KEWENANGAN BIDANG PERTANAHAN
DALAM KONTEKS OTONOMI DAERAH
(Studi di Kantor Wilayah Badan Pertanahan Nasional Provinsi Sumatera Utara)
TESIS
OLEH
AUZA ANGGARA
107005038/HK
FAKULTAS HUKUM
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
MEDAN
KEWENANGAN BIDANG PERTANAHAN
DALAM KONTEKS OTONOMI DAERAH
(Studi di Kantor Wilayah Badan Pertanahan Nasional Provinsi Sumatera Utara)
TESIS
Diajukan Sebagai Salah Satu Syarat Untuk Memperoleh Gelar Magister Hukum
Dalam Program Studi Ilmu Hukum Pada Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara
OLEH :
AUZA ANGGARA
107005038/HK
FAKULTAS HUKUM
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
MEDAN
Judul Tesis : Kewenangan Bidang Pertanahan Dalam Konteks Otonomi Daerah (Studi di Kantor Wilayah Badan Pertanahan Nasional Provinsi Sumatera Utara)
Nama Mahasiswa : Auza Anggara
Nomor Pokok : 107005038
Program Studi : Ilmu Hukum
Menyetujui Komisi Pembimbing
(
Ketua
Prof. Dr. Syafruddin Kalo, SH, M.Hum)
(Prof. Dr. Tan Kamello. SH, MS) (Dr. Pendastaren Tarigan, SH, MS Anggota Anggota
)
Ketua Program Studi Dekan
(Prof. Dr. Suhaidi, SH, MH) (Prof. Dr. Runtung, SH, M.Hum)
Telah diuji pada
Tanggal : 18 Juli 2012
PANITIA PENGUJI TESIS
Ketua : Prof. Dr. Syafruddin Kalo, SH, M.Hum
Anggota : 1. Prof. Dr. Tan Kemello, SH, MS
2. Dr. Pendastaren Tarigan, SH, MS
3. Dr. Mirza Nasution, SH, M.Hum
ABSTRAK
Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah menyebutkan dalam Pasal 13 dan Pasal 14 tentang bidang-bidang yang menjadi kewenangan Pemerintah Daerah yang antara lain pelayanan pertanahan. Pelaksanaan yang dilimpahkan kepada daerah dalam kerangka otonomi daerah adalah pelaksanaan hukum tanah nasional. Hal ini ditegaskan dalam Pasal 2 ayat (4) Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1960 tentang Pokok-Pokok Agraria bahwa hak menguasai dari Negara, pelaksanaannya dapat dikuasakan kepada daerah-daerah swatantra dan masyarakat-masyarakat hukum adat, sekadar diperlukan dan tidak bertentangan dengan Peraturan Pemerintah. Sementara itu, dalam penjelasan Pasal 2 Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1960 tentang Pokok-Pokok Agraria disebutkan bahwa dengan demikian, pelimpahan wewenang untuk melaksanakan hak penguasaan dari Negara atas tanah itu dilakukan dalam rangka tugas medebewind.
Metode penelitian dilakukan dengan metode penelitian hukum normatif. Data pokok dalam penelitian adalah data sekunder. Pengumpulan data dalam penelitian ini dilakukan dengan cara penelitian kepustakaan dan penelitian lapangan. Analisis data terhadap data sekunder dilakukan dengan analisis kualitatif.
Adanya konflik peraturan perundang-undangan di bidang pertanahan, mengharuskan terlebih dahulu melakukan analisis terhadap nilai-nilai dan asas-asas yang terkandung dalam konstitusi, yaitu Undang-Undang Dasar Tahun 1945. Analisa atas nilai dan asas-asas tersebut bertujuan untuk menemukan hakikat konsep hukum yang menjadi dasar pembangunan ekonomi di Indonesia, termasuk di bidang agraria, khususnya di bidang pertanahan. Analisa nilai-nilai dan asas-asas tersebut di atas diperlukan mengingat konflik peraturan perundang-undangan di bidang agraria, diyakini akibat adanya perubahan nilai dan asas dari amandemen Undang-Undang Dasar Tahun 1945. Perubahan nilai dan asas tersebut tidak sesuai dengan nilai-nilai yang terkandung pada Pancasila sebagai sumber dari segala sumber hukum di Indonesia. Nilai-nilai Pancasila tersebut, terutama adalah kemanusiaan yang adil dan beradab, dan keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia. Asumsi tersebut di atas didasarkan banyaknya kritik yang diajukan, bahwa peraturan perundang-undangan di bidang agraria, khususnya di bidang pertanahan, lebih banyak melindungi penanam modal, dan melemahkan rakyat untuk dapat mengakses hak atas tanah.
Disarankan agar urusan pertanahan yang menyangkut hukum tanah nasional tetap menjadi kewenangan Pemerintah, sedangkan untuk pelimpahan wewenang kepada Pemerintah Daerah dapat dilakukan tetapi hanya berdasarkan prinsip tugas pembantuan (medebewind), disarankan juga adanya kemauan politik yang kuat dari pemerintah untuk membuat dan melaksanakan peraturan perundang-undangan sebagai penjabaran dari Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1960 tentang Pokok-Pokok Agraria serta Pemerintah segera melakukan penataan pertanahan untuk menyelesaikan beberapa masalah pertanahan.
ABSTRACT
Law Number 32 Year 2004 regarding Regional Government mentioned in Article 13 and Article 14 about the areas under the authority of local governments which include land services. The implementation which delegate to the regional within the framework of regional autonomy is the implementation of national land laws. This is confirmed in Article 2 paragraph (4) of Law No. 5 of 1960 on the Fundamentals of Land that the right to control of the State, its implementation can be authorized to autonomous regions and customary law communities, just a necessary and not against the Rule of Government. Meanwhile, the explanation of Article 2 of Law No. 5 of 1960 on the Fundamentals of Agrarian mentioned that the delegation of authority to carry out the tenure of the ground state was carried out in order of medebewind task.
The research method was conducted by the normative legal research methods. The sources of data in this study are secondary data. Collecting data in this study conducted by the literature and field research. Data analysis of secondary data is conducted by the qualitative analysis.
A conflict of laws and regulations in the area of land, requiring an analysis of the values and principles embodied in the constitution, which is Undang-Undang Dasar 1945. The purposes of analyzing the values and principles are to discover the nature of legal concepts that from the basis of economic development in Indonesia including agriculture, particularly in the area of lands. As mentioned, Analysis of the values and principles is necessary because of the conflict of laws and regulations in the agriculture areas, which is believed to be due to the change in values and principles of the Undang-Undang Dasar 1945 amendment. These changes in values and principles are not in accordance with the values embodied in Pancasila as the main source of law in Indonesia. The principles of Pancasila are particularly with the just and civilized humanity and social justice for the whole of the people of legislation in the field of agriculture, particularly in the area of land, more to protect investors, and undermine people’s acces to land rights.
It is recommended that land matters regarding to its national law remains to the Government authority. Furthermore, for the delegation of authority to local governments may be completed but only on the principles of duty of assistance (medebewind), which is suggested the existence of strong political will of governments to make and implement laws and regulations as the translation of Law No. 5 of 1960 on the Fundamentals of Agrarian and land settlement the government immediately to solve some problems of land.
KATA PENGANTAR
Alhamdulillah penulis ucapkan khadirat Allah SWT, yang telah memberikan
kekuatan dan ketabahan kepada penulis selama mengerjakan dan menyelesaikan tesis
ini dari awal sampai akhir.
Dengan kekuatan yang diberikanoleh-Nya penulis dapat menyelesaikan tesis
ini dengan judul “KEWENANGAN BIDANG PERTANAHAN DALAM
KONTEKS OTONOMI DAERAH (Studi Di Kantor Wilayah Badan Pertanahan
Provinsi Sumatera Utara)”. Sholawat dan salam penulis hadiahkan kepada
Pimpinan Besar Baginda Rasulullah SAW, yang telah membawa kita dari alam
kegelapan kea lam yang terang benderang.
Penulis menyadari bahwa tesisi ini jauh dari sempurna, untuk itu penulis
mengharapkan kritik dan saran yang positif, objektif demi kesempurnaan tesis ini.
Pada kesempatan ini penulis menyampaikan rasa hormat dan rasa terima
kasih kepada :
1. Bapak Prof. Dr. Runtung, SH, M.Hum, selaku Dekan Fakultas Hukum
Universitas Sumatera Utara atas dorongan, bimbingan, dan pemberian
kesempatan kepada penulis untuk menulis dan menyelesaikan penulisan
Tesis ini.
2. Bapak Prof. Dr. Suhaidi, SH, MH, selaku Ketua Program Studi Magister
Ilmu Hukum, Universitas Sumatera Utara, atas dukungan kepada penulis untuk
menulis dan menyelesaikan penulisan Tesis ini.
3. Bapak Prof. Dr. Syafruddin Kallo, SH, M.Hum selaku Komisi Pembimbing I
yang selalu sabar memberikan masukan dan arahan dalam menyelesaikan
Tesis ini.
4. Bapak Prof. Dr. Tan Kemello, SH, MS selaku Komisi Pembimbing II yang selalu
sabar memberikan masukan dan arahan dalam menyelesaikan Tesis ini.
5. Bapak Dr. Pendastaren Tarigan, SH, MS selaku Komisi Pembimbing III yang
6. Bapak Dr. Mirza Nasution, SH, M.Hum selaku penguji yang sangat banyak
membantu memberikan saran, masukan serta motivasi bagi penulis dalam
menyelesaikan tesis ini.
7. Bapak Dr. Hasim Purba, SH, M. Hum, selaku penguji yang sangat banyak
membantu memberikan arahan, bagi penulis dalam menyelesaikan tesis ini.
