• Tidak ada hasil yang ditemukan

PENGATURAN KEWENANGAN KANTOR WILAYAH BADAN PERTANAHAN NASIONAL PROVINSI SUMATERA UTARA DALAM MENYELESAIKAN SENGKETA PERTANAHAN

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2022

Membagikan "PENGATURAN KEWENANGAN KANTOR WILAYAH BADAN PERTANAHAN NASIONAL PROVINSI SUMATERA UTARA DALAM MENYELESAIKAN SENGKETA PERTANAHAN"

Copied!
30
0
0

Teks penuh

(1)

B A B II

PENGATURAN KEWENANGAN KANTOR WILAYAH BADAN PERTANAHAN NASIONAL PROVINSI SUMATERA UTARA DALAM

MENYELESAIKAN SENGKETA PERTANAHAN

A. Pengaturan Kewenangan Penyelesaian Sengketa Pertanahan

Pasal 1 ayat (3) Undang Undang dasar 1945 menegaskan bahwa Negara Indonesia sebagai suatu negara hukum. Negara hukum berpijak pada empat prinsip cita hukum, yakni melindungi semua unsur bangsa (nation) demi keutuhan (integrasi), mewujudkan keadilan sosial dalam bidang ekonomi dan kemasyarakatan, mewujudkan kedaulatan rakyat (demokrasi) dan negara hukum (monokrasi), dan menciptakan toleransi atas dasar kemanusiaan dan berkeadilan dalam hidup beragama.42

Dalam prakteknya, negara hukum juga dimaknai bahwa segala aktifitas kenegaraan dari lembaga-lembaga negara maupun aktivitas kemasyarakatan dari seluruh warga negara didasarkan pada hukum.

Bidang pertanahan sebagai salah satu bidang yang mengatur tata kehidupan warga negara juga harus didasarkan pada hukum, yakni Hukum Agraria/Pertanahan.

Dasar pengaturan dari Hukum Agraria/Pertanahan tersebut adalah Pasal 33 ayat (3) UUD 1945 yang menyatakan “bumi, air dan kekayaan alam yang terkandung di

42Mahfud MD, Membangun Politik Hukum, Menegakkan Konstitusi, (Jakarta : LP3ES: 2006), halaman 18

(2)

dalamnya dikuasai oleh Negara dan dipergunakan untuk sebesar-besar kemakmuran rakyat”.

Aturan dasar tersebut kemudian dioperasionalkan dengan penerbitan Undang- undang Nomor 5 tahun 1960 tentang Peraturan Dasar Pokok-pokok Agraria atau disebut juga Undang-Undang Pokok Agraria (UUPA), kemudian ditindaklanjuti dengan penerbitan peraturan pelaksanaannya baik dalam bentuk undang-undang, peraturan pemerintah, peraturan presiden, keputusan presiden, peraturan menteri atau pejabat yang mengatur bidang pertanahan dan lain-lain.

UUPA sebagai peraturan di bidang agraria/pertanahan mengatur berbagai hal dalam pengelolaan sumber daya agraria, antara lain pengaturan penguasaan, penggunaan, peruntukan dan pemanfaatan tanah, pengaturan mengenai hubungan- hubungan hukum dan perbuatan-perbuatan hukum antara orang dengan bidang- bidang tanah, pengaturan mengenai rencana umum dalam penatagunaan tanah, pengaturan pemberian jaminan kepastian hukum atas pemilikan dan penguasaan tanah dan lain-lain.

Selain pengaturan mengenai hal-hal tersebut di atas, UUPA juga dinilai memiliki jiwa dan semangat yang tetap relevan dengan tuntutan perkembangan zaman sebab undang-undang tersebut masih dapat menampung dan menyelesaikan berbagai masalah kekinian yang muncul, relevansi tersebut terkait erat dengan

(3)

beberapa asas yang dimilikinya seperti asas fungsi sosial, asas landreform dan asas perencanaan penggunaan tanah untuk kesejaheraan bersama.43

Tujuan pokok dari UUPA itu sendiri sebagaimana disebutkan dalam Memori Penjelasan adalah :

1. Meletakkan dasar-dasar bagi penyusunan hukum agraria nasional yang akan merupakan alat untuk membawakan kemakmuran, kebahagiaan dan keadilan bagi negara dan rakyat, terutama rakyat tani, dalam rangka masyarakat adil dan makmur;

2. Meletakkan dasar-dasar untuk mengadakan kesatuan dan kesederhanaan dalam hukum pertanahan;

3. Meletakkan dasar-dasar untuk memberikan kepastian hukum mengenai hak hak atas tanah bagi rakyat seluruhnya.

Dengan menyimak tujuan pokok UUPA tersebut maka sejalan dengan cita hukum dari negara hukum, karena teori negara hukum menjunjung tinggi adanya sistem hukum yang menjamin kepastian hukum dan perlindungan hak-hak rakyat, termasuk hak-hak rakyat atas sumber daya agraria.44

Kemudian dalam penentuan mengenai hak-hak rakyat dan juga kewenangan- kewenangan dalam bidang keagrariaan/pertanahan, termasuk dalam memberikan kepastian dan perlindungan akan hak-hak rakyat, dijamin dan dijalankan oleh Negara

43Moh. Mahfud MD, Pergulatan Politik dan Hukum di Indonesia, (Yogyakarta : Gama Media, 1999), hal. 115)

44Ida Nurlinda, Prinsip-prinsip Pembaruan Agraria, Perspektif Hukum (Jakarta : Rajawali Pers, 2009), halaman 14

(4)

(Pemerintah) dengan sesuatu hak yang disebut Hak Menguasai Negara. Kewenangan dari Negara dengan Hak Menguasai Negara sebagaimana diatur dalam Pasal 2 ayat (2) UUPA, yakni :

a. Mengatur dan menyelenggarakan peruntukan, penggunaan, persediaan dan pemeliharaan bumi, air dan ruang angkasa;

b. Menentukan dan mengatur hubungan-hubungan hukum antara orang dengan bumi, air dan ruang angkasa;

c. Menentukan dan mengatur hubungan-hubungan hukum antara orang dengan perbuatan-perbuatan hukum yang mengenai bumi, air dan ruang angkasa.

Dengan adanya kewenangan tersebut, maka Negara melalui organisasi kekuasaannya yakni Pemerintah ditentukan adanya kewenangan untuk memberikan sesuatu hak atas tanah kepada perorangan dan badan hukum. Pemberian hak-hak atas tanah tersebut juga sekaligus menyelesaikan setiap perselisihan maupun persengketaan hak atas tanah merupakan pula sebagian dari tugas Pemerintah di dalam fungsi administrasi.45

Dengan melaksanakan asas dan ketentuan serta dengan tetap pada tujuan yang ingin dicapai oleh UUPA, termasuk di dalamnya adanya Hak Menguasai Negara yang memberikan kewenangan kepada Pemerintah sebagaimana diatur dalam Pasal 2 ayat (2) UUPA, maka segala permasalahan/sengketa menyangkut pengelolaan pertanahan

45Rusmadi Murad, Penyelesaian Sengketa Hukum Atas Tanah, (Bandung : Alumni, 1991), hal. 14

(5)

akan dapat diatasi dan ditangani oleh Negara melalui Pemerintah dengan kewenangan tersebut.

