• Tidak ada hasil yang ditemukan

Effect of Supplementation Organic Selenium and Vitamin E in Commercial Diets on Reproduction of Quails

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2017

Membagikan "Effect of Supplementation Organic Selenium and Vitamin E in Commercial Diets on Reproduction of Quails"

Copied!
114
0
0

Teks penuh

(1)
(2)

SURAT PERNYATAAN

Dengan ini saya menyatakan bahwa tesis yang berjudul :"Efektivitas Suplementasi Selenium (Se) Organik dan Vitamin E dalam Ransum Komersial terhadap Reproduksi Puyuh" adalah benar hasil karya saya sendiri dengan arahan dari komisi pembimbing dan belum pernah dipublikasikan kepada jurnal ilmiah manapun. Sumber data dan informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan maupun tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan daiam teks dan dicantumkan dalam Dafiar Pustaka di bagian akhir tesis ini.

Bogor, April 2007

Filri Nova Liya Lztbis

(3)

EFEKTIVITAS SWLEMENTASI SELENIUM ORGANIK DAN VITAMIN E DALAM RANSUM KOMERSIAL

TERHADAP REPRODUKSI PUYUH'

(Effect of Supplementation Organic Selenium

and Vitamin E in Commercial Diets on Reproduction of Quails)

This study was aimed to determine the effect of supplementation of Se organic and vitamin E in commercial diets on consumption, egg production, fertility, hatchability and progeny performances. The treatments were supplementation of Se organic (SI = 0.5 ppm and S2 = 1 ppm) and vitamin E (El = 50 ppm dan E2 = 100 ppm) in different commercial diets (P and G). Four hundred twenty female and male quails (ratio 1 : 1) aged 3 weeks old were divided into 10 treatment groups with 3 replicates. Each replicate consisted of 14 quails

.

Two groups as control consisted of two kinds of commercial diets (P and G) without supplementation of Se organic and vitamin E. The eight remaining groups were the groups given the combinations of Se organic and vitamin E at different levels in P and G diets. The results showed that the level of Se organic and vitamin E at 0.5 ppm Se and 100 ppm vitamin E in the two commercial diets significantly (p<0.05) improved the egg production as compared to the control groups. Meanwhile, all the treatments increased the Se and vitamin E content in egg and blood and increased the GSH-Px activities in blood and liver. The Supplementation of Se organic and vitamin E at 1 ppm Se and 100 vitamin E in the two commercial diets significantly (p<0.05) improved fertility, hatchability, hatched weight, mortality, body weight gain and feed conversion of progeny. From this study it was concluded that the supplementations of Se organic and vitamin E in the diets improved reproduction of the quails which were reflected on fertility, hatchability, hatched weight and decreased the mortality number of the progeny. The supplementations of Se organic and vitamin E in the diets improved egg quality, it showed with the bigger egg, higher Se and vitamin E content in the egg.
(4)

8 Hak cipta milik Institut Pertanian Bogor, tahun 2007 Hak cipta dilindungi

Dilarang mengutip dun menzperbanyak tanpa izin tertzrlis dari

(5)

EFEKTIVITAS SUPLEMENTASI SELENIUM ORGANIK

DAN VITAMIN E DALAM RANSUM KOMERSIAL

TERHADAPREPRODUKSIPUYUH

FITRI NOVA LIYA LUBIS

Tesis

Sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Magister Sains pada

Program Studi Ilmu Ternak

SEKOLAH PASCASARJANA

INSTITUT PERTANIAN BOGOR

(6)

Judul Tesis : Efektivitas Suplementasi Selenium Organik dan Vitamin E dalam Ransum Komersial terhadap Reproduksi Puyuh

Nama : Fitri Nova Liya Lubis

NRP : D 051034021

Program Studi : Ilmu Ternak

Disetujui

Komisi Pembimbing

,1..

-

-0

Prof. Dr. Ir. Wiranda G ~ilia%. M.Sc. Dr. drh. Tutv Laswardi Yusuf. M.S.

Ketua Anggota

Ketua Program Studi

(7)

Puji dan syukur penulis panjatkan kehadirat Allah SWT atas segala rahmat dan karunia-Nya, sehingga k a y a ilmiah ini berhasil diselesaikan. Tema yang

dipilih dalam peneiitian ini adalah : Efektivitas Suplementasi Selenium (Se) Organik dan Vitamin E dalam Ransum Komersial terhadap Reproduksi Puyuh

Ucapan terima kasih penulis sampaikan kepada Ibu Prof. Dr. Ir. Wiranda

G Piliang, M.Sc. dan Ibu Dr. drh. Tuty Laswardi Yusuf, M.S. sebagai komisi

pembimhing yang telah dengan sabar memberikan bimbingan dan saran-saran

sejak awal penelitian hingga karya ilmiah ini selesai, serta kepada Bapak Dr. Ir.

Asep Sudarman M. Rur.Sc sebagai penguji luar komisi.

Terima kasih yang setinggi-tingginya penulis sampaikan kepada Ayahanda

Amrin Lubis dan Ihunda Susyatini tercinta, terkasih dan tersayang atas semua

pengorhanan, kesabaran, doa juga kasih sayangnya. Terima kasih kepada kakakku

Ika, adikku Popo, Dedi, Rizki, Mas Syahrir serta semua keluarga yang telah

memberikan motivasi dan doanya. Kepada teman-teman terbaikku Ratna, Ibu

Lanjarsih, Pak Amir, Ika, Diah, Kemala, Daud, Pak Rusdin, Eni, Reni, Mbak Messi dan Rahmi. Teman-teman PTK 2003 dan PTK 2004 serta semua pihak

yang telah banyak membantu penulis selama penelitian.

Terima kasih juga penulis sampaikan kepada Bapak Isra Noor, D.V.M

dari PT Alltech dan Bapak Suredi dari PT BASF yang telah memberikan bantuan

selenium organik dan vitamin E sehingga penelitian ini dapat terselesaikan.

Terima Kasih.

Semoga karya ilmiah ini bermanfaat untuk perkembangan ilmu

pengetahuan.

Bogor, April 2007

(8)

RIWAYAT HIDUP

Penulis dilahirkan di Kisaran pada tanggal 5 Desember 1980 dari

Ayahanda Amrin Lubis dan lbunda Susyatini sebagai anak ke dua dari lima

bersaudara

Penulis lulus sebagai Sarjana Peternakan, Program Studi Produksi Ternak

di Universitas Andalas, Padang, Sumatera Barat pada Oktober 2002. Pendidikan lanjutan ditempuh pada Sekolah Pascasarjana di Institut Pertanian Bogor, Program

(9)

DAFTAR

IS1

Halaman

PRAKATA

..

DAFTAR TABEL

...

11

...

DAFTAR GAMBAR

...

111

DAFTAR LAMPIRAN

...

iv

PENDAHULUAN

...

1

Latar Belakang

. .

...

1

Tujuan Penel~t~an

. .

...

3

...

Manfaat Penel~t~an 3

...

TINJAUAN PUSTAKA 4 Burung Puyuh

. .

...

4

Fert~l~tas dan Daya Tetas

...

6

Peranan Nutrisi Selenium dan Vitamin E

...

6

Selenium Organik dan Inorganik

...

9

Metabolisme Selenium Organik dan Inorganik

...

12

Vitamin E

...

14

Metabolisme Vitamin E

...

15

Selenium dan Vitamin E sebagai Antioksidan

...

15

Peranan Selenium dan Vitamin E pada Embrio

...

20

MATERI DAN METODE PENELITIAN

...

22

. .

Tempat dan Waktu Peneht~an

.

.

...

22

Materi Penelit~an

.

...

24

.

Metode Penel~t~an

.

...

.

24

Rancangan Penel~t~an

...

25

Peubah yang Diukur

...

26

HASIL DAN PEMBAHASAN

...

32

Umur mulai bertelur

...

32

Konsumsi ransum

...

33

Produksi telur

...

35

Konversi

...

38

Panjang saluran reproduksi

...

40

...

Berat hati 41 Berat otak

...

42

Selenium otak

...

43

Selenium darah

...

45

Selenium hati

...

46
(10)

Vitamin E darah

...

48

...

Vitamin E telur 49 Aktivitas enzim glutathione darah

...

51

Aktivitas enzim glutathione hati

. .

...

52

Fert~htas

...

53

Daya tetas

...

55

Bobot tetas

...

57

Mortalitas

...

58

Konsumsi anak

...

61

Pertambahan bobot badan anak

...

62

Konversi

...

64

PEMBAHASAN UMUM

...

65

SIMPULAN

...

67

DAFTAR PUSTAKA

...

69
(11)

DAFTAR TABEL

Nomor Halaman

1

.

Kandungan nutrisi telur puyuh

...

5

. .

. .

2

.

Komposisi nutrisi ransurn kontrol

...

24

...

3

.

Perlakuan suplementasi selenium dan vitamin E 25

. .

. .

4

.

Komposisi nutrisi ransum anak

...

30

...

(12)

DAFTAR GAMBAR

Halaman

1

.

Keseimbangan antioksidan dan prooksidan pada organisme

...

7

2

.

Mekanisme transportasi dan absorbsi selenium

...

12

3

.

Metabolisme selenium di dalam tubuh

...

13

4

.

Level pertahanan antioksidan di dalam sel

...

18

5 Hubungan antara selenium dan vitamin E pada proses embriogenesis

...

21

. .

6

.

Alur penelltlan

...

23

7

.

Umur mulai bertelur dengan suplementasi Se dan vitamin E

...

32

8

.

Konsumsi (glekor) dengan suplementasi Se dan vitamin E

...

34

9

.

Produksi telur Hen Day (%) dengan suplementasi Se dan vitamin E

...

35

10

.

Produksi telur (gram) dengan suplementasi Se dan vitamin E

...

38

1 1

.