8. Orang Tua penulis tercinta Syahrul Anwar, SH dan Syarifah Fauziah yang selalu
memberikan semangat dan dorongan dalam menyelesaikan penulisan tesis ini
9. Orang Tua penulis tercinta M. Nur Hutabarat dan Ivo Fresty yang selalu
memberikan semangat dan dorongan dalam menyelesaikan penulisan tesis ini.
10. Istri penulis tercinta Laura Frestynur Hutabarat, SE, beserta putra M. Ghaozan
Alvaro, yang telah mendorong dan memberikan semangat kepada penulis dalam
menulis tesis ini.
11. Bapak Fachrul Husin Nasution, SH., M.Kn selaku Kepala Seksi Pengaturan
Tanah Instansi Pemerintah di Kanwil BPN Provinsi SUMUT, yang telah dengan
senang hati berwawancara dengan penulisan dan memberikan data-data kepada
penulis.
12. Terima kasih juga kepada rekan-rekan angkatan 2010 di Kelas Reguler B dan
juga rekan-rekan di kelas Hukum Administrasi Negara.
13. Seluruh Dosen dan Staf Administrasi Pasca Sarjana Ilmu Hukum Kak Fika, Kak
Juli, Kak Fitri, Kak Ganti, Kak Niar dan Bang Udin.
Harapan penulis semoga nama-nama (orang-orang) tersebut di atas
mendapat imbalan dari Allah SWT, atas perbuatan dan tindakan mereka
terhadap penulis.
Medan, Juli 2012 Penulis
RIWAYAT HIDUP
Nama
: Auza Anggara
Tempat/Tgl lahir : Medan/4 Juni 1985
Jenis Kelamin
: Laki-laki
Status
: Menikah
Agama
: Islam
Alamat
: Jl. Fraksui No. 29 Medan
PENDIDIKAN FORMAL
1. SD Muhammadyah No. 03 Tahun 1993
2. SMP Kemala Bhayangkari Tahun 1998
3. SMA Swasta Harapan Medan Tahun 2001
4. Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara Tahun 2004
DAFTAR ISI
ABSTRACK………... i
ABSTRACT……… ii
KATA PENGANTAR……… iii
DAFTAR RIWAYAT HIDUP……….. iv
DAFTAR ISI……….. v
BAB I
PENDAHULUAN
... 1
A. Latar Belakang ... 1
B. Permasalahan ... 14
C. Tujuan Penelitian ... 14
D. Manfaat Penelitian ... 15
E. Keaslian Penelitian ... 16
F. Kerangka Teori dan Konsepsi ... 16
1. Kerangka Teori ... 16
2. Konsepsi ... 30
G. Metode Penelitian ... 33
1. Spesifikasi Penelitian ... 33
2. Metode Pendekatan ... 34
3. Alat Pengumpulan Data ... 34
4. Analisis Data ... 35
BAB II KEWENANGAN URUSAN PERTANAHAN MENURUT UNDANG-UNDANG POKOK AGRARIA DENGAN
UNDANG-UNDANG PEMERINTAHAN DAERAH ... 37
A. Hukum Tanah Nasional Indonesia ... 37
B. Pelaksanaan Otonomi Daerah di Indonesia ... 49
C. Kewenangan Pemerintah Dalam Urusan Pertanahan Menurut Peraturan Perundang-undangan ... 57
1. Kewenangan Pemerintah Menurut Undang-Undang Pokok Agraria ... 57
2. Kewenangan Pertanahan Menurut TAP MPR No. IX Tahun 2001 tentang Pembaruan Agraria dan Pengelolaan Sumber Daya Alam 67
3. Kewenangan Pemerintah Menurut Keputusan Presiden Nomor 34 Tahun 2003 Tentang Kebijakan Nasional di Bidang Pertanahan ... 72
4. Kewenangan Pemerintah Menurut Peraturan Pemerintah Nomor 38 Tahun 2007 Tentang Pembagian Urusan Pemerintahan antara Pemerintah, Pemerintah Daerah Provinsi dan Pemerintah Daerah Kabupaten/Kota ... 76
D. Kewenangan Pemerintah Daerah Dalam Urusan Pertanahan Menurut Undang-Undang Pemerintahan Daerah ... 82
1. Kewenangan Pertanahan Menurut Undang-Undang Nomor 22 Tahun 2009 tentang Pemerintah Daerah ... 82
2. Kewenangan Pertanahan Menurut Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintah Daerah ... 88
BAB III KEWENANGAN PEMERINTAH DAERAH DALAM PENYELENGGARAAN URUSAN PERTANAHAN DALAM KONTEKS OTONOMI DAERAH ... 97
A. Kewenangan Pemerintah Provinsi di Bidang Pertanahan ... 92
B. Kewenangan Pemerintah Kabupaten/Kota di Bidang Pertanahan ... 102
D. Urusan Pertanahan Dalam Konteks Otonomi Daerah ... 119
1. Pengurusan Pertanahan Berdasarkan Ketentuan Badan Pertanahan Nasional (BPN) ... 121
2. Pengurusan Pertanahan Oleh Pemerintah Daerah Menurut Keputusan Presiden Nomor 34 Tahun 2003 Tentang Kebijakan Nasional
di Bidang Pertanahan ... 126
3. Pengurusan Pertanahan Dalam Peraturan Daerah ... 130
BAB IV HAMBATAN PELAKSANAAN KEWENANGAN
PERTANAHAN DALAM KONTEKS OTONOMI DAERAH ... 132
A. Konflik Aturan Hukum Sektor Pertanahan Terhadap Pasal 33 ayat (3)
Undang-Undang Dasar Tahun 1945 ... 132
1. Pra Amandemen Undang-Undang Dasar 1945 ... 133
2. Pasca Amandemen Undang-Undang Dasar 1945 ... 135
B. Kewenangan Dalam Bidang Pertanahan Menurut Undang-Undang Pokok Agraria dengan Peraturan Perundang-undangan Pertanahan
lainnya ... 138
C. Hambatan Pelaksanaan Pengurusan Pertanahan oleh Pemerintah
Daerah ... 144
D. Upaya Penyelesaian Dalam Bidang Pertanahan ... 149
BAB V KESIMPULAN DAN SARAN
A. Kesimpulan ... 159
B. Saran ... 157
ABSTRAK
Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah menyebutkan dalam Pasal 13 dan Pasal 14 tentang bidang-bidang yang menjadi kewenangan Pemerintah Daerah yang antara lain pelayanan pertanahan. Pelaksanaan yang dilimpahkan kepada daerah dalam kerangka otonomi daerah adalah pelaksanaan hukum tanah nasional. Hal ini ditegaskan dalam Pasal 2 ayat (4) Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1960 tentang Pokok-Pokok Agraria bahwa hak menguasai dari Negara, pelaksanaannya dapat dikuasakan kepada daerah-daerah swatantra dan masyarakat-masyarakat hukum adat, sekadar diperlukan dan tidak bertentangan dengan Peraturan Pemerintah. Sementara itu, dalam penjelasan Pasal 2 Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1960 tentang Pokok-Pokok Agraria disebutkan bahwa dengan demikian, pelimpahan wewenang untuk melaksanakan hak penguasaan dari Negara atas tanah itu dilakukan dalam rangka tugas medebewind.
Metode penelitian dilakukan dengan metode penelitian hukum normatif. Data pokok dalam penelitian adalah data sekunder. Pengumpulan data dalam penelitian ini dilakukan dengan cara penelitian kepustakaan dan penelitian lapangan. Analisis data terhadap data sekunder dilakukan dengan analisis kualitatif.
Adanya konflik peraturan perundang-undangan di bidang pertanahan, mengharuskan terlebih dahulu melakukan analisis terhadap nilai-nilai dan asas-asas yang terkandung dalam konstitusi, yaitu Undang-Undang Dasar Tahun 1945. Analisa atas nilai dan asas-asas tersebut bertujuan untuk menemukan hakikat konsep hukum yang menjadi dasar pembangunan ekonomi di Indonesia, termasuk di bidang agraria, khususnya di bidang pertanahan. Analisa nilai-nilai dan asas-asas tersebut di atas diperlukan mengingat konflik peraturan perundang-undangan di bidang agraria, diyakini akibat adanya perubahan nilai dan asas dari amandemen Undang-Undang Dasar Tahun 1945. Perubahan nilai dan asas tersebut tidak sesuai dengan nilai-nilai yang terkandung pada Pancasila sebagai sumber dari segala sumber hukum di Indonesia. Nilai-nilai Pancasila tersebut, terutama adalah kemanusiaan yang adil dan beradab, dan keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia. Asumsi tersebut di atas didasarkan banyaknya kritik yang diajukan, bahwa peraturan perundang-undangan di bidang agraria, khususnya di bidang pertanahan, lebih banyak melindungi penanam modal, dan melemahkan rakyat untuk dapat mengakses hak atas tanah.
Disarankan agar urusan pertanahan yang menyangkut hukum tanah nasional tetap menjadi kewenangan Pemerintah, sedangkan untuk pelimpahan wewenang kepada Pemerintah Daerah dapat dilakukan tetapi hanya berdasarkan prinsip tugas pembantuan (medebewind), disarankan juga adanya kemauan politik yang kuat dari pemerintah untuk membuat dan melaksanakan peraturan perundang-undangan sebagai penjabaran dari Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1960 tentang Pokok-Pokok Agraria serta Pemerintah segera melakukan penataan pertanahan untuk menyelesaikan beberapa masalah pertanahan.
