1
BAB I
PENDAHULUAN
I.1. Latar Belakang
Sistem otonomi yang diberlakukan oleh bangsa Indonesia merupakan
bentuk pelimpahan kewenangan dari pemerintah pusat ke pemerintah daerah.
Kewenangan berupa hak otonomi daerah yang bertujuan memberikan kebebasan
bagi daerah untuk mengatur urusan rumah tangganya agar dapat menjadi mandiri
dengan semua potensi yang ada didaerah.
Daerah Istimewa Yogyakarta selanjutnya di singkat DIY, merupakan
daerah yang mempunyai keistimewaan dalam penyelengaraan urusan
pemerintahan karena kedudukan hukum yang dimilki oleh DIY berdasarkan
sejarah dan hak asal- usulnya masih dipimpin oleh Sultan Hamengku Buwono.
Menurut Huda (2014), pengaturan tentang DIY disebutkan dalam Pasal 226 ayat
(2), menegaskan: “Keistimewaan untuk Provinsi Daerah Istimewa Yogyakarta sebagaimana dimaksud dalam UU Nomor 22 tahun 1999, adalah tetap dengan
ketentuan bahwa penyelenggaraan pemerintah Provinsi Daerah Istimewa
2
Salah satu keistimewaan pemerintah DIY dalam urusan penyelenggaraan
pemerintahan yaitu urusan tentang pertanahan, sebagian besar tanah yang
dimiliki oleh DIY merupakan tanah kerajaan atau yang sering disebut dengan
tanah Sultan Ground dan Pakualam Ground selanjutnya di singkat dengan (SG dan PAG) . Kemudian Wibowanto (2011) menjelaskan bahwa salah satunya
pemanfaatan dengan status “magersari”. Artinya bahwa rakyat boleh
memanfaatkan tanah dengan kesadaran penuh bahwa status tanah itu adalah milik
Keraton Yogyakarta. Mereka hanya berbekal “Serat Kekancingan” atau surat yang dikeluarkan Keraton tentang pengunaan tanah.
Sedangkan dalam kepengurusan tanah SG dan PAG, dari pihak Keraton
memiliki lembaga khusus “Paniti Kismo” yang memiliki kewenangan dalam
bidang pertanahan. Anggraeni (2012) menyatakan bahwa organisasi ini
mempunyai struktur yang cukup rapi sampai di tingkat desa dan mempunyai
otoritas penuh dalam pengelolaan serta pemanfaatan tanah Kasultanan dan Pura
Paku Alaman untuk berbagai kepentingan dan kesejahteraan rakyat di
Yogyakarta. Melalui lembaga Paniti Kismo yang dibentuk oleh Kasultanan dapat
dikatakan bahwa kelembagaan Kasultanan dalam bidang pertanahan sangat besar
karena lembaga negara seperti Badan Pertanahan Nasional (BPN)
3
Namun, selama ini yang terjadi adalah tanah SG dan PAG menjadi
kewenangan Keraton Yogyakarta sepenuhnya. Oleh sebab itu, kelembagaan yang
dimiliki oleh Kasultanan dalam bidang pertanahan di DIY merupakan suatu
keputusan yang sangat besar. Kelembagaan tersebut bertentangan dengan
ketentuan penyerahan urusan pertanahan dari pemerintah pusat kepada
pemerinah daerah, maka sampai saat ini berdasarkan Perpres Nomor 10 Tahun
2006, urusan pertanahan menjadi urusan pemerintah pusat.
Dalam urusan pertanahan BPN tidak memiliki kewenangan yang begitu
kuat karena dari semua instansi pemerintah maupun perguruan seperti
Universitas Gajdha Mada sebagian besar adalah tanah Kasultanan Yogyakarta.
Sementara Wibowanto (2011) menjelaskan bahwa kebijakan masalah tanah
ditangani BPN sebagai instansi vertikal dan sebagai bentuk perlindungan
terhadap warga yang telah berpuluh-puluh tahun tinggal di tanah SG dan PAG,
pemerintah daerah hanya bisa membantu memohon ke pihak Karaton. Bahkan,
Undang-Undang Pokok Agreria seakan tidak kuasa menembus sistem
pengelolaan mandiri terhadap tanah Keraton atau yang lebih dikenal dengan
tanah SG dan PAG.
Oleh karena itu, pengaturan tentang tanah merupakan kewenangan
pemerintah DIY. Hal ini bisa dilhat pada Pasal 4 ayat (1) UU Nomor 3 Tahun
1950 dan BAB X Pasal 32 sampai dengan Pasal 33 setelah disahkannya
Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2012 Tentang Keistimewaan DIY, kemudian DIY
4
diantara urusan yang menjadi kewenangan pemerintah DIY adalah pembentukan
kelembagaan dalam bidang keagrariaan dan pertanahan.
Tanah Keraton Yogyakarta terhampar luas di seluruh wilayah DIY.
Berdasarkan data dari BPN DIY mencatat SG dan PAG berjumlah sebanyak
6.283 persil. Sebanyak 1.160 bidang diantaranya telah diukur secara kadasteral
dengan luasan sekitar 47,4 Hektar. Rinciannya, 230 bidang di Bantul, 198 bidang
di Kulon Progo, dan 732 bidang di Gunungkidul. Adapun, 1.485 bidang di
Sleman belum diukur. Ini merupakan hasil pemetaan pada tahun 2005 (Harian Jogja, Jumat 6 September 2013).
Dari sembilan kritik terhadap Rancangan Undang-Undang Keistimewaan
(RUUK) DIY salah satu diataranya yang berkaitan dengan urusan pertanahan.
Didalamya menyebutkan bahwa dalam bidang pertanahan, Kasultanan dan
Kadipaten ditetapkan sebagai badan hukum. Pertanyaanya adalah apakah sebagai
badan hukum privat atau publik. Lalu bagaimana dengan tanah-tanah yang
selama ini telah dikelola masyarakat dan dilepaskan kepada pihak lain. Apakah
kemudian harus dibatalkan. Menurut Sultan akan lebih tepat Kasultanan dan
Kadipaten ditegasan sebagai subyek hak atas tanah (http://news.okezone.com).
Maka dengan adanya keritikan sebelumnya, maka dengan adanya kelembagaan
Kasultanan dalam urusan pertahanan tidak menutup kemungkinan adalah untuk
mempertahankan status tanah SG dan PAG. Hal tersebut bisa dilihat pada
5
menjelaskan bahwa Kasultananan dan Kadipaten memiliki kewenangan sebagai
badan hukum atas tanah yang dimiliki di DIY.
Selanjutnya Huda (2014) menjeskan bahwa didalam UU Nomor 13 Tahun
2012 ditegaskan bahwa kewenangan DIY sebagai daerah otonom mencakup
kewenangan dalam urusan pemerintahan daerah DIY sebagaimana dimaksud
dalam Undang-Undang tetang pemerintahan daerah dan urusan keistimewaan
yang ditetapkan dalam Undang-Undang ini. Kewenangan dalam urusan
keistimewaan meliputi: a. tata cara pengisian jabatan, kedudukan, tugas dan
wewenang Gubernur dan Wakil Gubernur; b. Kelembagaan Pemerintah Daerah
DIY; c. Kebudayaan; d. Pertanahan; dan e. Tata Ruang.
Keistimewaan dari pemerintah DIY adalah terdapat dua peraturan dalam
urusan penyelenggaraan merintahan diataranya yaitu Pertama, Peraturan Daerah DIY, selanjutnya disingkat Perda, yang mengatur penyelenggaraan urusan
pemerintahan provinsi sebagaimana diatur dalam undang-undang tentang
pemerintahan daerah. Kedua adalah tentang Perdais, yang mengatur penyelenggaraan kewenangan istimewa. Oleh sebab itu, dengan adanya kedua
landasan peraturan tersebut, maka memungkinkan akan mempermuda
pemerintah DIY dalam melayani masyarakat sesuai dengan kebutuhan
masing-masing.
Melalui Undang-Undang Keistimewaan DIY saat ini sangat mendukung
pemerintah DIY dalam menyelesaikan masalah pertanahan antara pemerintah
6
pertanahan yang membuat secara jelas status tanah yang telah diberikan kepada
masyarakat atau Hak Guna Bangunan (HGB). Maka yang menjadi ketertarikan
dalam penelitian ini adalah bagaimana regulasi dalam pelimpahan kelembagaan
pertanahan yang diberikan oleh Kasultanan kepada badan atau lembaga yang
telah mendapat kewenangan dalam urusan pertanahan berdasarkan nilai-nilai
norma yang masih dipertahankan oleh Keraton Yogyakarta selama ini.
I.2. Rumusan Masalah.
Berdasarkan latar belakang masalah di atas maka peneliti dapat
merumuskan permasalahan dalam penelitian ini adalah bagaimana
kelembagaan Kasultanan dalam mengelola bidang pertanahan di Daerah
Istimewa Yogyakarta ?
