• Tidak ada hasil yang ditemukan

Analisis Yuridis terhadap Putusan Perkara Tindak Pidana Penganiayaan yang Dilakukan terhadap Anak (Studi Putusan Nomor.797/Pid.B/2014/PN.Rap)

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2017

Membagikan "Analisis Yuridis terhadap Putusan Perkara Tindak Pidana Penganiayaan yang Dilakukan terhadap Anak (Studi Putusan Nomor.797/Pid.B/2014/PN.Rap)"

Copied!
98
0
0

Teks penuh

(1)

Adami Chazawi, 2002, Pelajaran Hukum Pidana bag.1, Jakarta: Raja Grafindo

Andi Hamzah, 2004, KUHP &KUHAP, Jakarta : PT Asdi Mahasatya

Andi Matalatta, 1987, “santunan bagi korban”dalam J.E. sahetapy (ed.)…Victimilogy sebuah Bunga rampai 9, Jakarta: Pustaka sinar Harapan

Arif Gosita, 1989, Masalah Perlindungan Anak, Jakarta: Akademi Pressindo

Bagong Suyanto, ed.Rev, Masalah sosial anak, Jakarta: Kencana

Djoko Prakoso, 1987, Asas-asas Hukum Pidana di Indonesia. Edisi Pertama, Yogyakarta : Liberty Yogyakarta,

Irma Setyowati Soemitro, 1990, Aspek Hukum Perlindungan Anak, Jakarta : Bumi Aksara

Ismu Gunadi, Jonaedi Efendi dan Fifit Fitri Lutfianingsih, 2011 Cepat & Mudah Memahami HukumPidana (Jilid 2), Jakarta

Jur.Andi Hamzah, 2012, Asas-asas Hukum Pidana di Indonesia dan Perkembanganny, Jakarta: Sofmedia

Leden Marpaung, 2000, Tindak Pidana Terhadap Nyawa Dan Tubuh, Jakarta: Sinar Grafika

Mahrus Ali, 2012, Dasar-dasar Hukum Pidana, Jakarta: Sinar Grafika

Maidin Gultom, 2014, Perlindungan Hukum Terhadap Anak, Bandung: Refika Aditama

Marlina, 2012, Peradilan Pidana Anak di Indonesia, Bandung: Refika Aditama

Moeljatno, 2002, Asas-asas Hukum Pidana, Jakarta : Rineka Cipta

(2)

P.A.F Lamintang, 1997, Dasar-Dasar Hukum Pidana Indonesia, Bandung: Citra Aditya Bakti

P.A.F.Lamintang, 1983, Hukum Pidana Indonesia, Bandung : Sinar Baru

Prodjohamidjojo, Martiman, 1997, Memahami dasar-dasar hukum Pidana Indonesia, Jakarta: Pradnya Paramita

Rika Saraswati, 2015, Hukum Perlindungan Anak di Indonesia, Bandung: Citra Aditya Bakti

Roeslan Saleh, 1982, Pikiran-pikiran Tentang Pertanggungjawaban Pidana, Jakarta : Ghalia Indonesia

R.Soesilo, KUHP serta komentar komentarnya lengkap pasal pasal demi pasal

Sudarto, 1990, Hukum Pidana I, Semarang : Penerbit Yayasan Sudarto FH Undip

Undang-Undang :

Kitab Undang-Undang Hukum Pidana

Undang-Undang Nomor.23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak

Undang-Undang Nomor.23 Tahun 2004 tentang Penghapusan Kekerasan Dalam Rumah Tangga

Internet:

http://umam74.blogspot.co.id/2012/05/perlindungan-anak-di-indonesia.html

(3)

(4)

PIDANA PENGANIAYAAN YANG DILAKUKAN TERHADAP

ANAK DALAM PUTUSAN NOMOR.183/PID.SUS/2015/PT-MEDAN

A. Perlindungan terhadap anak sebagai korban tindak penganiayaan

1. Perlindungan hukum terhadap anak

Kedudukan anak sebagai generasi muda yang akan meneruskan cita-cita luhur bangsa, calon-calon pemimpin bangsa di masa mendatang dan sbagai sumber harapan bagi generasi terdahulu, perlu mendapat kesempatan seluas-luasnya untuk tumbuh dan berkembang dengan wajar dan baik secara rohani, jasmani dan sosial. Perlindungan anak merupakan usha dan kegiatan seluruh lapisan masyarakat dalam berbagai kedudukan dan peranan, yang menyadari betul pentingnya anak bagi nusa dan bangsa di kemudian hari. Jika mereka telah matang pertumbuhan fisik maupun mental dan sosialnya, maka tiba saatnya menggantikan generasi terdahulu.

(5)

hukum tidak tertulis. Hukum merupakanjaminan bagi kegiatan perlindungan anak. Arif Gosita mengemukakan bahwa kepastian hukum perlu diusahakan demi kelangsungan kegiatan perlindungan anak dan mencegah penyelewengan yang membawa akibat negatif yang tidak diinginkan daloam pelaksanaan perlindungan anak.56

1. Perlindungan anak yang bersifat yuridis, yang meliputi: perlindungan dalam bidang hukum publik dan hukum keperdataan

Perlindungan anak dapat dibedakan dalam 2 bagian yaitu :

2. Perlindungan anak yang bersifat non yuridis, meliputi: perlindungan dalam bidang sosial, bidang kesehatan, dan bidang pendidikan.

Berdasarkan hasil seminar perlindungan anak/remaja oleh Prayuana Pusat tanggal 30 Mei 1977, terdapat dua perumusan tentang perlindungan anak yaitu :57

a. Segala daya upaya yang dilakukan secara sadar oleh setiap orang maupun lembaga pemerintah dan swasta yang bertujuan mengusahakan pengamanan, penguasaan, pemenuhan kesejahteraan fisik, mental, dan sosial anak dan remaha yang sesuai dengan kepentingandan hak asasinya. b. Segala daya upaya bersama yang dilakukan secara sadar oleh perorangan,

keluarga, masyarakat, badan-badan pemerintah dan swasta untuk pengamanan, pengadaan, dan pemenuhan kesejahteraan rohaniah dan jasmaniah anak berusia 0-21 tahun, tidak dan belum pernah menikah,

56

Maidin Gultom, Op.Cit, hal. 33 57

(6)

sesuai dengan hak asasi dan kepentingannya agar dapat mengembangkan dirinya seoptimal mungkin.

Pasal 1 angka 2 UU No.23 tahun 2002 menentukan bahwa perlindungan anak adalah segala kegiatan untuk menjamin dan melindungi anak dan hak-haknya agar dapat hidup, tumbuh, berkembang, dan berpartisipasi, secara optimal sesuai dengan harkat dan martabat kemanusiaan, serta mendapat perlindungan dari kekerasan dan diskriminisasi. Perlindungan anak dapat juga diartikan sebagai segala upaya yang ditujukan untuk mencegah, rehabilitasi, dan memberdayakan anak yang mengalami tindak perlakuan salah (child abused), eksploitasi, dan penelantaran, agar dapat menjamin kelangsungan hidup dan tumbuh kembang anak secara wajar, baik fisik, mental, dan sosialnya.58

1) Luas lingkup perlindungan :

Perlindungan Anak berhubungan dengan beberapa hal yang perlu mendapat perhatian, yaitu :

a. Perlindungan yang pokok meliputi antara lain: sandang, pangan, pemukiman, pendidikan, kesehatan, hukum.

b. Meliputi hal-hal yang jasmaniah dan rohaniah

c. Mengenai pula penggolongan keperluan yang primer dan sekunder yang berakibat pada prioritas pemenuhannya.

58

(7)

2) Jaminan pelaksanaan perlindungan:

a. Sewajarnya untuk mencapai hasil yang maksimal perlu ada jaminan terhadap pelaksanaan kegiatan perlindungan ini, yang dapat diketahui, dirasakan oleh pihak-pihak yang terlibat dalam kegiatan perlindungan. b. Sebaiknya jaminan ini dituangkan dalam suatu peraturan tertulis baik

dalam bentuk undang-undang atau peraturan daerah, yang perumusannya sederhana tetapi dapat dipertanggungjawabkan serta disebarluaskan secara merata dalam masyarakat.

c. Pengaturan harus disesuaikan dengan kondisi dan situasi di Indonesia tanpa mengabaikan cara-cara perlindungan yang dilakukan di negara lain, yang patut dipertimbangkan dan ditiru (peniruan yang kritis).59

Mengabaikan masalah Perlindungan Anak akan mengganggu pembangunan nasional serta kesejahteraan rakyat maupun anak. Ikut serta dalam pembangunan nasional adalah hak dan kewajiban setiap warga negara merupakan bidang pelayanan sukarela (voluntarisme) yang luas lingkupnya dengan gaya baru (inovatif, inkovensional).

Dasar pelaksanaan perlindungan anak adalah :

1) Dasar Filosofis; Pancasila dasar kegiatan dalam berbagai bidang kehidupan keluarga, bermasyarakat, bernegara, dan berbangsa, serta dasar filosofis pelaksanaan perlindungan anak.

(8)

2) Dasar Etis; pelaksanaan perlindungan anak harus sesuai dengan etika profesi yang berkaitan, untuk menccegah perilaku menyimpang dalam pelaksanaan kewenangan, kekuasaan, dan kekuatan dalam pelaksanaan perlindungan anak.