ABSTRACT
Law Number 32 Year 2004 regarding Regional Government mentioned in Article 13 and Article 14 about the areas under the authority of local governments which include land services. The implementation which delegate to the regional within the framework of regional autonomy is the implementation of national land laws. This is confirmed in Article 2 paragraph (4) of Law No. 5 of 1960 on the Fundamentals of Land that the right to control of the State, its implementation can be authorized to autonomous regions and customary law communities, just a necessary and not against the Rule of Government. Meanwhile, the explanation of Article 2 of Law No. 5 of 1960 on the Fundamentals of Agrarian mentioned that the delegation of authority to carry out the tenure of the ground state was carried out in order of medebewind task.
The research method was conducted by the normative legal research methods. The sources of data in this study are secondary data. Collecting data in this study conducted by the literature and field research. Data analysis of secondary data is conducted by the qualitative analysis.
A conflict of laws and regulations in the area of land, requiring an analysis of the values and principles embodied in the constitution, which is Undang-Undang Dasar 1945. The purposes of analyzing the values and principles are to discover the nature of legal concepts that from the basis of economic development in Indonesia including agriculture, particularly in the area of lands. As mentioned, Analysis of the values and principles is necessary because of the conflict of laws and regulations in the agriculture areas, which is believed to be due to the change in values and principles of the Undang-Undang Dasar 1945 amendment. These changes in values and principles are not in accordance with the values embodied in Pancasila as the main source of law in Indonesia. The principles of Pancasila are particularly with the just and civilized humanity and social justice for the whole of the people of legislation in the field of agriculture, particularly in the area of land, more to protect investors, and undermine people’s acces to land rights.
It is recommended that land matters regarding to its national law remains to the Government authority. Furthermore, for the delegation of authority to local governments may be completed but only on the principles of duty of assistance (medebewind), which is suggested the existence of strong political will of governments to make and implement laws and regulations as the translation of Law No. 5 of 1960 on the Fundamentals of Agrarian and land settlement the government immediately to solve some problems of land.
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Indonesia sebagai sebuah negara kesatuan, dalam praktik penyelenggaraan
urusan pemerintahan sepanjang perjalanan sejarah mengalami pasang surut. Dimulai
sejak awal kemerdekaan sampai saat ini terjadi perubahan-perubahan, baik dari sisi
konsep maupun kecenderungannya ke arah sentralisasi atau desentralisasi. Pasang
surut tersebut berlangsung sangat dinamis, puncaknya terjadi praktek
penyelenggaraan urusan pemerintahan yang sangat sentralistis dalam kurun waktu
yang lama di masa orde baru, yang mengakibatkan pembangunan untuk mewujudkan
kesejahteraan masyarakat tidak tercapai dan proses demokratisasi tidak berjalan
seperti yang diharapkan.
Pada masa Orde Baru, penyelenggaraan pemerintahan daerah berdasarkan
Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1974 tentang Pokok-Pokok Pemerintahan di
Daerah. Secara normatif undang-undang ini juga mengatur penyelenggaraan urusan
pemerintahan, termasuk urusan pemerintahan yang didesentralisasikan kepada
Daerah. Namun dalam praktek, sebagian besar urusan pemerintahan dilaksanakan
sendiri oleh Pemerintah. Daerah tidak lebih sebagai perpanjangan tangan untuk
melaksanakan kehendak dan program-program Pemerintah serta tidak mempunyai
Reformasi di Indonesia pada tahun 1998 membawa perubahan besar bagi
kehidupan berbangsa dan bernegara. Perubahan tersebut meliputi berbagai bidang,
termasuk perubahan tata kepemerintahan dan hubungan antara Pemerintah dan
Daerah. Perubahan hubungan Pusat dan Daerah ditandai dengan lahirnya
Undang-Undang Nomor 22 Tahun 1999 tentang Pemerintahan Daerah yang merupakan
pengganti dari Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1974 Tentang Pokok-Pokok
Pemerintahan Daerah. Lebih lanjut, perubahan mendasar juga terjadi pada Konstitusi
Republik Indonesia yaitu UUD 1945.
Salah satu perubahan mendasar pada UUD 1945 adalah terkait dengan
Pemerintahan Daerah. Pada amandemen kedua UUD 1945, Bab VI tentang
Pemerintah Daerah Pasal 18 yang sebelumnya hanya terdiri dari satu pasal tanpa ayat
mengalami perubahan menjadi 3 pasal, yakni Pasal 18, 18A dan 18B dengan 11 ayat.
Dalam pasal ini juga dinyatakan secara tegas mengenai penyelenggaraan urusan
pemerintahan oleh Daerah dan otonomi daerah, Pasal 18 ayat (2) mengatur sebagai
berikut, “Pemerintahan daerah provinsi, daerah kabupaten, dan kota mengatur dan
mengurus sendiri urusan pemerintahan menurut asas otonomi dan tugas
pembantuan”. Lebih lanjut dalam pasal yang sama pada ayat (5) dinyatakan, bahwa:
“Pemerintahan daerah menjalankan otonomi seluas-luasnya, kecuali urusan
pemerintahan yang oleh undang-undang ditentukan sebagai urusan Pemerintah”.
Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945, khususnya
Pasal 18 memberikan landasan tentang kedudukan pemerintahan daerah, dan
daerah menurut asas otonomi. Konsekuensi dari perubahan undang-undang dasar ini,
maka peraturan perundang-undangan yang mengatur tentang pemerintahan daerah
perlu disesuaikan. Sejalan dengan hal tersebut, pada tahun 2004 dilakukan berbagai
evaluasi dan koreksi atas Undang-Undang Nomor 22 Tahun 1999 tentang
Pemerintahan Daerah. Koreksi dilakukan sebagai jawaban atas perubahan drastis
pada sistem penyelenggaraan pemerintahan daerah yang menempatkan hubungan
Pemerintah dan Daerah kurang proporsional. Hal ini dilakukan untuk mengantisipasi
potensi terjadinya disintegrasi dan tidak tercapainya tujuan otonomi daerah
sebagaimana yang dicita-citakan.
Di tengah perubahan dan perkembangan dinamika kehidupan politik,
terdapat isu sentral yang menjadi wacana publik, yaitu perlunya pembagian
kewenangan yang seimbang antara Pemerintah dan Daerah.1
1
Kaloh, Kepala Daerah; Pola Kegiatan, Kekuasaan, dan Perilaku Kepala Daerah, Dalam
Pelaksanaan Otonomi Daerah, (Jakarta: PT. Gramedia Pustaka Utama, 2003), hal. 17.
Pembagian kewenangan
atas urusan pemerintahan antara Pemerintah dan Daerah perlu dilakukan secara
proporsional dalam kerangka otonomi daerah. Salah satu ukuran yang dapat menjadi
parameter tentang besarnya otonomi, dapat diukur dari seberapa banyak urusan
pemerintahan yang dimiliki Daerah. Walaupun demikian, menurut Bhenyamin
Hoessein, bahwa besarnya otonomi bukan hanya diukur oleh banyaknya urusan
desentralisasi, melainkan pula secara mendasar diukur oleh tingkat kemandirian
Daerah.2
Berpijak pada uraian pengalaman di atas, dalam praktek penyelenggaraan
pemerintahan pada masa orde lama dan orde baru cenderung sentralistik atau proporsi
urusan pemerintahan yang berada pada Pemerintah jauh lebih besar dibanding dengan
yang ada di daerah. Walaupun sama-sama cenderung sentralistik, namun pembagian
urusan pemerintahan pada masa orde lama dan orde baru mempunyai karakteristik
yang berbeda. Sebaliknya, pada masa pasca reformasi tahun 1998, walaupun
sama-sama desentralisasi, namun saat berlakunya Undang-Undang Nomor 22 Tahun 1999
tentang Pemerintahan Daerah dan Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang
Pemerintahan Daerah bahwa proporsi urusan pemerintahan yang menjadi
kewenangan Daerah menurut kedua undang-undang tersebut juga berbeda.
Perbedaan ini dipengaruhi oleh setting sosial dan politik dari masa ke masa
atau dari rezim ke rezim berikutnya. Artinya, kehendak para pembuat undang-undang
yang dipengaruhi oleh kondisi sosial politik yang melatarbelakanginya akan sangat
mempengaruhi bangunan regulasi yang mengatur hubungan pusat dan daerah. Arah
kebijakan hukum yang dikehendaki oleh negara terkait dengan politik hukum
desentralisasi sangat mempengaruhi kemana arah “bandul” kekuasaan, apakah lebih
condong ke Pemerintah atau ke Daerah.
2
Bhenyamin Hoessein, Perubahan Model, Pola, dan Bentuk Pemerintahan Daerah: Dari
Era Orde Baru ke Era Reformasi, (Jakarta: Departemen Ilmu Administrasi FISIP Universitas
Penerapan praktik penyelenggaraan urusan pemerintahan dengan
desentralisasi dan otonomi daerah sepanjang sejarah Indonesia sampai saat sekarang
ini telah menampilkan gambaran yang bervariasi, yang secara umum dipahami
mencerminkan tarik ulur sifat sentralistik dan desentralistik. Kenyataan implementasi
antara dua kontinum tersebut selama ini telah pula menampilkan pemahaman yang
beraneka ragam terhadap otonomi daerah. Namun, apapun rumusan atau
ungkapannya, otonomi daerah pada dasarnya dimaksudkan untuk mendekatkan
pemerintahan kepada masyarakat.3
Penyelenggaraan urusan pemerintahan dengan desentralisasi yang selama
ini telah berlangsung, berpotensi untuk terjadi resentralisasi bila “bandul”
kewenangan penyelenggaraan urusan pemerintahan lebih condong kepada pusat dan
sebaliknya dapat berpotensi disintegrasi yang mengarah kepada federalisme bila
bandul kewenangan dalam penyelenggaraan urusan pemerintahan lebih condong
kepada daerah.