Konversi ransum dengan suplementasi Se dan vitamin E

...

39

12

.

Panjang oviduct (cm) dengan suplementasi Se dan vitamin E

...

40

13

.

Berat hati (gram) dengan suplementasi Sedan vitamin E

...

42

...

14

.

Berat otak (gram) dengan Suplementasi Se dan vitamin E 43 15

.

Kadar Se otak dengan suplementasi Se dan vitamin E

...

44

16

.

Kadar Se darah dengan suplementasi Se dan vitamin E

...

45

...

17

.

Kadar Se hati dengan suplementasi Se dan vitamin E 46

...

18

.

Kadar Se telur dengan suplementasi Se dan vitamin E 47 19

.

Kadar vitamin E darah dengan suplementasi Se dan vitamin E

...

49

...

20

.

Kadar vitamin E telur dengan suplementasi Se dan vitamin E 50 21

.

Aktivitas GSH-Px darah dengan suplementasi Se dan vitamin E

...

51

22

.

Aktivitas GSH-Px Hati dengan suplementasi Se

. .

dan vltamln E

...

52
(13)

25

.

Bobot tetas DOQ dengan suplementasi Se dan vitamin E

...

57

26

.

Mortalitas anak selama I minggu

...

27

.

Konsumsi anak (gram/ekor/4minggu)

...

61

28

.

Pertambahan Bobot Badan (gr/ekor/4minggu)

...

63
(14)

DAFTAR LAMPIRAN

1. Analisa ragam dan uji lanjut Duncan pada umur mulai bertelur

...

78

2. Analisa ragam dan uji lanjut Duncan pada konsumsi

produksi telur dan konversi

...

80

3. Analisa ragam dan ilji lanjut Duncan pada panjang

saluran reproduksi, berat hati dan berat otak

...

85 4. Analisa ragam dan uji lanjut Duncan pada fertilitas,

daya tetas dan bobot tetas

...

88

5. Analisa ragam dan uji lanjut Duncan pada

mortalitas selama 2 minggu

...

94

6 . Analisa ragam dan uji ianjut Duncan pada konsumsi

(15)

PENDANULUAN

Kebutuhan akan protein hewani yang semakin meningkat maka

dibutuhkan usaha-usaha untuk meningkatkan produksi ternak. Puyuh merupakan

salah satu komoditi ternak yang diandalkan untuk memenuhi kebutuhan protein

hewani tersebut. Hal ini disebabkan karena puyuh menghasilkan telur konsumsi

yang mempunyai nilai gizi yang tinggi, tidak kalah dengan telur unggas lainnya,

telur puyuh mengandung protein 13.1% dan lemak 11.1%, dengan kandungan protein yang tinggi dan kadar lemak rendah tersebut maka telur puyuh sangat baik

dikonsumsi oleh orang-orang yang sedang diet kolestrol. Daging puyuh juga dapat

dikonsumsi dengan kandungan protein 21.10% dan lelnak hanya 7.7%. Dipandang dari segi ekonomi, di setiap umur puyuh mempunyai nilai jual yang

cukup tinggi, dari telur konsumsi, telur tetas, hingga bibit dan afiirannya.

Disamping itu puyuh cepat menghasilkan telur dengan produksi yang cukup

tinggi, di mana puyuh betina sudah mampu menghasilkan telur pada umur 41 hari

dengan produksi 250-300 butir telur pertahun. Keunggulan lainnya adalah cara

pemeliharaannya mudah. Karena itu perlu dilakukan upaya untuk meningkatkan

populasi puyuh melalui peningkatan reproduksi.

Peningkatan fertilitas dan daya tetas merupakan peningkatan reproduksi

puyuh dalam upaya mempekahankan dan meningkatkan populasi puyuh. Beberapa faktor mempengaruhi upaya ini, yailu faktor genetik dan faktor

lingkungan. Salah satu faktor lingkungan yang sangat berpengaruh terhadap

reproduksi adalah faktor makanan, selain itu penggunaan pejantan yang seimbang

dalam sekelompok induk juga ikut berpengaruh.

Kehidupan embrio puyuh berada di luar tubuh induk dan sangat

bergantung pada kondisi telur karena kebutuhan embrio akan makanan

bergantung pada ketersediaan zat-zat makanan dalam telur yang merupakan

sumber makanan embrio. Oleh karena itu komposisi nutrisi telur tetas yang baik

akan mendukung perkembangan embrio. Kandungan zat gizi telur sangat tergantung pada kandungan zat gizi dalam pakan yang dimakan oleh induk,

sehingga pemberian pakan induk yang baik akan menghasilkan

(16)

merupakan komponen zat gizi pakan yang sangat dibutuhkan dan berpengaruh terhadap reproduksi puyuh dan komposisi yang sesuai

dengan kebutuhan ternak akan dapat meningkatkan reproduksi ternak.

Selenium merupakan kelompok trace mineral, yang penting untuk pertumbuhan dan reproduksi. Se berinteraksi dengan vitamin E sebagai nutrisi

antioksidan yang berperan meningkatkan fertilitas, perkembangan embrio dan

daya tetas telur serta meningkatkan daya tahan bidup anak yang baru menetas,

sehingga menurunkan kematian. Selenium dibedakan dalam dua bentuk yaitu

organik dan inorganik. Se organik memiliki potensi biologis 50% lebih besar dari

Se inorganik karena konsentrasi Se organik pada jaringan dideposit lebih besar

dibandingkan dengan Se inorganik (McDowell 1992). Transfer Se organik dari

makanan induk ke telur dan jaringan embrio lebih efisien dibandingkan Se

inorganik dan berperan memperbaiki pertahanan antioksidan anak yang baru

menetas sehingga akan meningkatkan daya tahan hidup anak. Disamping itu Se

organik dapat memperbaiki kualitas telur dan tidak toksik (Surai 2003). Namun

demikian Se kalau diberikan terlalu banyak atau sebaliknya terlalu sedikit akan

menimbulkan kerugian produksi peternakan karena itu dibutuhkan level optimum

yang mendukung peningkatan reproduksi. Rekomendasi National Research

Council (NRC) (1994) ternak puyuh bibit membutuhkan selenium 0.2 mg/kg

ransum.

Berdasarkan hal-ha1 di atas maka dilaksanakanlah penelitian tentang

reproduksi puyuh yang diberi suplementasi mineral selenium organik dan vitamin

E dalam ransum. Suplementasi Se organik dan vitamin E sampai level tertentu

diharapkan akan meningkatkan reproduksi bempa fertilitas dan daya tetas telur

Tujuan Penetitian

Penelitian ini bertujuan untuk membuktikan efektivitas suplementasi

selenium organik dan vitamin E terhadap: (1) umur mulai bertelur, produksi telur,

fertilitas dan daya tetas. (2) Kandungan selenium hati, otak, darah dan telur. (3)

(17)

Manfaat Penelitian

Hasil penelitian ini diharapkan dapat menyumbangkan tambahan informasi

dalam pengembangan ilmu petemakan terutama tentang reproduksi ternak puyuh

yang diberi pakan dengan suplementasi mineral selenium organik dan vitamin E

Hipotesis Penelitian

Suplementasi selenium organik dan vitamin E dalam ransum dapat meningkatkan:

1. Produksi telur, fertilitas dan daya tetas.

2. Kandungan selenium dan vitamin E telur

(18)

TINJAUAN PUSTAKA

Burung Puyuh

Bangsa burung puyuh hampir terdapat diseluruh belahan dunia yaitu benua

Amerika, Eropa, Afrika, Asia sampai Australia (Woodard et al. 1973). Dikatakan pula bahwa burung puyuh termasuk genus Cotzrrnix dari family Phasianidae. Di

Indonesia burung puyuh yang biasa dipelihara adalah Coturnix-coturnix japonica.

Wilson et al. (1961) mengatakan bahwa burung puyuh betina mulai

bertelur pada umur 35 hari (rata-rata 40 hari) dan berproduksi penuh pada umur

50 hari. Dalam lingkungan yang sesuai puyuh berproduksi dalam periode yang

lama, menghasilkan telur rata-rata 250 butir pertahun. Puyuh mampu

menghasilkan 3 sampai 4 generasi dalam satu tahun. Menurut Yuwanta (1998)

produksi telur ditentukan oleh produksi ovum, dan produksi ovum ditentukan oleh

jumlah pakan yang dikonsumi. Produksi telur yang tinggi sampai akhir produksi dapat dicapai dengan memberikan makanan yang berkualitas baik yang sesuai

dengan kebutuhan. Sedangkan Woodard et al. (1973) mengemukakan bahwa

waktu untuk pertama kali bertelur pada burung puyuh dicapai pada umur sekitar

42 hari, dimana dewasa kelamin lebih cepat dicapai oleh puyuh betina namun

dewasa tubuh lebih cepat oleh puyuh jantan. Kemudian dikatakan bahwa

kematangan seksual puyuh dicapai pada pakan yang mengandung 25% protein sedangkan pada level 20% protein diperoleh produksi, fertilitas dan daya tetas

telur yang optimal, disamping itu puyuh juga membutuhkan beberapa trace

element seperti zinc, selenium dan magnesium.

Fertilitas optimum diperoleh dari perkawinan rasio I jantan dengan 1 atau

2 betina, fertilitas yang rendab dengan rasio perkawinan yang tinggi disebabkan

oleh preferensi tingkah laku kawin (Woodard dan Abplanalp, 1967). Selama

penyimpanan daya tetas telur menurun secara konstan sekitar 3% perhari.