Oleh karena itu dapat dipahami bahwa UUPA sama sekali tidak menyinggung tentang sengketa pertanahan, demikian juga dengan susunan organisasi Departemen Agraria tidak ada bidang yang mengurusi sengketa pertanahan, karena dengan semangat UUPA yang mendahulukan kepentingan rakyat atau segala sesuatunya dengan tujuan untuk mencapai sebesar-besar kemakmuran rakyat dalam rangka masyarakat adil dan makmur, maka hasil yang diharapkan tidak akan timbul sengketa pertanahan dan kalaupun ada sengketa pertanahan yang muncul akan dapat diselesaikan dengan program-progran pertanahan yang ada.

Hanya saja dalam perjalananannya, UUPA sebagai peletak aturan dasar-dasar pengelolaan pertanahan masih harus dilengkapi dengan peraturan pelaksanaannya terutama dalam menjawab berbagai tuntutan kebutuhan pembangunan dan segala permasalahan yang timbul di masyarakat.

Akan tetapi sejauh menyangkut pembuatan peraturan-peraturan pelaksanaan, ternyata Pemerintah melakukannya dengan lambat sehingga yang muncul adalah peraturan perundang-undangan yang bersifat tambal sulam, juga peraturan yang dibuat banyak yang berorientasi pada paradigma pertumbuhan ekonomi dan berlawanan dengan jiwa hukum UUPA serta tidak dijalankannya peraturan mengenai penataan struktur pemilikan dan penguasaan tanah (landreform).46

46Ibid., hal. 113-114

(6)

Akibat dari semua itu, yang semula pembuat UUPA bermaksud untuk membawa rakyat ke arah keadilan sosial, kemakmuran dan kemajuan melalui penataan penguasaan, peruntukan, pengelolaan dan pemanfaatan sumber-sumber agraria, ternyata belakangan Pemerintah memberikan ijin-ijin dan hak-hak pemanfaatan di atas bidang tanah untuk perusahaan bermodal besar atau proyek- proyek pembangunan yang dijalankan oleh Pemerintah dan pada gilirannya tersingkirkanlah akses dan kontrol rakyat terhadap tanah dan sumber daya alam yang telah dimanfaatkannya, sehingga menimbulkan sengketa agraria/ pertanahan.47

Sengketa agraria/pertanahan yang semula bentuknya terjadi karena hubungan- hubungan sosial internal desa seperti pertentangan antara tuan tanah dengan buruh tani atau antara petani dengan pangreh/pamong-praja soal penarikan pajak, belakangan timbul karena hubungan-hubungan sosial yang bersumber dari eksternal, yakni konflik berhadap-hadapan dengan pihak luar desa, baik modal besar maupun pemerintah.48

Begitu juga pemberian jaminan kepastian hukum atas pemilikan tanah rakyat melalui kegiatan pendaftaran tanah sebagaimana yang dicitakan oleh negara hukum dan juga telah diamanatkan dalam Pasal 19 UUPA, ternyata belum sepenuhnya dapat dilaksanakan, sebab sampai tahun 2006 baru sekitar 30% dari 85 juta bidang tanah

47 Noer fauzi, Keadilan Agraria di Masa Transisi, dalam buku Prinsip-prinsip Reforma Agraria, Jalan Penghidupan dan Kemakmuran Rakyat, (Yogyakarta : Lapera Pustaka Utama, 2001), hal 141.

48Noer Fauzi, Penghancuran Populisme dan Pembangunan Kapitalisme, dalam buku Prinsip- prinsip Reforma Agraria, Jalan Penghidupan dan Kemakmuran Rakyat, (Yogyakarta : Lapera Pustaka Utama, 2001), hal 211

(7)

yang terdaftar,49 sehingga banyak masalah/sengketa pertanahan yang timbul akibat pemerintah belum dapat melaksanakan pendaftaran untuk seluruh bidang tanah yang ada di Indonesia sesuai dengan yang diintruksikan dalam Pasal 19 UUPA dan Peraturan Pemerintah Nomor 10 tahun 1961 yang direvisi dengan Nomor 24 tahun 1997 tentang Pendaftaran Tanah.

Oleh karena ketentuan peraturan perundang-undangan di bidang keagrariaan tersebut ada yang belum lengkap, ada yang diterbitkan tetapi tidak sesuai dengan semangat UUPA dan hanya mengakomodasi kepentingan pemilik modal, serta ada yang sudah dibuat tetapi tidak dapat dilaksanakan seperti perintah untuk melakukan pendaftaran tanah di seluruh wilayah Indonesia, maka Pemerintah tidak sepenuhnya dapat melindungi kepentingan masyarakat terutama menyangkut kepemilikan tanah rakyat sehingga timbullah sengketa, sebab pada asasnya hukum itu sendiri berfungsi sebagai perlindungan kepentingan manusia. Agar kepentingan manusia terlindungi, hukum harus dilaksanakan.50

Pelaksanaan hukum itu sendiri bisa dalam bentuk penyelesaian perselisihan antara para pihak yang bersengketa dan diputus oleh lembaga peradilan. Sengketa pertanahan yang diselesaikan oleh lembaga peradilan biasanya menyangkut kepemilikan antara pihak-pihak yang merasa berhak atas suatu bidang tanah tertentu maupun menyangkut gugatan atas diterbitkan atau tidak diterbitkannya keputusan tata

49Pidato Joyo Winoto, Kepala Badan Pertanahan Nasional pada pembukaan Simposium dan Sarasehan Nasional di Hotel Tiara Medan, tanggal 13 Nopember 2006

50Sudikno Mertokusumo, Mengenal Hukum Suatu Pengantar, (Yogyakarta : Liberty, 1995), hal. 140

(8)

usaha negara oleh pejabat yang berwenang yang terkait dengan produk-produk tata usaha negara di bidang pertanahan .

Sungguhpun dalam UUPA sama sekali tidak menyinggung mengenai sengketa pertanahan, akan tetapi sengketa pertanahan tersebut disadari sebagai sesuatu yang akan ada dalam masyarakat, hal tersebut telah diprediksi oleh Pemerintah dengan membuat aturan sebagaimana ditentukan dalam Pasal 29 Peraturan Pemerintah Nomor 10 tahun 1961 tentang Pendaftaran Tanah yang mengatur bahwa Kepala Kantor Pertanahan mencatat hapusnya sesuatu hak, jika kepadanya disampaikan antara lain salinan surat keputusan hakim yang mempunyai kekuatan hukum untuk dijalankan atau salinan surat keputusan pejabat yang berwenang untuk membatalkan hak itu dan yang menyatakan pencabutan hak itu untuk kepentingan umum.

Menyadari akan timbulnya sengketa agraria/pertanahan baik karena adanya sengketa hak/kepemilikan atas tanah yang ditangani oleh lembaga peradilan, sengketa yang diakibatkan oleh ekses pembangunan dan juga sebagai akibat tidak dilaksanakannya Hukum Agraria termasuk tidak berjalannya program pendaftaran tanah, maka Pemerintah di bawah Presiden Soeharto yang diberi kewenangan untuk mengelola bidang pertanahan, melaksanakan berbagai program untuk menyelesaikannya, antara lain dengan menerbitkan Keputusan Menteri Dalam Negeri Nomor 189 tahun 1981 jo. Nomor 220 tahun 1981 tentang Proyek Operasi Nasional Agraria (PRONA) di seluruh Indonesia yang tujuan utamanya adalah melaksanakan program pensertipikatan tanah secara massal di seluruh Indonesia dengan

(9)

mengutamakan golongan ekonomi lemah dan menyelesaikan secara tuntas sengketa- sengketa tanah yang bersifat strategis.51

Dalam konsiderans ”Menimbang” peraturan tersebut dinyatakan bahwa pensertipikatan massal itu bertujuan untuk menjamin kepastian hukum bagi penguasaan dan pemilikan tanah sebagai bukti yang kuat, pengelakan sengketa tanah dan untuk mengurangi kerawanan / kepekaan di bidang pertanahan, sebagai usaha untuk menciptakan stabilitas sosial politik di kalangan masyarakat.52

Setelah adanya keputusan Menteri Dalam Negeri tersebut, maka sejak saat itulah disadari sepenuhnya oleh Pemerintah akan adanya sengketa pertanahan yang dapat mengganggu stabilitas nasional sehingga perlu mendapat perhatian Pemerintah dan salah satu solusinya dengan percepatan pensertipikatan tanah secara massal melalui PRONA tersebut .

