberikan saran. Di samping itu, terima kasih juga penulis ucapkan kepada seluruh jajaran di Dinas Kelautan dan Perikanan (DKP) dan Dinas Kehutanan Provinsi Kalimantan Barat dan Kabupaten Kubu Raya yang telah banyak membantu dalam penyediaan informasi dan data. Ungkapan terima kasih juga disampaikan kepada masyarakat Desa Dabong yang telah banyak membantu dalam penelitian ini.
Penulis menyadari bahwa dalam penyusunan tesis ini masih terdapat berbagai kekurangan, sehingga kritik dan saran yang konstruktif sangat penulis harapkan sehingga penelitian yang akan dilaksanakan nantinya dapat memberikan hasil sesuai dengan yang diharapkan. Semoga karya ilmiah ini bermanfaat bagi kita semua.
Bogor, Desember 2009
RIWAYAT HIDUP
Penulis dilahirkan di Desa Kembang Kecamatan Dukuhseti, Kabupaten Pati, Provinsi Jawa Tengah, pada tanggal 8 April 1980 dari ayah Soenggono (alm) dan Ibu Hj. Tasmisih. Penulis merupakan putra kelima dari enam bersaudara.
DAFTAR ISI
2.2. Faktor Lingkungan Yang Mempengaruhi Kehidupan Mangrove ... 12
2.3. Zonasi dan Struktur Vegetasi Ekosistem Mangrove ... 16
2.4. Fungsi dan Manfaat Ekosistem Mangrove ... 17
2.5. Konsep dan Metode Valuasi Ekonomi ... 19
2.5.1. Konsep Valuasi Ekonomi ... 19
2.5.2. Metode Valuasi Ekonomi ... 21
2.6. Analisis Kelembagaan ... 26
2.6. Konsep Pengelolaan Berkelanjutan ... 27
2.7. Pengelolaan Ekosistem Mangrove ... 29
3. METODE PENELITIAN 3.1. Lokasi dan Waktu Penelitian ... 33
3.2. Pengumpulan Data ... 34
3.2.1. Pengumpulan data ekosistem mangrove dan tambak ... 34
3.2.2. Pengumpulan data sosial ekonomi dan kelembagaan ... 36
3.2.3. Pengumpulan berbagai data penunjang ... 37
3.3. Analisis Data ... 39
3.3.1. Analisis data luas ekosistem mangrove dan tambak ... 39
3.3.2. Analisis terhadap struktur vegetasi mangrove ... 39
3.3.3. Analisis nilai manfaat ekonomi ekosistem mangrove ... 41
3.3.4. Analisis nilai manfaat ekonomi tambak ... 45
3.3.5. Analisis Pandangan Masyarakat Terhadap Pengelolaan Ekosistem Mangrove ... 45
3.3.6. Analisis kelembagaan ... 46
4. HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1. Keadaan Umum Wilayah Penelitian ... 48
4.1.1. Keadaan Iklim, Topografi, Hidrologi, dan Tanah ... 48
4.1.2. Kondisi sosial ekonomi masyarakat ... 50
4.1.3. Aktivitas perekonomian ... 54
4.1.4. Penggunaan Lahan di Kawasan Dabong ... 57
4.1.5. Kondisi Sosial Budaya Masyarakat ... 57
4.2. Luas Ekosistem Mangrove, Tambak dan Kawasan Lindung
Mangrove ... 61
4.3. Struktur Vegetasi Mangrove ... 63
4.3.1. Kerapatan dan Kerapatan Relatif Jenis Mangrove ... 65
4.3.2. Frekuensi dan Frekuensi Relatif Jenis Mangrove ... 67
4.3.3. Penutupan dan Penutupan Relatif Jenis Mangrove ... 68
4.3.4. Indeks Nilai Penting (INP) ... 70
4.4. Keanekaragaman Fauna ... 72
4.5. Kondisi Fisik Lingkungan Ekosistem Mangrove ... 73
4.5.1. Derajat Keasaman (pH) ... 74
4.5.2. Suhu ... 75
4.5.3. Salinitas ... 76
4.5.4. Jenis Tanah ... 77
4.6. Nilai Manfaat Ekonomi Ekosistem Hutan Mangrove ... 77
4.6.1. Nilai Manfaat Langsung ( Direct Use Value) ... 78
4.6.2. Nilai Manfaat Tidak Langsung ( Indirect Use Value) ... 85
4.6.3. Nilai Manfaat Pilihan ... 87
4.6.4. Nilai Manfaat Keberadaan ... 88
4.6.5. Nilai Manfaat Ekonomi Total Ekosistem Mangrove di Desa Dabong ... 89
4.7. Nilai Ekonomi Tambak di Kawasan Hutan Mangrove Dabong ... 91
4.8. Sejarah dan Pola Penguasaan Lahan di Kawasan Dabong ... 92
4.9. Pandangan Masyarakat Terhadap Pengelolaan Ekosistem Mangrove ... 95
4.10. Analisis Kelembagaan Pengelolaan Ekosistem Mangrove ... 99
4.10.1. Organisasi pengelola kawasan hutan lindung mangrove di Desa Dabong ... 101
4.10.2. Berbagai situasi sebagai sumber interdependensi dalam pengelolaan ekosistem mangrove di Desa Dabong ... 103
4.10.3. Analisis struktur kelembagaan dalam pengelolaan ekosistem mangrove di Desa Dabong ... 105
4.11. Sintesa dan Alternatif Solusi ... 119
5. KESIMPULAN DAN SARAN 5.1. Kesimpulan ... 128
5.2. Saran ... 129
DAFTAR PUSTAKA ... 131
DAFTAR TABEL
Halaman 1. Penyebaran jenis-jenis pohon mangrove berdasarkan kelas genangan.… 10
2. Ikhtihar dampak kegiatan menusia terhadap ekosistem mangrove ... 11
3. Contoh hipotesis penilaian dampak ekonomi pembukaan hutan mengrove untuk lahan tambak ... 25
4. Jenis dan variabel data yang dikumpulkan beserta metode pengumpulan datanya. ... 37
5. Kondisi iklim di wilayah studi ... 48
6. Jumlah penduduk Desa Dabong... 50
7. Perkembangan jumlah penduduk Desa Dabong ... 51
8. Struktur penduduk di Dusun-Dusun Desa Dabong berdasarkan mata pencaharian ... 52
9. Distribusi penduduk Desa Dabong berdasarkan tingkat pendidikan ... 53
10. Distribusi penduduk Desa Dabong berdasarkan agama... 54
11. Alat tangkap ikan di Desa Dabong ... 56
12. Produksi perikanan laut yang didaratkan di TPI/PPI Dabong ... 56
13. Penggunaan lahan di Kawasan Dabong Kecamatan Kubu Tahun 2007 ... 57
14. Route trayek transportasi umum di kawasan studi. ... 58
15. Banyaknya sarana dan tenaga kesehatan di Desa Dabong ... 60
16. Luas hutan mangrove, tambak dan kawasan lindung mangrove di Desa Dabong ... 61
17. Jenis pohon mangrove yang ditemukan di Lokasi Penelitian ... 64
18. Kerapatan jenis dan kerapatan relatif jenis mangrove pada tiap tingkatan pohon, pancang, dan semai ... 65
19. Frekuensi jenis dan frekuensi relatif jenis mangrove pada tiap tingkatan pohon, pancang, dan semai ... 67
20. Penutupan jenis dan penutupan relatif jenis... 69
21. Indeks Nilai Penting (INP) Mangrove ... 70
22. Sebaran pH, Suhu dan Salinitas di Tiap Jalur Pengamatan ... 74
23. Nilai manfaat potensi kayu komersial ... 79
24. Nilai manfaat kayu bakar hutan mangrove Dabong ... 80
26. Nilai manfaat daun nipah hutan mangrove Dabong ... 81
27. Nilai manfaat ikan hutan mangrove Dabong ... 82
28. Nilai manfaat kerang hutan mangrove Dabong ... 83
29. Nilai manfaat ale-ale hutan mangrove Dabong ... 83
30. Nilai manfaat kepah hutan mangrove Dabong... 84
31. Nilai manfaat kepiting hutan mangrove Dabong ... 84
32. Nilai manfaat langsung ekosistem mangrove di Desa Dabong ... 85
33. Nilai manfaat tidak langsung ekosistem mangrove di Desa Dabong ... 87
34. Nilai manfaat keberadaan ekosistem mangrove di Desa Dabong ... 88
35. Total nilai manfaat ekosistem mangrove Desa Dabong ... 89
36. Nilai manfaat ekonomi tambak. ... 92
37. Pandangan masyarakat terhadap pengelolaan ekosistem mangrove di Desa Dabong ... 95
38. Aturan representatif di dalam kawasan hutan lindung mangrove Desa Dabong ... 114
DAFTAR GAMBAR
Halaman 1. Kerangka berpikir penelitian kajian pengelolaan ekosistem mangrove