(19)
[image:19.556.89.473.65.525.2]

Tabel 1 Kandungan nutrisi telur puyuh (Riana 2000)

Nutrisi Komposisi/100 g

Energi (kcal) 158.44

Protein (mg) 663

Air (mg) 74.35

Total lemak (mg) 13.05

Karbohidrat (mg) 11.09

Serat (mg) 0

Mineral

Phospor (mg) 226

Sodium (mg) 141

Kalsium (mg) 64

Magnesium (mg) 12.53

Besi (mg) 3.65

Seng (mg) 1.47

Tembaga (mg) 0.06

Mangan (mg) 0.03

Selenium (mcg) 32

Vitamin

Vitamin C (mg) 0

Vitamin A IU 300 0.74

Vitamin E (mg) 0.13

Thiamin (mg) 0.79

Riboflavin (mg) 0.15

Niacin (mg) 1.76

Asam pantothenic (mg) 66.3

Folate (mg) 0.15

Vitamin B6 (mg) 1.58

Vitamin B12 (mg)

Umur induk berpengaruh terhadap daya tetas, dimana daya tetas telur

maksimum terjadi pada umur induk 8-24 minggu (Woodard ef al. 1973). Selanjutnya dijelaskan bahwa kematian sebagian besar embrio puyuh terjadi

selama 3 hari pertama inkubasi dan sesaat sebelum menetas. Puncak kematian

umumnya disebabkan ketidakmampuan embrio berkembang membentuk organ

(20)

meliputi: pertukaran posisi embrio sebelum pipping (pemecahan kerahang),

pemanfaatan sisa albumen dan penyerapan kantong kuning telur.

Woodard dan Wilson (1963) menyebutkan bahwa Telur puyuh

mempunyai karakteristik pola warna yang bervariasi mulai dari coklat gelap, putih kekuningan dengan corak wama hitam, coklat atau bim. Telur puyuh pertama

lebih kecil dibandingkan dengan telur puyuh berikutnya. Kemudian Mohmond

dan Coleman (1967) melaporkan bahwa proporsi relatif dari telur puyuh adalah

47.4% albumen, 31.9% kuning telur, 20.7% memhran dan kerabang telur,

sedangkan ketebalan kerabang dan membran adalah 0.197 dan 0.063 mm. Berat

rata-rata telur puyuh 10 gram (sekitar 8% dari bemt tubuh betina).

Fertilitas dan Daya tetas

Fertilitas telur dipengaruhi oleh banyak faktor antara lain adalah kualitas

sperma, kualitas ransum dan umur induk (North dan Bell 1990; Funk dan Irwin

1955). Fertilitas akan menurun apabila induk dan pejantan puyuh telah berusia

lebih dari enam bulan (Woodard dan Abplanalp 1967)

North dan Bell (1990) mengemukakan bahwa ada 2 pengertian daya tetas,

yang pertama adalah persentase telur yang menetas dari sejumlah telur yang

ditetaskan. Kedua adalah persentase telur yang menetas dari telur yang fertil.

Banyak faktor yang dapat mempengaruhi daya tetas, diautaranya adalah umur

telur atau lamanya penyimpanan telur (Fasenko et al. 1992), dan ukuran telur

(Tullet dan Burton 1982). Imbangan antara jantan dan induk juga akan

mempengaruhi daya tetas (McDaniel et al. 1981), kualitas jantan ikut berperan

dalam daya Letas. Inovasi dalam manajemen penetasan dan teknologi penetasan

berkaitan erat dengan mortalitas embrio (Roque dan Soares 1994).

Peranan Selenium (Se) dan Vitamin E

Bowie and O'Neill (2000) menyatakan bahwa keseimbangan antioksidan

dan prooksidan merupakan unsur penting dalam pembentukan gen. Selanjutnya dikatakan bahwa keseimbangan antioksidan merupakan salah satu jalan untuk

memelihara efisiensi produksi dan reproduksi pada temak. Gambar 1 menjelaskan

keseimbangan antioksidan-prooksidan di mana selenium dan vitamin E sebagai

(21)

Pertahanan Antioksidan Kondisi Stres

Antioksidan dalam pakan Se ,Mn Faktor

(Vitamin A, E, C, Carotenoid, Zn, Cu nutrisi Toksik, PUFA tinggi Flavonoid

1

1

Defistensi vitamin E Se, Mn, Zn,kelebihan Fe Pakan optimum

7

Kondisi Lingkungan Optimun

I

Pencegahan penyakit dan pengobatan dengan antibotik dan obat-obatan lain

I

Lingkungan

r

Temperature,

Kelembaban, radiasi ultraviolet etc

Internal Penyakit, bakteri, virus, alergi

Vitamin A,E,C, Carotenoid, Glutathione, transpor elehon, phagosit,

asam urea, Enzim antioksidan (SOD,GSH- oksidasi xantin Px, Catalase)

I

I

Kerusakan membran

+

.

C

Penurunan kualitas hidup

Kemunduran cita rasa susu Peroksidasi lemak,

9

1

+--- kerusakan lemak Penurunan absorsi Sistem antioksidan organisme

Ketidakmampuan

J

DNA

nutrisi

sistem kekebalan

1

Ketidakseimbangan nutrisi

I

Pembentukan radikal

C

Merugikan terhadap pembuluh

4

darah, hati,otak,syaraf dan sistem

----.-

Produksi dan Performance [image:21.559.87.493.57.556.2]

otot reproduksi buruk.

Gambar 1 Keseimbangan antioksidan-prooksidan pada organisme (Surai 2003)

Jaeschke (1995) menyebutkan bahwa kondisi stres berhubungan dengan

produksi radikal bebas yang menyebabkan stres oksidasi, dan keseimbangan

prooksidan-antioksidan berpotensi mengakibatkan kerusakan jaringan.

Selanjutnya Dalton et al. (1999) menerangkan bahwa berbagai kondisi stres merangsang pembentukkan radikal bebas yang disebabkan penurunan rangkaian

(22)

kerusakan elektron dan produksi radikal superoksida yang berlebihan. Kondisi stres secara umum dibagi kedalam tiga kategori utama. Kategori terpenting adalah

stres nutrisi meliputi level tinggi asam lemak polyunsaturated pada pakan, defisiensi vitamin E, Selenium, Zinc atau mangan, kelebihan besi, hipervitaminosis A dan kehadiran bemacam-macam racun serta komponen- komponen racun. Kelompok kedua adalah stres kondisi lingkungan seperti

peningkatan temperatur, kelembapan, radiasi dan lain-lain. Kategori ketiga yaitu

stres internal yang disebabkan oleh bermacam-macam bakteri atau virus

penyebab penyakit. Selain itu penetasan, anak yang berada pada inkubator sesaat

setelah menetas, pengangkutan dari inkubator ke kandang serta vaksinasi dapat

meningkatkan stres.

Produksi radikal bebas melebihi kapasitas sistem antioksidan untuk

menetralkan peroksida lemak mengakibatkan kerusakan lemak tak jenuh pada sel membran, asam amino pada protein dan nukleotida pada DNA. Sebagai basilnya

keutuban sel dan membran terganggu (Surai 1999). Kerusakan membran dapat

mengakibatkan penurunan efisiensi absorbi nutrisi (meliputi vitamin larut dalam

air) dan menimbulkan ketidakseimbangan vitamin, asam amino dan Inorganik.

Keadaan ini mengakibatkan penurunan produksi dan penampilan reproduksi, kondisi ini semakin memburuk dengan penurunan kekebalan dan perubahan pada

Cardiovascular, otak, saraf dan otot disebabkan peningkatan peroksida lemak.

Surai (2003) mengatakan bahwa konsumsi nutrisi antioksidan pada pakan

dapat memelihara status antioksidan alami ternak. Selanjutnya dijelaskan bahwa penyediaan optimal selenium organik (Se) dengan kombinasi vitamin E

memperbaiki stres dan daya tahan terhadap penyakit sebagai hasilnya performa

produksi dan reproduksi meningkat. Kerja Se berhubungan erat dengan antioksidan lainnya terutama vitamin E, manfaat selenium pada dasmya

terbentuk dari interaksi dengan vitamin E. Menurut Wilson (1997), dalam

perkembangan embrio vitamin E dan selenium saling berinteraksi. Selanjutnya

MacPherson (1994) menyatakan bahwa aktivitas Se dan vitamin E bekeja secara

sinergis sebagai antioksidan utama menghilangkan radikal lemak, radial bebas

oksigen atau metabolit reactive oksigen yang merupakan bagian yang penting dari

(23)

penyakit bila pola mekanisme pertahanannya berlebihan. Sitompul (2003)

menjelaskan bahwa peran antioksidan diartikan sebagai suatu fungsi homeostatis

dari organisme untuk menanggulangi akibat kerusakkan sel, jaringan dan organ

akibat pengaruh radikal bebas.

Selenium dapat menghemat atau mengurangi kebutuhan vitamin E dengan

liga cara: (1) menjaga fungsi pankreas, yang membuat pencemaan lemak normal

sehingga penyerapan vitamin E lebih baik; (2) menurunkan jumlah vitamin E

yang dibutuhkan untuk menjaga keutuhan membran lemak melalui GSH-Px; (3)

membantu retensi vitamin E dalam plasma darah (Scott et al. 1982). Selanjutnya dikatakan bahwa vitamin E dapat mengurangi kebutuhan selenium dengan cara:

(1) mencegah hilangnya selenium dari tubuh dengan jalan mempertahankan

selenium dalam tubuh dalam bentuk aktif; (2) mencegah terjadinya rantai oto-

oksidasi yang reaktif dalam membran sehingga menghambat produksi

hidroperoksida.