I.3. Tujuan Dan Manfaat Penelitian
I.3.1 Tujuan Penelitian
Sesuai dengan rumusan masalah diatas, maka tujuan yang ingin dicapai
oleh peneliti dari penelitian ini yaitu untuk mengetahui kelembagaan
Kasultanan yang ingin dilihat dari aspek regulatif, normatif dan
kultural-kognitif dalam mengelola bidang pertanahan di Daerah Istimewa Yogyakarta
1.3.2 Manfaat Penelitian
Kemudian manfaat dari hasil penelitian ini tidak lain adalah diharapkan
mampu menambah pengetahuan dan wawasan bagi peneliti untuk mendalami
7
penelitian ini dilakukan dengan penggunanan secara kelembagaan. Oleh karena
itu, peneliti juga berharap bahwa penelitian ini mampu memberikan beberapa
manfaat diataranya yaitu:
a. Adapun secara akademik hasil penelitian ini mampu memberikan
kontribusi bagi mahasiswa lainya, serta dapat memberikan
pengembangan bagi kajian terhadap kelembagaan Kasultanan
Yogyakarta dalam bidang pertanahan di DIY dan sebagai salah satu
persyaratan untuk menyelesaikan studi pada Program Magister Ilmu
Pemerintahan Universitas Muhammadiyah Yogyakarta.
b. Secara Praktis dapat dijadikan sebagai bahan evaluasi oleh pemerintah
DIY tentang kelembagaan Kasultanan dalam bidang pertanahan di
8
BAB II
TINJAUAN TEORI
2.1. Kajian Pustaka
Terdapat beberapa penelitian yang terkaitan dengan peneliti lakukan.
Pertama adalah penelitian yang dilakukan oleh Umar (2006) dengan judul
penelitian “Eksistensi Tanah Kasultanan (Sultan Ground) Yogyakarta Setelah
Berlakunya UU Nomor 5 / 1960”. Hasil dari penelitian ini adalah peraturan perundang-undangan dalam bidang pertanahan diKasultanan Yogyakarta setelah
adanya reorganisasi berdasarkan asas domein verklaring. Asas ini merupakan pernyataan sepihak dari Sultan. Dengan lahirnya Negara Republik Indonesia,
membawa perubahan status Kasultanan Yogyakarta, semula sebagai bagian dari
pemerintah Hindia Belanda (kontrak politik 1940), sekarang menjadi bagian dari
Republik Indonesia dengan status Daerah Istimewa Yogyakarta berdasarkan
Undang –Undang Nomor 3/1950 dan Undang-Undang Nomor 19/1950. Sebagai konsekuensi dari pelimpahan wewenang tersebut, maka pemerintah DIY
memiliki kewenangan dalam membuat peraturan yang menyangkut masalah
kelembagaan pertanahan.
Kemudian Penelitian lainya adalah penelitian yang dilakukan oleh
9
Yogyakarta”. Hasil dari penelitian ini adalah pembentukan undang-undang keistimewaan yang terbaru yaitu Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2012 yang
kemudian menggatikan Undang-Undang lama yaitu Undang-Undang Nomor 3
Tahun 1950. Bahwa Indonesia dalam konsepsi otonomi daerahnya menganut
desentralisasi asimetris artinya telah mengakui secara yuridis konstitusional
daerah otonom yang bersifat khusus dan istimewa. Pengakuan terhadap Dearah
Istimewa Yogyakarta tidak terlepas dari faktor filosofis, sosiologis, dan yuridis.
Keistimewaan pemerintah DIY, mencakup tanah sebagai wilayah kekuasaan, tata
ruang, kebudayaan, kelembagaan pemerintah DIY serta penetapan yang telah
berlangsung dari masa ke masa dan sekaligus inti keistimewaan yang melekat
pada keistimewaan DIY.
Selanjutnya, Wibawanti dan Harjiyatni (2008) dengan judul penelitian ini
“Pemberian hak dalam pemanfaatan tanah pesisir pantai untuk transmigrasi Ring
I di Kabupaten Kulon Progo”. Hasil penelitian ini adalah transmigrasi pada
umumnya dilaksanakan dengan memindahkan penduduk dari pulau Jawa yang
jarang penduduknya. Tetapi transmigrasi juga bisa dilakukan untuk
memindahkan penduduk dalam satu kabupaten. Hal ini juga dilaksanakan oleh
pemerintah Kabupaten Kulon Progo, yaitu memindahkan penduduk tetapi masih
dalam satu kabupaten. Permasalahan yang lain muncul adalah mengenai hak
transmigran dalam memanfaatkan lahan pasir pantai. Apabila selama ini
masyarakat peserta transmigrasi mempunyai tanah dengan status hak miliki,
10
perlu dipertanyakan mengenai status kepemilikan terhadap tanah semula,
disamping itu juga status para transmigran terhadap tanah yang baru, dilokasi
transmigrasi.
Sementara, Herbarina dan Sina (2013) dengan judul penelitian “Ekesistensi tanah Ground di wilayah kerajaan Gunung Tabur dalam sudut pandang hukum
adat”. Hasil dari penelitian ini adalah tanah yang terdapat di Kerajaan Gunung
Tabur merupakan tanah kerajaan yang sampai sekarang eksestensinya tetap
dipertahankan sehubungan dengan diakuinya hukum adat pada UUPA. Sampai
sekarang tanah kerajaan Gunung Tabur tetap diakui oleh pemerintah setempat,
akan tetapi masih sering muncul tentangan atau perselisihan hukum mengenai
tanah kerajaan tersebut, selain diatur oleh hukum adat, tanah juga diatur oleh
hukum nasional, halinilah yang sering menimbulkan kerancuan bagi kerajaan
Gunung Tabur tentang eksestensi tanah kerajaan tersebut.
Kemudian, Sukisno (2014) dengan judul penelitian menyimpulkan bahwa
“Pengelolaan Tanah Kasultanan (Sultan Grond) Setelah berlakunya
Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2012 Tentang Keistimewaan Daerah Istimewa
Yogyakarta”. Hasil penelitian ini adalah Pertama, penetapan Kasultanan sebagai
Badan Hukum yang dapat menjadi subyek hak milik atas tanah sebagaimana
diatur di dalam ketentuan Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2012
mengakibatkan adanya perubahan pada pengelolaan tanah Kasultanan, hal ini
disebabkan karena adanya perubahan status dari lembaga Kasultanan yang pada
11
Badan Hukum publik berubah menjadi Badan Hukum yang lebih mengarah
bersifat privat. Kedua, Dengan ditetapkannya Kasultanan sebagai Badan Hukum yang dapat mempunyai hak milik atas tanah ada beberapa konsekuensi yang
harus dihadapi oleh lembaga Kasultanan diantaranya; a). Harus menyusun
struktur kelembagaan yang khusus mengurusi tanah Kasultanan secara lebih
sempurna mengingat tugas pengelolaan yang akan diemban kedepan cukup
besar, yaitu banyaknya permintaan pemanfaatan tanah Kasultanan oleh pihak
ketiga baik untuk kepentingan sosial, kepentingan umum pemerintah, dan
kepentingan komersial b). Menyiapkan biaya-biaya yang harus ditanggung
terkait dengan pengelolaan tanah diantaranya untuk membayar honor petugas
yang melaksanakan pengelolaan tanah Kasultanan. c). Kemungkinan adanya
beban-beban kewajiban yang harus ditanggung terkait dengan adanya lalu lintas
hukum berkenaan dengan pemanfaatan tanah Kasultanan.
Kewenangan yang dilakukan oleh Kasultanan Yogyakarta setidaknya
mampu menyesaikan masalah tanah pada saat ini, sudah menjadi kewajiban
pemerintah daerah mengurus rumah tangganya. Dengan kata lain, peraturan yang
dibuat oleh pemerintah DIY dari zaman Hindia Belanda atas wewenang dalam
ursusan pertanahan belum bisa memberikan kejelasan yang kuat tentang status
tanah yang ada DIY, sebab masalah pembangunan di DIY masih terjadi konflik
12
Tabel 2.1 Kajian Pustaka
Nama Judul/ Tahun Kesimpulan/Temuan
Umar Eksistensi Tanah
Kasultanan (Sultan Ground) Yogyakarta Setelah Berlakunya UU Nomor. 5 /1960/2006.
Tanah– tanah Keraton Yogyakarta setelah berlakunya UU No. 5 tahun 1960 tidak banyak mengalami perubahan, sebab diktum ke – IVUUPA belum ada peraturan pemerintah sebagai pelaksanaannya, meskipun sebagian tanah swapraja sudah dikuasai oleh pemerintah daerah. Tanah–tanah swapraja yang ada di DIY, sampai sekarang masih dikenal dengan istilah
Sultanan ground atau Siti tidak terlepas dari faktor filosofis, sosiologis, dan yuridis.
Transmigrasi di lokasi Transmigrasi Ring I di kabupaten Kulon Progo tidak diberikan suatu hak atas tanah sebagaimana ditentukan dalam UU Ketransmigrasian. masih mengganggap tanah peninggalan kerajaan sebagai tanah mereka, tetap dipertahankan sebagai tanah Sultan Ground yang khusus digunakan untuk menyokong ekonomi keluarga sehari-hari
13
Keistimewaan DIY/2014
adanya perubahan pengelolaan tanah Kasultanan dan timbulnya beban kewajiban dan tanggung jawab yang harus dipenuhi oleh lembaga Kasultanan dalam rangka pengelolaan tanah Kasultanan.
Hasil penelitian terdahulu juga membuktikan bahwa persoalan pertanahan
di DIY dari zaman Hidia Belanda sampai dengan lahirnya UU Nomor 13 Tahun
2012 tentangkewenangan keistimewaan pemerintah DIY dalam mengurus
masalah pertahanyang ada di Yogyakarta masih belum membuktikan
keberhasilan dari sebuah daerah otonomi yang telah diberikan hak keistimewaan.