Untuk penanganan sengketa pertanahan tersebut, selain dengan melaksanakan percepatan pensertipikatan tanah melalui Program PRONA, juga dilakukan dengan cara-cara yang bersifat taktis, seperti menerbitkan Peraturan Menteri Negara Agraria/Kepala Badan Pertanahan Nasional Nomor 1 tahun 1999 tanggal 29 Januari 1999 tentang Tata Cara Penanganan Sengketa Pertanahan.

Latar belakang diterbitkannya peraturan tersebut sebagaimana disebutkan dalam konsiderans ”Menimbang ” adalah meningkatnya kebutuhan tanah untuk

51AP. Parlindungan, Komentar Atas Undang Undang Pokok Agraria (Bandung : Mandar Maju, 1998), hal 131

52AP. Parlindungan, Pendaftaran Tanah di Indonesia (Bandung : Mandar Maju, 1994), hal.

38.

(10)

keperluan pembangunan meningkat pula sengketa pertanahan yang disampaikan ke Kantor Menteri Negara Agraria/Kepala Badan Pertanahan Nasional, untuk mempercepat penyelesaian sengketa pertanahan tersebut dipandang perlu untuk mengatur tata cara penanganannya secara terkoordinasi antar unit kerja di lingkungan Kantor Menteri Negara Agraria/Kepala Badan Pertanahan Nasional.

Penanganan masalah sengketa pertanahan tersebut adalah dengan membentuk unit kerja prosedural yang keanggotaannya berasal dari unit kerja struktural di lingkungan Kantor Menteri Negara Agraria/Kepala Badan Pertanahan Nasional.

Artinya Tim tersebut dibentuk secara internal saja tanpa melibatkan instansi atau pihak luar.

Sedangkan penanganan sengketa di Kantor Wilayah Badan Pertanahan Nasional Provinsi ditugaskan kepada Kepala Bidang Hak Atas Tanah yang dibantu oleh satu tim sesuai dengan klasifikasi masalah pertanahan yang ditanganinya.

Penanganan sengketa pertanahan dengan membentuk Tim khusus tersebut tentunya baru bersifat prosedural dan tentunya tidak cukup hanya pada terbentuknya Tim-tim khusus dimaksud, tetapi harus diikuti oleh aksi nyata dari Tim tersebut pada tataran empiris dan harus ada peningkatan yang diperoleh dari hasil kerja Tim bila dibandingkan dengan penanganan yang dilakukan tanpa pembentukan Tim.

Hingga saat ini tidak diperoleh data yang komprehensif mengenai hasil kerja Tim tersebut, sehingga sulit mengukur keberhasilan dan kegagalan kerja Tim dalam penanganan sengketa pertanahan di Indonesia.

(11)

B. Kelembagaan yang Menangani Sengketa Pertanahan

Dengan adanya perhatian Pemerintah untuk menangani sengketa pertanahan yang timbul di masyarakat, bahkan dengan terus meningkatnya permasalahan yang muncul di bidang pertanahan, maka Pemerintah juga mengambil kebijakan strategis yakni instansi yang menangani bidang keagrariaan/pertanahan tersebut ditingkatkan status kelembagaannya.

Bila selama ini instansi yang menangani masalah pertanahan hanya setingkat Direktorat Jenderal Agraria pada Kementerian Dalam Negeri sehingga terkendala dalam melaksanakan koordinasi dengan instansi terkait terutama dalam penanganan sengketa pertanahan, maka Pemerintah Orde Baru mengambil kebijakan dengan meningkatkan statusnya menjadi Lembaga Pemerintah Non-Departemen (LPND) yang berkedudukan dan bertanggung jawab langsung kepada Presiden yang disebut dengan Badan Pertanahan Nasional, yang dibentuk dengan Keputusan Presiden Nomor 26 tahun 1988 tentang Badan Pertanahan Nasional .

Dalam konsideran Menimbang dari Keputusan Presiden tersebut dinyatakan bahwa dalam pelaksanaan pembangunan nasional, adanya kebutuhan, penguasaan dan penggunaan tanah pada umumnya termasuk untuk kepentingan pembangunan dirasakan makin meningkat, yang diikuti pula meningkatnya permasalahan yang timbul di bidang pertanahan. Untuk dapat menyelesaikan permasalahan di bidang pertanahan secara tuntas, maka dipandang perlu meninjau kembali kedudukan, tugas dan fungsi Direktorat Jenderal Agraria Departemen Dalam Negeri dan

(12)

meningkatkannya menjadi suatu lembaga yang menangani bidang pertanahan secara nasional.

Dalam Keputusan Presiden tersebut, ditegaskan bahwa Badan Pertanahan Nasional bertugas membantu Presiden dalam mengelola dan mengembangkan administrasi pertanahan, baik berdasarkan Undang Undang Pokok Agraria maupun peraturan perundang-undangan lain yang meliputi pengaturan, penggunaan, penguasaan dan pemilikan tanah, pengurusan hak-hak atas tanah dan lain-lain yang berkaitan dengan masalah pertanahan berdasarkan kebijaksanaan yang ditetapkan oleh Presiden.

Ditetapkan juga dalam Kuputusan Presiden tersebut bahwa struktur organisasi Badan Pertanahan Nasional, yakni terdapat satu orang Kepala dan lima Kedeputian, salah satu Kedeputian diberi nama Deputi Bidang Hak-Hak Tanah.

Pada Pasal 16 Keputusan Presiden tersebut ditentukan bahwa Deputi Bidang Hak Hak Tanah menyelenggarakan fungsi antara lain menyelesaikan sengketa hukum di bidang pertanahan serta kegiatan penerbitan hak atas tanah.

Ditentukan juga bahwa sebagai perpanjangan tangan Badan Pertanahan Nasional di daerah, dibentuk Kantor Wilayah Badan Pertanahan Nasional di Provinsi dan Kantor Pertanahan di Kabupaten/Kota dengan kedudukan sebagai instansi vertikal.

Berdasarkan Keputusan Kepala Badan Pertanahan Nasional Nomor 1 tahun 1989 tanggal 31 Januari 1989 tentang Organisasi dan Tata Kerja Kantor Wilayah Badan Pertanahan Nasional di Provinsi dan Kantor Pertanahan di

(13)

Kabupaten/Kotamadya ditentukan bahwa struktur organisasi Kantor Wilayah Badan Pertanahan Nasional Provinsi terdiri dari satu Kepala, satu Bagian Tata Usaha dan 4 (empat) Bidang.