Selenium Organik dan Inorganik

Selenium suatu unsur semilogam (metalloid) yang mempunyai sifat-sifat

kimia mirip dengan sulfur. Selenium mempunyai nomor atom 34 dan berat atom 78.96. (McDowell 1992). Dalam beberapa nomor senyawa, Se menggantikan S

atau Se ditemukan sebagai kompleks dengan S melalui ikatan kovalen koordinat

(Scott et al. 1982). Mineral Se dapat direduksi menjadi bentuk oksidasi -2

(selenida) atau dioksidasi menjadi bentuk reduksi +4 (selenit) atau +6 (selenat)

(McDowell 1992). Se mempunyai dua bentuk asam yaitu selenious (HzSe03) dan

selenic (H2Se04), dimana dalam bentuk garamnya berturut-turut adalah selenit

dan selenat (Georgievskii 1982). Tanaman dan mikroorganisma dapat mengganti

S dalam sistein dan methionine dengan Se dengan demikian menghasilkan

selenosistein dan selenomethionin (Scott et al. 1982).

Selenium secara kimiawi mempunyai 2 bentuk, organik dan inorganik.

Selenium inorganik dapat ditemukan dalam bentuk logam selenit, selenat dan

selenide. Sebaliknya dalam unsur sayuran selenium merupakan bagian dari asam-

asam amino meliputi methionine dan sisteine yang menggantikan sulfur. Di alam

ternak menerima selenium terutama dalam bentuk organik (Surai 1999).

(24)

sumber utamanya terdapat pada selenium tumbuhan (Levander 1986). Total

selenium di dalam tumbuhan dan biji-bijian 50-80% merupakan selenoaminoacid

yang terikat didalam protein sebagai Selenomethionin dan selenosistine (Butler

dan Peterson 1967).

Keterbatasan penggunaan selenium inorganik adalah dapat bersifat racun,

penyimpanan rendah, efisiensi transfer ke susu dan daging rendah dan

kemampuan untuk mempertahankan cadangan selenium tubuh rendah, sehingga

sebagian besar dari selenium yang dikonsumsi akan diekskresikan (Surai 1999).

Selenomethionin tidak dapat disintesis dari selenit atau selenat pada temak, tetapi selenosistein dapat ditemukan pada tubuh ternak yang mengkonsumsi selenium

inorganik seperti selenit dan selenat, ha1 ini disebabkan karena selenosistein

tergabung didalamnya sintesis glutathione dan selenoprotein lainnya (Sunde

1990). Unggas tidak dapat mensintesis sistein sehingga Selenomethionin

dibutuhkan untuk konversi Selenomethionin menjadi selenosistein.

Selenomethionin berubah menjadi selenosistein melalui enzim sistothionase

(Esaki et al. 1981). Lebih lanjut Sunde (1990) memaparkan, selenosistein dapat

menggantikan sistein pada banyak protein, agar selenosistein dapat bergabung

kedalam selenoprotein maka dibutuhkan reaksi selenosistein-P-lyase. Arthur (1997) mengatakan bahwa selenium organik harus berubah dari bentuk dasar

organik kedalam bentuk inorganik dan kemudian kembali lagi kedalam bentuk

organik untuk memenuhi fungsi biologisnya dalam sintesis selenoprotein.

Kemudian Hawks et al. (1985) menambahkan bahwa 30-80% dari selenium

didalam tubuh adalah selenosistein. Selenosistein adalah asam amino yang sangat

penting dalam sintesis sitosolik glutathione peroksidase (Rotruck et al. 1973).

Pada umumnya deposit Se dalam jaringan mempunyai konsentrasi lebih tinggi

bila Se tersedia dalam bentuk organik dibandingkan dalam bentuk inorganik

(McDowell 1992).

Kelebihan selenium organik dibandingkan dengan selenium inorganik

menurut Surai (2003) adalah dapat berakumulasi pada jaringan dalam

menyediakan cadangan selenium. Cadangan selenoarninoacid akan digunakan

pada kondisi shes untuk sintesis selenoprotein dan mengatasi pengaruh buruk

(25)

embrio dapat memperbaiki pertahanan antioksidan anak yang baru menetas dan

meningkatkan resistensi terhadap penyakit serta memperbaiki daya tahan hidup

anak. Transfer Se ketelur dan daging lebih efektif sehingga menghasilkan produk

ternak yang dapat dikonsumsi kaya kandungan Se. Se organik memiliki sifat antioksidan sedangkan Se inorganik bersifat prooksidan dapat memicu

pembentukan superoksida dan stres oksidasi melalui reaksi reduksi dengan

glutathion. Selenomethionin (Selenomethionin) relatif tidak toksik, tidak katalitik

dan tidak menghasilkan superoksida (Steward et al. 1999). Selenomethionin menyebabkan respon perbaikan DNA dan melindungi fibroblast dari kerusakan

DNA (Seo et al. 2002). Sementara itu selenit dan selenat meningkatkan oksidasi

elektron dan pernutusan rantai DNA (Sugiyama et al. 1987; Snyder 1988; Milligan et al. 2002). Selenomethionin dipertimbangkan sebagai antioksidan yang sangat kuat melindungi kerusakan sel dari pengaruh peroksinitrit.

Selenoaminoacid ini secara langsung terlibat dalam garis ketiga dari pertahanan

antioksidan (Sies et a1 1998.

Groof dan Sareen (1999) mengemukakan bahwa duodenum merupakan

tempat utama penyerapan selenium, sedangkan pada jejenum maupun ileum

penyerapan terjadi sangat sedikit. Se inorganik merupakan mineral jarang yang diabsorbsi secara pasif. Selama absorbsi Se inorganik direduksi membentuk

selenid dan untuk memudahkan absorbsi perlu oksidasi tinggi, selanjutnya Se

berikatan dengan protein plasma yang kemudian ditranspor ke hati untuk menjadi

bagian dari cadangan Se dalam pembentukan selenoprotein. Selenoaminoacid

diabsorbsi secara aktif melalui mekanisme transpor asam amino dan langsung

Inenyebar diseluruh tubuh melalui darah dan ditranspor ke hati, selanjutnya

berubah kedalam bentuk aktif selenoprotein atau langsung ke jaringan untuk

bergabung kedalam protein jaringan. Masuknya Se organik kedalam sintesis

protein jaringan akan meningkatkan penyimpanan selenium, sehingga kandungan

selenium jaringan meningkat. Pada tingkat seluler, daur ulang protein tubuh

berlangsung terus menerus, perombakan protein terjadi pada proteosom dan

sintesis kembali di dalam ribosom (Combs dan Combs 1986).

Selenomethionin diabsorbsi lebih efektif dibandingkan dengan selenit,

(26)

dengan absorbsi selenosistein. Sedangkan absorbsi selenit antara 44-70%, selenat

diabsorbsi lebih baik dibandingkan selenit. Faktor-faktor yang meningkatkan

absorbsi selenium termasuk Vitamin C, A dan E (Groof dan Sareen 1999).

[image:26.556.93.467.139.496.2]

Mekanisme transporlasi dan absorbsi selenium dalam tubuh diilustrasikan pada

Gambar 2.

Selenit

E l

Absorbsi pasif

m

Se-amino acid

I)

Sistem Gastrointestinal

+

Absorbsi aktif

Reduksi

+

Ekskresi Empedu Urine Se a A T I

Gambar 2 Mekanisme transportasi dan absorbsi Se (Groof dan Sareen 1999)

Metabolisme Selenium Organik dan Inorganik

Menurut Groof dan Sareen (1999), Se organik merupakan rangkaian yang

khas untuk metabolisme karena bermanfaat untuk cadangan nutrisi yang akan

digunakan untuk sintesis protein dalam otot, reproduksi, dan jaringan lain. Sebaliknya sebagian besar Se inorganik tidak dimanfaatkan dalam pembentukkan

(27)

Di dalam jaringan hati, selenomethionin yang diperoleh dari makanan

kemungkinan akan disimpan di dalam kelompok asam amino, atau digunakan

untuk sintesis protein khususnya asam amino methionine atau dikatabolisme

menjadi Se-Adenosylmethionin (SeAm) yang akhimya menghasilkan

selenosistein dan selenosistin. Selenosistein yang diperoleh dari makanan atau

hasil dari metabolisme selenomethionin akan didegradasi oleh selenosistein

P-

lyase untuk menghasilkan selenium bebas. Selenium bebas tersebut kemudian

menempel pada transfer RNA yang berisi serin dan akhimya bergabung ke dalam

kelompok enzim-enzim selenium. Selenium yang tidak digunakan sebagai

kofaktor enzim kemungkinan disimpan untuk pemanfaatan berikutnya atau diubah

[image:27.559.75.496.301.685.2]

menjadi selenid (H2Se) dan.selenit, atau diekskresikan (Groof dan Sareen 1999). Metabolisme selenium organik dan inorganik secara skematis tersaji pada

Gambar 3.

Selenoprotein

t

C Selenomethionin

I

Darah

+

Amino acid pool

+

Se-adenosylmethionine(SeAM)

Selenosistein

7

(selenosistin)

lL

+

I

Selenosisteine

B-lyase Selenat

+

Asam amino Se

-

Selenit

Ekskresi

I

Selenodiglutathione

Methyl selenid Selenosisteine

u, Selenophosphate

Gambar 3 Metabolisme selenium di dalam tubuh (Groof dan Sareen 1999) Glutathione peroksidase

(28)

Selenat di dalam tubuh diubah menjadi selenit kemudian dimetabolisme

menjadi selenodigluthatione yang kemudian diubah menjadi selenide, selanjutnya

selenide didegradasi menjadi selenophosphat atau methylselenide yang akan

diekskresikan. Selenophosphat dimetabolisme dan kemudian menempel pada

tRNA untuk sintesis 5-deiodinase atau gluthatione peroksidase.

Vitamin E

Vitamin E baru ditemukan sekitar tahun 1922 oleh Herbert Evans (Sell

1993). Kemudian Piliang (2004) menambahkan bahwa nama vitamin E dibuat

oleh Evan (1925) yang kemudian peneliti lain yaitu Emerson mencoba memurnikan faktor tersebut dan menamakannya tocopherol yang berasal dari

bahasa Yunani (tokos = kelahiran bayi dan kata kerja pherein = membawa atau

menyebabkan). Penambahan akhiran ol pada akhir kata menunjukkan bahwa

vitamin tersebut termasuk golongan alkohol.

