HUBUNGAN FAKTOR PREDISPOSISI, PENDUKUNG, DAN PENGUAT DALAM PENGGUNAAN ALAT PELINDUNG DIRI (APD) DENGAN
PENCEGAHAN PNEUMOKONIOSIS PADA TENAGA KERJA BONGKAR MUAT (TKBM) DI PELABUHAN LAUT
KUALA TANJUNG TAHUN 2013
TESIS
Oleh
SRI WAHYUNI 117032087/IKM
PROGRAM STUDI S2 ILMU KESEHATAN MASYARAKAT FAKULTAS KESEHATAN MASYARAKAT
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA MEDAN
HUBUNGAN FAKTOR PREDISPOSISI, PENDUKUNG, DAN PENGUAT DALAM PENGGUNAAN ALAT PELINDUNG DIRI (APD) DENGAN
PENCEGAHAN PNEUMOKONIOSIS PADA TENAGA KERJA BONGKAR MUAT (TKBM) DI PELABUHAN LAUT
KUALA TANJUNG TAHUN 2013
T E S I S
Diajukan Sebagai Salah Satu Syarat
untuk Memperoleh Gelar Magister Kesehatan (M.Kes) dalam Program Studi S2 Ilmu Kesehatan Masyarakat Minat Studi Administrasi Kesehatan Komunitas/Epidemiologi
pada Fakultas Kesehatan Masyarakat Universitas Sumatera Utara
Oleh
SRI WAHYUNI 117032087/IKM
PROGRAM STUDI S2 ILMU KESEHATAN MASYARAKAT FAKULTAS KESEHATAN MASYARAKAT
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA MEDAN
Judul Tesis : HUBUNGAN FAKTOR PREDISPOSISI, PENDUKUNG, DAN PENGUAT DALAM
PENGGUNAAN ALAT PELINDUNG DIRI (APD) DENGAN PENCEGAHAN PNEUMOKONIOSIS PADA TENAGA KERJA BONGKAR MUAT (TKBM) DI PELABUHAN LAUT KUALA TANJUNG TAHUN 2013
Nama Mahasiswa : Sri Wahyuni Nomor Induk Mahasiswa : 117032087
Program Studi : S2 Ilmu Kesehatan Masyarakat
Minat Studi : Administrasi Kesehatan Komunitas/Epidemiologi
Menyetujui Komisi Pembimbing
(Dr. Ir. Gerry Silaban, M.Kes) (Drs. Jemadi, M.Kes)
Ketua Anggota
Dekan
(Dr. Drs. Surya Utama, M.S)
Telah Diuji
pada Tanggal : 23 Agustus 2013
PANITIA PENGUJI TESIS
Ketua : Dr. Ir. Gerry Silaban, M.Kes Anggota : 1. Drs. Jemadi, M.Kes
PERNYATAAN
HUBUNGAN FAKTOR PREDISPOSISI, PENDUKUNG, DAN PENGUAT DALAM PENGGUNAAN ALAT PELINDUNG DIRI (APD) DENGAN
PENCEGAHAN PNEUMOKONIOSIS PADA TENAGA KERJA BONGKAR MUAT (TKBM) DI PELABUHAN LAUT
KUALA TANJUNG TAHUN 2013
T E S I S
Dengan ini saya menyatakan bahwa dalam tesis ini tidak terdapat karya yang pernah diajukan untuk memperoleh gelar kesarjanaan di suatu perguruan tinggi, dan sepanjang pengetahuan saya juga tidak terdapat karya atau pendapat yang pernah ditulis atau diterbitkan oleh orang lain, kecuali yang secara tertulis diacu dalam naskah ini dan disebutkan dalam daftar pustaka.
Medan, September 2013
ABSTRAK
TKBM adalah tenaga kerja yang melakukan kegiatan bongkar muat di pelabuhan, jika TKBM bekerja tanpa menggunakan APD khususnya masker diduga sebagai faktor risiko penyebab terjadinya pneumokoniosis. Penelitian ini bertujuan untuk menguji bagaimana hubungan faktor predisposisi, pendukung dan penguat dalam penggunaan APD dengan pencegahan pneumokoniosis pada TKBM di Pelabuhan Laut Kuala Tanjung.
Penelitian ini merupakan penelitian survey dengan menggunakan desain cross sectional. Populasi dalam penelitian berjumlah 269 orang. Teknik pengambilan sampel dilakukan secara systematic random sampling. Sampel dalam penelitian berjumlah 81 orang. Instrumen dalam penelitian ini menggunakan kuesioner. Data yang diperoleh diolah dengan menggunakan statistik uji chi square.
Hasil penelitian menunjukkan bahwa proporsi pencegahan pneumokoniosis tidak baik sebanyak (74,1%) responden. Uji statistik chi-square menunjukkan bahwa ada 4 variabel yang berhubungan signifikan dengan pencegahan pneumokoniosis yaitu pengetahuan (p=0,026), ketersediaan APD (p=0,000), dukungan koperasi TKBM (p=0,002), dukungan petugas kesehatan (p=0,029)
Rekomendasi kepada TKBM harus menggunakan alat pelindung pernafasan sewaktu melakukan kegiatan bongkar muat. Koperasi TKBM harus memantau pekerjanya untuk selalu menggunakan alat pelindung pernafasan saat melakukan kegiatan bongkar muat dan menerapkan sanksi yang sudah ada sebagai upaya pencegahan pneumokoniosis. Petugas kesehatan perlu melakukan kerjasama dengan koperasi TKBM dalam rangka memberikan penyuluhan tentang penggunaan APD untuk mengurangi faktor risiko penyebab terjadinya pneumokoniosis.
ABSTRACT
TKBM (Loading and Unloading Worker) is a worker who does loading and unloading job at a port. A TKBM who does his job without using APD (personal protection device), especially a masker, will surely take a risk of being affected by pneumoconiosis. The objective of the research was to verify the correlation of predisposing, enabling, and reinforcing factors in using APD with the prevention of pneumoconiosis in a TKBM at Kuala Tanjung Seaport.
The research was a survey, using cross sectional design. The population was 269 loading and unloading workers, and 81 of them were used as the samples, using systematic random sampling technique. The instrument of the research was questionnaire, while the data were processed by using chi square test statistics.
The result of the research showed that the proportion of the prevention of pneumoconiosis for the respondents (74.1%) was not good. The result of the chi square test showed that there were four variables which had significant correlation with the prevention of pneumoconiosis: knowledge (p=0.026), availability of APD (p=0.000), support from the TKBM cooperative (p=0.002), and support from health workers (p=0.029).
It is recommended that loading and loading workers use respiratoring protector when they do their loading and unloading activities, TKBM cooperative monitor its members in using respiratoring protector and impose sanction in order to prevent the workers from pneumoconiosis, and health workers collaborate with TKBM cooperative in providing counseling about the use of APD in order to decrease risk factor of being affected by pneumoconiosis.
KATA PENGANTAR
Penulis panjatkan puji dan syukur yang tiada henti dan tak terhingga kepada
Allah SWT atas berkah dan rahmat serta pertolongan-Nya sehingga penulis dapat
menyelesaikan penelitian ini dengan judul “Hubungan Faktor Predisposisi,
Pendukung dan Penguat dalam Penggunan Alat Pelindung Diri (APD) dengan
Pencegahan Pneumokoniosis pada Tenaga Kerja Kongkar Muat (TKBM) di
Pelabuhan Laut Kuala Tanjung Tahun 2013”.
Penyusunan tesis ini merupakan salah satu syarat untuk memperoleh gelar
Magister Kesehatan (M.Kes) pada Program Studi S2 Ilmu Kesehatan Masyarakat
Minat Studi Administrasi Kesehatan Komunitas/Epidemiologi Fakultas Kesehatan
Masyarakat Universitas Sumatera Utara. Proses penulisan tesis dapat terwujud berkat
dukungan, bimbingan, arahan dan bantuan baik moral maupun material dari banyak
pihak. Untuk itu izinkan penulis mengucapkan terima kasih yang tak terhingga
kepada :
1. Prof. Dr. dr. Syahril Pasaribu, DTM&H, M.Sc (CTM), Sp.A(K), selaku Rektor
Universitas Sumatera Utara.
2. Dr. Drs. Surya Utama, M.S., selaku Dekan Fakultas Kesehatan Masyarakat
Universitas Sumatera Utara.
3. Dr. Ir. Evawany Y Aritonang, M.Si., selaku Sekretaris Program Studi S2 Ilmu
Kesehatan Masyarakat, Fakultas Kesehatan Masyarakat Universitas Sumatera
4. Dr. Ir. Gerry Silaban, M.Kes., selaku ketua komisi pembimbing yang telah
membimbing, mengarahkan dan meluangkan waktu untuk membimbing penulis
mulai dari proposal hingga penulisan tesis selesai.
5. Drs. Jemadi, M.Kes., selaku anggota komisi pembimbing yang telah
membimbing, mengarahkan dan meluangkan waktu untuk membimbing penulis
mulai dari proposal hingga penulisan tesis selesai.
6. dr. Halinda Sari Lubis, M.K.K.K dan Ir. Kalsum, M.Kes., sebagai komisi penguji
yang telah banyak memberikan arahan dan masukan demi kesempurnaan
penulisan tesis ini.
7. Dosen dan staf dilingkungan Program Studi S2 Ilmu Kesehatan Masyarakat
Minat Studi Administrasi Kesehatan Komunitas/Epidemiologi, Fakultas
Kesehatan Masyarakat Universitas Sumatera Utara
8. Kepala Kantor Kesehatan Pelabuhan Kelas I Medan, dr. Hj. Wiendra
Waworuntu, M.Kes yang telah berkenan memberikan izin penulis melakukan
penelitian di lingkungan kerja KKP Kelas I Medan.