3) Dasar yuridis: pelaksanaan perlindungan anak harus didasarkan pada UUD 1945 dan berbagai peraturan perundang-undangan lainnya yang berlaku. Penerapan dasar yuridis ini harus secara integratif, yaitu penerapan terpadu menyangkut peraturan perundang-undangan dari berbagai bidang hukum yang berkaitan.60

2.Perlindungan Hukum terhadap anak korban tindak penganiayaan

Dalam KUHP (Kitab Undang-Undang Hukum Pidana) terdapatbeberapa pasal yang mengatur tentang bentuk-bentuk kekerasan terhadap anak dan juga aturan pidananya baik yang secara langsung disebutkan objeknya adalah anak, maupun secara tidak langsung. Beberapa pasal dalam KUHP yang mengaturnya adalah:61

60

Lihat Arif Gosita,” Aspek Hukum Perlindungan Anak dan Konvensi Hak-hak Anak”, Era Hukum, Jurnal Ilmiah Ilmu Hukum, No.4/Th.V/April 1999, Fakultas Hukum Tarumanegara, Jakarta, 1999, hal.266-267

1. Tindak pidana (kejahatan) terhadap asal-usul dan perkawinan, yaitu melakukan pengakuan anak palsu (Pasal 278);

(9)

3. Kejahatan yang melanggar kesusilaan, seperti menawarkan, memberikan, untuk terus menerus atau sementara waktu, menyerahkan atau memperlihatkan tulisan, gambaran atau benda yang melanggar kesusilaan, maupun alat untuk mencegah atau menggugurkan kehamilan kepada seorang yang belum dewasa (Pasal 283), bersetubuh dengan wanita yang diketahui belum berumur lima belas tahun di luar perkawinan (Pasal 287), melakukan perbuatan atau membiarkan dilakukan perbuatan cabul terhadap orang yang belum berumur lima beas tahun (Pasal 290), melakukan perbuatan cabul terhadap anakkandung, anak tiri, anak angkat, anak di bawah pengawasan, pemeliharaan, pendidikan, atau penjagaannya, yang belum dewasa (Pasal 294), menyebabkan atau memudahkan dilakukannya perbuatan cabul oleh anak kandung, anak tiri, anak angkat, anak di bawah pengawasan, pemeliharaan, pendidikan, atau penjagaannya, yang belum dewasa dengan orang lain (Pasal 295), melakukan perdagangan anak (Pasal 297), membikin mabuk terhadap anak (Pasal 300), memberi atau menyerahkan seorang anak yang ada di bawah kekuasaannya kepada orang lain untuk melakukan pengemisan atau pekerjaan yang berbahaya atau pekerjaan yang dapat merusak kesehatannya (Pasal 301);

(10)

5. Kejahatan terhadap nyawa, seperti seperti pembunuhan (338), pembunuhan dengan pemberatan (339), pembunuhan berencana (340), merampas nyawa (pembunuhan) anak sendiri yang baru lahir (Pasal 341 dan 342);

6. Kejahatan penganiayaan terhadap anaknya sendiri (Pasal 351-356). Secara umum, tindak pidana terhadap tubuh pada KUHP disebut “penganiayaan”. Dalam KUHP, penjatuhan hukuman bagi tersangka pelaku tindak pidana bagi anak tidak diatur secara khusus penambahan hukumannya. Selain itu KUHP juga tidak ada mengatur secara khusus anak-anak yang menjadi korban tindak pidana. Tetapi pasal-pasal yang terdapat didalam KUHP ini dapat memberikan perlindungan secara hukum bagi anak yang menjadi korban tindak penganiayaan.

UU No. 23 tahun 2002, yaitu tentang Perlindungan Anak memberikan perlindungan hukum terhadap hak anak khususnya juga terhadap anak korbantindak pidana kekerasan. Pasal 1 UU No. 23 tahun 2002 tentang perlindungananak memberikan pengertian tentang perlindungan anak yaitu segala kegiatanuntuk menjamin dan melindungi anak dan hak-haknya agar dapat hidup, tumbuh, berkembang, dan berpartisipasi, secara optimal dari kekerasan dandiskriminasi.

(11)

kekerasan fisik dan/atau mental, anak penyandangcacat, dan anak korban perlakuan salah dan penelantaran.

Di dalam Pasal 13 ayat (1) UU No. 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak menyatakan bahwa setiap anak selama dalam pengasuhan orang tua, wali, atau pihak lain mana pun yang bertanggung jawab atas pengasuhan, berhak mendapat perlindungan dari perlakuan:

a. diskriminasi;

b. eksploitasi, baik ekonomi maupun seksual;

c. penelantaran;

d. kekejaman, kekerasan, dan penganiayaan;

e. ketidakadilan; dan

f. perlakuan salah lainnya.

(12)

atas perlindungan anak korban kekerasan.Misalnya, perlindungan anak korban tindak pidana (Pasal 64 ayat 3) hanya ditentukan prosesnya, yaitu melalui: (1) upaya rehabilitasi, baikdalam lembaga maupun di luar lembaga; (2) upaya perlindungan dari pemberitaan identitas melalui media massa dan menghindari labelisasi; (3) pemberian jaminan keselamatan bagi saksi korban dan saksi ahli, baik fisik, mental maupun sosial; dan (4) pemberian aksesibilitas untuk mendapatkan informasi mengenai perkembangan perkara.

B. Analisi Yuridis Terhadap Putusan Perkara Tindak Pidana Penganiayaan Yang Dilakukan Terhadap Anak (Studi Putusan No.797/Pid.B/2014/PN.Rap)

1. Kasus Posisi

a. Kronologis

Kasus penganiayaan terhadap anak ini terjadi pada tanggal 28 Maret 2014 sekira pukul 14.00 WIB yang bertempat di Kelurahan Sigambal Kecamatan Rantau Selatan Kabupaten Labuhan Batu tepatnya di Jalan H.M. Said Pardamean, dengan terdakwa Ernauli br.Tambunan alias Mak Dewi dan korban adalah Romauli br.Simamora alias Butet (berusia 13 tahun yang lahir pada tanggal 20 Desember 2000), perbuatan terdakwa dilakukan dengan cara sebagai berikut :

(13)

Dewi.. dewi pulang, ngapain kamu disitu ada orang gila” yang dimana si anak terdakwa tersebut lansung pulang ke rumah. Kemudian setelah itu saksi korban pergi ke kedai yang tidak jauh dari rumah saksi Lasma br.Limbong tepatnya berada di belakang rumah Pak Retno karena disuruh oleh saksi Lasma br.limbong untuk membeli cabai dan bawang merah. Saksi korban Romauli br.Simamora pun pergi ke kedai itu bersama saksi Marina br.Panjaitan yang merupakan anak dari saksi Lasma br.Limbong. Setelah sampai d kedai itu kemudian terdakwa Ernauli br.Tambunan tiba-tiba datang dan langsung menghampiri saksi korban dan langsung menggigit punggung sebelah kiri saksi korban lalu saksi Norman Panjaitan alias Pak Retno datang dan menarik tangan terdakwa hingga terdakwa akhirnya melepaskan gigitannya dari saksi korban Romauli br.Simamora. kemudian setelah melepaskan gigitannya terdakwa memukul dada saksi korban dengan menggunakan pelepah kelapa sawit yang sudah kering sebanyak satu kali, dan selanjutnya terdakwa Ernauli br.Tambunan mendatangi saksi Marina br.Panjaitan lalu terdakwa memelintir tangan saksi Marina Panjaitan lalu kemudian setelah itu masyarakat datang untuk melerai perbuatan terdakwa dan terdakwa selanjutnya pergi.

Perbuatan yang telah dilakukan terdakwa Ernauli br.Tambunan terhadap saksi korban Ernauli br.Simamora yang mengakibatkan :

• Luka lecet pada leher depan dengan panjang satu sentimeter dan lebar nol koma lima sentimeter;

(14)

• Luka lecet dada kiri dengan panjang tujuh sentimeter dan lebar nol koma lima sentimeter

b. Fakta-fakta Hukum

1. Keterangan saksi

 Saksi Lasma Limbong, dibawah sumpah/janji pada pokoknya

menerangkan :

• Bahwa saksi kenal dengan terdakwa

• Bahwa saksi mengetahui terdakwa telah melakukan penganiayaaan terhadap Romauli br.Siamamora pada hari Jumat tanggal 28 Maret 2014 sekira pukul 14.00 WIB di jalan H.M. Said pardamean Kel.Sigambal Kec.Rantau Selatan Kab.Labuhan Batu

• Bahwa saksi mengetahui korban Romauli br. Simamora Alias Butet berusia 14 (empat belas) tahun

• Bahwa terdakwa melakukan penganiayaan terhadap korban nya dengan cara menggigit punggung sebelah kiri dan memukul dada sebelah kira sebanyak 2 kali dengan menggunakan pelepah sawit yang kering

• Bahwa akibat perbuatan terdakwa korban mengalami luka di bagian punggung dan dada serta harus berobat di Rumah Sakit Umum Rantau Prapat sehingga saksi terhalang bersekolah

• Bahwa terdakwa tidak ada membayar biaya perobatan saksi korban

(15)

 Saksi Romauli br.Simamora yang merupan korban menerangkan

sebagai berikut :

• Bahwa saksi kenal dengan terdakwa

• Bahwa terdakwa telah melakukan penganiyaan terhadap korban pada hari Jumat tanggal 28 Maret 2014 sekira pukul 14.00 di J jalan H.M. Said pardamean Kel.Sigambal Kec.Rantau Selatan Kab.Labuhan Batu dengan cara menggigit punggung sebelah kiri dan memukul dada sebelah kiri saksi dengan menggunakan pelepah kelapa sawit yang kering

• Bahwa akibaat perbuatan terdakwa, saksi mengalami luka di bagian punggung dan dada

• Bahwa masih adaa bekas gigitan terdakwa di punggung saksi

• Bahwa saksi juga terhalang melakukan aktifitas dan beberapa hari tidak masuk sekolah

• Bahwa saksi merasa sakit dan demam

• Bahwa terdakwa tidak ada membayar biaya perobatan

• Bahwa terdakwa dan korban belum berdamai

 Saksi Norma Panjaitan Alias Pak Retno, dibawah sumpah pada

pokoknya menerangkan sebagai berikut :

(16)

• Bahwa saksi korban masih berusia 14 tahun

• Bahwa saksi mengetahui perbuatan terdakwa melakukan penganiyaan terhadap korban ketika saksi sepulang dari kerja

• Bahwa akibaat perbuatan terdakwa, saksi mengalami luka di bagian punggung dan dada

• Bahwa Terdakwa dan saksi korban belum berdamai

• Bahwa sepengatahuan saksi, terdakwa selama ini sering membuat keributan di lingkunga tempat tinggal saksi

2. Keterangan Terdakwa

Bahwa Terdakwa di persidangan telah memberikan keterangan yang pada pokoknya sebagai berikut :

• Bahwa pada hari Jumat tanggal 28 Maret 2014 sekira pukul 14.00 Wib,terdakwa pulang ke rumah Terdakwa di Jalan H.M. Said Pardamean Kel.Sigambal Kec. Rantau Selatan Kab. Labuhan Batu dan Terdakwa melihat anakTerdakwa bernama Dewi sedang bermain bersama saksi korban Romauli BrSimamora dan saksi Marina Br Panjaitan di halaman rumah saksi Lasma BrLimbong

(17)

gila” lalu Terdakwamenjawab ”Kalau kau merasa, kaulah kubilang yang gila” lalu Terdakwapulang kerumah Terdakwa

• Bahwa setelah masuk ke dalam rumah, Terdakwa mendengar saksi Lasma BrLimbong mengatakan ”Lawan dia, lonte dia itu” dan terdakwa menjawab ”Kaunya itu” dan pada saat yang bersamaan Terdakwa melihat saksi Romauli BrSimamora dan Marina Br Panjaitan berjalan ke arah rumah saksi NormanPanjaitan alias Pak Reno sambil mengejek Terdakwa dengan mengatakan”Lonte... lonte memang gila nya kau” sehingga terdakwa merasa emosi lalumendekati Romauli Br Simamora dan langsung dan bertanya ”Kenapa kaulawan-lawan orang tua” sambil Terdakwa memukul tangannya, namun saksikorban Romauli br Panjaitan menjawab ”Memang lonte nya kau katanya”sehingga Terdakwa semakin emosi dan langsung menggigit punggung sebelahkiri saksi korban, namun pada saat yang bersamaan saksi Norman Panjaitan Alias Pak Reno datang melerai

