• Tidak ada hasil yang ditemukan

Implementasi Kewenangan Kantor Wilayah Badan Pertanahan Nasional Provinsi Sumatera Utara Dalam Penyelesaian Sengketa Pertanahan (Studi Terhadap Penyelesaian Sengketa Tanah Negara Bekas Hak Guna Bangunan NO. 1/Sitirejo)

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2016

Membagikan "Implementasi Kewenangan Kantor Wilayah Badan Pertanahan Nasional Provinsi Sumatera Utara Dalam Penyelesaian Sengketa Pertanahan (Studi Terhadap Penyelesaian Sengketa Tanah Negara Bekas Hak Guna Bangunan NO. 1/Sitirejo)"

Copied!
150
0
0

Teks penuh

(1)

TESIS

OLEH

MASNIARI SITUMORANG

067011052/M.Kn

FAKULTAS HUKUM

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

M E D A N

(2)

T E S I S

Diajukan Untuk Memperoleh Gelar Magister Kenotariatan Pada Program Studi Magister Kenotariatan Fakultas Hukum

Universitas Sumatera Utara

Oleh

MASNIARI SITUMORANG

067011052/M.Kn

FAKULTAS HUKUM

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

M E D A N

(3)

SENGKETA TANAH NEGARA BEKAS HAK GUNA BANGUNAN NO. 1/SITIREJO)

Nama Mahasiswa : Masniari Situmorang

Nomor Pokok : 067011052

Program Studi : Kenotariatan

Menyetujui Komisi Pembimbing

(Prof. Dr. Muhammad Yamin, SH, MS, CN)

Pembimbing Pembimbing

(Dr. Pendastaren Tarigan, SH, MS) (Notaris Syafnil Gani, SH, MHum)

Ketua Program Studi, Dekan,

(Prof. Dr. Muhammad Yamin, SH, MS, CN) (Prof. Dr. Runtung, SH, MHum)

(4)

PANITIA PENGUJI TESIS

Ketua : Prof. Dr. Muhammad Yamin, SH, MS, CN Anggota : 1. Dr. Pendastaren Tarigan, SH, MS

2. Notaris Syafnil Gani, SH, MHum

(5)

Nim : 067011052

Program Studi : Magister Kenotariatan FH USU

Judul Tesis : IMPLEMENTASI KEWENANGAN KANTOR WILAYAH

BADAN PERTANAHAN NASIONAL PROVINSI

SUMATERA UTARA DALAM PENYELESAIAN

SENGKETA PERTANAHAN (STUDI TERHADAP

PENYELESAIAN SENGKETA TANAH NEGARA

BEKAS HAK GUNA BANGUNAN NO. 1/SITIREJO)

Dengan ini menyatakan bahwa Tesis yang saya buat adalah asli karya saya sendiri

bukan Plagiat, apabila dikemudian hari diketahui Tesis saya tersebut Plagiat karena

kesalahan saya sendiri, maka saya bersedia diberi sanksi apapun oleh Program Studi

Magister Kenotariatan FH USU dan saya tidak akan menuntut pihak manapun atas

perbuatan saya tersebut.

Demikianlah surat pernyataan ini saya buat dengan sebenarnya dan dalam keadaan

sehat.

Medan,

Yang membuat Pernyataan

(6)

sekaligus mengatasi sengketa pertanahan dan apabila terjadi sengketa pertanahan cukup diselesaikan melalui lembaga peradilan. Kenyataannya, semangat kerakyatan terkikis kepentingan investasi, program penataan pertanahan tidak dilaksanakan, sehingga rakyat menuntut dan timbul sengketa pertanahan. Oleh karena pengadilan kurang dipercaya rakyat, maka alternatif penyelesaian dipilih melalui mediasi dan peraturan yang ada memberikan kewenangan kepada Kanwil BPN Provinsi Sumatera Utara untuk penyelesaian sengketa pertanahan. Untuk membuktikan implementasi kewenangan Kanwil BPN Provinsi Sumatera Utara dalam menyelesaikan sengketa pertanahan, ditelusuri sengketa tanah bekas HGB No. 1/Sitirejo antara HARTANTO PRASETYA dan PT. PD.HORAS.

Untuk mengkaji hal tersebut dilakukan penelitian bersifat deskriptif kualitatif,

dengan metode pendekatan yuridis normatif dan dianalisis dengan kenyataan di lapangan, dengan mengambil sumber data dari data sekunder.

Dari hasil temuan penelitian diperoleh kesimpulan sebagai berikut :

1. Pengaturan kewenangan Kanwil BPN Provinsi Sumatera Utara dalam menyelesaikan sengketa pertanahan, telah diatur dalam peraturan perundangan yaitu dalam Keputusan Presiden Nomor 26 tahun 1988 dan Peraturan Presiden Nomor 10 tahun 2006 tentang BPN, dengan aturan formalnya dalam Peraturan Kepala BPN RI Nomor 3 tahun 2011.

2. Implementasi kewenangan dalam menyelesaikan sengketa tanah Negara bekas HGB Nomor 1/Sitirejo antara HARTANTO PRASETYA dengan PT. PD HORAS, yakni Kanwil BPN Sumut melakukan mediasi dan hasilnya diperoleh kesepakatan para pihak yang dituangkan dalam akta perdamaian dan diterbitkan hak atas tanah kepada salah satu pihak, sehingga sengketa tersebut dapat dituntaskan.

3. Kendala dalam implementasi kewenangan menyelesaikan sengketa pertanahan adalah ketidaksiapan para pihak untuk berperan aktif, keterbatasan aturan hukum dan kekurangcakapan petugas, sedang upaya penyelesaiannya adalah memberikan pengertian kepada para pihak, mengupayakan penyusunan peraturan yang dapat dipedomani dan meningkatkan pengetahuan dan keterampilan petugas yang menangani sengketa pertanahan.

Terhadap hal tersebut disarankan agar peraturan kewenangan penyelesaian sengketa pertanahan disosialisasikan, perlu diterbitkan peraturan pertanahan yang lebih lengkap menyangkut hak atas tanah dan peningkatan pengetahuan bagi aparat pelaksana di bidang penyelesaian sengketa pertanahan.

(7)

UUPA, supported by land structuring program, can prevent and, especially, handle land disputes by bringing them to the Court. In reality, this populist spirit is cleaned up by the interest of investment and the land program is not carried out so that the people have a claim on it; in consequence, land disputes appear. Since judicial system is not trusted by many people, the alternative solution is by mediation and legal provisions which give the authority to Kanwil BPN (Head of Land Board Regional Office) of North Sumatera to handle land disputes. In order to prove the authoritative implementation of Kanwil BPN of North Sumatera in handling land disputes, it is necessary to investigate the dispute of the ex-building right of land No. 1/Sitirejo between HARTANTO PRASETYA and PT. PD. HORAS.

In order to analyze this case, it is necessary to do a descriptive qualitative research by using judicial normative approach. The data were analyzed by using the field study and obtained by using secondary data.

From the results of the research, it be concluded that

1. The authoritaty of Kanwil BPN of North Sumatera in handling land disputes has been regulated in the legal provisions; that is, in the President’s Decree No. 26/1988 and the Presidential Regulation No. 10/2006 on BPN with its formal regulation in the Regulation of Head of the Land Board No. 3/2011.

2. The authoritative implementation in handling the dispute of the ex-Building Rights of the State land No.1/Sitirejo between HARTANTO PRASETYA and PT. PD. HORAS was Kanwil BPN of North Sumatera which conducted as the mediator. Consequently, there was an agreement between the two parties which was realized in an official document which issued the land rights to one of the parties so that the land dispute was settled.

3. The obstacle in the authoritative implementation in handling land disputes is the unpreparedness of the parties concerned to play their active role, the lack of the legal provisions on this special case, and the unskilled officials. Meanwhile, the ways how to handle the case are by giving the parties understanding, programming the regulations which can be followed, and increasing the officials’ knowledge and skills in order that they are able to handle land disputes.

It is recommended that the authoritative regulation in handling land disputes should be socialized, more complete land regulations concerning land rights should be enacted, and the knowledge of the officials on duty in handling land disputes should be increased.

(8)

Nya tesis ini dapat diselesaikan dengan judul, “IMPLEMENTASI KEWENANGAN KANTOR WILAYAH BADAN PERTANAHAN NASIONAL

PROVINSI SUMATERA UTARA DALAM PENYELESAIAN SENGKETA PERTANAHAN (STUDI TERHADAP PENYELESAIAN SENGKETA TANAH NEGARA BEKAS HAK GUNA BANGUNAN NO. 1/SITIREJO)”.

Penulisan tesis ini merupakan salah satu persyaratan yang harus dipenuhi

untuk memperoleh gelar Magister Kenotariatan pada Fakultas Hukum Universitas

Sumatera Utara Medan.

Dalam penulisan tesis ini, penulis telah banyak mendapat bantuan dari

berbagai pihak berupa masukan, dorongan semangat dan sumbang saran, sehingga

tesis ini dapat dituntaskan. Untuk itu pada tempatnya diucapkan terima kasih

khususnya disampaikan kepada Bapak Dosen Pembimbing yakni Prof. Dr.

Muhammad Yamin, SH., MS., CN, selaku Ketua Komisi Pembimbing, Dr.

Pendastaren Tarigan, SH., MS dan Notaris Syafnil Gani, SH.,M.Hum sebagai Dosen

Pembimbing yang telah bersedia memeriksa, menelaah, memberikan koreksi dan

petunjuk serta saran untuk kesempurnaan Tesis ini. Demikian juga diucapkan terima

kasih kepada Dosen Penguji Ibu Chairani Bustami, SH., SpN., M.Kn dan Ibu Dr. T.

(9)

tercinta M. Siahaan, anak-anak tersayang Andrey, Carina, Sarah dan Ruth

Anasthasya, orang tua dan mertua yang terhormat serta Saudara-Saudara yang

terkasih yang telah memberikan dorongan semangat, panjatan doa dan kesetiaan

berkorban dalam merelakan waktu yang seharusnya dapat berkumpul dengan

keluarga tetapi terpaksa tersita dengan kesibukan Penulis menuntut ilmu dan menulis

Tesis ini.