Potensi terjadi resentralisasi atau kewenangan kembali terpusat dapat dilihat
pada Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah Pasal 10
ayat (5), yang menyatakan bahwa, Dalam urusan pemerintahan yang menjadi
kewenangan Pemerintah di luar urusan pemerintahan sebagaimana dimaksud pada
ayat (3), Pemerintah dapat :
3
Hari Sabarno, Sambutan Menteri Dalam Negeri pada Penerbitan Buku Beberapa Gagasan
dalam Penyelenggaraan Otonomi Daerah di Indonesia dalam Owen Podger dkk, Beberapa Gagasan
a. menyelenggarakan sendiri sebagian urusan pemerintahan;
b. melimpahkan sebagian urusan pemerintahan kepada Gubernur selaku wakil
Pemerintah; atau
c. menugaskan sebagian urusan kepada pemerintahan daerah dan/atau pemerintahan
desa berdasarkan asas tugas pembantuan.
Pada ayat (5) tersebut dapat diartikan bahwa, selain dilaksanakan enam urusan
pemerintahan yang mutlak menjadi milik Pemerintah, Pemerintah juga dapat
menyelenggarakan sendiri urusan pemerintahan di luar enam urusan tersebut.
Artinya, Pasal 10 ayat (5) huruf a memberikan legitimasi bahwa terhadap urusan
pemerintahan yang telah diserahkan kepada Daerah, masih dibenarkan bagian urusan
pemerintahan diselenggarakan sendiri oleh Pemerintah. Ketentuan ini dapat
berpotensi terjadinya sentralisasi, bila urusan pemerintahan yang semestinya dapat
didesentralisasikan atau sudah menjadi urusan Daerah, dengan alasan kepentingan
nasional atau kepentingan lintas Daerah dilaksanakan sendiri oleh Pemerintah. Lebih
lanjut, penjelasan Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan
Daerah menyatakan bahwa pembagian urusan pemerintahan berdasarkan kriteria
eksternalitas, akuntabilitas, dan efisiensi dengan memperhatikan keserasian hubungan
antar tingkatan dan/atau susunan pemerintahan. Ketentuan ini tidak secara tegas
menyebut pada hal apa suatu urusan pemerintahan yang concurrent dapat
diselenggarakan sendiri oleh Pemerintah atau didesentralisasikan. Hal ini juga
lemahnya koordinasi dalam penyelenggaraan fungsi pemerintahan di antara
tingkatan.4
Pada praktiknya, Pemerintah melalui kementerian masih menyelenggarakan
sendiri urusan pemerintahan yang semestinya bisa didesentralisasikan. Hal tersebut
dapat dilihat dari berbagai proyek Pemerintah yang dilaksanakan di daerah. Oleh
beberapa pihak, inilah yang disebut dengan “otonomi setengah hati”. Semestinya,
untuk penguatan desentralisasi, kewenangan Pemerintah atas urusan pemerintahan
porsinya lebih besar pada penetapan kebijakan yang bersifat norma, standar, kriteria,
dan prosedur, sedangkan kewenangan pelaksanaan urusan pemerintahan hanya
terbatas pada kewenangan yang bertujuan tertentu.5
Sebaliknya, selain berpotensi terjadi resentralisasi, penyelenggaraan urusan
pemerintahan juga berpotensi terjadi disintegrasi yang mengarah kepada federalisme.
Hal ini dapat terjadi apabila “bandul” kewenangan lebih condong kepada Daerah.
Kewenangan besar yang dimiliki oleh Daerah akibat desentralisasi membuat Daerah
merasa mempunyai kewenangan sepenuhnya atas penyelenggaraan urusan
pemerintahan yang telah didesentralisasikan. Akibatnya, timbul pandangan bahwa
4
Indra J.Piliang ed., Otonomi Daerah: Evaluasi Dan Proyeksi, (Jakarta: Yayasan Harkat Bangsa, 2003), hal. 13.
5
Kewenangan pelaksanaan urusan pemerintahan oleh Pemerintah hanya terbatas pada kewenangan yang bertujuan: (1) Mempertahankan dan memelihara identitas dan integritas bangsa dan negara; (2) Menjamin kualitas pelayanan umum yang setara bagi semua warga negara; (3) menjamin efisiensi pelayanan umum karena jenis pelayanan umum tersebut berskala nasional; (4) Menjamin keselamatan fisik dan nonfisik secara setara bagi semua warga negara; (5) Menjamin pengadaan teknologi keras dan lunak yang langka, canggih, mahal, dan beresiko tinggi serta sumber daya manusia yang berkualifikasi tinggi tetapi sangat diperlukan oleh bangsa dan negara, seperti tenaga nuklir, teknologi peluncuran satelit, teknologi penerbangan dan sejenisnya; (6) Menjamin supremasi hukum nasional; dan (7) Menciptakan stabilitas ekonomi dalam rangka peningkatan kemakmuran rakyat. Dalam Deddy Supriady Bratakusumah dan Dadang Solihin, Otonomi Penyelenggaraan Pemerintahan
Pemerintah sudah tidak perlu campur tangan lagi terhadap urusan pemerintahan yang
telah didesentralisasikan.
Ada anggapan dari Pemerintah Daerah bahwa dengan desentralisasi, Daerah
mempunyai kedudukan dan kewenangan yang besar sehingga Pemerintah tidak perlu
lagi menyelenggarakan urusan pemerintahan yang sudah didesentralisasikan.
Seharusnya, peran Pemerintah sebatas merumuskan kebijakan makro atau koordinasi
secara nasional, Pemerintah tidak lagi mempunyai peran sebagai pelaksana langsung
(executing) terhadap penyelenggaraan urusan pemerintahan yang telah
didesentralisasikan. Akibat lain dari desentralisasi adalah terdapat kenyataan bahwa
pemerintah daerah tidak “tunduk” terhadap kebijakan Pemerintah. Hal tersebut
dilakukan dengan tidak ikut melaksanakan program nasional yang telah menjadi
kebijakan Pemerintah dikarenakan berbagai alasan.6
Berpijak pada kenyataan implementasi penyelenggaraan urusan pemerintahan
seperti yang telah digambarkan, pelaksanaan pembagian urusan pemerintahan dalam
kerangka otonomi daerah di negara kesatuan bagai dua sisi mata uang. Pada satu sisi,
bila Daerah mempunyai kewenangan yang besar pada suatu urusan pemerintahan
tanpa adanya kewenangan Pemerintah, maka akan berpotensi terjadi disintegrasi yang
mengarah kepada federalisme. Namun sebaliknya, bila Pemerintah masih
6
menyelenggarakan suatu urusan pemerintahan yang semestinya dapat
didesentralisasikan, maka akan mengarah kepada sentralisasi.
Baik secara teoritis maupun praktik di banyak negara, hubungan antara
Pemerintah dan Daerah sebagaimana telah dikemukakan, diibaratkan sebagai sebuah
bandul dengan dua kutub, yaitu Pemerintah dan Daerah. Jika bandul itu mengarah ke
kutub Pemerintah maka terjadi sentralisasi, sehingga otomatis kewenangan Daerah
akan berkurang. Demikian juga sebaliknya, jika Daerah diberikan kewenangan yang
besar dalam penyelenggaraan urusan pemerintahan maka terjadi desentralisasi,
sehingga kewenangan Pemerintah akan berkurang. Oleh sebab itu, pembahasan
hubungan kewenangan Pemerintah dan Daerah tidak akan terlepas dari tarik ulur
kekuasaan diantara keduanya.7
Berbagai produk hukum mengenai penyelenggaraan urusan pemerintahan telah
dibentuk dan telah tercapai konsesus nasional mengenai asas-asasnya. Namun dalam
aplikasi selama ini sering kali menimbulkan masalah di seputar upaya mencari titik
keseimbangan antara bobot sentralisasi dan bobot otonomi daerah.8
7
Syahrul Hidayat, Otonomi Daerah, Pilkada dan Komitmen Desentralisasi Politik:
Tinjauan atas tiga UU mengenai Otonomi Daerah dalam Pilkada Langsung, Demokratisasi Daerah
dan Mitos Good Governance, Partnership dan Pusat Kajian Ilmu Politik Fisip UI, Jakarta, 2005.
Kemudian,
berlakunya aturan hukum suatu negara paling tidak ditentukan oleh dua faktor, yaitu :
Pertama, kesadaran atau keyakinan anggota-anggota masyarakat terhadap hukum
dalam makna nilai-nilai keadilan. Kedua, politik hukum yang ditetapkan oleh penguasa
negara. Orientasi politik hukum penguasa bersifat progresif, antisipatif terhadap
8
perkembangan kedepan dan berwawasan nasional. Orientasi politik penguasa seringkali
tidak berjalan paralel dengan kesadaran hukum (orientasi hukum) masyarakat yang
cenderung tradisional, konservatif, berorientasi historis dengan lingkup wilayah budaya
terbatas (budaya lokal).9
Di bidang pertanahan, secara substansial pertarungan orientasi politik hukum
antara pemerintah dan masyarakat tercermin dari adanya konflik di antara norma
tertulis (peraturan perundang-undangan). Pada akhirnya akan menimbulkan ekses
dalam penerapan peraturan perundang-undangan, yaitu dalam bentuk sengketa
pertanahan. Idealnya pemerintah mampu mengakomodir orientasi politik
hukum/kesadaran hukum masyarakat - yang bersifat pluralis - dan
mengharmonisasi-kannya dengan kebutuhan pemerintah dan dunia internasional, dengan tetap
berpegang pada tujuan nasional, yaitu masyarakat adil dan makmur.
Secara formal selalu diupayakan untuk menyerasikan kedua
orientasi tersebut, namun secara subtansi yang tercermin dari berbagai rumusan pasal
dalam peraturan perundang-undangan belum tentu demikian.