Sedangkan penelitian ini lebih menekankan padamodel kelembagaanKasultanan
dalam mengelola bidang pertanahan dengan menggunakan pedekatan secara
kelembagaan. pendekatan kelembagaan dapat dilihat dari aspek regulatif,
normatif dan kultural-kognitif. Dari lembaga pertanahan yang selama ini
mengelola tanah SG dan PAG di DIY seperti Kanwil BPN DIY, Paniti Kismo
Keraton Yogykarta, DPRD Komisi A DIY dan Dinas Pertanahan dan Tata Ruang
DIY. Oleh karena itu, adanya pendekatan kelembagaan yang dilakukan oleh
peneliti maka dapat dikatakan bahwa secara kajian pustaka penelitian ini berbeda
14
2.2 Kajian Teori
2.2.1. Kelembagaan
Menurut Scott (2008:28) institusi dibangun dari elemen-elemen regulatif,
normatif, dan budaya-kognitif yang semuanya dikaitkan dengan
kegiatan-kegiatan dan sumber daya, yang memberikan stabilitas dalam kehidupan sosial.
Hal ini menyebabkan kewenangan yang dimiliki oleh Sultan dalam bidang
pertahanan di DIY tidak bisa dilepaskan dari elemen-elemen tersebut. Pontensi
sumber daya dalam bentuk pertanahan merupakan bagian dari kehidupan
masyarakat. Oleh karena itu, pemerintah DIY sebagai institusi yang merangkul
aspirasi masyarakat dalam bidang pertanahan harus mampu menjaga stabilitas
kehidupan dan tatanan sosial masyarakat.
Selanjutnya, Scott (2008:52) menjelaskan dengan lebih rinci mengenai
tiga pilar tersebut adalah regulatif, normatif dan kognitif budaya yaitu:
1) Regulatif adalah suatu peraturan yang ada dalam suatu lembaga,
peraturan tersebut terdiri dari kekuatan, kebijakan-kebijakan, dan
sanksi yang telah dibuat oleh lembaga itu. Artinya dengan regulatif
tersebut, maka memungkinkan lembaga tersebut dalam aksinya dapat
memberikan lisensi, kekuasaan khusus, dan manfaat bagi lembaga itu
sendiri.
2) Normatif adalah suatu konsep norma-norma yang digunakan dalam
suatu lembaga, dimana norma tersebut merupakan pedoman dasar
15
suatu perasaan kuat untuk para anggota dari lembaga tersebut.
Konsepsi normatif dalam suatu lembaga menekankan dalam
mempengaruhi stabilitas sosial dan norma-norma yang baik bagi
masyarakat.
3) Kognitif budaya yaitu pemikiran tentang suatu budaya yang ada
dalam lembaga. Kognitif budaya diantaranya berisi tentang paham,
keyakinan, pengikat, dan bersifat isomorf. Kognitif dalam makana
budaya dalam teori ini akan sangat penting, karena kognitif budaya
dalam teori ini lebih bisa berubah-ubah dibandingkan dengan dua
pilar lain yaitu regulatif dan normatif.
Dapat dijabarkan bahwa institusi mempunyai nilai-nilai dalam suatu
tatanan kelembagaan yang sulit dilepaskan dengan kehidupan sosial masyarakat.
Lembaga yang dibentuk oleh Negara dalam bidang pertanahan seperti BPN
dapat menjalankan tugas dan fungsinya berdasarkan pedoman kelembagaan yang
sudah diatur. Segala urusan administrasi dan pendukemtasian dari semua jenis
pertanahan yang ada di DIY selama ini dijalankan oleh BPN. Namun yang
terjadi, BPN DIY meminta persetujuan terlebih dahulu dari Kasultan.
Kelembagaan berasal dari kata lembaga, yang berarti aturan dalam
organisasi atau kelompok masyarakat untuk membantu anggotanya agar dapat
berinteraksi satu dengan yang lain untuk mencapai tujuan yang diinginkan
16
kewajiban bagi setiap lembaga pemerintah. Kewenangan dari Paniti Kismo
dalam bidang pertanahan merupakan kewenangan besar Sultan untuk
mempermuda masyarakat DIY menempati tanah SG dan PAG. Jika dengan Undang-Undang Keistimewaan (UUK) justru membuat akan ancaman bagi
pemerintah DIY, maka tidak menutup kemungkinan kelembagaan dari
Kasultanan Yogyakarta akan menjadi berkurang karena status Sultan Ground dan Pakualaman Ground beralih statusnya menjadi milik negara sepenuhnya.
Selanjutnya, Scott (2008: 36) menjelaskan bahwa New Institutional Theory
adalah tentang bagaimana menggunakan pendekatan kelembagaan baru dalam
mempelajari sosiologi organisasi. Akar teoritisnya berasal dari teori kognitif,
teori kultural, serta fenomenologi dan etnometodologi.
Kelembagaan berisi sekelompok orang yang bekerjasama dengan
pembagian tugas tertentu untuk mencapai suatu tujuan yang diinginkan. Tujuan
peserta kelompok dapat berbeda, tapi dalam organisasi menjadi suatu kesatuan
(Bobi, 2002:1). Jadi kelembagaan atau terutama kelembagaan formal seperti
Dinas Pertanahan di DIY dan DPRD lebih ditekankan pada adanya aturan main
didalamnya (the rules) yang menjadi panduan bagi pelaksanaan kerja-kerja lembaga tersebut dan kegiatan kolektif (collective action) dalam mewujudkan kepentingan masyarakat secara umum yang mengacu pada Perdais yang telah
ditetapkan.
Tiga jenis dasar dari lembaga yaitu: Lembaga Sistem Otoriter, terdapat dua
17
menguasai yang lain, suka maupun tidak suka, biasanya ditentukan oleh
keturunan, kekayaan, umur, pendidikan, kedudukan atau kemampuan, hal ini
menyebabkan atasan memutuskan segala sesuatu sendiri; Lembaga Sistem
Demokrasi, semua anggota memiliki hak dan kewajiban yang sama dan
seimbang, pemimpin berfungsi sebagai yang satu dari yang sama; Lembaga
Sistem “Biarkan Saja” (claissez faire) semua anggota sama tingkat kedudukan
dan fungsi sehingga menyebabkan pemimpin tidak memiliki arti dan tidak
mempunyai fungsi (Wiryanto F, 1986: 101).
Dari pejelasan diatas tentang sistem dasar kelembagaan, maka
kelembagaan sistem otoriter, kelembagaan sistem demokrasi, maupun
kelembagaan sistem claissez faire pada dasarnya memiliki peran yang sangat penting dalam menjalankan tugas dan fungsinya serta pemberian hak dalam
kelembagaan Kasultanan Yogyakarta di DIY kepada lembaga yang dipercayakan
dalam bidang pertanahan.
Dari ketiga elemen diatas, dalam membangun kelembagaan walau
kadang-kadang ada yang dominan, tapi mereka berkerja dalam kombinasi. Ketiganya
datang dari perbedaan cara pandang terhadap sifat realitas sosial dan keteraturan
sosial dalam tradisi sosiologi sebelumnya. Ketiga elemen tersebut adalah aspek
regulatif, aspek normatif, dan aspek kultural-cognitif. Maka ketiga elemen yang
digunakan dalam kelembagaan akan besifat dominan dengan keadaan tertentu
ketika realitas yang terjadi dimasyarakat DIY terjadi pergeseran tradisi yang
18
Yogyakarta beserta lembaga yang yang mempunyai kewenangan dalam
pertanahan harus mampu membuat aturan yang dapat disesuaikan dengan
keadaan masyarakat DIY pada saat ini.
2.2.2. Instrumen Kelembagaan Baru (New Institutions)
Jika dirumuskan, bahwa lembaga adalah sebagaian hal yang didalamnya
yang berisi tentang normatif, regulatif, dan kultural-kognitif yang menjadi
pedoman bagi sumber daya yang menjalankan, dan sekaligus hambatan untuk
pelaksanaan kewenangannya sebagai Sultan Yogyakarta, kelembagaan yang
dibentuk dalam mengawasi urusan pertanahan sangat erat kaintanya dengan
norma-norma yang suda berjalan selama ini, oleh sebab itu regulasi dalam
kelembagaan harus berpihak sesuai dengan kultural masyarakat DIY.
Tiga pilar diatas jika dikaitkan dengan penelitian tentang kelembagaan
Kasultanan Yogyakarta dalam bidang pertanahan dengan menjalankan tata kelola
pemerintahan yang menuju pada pemerintah yang baik maka akan mampu
menjawab pemasalahan yang terkait dengan pertanahan selama ini di DIY.
Sehingga adapun penafsiran tentang suatu kelembagaan yang didalamnya
didasari oleh (Scott:2008). Pertama, institusi sosial yaitu struktur dimana struktur tersebut telah mencapai derajat kelenturan yang tinggi. Kedua, institusi juga terdiri didalamnya suatu elemen seperti: kultural-kognitif, normatif, dan
19
institusi juga dapat ditransformasikan ke berbagai instrumen yaitu: sistem
simbolik, sistem relasi, rutinitas, dan artefak.
Dari penjelasan diatas dapat ditarik suatu variabel penelitian terkait dengan
lembaga pemerintahan DIY yang memiliki peran andil dalam pengelolaan tanah
SG dan PAG, baik lembaga yang dibentuk oleh pemerintah pusat, pemerintah
daerah maupun lembaga yang dibentuk oleh Kasultanan Yogyakarta. Maka oleh
karena itu, untuk mengetahui hubungan dari lembaga tersebut. Tentu dapat
dilihat dari instrument seperti sistem simbolik, sistem relasi, rutinitas, dan
artifact. Dimana dari instrumen tersebut mencangkup tentang sistem regulasi,
normatif, dan kultur-budaya suatu lembaga.