pada kawasan hutan lindung di Desa Dabong ... 7
2. Pengelompokan Nilai Ekonomi Lingkungan dan Hubungannya Dengan Metode Valuasi Ekonomi Lingkungan ... 23
3. Kerangka analisis kelembagaan ... 27
4. Tiga pilar pengelolaan berbasis sosial ekosistem ... 28
5. Peta lokasi penelitian dan titik sampling mangrove ... 33
6. Skema penempatan petak contoh ... 35
7. Tipologi Nilai Ekonomi Total ... 42
8. Peta sebaran mangrove dan tambak pada tahun 1991, 2002 dan 2007. .... 62
9. Kerapatan jenis mangrove tingkat pohon pada setiap jalur pengamatan. . 66
10. Kerapatan relatif jenis mangrove tingkat pohon pada setiap jalur pengamatan ... 66
11. Frekuensi jenis mangrove tingkat pohon pada setiap jalur pengamatan ... 68
12. Frekuensi relatif jenis mangrove tingkat pohon pada setiap jalur pengamatan ... 68
13. Penutupan jenis mangrove tingkat pohon pada setiap jalur pengamatan . 69 14. Penutupan relatif jenis mangrove tingkat pohon pada setiap jalur pengamatan ... 70
15. Indeks Nilai Penting komunitas mangrove tingkat pohon pada setiap jalur pengamatan ... 72
16. Sebaran pH air dan tanah di Lokasi Pengamatan... 74
17. Sebaran suhu pada setiap jalur pengamatan ... 75
18. Sebaran salinitas pada setiap jalur pengamatan ... 76
19. Struktur Organisasi Dinas Kehutanan dan Perkebunan Kabupaten Kubu Raya ... 101
DAFTAR LAMPIRAN
Halaman
1. Peta Kawasan Hutan Lindung Mangrove di Desa Dabong ... 137
2. Citra Landsat ETM+7 Desa Dabong Tahun 1991 ... 138
3. Citra Landsat ETM+7 Desa Dabong Tahun 2002 ... 139
4. Citra Landsat ETM+7 Desa Dabong Tahun 2007 ... 140
5. Analisis Vegetasi Tingkat Pohon ... 141
6. Analisis Vegetasi Tingkat Pancang ... 143
7. Analisis Vegetasi Tingkat Semai ... 145
8. Rekapitulasi Analisis Vegetasi ... 147
9. Beberapa Jenis Fauna Pada Ekosistem Mangrove Desa Dabong ... 148
10. Data Fisika Kimia Lingkungan Ekosistem Mangrove di Desa Dabong ... 150
11. Hasil Analisis Nilai Manfaat Langsung Potensi Kayu Mangrove ... 153
12. Hasil Analisis Nilai Manfaat Langsung Kayu Bakar Mangrove ... 154
13. Hasil Analisis Nilai Manfaat Langsung Cerucuk ... 156
14. Hasil Analisis Nilai Manfaat Langsung Daun Nipah ... 157
15. Hasil Analisis Nilai Manfaat Langsung Ikan ... 158
16. Hasil Analisis Nilai Manfaat Langsung Kerang ... 162
17. Hasil Analisis Nilai Manfaat Langsung Ale-ale ... 165
18. Hasil Analisis Nilai Manfaat Langsung Kepah ... 168
19. Hasil Analisis Nilai Manfaat Langsung Kepiting ... 171
20. Rekapitulasi Nilai Manfaat ... 174
21. Nilai Manfaat Budidaya Tambak Tradisional (Udang Vannamei) di Desa Dabong ... 175
22. Rekapitulasi Jawaban Responden untuk Nilai Manfaat Eksistensi Hutan Mangrove Dabong ... 179
23. Rekapitulasi Jawaban Responden untuk Pengelolaan Ekosistem Mangrove di Desa Dabong ... 181
24. Kuesioner Pengeloaan Ekosistem Mangrove... 184
25. Panduan Wawancara Mendalam Pengelolaan Kawasan Hutan Lindung Mangrove ... 192
27. Contoh perijinan yang dimiliki petambak di Desa Dabong yang berupa
“Ijin Usaha Perikanan (IUP)” ... 200
28. Contoh perijinan yang dimiliki petambak di Desa Dabong yang berupa
“Surat Pembudidayaan Ikan (SBI)” ... 201
1.1. Latar Belakang
Desa Dabong merupakan salah satu desa di Kecamatan Kubu, Kabupaten
Kubu Raya, Kalimantan Barat yang memiliki hamparan hutan mangrove yang
cukup luas. Berdasarkan Surat Keputusan Menteri Kehutanan No
259/kpts-II/2000, sejumlah lahan di kawasan pesisir Desa Dabong telah ditetapkan menjadi
hutan lindung mangrove (luas ± 4 895.5 ha) dari 34 884 hektar hutan lindung
mangrove yang ada di Kabupaten Kubu Raya, Kalimantan Barat.
Ekosistem mangrove memegang peranan penting untuk kehidupan pesisir
dan laut. Di kawasan pesisir, ekosistem mangrove ini akan mendukung
lingkungan pantai, menjadi tempat yang ideal bagi ikan-ikan untuk berkembang
biak, rumah yang nyaman bagi kepiting dan burung air, dalam saat berbahaya
mangrove juga berfungsi menyaring pencemaran logam berat dari daratan
sebelum masuk lautan.
Sebagai salah satu ekosistem pesisir utama di Desa Dabong, ekosistem
mangrove di sepanjang pantai memberikan kontribusi yang sangat penting, baik
manfaat langsung (direct) maupun manfaat tidak langsung (indirect). Manfaat
tersebut diantaranya secara fisik, khususnya dalam melindungi pantai dari
gelombang, angin dan badai. Tegakan mangrove dapat melindungi pemukiman,
bangunan dan pertanian dari angin kencang dan interusi air laut. Mangrove juga
memegang peranan penting dalam dalam melindungi pesisir dari terpaan badai.
Kemampuan mangrove dalam mengembangkan wilayahnya kearah laut
merupakan salah satu peran penting mangrove dalam pembentukan lahan baru.
Akar mangrove mampu mengikat dan menstabilkan substrat lumpur, pohonnya
mengurangi energi gelombang dan memperlambat arus, sementara vegetasi secara
keseluruhan dapat memerangkap sedimen. Mangrove juga mempunyai fungsi
sebagai spawning ground, feeding ground, dan juga nursery ground guna mendukung produksi perikanan. Beberapa studi menunjukan bahwa terdapat
hubungan yang positif antara luasan mangrove dengan produksi perikanan
(Martosubroto & Naamin 1977; de Graaf & Xuan 1998). Jika mangrove tidak ada,
hutan mangrove merupakan ekosistem dengan tingkat produktivitas yang tinggi
dengan berbagai macam fungsi ekonomi, sosial, dan ekologi/lingkungan yang
penting.
Walaupun hutan mangrove di Desa Dabong telah ditetapkan sebagai Hutan
Lindung berdasarkan Surat Keputusan Menteri Kehutanan No 259/kpts-II/2000,
akan tetapi tidak sepenuhnya dapat melindungi ekosistem mangrove dari
kerusakan dan degradasi. Kawasan mangrove di Desa Dabong ini mengalami
kerusakan karena sebagian telah dikonversi menjadi tambak tanpa ada proses
pelepasan kawasan hutan terlebih dahulu dari Menteri Kehutanan RI.
Pengambilan pohon mangrove untuk kayu bakar dan bahan bangunan oleh
masyarakat setempat juga ikut menambah kerusakan hutan mangrove di Desa
Dabong ini. Kegiatan ini akan berdampak negatif pada ekosistem pesisir dan
lautan. Degradasi ekosistem mangrove di Desa Dabong akibat berbagai aktifitas
pemanfaatan seperti konversi untuk lahan tambak dan pengambilan
kayu/penebangan liar perlu mendapat perhatian dan penanganan khusus dari
semua pihak. Melihat hal tersebut, maka penelitian ini diharapkan dapat mengurai
akar penyebab permasalahan sehingga dapat dirumuskan alternative pengelolaan
yang tepat. Alternative pengelolaan yang didapat hendaknya mampu
menjembatani antara kepentingan ekologi (konservasi) dengan kepentingan sosial
ekonomi masyarakat.
