Diajukan kepada Fakultas Ilmu Tarbiyah dan Keguruan
Untuk Memenuhi Salah Satu Syarat Mencapai Gelar
Sarjana Pendidikan (S. Pd)
Oleh
Yazid Awlawi
NIM 1111011000039
JURUSAN PENDIDIKAN AGAMA ISLAM
FAKULTAS ILMU TARBIYAH DAN KEGURUAN
UNIVERSITAS ISLAM NEGERI (UIN)
SYARIF HIDAYATULLAH
JAKARTA
i Hadzami dalam Pendidikan Islam.
Tujuan peneltian ini untuk mengetahui kontribusi KH. Muhammad Syafi’i Hadzami terhadap pendidikan Islam. Penelitian ini juga bermanfaat dalam khazanah intelektual Islam dalam mengenal dan mengetahui Ulama-ulama Betawi.
Metode yang digunakan dalam penelitian ini adalah jenis library research (penelitian kepustakaan) dengan tehnik analisis deskriptif kualitatif, dengan cara mengumpulkan data atau bahan-bahan dari sumber data primer, yaitu buku karya KH. M. Syafi’i Hadzami yaitu Taudhihul Adillah. Selain itu sumber sekunder dari buku biografi KH. M. Syafi’i Hadzami yang berjudul Sumur yang Tak Pernah Kering serta buku lain yang berkaitan dengan tema pembahasan dan permasalahannya membahas objek penelitian.
ii
Segala puji bagi Allah yang telah melimpahkan rahmat, taufiq dan
hidayah-Nya sehingga penulis dapat menyelesaikan skripsi ini dengan segala
kekurangannya. Shalawat serta salam semoga senantiasa tercurah keharibaan
Baginda Nabi Muhammad Saw. yang telah membawa manusia dari zaman
kegelapan kepada zaman terang-benderang.
Skripsi yang berjudul “Kontribusi KH. Muhammad Syafi’i Hadzami dalam Pendidikan Islam” ini penulis susun dalam rangka memenuhi salah satu syarat untuk memperoleh gelar Sarjana Pendidikan Islam pada Jurusan
Pendidikan Agama Islam Fakultas Ilmu Tarbiyah dan Keguruan Universitas
Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah Jakarta.
Terlahir dari keluarga Betawi tidak serta membuat penulis merasakan
pendidikan agama yang ketat dan super seperti kebanyakan orang Betawi
pada umumya. Sekolah negeri di tingkat SD dan SMP tidak cukup
menjadikan penulis seorang yang mempunyai minat dalam bidang
keagamaan, hingga kebiasaan masyarakat Betawi yang doyan mengaji belum
penulis rasakan sampai saat itu.
Sosok Mu’allim Syafi’i Hadzami yang menginspirasi penulis menjadikan semangat dalam perburuan menuntut ilmu karena kesempatan mondok aatu
nyantren tidak penulis miliki. Oleh karena itu sebagai rasa keta’zhiman
penulis walaupun belum pernah bertemu, penulis mengangkat tema tentang Mu’allim Syafi’i Hadzami dengan kontribusinya dalam pendidikan Islam, dengan harapan semoga penulis mendapat cucuran hidayah serta keberkahan
dari beliau. Amin.
Menyadari bahwa halangan serta rintangan yang begitu berat terhadap
suksesnya penulis dalam menyelesaikan skripsi ini bukan semata-mata karena
iii Tarbiyah dan Keguruan (FITK).
2. Bapak H. Dr. Abdul Majid Khon, M.Ag. Dan ibu Hj. Marhamah
Saleh, Lc. MA selaku Ketua dan Sekretaris Jurusan Pendidikan
Agama Islam. Semoga kebijakan yang telah dilakukan selalu
mengarah kepada kontinuitas eksistensi mahasiswanya.
3. Bapak Dr. KH. Akhmad Shodiq, MA selaku pembimbing skripsi yang
telah memberikan perhatian, bimbingan, nasehat, kritik dan saran,
serta motivasi yang besar dalam proses penulisan skripsi ini.
4. Seluruh dosen Fakultas Ilmu Tarbiyah dan Keguruan yang telah
memberikan ilmunya sehingga penulis dapat memahami berbagai
materi perkuliahan.
5. Orang tua penulis, Bapak M. Yasin serta Ibu Sumarsih tercinta, yang
tidak bosan-bosannya memberi nasihat, do’a yang tulus setiap waktu serta dorongan motivasi kepada penulis hingga selesainya skripsi ini.
6. Para guru dari penulis yaitu Ustadz Syahrullah, Ustadz Ahmad Wasi’, Ustadz Nazhori Idris, selaku pembiming ruhani yang senantiasa mendo’akan penulis.
7. Para informan yang telah memberikan data penelitian bagi penulis
yaitu: Ustadz Hairul (Ilung), Ustadz Suhendi, KH. Fakhruddin
al-Bantani, KH. Bahruddin Pondok Ranji, serta Ustadz Suhendi.
8. Adik-adikku tersayang, Farhan Fuadi dan Wildan Mukarrom yang
selalu memberikan semangat kepada penulis, semoga kita bisa
menjadi qurrota a’yun bagi kedua orang tua kita.
9. Faisal Abda’u sebagai sahabat senasib seperjuangan yang senantiasa memberikan nasihat kepada penulis serta sabar dalam kebersamaan
iv
11.Muhammad Firdaus yang telah merelakan waktunya untuk
mendampingi penulis dalam silaturahmi untuk wawancara ke beberapa murid KH. Syafi’i Hadzami.
12.Bang Amrullah yang senantiasa menyediakan waktu untuk menemani
serta menyediakan hidangan untuk penulis menyusun skripsi di
kediaamannya daerah Rempoa.
13.Faisal Eka Juliansyah yang telah memberikan tantangan untuk sidang
skripsi secepatnya, menjadikan lecutan semangat kepada penulis
untuk segera menyelesaikan skripsi penulis.
14.Kepada sahabat yang selalu sedia untuk memberikan semangatnya
untuk penulis, yaitu: Edo Hermawan, Rinastuti Rahayu yang
merupakan rekan mengajar di SMP Tri Mulia JakSel.
15.Semua pihak yang tidak penulis sebutkan satu persatu yang telah
berjasa membatu penulis dalam menyelesaikan skripsi ini.
Akhirnya penulis berharap semoga amal baik dari semua pihak yang
telah membantu penulis dalam menyelesaikan skripsi ini mendapat balasan
pahala dan Rahmat Allah SWT. Dan semoga apa yang telah ditulis dalam skripsi ini dapat bermanfaat bagi semua pihak. Âmîn Yâ Robbal `Âlâmîn.