Kenyataan yang terjadi hingga saat ini mengindikasikan, bahwa pemerintah
mempunyai orientasi sendiri, dan yang terlalu maju (bervisi global), sedangkan
masyarakat sebagian besar belum siap dengan visi tersebut. Akibatnya, banyak
peraturan perundang-undangan yang dikeluarkan pemerintah dinilai tidak memihak
kepentingan rakyat, namun lebih memihak pada dunia perdagangan yang bersifat
global/perdagangan bebas, dan para investor. Padahal, seyogyanya pemerintah sangat
9
Maria R Ruwiastuti, Sesat Pikir Politik Hukum Agraria, Membongkar Alas Penguasaan
memperhatikan kondisi senyatanya masyarakat Indonesia yang sangat bervariasi
tingkat perkembangannya.
Pertarungan orientasi yang menjadi dasar politik pertanahan antara
pemerintah dengan masyarakat (rakyat) tersebut di atas, bermuara pada makin
meningkatnya sengketa pertanahan di Indonesia yang melibatkan rakyat, pemerintah
dan swasta. Sejarah membuktikan bahwa, pemerintah mempunyai orientasi politik
tersendiri yang terkesan dipaksakan keberlakuannya pada masyarakat sebagaimana
tercatat dalam sejarah pertanahan di Indonesia pada masa penjajahan, baik oleh
Inggris maupun Belanda.10
Kemudian, dalam rangka otonomi daerah menurut Undang-Undang Nomor 22
Tahun 1999 tentang Pemerintahan Daerah, pelimpahan kewenangan dalam otonomi
adalah mengenai bidang pemerintahan, walaupun ketentuan Pasal 11 ayat (2)
Undang-Undang tersebut mencakup kewenangan di bidang pertanahan, tidak berarti
mencakup kewenangan di bidang hukum tanah nasional. Oleh karena itu, pertanahan
sebagai salah satu bidang pemerintahan yang wajib dilaksanakan oleh kabupaten/kota
dalam Pasal 11, tidak harus dicerna bahwa wewenang bidang tersebut secara utuh
berada di kabupaten/kota. Wewenang yang berada di kabupaten/kota mengenai
pertanahan sebatas yang bersifat lokalitas, dan tidak bersifat nasional.11
10
Banyak hal yang dapat diidentifikasi sebagai permasalahan politik pertanahan sejak zaman Hindia Belanda, misalnya penerapan sistem Landrente, Cultuurstelsel atau tanam paksa dan asas Domeinverklaring. Pada intinya politik pertanahan tersebut tidak ditujukan untuk kemakmuran rakyat (Indonesia), melainkan untuk pemerintah Belanda dan kaum modal asing lainnya.
11
Selanjutnya dalam Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang
Pemerintahan Daerah sebagai pengganti Undang-Undang Nomor 22 Tahun 1999
tentang Pemerintahan Daerah menyebutkan dalam Pasal 13 dan Pasal 14 tentang
bidang-bidang yang menjadi kewenangan pemerintah daerah yang antara lain
pelayanan pertanahan. Pelaksanaan yang dilimpahkan kepada daerah dalam kerangka
otonomi daerah adalah pelaksanaan hukum tanah nasional. Hal ini ditegaskan dalam
Pasal 2 ayat (4) Undang-Undang Pokok Agraria Nomor. 5 Tahun 1960 (selanjutnya
disebut UUPA) bahwa hak menguasai dari Negara, pelaksanaannya dapat dikuasakan
kepada daerah-daerah swatantra dan masyarakat-masyarakat hukum adat, sekadar
diperlukan dan tidak bertentangan dengan peraturan pemerintah. Sementara itu,
dalam penjelasan Pasal 2 UUPA disebutkan bahwa dengan demikian, pelimpahan
wewenang untuk melaksanakan hak penguasaan dari Negara atas tanah itu dilakukan
dalam rangka tugas medebewind.
Kewenangan yang pelaksanaannya dapat dilimpahkan kepada pemerintah
daerah ditetapkan dalam Pasal 2 ayat (2) huruf a Undang-Undang Pokok Agraria
Nomor. 5 Tahun 1960 (selanjutnya disebut UUPA), yaitu wewenang mengatur dan
menyelenggarakan peruntukan penggunaan, persediaan tanah di daerah yang
bersangkutan, sebagaimana yang dimaksudkan dalam Pasal 14 ayat 2
Undang-Undang Pokok Agraria Nomor. 5 Tahun 1960 (selanjutnya disebut UUPA) yang
meliputi perencanaan tanah pertanian dan tanah nonpertanian sesuai dengan keadaan
daerah masing-masing. Berdasarkan Pasal 14 UUPA dan Undang-Undang Nomor 26
peruntukan, penggunaan, dan persediaan serta pemeliharaan tanah. Penataan ruang
meliputi suatu proses perencanaan tata ruang, pemanfaatan ruang, dan pengendalian
pemanfaatan ruang.12
Berkaitan dengan kebijakan otonomi daerah, wewenang penyelenggaraan
penataan ruang dilakukan oleh pemerintah dan pemerintah daerah, yang mencakup
kegiatan pengaturan, pembinaan, pelaksanaan, dan pengawasan penataan ruang,
didasarkan pada pendekatan wilayah dengan batasan wilayah administratif. Dengan
pendekatan wilayah administratif tersebut, penataan ruang seluruh wilayah Negara
Kesatuan Republik Indonesia terdiri atas wilayah nasional, wilayah provinsi, wilayah
kabupaten, dan wilayah kota, yang setiap wilayah tersebut merupakan subsistem
ruang menurut batasan administratif.
Di dalam subsistem tersebut, terdapat sumber daya manusia dengan berbagai
macam kegiatan pemanfaatan sumber daya alam dan sumber daya buatan, dan dengan
tingkat pemanfaatan ruang yang berbeda-beda, yang apabila tidak ditata dengan baik,
dapat mendorong ke arah adanya ketidakseimbangan pembangunan antarwilayah
serta ketidasinambungan pemanfaatan ruang.13
Berdasarkan uraian-uraian di atas, penulis tertarik untuk membahas mengenai
kewenangan Pemerintah Daerah dalam bidang pertanahan sebagai suatu karya ilmiah
dalam bentuk tesis dengan judul Kewenangan Bidang Pertanahan Dalam Konteks
12
Pasal 14, Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1960 tentang Pokok-Pokok Agraria,
Bandingkan dengan ketentuan yang terdapat dalam Undang-Undang Nomor 26 Tahun 2007 tentang Penataan Ruang.
13
Otonomi Daerah (Studi di Kantor Wilayah Badan Pertanahan Nasional Provinsi
Sumatera Utara).
B. Permasalahan
Berdasarkan uraian latar belakang, maka permasalahan yang akan diteliti
dan dianalisis dalam penelitian ini dapat dirumuskan sebagai berikut :
1. Bagaimanakah kewenangan urusan pertanahan menurut Undang-Undang Pokok
Agraria dengan Undang-Undang Pemerintahan Daerah?
2. Bagaimanakah kewenangan Pemerintah Daerah dalam penyelenggaraan urusan
pertanahan dalam konteks Otonomi Daerah?
3. Apakah hambatan-hambatan yang terjadi dalam pelaksanaan kewenangan
pertanahan di daerah serta upaya-upaya apa yang dilakukan?
C. Tujuan Penelitian
Berdasarkan rumusan masalah yang telah dikemukakan diatas, maka
penelitian ini bertujuan :
1. Untuk mengetahui pengaturan kewenangan urusan pertanahan menurut
Undang-Undang Pokok Agraria dengan Undang-Undang-Undang-Undang Pemerintahan Daerah.
2. Untuk mengetahui kewenangan Pemerintah Daerah dalam penyelenggaraan
urusan pertanahan dalam konteks Otonomi Daerah.
3. Untuk mengetahui hambatan-hambatan yang terjadi dalam pelaksanaan
D. Manfaat Penelitian
Bertitik tolak dari latar belakang serta rumusan masalah yang telah
diuraikan, manfaat penelitian ini adalah :
1. Mendeskripsikan dan menganalisis secara juridis dinamika pengaturan pembagian
urusan pemerintahan antara Pemerintah dan Daerah di Indonesia khususnya di
bidang pertanahan.
2. Untuk mengetahui faktor-faktor apa saja yang mempengaruhi pengaturan
pembagian urusan pemerintahan antara Pemerintah dan Daerah khususnya di
bidang pertanahan.
Penelitian ini diharapkan memberi manfaat dan kegunaan secara teoritis,
berupa :
1. Sumbangan pemikiran terhadap kajian pembagian urusan pemerintahan antara
Pemerintah dan Daerah di bidang pertanahan.
2. Sebagai salah satu referensi untuk mengkaji lebih mendalam mengenai hukum
ketatanegaraan dan administrasi negara khususnya hukum pemerintahan daerah
yang secara langsung berkaitan desentralisasi dan otonomi daerah di bidang
pertanahan.
Manfaat dan kegunaan dari penelitian ini secara praktis adalah:
1. Sebagai masukan pemikiran untuk pembangunan hukum dalam rangka
memperkuat dan mendorong otonomi daerah dengan kewenangan yang
2. Penelitian ini dapat menjadi masukan untuk kebijakan dan pengaturan terkait
dengan pembagian urusan pemerintahan di bidang pertanahan.
3. Diharapkan berguna sebagai bahan kajian untuk akselerasi otonomi daerah,
sebagai upaya mendekatkan pelayanan pemerintah dengan masyarakat untuk
mencapai kesejahteraan masyarakat serta terwujudnya clean government dan
good governance di bidang pertanahan.
E. Keaslian Penelitian
Berdasarkan pengamatan dan penelusuran kepustakaan yang dilakukan di
Perpustakaan Pascasarjana Universitas Sumatera Utara, dan sepanjang yang diketahui
belum ada penelitian yang dilakukan dengan mengangkat Judul Kewenangan Bidang
Pertanahan Dalam Konteks Otonomi Daerah (Studi di Kantor Wilayah Badan Pertanahan
Nasional Provinsi Sumatera Utara).