1.2. Perumusan Masalah
Kawasan hutan mangrove di Kabupaten Kubu Raya, Kalimantan Barat
termasuk diantaranya hutan mangrove yang ada di Desa Dabong berdasarkan
Surat Keputusan Menteri Kehutanan Nomor 259/kpts-II/2000 telah ditetapkan
statusnya sebagai Hutan Lindung Mangrove. Keluarnya SK MenHut No
259/kpts-II/2000 ini didasarkan padu-serasi antara Tata Guna Hutan Kesepakatan (TGHK)
yang tertuang dalam SK Menteri Pertanian Nomor 757/Kpts/Um/10/1982, Perda
Nomor I/1995 Tentang Rencana Tata Ruang Wilayah (RTRW) Provinsi Kalbar
dan Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 47/1999 tentang RTRW Nasional.
Berdasarkan otonomi daerah, wewenang pengelolaan hutan lindung mangrove di
Desa Dabong berada pada pemerintah daerah yaitu Dinas Kehutanan dan
ini ditujukan untuk perlindungan sistem penyangga kehidupan di pesisir dan laut
serta bertujuan untuk mencegah timbulnya kerusakan fungsi lingkungan hidup.
Pengelolaan kawasan lindung meliputi upaya penetapan, pelestarian dan
pengendalian pemanfaatan kawasan lindung.
Meskipun kawasan hutan mangrove tersebut telah ditetapkan statusnya
sebagai Kawasan Hutan Lindung, akan tetapi tidak sepenuhnya dapat melindungi
ekosistem mangrove ini dari kerusakan dan degradasi. Pada tahun 2009 tercatat
sekitar 564,35 hektar area hutan lindung mangrove di Desa Dabong telah
dikonversi menjadi tambak oleh masyarakat setempat tanpa adanya proses
pelepasan kawasan hutan terlebih dahulu dari Menteri Kehutanan. Konversi hutan
manggrove menjadi tambak pola tradisional oleh masyarakat ini diduga telah
terjadi sejak tahun 1991 dan berkembang dengan pesat mulai tahun 1998 sampai
sekarang. Perkembangan tambak didalam kawasan hutan lindung mangrove ini
tidak terlepas dari adanya Program Peningkatan Ekspor Hasil Perikanan
(Protekan). Pada tahun 1998-1999, Dinas Perikanan Pontianak menjalankan
Protekan dari Departemen Kelautan dan Perikanan dan mendorong pembangunan
tambak udang di area yang ternyata merupakan kawasan hutan lindung mangrove.
Hampir semua petambak di Desa Dabong merupakan binaan dari Dinas
Perikanan. Petambak memiliki Ijin Usaha Perikanan (IUP) dan Surat
Pembudidayaan Ikan (SBI) yang diterbitkan oleh Dinas Perikanan Kabupaten
Pontianak (yang merupakan kabupaten induk dari Kabupaten Kubu Raya sebelum
pemekaran). Ijin ini mengacu kepada Perda No 12 tahun 1998 tanggal 4
Nopember tentang penertiban perizinan usaha perikanan. Hal ini menunjukan
adanya ketidakjelasan kebijakan dan ketiadaan koordinasi antara instansi di
pemerintah pusat, provinsi dan kabupaten yang menyebabkan munculnya areal
tambak didalam hutan lindung mangrove.
Permasalahan lain yang serius adalah masuknya sebagian besar lahan
masyakat seperti pemukiman, lahan garapan dan berbagai fasilitas umum ke
dalam kawasan hutan lindung mangrove tanpa adanya proses pelepasan hak (ganti
rugi/kompensasi), padahal masyarakat sudah lama bermukim di daerah tersebut.
Bahkan hampir semua dusun/kampung termasuk pusat pemerintahan desa masuk
pemanfaatan ruang antara antara pengelola hutan lindung dengan masyarakat.
Pengambilan kayu mangrove secara liar untuk berbagai keperluan juga membuat
semakin terancamnya kelestarian hutan mangrove di daerah tersebut.
Dalam realisasinya, implementasi pengelolaan ekosistem akan
menghadapi berbagai macam rintangan seperti sengketa lahan, birokrasi yang
buruk dan kebijakan publik yang kurang berpihak pada upaya konservasi (Yaffee
et al. 1996). Lemah dan buruknya dalam perencanaan dan pelaksanaan sistem pengelolaan sumberdaya hutan mangrove dapat memberikan dampak negatif
seperti degradasi lingkungan dan buruknya kondisi sosial ekonomi masyarakat
sekitar kawasan hutan. Mengatasi berbagai rintangan pada pengelolaan ekosistem,
maka hendaknya dilakukan pengelolaan yang adaptip (Sampson 1993; Brunner &
Clark 1997). Untuk mencapai hal ini, maka diperlukan keterpaduan yang efektif
dari para praktisi, peneliti dan berbagai stakeholder untuk berbagi pandangan,
pengetahuan dan pengalaman (Yaffee 1999).
Sistem pengelolaan sumberdaya mangrove di Desa Dabong hendaknya
lestari, terpadu dan berkesinambungan. Penilaian atas keberlanjutan dalam
pengelolaan sumberdaya alam haruslah multidisplin dan mencakup aspek
lingkungan, sosial dan ekonomi (Glaser & Diele 2004). Lebih lanjut Bengen
(2002) menyatakan, bahwa masalah pengelolaan mengrove secara lestari adalah
bagaimana menggabungkan antara kepentingan ekologi (konservasi hutan
mangrove) dengan kepentingan sosial dan ekonomi masyarakat.
Untuk itu perlu dilakukan suatu penelitian yang dapat menjembatani antara
kepentingan ekologi (konservasi hutan mangrove) dengan kepentingan sosial dan
ekonomi masyarakat yang sudah lama bermukim di kawasan tersebut sebelum
ditetapkan sebagai kawasan hutan lindung mangrove, sehingga selanjutnya dapat
dicari alternatif kebijakan pengelolan yang tepat. Penelitian ini diharapkan dapat
memberikan rekomendasi arah kebijakan yang diperlukan dalam upaya
pengelolaan ekosistem mangrove yang lestari, terpadu dan berkelanjutan di Desa
1.3. Tujuan dan Manfaat Penelitian
Penelitian kajian pengelolaan ekosistem mangrove pada kawasan hutan
lindung di Desa Dabong, Kecamatan Kubu, Kabupaten Kubu Raya, Kalimantan
Barat ini bertujuan untuk :
1. Mengkaji situasi dan kondisi ekosistem mangrove.
2. Mengkaji manfaat ekonomi hutan mangrove dan tambak.
3. Mengkaji akar penyebab permasalahan adanya tambak, permukiman dan
lahan garapan masyarakat di dalam kawasan hutan lindung mangrove
dengan menganalisis kelembagaan pengelolaan.
4. Menentukan alternatif solusi kebijakan pengelolaan ekosistem mangrove
pada kawasan hutan lindung yang tepat dan berkelanjutan serta
menjembatani antara kepentingan ekologi (konservasi) dengan
kepentingan sosial ekonomi masyarakat.
Manfaat penelitian ini diharapkan dapat memberikan informasi bagi upaya
pengelolaan kawasan ekosistem mangrove yang berkelanjutan di Desa Dabong,
Kecamatan Kubu, Kabupaten Kubu Raya, Kalimantan Barat di masa mendatang.
1.4. Kerangka Pemikiran
Ekosistem mangrove memiliki peran yang sangat penting sebagai
penyangga kehidupan di wilayah pesisir dan laut. Sebagai upaya perlindungan
ekosistem mangrove, maka pemerintah telah menetapkan sejumlah lahan di
kawasan pesisir Desa Dabong menjadi hutan lindung mangrove berdasarkan SK
Menhut No 259/kpts-II/2000. Namun pemanfaatan ekosistem mangrove sering
kali rawan terhadap konflik kepentingan. Kerusakan hutan mangrove akan
membawa dampak negatif bagi kehidupan masyarakat, baik dari sisi ekologi
maupun social ekonomi.
Adanya tambak udang, pemukiman dan lahan garapan masyarakat di
dalam kawasan hutan lindung mangrove serta kegiatan pengambilan kayu
mangrove secara liar pada dasarnya merupakan bentuk dari lemah atau kurang
efektifnya institusi/kelembagaan pengelolaan hutan mengrove di daerah tersebut.
Institusi pengelolaan yang ada saat ini masih belum mampu mengatur dan
tidak merusak hutan mangrove. Hal ini menyebabkan performance yang buruk,
baik dari sisi ekologi (konservasi) maupun sosial ekonomi masyarakat.