9. Rekan-rekan mahasiswa S2 Ilmu Kesehatan Masyarakat Minat Studi
Administrasi Kesehatan Komunitas/Epidemiologi tahun 2011 yang telah
memberikan semangat dalam menyelesaikan pendidikan di Program Studi S2
Ucapan terima kasih penulis berikan kepada orang tua tercinta, Alm. H. Joko
Sumenang dan Juriah, adik-adik tersayang, Hendro Saputro dan Puji Utari yang selalu
memberikan dukungan dan doa kepada penulis serta ucapan terima kasih paling
istimewa penulis hadiahkan kepada suamiku tercinta Muliadi atas cinta, dukungan
dan doa yang tidak pernah putus selama penulis menyelesaikan pendidikan Program
Studi S2 IKM FKM-USU.
Penulis menyadari atas segala keterbatasan, untuk itu saran dan kritik yang
membangun sangat penulis harapkan demi kesempurnaan tesis ini dengan harapan,
semoga tesis ini bermanfaat bagi pengambil kebijakan di bidang kesehatan dan
pengembangan ilmu pengetahuan bagi peneliti selanjutnya.
Medan, September 2013 Penulis
RIWAYAT HIDUP
Sri Wahyuni, lahir pada tanggal 9 Januari 1977 di Tebing Tinggi, anak
pertama dari tiga bersaudara dari pasangan ayahanda Alm. H. Joko Sumenang dan
ibunda Juriah.
Pendidikan formal penulis dimulai dari sekolah dasar di Sekolah Dasar Negeri
No.102095 Tebing Tinggi, selesai tahun 1989, Sekolah Menengah Pertama di SMP
Negeri 2 Tebing Tinggi, selesai tahun 1992, Sekolah Menengah Atas di SMA Negeri
1 Tebing Tinggi, selesai tahun 1995, D-III Keperawatan Bina Husada Tebing Tinggi,
selesai tahun 1998, dan Program Studi Ilmu Keperawatan (PSIK) Fakultas
Kedokteran Universitas Sumatera Utara, selesai tahun 2005.
Penulis bekerja di Kantor Kesehatan Pelabuhan Kelas I Medan, Kementerian
DAFTAR ISI
Halaman
ABSTRAK ... i
ABSTRACT ... ii
KATA PENGANTAR ... iii
DAFTAR RIWAYAT HIDUP ... vi
DAFTAR ISI ... vii
DAFTAR TABEL ... xi
DAFTAR GAMBAR ... xiii
DAFTAR LAMPIRAN ... xiv
BAB 1. PENDAHULUAN ... 1
1.1 Latar Belakang ... 1
1.2 Permasalahan ... 6
1.3 Tujuan Penelitian ... 6
1.4 Hipotesis ... 7
1.5 Manfaat Penelitian ... 7
BAB 2. TINJAUAN PUSTAKA ... 8
2.1 Pneumokoniosis ... 8
2.1.1 Definisi Pneumokoniosis ... 8
2.1.2 Penyebab Pneumokoniosis ... 8
2.1.3 Gejala ... 8
2.1.4 Patogenesis ... 8
2.1.5 Jenis Pneumokoniosis ... 11
2.1.6 Diagnosis ... 12
2.1.7 Penatalaksanaan ... 15
2.1.8 Pencegahan Pneumokoniosis ... 15
2.2 APD ... 16
2.2.1 Pengertian APD ... 16
2.2.2 Syarat-syarat APD ... 16
2.2.3 Fungsi dan Jenis APD ... 18
2.2.4 Manfaat Pemakaian APD ... 25
2.3 Perilaku ... 25
2.3.1 Pengertian Perilaku ... 25
2.3.2 Determinan Perilaku Kesehatan ... 26
2.3.3 Faktor-faktor yang mempengaruhi perilaku ... 27
2.4 Tenaga Kerja Bongkar Muat (TKBM) ... 34
2.5.1 Stavedoring ... 34
2.5.2 Cargodoring ... 34
2.5.3 Receving/Delivery ... 35
2.6 Landasan Teori ... 35
2.5.1 Faktor-faktor Predisposisi (Predisposing Factors) ... 35
2.5.2 Faktor-faktor Pemungkin (Enabling Factors) ... 35
2.5.3 Faktor-faktor Penguat (Reinforcing Factors) ... 35
2.7 Kerangka Konsep ... 36
BAB 3. METODE PENELITIAN ... 37
3.1 Jenis Penelitian ... 37
3.2 Lokasi dan Waktu Penelitian ... 37
3.3 Populasi dan Sampel ... 37
3.4 Metode Pengumpulan Data ... 38
3.4.1 Data Primer ... 38
3.4.2 Data Sekunder ... 38
3.4.3 Uji Validitas dan Uji Reliabilitas ... 38
3.5 Variabel dan Definisi Operasional ... 41
3.5.1 Variabel Independen ... 41
3.5.2 Variabel Dependen ... 42
3.6 Metode Pengukuran ... 42
3.6.1 Variabel Independen ... 42
3.6.2 Variabel Dependen ... 44
3.7 Metode Analisis Data ... 45
3.7.1 Analisis Univariat ... 45
3.7.2 Analisis Bivariat ... 46
BAB 4. HASIL PENELITIAN ... 47
4.1 Deskripsi Lokasi Penelitian ... 47
4.2 Analisis Univariat ... 49
4.2.1 Distribusi Proporsi Responden Berdasarkan Identitas Responden Umur, Lama Bekerja dan Tingkat Pendidikan di Pelabuhan Laut Kuala Tanjung Tahun 2013 ... 49
4.2.2 Distribusi Proporsi Responden Berdasarkan Pengetahuan di Pelabuhan Laut Kuala Tanjung Tahun 2013 ... 51
4.2.3 Distribusi Proporsi Responden Berdasarkan Sikap di Pelabuhan Laut Kuala Tanjung Tahun 2013 ... 51
4.2.5 Distribusi Proporsi Responden Berdasarkan Dukungan Koperasi TKBM di Pelabuhan Laut Kuala Tanjung
Tahun 2013 ... 52
4.2.6 Distribusi Proporsi Responden Berdasarkan Dukungan Petugas Kesehatan di Pelabuhan Laut Kuala Tanjung Tahun 2013 ... 53
4.2.7 Distribusi Proporsi Responden Berdasarkan Pencegahan Pneumokoniosis di Pelabuhan Laut Kuala Tanjung Tahun 2013 ... 53
4.3 Analisis Bivariat ... 54
4.3.1 Hubungan Pengetahuan dengan Pencegahan Pneumokoniosis ... 54
4.3.2 Hubungan Sikap dengan Pencegahan Pneumokoniosis ... 55
4.3.3 Hubungan Ketersediaan ALat Pelindung Diri (APD) dengan Pencegahan Pneumokoniosis ... 55
4.3.4 Hubungan Dukungan Koperasi TKBM dengan Pencegahan Pneumokoniosis ... 56
4.3.5 Hubungan Dukungan Petugas Kesehatan dengan Pencegahan Pneumokoniosis ... 57
BAB 5. PEMBAHASAN ... 59
5.1 Analisis Univariat ... 59
5.1.1 Identitas Responden Berdasarkan Umur, Lama Bekerja dan Pendidikan ... 59
5.1.2 Pengetahuan ... 60
5.1.3 Sikap ... 61
5.1.4 Ketersediaan Alat Pelindung Diri (APD) ... 61
5.1.5 Dukungan Koperasi TKBM ... 62
5.1.6 Dukungan Petugas Kesehatan ... 63
5.1.7 Pencegahan Pneumokoniosis ... 63
5.2 Analisis Bivariat ... 63
5.2.1 Hubungan Pengetahuan dengan Pencegahan Pneumokoniosis ... 63
5.2.2 Hubungan Sikap dengan Pencegahan Pneumokoniosis ... 65
5.2.3 Hubungan Ketersediaan ALat Pelindung Diri (APD) ... dengan Pencegahan Pneumokoniosis ... 67
5.2.4 Hubungan Dukungan Petugas Kesehatan dengan Pencegahan Pneumokoniosis ... 69
BAB 6. KESIMPULAN DAN SARAN ... 72
6.1 Kesimpulan ... 72
6.2 Saran ... 72
DAFTAR PUSTAKA ... 74
DAFTAR TABEL
Nomor Judul Halaman
2.1 Beberapa Jenis Pneumokoniosis Berdasarkan Debu Penyebabnya ... 11
3.1 Hasil Uji Validitas ... 39
3.2 Hasil Uji Reliabilitas ... 41
3.3 Variabel, Alat Ukur, Jumlah Indikator, Hasil dan Skala Ukur ... 45
4.1 Distribusi Proporsi Responden Berdasarkan Umur di Pelabuhan Laut Kuala Tanjung Tahun 2013 ... 50
4.2 Distribusi Proporsi Responden Berdasarkan Lama Bekerja di Pelabuhan Laut Kuala Tanjung Tahun 2013 ... 50
4.3 Distribusi Proporsi Responden Berdasarkan Tingkat Pendidikan di Pelabuhan Laut Kuala Tanjung Tahun 2013 ... 50
4.4 Distribusi Proporsi Responden Berdasarkan Pengetahuan di Pelabuhan Laut Kuala Tanjung Tahun 2013 ... 51
4.5 Distribusi Proporsi Responden Berdasarkan Sikap di Pelabuhan Laut Kuala Tanjung Tahun 2013 ... 51
4.6 Distribusi Proporsi Responden Berdasarkan Ketersediaan Alat Pelindung Diri (APD) di Pelabuhan Laut Kuala Tanjung Tahun 2013 ... 52
4.7 Distribusi Proporsi Responden Berdasarkan Dukungan Koperasi TKBM di Pelabuhan Laut Kuala Tanjung Tahun 2013 ... 52
4.8 Distribusi Proporsi Responden Berdasarkan Dukungan Petugas Kesehatan di Pelabuhan Laut Kuala Tanjung Tahun 2013 ... 53
4.9 Distribusi Proporsi Responden Berdasarkan Pencegahan Pneumokoniosis di Pelabuhan Laut Kuala Tanjung Tahun 2013 ... 54
4.11 Hubungan Sikap dengan Pencegahan Pneumokoniosis di Pelabuhan Laut Kuala Tanjung Tahun 2013 ... 55
4.12 Hubungan Ketersediaan Alat Pelindung Diri (APD) dengan Pencegahan Pneumokoniosis di Pelabuhan Laut Kuala Tanjung Tahun 2013 ... 56
4.13 Hubungan Dukungan Koperasi TKBM dengan Pencegahan Pneumokoniosis di Pelabuhan Laut Kuala Tanjung Tahun 2013 ... 57
DAFTAR GAMBAR
Nomor Judul Halaman
2.1 Bagan Precede Lawrence W.Green ... 28
DAFTAR LAMPIRAN
Nomor Judul Halaman
1 Kuesioner Penelitian ... 78
2 Jadwal Penelitian ... 84
3 Master Data ... 85
4 Hasil Uji Validitas dan Reliabilitas ... 88
5 Tabel Frekuensi Pertanyaan ... 94
6 Tabel Frekuensi Variabel Kategorisasi ... 104
7 Hasil Uji Statistik Bivariat ... 106
8 Uji Normalitas ... 111
9 Surat Permohonan Izin Penelitian ... 1 112
10 Surat Keterangan Pelaksanaan Penelitian ... 1 113
ABSTRAK
TKBM adalah tenaga kerja yang melakukan kegiatan bongkar muat di pelabuhan, jika TKBM bekerja tanpa menggunakan APD khususnya masker diduga sebagai faktor risiko penyebab terjadinya pneumokoniosis. Penelitian ini bertujuan untuk menguji bagaimana hubungan faktor predisposisi, pendukung dan penguat dalam penggunaan APD dengan pencegahan pneumokoniosis pada TKBM di Pelabuhan Laut Kuala Tanjung.