Jakarta, 30 Desember 2016
v LEMBAR PERNYATAAN
ABSTRAK ... i
KATA PENGANTAR ... ii
DAFTAR ISI ... v
BAB I : PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah ... 1
B. Identifikasi Masalah ... 4
C. Pembatasan Penelitian ... 4
D. Perumusan Masalah ... 5
E. Tujuan dan Kegunaan Penelitian ... 5
BAB II : KAJIAN TEORI A. Pendidikan Islam ... 6
1. Pengertian Pendidikan ... 6
2. Pengertian Pendidikan Islam ... 7
3. Dasar-dasar Pendidikan Islam ... 9
4. Tujuan dan Fungsi Pendidikan Islam ... 10
B. Pendidikan Islam di Indonesia ... 11
1. Sejarah Pendidikan Islam di Indonesia ... 11
2. Organisasi dan Pendidikan Islam di Indonesia ... 12
3. Tokoh-tokoh (Ulama) Pendidikan Islam di Indonesia ... 15
C. Ulama, Status, Fungsi dan Perannya ... 18
D. Pertumbuhan Etnis Betawi ... 21
E. Perkembangan Islam Masyarakat Betawi ... 23
BAB III : METODOLOGI PENELITIAN
A. Tempat dan Waktu Penelitian ... 27
B. Sumber Data ... 28
C. Metode Penelitian ... 30
D. Teknik Pengumpulan Data ... 30
E. Teknik Analisis Data ... 33
BAB IV: PEMBAHASAN A. Pengertian Kontribusi... 33
B. Guru, Mu’allim, Ustadz, Sayyid dan Habib ... 33
C. Biografi KH. Muhammad Syafi’i Hadzami ... 35
D. Kontribusi KH. M. Syafi’i Hadzami dalam Pendidikan Islam ... 46
1. Mengajar Ta’lim di Berbagai Wilayah DKI Jakarta ... 47
2. Mengarang Berbagai Macam Kitab ... 51
3. Merintis Lembaga Pendidikan ... 53
4. Mencetak Murid-murid yang Berkualitas ... 58
BAB V: PENUTUP A. Kesimpulan ... 59
B. Implikasi ... 60
C. Saran ... 61
DAFTAR PUSTAKA ... 63
1
dahulu hingga kini, karena etnis Betawi mengandung estetika tersendiri.
Topiknya pun beraneka warna dan selalu aktual serta faktual bahkan terkadang
kontroversial, seperti kajian sosial politik dan kebudayaan Betawi. Corak
keislaman dan sejarah sosial intelektual Islam di Betawi perlu banyak dikaji,
karena perhatian lebih banyak difokuskan kepada sejarah sosial, politik, kesenian
dan kebudayaan serta kepurbakalaan.
Masyarakat Betawi terbentuk relatif baru, yaitu sekitar permulaan abad ke-19
yang merupakan hasil percampuran dari berbagai suku bangsa, baik yang berasal
dari dalam maupun luar wilayah nusantara.1 Islam dalam masyarakat Betawi
mempunyai warna tersendiri dan dalam sejarahnya Islam menjadi salah satu
simbol pembeda yang sangat penting bagi orang Betawi dalam menghadapi
penetrasi dari kekuatan luar.2
Peran Ulama yang sangat besar pada telah membuat tanah Betawi sangat
kental akan keislaman. Ridwan Saidi berpendapat bahwa Islam memberi makna
eksistensial akan keberadaan orang Betawi pada era Penjajahan Belanda. Zikir,
ratib, pembacaan manaqib Syaikh Saman, maulid Barzanji serta Diba’. Semua merupakan ekspresi pengagungan pada Asma Allah sekaligus pernyataan diri
isyhadu bi anna muslimun (saksikanlah bahwa kami adalah orang-orang Islam).
Suatu ekspresi teologis yang nyaris sepi dari politik, namun penjajah Belanda
dibuat tak berkutik.3
Islamisasi yang terjadi pada masyarakat Betawi berbeda dengan etnis lainnya
seperti Sunda atau Jawa yang mengalami proses Islamisasi ketika mereka sudah
mapan sebagai suatu komunitas. Sedangkan etnis Betawi mengalami proses
1
Abdul Aziz, Islam dan Masyarakat Betawi, (Jakarta: Logos Wacana Ilmu, 2002), Cet. ke-1 hal. 2
2Ibid ., hal. 4 3
Islamisasi berbarengan dengan pembentukan etnisnya. Jadi dua proses (Islamisasi
dan pembentukan etnis) terjadi dalam waktu yang sama.4
“Masyarakat Betawi” yang dilukiskan oleh KH. Abdussalam Djaelani adalah masyarakat yang fanatik pada agama Islam, terlebih masyarakat Betawi di
wilayah Jakarta Selatan yang fanatik terhadap aqidahnya, prinsip, bukan sekedar
ikut-ikutan.5 Wajah Betawi tidak lepas dari sejarah yang melingkupinya, mulai
dari peran Ulama yang membetuk identitas kebetawian dan masjid sebagai pusat penyebaran dan pembelajaran agama Islam. Di antara para Ulama Betawi yang
terkenal dan memiliki kontribusi besar dalam pendidikan Islam di tanah Betawi
adalah KH. Abdul Mughni, KH. Ahmad Marzuqi, KH. Muhammad Mansyur, dll.
Di era pembaruan abad ke-20 yang terkenal adalah KH. Abdullah Syafi’i dengan pesantren Asy Syafi’iyah, Radio AKPI Asy-Syafi’iyyah, kemudian KH. Noer Ali dengan Pesantren At Taqwa yang didirikannya. Selanjutnya ada KH. Tohir Rohili
yang peduli akan pendidikan orang Betawi dengan mendirikan Universitas At
Thahiriyyah, lalu ada KH. Rahmatullah Shiddiq dengan Pondok Pesantren Al
Falah, terakhir yang akan menjadi pembahasan penulis adalah KH. Syafi’i Hadzami dengan mendirikan Perguruan Al ‘Asyirotus Syafi’iyyah dan Pesantren Al ‘Arba’in.
Begitu banyaknya kontribusi para Ulama Betawi untuk pendidikan Islam
untuk masyarakat Betawi. Perjuangan mereka yang begitu luar biasa sehingga
patut rasanya bagi kita untuk bangga dan tidak melupakan apa yang telah
diberikan oleh mereka. KH. Syafi’i Hadzami adalah Ulama yang luar biasa, beliau tidak mondok ke Timur Tengah atau belajar di pondok pesantren layaknya Ulama-ulama Betawi lainnya, tapi kualitas keilmuan beliau tidak bisa dibantahkan lagi
kedahsyatannya. Beliau hanya berguru kepada Ulama di wilayah Jakarta seperti Guru Sa’idan (Kemayoran), Guru Ya’qub (Kebon Sirih), Guru Kholid (Gondangdia), Guru Madjid (Pekojan). Salah satu guru utama beliau adalah Habib
Ali bin Hussein Al Atthas biasa dipanggil Habib Ali Bungur.
4
Abdul Aziz, Op Cit., hal. 3
5 Tuty Alawiyah AS, (Penyunting), KH. Abdullah Syafi’ie Tokoh Kharismatik 9
Ulama-ulama sekelas Syekh Yasin Al Fadani pun tidak mau menganggap
beliau murid karena mereka mengetahui dan menghormati keilmuan beliau yang
luar biasa. Beliau mendirikan Yayasan Perguruan Al Asyirotus Syafi’iyyah yang di dalamnya merupakan sekolah pendidikan dari Ibtidaiyyah sampai
Tsanawiyyah. Beliau juga mengisi pengajian di masjid-masjid di berbagai wilayah
Jakarta, serta pada usia muda sudah dipercaya sebagai pengisi ceramah di Radio
Cendrawasih, serta menjawab berbagai permasalahan agama, sehingga
memerlurkan karya kitab Taudhihul Adillah yang terdiri dari 7 jilid,
masing-masing jilid terdapat 100 pertanyaan dan jawaban. Kontribusi besar yang sukses
beliau ciptakan adalah mendirikan Pesantren Al Arba’in yang menpunyai visi misi untuk mencetak Ulama-ulama muda. Penerimaannya pun hanya 40 orang
sesuai nama pesantren untuk dididik, digembleng serta dimatangkan pengetahuan
agama Islamnya. Pesantren tersebut sudah banyak menelurkan Kyai-Kyai dan
Ulama-ulama muda yang siap menyampaikan dakwah di tanah Betawi ataupun
luar Betawi.