• Bahwa Terdakwa tidak ada memukul saksi korban Romauli Br Simamoradengan menggunakan pelepah sawit

• Bahwa Terdakwa juga memukul tangan kanan saksi Marina Br Panjaitan;

(18)

• Bahwa Terdakwa menggigit punggung saksi korban dan memukul tangan saksiMarina Br Panjaitan untuk memberi pelajaran karena telah mengejek dan menindir terdakwa

• Bahwa saksi korban masih anak-anak dan masih sekolah

• Bahwa Terdakwa menyesal

• Bahwa tidak ada perdamaian antara Terdakwa dengan saksi korban;\

• Bahwa Terdakwa belum pernah dihukum 3. Alat Bukti

Di dalam perkara ini telah dibacakan bukti surat berupa Visum Et Repertum No.445/290/RM-RSUD/2014, yang dibuat dan ditandatangani oleh dr. Lili Oetaviani, yang pada pokoknya menerangkan hasil pemeriksaan sebagai berikut :

• Luka lecet pada leher depan panjang satu sentimeter dan lebar nol koma lima sentimeter

• Luka lecet pada punggung kiri panjang tiga sentimeter dan lebar nol koma lima sentimeter

• Luka lecet dada kiri sepanjang tujuh sentimeter dan lebar nol koma lima sentimeter

c. Dakwaan Jaksa Penuntut Umum

(19)

terjadikekurangan dan atau kekeliruan yang mengakibatkan batalnya surat dakwaan atau unsur-unsur dalam dakwaan tidak berhasil dibuktikan. JPU juga harus mampu merumuskan unsur-unsur tindak pidana/delik yang didakwakan secara jelas, dalam artian rumusan unsur-unsur delik harus dapat dipadukan dan dijelaskan dalam bentuk uraian fakta perbuatan yang dilakukan oleh terdakwa. Dengan kata lain uraian unsur-unsur delik yang dirumuskan dalam pasal yang didakwakan harus dapat dijelaskan/digambarkan dalam bentuk fakta perbuatan yang dilakukan oleh terdakwa. Sehingga dalam uraian unsurunsur dakwaan dapat diketahui secara jelas apakah terdakwa dalam melakukan tindak pidana yang didakwakan tersebut sebagai pelaku (pleger), pelaku peserta (medepleger), penggerak (uitlokker), penyuruh (doen pleger) atau hanya sebagai pembantu.

Dalam Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana yang selanjutnya disebut KUHAP, tidak pernah diatur berkenaan dengan bentuk dan susunan dari surat dakwaan. Sehingga dalam praktek hukum,masing-masing JPU dalam menyusun surat dakwaan pada umumnyadipengaruhi oleh strategi dan rasa seni sesuai dengan pengalaman prakteknya masing-masing, namun demikian tetap berdasarkan pada persyaratan yang diatur dalam Pasal 143 ayat (2) KUHAP.

(20)

Dakwaan JPU dalam perkara ini merupakan dakwaan tunggal yaitu melanggar Pasal 80 ayat 1 UU No.23 Tahun 2002 tentang perlindungan anak yang dimana unsur-unsurnya sebagai berikut :

1. Unsur setiap orang;

Berdasarkan ketentuan di dalam perundang-undangan yang dimaksud dengan “setiap orang” adalah sama dengan penegertian “barang siapa” sebagaimana diatur dalam Kitab Undang-Undang Hukum Pidana adalah subyek hukum yang dapat berupa perorangan maupun badan hukum yang diwakili oleh person yang menampakkan daya berfikir sebagai persyaratan mendasar kemampuan bertanggungjawab, yang berdasarkan ketentuan dalam Pasal 44 ayat (1) Kuhp dapat diketahui bahwa orang yang yang dipandang mampu mempertanggungjawabkan perbuatan yang dilakukannya adalah orang ya ng sehat akal pikirannya;

Dalam perkara ini orang yang diajukan ke persidangan karena didakwa melakukian tindak pidana adalah berupa orang yaitu Terdakwa Ernauli br.Tambunan alias Mak dewi sesuai dengan identitasnya dalam Surat Dakwaan dan terdakwa juga membenarkan identitasnya dalam Surat Dakwaan Penuntut Umum tersebut, sehingga Majelis Hakim berpendapat bahwa terdakwa sebagai tercantum dalam Surat Dakwaan Jaksa Penuntut Umum adalah perkara a quo adalah benar dan bukan orang lain daripadanya sehingga tidak terjadi error in persona, dengan demikian unsur setiap orang ini telah terpenuhi;

(21)

Berdasarkan fakta-fakta hukum di persidangan, dan berdasarkanVisum et Repertum Nomor: 445/290/RM-RSUD/2014 yang dibuat danditandatangani oleh dr. Lily Oetaviani, Hakim berpendapat bahwa perbuatanterdakwa Ernauli br.Tambunan yang mengakibatkan perasaan tidak enak (penderitaan) atau rasa sakit atau luka terhadap korban Romauli br, Siamamora yang menurut yurispundensi dapat diartikan sebagai “penganiayaan” , sehingga perbuatan terdakwa diketegorikanatau termasuk perbuatan penganiayaan. Dengan demikian, Hakimberkesimpulan unsur mengakibatkan orang lain mengalami rasa sakit atau luka telah terpenuhi.

Berdasarkan pembuktian unsur-unsur di atas, kemudian dikaitkan dengan fakta-fakta hukum yang terungkap di persidangan maka dapat disimpulkan bahwa dakwaan JPU sudah terbukti yaitu Pasal 80 UU No.23 tahun 2002 yang dimana terdakwa telah terbukti melakukan tindak penganiayaan terhadap anak karena korban Romauli br.Simamora masih dikategorikan sebgai usia anak atau belum dewasa yaitu masih berusia 14 tahun.

Setelah semua unsur-unsur tindak pidana berhasil dibuktikan,maka selanjutnya Hakim mempertimbangkan alasan-alasan pengecualian, yaitu keadaan yang memberatkan dan yang meringankan;

Keadaan yang memberatkan :

• Perbuatan terdakwa mengakibatkan saksi korban Romauli br.Simamora Alias Butet mengalami luka;

• Perbuatan terdakwa meresahkan masyrakat;

(22)

Keadaan yang meringankan :

• Terdakwa menyesali perbuatannya;

• Terdakwa belum pernah dihukum;

d. Tuntutan Penuntut Umum

Tuntutan Penuntut Umum merupakan permohonan Penuntut Umum kepada Hakim ketika hendak mengadili suatu perkara. Adapun tuntutan Penuntut Umum yang pada pokoknya meminta Hakim Pengadilan Negeri Rantau Prapat adalah sebagai berikut :

1. Menyatakan terdakwa Ernauli br. Tambunan alias Lina tambunan Alias Mak dewi, terbukti bersalah melakukan tindak pidana “Melakukan Kekejaman, Kekerasan atau ancaman kekerasan atau Penganiayaan terhadap anak” sebagaiman diatur dalam UU No.23 tahun 2002 tentang Perlindungan Anak;

2. Menjatuhkan pidana terhadap terdakwa berupa pidana penjara selama 7 (tujuh) bulan penjara dan denda sebesar Rp. 2.000.000,- (dua juta rupiah) subsidair 2 (dua) bulan kurungan;

(23)

e. Putusan Hakim

Dalam perkara Nomor.797/Pid.B/2014/PN.Rap Hakim memutuskan:

MENGADILI

1. Menyatakan Terdakwa Ermauli br.Tambunan Alias Lina Tambunan Alias Mak Dewi tersebut telah terbukti secara sah dan menyakinkan bersalah melakukan tindak pidana “Dengan Sengaja Melakukan Penganiayaan Terhadap Anak” sebagaimana dalam dakwaan tunggal;

2. Menjatuhkan pidana kepada terdakwa oleh karena itu dengan pidana penjara selama 5(lima) bulan;

3. Memerintahkan terdakwa untuk ditahan;

4. Membebankan kepada Terdakwa membayar biaya perkara sejumlah Rp. 2.000,- (dua ribu rupiah)

2. Analisis Kasus

(24)

perbuatan yang dilakukan nya serta perbuatan itu hanya dilakukan sekali saja tanpa ada pengulangan nya lagi.

Penulis berpendapat bahwa tindak pidana penganiayaan yang dilakukan terdakwa terhadap korban Romauli br. Simamora merupakan jenis tindak pidana penganiaayaan biasa yang dimana tertera di dalam Pasal 351 KUHP. Karena di dalam perkara ini korban tidak mengalami luka yg cukup parah atau berat. Hanya saja akibat perbuatan si terdakwa tersebut mengakibatkan terganggunya aktivitas keseharian si korban dan absen dari sekolahnya.

Menurut Penulis di dalam dakwaan JPU juga harus mnyertakan Pasal 351 KUHP ini. Memang menurut penulis dakwaan tunggal JPU pasal 80 UU NO.23 tahun 2002 sudah sesuai dan tepat tetapi akan lebih baik lagi jika dakwaan JPU tersebut mencantumkan Pasal 351 KUHP ini agar kepastian hukum nya dapat tercapai lebih pasti. Mungkin dakwaan JPU tersebut menurut penulis hanya mencantumkan pasal 80 UU NO.23 tahun 2002 karena tindak penganiayaan yang dilakukan terdakwa korbannya merupakan anak. Tetapi di dalam pasal tersebut hanya mengatur bagaimana memberikan perlindungan terhadap anak korban kekerasan dan bagaimana pertanggungjawaban si pelaku terhadap tindak pidana yang telah dilakukannya. Tidak ada di dalam Pasal tersebut mengatur bagaimana jenis penganiayaan yang dilakukan. Hanya di dalam Pasal 80 tersebut mengatur hukuman bagi orang yang melakukan penganiayaan yang mengakibatkan luka berat dan dan meyebabkan kematian.

(25)

biasa ataaupun ringan. Tidak bisa dikatakan sebagai luka berat ataupun parah. Oleh karena itu maka penulis berpendapat alangkah lebih baiknya Dakwaan JPU tersebut juga mencantumkan Pasal 351 KUHP agar lebih mendapat kepastian hukumnya.