Dalam penulisan Tesis ini, sepenuhnya Penulis menyadari bahwa hasil yang

dicapai ini jauh dari kesempurnaan, untuk itu dengan kerendahan hati Penulis

mengharapkan kritikan dan masukan yang positif demi kesempurnaan Tesis ini.

Dalam kesempatan ini, tidak lupa Penulis mengucapkan terima kasih kepada :

1. Bapak Prof. Dr. dr. Syahril Pasaribu, DTM&H, MSc (CTM), SpA(K), selaku Rektor Universitas Sumatera Utara atas kesempatan dan fasilitas yang diberikan kepada Penulis untuk mengikuti dan menyelesaikan pendidikan Program Studi Magister Kenotariatan pada Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara.

2. Bapak Prof. Dr. Runtung, SH.,M.Hum, selaku Dekan Fakultas Hukum

Universitas Sumatera Utara yang dengan tulus memberikan arahan dan

(10)

5. Pegawai dan Staf pada Program Studi Magister Kenotariatan yang telah

memberikan bantuan demi kelancaran semua proses administrasi dalam

penyelesaian studi Penulis.

6. Rekan-rekan Mahasiswa pada Program Studi Magister Kenotariatan dan semua

pihak yang turut membantu yang tidak dapat Penulis sebutkan satu persatu yang

memberikan motivasi kepada Penulis.

7. Bapak Kepala Kantor Wilayah Badan Pertanahan Nasional Provinsi Sumatera

Utara beserta Staf yang telah memberikan bantuan dalam rangka penelitian Tesis

ini.

Akhirnya kepada Tuhan Yang Maha Esa jualah Penulis berharap kiranya

dapat memberikan balasan yang berlipat ganda atas jasa-jasa Bapak Dosen

Pembimbing, Dosen Penguji dan rekan-rekan mahasiswa dan semua pihak yang turut

membantu Penulis selama ini.

Medan, Oktober 2011 Hormat Penulis

(11)

Nama Lengkap : Masniari Situmorang

Tempat/Tgl. Lahir : Medan/ 10 September 1963

Status : Kawin

Agama : Kristen

Pekerjaan : Pegawai Negeri pada Kanwil BPN Sumatera Utara

II. KELUARGA

Nama Suami : Drs. Mian Siahaan, MM

Pekerjaan : Pegawai Negeri

Nama Anak : 1. Carina Etta Sari Siahaan

2. Andrey Stephan Siahaan

3. Sarah Inggrid Audina Siahaan

4. Ruth Anasthasia Siahaan

III. PENDIDIKAN

SD HKBP P. Brayan Medan Tahun 1969 s/d 1975

SMP Katolik Budi Murni Medan Tahun 1975 s/d 1979

SMA Negeri 3 Medan Tahun 1978 s/d 1982

S-1 Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara Tahun 1982 s/d 1990

(12)

KATA PENGANTAR... iii

RIWAYAT HIDUP ... vi

DAFTAR ISI... vii

DAFTAR TABEL ... ix

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Permasalahan... 1

B. Perumusan Masalah... 15

C. Tujuan Penelitian ... 16

D. Manfaat Penelitian ... 16

E. Keaslian Penelitian ... 17

F. Kerangka Teori dan Konsepsi... 17

G. Metodologi Penelitian... 30

1. Sifat Penelitian ... 30

2. Metode Pendekatan ... 31

3. Sumber Data ... 31

4. Teknik Pengumpulan Data ... 32

5. Alat Pengumpulan Data ... 32

6. Analisis Data ... 32

BAB II PENGATURAN KEWENANGAN KANTOR WILAYAH BADAN PERTANAHAN NASIONAL PROVINSI SUMATERA UTARA DALAM MENYELESAIKAN SENGKETA PERTANAHAN A. Pengaturan Kewenangan Penyelesaian Sengketa Pertanahan ... 34

(13)

BAB III IMPLEMENTASI KEWENANGAN MENYELESAIKAN SENGKETA TANAH NEGARA BEKAS HAK GUNA BANGUNAN NOMOR 1/SITIREJO ANTARA HARTANTO PRASETYA DAN PT. PD. HORAS

A. Sengketa Tanah Negara Bekas Hak Guna Bangunan

Nomor 1/Sitirejo ……… 64

B. Implementasi Kewenangan Dalam Penyelesaian Sengketa Pertanahan ... 74 C. Mekanisme Penyelesaian Sengketa... 82

BAB IV KENDALA DALAM IMPLEMENTASI KEWENANGAN

MENYELESAIKAN SENGKETA PERTANAHAN DAN UPAYA PENYELESAIANNYA

A. Kewenangan Menyelesaikan Sengketa Pertanahan... 100 B. Kendala Dalam Implementasi Kewenangan... 103 C. Upaya Mengatasi Kendala... 120 BAB V KESIMPULAN DAN SARAN

(14)

di Provinsi Sumatera Utara tahun 2010....

...

62

Tabel 2 : Daftar Pelaksanaan Rapat Penyelesaian Sengketa ... 118

(15)

sekaligus mengatasi sengketa pertanahan dan apabila terjadi sengketa pertanahan cukup diselesaikan melalui lembaga peradilan. Kenyataannya, semangat kerakyatan terkikis kepentingan investasi, program penataan pertanahan tidak dilaksanakan, sehingga rakyat menuntut dan timbul sengketa pertanahan. Oleh karena pengadilan kurang dipercaya rakyat, maka alternatif penyelesaian dipilih melalui mediasi dan peraturan yang ada memberikan kewenangan kepada Kanwil BPN Provinsi Sumatera Utara untuk penyelesaian sengketa pertanahan. Untuk membuktikan implementasi kewenangan Kanwil BPN Provinsi Sumatera Utara dalam menyelesaikan sengketa pertanahan, ditelusuri sengketa tanah bekas HGB No. 1/Sitirejo antara HARTANTO PRASETYA dan PT. PD.HORAS.

Untuk mengkaji hal tersebut dilakukan penelitian bersifat deskriptif kualitatif,

dengan metode pendekatan yuridis normatif dan dianalisis dengan kenyataan di lapangan, dengan mengambil sumber data dari data sekunder.

Dari hasil temuan penelitian diperoleh kesimpulan sebagai berikut :

1. Pengaturan kewenangan Kanwil BPN Provinsi Sumatera Utara dalam menyelesaikan sengketa pertanahan, telah diatur dalam peraturan perundangan yaitu dalam Keputusan Presiden Nomor 26 tahun 1988 dan Peraturan Presiden Nomor 10 tahun 2006 tentang BPN, dengan aturan formalnya dalam Peraturan Kepala BPN RI Nomor 3 tahun 2011.

2. Implementasi kewenangan dalam menyelesaikan sengketa tanah Negara bekas HGB Nomor 1/Sitirejo antara HARTANTO PRASETYA dengan PT. PD HORAS, yakni Kanwil BPN Sumut melakukan mediasi dan hasilnya diperoleh kesepakatan para pihak yang dituangkan dalam akta perdamaian dan diterbitkan hak atas tanah kepada salah satu pihak, sehingga sengketa tersebut dapat dituntaskan.

3. Kendala dalam implementasi kewenangan menyelesaikan sengketa pertanahan adalah ketidaksiapan para pihak untuk berperan aktif, keterbatasan aturan hukum dan kekurangcakapan petugas, sedang upaya penyelesaiannya adalah memberikan pengertian kepada para pihak, mengupayakan penyusunan peraturan yang dapat dipedomani dan meningkatkan pengetahuan dan keterampilan petugas yang menangani sengketa pertanahan.

Terhadap hal tersebut disarankan agar peraturan kewenangan penyelesaian sengketa pertanahan disosialisasikan, perlu diterbitkan peraturan pertanahan yang lebih lengkap menyangkut hak atas tanah dan peningkatan pengetahuan bagi aparat pelaksana di bidang penyelesaian sengketa pertanahan.

(16)

UUPA, supported by land structuring program, can prevent and, especially, handle land disputes by bringing them to the Court. In reality, this populist spirit is cleaned up by the interest of investment and the land program is not carried out so that the people have a claim on it; in consequence, land disputes appear. Since judicial system is not trusted by many people, the alternative solution is by mediation and legal provisions which give the authority to Kanwil BPN (Head of Land Board Regional Office) of North Sumatera to handle land disputes. In order to prove the authoritative implementation of Kanwil BPN of North Sumatera in handling land disputes, it is necessary to investigate the dispute of the ex-building right of land No. 1/Sitirejo between HARTANTO PRASETYA and PT. PD. HORAS.

In order to analyze this case, it is necessary to do a descriptive qualitative research by using judicial normative approach. The data were analyzed by using the field study and obtained by using secondary data.

From the results of the research, it be concluded that

1. The authoritaty of Kanwil BPN of North Sumatera in handling land disputes has been regulated in the legal provisions; that is, in the President’s Decree No. 26/1988 and the Presidential Regulation No. 10/2006 on BPN with its formal regulation in the Regulation of Head of the Land Board No. 3/2011.

2. The authoritative implementation in handling the dispute of the ex-Building Rights of the State land No.1/Sitirejo between HARTANTO PRASETYA and PT. PD. HORAS was Kanwil BPN of North Sumatera which conducted as the mediator. Consequently, there was an agreement between the two parties which was realized in an official document which issued the land rights to one of the parties so that the land dispute was settled.

3. The obstacle in the authoritative implementation in handling land disputes is the unpreparedness of the parties concerned to play their active role, the lack of the legal provisions on this special case, and the unskilled officials. Meanwhile, the ways how to handle the case are by giving the parties understanding, programming the regulations which can be followed, and increasing the officials’ knowledge and skills in order that they are able to handle land disputes.

It is recommended that the authoritative regulation in handling land disputes should be socialized, more complete land regulations concerning land rights should be enacted, and the knowledge of the officials on duty in handling land disputes should be increased.