Vitamin E meliputi 8 komponen yang disintesis oleh tumbuh-tumbuhan.

Komponen ini dibagi menjadi 2 kelas yaitu: tocols yang mempunyai rangkaian

jenuh (saturated) dan tocotrienols (trienol) yang mempunyai rangkaian tak jenuh

(unsaturated). Masing-masing kelas tersusun dari 4 vitamer yaitu a,

P,

y, dan 6

yang memiliki karakteristik dan aktivitas biologis. Komponen yang paling aktif

adalah a-tocopherol kemudian $-tocopherol yang lebih aktif dari y dan 6

tocopherol. Sedangkan untuk tocotrienols, hanya P-tocohienols yang mempunyai

aktivitas sedikit lebih tinggi dari a-tocotrienols, sementara aktivitas y dan 6

tocotrienol tidak diketahui. Komponen lain dari vitamin E adalah a-tocopheryl

acetat (Groff dan Sareen 1994). Ekstraksi tocopherol dari minyak tumbuh-

tumbuhan menghasilkan dl-a-tocopheryl acetat. dl-a-tocopheryl acetat merupakan

sumber vitamin E terbesar untuk suplementasi (McDowel2000)

Farrel dan Robert (1994) mengemukakan bahwa secara umum vitamin E

berfungsi sebagai antioksidan biologis yang melindungi membran seluler dari

kerusakan oksidatif dan membersihkan (scavenger) membran dari radikal-radikal

bebas. Vitamin E berpengaruh terhadap aktivitas enzim pada plasma, juga

berperan dalam pengaturan sintesis asam nukleat, ekspresi gen dan kontrol daur

hidup beberapa protozoa tertentu. Selanjutnya dikatakan, phospolipid pada sel dan

(29)

mengalami peroksidasi karena itu vitamin E sebagai antioksidan yang larut dalam

lemak melindungi asam-asam lemak tersebut dengan jalan memecahkan radikal

bebas yang dapat mengakibatkan kerusakan membran. Groff dan Sareen (1994)

menambahkan bahwa fungsi vitamin E memelihara integritas sel tubuh, mencegah

peroksidasi asam-asam lemak tak jenuh yang berada pada phospolipid membran

seluler, membran mitokondria dan endoplasmik retikulum.

Metabolisme Vitamin E

Absorbsi vitamin E herhubungan dengan pencemaan lemak, dipermudah

dengan adanya empedu dan lipase pankreas. Usus halus merupakan tempat utama

absorbsi vitamin E dalam bentuk alkohol bebas maupun ester, sebagian besar

vitamin E diabsorbsi sebagai alkohol. AIkohol rnemasuki usus dan ditranspor ke

seluruh sirkulasi darah melalui kelenjar getah bening. Aktivitas terbesar vitamin E

pada plasma dan jaringan hewan dalam bentuk a-tocopherol. Tocopherol masuk

ke dalam sistem sirkulasi, menyebar keseluruh tubuh dan penyimpanan terbesar

berada pada jaringan lemak. Vitamin E disimpan di dalam seluruh jaringan bbuh,

terutama disimpan dijaringan adiposa, hati dan otot, penyimpanan terbesar berada

pada hati. Sejumlah kecil vitamin

E

akan tersimpan di dalam tubuh dalam waktu

yang lama. Jalur ekskresi utama dari absorbsi vitamin E adalah empedu. Biasanya

kurang dari 1% konsumsi vitamin E akan diekskresikan melalui urine (McDowel

2000).

Selenium dan Vitamin E sebagai Antioksidan

MacPherson (1994) menjelaskan bahwa Se merupakan mineral jarang

(trace mineral) yang sangat efektif sebagai antioksidan yang penting untuk temak. Peranan Se yang sangat penting bagi temak adalah fungsinya dalam aktivitas

selenoenzim (Gluthation peroksidase (GSH-Px)), GSH-Px bersama dengan

katalase, melindungi sel dari kerusakan yang disebabkan oleh radikal bebas,

peroksida dan oksidasi asam-asam lemak tak jenuh yang mengakibatkan

kerusakan sel lemak serta menghancurkan peroksida sebelum peroksida dapat

merusak membran seluler. Berbagai reaksi dan fungsi GSH-Px dalam tubuh

meliputi detoksifikasi mencegah berakumulasinya hidrogen peroksida

(HOOH)

(30)

tereduksi, sintesis hormon-hormon tertentu yang berasal dari asam lemak

arakhidonat, dan metabolisme senyawa-senyawa asing. Disamping itu glutathione

sebagai kofaktor dalam metabolisme aldehida tertentu (methylglyoxal dan

formaldehid), kemungkinan juga sebagai transport asam amino dalam ginjal.

Lebih lanjut Brody (1994) menjelaskan, reabsorpsi asam amino yang terdapat

dalam filtrat glomerulus menggunakan bermacam-macam sistem transport, salah

satu sistem transport ini melibatkan glutathione. Sistem yang melibatkan

glutathione erat hubungannya dengan enzim batas luar membran yaitu y-

glutamyltranspeptidase, enzim ini membatasi sel-sel epitel yang menempel pada

lumen tubulus ginjal. Subtrat asam amino yang dikenali oleh enzim ini adalah

sistein, glutamin, methionin, alanin dan serin, juga beberapa substrat dipeptida.

Produk reaksi ini dipindahkan ke dalam sel epitel, dan kemudian dipecah kedalam

asam amino sel. Selain itu Brigelius-Flohe (1999) menyebutkan bahwa fungsi utama dari GSH-Px adalah mengatur keseimbangan reaksi redoks. GSH-Px

mengkatalisis pelepasan H202 menurut sepasang reaksi dibawah ini (Underwood

1977).

Glutatson Peroksidaso

2GSH

+

Hz02

-

GSSG

+

Hz0

Glutat~on perolrsndm

GSSG

+

NADPH

-

2GSH

+

NADP'

Selenium merupakan komponen penting sejumlah selenoprotein yang

terlibat dalam aktivitas antioksidan. Selenoprotein P, selenoprotein W dan ke

empat tipe GSH-Px berperan dalam menetralkan hidroperoksida dan radikal-

radikal bebas oksigen pada berbagai jaringan. Selenoprotein terbaik adalah tipe

GSH-Px. Empat tipe GSH-Px yaitu classical GSH-Px (Rotruck et al. 1973; Flohe

et al. 1973). Kemudian Ursini et al. (1982) menemukan selenoperoksida kedua adalah phospholipid hidroperoksida GSH-Px (PH-GSH-Px). Maddipati dan

Mamett (1987) menyebutkan selenoperoksida tipe ketiga adalah plasma GSH-Px

(PGSH-Px). Selenoperoksida keempat adalah gastrointestinal GSH-Px (GI-GSH-

Px) (Chu et al. 1993). Enzim-enzim ini berbeda pada spesifik jaringan dan fungsi

utamanya adalah memusnahkan dan detoksifikasi hidrogen peroksida dan

(31)

MacPherson (1994) menyebutkan bahwa distribusi masing-masing tipe

gluthatione peroksidase berbeda-beda tiap jaringan dan species, sehingga

kebutuhan dan gejala defisiensi tiap species juga berbeda. Cytosolic GSH-Px merupakan selenoprotein yang termasuk ke dalam salah satu enzim antioksidan

yang meliputi katalase, glutathion transferase dan superoksida dismutase. Enzim-

enzim ini menetralkan radikal-radikal oksigen dan hidrogen peroksida yang

dihasilkan didalam sel. Bersama-sama enzim-enzim tersebut mengurangi

persediaan superoksida dan peroksida sehingga mengurangi kemungkinan

kerusakan isi sel dan membran sel (Combs dan Combs 1986). Phospholipid hidroperoksida GSH-Px, erat kaitannya dengan membran sel, pada tipe GSH-Px

ini terjadi interaksi antara selenium dan vitamin E, enzim ini dapat menetralkan

peroksidasi lemak dan secara langsung melindungi membran. PH-GSH-Px kurang

sensitif dibandingkan dengan cytosolic GSH-Px (McPherson 1994). Selanjutnya

dikatakan bahwa plasma GSH-Px (PGSH-Px) adalah antioksidan ekstraseluler

yang bersumber dari ginjal, berperan melindungi sel endothelial lapisan darah dan

pembuluh getah bening. Sedangkan gastrointestinal GSH-Px (GI-GSH-Px)

merupakan bentuk enzim dalam sel sistem gastrointestinal.

Selenoprotein P memiliki peranan antioksidan, di dalam fraksi protein plasma darah mengandung 60-80% Se. Selenoprotein W merupakan antioksidan

yang berada di dalam hati dan jaringan otot, dan kemungkinan jumlahnya didalam

jaringan tersebut sama dengan jumlah GSH-Px. Konsentrasi selenoprotein

jaringan tergantung pada konsumsi selenium (Chen et al. 1990; Persson-Moschos

et al. 1998).

Vitamin E melindungi hati dari peroksidasi lemak dan kerusakan

membran sel (Whitehead et al. 1998). Kemudian Halliwell dan Gutteridge (1989) mengemukakan bahwa vitamin E dikenal sebagai komponen hiologi membran

dan dipertimbangkan sebagai rantai antioksidan dalam peroksidasi lemak Vitamin

E terutama ditemukan pada hidrokarbon membran lemak sebagai alat penghubung

membran dan erat kaitannya dengan oksidasi enzim yang mengakibatkan

produksi radikal bebas, vitamin E melindungi sel dan jaringan dari kerusakan

oksidasi oleh radikal bebas (Gallo-Toress 1980). Selanjutnya disebutkan bahwa

(32)

untuk fungsi normal dari pankreas. Defisiensi selenium dan tocopherol

mengakibatkan kerusakan jaringan dan kematian sel yang disebabkan karena

oksidasi membran sel lemak dan hidroperoksida lemak. Peroksidasi lemak dapat

rnenghancurkan keutuhan smtktur sel dan menyebabkan kekacauan metabolisme

(McDowell 1992; Brody 1994). Gambar 4 menyajikan tiga level pertahanan

antioksidan di dalam sel.

