LAMPIRAN 1 Daftar Populasi dan Sampel Penelitian
No Kode Saham Nama Perusahaan Tanggal IPO Kriteria Sampel 1 2 3
1. ADRO Andaro Energy Tbk 16/07/2008 1 2. ANTM Aneka Tambang (Persero)
Tbk
27/11/1997 - 3. ARTI Ratu Prabu Energi Tbk 30/04/2003 - 4. CITA Cita Mineral Investindo Tbk 20/03/2002 - 5. DKFT Central Omega Resources
Tbk
21/11/1997 -
6. INCO Vale Indonesia Tbk 16/05/1990 2 7. BYAN Bayan Reources Tbk 12/08/2008 -
8. KKGI Resource Alam Indonesia Tbk
01/07/1991 3 9. CTTH Citatah Tbk 07/03/1996 4 10. MITI Mitra Investindo Tbk 16/07/1997 5 11. ENRG Energi Mega Persada Tbk 07/06/2004 6 12. GEMS Golden Energy Mines Tbk 17/11/2011 7 13. HRUM Harum Energy Tbk 06/10/2010 8 14. MEDC Medco Energi International
Tbk
12/10/1994 9 15. PTBA Tambang Batubara Bukit
Asam (Persero) Tbk
23/12/2002 10 16. PTRO Petrosea Tbk 21/05/1990 11 17. MYOH Samindo Resources Tbk 27/07/2000 -
18. ARII Atlas Resources Tbk 8/11/2011 - - 19. ATPK Bara Jaya International Tbk. 17/04/2002 - 20. BORN Borneo Lumbung
Energy&Metal Tbk
26/11/2010 - 21 BRAU Berau Coal Energy Tbk 19/08/2010 - 22 BSSR Baramulti Suksessarana Tbk 08/11/2012 - - - 23 BUMI Bumi Resources Tbk 30/07/1990 - 24 DEWA Darma Henwa Tbk 26/09/2007 - 25 DOID Delta Dunia Makmur Tbk 15/06/2007 - 26 GTBO Garda Tujuh Buana Tbk 09/07/2009 - 27 MBAP Mitrabara Adiperdana Tbk 10/07/2014 - - - 28 ITMG Indo Tambangraya Megah
Tbk
18/12/2007 12 29 PKPK Perdana Karya Perkasa Tbk 11/07/2007 -
30 TINS Timah (Persero) Tbk 19/10/1995 13 31 SMMT Golden Eagle Energy Tbk 29/02/2000 -
34 ESSA Surya Esa Perkasa Tbk 01/02/2012 - - - 35 RUIS Radiant Utama Interinsco
Tbk
12/07/2006 - - 36 CKRA Cakra Mineral Tbk 19/05/1999 - 37 MDKA Merdeka Copper Gold Tbk 19/06/2015 - - - 38 PSAB J Resources Asia Pasifik
Tbk
LAMPIRAN 2
Data Variabel Ukuran Dewan Komisaris Tahun 2011-2014 Perusahaan Sektor Pertambangan Yang Terdaftar Di BEI
No Kode Perusahaan 2011 2012 2013 2014
LAMPIRAN 3
Data Variabel Ukuran Dewan Direksi Tahun 2011-2014 Perusahaan Sektor Pertambangan Yang Terdaftar Di BEI
No Kode Perusahaan 2011 2012 2013 2014
LAMPIRAN 4
Data Variabel Ukuran Komite Audit Tahun 2011-2014 Perusahaan Sektor Pertambangan Yang Terdaftar Di BEI
No Kode Perusahaan 2011 2012 2013 2014
LAMPIRAN 5
Data Variabel Corporate Social Responsibility Tahun 2011-2014 Perusahaan Sektor Pertambangan Yang Terdaftar Di BEI
No Kode Perusahaan 2011 2012 2013 2014
LAMPIRAN 6
Data Variabel Tindakan Pajak Agresif Tahun 2011-2014 Perusahaan Sektor Pertambangan Yang Terdaftar Di BEI
No Kode Perusahaan 2011 2012 2013 2014
1 ANDO 0.329 0.625 0.583 0.289
2 INCO 0.173 0.867 -0.034 0.214
3 KKGI 0.250 0.579 0.314 0.373
4 CTTH 1.041 0.703 1.060 4.572
5 MITI 0.135 0.337 0.212 0.455
6 ENRG 0.091 0.391 0.083 0.612
7 GEMS 0.047 0.832 0.385 0.200
8 HRUM 0.158 0.355 0.640 1.198
9 MEDC 0.608 0.826 0.649 0.674
10 PTBA 0.224 0.358 0.452 0.373
11 PTRO 0.153 0.185 0.374 0.784
12 TINS 1.141 0.507 0.616 0.760
13 ITMG 0.127 0.308 0.624 0.462
DAFTAR PUSTAKA
Annisa, Nuralifmida Ayu dan Lulus Kurniasih. 2012. Pengaruh Corporate Governance Terhadap Tax Avoidance. Surakarta: Universitas Sebelas Maret.
Asaad, Ilyas. 2012. Petunjuk Pelaksanaan CSR Bidang Lingkungan. Kementerian Lingkungan Hidup.
Ayu, Stephana Dyah. 2011. Persepsi Efektifitas Pemeriksaan Pajak Terhadap Kecenderungan Melakukan Perlawanan Pajak. Seri Kajian Ilmiah Volume 14 Nomor 1: 44-51.
Bichta, Constantina. 2003. Corporate Social Responsibility A Role in Government Policy and Regulation? The University of Bath.Research Report 16.
Brigham, Houston. 2006. Fundamentals of Financial Management Dasar-Dasar manajemen Keuangan, Salemba Empat, Jakarta.
Chen, S., X. Chen, Q. Cheng, dan T. Shevlin. 2008. Are Family Firms More Tax Aggressive than Nonfamily Firms? University of Washington.
Frank, Lynch, Rego. 2008. Tax Reporting Aggresiveness and Its Realation to Aggressive Financial Reporting. University of Virginia.
Ghozali, Imam. 2006. Aplikasi Analisis Multivariate dengan Program SPSS, Semarang: Universitas Diponegoro.
Ghozali, Imam. 2009. Aplikasi Analisis Multivariate Dengan Program SPSS, Edisi Keempat. Semarang: Universitas Diponegoro.
Hidayanti, Alfiyani Nur. 2013. Pengaruh Antara Kepemilikan Keluarga dan Corporate Governance Terhadap Tindakan Pajak Agresif. Semarang: Universitas Diponegoro.
Hlaing, Khin Phyo. 2012. Organizational Architecture of Multinationals and Tax Aggressiveness. University of Waterloo.
Lanis, Roman and Grant Richardson. 2011. Corporate Social Responsibility and Tax Aggressiveness. Sydney: University of Technology.
Mardiasmo. 2009. Perpajakan Edisi Revisi 2011. Andi Yogyakarta, Yogyakarta.
Sari dan Martiani. 2010. “Karakterisitik Kepemilikan Perusahaan, Corporate Governance, dan Tindakan Pajak Agresif.” Universitas Jendral Soedirman Purwokerto, Simposium Nasional Akuntansi XIII 2010.
Sugiyono. 2011. Metode Penelitian Kuantitatif Kualitatif dan R&D. Bandung: Alfabeta.
Untung, Hendrik. 2009. Corporate Social Responsibility. Sinar Grafika, Jakarta.
Winarsih, Prasetyo dan Kusufi. 2014. Pengaruh Good Corporate Governance dan Corporate Social Responsibility Terhadap Tindakan Pajak Agresif (Studi pada Perusahaan Manufaktur yang Listing di BEI Tahun 2009-2012). Madura: Universitas Trunojoyo.
Yoehana, Maretta. 2013. Analisis Pengaruh Corporate Social Responsibility Terhadap Agresivitas Pajak (Studi Empiris pada Perusahaan Manufaktur yang Terdaftar di Bursa Efek Indonesia Tahun 2010-2011). Semarang: Universitas Diponegoro.
Komite Nasional Kebijakan Governance. 2006. Pedoman Umun Good Corporate Governance di Indonesia 2006.
Kementerian Keuangan Republik Indonesia Badan Pengawas Pasar Modal dan Lembaga Keuangan. 2010. Kajian Tentang Pedoman Good Corporate Governance di Negara-Negara Anggota Acmf.
Menteri Negara Badan Usaha Milik Negara. 2011. Peraturan Menteri Negara Badan Usaha Milik Negara Nomor: Per— 01 /MBU/2011 Tentang Penerapan Tata Kelola Perusahaan Yang Baik (Good Corporate Governance) Pada Badan Usaha Milik Negara.
The Indonesian Institute For Corporate Governance (IICG). 2012. Corporate Governance Perception Index 2012 Tentang Program tahunan Riset dan Pemeringkatan Penerapan Good Corporate Governance di Indonesia.
- 2007. Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 40 Tahun 2007 Tentang Perseroan Terbatas.
- 2007. Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 25 Tahun 2007 TentangPenanaman Modal.
www.ANTARAnews.com www.economy.okezone.com www.idx.com
BAB III
METODE PENELITIAN
3.1. Jenis Penelitian
Penelitian ini akan dilakukan dengan pendekatan penelitian kuantitatif
yaitu metode yang didasarkan pada filsafat positivisme karena telah memenuhi
kaidah-kaidah ilmiah yang konkrit atau empiris, objektif, terukur, rasional dan
sistematis (Sugiyono, 2011: 7). Penelitian ini menggunakan desain atas jenis
penelitian hubungan atau asosiatif, dan menurut sifat hubungannya penelitian
menggunakan hubungan sebab-akibat atau kausalitas untuk mengetahui hubungan
yang mempengaruhi antara dua variabel atau lebih dalam penelitian. Oleh karena
itu jenis penelitian ini adalah penelitian kausalitas yaitu penelitian yang bertujuan
untuk menganalisis hubungan sebab-akibat antara variabel independen dan
dependen (Sugiyono, 2011: 30).