Dengan demikian, penelitian ini dapat dikatakan penelitian yang pertama
kali dilakukan di lingkungan Pascasarjana Universitas Sumatera Utara, oleh
karenanya, penulis berkeyakinan bahwa judul tesis ini dan permasalahan yang
diajukan belum pernah diteliti dan dibahas, sehingga dapat dikatakan asli.
F. Kerangka Teori dan Konsepsi
1. Kerangka Teori
Pada kajian tentang penyelenggaraan pemerintahan daerah akan selalu
penelitian ini. Penyelenggaraan pemerintahan daerah akan selalu terkait dengan
hubungan pusat dan daerah, salah satu hubungan tersebut dibangun dengan sistem
desentralisasi. Desentralisasi pada penelitian ini menjadi faktor utama dalam
hubungan pusat dan daerah, sehingga perlu disajikan kerangka teorinya. Selain itu
yang terkait adalah teori tentang politik hukum mengenai kewenangan pertanahan
dalam konsep otonomi daerah.
Negara adalah suatu organisasi dalam satu wilayah yang memiliki kekuasaan
tertinggi yang sah dan ditaati oleh rakyatnya.14 Menurut Aristoteles,15
Sementara itu, menurut Supomo
negara pada
hakekatnya adalah sebuah asosiasi, yaitu suatu perkumpulan dari kelompok orang
yang mengorganisir diri mereka untuk tujuan tertentu yang hendak dicapai.
16
14
Miriam Budiardjo, Dasar-Dasar Ilmu Politik, (Jakarta: PT. Gramedia Pustaka Utama, 2008), hal. 17.
dengan berpijak teori integralistik yang
diajarkan Spinoza, Adam Muller, Hegel dan lain-lain (pada abad 18 dan 19), negara
ialah tidak untuk menjamin kepentingan seseorang atau golongan, akan tetapi
menjamin kepentingan masyarakat seluruhnya sebagai persatuan. Negara ialah suatu
susunan masyarakat yang integral, segala golongan, segala bagian, segala anggotanya
berhubungan erat satu sama lain dan merupakan persatuan yang masyarakat yang
organis.
15
Bhenyamin Hoessein, Penyempurnaan Undang-Undang Nomor 22 Tahun 1999 Menurut
Konsepsi Otonomi Daerah Hasil Amandemen 1945, disampaikan dalam Seminar Dan Lokakarya
Pembangunan Hukum Nasional VIII, diselenggarakan oleh BPHN Depkumham, Bali, 14 – 18 Juli 2003, hal. 1.
16
Pada perkembangan saat ini, Jimly Asshydiqqie membedakan bentuk negara
di dunia menjadi empat macam susunan organisasi negara, yaitu17
1. Negara Kesatuan (Unitary State, Eenheidsstaat), pada negara kesatuan dimana kekuasan negara terbagi antara pemerintahan pusat dan pemerintahan daerah. Kekuasaan asli terdapat di tingkat pusat, sedangkan kekuasaan daerah mendapatkan kekuasaan dari pusat melalui penyerahan sebagian kekuasaan yang ditentukan secara tegas.
:
2. Negara Serikat atau Federal (Federal State, Bondsstaat), pada negara serikat atau federal kekuasaan negara terbagi antara negara bagian dan pemerintahan federal, kekuasaan asli ada pada negara bagian sebagai badan hukum negara yang bersifat sendiri-sendiri yang secara bersama-sama membentuk pemerintahan federal dengan batas-batas kekuasaan yang disepakati bersama oleh negara-negara bagian dalam konstitusi federal.
3. Negara Konfederasi (Confederation, Statenbond), negara konfederasi merupakan persekutuan antar negara-negara yang berdaulat dan independen yang karena kebutuhan tertentu mempersekutukan diri dalam organisasi kerjasama yang longgar.
4. Negara Superstruktural (Superstate), yaitu persekutuan antar negara dengan sifat yang sangat kuat, yang di dalamnya terdapat fungsi-fungsi kenegaraan sebagaimana lazimnya, seperti fungsi legislasi dan fungsi administrasi.
Dari keempat bentuk susunan organisasi negara tersebut, bentuk negara
kesatuan menjadi pilihan bagi Republik Indonesia, sebagaimana ditegaskan dalam
Pasal 1 ayat (1) UUD Negara RI Tahun 1945, “Negara Indonesia ialah Negara
Kesatuan yang berbentuk Republik”. Pada ketentuan ini dapat dilihat beberapa
pengertian seperti yang disampaikan oleh Jimly Asshydiqqie18
“Pertama, Negara yang diatur dalam UUD ini bernama Negara Indonesia; Kedua, Negara Indonesia ialah Negara Kesatuan; Ketiga, Negara Indonesia berbentuk Republik. Karena itu, Negara Indonesia dan Undang-Undang Dasar 1945 tidak dapat dilepaskan dari eksistensi Konstitusi Negara
:
17
Jimly Asshidiqqie, Pokok-Pokok Hukum Tata Negara Indonesia Pasca Reformasi, (Jakarta: PT. Bhuana Ilmu Populer, 2007), hal. 282.
18
Republik Indonesia. Apalagi, adanya kata “ialah” dalam rumusan “Negara Indonesia ‘ialah’ Negara Kesatuan” menunjukan rumusan yang bersifat definitif. Artinya, jika bukan Negara Kesatuan, maka namanya bukan lagi Negara Indonesia.”
Negara kesatuan ialah suatu negara yang merdeka dan berdaulat, dimana di
seluruh negara yang berkuasa hanyalah satu pemerintah (pusat) yang mengatur
seluruh daerah. Pada suatu negara kesatuan, kekuasaan terletak pada Pemerintah dan
tidak pada pemerintah daerah.19 Lebih lanjut Mahfud.MD. menegaskan bahwa negara
kesatuan adalah konsep ketatanegaraan yang mengatur hubungan kekuasaan
(gezagverhouding) antara Pemerintah dan Daerah.20
Sementara itu menurut C.F. Strong, negara kesatuan adalah bentuk negara
dimana wewenang legislatif tertinggi dipusatkan dalam satu badan legislatif
nasional/pusat. Kekuasaan terletak pada Pemerintah dan tidak pada pemerintah
daerah. Pemerintah mempunyai wewenang untuk menyerahkan sebagian
kekuasaannya kepada Daerah berdasarkan hak otonomi (negara kesatuan dengan
sistem desentralisasi), tetapi pada tahap akhir kekuasaan tertinggi tetap di tangan
Pemerintah. C.F Strong menyimpulkan bahwa terdapat ciri mutlak yang melekat pada
negara kesatuan yaitu, (1) adanya supremasi dari dewan perwakilan rakyat pusat, dan
(2) tidak adanya badan-badan lainnya yang berdaulat.21
19
Agussalim Andi Gadjong, Pemerintahan Daerah, Kajian Politik Dan Hukum, (Bogor: Ghalia Indonesia, 2007), hal. x.
20
Moh. Mahfud MD., Konstitusi dan Hukum Konstitusi dalam Kontroversi Isu, (Jakarta: Rajawali Pers, 2009), hal. 212. Mahfud juga menjelaskan bahwa konsep kesatuan berbeda dengan konsep persatuan, persatuan adalah sikap batin atau kejiwaan atau semangat kolektif untuk bersatu dalam ikatan kebangsaan dan negara.
21
Dalam menjalankan fungsinya, negara mempunyai kekuasaan, yang menurut
Arthur Maass memilah pembagian kekuasaan negara menjadi dua, yaitu22
Pembagian kekuasaan secara vertikal bertujuan untuk menciptakan
keseimbangan antara Pemerintah dan Daerah. Pembagian kekuasaan ini dilakukan
dengan membentuk daerah otonom yang berfungsi sebagai organ yang menerima
penyerahan kekuasaan dari Pemerintah atau dapat disebut dengan desentralisasi.
Desentralisasi adalah penyerahan wewenang atau penyerahan sebagian urusan
pemerintahan oleh Pemerintah kepada daerah otonom. Menurut Bhenyamin Hoesein,
pengertian desentralisasi tidak hanya penyerahan wewenang namun harus pula
mecakup pembentukan daerah otonom.
: Pertama,
Capital Division of Powers, pembagian kekuasaan secara horisontal atau pemisahan
kekuasaan (separations of powers) yang melahirkan kekuasaan legislatif, eksekutif
dan yudikatif. Kedua, Areal Division of Power, pembagian kekuasaan secara vertikal
(pembagian kekuasaan berdasarkan wilayah) yang melahirkan desentralisasi dan
otonomi daerah. Pada konteks ini, desentralisasi merupakan instrumen yang
digunakan dalam rangka areal division of powers.
23
Sementara itu, menurut Hans Kelsen pada sebuah negara tidak mungkin
terjadi urusan pemerintah diselenggarakan 100% sentralisasi atau 100% desentralisasi
22
Arthur Maass, Area And Power A Thery Of Local Government, (Illions: Glencoe, 1969), hal. 9.
23
Bhenyamin Hoessein, Berbagai Faktor Yang Mempengaruhi Besarnya Otonomi Dati II
Suatu Kajian Desentralisasi Dan Otonomi Daerah Dari Segi Ilmu Administrasi Negara, Disertasi,
atau tidak mungkin terdapat total centralization atau total decentralization.24
Sebagaimana disampaikan oleh Bhenyamin Hoessein bahwa sentralisasi merupakan
asas yang pokok, sementara itu asas desentralisasi (termasuk juga dekonsentrasi dan
tugas pembantuan) tidak mungkin diselenggarakan tanpa sentralisasi.25
Satuan otonomi teritorial merupakan suatu satuan mandiri dalam lingkungan
negara kesatuan yang berhak melakukan tindakan hukum sebagai subjek hukum
untuk mengatur dan mengurus fungsi pemerintahan (administrasi negara) yang
menjadi urusan rumah tangganya, jadi hubungan pusat dan daerah merupakan
hubungan antara dua subjek hukum yang masing-masing berdiri sendiri.