Radikal bebas

Radikal bebas

[image:32.559.110.484.180.396.2]

Radikal bebas Radikal 3' ebas

Gambar 4 Level pertahanan antioksidan didalam sel (Surai 2000)

Surai (1999) mengemukakan bahwa sistem antioksidan pada sel hidup

meliputi tiga level pertahanan utama, level pertahanan pertama bertanggung jawab

mencegah pembentukan radikal bebas yang dilakukan oleh tiga enzim

antioksidan, superoksida dismutase (SOD), glutathione peroksidase (GSH-Px) dan

katalase bersama metal-binding protein. Halliwell dan Gutteridge (1999)

menjelaskan bahwa Radikal superoksida adalah radikal bebas utama yang

dihasilkan oleh sel hidup. Aktivitas penting dalam pertahahan antioksidan

disediakan oleh GSI-I-Px dan katalase. Lebih lanjut Yu (1994) mengatakan bahwa

GSH-Px ditemukan pada bagian-bagian yang berbeda pada sel, sedangkan

katalase lokasi utamanya pada peroksisom. Pemusnahan hidrogen peroksida dari

(33)

Selenium merupakan bagian integral dari enzim antioksidan GSH-Px,

berada pada level pertama pertahanan antioksidan. Garis pertama dari pertahanan

antioksidan sel tidak mempunyai kekuatan yang cukup untuk mencegah

pembentukan dan perkembangan radikal bebas secara sempuma. Selanjutnya

berperan pertahanan antioksidan level kedua yang meliputi glutathione, vitamin

larut dalam lemak (A, E, carotenoid, ubiquinon) dan vitamin larut dalam air (asam

askorbat, asam urea dll). Antioksidan ini merupakan komponen rantai pemecah

yang potensial mencegah pembentukan dan perkembangan rantai radikal bebas.

Hidroperoksida dapat terbentuk selama reaksi radikal bebas dengan antioksidan,

ROO*

+

Toc = Toc*

+

ROOH

Dimana: ROO* adalah radikal peroksil; Toc adalah tocoperol; Toc* adalah

radikal tocoperoksil, ROOH adalah hidroperoksida. Hidroperoksida bersifat

toksik dan jika tidak dihilangkan akan merusak struktur dan fungsi membran

(Gutteridge dan Halliwell 1990). Kemudian Diplock (1994) menambahkan bahwa

hidroperoksida lemak tidak stabil dan dengan kehadiran ion-ion logam transisi

dapat terurai membentuk radikal-radikal bebas baru dan aldehid sitotoksik.

Hidroperoksida harus dikeluarkan dari dalam sel dengan jalan yang sama

seperti H202, tetapi enzim katalase tidak dapat bereaksi dengan komponen- komponen ini, hanya cytosolic GSH-Px yang dapat mengubah radikal-radikal ini

menjadi produk yang tidak reaktif Se sebagai bagian integral dari GSH-Px, yang juga termasuk kedalam level kedua pertahanan antioksidan tidak mampu untuk

mencegah peroksidasi lemak sehingga beberapa molekul biologis mengalami

kerusakan. Pada level ketiga pertahanan antioksidan, enzim-enzim spesifik seperti

protease, lipase dan beberapa enzim lainnya berperan melakukan perbaikan terhadap molekul-molekul yang rusak. Selanjutnya seluruh element-element

sistem antioksidan berinteraksi membentuk pertahanan antioksidan yang efisien.

Interaksi ini dimulai pada saat absorbsi nutrisi dan berianjut selama metabolisme

nutrisi (Brigelius-Flohe 1999).

Selenium dianggap penting dalam nutrisi temak karena kedua level

pertahanan antioksidan (pertahanan pertama dan kedua) dalam sel tergantung pada

(34)

molekul biologis sehingga mengakibatkan kematian sel (Halliwell dan Guteridge

1999).

Peranan Selenium dan Vitamin E pada Embrio

Sistem antioksidan embrio terdiri dari antioksidan alami dan kofaktor

enzim yang diperoleh dari makanan induk, serta enzim antioksidan yang disintesis

dalam jaringan. Kekuatan sistem pertahanan antioksidan sebagian besar

tergantung pada komposisi makanan induk (Surai 1999). Persediaan antioksidan

makanan yang baik seperti Vitamin E, vitamin C, selenium organik memberikan

perlindungan pada embrio, meningkatkan daya tahan hidupnya. Meningkatkan

satu antioksidan akan berpengamh terhadap peningkatan antioksidan lainnya.

Sebagai contoh suplementasi selenium organik pada makanan memperlihatkan

peningkatan level antioksidan lain (Vitamin A, E dan Carotenoid) dalam telur

(Surai dan Sparks 2001).

Surai (2003) memaparkan bahwa selama embriogenesis, asam lemak tak

jenuh terakumulasi di dalam jaringan, di mana pada kondisi ini meningkatkan

resiko shes oksidasi. Proses ini berawal dari shes defisiensi oksigen dan semakin

memburuk selama dan sesaat setelah menetas. Selain itu pernafasan normal dan metabolisme oksidatif pada perkembangan embrio selama periode inkubasi

khususnya beberapa hari sebelum menetas menghasilkan radikal bebas dan

peroksidasi lemak, khususnya asam-asam lemak tak jenub. Peroksidasi lemak

juga disebabkan karena rendahnya kandungan selenium dalam pakan sehingga sintesis selenoprotein terganggu dan aktivitas GSH-Px rendah dan perlindungan

antioksidan tidak efektif. Peroksidasi lemak akan mengakibatkan kemsakan

jaringan membran, enzim non aktif, level hormon dan sintesis enzim terganggu.

Peroksidasi lemak juga mengakibatkan pertumbuhan dan perkembangan embrio

terganggu serta penurunan daya tahan hidup awal anak setelah menetas. Aktivitas

GSH-Px rendah juga akan mengakibatkan akumulasi hidroperoksida (ROOH)

yang mengakibatkan toksik pada sel. Karena itu proses penetasan meningkatkan

kebutuhan sistem antioksidan yang efisien (Surai 2000). Mekanisme pertahanan

antioksidan embrio terdiri dari dua level, di mana level pertahanan pertama adalah

tiga kelompok enzim yaitu superoksida dismutase, glutathion peroksidase dan

(35)

menjadi alkohol yang kurang berbahaya (Ursini et al. 1997). Level pertahanan

kedua adalah antoksidan alami vitamin E, carotenoids, asam askorbat, dan

glutathion yang melindungi perkembangan anak. Pada kondisi oksidasi tinggi

diakhir inkubasi dan sehari setelah menetas antioksidan sangat berpengaruh (Surai

1999).

Hubungan antara selenium dan vitamin E pada proses embriogenesis

diilushasikan pada Gambar 5.

selama perkembangan embrio

Aktivitas GSH-Px rendah mengakibatkan peroksidasi Lemak meningkat melalui pembentukkan OH* dari Hz02

t

Stres penetasan

Produksi radikal bebas dan peroksidasi lemak

I

Garis kedua pertahanan antioksidan ( antioksidan pemecah rantai) ROO*

+

A 0 (Vit E) = ROOH (Toksik) ROOH

+

GSHPx = ROH (nontoksik) [image:35.559.79.492.186.615.2]

I I

Gambar 5 Hubungan Se dan vitamin E pada proses embriogenesis (Surai 2003) Biosintesis Selenoprotein dan stabilisasi mRNA nya

1

Garis pertama pertahanan antioksidan (antioksidan

pencegah) 0 2

+

SOD = Hz02 (Toksik)

-

(36)

MATERI

DAN

METODE

Tempat dan Waktu Penelitian

Percobaan dilakukan selama 22 minggu dari bulan September 2005 -

Maret 2006. Percobaan dilaksanakan di Laboratorium Kimia Terpadu,

Laboratorium Kimia Makanan, Pusat Penelitian dan Pengembangan Gizi Bogor, Laboratorium Fisiologi dan Farmakologi FKH

-

IPB Bogor, Laboratorium Balai Besar Pasca Panen dan Kandang C Nutrisi dan Makanan Ternak IPB

Tahapan Penelitian

Peneiitian ini terdiri atas dua tahap percobaan:

Tahap I : Tahap pemeliharaan puyuh. Tahap ini dimulai dari puyuh berumur 3 minggu sampai berumur 25 minggu. Puyuh diberi ransum dengan suplementasi

Se dan vitamin E. Tahap ini bertujuan untuk mengetahui efektivitas Se organik dan vitamin E terhadap:

1. Umur mulai bertelur, konsumsi pakan, produksi telur dan konversi.

2. Kandungan Selenium dalam hati, otak, darah dan telur

3. Kandungan vitamin E dalam darah dan telur

4. Aktivitas glutathione peroksidase darah dan hati.

Tahap I1 : Tahap penetasan telur dan pemeliharaan anak puyuh. Telur mulai

ditetaskan saat puyuh berumur 10, 12, 14, 16 dan 18 minggu dan dilanjutkan

dengan pemeliharaan anak puyuh selama 4 minggu. Ransum yang diberikan pada

anak puyuh selama pemeliharaan tanpa suplementasi Se dan vitamin E. Tahap ini

bertujuan untuk mengetahui efektivitas Se organik dan vitamin E pada ransum induk terhadap:

1. Fertilitas dan daya tetas telur.

2. Bobot tetas dan mortalitas anak.

(37)