3.2 Tempat dan Waktu Penelitian
Penelitian ini dilakukan atas laporan keuangan audited perusahaan sektor
pertambangan yang terdaftar di Bursa Efek Indonesia periode 2011-2014.Waktu
penelitian dilaksanakan pada bulan Januari 2016 - Mei 2016.
3.3 Definisi Operasional dan Pengukuran Variabel
3.3.1 Variabel Dependen
Variabel dependen yang ada pada penelitian ini adalah tindakan pajak
yang ditujukan untuk menurunkan laba kena pajak melalui perancanaan pajak
baik menggunakan cara yang tidak tergolong atau tergolong tax evasion (Sari dan
Martiani, 2009). Tindakan pajak agresif menggunakan indikator Effective Tax
Rates 1 (ETR) yang diadopsi dari penelitian Yoehana (2013) dengan skala rasio
yang diukur dengan rumus sebagai berikut:
3.3.2 Variabel Independen
Variabel independen merupakan variabel yang mempengaruhi atau menjadi
sebab perubahannya atau timbulnya variabel dependen atau variabel terikat
(Sugiyono, 2011). Variabel indepenen dari penelitian ini yaitu Good Corporate
Governance dan Corporate Social Responsibility.
a. Good Corporate Governance
Variabel independen Good Corporate Governance didefinisikan struktur,
sistem dan proses yang digunakan oleh organ perusahaan sebagai upaya untuk
memberikan nilai tambah perusahaan secara berkesinambungan dalam jangka
panjang dengan tetap memperhatikan kepentingan stakeholders lainnya
berdasarkan norma, etika, budaya dan aturan yang berlaku dan diukur dengan
tiga proksi.
Proksi untuk mengukur ini yaitu ukuran dewan komisaris, ukuran dewan
dengan menghitung jumlah anggota yang dimiliki perusahaan yang disebutkan
dalam laporan tahunan perusahaan.
b. Corporate Social Responsibility
Variabel CSR didefinisikan komitmen perusahaan atau dunia bisnis untuk
berkontribusi dalam pengembangan ekonomi yang berkelanjutan dengan
memperhatikan tanggung jawab sosial perusahaan dan menitikberatakan pada
keseimbangan antara perhatian terhadap aspek ekonomi, sosial dan lingkungan
dan diukur dengan melihat pengungkapan tanggung jawab sosial yang dilakukan
perusahaan yaitu dalam tujuh indikator yaitu indikator lingkungan, energi,
kesehatan, dan keselamatan tenaga kerja, lain-lain tenaga kerja, produk,
keterlibatan masyarakat, dan umum.
Total nilai pengungkapan tersebut akan digunakan untuk mengukur indeks
CSR. Nilai 1 jika item I diungkapkan, nilai 0 jika item I tidak di ungkapkan,
dengan demikian 0 ≤ CSRIj ≤ 1. Pengukuran pada penelitian ini menggunakan
skala nominal.
Rumus yang digunakan untuk pengungkapan CSR adalah:
Keterangan:
perusahaan i.
CSRIj : Indeks luas pengungkapan tanggung jawab sosial dan lingkungan
Ʃxyi : nilai 1 = jika item yi diungkapkan; 0 = jika item yi tidak diungkapkan.
Berdasarkan uraian di atas diikhtisarkan definisi operasional dan pengukuran
variabel pada tabel 3.1.
Tabel 3.1
Definisi Operasional dan Pengukuran Variabel
Variabel Definisi Operasional Indikator Skala
Ukuran
Variabel Dependen
Tindakan Pajak Agresif (Y)
Suatu tindakan yang
ditujukan untuk menurunkan laba kena
pajak melalui perancanaan pajak
Skala rasio
Variabel Independen
Dewan
komisaris (X1.1)
Ukuran skala dimana dapat diklasifikasikan seberapa banyak dewan komisaris di dalam perusahaan.
Ukuran Dewan Komisaris Skala nominal
Dewan direksi (X1.2)
Ukuran skala dimana dapat dihitung seberapa besar dewan direksi di dalalam perusahaan
Ukuran dewan direksi Skala nominal
Komite audit (X1.3)
Ukuran skala dimana dapat diklasifikasikan seberapa besar pengawasan komite audit di perusahaan.
Ukuran komite audit Skala nominal
Corporate Social Responsibility
(X2)
Mengukur pengungkapan tanggung jawab sosial perusahaan dengan mengukur total nilai pengungkapan.
Lingkungan, energi, kesehatan, dan keselamatan tenaga kerja, lain-lain tenaga kerja, produk, keterlibatan masyarakat, dan umum
Skala nominal
3.4 Populasi dan Sampel Penelitian
Populasi dalam penelitian ini adalah perusahaan sektor pertambangan yang
merupakan bagian dari populasi yang dapat mewakili karakteristiknya
(Indriantoro dan Supomo, 1999 dalam Hidayanti, 2011).
Teknik pengambilan sampel pada penelitian ini secara non probability
sampling yaitu purposive sampling dengan kriteria sampel sebagai berikut:
1. Perusahaan sektor pertambangan yang listing di BEI pada tahun
2011-2014
2. Perusahaan sektor pertambangan mengeluarkan annual report dan laporan
keuangan yang lengkap selama tahun 2011-2014
3. Perusahaan sektor pertambangan yang tidak mengalami kerugian selama
tahun 2011-2014
Berdasarkan teknik purposive sampling di atas yang memenuhi kriteria
sampel diatas yang memenuhi kriteria sampel di peroleh 13 sampel untuk 4 tahun
penelitian dengan 52 unit analisis observasi (Tabel 3.2 dan Lampiran 1).
Tabel 3.2
Proses Penentuan Sampel Perusahaan
Keterangan Jumlah
Jumlah perusahaan sektor pertambangan yang tercatat di Bursa Efek Indonesia (BEI)
40
Perusahaan sektor pertambangan yang listing di BEI pada tahun 2011-2014 (5) Laporan tahunan perusahaan sektor pertambangan yang tidak mengeluarkan
annual report perusahaan pada tahun 2011-2014
(5)
Perusahaan sektor pertambangan yang mengalami kerugian selama tahun 2011-2014
(17)
Jumlah sampel perusahaan 13 sampel
3.5 Jenis dan Sumber Data
Jenis data yang digunakan dalam penelitian ini adalah data sekunder, yang
diperoleh peneliti secara tidak langsung melalui media perantara, diperoleh dari
lembaga atau instansi melalui pengutipan data atau melalui studi pustaka yang ada
kaitannya dengan penelitian ini. Data sekunder adalah data yang telah diolah
pihak lain, dalam penelitian ini data sekunder bersumber dari situs
laporan tahunan (annual report) atau company report perusahaan pada tahun
2011-2014. Data juga diperoleh dari
indeks corporate governance perusahaan yang ada di BEI dengan kriteria yang
telah ditentukan.
3.6 Metode Pengumpulan Data
Metode dalam pengumpulan data untuk penelitian ini adalah metode
dokumentasi. Metode dokumentasi adalah pengumpulan data yang dilakukan
dengan mempelajari catatan-catatan atau dokumen-dokumen milik perusahaan
atau disebut juga data sekunder serta studi pustaka dari berbagai literatur dan
sumber lainnya yang memberikan informasi yang dibutuhkan.
3.7 Metode Analisis Data
Analisis data dilakukan dengan menggunakan metode analisa kuantitatif.
Metode ini dilakukan dengan mengumpulkan, mengolah juga menginterpretasikan
data yang diperoleh yang nantinya akan memberi keterangan yang benar juga
lengkap untuk pemecahan masalah. Metode analisis data untuk penelitian ini
Uji yang dipakai adalah uji statistik deskriptif, uji asumsi klasik dan uji
hipotesis untuk membantu peneliti dalam mengolah dan menginterprestasikan
data guna menghasilkan keputusan penelitian.
3.7.1 Analisis Statistik Deskriptif
Statistik deskriptif akan memberi gambaran atau deskripsi suatu data yang
dilihat dari nilai rata-rata (mean), standar deviasi, maksimum, dan minimum.
Statistik deskriptif dimaksudkan untuk memberikan gambaran mengenai distribusi
dan perilaku data sampel tersebut (Ghozali, 2011).
3.7.2 Pengujian Asumsi Klasik
Untuk mendeteksi adanya penyimpangan asumsi klasik maka dilakukan uji
normalitas, uji multikolonieritas, uji autokorelasi, dan uji heteroskedastisitas
(Ghozali, 2009: 90). Agar terciptanya parameter yang baik maka persamaan
regresi harus memenuhi asumsi klasik. Parameter yang baik adalah parameter
yang tidak bias, efisien dan konsisten.
3.7.2.1 Uji normalitas
Uji normalitas bertujuan untuk menguji apakah dalah model regresi,
variabel pengganggu atau residual memiliki distribusi normal (Ghozali, 2006:
110). Dasar penarikan kesimpulan dari uji normalitas adalah data dikatakan
berdistribusi normal apabila nilai Asymptotic Significance > 0,05. Yaitu dengan
Uji normalitas data menggunakan Kolmogorov-Smirnov Test yang
3.7.2.2 Uji Multikolinieritas
Uji multikoloniearitas adalah uji yang menggunakan korelasi antara
variabel independen yang akan digunakan untuk persamaan regresi. Uji ini
bertujuan untuk menguji apa model regresi ditemukan adanya korelasi antara
beberapa variabel independen. Model regresi yang baik harusnya tidak terjadi
korelas, jika ada korelasi maka variabel tidak ortogonal atau variabel bebas yang
nilai korelasi antar sesame variabel bebas dari nol (Ghozali, 2006: 91).