Salah satunya adalah Bidang Hak Hak Atas Tanah yang mempunyai fungsi antara lain menyiapkan telaahan penyelesaian masalah pertanahan. Kemudian Bidang Hak Hak Tanah tersebut membawahi 4 (empat) seksi, yakni Seksi Pengurusan Hak Tanah Perorangan, Seksi Pengurusan Hak Badan Hukum, Seksi Pengadaan Tanah Instansi Pemerintah dan Seksi Penyelesaian Masalah Pertanahan.

Adapun Seksi Penyelesaian Masalah Pertanahan tersebut mempunyai tugas menyiapkan telaahan dan melakukan kegiatan penyelesaian masalah pertanahan.

Keputusan Kepala Badan Pertanahan Nasional Nomor 1 tahun 1989 tersebut ditindaklanjuti dengan Keputusan Kepala Badan Pertanahan Nasional Nomor 6 tahun 1993 tentang Uraian Tugas Sub Bagian dan Seksi pada Kantor Wilayah Badan Pertanahan Nasional di Provinsi dan Uraian Tugas Sub Bagian, Seksi dan Urusan serta Sub Seksi pada Kantor Pertanahan di Kabupaten/Kotamadya.

Dalam Pasal 20 Keputusan Kepala Badan Pertanahan Nasional Nomor 6 tahun 1993 tersebut, uraian tugas Seksi Penyelesaian Masalah Pertanahan adalah sebagai berikut :

a. Membantu Kepala Bidang Hak-hak atas tanah dalam melaksanakan tugas di bidang penelahaan dan penyelesaian masalah pertanahan;

b. Menyampaikan saran-saran dan atau pertimbangan-pertimbangan kepada Kepala Bidang Hak hak atas Tanah tentang langkah-langkah atau tindakan yang perlu diambil di bidang penyelesaian masalah pertanahan;

(14)

c. Menghimpun dan mempelajari peraturan perundang-undangan, kebijaksanaan, pedoman dan petunjuk teknis serta bahan-bahan lainnya yang berhubungan dengan bidang tugasnya sebagai pedoman dan landasan kerja;

d. Membuat rencana kegiatan yang akan dilaksanakan oleh Seksi Penyelesaian Masalah Pertanahan sebagai pedoman pelaksanaan tugas serta melaksanakan monitoring pelaksanaannya;

e. Mempersiapkan bahan-bahan dalam rangka pelaksanaan kebijaksanaan, pedoman dan petunjuk teknis di bidang penyelesaian masalah pertanahan;

f. Mengumpulkan, menghimpun dan mensistematisasikan / mengolah data dan informasi yang berhubungan dengan bidang penyelesaian masalah pertanahan;

g. Melakukan invetarisasi permasalahan dan mengumpulkan bahan-bahan dalam rangka pemecahan masalah di bidang penyelesaian masalah pertanahan;

h. Melakukan hubungan kerja dalam rangka kelancaran pelakanaan tugasnya dengan Seksi di lingkungan Bidang Hak hak atas Tanah Kantor Wilayah BPN dan unit kerja yang terkait di lingkungan Kantor Wilayah BPN;

i. Menerima laporan-laporan, gugatan-gugatan, menyiapkan bahan, memori jawaban dan memori kasasi, memori banding dan peninjauan kembali atas perkara yang diajukan melalui pengadilan terhadap perorangan dan badan hukum yang merugikan negara, serta menyiapkan konsep surat penyelesaian sengketa tanah;

j. Menyiapkan telaahan dan mengolah data untuk penyelesaian perkara di bidang pertanahan;

k. Menyiapkan konsep surat keputusan, jawaban, duplik, bukti-bukti, kesimpulan dan memori / kontra memori banding, kasasi dan peninjauan kembali atas gugatan yang diajukan melalui pengadilan umum dan Pengadilan Tata Usaha Negara oleh perorangan atau badan hukum swasta / pemerintah yang merasa haknya / kepentingannya dirugikan;

l. Melakukan pengumpulan data sengketa tanah dan menelaah serta menyiapkan konsep surat keputusan mengenai penyelesaian sengketa tanah;

m. Melakukan pengumpulan data dan mengolah masalah atas tanah yang belum ada haknya dalam rangka pemberian atau penguasaan atas tanah;

n. Menyimpan dan memelihara serta menyajikan data di bidang pengurusan hak atas tanah;

o. Menghadiri sidang-sidang di pengadilan sehubungan dengan permasalahan pertanahan sesuai dengan panggilan yang diterima dari pihak pengadilan apabila BPN digugat atau sebagai saksi ahli;

p. Melaksanakan evaluasi dan menyusun laporan pelaksanaan pekerjaan di bidang penyelesaian masalah pertanahan;

q. Melakukan tugas-tugas lain yang diberikan oleh Kepala Bidang Hak hak atas Tanah sesuai dengan bidang tugasnya.

(15)

Namun dengan makin banyaknya sengketa pertanahan, maka untuk penanganannya, Menteri Negara Agraria/Kepala Badan Pertanahan Nasional menerbitkan Peraturan Menteri Negara Agraria/Kepala Badan Pertanahan Nasional Nomor 1 tahun 1999 tanggal 29 Januari 1999 tentang Tata Cara Penanganan Sengketa Pertanahan, yakni dengan membentuk unit kerja prosedural yang keanggotaannya berasal dari unit kerja struktural di lingkungan Kantor Menteri Negara Agraria/Kepala Badan Pertanahan Nasional. Khusus di Kantor Wilayah Badan Pertanahan Nasional Provinsi ditugaskan kepada Kepala Bidang Hak Atas Tanah yang dibantu oleh beberapa tim sesuai dengan klasifikasi masalah pertanahan yang ditanganinya.

Keadaan adanya sub-unit berupa Seksi yang menangani masalah/sengketa pertanahan yang berada di bawah unit Hak hak atas Tanah sebagaimana diatur dalam Keputusan Presiden Nomor 26 tahun 1988 dan Keputusan Kepala Badan Pertanahan Nasional Nomor 1 tahun 1989 dan Nomor 6 tahun 1993 serta Peraturan Menteri Negara Agraria/Kepala Badan Pertanahan Nasional Nomor 1 tahun 1999 tersebut, berlanjut dengan diterbitkannya beberapa peraturan berkaitan dengan tuntutan otonomi daerah terutama setelah berlakunya Undang Undang Nomor 22 tahun 1999 tentang Pemerintahan Daerah yang dalam Pasal 11 ayat (2) dinyatakan bahwa urusan pertanahan merupakan salah satu bidang pemerintahan yang wajib dilaksanakan oleh Daerah. Artinya urusan pertanahan yang selama ini dilaksanakan oleh instansi BPN wajib dilimpahkan wewenangnya kepada Pemerintah Kabupaten/Kota.

(16)

Berkaitan dengan diterbitkannya Undang Undang Nomor 22 Tahun 1999 tersebut maka terjadi kebingungan di lingkungan Badan Peranahan Nasional, sehingga Pemerintah mengambil kebijakan dengan menerbitkan Keputusan Presiden Nomor 10 tahun 2001 tentang Pelaksanaan Otonomi Daerah di Bidang Pertanahan, yang menegaskan bahwa sebelum ditetapkan peraturan yang baru berdasarkan Peraturan Pemerintah Nomor 25 tahun 2000 tentang Kewenangan Pemerintah dan Kewenangan Provinsi sebagai Daerah Otonom, pelaksanaan otonomi daerah di bidang pertanahan, berlaku peraturan, keputusan, instruksi dan surat edaran Menteri Negara Agraria/Kepala Badan Pertanahan Nasional yang telah ada.