Putusan Hakim dalam memutuskan perkara ini menurut Penulis sudah cukuplah tepat dan sesuai dengan Tindak penganiayaan yang telah dilakukan oleh terdakwa. Penulis mengatakan sudah tepat karena perbuatan yang dilakukan oleh terdakwa tersebut hanyalah tindak penganiayaan biasa yang tidak mengakibatkan si korban mengalami luka parah ataupun cacat fisik. Si korban hanya saja mengalami luka di bagian punggung dan dada yang mengakibatkan si korban tersebut merasa sakit dan demam. Penganiayaan yang dilakukan terdakwa tersebut hanya menggangu aktivitas si korban untuk beberapa hari saja karena mengalami demam serta si korban tidak bisa bersekolah.

(26)

Selain daripada itu mungkin hakim juga mempertimbangkan hal-hal yang lain dalam menjatuhkan hukuman 5 bulan penjara kepada terdakwa. Menurut penulis hakim menjatuhkan putusan tersebut karena hakim juga mempertimbangkan kondis dari si terdakwa yang dimana si terdakwa juga merupakan seorang ibu dan juga memiliki seorang anak yang bernama Dewi. Apabila hukuman penjara yang diberikan lebih lamaa lagi mungkin dapat menimbulkan masalah-masalah lain seperti penelantaran anak si terdakwa. Hal itu mungkin terjadi karena anaak si terdakwa tersebut masih dikategorikan usia anak dan belum dapat hidup mandiri. Yang didalam kehidupan kesehariannya masih membutuhkan seorang ibu untuk mengurus nya.

(27)

BAB IV

PENUTUP

A. Kesimpulan

Dari rumusan masalah, dan pembahasan yang telah diuraikan di atas, maka Penulis dapat menarikkesimpulan sebagai berikut:

1. Pertanggungjawaban Tindak Pidana Penganiayaan yang dilakukan terhadap Anak dapat kita lihat pengaturan nya di dalam berbagai Undang-undang. Tetapi secara lebih spesifik, penganiayaan yang dilakukan terhadap anak pengaturan pertanggungjawaban pidana nya dapat kita lihat di pasal 80 UU Nomor.23 tahun 2002 tentang perlindungan anak yaitu : 1. Setiap orang yang melakukan kekejaman, kekerasan atau ancaman

kekerasan, atau penganiayaan terhadap anak, dipidana dengan pidana penjara paling lama 3 (tiga) tahun 6 (enam) bulan dan/atau denda paling banyak Rp 72.000.000,00 (tujuh puluh dua juta rupiah).

2. Dalam hal anak sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) luka berat, maka pelaku dipidana dengan pidana penjara paling lama 5 (lima) tahun dan/atau denda paling banyak Rp 100.000.000,00 (seratus juta rupiah).

(28)

2. Penerapan Hukum Pidana Materil dalam Putusan Nomor.797/Pid.b/2014/PN.Rap Penulis berpendapat bahwa dakwaan yang JPU dakwakan kepada si terdakwa sudahlah tepat dan sesuai tetapi alangkah lebih baik nya lagi mencantumkaan pasal-pasal yang lainnya jika ada berkaitan dengan tindak pidana yang dilakukan, agar lebih baik lagi dan dapat mencapai kepastian hukum yang lebih pasti lagi tanpa ada pihak-pihak yang merasa dirugikan baik itu terdakwa maupun si korban dan membuat si terdakwa pelaku tindak pidana tersebut dapat jera dan tidak mau mengulangi perbuatannya lagi. Serta hakim yang memutuskan suatu perkara tindak pidana juga harus lebih cermat lagi dalam menjatuhkan putusan dan hukuman bagi si terdakwa agar setelah putusan tersebut dijatuhkan tidak ada lagi masalah yang muncul.

B. Saran

Setelah menganalisis kasus ini maka penulis menyarankan :

(29)

2. Agar JPU lebih cermat lagi dalam mencantumkan dakwaan nya supaya hakim dapat memutuskan perkara tersebut dengan baik dan hasil putusan tersebut tidak ada yang merasa dikecewakan dan dirugikan. Penerapan UU Perlindungan anak ini supaya lebih dilakukan secara efisiensi karena kasus-kasus yang menyangkut tentang kekerasan anak semakin banyak terjadi dan penulis mengaharapkan agar semua oeang berpartisipsi dalam melindungi hak-hak dan kewajiban dari anak. Tugas tersebut bukan hanya saja tugas dari Penegak Hukum ataupun Pemerintah saja tetapi merupakan tanggung jawab semua warga negara agar tindak kekerasan terhadap anak ini tidak semakin banyak terjadi.

(30)

PENGATURAN TINDAK PIDANA PENGANIAYAAN DAN

PERTANGGUNGJAWABANNYA DALAM HUKUM PIDANA

A.Tindak Pidana Penganiayaan Dalam Hukum Pidana

1. Pengertian Tindak Pidana Penganiayaan

Secara umum, tindak pidana terhadap tubuh pada KUHP disebut “penganiayaan”. Dibentuknya pengaturan tentang kejahatan terhadap tubuh manusia ini dutujukan bagi perlindungan kepentingan hukum atas tubuh dari perbuatan-perbuatan berupa penyerangan atas tubuh atau bagian dari tubuh yang mengakibatkan rasa sakit atau luka, bahkan karena luka yang sedemikian rupa pada tubuh dapat menimbulkan kematian.

(31)

dimaksud dengan “perasaan tidak enak”, “rasa sakit”, “luka”, dan “merusak kesehatan”:27

1. “perasaan tidak enak” misalnya mendorong orang terjun ke kali sehingga basah, menyuruh orang berdiri di terik matahari, dan sebagainya.

2. “rasa sakit” misalnya menyubit, mendupak, memukul, menempeleng, dan sebagainya.

3. “luka” misalnya mengiris, memotong, menusuk dengan pisau dan lain-lain. 4. “merusak kesehatan” misalnya orang sedang tidur, dan berkeringat, dibuka

jendela kamarnya, sehingga orang itu masuk angin.

Penganiayaan dalam kamus besar bahasa Indonesia dimuat arti sebagai berikut “perilaku yang sewenang-wenang”. Pengertian tersebut adanya pengertian dalam arti luas, yakni termasuk yang menyangkut “perasaan” atau “batiniah”.

Meskipun pengertian penganiayaan tidak ada dimuat dalam KUHP, namun kita dapat melihat pengertian penganiayaan menurut pendapat sarjana, doktrin, dan penjelasan menteri kehakiman.Menurut Mr. M.H. Tirtaamidjaja, pengertian penganiayaan sebagai berikut: “Menganiaya adalah dengan sengaja menyebabkan sakit atau luka pada orang lain”. Akan tetapi perbuatan yang menyebabkan sakit atau luka pada orang lain, tidak dapat dianggap sebagai penganiayaan kalau perbuatan itu dilakukan untuk menambah keselamatan badan.

(32)

Menurut ilmu pengetahuan (doktrin) pengertian penganiayaan adalah sebagai berikut : “Setiap perbuatan yang dilakukan dengan sengaja untuk menimbulkan rasa sakit atau luka pada orang lain.”Berdasarkan doktrin diatas bahwa setiap perbuatan dengan sengaja menimbulkan rasa sakit atau luka pada tubuh merupakan penganiayaan yang terhadap pelakunya diancam pidana. Padahal dalam kehidupan sehari-hari cukup banyak perbuatan yang dengan sengaja menimbulkan rasa sakit atau luka pada tubuh yang terhadap pelakunya tidak semestinya diancam dengan pidana.28

Sedangkan menurut penjelasan menteri kehakiman pada waktu pembentukan pasal 351 KUHP dirumuskan, antara lain :29

Berbeda dengan RUU-KUHP 1993 yang memberikan penafsiran kepada hakim. Penjelasan resmi RUU-KUHP 1993 yang dimuat dalam penjelasan resmi pasal 451 (20.01) dimuat antara lain sebagai berikut :“perumusan penganiayaan tidak perlu ditentukan secara pasti mengingat kemungkinan

perubahan nilai-nilai social dan budaya serta perkembangan dalam dunia

kedokteran dan sosiologi”.

1. Setiap perbuatan yang dilakukan dengan sengaja untuk memberikan penderitaan badan kepada orang lain.

2. Setiap perbuatan yang dilakukan dengan sengaja untuk merugikan kesehatan pada orang lain.

28

21.46 mengutip Kiswanto Dicaprio “Pengertian Tindak Pidana dan Tindak Pidana Penganiayaan

29

(33)

Kurang dapat dimengerti, apa sebabnya RUU-KUHP tersebut tentang pengertian penganiayaan, menyangkutkan pada perkembangan dunia kedokteran sebab menurut pendapat umum bahwa penganiayaan tidak mempunyai keterkaitan secara langsung dengan ilmu kedokteran. Ilmu kedokteran berkenaan dengan kesehatan manusia,bukan dikaitkan dengan penganiayaan.

Berdasarkan pengertian tindak pidana diatas maka rumusan penganiayaan memuat unsur-unsur sebagai berikut :30

Dalam tindak pidana penganiayaan unsur kesengajaan harus diartikan secara luas yaitu meliputi kesengajaan sebagai maksud, kesengajaan sebagai kepastian dan kesengajaan sebagai kemungkinan.

a. Unsur kesengajaan.

b. Unsur perbuatan.

c. Unsur akibat perbuatan (yang dituju) yaitu :

· Rasa sakit, tidak enak pada tubuh;

· Luka Tubuh

d. Akibat mana menjadi satu-satunya tujuan si pelaku.

Untuk lebih memperjelas tindak pidana penganiayaan sebagaimana terurai diatas, berikut ini akan diuraikan makna dari masing-masing unsur tersebut.

a.Unsur Kesengajaan.

(34)

Dengan penafsiran bahwa unsur kesengajaan dalam tindak pidana penganiayaan ditafsir sebagai kesengajaan sebagai maksud (opzet alsa olmergk), maka seseorang baru dikatakan melakukan tindak pidana penganiayaan, apabila orang itu mempunyai maksud menimbulkan akibat berupa rasa sakit atau luka pada tubuh. Jadi, dalam hal ini maksud orang itu haruslah ditujukan pada perbuatan dan rasa sakit atau luka pada tubuh.Walaupun secara prinsip kesengajaan dalam tindak pidana penganiayaan harus ditafsirkan sebagai kesengajaan sebagai maksud, namun dalam hal-hal tertentu kesengajaan dalam penganiayaan juga dapat ditafsirkan sebagai kesengajaan sebagai kemungkinan.