Agar tidak ada terjadi korelasi, maka cara untuk mengatasi masalah
multikolinearitas ini (Ghozali, 2006: 95) adalah:
a. Menggabungkan data crossection dan time series (pooling data)
b. Keluarkan satu atau lebih variabel independen yang mempunyai korelasi tinggi dari model regresi dan identifikasikan variabel independen lainnya untuk membantu prediksi.
c. Transformasi variabel merupakan salahs atu cara mengurangi hubungan linear di antara variabel independen. Transformasi dapat dilakukan dalam bentuk logaritma natural dan bentuk first difference atau delta.
d. Gunakan model dengan variabel independen yang mempunyai korelasi tinggi hanya semata-mata untuk predisi tanpa mencoba menginterpretasikan koefisien regresinya).
e. Gunakan metode analisis yang lebih canggih seperti Bayesian regression atau dalam kasus khusus ridge regression.
f. Gunakan center data untuk analisis. Center data adalah data mentah dikurangi nilai mean (Xi – Xmean).
Menurut Ghozali (2006: 91) dalam mendeteksi ada atau tidak
multikoloniearitas dalam model regresi adalah dengan:
1. Nilai R2 yang dihasilkan oleh suatu estimasi model regresi empiris sangat tinggi, tetapi secara individu variabel-variabel bebas banyak yang tidak signifikan mempengaruhi variabel terikat.
3. Multikolinearitas dapat juga dilihat dari lorerance dan Variance Inflation Factor (VIF). Batas toleransi value adalah 0,10 dan VIF adalah 10. Apabila nillai tolerance value kurang dari 0,10 atau VIF lebih dari 10 maka terjadi multikolinearitas. Tujuan uji multikolinearitas untuk mengetahui apa tiap variabel independen saling berhubungan secara linear atau tidak.
3.7.2.3Uji Heterokedastisitas
Uji ini bertujuan untuk menguji apa dalam model regresi terjadi ketidak
samaan variance dari residual satu pengamatan ke pengamatan yang lain. Jika
variance dari residual satu pengamatan ke pengamatan yang lain tetap, maka
disebut Heteroskedastisitas. Menurut Ghozali (2006: 105), model regresi yang
baik adalah Homoskesdatisitas atau tidak terjadinya Heteroskedastisitas.
3.7.2.4Uji Autokorelasi
Ghozali (2006: 95) menyatakan bahwa uji autokorelasi bertujuan apakah
dalam model regresi linear ada korelasi antara kesalahan pengganggu pada
periode t dengan kesalahan penggangu pada periode t-1 sebelumnya. Jika ada
korelasi, maka dinamakan ada problem autokorelasi. Uji statistic yang
dipergunakan adalah uji Durbin-Watson dan Run-Test. Kriteria Durbin-Watson
adalah sebagai berikut:
1. Angka D-W dibawah -2 berarti ada ditemukan autokorelasi positif
2. Angka D-W di antara -2 sampai +2, berarti tidak ada autokorelasi
3.7.3 Uji Hipotesis Penelitian
Pengujian hipotesis dilakukan untuk menguji kemampuan variabel
independen GCG (diproksikan dengan dewan komisaris, dewan direksi, dan
komite audit) dan CSR perusahaan dalam mempengaruhi variabel dependen atau
tindakan pajak agresif. Pengujian ini menggunakan alat analisa statistik yaitu uji t,
uji F, juga uji koefisien determinasi.
1. Analisis Regresi Linear Berganda
Penelitian ini menggunakan metode analisis regresi linear berganda untuk
melihat pengaruh beberapa variabel independen dinyatakan dengan notasi X,
terhadap variabel dependen yang dinyatakan dengan notasi Y berdasarkan
perkembangan secara proporsional. Pengambilan keputusan Ha (H3) diterima jika
nilai signifikansi F hitung < 5% dan persamaan model regresi linear berganda
berdasarkan uji F sebagai berikut:
Y = α + β1X1.1 + β2X1.2 + β3X1.3e+ β4X2 + e
Y = Tindakan pajak agresif Keterangan:
X1.1 = GCG (dewan komisaris) X1.2 = GCG (dewan direksi) X1.3 = GCG (komite audit)
X2 = Corporate Social Responsibility
Α = Konstanta
2. Uji t
Uji t dilakukan untuk mengetahui apa secara individu atau parsial beberapa
variabel independen mempunyai pengaruh terhadap variabel dependen penelitian
yaitu tindakan pajak agresif. Pengambilan keputusan H1.1-H1.3 dan H2 diterima
jika nilai thitung > ttabel dan nilai signifikan < 5%.
3. Uji F
Uji F digunakan untuk menunjukkan apakah semua variabel bebas
dimasukkan dalam model mempunyai pengaruh secara bersama-sama terhadap
variabel terikat. Dalam penelitian ini Uji F akan digunakan untuk mengetahui
apakah variabel independen penelitian atau Good Corporate Governance dan
Corporate Social Responsibility di dalam perusahaan secara bersamaan (simultan)
mempunyai pengaruh terhadap adanya tindakan pajak agresif.
Mendeteksi pengaruh secara simultan dari variabel independen dilakukan
dengan uji-F, dengan kriteria jika F hitung > F tabel dan signifikansinya < 0,05,
maka H3 diterima.
4. Uji Koefisien Determinasi (R2)
Uji koefisien determinasi atau R2 akan mengukur seberapa jauh kemampuan
model dalam menerangkan variasi variabel dependen. Nilai koefisien determinasi
adalah antara nol dan satu. Nilai koefisien determinasi yang kecil berarti
menandakan kemampuan variabel-variabel independen dalam menjleaskan
variabel dependen amat terbatas.
Nilai yang mendekati satu, berarti variabel-variabel independen memberikan
dependen. Kelemahan dari R2 saat digunakan adalah bias terhadap jumlah
independen yang dimasukkan ke dalam model. Karena dalam penelitian ini akan
menggunakan banyak variabel independen, maka nilai Adjusted R2 akan lebih
tepat digunakan untuk mengukur seberapa jauh kemampuan model dalam
BAB IV
HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN
4.1 Hasil Penelitian 4.1.1 Statistik Deskriptif
Pada statistik deskriptif terdapat gambaran atau deskripsi dari suatu data
yang dilihat dari nilai rata-rata (mean), standar deviasi, varian, maksimum,
minimum dan sum. Dalam memberikan gambaran analisis statistic deskriptif dari
penelitian ini maka akan dijelaskan pada tabel 4.1 berikut ini:
Tabel 4.1 Statistik Deskriptif
Descriptive Statistics
N Minimum Maximum Mean Std. Deviation Variance
Pajak_Agresif (Y) 52 -.03 4.57 .5437 .64037 .410
Dewan_Komisaris (X1.1) 52 1.10 2.48 1.6915 .28651 .082
Dewan_Direksi (X1.2) 52 1.10 2.08 1.6037 .22811 .052
Komite_Audit (X1.3) 52 .69 1.95 1.1642 .19071 .036
CSR (X2) 52 -2.41 .60 -.7567 .78290 .613
Valid N (listwise) 52
Sumber: Output aplikasi SPSS (diolah pada 2016)
Dari tabel 4.1 diatas, dapat di berikan gambaran atau deskripsi dari data
1. Jumlah perusahaan sektor pertambangan yang diteliti adalah sebanyak 13
perusahaan yaitu dari tahun 2011-2014 atau selama empat tahun dengan
52 unit analisis observasi (N).
2. Variabel dependen penelitian yaitu Pajak Agresif (Y) memiliki nilai
minimum -0.3 dimiliki dan nilai maksimum sebesar 4.57. Rata-rata dari
Pajak Agresif yaitu sebesar 0.5437 dengan standar deviasinya 0.64037.
3. Variabel independen Dewan Komisaris (X1.1) memiliki nilai minimum
1.10 dan nilai maksimum variabel ini adalah 2.48. Rata-rata (mean) dari
data ini adalah 1.6915 dengan standar deviasi 0.28651.
4. Variabel independen Dewan Direksi (X1.2) memiliki nilai minimum 1.10
dan nilai maksimum yaitu 2.08. Mean dari data penelitian ini adalah
1.6037 dengan standar deviasi 0.22811.
5. Variabel independen Komite Audit (X1.3) memiliki nilai minimum 0.69
dan nilai maksimum 1.95. Rata-rata dari data penelitian ini adalah 1.1642
dan standar deviasi yaitu 0.19071.
6. Variabel independen Corporate Social Responsibility (X2) memiliki nilai
minimum -2.41 dan nilai maksimumnya adalah 0.60. Rata-rata dari CSR
yaitu -0.7567 dan standar deviasi sebesar 0.78290.
4.1.2 Uji Asumsi Klasik
Uji asumsi klasik digunakan dalam hal memastikan model yang diperoleh
dalam penelitian adalah benar-benar memenuhi asumsi dasar dalam analisis
regresi. Uji asumsi klasik yang di terapkan dalam penelitian ini, terdiri dari Uji
1. Uji Normalitas
Tujuan darii uji normalitas adalah untuk menguji apakah dalam model
regresi variabel pengganggu atau residual memiliki distribusi normal. Seperti
yang diketahui, uji F dan t mengasumsikan bahwa nilai residual mengikuti
distribusi normal (Ghozali, 2006: 95). Dalam penelitian ini, uji normalitas
menggunakan analisis grafik (Histogram), dan analisis statistik
(Kolmogorov-Smirnov).