Untuk mengatasi permasalahan tersebut, maka perlu dilakukan analisis
kelembagaan guna mencari akar penyebab permasalahan kurang efektifnya
kelembagaan selama ini. Analisis kelembagaan akan mengkaji/menganalisis
berbagai situasi sebagai sumber interdependensi dan struktur kelembagaan (batas
yuridiksi, property right dan aturan representatif) pengelolaan mangrove selama ini serta pengaruhnya terhadap performance baik dari sisi ekologi (konservasi)
maupun sosial ekonomi masyarakat. Sebagai penunjang dalam analisis
kelembagaan, maka perlu dilakukan juga berbagai kajian seperti:
1. Mengkaji kondisi dan potensi mangrove dan berapa besarnya
degradasi/kerusakan mangrove pada daerah tersebut. Pada kajian ini akan
ditelaah: (a) luas liputan mangrove, luas areal mangrove yang dikonversi
menjadi tambak dan perubahan status lahan. (b) struktur dan komposisi
mangrove seperti kerapatan, frekuensi, penutupan dan indeks nilai penting
species (INPi). (c) kondisi fisika kimia mangrove (meliputi suhu, salinitas, ph
dan jenis substrat).
2. Mengkaji berapa besarnya nilai manfaat total/valuasi ekonomi ekosistem
mangrove (manfaat langsung, manfaat tidak langsung, manfaat pilihan, dan
manfaat eksistensi) dibandingkan dengan nilai ekonomi tambak di daerah
tersebut.
3. Mengkaji sejarah dan pola penguasaan lahan di kawasan ekosistem mangrove
Desa Dabong.
4. Mengkaji proses ditetapkannya kawasan ini menjadi status kawasan Hutan
Lindung Mangrove berdasarkan SK MenHut No.259/kpts-II/2000 dan
berbagai upaya yang telah dilakukan oleh pihak pengelola kawasan untuk
penegakan status kawasan lindung (sosialisasi, pengawasan dan penegakan
hukum).
Output dari analisis kelembagaan ini adalah perubahan struktur
kelembagaan yang akan digunakan sebagai dasar dalam menentukan alternative
solusi yang tepat dan reformulasi kebijakan pengelolaan. Alternative solusi dalam
memberikan performance yang lebih baik, baik dari sisi ekologi (konservasi) maupun sosial ekonomi masyarakat. Secara sederhana diagram kerangka berpikir
kajian pengelolaan ekosistem mangrove pada kawasan hutan lindung di Desa
Dabong dapat dilihat pada Gambar 1.
Gambar 1. Kerangka berpikir penelitian kajian pengelolaan ekosistem mangrove pada kawasan hutan lindung di Desa Dabong
Situasi dan Kondisi Mangrove
•Alih fungsi lahan menjadi tambak •Pemukiman di dalam hutan lindung •Pengambilan kayu
Institusi Pengelolaan saat ini
(Status Hutan Lindung SK MenHut No.259/kpts-II/2000)
2.1. Ekosistem Mangrove
Istilah mangrove berasal dari kata mangro yaitu nama yang biasa
digunakan untuk tumbuhan Rhizophora mangle di Suriname (Karsten 1890 in
Chapman 1972). Menurut Macnae (1968), kata mangrove merupakan perpaduan
antara kata mangal dari bahasa Portugis dan kata grove dari bahasa Inggris.
Dalam bahasa Portugis, kata mangrove dipergunakan untuk individu jenis
tumbuhan dan kata mangal untuk komunitas hutan yang terdiri atas
individu-individu jenis mangrove tersebut. Dalam bahasa Inggris, kata mangrove
dipergunakan baik untuk komunitas pohon-pohon atau rumput-rumput maupun
semak belukar yang tumbuh di laut maupun untuk individu jenis tumbuhan yang
berasosiasi dengannya.
Menurut Aksornkoae (1993), mangrove adalah tumbuhan halophit yang
hidup di sepanjang areal pantai yang dipengaruhi oleh pasang tertinggi sampai
daerah mendekati ketinggian rata-rata air laut yang tumbuh di daerah tropis dan
subtropis. Hutan mangrove meliputi pohon-pohonan dan semak yang terdiri atas
12 genera tumbuhan berbunga (Avicennia, Sonneratia, Rhizophora, Bruguiera,
Ceriops, Xylocarpus, Lumnitzera, Laguncularia, Aegiceras, Aegiatilis, Snaeda, dan Canocarpus), yang termasuk dalam delapan family.
Vegetasi hutan mangrove di Indonesia memiliki keanekaragaman jenis
yang tinggi, dengan jumlah jenis tercatat sebanyak 202 jenis yang terdiri atas 89
jenis pohon, 5 jenis palem, 19 jenis liana, 44 jenis epifit dan 1 jenis sikas. Namun
demikian hanya terdapat kurang lebih 47 jenis tumbuhan yang spesifik hutan
mangrove. Paling tidak di dalam hutan mangrove terdapat salah satu jenis
tumbuhan penting/dominan yang termasuk ke dalam 4 famili : Rhizophoracea
(Rhizophora, Bruguiera dan Ceriops), Soneratiaceae (Sonneratia), Avicenniaceae
(Avicennia) dan Meliaceae (Xylocarpus) (Bengen 2004).
Dennis (1992) mengambarkan habitat mangrove berupa sistem akar
tunjang atau akar napas yang berada dipinggir pantai, laguna, dan teluk yang
berasal dari mangrove. Karakteristik habitat mangrove yakni: (1) umumnya
berpasir, (2) daerah yang tergenang air laut secara berkala baik setiap hari maupun
yang hanya tergenang pada saat pasang purnama, frekuensi genangan menentukan
komposisi vegetasi mangrove, (3) menerima pasokan air tawar yang cukup dari
darat, (4) terlindung dari gelombang besar dan arus pasang yang kuat. air yang
bersalinitas payau (2/22 per mil) hingga asin (mencapai 38 per mil) (Bengen
2004).
Tumbuhan mangrove mempunyai kemampuan khusus untuk beradaptasi
dengan kondisi lingkungan yang ekstrim, seperti kondisi tanah yang tergenang,
kadar garam yang tinggi serta kondisi tanah yang kurang stabil. Dengan kondisi
lingkungan seperti ini beberapa jenis mangrove mengembangkan mekanisme yang
memungkinkan aktif mengeluakan garam dari jaringan, sementara yang lain
mengembangkan system akar napas untuk membantu memperoleh oksigen bagi
sistem perakarannya (Bengen 2004).
Menurut Supriharyono (2000) walaupun tumbuhan mangrove dapat
berkembang pada lingkungan yang buruk, tetapi setiap tumbuhan mangrove
mempunyai kemampuan yang berbeda dalam mempertahankan diri terhadap
kondisi lingkungan fisika dan kimia di lingkungannya. Empat faktor utama yang
mempengaruhi penyebaran tumbuhan mangrove, yaitu : (1) frekuensi arus pasang,
(1) salinitas tanah, (3) air tanah, dan (4) suhu air. Keempat faktor tersebut akan
menentukan dominasi jenis mangrove yang ada di tempat yang bersangkutan.
Mangrove dapat berkembang dimana tidak terdapat gelombang. Kondisi
fisik pertama yang harus terdapat pada daerah mangrove ialah gerakan air yang
minimal. Kurangnya gerakan air ini mempunyai pengaruh yang nyata. Gerakan air
yang lambat dapat menyebabkan partikel sedimen yang halus cenderung
mengendap dan berkumpul didasar. Hasilnya berupa kumpulan lumpur, jadi
substrat pada rawa mangrove biasanya lumpur. Substrat inilah yang nantinya
bermanfaat bagi penambahan luasan bagi suatu daerah (Supriharyono 2000).
Jenis-jenis pohon mangrove umumnya menyebar di pantai yang terlindung
dan di muara-muara sungai, dengan komposisi jenis yang berbeda tergantung pada
kondisi habitatnya. Berdasarkan berbagai hasil penelitian dapat disimpulkan
bahwa penyebaran jenis mangrove berkaitan dengan salinitas, tipe pasang dan
Hann (1931) in Kusmana et al.(2005) membuat korelasi antara salinitas, frekuensi
genangan pasang (kelas genangan) dan jenis pohon mangrove yang tumbuh pada
daerah yang bersangkutan (Tabel 1) .
Tabel 1. Penyebaran jenis-jenis pohon mangrove berdasarkan kelas genangan
Tipe pasang/ ppt, selalu tergenang A1. 1-2 kultur, min 20 hr/bln.