Hidupnya benar-benar didedikasikan untuk agama dan umat. Beliau ibarat
sebuah universitas yang di dalamnya terdapat beberapa fakultas-fakultas
keilmuan. Beliau menguasai segala ilmu dalam bidang agama. Beliau mufassir,
ahli ilmu qiraat, ahli grammar, mutakallim, dan berbagai ilmu lain yang terkenal
dengan 12 fan ilmu.6
Dari berbagai penjelasan di atas, dapat disimpulkan bahwa KH. Syafi’i Hadzami merupakan sosok Ulama kharismatik yang berperan sentral dalam
pendidikan Islam di tanah Betawi. Beliau merupakan tokoh yuang disegani oleh
msyarakat Betawi di Jakarta, khususnya daerah Gandaria, Kebayoran Lama. Para
Ulama Betawi dan Ulama Timur Tengah juga segan dan hormat kepada beliau.7
6
Wawancara degan KH. Fakhruddin Al-Bantani, Minggu: 28 Oktober 2016 pukul 15:00 WIB 7Suatu ketika urid KH. M. Syafi’i Hadza i yaitu Ali Yahya e gala i kesulita dala masalah fiqih yang berkaitan dalam masalah haji sewaktu ia di Mekkah. Maka ia menanyakan kepada Kiai Damanhuri, seorang ulama yang tinggal dan menuntut ilmu di Mekkah. Ternyata
Keberhasilannya dalam menuntut ilmu tanpa pesantren atau mondok
mematahkan sangkaan kebanyakan orang yang beranggapan bahwa jika mau
menjadi seorang Ulama harus melewati pendidikan di pesantren. Hal ini menjadi
lecutan semangat bagi para penuntut ilmu khususnya penulis sendiri, bahwa sikap istiqomah dan ta’zhim kepada gurulah yang menjadikan seorang itu sukses dalam menuntut ilmu. Pengorbanan waktu, tenaga dan kesenangan dunia juga
diperlihatkan oleh beliau dalam menuntut ilmu, sehingga menggugah penulis
untuk serius dan lebih bersungguh-sungguh lagi dalam menuntut ilmu.
Untuk itu penulis sebagai salah seorang yang berdarah Betawi merasa
penjelasan tentang kontribusi pendidikan Islam yang diberikan oleh KH.
Muhammad Syafi’i Hadzami penting untuk dikaji secara akademis dalam skripsi yang penulis beri judul: “Kontribusi KH. Syafi’i Hadzami dalam Pendidikan
Islam”.
B. Identifikasi Masalah
Berdasarkan latar belakang masalah diatas, maka penulis mengidentifikasikan
masalah sebagai berikut:
1.Kurangnya perhatian terhadap kontribusi KH. Syafi’i Hadzami terhadap pendidikan Islam.
2.Rendahnya minat generasi muda Betawi terhadap Sejarah Para Ulama
Betawi yang telah berjasa besar terhadap pendidikan Islam.
3.Masih sedikitnya kajian tentang sejarah intelektual keislaman yang dikaji
tentang Betawi.
C. Pembatasan Masalah
Mengingat banyaknya Ulama Betawi yang berjasa bagi masyarakat Betawi
maka penulis membatasi permasalahan untuk berfokus pembahasan Ulama Betawi dikhususkan kepada KH. Muhammad Syafi’i Hadzami.
Selanjutnya karena luasnya Tanah Betawi yang ada di Jakarta yang terdiri
untuk membahas pada wilayah tempat tinggal Ulama yang akan penulis bahas
yaitu daerah Gandaria, Kebayoran Lama dan sekitarnya.
D. Perumusan Masalah
Berdasarkan pembatasan masalah di atas, maka penulis merumuskan masalah
sebagai berikut: Apa saja kontribusi KH. Muhammad Syafi’i Hadzami terhadap pendidikan Islam di Indonesia?
E. Tujuan dan Manfaat Penelitian
Tujuan penelitian ini untuk mengetahui kontribusi KH. Muhammad Syafi’i Hadzami terhadap pendidikan Islam.
Adapun manfaat dari penelitian ini adalah:
1. Mendapatkan informasi tentang apa saja kontribusi KH. Muhammad Syafi’i Hadzami dalam pendidikan Islam.
2. Secara teoritis, dapat semakin memperkaya khazanah intelektual Islam
pada umumnya dan bagi akademika Fakultas Tarbiyah Jurusan Pendidikan
Agama Islam.
3. Menambah wawasan ilmu pengetahuan Islam serta dapat menjadi rujukan
bagi peneliti selanjutnya sehingga proses pengkajian secara mendalam
akan terus berlangsung dan memperoleh hasil yang maksimal.
4. Untuk memenuhi syarat memperoleh gelar Sarjana Program Strata Satu
(S-1) pada Jurusan Pendidikan Agama Islam Universitas Islam Negeri
6
1. Pengertian Pendidikan
Istilah pendidikan adalah terjemah dari bahasa Yunani paedagogie yang berarti “pergaulan dengan anak-anak.” Sedangkan orang yang tugasnya membimbing atau mendidik dalam pertumbuhannya agar dapat berdiri sendiri
disebut paedagogos. Istilah paedagogos berasal dari kata paedos (anak) dan
agoge (saya membimbing, memimpin).1
Pendidikan bisa berarti pemeliharaan dengan penuh kasih sayang agar
dipelihara dapat berkembang dengan baik dan memberi manfaat bagi manusia
dan bagi alam itu sendiri, lantaran di antara satu alam dengan lainnya saling
membutuhkan dalam ekosistem. Misalnya, air jika dipelihara dengan baik akan
memberi manfaat bagi manusia, tumbuhan, binatang dan seterusnya.
Pada tingkat operasional pendidikan dapat dilihat pada praktek yang
dilakukan oleh Rasulullah, antara lain beliau telah membacakan ayat-ayat Tuhan
kepada manusia, membersihkan mereka dari kemusyrikan dan mengajarkan
kepada manusia kitab dan hikmah (QS. 62:2). Kata mensucikan pada ayat
tersebut menurut M. Quraisy Shihab, dapat diidentikkan dengan mendidik,
sedang mengajar, tidak lain kecuali mengisi benak anak-anak dengan
pengetahuan yang berkaitan dengan alam metafisika dan fisika.