Dalam pengujian data normal, dapat menggunakan kolmogorov smirnov
dengan melihat nilai signifikansi dari hasil penelitian. Dengan dasar penelitian
jika nilai signifikansi pengujian sampel lebih dari 0,05 maka dapat dikatakan
bahwa sampel sudah terdistribusi dengan baik. Tetapi jika nilai signifikansi masih
lebih kecil dari 0,05 maka data itu tidak dapat dikatakan telah terdistribusi dengan
Gambar 4.1 Grafik Histogram
Sumber: Output SPSS (diolah 2016)
Dari gambar 4.1 dapat dilihat bahwa kurva tidak menceng ke kanan
ataupun menceng ke kiri. Atau dalam kata lain kurva diatas berbentuk lonceng.
Oleh sebab itu, dapat diambil kesimpulan bahwa data yang digunakan dalam
penelitian berdistribusi normal.
Setelah diaplikasikan pada data penelitian, berikut ini adalah hasil dari
Tabel 4.2 Kolmogrov-Smirnov:
One-Sample Kolmogorov-Smirnov Test
Unstandardized
Residual
N 52
Normal Parametersa,b Mean 0E-7
Std. Deviation .54242908
Most Extreme Differences
Absolute .184
Positive .184
Negative -.125
Kolmogorov-Smirnov Z 1.327
Asymp. Sig. (2-tailed) .059
a. Test distribution is Normal.
b. Calculated from data.
Sumber: Output SPSS (diolah 2016)
Hasil dari uji penelitian di atas menunjukkan bahwa nilai signifikan dari
data adalah 0,059. Karena nilai signifikansi lebih besar dari pada 0,05, dapat
disimpulkan bahwa data telah terdistribusikan dengan baik atau H0 diterima.
Dengan hasil yang menunjukkan kalau data telah terdistribusi dengan baik, maka
dari itu dapat di lakukan uji hipotesis.
2. Uji Heterokedastisitas
Pengujian ini mempunyai tujuan untuk menguji apakah model regresi
telah terjadi ketidaksamaan variance dari residual satu pengamatan ke pengamatan
yang lain. Jika variance dari residual satu pengamatan ke pengamatan lain tetap,
maka disebut Homoskedastisitas dan jika berbeda disebut Heteroskedastisitas.
terjadi Heteroskedastisitas (Ghozali, 2006: 105). Berikut ini disajikan hasil
penelitian dari uji Heterokedastisitas pada gambar 4.3.
Gambar 4.2 Grafik Scatterplot
Sumber: Output SPSS (diolah 2016)
Hasil dari pengujian heteroskedastisitas yang ditunjukkan pada gambar 4.3
diatas menunjukkan bahwa titik-titik telah menyebar secara merata baik diatas
maupun di bawah angka 0 pada sumbu Y. Dengan tersebarnya titik tersebut,
maka dapat disimpulkan tidak ada terjadinya heteroskedastisitas ataupun dengan
kata lain model regresi layak dipakai dalam mengetahui faktor-faktor variabel X
3. Uji Autokorelasi
Uji autokorelasi bertujuan untuk menguji apakah dalam model regresi
linear ada korelasi antara kesalahan pengganggu pada periode t dengan kesalahan
pnegganggu pada periode t-1 (sebelumnya). Dikatakan ada korelasi maka
dinamakan ada problem autokorelasi yang muncul karena observasi yang
berurutan sepanjang waktu berkaitan satu sama lain (Ghozali, 2006:104).
Autokorelasi juga bisa dideteksi dengan Run Test. Run test sebagai bagian
dari statistic non-parametrik dapat pula digunakan untuk menguji apakah antar
residual terdapat korelasi yang tinggi. Hasil uji dengan Run test pada tabel 4.3.
Tabel 4.3
Runs-Test
Sumber: Output aplikasi SPSS (diolah pada 2016)
Dari output SPSS menunjukkan bahwa nilai test adalah -0,5995 dengan
probabilitas 0,575 tidak signifikan pada 0,05 yang berarti hipotesis 0 diterima.
Sehingga dapat disimpulkan bahwa residual random atau tidak terjadi autokorelasi
antar nilai residual.
Runs Test
Unstandardized
Residual
Test Valuea -.05995
Cases < Test Value 26
Cases >= Test Value 26
Total Cases 52
Number of Runs 29
Z .560
Asymp. Sig. (2-tailed) .575
4. Uji Multikolinearitas
Uji multikolinearitas bertujuan untuk menguji apakah model regresi
ditemukan adanya korelasi antar variabel bebas (independen). Model regresi yang
baik seharusnya tidak terjadi korelasi di antara variabel independen (Ghozali,
2006: 91). Cara untuk mendeteksi terjadinya multikolinearitas yaitu dengan
melihat nilai tolerance (TOL) dan variance inflation factor (VIF). Jika nilai VIF <
10 dan nilai tolerance > 0,1, maka dapat disimpulkan tidak terjadi
multikolinearitas. Dari data yang sudah diolah, maka hasil dari output SPSS uji ini
tercantum pada tabel 4.4.
Tabel 4.4 Multikolinearitas
Model Collinearity Statistics
Tolerance VIF
1
(Constant)
Dewan_Komisaris .760 1.316
Dewan_Direksi .802 1.246
Komite_Audit .870 1.149
CSR .841 1.189
Sumber: Output aplikasi SPSS (diolah pada 2016)
Berdasarkan data olahan pada Tabel 4.4 di atas dapat dilihat bahwa semua
variabel independen memiliki nilai VIF < 10 dan nilai tolerance > 0,1. Dengan
demikian dapat disimpulkan bahwa tidak terjadi korelasi di antara
4.1.3 Uji Hipotesis Penelitian
Penelitian ini melakukan pengujian hipotesis dengan menggunakan
pengujian koefisien determinasi (R2), uji signifikansi simultan (Uji-F), dan uji
signifikansi parsial (Uji-T) pada sampel.
a. Koefisien Determinasi (R2)
Koefisien determinasi atau R2 menunjukkan seberapa besar variabel
independen dapat menjelaskan variabel dependennya. Apabila nilai R2 semakin
dekat dengan satu, maka kesimpunlannya adalah variabel-variabel independen
tersebut dapat memberikan semua informasi yang dibutuhkan untuk memprediksi
[image:30.595.163.463.412.507.2]variabel dependen.
Tabel 4.5
Koefisien Determinasi (R2)
Model R R Square Adjusted R
Square
Std. Error of the
Estimate
1 .356a .127 .053 .62328
Sumber: Output aplikasi SPSS (diolah pada 2016)
Hasil dari uji koefisien determinasi pada Tabel 4.5 menunjukkan nilai
Adjusted R2 adalah 0,053. Hal ini berarti bahwa persentase pengaruh variabel
independen terhadap pajak agresif hanya sebesar 5,3% sedangkan sisanya yaitu
94,7% adalah pengaruh lain yang tidak masuk dalam model penelitian ini.
b. Uji-F
Untuk mendeteksi pengaruh secara simultan dari variabel independen akan
lakukan dengan uji-F, yaitu apakah Ukuran Dewan Komisaris (X1.1), Ukuran
Responsibility (X2) berpengaruh signifikan secara simultan terhadap Tindakan
[image:31.595.115.516.212.298.2]Pajak Agresif (Y) jika F hitung > F tabel dan tingkat signifikansinya < 0,05.
Tabel 4.6
Uji Signifikansi Simultan Penelitian (Uji-F)
ANOVAa
Model Sum of Squares df Mean Square F Sig.
1
Regression 2.655 4 .664 1.709 .164b
Residual 18.259 47 .388
Total 20.914 51
a. Dependent Variable: Pajak_Agresif
b. Predictors: (Constant), CSR, Komite_Audit, Dewan_Komisaris, Dewan_Direksi
Sumber: Output aplikasi SPSS (diolah pada 2016)
Dari hasil tabel 4.6 adalah angka F hitung 1,709 < F tabel 2,55 dan nilai
signifikansinya 0,164 > 0,05, maka Ha yang diajukan ditolak, artinya Ukuran
Dewan Komisaris (X1.1), Ukuran Dewan Direksi (X1.2), Ukuran Komite Audit
(X1.3) dan Corporate Social Responsibility (X2) secara simultan tidak
berpengaruh terhadap Tindakan Pajak Agresif (Y).
c. Uji t
Untuk melihat pengaruh secara parsial dari masing-masing variabel
independen dapat dilihat dengan menggunakan uji-t , yaitu apakah Ukuran Dewan
Komisaris (X1.1), Ukuran Dewan Direksi (X1.2), Ukuran Komite Audit (X1.3)
dan CSR (X2) berpengaruh signifikan secara parsial terhadap Tindakan Pajak
Tabel 4.7
Uji Signifikansi Parsial Penelitian (Uji-t)
Coefficientsa
Model Unstandardized Coefficients Standardized
Coefficients
t Sig.
B Std. Error Beta
1
(Constant) .662 .564 1.175 .246
Dewan_Komisaris -.134 .059 -.358 -2.285 .027
Dewan_Direksi .026 .090 .046 .294 .770
Komite_Audit .151 .118 .189 1.280 .207
CSR .020 .727 .005 .027 .978
a. Dependent Variable: Pajak_Agresif
Sumber: Output aplikasi SPSS (diolah pada 2016)
Tabel 4.7 menghasilkan t-hitung lebih kecil atau lebih besar dari t-tabel
2.01174 secara parsial sebagai berikut:
1. Ukuran Dewan Komisaris (X1.1)
Besar thitung variabel Ukuran Dewan Komisaris adalah sebesar -2,285
dengan nilai signifikansi 0,027. Hasil tersebut menunjukkan bahwa thitung
lebih besar dari t-tabel (-2,285 > 2,01174). Dilihat dari signifikansinya,
kebijakan hutang memiliki nilai signifikansi lebih kecil dari 0,05 (0,027 <
0,05). Maka dari hasil analisa tersebut dapat diambil kesimpulan bahwa
Ukuran Dewan Komisaris berpengaruh negatif signifikan terhadap
Tindakan Pajak Agresif. Ini menunjukkan bahwa H1.1 diterima.