Selanjutnya dengan Keputusan Presiden Nomor 95 tahun 2000 tentang Badan Pertanahan Nasional yang ditindaklanjuti dengan Keputusan Kepala Badan Pertanahan Nasional Nomor 6 tahun 2001 tentang Organisasi dan Tata Kerja Badan Pertanahan Nasional, diadakan perombakan dari nomenkalur Badan Pertanahan Nasional, misalnya Deputi Bidang Hak hak atas Tanah diganti menjadi Deputi Bidang Pengkajian dan Hukum Pertanahan yang membawahi Direktorat Pengurusan Hak hak Atas Tanah, Direktorat Pengadaaan Tanah Instansi Pemerintah dan Direktorat Hukum Pertanahan. Dalam Direktorat Hukum Pertanahan inilah diberikan tugas dalam penyelesaian masalah pertanahan.

Oleh karena tuntutan otonomi daerah tidak dapat dibendung lagi serta dengan memperhatikan perkembangan kondisi yang ada pada saat itu, maka diterbitkanlah

(17)

Keputusan Presiden Nomor 34 Tahun 2003 tentang Kebijakan Nasional di Bidang Pertanahan.53

Perkembangan selanjutnya, diterbitkanlah Undang Undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah yang merupakan revisi dari Undang Undang Nomor 22 Tahun 1999. Pada Pasal 14 ayat (1) huruf k Undang Undang Nomor 32 Tahun 2004 diatur bahwa urusan wajib yang menjadi kewenangan Pemerintah Daerah untuk Kabupaten/Kota merupakan urusan yang berskala Kabupaten/Kota antara lain meliputi pelayanan pertanahan. Apabila pelayanan pertanahan tersebut termasuk lintas Kabupaten/Kota atau merupakan urusan dalam skala provinsi maka berdasarkan Pasal 13 ayat (1) huruf k menjadi urusan wajib yang menjadi kewenangan Pemerintah Daerah Provinsi.

Sekalipun telah diatur dalam undang-undang, namun bidang pertanahan tetap belum dapat diotonomkan, hal ini berkaitan dengan diterbitkannya Peraturan Presiden Nomor 10 tahun 2006 tentang Badan Pertanahan Nasional, yang dengan tegas menyatakan bahwa Badan Pertanahan Nasional adalah Lembaga Pemerintah Non- Departemen yang berada di bawah dan bertanggung jawab kepada Presiden yang

53 Ketentuan dalam Pasal 2 Keputusan Presiden tersebut menayatakan bahwa sebagian kewenangan Pemerintah di bidang pertanahan dilaksanakan oleh Pemerintah Kabupaten/Kota, yaitu kewenangan yang berkaitan dengan : 1) pemberian ijin lokasi; 2) penyelenggaraan pengadaan tanah untuk kepentingan pembangunan; 3) penyelesaian sengketa tanah garapan; 4) penyelesaian masalah ganti kerugian dan santunan tanah untuk pembangunan; 5) penetapan subyek dan obyek redistribusi tanah serta ganti kerugian tanah kelebihan maksimum dan tanah absentee; 6) penetapan dan penyelesaian masalah tanah ulayat; 7) pemanfaatan dan penyelesaian masalah tanah kosong; 8) pemberian ijin membuka tanah dan ; 9) perencanaan penggunaan tanah wilayah Kabupaten/Kota.

(18)

bertugas melaksanakan tugas pemerintahan di bidang pertanahan secara nasional, regional dan sektoral.

Dalam aturan peralihannya antara lain dinyatakan bahwa seluruh satuan organisasi di lingkungan Badan Pertanahan Nasional, Kantor Wilayah Badan Pertanahan Nasional Provinsi, Kantor Pertanahan Kabupaten/Kota tetap melaksanakan tugas dan fungsi Badan Pertanahan Nasional.

Dengan demikian, pada struktur organisasi Kantor Wilayah Badan Pertanahan Nasional Provinsi terdapat satu sub unit kerja yang berada di bawah unit Hak hak atas Tanah yang diberi nama Seksi Penyelesaian Masalah Pertanahan yang diberikan kewenangan untuk melakukan telaahan dan melakukan kegiatan penyelesaian masalah pertanahan, artinya selain melakukan pengkajian dari sudut hukum atas masalah pertanahan yang ada, kewenangan yang diberikan juga dalam hal melakukan aksi nyata dalam mencari penyelesaian atas permasalahan tanah yang timbul.

C. Penguatan kelembagaan yang Menangani Sengketa Pertanahan

Kedudukan satu sub unit kerja yang menangani sengketa atau masalah pertanahan tersebut dengan berada di dalam struktur unit yang menangani hak-hak atas tanah berjalan hingga diterbitkannya Peraturan Presiden Nomor 10 tahun 2006 tentang Badan Pertanahan Nasional.

Sejak penerbitan Keputusan Presiden Nomor 26 tahun 1988 dan Keputusan Kepala Badan Pertanahan Nasional Nomor 1 tahun 1989, maka telah diformalkan satu sub unit kerja yang dicantolkan pada unit yang menangani hak-hak atas tanah yang melakukan tugas dan kewenangan dalam menyelesaikan masalah pertanahan,

(19)

walaupun dengan tingkatan Kepala Seksi pada Kantor Wilayah BPN Provinsi atau pejabatnya setingkat eselon-IV,54namun dengan terbitnya Peraturan Presiden Nomor 10 tahun 2006 tersebut, diambil kebijakan untuk penguatan unit kerja yang berdiri sendiri yang menangani sengketa dan konflik pertanahan dan tidak lagi berada di bawah unit kerja bidang lain.

Dalam konsideran Menimbang Peraturan Presiden Nomor 10 tahun 2006 tersebut antara lain ditentukan bahwa pengaturan dan pengelolaan pertanahan tidak hanya ditujukan untuk menciptakan ketertiban hukum, tetapi juga untuk menyelesaikan masalah, sengketa dan konflik pertanahan yang timbul.

Selanjutnya dalam Pasal 3 Peraturan Presiden Nomor 10 tahun 2006 ditentukan bahwa Badan Pertanahan Nasional menjalankan fungsi antara lain melakukan pengkajian dan penanganan masalah, sengketa, perkara dan konflik di bidang pertanahan.

Untuk menjalankan fungsi tersebut, maka pada Pasal 4 Peraturan Presiden Nomor 10 tahun 2006 ditetapkan susunan organisasi Badan Pertanahan Nasional, terdiri dari Kepala, Sekrataris Utama, lima Kedeputian, dan inspektorat Utama.

Hal yang baru antara lain adalah diadakannya Deputi Bidang Pengkajian dan Penanganan Sengketa dan Konflik Pertanahan (Deputi V), sedang 4 (empat)

54 Sungguhpun sebenarnya adanya Seksi Penyelesaian Masalah Pertanahan tersebut pada dasarnya merupakan kelanjutan dari Surat Keputusan Menteri Dalam Negeri Nomor 72 tahun 1981 tentang Susunan Organisasi dan Tata Kerja Direktorat Agraria Provinsi dan Kantor Agraria Kabupaten/Kotamadya, yakni Pasal 35 khususnya mengenai pembentukan Seksi Bimbingan Teknis dan Penyelesaian Sengketa Hukum yang bertugas memberikan bimbingan teknis di bidang pengurusan hak-hak tanah dan menyelesaikan sengketa hukum yang berhubungan dengan hak-hak tanah.