Berdasarkan pernyataan di atas, pendidikan berarti berkaitan dengan
menyucikan, membentuk perilaku dengan adab sopan santun.2 Menurut Omar
Muhammad al-Toumy al-Syaibani, mendefinisikan bahwa pendidikan adalah
proses pengubahan tingkah laku individu, pada kehidupan pribadi, masyarakat,
dan alam sekitarnya, dengan cara pengajaran sebagai suatu aktivitas asasi dan
sebagai profesi di antara profesi-profesi asasi dalam masyarakat.3
1
Armai Arief, Reformulasi Pendidikan Islam, (Jakarta: CRSD PRESS, April 2005), hal. 17 2Ibid
. hal. 186-188 3
Menurut M. Arifin dalam bukunya menjelaskan, “Pendidikan adalah usaha orang dewasa secara sadar untuk membimbing dan mengembangkan
kepribadiannya serta kemampuan dasar anak didik, baik dalam pendidikan formal maupun non formal.”4
Sedangkan menurut Hasan Langgulung bahwa “Pendidikan adalah suatu proses yang mempunyai tujuan yang biasanya diusahakan untuk menciptakan pola-pola tingkah laku tertentu pada kanak-kanak atau orang yang sedang dididik.”5
Sementara itu, dalam Undang-Undang Sistem Pendidikan Nasional No. 20
Tahun 2003 Bab 1 Pasal 1 dinyatakan bahwa pendidikan adalah usaha sadar dan
terencana untuk mewujudkan suasana belajar dan proses pembelajaran agar
peserta didik secara aktif dapat mengembangkan potensi dirinya untuk memiliki
kekuatan spiritual keagamaan, pengendalian diri, masyarakat, bangsa dan
negara.
Dari pengertian-pengertian di atas dapat diambil kesimpulan bahwa
pendidikan adalah usaha sistematis dalam membimbing anak manusia yang
berlandaskan pada proses individual dan sosialisasi dalam mengembangkan serta
memberi pengetahuan ilmu dari segala bidang apapun terhadap seseorang yang
belum mengetahuinya atau belum memahaminya.
2. Pengertian Pendidikan Islam
Agama Islam adalah agama yang universal, mengajarkan kepada umat
manusia mengenai berbagai aspek kehidupan, baik duniawi maupun ukhrawi.6
Islam adalah damai, sentosa dan aman. Agama yang ajaran-ajarannya
diwahyukan Tuhan untuk umat manusia, melalui Rasul-Nya, Muhammad SAW.
Tujuan ajaran Islam yaitu untuk mendorong manusia agar patuh dan tunduk
kepada Tuhan, sehingga terwujud keselamatan, kedamaian, aman dan sentosa,
serta sejalan pula dengan misi ajaran Islam, yaitu menciptakan kedamaian di
4
M. Arifin, Hubungan Timbal Balik Pendidikan Agama di Lingkungan Sekolah dan Keluarga Sebagai Pola Pengembangan Metodologi, (Jakarta: Bulan Bintang, 1987), Cet. ke-4, hal. 14
5
Abuddin Nata, Loc. cit., hal. 28 6
muka bumi dengan cara mengajak manusia untuk patuh dan tunduk kepada
Tuhan. 7
Kata “Islam” dalam “Pendidikan Islam” menunjukkan warna pendidikan tertentu yaitu pendidikan yang berwarna Islam, pendidikan yang Islami yaitu
pendidikan yang berdasarkan Islam.8 Salah satu di antara ajaran Islam tersebut
adalah mewajibkan kepada umat Islam untuk melaksanakan pendidikan. Kerena
menurut ajaran Islam, pendidikan merupakan kebutuhan hidup manusia yang
mutlak harus dipenuhi, demi untuk mencapai kesejahteraan dan kebahagiaan
dunia dan akhirat. Dengan pendidikan itu pula manusia akan mendapatkan
berbagai macam ilmu pengetahuan untuk bekal kehidupannya.
Jika kita memperhatikan wahyu yang pertama kali turun kepad Nabi
Muhammad SAW yaitu QS. al-‘Alaq:1-5, telah nyata bahwa Allah menekankan perlunya orang untuk belajar baca tulis dan belajar ilmu pengetahuan. Urgensi
ini bahkan sampai diawali dengan fi’il amer yang berarti perintah pada kata “Iqro” di awal ayat. Jika disambungkan dengan kaidah Ushul Fiqih maka “a
l-Ashlu fil amri lil wujub”, yang artinya asal pada perintah itu menunjukkan kepada kewajiban.
Islam di samping menekankan kepada umatnya untuk belajar juga menyuruh
umatnya untuk mengajarkan ilmunya kepada orang lain. Jadi, Islam
mewajibkan umatnya belajar dan mengajar. Melakukan proses belajar dan
mengajar adalah bersifat manusiawi, yakni sesuai dengan harkat
kemanusiaannya, sebagai makhluk homo educandus, dalam arti manusia sebagai
makhluk yang dapat dididik dan dapat mendidik. Banyak ayat al-Qur’an dan hadits yang menjelaskan hal teresebut, diantaranya:9
M. Arifin memandang pendidikan Islam sebagai proses mengarahkan dan
membimbing anak didik ke arah pendewasaan pribadi yang beriman, berilmu
7
Abuddin Nata, Op. Cit., hal. 32 8
Ahmad Tafsir, Ilmu Pendidikan Islam Dalam Perspektif Islam, (Bandung: PT. Remaja Rosdakarya, 2007), cet. ke-7, hal. 24
9
pengetahuan yang saling mempengaruhi dalam perkembangannya untuk
mencapai titik optimal kemampuannya.10
Samsul Nizar mendefinisikan bahwa pendidikan Islam sebagai rangkaian
proses yang sistematis, terencana dan komprehensif dalam upaya mentransfer
nilai-nilai kepada anak didik, mengembangkan potensi yang ada pada diri anak
didik sehingga anak didik mampu melaksanakan tugasnya di muka bumi dengan
sebaik-baiknya, sesuai dengan nilai-nilai Ilahiyah yang didasarkan pada ajaran
agama (al-Qur’an dan Hadits) pada semua dimensi kehidupannya.11
Proses kependidikan merupakan rangkaian usaha membimbing, mengarahkan
potensi hidup manusia yang berupa kemampuan-kemampuan dasar dan
kemampuan belajar, sehingga terjadilah perubahan di dalam kehidupan
pribadinya sebagai makhluk individual, dan sosial serta dalam hubungannya
dengan alam sekitar di mana ia hidup. Proses tersebut senantiasa berada di dalam
nilai-nilai yang melahirkan norma-norma syariah dan akhlakul karimah.12
3. Dasar-dasar Pendidikan Islam
Dasar atau fundamen dari suatu bangunan adalah bagian dari bangunan yang
menjadi sumber kekuatan dan keteguhan tetap berdirinya bengunan itu. Pada
suatu pohon dasar atau pundamennya adalah akarnya. Fungsinya yaitu
mengokohkan berdirinya pohon itu.13 Yang dimaksud dengan dasar pendidikan
adalah pandangan pandangan hidup yang melandasi seluruh aktivitas
pendidikan. Karena dsar menyangkut masalah ideal dan fundamental, maka
diperlukan landasan pandangan hidup yang kokoh dan komprehensif, serta tidak
mudah berubah.14
Menurut al-Syaibany dasar pendidikan Islam adalah identik dengan dasar
ajaran Islam itu sendiri. Keduanya berasal dari sumber yang sama yaitu
10
M. Arifin, Kapita Selekta Pendidikan (Islam dan Umum), (Jakarta: Bina Aksara, 1991), hal. 44
11
Samsul Nizar, Pengantar Dasar-Dasar Pemikiran Pendidikan Islam, (Jakarta: Gaya media Pratama, 2001), hal. 94
12
M Arifin, Filsafat Pendidikan Islam, (Jakarta: PT. Bina Aksara, 1987), Cet. ke-1, hal. 13 13
Ahmad D. Marimba, Pengantar Filsafat Pendidikan Islam, (Bandung: Al Ma’arif, 1980), Cet. ke-4, hal. 38
14
Qur’an dan hadits. Kemudian dasar tadi dikembangkan dalam pemahaman para ulama dalam bentuk qiyas syar’i, ijma’ yang diakui, ijtihad dan tafsir yang benar dalam bentuk hasil pemikiran yang menyeluruh dan terpadu tentang jagat raya,
manusia, masyarakat dan bangsa, pengetahuan manusia dan akhlak, dengan
merujuk kepada kedua sumber asal (al-Qur’an dan Hadits) sebagai sumber utama.15
4. Tujuan dan Fungsi Pendidikan Islam
Setiap kegiatan yang dijalankan pasti memiliki tujuan, dan tujuan dari sebuah
kegiatan biasanya untuk mencapai sesuatu yang baik, terarah dan mempunyai
manfaat. Dalam hal ini tujuan yang ingin dicapai dalam pendidikan Islam
terlihat sangat besar dalam membangun peradaban manusia. Artinya, peradaban
dan kebudayaan manusia tumbuh dan berkembang melalui pendidikan.