2. Ukuran Dewan Direksi (X1.2)
Besarnya thitung untuk variabel Ukuran Dewan Direksi adalah sebesar
0,294 dengan nilai signifikansi 0,770. Hasil tersebut menunjukkan thitung
Ukuran Dewan Direksi memiliki nilai signifikansi lebih besar dari 0,05
(0,770 > 0,05). Maka dari hasil analisa tersebut dapat diambil kesimpulan
bahwa Ukuran Dewan Direksi tidak berpengaruh signifikan terhadap
Tindakan Pajak Agresif. Ini menunjukkan bahwa H1.2 ditolak.
3. Ukuran Komite Audit (X1.3)
Besarnya thitung untuk variabel Ukuran Komite Audit adalah sebesar
1,280 dengan nilai signifikansi 0,207. Hasil tersebut menunjukkan thitung
lebih kecil dari ttabel ( 1,280 < 2,01174). Dilihat dari signifikansinya
Ukuran Komite Audit memiliki nilai signifikansi lebih besar dari 0,05
(0,207 > 0,05). Maka dari hasil analisa tersebut dapat diambil kesimpulan
bahwa Ukuran Komite Audit tidak berpengaruh signifikan terhadap
Tindakan Pajak Agresif. Ini menunjukkan bahwa H1.3 ditolak.
4. Corporate Social Responsibility (X2)
Besarnya thitung untuk variabel Corporate Social Responsibility adalah
sebesar 0,027 dengan nilai signifikansi 0,978. Hasil tersebut menunjukkan
thitung lebih kecil dari ttabel (0,027 < 2,01174). Dilihat dari
signifikansinya Corporate Social Responsibilty memiliki nilai signifikansi
lebih besar dari 0,05 (0,027 < 0,05). Maka dari hasil analisa tersebut dapat
diambil kesimpulan bahwa Corporate Social Responsibility tidak
berpengaruh signifikan terhadap Tindakan Pajak Agresif. Ini menunjukkan
Berdasarkan hasil uji-t diperoleh model persamaan regresi linier berganda sebagai
berikut:
Y = 0,662 – 0,134X1.1 + 0,026X1.2 + 0,151X1.3 + 0,020X2
Model persamaan linier berganda diatas dapat diinterpretasikan sebagai
berikut:
1. Nilai konstanta sebesar 0,662 artinya apabila nilai variabel independen
Dewan Komisaris, Dewan Direksi, Komite Audit dan CSR bernilai 0,
maka nilai variabel dependen Tindakan Pajak Agresif konstan di 0,662.
2. Ukuran Dewan Komisaris memiliki koefisien regresi sebesar -0,134, hal
ini menunjukkan bahwa variabel Ukuran Dewan Komisaris memiliki
hubungan yang berlawanan dengan Tindakan Pajak Agresif. Setiap
kenaikan satu satuan Ukuran Dewan Komisaris, maka Tindakan Pajak
Agresif akan turun sebesar 0,134 dengan asumsi bahwa variabel
independen lainnya dianggap tetap.
3. Ukuran Dewan Direksi memiliki koefisien regresi sebesar 0,026, hal ini
menunjukkan bahwa jika variabel Ukuran Dewan Direksi bertambah satu
satuan maka variabel Tindakan Pajak Agresif juga mengalami kenaikan
sebesar 0,026.
4. Ukuran Komite Audit memiliki koefisien regresi sebesar 0,151, hal ini
menunjukkan bahwa jika variabel Ukuran Komite Audit bertambah satu
satuan maka variabel Tindakan Pajak Agresif juga mengalami kenaikan
5. Corporate Social Responsibility memiliki koefisien regresi sebesar 0,020,
hal ini menunjukkan bahwa jika variabel Ukuran Dewan Direksi
bertambah satu satuan maka variabel Tindakan Pajak Agresif juga
mengalami kenaikan sebesar 0,020.
4.2 Pembahasan Hasil Penelitian
Hasil uji statistik F yang dilakukan, menunjukkan bahwa variabel Ukuran
Dewan Komisaris, Ukuran Dewan Direksi, Ukuran Komite Audit dan Corporate
Social Responsibility tidak berpengaruh signifikan secara simultan terhadap
Tindakan Pajak Agresif pada perusahaan sektor pertambangan yang terdaftar di
BEI tahun 2011-2014.
Pada pengujian statistik uji-t atau pengujian secara parsial ditemukan bahwa
Ukuran Dewan Komisaris berpengaruh signifikan terhadap Tindakan Pajak
Agresif. Sedangkan Ukuran Dewan Direksi, Ukuran Komite Audit dan Corporate
Social Responsibility tidak berpengaruh terhadap Tindakan Pajak Agresif.
Pembahasan pengaruh masing-masing variabel independen terhadap variabel
dependen secara parsial dijelaskan berikut ini.
1. Pengaruh Ukuran Dewan Komisaris Terhadap Tindakan Pajak Agresif
Berdasarkan pengujian secara parsial menunjukkan bahwa variabel Ukuran
Dewan Komisaris memiliki koefisien sebesar 0,134 dan nilai t hitung sebesar
-2,285 sedangkan t tabel sebesar 2,01174, maka thitung < ttabel yaitu --2,285 >
2,01174. Nilai signifikansi Ukuran Dewan Komisaris lebih kecil dari 0,05 yaitu
0,027 < 0,05, maka dapat disimpulkan bahwa Ukuran Dewan Komisaris
Hasil ini mendukung penelitian yang dilakukan oleh Winarsih, Prasetyono
dan Kusufi (2014) yang menyatakan bahwa Ukuran Dewan Komisaris
berpengaruh terhadap Tindakan Pajak Agresif. Hal ini menggambarkan bahwa
besar atau kecilnya ukuran Dewan Komisaris yang dimiliki perusahaan sektor
pertambangan akan mempengaruhi tindakan agresivitas pajak yang dilakukan oleh
perusahaan. Hal ini mungkin terjadi apabila rendahnya koordinasi antar anggota
dewan komisaris di dalam perusahaan sehingga terciptalah tindakan pajak agresif.
Tetapi, penelitian ini bertolak belakang dengan penelitian Annisa dan Kurniasih
(2012) yang menyatakan bahwa besar kecilnya jumlah dewan komisaris yang ada
pada perusahaan tidak secara signifikan mempengaruhi penurunan aktivitas
penghindaran pajak atau disebut juga dengan tax avoidance.
Menurut Winarsih, Prasetyono dan Kusufi (2014), rendahnya koordinasi antar
anggota dewan komisaris tersebut dapat dimanfaatkan oleh pihak manajemen
dalam melakukan tindakan yang curang. Tindakan ini bisa saja dengan tidak
melaporkan laporan yang seharusnya dilaporkan manajemen misalnya dalam hal
manajemen laba. Manajemen laba yang diatur oleh perusahaan bisa saja akan
berpengaruh positif dalam laba perusahaan atau bisa disebut dengan tindakan
pajak agresif.
2. Pengaruh Ukuran Dewan Direksi Terhadap Tindakan Pajak Agresif Berdasarkan pengujian secara parsial menunjukkan bahwa variabel Ukuran
Dewan Direksi memiliki koefisien sebesar 0,026. Nilai thitung sebesar 0,294
sedangkan nilai ttabel sebesar 2,01174, maka thitung 0,294 < ttabel 2,01174. Nilai
maka dapat disimpulkan Ukuran Dewan Direksi tidak berpengaruh pada Tindakan
Pajak Agresif. Hasil penelitian ini mendukung tugas dari dewan direksi yang turut
bertanggung jawab dalam pelaporan pajak juga menjaga citra perusahaan di
masyarakat.
Menurut Hidayanti (2013: 14) akibat buruk dari manajemen laba yang
dilakukan perusahaan itu, perusahaan dapat terkena sanksi penalti dari fiskus,
turunnya harga saham, sampai rusaknya reputasi perusahaan karena adanya
pemerikasaan yang dilakukan oleh fiskus. Hal inilah yang bertolak belakang
dengan kepentingan dewan direksi yang menginginkan kewajiban pajak semakin
rendah sementara pemerintah menginginkan penerimaan pendapatan negara dalam
bentuk pajak semakin tinggi. Dengan hasil penelitian yang sudah dilakukan maka
hasilnya adalah dewan direksi tidak berpengaruh terhadap keagresifan pajak yang
dilakukan perusahaan atau tidak mempengaruhi tinggi rendahnya tindakan pajak
agresif.
3. Pengaruh Ukuran Komite Audit Terhadap Tindakan Pajak Agresif Berdasarkan pengujian secara parsial menunjukkan bahwa variabel Ukuran
Komite Audit memiliki koefisien sebesar 0,151. Nilai thitung sebesar 1,280
sedangkan nilai ttabel sebesar 2,01174, maka thitung 1,280 < ttabel 2,01174. Nilai
signifikansi Ukuran Dewan Komisaris lebih besar dari 0,05, yaitu 0,207 > 0,05,
maka dapat disimpulkan Ukuran Komite Audit tidak berpengaruh pada Tindakan
Pajak Agresif.
Hasil penelitian ini bertolak belakang dengan penelitan Annisa dan Kurniasih
tindakan pajak agresif perusahaan yang listing di BEI tahun 2008. Penelitian
Annisa dan Kurniasih menyatakan bahwa adanya syarat Otoritas Jasa Keuangan
(OJK) untuk mempekerjakan paling sedikit tiga komite audit dalam perusahaan
membuat perusahaan tersebut tidak mematuhi peraturan karena banyak
perusahaan yang tidak mematuhinya dan dengan pelanggaran tersebut akan
meningkatkan tingkat manajemen pajak dari perusahaan.