Oleh karena
itu, dapat dikatakan bahwa makna desentralisasi pada negara kesatuan adalah sebagai
wujud toleransi Pemerintah kepada Daerah dalam hal pemberian kewenangan untuk
melaksanakan urusan-urusan yang bisa menjadi urusan rumah tangga daerah, dalam
rangka penyelenggaraan pemerintahan di daerah.
26
Pengaturan pembagian urusan pemerintahan antara Pemerintah dan Daerah
tidak akan lepas dari sisi politik hukum atau kebijakan hukum (legal policy). Politik
hukum menurut Moh. Mahfud, MD27
24
Bhenyamin Hoessein, et.,al. Naskah akademik Tata Hubungan Kewenangan
Pemerintahan Pusat Dan Daerah, PKPADK Fisip UI, Jakarta, 2005, hal. 67.
adalah sebagai pernyataan kehendak penguasa
negara mengenai hukum yang berlaku di wilayahnya dan mengenai arah kemana
hukum hendak diperkembangkan. Pengertian ini menunjukkan pandangan Radhie
25
Bhenyamin Hoessein, Pembagian Urusan Pemerintahan Antara Pemerintah Dan Daerah
Otonomi, Makalah, disajikan dalam seminar FISIP UI, Depok, 2007, hal. 1.
26
Ni’matul Huda, Pengawasan Pusat Terhadap Daerah Dalam Penyelenggaraan
Pemerintahan Daerah, FH UII Press, Yogyakarta, 2007, hal. 5.
27
bahwa politik hukum mencakup ius constitutum atau hukum yang berlaku di wilayah
negara pada saat ini dan ius contituendum atau hukum yang atau seharusnya
diberlakukan di masa mendatang.
Sementara itu, Padmo Wahyono28
Soedarto memberikan pengertian politik hukum adalah kebijaksanaan dari
negara dengan perantaraan badan-badan yang berwenang untuk menetapkan
peraturan perundangan yang dikehendaki dan diperkirakan dapat digunakan untuk
mengekspresikan norma yang terkandung dalam masyarakat dan untuk mencapai
tujuan yang dicita-citakan.
mengatakan bahwa politik hukum adalah
kebijakan dasar yang menentukan arah, bentuk, maupun isi dari hukum yang akan
dibentuk. Politik hukum adalah kebijakan penyelenggara negara tentang apa yang
dijadikan kriteria untuk menghukumkan sesuatu yang di dalamnya mencakup
pembentukan, penerapan, dan penegakan hukum. Dalam hal ini, Padmo Wahyono
melihat politik hukum dengan lebih condong pada aspek ius constituendum.
29
28
Ibid.
Dari berbagai definisi politik hukum, dapat dibuat
rumuan sederhana bahwa politik hukum itu adalah arahan atau garis resmi yang
dijadikan dasar pijak dan cara untuk membuat dan melaksanakan hukum dalam
rangka mencapai tujuan bangsa dan negara. Dapat juga dikatakan bahwa politik
hukum merupakan upaya menjadikan hukum sebagai proses pencapaian tujuan
29
Aruan Sakidjo dan Bambang Poernomo. Hukum Pidana: Dasar Aturan Umum Hukum
negara.30 Tujuan politik hukum nasional adalah, pertama, sebagai suatu alat atau
sarana dan langkah yang dapat digunakan oleh pemerintah untuk menciptakan suatu
sistem hukum nasional yang dikehendaki; Kedua, dengan sistem hukum nasional itu
akan diwujudkan cita-cita bangsa Indonesia yang lebih besar.31
Selanjutnya, konsep dan pokok aturan hukum agraria yang termuat dalam
Undang-Undang Pokok Agraria Nomor. 5 Tahun 1960 (selanjutnya disebut UUPA)
merupakan produk hukum dan cerminan kebijakan pemerintahan saat itu, yakni orde
lama. Undang-Undang Pokok Agraria Nomor. 5 Tahun 1960 (selanjutnya disebut
UUPA) ditujukan guna pembaruan hukum agraria saat itu, namun belum cukup
waktu dan terlaksana apa yang diprogramkan, kepemimpinan negara berpindah pada
rezim orde baru yang memiliki pola kepemimpinan yang berbeda. Sebagaimana
diketahui masa orde baru adalah masa pertumbuhan sehingga seluruh kebijakan
sangat propertumbuhan. Meskipun banyak kebijakan pembangunan dan
pelaksanaannya yang berbeda dengan semangat Undang-Undang Pokok Agraria
Nomor. 5 Tahun 1960 (selanjutnya disebut UUPA) namun dengan berbagai tafsiran
disediakan perangkat peraturan pelaksana UUPA yang memungkinkan pemerintah
orde baru menjalankan kebijakannya di bidang pertanahan, yang sangat pro pemodal
dengan segala akibatnya terhadap masyarakat banyak.32
30
Teuku Muhammad Radhi dalam Moh. Mahfud MD, Membangun Politk Hukum,
Menegakkan Konstitusi, Op.Cit., hal. 16.
31
Imam Syaukani dan A. Ahsin Thohari, Dasar-Dasar Politik Hukum, (Jakarta: Rajagrafindo Persada, 2004), hal. 59.
32
Boedi Harsono, Hukum Agraria Indonesia: Sejarah Pembentukan Undang-Undang Pokok
Hukum agraria nasional kemudian mengalami perubahan seiring peralihan
kepempinan negara pada orde reformasi. Tampak ada tekad untuk mengadakan
perombakan yang mendasar pada kebijakan nasional di bidang ekonomi. Selain
Undang-Undang Pokok Agraria Nomor. 5 Tahun 1960 (selanjutnya disebut UUPA)
dan berbagai peraturan perundang-undangan baik yang setingkat (undang-undang)
maupun peraturan perundang-undangan yang lebih rendah (peraturan pemerintah,
keputusan/peraturan presiden, keputusan/peraturan menteri), pengaturan dan
kebijakan di bidang agraria juga didukung oleh beberapa Ketetapan MPR, seperti
TAP MPR No.XV/MPR/1998 tentang Penyelenggaraan Otonomi Daerah;
Pengaturan, Pembagian, dan Pemanfaatan Sumber Daya Nasional yang Berkeadilan;
Serta Perimbangan Keuangan Pusat dan Daerah dalam Kerangka Negara Kesatuan
Republik Indonesia dan TAP MPR No.IX/MPR/2001 tentang Pembaruan Agraria dan
Pengelolaan Sumber Daya Alam.
Konsepsi Hukum Tanah Nasional dan ketentuan-ketentuan dalam
Undang-Undang Pokok Agraria Nomor. 5 Tahun 1960 (selanjutnya disebut UUPA) telah
menjadi dasar pijak pembangunan Nasional selama kurun waktu hampir setengah
abad. Berbagai peraturan perundang-undangan baik berbentuk undang-undang,
maupun peraturan pelaksanaannya dalam pertimbangan hukumnya merujuk kepada
UUPA sebagai dasar hukum tanah nasional. Undang-undang terkait agraria seperti
kehutanan, pertambangan, sumber daya alam, sumber daya air, dan penataan ruang
menjadikan dasar-dasar hukum dalam UUPA sebagai suatu pertimbangan hukum di
Hal ini menunjukkan bahwa posisi hukum tanah nasional sangat signifikan
dan terkait dengan kepentingan antar dan berbagai sektor dan bidang hukum lainnya.
Namun demikian fakta menunjukkan bahwa ada ketidakharmonisan dan
ketidaksinkronan dalam berbagai peraturan perundangan di bidang hukum agraria
khususnya dan yang terkait dengan agraria lainnya. Harmonisasi terkait dengan
harmonis dan selarasnya (tidak bertentangannya) suatu peraturan
perundang-undangan yang secara horizontal memiliki tingkat hirarkhi yang sama, sementara
mengarah pada hubungan vertikal antara satu peraturan perundangan dengan
peraturan perundangan yang lain yang lebih tinggi atau lebih rendah tingkatanya
dalam hirarkhi peraturan perundang-undangan.
Selain perangkat peraturan perundang-undangan di bidang hukum agrarian
yang saling bertentangan dan tumpang tindih, berbagai persoalan terkait tanah dalam
pengelolaan berbagai sumber daya agraria yang berlangsung selama ini telah
menimbulkan penurunan kualitas lingkungan, ketimpangan struktur penguasaan,
pemilikan, penggunaan dan pemanfaatannya serta menimbulkan berbagai konflik.
Persoalan keadilan, kemanfaatan dan kepastian hukum menjadi suatu unsur yang
tidak tercapai dalam berbagai kebijakan pertanahan, sehingga menimbulkan berbagai
konflik dan menjauhkan masyarakat dari rasa keadilan.