A2. 10-19 hr/bln
A3. 9 hari/bln
A4. Beberapa hr/bln
B. Air tawar sampai payau
Sumber: Kusmana et al.(2005)
Mangrove adalah salah satu sumberdaya yang dapat pulih (renewable).
Peran dan fungsi mangrove yang sangat penting, akan tetapi kondisi hutan
mangrove saat ini telah mengalami banyak kerusakan. Kerusakan mangrove
disebabkan oleh dua faktor, yaitu faktor alam dan faktor manusia. Sekalipun
demikian faktor utama kerusakan mangrove adalah karena faktor manusia, seperti
aktifitas produksi, eksploitasi, konversi lahan untuk peruntukan lain atau aktifitas
non-poduksi seperti polusi dari limbah rumah tangga atau limbah industry (Fauzi
2004).
Lebih lanjut Kusmana (1991) menyatakan, bahwa kerusakan ekosistem
mangrove terjadi karena pengaruh dua faktor, yaitu faktor alam dan faktor
manusia. Dari faktor alam, kerusakan tersebut dapat terjadi melalui pengaruh
manusia, kerusakan yang terjadi akibat prilaku manusia itu sendiri seperti
aforestasi, reforestasi dan eksploitasi hutan mangrove yang tidak terkendali serta
pencemaran di perairan estuaria tempat lokasi tumbuhnya mangrove. Uraian
secara ringkas dampak kegiatan manusia pada ekosistem mangrove dapat dilihat
pada Tabel 2.
Tabel 2. Ikhtisar dampak kegiatan manusia terhadap ekosistem mangrove
No Kegiatan Dampak potensial 1. mineral, baik di dalam hutan maupun di daratan sekitar mangrove
a. berubahnya komposisi tumbuhan mangrove b. tidak berfungsi sebagai daerah mencari
makanan dan pengasuhan
a. peningkatan salinitas pada lahan mangrove b. menurun tingkat kesubuan hutan mangrove
a. mengancam regenerasi stok ikan dan udang di perairan lepas pantai yang memerlukan mangrove
b. terjadi pencemaran laut oleh bahan pencemar yang sebelumnya diikat oleh substrat mangrove
c. pendangkalan perairan pantai d. erosi garis pantai dan intrusi garam.
a. Penurunan kandungan oksigen terlarut, peningkatan gas H2S
a. Kemungkinan tertutupnya pneumatofora yang mengakibatkan matinya pohon mangrove
b. Perembesan bahan-bahan pencemar dalam sampah padat
a. Kematian pohon mangrove
a. Kerusakan total ekosistem mangrove sehingga menurunkan fungsi ekologis mangrove (daerah mencari makanan dan asuhan).
2.2. Faktor Lingkungan yang Mempengaruhi Kehidupan Mangrove
Kusmana et al. (2005) berpendapat bahwa terdapat beberapa faktor lingkungan yang mendukung ekosistem mangrove (struktur, fungsi, komposisi
dan distribusi spesies, dan pola pertumbuhan) yakni sebagai berikut:
1. Fisiografi pantai
Topografi pantai merupakan factor penting yang mempengaruhi karakteristik
struktur mangrove, khususnya komposisi spesies, distribusi spesies dan
ukuran serta luas mangrove. Semakin datar pantai dan semakin besar pasang
surut maka semakin lebar mangrove yang tumbuh.
2. Iklim
a. Cahaya
Umumnya tanamaan mangrove membutuhkan intensitas cahaya matahari
yang tinggi dan penuh, sehingga zona pantai tropis merupakan habitat
ideal bagi mangrove. Kisaran intensitas cahaya optimal untuk
pertumbuhan mangrove adalah 3000 – 3800 kkal/m2/hari. Pada saat masih
kecil (semai) tanaman mangrove memerlukan naungan. Beberapa hasil
penelitian menunjukkan:
− Intensitas cahaya 50% dapat meningkatkan daya tumbuh bibit Rhizopora mucronata dan Rhizophora apiculata.
− Intensitas cahaya 75% mempercepat pertumbuhan bibit Bruguiera gymnorrhiza.
− Intensitas cahaya 75% meningkatkan pertumbuhan tinggi bibit Rhizopora mucronata, Rhizophora apiculata dan Bruguiera gymnorrhiza.
b. Curah hujan
Curah hujan mempengaruhi factor lingkungan seperti suhu air dan udara,
salinitas air permukaan tanah yang berpengaruh pada daya tahan spesies
mangrove. Dalam hal ini mangrove tumbuh subur di daerah curah hujan
rata-rata 1500 – 3000 mm/thn.
c. Suhu udara
Suhu penting dalam proses fisiologi seperti fotosintesis dan respirasi.
suhu rata-rata bulanan dengan kisaran dari 26.3 0C pada Bulan Desember
sampai dengan 28.7 0C.
Hutching dan Saenger (1987) in Kusmana et al. (2005) mendapatkan kisaran suhu optimum untuk pertumbuhan beberapa jenis tumbuhan
mangrove yaitu: Avicennia marinna tumbuh baik pada suhu 18–20 0C,
Rhizophora stylosa, Criops spp., Exceocaria agallocha dan Lumnitzera racemosa pertumbuhan daun segar tertinggi dicapai pada suhu 26–28 0C, suhu optimum Bruguiera spp. 27 0C, Xylocarpus spp. berkisar antara 21–
26 0C dan Xylocarpus granatum 28 0C. Pertumbuhan mangrove yang baik
memerlukan suhu rata-rata minimal lebih besar dari 20 0C dan perbedaan
suhu musiman tidak melebihi 5 0C kecuali di Afrika Timur dimana
perbedaan suhu musiman mencapai suhu 10 0C.
d. Angin
Angin berpengaruh terhadap gelombang dan arus pantai, yang dapat
menyebabkan abrasi dan mengubah struktur mangrove, meningkatkan
evapotranspirasi dan angin kuat dapat menghalangi pertumbuhan dan
menyebabkan karakteristik fisiologis abnormal, namun demikian
diperlukan untuk proses polinasi dan penyebaran benih tanaman.
3. Pasang surut
Pasang surut menentukan zonasi komunitas flora dan fauna mangrove. Durasi
pasang surut berpengaruh besar terhadap perubahan salinitas pada areal
mangrove. Perubahan tingkat salinitas pada saat pasang merupakan salah satu
factor yang membatasi distribusi spesies mangrove terutama distribusi
horizontal. Pada area yang selalu tergenang hanya Rhizophora mucronata
yang tumbuh baik, sedang Bruguiera spp., dan Xylocarpus spp. jarang mendominasi daerah yang sering tergenang.
4. Gelombang dan arus
Gelombang pantai yang dipengaruhi angin dan pasut merupakan penyebab
penting abrasi dan suspensi sedimen. Pada pantai berpasir dan berlumpur,
gelombang dapat membawa partikel pasir dan sedimen laut. Partikel besar
atau kasar akan mengendap terakumulasi membentuk pantai pasir. Mangrove
5. Salinitas
Salinitas air dan salinitas tanah rembesan merupakan faktor penting dari
pertumbuhan, daya tahan dan zonasi spesies mangrove. Tumbuhan mangrove
tumbuh subur di daerah estuaria dengan salinitas 10-30 ppt. beberapa spesies
dapat tumbuh di daerah dengan salinitas yang tinggi. Di Australia dilaporkan
Aviecennia marina dan Exceocaria agallocha dapat tumbuh di daerah dengan salinitas maksimun 63 ppt, Ceriops spp. pada 72 ppt, Sonneratia spp. pada 44
ppt, Rhizophora artikulata pada 65 ppt dan Rhizophora stylosa pada 74 ppt. Mangrove merupakan vegetasi yang bersifat tolerant bukan
salt-dimanding, oleh karena mangrove dapat tumbuh secara baik di habitat air tawar. Kebanyakan mangrove tumbuh di habitat maritim mungkin disebabkan
oleh beberapa faktor sebagai berikut: (a) penyebaran biji/propagul mangrove
terbatas oleh daya jangkau pasang surut, (b) anakan mangrove kalah bersaing
dengan tumbuhan darat, dan (c) mangrove dapat mentoleransi kadar garam.
Zonasi mangrove berdasarkan salinitas, menurut De Hann (1931) in Bengen
(2004) dibagi sebagai berikut:
a. Zona air payau hingga air laut dengan salinitas pada waktu terendam air
pasang berkisar antara 10-30 ppt:
− Area yang terendam sekali atau dua kali sehari selama 20 hari dalam sebulan hanya Rhizophora mucronata yang masih dapat tumbuh. − Area yang terendam 10-19 kali/bln, ditemukan Avicennia (Avicennia
alba, Avicennia marina), Sonneratia sp. dan didominasi oleh Rhizophora sp.