Penelitian ini mengolah data dari tahun 2011-2012 dan dari hasil penelitan
yang didapat, perusahaan yang terdaftar di BEI rata-rata sudah memiliki 3 komite
audit di perusahaannya. Oleh karena itu dapat disimpulkan kalau komite audit
tidak mempengaruhi manajemen pajak dan tidak mendorong adanya tindakan
pajak agresif perusahaan dan menjaga citra perusahaan, sesuai dengan pekerjaan
yang harus dilakukan komite audit tersebut.
4. Pengaruh Corporate Social Responsibility Terhadap Tindakan Pajak
Agresif
Berdasarkan pengujian secara parsial pada penelitian menunjukkan bahwa
variabel Corporate Social Responsibility (CSR) memiliki koefisien sebesar 0,020.
Nilai thitung sebesar 0,027 sedangkan nilai ttabel sebesar 2,01174, maka thitung
0,027 < ttabel 2,01174. Nilai signifikansi CSR lebih besar dari 0,05, yaitu 0,978 >
0,05, maka dapat disimpulkan CSR tidak berpengaruh pada Tindakan Pajak
Agresif. Tidak berpengaruhnya CSR terhadap tindakan pajak agresif berarti
pengungkapan tanggung jawab sosial perusahaan yang dilampirkan dalam laporan
tahunan tidak menentukan seberapa besar tindakan agresif yang dilakukan oleh
Hasil penelitian ini berlawanan dengan penelitian dari Yoehana (2013) yang
menyatakan bahwa semakin tinggi pengungkapan yang dilakukan perusahaan
pada annual report maka akan semakin rendah pula tindakan pajak agresif yang
dilakukannya. Pengaruh antara kedua variabel ini didukung oleh penelitian Sari
dan Martani (2010) yang menyatakan tidak ada hubungan yang signifikan
BAB V
KESIMPULAN DAN SARAN
5.1 Kesimpulan
Dari uraian dan penjelasan bab sebelumnya, maka dapat diambil
kesimpulan sebagai berikut:
1. Ukuran Dewan Komisaris secara parsial berpengaruh negatif dan
signifikan terhadap Tindakan Pajak Agresif. Hasil penelitian ini
mendukung penelitian Winarsih, Prasetyono dan Kusufi (2014).
2. Ukuran Dewan Direksi secara parsial tidak berpengaruh terhadap tindakan
pajak agresif. Hasil penelitian ini mendukung penelitian yang dilakukan
oleh Sari dan Martani (2010).
3. Ukuran Komite Audit secara parsial tidak berpengaruh terhadap tindakan
pajak agresif. Hasil penelitian ini mendukung penelitian yang dilakukan
oleh Sari dan Martani (2010) dan Winarsih, Prasetyono dan Kusufi (2014).
4. Corporate Social Responsibility secara parsial tidak berpengaruh terhadap
Tindakan Pajak Agresif. Hasil penelitian ini mendukung penelitian yang
dilakukan oleh Winarsih, Prasetyono dan Kusufi (2014) dan Lanis dan
Richardson (2012).
5. Ukuran Dewan Komisaris, Ukuran Dewan Direksi, Ukuran Komite Audit
dan Corporate Social Responsibility (CSR) secara simultan tidak
5.2 Keterbatasan Penelitian
1. Analisis data yang dilakukan hanya bersumber dari perusahaan sektor
pertambangan.
2. Periode pengambilan data dari Bursa Efek Indonesia terbatas yaitu dari tahun
2011-2014 atau selama empat tahun.
3. Penelitian ini mencakup beberapa data yang tidak lengkap atau tidak tersedia
sehingga akhirnya memperkecil sampel penelitian.
4. Penelitian ini hanya menggunakan empat variabel independen, yaitu Ukuran
Dewan Komisaris, Ukuran Dewan Direksi, Ukuran Komite Audit dan
Corporate Social Responsibility. Variabel independen tersebut hanya dapat
mempengaruhi variabel dependen yaitu Tindakan Pajak Agresif sebesar
5,3%, oleh sebab itu masih terdapat sekitar 94,7% faktor-faktor lain yang
mempengaruhi Tindakan Pajak Agresif yang tidak digunakan dalam
penelitian ini.
5.3 Saran
Berdasarkan kesimpulan dan keterbatasan penelitian maka dapat diberikan
saran-saran sebagai berikut:
1. Peneliti selanjutnya dapat memasukkan variabel independen lainnya dengan
menambah proksi Good Corporate Governance lainnya seperti Rapat Umum
Pemegang Saham atau karakter kepemilikan perusahaan yang akan di dapatkan
2. Peneliti selanjutnya dapat memperluas penelitian dengan menambah sampel
penelitian dari seluruh sektor perusahaan yang terdaftar pada Bursa Efek
Indonesia.
3. Periode pengamatan lebih diperpanjang sehingga hasil yang diperoleh lebih
dapat digeneralisasi dan juga diharapkan dapat menggambarkan kondisi
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
2.1. Tinjauan Teoritis 2.1.1 Teori Agensi
Fakta yang mendasar pada teori agensi adalah para manajer memiliki
tujuan-tujuan pribadi yang bersaing atau berlawanan dengan tujuan
memaksimalkan kekayaan pemegang saham. Para manajer diberi kekuasaan oleh
para pemilik perusahaan untuk membuat keputusan, di mana hal ini menciptakan
potensi konflik kepentingan yang dikenal sebagai teori keagenan (agency theory).
Hubungan keagenan (agency relationship) terjadi ketika satu atau lebih individu
yang disebut sebagai principal menyewa individu atau organisasi lain, yang
disebut sebagai agen, untuk melakukan sejumlah jasa dan mendelegasikan
kewenangan untuk membuat keputusan kepada agen tersebut. Potensi konflik
kepentingan terjadi antara agen dengan pemegang saham luar atau antara agen
dengan kreditor atau pemilik utang (Brigham, 2006: 36).
Agency problem akan timbul karena tindakan pajak agresif yang dilakukan
perusahaan akan memperoleh keuntungan yang baik untuk pemilik atau pemegang
saham perusahaan. Keuntungan yang diperoleh adalah penghematan pajak
sehinggan kas yang dinikmati pemilik atau pemegang saham akan menjadi lebih
besar. Tim manajer akan mendapatkan kompensasi pula dari para pemilik maupun
pemegang saham perusahaan. Terlebih lagi, tim manajer bisa mempunyai
theory dapat diatasi dengan dua cara (Gitman, 2007 dalam Hidayanti, 2013: 29),
sebagai berikut:
1. Market Forces
Cara ini dilakukan dengan cara pemegang saham yang memiliki saham mayoritas, seperti investor institusional yang biasanya berupa perusahaan asuransi jiwa, mutual fund, perusahaan dana pension. Melalui hak suara mayoritas maka diyakini akand apat mengatasi masalah agensi yang akan muncul. Hal yang dilakukan yaitu dengan memberikan tekanan pada manajer untuk bekerja lebih baik ataupun menggantikan manajemen yang dianggap tidak dapat memenuhi kesejahteraan pemegang saham ataupun pemilik perusahaan. Hal tersebut dilakukan dengan tujuan untuk menimbulkan motivasi di tim manajer untuk bertindak sesuai dengan kepentingan para pemilik perusahaan.
2. Agency Cost
Cara ini dilakukan karena agency cost merupakan biaya yang akan dikeluarkan untuk mengurangi agency cost sekaligus untuk pemenuhan kesejahteraan para pemegang saham. Biaya yang dikeluarkan berasal dari biaya insentif yang nantinya akan diberikan kepada manajer untuk memaksimalkan harga saham perusahaan. Lalu, agency cost juga timbul oleh adanya pengawasan terhadap setiap tindakan manajer, yang dimana sistem pengawasan tersebut adalah corporate governance.
2.1.2 Tindakan Pajak Agresif
Agresivitas pajak didefenisikan sebagai kegiatan perencanaan pajak semua
perusahaan yang terlibat dalam usaha mengurangi tingkat pajak yang efektif
(Hlaing, 2012: 4). Penelitian ini mengacu pada definisi pajak agresif yang
digunakan Frank et al (2009) yaitu tindakan yang bertujuan untuk menurunkan
laba kena pajak melalui perencanaan pajak baik menggunakan cara yang
tergolong atau tidak tergolong ke dalam tax evasion. Perencanaan pajak dapat di
golongkan dalam hambatan pajak dan dapat berakibat kurangnya penerimaan kas
dari seberapa besar perusahaan tersebut mengambil langkah penghindaran pajak
dengan memanfaatkan celah-celah yang ada dalam peraturan perpajakan. Dengan
begitu, perusahaan akan dianggap semakin agresif. Dan untuk memerangi usaha
penghindaran pajak yang dilakukan oleh perusahaan, pemerintah memakai
peraturan corporate governance (Schon, 2008 dalam Sari dan Martani, 2010: 6)
Suatu agresivitas pelaporan pajak adalah situasi ketika perusahaan
melakukan kebijakan pajak tertentu dan suatu hari terdapat kemungkinan tindakan
pajak tersebut tidak akan diaudit atau dipermasalahkan dari sisi hukum, namun
tindakan ini berisiko karena ketidakjelasan posisi akhir atau apakah tindakan
pajak tersebut dianggap melanggar atau tidak melanggar hukum yang berlaku di
kemudian hari (Murhpy, 2004 dalam Sari dan Martani, 2010: 4). Juga menurut
Watson (2011 dalam Sari dan Martiani, 2010: 4), perusahaan yang sadar sosial
(high level CSR) cenderung kurang agresif dibandingkan dengan perusahaan yang
tidak bertanggung jawab secara sosial (low level CSR) dalam kebijakan
penghindaran pajaknya.