Penelitian ini merupakan penelitian survey dengan menggunakan desain cross sectional. Populasi dalam penelitian berjumlah 269 orang. Teknik pengambilan sampel dilakukan secara systematic random sampling. Sampel dalam penelitian berjumlah 81 orang. Instrumen dalam penelitian ini menggunakan kuesioner. Data yang diperoleh diolah dengan menggunakan statistik uji chi square.
Hasil penelitian menunjukkan bahwa proporsi pencegahan pneumokoniosis tidak baik sebanyak (74,1%) responden. Uji statistik chi-square menunjukkan bahwa ada 4 variabel yang berhubungan signifikan dengan pencegahan pneumokoniosis yaitu pengetahuan (p=0,026), ketersediaan APD (p=0,000), dukungan koperasi TKBM (p=0,002), dukungan petugas kesehatan (p=0,029)
Rekomendasi kepada TKBM harus menggunakan alat pelindung pernafasan sewaktu melakukan kegiatan bongkar muat. Koperasi TKBM harus memantau pekerjanya untuk selalu menggunakan alat pelindung pernafasan saat melakukan kegiatan bongkar muat dan menerapkan sanksi yang sudah ada sebagai upaya pencegahan pneumokoniosis. Petugas kesehatan perlu melakukan kerjasama dengan koperasi TKBM dalam rangka memberikan penyuluhan tentang penggunaan APD untuk mengurangi faktor risiko penyebab terjadinya pneumokoniosis.
ABSTRACT
TKBM (Loading and Unloading Worker) is a worker who does loading and unloading job at a port. A TKBM who does his job without using APD (personal protection device), especially a masker, will surely take a risk of being affected by pneumoconiosis. The objective of the research was to verify the correlation of predisposing, enabling, and reinforcing factors in using APD with the prevention of pneumoconiosis in a TKBM at Kuala Tanjung Seaport.
The research was a survey, using cross sectional design. The population was 269 loading and unloading workers, and 81 of them were used as the samples, using systematic random sampling technique. The instrument of the research was questionnaire, while the data were processed by using chi square test statistics.
The result of the research showed that the proportion of the prevention of pneumoconiosis for the respondents (74.1%) was not good. The result of the chi square test showed that there were four variables which had significant correlation with the prevention of pneumoconiosis: knowledge (p=0.026), availability of APD (p=0.000), support from the TKBM cooperative (p=0.002), and support from health workers (p=0.029).
It is recommended that loading and loading workers use respiratoring protector when they do their loading and unloading activities, TKBM cooperative monitor its members in using respiratoring protector and impose sanction in order to prevent the workers from pneumoconiosis, and health workers collaborate with TKBM cooperative in providing counseling about the use of APD in order to decrease risk factor of being affected by pneumoconiosis.
BAB 1 PENDAHULUAN
1.1. Latar Belakang
Setiap tempat kerja terdapat berbagai potensi bahaya yang dapat
mempengaruhi kesehatan tenaga kerja atau dapat menyebabkan timbulnya
penyakit akibat kerja, debu adalah partikel yang merupakan salah satu faktor kimia
yang ada di tempat kerja (Meita 2012). Debu adalah partikel-partikel zat padat
yang disebabkan oleh kekuatan-kekuatan alami atau mekanis dari bahan-bahan
organik maupun anorganik. Akibat penumpukan debu yang tinggi di paru-paru
dapat menyebabkan kelainan dan kerusakan paru. Penyakit akibat penumpukan debu
pada paru disebut pneumokoniosis (Susanto, 2011).
Pneumokoniosis merupakan salah satu penyakit utama akibat kerja, yang
terjadi hampir di seluruh dunia dan merupakan masalah yang mengancam para
pekerja. Salah satu bentuk kelainan paru yang bersifat menetap adalah berkurangnya
elastisitas paru, yang ditandai dengan penurunan pada kapasitas vital paru. Debu
asbes dan silika serta batubara merupakan penyebab utama pneumokoniosis.
Pneumokoniosis baru tampak secara klinis dan radiologis setelah pajanan debu
berlangsung 20-30 tahun (Susanto, 2011).
Data World Health Organization (WHO) tahun 1999 menunjukkan bahwa
terdapat 1,1 juta kematian oleh penyakit akibat kerja di seluruh dunia, 5% dari angka
yaitu surveillance of work related and occupational respiratory disease (SWORD)
menunjukkan pneumokoniosis hampir selalu menduduki peringkat 3-4 setiap tahun.
Menurut International Labour Organization (ILO) tentang kecelakaan kerja
dan penyakit akibat kerja di dunia tahun 2005 dari 2,8 milyar pekerja yang
mengalami kematian sebanyak 2,2 juta orang karena kecelakaan kerja dan penyakit
akibat kerja. Data dari ILO menyebutkan bahwa penyebab kematian yang
berhubungan dengan pekerjaan diantaranya adalah kanker (34%), kecelakaan (25%),
peyakit saluran pernapasan (21%), penyakit kardiovaskuler (15%) dan lain-lain (5%).
Hasil studi Depkes RI (2005) tentang Profil Masalah Kesehatan Pekerja di
Indonesia tahun 2005 didapatkan 40,5% dari pekerja memiliki keluhan gangguan
kesehatan yang berhubungan dengan pekerjaan salah satunya adalah gangguan
pernapasan. Data pneumokoniosis nasional di Indonesia belum ada. Data yang ada
adalah penelitian-penelitian berskala kecil yang berasal dari industri yang berisiko
terjadi pneumokoniosis dan sebagian besar tidak terlaporkan karena data dilapangan
tidak ada.
Kuala Tanjung adalah pelabuhan yang lokasinya berada di Kabupaten
Batubara memiliki peranan yang penting dalam kegiatan bongkar muat barang baik
impor maupun ekspor, lokasi pelabuhan Kuala Tanjung berada di bibir Selat Malaka
berdampingan dengan pelabuhan besar Malaysia dan Singapura yang merupakan
lintasan pelayaran kapal dagang dunia, sehingga menjadikan pelabuhan ini begitu
Kondisi lingkungan kerja di pelabuhan laut Kuala Tanjung memiliki risiko
potensi bahaya terhadap keselamatan dan kesehatan pekerja. Salah satu bidang
pekerjaan yang perlu mendapat perhatian adalah tenaga kerja bongkar muat (TKBM).
TKBM adalah orang yang berisiko terpapar debu, dan kegiatan bongkar muat
merupakan kegiatan yang menimbulkan risiko potensi bahaya dimana tempat
kerjanya berada pada daerah terbuka, sehingga mempunyai risiko bahaya kesehatan.
Adapun risiko bahaya kesehatan berasal dari kegiatan bongkar muat ketika TKBM
melakukan pembongkaran bahan baku aluminium dan semen dimana kedua bahan
baku ini dapat membahayakan kondisi kesehatan, jika kegiatan pembongkaran bahan
baku dari palka kapal ke dermaga, TKBM tidak menggunakan APD sehingga
berisiko mengalami gangguan saluran pernafasan.
Adapun kegiatan yang paling berisiko dengan paparan debu berasal dari
kegiatan pembongkaran bahan baku aluminium (alumina in bulk, coal tar pitch dan
petroleum coke), dimana selain mengandung alumina bahan baku tersebut juga
mengandung batubara dan karbon jika terhirup dapat menyebabkan terjadinya
penurunan fungsi paru dan jika terhirup dalam jangka waktu lama maka
pertikel-partikel debu tersebut akan terakumulasi di paru-paru sehingga menimbulkan reaksi
jaringan terhadap partikel-partikel debu tersebut, inhalasi debu yang berkepanjangan
dapat menyebabkan penyakit paru akibat kerja (Ikhsan dkk, 2009).