Kemudian, Scott (2008) juga mengembangkan tiga pilar dalam tatanan
sebuah kelembagaan, yaitu regulatif, normatif, dan kognitif. Pada pilar regulatif
menekankan aturan dan pengaturan sanksi, pilar normatif mengandung dimensi
evaluatif dan kewajiban, sedangkan pilar kognitif melibatkan konsepsi bersama
dan frame yang menempatkan pada pemahaman makna. Setiap pilar tersebut memberikan alasan yang berbeda dalam hal legitimasi, baik yang berdasakan
sanksi hukuman, secara kewenangan moral dan dukungan budaya. Jika dikaitkan
dengan ketiga pilar diatas, maka kelembagaan yang ada di tatanan pemerintahan
DIY akan jauh lebih baik karena mampu menjawab permasalan pertanahan di
DIY.
Adapun banyak pendapat yang menganalisis tentang institusi dari aspek
20
pada tiga pilar tadi yaitu, normatif, kognitif, dan regulatif dan ada yang
mengemukakan regulatif rule (Aturan) yang membantu memberikan tugas dan struktur pada aktor yang sudah ada, aturan institutif , menciptakan aktor-aktornya
dan memberikan tugas untuk melakukannya. Karena lembaga yang terdiri dari
regulasi, normatif dan kognitif budaya yang sama dengan terkait dan sumber
daya memberikan stabilitas dan makna untuk kehidupan social.
Sementara Davies (2004), menjelaskan bahwa pada empat studi kasus
lengkap dan bukti dari penelitian yang sedang berlangsung ke New Deal Communities untuk masyarakat (NDC). Berargumen bahwa Inggris dengan gaya kemitraan cenderung untuk mewujudkan nilai-nilai yang saling bertentangan dan
pola hirarkis organisasi. Oleh karena itu, seiring perjalanan bentuk
kemitraan/kerjasama belum menetapkan diri sebagai mekanisme yang dibangun
atas hubungan yang kuat. Hal ini menyimpulkan bahwa saat ini kelembagaan
yang berada dibawah kewenangan Sultan DIY adalah saat yang tepat untuk
mengembangkan pengetahuan Tentang jalan membentuk dan perubahan
kelembagaan berdasarkan Perdais yang merupakan bagian dari DIY sebagai
daerah yang diistimewakan dengan UUK yang telah ditetapkan oleh pemerintah
pusat.
Selanjutnya, David (2008) menambahkan bahwa penelitian ini berfokus
pada pengembangan hubungan antara pemimpin bisnis lokal dan elit politik.
21
program regenerasi lingkungan unggulan buruh baru New Deal Communities
untuk masyarakat (NDC). Artikel dimulai dengan mengeksplorasi konsep dan
perkembangan terakhir dalam teori institusional.Secara garis besar metodologi
penelitian diikuti dengan analisis institusionalis pengembangan kemitraan.
Dalam penelitian ini menjelaskan bahwa kerjasama tidak mencerminkan
sebuah rangkaian penyelesaian yang dependen. Akan tetapi sebaliknya, mereka
adalah jalan yang membentuk arena di mana terdapat nilai-nilai yang berbeda
dan mengatur mekanisme bersaingdalam pemerintah daerah, ada satu set yang
dominan nilai-nilai yang mendukung kemitraan, bersama oleh unsur-unsur bisnis
lokal dan masyarakat setempat.
Namun, nilai-nilai ini belum diterjemahkan ke dalam praktek institusi
terikat aturan yang menghasilkan pengembalian penambahan yang stabil dan
membatasi perkembangan konsep nasional. Keterlibatan warga setempat dalam
kemitraan (NDC), sering muncul untuk mengintensifkan pertentangan tentang
aturan, sedangkan inisiatif pembangunan ekonomi berdasarkan hubungan
bilateral antara pemerintah daerah dan bisnis lokal dapat berjalan lancar untuk
institusionalisasi jaringan (David, 2005).
Dari sudut pandang Olsen (2005) bahwa institusi sesuatu yang secara tidak
mutlak memberikan wewenang dan mewajibkan pelaku-pelaku secara berbeda
dan membuat para pelaku lebih atau kurang mampu bertindak seturut perspektif
22
berkaitan dengan pendekatan umum terhadap studi tentang institusi-institusi
politik. Jadi institusi adalah kumpulan-kumpulan dari struktur-struktur,
aturan-aturan, dan prosedur-prosedur pelaksanaan standar yang memiliki peran sebagai
otonom dalam kehidupan berpolitik.
Institusionalisme mengandung dua perspektif yang berbeda tentang politik.
Pertama; rational actor (pelaku rasional) yakni suatu perspektif yang melihat perpolitikan sebagai yang terorganisir oleh perubahan di antara perhitungan dan
kepentingan pribadi pelaku. Kedua; Cultural Community (komunitas budaya) yang melihat perpolitikan sebagai yang teroganisir oleh nilai-nilai dan
pandangan-pandangan tentang dunia bersama dalam suatu komunitas dari
budaya, pengalaman, dan visi bersama.
Temuannya tentang pengaruh institusi adalah aturan yang dihubungkan
dan dipertahankan melalui identitas, melalui rasa keanggotaan dalam kelompok
dan pengenalan akan peran. Sekalipun demikian, selalu ada kemungkinan
terjadinya persaingan anturan-aturan dan antar-interpretasi tentang aturan dan
situasi. Organisasi dipengaruhi oleh faktor-faktor seperti bagaimana
kegiatan-kegiatan dibagi, posisi apa yang ditempati tiap individu, dan tanggung jawab.
Maka oleh karena itu temuannya adalah identifikasi dipengaruhi juga oleh masa
jabatan dan perpindahan, perbandingan antara veteran dan pendatang baru,
kesempatan untuk promosi dan waktu rata-rata antara promosi, pengalihan tugas
23
Kemudian, Olsen (2006) melihat bahwa aspek dari perkembangan
institusionalisme baru dan pengaruhnya untuk mengembangkan pemahaman
teori tentang bagaimana kehidupan politikdisusun. Adapun yaitu, (a).
kontekstual: melihat politik sebagai bagian dari masyarakat, kurang cenderung
untuk membedakan organisasi dari masyarakat; (b) reduksionis: melihat
fenomena politik sebagai konsekuensi agregat dari sikap individu, untuk
menganggap hasil dari politik ke struktur organisasi dan aturan perilaku yang
sesuai; (c) ulitarian: melihat tindakan sebagai produk dari ketertarikan pribadi,
kurang melihat pelaku politik sebagai pelaksana obligasi dan tugas; (d)
fungsionalis: melihat sejarah sebagai mekanisme yang efisien untuk mencapai
keunikan ekuilibrum yang sesuai, kurang peduli dengan kemungkinan untuk
maladaptation dan ketidakunikan dalam perkembangan sejarah; (e) instrumentalis: berkaitan dengan membuat keputusan dan alokasi dari sumber
sebagai perhatian utama dalam dunia politik, kurang perhatian pada cara
mengorganisir kehidupan politik pada perkembangan makna melalui simbol,
ritual, dan seremoni.
Dalam temuan ini bahwa mereka bekerjasama berdasarkan kesadaran
tentang sebuah pengaturan fenomena yang lebih mudah diamati dari pada
perpindahan. New Institutionalisme atau kelembagaan baru secara empiris berdasarkan prasangka, pernyataan bahwa apa yang kita amati di dunia tidak
konsisten dengan cara di mana teori kontemporer meminta kita untuk berbicara.
24
institusional baru yang lebih menekankan pada aspek regulasi, normatif, dan
kultural-kognitif masyarakat DIY saat ini. Adapun istrumen kelembagaan akan
di jelaskan dalam tabel dibawah ini.
Tabel 2.2 Instrumen Kelembagaan
Instrumen Regulatif Normatif Cultural cognitive
Sistem
Simbolik Aturan dan Hukum Nilai dan harapan
Kategori, tipikasi
Rutinitas Protokol dan SOP
Pekerjaan, Peran,
Sumber: W. Richard Scott (2008:79)
Dari tabel di atas menjelaskan tentang bagaimana instrumen dari
kelembagaan yang dikemukakan oleh Scott (2008) dapat terlaksana dengan baik.
Oleh karena itu instrumen tersebut yang ada pada penelitian ini dimaksudkan
untuk menyusun sebagai dasar dalam melakukan analisis. Kelembagaan pada
Kasultanan Yogyakarta dalam bidang pertanahan serta tata kelola pemerintahan
menuju pemerintah yang baik dengan melihat fenomena sosial masyarakat di
DIY saat ini dapat disebabkan oleh adanya sistem simbolik, sistem relasi,
rutinitas dan artifac yang telah tersusun dengan baik.
25
Berdasarkan beberapa pengertian dari teori diatas, dapat disimpulkan
bahwa kelembagaan merupakan suatu aktivitas manusia yang saling
berhubungan dengan adanya keterikatan antara yang satu dengan yang lainnya
dan berada pada sebuah wadah organisasi sehingga keterikatan antar mereka
ditetapkan berdasarkan adanya tujuan yang disepakati secara bersama yang
didalamnya berisi tentang regulasi, normatif dan kultur-kognitif demi
terlaksananya suatu lembaga yang baik.