2.1.2.1 Keuntungan dan Kerugian dari Pajak Agresif
Manajer selaku pihak yang membuat keputusan, ia akan memperhitungkan
terlebih dahulu keuntungan ataupun kerugian dari keputusan yang akan
diambilnya. Adapun keuntungan dari tindakan pajak agresif yang dijabarkan oleh
Chen et al. (2008: 3), adalah:
2. Keuntungan bagi manajer (baik langsung atau tidak langsung) dengan mendapatkan kompensasi dari pemilik atau pemegang saham perusahaan atas tindakan pajak agresif yang dilakukannya.
3. Keuntungan bagi manajer dengan cara mempunyai kesempatan untuk melakukan rent extraction.
Sedangkan kerugian yang akan dialami ketika mengambil tindakan pajak agresif
menurut Sari dan Martani (2010: 5) adalah:
1. Kemungkinan perusahaan mendapatkan sanksi atau penalti dari fiskus pajak, dan turunnya harga saham perusahaan.
2. Rusaknya reputasi perusahaan akibat audit dari fiskus pajak.
3. Penurunan harga saham dikarenakan pemegang saham lainnya mengetahui tindakan pajak agresif yang dijalankan manajer dilakukan dalam rangka rent extraction.
2.1.3 Good Corporate Governance
Tata kelola sebuah perusahaan muncul karena adanya pemisahan antara
kepemilikan dengan pengelola perusahaannya. Tata kelola ini disebut juga dengan
Corporate Governance. Tata kelola pada perusahaan ini rentan pula dengan
masalah, salah satu masalahnya adalah agency problem atau masalah agensi.
Masalah agensi adalah konflik yang terjadi karena ada perbedaan tujuan juga
kepentingan yang ada pada manajer dan pemilik perusahaan karena perusahaan ini
memerlukan pengawasan. Pengawasan inilah yang disebut dengan corporate
governance atau tata kelola perusahaan. Atau tata kelola perusahaan yang baik
(Good Corporate Governance) adalah prinsip-prinsip yang mendasari suatu
proses dan mekanisme perusahaan berlandaskan peraturan perundang-undangan
dan etika berusaha (Surat Keputusan Menteri BUMN Nomor. KEP
The Indonesian Institute for Corporate Governance atau IICG (2012)
mengartikan Good Corporate Governance (GCG) sebagai struktur, sistem dan
proses yang digunakan oleh organ perusahaan sebagai upaya untuk memberikan
nilai tambah perusahaan secara berkesinambungan dalam jangka panjang dengan
tetap memperhatikan kepentingan stakeholders lainnya berdasarkan norma, etika,
budaya dan aturan yang berlaku. Menurut IICG pula, manfaat dari pelaksanaan
GCG adalah menjaga sustainability perusahaan, meningkatkan nilai perusahaan
dan kepercayaan pasar, mengurangi agency cost dan cost of capital, meningkatkan
kinerja, efisiensi dan pelayanan kepada stakeholders, melindungi organ dari
intervensi politik dan tuntutan hukum dan membantu terwujudnya good corporate
citizen. Prinsip-prinsip GCG inilah yang dapat memberikan manfaat bagi
perusahaan selain hanya terlihat baik di mata pemerintah juga masyarakat.
Menurut Keputusan Menteri Badan Usaha Milik Negara No
KEP-117/M-MBU/2002 Pasal 1, Corporate Governance adalah suatu proses dari struktur yang
digunakan oleh organ BUMN untuk meningkatkan keberhasilan usaha dan
akuntabilitas perusahaan guna mewujudkan nilai pemegang saham dalam jangka
panjang dengan tetap memperhatikan kepentingan stakeholder lainnya,
berlandaskan perundangan dan etika. Dari pengertian ini didapat bahwa
Corporate Governance digunakan untuk meningkatkan keberhasilan usaha juga
akuntabilitasnya. Dapat juga mewujudkan nilai pemegang saham tanpa
mengabaikan kepentingan pihak lainnya.
Pajak dan Corporate Governance dapat berinteraksi dalam berbagai
2008: 5). Pada tingkat internasional ada interaksi yang sudah mulai di observasi
dari corporate governance, misalnya peraturan coroporate governance yang telah
dijadikan alat oleh pemerintah untuk memerangi usaha penghindaran pajak yang
kerap kali dilakukan oleh perusahaan (Schon, 2008 dalam Sari dan Martani,
2010:6). Begitu pula di Indonesia, peraturan perpajakan yang mempengaruhi
governance perusahaan adalah Peraturan Menteri Keuangan Republik Indonesia
Nomor 43/PMK.03/2008 9 (DJP 2008) yang menyatakan wajib pajak (WP) dapat
menggunakan nilai buku dalam pemekaran usaha jika wajib pajak pribadi atau
badan hasil pemekaran tersebut akan melakukan penawaran umum perdana. Isi
peraturan pemerintah ini terdapat dorongan untuk perusahaan melakukan
transparansi dengan menjadikan perusahaan itu go public. Dengan keterbukaan
informasi, perusahaan akan cenderung mengambil tindakan perpajakan yang tidak
berisiko. Prinsip keterbukaan dan transparansi inilah yang termasuk dalam contoh
prinsip corporate governance yang dapat mempengaruhi pengambilan keputusan
perpajakan bagi perusahaan.
Menurut Pedoman Umum GCG Indonesia yang dikeluarkan oleh Komite
Nasional Kebijakan Governance (KNKG), good corporate governance awalnya
diperlukan untuk mendorong terciptanya pasar yang efisien, transparan dan
konsisten dengan peraturan perundang-undangan. Oleh karena itu penerapan GCG
perlu didukung oleh tiga pilar yang saling berhubungan, yaitu negara dan
perangkatnya sebagai regulator, dunia usaha sebagai pelaku pasar, dan masyarakat
dilaksanakan oleh masing-masing pilar menurut Komite Nasional Kebijakan
Governance (KNKG) dalam Pedoman Pelaksanaan GCG Indonesia, adalah:
1. Negara dan perangkatnya menciiptakan peraturan perundang-undangan yang menunjang iklim usaha yang sehat, efisien dan transparan, melaksanakan peraturan perundang-undangan dan penegakan hukum secara konsisten (consistent law enforcement).
2. Dunia usaha sebagai pelaku pasar menerapkan GCG sebagai pedoman dasar pelaksanaan usaha.
3. Masyarakat sebagai pengguna porduk dan jasa dunia usaha serta pihak yang terkena dampak dari keberadaan perusahaan, menunjukkan kepedulian dan melakukan kontrol usaha (social control) secara objektif dan bertanggung jawab.
Prinsip dari GCG tertulis dalam Surat Keputusan Menteri BUMN Nomor
KEP 01/MBU/2011 Tentang Penerapan Tata Kelola Perusahaan yang baik (Good
Corporate Governance) yaitu lima prinsip yang dikemukakan oleh perusahaan
tersebut, yaitu transparansi (transparency), akuntabilitas (accountability),
pertanggungjawaban (responsibility), kemandirian (independency) dan kewajaran
(fairness). Prinsip inilah yang diperlukan dalam penerapan GCG karena berkaitan
dengan penyajian laporan keuangan perusahaan yang akan di tampilkan kepada
publik.
Dalam perusahaan, terdapat organ-organ yang menjalankan fungsinya sesuai
dengan ketentuan yang berlaku atas dasar prinsip bahwa masing-masing organ
perusahaan tersebut mempunyai independensi dalam melaksanakan tugas, fungsi
dan tanggung jawabnya semata-mata untuk kepentingan perusahaan. Organ
perusahaan dalam Pedoman Umum GCG Indonesia oleh KNKG terdiri dari:
A. Rapat Umum Pemegang Saham (RUPS)
modal yang ditanam dalam perusahaan, dengan memperhatikan ketentuan anggaran dasar dan peraturan perundang-undangan. Keputusan yang diambil dalam RUPS harus didasarkan pada kepentingan usaha perusahaan dalam jangka panjang. RUPS atau pemegang saham tidak dapat melakukan intervensi terhadap tugas, fungsi dan wewenang Dewan Komisaris dan Direksi dengan tidak mengurangi wewenang RUPS untuk menjalankan haknya sesuai dengan anggaran dasar dan peraturan perundang-undangan, termasuk untuk melakukan penggantian atau pemberhentian anggota Dewan Komisaris dan atau Direksi. Penyelenggaraan RUPS merupakan tanggung jawab Direksi.
B. Dewan Komisaris
Dewan komisaris sebagai organ perusahaan bertugas dan bertanggung jawab secara kolektif untuk melakukan pengawasan dan memberikan nasihat kepada Direksi serta memastikan bahwa Perusahaan melaksanakan GCG walaupun Dewan Komisaris tidak boleh ikut serta dalam mengambil keputusan operasional.
C. Direksi
Direksi sebagai organ perusahaan bertugas dan bertanggungjawab secara kolegial dalam mengelola perusahaan. Masing-masing anggota Direksi dapat melaksanakan tugas dan mengambil keputusan sesuai dengan pembagian tugas dan wewenangnya.