Menurut Omar al-Toumy al-Syaibani yang dikutip oleh Jalaluddin, bahwa
tujuan pendidikan Islam adalah untuk mempertinggi nilai-nilai akhlak hingga
tercapai tingkat akhlakul karimah. Tujuan ini sama dan sebangun dengan tujuan yang akan dicapai oleh misi kerasulan, yaitu “membimbing manusia agar berakahlak mulia” kemudian akhlak mulia yang dimaksud, diharapkan tercermin dari sikap dan tingkah laku individu dalam hubungan dengan Allah, diri sendiri,
sesama manusia dan sesama makhluk Allah, serta lingkungannya.16
Zakiah Daradjat berpendapat bahwa tujuan pendidikan Islam secara
keseluruhan, yaitu kepribadian seseorang yang membuatnya menjadi insan kamil
dengan pola takwa. Insan kamil artinya manusia utuh rohani dan jasmani, dapat
hidup dan berkembang secara wajar dan normal karena takwanya kepada Allah
SWT.17 Sedangkan Umar Tirta mengemukakan: “Bahwa yang dimaksud dengan
manusia utuh adalah manusia yang sehat jasmani dan rohani, manusia yang
mempunyai hubungan vertikal (dengan Tuhan), horizontal (dengan lingkungan)
15
Jalaluddin dan Usman Said, Filsafat Pendidikan Islam, Konsep dan Perkembangan, (Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada, 1996)
16
Jalaluddin, Teologi Pendidikan, (Jakarta: Raja Grafindo Persada, 2002), hal. 92 17
dan konsentris (dengan diri sendiri) yangn berimbang antara duniawi dan ukhrawi.”18
Dari uraian di atas dapat diambil kesimpulan bahwa tujuan pendidikan Islam
adalam perubahan yang diinginkan dan diusahakan oleh proses pendidikan, baik
tingkah laku individu maupun kehidupan masyarakat.
B. Pendidikan Islam di Indonesia
1. Sejarah Pendidikan Islam di Indonesia
Sejarah pendidikan Islam dimulai sejak agama Islam masuk ke Indonesia,
yaitu kira-kira abad ke-10 masehi. Ahli sejarah umumnya sependapat bahwa
agama Islam mula-mula masuk ialah ke pulau Sumatera bagian Utara di daerah
Aceh. Dalam mengetahui sejarah masuknya Islam, tahun berapa, dan siapa yang
mula-mula memasukkan? Tidaklah dapat jawaban yang pasti dalam sejarah.
Namun bukti kuat masuknya Islam sekitar abad ke-10 berdasarkan berdirinya
kerajaan Islam pertama di Indonesia yaitu kerajaan Samudra Pasai, yang dalam
sejarah tercatat berdiri pada abad ke-10 M dengan raja pertamanya Malik Ibrahim
bin Mahdum. Yang kedua bernama Al-Malik Al-Shaleh dan yang terakhir
bernama Al-Malik Sabar Syah (tahun 1444 M/ abad ke-15 H). Pada tahun 1345,
Ibnu Batutah dari Maroko sempat singgah di Kerajaan Pasai pada zaman
pemerintahan Malik Az-Zahir, raja yang terkenal alim dalam ilmu agama dan bermazhab Syafi’i, mengadakan pengajian sampai waktu sholat Ashar dan fasih berbahasa Arab serta mempraktekkan pola hidup yang sederhana. 19
Pendapat ini dikuatkan lagi dengan keterangan ahli sejarah, bahwa orang
Arab atau Islam telah mengenal pulau Sumatera dalam abad ke sembilan. Oleh
sebab itu, banyak di antara mereka itu datang ke Sumatera dan ke pulau-pulau
Indonesia yang lain untuk berniaga sekaligus mereka menyiarkan agama Islam
kepada penduduk negeri. Secara berangsur-angsur penduduk negeri tertarik
kepada agama Islam, lalu mereka memeluk agama itu. Sebab itu tidak heran,
bahwa agama Islam telah masuk ke daerah Aceh sebelum abad kedua belas.
18
Umar Tirta Raharja, Pengantar Pendidikan, (Jakarta: Rangka Cipta, 1995), hal. 2
19
2. Organisasi dan Pendidikan Islam di Indonesia
Lahirnya beberapa organisasi Islam di Indonesia lebih banyak karena
didorong oleh mulai tumbuhnya sikap patriotisme dan rasa nasionalisme serta
sebagai respon terhadap kepincangan-kepincangan yang ada di kalangan
masyarakat Indonesia pada akhir abad ke-19 yang mengalami kemunduran total
sebagai akibat eksploitasi politik pemerintah kolonial Belanda. Langkah pertama
yang diwujudkan adalah kesadaran berorganisasi.
Walaupun banyak cara yang ditempuh oleh pemerintah kolonial waktu itu
untuk membendung pergolakan rakyat Indonesia melalui media pendidikan
namun tidak banyak membawa hasil, justru berakibat sebaliknya makin
menumbuhkan kesadaran tokoh-tokoh organisasi Islam untuk melawan penjajah
Belanda. Sikap dan rasa nasionalisme tumbuh dan berkembang di kalangan rakyat
melalui pendidikan. Kesadaran berorganisasi yang dijiwai oleh nasionalisme
menimbulkan perkembangan dan era baru di lapangan pendidikan dan pengajaran.
Kemudian lahirlah Perguruan-Perguruan Nasional yang ditopang oleh
usaha-usaha swasta (partikelir) menurut istilah waktu itu yang berkembang pesat sejak
awal tahun 1900 an.