− Area yang terendam kurang dari 9 kali/bulan, ditemukan Rhizophora sp., Bruguiera sp.
− Area yang tergenang hanya beberapa kali dalam setahun (jarang), Bruguiera gymnorrhiza dominan dan Rhizophora apikulata masih dapat hidup.
b. Zona air tawar hingga relatif air payau, dimana salinitas berkisar antara
0-10 ppt:
- Area yang kurang lebih masih di bawah pengaruh pasang surut,
- Area yang terendam secara musiman, didominasi oleh Hibiscus.
6. Oksigen terlarut
Oksigen terlarut sangat penting bagi eksistensi flora dan fauna mangrove
(terutama dalam proses fotosintesis dan respirasi) dan percepatan
dekomposisi serasah sehingga konsentrasi oksigen terlarut berperan
mengontrol distribusi dan pertumbuhan mangrove. Konsentrasi oksigen
terlarut bervariasi menurut waktu, musim, kesuburan dan organisme akuatik.
Konsentrasi oksigen terlarut harian tertinggi dicapai pada siang hari dan
terendah pada malam hari. Konsentrasi oksigen terlarut di mangrove berkisar
antara 1.7-3.4 mg/l, lebih rendah di banding diluar mangrove yang besarnya
4.4 mg/l.
7. Tanah
Tanah mangrove dibentuk oleh akumulasi sedimen yang berasal dari pantai
dan erosi hulu sungai. Mangrove terutama tumbuh pada tanah lumpur, namun
berbagai jenis mangrove dapat tumbuh di tanah berpasir, koral, tanah
berkerikil bahkan tanah gambut.
8. Nutrien
Nutrient mangrove dibagi atas nutrien in-organik dan detritus organic.
Nutrien in-organik penting adalah N dan P (jumlahnya sering terbatas), serta
K, Mg dan Na (selalu cukup). Sumber nutrient in-organik adalah hujan, aliran
permukaan, sedimen, air laut dan bahan organic yang terdegradasi. Detritus
organic adalah nutrient organic yang berasal dari bahan-bahan biogenic melalu beberapa tahap degradasi microbial. Detritus organic berasal dari authochthonus (fitoplankton, diatom, bakteri, algae, sisa organisme dan kotoran organisme) dan allochthonus (partikulat dari air, limpasan sungai,
partikel tanah dari pantai dan erosi tanah, serta tanaman dan hewan yang mati
di zona pantai dan laut).
9. Proteksi
Mangrove berkembang baik di daerah pesisir yang terlindungi dari
gelombang yang kuat yang dapat menghempaskan anakan mangrove. Daerah
yang dimaksud dapat berupa laguna, teluk, estuaria, delta, dan lain-lain.
yang paling berperan dalam pertumbuhan mangrove adalah tipe tanah,
salinitas, drainase dan arus yang semuanya diakibatkan oleh kombinasi
pengaruh fenomena pasang surut dan ketinggian tempat dari rata-rata muka
air laut.
2.3. Zonasi dan Struktur Vegetasi Ekosistem Mangrove
Dalam perencanaan konservasi, distribusi/sebaran jenis tumbuhan dan
binatang disepanjang area sangat diperlukan sebagai informasi dasar (Pearce &
Ferrier 2001). Lebih lanjut Van Horne (1983) menyatakan, bahwa informasi
demografis dan utilisasi sumber daya yang lengkap adalah hal penting untuk
pemahaman kelayakan habitat dan akan mutunya.
Menurut Noor et al. (1999), mangrove pada umumya tumbuh dalam 4
(empat) zona yaitu, pada daerah terbuka, daerah tengah, daerah yang memiliki
sungai berair payau sampai hampir tawar, serta daerah ke arah daratan yang
memiliki air tawar. Lebih jelasnya masing-masing zona diuraikan sebagai berikut:
a) Mangrove terbuka, berada pada bagian yang berhadapan dengan laut. Komposisi floristic dari komunitas di zona terbuka sangat tergantung pada substratnya. Contoh tanamannya adalah Sonneratia alba yang mendominasi
daerah berpasir sementara Avicennia marina dan Rhizophora mucronata
cenderung untuk mendominasi daerah yang berlumpur.
b) Mangrove tengah, terletak di belakang mangrove zona terbuka. Di zona ini biasanya didominasi oleh jenis Rhizophora. Jenis-jenis penting lainnya yang
ditemukan adalah Bruguiera gymnorhiza, Excoecaria agallocha, Rhizophora
mucronata, Xylocarpus granatum dan X. moluccensis.
c) Mangrove payau, berada di sepanjang sungai berair payau hingga hampir tawar. Di zona ini biasanya didominasi oleh komunitas Nypa atau sonneratia.
Di jalur lain biasanya ditemukan tegakan Nypa fruticans yang bersambung
dengan vegetasi yang terdiri atas Cerbera sp., Gluta renghas, Stenochlaena
palustris, dan Xylocarpus granatum. Ke arah pantai campuran komunitas Sonneratia-Nypa lebih sering ditemukan.
d) Mangrove daratan, berada di zona perairan payau atau hampir tawar di belakang jalur hijau mangrove sebenarnya. Zona ini memiliki kekayaan jenis
ditemukan pada zona ini termasuk Ficus microcarpus, F. retusa, Intsia bijuga,
Nypa fruticans, Lumnitzera racemoza, Pandanus sp., dan Xylocarpus moluccensis.
2.4. Fungsi dan Manfaat Ekosistem Mangrove
Ekosistem mangrove merupakan sumberdaya alam tropika yang memiliki
banyak manfaat, baik aspek ekologi maupun aspek sosial ekonomi. Peranan
penting ekosistem mangove bagi kehidupan dapat diketahui dari banyaknya
makhluk hidup, baik yang hidup di parairan, di atas lahan maupun di tajuk-tajuk
pohon mangrove serta ketergantungan manusia terhadap ekosistem tersebut.
Mangrove berfungsi untuk mensuplai berbagai material ke daerah pantai (Alongi
1989; Hatcher et al. 1989; Chong et al. 1990; Lee 1995). Material ini
menstimulasi produktivitas pantai, dimana daerah pantai yang bermangrove akan
memiliki hasil perikanan yang lebih besar dibandingkan daerah pantai tanpa
mangrove (Marshall 1994). Detritus mangrove setelah terbawa air laut merupakan
nutrisi yang berpengaruh nyata bagi kehidupan pesisir dan laut (Rodelli et al.
1984, Hatcher et al. 1989, Fleming et al. 1990, Marguillier et al. 1997). Sebagai
tambahan, mangrove juga menyediakan bahan makanan, tempat bernaung, dan
sebagai tempat perlindungan untuk berbagai organisme intertidal maupun subtidal
(Blaber 1986; Robertson & Duke 1987).
Para ahli berpendapat bahwa hutan mangrove memiliki fungsi fisik, fungsi
biologi dan fungsi ekonomi. Menurut Hamilton dan Sneadaker (1984), Arief
(1994) dan Bann (1998), fungsi hutan mangrove dapat dipandang dari beberapa
aspek yaitu :
1. Fungsi biologi
Fungsi biologi dari hutan mangrove antara lain:
(a).Tempat pemijahan (spawning ground) dan pertumbuhan pasca larva
(nursery ground) komoditi perikanan bernilai ekonomis tinggi (ikan,
kepiting, udang dan kerang)
(b).Pelindung terhadap keanekaragaman hayati
(c).Penyerap karbon dan penghasil oksigen yang sangat berguna bagi
2. Fungsi fisik
Fungsi fisik dari hutan mangrove antara lain:
(a).Pembangunan lahan dan pengendapan lumpur sehingga dapat memperluas
daratan.
(b).Menjaga garis pantai agar tetap stabil, pelindung pantai dari abrasi akibat
gempuran ombak, arus, banjir akibat laut pasang dan terpaan angin
(c).Pencegah interusi air laut ke daratan
(d).Pengolah limbah organic dan perangkap zat-zat pencemar (pollutant trap).
3. Fungsi ekonomi
Fungsi ekonomi yang berkaitan dengan pemanfaatan langsung dari hutan
mangrove antara lain:
(a).Bahan bakar (kayu bakar dan arang)
(b).Bahan bangunan (kayu bangunan, tiang dan pagar)
(c).Alat penangkap ikan ( tiang sero, bubu, pelampung dan bagan)
(d).Makanan, minuman dan obat-obatan
(e).Bahan baku pulp dan kertas
(f).Bahan baku untuk membuat alat-alat rumah tangga dan kerajinan
(g).Pariwisata
Fungsi fisik dan biologi dapat dikatakan sebagai fungsi ekologis yang
belum mengalami perubahan dari aktivitas pembangunan manusia. Fungsi
ekonomi merupakan unsur tambahan dalam system ekologi tersebut yang telah
melibatkan berbagai aktifitas untuk memanfaatkan sumberdaya alam. Fungsi
ekologis secara ekonomis memberi manfaat tidak langsung terhadap manusia,
sedangkan fungsi ekonomi memberikan manfaat langsung kepada manusia.