Namun demikian penganiayaan itu bisa ditafsirkan sebagai kesengajaan dalam sadar akan kemungkinan, tetapi penafsiran tersebut juga terbatas pada adanya kesengajaan sebagai kemungkinan terhadap akibat. Artinya dimungkinkan penafsiran secara luas unsur kesengajaan itu yaitu kesengajaan sebagai maksud, kesengajaan sebagai kemungkinan bahkan kesengajaan sebagai kepastian, hanya dimungkinkan terhadap akibatnya. Sementara terhadap perbuatan itu haruslah pada tujuan pelaku.

b.Unsur Perbuatan.

(35)

Selain bersifat positif, unsur perbuatan dalam tindak pidana penganiayaan juga bersifat abstrak. Artinya penganiayaan itu bisa dalam berbagai bentuk perbuatan seperti memukul, mencubit, mengiris, membacok, dan sebagainya.

c.Unsur akibat yang berupa rasa sakit atau luka tubuh.

Rasa sakit dalam konteks penganiayaan mengandung arti sebagai terjadinya atau timbulnya rasa sakit, rasa perih, atau tidak enak penderiataan.Sementara yang dimaksud dengan luka adalah adanya perubahan dari tubuh, atau terjadinya perubahan rupa pada tubuh sehingga menjadi berbeda dari keadaan tubuh sebelum terjadinya penganiayaan. Perubahan rupa itu misalnya lecet-lecet pada kulit, putusnya jari tangan, bengkak-bengkak pada anggota tubuh dan sebagainya.Unsur akibat baik berupa rasa sakit atau luka dengan unsur perbuatan harus ada hubungan kausal. Artinya, harus dapat dibuktikan, bahwa akibat yang berupa rasa sakit atau luka itu merupakan akibat langsung dari perbuatan dengan akibat ini, maka tidak akan dapat dibuktikan dengan adanya tindak pidana penganiayaan.

d.Akibat mana yang menjadi tujuan satu-satunya.

(36)

berupa rasa sakit atau luka itu bukan menjadi tujuan dari pelaku tetapi hanya sebagai sarana untuk mencapai tujuan lain yang patut, maka dalam hal ini tidak terjadi penganiayaan.

Penganiayaan adalah tindak pidana yang menyerang kepentingan hukum berupa tubuh manusia. Di dalam KUHP terdapat ketentuan yang mengatur berbagai perbuatan yang menyerang kepentingan hukum yang berupa tubuh manusia.

Dalam KUHP tindak pidana penganiayaan dapat dibagi menjadi beberapa bagian yaitu sebagai berikut :31

Bukan hanya didalam Kitab Undang-Undang Hukum Pidana saja pengaturan tentang penganiayaan ataupun kekerasan dapat kita lihat. Didalam

a. Penganiayaan biasa sebagaimana diatur dalam pasal 351 KUHP

b. Penganiayaan ringan sebagaimana diatur dalam pasal 352 KUHP

c. Penganiayaan berencana sebagaimana diatur dalam pasal 353 KUHP

d. Penganiayaan berat sebagaimana diatur dalam pasal 354 KUHP

e. Penganiayaan berat berencana sebagaimana diatur dalam pasal 355 KUHP

f. Penganiayaan terhadap orang yang berkualitas tertentu sebagaimana diatur dalam pasal 356 KUHP

(37)

Undang-Undang No.23 Tahun 2004 tentang Penghapusan Kekerasan Dalam Rumah Tangga.

Didalam UU Penghapusan KDRT kekerasan adalah :32

“Setiap perbuatan terhadap seseorang terutama perempuan, yang berakibat timbulnya kesengsaraan atau penderitaan secara fisik, psikologis dan/atau penelantaran rumah tangga termasuk ancaman untuk melakukan perbuatan, pemaksaan atau perampasan kemerdekaan secara melawan hukum dalam lingkup rumah tangga”

Memang kekerasan itu lebih terfokus kepada tindak kekerasan yang dilakukan terhadap istri tetapi bukan hanya istri saja yang dapat dikatakan sebagai korban kekerasan. Semua orang yang berada didalam rumah tangga dapat juga dikatakan sebagai korban termasuk anak.

(38)

Kekerasan didalam rumah tangga ini dapat dikatakan juga sebagai penganiayaan karena kekerasan ini juga menimbulkan tekanan mental maupun gangguan fisik dari seorang korban yang mengalami kekerasan, yang dimana bentuk-bentuk kekerasan tersebut berupa :33

a. Kekerasan fisik, yakni perbuatan yang mengakibatkan rasa sakit, jatuh sakit, atau luka berat.

b. Kekerasan psikis, yakni perbuatan yang mengakibatkan ketakutan, hilangnya rasa percaya diri, hilangnya kemampuan untuk bertindak, rasa tidak berdaya, dan/ atau penderitaan psikis berat pada seseorang.

c. Kekerasan seksual, yakni setiap perbuatan yang berupa pemaksaan hubungan seksual, pemaksaan hubungan seksual dengan cara tidak wajar dan/atau tidak disukai, pemaksaan hubungan seksual dengan orang lain untuk tujuan komersial dan/atau tujuan tertentu, yang meliputi: pemaksaan hubungan seksual yang dilakukan terhadap orang yang menetap dalam lingkup rumah tangga tersebut; pemaksaan hubungan seksual terhadap salah seorang dalam lingkup rumah tangganya dengan orang lain untuk tujuan komersial dan/atau tujuan tertentu.

(39)

2. Jenis-Jenis Tindak Pidana Penganiayaan

Di dalam Hukum Pidana terdapat beberapa pembagian atau jenis dari Tindak Penganiayaaan yaitu :

a. Tindak Pidana Penganiayaan Biasa

Penganiayaan biasa yang dapat juga disebut dengan penganiayaan pokok atau bentuk standar terhadap ketentuan Pasal 351 yaitu pada hakikatnya semua penganiayaan yang bukan penganiayaan berat dan bukan penganiayaan ringan.

Mengamati Pasal 351 KUHP maka ada 4 (empat) jenis penganiayaan biasa, yakni:34

Unsur-unsur penganiayaan biasa, yakni:

1) Penganiayaan biasa yang tidak dapat menimbulkan luka berat maupun kematian dan dihukum dengan dengan hukuman penjara selama-lamanya dua tahun delapan bulan atau denda sebayak-banyaknya tiga ratus rupiah. (ayat 1)

2) Penganiayaan yang mengakibatkan luka berat dan dihukum dengan hukuman penjara selama-lamanya 5 tahun (ayat 2)

3)Penganiayaan yang mengakibatkan kematian dan dihukum dengan hukuman penjara selama-lamanya 7 tahun (ayat 3)

4) Penganiayaan berupa sengaja merusak kesehatan (ayat 4)

34

(40)

1) Adanya kesengajaan

2) Adanya perbuatan

3) Adanya akibat perbuatan (yang dituju), rasa sakit pada tubuh, dan atau luka pada tubuh.

4) Akibat yang menjadi tujuan satu-satunya

A. Tindak Pidana Penganiayaan Ringan

Hal ini diatur dalam Pasal 352 KUHP. Menurut Pasal ini, penganiayaan ringan ini ada dan diancam dengan maksimum hukuman penjara tiga bulan atau denda tiga ratus rupiah apabila tidak masuk dalam rumusan Pasal 353 dan 356, dan tidak menyebabkan sakit atau halangan untuk menjalankan jabatan atau pekerjaan. Hukuman ini bisa ditambah dengan sepertiga bagi orang yang melakukan penganiayaan ringan ini terhadap orang yang bekerja padanya atau yang ada dibawah perintah.Penganiayaan tersebut dalam Pasal 352 (1) KUHP yaitu suatu penganiayaan yang tidak menjadikan sakit atau menjadikan terhalang untuk melakukan jabatan atau pekerjaan sehari-hari.35

b. Terhadap pegawai negri yang sedang dan atau karena menjalankan tugasanya yang sah

Unsur-unsur penganiayaan ringan, yakni:

1)Bukan berupa penganiayaan biasa

2) Bukan penganiayaan yang dilakukan

a.Terhadap bapak atau ibu yang sah, istri atau anaknya

(41)

c. Dengan memasukkan bahan berbahaya bagi nyawa atau kesehatan untuk dimakan atau diminum

3) Tidak menimbulkan penyakit atau halangan untuk menjalankan pekerjaan jabatan dan pencaharian

B.Tindak Pidana Penganiayaan Berencana

Menurut Mr.M.H Tirtaadmidjaja,mengutarakan arti direncanakan lebih dahulu yaitu bahwa ada suatu jangka waktu betapapun pendeknya untuk mempertimbangkan dan memikirkan dengan tenang”.Untuk perencanaan ini, tidak perlu ada tenggang waktu lama antara waktu merencanakan dan waktu melakukan perbuatan penganiayaan berat atau pembunuhan. Sebaliknya meskipun ada tenggang waktu itu yang tidak begitu pendek, belum tentu dapat dikatakan ada rencana lebih dahulu secara tenang. Ini semua bergantung kepada keadaan konkrit dari setiap peristiwa36

36

Ismu Gunadi, Jonaedi Efendi dan Fifit Fitri Lutfianingsih, Cepat & Mudah Memahami .

Menurut Pasal 353 KUHP ada 3 macam penganiayanan berencana , yaitu:

1) Penganiayaan berencana yang tidak berakibat luka berat atau kematian dan dihukum dengan hukuman penjara selama-lamanya 4 (empat) tahun.

(42)

3) Penganiayaan berencana yang berakibat kematian dan dihukum dengan hukuman selama-lamanya 9 (Sembilan) tahun.37

C.Tindak Pidana Penganiayaan Berat

Unsur penganiayaan berencana adalah direncanakan terlebih dahulu sebelum perbuatan dilakukan. Penganiayaan dapat dikualifikasikan menjadi penganiayaan berencana jika memenuhi syarat-syarat:

1) Pengambilan keputusan untuk berbuat suatu kehendak dilakukan dalam suasana batin yang tenang.

2) Sejak timbulnya kehendak/pengambilan keputusan untuk berbuat sampai dengan pelaksanaan perbuatan ada tenggang waktu yang cukup sehingga dapat digunakan olehnya untuk berpikir, antara lain:

1. Resiko apa yang akan ditanggung.

2. Bagaimana cara dan dengan alat apa serta bila mana saat yang tepat untuk melaksanakannya.

3. Bagaimana cara menghilangkan jejak.

3) Dalam melaksanakan perbuatan yang telah diputuskan dilakukan dengan suasana hati yang tenang.

Tindak pidana ini diatur dalam Pasal 354 KUHP. Perbuatan berat atau dapat disebut juga menjadikan berat pada tubuh orang lain. Haruslah dilakukan dengan

(43)

sengaja oleh orang yang menganiayanya.Unsur-unsur penganiayaan berat, antara lain: Kesalahan (kesengajaan), Perbuatannya (melukai secara berat), Obyeknya (tubuh orang lain), Akibatnya (luka berat).