(17)

A. Latar Belakang Permasalahan

Tanah sebagai sumber daya alam yang dikaruniakan Tuhan Yang Maha Esa

kepada Bangsa Indonesia sebagai kekayaan nasional merupakan sarana dalam

menyelenggarakan seluruh aktivitas kehidupan rakyat dan mempunyai peranan yang

penting bagi kelangsungan hidup manusia, dalam hal ini setiap orang pasti

memerlukan tanah, bukan hanya dalam menjalani hidup dan kehidupannya, untuk

mati pun manusia masih memerlukan sebidang tanah.1

Demikian juga dalam rangka kepentingan kenegaraan, terutama dalam

mendukung kegiatan pembangunan di segala bidang, selalu memerlukan tanah

sebagai tempat untuk pelaksanaan kegiatan pembangunan tersebut.

Keberadaan tanah semakin penting sehubungan dengan makin tingginya

pertumbuhan penduduk dan pesatnya kegiatan pembangunan yang menyebabkan

kebutuhan akan tanah juga semakin meningkat, sementara di pihak lain persediaan

akan tanah relatif sangat terbatas.

Ketimpangan antara peningkatan kebutuhan manusia akan tanah dengan

keterbatasan ketersediaan tanah sering menimbulkan benturan kepentingan di

tengah-tengah masyarakat.

(18)

Terjadinya benturan kepentingan menyangkut sumber daya tanah tersebutlah

yang dinamakan masalah pertanahan.2 Masalah pertanahan juga ada yang menyebut

sengketa atau konflik pertanahan. Secara etimologi, istilah “masalah” diartikan

sebagai sesuatu yang harus diselesaikan, persoalan,3 sedang istilah “sengketa”

dimaksudkan sebagai sesuatu yang menyebabkan perbedaan pendapat,

pertengkaran/perbantahan, pertikaian/perselisihan, perkara di pengadilan,4 dan

“konflik” adalah percekcokan, perselisihan, pertentangan.5

Terlepas dari perbedaan pendapat mengenai istilah yang digunakan, yang

dalam penelitian dipakai istilah “sengketa pertanahan”, mencakup pengertian adanya

suatu persoalan, perselisihan, perbedaan pendapat antara para pihak yang

berkepentingan menyangkut sumber daya tanah. Namun yang pasti, sengketa

pertanahan tersebut harus dilakukan pengkajian dan penanganan oleh instansi

berwenang guna penyelesaiannya secara tuntas.

Dalam mencari penyelesaian dari sengketa pertanahan tersebut diperlukan

kebijakan dari pelaksana kekuasaan Negara (Pemerintah) dalam hal pengaturan dan

pengelolaan di bidang pertanahan terutama dalam hal pemilikan, penguasaan,

penggunaan dan pemanfaatannya termasuk dalam upaya penyelesaian sengketa

pertananahan yang timbul.

2 Jamil Anshari, Mengungkap Permasalahan Pertanahan di Propinsi Sumatera Utara,

Makalah pada Kuliah Bedah Kasus Hukum pada Fakultas Hukum UNPAB Medan, 27-6-2003, hal. 1

3Pusat Bahasa Departemen Pendidikan Nasional,Kamus Besar Bahasa Indonesia, (Jakarta :

Balai Pustaka, Edisi Ketiga, 2002), hal. 719. 4

(19)

Pada prinsipnya setiap sengketa pertanahan dapat diatasi dengan norma dan

aturan-aturan yang ada, atau dengan kata lain diselesaikan berdasarkan hukum yang

berlaku. Bahkan terhadap sengketa pertanahan yang menyangkut aspek politik,

ekonomi, sosial-kultural, dan pertahanan keamanan, tetap disiasati penyelesaiannya

dengan ketentuan hukum yang ada, sebab semua peraturan yang diterbitkan oleh

Pemerintah pada dasarnya merupakan resultante dari faktor-faktor ekonomi, politik,

sosial, budaya dan pertahanan keamanan, yang kemudian dituangkan dalam peraturan

perundang-undangan.

Penyelesaian sengketa pertanahan berdasarkan hukum yang berlaku tersebut

dilandasi oleh konstitusi yang menegaskan bahwa Negara Indonesia sebagai suatu

negara hukum. Hal ini dengan tegas dinyatakan dalam Pasal 1 ayat (3) Undang

Undang Dasar (UUD) 1945. Negara hukum pada prinsipnya memiliki syarat-syarat

esensial, antara lain harus terdapat kondisi-kondisi minimum dari suatu sistem hukum

dimana hak-hak asasi manusia danhuman dignitydihormati.6

Untuk langgengnya suatu negara hukum, maka secara formal penghormatan

terhadap hak-hak azasi manusia ditandai dengan dicantumkannya dalam konstitusi.

Sedang kekuasaan Pemerintah harus memegang teguh konstitusi dan menjalankan

segala undang-undang dan peraturan pelaksanaannya. Selain itu masyarakat wajib

untuk menjunjung tinggi hukum dan pemerintahan.

5Ibid., hal. 587

(20)

Dengan perkataan lain bahwa makna negara hukum adalah apabila segala

aktifitas kenegaraan dari lembaga-lembaga negara maupun aktivitas kemasyarakatan

dari seluruh warga negara didasarkan pada hukum. Didasarkan pada hukum

maksudnya segala bidang yang menyangkut pengaturan tata kehidupan warga negara

harus dibingkai oleh hukum.

Salah satu bidang yang mengatur tentang tata kehidupan warga negara yang

juga harus tunduk pada hukum adalah bidang pertanahan/keagrariaan. Dalam hal ini

pertanahan/keagrariaan disebut bidang yang termasuk harus tunduk pada hukum

karena negara mengatur bidang pertanahan/keagrariaan dalam konstitusi yang

menjadi aturan dasarnya, yakni tertera dalam Pasal 33 ayat (3) UUD 1945 yang

menyatakan “bumi, air dan kekayaan alam yang terkandung di dalamnya dikuasai

oleh Negara dan dipergunakan untuk sebesar-besar kemakmuran rakyat”.

Selanjutnya aturan dasar tersebut dijabarkan dalam peraturan

perundang-undangan (Undang-undang Nomor 5 tahun 1960 tentang Peraturan Dasar

Pokok-pokok Agraria atau disebut juga Undang-Undang Pokok Agraria (UUPA) dan juga

dalam peraturan pelaksanaannya) yang merupakan substansi hukum yang disebut

Hukum Pertanahan/Keagrariaan.

Oleh karena pengaturan dan pengelolaan terhadap bidang pertanahan/

keagrariaan ini melalui kehadiran peraturan perundang-undangan yang ada,

khususnya dalam UUPA, diyakini dapat menyelesaikan masalah/sengketa tanah baik

(21)

Hal yang lebih penting lagi bahwa semangat UUPA yang mendahulukan

kepentingan rakyat, yakni dalam pertimbangannya menegaskan bahwa Hukum

Agraria Nasional harus memberi kemungkinan akan tercapainya fungsi bumi, air dan

ruang angkasa, sesuai dengan kepentingan rakyat Indonesia dan perkembangan

zaman serta merupakan perwujudan asas Ketuhanan Yang Maha Esa,

perikemanusiaan, kebangsaan, kerakyatan dan keadilan sosial.7

Berdasarkan hal tersebut maka dapat dipahami bahwa UUPA sama sekali

tidak menyinggung tentang sengketa pertanahan, karena semangat UUPA yang

mendahulukan kepentingan rakyat dan juga adanya penataan dan pengelolaan

pertanahan dengan program-program seperti pengaturan mengenai penguasaan,

penggunaan, peruntukan dan pemanfaatan tanah, pengaturan mengenai

hubungan-hubungan hukum dan perbuatan-perbuatan hukum antara orang dengan

bidang-bidang tanah yang ada yang diwujudkan dengan pemberian jaminan kepastian hukum

melalui kegiatan pendaftaran tanah dan pengaturan mengenai rencana umum dalam

penatagunaan tanah serta program-program lainnya, dinilai sebagai ketentuan hukum

yang dapat mencegah sekaligus mengatasi masalah sengketa pertanahan di

masyarakat.

Hanya saja dalam kenyataan, yang terjadi jauh dari semangat UUPA, dalam

hal ini amanat undang-undang yang mengutamakan kepentingan rakyat akhirnya

harus terkikis dengan kepentingan investasi dan komersial yang menguntungkan

7Ny. Arie Sukanti Hutagalung dan Markus Gunawan, Kewenangan Pemerintah di Bidang

(22)

segelintir kelompok sehingga kepentingan rakyat banyak yang seharusnya

memperoleh prioritas utama akhirnya menjadi terabaikan.8

Demikian juga dengan segala ketentuan dan program-program yang

ditetapkan dalam peraturan perundang-undangan tersebut tidak dapat dijalankan

secara konsekwen atau bahkan dilanggar sedemikian rupa sehingga terjadi suasana

yang tidak tertata dan teratur dalam penguasaan dan penggunaan tanah serta belum

tercipta kepastian hukum atas pemilikan tanah sehingga akhirnya menjadi sengketa

pertanahan.

Program pengaturan penguasaan, penggunaan, peruntukan dan pemanfaatan

tanah atau yang lebih dikenal dengan program landreform dalam sejarah

pelaksanaannya dan politiknya mengalami pasang surut dan hanya berjalan pada

awal-awal berlakunya UUPA yakni pada zaman Pemerintahan Presiden Soekarno,

setelah tahun 1966 hingga tahun berikutnya seolah-olah Pemerintah dan masyarakat

alergi membicarakan landreform,9 bahkan hingga saat ini program tersebut seperti

sulit dilaksanakan secara paripurna.

Begitu juga dengan program pengaturan hubungan-hubungan hukum dan

perbuatan-perbuatan hukum antara orang dengan bidang-bidang tanah yang

diwujudkan dengan pemberian jaminan kepastian hukum melalui kegiatan

pendaftaran tanah atau saat ini dikenal dengan legalisasi aset, hingga tahun 2006 baru

8Ibid.

9AP Parlindungan,Landreform di Indonesia Suatu Studi Perbandingan,(Bandung : Mandar

(23)

sekitar 30% dari 85 juta bidang tanah yang terdaftar,10 sehingga banyak

masalah/sengketa pertanahan yang timbul akibat pemerintah belum dapat

melaksanakan pendaftaran untuk seluruh bidang tanah yang ada di Indonesia sesuai

dengan yang diinstruksikan dalam Pasal 19 UUPA dan Peraturan Pemerintah Nomor

10 tahun 1961 yang direvisi dengan Nomor 24 tahun 1997.