(Rusmadi Murad, Op.cit., hal. 22)

(20)

kedeputian lagi adalah Deputi Bidang Survey, Pengukuran dan Pemetaan (Deputi-I), Deputi Bidang Hak Tanah dan Pendaftaran Tanah (Deputi-II), Deputi Bidang Pengaturan dan Penataan Pertanahan (Deputi-III) dan Deputi Bidang Pengendalian Pertanahan dan Pemberdayaan Masyarakat (Deputi-IV).

Dengan diadakannya Deputi-V tersebut, maka terjadi peningkatan status unit yang bertugas dalam penanganan sengketa pertanahan tersebut yakni menjadi unit/kedeputian tersendiri, tidak lagi dicantolkan ke dalam unit yang menangani hak- hak atas tanah dan penadaftaran tanah.

Menurut Joyo Winoto, Kepala Badan Pertanahan Nasional RI, dulu kita tidak punya perangkat untuk menangani sengketa dan konflik pertanahan, kini sudah punya pejabat eselon-1 yang menanganinya, juga yang menangani hal tersebut ada di Kantor Wilayah dan Kantor Pertanahan.55

Deputi Bidang Pengkajian dan Penanganan Sengketa dan Konflik Pertanahan tersebut sesuai dengan ketentuan Pasal 21 Peraturan Presiden Nomor 10 tahun 2006 tersebut adalah unsur pelaksana sebagian tugas dan fungsi Badan Pertanahan Nasional di bidang pengkajian dan penanganan sengketa dan konflik pertanahan yang berada di bawah dan bertanggung jawab kepada kepala.

Pasal 22 Peraturan Presiden Nomor 10 tahun 2006 lebih lanjut ditentukan bahwa Deputi Bidang Pengkajian dan Penanganan Sengketa dan Konflik Pertanahan

55 Pidato Joyo Winoto pada Sarasehan Nasional Bidang Pertanahan di Hotel Tiara Medan, tanggal 13 Nopember 2006

(21)

mempunyai tugas merumuskan dan melaksanakan kebijakan di bidang pengkajian dan penanganan sengketa dan konflik pertanahan.

Selanjutnya Pasal 23 Peraturan Presiden Nomor 10 tahun 2006 lebih jelas diuraikan bahwa dalam melaksanakan tugas tersebut, Deputi Bidang Pengkajian dan Penanganan Sengketa dan Konflik Pertanahan menyelenggarakan fungsi :

a. perumusan kebijakan teknis di bidang pengkajian dan penanganan sengketa dan konflik pertanahan;

b. pengkajian dan pemetaan secara sistematis berbagai masalah, sengketa dan konflik pertanahan;

c. penanganan masalah sengketa dan konflik pertanahan secara hukum dan non- hukum;

d. penanganan perkara pertanahan

e. pelaksanaan alternatif penyelesaian masalah, sengketa dan konflik pertanahan melalui bentuk mediasi, fasilitasi dan lainnya;

f. pelaksanaan putusan-putusan lembaga peradilan yang berkaitan dengan pertanahan;

g. penyiapan pembatalan dan penghentian hubungan hukum antara orang, dan / atau badan hukum dengan tanah sesuai dengan ketentuan peraturan perudang- undangan yang berlaku.

Berikutnya diterbitkan Peraturan Kepala Badan Pertanahan Nasional Nomor 4 tahun 2006 tentang Organisasi dan Tata Kerja Kantor Wilayah Badan Pertanahan Nasional dan Kantor Pertanahan.

Dalam Pasal 4 dan 54 Peraturan Kepala Badan Pertanahan Nasional Nomor 4 tahun 2006 tersebut ditentukan bahwa unit yang menangani Sengketa dan konflik Pertanahan adalah Bidang Pengkajian dan Penanganan Sengketa dan Konflik Pertanahan di Kantor Wilayah Badan Pertanahan Nasional Provinsi dan Seksi Sengketa, Konflik dan Perkara di Kantor Pertanahan Kabupaten/Kota.

(22)

Selanjutnya pada Pasal 25 Peraturan Kepala Badan Pertanahan Nasional Nomor 4 tahun 2006 ditentukan bahwa Bidang Pengkajian dan Penanganan Sengketa dan Konflik Pertanahan mempunyai tugas mengkoordinasikan dan melaksanakan pembinaan teknis penanganan sengketa, konflik, dan perkara pertanahan.

Dalam menyelenggarakan tugas dimaksud, maka Pasal 26 Peraturan Kepala Badan Pertanahan Nasional Nomor 4 tahun 2006 diatur bahwa Bidang Pengkajian dan Penanganan Sengketa dan Konflik Pertanahan mempunyai fungsi:

a. penyusunan rencana dan program di bidang penanganan sengketa, konflik, dan perkara pertanahan;

b. pelaksanaan penanganan sengketa, konflik, dan perkara pertanahan;

c. pemantauan dan evaluasi pelaksanaan penanganan sengketa, konflik, dan perkara pertanahan;

d. penyiapan bahan dan penanganan masalah, sengketa, dan konflik pertanahan secara hukum dan non hukum; mediasi dan fasilitasi penyelesaian sengketa dan konflik pertanahan; penanganan perkara di pengadilan;

e. penyiapan usulan dan rekomendasi pelaksanaan putusan-putusan lembaga peradilan;

f. penelitian data dan penyiapan pembatalan serta penyiapan usulan rekomendasi dan penghentian hubungan hukum antara orang, dan/atau badan hukum dengan tanah;

g. pengkoordinasian dan bimbingan teknis penanganan sengketa, konflik, dan perkara pertanahan.

Bidang Pengkajian dan Penanganan Sengketa dan Konflik Pertanahan terdiri dari 2 (dua) seksi, yakni :

a. Seksi Pengkajian dan Penanganan Sengketa dan Konflik Pertanahan b. Seksi Pengkajian dan Penanganan Perkara Pertanahan.

Seksi Pengkajian dan Penanganan Sengketa dan Konflik Pertanahan mempunyai tugas menyiapkan bahan pengkajian dan penanganan sengketa dan konflik, pembatalan, dan penghentian, usulan rekomendasi pembatalan dan

(23)

penghentian hubungan hukum antara orang dan/atau badan hukum dengan tanah;

pelaksanaan alternatif penyelesaian sengketa melalui mediasi, fasilitasi, koordinasi dan pembinaan teknis.

Sedangkan Seksi Pengkajian dan Penanganan Perkara Pertanahan mempunyai tugas menyiapkan bahan pengkajian, dan penyelesaian perkara, pembatalan, dan penghentian, usulan rekomendasi pembatalan dan penghentian hubungan hukum antara orang dan/atau badan hukum dengan tanah sebagai pelaksanaan putusan lembaga peradilan serta koordinasi dan bimbingan teknis.

Dengan adanya ketentuan tersebut, maka sudah sangat jelas kewenangan dari instansi Badan Pertanahan Nasional khususnya unit yang menangani sengketa pertanahan, yang juga diberi kewenangan untuk melakukan aksi nyata berupa pelaksanaan penanganan sengketa, konflik, dan perkara pertanahan, baik secara hukum dan non hukum; mediasi dan fasilitasi penyelesaian sengketa dan konflik pertanahan, termasuk penanganan perkara di pengadilan.

Maksud dari kewenangan menyelesaikan sengketa pertanahan tersebut adalah dengan melakukan fungsi pelayanan kepada masyarakat atas laporan atau pengaduan pihak-pihak yang bersengketa, lalu diselesaikan dengan cara musyawarah mufakat, apabila ada kata sepakat di antara para pihak, maka Badan Pertanahan Nasional akan menindaklanjuti kesepakatan tersebut dengan melakukan penyesuaian atas data pendaftaran tanah yang ada.