Selain bahan baku aluminium kegiatan pembongkaran bahan baku semen
kalsium oksida (CaO), silika oksida (SiO2), aluminium oksida (Al2O3), besi oksida
(FeO3) dan magnesium oksida (MgO), kemudian kelima bahan tersebut dicampur
dengan gips (gypsum) sehingga terbentuk menjadi semen (Mengkidi, 2006), jika
bahan-bahan ini terhirup secara terus-menerus dapat menyebabkan terjadinya
penurunan fungsi paru. Bahan-bahan baku ini diimpor dari luar negeri dan dibongkar
dari palka kapal untuk didistribusikan ke perusahaan yang memesan, serta paparan
debu juga berasal dari kegiatan memuat bahan baku untuk pakan ternak (palm kernel
expeller) yang di muatke palka kapal untuk diekspor ke luar negeri.
Berdasarkan data Surveilans Epidemiologi Penyakit Menular KKP Kuala
Tanjung Tahun 2012 bahwa jumlah kasus penyakit menular sebanyak 1.610 kasus,
dan kasus yang tertinggi adalah penyakit ISPA sebesar 838 kasus (52%) (KKP Kelas
I Medan, 2012). Data yang diperoleh KKP Kuala Tanjung dari Koperasi TKBM
Tahun 2012 bahwa jumlah kasus penyakit ISPA anggota koperasi TKBM (petugas
koperasi dan TKBM) sebanyak 121 kasus (59%) dan jumlah TKBM yang mengalami
ISPA sebanyak 108 kasus, keluhan yang dialami TKBM yang berkunjung ke
poliklinik adalah demam, selain demam keluhan lainnya adalah batuk berdahak,
batuk kering, sesak nafas, dan nyeri dada, keluhan yang dialami oleh TKBM
dimungkinkan karena paparan debu yang berasal dari aktifitas bongkar muat TKBM
di pelabuhan, dari keluhan-keluhan yang dialami oleh TKBM dimungkinkan
mengarah kepada pneumokoniosis, risiko penyakit ini akan meningkat seiring dengan
Berdasarkan survei pendahuluan yang dilakukan oleh peneliti bahwa TKBM
yang bekerja di shift pagi terdiri dari 4 grup (1 grup ada 9 orang) di masing-masing
dermaga, dan ditemukan sebanyak 28 orang (70%) dari 36 orang pada shift pagi di
dermaga A tidak menggunakan APD (masker) sewaktu melakukan pembongkaran
muatan dari palka kapal ke dermaga pelabuhan dengan alasan tidak nyaman bekerja
jika menggunakan APD (masker) pada saat melakukan kegiatan bongkar muat di
Pelabuhan. TKBM yang bekerja tanpa menggunakan APD khususnya masker diduga
sebagai faktor risiko penyebab terjadinya pneumokoniosis, artinya semakin sedikit
TKBM yang menggunakan APD saat bekerja maka semakin besar risiko terkena
pneumokoniosis jika dibandingkan dengan TKBM yang bekerja dengan
menggunakan APD.
Menurut hasil penelitian yang telah dilakukan oleh Khairani (2012) bahwa
hasil pengukuran konsentrasi debu rata-rata di Pabrik Semen yang lokasinya tidak
jauh dari Pelabuhan Laut Kuala Tanjung, konsentrasi debu rata-rata adalah 86,5
µg/m³ yang diukur pada tanggal 20 September 2012 dan yang diukur pada tanggal 20
November 2012 sebesar 76,0 µg/m³, hal ini menunjukkan bahwa konsentrasi debu
masih memenuhi syarat (150 µg/m³), walaupun demikian keterpaparan yang terjadi
secara berulang dapat menyebabkan gangguan kesehatan.
Perilaku TKBM dalam penggunaan APD saat melakukan pekerjaan
merupakan perilaku kesehatan yang dipengaruhi oleh pengetahuan. Pengetahuan yang
dimaksud adalah pengetahuan TKBM dalam penggunaan APD yang memiliki
tumbuhnya sikap kesadaran dari diri TKBM dalam penggunaaan APD untuk
pencegahan pneumokoniosis pada saat bekerja disertai dengan ketersediaan APD dan
dukungan dari Koperasi TKBM serta Petugas Kesehatan.
Dari latar belakang di atas, peneliti tertarik untuk melakukan penelitian
tentang hubungan faktor predisposisi (pengetahuan dan sikap), pendukung
(ketersediaan APD) dan penguat (dukungan koperasi TKBM dan petugas kesehatan)
dengan penggunaan APD (masker) pada TKBM untuk pencegahan pneumokoniosis
di Pelabuhan Laut Kuala Tanjung Tahun 2013.
1.2. Permasalahan
Permasalahan dalam penelitian ini adalah apakah ada hubungan faktor
predisposisi (pengetahuan, sikap), pendukung (ketersediaan APD) dan penguat
(dukungan koperasi TKBM dan petugas kesehatan) dalam penggunaan APD dengan
pencegahan pneumokoniosis pada TKBM di Pelabuhan Laut Kuala Tanjung Tahun
2013.
1.3. Tujuan Penelitian
Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui hubungan faktor predisposisi
(pengetahuan dan sikap), pendukung (ketersediaan APD) dan penguat (dukungan
koperasi TKBM dan petugas kesehatan) dalam penggunaan APD dengan pencegahan
1.4. Hipotesis
Hipotesis dalam penelitian ini adalah sebagai berikut :
a. Ada hubungan faktor predisposisi (pengetahuan dan sikap) dalam penggunaan
APD dengan pencegahan pneumokoniosis.
b. Ada hubungan faktor pendukung (ketersediaan APD) dalam penggunaan APD
dengan pencegahan pneumokoniosis.
c. Ada hubungan faktor penguat (dukungan koperasi TKBM dan petugas
kesehatan) dalam penggunaan APD untuk pencegahan pneumokoniosis.
1.5. Manfaat Penelitian
a. Sebagai bahan masukan bagi Kesyahbandaran dan Otoritas Pelabuhan
(KSOP) dan Kantor Kesehatan Pelabuhan (KKP) Wilayah Kerja Kuala
Tanjung dalam perencanaan dan evaluasi program penggunaan APD untuk
pencegahan pneumokoniosis pada TKBM dan juga sebagai bahan referensi
dalam menyusun program/kebijakan pencegahan penyakit akibat kerja.
b. Sebagai bahan masukan bagi koperasi TKBM, bahwa penelitian ini dapat
dijadikan pedoman bagi koperasi TKBM untuk memberikan informasi kepada
tenaga kerja bongkar muat tentang manfaat penggunaan APD untuk
pencegahan pneumokoniosis.
c. Hasil penelitian ini diharapkan bermanfaat dan dapat dipakai sebagai referensi
BAB 2
TINJAUAN PUSTAKA
2.1. Pneumokoniosis
2.1.1. Definisi Pneumokoniosis
International Labour Organization (ILO) mendefinisikan pneumokoniosis
sebagai suatu kelainan yang terjadi akibat penumpukan debu dalam paru yang
menyebabkan reaksi jaringan terhadap debu tersebut. Reaksi utama akibat pajanan
debu di paru adalah fibrosis (Susanto, 2011).
2.1.2. Penyebab Pneumokoniosis
Penyebab Pneumokoniosis adalah inhalasi debu mineral. Pneumokoniosis
digunakan untuk menyatakan berbagai keadaan berikut :
a. Kelainan yang terjadi akibat pajanan debu anorganik seperti silika (silikosis), asbes
(asbestosis) dan timah (stannosis).
b. Kelainan yang terjadi akibat pekerjaan seperti pneumokoniosis batubara.
c. Kelainan yang ditimbulkan oleh debu organik seperti kapas (bisinosis).
2.1.3. Gejala
Gejala sering kali timbul sebelum kelainan radiologis seperti : batuk produktif
yang menetap dan sesak nafas saat beraktifitas (Susanto, 2011).
2.1.4. Patogenesis
Faktor utama yang berperan pada patogenesis pneumokoniosis adalah partikel
Komposisi kimia, sifat fisis, dosis dan lama pajanan menentukan dapat atau mudah
tidaknya terjadi pneumokoniosis. Patogenesis pneumokoniosis dimulai dari respons
makrofag alveolar terhadap debu yang masuk ke unit respirasi paru. Terjadi
fagositosis debu oleh makrofag dan proses selanjutnya sangat tergantung pada sifat
toksisitas partikel debu.
Reaksi jaringan terhadap debu bervariasi menurut aktivitas biologi debu. Jika
pajanan terhadap debu anorganik cukup lama maka timbul reaksi inflamasi awal.
Gambaran utama inflamasi ini adalah pengumpulan sel di saluran napas bawah.
Alveolitis dapat melibatkan bronkiolus bahkan saluran napas besar karena dapat
menimbulkan luka dan fibrosis pada unit alveolar yang secara klinis tidak diketahui.
Sebagian debu seperti debu batubara tampak relatif inert dan menumpuk dalam
jumlah relatif banyak di paru dengan reaksi jaringan yang minimal. Debu inert akan
tetap berada di makrofag sampai terjadi kematian oleh makrofag karena umurnya,
selanjutnya debu akan keluar dan difagositosis lagi oleh makrofag lainnya, makrofag
dengan debu di dalamnya dapat bermigrasi ke jaringan limfoid atau ke bronkiolus
dan dikeluarkan melalui saluran napas. Pada debu yang bersifat sitoktoksik, partikel
debu yang difagositosis makrofag akan menyebabkan kehancuran makrofag tersebut
yang diikuti dengan fibrositosis.