Dari pilar-pilar tersebut, maka kewenangan Kasultanan dalam bidang
pertanahan di DIY dapat dilihat ketika di dalam tata kelola pemerintahan juga
memiliki peran dalam pengelolaan tanah SG dan PAG. Oleh karena itu
Kasultanan sebagai lembaga yang dibentuk untuk mengakomodir hak-hak
masyarakat yang berkaitan dengan persoalan pertanahan dari zaman Hindia
Belanda walaupun belum ada kejelasan yang kuat. Keterlibatan Kasultanan
sebagai bentuk representasi dari masyarakat akan sangat berpengaruh pada
terciptanya ketentraman sesuai dengan karakteristik pelaksanaan Kasultanan di
DIY dalam pengelolaan tanah SG dan PAG. Selain itu, sebagai daerah yang
memiliki karaktristik pemerintahan yang berbeda dengan pemerintahan di daerah
26
Agar lebih memahami alur pemikiran dalam penelitian ini, maka berikut peneliti sajikan dalam bentuk skema:
2.4. Definisi Konseptual
a) Kasultanan DIY
Kasultanan adalah lembaga pemerintahan DIY yang memliki tatanan kelembagaan dalam bentuk kerajaan sehingga nilai-nilai yang dijalankan berdasarkan aturan-aturan yang dibuat oleh kerajaaan, maka Kasultanan DIY memiliki hak istimewa untuk mengurus rumah tangganya. Hal tersebut kembali diperkuat oleh Negara dengan memberikan Hak keistimewaan melalaui Undang-Undang Keistimewaan.
b) Kelembagaan
Lembaga merupakan aspek yang menekan pada elemen normatif, regulatif, dan kultural sehingga kelembagaan yang dimiliki suatu daerah harus mampu menyusaikan pada fenomena sosial yang terjadi dimasyarakat.
c) Pertanahan DIY
Merupakan tanah yang memiliki oleh Keraton di DIY dengan kreteria yang berbeda baik tanah Kasultanan, tanah Pakualaman mapun tanah yang dimiliki oleh masyarakat saat ini. Pertanahan yang dimiki oleh keraton KelembagaanKasultana
n Sebagai Lembaga Pengakomodir Hak
Masyarakat
Normatif Dalam Bidang
Pertanahan Regulatif Dalam Bidang
Pertanahan
Kultur-Kognitif Dalam Bidang
27
maupun yang dimiliki oleh masyarakat wajib mendukung pembangunan yang ada di DIY guna meningkatkan infrastruktur daerah agar menjadi lebih baik dengan didasari nilai-nilai yang di daerah tersebut.
2.5. Definisi Operasional
Berikut penelitian ini disajikan dalam bentuk beberapa indikator tentang konsep kelembagaan pemerintah ataupun kelembagaan Kasultanan Yogyakarta berdasarkan teori kelembagaan. Jadi kerangka operasional disajikan dalam tabel sebagai berikut:
Tabel 2.3 Operasional Penelitian
Instrumen Elemen Aspek Indikator
Sistem Simbolik
Regulatif Aturan dan Hukum
Kasultanan dalam tata kelola pemerintahan DIY
Aturan hukum yang jelas, sistem monitoring dan sanksi di DIY
Normatif Nilai dan harapan dari
KasultananYogyakarta
Sistem nilai dan harapan oleh aktor (Sultan)
Regulatif Sistem tatakelola dan sistem kekuasaan di Kasultanan Yogyakarta
Struktur organisasi dan pembagian kewenangan di Kasultanan
Normatif Sistem kewenangan
Rezim di Kasultanan Yogyakarta
Penggunaan kekuasaan dan
demokratis hubungan kekuasaan secara informal yang mewarnai interaksi antar lembaga khususnya di Kasultanan Yogyakarta sistem simbol yang dibanggakan di Kasultanan Yogyakarta
Rutinitas
Regulatif Protokol dan SOP
Kasultanan Yogyakarta
28
Cultural cognitive
Scripts Kasultanan Yogyakarta
Kebiasaan organisasi sesuai dengan
nilai lokaldi Kasultanan
Yogyakarta
Artifact
Regulatif Mandat yang ada di
Kasultanan Yogyakarta
Kewenangan yang dilimpahkan
lewat undang-undang pada
Kasultanan Yogyakarta
Normatif Kesepakatan berbasis
nilai yang distandarisasi olehKasultanan
Yogyakarta
Kesepakatan lokal Kasultanan
Yogyakarta dan masyarakat
Cultural cognitive
Sistem nilai simbolik yang diproseskan
29
BAB III
METODE PENELITIAN
3.1. Jenis Penelitian
Dalam penelitian ini, peneliti menggunakan pendekatan penelitian
deskriptif kualitatif. Karena menurut Moleong (2012:6) penelitian kualitatif
merupakan pemahaman tentang fenomena yang sedang dialami oleh subyek
penelitian baik secara holistik ataupun dengan cara memanfaatkan berbagai
metode alamiah. Sehingga fenomena yang terjadi dalam bidang kelembagaan
terhadap urusan pertanahan di DIY sangat mendukung peneliti untuk melakukan
penelitian dengan metode kualitatif berdasarkan karakteristik penelitian
dilapangan.
Senada dengan penjelasan diatas bahwa Agus Salim (2006:4) juga
mengungkapkan bahwa dalam penelitian kualitatif memiliki karakteristik
sebagai berikut : (1) data penelitian diperoleh secara langsung dari lapangan, dan
bukan dari labotorium atau penelitian yang terkontrol; (2) penggalian data dapat
dilakukan secara alamiah, melakukan kunjungan pada situasi-situasi alamiah
subyek; dan (3) untuk memperoleh makna baru dalam bentuk kategori-kategori
30
Untuk mengetahui dan menjelaskan bagaimana kewenangan dari
kelembagaan yang berada di bawah Sultan dalam bidang pertanahan di DIY serta
akan mengnalisa data secara kualitatif. Peneliti juga menggunakan instrumen
wawancara dalam bentuk konsioner dengan tujuan memperoleh beberapa data
penelitian dan memaparkannya secara rinci tentang fenomena-fenomena apa
yang diteliti pada pedoman kelembagaan DIY dalam bidang pertanahan. Selain
itu, penelitian ini juga akan menggambaran tentang bagaimana proses fenomena
serta dampaknya berdasarkan fokus penelitian ini.
3.2. Lokasi Penelitian
Adapun yang menjadi lokasi penelitian ini adalah bertempat di Daerah
Istimewa Yogtakarta. Salah satu alasan peneliti memilih DIY sebagai lokasi
penelitian karena dari segi fokus penelitian yang ingin diteliti sangat relevan
dengan permasalahan yang ada, disamping itu waktu dan biaya, jarak untuk
mencari informan pada lembaga seperti BPN DIY, DPRD DIY Komisi A, Paniti
Kismo, Biro Tata Pemerintahan Setda DIY dan Dinas Pertanahan dan Tata Ruang
DIY merupakan lokasi yang efesien dengan fokus penelitian yang ingin diteliti
oleh peneliti dalam penelitian ini.
3.3. Jenis Data
Terdapat dua jenis data yang digunakan dalam penelitian ini yaitu data
primer dan data sekunder. Menurut Lofland (dalam Moleong, 2012;157)
31
kata-kata, dan tindakan, selebihnya adalah data tambahan seperti dokumen dan
lain-lain.
3.3.1 Data Primer
Data primer adalah data yang diperoleh secara langsung dari sumber
asli objek penelitian. Data primer berupa opini, atau keterangan objek (orang)
yang diperoleh dari kelompokatau individu, hasil dari observasi terhadap
suatu benda (fisik), kejadian atau kegiatan, hasil pengujian dengan
menggunakan metode wawancara. Data primer dalam penelitian ini
merupakan sumber data yang didapatkan melalui sumber informasi yang jelas
tentang kewenangan Kasultan dalam bidang pertanahan di DIY.
3.3.1 Data Sekunder
Data sekunder merupakan data tambahan (penunjang). Data sekunder
merupakan sumber data penelitian yang diperoleh secara tidak langsung dari
objek penelitian, yaitu melalui perantara media. Data sekunder biasanya
berupa bukti catatan, laporan, peraturan, kebijakan, atau laporan historis yang
telah tersusun dalam sebuah arsip atau berbentuk dokumenter, file baik sudah
terpublikasi atau tidak terpublikasi. Adapun jenis-jenis data yang dibutuhkan
32
Tabel 3.1.Jenis dan Sumber Data.
3.4 Teknik Pengumpulan Data
Teknik pengumpulan data dalam penelitian ini menggunakan teknik
wawancara dan dokumentasi, pengumpulan data yang dimaksud yaitu:
3.4.1. Wawancara
Teknik wawancara banyak digunakan dalam pengumpulan data. Sementara
menurut Salim (2006:16) penelitian kualitatif lebih berupa kata-kata, oleh karena
itu wawancara menjadi perangkat yang penting. Senada dengan penjelasan
tersebut Rahmawati (2010:33) juga mengatakan bahwa wawancara merupakan
cara pengumpulan data yang dilakukan dengan mengajukan pertanyaan-No Jenis Data Sumber Data Metode Pengumpulan data
1
Aturan hukum yang jelas, sistem
monitoring dan sanksi di DIY a. BPN DIY Kuesioner setengah terbuka 2
Sistem nilai dan harapan oleh aktor
(Kasultanan) b. DPRD DIY Komisi A Wawancara 3
Ciri khas nilai yang digunakan dalam
Kasultanan c. Paniti Kismo dokumentasi 4
Struktur organisasi dan pembagian
kewenangan di Kasultanan DIY d. Biro Tata Pemerintahan Setda DIY 5
Penggunaan kekuasaan dan demokratis antar lembaga khususnya di Kasultanan DIY
e. Dinas Pertanahan dan Tata Ruang DIY
6
Sistem nilai yang disepakati dan sistem simbol yang dibanggakan di Kasultanan DIY
Kesepakatan lokal Kasultanan dan masyarakat DIY
12
33
pertanyaan mengenai konsep penelitian (yang terkait dengannya) terhadap
individu manusia yang menjadi unit analisa penelitian ataupun terhadap individu
manusia yang dianggap memiliki data mengenai unit analisa penelitian.