Tentunya sebagaimana disebutkan di atas bahwa penanganan sengketa pertanahan dengan membentuk Tim atau penguatan kelembagaan dan memberikan

(24)

kewenangan yang lebih luas serta diikuti oleh aksi nyata sehingga ada peningkatan yang diperoleh dari hasil kerja dibandingkan dengan hari-hari sebelumnya, maka dapat dinilai cukup untuk menyelesaikan sengketa pertanahan, sebab penyelesaian tersebut tidak hanya sebatas bersifat prosedural tetapi mempertimbangkan faktor substansinya yang diuapayakan penyelesaiannya secara tuntas.

Sungguhpun sebenarnya disadari bahwa penyelesaian sengketa pertanahan tidaklah semudah yang dibayangkan, banyak faktor-faktor yang mempengaruhi, sehingga penanganan sengketa yang dilakukan oleh lembaga Badan Pertanahan Nasional melalui berbagai metoda seperti melakukan musyawarah, mediasi dan memfasilitasi tidak selalu diterima oleh para pihak yang bersangketa, sehingga dapat dianggap tanah tersebut masih tetap dalam keadaan sengketa.

Bahkan apabila ada salah satu pihak yang tidak puas dengan cara kerja Badan Pertanahan Nasional, dengan kata lain tetap tidak dapat dicapai kata sepakat dalam musyawarah tersebut, karena masing-masing pihak merasa punya dasar hukum dalam penguasaan atas tanah, sehingga harus hadir pihak ketiga yang menguji kekuatan bukti haknya, maka akan disarankan untuk diselesaikan melalui lembaga peradilan sesuai dengan ketentuan Undang Undang Nomor 48 tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman sebagai perubahan dari Undang Undang Nomor 4 tahun 2004 yang dilakukan oleh sebuah Mahkamah Agung dan badan peradilan yang berada di bawahnya dalam lingkungan peradilan umum, lingkungan peradilan agama, lingkungan peradilan militer, lingkungan peradilan tata usaha Negara dan oleh sebuah

(25)

mahkamah konstitusi yang merupakan kekuasaan yang merdeka untuk menyelenggarakan peradilan guna menegakkan hukum dan keadilan.

Penyelesaian melalui lembaga peradilan tersebut dilakukan melalui proses memeriksa, mengadili dan memutus perkaranya serta melaksanakan (eksekusi) putusannya, sehingga pelaksanaan putusan pengadilan tersebut dijadikan sebagai dasar penyelesaian secara tuntas dari sengketa tersebut.

Setelah ada putusan pengadilan yang berkekuatan hukum tetap dan telah dilakukan pelaksanaan putusan (eksekusi), barulah pihak yang dimenangkan oleh pengadilan menindaklanjutinya dengan mengajukan permohonan untuk penyesuaian data pendaftaran tanahnya ke instansi Badan Pertanahan Nasional sepanjang bidang tanah tersebut telah terdaftar, atau mengajukan permohonan hak atas tanah untuk didaftar kepada atas namanya apabila tanahnya belum terdaftar.

Selain penyelesaian melalui lembaga peradilan, maka penanganan dan penyelesaian sengketa pertanahan dimungkinkan di luar pengadilan dan untuk itu telah diterbitkan Keputusan Kepala Badan Pertanahan Nasional Nomor 34 tahun 2007 tentang Petunjuk Teknis Penanganan dan Penyelesaian Masalah Pertanahan, yang kemudian disempurnakan dengan Peraturan Kepala Badan Pertanahan Nasional Republik Indonesia Nomor 3 tahun 2011 tentang Pengelolaan Pengkajian dan Penanganan Kasus Pertanahan.

Penyelesaian sengketa pertanahan sering mengalami kesulitan antara lain karena masyarakat menganggap bahwa keberadaan tanah merupakan aset pribadi yang wajib dipertahankan terhadap siapa saja, dan apabila terjadi sengketa dengan

(26)

pihak lain maka sering dianggap sebagai pertarungan harga diri yang harus dimenangkan sekalipun dengan menghabiskan sumber dana dan sumber daya yang melebihi dari nilai tanahnya, oleh karena itu setiap sengketa tanah harus dimenangkan dan tidak ada peluang untuk memberikan toleransi terhadap pihak lain.

Oleh karena sulitnya melaksanakan penanganan sengketa di bidang pertanahan dan metode penyelesaian yang ditempuh oleh Badan Pertanahan Nasional selalu tidak dapat memuaskan para pihak yang bersengketa sehingga selamanya obyek tanah yang disengketakan tetap dalam status bermasalah, maka sesuai dengan kewenangan yang ditentukan berdasarkan peraturan perundang-undangan, maka upaya penanganan sengketa pertanahan tersebut dibuat tolak ukur penyelesaiannya, artinya sengketa pertanahan yang ditangani oleh Badan Pertanahan Nasional dibuat kriteria penyelesaiannya, apabila kriteria tersebut dipenuhi, maka sengketa pertanahan tersebut dapat dianggap selesai.

Kriteria penyelesaian sengketa pertanahan tersebut, sebelum tahun 2011 pada dasarnya belum diatur dalam suatu peraturan perundang-undangan, namun telah dilembagakan dalam praktek dan telah dimasukkan dalam Sistem Informasi Sengketa, Konflik, Perkara Pertanahan mulai tahun 2010 yang dapat diaplikasi melalui jaringan internet. Dengan mempedomani 5 (lima) kriteria tersebut Badan Pertanahan Nasional melaksanakan tugas dan kewenanganannya dalam penyelesaian sengketa pertanahan dan membuat pelaporan Aplikasi Sistem Informasi Sengketa

(27)

Konflik dan Perkara Pertanahan dengan akses aplikasi yang menggunakan browser : http://skp.bpn.go.id.56

Namun saat ini kriteria penyelesaian sengketa pertanahan tersebut telah diatur dalam Peraturan Kepala Badan Pertanahan Nasional Republik Indonesia Nomor 3 tahun 2011 tentang Pengelolaan Pengkajian dan Penanganan Kasus Pertanahan.

Dalam peraturan tersebut sebagaimana diatur dalam Pasal 72 diatur kriteria dan bentuk penyelesaian, dalam hal ini kasus pertanahan yang dalam penanganan BPN RI dinyatakan selesai dengan kriteria penyelesaian yang ditetapkan dalam 5 (lima) kriteria sebagai berikut :

a. Kriteria Satu (K.1) berupa penerbitan Surat Pemberitahuan Penyelesaian Kasus Pertanahan dan pemberitahuan kepada semua pihak yang bersengketa;

b. Kriteria Dua (K.2) berupa penerbitan Surat Keputusan tentang pemberian hak atas tanah, pembatalan sertipikat hak atas tanah, pencatatan dalam buku tanah, atau perbuatan hukum lainnya sesuai Surat Pemberitahuan Penyelesaian Kasus Pertanahan;

c. Kriteria Tiga (K.3) berupa Surat Pemberitahuan Penyelesaian Kasus Pertanahan yang ditindaklanjuti mediasi oleh BPN sampai pada kesepakatan berdamai atau kesepakatan yang lain yang disetujui oleh para pihak;

d. Kriteria Empat (K.4) berupa Surat Pemberitahuan Penyelesaian Kasus Pertanahan yang intinya menyatakan bahwa penyelesaian kasus pertanahan akan melalui proses perkara di pengadilan, karena tidak adanya kesepakatan untuk berdamai;

e. Kriteria Lima (K.5) berupa Surat Pemberitahuan Penyelesaian Kasus Pertanahan yang menyatakan bahwa penyelesaian kasus pertanahan yang telah ditangani bukan termasuk kewenangan BPN dan dipersilahkan untuk diselesaikan melalui instansi lain.