Menurut Lipscomb, partikel debu akan merangsang makrofag alveolar untuk
mengeluarkan produk yang merupakan mediator suatu respons peradangan dan
memulai proses proliferasi fibroblast dan deposisi kolagen. Mediator yang paling
(TNF)-α, Interleukin (IL)-6, IL-8, platelet derived growth factor dan transforming
growth factor (TGF)-β. Sebagian besar mediator tersebut sangat penting untuk proses
fibrogenesis. Mediator makrofag penting yang bertanggung jawab terhadap kerusakan
jaringan.
Sitokin telah terbukti berperan dalam patogenesis pneumokoniosis. Pappas
merangkum sitokin yang dihasilkan oleh makrofag alveolar dalam merespon partikel
debu yang masuk ke paru yang selanjutnya menyebabkan fibrosis pada jaringan
interstitial paru. Sitokin ini terdiri atas faktor fibrogenesis seperti TNF-α, PDGF,
IGF-1 dan fibronektin serta faktor proinflamasi seperti LBT4, IL-8, IL-6, MIP1a.
Disamping proses fagositosis debu oleh makrofag alveolar, yang lebih penting adalah
interstisialisasi partikel debu tersebut. Bila partikel debu telah difagositosis oleh
makrofag dan ditransfer ke sistem mukosilier maka proses pembersihan debu yang
masuk dalam saluran napas dikategorikan berhasil. Hilangnya integritas epitel akibat
mediator inflamasi yang dilepaskan makrofag alveolar merupakan kejadian awal
proses fibrogenesis di interstitial paru. Bila partikel debu telah masuk dalam
interstitial maka nasibnya ditentukan oleh makrofag interstitial, difagositosis untuk
kemudian di transfer ke kelenjar getah bening mediastinum atau terjadi sekresi me
diator inflamasi kronik pada interstitial. Sitokin yang dilepaskan di interstitial seperti
PDGF, TGF, TNF, IL-1 menyebabkan proliferasi fibroblas dan terjadilah pneumoko
niosis.
Sifat toksisitas debu menentukan reaksi jaringan yang terjadi pada
Reaksi parenkim dapat berupa fibrosis nodular yaitu contoh klasik dari silikosis,
fibrosis difus pada asbestosis dan pembentukan makula dengan emfisema fokal akibat
debu batubara (Susanto, 2011).
2.1.5. Jenis Pneumokoniosis
Penamaan pneumokoniosis tergantung pada debu penyebabnya, pajanan asbes
menyebabkan asbestosis, debu silika berhubungan dengan silikosis, debu batubara
menyebabkan pneumokoniosis batubara dan lain-lain. Secara ringkas beberapa yang
dikategorikan pneumokoniosis berdasarkan jenis debu penyebabnya terlihat pada
[image:32.612.113.527.382.706.2]tabel 2.1.
Tabel 2.1. Beberapa Jenis Pneumokoniosis Berdasarkan Debu Penyebabnya
Jenis Debu Pneumokoniosis
Asbes Asbestosis
Silika Silikosis
Batubara Pneumokoniosis Batubara
Besi Siderosis
Berilium Beriliosis
Timah Stanosis
Aluminium
Grafit
Aluminosis
Pneumokoniosis grafit
Debu antimony Antimony Pneumokoniosis
Debu Mineral Barite Baritosis
Debu Karbon Pneumokoniosis Karbon
Debu Polyvinyl Chloride (PVC) Pneumokoniosis PVC
Debu Bakelite Pneumokoniosis Bakelite
Zirkonium Pneumokoniosis Zirkonium
Silicon Carbide Carborundum Pneumokoniosis
Hard Metal Tungsten Carbide Pneumokoniosis
Nylon Flock Flock Worker’s Lung
Debu Campuran :
Campuran SiliKa dan Besi Silikosiderosis
Silikat Silikatosis
Slate (campuran mica, feldspar, crystalline quartz) Slate worker’s Pneumokoniosis
Kaolin Pneumokoniosis Kaolin
Mica Mica Pneumokoniosis
Sumber: Susanto, 2011
2.1.6. Diagnosis
Diagnosis pneumokoniosis tidak dapat ditegakkan hanya dengan gejala klinis.
Ada tiga kriteria mayor yang dapat membantu untuk diagnosis pneumokoniosis.
Pertama, pajanan yang signifikan dengan debu mineral yang dicurigai dapat
menyebabkan pneumokoniosis dan disertai dengan periode laten yang mendukung.
Oleh karena itu, diperlukan anamnesis yang teliti mengenai kadar debu di lingkungan
kerja, lama pajanan dan penggunaan alat pelindung diri serta kadang diperlukan
pemeriksaan kadar debu di lingkungan kerja. Gejala seringkali timbul sebelum
kelainan radiologis seperti batuk produktif yang menetap dan atau sesak napas saat
aktivitas yang mungkin timbul 10-20 tahun setelah pajanan. Kedua, gambaran
spesifik penyakit terutama pada kelainan radiologi dapat membantu menentukan jenis
pneumokoniosis. Gejala dan tanda gangguan respirasi serta abnormalitas faal paru
sering ditemukan pada pneumokoniosis tetapi tidak spesifik untuk mendiagnosis
pneumokoniosis. Ketiga, tidak dapat dibuktikan ada penyakit lain yang menyerupai
pneumokoniosis. Pneumokoniosis kemungkinan mirip dengan penyakit interstisial
paru difus seperti sarkoidosis, idiophatic pulmonary fibrosis (IPF) atau interstitial
lung disease (ILD) yang berhubungan dengan penyakit kolagen vascular. Beberapa
pemeriksaan penunjang diperlukan untuk membantu dalam diagnosis
pneumokoniosis yaitu pemeriksaan radiologi, pemeriksaan faal paru dan analisis debu
penyebab (Susanto, 2011).
2.1.6.1. Pemeriksaan Radiologi a. Foto Toraks
Pada pneumokoniosis digunakan klasifikasi standar menurut International Labour
Organization (ILO) untuk interpretasi gambaran radiologi kelainan parenkim difus
yang terjadi. Klasifikasi ini digunakan untuk keperluan epidemiologik penyakit paru
akibat kerja dan mungkin untuk membantu interpretasi klinis (Susanto, 2011).
b. Computed Tomography (CT) Scan
Computed Tomography (CT) Scan bukan merupakan bagian dari klasifikasi
pneumokoniosis secara radiologi. Pemeriksaan CT mungkin sangat bermanfaat secara
individual untuk memperkirakan beratnya fibrosis interstisial yang terjadi, menilai
luasnya emfisema dan perubahan pleura atau menilai ada tidaknya nekrosis atau abses
yang bersamaan dengan opasiti yang ada. High Resolution CT (HRCT) lebih sensitif
dibanding radiologi konvensional untuk evaluasi abnormalitas parenkim pada
asbestosis, silikosis dan pneumokoniosis lainnya. Gambaran paling sering HRCT
percabangan seperti gambaran lesi bronkiolar. Fibrosis interstisial mungkin
bermanifestasi bronkiektasis traksi, sarang tawon/honey comb atau hyperattenuation.
Gambaran HRCT yang khas pada silikosis, pneumokoniosis batubara dan asbestosis
adalah terdapat opasitas halus (small nodular opacities) yang predominan pada zona
paru atas (upper zone). Gambaran opasitas halus pada HRCT ada 2 karakteristik (1)
ill defined fine branching lines dan (2) well defined discrete nodules. Asbestosis
menunjukkan gambaran garis penebalan interlobular dan intralobular, opasitas
subpleura atau curvilinier dan honey comb, predominan terdistribusi pada basal paru.
(Susanto, 2011).
2.1.6.2. Pemeriksaan Faal Paru
Pemeriksaan faal paru diperlukan untuk 2 tujuan yaitu studi epidemiologi
pekerja yang terpajan debu dan diagnosis penyakit paru akibat kerja. Pemeriksaan
faal paru memerlukan pemeriksaan volume paru dengan spirometri dan pemeriksaan
kapasitas difusi (DLco), namun tidak selalu tersedia. Pemeriksaan faal paru juga
diperlukan untuk menilai hendaya yang telah terjadi. Pada pneumokoniosis dapat
ditemukan nilai faal paru normal atau bisa juga terjadi obstruksi, restriksi ataupun
campuran. Sebagian besar penyakit paru difus yang disebabkan debu mineral ber
hubungan dengan kelainan restriksi karena terjadi fibrosis di parenkim paru. Pada
kasus dengan fibrosis interstisial yang luas umumnya terjadi penurunan kapasitas
difusi. Inflamasi, fibrosis dan distorsi pada saluran napas dengan konsekuensi terjadi
obstruksi saluran napas dapat ditemukan pada beberapa kondisi. (Susanto, 2011).
µg/m³ menyebabkan terjadinya penurunan fungsi paru sebanyak 31% pekerja dengan
umur antara 20 sampai 45 tahun.
2.1.7. Penatalaksanaan
Pneumokoniosis tidak akan mengalami regresi, menghilang ataupun
berkurang progresivitasnya hanya dengan menjauhi pajanan. Tata laksana medis
umumnya terbatas hanya pengobatan simptomatik. Tidak ada pengobatan yang
efektif yang dapat menginduksi regresi kelainan ataupun menghentikan progesivitas
pneumokoniosis (Susanto, 2011).