Para pemimpin pergerakan nasional dengan kesadaran penuh ingin mengubah
keterbelakangan rakyat Indonesia. Mereka insyaf bahwa penyelenggaraan
pendidikan yang bersifat nasional harus segera dimasukkan ke dalam agenda
perjuangannya. Maka lahirlah sekolah-sekolah partikelir (swasta) atas usaha para
perintis kemerdekaan. Sekolah-sekolah itu semula memiliki dua corak, yaitu:
a. Sesuai dengan haluan politik, seperti:
1) Taman Siswa, yang mula-mula didirikan di Yogyakarta
2) Sekolah Sarikat Rakyat di Semarang, yang berhaluan komunis
3) Ksatrian Institut, yang didirikan oleh Dr. Douwes Dekker (Dr. Setiabudi)
di Bandung.
4) Perguruan Rakyat, di Jakarta dan Bandung
b. Sesuai dengan tuntutan/ajaran agama (Islam), yaitu:
1) Sekolah-sekolah Serikat Islam
3) Sumatera Tawalib di Padang Panjang
4) Sekolah-Sekolah Nahdlatul Ulama
5) Sekolah-Sekolah Persatuan Ulama Islam (PUI)
6) Sekolah-Sekolah al-Jami’atul Wasliyah 7) Sekolah-Sekolah Al-Irsyad
8) Sekolah-Sekolah Normal Islam
9) Dan masih banyak sekolah-sekolah lain yang didirikan oleh organisasi
Islam maupun oleh perorangan di berbagai kawasan kepulauan Indonesia baik
dalam bentuk pondok pesantren maupun madarasah.
Berikut ini adalah kilasan tentang organisasi-organisasi yang berdasarkan
sosial keagamaan yang banyak aktivitas kependidikan Islam, yaitu:
a. Al-Jami’at al-Khairiyyah
Organisasi yang lebih dikenal dengan nama Jami’at Khair ini didirikan di Jakarta pada tanggal 17 Juli 1905. Anggota organisasi ini mayoritas orang Arab,
tetapi tidak menutup kemungkinan untuk setiap muslim menjadi anggota tanpa
diskriminasi asal-usul. Umumnya anggota dan pimpinannya terdiri dari
orang-orang yang berada yang memungkinkan penggunaan waktu mereka untuk
perkembangan organisasi tanpa mengorbankan usaha pencarian nafkah.
b. Al-Islah wal Irsyad
Syeikh Ahmad Surkati yang sampai di Jakarta dalam bulan Februari 1912,
seorang alim yang terkenal dalam agama Islam, beberapa lama kemudian meninggalkan Jami’at Khair dan mendirikan gerakan organisasi sendiri bernama Al-Islah wal Irsyad, dengan haluan mengadakan pembaharuan dalam Islam
(reformisme).
Pada tahun 1941 berdirilah perkumpulan Al-Islah wal Irsyad, kemudian
terkenal dengan sebutan Al-Irsyad, yang terdiri dari golongan-golongan Arab
bukan golongan Alawi. Tahun 1951 berdirilah sekolah Al-Irsyad yang pertama di
Jakarta, yang kemudian disusul oleh beberapa sekolah dan pengajian lain yang
c. Persyerikatan Ulama
Persyerikatan Ulama merupakan perwujudan dari gerakan pembaharuan di
daerah Majalengka, Jawa Barat, yang dimulai pada tahun 1911 atas inisiatif Kyai
Haji Abdul Halim, lahir pada tahun 1887 di Ciberelang Majalengka. Kedua orang
tuanya berasal dari keluarga yang taat beragama (ayahnya seorang penghulu di
Jatiwangi), sedangkan saudara-saudaranya mempunyai hubungan yang erat
secara kekeluargaan dengan orang-orang dari kalangan pemerintah.
d. Muhammadiyah
Salah sebuah organisasi sosial Islam yang terpenting di Indonesia sebelum
perang dunia II sampai sekarang. Organisasi ini didirikan di Yogyakarta pada
tanggal 18 November 1912 bertepatan denga tanggal 18 Dzulhijjah 1330 H, oleh
KH. Ahmad Dahlan atas saran yang diajukan murid-muridnya dan beberapa orang
anggota Budi Utomo untuk mendirikan suatu lembaga pendidikan yang bersifat
permanen.
e. Nahdlatul Ulama
Nahdlatul Ulama (NU) didirikan pada tanggal 16 Rajab 1344 H (3 Januari
1926) di Surabaya. Yang mendirikannya adalah alim ulama dari tiap-tiap daerah
di Jawa Timur, di antaranya ialah:
1) KH. Hasyim Asy’ari Tebuireng 2) KH. Abdul Wahab Hasbullah
3) KH. Bisri Jombang
4) KH. Ridwan Semarang
5) KH. Nawawi Pasuruan
6) KH. R. Asnawi Kudus
7) KH. R. Hambali Kudus
8) Kyai Nakhrawi Malang
9) KH. Doromuntaha Bangkalan
10) KH. M. Alwi Abdul Aziz
f. Persatuan Islam
Persatuan Islam (Persis) didirikan di Bandung pada permulaan tahun 1920-an
ketika orang-orang Islam di daerah-daerah lain telah lebih dahulu maju dalam
berusaha untuk mengadakan pembaharuan dalam agama. Bandung kelihatan agak
lambat memulai pembaharuan ini dibandingkan dengan daerah-daerah lain,
meskipun Sarekat Islam telah beroperasi di kota ini semenjak tahun 1913.
Kesadaran tentang keterlambatan ini merupakan salah sebuah cambuk untuk
mendirikan sebuah organisasi.20
3. Tokoh-Tokoh (Ulama) Pendidikan Islam di Indonesia
Semakin majunya pendidikan di Indonesia tidak lepas dari peran para tokoh
pemikir pendidikan. Di antara beberapa tokoh pendidikan Islam di Indonesia
adalah:
a. KH. Ahmad Dahlan
K.H. Ahmad Dahlan dilahirkan di Yogyakarta pada tahun 1869 dengan nama
kecilnya Muhammad Darwis, putra dari KH. Abu Bakar bin Kyai Sulaiman, khatib di masjid besar (Jami’) Kasultanan Yogyakarta. Ibunya adalah putrid Haji Ibrahim, seorang penghulu.21
Beliau menggantikan kedudukan ayah menjadi khatib masjid besar Kauman
Yogyakarta dan dianugrahi gelar Kathib Amin di samping jabatannya yang resmi
itu. Pada tahun 1909 K.H. Ahmad Dahlan masuk Budi Utomo dengan maksud
memberikan pelajaran agama kepada anggota-anggotannya. Dengan jalan ini ia
berharap akan dapat akhirnya memberikan pelajaran agama di sekolah-sekolah
pemerintah, oleh sebab anggota-anggota Budi Utomo itu pada umumnya bekerja
di sekolah-sekolah yang didirikan oleh pemerintah dan juga di kantor-kantor
pemerintah.22
Di bidang pendidikan, Ahmad Dahlan berusaha memmberikan pembaharuan
dalam sistem pendidikan Islam. Selain mendirikan perkumpulan Muhammadiyah
20
Zuhairin., Sejarah Pendidikan Islam, (Jakarta: Proyek Pembinaan Prasarana dan Sarana PTAI, 1986), hal. 210-215
21
Ibid., hal. 201 22
pada tahun 1912 M, beliau juga membangun sekolah-sekolah formal. Lahirlah
kemudian lembaga-lembaga pendidikan modern, yang memadukan antara
ilmu-ilmu agama (Islam) dengan ilmu-ilmu-ilmu-ilmu modern.