Kondisi ini kemudian memunculkan suatu komitmen politik dari para wakil
rakyat sehingga setelah melalui tahapan yang panjang, berliku dan beragam
ditetapkanlan suatu ketetapan Majelis Permusyawaratan Rakyat mengenai pembaruan
MPR dengan TAP MPR No.IX/MPR/2001 tentang Pembaruan Agraria dan
Pengelolaan Sumber Daya Alam inilah kemudian menjadi tonggak awal adanya
pembaruan hukum agraria sebagai bagian dari pembaruan agrarian secara
keseluruhan. Beberapa catatan penting dalam TAP MPR No.IX/MPR/2001 tentang
Pembaruan Agraria dan Pengelolaan Sumber Daya Alam terkait dengan
pembangunan hukum agraria nasional yakni :
a. Adanya fakta bahwa yuridis bahwa peraturan perundang-undangan yang
berkaitan dengan pengelolaan sumber daya agraria dan sumber daya alam saling
tumpang tindih dan bertentangan.33
b. TAP MPR No.IX/MPR/2001 tentang Pembaruan Agraria dan Pengelolaan
Sumber Daya Alam ini ditujukan sebagai landasan peraturan
perundang-undangan mengenai pembaruan agraria dan pengelolaan sumber daya alam.34
c. Pembaruan agraria mencakup suatu proses yang berkesinambungan berkenaan
dengan penataan kembali penguasaan, pemilikan, penggunaan dan pemanfaatan
sumber daya agraria, dilaksanakan dalam rangka tercapainya kepastian dan
perlindungan hukum serta keadilan dan kemakmuran bagi seluruh rakyat
Indonesia.35
33
Majelis Permusyawaratan Rakyat Republik Indonesia, Ketetapan MPRNo.IX/MPR/2001
tentang Pembaruan Agraria dan Pengelolaan Sumber Daya Alam, Konsideran Menimbang Huruf d.
34
Ibid., Pasal 1.
35
d. Dalam operasionalisasi pembaruan agraria terutama dalam kaitannya dengan
perundang-undangan, terdapat prinsip-prinsip yang harus dijadikan dasar yakni36
1. prinsip Negara Kesatuan Republik Indonesia;
:
2. prinsip penghormatan kepada hak asas manusia;
3. prinsip penghormatan supremasi hukum dan pengakomodasian prularisme
hukum dalam unifikasi hukum;
4. prinsip kesejahteraan rakyat;
5. prinsip keadilan;
6. prinsip keberlanjutan;
7. prinsip pelaksanaan fungsi sosial, kelestarian dan fungsi ekologis;
8. prinsip keterpaduan dan koordinasi antarsektor;
9. prinsip pengakuan dan penghormatan hak masyarakat hukum adat dan
keragaman budaya bangsa;
10.prinsip keseimbangan hak dan kewajiban negara, pemerintah (pusat, daerah
provinsi, kabupaten/kota, dan desa atau yang setingkat), masyarakat dan
individu; dan
11.prinsip desentralisasi.
e. Bahwa dalam rangka pelaksanaan prinsip-prinsip diatas, salah satu arah kebijakan
utama yang harus dilakukan dalam pembaruan agraria adalah melakukan
pengkajian ulang terhadap berbagai peraturan perundang-undangan yang
36
berkaitan dengan agraria dalam rangka kebijakan antarsektor demi terwujudnya
peraturan perundang-undangan yang didasarkan pada prinsip-prinsip diatas.37
f. MPR menugaskan DPR RI bersama Presiden RI untuk segera mengatur lebih
lanjut pelaksanaan pembaruan agraria dan pengelolaan sumber daya alam dengan
menjadikan Ketetapan ini sebagai landasan dalam setiap pembuatan kebijakan;
dan semua undang-undang dan peraturan pelaksanaannya yang tidak sejalan
dengan Ketetapan ini harus segera dicabut, diubah, dan/atau diganti.38
Sebelum dikeluarkannya TAP MPR tentang Pembaruan Agraria pada tahun
2001, salah satu arahan kebijakan pembangunan di bidang ekonomi dalam GBHN
1999-2004 adalah mengembangkan kebijakan pertanahan untuk meningkatkan
pemanfaatan dan penggunaan tanah secara adil, transparan, dan produktif
mengutamakan hak-hak rakyat setempat, termasuk hak ulayat39 dan masyarakat
adat,40 serta berdasarkan tata ruang wilayah yang serasi dan seimbang.41
37
Ibid., Pasal 5.
Ditegaskan
pula bahwa salah satu ciri sistem ekonomi kerakyatan adalah pemanfaatan dan
penggunaan tanah dan sumber daya alam lainnya, seperti hutan, laut, air, udara, dan
mineral secara adil, transparan dan produktif dengan mengutamakan hak-hak rakyat
38
Ibid., Pasal 6.
39
Kata ulayat berasal dari bahasa Minang, berarti “wilayahnya”. Lihat Boedi Harsono,
Hukum Agraria Indonesia, Sejarah………, Op.Cit., hal. 83.
40
Masyarakat adat adalah masyarakat yang timbul secara spontan di wilayah tertentu dengan rasa solidaritas yang besar diantara anggota dan memandang yang bukan anggota sebagai orang luar. Penggunaan wilayahnya sebagai sumber kekayaan yang dapat dimanfaatkan sepenuhnya oleh anggotanya. Pemanfaatan oleh orang luar harus mendapat izin dan pemberian imbalan tertentu berupa recognisi, Lihat dalam Maria. S.W. Sumardjono, Hak Ulayat dan Pengakuannya Dalam
UUPA, (Jakarta: Kompas, 13 Mei 1993), hal. 4.
41
Undang-Undang Nomor 25 Tahun 2000 tentang Program Pembangunan Nasional
setempat, termasuk hak ulayat masyarakat adat dengan tetap menjaga kelestarian
fungsi lingkungan hidup.42
Terkait dengan dimulainya era desentralisasi, maka dalam rangka
pembangunan daerah, di samping aspek ruang, maka sebagian besar kegiatan
masyarakat berkaitan dengan tanah yang merupakan aset bagi perorangan, badan
usaha, dan publik yang wajib diakui. Pada saat ini masalah pengelolaan atau
administrasi pertanahan dilakukan oleh pemerintah untuk menjamin ketertiban proses
sertifikasi status tanah, penguasaan penggunaan, dan pengalihan pemilikan tanah,
penguasaan penggunaan, dan pengalihan pemilikan tanah. Peran pemerintah sangat
penting untuk menjamin kepastian hukum, kelancaran penggunaan tanah oleh semua
anggota masyarakat untuk berbagai kepentingan. Hal ini dilakukan dengan
mengembangkan kebijakan pertanahan untuk meningkatkan pemanfaatan dan
penggunan tanah secara adil, transparan dan produktifitas dengan mengutamakan
hak-hak rakyat setempat, termasuk hak ulayat dan masyarakat adat, serta berdasarkan
tata ruang wilayah yang serasi dan seimbang.
Untuk melaksanakan amanat GBHN 1999-2004, program pembangunan
prioritas untuk mempercepat pengembangan wilayah di bidang pertanahan adalah
dengan “Program Pengelolaan Pertanahan”. Tujuan dari program ini adalah
mengembangkan administrasi pertanahan untuk meningkatkan pemanfaatan dan
penguasaan tanah secara adil dengan mengutamakan hak-hak rakyat setempat
termasuk hak ulayat masyarakat hukum adat dan meningkatkan kapasitas
42
kelembagaan pengelolaan pertanahan di pusat dan daerah. Sasaran yang ingin dicapai
adalah adanya kepastian hukum terhadap hak milik atas tanah; dan terselenggaranya
pelayanan pertanahan bagi masyarakat secara efektif oleh setiap pemerintah daerah
dan berdasarkan pada peraturan dan kebijakan pertanahan yang berlaku secara
nasional.43 Adapun kegiatan pokok yang dilakukan adalah (1) peningkatan pelayanan
pertanahan di daerah yang didukung sistem informasi pertanahan yang andal; (2)
penegakan hukum pertanahan secara konsisten; (3) penataan penguasaan tanah agar
sesuai dengan rasa keadilan; (4) pengendalian penggunaan tanah sesuai dengan
rencana tata ruang wilayah termasuk pemantapan sistem perizinan yang berkaitan
dengan pemanfaatan ruang atau penggunaan tanah didaerah; dan (5) pengembangan
kapasitas kelembagaan pertanahan di pusat dan daerah.44
2. Konsepsi
Dalam penelitian ini terdapat beberapa konsep dan terminologi yang perlu
untuk dijelaskan secara lebih rinci serta diberikan batasan dalam definisinya.
Penjelasan dan pemberian dimaksudkan untuk memberikan definisi atau gambaran
yang sama tentang konsep dan terminologi yang berhubungan topik pada penelitian
ini. Kerangka konsep yang digunakan dalam penulisan ini berasal dari
undang-undang dan pendapat ahli. Beberapa definisi dan batasan yang dapat digunakan
sebagai pedoman operasional dalam penulisan ini antara lain sebagai berikut :
43
Ibid.
44
1. Pemerintah adalah Presiden Republik Indonesia yang memegang kekuasaan
pemerintahan negara Republik Indonesia sebagaimana dimaksud dalam
Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945.45
2. Pemerintahan Daerah adalah penyelenggaraan urusan pemerintahan oleh
pemerintah daerah dan DPRD menurut asas otonomi dan tugas pembantuan
dengan prinsip otonomi seluas-luasnya dalam sistem dan prinsip Negara Kesatuan
Republik Indonesia sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang Dasar Negara
Republik Indonesia tahun 1945.
Dalam hal ini
Pemerintah ialah seluruh aparat dari unit Pemerintah, baik yang berada di pusat
pemerintahan negara maupun instansi vertikal yang ada di daerah.
46
Pemerintah Daerah adalah Gubernur, Bupati,
atau Walikota, dan perangkat daerah sebagai unsur penyelenggara pemerintahan
daerah.47
3. Pembagian urusan pemerintah adalah pembagian kewenangan dalam
melaksanakan urusan pemerintahan (bukan merupakan pembagian kedaulatan).48
4. Kewenangan adalah kemampuan yuridis dari orang atau badan berdasarkan
hukum publik.49
45
Pasal 1 angka 1, Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah
(Lembaran Negara Tahun 2004 Nomor 125, Tambahan Lembaran Negara Nomor 4437) sebagaimana telah diubah dengan Peraturan Pe