2.1.8. Pencegahan Pneumokoniosis
Pencegahan merupakan tindakan yang paling penting. Regulasi dalam
pekerjaan dan kontrol pajanan debu telah dilakukan sejak lama terutama di negara
industri dan terus dilakukan dengan perbaikan-perbaikan. Pada bentuk
pneumokoniosis sub akut dengan manfaat yang didapat untuk efek jangka
panjangnya terutama jika bahan penyebab masih ada di paru. Menjaga kesehatan
dapat dilakukan dengan cara :
a. Berhenti merokok
b. Pengobatan dilakukan bila dicurigai terdapat penyakit paru obstruktif kronik
(PPOK)
c. Gunakan APD seperti Masker
2.2. Alat Pelindung Diri
2.2.1. Pengertian Alat Pelindung Diri
Berdasarkan Peraturan Menteri Tenaga Kerja dan Transmigrasi Republik
Indonesia Nomor Per.08/Men/VII/2010 tentang alat pelindung diri, bahwa APD
adalah suatu alat yang mempunyai kemampuan untuk melindungi seseorang yang
fungsinya mengisolasi sebagian atau seluruh tubuh dari potensi bahaya di tempat
kerja.
Alat pelindung diri (APD) yang baik adalah APD yang memenuhi standar
keamanan dan kenyamanan bagi pekerja (Safety and Acceptation), apabila pekerja
memakai APD yang tidak nyaman dan tidak bermanfaat maka pekerja enggan
memakai, hanya berpura-pura sebagai syarat agar masih diperbolehkan untuk bekerja
atau menghindari sanksi perusahaan (Khumaidah, 2009).
Dengan demikian alat pelindung diri merupakan pertahanan terakhir, Oleh
karenanya alat pelindung diri tidak pernah dipertimbangkan sebagai suatu pertahanan
yang utama untuk menghilangkan atau mengendalikan bahaya dalam upaya
pencegahan kecelakaan kerja (termasuk agar tenaga kerja tidak menderita penyakit
akibat kerja). Kebanyakan alat pelindung diri mengakibatkan beberapa perasaan tidak
enak dan menghalangi gerakan atau tanggapan panca indera si pemakai. Oleh karena
itu, umumnya tenaga kerja akan menolak memakai alat pelindung diri bila diberi.
(Suardi, 2005).
2.2.2. Syarat-syarat APD
persyaratan mutlak yang sangat mendasar. Pemakaian APD yang tidak tepat dapat
mencelakakan tenaga kerja yang memakainya karena mereka tidak terlindung dari
bahaya potensial yang ada di tempat mereka terpapar. Oleh karena itu agar dapat
memilih APD yang tepat, maka perusahan harus mampu mengidentifikasi bahaya
potensial yang ada, khususnya yang tidak dapat dihilangkan atau dikendalikan, serta
memahami dasar kerja setiap jenis APD yang akan digunakan di tempat kerja dimana
bahaya potensial tersebut ada dengan ketentuan :
a. Dapat memberikan perlindungan yang adekuat terhadap bahaya yang spesifik atau
bahaya-bahaya yang dihadapi oleh tenaga kerja.
b. Berat alat hendaknya seringan mungkin, dan alat tersebut tidak menyebabkan rasa
ketidaknyamanan yang berlebihan.
c. Dapat dipakai secara fleksibel
d. Bentuknya harus cukup menarik
e. Tahan untuk pemakaian yang lama
f. Tidak menimbulkan bahaya tambahan bagi pemakainya, yang dikarenakan bentuk
dan bahayanya tidak tepat atau karena salah dalam penggunaannya.
g. Harus memenuhi standar yang telah ada
h. Tidak membatasi gerakan dan persepsi sensoris pemakainya
i. Suku cadangnya harus mudah didapat guna mempermudah pemeliharaannya
Menurut Suma’mur (1992), menyatakan bahwa persyaratan yang harus
dipenuhi APD :
b. Tidak mengganggu kerja
c. Memberikan perlindungan efektif terhadap jenis bahaya
2.2.3. Fungsi dan Jenis Alat Pelindung Diri
Berdasarkan Peraturan Menteri Tenaga Kerja dan Transmigrasi Republik
Indonesia Nomor Per.08/Men/VII/2010, bahwa fungsi dan jenis alat pelindung diri:
a. Alat pelindung kepala
a.1 Fungsi
Alat pelindung kepala adalah alat pelindung yang berfungsi untuk melindungi
kepala dari benturan, terantuk, kejatuhan atau terpukul benda tajam atau benda
keras yang melayang atau meluncur di udara, terpapar oleh radiasi panas, api,
percikan bahan-bahan kimia, jasad renik (mikro organisme) dan suhu
yang ekstrim.
a.2 Jenis
Jenis alat pelindung kepala terdiri dari helm pengaman (safety helmet), topi
atau tudung kepala, penutup atau pengaman rambut, dan lain-lain.
b. Alat pelindung mata dan muka
b.1 Fungsi
Alat pelindung mata dan muka adalah alat pelindung yang berfungsi
untuk melindungi mata dan muka dari paparan bahan kimia berbahaya,
paparan partikel-partikel yang melayang di udara dan di badan air, percikan
benda-benda kecil, panas, atau uap panas, radiasi gelombang elektromagnetik
pukulan benda keras atau benda tajam.
b.2 Jenis
Jenis alat pelindung mata dan muka terdiri dari kacamata pengaman
(spectacles), goggles, tameng muka (face shield), masker selam, tameng muka
dan kacamata pengaman dalam kesatuan (full face masker).
c. Alat pelindung telinga
c.1 Fungsi
Alat pelindung telinga adalah alat pelindung yang berfungsi untuk melindungi
alat pendengaran terhadap kebisingan atau tekanan.
c.2 Jenis
Jenis alat pelindung telinga terdiri dari sumbat telinga (ear plug) dan penutup
telinga (ear muff).
d. Alat pelindung pernapasan beserta perlengkapannya
d.1 Fungsi
Alat pelindung pernapasan beserta perlengkapannya adalah alat pelindung
yang berfungsi untuk melindungi organ pernapasan dengan cara menyalurkan
udara bersih dan sehat dan/atau menyaring cemaran bahan kimia,
mikro-organisme, partikel yang berupa debu, kabut (aerosol), uap, asap, gas/
fume, dan sebagainya.
d.2 Jenis
Jenis alat pelindung pernapasan dan perlengkapannya terdiri dari masker,
Supply Machine=Air Hose Mask Respirator, tangki selam dan regulator
(Self-Contained Underwater Breathing Apparatus /SCUBA), Self-(Self-Contained
Breathing Apparatus (SCBA), dan emergency reathing apparatus.
e. Alat pelindung tangan
e.1 Fungsi
Pelindung tangan (sarung tangan) adalah alat pelindung yang berfungsi untuk
melindungi tangan dan jari-jari tangan dari pajanan api, suhu panas, suhu
dingin, radiasi elektromagnetik, radiasi mengion, arus listrik, bahan kimia,
benturan, pukulan dan tergores, terinfeksi zat patogen (virus, bakteri) dan
jasad renik.
e.2 Jenis
Jenis pelindung tangan terdiri dari sarung tangan yang terbuat dari logam,
kulit, kain kanvas, kain atau kain berpelapis, karet, dan sarung tangan yang
tahan bahan kimia.
f. Alat pelindung kaki
f.1 Fungsi
Alat pelindung kaki berfungsi untuk melindungi kaki dari tertimpa atau
berbenturan dengan benda-benda berat, tertusuk benda tajam, terkena cairan
panas atau dingin, uap panas, terpajan suhu yang ekstrim, terkena bahan kimia
berbahaya dan jasad renik, tergelincir.
f.2 Jenis
pengecoran logam, industri, kontruksi bangunan, pekerjaan yang berpotensi
bahaya peledakan, bahaya listrik, tempat kerja yang basah atau licin, bahan
kimia dan jasad renik, dan/atau bahaya binatang dan lain-lain.
g. Pakaian pelindung
g.1 Fungsi
Pakaian pelindung berfungsi untuk melindungi badan sebagian atau seluruh
bagian badan dari bahaya temperatur panas atau dingin yang ekstrim, pajanan
api dan benda-benda panas, percikan bahan-bahan kimia, cairan dan logam
panas, uap panas, benturan (impact) dengan mesin, peralatan dan bahan,
tergores, radiasi, binatang, mikroorganisme patogen dari manusia, binatang,
tumbuhan dan lingkungan seperti virus, bakteri dan jamur.
g.2 Jenis
Jenis pakaian pelindung terdiri dari rompi (Vests), celemek (Apron/Coveralls),
Jacket, dan pakaian pelindung yang menutupi sebagian atau seluruh bagian
badan.
h. Alat pelindung jatuh perorangan
h.1. Fungsi
Alat pelindung jatuh perorangan berfungsi membatasi gerak pekerja agar tidak
masuk ke tempat yang mempunyai potensi jatuh atau menjaga pekerja berada
pada posisi kerja yang diinginkan dalam keadaan miring maupun tergantung
dan menahan serta membatasi pekerja jatuh sehingga tidak membentur lantai
h.2 Jenis
Jenis alat pelindung jatuh perorangan terdiri dari sabuk pengaman tubuh
(harness), karabiner, tali koneksi (lanyard), tali pengaman (safety rope), alat
penjepit tali (rope clamp), alat penurun (decender), alat penahan jatuh
bergerak (mobile fall arrester), dan lain-lain.
i. Pelampung
i.1. Fungsi
Pelampung berfungsi melindungi pengguna yang bekerja di atas air atau
dipermukaan air agar terhindar dari bahaya tenggelam dan atau mengatur
keterapungan (buoyancy) pengguna agar dapat berada pada posisi tenggelam
(negative buoyant) atau melayang (neutral buoyant) di dalam air.
i.2. Jenis
Jenis pelampung terdiri dari jaket keselamatan (life jacket), rompi keselamatan
(life vest), rompi pengatur keterapungan (Bouyancy Control Device).