56 Penjelasan Ijen Pol Aryanto Sutadi, Deputi Bidang Pengkajian dan Penanganan Sengketa dan Konflik Pertanahan Badan Pertanahan Nasional RI di Kanwil BPN Provinsi Sumatera Utara pada tanggal 6 Mei 2010, yang mengungkapkan adanya 5 kriteria penyelesaian masalah pertanahan dan

(28)

Dengan adanya kriteria tersebut, maka dengan sangat jelas dapat diukur hasil dari upaya-upaya penyelesaian penanganan pertanahan yang selama ini hal tersebut tidak ada diatur, sehingga terkesan sengketa pertanahan menumpuk di Badan Pertanahan Nasional dan ada anggapan Badan Pertanahan Nasional tidak dapat menyelesaikan sengketa pertanahan di tanah air.

D. Sengketa yang Diselesaikah oleh Kanwil BPN Provinsi Sumatera Utara

Dengan adanya kewenangan yang diberikan kepada Kanwil BPN Provinsi Sumatera Utara untuk menyelesaikan sengketa pertanahan, menjadi tantangan bagi aparat yang dipercayakan untuk melaksanakan tugas pokok dan fungsinya sesuai dengan ketentuan peraturan yang berlaku.

Pelaksanaan tugas dalam menyelesaikan sengketa pertanahan tersebut telah dilakukan sejak lama dan untuk kepentingan penelitian ini akan dilihat kinerja aparat pada tahun 2010. Penyelesaian sengketa pertanahan dimaksud didasarkan pada tolak ukur penyelesaian yang ditetapkan dalam 5 (lima) kriteria di atas.

Daftar penyelesaian sengketa pertanahan yang dilaksanakan oleh Kanwil BPN Provinsi Sumatera Utara beserta Kantor Pertanahan Kabupaten/Kota se-Provinsi Sumatera Utara pada tahun 2010, dapat diuraikan pada tabel berikut di bawah ini :

kriteria tersebutlah yang kemudian ditetapkan dalam Peraturan Kepala Badan Pertanahan Nasional Republik Indonesia Nomor 3 tahun 2011.

(29)

Tabel 1 : Rekapitulasi Target dan Penyelesaian Sengketa Pertanahan di Provinsi Sumatera Utara tahun 2010

No Kab/Kota Target Selesai

Bentuk Penyelesaian Mediasi SK Rekom Ket

1 Kanwil 5 5 5 - - K3=5

2 Kota Medan 6 6 6 - - K3=6

3 Kota Binjai 2 2 2 - - K3=2

4 Kota T. Tinggi 2 2 1 - 1 K3=1, 4=1

5 Kota P.Siantar 1 1 1 - - K3=1

6 Kota T.Balai 1 - - - - Tdk ada

kasus

7 Kota P.Sidempuan 1 - - - - Tdk ada

kasus

8 Kota Sibolga 1 1 1 - - K3=1

9 Kab.Deli Serdang 8 8 3 - 5 K3=3, K4=5

10 Kab. Sergei 2 2 - - 2 K4=2

11 Kab. Langkat 3 - - - - Tdk ada

kasus

12 Kab. Karo 1 - - - - Tdk ada

kasus

13 Kab.Simalungun 3 1 - - 1 K4=1

14 Kab. Asahan 4 4 4 - - K3=4

15 Kab. Lab. Batu 6 6 6 - - K3=6

16 Kab. Tap. Utara 2 1 1 - - K3=1

17 Kab.Tap.Tengah 2 2 - - 2 K4=2

18 Kab.Tap.Selatan 2 2 2 - - K3=2

19 Kab. Samosir 1 1 1 - - K3=1

20 Kab. Tobasa 3 3 3 - - K3=3

21 Kab. Dairi 2 2 2 - - K3=2

22 Kab. Madina 1 1 1 - - K3=1

23 Kab. Nias 1 - - - - Tdk ada

kasus

24 Kab. Nisel 1 1 1 - - K3=1

25 Kab. Humbahas 2 - - - - Tdk ada

kasus

26 Kab. Pakpak Brt 2 2 2 - - K3=2

Jumlah 65 53 42 11

Sumber : Kanwil BPN Provinsi Sumatera Utara, Laporan tahun 2010

(30)

Berdasarkan data di atas dapat dijelaskan bahwa dari 65 kasus yang ditargetkan untuk diselesaikan pada tahun 2010, hanya 53 kasus yang ditangani oleh Kanwil BPN Provinsi Sumatera Utara dan Kantor Pertanahan Kabupaten/Kota sesuai dengan permohonan yang diterima dari masyarakat.

Semua kasus tersebut dapat diselesaikan dengan mengacu kepada kriteria penyelesaian yang diuraikan di atas, hanya saja penyelesaian yang ditempuh dengan mediasi tidak semuanya menghasilkan kesepakatan, hanya 42 kasus (79%) dengan hasil mediasi tuntas (Kriteria Tiga (K-3)), sisanya 11 kasus (21%) tidak dapat diselesaikan secara tuntas melalui mediasi atau tidak diperoleh kata sepakat antara para pihak tetapi direkomendasikan untuk diselesaikan melalui jalur hukum (Kriteria Empat (K-4).

Dengan demikian, kewenangan yang diberikan kepada Kanwil BPN Provinsi Sumatera Utara, termasuk juga yang dilaksanakan oleh Kantor Pertanahan Kabupaten/Kota untuk menyelesaikan masalah atau sengketa pertanahan dapat dilakukan dengan baik sesuai ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku.

Referensi

Dokumen terkait

penanggulangan kekerasan dalam rumah tangga yang dilakukan oleh orang tua terhadap anak kandung di kota Badar Lampung dapat diketahui bahwa faktor utama yang

Stator dinamometer adalah bagian dinamometer yang diam, disini ditempatkannya inti besi silinder solenoid yang di liliti oleh kawat tembaga sebagai penghasil medan magnet

Dengan kata lain model pembelajaran Problem Based Learning (PBL) adalah suatu model pembelajaran yang menempatkan suatu masalah menjadi titik awal dari proses

Guru membimbing dan mengarahkan siswa membuat kesimpulan tentang materi yang telah disampaikan selama pembelajaran dan hasil kegiatan yang dilakukan dalam LKPD. terlaksana

Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui miokard infark prematur yang terjadi karena homocystein disebabkan oleh adanya mutasi gen C677T MTHFR. Sampel darah diambil dari

Pengembangan diversifikasi usahatani di lahan sawah tidak perlu dikhawatirkan mengancam keberlanjutan pasokan produksi padi, karena (1) secara teknis ekosistem pesawahan

Yang menarik adalah terungkapnya dimensi penerimaan diri sebagai dimensi awal yang membantu subjek dalam mencapai dimensi-dimensi kesejahteraan psikologis yang lain,

Stress kerja adalah masalah kesehatan yang serius, National Institute of Occupational Safety and Health (NIOSH) menyatakan bahwa 40% pekerja menyatakan pekerjaan mereka