Apabila dihubungkan dengan unsur kesengajaan maka kesengajaan ini harus sekaligus ditujukan baik terhadap perbuatannya, (misalnya menusuk dengan pisau), maupun terhadap akibatnya yakni luka berat.

Istilah luka berat menurut Pasal 90 KUHP berarti sebagai berikut:

1) Penyakit atau luka yang tidak dapat diharapkan akan sembuh dengan sempurna atau yang menimbulkan bahaya maut.

2) Menjadi senantiasa tidak cakap mengerjakan pekerjaan jabatan atau pencaharian.

3) Kehilangan kemampuan memakai salah satu dari panca indra.

4) Kekudung-kudungan

5) Gangguan daya pikir selama lebih dari empat minggu.

6) Pengguguran kehamilan atau kematian anak yang masih ada dalam kandungan.

Penganiayaan berat ada 2 (dua) bentuk, yaitu:

1) Penganiayaan berat biasa (ayat 1)

(44)

e.Tindak Pidana Penganiayaan Berat Berencana

Tindak Pidana ini diatur oleh Pasal 355 KUHP. Kejahatan ini merupakan gabungan antara penganiayaan berat (Pasal 353 ayat 1) dan penganiayaan berencana (Pasal 353 ayat 2). Kedua bentuk penganiayaan ini harus terjadi secara serentak/bersama. Oleh karena itu harus terpenuhi unsur penganiayaan berat maupun unsur penganiayaan berencana. Kematian dalam penganiayaan berat berat berencana bukanlah menjadi tujuan. Dalam hal akibat, kesenganjaannya ditujukan pada akibat luka beratnya saja dan tidak pada kematian korban. Sebab, jika kesenganjaan terhadap matinya korban, maka disebut pembunuhan berencana.38

B. Pertanggungjawaban Tindak Pidana Penganiayaan yang Dilakukan

Terhadap Anak

1. Pertanggungjawaban Tindak Pidana

Suatu tindak penganiayaan apabila ditinjau dari aspek hukum pidana positif Indonesia, maka perbuatan tersebut dapat dikategorikan sebagai suatu tindak pidana, karena hukum pidana positif Indonesia selain mengatur mengenai kepentingan antar individu juga dengan negara selaku institusi yang memiliki fungsi untuk melindungi setiap warga negaranya, dalam hal ini seseorang yang telah menjadi korban dari suatu tindak pidana. Pada dasarnya untuk menentukan seseorang telah melakukan suatu tindak pidana atau tidak, maka harus memenuhi unsur-unsur tindak pidana, agar kita dapat mengetahui apakah perbuatan si

(45)

pelaku tersebut merupakan suatu tindak pidana atau bukan dan agar si pelaku dapat diminta pertanggungjawabannya atas perbuatan yang telah dilakukannya.

Dalam kita menjabarkan sesuatu rumusan delik kedalam unsur-unsurnya, maka yang mula-mula dapat kita jumpai adalah disebutkan sesuatu tindakan manusia, dengan tindakan itu seseorang telah melakukan sesuatu tindakan yang terlarang oleh Undang-undang. Setiap tindak pidana yang terdapat di dalam Kitab Undang-undang Hukum Pidana (KUHP) pada umumnya dapat dijabarkan ke dalam unsur-unsur yang terdiri dari unsur subjektif dan unsur objektif.

Unsur subjektif adalah unsur-unsur yang melekat pada diri si pelaku atau yang berhubungan dengan diri si pelaku, dan termasuk ke dalamnya yaitu segala sesuatu yang terkandung di dalam hatinya. Sedangkan unsur objektif adalah unsur-unsur yang ada hubungannya dengan keadaan-keadaan, yaitu di dalam keadaan-keadaan mana tindakan-tindakan dari si pelaku itu harus di lakukan.39

Unsur-unsur subjektif dari suatu tindak pidana itu adalah:40

c. Macam-macam maksud atau oogmerk seperti yang terdapat misalnya di dalam kejahatan-kejahatan pencurian, penipuan, pemerasan, pemalsuan dan lain-lain; a. Kesengajaan atau ketidaksengajaan (dolus atau Culpa);

b. Maksud atau Voornemen pada suatu percobaan atau pogging seperti yang dimaksud dalam Pasal 53 ayat 1 KUHP;

39

(46)

d. Merencanakan terlebih dahulu atau voorbedachte raad seperti yang terdapat didalam kejahatan pembunuhan menurut Pasal 340 KUHP;

e. Perasaan takut yang antara lain terdapat di dalam rumusan tindak pidana menurut Pasal 308 KUHP

Unsur-unsur objektif dari sutau tindak pidana itu adalah:41

Seorang ahli hukum yaitu Simons merumuskan unsur-unsur tindak pidana sebagai berikut:

a. Sifat melanggar hukum atau wederrechtelicjkheid;

b. Kualitas dari si pelaku, misalnya kedaan sebagai seorang pegawai negeri di dalam kejahatan jabatan menurut Pasal 415 KUHP atau keadaan sebagai pengurus atau komisaris dari suatu Perseroan Terbatas di dalam kejahatan menurut Pasal 398 KUHP;

c. Kausalitas yakni hubungan antara suatu tindak pidana sebagai penyebab dengan sesuatu kenyataan sebagai akibat.

42

a. Diancam dengan pidana oleh hukum;

b. Bertentangan dengan hukum;

c. Dilakukan oleh orang yang bersalah;

d. Orang itu dipandang bertanggungjawab atas perbuatannya.

41

(47)

Van Hamel mengemukakan unsur-unsurnya tindak pidana adalah :43

Emezger mengemukakan:” Tindak pidana adalah keseluruhan syarat untuk adanya pidana”. Unsur-unsur tindak pidana adalah :

a. Perbuatan manusia yang dirumuskan dalam Undang-undang;

b. Melawan hukum;

c. Dilakukan dengan kesalahan;

d. Patut dipidana.

44

43

Sudarto, Hukum Pidana I, (Semarang : Penerbit Yayasan Sudarto FH Undip), 1990, hal.41

a. Perbuatan dalam arti yang luas dari manusia ( aktif atau membiarkan );

b. Sifat melawan hukum ( baik bersifat obyektif maupun yang subyektif );

c. Dapat dipertanggung jawabkan kepada seseorang;

d. Diancam dengan pidana.

Moeljatno mengemukakan “ perbuatan pidana “ sebagai perbuatan yang

diancam dengan pidana, barangsiapa melanggar larangan tersebut. Untuk

adanya perbuatan pidana harus ada unsur-unsur tindak pidana, yaitu :

1. Perbuatan

2. Yang memenuhi rumusan dalam undang-undang

3. Bersifat melawan hukum

4. kelakuan manusia dan

(48)

Namun tidak selalu setiap orang yang melakukan tindak pidana dapat dipidana, tergantung apakah orang atau terdakwa tersebut dalam melakukan tindak pidananya mempunyai kesalahan atau tidak. Sebab untuk menjatuhkan pidana terhadap seseorang yang melakukan suatu tindak pidana tidak cukup hanya dengan dilakukanya suatu tindak pidana, tetapi juga harus ada unsur kesalahan di dalamnya. Mengenai pengertian kesalahan atau pertanggungjawaban pidana terlepas dari perbuatan pidana, karena dalam hal perbuatan pidana yang menjadi objeknya adalah perbuatannya sedangkan dalam hal pertanggungjawaban pidana yang menjadi objeknya adalah orang yang melakukan perbuatan pidana tersebut. Dasar dari perbuatan pidana adalah asas legalitas (Pasal 1 ayat (1)) Kitab Undang-undang Hukum Pidana (KUHP), isi pasal tersebut menyatakan bahwa “tiada suatu perbuatan yang dapat dipidana kecuali atas peraturan perundang-undangan yang telah ada sebelumnya”, sedangkan dasar daripada dipidananya pelaku adalah asas tiada pidana tanpa kesalahan (geen straf zonder shculd).

Dalam konsep KUHP tahun 1982-1983, pada pasal 27 menyatakan bahwa:45

Seseorang melakukan kesalahan, menurut Prodjohamidjojo, jika pada waktu melakukan delict, dilihat dari segi masyarakat patut di cela. Dengan demikan, “Pertanggungjawaban pidana adalah di teruskannya celaan yang objektif ada pada tindak pidana berdasarkan hukum yang berlaku, secara obyektif kepada pembuatyang memenuhi syarat-syarat undang-undang untuk dapat di kenai pidana karena perbuatanya”.

45

(49)

menurutnya seseorang mendapatkan pidana tergantung pada dua hal, yaitu (1) harus ada perbuatan yang bertentangan dengan hukum, atau dengan kata lain, harus ada unsur melawan hukum.jadi harus ada unsur Obejektif, dan (2) terhadap pelakunya ada unsur kesalahan dalam bentuk kesengajaan dan atau kealpaan, sehingga perbuatan yang melawan hukum tersebut dapat dipertanggungjawabkan kepadanya jadi ada unsur subjektif.46

Telah di maklumi bahwa perbuatan pidana memiliki konsekuensi pertanggungjawaban serta penjatuhan pidana. Maka, setidaknya ada dua alasan mengenai hakikat kejahatan, yakni pertama pendekatan yang melihat kejahatan sebagai dosa atau perbuatan yang tidak senonoh yang dilakukan manusia lainya. Kedua pendekatan yang melihat kejahatan sebagai perwujudan dari sikap dan pribadi pelaku yang tidak normal sehingga ia berbuat jahat.

47

46

Prodjohamidjojo, Martiman, Memahami dasar-dasar hukum Pidana Indoesia ( Jakarta: Pradnya Paramita), 1997, hlm.31

47

Andi Matalatta, “santunan bagi korban”dalam J.E. sahetapy (ed.)…Victimilogy sebuah

(50)

Untuk menjatuhkan pidana terhadap seseorang dalam hal ini pelaku tindak penganiayaan anak dalam keluarga, Moeljatno berpendapat bahwa:48

Untuk menentukan ada atau tidaknya kesalahan pada pelaku tindak pidana, pertama-tama harus ditentukan apakah terdakwa mempunyai kemampuan untuk bertanggung jawab atau tidak atas tindak pidana yang dilakukannya. Kemampuan bertanggung jawab terdakwa berkenaan dengan keadaan jiwa/batin terdakwa yang sehat ketika melakukan tindak pidana, pelaku dianggap mampu bertanggung jawab atas perbuatannya harus memenuhi beberapa syarat, yaitu:

Terlebih dahulu harus dipastikan bahwa pelaku telah melakukan perbuatan pidana yang bersifat melawan hukum baik formil maupun materiil baru kemudian perbuatan pidana yang dilakukan pelaku tersebut dapat dihubungkan dengan unsur-unsur kesalahan, sehingga untuk adanya kesalahan yang mengakibatkan dipidananya terdakwa haruslah:

1. Melakukan perbuatan pidana; 2. Mampu bertanggung jawab;

3. Dengan kesengajaan (dolus/opzet) atau kealpaan (culpa); 4. Tidak danya alasan pemaaf.

49

48

Moeljatno, Asas-asas Hukum Pidana, (Jakarta : Rineka Cipta), 2002, hlm. 166.