Tahapan Penelitian

Tahap I : Pemeliharaan puyuh

Umur 2 minggu. Pemeliharaan dan adaptasi 420 puyuh selama 1 minggu

Proses adaptasi diberi pakan periode pertumbuhan tanpa suplementasi Se dan Vitamin E

14 ekor puyuh, ratio 1

8:

1

9

ditempatkan

dalam 1 kandang. Ada 30 unit kandang. Perlakuan mulai diberikan

v

10 kelompok perlakuan suplementasi Se dan Vit E

dengan 3 ulangan pada masing-masing perlakuan

Umur 10, 12, 14, 16, 18

Tahap I1 : Penetasao minggu. Koleksi telur

Penetasan

0

Fertilitas, Daya tetas, Bobot tetas

I

4

Dipelihara selama 4 minggu

[image:37.559.82.486.67.596.2]

I

Mortalitas. Konsumsi. Pertambahan

bobot

badan. Konversi

1

Gambar 6 Alur penelitian

Keterangan:

P, & G, : Ransum tanpa suplementasi Sedan vitamin E

P2 & G2 : Ransum dengan suplementasi Se 0.5 ppm +vitamin E 50 ppm

P, & G, : Ransum dengan suplementasi Se 0.5 ppm

+

vitamin E 100 ppm P, & G4 : Ransum dengan suplementasi Se 1 ppm + vitamin E 50 ppm
(38)

Tahap I : Pemeliharaan Puyuh

Materi Penelitian

Penelitian ini menggunakan 210 ekor puyuh betina dan 210 ekor puyuh

jantan berumur 3 minggu. Puyuh dibagi ke dalam 10 kelompok perlakuan dengan

3 ulangan, masing-masing terdiri dari 14 ekor puyuh dengan perbandingan jantan

dan betina 1:I. Puyuh ditempatkan pada 30 unit kandang percobaan yang

merupakan kandang baterai dengan ukuran 42x60~20 cm. Sebelum diisi kandang

disanitasi terlebih dahulu dengan kapur dan tempat makan dan minum disanitasi

dengan antisep.

Suplementasi selenium organik (Se) dan vitamin E (dL-a- tocopheryl

acetat) ke dalam ransum sebagai perlakuan, diberikan selama pemeliharaan

puyuh. Selama penelitian menggunakan dua merk ransum komersial yaitu P dan

G untuk periode pertumbuhan dan bertelur. Pemberian ransum pada umur 2-3

minggu adalah ransum periode pertumbuhan, sedangkan pada umur 4 minggu

sampai akhir penelitian pakan diganti dengan ransum periode bertelur yang

diberikan ad libitum. Kandungan nutrisi ransum kontrol dapat dilihat pada Tabel 2

Tabel 2 Komposisi nutrisi ransum kontrol

No Uraian Ransum

Starter Layer

(P) (G) (P) (G)

I Protein (%) 21.50 22.00 20.00 20.00

2 Lemak(%) 6.09 6.00 4.78 4.25

3 Serat kasar (%) 2.82 3.50 4.34 4.50

4 Abu(%) 5.34 6.45 10.69 11.0

5 Kalsium (%) 0.89 0.90 3.24 3.25

6 Phospor (%) 0.70 0.70 0.72 0.70

7 Vitamin E (ppm) 50.0 50.0 43.50 43.00

8 Selenium (ppm) 0.21 0.35 0.46 0.40

Hasil analisa Laboratorium Kimia Terpadu

Metode Penelitian

Penelitian ini terdiri dari 10 kelompok di mana 8 kelompok merupakan

kombinasi perlakuan suplementasi 2 level Se dan 2 level vitamin E pada 2 jenis

(39)

vitamin E adalah 50 ppm dan 100 ppm. Dua kelompok sebagai kontrol terdiri

dari ransum P dan G tanpa suplementasi Se dan vitamin E. Masing-masing

perlakuan dan kontrol terdiri dari 3 ulangan, tiap unit ulangan terdiri dari 14 ekor puyuh dengan perbandingan 7 ekor jantan dan 7 ekor betina. Puyuh-puyuh

ditempatkan ke dalam 30 unit kandang. Perlakuan suplementasi Se organik dan

vitamin E disajikan pada Tabel 3.

Tabel 3 Perlakuan suplementasi selenium dan vitamin E

Perlakuan Selenium organik (ppm) Vitamin E (ppm) Suplementasi Total dalam Suplementasi Total dalam

- -

2. P2 0.5 0.96 50 93.50

3. P3 0.5 0.96 100 143.50

4. P4 1 1.46 50 93.50

5. P5 1 1.46 100 143.50

6. GI

-

0.43*

-

43

*

7. G2 0.5 0.93 50 93

8. G3 0.5 0.93 100 143

9. G4 1 1.43 50 93

10. G5 1 1.43 100 143

a Kandungan di dalam ransum kontrol

Ketcrangan:

P, & G, : Ransum tanpa suplementasi Sedan vitamin E

P2 & G2 : Ransum dengan suplementasi Se 0.5 ppm + vitamin E SO ppm

P3 & G3 : Ransum dengan suplementasi Se 0.5 ppm + vitamin E 100 ppm

P4 & G4 : Ransum dengan suplementasi Se 1 ppm + vitamin E 50 ppm

Ps & Gs : Ransum dengan suplementasi Se 1 ppm + vitamin E 100 ppm Rancangan Penelitian

Penelitian ini menggunakan Rancangan Acak Lengkap (RAL) pola

faktorial terdiri dari 3 faktor, faktor pertama yaitu 2 jenis ransum (P dan G), faktor

kedua adalah suplementasi 2 level Se organik (0.5 ppm dan 1 ppm) dan faktor ketiga yaitu suplementasi 2 level vitamin E (50 dan 100 ppm) sehingga ada 8

kombinasi perlakuan suplementasi Se dan vitamin E dan sebagai kontrol adalah 2

jenis ransum (P dan G) tanpa suplementasi Se maupun vitamin E. Masing-masing

perlakuan dan kontrol terdiri dari 3 ulangan.

Model matematika rancangan penelitian ini adalah :

(40)

Keterangan :

Yijk = Nilai Pengamatan.

P = Nilai Tengah Pengamatan

a i

= Pengaruh Aditif Vitamin E ke- i

P

j = Pengaruh Aditif Mineral Se ke- j

( a

p ) i j = Pengaruh Interaksi

eijk = Pengaruh Galat Percobaan

Data perlakuan yang diperoleh dari percobaan dianalisa dengan menggunakan analisa ragam (analyses of variance/ANOVA) RAL faktorial dan jika data yang dihasilkan berbeda nyata maka dilanjutkan dengan Uji Duncan.

Perlakuan terbaik akan dibandingkan dengan kontrol dengan Uji-T (Steel dan

Torrie 1993).

Parameter yang diamati adalah :

1. Umur mulai bertelur (dewasa kelamin)

Umur mulai bertelur dihitung hari pertama puyuh bertelur.

2. Produksi telur

J u -& m ~

-

.

.

Produksi hen day (%) = x 100%

Jumiah puyuh

x

jumlah hari selama penelitian

Produksi telur (gram) adalah total herat telur yang dihasilkan tiap perlakuan

selama pemeliharaan. Penimbangan telur dilakukan setiap hari perunit

ulangan, di mulai dari puyuh dewasa kelamin sampai berumur 23 minggu. 4. Konsumsi Ransum

Konsumsi ransum adalah jumlah ransum yang dimakan oleh puyuh selama

pemeliharaan. Ransum yang dikonsumsi ditimhang setiap minggu.

Konsumsi = Jumlah ransum yang diberikan - jumlah ransum yang tersisa

5. Konversi Ransum

Konversi ransum diperoleh dengan cara membagi jumlah ransum yang dikonsumsi dengan produksi telur (total berat telur) yang diperoleh selama

penelitian dikali 100%

Konversi = Total konsumsi (gram) ~100%

(41)

6. Berat Hati

Setelah temak puyuh dideterminasi, lalu dikeluarkan hatinya dan dilakukan

penimbangan.

7. Berat Otak

Setelah temak puyuh dideterminasi, lalu dikeluarkan otaknya dan dilakukan

penimbangan.

8. Panjang Saluran Reproduksi

Panjang saluran reproduksi yang diukur adalah saluran reproduksi betina.

Saluran reproduksi yang diukur dari infundibulum, magnum, istmus, uterus,

vagina sampai kloaka. Pengukuran dilakukan setelah puyuh diditerminasi, dan

saluran reproduksi dikeluarkan untuk diukur panjangnya.

9. Kandungan selenium telur.

Telur yang dijadikan sampel uji kandungan selenium diambil secara acak

sebanyak 2 butir tiap unit ulangan dari masing-masing perlakuan. Selenium

telur adalah gabungan antara putih dan kuning telur. Prosedur pengukurau selenium dengan menggunakan Hydride Fapour Generator Merhad AAS

sebagai berikut (1) Telur ditimbang sebanyak 0.5 gram-1 gram contoh ke

dalam labu dekstruksi, lalu ditambahan 10 ml asam nitrat pekat panaskan pada

kompor listrik dengan suhu yang tidak terlalu panas ?C 80-90'~ dan dipanaskan

sampai dengan jemih (6 jam). (2). Kemudian ditimbang sebanyak 0.5 gram-1

gram blanko (larutan baku standar Se (1000 ppm)) dengan cara pengeceran :

40, 80, 100, 200, 400ppb. (3). Larutan pereduksi 20 ml ditambahkan kedalam standar dan contoh, ditepatkan sampai dengan 100 ml dengan Aquades. (5).

Contoh siap di baca di AAS dan siap untuk dianalisis.