Maka dalam metode penelitian ini peneliti memilah dalam empat titik
kunci yaitu: menentukan siapa yang ingin di wawancarai, mendapatkan akses dan
mengatur wawancara, melakukan wawancara dan menganalisa hasil
(Burhan,et.al,2004). Metode wawancara tersebut mempunyai tujuan untuk
mendapatkan data secara langsung kepada infoman yang dilakukan oleh peneliti.
Oleh karena itu, dalam proses wawancara diperlukan komunikasi yang produktif
antara peneliti dan informan, setiap hal-hal yang berkaitan dengan kelembagaan
Kasultanan terhadap regulasi atau pedoman kelembagaan dalam bidang
pertanahan di DIY.
3.4.2 Dokumentasi
Menurut Sugiono (2014:240) bahwa teknik pengumpulan data dengan
dukumentasi dapat mencatat peristiwa yang sudah berlalu. Baik dalam bentuk
tulisan, gambar, atau karya-karya monumental dari seseorang. Dalam penelitian
ini, data dokumentasi yang akan dikumpulkan berupa bentuk regulasi seperti
hasil kesepakatan antara Kasultanan dengan DPRD DIY dalam bidang
pertanahan maupun SOP yang ada di lembaga pertanahan DIY. Serta peneliti
juga akan mengumpulkan data tentang program kerja atau kinerja Kasultanan
Yogyakarta yang telah dilaksanakan berkaitan dengan pelaksanaan kelembagaan
34
cetak seperti Koran yang secara khusus berbicara mengenai keterlibatan
Kasultanan dalam bidang pertanahan, foto-foto serta data-data penunjang lainnya
yang berhubungan dengan fokus penelitian.
3.5. Unit Analisa Data
Unit analisa yang digunakan dalam penelitian ini adalah sebagai berikut:
Tabel 3.2.Unit Analisa Penelitian
Biro Tata Pemerintahan Setda DIY
Aturan, Hukum, SOP, Sitem Tata Kelola,
Protokol dan Mandat 1
DPRD DIY Komisi A
35
3.6. Teknik Analisa Data
Penelitian ini juga akan menggunakan analisa data dengan menggunakan
analisa kualitatif. Menurur Bogdan dan Biklen (dalam Moleong, 2012:248)
menjelaskan bahwa upaya yang dilakukan dengan jalan berkerja dengan data,
mengorganisasikan data, memilah-milahnya menjadi suatu yang dapat di kelola
dan mengsintesiskanya. Kemudin mencari dan menemukan pola, menemukan
tentang apa yang penting dan apa yang dipelajari, dan memutuskan apa yang
dapat diceritakan kepada orang lain.
Senada dengan pembahasan diatas, Salim (2006:20) menambahkan bahwa
penelitian yang kaya data tidak akan berarti sama sekali jika data tersebut tidak
dirangkai dalam struktur makna yang logis. Oleh karena itu, analisa data dalam
setiap hasil wawancara dan dokumentasi dengan lembaga pertanahan di DIY
yang akan dilakukan oleh peneliti adalah mencari hal-hal yang relevan dari
masalah dalam penelitian ini.
Gambar 3.1 Komponen Analisa Data Model Intraktif (Interactive Model)
Sumber: diadopsi dari Matthew B. Miles dan A. Michael Huberman (D alam Agus Salim, 2006:22)
Pengumpulan Data Penyajian Data
Reduksi Data
36
Proses-proses analisa data kualitatif dalam penelitian ini yang terkait
dengan jawaban dari rumusan masalah yang ingin ditemukan oleh peneliti. Maka
dapat dijelaskan, sebagai berikut:
a. Pengumpulan data, yaitu data penelitian di lapangan yang dilakukan
oleh peneliti dengan menggunakan metode yang telah ditentukan.
b. Reduksi data (data reduction), yaitu proses pemilihan, pemusatan perhatian pada penyederhanaan, abstraksi, dan transformasi data kasar
yang diperoleh dari lokasi penelitian
c. Penyajian data (data display), yaitu deskripsi kumpulan informasi tersusun yang memungkinkan untuk melakukan penarikan kesimpulan
dan pengambilan tindakan.
Penarik kesimpulan dan verifikasi (conclusion drawing and verification). Dari proses pengumpulan data, peneliti mencari makna dari setiap gejala yang
diperoleh di lapangan, mencatat keteraturan atau pola penjelasan dan konfigurasi
yang mungkin ada, alur kausalitas, dan proposisi. Jika penelitian masih
berlangsung, maka setiap kesimpulan yang ditetapkan, kemudian akan
37
BAB IV
DESKRIPSI WILAYAH PENELITIAN
4.1. Deskripsi Wilayah DIY
4.1.1 Letak Geografis dan Luas Wilayah Daerah Istimewa Yogyakarta
DIY adalah Provinsi terkecil Nomor 2 setelah provinsi DKI Jakarta, yang
di hempit oleh Provinsi Jawa Tengah ketiga sisinya yaitu sebelah timur, utara,
dan barat. Sementara sebelah selatannya berhadapan langsung dengan samudra
Hindia.
Gambar 4.1. Wilayah Administrasi Daerah Istimewa Yogyakarta
Sumber: Mengenal Daerah Istimewa Yogyakarta http://id.images.search.yahoo.com
Dari gambar peta diatas luas wilayah yang dimiliki oleh pemerintah DIY
tidak begitu besar dibandingkan dengan daerah lainya. Provinsi DIY memiliki 5
Kabupaten/ Kota yaitu Kabupaten Gunung Kidul, Kabupaten Kulon Progo,
38
Daerah Istimewa Yogyakarta posisinya geografis wilayahnya terletak
diantara 7.33-8.12 Lintang Selatan dan 110.00- 110.50 Bujur Timur, tercatat
memiliki luas 3.185,80 km atau 0,17% dari luas Indonesia (1.860.359,67 km).
DIY merupakan provinsi terkecil setelah Provinsi DKI Jakarta. Maka untuk lebih
jelasnya luas wilayah dari DIY dapat dililat pada gambar sebagai berikut:
Gambar 4.2. Luas Wilayah DIY menurutKabupaten/Kota
Sumber: DIY dalam angka 2013, BPS DIY
Dari data diagram diatas, maka dapat diketahui bahwa luas wilayah dari 5
kabupaten dan kota yang berada di DIY begitu luas dengan luas wilayah 3.185,80
km atau sama dengan 0,17% dari luas wilayah indonesia, Kabupaten Gunung
Kidul salah satu daerah di DIY yang memiliki luas wilayah paling luas dengan
46,63% setelah Kabupaten Kulon Progo, Kabupaten Sleman, Kabupaten Bantul
sementara Kota Yogyakarta adalah daerah yang paling kecil di DIY dengan luas
wilayah 1,02% dari jumalah wilayah yang ada di DIY .
1. Kota Yogyakarta, dengan luas 32,50 km (1,02%);
2. Kabupaten Bantul, dengan luas 506,85 km (15,91%);
3. Kabupaten Kulon
Progo, dengan luas 586,27 km (18,40%); 4. Kabupaten
Gunungkidul, dengan luas 1.485,36 km (46,63%);
39
4.1.2 Kondisi Demografis
Sumber utama data kependudukan yang dimiliki oleh BPS DIY adalah
sensus jumlah penduduk DIY yang dilaksanakan setiap Lima tahun sekali
yaitu dari tahun 2007, 2008, 2009, 2010, 2011 dan 2012. Selain dari
melakukan sensus, maka darihasil pendataan yang dilakukan oleh BPS DIY
pada setiap Kabuaten/Kota ditemukan jumlah penduduk DIY pada Tahun
2007 menunjukan bahwa terdapat 3.459.404 jiwa, selanjutnya pada Tahun
2008 terdapat 3.393.003 jiwa, Tahun 2009 terdapat 3.426.637 jiwa, Tahun
2010 terdapat 3.457.491 jiwa, Tahun 2011 terdapat 3.478.325 jiwa dan pada
Tahun 2012 penambahan jumlah penduduk yang begitu signifikan dengan
jumlah penduduk 3.514.762 jiwa.