Ahmad Dahlan kemudian melangkah dengan nuansa Islam yang baru.
Pikiran-pikiran pembaruan yang disampaikan lewat tablignya banyak memukau
kalangan intelektual dan kaum terpelajar Islam di Indonesia. Tidak kurang para
aktivis Boedi Oetomo ikut terpesona dan sering mengundang Ahmad Dahlan
untuk memberikan ceramahnya.23
b. K.H. Hasyim Asy’ari
K.H. Hasyim Asy’ari dilahirkan pada tanggal 14 Februari 1871 M di Jombang Jawa Timur, mula-mula ia belajar agama Islam pada ayahnya sendiri Kyai Asy’ari. Kemudian ia belajar ke pondok pesantren di Purbolinggo, kemudian pindah lagi ke Plangitan, Semarang, Madura, dan lain-lain.
Beliau bermukim selam 8 tahun ke Mekkah untuk menuntut agama Islam dan
bahasa Arab. Sepulang dari Makkah ia membuka pesantren untuk mengamalkan
dan membuka ilmu pengetahuaanya, yaitu Pesantren Tebu Ireng di Jombang
(pada tanggal 26 Rabiul Awal tahun 1899 M)24. Selain mengembangkan ilmu di
Tebu Ireng ia juga turut membangunkan perkumpulan Nahdlatul Ulama, bahkan
ia sebagai Syekhul Akbar dalam perkumpulan itu. Selain daripada itu K.H. Hasyim Asy’ari duduk dalam pucuk pimpinan M.I.A.I. yang kemudian menjadi Masyumi.
Sebagai ulama ia hidup dengan tidak mengharapkan sedekah dan belas
kasihan orang. Tetapi beliau mempunyai sandaran hidup sendiri, yaitu beberapa
bidang sawah, hasil peniagaannya. Beliau seorah salih, sungguh beribadat, taat
dan rendah hati. Ia tidak ingin pangkat dan kursi, baik di zaman Belanda, atau di
zaman Jepang. Kerap kali beliau diberi pangkat dan kursi, tetapi ia menolak
dengan bijaksana.25
23
Kholid O. Santosa, Manusia Panggung Sejarah: Pemikiran dan Gerakan Tokoh-Tokoh Islam, (Bandung: Sega Arsy, 2007), hal. 12-13
24
Deliar Noer, Gerakan Modern, Tim Pembina Al-Islam dan Kemuhammadiyahan, Sejarah Muhammadiyah, Pemikiran dan amal Usaha, (Yogyakarta : Tiara Wacana, 1990), hal.62
25
K.H. Hasyim Asy’ari juga merupakan sosok pengarang produktif yang telah menghasilkan banyak karya dalam bentuk buku. Diantara karya K.H. Hasyim Asy’ari yang sangat monumental yaitu kitab adab al-alim wa al- muta’alim fima
yahtaj ila al-muta’allim fi ahwal ta’allum wa ma yataqaff al-muta’allim fi
maqamat ta’limih yang dicetak pertama kali pada tahun 1451 H. Kitab tersebu terdiri dari 8 bab, yaitu keutamaan ilmu serta keutamaan mengajar, etika yang
harus diperhatikan dalam belajar mengajar, etika seorang murid terhadap guru,
etika murid terhadap pelajaran, etika yang harus dipedomani oleh guru, etika guru
ketika akan mengajar, etika guru terhadap murid-muridnya dan etika terhadap
buku.26
c. Mahmud Yunus
Mahmud Yunus lahir di Batusangkar, Sumatra Barat pada tanggal 10
Februari 1899 dan wafat pada tanggal 16 Januari 1982. Beliau termasuk tokoh
pendidikan Islam Indonesia yang gigih memperjuangkan masuknya pendidikan
agama ke sekolah umum dan ikut berusaha memperjuangkan berdirinya
Perguruan Tinggi Agama Islam Negeri (PTAIN).
Usaha yang dilakukan Mahmud Yunus di bidang pendidikan setelah kembali
ke Indonesia yaitu memperbarui madrasah yang pernah dipimpinnya di sana yang
bernama al-Jami’ah al-Islamiyah, dengan mendirikan sekolah yang kurikulumnya memadukan ilmu agama dan ilmu umum yaitu Normal Islam. Madrasah ini yang
pertama kali memiliki Laboratorium ilmu fisika dan kimia di Sumatra Barat.
Pembaruan diutamakan pada metode mengajar bahasa arab.
Mahmud Yunus memiliki komitmen dan perhatian yang besar terhadap upaya
membangun, meningkatkan dan mengembangkan pendidikan agama Islam. Dia
ingin lulusan pendidikan Islam mutunya lebih baik dan mampu bersaing dengan
lulusan sekolah yang sudah maju, beliau juga menawarkan pengajaran bahasa arab
yang integrated antara satu cabang dengan cabang lainnya dalam ilmu bahasa
arab, mengubah sistem yang bercorak individual kepada sistem pengajaran
klasikal, cara mengajarkan agama sesuai dengan tingkat usia dan jenjang
26
pendidikan dengan menggunakan metode yang bervariasi.27 Mahmud Yunus
bukan hanya mengajarkan tentang kebahasaannya, tapi juga bagaimana cara
mudah dan cepat untuk bisa menguasai bahasa Arab. Pada tanggal 16 Januari
1982, Mahmud Yunus meninggal dunia di Jakarta.28
d. Imam Zarkasyi
Dilahirkan di Gontor, Jawa Timur pada tanggal 21 Maret 1901 M dan
meninggal dunia pada tanggal 30 Maret 1985. Ia meninggalkan seorang istri dan
11 orang anak.29 Semasa hidup beliau pernah menjadi Dewan Pertimbangan
Majelis Ulama Indonesia (MUI) pusat. Selain itu, beliau juga orang yang aktif
dalam bidang pendidikan, sosial dan politik negara. Imam Zarkasyi juga seorang
ulama yang produktif dalam bidang tulis-menulis. Banyak sekali karyanya yang
hingga saat ini dapat dinikmati. Beliau juga rajin menulis beberapa petunjuk
teknik bagi para santri dan guru di Pondok Gontor dalam berbagai masalah yang
berkaitan dengan pendidikan di pesantren tersebut, termasuk metode mengajar
beberapa mata pelajaran. Buku-buku karangannya hingga kini masih dipakai di
KMI Gontor dan pondok-pondok pesantren yang didirikan para alumni Gontor
serta beberapa sekolah agama.30
e. Dan masih banyak lagi tokoh-tokoh lain pendidikan Islam di Indonesia
C. Ulama, Status, Fungsi dan Perannya
Kata ulama adalah berasal dari kata Jama’-A’lima yang mempunyai arti seseorang yang memiliki ilmu yang mendalam, luas dan mantap.31 Dalam
al-Qur’an terdapat dua kata “ulama”, yaitu pada surat Fatir:2832 dan surat
27
Abuddin Nata, Tokoh-Tokoh Pembaharu Pendidikan Islam Indonesia,( Jakarta: PT Rajagrafindo Persada, 2005), hal. 57-70
28
Herry Mohammad dkk, Tokoh-Tokoh Islam yang Berpengaruh Abad 20, (Jakarta: Gema Insani Press, 2006), hal. 90
29
Abuddin Nata, Pemikiran para Tokoh Pendidikan Islam, (Jakarta: PT Raja Grafindo Persada, 2001), hal. 157
30
Ibid., hal. 195 31
Abdul Qodir Djaelani, Peran Ulama danSantri dalam Perjuangan Politik Islam di Indonesia , (Surabaya: PT Bina Ilmu,1990), hal. 3
Syu’ara: 196 - 197 33. Dari ayat-ayat tersebut dapat disimpulkan bahwa Ulama adalah seseorang yang memiliki kepribadian akhlak yang dapat menjaga
hubungan dekatnya dengan Allah dan memiliki benteng kekuatan untuk
menghalau dan meninggalkan segala sesuatu yang dibenci oleh Allah, tunduk, patuh dan “khasyyah” (takut) kepada-Nya.