Kadar Se: mcg - - Abs cth x (konsentrasi std)

x

VO'ume x fp

100 gr Abs std Bobot contoh

10. Kandungan vitamin E telur.

Telur yang dijadikan sampel uji kandungan vitamin E diambil secara acak

sebanyak 2 butir tiap unit ulangan dari masing-masing perlakuan. Kandungan

vitamin E telur adalah gabungan antara putih dan kuning telur. Proses analisis

(42)

Selanjutnya ditambahkan enzim makatase 40 mg dan 2 ml amonia 0.02%. (3)

Campuran dimasukkan ke dalam ultrasonik selama 20 menit pada suhu 65°C.

Lalu campuran didinginkan pada suhu ruang dan tambahkan etanol 10 ml. (4)

Dimasukkan kembali ke dalam ultrasonik selama 10 menit. (5) Selanjutnya

ditambahkan etanol hingga volumenya 20 ml dan dikocok kembali. (6)

Larutan disentrifuse dan 5 ml supernatan diambil dan dimasukkan ke dalam

labu ukur 5 ml. (7) Larutan siap untuk diinjeksikan ke alat HPLC.

Perhitungan:

Kadar vitamin E: Luas area sampel x 25 ppm x 10

Luas area standar

-

0.5

Keterangan:

25 : Konsentrasi standar

10 : Volume akhir (ml)

0.5 : Volume sampel yang diinjeksikan (ml)

1 1. Kandungan selenium darah

12. Kandungan vitamin E darah.

Pengambilan darah dilakukan pada akhir penelitian dengan menggunakan syringe 1 cclml. Semua puyuh betina tiap unit percobaan diambil darahnya

meialui sayap dan kemudian dimasukkan ke dalam tabung yang sudah diberi

heparin kemudian disentrifuse dan diambil plasmanya. Masing-masing sample plasma dimasukkan ke effendorf: Untuk analisa selenium dan vitamin E,

plasma masing-masing perlakuan dikomposit dengan jalan tiap plasma pada tiap effendorf diambil sebanyak 0.5 ml dan digabung dalam 1 tabung

effendorf:

13. Kandungan selenium hati dan otak.

Pengambilan sampel hati dan otak diambil pada akhir penelitian dari ternak

induk yang sudah dipotong.

14. Aktivitas enzim giutathione peroksidase (GSH-Px) Hati.

Pembuatan sampel adalah 100 p1 homogen hati ditambah dengan 200 pI

buffer phosfat pH 7.0, kemudian di kocok dengan vortek. Larutan disentrifuse

pada 3000 rpm selama 5 menit dalam kondisi dingin. Supematan digunakan

untuk mengukur aktivitas glutathion peroksidase (GSH-Px). 200 pl buffer

(43)

pI sampel. 200 p1 glutathion tereduksi (GSH) 10 nM dan 200 p1 enzim

glutation reduktase 2.4 unit kemudian di inkubasi selama 10 menit pada suhu

3 7 ' ~ . Tambahan 200 p1 NADPH 1.5 nM ke dalam larutan, diinkubasi lagi pada suhu yang sama selama 3 menit. Tambahan 200 p1 H202 1.5 nM.

Serapan dibaca pada spektrofotometer diantara waktu 1-2 menit pada panjang

gelombang 340 nm.

Perhitungan:

munit GSH-PX = Mhsorban x Vt x 2 x 1000 1

6.22 x Vs mg protein

Keterangan

AAbs = Pembahan absorban Vt = Volume total dalam ml

6,22 = Koefisien ekstrensik dari NADPH

2 = 2 mol GSH yang setara dengan 1 mol NADPH

1000 = Perubahan menjadi milliunit

Vs = Volume sampel dalam ml

15. Aktivitas GSH-Px dalam darah

Aktivitas enzim GSH-Px yang diukur adalah GSH-Px dalam darah ternak puyuh induk. Pengambilan darah bersamaan dengan untuk analisa selenium

dan vitamin E. Prosedur kerja analisa sama dengan prosedur analisa GSH-Px

pada darah.

Tahap I1 : Penetasan Telur

Percobaan pada tahap ini dilakukan penetasan telur. Penetasan dilakukan

sebanyak 5 kali. Telur untuk penetasan pertama diambil ketika puyuh induk

bemmur 10 minggu, penetasan ke 2 saat induk berumur 12 minggu, penetasan

selanjutnya pada umur induk 14, 16 dan 18 minggu. Telur dikumpulkan selama 5

hari berturut-turut untuk sekali penetasan dengan jumlah telur berkisar 700- 900

butir tiap penetasan. Semua telur yang dihasilkan tiap unit ulangan terlebih

dahulu ditimbang satu persatu untuk mengetahui herat telur dan kemudian

dimasukkan ke dalam mesin tetas. Berat telur yang ditetaskan berkisar 11-12

(44)

tumpul dan ujung runcing telur dibalik hergantian. Telur menetas pada hari ke

16 dan 17 setelah di~nasukkan ke dalam mesin tetas. Pemecahan kerabang telur

dilakukan pada hari ke 18 pada telur yang tidak menetas untuk memastikan

penyehah tidak menetas, karena tidak fertil atau penyebab lainnya.

Setelah telur menetas maka anak puyuh dipelihara selama empat minggu,

guna mengetahui mortalitas dan performa anak. Anak puyuh diberi pakan

periode pertumbuhan tanpa suplementasi Se dan vitamin E. Komposisi nutrisi

[image:44.559.98.479.228.417.2]

ransum anak selama 4 minggu disajikan pada Tabel 4.

Tabel 4 Komposisi nutrisi ransum anak

No Uraian

Starter

(PI (G)

1 Protein (Oh) 2 1.50 22

2 Lemak(%) 6.09 6.00

3 Serat kasar (%) 2.82 3.50

4 Abu(%) 5.34 6.45

5 Kalsium (%) 0.89 0.9

6 Phospor (%) 0.70 0.70

7 Vitamin E (ppm) 50.0 50.0

8 Selenium (ppm) 0.21 0.35

s Hasil analisa Laboratorium Kimia Terpadu

Rancangan Penelitian

Rancangan penelitian yang digunakan adalah RAL faktorial in Time.

Apabila data yang dihasilkan herheda nyata maka dilanjutkan dengan Uji Duncan

(Mattjik dan I Made, 2002). Data terhaik akan dibandingkan pada kontrol dengan

Uji-T. Model matematikanya adalah:

YijkL= p

+

ai

+

pj

+ a h +

6ijk

+

mI+ykl+ a d + pmjl+ apmijl+ ~ i j k l

Dimana :

Yijk~ = Nilai respon pada faktor A taraf ke-i, faktor B taraf ke-j, ulangan ke-k dan waktu pengamatan ke-1

p = Nilai tengah umum

(45)

aPij = Pengaruh interaksi faktor A dengan faktor B 6ijk = Komponen acak perlakuan

o l = Pengaruh waktu ke-I

ykl = Komponen acak waktu pengamatan awil = Pengaruh interaksi waktu dengan faktor A

pwjl = Pengaruh interaksi waktu dengan faktor B

apoijl= Pengaruh interaksi faktor A, faktor B dengan waktu

~ i j k i = Komponen acak dari interaksi waktu dengan perlakuan.

Parameter pada penelitian tahap ini terdiri atas:

1. Fertilitas yaitu persentase telur yang fertil dari telur yang dieramkan.

2. Daya tetas yaitu persentase telur puyuh yang menetas dari jumlah telur yang

fertil. Telur-telur yang tidak menetas akan dipecah dan selanjutnya diperiksa

untuk memastikan penyebab tidak menetasnya.

3. Berat tetas. Semua anak yang menetas ditimbang sesaat setelah dikeluarkan dari mesin tetas.

4. Mortalitas anak dihitung berdasarkan persentase anak yang mati selama 2

minggu pemeliharaan.

5. Konsumsi ransum

6. Pertambahan bobot badan

(46)

HASIL DAN PEMBAHASAN

Tahap I : Pemeliharaan puyuh

Umur Mulai Bertelur

Pengaruh suplementasi Se dan vitamin E terhadap umur mulai bertelur

[image:46.564.1

Gambar

Tabel 1 Kandungan nutrisi telur puyuh (Riana 2000)
Gambar 1 Keseimbangan antioksidan-prooksidan pada organisme (Surai 2003)
Gambar 2. E l  Selenit Absorbsi pasif
Gambar 3. Selenoprotein t C Selenomethionin I + Darah +
+7

Referensi

Dokumen terkait

belum pernah dinilainya perspektif bisnis internal serta perspektif pertumbuhan dan pembelajaran menurut rencana strategis yang telah diturunkan dari visi dan misi rumah sakit

1. 10, populasi berkurang kerana waktu tengahari kelembapan yang rendah dan keamatan cahaya yang tinggi menyebabkan siput babi bergerak ke tempat yang lebih sesuai. 2 Dapat

Hasil penelitian menunjukkan bahwa interval waktu pemeliharaan pencegahan peralatan yang terpanjang dimiliki oleh sub-sub sistem Panel (694,8 jam) pada saat kehandalan

sekalipun isi dan tujuannya baik. Kemudian para peserta didik pada umumnya menganggap bahwa belajar itu hanya untuk memperoleh, ijazah atau hanya untuk

Logistic pemilu untuk wilayah kabupaten sleman telah datang // Kertas suara dan tinta yang berjumlah 4357 botol beserta surat suara saat ini disimpan di gedung kesenian sleman

Sintesa hasil informasi kesehatan yang diperoleh dari Riskesdas 2007 dan 2010 disertai informasi pendukung dapat digunakan oleh Kementrian Kesehatan untuk mempersiapkan Puskesmas

Tujuan dalam penelitian ini yaitu: untuk mengetahui sejauh mana Pengaruh Latihan push-up terhadap peningkatan kekuatan otot lengan pada siswa ekstrakurikuler Bola Voli

GKJ Immanuel termasuk gereja yang menarik perhatian karena dalam sebuah gereja dengan 4 wilayah (Ngasinan, Ngoresan, Panggungrejo, dan Pucangsawit) mempunyai