Tabel 4.1 Jumlah Penduduk DIY dari Tahun 2007-2012
Tahun/ Uraian
Year Description Kulon- Gunung- Yogya
progo kidul karta
Jumlah/
Total
% 11.44 25.98 20.1 30.81 11.66 100
Jumlah/
Total
% 11.37 26.11 19.91 31.09 11.52 100
Jumlah/
Total
% 11.31 26.24 19.71 31.36 11.37 100
Jumlah/
Total
% 11.25 26.36 19.53 31.62 11.24 100
Jumlah /Total
% 11.19 26.42 19.44 31.75 11.2 100
Jumlah /Total
% 11.19 26.40 19.48 31.72 11.21 100
Sumber : Estimasi Penduduk berdasarkan SP 2010 Source : Population Estimation base for The 2010 Population Cencus Ket./Note : *) Angka sementara/Preliminary figures
394,012 3,514,762 2011 390,207 921,263 677,998 1,107,304 390,553
899 312 675 474 1 074 673 389 685
Jumlah Penduduk menurut Kabupaten/Kota di D.I. Yogyakarta
Number of Population Estimation by Regency/City in D.I. Yogyakarta
2007 - 2012
Kabupaten/Kota /Regency/City
Bantul Sleman DIY
40
Berdasarkan tabel 4.1 tentang jumlah penduduk DIY dari pendataan
yang telah dilakukan oleh BPS DIY, bahwa setiap 5 tahun sekali dari Tahun
2007-2012 membutikan bahwa di 5 Kabupaten/Kota selalu terjadi penambahan
jumlah penduduk begitu seginfikan. Dari ke 5 Kabupaten/Kota di DIY
Kabupaten Sleman merupakan daerahyang jumlah penduduknya paling
banyak. Kemudian baru diikuti oleh Kabupaten Bantul, Kabupaten Gunung
Kidul, Kota Yogyakarta dan yang terakhir peduduknya paling sedikit adalah
Kabupaten Kulon Progo.
Hak keistimewaan yang dimiliki oleh pemerintah DIY tentunya
berbeda dengan daerah lain yang tidak memiliki hak keistimewaan. Karena
pada setiap daerah yang memiliki keistimewaan tentu karakter aturan yang juga
berberda. Sementara aturan pada pemerintahan DIY dikenal dengan Perda dan
Perdais. Namun, dalam hal urusan kewenangan antara pemerintah Pusat dan
daerah sebagai daerah yang diberikan hak Otonom pemerintah DIY dalam
mengatur urusan rumah tangganya sendiri statusnya tetapsama dengan
daerahlainya sebagai daerah yang memilikihak desentralisasi.
Sebelumunya Soekarno dan Suharto pada pengesahan yang diberikan
oleh presiden Republik Indonesia Susilo Bambang Yudhoyono kepada
pemerintah Provinsi Daerah Istimewa Yogyakarta sebagai satu-satunya
Provinsi di Indonesia dengan hak keistimewaan yang dituangkan dalam UU
41
1950 UU Nomor 9 Tahun 1955 Tentang Pembentukan Daerah Istimewa
Yogyakarta.
Lahirnya UU Nomor 13 Tahun 2012 merupakan representatif dari UU
sebelumnya yang menjelaskan tentang keistimewaan yang dimiliki oleh
pemerintah DIY. Keistimewaan yang dimaksud adalah kedudukan hak asal usul
menurut UUD negara Republik Indonesia Tahun 1945 Tentang urusan
Kewenangan keistimewaan
Daerah Istimewa Yogyakarta Daerah Istimewa Yogyakarta dibagi atas
lima wilayah Kabupten dankota, diantaranya adalah Kabupaten Sleman,
Kabupaten Bantul, Kabupaten GunungKidul, Kabupaten Kulon Progodan Kota
Yogyakarta. Setiap pemerintah daerah kabupaten dan Kota memiliki Garis
koordinasi dengan Biro Tata Pemerintahan Setda DIY dalam pengelolaan
Pertanahan di DIY.
4.2. Diskrispi Komisi A DPRD DIY
Urusan pertanahan tentu tidak hanya menyangkut persolaan lembaga
Pertanahan yang ada di DIY. Akan tetapi menyangkut tetang kesejahteraan
masyarakat sebagai pengguna tanah SG dan PAG. Sebagaimana yang telah
diamanahkan oleh Sri Sultan Hamengku Buwono IX bahwa Tata untuk rakyat,
memaknai kalimat tersebut bahwasanya semua elemen lembaga yang ada DIY
berkewajiban memberikan kesejahtraan bagi rakyat DIY dalam pengelolaan
42
Peran serta tugas dari DPRD DIY tentu dapat dilihat dari Visi dan Misi
yang dimiliki sebagai upaya Penambahan penjaringan aspirasi terhadap
persoalan yang di hadapi rakyat DIY. Visi yang disampaikan adalah menjadi
Institusi yang profesional, antisipatif dan responsif dalam mendukung serta
memfasilitasi kinerja dan hasil kerja DPRD. Kemudian Misi yang dimilki
diantaranya, yaitu:
1. Mewujudkan Penambahan Pelayanan Internal
2. Mewujudkan Penambahan Pelayanan Eksternal
3. Menjadi sumber informasi kegiatan DPRD dan studi bidang Politik
Untuk mengetahui lebih lanjut peran serta tugas DPRD DIY terutama
Komisi A dalam hal ini yang mengurus persoalaan tanah. Maka dapat dilihat
pada alat perlengkapan di DPRD DIY, diataranya adalah sebagai berikut:
a) Pimpinan DPRD
b) Komisi A
c) Komisi B
d) Komisi C
e) Komisi D
f) Badan Anggaran
g) Badan Musyawarah
h) Badan Pembentukan Peraturan Daerah dan Peraturan Daerah Istimewa
i) Panitia Khusus
43
4.2.1. Kelompok Jabatan Fungsional.
Pada DPRD DIY diketahui terdapat tujuh Fraksi yang keseluruhannya
merupakan jabatan politik. Adapun ke tujuh Fraksi yang berada di DPRD DIY
tesebut adalah sebagai berikut:
a) Fraksi Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan
b) Fraksi Partai Amanat Nasional
c) Fraksi Partai Golkar
d) Fraksi Partai Gerindra
e) Fraksi Partai Keadilan Sejahtera
f) Fraksi Kebangkitan Demokrasi
g) Fraksi Persatuan Demokrat
Sementara Komisi yang menangani persoalaan tanah di DPRD DIY
adalah Komisi A yang memilik tanggung jawab atas pengunaan tanah yang
digunakan masyarakat di DIY. Untuk mengetahui susunan pengurus dan
keanggotaan yang berada di Komisi A adalah sebagai berikut di bawah ini:
4.2.2. Susunan Pengurus dan Daftar Anggota Komisi A
Koordinator dari Pimp. Dewan
: H Yoeke Indra Agung L, SE.
Ketua merangkap anggota : Eko Suwanto, ST, M.Si. Wakil ketua merangkap
anggota
: Sukarman, S.Pd
Sekretaris merangkap anggota : Hery Sumardiyanta
Anggota-anggota : a) KPH. Purbodiningrat, SE, MBA
b) Bambang Chrisnadi, SH. c) Rendradi Suprihandoko, SH,
44
d) Sadar Narima, S.Ag, SH e) Slamet, S.Pd, MM f) Agus Sumartono, S.Si g) Endang Setyani
h) Nunung Ida Mundarsih, S.Pd.
4.3. Paniti Kismo Keraton Yogyakarta
Pada era reformasi saat ini lembaga Keraton seperti Paniti Kismo
sebagai lembaga Kasultanan yang mengelolah seluruh tanah Kasultanan yeng
terletak di Jl. Pracimosono Keraton Alun Alun Utara, Yogyakarta masih tetap
menjalankan tugas dan fungsinya.
Gambar 4. 3 Peta Keraton Yogyakarta
Sumber: http://yosuketop1.blogspot.co.id/2010
Dari peta geografis Keraton Yogyakarta diatas, bangunan yang berada di
dalamnya memiliki fungsi sebagi tempat lembaga-lembaga yang dibentuk oleh
Kasultanan Yogyakarta yang bertujuan untuk membantu kasulatanan
menjalankan sistem kekuasaanya dengan tujuan untuk mengatur rakyat DIY.
Paniti Kismo lembaga yang dibentuk oleh Keraton Yogyakarta merupakan
45
Keraton Yogyakarta memiliki susunan struktur organisasi, salah satunya
mengatur tetang pertanahan.Urusan pertanahan selama ini diserahkan kepada
Kawedanan Hageng Punakawan Paras Raya Budaya. Dalam Kawedanan Hageng
Punakawan Paras Raya Budaya membawahi enam susunan kelembagaan, sala
satunya lembaga Paniti Kismo. Maka untuk dapat melihat susunan kelembagan
Keraton Yogyakarta dapat dilihat sebagai berikut
Gambar .4.4 Struktur Organisasi Tata Pemerintahan Keraton Yogyakarta Hadiningrat
Ingkang Sinuhun
Pandithe Aji Sri Palimbangan
46
Paniti Kismo Keraton Yogyakarta seabagaimana yang tertulis dalam Serat
Kekacingan Keraton Yogyakarta menyebutkan bahwa Sri Sultan Hamengku
Buwono X memberikan mandat kepada Kanjeng Gusti Pangeran Haryo
Hadiwinoto selanjutnya disingkat dengan (KGPH Hadi) untuk menjadi
Pengageng Kawedanan Hageng Punokawan Wahono sarto Kriyo Keraton
Ngayogyakarta. Artinya bahwa Kewenangan dalam urusan Pertanahan Keraton
di limpangkan kepada KGPH Hadi.
Model lembaga dalam konteks pelayanan publik yang dijalankan oleh
lembaga seperti Paniti Kismo Keraton Yogyakarta sangat berbeda dengan
lembaga yang dimiliki oleh pemerintah pada umumnya. Sebagai lembaga dalam
ruang lingkup sistem Monarki yang dijalankan oleh pihak Keraton Yogyakarta
hanya berfokus pada tanah Kasultanan dan Pakulaman.