Menurut Liyanage (2004), nilai keuntungan (manfaat) tidak langsung dari
eksosistem mangrove dirasakan lebih tinggi jika dibandingkan manfaat
langsungnya. Nilai penting ekosistem mangrove antara lain menurunkan tingkat
erosi di pantai dan sungai, mencegah banjir, mencegah intrusi air laut,
menurunkan tingkat polusi (pencemaran), poduksi bahan organik sebagai sumber
bahan makanan, sebagai wilayah (daerah) asuhan, pemijahan, dan mencari makan
untuk berbagai jenis biota laut. Mangrove juga akan menjadi sumberdaya penting
pada kenyataannya ekosistem ini menjaga kestabilan garis pantai, menyediakan
penghalang alami dari badai, topan, pasang surut yang tidak menentu dan bencana
alam lainnya. Untuk beberapa kasus, ekosistem mangrove berkontribusi secara
signifikan terhadap kehidupan social ekonomi masyarakat disekitarnya.
Melena et al. (2000) menambahkan bahwa terdapat 6 fungsi ekosistem mangrove ditinjau dari ekologi dan ekonomi, yaitu:
1. Mangrove menydiakan daerah asuhan untuk ikan, udang dan kepiting, dan
mendukung produksi perikanan di wilaiayah pesisir.
2. Mangrove menghasilkan serasah daun dan bahan-bahan pengurai yang
berguna sebagai bahan makanan hewan-hewan estuari dan perairan pesisir.
3. Mangrove melindungi lingkungan sekitar dengan melindungi daerah
pesisir dan masyarakat didalamnya dari badai, ombak, pasang surut dan
topan.
4. Mangrove menghasilkan bahan organik (organic biomass) yaitu karbon
dan menurunkan polusi bahan organik di daerah tepi dengan menjebak dan
menyerap berbagai polutan yang masuk kedalam perairan.
5. Dari segi estetika, mangrove menyediakan daerah wisata untuk
pengamatan burung, dan pengamatan jenis-jenis satwa lainnya.
6. Mangrove menyediakan kayu api untuk bahan bakar, kayu untuk bahan
bangunan, daun nipah untuk atap dan kerajinan tangan, serta lahan tambak
untuk budidaya perikanan. Ikan, udang-udangan, kerang dan berbagai
benih ikan juga dapat di panen dari ekosistem mangrove. Akuakultur dan
perikanan komersial (perikanan tangkap) juga tergantung dari sumberdaya
mangrove, yaitu sebagai tempat untuk tumbuh dan berkembang biak
berbagai jenis komoditas perikanan. Selain itu mangrove juga sebagai
sumber tannin, alkohol, dan obat-obatan. Nilai keseluruhan ekosistem
mangrove berkisar $500 US – $1 550 USD /ha/thn, nilai minim terjadi
ketika ekosistem mangrove dikonversi menjadi diperuntukan yang lain.
2.5. Konsep dan Metode Valuasi Ekonomi 2.5.1. Konsep Valuasi Ekonomi
Konsep nilai (value) adalah harga yang diberikan oleh seseorang terhadap
waktu, barang atau uang yang akan dikorbankan seseorang untuk atau
menggunakan barang atau jasa yang diinginkannya. Penilaian (valuation) adalah
kegiatan yang berkaitan dengan pembangunan konsep dan metodologi untuk
menduga nilai barang dan jasa. Kajian-kajian valuasi ekonomi membahas masalah
nilai lingkungan (valuing the environment) atau harga lingkungan (pricing the
environment).
Pada prinsipnya valuasi ekonomi bertujuan untuk memberikan nilai
ekonomi kepada sumberdaya yang digunakan sesuai dengan nilai riil dari sudut
pandang masyarakat. Menurut Thampapillai (1993) dalam Sanim (1997) tujuan
utama dari valuasi ekonomi barang-barang dan jasa lingkungan (environmental
goods dan services) adalah untuk dapat menempatkan lingkungan sebagai komponen integral dari setiap sistem ekonomi. Dengan demikian valuasi
lingkungan hidup harus merupakan suatu bagian integral dan prioritas sektoral
dalam mendeterminasi keseimbangan antara konservasi dan pembangunan.
Bermacam-macam teknik penilaian dapat digunakan untuk
mengkuantifikasi konsep dari nilai. Sanim (1997) menyatakan hal-hal yang harus
diperhatikan dan dipertimbangkan dalam memilih suatu metode valuasi ekonomi
dampak lingkungan adalah sebagai berikut :
1. Banyaknya tujuan atau perkiraan yang ingin diukur. Apabila analisis yang
dilakukan memiliki tujuan ganda, maka akan lebih meyakinkan bagi
seorang analis apabila mampu menyarankan besaran-besaran dampak yang
disarankan.
2. Konsep dan aspek yang ingin dinilai. Metode valuasi yang saling berbeda
satu sama lain bersifat saling melengkapi bukan berkompetisi, karena
mengukur aspek atau konsep yang berbeda.
3. Kebutuhan atau kepentingan pemakai hasil valuasi. Pemakai hasil valuasi
memiliki preferensi tertentu dan tersendiri terhadap suatu metode valuasi
ekonomi tergantung biaya, waktu dan tujuan.
4. Kepentingan umum atau masyarakat secara keseluruhan. Preferensi
masyarakat umum harus mampu ditangkap secara maksimal dan setepat
mungkin. Oleh karena itu, perlu ditempuh cara jajak pendapat yang
5. Perbandingan atau bobot antara biaya dengan nilai ekonomi penggunaan
hasil valuasi ekonomi. Apakah keuntungan yang diperoleh dari hasil
penggunaan valuasi tersebut sebanding dengan biaya yang akan
dikeluarkan.
2.5.2. Metode Valuasi Ekonomi
Kegiatan valuasi ekonomi terdiri dari 3 tahap yaitu: (1) melakukan
identifikasi manfaat dan fungsi sumberdaya, (2) melakukan kuantifikasi seluruh
manfaat dan fungsi sumberdaya, dan (3) melakukan pilihan alternatif pengelolaan
sumberdaya (Dahuri et al. 2004).
a. Identifikasi manfaat dan fungsi ekosistem mangrove
Manfaat ekosistem hutan mangrove yang dikonsumsi oleh masyarakat
dapat dikategorikan ke dalam dua komponen utama yaitu manfaat langsung (use
value) dan manfaat tidak langsung (non use value). Komponen manfaat langsung dikategorikan kembali ke dalam nilai kegunaan langsung (direct use value) dan
nilai kegunaan tidak langsung (indirect use value). Nilai kegunaan langsung
merujuk pada kegunaan langsung dari pemanfaatan hutan mangrove baik secara
komersial maupun non komersial. Sedangkan nilai kegunaan tidak langsung
merujuk pada nilai yang dirasakan secara tidak langsung terhadap barang dan jasa
yang dihasilkan oleh sumberdaya alam dan lingkungan (Dahuri et al. 2004).
Komponen manfaat tidak langsung adalah nilai yang diberikan kepada
hutan mangrove atas keberadaannya meskipun tidak dikonsumsi secara langsung
dan lebih bersifat sulit diukur karena lebih didasarkan pada preferensi terhadap
lingkungan ketimbang pemanfaatan langsung. Komponen manfaat tidak langsung
dibagi lagi ke dalam sub-class yaitu nilai keberadaan (existence value), nilai
pewarisan (bequest value) dan nilai pilihan (option value). Nilai keberadaan pada
dasarnya adalah penilaian yang diberikan dengan terpeliharanya sumberdaya.
Nilai pewarisan diartikan sebagai nilai yang diberikan oleh generasi kini dengan
menyediakan atau mewariskan sumberdaya untuk generasi mendatang. Nilai
pilihan diartikan sebagai nilai pemeliharaan sumberdaya sehingga pilihan untuk
memanfaatkannya masih tersedia untuk masa yang akan datang (Dahuri et al.
b. Kuantifikasi manfaat dan fungsi ekosistem hutan mangrove
Tipologi metode valuasi ekonomi dapat digolongkan dalam tiga bagian
besar, terantung pada derajat atau kemudahan aplikasinya yaitu: (1) umum
diaplikasikan, (2) potensial untuk diaplikasikan, dan (3) didasarkan atas survey.