Sedangkan program pengaturan rencana umum dalam penatagunaan tanah,

baru pada tahun 1993 diterbitkan Peraturan Pemerintah Nomor 16 tahun 1993 tentang

Penatagunaan Tanah, dan substansinya merupakan bagian dari Penataan Ruang

sebagaimana diatur dalam Undang Undang Nomor 24 tahun 1992 jo. No. 26 tahun

2007 tentang Penataan Ruang.

Oleh karena ketentuan peraturan perundang-undangan di bidang keagrariaan

tersebut tidak dapat dilaksanakan, maka timbullah sengketa pertanahan, sebab pada

asasnya hukum itu sendiri berfungsi sebagai perlindungan kepentingan manusia. Agar

kepentingan manusia terlindungi, hukum harus dilaksanakan. Pelaksanaan hukum

dapat berlangsung secara normal, damai tetapi dapat juga karena pelanggaran hukum.

Dalam hal ini hukum yang telah dilanggar itu harus ditegakkan. Melalui penegakan

hukum inilah hukum itu menjadi kenyataan.11

Dalam konteks keagrariaan, tatanan Hukum Agraria yang ada selain tidak

dilaksanakan dan ditegakkan dalam kenyataan kehidupan kenegaraan dan

10Pidato Joyo Winoto, Kepala Badan Pertanahan Nasional pada pembukaan Symposium dan

Sarasehan Nasional di Hotel Tiara Medan, tanggal 13 Nopember 2006

11Sudikno Mertokusumo,Mengenal Hukum Suatu Pengantar, (Yogyakarta : Liberty, 1995),

(24)

kemasyarakatan, juga kadang-kadang tampak bahwa praktek-praktek politik yang

berlaku dengan seenaknya menginjak-injak konstitusi yang ada.12

Kondisi tidak ditegakkannya kaedah Hukum Agraria secara seksama dapat

dilihat misalnya sekelompok rakyat telah berani mengklaim hak orang lain menjadi

haknya atau memperoleh tanah yang kadang-kadang tanpa dasar hukum (alas hak)

atau tanpa prosedur hukum atau telah terjadi penyerobotan tanah, pematokan lahan

yang tidak berdasar hukum demi keinginan memperoleh tanah.13

Selain itu banyak sengketa pertanahan yang timbul diselesaikan secara hukum

melalui lembaga peradilan, karena masing-masing pihak merasa punya dasar hukum

dalam penguasaan atas tanah, sehingga harus hadir pihak ketiga yang menguji

kekuatan bukti haknya.

Penyelesaian sengketa pertanahan melalui lembaga peradilan tersebut

berdasarkan Undang Undang Nomor 48 tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman

sebagai perubahan dari Undang Undang Nomor 4 tahun 2004 dilakukan oleh sebuah

Mahkamah Agung dan badan peradilan yang berada di bawahnya dalam lingkungan

peradilan umum, lingkungan peradilan agama, lingkungan peradilan militer,

lingkungan peradilan tata usaha Negara dan oleh sebuah mahkamah konstitusi yang

merupakan kekuasaan yang merdeka untuk menyelenggarakan peradilan guna

menegakkan hukum dan keadilan.

12Alfian, Pemikiaran dan Perubahan Politik Indonesia, (Jakarta : Gramedia, 1978), hal. 249. 13Muhammad Yamin,Beberapa Dimensi Filosofis Hukum Agraria(Medan : Pustaka Bangsa

(25)

Bila berkaitan dengan perkara pertanahan antara para pihak yang bersengketa,

maka penyelesaiannya dilakukan oleh lembaga peradilan dengan memeriksa,

mengadili dan memutus perkaranya serta melaksanakan (eksekusi) putusannya,

sehingga pelaksanaan putusan pengadilan tersebut dijadikan sebagai dasar

penyelesaian secara tuntas dari sengketa tersebut.

Dengan demikian, pada dasarnya setiap terjadinya kasus pertanahan harus

diselesaikan melalui lembaga peradilan, sehingga wajar apabila UUPA tidak

membicarakan mengenai kasus pertanahan, karena diharapkan dapat diselesaikan

melalui lembaga peradilan yang ada.

Namun pada kenyataannya, tidak semua kasus pertanahan yang terjadi dapat

dibawa ke lembanga peradilan baik karena kekurangan bukti-bukti maupun karena

para pihak tidak bersedia mengajukan gugatan ke pengadilan atau melaporkan kepada

aparat penegak hukum atas setiap kasus pertanahan, yang dengan berbagai

pertimbangan, para pihak lebih memilih diselesaikan melalui musyawarah mufakat.

Oleh karena itu penyelesaian sengketa pertanahan juga dapat ditempuh

melalui cara musyawarah mufakat antara para pihak yang bersengketa, dengan

kehadiran pihak ketiga yang dipercaya sebagai mediator dan fasilitator yang disebut

penyelesaian dengan cara mediasi. Pihak ketiga yang dimaksudkan dalam hal ini

adalah suatu badan independen atau juga instansi pemerintah (eksekutif) yang

mengelola bidang pertanahan.

Penyelesaian masalah pertanahan melalui mediasi tersebut bukan berarti

(26)

penyelesaian yang diinginkan oleh para pihak yang bersengketa untuk mendapatkan

penyelesaian yang saling menguntungkan, hal ini dimungkinkan oleh Undang

Undang Nomor 30 tahun 1999 tentang Arbitrase dan Penyelesaian Masalah.

Penyelesaian masalah atau kasus melalui mediasi tersebut, termasuk juga

dalam hal bidang pertanahan yang dimediasi dan difasilitasi oleh instansi Badan

Pertanahan Nasional, dapat dilakukan terhadap kasus pertanahan yang terjadi

melibatkan berbagai pihak, dan para pihak memilih penyelesaian melalui

musyawarah mufakat dengan cara mediasi dari instansi Badan Pertanahan Nasional,

yang dimulai dengan adanya permohonan salah satu pihak kepada instansi Badan

Pertanahan Nasional untuk menyelesaikan kasus pertanahan dengan pihak lain.

Kemudian oleh Badan Pertanahan Nasional memberikan bantuannya untuk

memanggil para pihak yang bersengketa beserta instansi yang terkait, dan setelah

didengar pendapat para pihak, barulah diambil kesimpulan yang merupakan solusi

dari kasus tersebut. Penyelesaian kasus pertanahan melalui mediasi ini selain

mempedomani Undang Undang Nomor 30 tahun 1999 juga diperkuat dengan adanya

Undang Undang Nomor 17 tahun 2007 tentang Rencana Pembangunan Jangka

Panjang Nasional Tahun 2005-2025 yang antara lain ditekankan peningkatan upaya

penyelesaian sengketa pertanahan baik melalui kewenangan administrasi, peradilan

maupunAlternative Dispute Resolution (ADR).

Penyelesaian masalah atau sengketa pertanahan yang dilaksanakan oleh

instansi Badan Pertahanan Nasional pada awalnya didasarkan pada Keputusan

(27)

konsiderannya antara lain disebutkan bahwa dengan meningkatnya kebutuhan,

penguasaan dan penggunaan tanah terutama untuk kepentingan pembangunan,

meningkat pula permasalahan yang timbul di bidang pertanahan. Sehubungan dengan

hal tersebut, untuk dapat menyelesaikan permasalahan di bidang pertanahan secara

tuntas, dipandang perlu meninjau kembali kedudukan, tugas dan fungsi Direktorat

Jenderal Agraria Departemen Dalam Negeri dan meningkatkannya menjadi suatu

lembaga yang menangani bidang pertanahan secara nasional, yang dalam struktur

organisasinya terdapat Deputi Bidang Hak Hak Atas Tanah yang mempunyai fungsi

antara lain menyelesaikan sengketa hukum di bidang pertanahan serta kegiatan

penerbitan hak atas tanah.

Kewenangan yang diberikan kepada instansi Badan Pertanahan Nasional

dalam menyelesaikan sengketa pertanahan secara prosedural dilakukan dengan

terlebih dahulu melakukan kajian dan pendekatan kepada para pihak yang

bersengketa, tentunya dengan terlebih dahulu salah satu pihak mengajukan

permohonan untuk diselesaikan masalahnya karena bersengketa dengan pihak lain,

sementara pihak lain tersebut juga tidak keberatan permasalahannya diselesaikan oleh

instansi yang mengelola bidang pertanahan, dalam hal ini Badan Pertanahan

Nasional.

Sedangkan kewenangan yang diberikan kepada instansi lain yang merupakan

lembaga pemerintah untuk menyelesaikan sengketa pertanahan dapat dilakukan oleh

Pemerintah Kabupaten/Kota. Hal tersebut dapat dilihat dari ketentuan Keputusan

(28)

yang memberikan sebagian kewenangan Pemerintah di bidang pertanahan

dilaksanakan oleh Pemerintah Kabupaten/Kota, yakni sebanyak 9 (sembilan) hal,14

dan salah satunya adalah menyelesaikaan sengketa tanah garapan.

Dengan demikian, Pemerintah Kabupaten/Kota dapat melaksanakan

kewenangan dalam menyelesaikan sengketa pertanahan tersebut secara mandiri dan

otonom, hanya saja prosedurnya tetap dengan mengacu kepada norma-norma dan

atau standarisasi mekanisme ketatalaksanaan yang disusun oleh Badan Pertanahan

Nasional.

Khusus terhadap kewenangan kepada instansi pertanahan dalam

menyelesaikan sengketa pertanahan, maka permasalahan yang sering muncul adalah

apakah ada dasar hukum yang mengatur bahwa lembaga pemerintah yang diwakili

oleh instansi Badan Pertanahan Nasional diberi kewenangan untuk melakukan

penyelesaian sengketa pertanahan. Konkritnya, Sejauh mana kewenangan Pemerintah

dalam hal ini Kanwil Badan Pertanahan Nasional Provinsi Sumatera Utara dalam

perannya menyelesaikan sengketa pertanahan sesuai dengan ketentuan peraturan

perundang-undangan yang berlaku.