(51)

2. Kemampuan untuk menentukan kehendaknya menurut keinsyafan tentang baik dan buruknya perbuatan tadi.

Yang pertama merupakan faktor akal (intelektual factor) yaitu dapat membeda-bedakan antara perbuatan yang diperbolehkan dan yang tidak. Yang kedua adalah faktor perasaan atau kehendak (volitional factor) yaitu dapat menyesuaikan tingkah lakunya dengan keinsyafan atas mana yang diperbolehkan dan mana yang tidak.

Sesuai dengan yang tercantum dalam Pasal 44 ayat (1) Kitab Undang-undang Hukum Pidana (KUHP), yaitu:50

1. Barangsiapa melakukan perbuatan yang tidak dapat dipertanggungjawabkan kepadanya karena jiwanya cacat dalam pertumbuhan atau terganggu karena penyakit, tidak dipidana.

2. Jika ternyata perbuatan itu tidak dapat dipertanggung jawabkan kepada pelakunya karena pertumbuhan jiwanya yang cacat atau terganggu karena penyakit, maka hakim dapat memerintahkan supaya orang itu dimasukan ke rumah sakit jiwa, paling lama satu tahun sebagai waktu percobaan.

Mengenai ketidakmampuan bertanggung jawab sebagai hal yang dapat menghapuskan pidana dapat ditempuh melalui tiga cara, yaitu:51

50

(52)

1. Ditentukan sebab-sebab yang menghapuskan pemidanaan.Menurut sistem ini, jika tabib (psychiater) telah menyatakan bahwa terdakwa adalah gila (insane) atau tak sehat pikirannya (unsound mind), maka hakim tidak boleh menyatakan salah dan menjatuhkan pidana. Sistem ini dinamakan dengan sistem deskriptif (menyatakan).

2. Menyebutkan akibatnya saja; penyakitnya sendiri tidak ditentukan.Di sini yang penting ialah, apakah dia mampu menginsyafi makna perbuatannya atau menginsyafi bahwa dia melakukan sesuatu yang tidak baik atau bertentangan dengan hukum. Perumusan ini luas sekali sehingga mungkin ada bahayanya. Sistem ini dinamakan normatif (mempernilai). Di sini hakimlah yang menentukan.

3. Gabungan dari 1 dan 2, yaitu menentukan sebab-sebab penyakit, dan jika penyakit itu harus sedemikian rupa akibatnya hingga dianggap tidak dapat dipertanggung jawabkan padanya (deskriptif normatif).

(53)

2.Pertanggungjawaban Tindak Pidana Penganiayaan yang dilakukan

terhadap anak menurut Kitab Undang-Undang Hukum Pidana

Tindak penganiayaan atau mishandeling diatur dalam Bab XX, buku II KUHP, yang terdapat dalam Pasal 351 ayat (1) sampai dengan ayat (5) yang berbunyi :52

Dalam rumusan Pasal 351 KUHP tersebut, bahwa undang-undang hanya berbicara mengenai “penganiayaan” tanpa menyebutkan unsur-unsur dari tindak pidana penganiayaan itu sendiri, kecuali hanya menjelaskan bahwa “kesengajaan merugikan kesehatan” (orang lain) itu adalah sama dengan penganiayaan. Yang dimaksud dengan penganiayaan itu adalah kesengajaan menimbulkan rasa sakit atau menimbulkan luka pada tubuh orang lain. Untuk menyebutkan seseorang itu telah melakukan penganiayaan terhadap orang lain, maka orang tersebut harus a. Penganiayaan diancam dengan pidana penjara paling lama dua tahun delapan bulan atau pidana denda paling banyak empat ribu lima ratus rupiah;

b. Jika perbuatan mengakibatkan luka-luka berat, yang bersalah diancam dengan pidana penjara paling lama lima tahun;

c. Jika mengakibatkan mati, diancam dengan pidana penjara paling lama tujuh tahun;

d. Dengan penganiayaan di samakan sengaja merusak kesehatan;

e. Percobaan untuk melakukan kejahatan ini tidak dipidana.

(54)

mempunyai opzet atau suatu kesengajaan untuk,menimbulkan rasa sakit pada orang lain, menimbulkan luka pada tubuhorang lain atau merugikan kesehatan orang lain, dengan kata lain orang tersebut harus mempunyai kesengajaan yang ditujukan pada perbuatan untuk menimbulkan rasa sakit pada orang lain atau untuk menimbulkan luka pada tubuh orang lain dan merugikan kesehatan orang lain tersebut.

Untuk dapat disebut sebagai suatu penganiayaan itu tidak perlu kesengajaan dari pelaku secara langsung dengan ditujukan pada perbuatan untuk membuat orang lain tersebut merasa sakit atau menjadi terganggu kesehatannya, akan tetapi rasa sakit atau terganggunya kesehatan orang lain tersebut dapat saja terjadi sebagai akibat dari kesengajaan pelaku yang ditunjukkan pada perbuatan yang lain. Hal ini secara tegas telah dinyatakan oleh Hoge Raad dalam arrestnya tanggal 15 Januari 1934, N.J. 1934 halaman 402, W. 12754, yang menyatakan, “kenyataan bahwa orang telah melakukan suatu tindakan yang besar kemungkinannya dapat menimbulkan perasaan sangat sakit pada orang lain itu merupakan suatu penganiayaan. Tidak menjadi masalah bahwa kasus ini kesengajaan pelaku tidak menunjukkan untuk menimbulkan perasaan sangat sakit seperti itu melainkan telah ditujukan kepada perbuatan untuk melepaskan diri dari penangkapan oleh polisi”.53

Dalam hal pemidanaan terhadap pelaku tindak pidana penganiayaan anak dalam keluarga, hakim dapat menjatuhkan pidana tambahan berupa pencabutan

53

(55)

hak hak-hak tertentu sesuai dengan yang telah diatur dalam Pasal 10 Kitab Undang-undang Hukum Pidana (KUHP), yaitu:54

Dalam hal kasus tindak penganiayaan anak dalam keluarga, maka pidana tambahan yang dijatuhkan oleh hakim adalah berupa pencabutan hak asuh atas seorang anak. Pidana tambahan yang berupa pencabutan hak asuh yang dijatuhkan oleh hakim dalam pemidanaan terhadap orang tua (ayah atau ibu) sebagai pelaku tindak pidana penganiayaan anak dalam keluarga dilakukan dengan pertimbangan bahwa orang tua telah gagal atau tidak melaksanakan kewajibannya terhadap anak. Mengenai pidana tambahan berupa pencabutan hak asuh atas anak yang dapat dijatuhkan oleh hakim terhadap pelaku (orang tua) dalam kasus tindak Pidana terdiri atas:

a. pidana pokok;

1. pidana mati;

2. pidana penjara;

3. pidana kurungan;

4. pidana denda;

5. pidana tutupan.

b. pidana tambahan:

1. pencabutan hak-hak tertentu;

2. perampasan barang-barang tertentu;

3. pengumuman putusan hakim.

(56)

pidana penganiayaan anak dalam keluarga, diatur dalam Pasal 37 ayat (1) Kitab Undang-undang Hukum Pidana (KUHP), yaitu:55

Ketentuan tersebut terdapat di dalam Pasal 80 ayat (1), (2), dan (3) sebagaimana tersebut di bawah ini

(1) Kekuasaan bapak kekuasaan wali, wali pengawas, pengampu, dan pengampu pengawas, baik atas nama anak sendiri maupun atas orang lain, dapat dicabut dalam hal pemidanaan:

1. Orang tua atau wali yang dengan sengaja melakukan kejahatan dengan bersama-sama dengan anak yang belum dewasa yang ada di bawah kekuasaannya;

2. Orang tua atau wali terhadap anak yang belum dewasa yang ada di bawah kekuasaannya, melakukan kejahatan yang tersebut dalam Bab XIII, XIV, XV, XVIII, XIX, dan XX Buku Kedua.

3.Pertanggungjawaban Tindak Pidana Penganiayaan yang dilakukan

terhadap anak menurut Undang-Undang Nomor 23 tahun 2002 tentang

Perlindungan Anak

UU No 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak telah memuat tindak pidana yang dapat dikenakan terhadap penegak hukum yang dalam memeriksa perkara anak yang berhadapan dengan hukum melakukan tindak kekerasan atau penyiksaan terhadap anak.

(57)

Pasal 80

1. Setiap orang yang melakukan kekejaman, kekerasan atau ancaman kekerasan, atau penganiayaan terhadap anak, dipidana dengan pidana penjara paling lama 3 (tiga) tahun 6 (enam) bulan dan/atau denda paling banyak Rp 72.000.000,00 (tujuh puluh dua juta rupiah).

2. Dalam hal anak sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) luka berat, maka pelaku dipidana dengan pidana penjara paling lama 5 (lima) tahun dan/atau denda paling banyak Rp 100.000.000,00 (seratus juta rupiah). 3. Dalam hal anak sebagaimana dimaksud dalam ayat (2) mati, maka

pelaku dipidana dengan pidana penjara paling lama 10 (sepuluh) tahun dan/atau denda paling banyak Rp 200.000.000,00 (dua ratus juta rupiah).

Dalam Pasal 80 ayat (4) Undang-undang No. 23 tahun 2002 tentang Perlindungan Anak juga mengatur secara khusus mengenai tidak pidana penganiayaan terhadap anak dalam keluarga disertai sanksi pidana yaitu:

Pidana ditambah 1/3 (sepertiga) dari ketentuan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1), ayat (2), dan ayat (3) apabila yang melakukan penganiayaan tersebut adalah orang tuanya.

(58)

2. Dalam hal orang tua sebagaimana dimaksud dalam Pasal 26, melalaikan kewajibannya, terhadapnya dapat dilakukan tindakan pengawasan atau kuasa asuh orang tua dapat dicabut.

3. Tindakan pengawasan terhadap orang tua atau pencabutan kuasa asuh sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) dilakukan melalui penetapan pengadilan.

Apabila hakim menjatuhkan pidana tambahan pencabutan hak asuh anak terhadap orang tua sebagai pelaku tindak pidana penganiyaan anak dalam keluarga, maka hakim juga harus menentukan batas waktu atau lamanya pencabutan hak asuh anak tersebut, dengan kata lain orang tua mempunyai hak untuk memperoleh kembali hak asuh anak melalui penetapan pengadilan.