2.1.3.1 Asas Good Corporate Governance
Menurut KNKG, setiap perusahaan harus memastikan bahwa asas GCG
diterapkan pada setiap aspek bisnis dan di semua jajaran perusahaan. Asas GCG
terdiri dari transparansi, akuntabilitas, responsibilitas, independensi serta
kewajaran dan kesetaraan diperlukan untuk mencapai kesinambungan usaha
(sustainability) perusahaan dengan memperhatikan pemangku kepentingan
(stakeholders). Pedoman Umum GCG Indonesia yang dikeluarkan oleh KNKG
menjabarkan asas GCG sebagai berikut:
pemangku kepentingan. Perusahaan harus mengambil inisiatif untuk mengungkapkan tidak hanya masalah yang disyaratkan oleh peraturan perundang-undangan, tetapi juga hal yang penting untuk pengambilan keputusan oleh pemegang saham, kreditur dan pemangku kepentingan lainnya.
2. Akuntabilitas (Accountability) maksudnya adalah perusahaan harus dapat mempertanggungjawabkan kinerjanya secara transparan dan wajar. Untuk itu perusahaan dengan tetap memperhitungkan kepentingan pemegang saham dan pemangku kepentingan lain. Akuntabilitas merupakan prasyarat yang diperlukan untuk mencapai kinerja yang berkesinambungan.
3. Responsibilitas (Responsibility) maksudnya adalah perusahaan harus memenuhi peraturan perundang-undangan serta melaksanakan tanggung jawab terhadap masyarakat dan lingkungan sehingga dapat terpelihara kesinambungan usaha dalam jangka panjang dan mendapat pengakuan sebagai good corporate citizen.
4. Independensi (Independency) gunanya untuk melancarkan pelaksanaan asas GCG, maka perusahaan harus dikelola secara independen sehingga masing-masing organ perusahaan tidak saling mendominasi dan tidak dapat diintervensi oleh pihak lain.
5. Kewajaran dan Kesetaraan (Fairness) yaitu dalam pelaksanaan kegiatannya, perusahaan harus senantiasa memperhatikan kepentingan pemegang saham dan pemangku kepentingan lainnya berdasarkan asas kewajaran dan kesetaraan.
Dari asas tersebut bisa diteladani beberapa pedoman perilaku yang dapat
menjadi acuan bagi organ perusahaan dan semua karyawan dalam menerapkan
nilai-nilai (values) dan etika bisnis sehingga menjadi bagian dari budaya
perusahaan. Karena itu, prinsip tersebut haruslah diimbangi dengan Good Faith
atau bertindak atas itikad baik dan kode etik perusahaan serta pedoman Corporate
Governance yang dibuat oleh Komite Nasional Corporate Governance. Pedoman
ini juga dapat dijadikan acuan atau dasar dari sikap yang akan di gunakan
2.1.4 Corporate Social Responsibility
Corporate Social Responsibility (CSR) adalah komitmen perusahaan atau
dunia bisnis untuk berkontribusi dalam pengembangan ekonomi yang
berkelanjutan dengan memperhatikan tanggung jawab sosial perusahaan dan
menitikberatakan pada keseimbangan antara perhatian terhadap aspek ekonomi,
sosial dan lingkungan (Untung, 2009: 1).
CSR melakukan kegiatan-kegiatan dalam segala aspek dengan berdasarkan
UU No. 40 tahun 2007 Pasal 74 Tentang Perseroan Terbatas yang berbunyi:
“Perseroan yang menjalankan kegiatan usahanya dibidang dan/atau berkaitan
dengan sumber daya alam wajib melaksanakan tanggung jawab sosial dan
lingkungan.” Dan semakin berkembangnya kegiatan perusahaan, maka dalam
Pasal 15 huruf (b) UU No. 2007 Tentang Penanaman Modal telah mengatur
kewajiban dalam kegiatan CSR bagi perusahaan. Isi pasal ini adalah “Setiap
penanaman modal berkewajiban melaksanakan tanggung jawab sosial
perusahaan” Perusahaan yang melaksanakan kegiatan usahanya akan diwajibkan
oleh Undang-Undang agar kegiatan usaha tersebut dapat berlangsung dengan
baik. CSR sudah di tetapkan oleh Pemerintah menjadi suatu keharusan pada PP
No. 47 Tahun 2012 Tentang Tanggung Jawab Sosial dan Lingkungan Perseroan
Terbatas.
Di dalam suatu perusahaan, akan terdapat beberapa kompleksitas
permasalahan sosial (social problems) yang semakin rumit dalam dekade terakhir
dapat memberikan alternative terobosan baru dalam pemberdayaan masyarakat
miskin. Latar belakang social problems ini berasal dari sejarah pembangunan
ekonomi di Indonesia yang diyakini telah mencapai tingkat pertumbuhan yang
cuukup tinggi, ternyata masih menyisakan permasalahan sosial yang cukup serius.
Masalah yang dapat diambil sebagai contoh adalah tahun 1993-1996
pemerintahan Indonesia telah mampu menekan angka kemiskinan dari 25,32%
menjadi 17,44% (Untung, 2009: 2). Oleh karena itu, peranan negara dalam
menyelesaikan permasalahan sosial ini adalah dengan desentralisasi sebagai
wujud pengakuan pada peranan sektor privat yang telah memberikan peluang
besar bagi sektor ini untuk menyumbangkan resources yang dimilikinya guna
menyelesaikan masalah sosial ini. Dengan kata lain, CSR sebagai wujud
keterlibatan sektor privat dalam memberdayakan masyarakat miskin yang
berakibatkan terbebasnya warga dari permasalahan sosial.
Tetapi program CSR di Indonesia masih terbatas pada realisasi program
charity yang belum mampu memberdayakan masyarakat miskin. Keterbatasan
kontribusi tersebut disebabkan motif realisasi program CSR untuk meredam
konflik dengan masyarakat sekitar dan karena program tersebut belum melibatkan
masyarakat pada setiap tahapan pelaksanaan program. Banyak perusahaan yang
telah beroprasi di Indonesia tetapi belum merealisasikan program CSR. Walaupun
pada periode sekarang dan mendatang telah ada keterbukaan sistem politik yang
memberikan peluang bagi masyarakat untuk menyampaikan aspirasinya termasuk
menuntut realisasi program CSR. Perusahaan yang takut terjadi konflik dengan
Pada saat yang bersamaan, pendekatan yang digunakan oleh perusahaan belum
mampu memberikan kontribusi yang nyata dalam memberdayakan masyarakat.
Beberapa faktor yang mempengaruhi implementasi CSR bidang lingkungan
di Indonesia antara lain dalam Petunjuk Pelaksanaan CSR Bidang Lingkungan
(2012: 11) adalah:
1. Komitmen pimpinan perusahaan. Perusahaan yang pimpinannya tidak tanggap dengan masalah-masalah sosial dan lingkungan, kecil kemungkinan akan mempedulikan aktifitas-aktifitas sosial dan lingkungan.
2. Ukuran dan kematangan perusahaan. Perusahaan besar dan mapan lebih mempunyai potensi memberikan kontribusi ketimbang perusahaan kecil dan belum mapan. Namun, bukan berarti perusahaan mengengah, kecil, dan belum mapan tersebut tidak dapat menerapkan CSR bidang lingkungan.
3. Regulasi dan sistem perpajakan yang diatur pemerintah. Semakin banyak regulasi dan penetapan pajak yang membebani perusahaan akan mengurangi ketertarikan perusahaan dalam mengalokasikan dana CSR nya. Sebaliknya, semakin kondusif regulasi atau semakin besar insentif pajak yang diberikan, akan lebih berpotensi memberi semangat kepada perusahaan untuk berkontribusi lebih kepada masyarakat dan lingkungan melalui penerapan CSR.
Besarnya pendanaan untuk melaksanakan CSR bisa diukur berdasarkan
kesepakatan dengan warga setempat ataupun juga dana yang diambil dari
sebagian margin keuntungan. Naiknya jumlah dana CSR disebabkan oleh semakin
terbukanya perusahaan melaporkan dana yang disisihkan untuk CSR.
Pelaksanaannya pun harus disesuaikan dengan Pedoman Penerapan CSR.
Menurut Untung (2009: 22), kewajiban untuk melakukan CSR dalam UU
Perseroan sebaiknya diimbangi insentif berupa pengurangan pajak. Jika tidak ada
insentif pajak perusahaan bisa menempuh berbagai cara agar kewajiban tersebut
jika ada insentif sebagai imbangan, CSR tersebut tentunya akan dilaksanakan
dengna baik dan benar.
Tanggung jawab sosial umumnya bermanfaat untuk memberdayakan
masyarakat yang dilihat dari sisi perusahaan. Tetapi alasan yang lain dari
pelaksanaan CSR adalah agar kedepannya operasional perusahaan berjalan lancer
tanpa gangguan. Hubungan antara perusahaan dan masyarakat harus dibina
dengan baik agar tidak ada masalah yang timbul di kemudian hari. Pelaksanaan
program CSR belum benar-benar diterima oleh masyarakat maka masih banyak
perusahaan yang tidak terlalu memperhatikan program CSR.
Menurut Untung (2009: 6) manfaat CSR bagi perusahaan, sebagai berikut:
a. Mempertahankan dan mendongkrak reputasi serta citra merek perusahaan
b. Mendapatkan lisensi untuk beroprasi secara sosial c. Mereduksi risiko bisnis perusahaan
d. Melebarkan akses sumber daya bagi operasional usaha e. Membuka peluang pasar yang lebih luas
f. Mereduski biaya (misalnya terkait dampak pembuangan limbah) g. Memperbaiki hubungan dengan stakeholders
h. Memperbaiki hubungan dengan regulator
i. Meningkatkan semangat dan produktivitas karyawan j. Peluang mendapatkan penghargaan
Dilihat dari permasalahan ini, CSR dikaitkan dengan hal corporate
citizenship atau keberlanjutan perusahaan juga triple bottom line. Istilah ini
menggambarkan keterlibatan perusahaan dengan stakeholder dari pada hanya
keterlibata