Pertanyaan tersebut memang tidak memperoleh jawaban dari ketentuan

pasal-pasal UUPA, namun jika ditelusuri dari aturan pelaksanaannya terutama yang

14 Sembilan kewenangan tersebut adalah 1) pemberian ijin lokasi; 2) penyelenggaraan

(29)

menyangkut mengenai peraturan pembentukan Badan Pertanahan Nasional mulai dari

Keputusan Presiden Nomor 26 tahun 1988 hingga Peraturan Presiden Nomor 10

tahun 2006 tentang Badan Pertanahan Nasional, telah ada organ yang diberi tugas dan

fungsi untuk menyelesaikan sengketa di bidang pertanahan.

Misalnya dalam Pasal 16 huruf “d” Keputusan Presiden Nomor 26 tahun 1988

ditentukan bahwa Deputi Bidang Hak-hak Atas Tanah menyelenggarakan fungsi

antara lain menyelesaikan sengketa hukum di bidang pertanahan serta kegiatan

penertiban hak atas tanah, namun organ pelaksananya hanya setingkat Sub Direktorat

di Pusat (Sub Direktorat Penyelesaian Masalah Pertanahan) dan Seksi di Kantor

Wilayah Provinsi.

Sedang dalam Pasal 3 huruf “n” Peraturan Presiden Nomor 10 tahun 2006

diatur bahwa Badan Pertanahan Nasional menyelenggarakan fungsi antara lain

pengkajian dan penanganan masalah, sengketa, perkara dan konflik di bidang

pertanahan, dengan organ pelaksananya setingkat Deputi di Pusat (Deputi Bidang

Pengkajian dan Penanganan Sengketa dan Konflik Pertanahan) dan Bidang di Kantor

Wilayah Provinsi.

Kemudian untuk melaksanakan kewenangan tersebut diterbitkan aturan yang

menjadi mekanismenya yakni dengan Keputusan Kepala Badan Pertanahan Nasional

Nomor 34 tahun 2007 tentang Petunjuk Teknis Penanganan dan Penyelesaian

Masalah Pertanahan yang kemudian disempurnakan dengan Peraturan Kepala Badan

Pertanahan Nasional Republik Indonesia Nomor 3 tahun 2011 tentang Pengelolaan

(30)

Untuk mengetahui secara jelas mengenai kewenangan dalam menyelesaikan

sengketa pertanahan itulah penelitian ini dilakukan, tentunya dengan mengacu kepada

peraturan perundang-undangan yang berlaku. Hal itu penting karena apabila ada

landasan hukum yang jelas disertai contoh implementasi yang sudah dilaksanakan,

maka diharapkan sengketa pertanahan yang terus bertambah mendapatkan cara yang

tepat dan cepat untuk penyelesaiannya secara tuntas. Hal yang demikianlah yang

menjadi urgensi dari penelitian yang akan dilakukan, sehingga pada akhirnya dapat

menyelesaikan dan mengurangi secara kuantitatif jumlah sengketa pertanahan yang

timbul di tengah-tengah masyarakat.

Untuk membuktikan implementasi kewenangan instansi pertanahan dalam

menyelesaikan sengketa pertanahan tersebut, maka akan ditelusuri sebuah kasus yang

dinilai menarik untuk dikaji lebih lanjut, yakni masalah sengketa tanah Negara bekas

Hak Guna Bangunan Nomor 1/Sitirejo seluas 4.473 m2 yang terletak di Jalan

Sisingamangaraja Nomor 45 Medan antara Hartanto Prasetya dan PT. Perusahaan

Dagang dan Industri Horas (PT.PD HORAS).

Kasus tersebut dinilai menarik karena berdasarkan data awal yang diperoleh

diketahui bahwa sengketa pertanahan tersebut bermula adanya perbuatan hukum jual

beli tanah dan bangunan pabrik paku milik PT. PD. HORAS kepada HARTANTO

PRASETYA dengan perjanjian adanya hak membeli kembali. Perbuatan hukum

tersebut telah dilakukan namun terjadi sengketa dalam hal pembayaran jual belinya

(31)

peninjauan kembali di Mahkamah Agung RI dengan putusan gugatan perdata tersebut

tidak dapat diterima (NO) sehingga tidak bisa dieksekusi.

Kemudian masing-masing pihak mengajukan permohonan hak atas tanah

dimaksud ke instansi Badan Pertanahan Nasional dengan alasan masing-masing

sebagai pihak yang paling berhak atas tanah tersebut dan sebagai pemilik dari

sertipikat Hak Guna Bangunan Nomor 1/Sitirejo, namun oleh Kepala Kantor

Pertanahan Kota Medan masing-masing permohonan tersebut dinyatakan tidak dapat

dipertimbangkan untuk diproses. Berdasarkan penolakan tersebut salah satu pihak

(HARTANTO PRASETYA) mengajukan lagi gugatan ke Peradilan Tata Usaha

Negara hingga proses kasasi di Mahkamah Agung RI.

Penyelesaian atas sengketa tanah tersebut akhirnya dapat dilakukan oleh

Instansi Badan Pertanahan Nasional dengan kewenangan yang ada padanya, yakni

dengan meminta kepada masing-masing pihak menyelesaikan terlebih dahulu

masalah hutang-piutang baru kemudian dapat diperoses permohonan hak atas

tanahnya untuk salah satu pihak.

Dengan demikian, sekalipun sengketa pertanahan telah ditangani oleh

lembaga peradilan tidak dapat menjamin masalahnya dapat diselesaikan, baru dapat

dituntaskan setelah Badan Pertanahan Nasional dengan kewenangan yang ada

padanya menempuh cara penyelesaian yang memenuhi rasa keadilan para pihak.

Implementasi dari kewenangan yang ada pada Badan Pertanahan Nasional dalam

penyelesaian sengketa pertanahan itulah yang selanjutnya akan dikaji dalam

(32)

B. Perumusan Masalah

Berdasarkan latar belakang tersebut di atas, maka dapat dirumuskan

permasalahan sebagai berikut :

1. Bagaimanakah pengaturan kewenangan Kantor Wilayah Badan Pertanahan

Nasional Provinsi Sumatera Utara dalam menyelesaikan sengketa pertanahan?

2. Bagaimanakah implementasi kewenangan dimaksud menyelesaikan sengketa

tanah Negara bekas Hak Guna Bangunan Nomor 1/Sitirejo seluas 4.473 m2

yang terletak di Jalan Sisingamangaraja Nomor 45 Medan antara Hartanto

Prasetya dan PT. Perusahaan Dagang dan Industri Horas (PT.PD Horas).

3. Apakah kendala yang ditemui dalam implementasi kewenangan

menyelesaikan sengketa pertanahan dan bagaimana upaya mengatasinya?.

C. Tujuan Penelitian

Bertitik tolak dari rumusan permasalahan di atas, maka tujuan yang hendak

dicapai dalam penelitian ini adalah :

1. Untuk menjelaskan pengaturan kewenangan Kantor Wilayah Badan

Pertanahan Nasional Provinsi Suamtera Utara dalam menyelesaikan sengketa

pertanahan.

2. Untuk mengetahui implementasi kewenangan menyelesaikan sengketa tanah

Negara bekas Hak Guna Bangunan Nomor 1/Sitirejo seluas 4.473 m2 yang

terletak di Jalan Sisingamangaraja Nomor 45 Medan antara Hartanto Prasetya

(33)

3. Untuk menelusuri kendala yang ditemui dalam implementasi kewenangan

menyelesaikan masalah pertanahan dan upaya mengatasinya.

D. Manfaat Penelitian

Di samping untuk mengetahui tujuan yang hendak dicapai, penelitian ini juga

diharapkan memberikan manfaat, yaitu :

1. Memberikan gambaran yang jelas tentang implementasi kewenangan Kantor

Wilayah Badan Pertanahan Nasional Provinsi Sumatera Utara dalam

menyelesaikan sengketa pertanahan, sehingga dapat menjadi acuan dalam

pananganan sengketa pertanahan.

2. Memberikan informasi dan pendapat yuridis kepada berbagai pihak, baik

kepada Pemerintah khususnya Badan Pertanahan Nasional dan Pemerintah

Daerah untuk mencari format dan solusi yang dapat dilakukan dalam

menyelesaaikan sengketa pertanahan, khususnya di Provinsi Sumatera Utara.

E. Keaslian Penelitian

Setelah dilakukan pengamatan terhadap Tesis dan Disertasi yang ada di

perpustakaan Universitas Sumatera Utara (USU) Medan, sepanjang yang diketahui

belum ada suatu penelitian yang dilakukan oleh mahasiswa Pasca Sarjana ataupun

orang lain yang membahas tentang Implementasi Kewenangan Kantor Wilayah

(34)

F. Kerangka Teori dan Konsepsi

Menurut M. Solly Lubis, kerangka teori disebut sebagai landasan teori adalah

suatu kerangka pemikiran atau butir-butir pendapat, teori, tesis mengenai sesuatu

kasus atau permasalahan (problem) yang dijadikan bahan perbandingan, pegangan

teoritis, yang mungkin disetujui ataupun tidak disetujui yang dijadikan masukan

dalam membuat kerangka berpikir dalam penulisan.15

Oleh karena penelitian ini menyangkut implementasi kewenangan dalam

menyelesaikan sengketa pertanahan dengan studi kasus yang ditetapkan untuk itu,

maka dalam hal ini menyangkut perilaku Pemerintah selaku pengambil kebijakan

sekaligus pelaksananya di lapangan serta keinginan para pihak yang bersengketa,

maka kerangka teori yang diambil tetap mengacu kepada ketentuan peraturan

perundang-undangan sebagai landasan dan dasar berpijak bagi pelaksanaannya.

Bila dikaitkan dengan perilaku Pemerintah, maka dapat digunakan teori

kompetensi (kapasitas hukum) dari Hans Kelsenyakni teori yang menyatakan bahwa

term kompeten bisa digunakan untuk menunjuk pada kapasitas hukum melakukan

suatu tindakan selain delik, yaitu tindakan dimana norma hukum dibuat seperti

penyataan bahwa parlemen berkompeten membuat undang-undang atau hakim

kompeten membuat suatu keputusan atau otoritas administratif dan bahkan setiap

organ negara juga memiliki yurisdiksinya, yaitu kapasitas untuk melakukan tindakan

15 M. Solly Lubis dalam Muhammad Yamin, Gadai Tanah Sebagai Lembaga Pembiayaan

(35)

yang ditentukan oleh aturan hukum.16 Dalam hal ini kapasitas untuk melakukan

tindakan yang ditentukan oleh aturan hukum tersebutlah yang dimaksudkan dalam

penelitian tesis ini.