(59)

4. Pertanggungjawaban Tindak Pidana Penganiayaan yang dilakukan

terhadap anak menurut Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2004 tentang

Penghapusan Kekerasan Dalam Rumah Tangga

Namun seperti yang telah dijelaskan sebelumnya bahwa tindak penganiayaan anak dalam keluarga merupakan bagian dari tindak kekerasan yang dilakukan dalam rumah tangga dan telah disebutkan juga bahwa salah satu bagian dari suatu rumah tangga itu adalah seorang anak, maka penulis berpendapat bahwa lebih relevan jika ketentuan pidana yang dijatuhkan kepada pelaku tindak penganiayaan anak dalam keluarga adalah ketentuan pidana yang terdapat dalam Undang-undang No. 23 Tahun 2004 tentang Penghapusan Kekerasan Dalam Rumah Tangga, yaitu dalam Pasal 44 ayat (1), (2), dan (3) dijelaskan mengenai ketentuan pidana bagi pelaku kekerasan fisik dalam lingkup rumah tangga, yaitu:

1. Setiap orang yang melakukan perbuatan kekerasan fisik dalam lingkup rumah tangga sebagaimana dimaksud dalam Pasal 5 huruf a dipidana dengan pidana penjara paling lama 5 (lima) tahun atau denda paling banyak Rp. 15.000.000,00 (lima belas juta rupiah). 2. Dalam hal sebagaimana dimaksud pada ayat (1) mengakibatkan

korban mendapat jatuh sakit atau luka berat, dipidana dengan pidana penjara paling lama 10 (sepuluh) tahun atau denda paling banyak Rp. 30.000.000,00 (tiga puluh juta rupiah).

(60)

(lima belas) tahun atau denda paling banyak Rp. 45.000.000,00 (empat puluh lima juta rupiah).

Selanjutnya dalam Pasal 45 ayat (1) Undang-undang No. 23 Tahun 2004 tentang Penghapusan Kekerasan Dalam Rumah Tangga, mengatur mengenai ketentuan pidana bagi pelaku kekerasan psikis dalam lingkup rumah tangga, yaitu:

“Setiap orang yang melakukan perbuatan kekerasan psikis dalam lingkup rumah tangga sebagaimana dimaksud dalam Pasal 5 huruf b dipidana dengan pidana penjara paling lama 3 (tiga) tahun atau denda paling banyak Rp. 9.000.000,00 (sembilan juta rupiah)”.

Untuk tetap mewaspadai akan terjadinya tindak penganiayaan anak dalam keluarga tersebut, tentu saja tetap dibutuhkan peran serta dari masyarakat, anggota keluarga itu sendiri, bahkan peran serta dari korban yang bersangkutan, guna terungkapanya kasus tindak penganiayaan anak dalam keluarga.Hal tersebut diatur dalam Pasal 27 Undang-undang No. 23 Tahun 2004 tantang Penghapusan Kekerasan Dalam Rumah Tangga, di mana disebutkan bahwa:

(61)

A. Latar Belakang

Negara Indonesia merupakan negara hukum, dimana setiap warganya memiliki hak-hak asasi manusia. Negara hukum mengindahkan hak-hak dari setiap warga negaranya tanpa terkecuali, termasuk hak-hak yang dimiliki oleh anak. Ini dapat tercermin dari adanya peraturan perundang-undangan yang mengatur tentang anak karena negara hukum pasti selalu dengan tegas akan mengatur tentang hak-hak dari setiap warga negaranya agar tercapai keadilan dan dapat mengatur kehidupan berbangsa bernegara sesuai dengan Falsafah Bangsa Pancasila.

Anak merupakan amanah dan anugerah dari Tuhan Yang Maha Esa yang dalam dirinya melekat harkat dan martabat sebagai manusia seutuhnya. Setiap anak mempunyai harkat dan martabat yang patut dijunjung tinggi dan setiap anak yang terlahir harus mendapatkan hak-haknya tanpa anak harus meminta. Hal ini sesuai dengan ketentuan Konvensi Hak Anak yang diratifikasi oleh pemerintah Indonesia melalui Keputusan Presiden Nomor 36 Tahun 1990 yang mengemukakan tentang prinsip-prinsip umum perlindungan anak, yaitu nondiskriminisasi, kepentingan terbaik anak, kelangsungan hidup dan tumbuh kembang, dan menghargai partisipasi anak.1

(62)

Anak mempunyai hak yang bersifat asasi, sebagaimana yang dimiliki orang dewasa. Pemberitaan yang menyangkut hak anak tidak segencar sebagaimana hak-hak orang dewasa atau isu gender. Perlindungan hak anak tidak banyak pihak yang turut memikirkan dan melakukan langkah-langkah kongkrit. Demikian juga upaya untuk melindungi hak-hak anak yang dilanggar yang dilakukan negara, orang dewasa atau bahkan orang tuanya sendiri, tidak begitu menaruh perhatian akan kepentingan masa depan anak. Padahal anak merupakan belahan jiwa, gambaran dan cermin masa depan, aset keluarga, agama, bangsa dan negara. Di berbagai negara dan berbagai tempat di negeri ini, anak-anak justru mengalami perlakuan yang tidak semestinya, seperti eksploitasi anak, kekerasan terhadap anak, dijadikan alat pemuas seks, pekerja anak, diterlantarkan, menjadi anak jalanan dan korban perang/konflik bersenjata. Anak adalah suatu potensi tumbuh kembang suatu Bangsa di masa depan, yang memiliki sifat dan ciri khusus. Kekhususan ini terletak pada sikap dan perilakunya di dalam memahami dunia, yang mesti dihadapinya. Oleh karenanya anak patut diberi perlindungan secara khusus oleh negara dengan Undang-Undang. Perlindungan anak adalah segala daya upaya bersama yang dilakukan secara sadar oleh perorangan, keluarga, masyarakat, badan-badan pemerintah dan swasta untuk pengamanan, pengadaan, dan pemenuhan kesejahteraan rohaniah dan jasmaniah anak berusia 0-21 tahun, tidak dan belum pernah menikah, sesuai dengan hak asasi dan kepentingannya agar dapat mengembangkan dirinya seoptimal mungkin.2

2

(63)

Memelihara kelangsungan hidup anak adalah tanggung jawab orang tua, yang tidak boleh diabaikan. Pasal 45 UU No.1 tahun 1974 tentang pokok-pokok Perkawinan, menentukan bahwa orangtua wajib memelihara dan mendidik anak-anak yang belum dewasa sampai anak-anak-anak-anak yang bersangkutan dewasa atau dapat berdiri sendiri. Orangtua merupakan yang pertama-tama bertangungjawab atas terwujudnya kesejahteraan anak baik secara rohani, jasmani maupun sosial (Pasal 9 UU No.4 tahun 1979 tentang Kesejahteraan Anak).

Setiap orang yang melakukan pemeliharaan anak harus perhatikan dan malakasanakan kewajibannya, yang merupakan hak-hak anak berupa: kesejahteraan, perawatan, asuhan, bimbingan, pelayanan untuk mengembangkan kemampuan dan kehidupan sosialnya, pemeliharaan dan perlindungan baik semasa dalam kandungan maupun sesudah dilahirkan, perlindungan dari lingkungan hidup yang dapat membahayakan pertumbuhan dan perkembangannya. Hak anak adalah Hak Asasi Manusia (HAM) dan untuk kepentingannya, hak anak itu diakui dan dilindungi oleh hukum bahkan sejak dalam kandungan (Pasal 52 ayat (2) UU NO.39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia). Bila ditelusuri dengan teliti rasa kasih sayang merupakan kebutuhan psikis yang paling mendasar dalam hidup dan kehidupan anak, yang sesungguhnya bersandar pada hati nurani orangtua.3

(64)

bidang kehidupan dan penghidupan. Anak harus dibantu oleh orang lain dalam melindungi dirinya, mengingat situasi dan kondisinya. Anak perlu mendapat perlindungan terhadap dirinya yang dimana dapat menimbulkan kerugian mental, fisik, dan sosial apabila anak tersebut tidak mendapat perlindungan. Perlindungan anak dalam hal ini disebut perlindungan hukum/yuridis (legal protection).4

Instrumen hukum yang mengatur perlindungan hak-hak anak terdapat dalam Konvensi PBB tentang Hak-Hak Anak (Convention on the Rights of the Child) Tahun 1989, telah diratifikasi oleh lebih 119 negara, termasuk Indonesia sebagai anggota PBB melalui Keputusan Presiden Nomor 36 tahun 1990. Dengan demikian, konvensi PBB tersebut telah menjadi hukum Indonesia dan mengikat seluruh warga negara Indonesia. Pada tahun 1999, Indonesia mengeluarkan Undang-undang Nomor 39 tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia yang di dalamnya juga mengatur tentang hak asasi anak melalui beberapa pasal. Kemudian, tiga tahun sesudahnya, pemerintah mengeluarkan Undang-undang Nomor 23 tahun 2002 tentang Perlindungan Anak (UUPA). UUPA ini dimaksudkan sebagai undang-undang payung (umbrella’s law) yang secara generis mengatur hak-hak anak. Namun, dalam konsiderans hukumnya justru tidak mencantumkan Konvensi Hak Anak (KHA) sebagai referensi yuridis. Sumber kesalahannya terletak pada landasan hukum ratifikasi KHA yang menggunakan instrumen hukum keputusan presiden yang secara hierarki lebih rendah derajatnya daripada undang-undang. Meskipun demikian, substansi KHA

Referensi

Dokumen terkait

Hasil penelitian diperoleh bahwa pemberian fermentasi sludge biogas dengan berbagai urin ternak memberikan hasil yang nyata terhadap produksi berat segar, produksi

Maka dari data tersebut dapat disimpulkan Ho diterima dan H  ditolak artinya bahwa pemberian kacang merah tidak efektif untuk untuk mengontrol kadar gula darah pada

This course will cover the basic concepts of semiotics including the nature of signs, models of signs, the signification process, typology of signs, value

The association serves as a linking among Government and the mining industry, organizing lectures, seminars and training activities for the members, organizing periodic conference

Sebuah program aplikasi mempunyai dua bagian penting yaitu bagian pengontrol aplikasi yang berfungsi menghasilkan informasi berdasarkan olahan data yang dimasukkan pemakai

Penulis memilih membuat e-learning Teori Bahasa dan Automata karena merupakan salah satu mata kuliah yang sulit dipelajari dan mata kuliah ini adalah mata kuliah yang diutamakan

[r]

Maka disini Penulis memandang perlunya sistem komputerisasi dengan dukungan bahasa pemrograman WAP ( Wireless Aplication Protocol ) dan juga database yang berbasiskan client