Menurut Budiono (2005), APD yang tepat bagi tenaga kerja yang berada pada
lingkungan kerja dengan paparan debu berkonsentrasi tinggi adalah :
a. Masker
Masker untuk melindungi dari debu atau partikel-partikel yang lebih kasar yang
masuk ke dalam saluran pernafasan. Masker terbuat dari kain dengan ukuran pori-
pori tertentu. Terdiri atas beberapa jenis yaitu :
a.1 Masker penyaring debu
penggerindaan atau serbuk kasar lainya.
a.2 Masker berhidung
Masker ini dapat menyaring debu atau benda sampai ukuran 0,5 mikron, bila
kita sulit bernafas waktu memakai alat ini maka hidungnya harus diganti
karena filternya tersumbat oleh debu. Alat pelindung pernapasan/masker
diperlukan di tempat kerja dimana udara didalamnya tercemar. Pencemaran
udara berkisar dari pencemaran yang tidak berbahaya sampai pada
pencemaran yang sangat berbahaya. Bahan pencemaran udara biasanya dalam
bentuk debu, uap, gas, asap, atau kabut. Untuk menentukan alat pelindung diri
pernapasan, maka lebih dahulu ditentukan jenis dan kadar bahan pencemar
yang ada serta dievaluasi tingkat bahayanya.
a.3 Masker bertabung
Masker bertabung mempunyai filter yang baik daripada masker berhidung.
Masker ini sangat tepat digunakan untuk melindungi pernafasan dari gas
tertentu. Bermacam-macam tabungnya tertulis untuk macam-macam gas yang
sesuai dengan jenis masker yang digunakan.
a.4. Masker kertas
Masker ini digunakan untuk menyerap partikel-pertikel berbahaya dari udara
agar tidak masuk ke jalur pernafasan. Pada penggunaan masker kertas, udara
disaring permukaan kertas yang berserat sehingga partikel-partikel halus yang
a.5 Masker plastik
Masker ini digunakan untuk menyerap partikel-partikel berbahaya dari udara
agar tidak masuk jalur pernafasan. Ukuran masker ini sama dengan masker
kertas, namun ada lubang-lubang kecil dipermukaannya untuk aliran udara,
tetapi tidak bisa menyaring udara, fungsi penyaring udara terletak pada sebuah
tabung kecil yang diletakkan di dekat rongga hidung. Didalam tabung ini
diisikan semacam obat yang berfungsi sebagai penawar racun.
b. Respirator
Respirator berguna untuk melindungi pernafasan dari debu, kabut, uap, logam,
asap dan gas. Alat ini dibedakan menjadi :
b.1 Respirator pemurni udara
Membersihkan udara dengan cara menyaring atau menyerap kontaminan
dengan toksisitas rendah sebelum memasuki sistem pernafasan. Alat
pembersihnya terdiri dari filter untuk menangkap debu dari udara atau
tabung kimia yang menyerap gas, uap dan kabut.
b.2 Respirator penyalur udara
Membersihkan aliran udara yang terkontaminasi secara terus menerus. Udara
dapat dipompa dari sumber yang jauh (dihubungkan dengan selang tahan
tekanan) atau dari persediaan yang portable (seperti tabung yang berisi udara
bersih atau oksigen). Jenis ini biasa dikenal dengan SCBA (Self Contained
Breathing Apparatus) atau alat pernafasan mandiri. Digunakan untuk tempat
Dengan mengenakan masker, diharapkan pekerja melindungi dari
kemungkinan terjadinya gangguan pernafasan akibat terpapar udara yang kadar
debunya tinggi. Walaupun demikian, tidak ada jaminan bahwa dengan mengenakan
masker, seorang pekerja akan terhindar dari kemungkinan terjadinya gangguan
pernafasan (Khumaidah, 2009).
2.2.4. Manfaat Pemakaian APD
Pemakaian APD bermanfaat untuk melindungi tenaga kerja dan juga
merupakan salah satu upaya mencegah terjadinya kecelakaan kerja dan penyakit
akibat kerja oleh bahaya potensial pada suatu perusahaan yang tidak dapat
dihilangkan atau dikendalikan (Suma’mur, 1996).
2.3. Perilaku
2.3.1. Pengertian Perilaku
Dari aspek biologis perilaku adalah suatu kegiatan atau aktivitas organisme
atau makhluk hidup yang bersangkutan (Notoatmodjo, 2012).
Menurut Skinner dalam Notoatmodjo (2012) merumuskan bahwa perilaku
merupakan respons atau reaksi seseorang terhadap stimulus (rangsangan dari luar).
Dengan demikian perilaku manusia terjadi melalui proses :
Stimulus --- Organisme--- Respon, sehingga teori Skinner ini disebut teori “SOR”.
Berdasarkan Teori SOR, maka perilaku manusia dapat dikelompokkan menjadi dua,
yakni :
stimulus tersebut masih belum dapat diamati orang lain (dari luar) secara jelas.
Respon seseorang masih terbatas dalam bentuk perhatian, perasaan, persepsi,
pengetahuan dan sikap terhadap stimulus.
b. Perilaku terbuka (overt behavior); Perilaku terbuka terjadi bila respons terhadap
stimulus tersebut sudah berupa tindakan atau praktik ini dapat diamati orang lain
dari luar
Berdasarkan pembagian domain oleh Bloom, dan untuk kepentingan
pendidikan praktis, dikembangkan menjadi tingkat ranah perilaku sebagai berikut
(Notoatmodjo, 2012) :
a. Pengetahuan (Knowledge)
Pengetahuan adalah hasil penginderaan manusia, atau hasil tahu seseorang
terhadap objek melalui indra yang dimilikinya (mata, hidung, telinga, dan
sebagainya).
b.Sikap (Attitude)
Sikap adalah respon tertutup seseorang terhadap stimulus atau objek tertentu,
yang sudah melibatkan faktor pendapat dan emosi yang bersangkutan.
c. Tindakan atau praktik (Practice)
Seperti telah disebutkan di atas bahwa sikap adalah kecenderungan untuk
bertindak (praktik). Sikap belum tentu terwujud dalam tindakan, sebab untuk
terwujudnya tindakan perlu faktor lain; adanya fasilitas atau sarana dan prasarana.
2.3.2. Determinan Perilaku Kesehatan
perilaku merupakan resultansi dari berbagai faktor, baik internal maupun eksternal
(lingkungan). Secara lebih terinci perilaku manusia sebenarnya merupakan refleksi
dari berbagai gejala kejiwaan, seperti pengetahuan, keinginan, kehendak, minat,
motivasi, persepsi, sikap dan sebagainya. Namun demikian pada realitasnya sulit
dibedakan atau dideteksi gejala kejiwaan yang menentukan perilaku seseorang.
Apabila ditelusuri lebih lanjut, gejala kejiwaan tersebut ditentukan atau dipengaruhi
oleh berbagai faktor lain, diantaranya adalah faktor pengalaman, keyakinan, sarana
fisik, sosiobudaya masyarakat dan sebagainya (Notoatmodjo, 2012).
2.3.3. Faktor-Faktor yang Memengaruhi Perilaku
Menurut teori Lawrence Green dalam Notoatmodjo (2012) menyatakan
bahwa perilaku manusia dipengaruhi oleh 2 faktor pokok, yakni faktor perilaku
(behavior causes) dan faktor di luar perilaku (non behavior causes). Selanjutnya
perilaku itu sendiri ditentukan atau terbentuk dari 3 faktor yaitu :
a. Faktor Predisposisi (Predisposing Factors), yang mencakup pengetahuan, sikap, kepercayaan, keyakinan, nilai-nilai dan sebagainya.
b. Faktor Pendukung (Enabling Factors), yang mencakup lingkungan fisik, tersedia atau tidak tersedianya fasilitas-fasilitas atau sarana-sarana keselamatan
kerja, misalnya ketersediaan alat pelindung diri (APD), pelatihan, dan sebagainya.
2.3.3.1. Faktor Predisposisi (Predisposing Factors) 2.3.3.1.1. Pengetahuan
Pengetahuan merupakan hasil dari tahu, dan ini terjadi setelah orang
melakukan penginderaan terhadap objek tertentu. Penginderaan terjadi melalui panca
indera manusia, yakni indera penglihatan, pendengaran, penciuman, rasa dan raba.
Sebagian besar pengetahuan manusia diperoleh melalui mata dan telinga
(Notoatmodjo, 2012).
Apabila penerimaan perilaku baru atau adopsi perilaku melalui proses yang
didasari pengetahuan, kesadaran dan sikap yang positif, maka perilaku tersebut akan
bersifat langgeng (long lasting) daripada perilaku yang tidak didasari oleh Pendidikan Kesehatan Predisposing Factors - kebiasaan - kepercayaan - tradisi - pengetahuan - sikap Enabling Factors - ketersediaan fasilitas - ketercapaian fasilitas
Reinforcing Factors - sikap dan perilaku petugas
- peraturan pemerintah
Non Perilaku
Perilaku
[image:49.612.110.531.112.374.2]Masalah Kesehatan
pengetahuan. Pengetahuan atau kognitif merupakan domain yang sangat penting
dalam membentuk tindakan seseorang dalam hal ini pengetahuan yang tercakup
dalam domain kognitif mempunyai 6 tingkatan (Notoatmodjo, 2012).
a. Tahu (know)
Tahu diartikan sebagai mengingat suatu materi yang telah dipelajari
sebelumnya. Termasuk ke dalam pengetahuan tingkat ini adalah mengingat
kembali (recall) sesuatu yang spesifik dari seluruh bahan yang dipelajari atau
rangsangan yang telah diterima. Oleh sebab itu tahu ini merupakan tingkat
pengetahuan yang paling rendah.
b. Memahami (comprehension)
Memahami diartikan sebagai suatu kemampuan untuk menjelaskan
secara benar tentang objek yang diketahui, dan dapat menginterpretasikan materi
tersebut secara benar. Orang yang telah paham terhadap objek atau materi harus
dapat menjelaskan, menyebutkan contoh, menyimpulkan, meramalkan dan
sebagainya terhadap objek yang telah dipelajari.
c. Aplikasi (application)
Aplikasi diartikan sebagai kemampuan untuk menggunakan materi yang
telah dipelajari pada situasi atau kondisi real (sebenarnya). Aplikasi di sini dapat
diartikan sebagai aplikasi atau penggunaan hukum-hukum, rumus, metode, prinsip
dan sebagainya dalam konteks atau situasi yang lain.
d. Analisis (analysis)
objek ke dalam komponen-komponen, tetapi masih di dalam struktur organisasi,
dan masih ada kaitannya satu sama lain. Kemampuan analisis ini dapat dilihat dari
penggunaan kata kerja, seperti dapat menggambarkan (membuat bagan),
membedakan, memisahkan, mengelompokkan dan sebagainya.
e. Sintesis (synthesis)
Sintesis menunjukkan kepada suatu kemampuan untuk meletakkan atau
menghubungkan bagian-bagian di dalam suatu bentuk keseluruhan yang baru.