Berdasarkan teori di ataslah yang dijadikan kerangka berpikir dalam penelitian

ini guna melihat implementasi dari kompetensi (kapasitas hukum) dalam hal ini

kewenangan dalam menyelesaikan sengketa pertanahan.

Dari pijakan kerangka teori hukum tersebut, maka konsepsi yang

dikembangkan dalam penelitian ini adalah dengan meninjau peraturan

perundang-undangan mengenai obyek yang diteliti, antara lain menyangkut pengaturan

kewenangan dan mengenai sengketa pertanahan dengan segala lingkup aturan dan

uraiannya.

Dalam hal pengaturan kewenangan, tetap mengacu kepada aturan dasarnya,

yakni Pasal 33 ayat (3) UUD 1945 mengatur bahwa bumi, air dan kekayaan alam

yang tekandung di dalamnya dikuasai oleh Negara dan dipergunakan untuk

sebesar-besar kemakmuran rakyat.

Aturan dasar dalam konstitusi menyangkut pengelolaan sumber daya alam

tersebut termasuk dalam pengertian ”dikuasai oleh Negara”, kemudian dijabarkan

dalam UUPA. Dalam Pasal 2 ayat (1) UUPA ditentukan bahwa atas dasar ketentuan

dalam Pasal 33 ayat (3) UUD dan hal-hal sebagai yang dimaksud dalam Pasal 1,

bumi, air dan ruang angkasa, termasuk kekayaan alam yang terkandung di dalamnya

16 Jumly Asshiddiqie dan M. Ali Safa’at, Teori Hans Kelsen Tentang Hukum, (Jakarta :

(36)

itu pada tingkatan tertinggi dikuasai oleh negara, sebagai organisasi seluruh rakyat

Indonesia.

Kemudian pada ayat (2) diuraikan bahwa hak menguasai dari negara

termaksud dalam ayat 1 Pasal ini memberi wewenang untuk :

a. Mengatur dan menyelenggarakan peruntukan, penggunaan, persediaan dan

pemeliharaan bumi, air dan ruang angkasa tersebut

b. Menentukan dan mengatur hubungan-hubungan hukum antara orang-orang

dengan bumi, air dan ruang angkasa;

c. Menentukan dan mengatur hubungan-hubungan hukum antara orang-orang dan

perbuatan-perbuatan hukum yang mengenai bumi, air dan ruang angkasa

Dalam penjelasan UUPA diuraikan bahwa pengertian ”dikuasai” bukan berarti

”dimiliki” akan tetapi adalah pengertian yang memberi wewenang kepada Negara

sebagai organisasi kekuasaan dari Bangsa Indonesia untuk melakukan wewenang

sebagaimana disebutkan dalam Pasal 2 ayat (2) UUPA tersebut.

Isi wewenang negara yang bersumber pada hak menguasai Negara tersebut

semata-mata bersifat publik yaitu wewenang untuk mengatur (regulasi) dan bukan

wewenang untuk menguasai tanah secara fisik dan menggunakan tanahnya

sebagaimana wewenang pemegang hak atas tanah yang bersifat pribadi, seperti yang

dikenal dengan Hak Milik, Hak Guna Usaha, Hak Guna Bangunan, Hak Pakai, Hak

(37)

kepada pemegang haknya untuk melaksanakan hak penguasaan dari negara atas tanah

tersebut untuk keperluan yang sesuai dengan penggunaan tanahnya.17

Secara teoritis, penyebutan ketentuan konstitusional mengenai Hak Menguasai

dari Negara ini sesungguhnya bersifat deklaratif, artinya dengan atau tanpa

penyebutan ketentuan tersebut setiap negara tetap mempunyai hak menguasai negara.

Namun demikian, ketentuan tersebut tetap penting untuk mengkonfirmasi eksistensi

dari hak menguasai negara tersebut dan menunjukkan sifat hubungan antara negara

dan tanah.18

Sejalan dengan hal tersebut di atas, maka pada Pasal 2 dan 4 UUPA mengatur

bahwa bumi, air dan ruang angkasa termasuk kekayaan alam yang terkandung di

dalamnya pada tingkatan tertinggi dikuasai oleh negara, dan atas dasar hak

menguasai dari negara tersebut ditentukan adanya macam-macam hak atas tanah yang

dapat diberikan kepada perorangan maupun badan hukum (subyek hak).

Hak-hak atas tanah tersebut memberi wewenang untuk mempergunakan tanah

yang bersangkutan sekedar diperlukan untuk kepentingan yang langsung

berhubungan dengan penggunaan tanah itu dan dalam batas-batas menurut ketentuan

peraturan perundangan.

17 Hak atas tanah yang bersifat pribadi timbul dari kekuasaan negara mengenai tanah

(38)

Dengan kata lain mengalokasikan kekuasaan hak atas tanah oleh negara

kepada orang atau badan hukum yang dilakukan secara terukur supaya dapat

digunakan bagi kelangsungan hidup setiap orang secara bersama-sama.19

Dari ketentuan yang terdapat dalam UUPA dapat dilihat bahwa Negara

berwenang menentukan dan mengatur hubungan-hubungan hukum antara

orang-orang dengan bumi, air dan ruang angkasa.

Dalam hal pengaturan hubungan-hubungan hukum tersebut Negara

memberikan hak-hak atas tanah kepada perorangan atau badan hukum (subyek hak),

bahkan menjamin, mengakui, melindungi hak-hak tersebut untuk dimanfaatkan dalam

rangka mensejahterakan kehidupannya dan tidak boleh diambil alih secara

sewenang-wenang oleh siapapun.20 Akan tetapi Negara tidak hanya berwenang memberikan

begitu saja hak-hak atas tanah tersebut kepada subyek hak untuk dimanfaatkan dalam

rangka mensejahterakan kehidupannya, tetapi Negara juga mempunyai kewenangan

untuk memberikan jaminan kepastian hukum terhadap hak-hak atas tanah tersebut

melalui pendaftaran tanah.

Dalam memberikan jaminan kepastian hukum mengenai hak-hak atas tanah

bagi rakyat seluruhnya inilah yang menjadi tujuan pokok UUPA sebagaimana

diuraikan dalam memori penjelasan UUPA.

18 Oloan Sitorus dan HM Zaki Sierrad, Hukum Agraria di Indonesia, Konsep Dasar dan

Implementasi, (Yogyakarta : Mitra Kebijakan Tanah Indonesia, 2006), hal. 60

19Satjipto Raharjo, Ilmu Hukum (Bandung : PT. Citra Aditya Bakti, 1996), hal. 33.

20 Lihat Pasal 28-H ayat (4) Undang Undang Dasar 1945 yang menegaskan ”Setiap orang

(39)

Selanjutnya dalam pengaturan pendaftaran tanah ini, Pasal 19 ayat (1) UUPA

ditegaskan bahwa untuk menjamin kepastian hukum oleh Pemerintah diadakan

pendaftaran tanah di seluruh wilayah Republik Indonesia menurut

ketentuan-ketentuan yang diatur dengan undang-undang.

Dari ketentuan tersebut, Negara memberikan kewenangan kepada Pemerintah

untuk melakukan pendaftaran di seluruh Indonesia dengan tujuan untuk menjamin

kepastian hukum mengenai hak-hak atas tanah bagi rakyat seluruhnya.21

Dengan terdaftarnya hak-hak atas tanah atau diberikannya hak-hak atas tanah

kepada semua rakyat Indonesia (subyek hak atas tanah) untuk dimanfaatkan tanah

tersebut sesuai dengan penggunaan dan peruntukannya, maka akan terciptalah

jaminan kepastian hukum yang bersifat rechtskadaster artinya yang bertujuan

menjamin kepastian hukum atas pemilikan tanah dimaksud,22 bukan untuk

kepentingan lain seperti perpajakan.

21 Pendaftaran tanah menurut Pasal 1 butir 1 Peraturan Pemerintah Nomor 24 Tahun 1997

tentang Pendaftaran Tanah adalah rangkaian kegiatan yang dilakukan oleh Pemerintah secara terus-menerus, berkesinambungan dan teratur, meliputi pengumpulan, pengolahan, pembukuan dan penyajian serta pemeliharaan data fisik dan data yuridis dalam bentuk peta dan daftar, mengenai bidang-bidang tanah dan satuan rumah susun, termasuk pemberian surat tanda bukti haknya bagi bidang-bidang tanah yang sudah ada haknya dan Hak Milik atas satuan rumah susun serta hak-hak tertentu yang membebaninya.

22Pasal 2 Peraturan Pemerintah Nomor 24 Tahun 1997 disebutkan bahwa tujuan pendaftaran

(40)

Di samping itu oleh Pasal 23, 32 dan 38 UUPA juga mengharuskan kepada

pemegang hak yang bersangkutan untuk mendaftarkan tanahnya agar memperoleh

kepastian haknya.23

Oleh karena itu apabila semua bidang tanah telah terdaftar dan dimanfaatkan

oleh pemegang haknya, idealnya secara yuridis-teknis telah ada jaminan kepastian

hukum terhadap semua bidang tanah yang telah terdaftar dan dampak positifnya dapat

mencegah terjadinya permasalahan pertanahan.

Berdasarkan hal tersebutlah maka UUPA tidak membicarakan mengenai

sengketa pertanahan, sebab apabila masih terjadi masalah pertanahan maka

penyelesaiannya seharusnya tetap berlandaskan hukum yang berlaku,24 tidak

didasarkan pada aspek lain seperti pertimbangan politis.

Penyelesaian berlandaskan hukum tersebut bertujuan untuk pencapaian

kepastian hukum,25 misalnya terjadi permasalahan pertanahan antara seseorang

dengan pihak yang sudah terdaftar haknya, maka dalam rangka kepastian hukum,

permasalahan tersebut dapat diselesaikan melalui lembaga musyawarah mufakat

dengan instansi Badan Pertanahan Nasional sebagai mediator atau fasilitator.