Kawedanan Hageng Punakawan Paras Raya Budaya: dipimpin oleh KGPH
Hadiwinoto
a) KHP Wahana Sarta Kriya: mengurusi kendaraan, kereta, pakarya
renovasi bangunan di Keraton
b) KHP Puraraksa: mengurusi keamanan Keraton yang bersifat umum
c) Tepas Paniti Kismo: mengurusi tanah-tanah Karaton.
d) Tepas Keprajuritan: mengurusi prajurit-prajurit Kraton
47
f) Tepas Securiti: mengurusi keamanan yang bersifat kusus, dulu dibentuk
saat Sri Sultan Hamengku Buwono IX menjabat menjadi wakil presiden,
dan saat ini masih ada.
Sebelum berlakunya Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1960 beberapa hak
yang diberikan di atas sultan grond antara lain hak anganggo, hak andarbe, hak magersari dan hak ngindung. Setelah UU Nomor 5 Tahun 1960 berlaku di DIY, KHP Wahono Sarto sesuai dengan Kriyo berusaha melakukan pembaharuan
hak–hak tersebut agar hak–hak tanah yang ada dalam UUPA (Undang-Undang Pokok Agraria). Hak–hak tanah yang kini bisa diberikan kepada tanah milik Kraton Yogyakarta sebagai berikut:
1. Hak guna bangunan adalah hak untuk mendirikan dan mempunyai
bangunan di atas tanah sultan (sultan grond) dengan jangka waktu paling lama 20 (dua puluh) tahun dan dapat diperpanjang
2. Hak pakai adalah hak untuk menggunakan dan memungut hasil dari
tanah sultan (sultan grond) yang memberi wewenang dan kewajiban yang ditentukan dalam perjianjian antara pihak kraton dengan yang
berkepentingan dengan jangka waktu 10 (sepuluh) tahun dan dapat
diperpanjang
3. Hak ngindung adalah hak yang diberikan kepada yang berkepentingan atau yang menempati/menggunakan sultan grond dengan membuat perjanjian antara pihak kraton dengan yang berkepentingan dengan
48
4. Hak magersari adalah hak yang diberikan kepada yang berkepentingan
sebagai penghuni sultan grond dan antara penghuni sultan grond ada ikatan historis dan diberikan hanya kepada Warga Negara Indonesia
(pribumi) dengan jangka waktu selama mereka menghuni.
4.4. Diskripsi Kanwil BPN DIY
Dijelaskan oleh Kanwil BPN DIY dalam materi penyuluhan soislisasi
Tanah SG dan PAG di Kabupaten Gunung Kidul Tahun 2015 bahwa hubungan
Bangsa Indonesia dengan tanah adalah hubungan yang bersifat abadi dan seluruh
wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia merupakan kesatuan tanah air dari
seluruh rakyat Indonesia. Oleh karena itu, tanah merupakan perekat Negara
Kesatuan Republik Indonesia karenanya perlu diatur dan dikelola secara nasional
untuk menjaga keberlanjutan sistem kehidupan berbangsa dan bernegara.
Pengaturan dan pengelolaan pertanahan tidak hanya ditunjukan untuk
menciptakan ketertiban hukum tetapi ujga menyelsaikan masalah, sengketa dan
konflik yang timbul.
Kemudian berdasarkan Peraturan Presiden Republik Indonesia dengan
Nomor 10 Tahun 2006 Tentang Badan Pertanahan Nasional, tugas pemerintah di
bidang pertanahan secara nasional diserahkan kepada Badan Pertanahan
Nasional. Sehingga pada setiap daearah Provinsi di Indonesia tetap ada guna
mengurus dan mengola tanah negara maupun tanah yang dimiliki masyarakat
49
4.4.1. Badan Pertanahan Nasional
a) Kedudukan BPN adalah sebagai Lembaga Pemerintah Non Departemen yang
berada di bawah dan bertanggung jawab langsung kepada Presiden.
b) Tugas BPN adalah melaksanakan tugas pemerintah di bidang pertanahan
secara nasional, regional dan sektoral
c) Fungsi BPN adalah menyelenggrakan :
1. Kebijakan nasional di bidang pertanahan.
2. Perumusan kebijakan teknis di bidang pertanahan.
3. Koordinasi kebijakan, perencanaan dan program di bidang pertanahan.
4. Pembinaan dan pelayanan administrasi umum di bidang pertanahan.
5. Penyelenggaraan dan pelaksanaan survei, pengukuran dan pemetaan di
bidang pertanahan.
6. Pelaksanaan pendaftaran tanah dalam rangka menjamin kepastian
hukum.
7. Pengaturan dan penetapan hak-hak atas tanah.
8. Pelaksanaan penatagunaan tanah, reformasi agraria dan penataan
wilayah-wilayah khusus.
9. Penyiapan administrasi atas tanah yang dikuasai dan/atau milik
negara/daerah bekerjasama dengan Departemen Keuangan.
10.Pengawasan dan pengendalian penguasaan pemilikan tanah.
50
12.Penyelenggaraan dan pelaksanaan kebijakan, perencanaan dan program
di bidang pertanahan.
13.Pemberdayaan masyarakat di bidang pertanahan.
14.Pengkajian dan penanganan masalah, sengketa, perkara dan konflik di
bidang pertanahan.
15.Pengkajian dan pengembangan hukum pertanahan.
16.Penelitian dan pengembangan di bidang pertanahan.
17.Pendidikan, latihan dan pengembangan sumber daya manusia di bidang
pertanahan.
18.Pengelolaan data dan informasi di bidang pertanahan.
19.Pembinaan fungsional lembaga-lembaga yang berkaitan dengan bidang
pertanahan.
20.Pembatalan dan penghentian hubungan hukum antara orang, dan/atau
badan hukum dengan tanah sesuai dengan ketentuan peraturan
perundang-undangan yang berlaku.
21.Fungsi lain di bidang pertanahan sesuai peraturan perundang-undangan
yang berlaku.
4.4.2. Kantor Wilayah Badan Pertanahan Nasional
Sebagaimana yang disebutkan dalam Pasal 54 Peraturan Pemerintah
Nomor 10 tahun 2006 bahwa telah diterbitkan peraturan Kepala BPN Republik
Indonesia Nomor 4 tahun 2006 Tentang Organisasi dan Tatakerja Kantor
51
Tugas dan Fungsi Kantor Wilayah selanjutnya disingkat dengan Kanwil BPN
adalah sebagai berikut:
1. Kanwil BPN adalah Instansi vertical BPN di Provinsi yang berada di
bawah dan bertangung jawab langsung kepada Kepala BPN
2. Tugas Kanwil BPN adalah melaksanakan sebagian tugas dan fungsi
BPN di Provinsi yang bersangkutan.
3. Fungsi Kanwil BPN adalah menyelengarakan :
a. Penyuluhan rencana, program dan penganggaran dalam rangka
pelaksanaan tugas pertanahan
b. Pengkoordinasian, pembinaaan dan pelaksanaan survey,
pengukuran dan pementaan, hak tanah dan pendaftaran tanah,
pengaturan dan penataan pertanahan, pengendalian pertanahan
dan pemberdayaan masyarakat serta pengkajian dan penanganan
sengketa dan konflik pertanahan.
c. Pemantauan dan evaluasi pelaksanaan kegiatan pertanahan di
lingkungan propinsi
d. Pengkoordinasian pemangku kepentingan pengguna tanah
e. Pengelolaan sistem Informasi Manajemen Pertanahan
(SIMTANAS) di provinsi.
f. Pengkoordinasian penelitian dan pengembangan.
g. Pengkoordinasian dan pengembangan sumber daya manusia
52
h. Pelaksanaan urusan tata usaha, kepegawaian, keuangan, sarana
dan prasarana, perundang-undangan serta pelayanan pertanahan.
4.4.3. Kantor Pertanahan di DIY
Sekilas tentang Kantor Wilayah Badan Pertanahan DIY yang terletak di
Jalan Brigjend Katamso (Komplek THR) Yogyakarta. Saat ini yang menjadi
Kepala Kantor BPN DIY adalah Bapak Arie Yuriwin, S.H., M.Si. Deskripsi
Tugas dan Fungsi Kanwil BPN DIY tidak telepas dari peraturan yang dibuat oleh
Kementrian Agraria dan Tata Ruang/Badan Pertanahan Nasional.
Ruang lingkup penataan dan pemberian hak atas tanah di DIY sebelum
berlaku sepenuhnya Undang-Undang Pokok Agraria (UUPA Nomor 5 Tahun
1960 Tentang peraturan dasar Pokok-pokok Agraria) tidak lepas dengan adanya
Kraton Yogyakarta Hadiningrat dan Kadipaten Pakualaman serta terbentuknya
DIY berdasarkan UU Nomor 3 Tahun1950. Hak Atas Tanah di DIY dapat dibagi
dalam empat priode, sebagai berikut:
4.4.3.1. Periode Sebelum Tahun 1978
Periode ini dengan dengan masa Kepatuhan Raja (Sultan) yang berhak
sepenuhnya atas tanah serta rakyat hanya mempunyai hak menggarap dengan
dibebani menyerahkan hasil dari menggarap tanahnya sebesar setengah atau
sepertiga kepada Para Patuh Raja yang berhak spenuhnya atas tanah.Untuk
menjamin para abdi dalem, sebagai gaji diberikan kekuasaan untuk menguduh