Dengan kata lain sintesis adalah suatu kemampuan untuk menyusun formulasi
baru dari formulasi-formulasi yang ada. Misalnya dapat menyusun, dapat
merencanakan, dapat meringkaskan, dapat menyesuaikan, dan sebagainya terhadap
suatu teori atau rumusan-rumusan yang telah ada.
f. Evaluasi (evaluation)
Evaluasi ini berkaitan dengan kemampuan untuk melakukan justifikasi atau
penilaian terhadap suatu materi atau objek. Penilaian-penilaian ini didasarkan pada
suatu kriteria yang telah ditentukan sendiri, atau menggunakan kriteria- kriteria
yang telah ada.
Menurut Lavine (1962) pengetahuan pekerja dalam penggunaan alat pelindung
diri yang baik dan aman mutlak dimiliki penggunanya mengingat bahaya yang dapat
ditimbulkan, untuk itu pekerja harus tahu fungsi dari APD itu sendiri serta potensi
bahaya pada tempat kerjanya. Dengan demikian pengetahuan akan timbul akibat
rasa takut akan sesuatu yang mungkin terjadi dan jika pekerja tahu akan dampak
pekerja akan memberikan perhatian dalam penggunaan APD (Elfrida, 2006).
Dari hasil penelitian yang dilakukan oleh Pudjowati pada tahun 1998
dikatakan bahwa secara statistik tidak ada hubungan yang bermakna antara
pengetahuan pekerja dengan perilaku penggunaan APD. Menurutnya bahwa
pengetahuan adalah sesuatu yang perlu tetapi bukan merupakan faktor yang cukup
kuat untuk mengubah perilaku, bahkan tidak jarang mereka yang mempunyai
pengetahuan yang tinggi cenderung bertindak ceroboh, dengan demikian
pengetahuan yang tinggi merupakan sarana yang baik untuk mengubah perilaku,
namun perlu dibarengi dengan niat yang kuat sehingga seorang pekerja akan
bertindak sesuai dengan tingkatan pengetahuannya.
2.3.3.1.2. Sikap
Sikap merupakan reaksi atau respons yang masih tertutup dari seseorang
terhadap suatu stimulus atau objek. Dari batasan –batasan diatas dapat disimpulkan
bahwa manifestasi sikap itu tidak dapat langsung dilihat, tetapi hanya dapat
ditafsirkan terlebih dahulu dari perilaku yang tertutup (Notoatmodjo, 2012). Allport
(1954) dalam Notoatmodjo (2003) menjelaskan bahwa sikap itu mempunyai 3
komponen pokok :
1. Kepercayaan (keyakinan), ide dan konsep terhadap suatu objek
2. Kehidupan emosional atau evaluasi tehadap suatu objek
Ketiga komponen ini secara bersama-sama membentuk sikap yang utuh (total
atitude). Dalam penentuan sikap yang utuh ini, pengetahuan, pikiran, keyakinan, dan
emosi memegang peranan penting.
2.3.3.2. Faktor Pendukung (Enabling Factors) 2.3.3.2.1. Ketersediaan Alat Pelindung Diri
Dalam UU No.1 Tahun 1970 pasal 14 butir c menyatakan bahwa pengurus
(pengusaha) diwajibkan untuk mengadakan secara cuma-cuma, semua alat
perlindungan diri yang diwajibkan pada tenaga kerja yang berada dibawah
pimpinannya dan menyediakan bagi setiap orang lain yang memasuki tempat kerja
tersebut, disertai dengan petunjuk-petunjuk yang diperlukan menurut petunjuk
pegawai pengawas atau ahli-ahli keselamatan kerja.
Perlindungan perorangan harus dianggap sebagai garis pertahanan terakhir,
karena sering peralatan ini tidak praktis untuk dipakai dan menghambat gerakan.
Karenanya tidak mengherankan bila kadangkala dikesampingkan oleh pekerja.
Karena peralatan dirancang untuk mencegah bahaya luar agar tidak mengenai tubuh
pekerja, ia menahan panas tubuh dan uap air di dalamnya, sehingga pekerja menjadi
gerah, berkeringat dan cepat lelah (ILO, 1989).
Oleh karena itu alat pelindung diri yang dianggap sebagai garis pertahanan
terakhir harus disediakan sesuai dengan kebutuhan dan cocok untuk setiap pekerja
yang menggunakannya agar tidak timbul adanya kecelakaan dan penyakit akibat
kerja disebabkan karena ketidaknyamanan pekerja dalam menggunakan APD
Menurut hasil penelitian yang dilakukan oleh Pudjowati pada tahun 1998
dikatakan bahwa secara statistik ada hubungan yang bermakna antara proporsi
penggunaan APD yang mengatakan bahwa fasilitas tersedia cukup dan yang
menyatakan fasilitas tersedia kurang. Menurut penjelasannya bahwa selain sebagian
besar pekerjanya menyatakan bahwa fasilitas yang tersedia mencukupi juga
berdasarkan informasi dari pihak manajemen yang disediakan telah mencukupi. Hal
ini menunjukkan bahwa ketersediaan alat pelindung yang cukup menjadi salah satu
faktor yang memudahkan untuk terbentuknya perilaku menggunakan APD.
Sedangkan menurut hasil penelitian yang dilakukan oleh Sumbung pada tahun
2000 bahwa secara statistik menunjukkan tidak ada hubungan bermakna antara
fasilitas dengan penggunaan APD. Menurut pernyataan sebagian besar pekerja bahwa
fasilitas APD yang telah disediakan telah mencukupi namun masih terdapat beberapa
jenis alat pelindung diri yang kurang nyaman pada saat dipakai. Sehingga
memungkinkan pekerja tidak disiplin dalam menggunakannya.
2.3.3.3. Faktor Penguat (Reinforcing Factors)
Faktor-faktor ini mencakup faktor-faktor yang mendorong atau memperkuat
terjadinya perilaku.
2.3.3.3.1. Dukungan Koperasi TKBM
Hasil penelitian yang dilakukan oleh Haru (2008) terhadap praktek kerja
TKBM di Pelabuhan Tanjung Emas Semarang Tahun 2008 menunjukkan bahwa ada
pengaruh dukungan koperasi TKBM terhadap penggunaan APD untuk pencegahan
2.3.3.3.2. Dukungan Petugas Kesehatan
Hasil penelitian yang dilakukan oleh Hakim terhadap Perilaku penggunaan
APD oleh pekerja radiasi pada Instalasi Radiologi Rumah Sakit di Kota Palembang
Tahun 2004 bahwa dukungan petugas kesehatan menunjukkan hubungan yang
bermakna dengan perilaku penggunaan APD, dimana dari hasil penelitian tersebut
perlu dilakukan penyuluhan atau sosialisasi tentang perlunya penggunaan APD untuk
pencegahan kecelakaan dan penyakit akibat kerja.
2.4. Tenaga Kerja Bongkar Muat (TKBM)
Tenaga Kerja Bongkar Muat (TKBM) adalah semua tenaga kerja yang
terdaftar pada pelabuhan setempat yang melakukan kegiatan bongkar muat di
Pelabuhan (Dephub RI, 2007).
2.5. Kegiatan Bongkar Muat
Kegiatan bongkar muat barang dari dan ke kapal adalah kegiatan yang
meliputi :
2.5.1. Stevedoring
Adalah pekerjaan membongkar barang dari kapal ke dermaga/tongkang/truk
atau memuat barang dari dermaga/tongkang/truk kedalam kapal sampai dengan
tersusun dalam palka kapal dengan menggunakan Derek kapal atau Derek darat.
2.5.2. Cargodoring
dan mengangkut dari dermaga ke gudang/lapangan penumpukan selanjutnya
menyusun di gudang/lapangan penumpukan atau sebaliknya.
2.5.3. Receiving/Delivery
Adalah pekerjaan memindahkan barang dari timbunan/tempat penumpukan di
gudang/lapangan penumpukan dan menyerahkan sampai tersusun di atas kendaraan di
pintu gudang/lapangan penumpukan atau sebaliknya. (Dephub RI, 2007).
2.6. Landasan Teori
Dalam membuat kerangka konsep, peneliti menggunakan teori Lawrence
Green (1980) dimana faktor perilaku ditentukan oleh 3 (tiga) faktor utama, yaitu :
2.6.1. Faktor-faktor Predisposisi (Predisposing Factors), yaitu faktor-faktor yang mempermudah atau mempredisposisi terjadinya perilaku seseorang, antara
lain pen