23 AP. Parlindungan,

Komentar Atas Undang-Undang Pokok Agraria, (Bandung: Mandar Maju, 1998), hal. 127.

24 Berlandaskan hukum maksudnya berdasarkan pada norma-norma yang terdapat dalam

UUPA, karena apa yang diatur dalam UUPA tersebut termasuk dalam menghadapi persoalan-persoalan kekinian atau masalah-masalah pertanahan kontemporer, sebenarnya tetap dapat diakomodasi oleh UUPA (Moh Mahfud. MD., Pergulatan Politik dan Hukum di Indonesia, (Yogyakarta: Gama Media, 1999), hal. 117)

25 Kepastian hukum disini pada dasarnya merupakan perlindungan yustisiabel terhadap

(41)

Namun apabila tidak tercapai kata sepakat, diselesaikan melalui lembaga

peradilan, karena dalam suatu negara hukum, pengadilan masih dianggap sebagai

jalan terbaik untuk mendapatkan penyelesaian suatu perkara.26

Akan tetapi hingga saat ini, pelaksanaan pendaftaran tanah belum dapat

diwujudkan sepenuhnya, oleh karena itu, tidak mengherankan bila masalah

pertanahan yang terjadi, salah satu penyebabnya adalah belum terdaftarnya seluruh

bidang tanah yang ada, sehingga belum tercipta kepastian dan perlindungan hukum

terhadap hak-hak atas tanah yang dimiliki oleh masyarakat.

Oleh karena belum terciptanya jaminan kepastian dan perlindungan hukum,

maka timbullah gejala penguasaan dan pengusahaan atas bidang-bidang tanah oleh

pihak-pihak tertentu yang tidak sesuai dengan ketentuan hukum, seperti pendudukan

atau pengklaiman atas suatu bidang tanah oleh seseorang/kelompok orang yang

belum tentu berhak atas tanah yang bersangkutan.

Terhadap sengketa pertanahan yang muncul dari keadaan yang disebabkan

oleh belum terciptanya kepastian hukum tersebut, maka yang terjadi adalah benturan

kepentingan antara para pihak yang tidak jarang diikuti dengan kepentingan lain di

luar ketentuan hukum, seperti kepentingan politik dan kepentingan lainnya.

Oleh karena itu, tidaklah mengherankan bila akhir-akhir ini muncul gejala

bahwa masalah pertanahan tidak hanya disebabkan hal-hal yang bersifat yuridis,

tetapi berkembang menjadi multi sektor (pertanian, industri, pemerintahan,

26Abdurrahman dan Riduan Syahrani,Hukum dan Peradilan, (Bandung : Alumni, 1987), hal.

(42)

transmigrasi dan lain-lain) dan multi dimensi (budaya, politik, ekonomi, sosial dan

hankam),27 sehingga pendekatan penyelesaian yang ditempuh oleh Pemerintah tidak

cukup semata-mata bersifat yuridis teknis, tetapi juga menyangkut pertimbangan

sosial ekonomi.28

Secara sosiologis, sengketa pertanahan yang terjadi di dalam masyarakat,

selain karena disebabkan hal-hal di atas juga dapat disebabkan beberapa hal :

1. Salah pengertian atau salah paham karena kegagalan komunikasi

2. Perbedaan tujuan dan nilai hidup yang dipegang

3. Perebutan, persaingan dalam hal yang terbatas

4. Kurangnya kerja sama sehingga menimbulkan kekecewaan dan perasaan yang

dirugikan

5. Tidak mentaati atau mematuhi peraturan dan tatanan yang ada di dalam

masyarakat atau Negara

6. Ada usaha menguasai dan merugikan pihak tertentu sehingga pihak yang

dirugikan mengadakan perlawanan.29

Pola penyelesaian yang ditempuh untuk mengatasi masalah pertanahan pada

dasarnya sama dengan penyelesaian masalah pada umumnya. Dalam setiap

masyarakat terdapat berbagai mekanisme penyelesaian masalah (dispute settlement).

27Jamil Anshari,Mengungkap Permasalahan Pertanahan di Propinsi Sumatera Utara,

Makalah pada Kuliah Bedah Kasus Hukum pada Fakultas Hukum UNPAB Medan, 27-6-2003, hal. 1.

28 Lutfi I Nasution, dalam buku Menuju Keadilan Agraria 70 Tahun Gunawan Wiradi,

(Bandung: Akatiga, 2002), hal. 216

29Badan Pertanahan Nasional RI Bidang Pengkajian dan Penanganan Sengketa dan Konflik

(43)

Penyelesaian masalah dapat dilihat dari mekanisme yang ditempuh oleh para pihak

dan yang ditempuh oleh Pemerintah.

Dari mekanisme yang ditempuh oleh para pihak pola penyelesaian

masalahnya dilakukan secara musyawarah mufakat, atau diselesaikan melalui

lembaga sosial atau oleh pemuka masyarakat atau juga melalui badan-badan

peradilan.30

Sedang mekanisme yang dilakukan oleh Pemerintah adalah dengan bertindak

sebagai mediator atau fasilitator dan juga mengambil kebijakan tertentu dengan

mempertimbangkan berbagai aspek yang melingkupinya.

Demikian juga halnya dengan pola penyelesaian sengketa yang menyangkut

pertanahan, dapat ditempuh dengan pola penyelesaian sengketa yang ada pada

umumnya.

Secara umum, penyelesaian sengketa pertanahan dapat diselesaikan melalui

jalur non-litigasi dan litigasi. Melalui jalur litigasi dilakukan melalui lembaga

peradilan, sedangkan melalui jalur non-litigasi dapat ditempuh dengan perundingan,

konsiliasi, mediasi dan arbitrase.31

Namun dalam praktek yang sering terjadi adalah pola penyelesaian sengketa

pertanahan melalui jalur non-litigasi yang dilakukan oleh Pemerintah baik yang

didahului musyawarah maupun yang ditangani langsung berdasarkan kewenangan

30Soerjono Soekanto, Beberapa Cara dan Mekanisme Dalam Penyuluhan Hukum, (Jakarta :

PT. Pradnya Paramita, 1986), hal. 15-17.

31Mukhsin,Aspek Hukum Sengketa Hak Atas Tanah, makalah disampaikan pada Workshop

(44)

yang ada, yang dalam pelaksanaannya selalu mempertimbangkan berbagai aspek

sosial ekonomi dan tidak jarang ditempuh dengan pendekatan politik terutama

melalui kebijakan (policy) Pemerintah.

Artinya masalah pertanahan diupayakan penyelesaiannya oleh Pemerintah

secara kompromi dengan mengakomodir berbagai kepentingan baik melalui upaya

mediasi maupun melalui penerbitan kebijakan.

Pengambilan kebijakan oleh instansi tertentu dapat dilakukan untuk

menyikapi suatu keadaan yang timbul di masyarakat atau diusulkan seseorang

sehubungan dengan adanya hambatan-hambatan tertentu seraya mencari

peluang-peluang untuk mencapai tujuan atau mewujudkan sasaran yang diinginkan.32

Kebijakan yang merupakan pengambilan suatu keputusan itu biasanya

ditempuh karena tidak diatur oleh suatu peraturan hukum,33 atau bisa jadi telah

diputus oleh lembaga peradilan namun tidak dapat dilaksanakan sehingga diambil

kebijakan oleh Pemerintah berdasarkan kewenangan yang ada padanya.

Kewenangan untuk menyelesaikan sengketa pertanahan tersebut dilakukan

instansi Badan Pertanahan Nasional melalui tugas pokok dan fungsinya sebagaimana

dengan tegas ditentukan dalam Keputusan Presiden Nomor 26 tahun 1988 tentang

Badan Pertanahan Nasional dalam konsiderannya antara lain disebutkan bahwa

dengan meningkatnya kebutuhan, penguasaan dan penggunaan tanah terutama untuk

kepentingan pembangunan dan meningkat pula permasalahan yang timbul di bidang

(45)

pertanahan, maka untuk menyelesaikan permasalahan di bidang pertanahan secara

tuntas, dipandang perlu meninjau kembali kedudukan, tugas dan fungsi Direktorat

Jenderal Agraria Departemen Dalam Negeri dan meningkatkannya menjadi suatu

lembaga yang menangani bidang pertanahan secara nasional.

Kemudian penguatan kewenangan penyelesaian sengketa pertanahan yang

dapat dilakukan oleh Instansi Badan Pertanahan Nasional khususnya Kanwil BPN

Provinsi Sumatera Utara ditandai dengan terbitnya Peraturan Kepala Badan

Pertanahan Nasional Republik Indonesia Nomor 3 tahun 2011 tentang Pengelolaan

Pengkajian dan Penanganan Kasus Pertanahan yang ditetapkan tanggal 4 Pebruari

2011.

Untuk menghindari kesimpangsiuran mengenai pengertian istilah-istilah yang

dipakai dalam penulisan tesis ini, perlu dikemukakan definisi operasional dari

istilah-istilah tersebut.

Implementasi, artinya pelaksanaan atau penerapan,34 dalam hal ini

pelaksanaan dan penerapan dari Hukum Pertanahan/Agraria khususnya yang

mengatur mengenai penyelesaian sengketa pertanahan.

Kewenangan maksudnya adalah hak dan kekuasaan yang dipunyai untuk

melakukan sesuatu,35 dalam hal ini hak dan kekuasaan yang dimiliki oleh Kantor

Wilayah Badan Pertanahan Nasional Provinsi Sumatera Utara.

33 Indroharto, Usaha memahami Undang-Undang Tentang Peradilan Tata Usaha Negara,

(Jakarta : Pustaka Sinar Harapan, 2004), hal. 197

34Pusat Bahasa Departemen Pendidikan Nasional,Kamus Besar Bahasa Indonesia, (Jakarta :

PT. Gramedia Pustaka Utama, 2008), Edisi Keempat, hal. 1529.