Secara garis besar metode valuasi ekonomi dapat dibagi dalam dua kelompok
besar yaitu pendekatan manfaat (benefit based valuation) dan pendekatan biaya
(cost based valuation). Metode-metode tersebut pada dasarnya merupakan turunan
dari metode analisis biaya manfaat (Dixon and Hodgson 1988)
Metode valuasi dengan pendekatan manfaat dapat dikelompokkan ke
dalam 2 kategori umum yaitu: berdasarkan nilai pasar aktual (actual market based
methods) dan yang kedua berdasarkan nilai pasar pengganti (substitute or surrogate market based methods). Metode-metode valuasi ekonomi yang termasuk ke dalam pengukuran nilai pasar aktual adalah (1) perubahan nilai
produksi (change in productivity), (2) metode kehilangan penghasilan (loss of
earning methods). Untuk metode pasar pengganti terdiri dari: (1) biaya perjalanan (travel cost methods), (2) pendekatan perbedaan upah (wage differential methods),
(3) pendekatan nilai pemilikan (property value), dan (4) pendekatan nilai barang
yang dapat dipasarkan sebagai pengganti lingkungan (hedonic pricing).
Metode valuasi dengan pendekatan biaya terdiri dari: (1) pengeluaran
pencegahan (averted defensive expenditure methods), (2) proyek bayangan
(shadow project methods), (3) biaya penggantian (replacement cost methods), dan
(4) biaya perpindahan (relocation cost methods). Secara ringkas, hubungan antara
Gambar 2. Pengelompokan nilai ekonomi lingkungan dan hubungannya dengan metode valuasi ekonomi lingkungan (Dixon and Hodgson 1988).
Hufschmidt et al. (1996) mengelompokkan metode valuasi ekonomi berdasarkan pendekatan harga pasar (actual market based methods) dan
berdasarkan pendekatan survei atau penilaian hipotesis. Pendekatan berorientasi
pasar telah mencakup berbagai metode valuasi yang dikemukakan oleh Dixon dan
Hudgson (1988). Pendekatan berdasarkan survey (survey based methods), terdiri
dari metode pendekatan berdasarkan kondisi lapangan (contingen valuation
c. Pilihan alternatif pengelolaan ekosistem hutan mangrove
Dalam menetapkan kebijakan dengan mengutamakan prinsip
keseimbangan antara pemanfaatan dan pelestarian fungsi sumberdaya hutan
mangrove, maka pemahaman terhadap nilai ekonomi total (total economic value)
hutan mangrove serta kombinasi alokasi pemanfaatan sumberdaya yang efisien
mutlak diperlukan. Menurut Barbier (1989), konsep nilai ekonomi total terdiri dari
5 komponen yaitu nilai manfaat langsung (direct use value), nilai manfaat tidak
langsung (indirect use value), nilai manfaat pilihan (option value), nilai
keberadaan (existence value), dan nilai waris (bequest value).
Menurut Sanim (1997), nilai ekonomi dari aset lingkungan hidup dapat
dipecah-pecah kedalam suatu set bagian komponen. Sebagai ilustrasi dalam
konteks penentuan alternatif penggunaan lahan dari hutan mangrove. Bedasarkan
hukum biaya dan manfaat (benefit – cost rule), keputusan untuk mengembangkan
suatu hutan mangrove dapat dibenarkan apabila manfaat bersih dari
pengembangan hutan tersebut lebih besar dari manfaat bersih konservasi. Jadi
dalam hal ini manfaat konservasi diukur dengan nilai ekonomi total dari hutan
mangrove tersebut yang juga dapat diinterprestasikan sebagai perubahan kualitas
lingkungan hidup.
Ruitenbeek (1994) mengemukakan dengan teknik analisis biaya dan
manfaat dapat membantu dalam pengambilan keputusan untuk perencanaan dan
pengelolaan lingkungan. Dalam hal ini analisis biaya dan manfaat digunakan
untuk mengukur semua manfaat (benefit) dan biaya (cost) sebuah proyek dari
awal sampai akhir dalam bentuk nilai uang dan memberikan ukuran efisiensi
ekonomi proyek tersebut dari pandangan masyarakat.
Lubis (1995) mengemukakan bahwa analisis biaya dan manfaat dapat
digunakan jika :
1. Sebagian manfaat dan biaya proyek dapat dihitung dengan nilai uang
2. Manfaat dan biaya termasuk manfaat dan biaya lingkungan yang mengenai
sekelompok masyarakat tidak secara langsung dihitung dalam proyek
(dampak eksternal)
Adapun faktor-faktor yang perlu dibedakan dalam kuantifikasi manfaat
dan biaya yaitu :
1. Kemungkinan logis untuk menilai semua manfaat dan biaya sebuah proyek
2. Kemungkinan empiris untuk mengevaluasi
3. Penilaian moral atas valuasi tersebut
Dampak lingkungan sedapat mungkin diintegrasikan kedalam proses
valuasi proyek, sehingga memungkinkan bagi pembuat kebijakan untuk
membandingkan dampak lingkungan dengan dampak ekonomi dalam suatu unit
yang sama. Tabel 3 menunjukkan beberapa dampak lingkungan yang dapat
dihitung dalam ukuran uang dan dimasukkan dalam analisa manfaat dan biaya.
Dalam tabel tersebut terlihat adanya dampak positif (manfaat) dan dampak negatif
(biaya) dari pembukaan hutan bakau untuk tambak.
Tabel 3. Contoh hipotesis penilaian dampak ekonomi pembukaan hutan mangrove untuk lahan tambak
No Dampak Manfaat/
Biaya Pengukur
Kehilangan jenis ikan dan biota lain
Harga ikan atau udang setelah disesuaikan dengan
subsidi/pajak x produksi ???
Jumlah uang yang dibelanjakan oleh turis
Peningkatan harga tanah
Kehilangan lahan
Harga bahan bangunan, tenaga kerja, kapital dan alat
??? 8.
9. 10.
Operasi dan biaya pekerjaan pemeliharaan lainnya Pembersihan lahan Penurunan hasil ikan di muara dan lepas pantai
Biaya
Biaya Biaya
Harga bahan bangunan, tenaga kerja, kapital dan alat
Harga peralatan, tenaga kerja Harga ikan x jumlah ikan yang berkurang
2.6. Analisis Kelembagaan
Secara umum terdapat dua jenis pengertian institusi, pertama adalah
institusi sebagai organisasi dan kedua adalah institusi sebagi aturan main atau
“rules of the game”. Institusi sebagai suatu organisasi biasanya menunjukan pada lembaga-lembaga formal seperti departemen dalam pemerintahan, koperasi, bank,
rumah sakit, dan sejenisnya. Institusi sebagai “rules of the game” merupakan
aturan main, norma-norma, larangan-larangan, kontrak, dan lain sebagainya dalam
mengatur dan mengendalikan perilaku individu dalam masyarakat atau organisasi
(North 1990; Rodgers 1994). Bromley (1992) mengibaratkan organisasi sebagai
hardwere dan institusi adalah softwerenya.
Suatu institusi, terdiri dari tiga unsur utama yaitu batas jurisdiksi, property
rights, dan aturan representasi (rules of representations). Satu institusi berbeda dengan institusi lainnya apabila satu atau lebih dari unsur-unsur tersebut berbeda.
Untuk memahami institusi lebih mendalam dan dapat melihat dampak perubahan
alternatif institusi terhadap performa kita perlu terlebih dahulu mempelajari
unsur-unsur dari institusi itu sendiri (Schmid and Allan 1987).
Landasan kerangka analitik institusi adalah mempelajari dampak
perubahan alternatif institusi terhadap perubahan prilaku manusia yang akhirnya
akan menghasilkan performa yang berbeda. Perubahan institusi hanya akan
menghasilkan performa yang berbeda apabila perubahan tersebut dapat
mengkontrol sumber interdependensi antar individu seperti inkompatibilitas,
ongkos eksklusi tinggi (high exclusion cost), ongkos transaksi, skala ekonomi,
joint impact good,dan seterusnya. Kemampuan suatu institusi mengkordinasikan, mengendalikan, atau mengontrol interdependensi antar partisipan sangat
ditentukan oleh kemampuan institusi tersebut mengendalikan sumber
interdependensi. Oleh karena itu pengetahuan mengenai sumber interdependensi
dan alternatif institusi sangat penting karena kesalahan dalam pemahaman sumber
interdependensi akan menyebabkan perubahan institusi tidak efektif (Schmid and