(46)

Kantor Wilayah Badan Pertanahan Nasional Provinsi Sumatera Utara,

merupakan instansi vertikal Badan Pertanahan Nasional di Provinsi yang berada di

bawah dan bertanggung jawab langsung kepada Kepala Badan Pertanahan Nasional.36

Penyelesaian, diartikan sebagai proses, cara, pembuatan, menyelesaikan

(dalam berbagai-bagai arti seperti pemberesan, pemecahan).37

Sengketa Pertanahan, dimaksudkan sebagai perselisihan yang terjadi antara

kedua pihak atau lebih yang merasa atau dirugikan pihak-pihak tertentu untuk

penggunaan dan penguasaan hak atas tanahnya yang diselesaikan melalui

musyawarah atau melalui pengadilan.38 Pengertian lain dari sengketa pertanahan

adalah perbedaan pendapat mengenai : a) keabsahan suatu hak; b) pemberian hak atas

tanah; c) pendaftaran hak atas tanah termasuk peralihannya dan penerbitan tanda

bukti haknya antara pihak-pihak yang berkepentingan maupun antara pihak-pihak

yang berkepentingan dengan instansi di lingkungan Badan Pertanahan Nasional,39

selanjutnya dalam Pasal 1 angka 2 Peraturan Kepala Badan Pertanahan Nasional

Republik Indonesia Nomor 3 tahun 2011 tentang Pengelolaan Pengkajian dan

Penanganan Kasus Pertanahan diuraikan bahwa yang dimaksud dengan sengketa

pertanahan adalah perselisihan pertanahan antara orang perseorangan, badan hukum,

atau lembaga yang tidak berdampak luas secara sosio-politis.

36Pasal 1 ayat 1 Peraturan Kepala Badan Pertanahan Nasional Republik Indonesia Nomor 4

tahun 2006 tentang Organisasi dan Tata Kerja Kantor Wilayah Badan Pertanahan Nasional dan Kantor Pertanahan.

37Pusat Bahasa Departemen Pendidikan Nasional, 2008, Op.cit, hal. 1252

38Badan Pertanahan Nasional RI Bidang Pengkajian dan Penanganan Sengketa dan Konflik

(47)

Dengan demikian, terdapat pengertian yang tegas dari istilah-istilah yang

dipakai dalam tesis ini, sehingga tidak akan timbul salah tafsir.

G. Metode Penelitian

1. Sifat Penelitian

Rencana penelitian ini dilakukan dengan mengkategorikan sebagai penelitian

yang bersifat deskriptif kualitatif. Bersifat deskriptif maksudnya penelitian yang

bertujuan untuk melukiskan keadaan obyek atau peristiwanya,40 dan kualitatif

diartikan sebagai kegiatan menganalisa data secara komprehenship, yaitu data

sekunder dari berbagai kepustakaan dan literatur baik yang berupa buku-buku,

peraturan perundangan, disertasi, tesis dan hasil penelitian lainnya maupun informasi

dari media massa, terutama mengenai data yang ada dalam berkas masalah yang

diteliti karena obyek penelitian menyangkut studi terhadap penyelesaian sengketa

tanah Negara bekas Hak Guna Bangunan Nomor 1/Sitirejo.

Metode yang dipakai untuk mengetahui isi dokumen tersebut adalah analisis

isi (content analysis), sehingga dengan sifat penelitian ini dapat diperoleh gambaran

yang seteliti mungkin tentang data faktual yang berhubungan dengan obyek yang

diteliti.

2. Metode Pendekatan.

Rencana penelitian ini menggunakan metode penelitian yuridis normatifyang

mengacu kepada peraturan perundang-undangan dan dianalisis dengan doktrin dari

39Pasal 1 Peraturan Menteri Negara Agraria/Kepala Badan Pertanahan Nasional Nomor 1 tahun

(48)

para sarjana hukum. Dalam hal ini penelitian dilakukan untuk menemukan hukum

in-konkritodan juga penelitian terhadapsinkronisasi vertikal dan horizontal.41

Penelitian dengan metode yuridis normatif ini diambil dengan pertimbangan

bahwa pendekatan ini dipandang cukup layak untuk diterapkan, karena dengan

metode penelitian ini akan diperoleh data dan informasi secara menyeluruh yang

bersifat normatif baik dari hukum primer, sekunder maupun tertier. Data atau

informasi yang didapatkan akan diuji dengan peraturan perundangan yang berkaitan

dengan implementasi kewenangan dalam penyelesaian sengketa pertanahan.

3. Sumber Data

Berdasarkan sifat penelitian tersebut di atas, maka data yang dikumpulkan

berasal dari data sekunder, data sekunder dimaksudkan antara lain meliputi bahan

hukum primer, bahan hukum sekunder dan bahan hukum tertier.

4. Teknik Pengumpulan Data

Untuk memperoleh data yang relevan dengan permasalahan yang diteliti,

dikaitkan dengan jenis penelitian hukum normatif, maka teknik pengumpulan data

dimulai dengan menginventarisari peraturan perundang-undangan di bidang

pertanahan khususnya yang berkaitan dengan kewenangan dalam penyelesaian

sengketa pertanahan. Setelah itu dibuat intisarinya, lalu peraturan perundangan

40Sutrisno Hadi,,Metodologi Reseacht, (Jogyakarta : Andi Offset, 1989), hal. 3

41 Menurut Ronny Hanitijo Sumitro, penelitian yuridis normatif terdiri atas 1) penelitian

(49)

tersebut dicocokkan dengan pelaksanaan dan kenyataannya dalam studi kasus yang

ditentukan.

5. Alat Pengumpulan Data

Untuk mendapatkan hasil yang diinginkan dalam penelitian ini maka

dipakailah alat pengumpulan data berupa studi dokumen, dilakukan untuk

mendapatkan data sekunder yang relevan dengan masalah yang diteliti dan dari studi

dokumen tersebut diharapkan dapat diperoleh jawaban dari permasalahan yang telah

dirumuskan.

6. Analisis Data

Sesuai dengan sifat penelitian ini yang bersifat deskriptif kualitatif. Maka

setelah diperoleh data sekunder, dilakukanlah pengelompokan data yang sama sesuai

dengan kategori yang ditentukan. Penelusuran data dalam penelitian ini mulai dari

aspek kewenangan dan aspek penyelesaian sengketa pertanahan dan diterapkan pada

studi kasus yang ditentukan, kemudian diuji dan dianalisis dengan teori hukum yang

ada serta peraturan perundangan yang berlaku.

Setelah itu dengan menggunakan metode deduktif, ditarik suatu kesimpulan

(50)

B A B II

PENGATURAN KEWENANGAN KANTOR WILAYAH BADAN PERTANAHAN NASIONAL PROVINSI SUMATERA UTARA DALAM

MENYELESAIKAN SENGKETA PERTANAHAN

A. Pengaturan Kewenangan Penyelesaian Sengketa Pertanahan

Pasal 1 ayat (3) Undang Undang dasar 1945 menegaskan bahwa Negara

Indonesia sebagai suatu negara hukum. Negara hukum berpijak pada empat prinsip

cita hukum, yakni melindungi semua unsur bangsa (nation) demi keutuhan

(integrasi), mewujudkan keadilan sosial dalam bidang ekonomi dan kemasyarakatan,

mewujudkan kedaulatan rakyat (demokrasi) dan negara hukum (monokrasi), dan

menciptakan toleransi atas dasar kemanusiaan dan berkeadilan dalam hidup

beragama.42

Dalam prakteknya, negara hukum juga dimaknai bahwa segala aktifitas

kenegaraan dari lembaga-lembaga negara maupun aktivitas kemasyarakatan dari

seluruh warga negara didasarkan pada hukum.

Bidang pertanahan sebagai salah satu bidang yang mengatur tata kehidupan

warga negara juga harus didasarkan pada hukum, yakni Hukum Agraria/Pertanahan.

Dasar pengaturan dari Hukum Agraria/Pertanahan tersebut adalah Pasal 33 ayat (3)

UUD 1945 yang menyatakan “bumi, air dan kekayaan alam yang terkandung di

42Mahfud MD,Membangun Politik Hukum, Menegakkan Konstitusi, (Jakarta : LP3ES: 2006),

Gambar

Tabel 1 :Rekapitulasi Target dan Penyelesaian Sengketa Pertanahan di
Tabel 2 : Daftar Pelaksanaan Rapat Penyelesaian Sengketa
Tabel 3 : Tingkat Pendidikan dan Pengalaman Staf yang menangani sengketaPertanahan pada Kanwil BPN Provinsi Sumatera Utara

Referensi

Dokumen terkait

Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui bagaimana proses penyelesaian sengketa pertanahan secara mediasi oleh Badan Pertanahan Nasional Kabupaten Sukoharjo

PROSES PENYELESAIAN SENGKETA DATA FISIK SERTIFIKAT HAK ATAS TANAH DIKANTOR PERTANAHAN KOTA SURAKARTA.. Untuk menjamin kepastian hukum oleh pemerintah diadakan

sengketa tanah secara mediasi di Kantor Pertanahan Jakarta Utara. Untuk mengetahui analisa yang dilakukan oleh Kantor Pertanahan dalam. rangka penyelesaian sengketa tanah secara

Dalam menangani atau menyelesaikan suatu kasus di bidang pertanahan Pihak Badan Pertanahan Nasional Daerah Kota Surakarta selalu menyelesaikan sengketa tanah dengan

Permasalahan yang diangkat dalam penelitian ini adalah bagaimana jenis sengketa pertanahan yang diselesaikan melalui jalur mediasi di Kantor Wilayah Badan Pertanahan

3 Dalam pelaksanaan mediasi penye- lesaian sengketa pertanahan terdapat hambatan dan kendala, antara lain tidak adanya pihak yang tidak memiliki itikad baik untuk memanfaatkan proses

3 Dalam pelaksanaan mediasi penyelesaian sengketa pertanahan terdapat hambatan dan kendala, antara lain tidak adanya pihak yang tidak memiliki itikad baik untuk memanfaatkan proses

Hasil dari penelitian yang terkait dengan pelaksanaan penyelesaian sengketa tanah melalui mediasi di Kantor Pertanahan Kota Pekanbaru ini ialah yang mana dalam pelaksanaannya kedua