Nabi Muhammad SAW memberikan rumusan tentang ulama itu sendiri yaitu
bahwa ulama adalah hamba Allah yang berakhlak Qur’ani yang menjadi
warotsatul anbiya (pewaris para nabi), qudwah (pemimpin dan panutan) ,
khalifah, pengemban amanah Allah, penerang bumi, pemelihara kemaslahatan dan
kelestarian hidup manusia.34
Pada masa Bani Umayyah dan sesudahnya, istilah ulama lebih ditekankan
kepada orang yang memiliki pengetahuan keagamaan saja. Bahkan karena ada
pembidangan ilmu agama, istilah ulama lebih dipersempit lagi, seperti ahli fikih
disebut fuqaha, ahli hadits disebut muhaddisin, ahli kalam disebut mutakalim, ahli tasawuf disebut mutasawif dan ahli tafsir disebnut mufasir. Sementara orang yang memiliki pengetahuan tentang ilmu kealaman tidak lagi disebut sebagai ulama
tetapi ahli di dalam bidangnya masing-masing.35
Di Indonesia, ada beberapa macam istilan atau sebutan ulama. Di Aceh
disebut Teungku, di Sumatera Barat disebut Tuanku atau Buya, di Jawa Barat
disebut Ajengan, di Jawa Tengah dan Timur disebut Kiai, di daerah Kalimantan
Selatan, Sulawesi Selatan dan Nusa Tenggara disebut Tuan Guru. Adapun ulama
yang memimpin tarekat disebut Syaikh.36 Sedangkan ulama di Betawi disebut
Guru, Muallim dan Ustadz.37
Dalam konteks kemasyarakatan, status ulama adalah informal leader
(pemimpin non formal) yang diangkat dan diakui oleh masyarakat sebagai
pemimpin yang disegani, dipatuhi, dijadikan sumber bertanya dan pertukaran
33“Dan sesungguhnya Al-Qur’an itu benar-benar (tersebut) dalam kitab-kitab orang dahulu. Dan Apakah tidak cukup menjadi bukti bagi mereka, bahwa Para ulama Bani Israil mengetahuinya?
34
Ahmad Fadli, Ulama Betawi, (Jakarta: Manhalun Nasyi-in Press, 2001), hal. 32-33 35Ibid
., hal. 33 36
Hafidz Dasuki, Ensiklopedi Islam, (Jakarta: Ichtiar Baru van Hoeve, 1994), hal. 120-121 37
pikiran bagi masyarakat. Oleh karenanya, status ulama sebagai informal leader
masih berlaku selama masyarakat yang dipimpinnya masih mengakui atau
menerimanya sebagai pemimpin. Kendati sebagai pemimpin non formal, ulama
memiliki peranan yang signifikan terhadap perubahan suatu sosial masyarakat.38
Sebagai pewaris para nabi, para ulama menjalankan fungsi-fungsi kenabian,
seperti mendidik untuk menyempurnakan akhlak mulia di kalangan masyarakat,
berdakwah untuk mengajak orang-orang agar berbuat baik dan mencegah
kemungkaran dan lain-lain. Ulama juga bertugas menyebarkan pengetahuan dan
pengalaman ajaran-ajaran Islam sehingga masyarakat yang dicita-citakan agama
terwujud. Ulama di samping memiliki pengetahuan dan ketaatan dalam
menjalankan agama, mereka juga harus mempunyai kepedulian terhadap
penderitaan manusia, baik moral maupun material dan terhadap orang-orang yang beriman dan jama’ah binaanya bersikap kasih sayang.39
Mengenai konsep ulama dan tugas yang diembannya, maka tugas-tugas yang
mereka emban tidak berubah. Oleh karenanya, peran yang harus dimainkan secara
garis besar adalah sama dari masa ke masa. Persoalannya terletak pada
pendekatan yang mereka gunakan dan dapat berubah serta berkembang sesuai
dengan situasi dan kondisi pada waktu dan tuang tertentu. Mengenai
perkembangan situasi dan kondisi itu, perubahan juga dapat terjadi pada konsep
ulama sebagaimana yang dipahami oleh umat, bukan seperti disebutkan dalam
teks suci. Oleh karenanya, konsep ulama di masa lampau bisa berbeda dengan
konsep yang dianut pada masa sekarang. Perbedaan konsep itu tentu saja akan
menyebabkan perbedaan peran yang mereka mainkan yang secara teknis
berbeda.40
38
Ahmad Fadli HS, Organisasi dan Administrasi, (Jakarta: Manhalun Nasyi-in Press, 2002), hal. 23
39
Ahmad Fadli HS, Ulama Betawi, Op Cit., hal. 35 40
D. Pertumbuhan Etnis Betawi
Tidak ditemukan laporan tertulis mengenai kota Jakarta ketika masih bernama
Sunda Kelapa dan berada di bawah kekuasaan Kerajaan Pajajaran. Sejarawan
Portugis Baros, yang mencatat peristiwa perjanjian perdagangan antara Portugis
dengan Pajajaran pada tahun 1522 memperkirakan jumlah penduduk Sunda
Kelapa 15.000 orang. Sementara itu pengunjung Belanda paling awal
memperkirakan penduduk Sunda Kelapa 2.000 keluarga atau 10.000 orang, tanpa
menyebutkan identitas etnisnya.41 Ketika Sunda Kelapa dikuasai oleh Fadhilah
Khan juga tidak ditemukan keterangan apapun mengenai penduduk atau
kelompok etnis yang mendiami kota itu, melainkan hanya perubahan nama dari
Sunda Kelapa menjadi Jayakarta yang terjadi pada tanggal 22 Juni 1527.
Memasuki abad ke 17, Jayakarta berkembang sebagai pelabuhan dagang dan
mulai mengadakan perjanjian perdagangan dengan orang-orang Inggris dan
perusahaan Belanda VOC. Pada masa ini pun tidak ada catatan mengenai
penduduk dan identitas etnis mereka. Sekitar tahun 1619 terjadi pertikaian antara
Jayakarta dan VOC yang saat itu dipimpin oleh Jan Pieterszoon Coen yang
berakhir dengan peperangan dan Jayakarta berhasil dikuasai oleh Jan Pieterszoon
Coen pada tanggal 30 Mei 1619. Sementara pengikut pangeran Jayakarta
melarikan diri, antara lain ke daerah Jatinegara Kaum sekarang.
Setelah berhasil membumi hanguskan Jayakarta, VOC membangun kota baru
bernama Batavia42, di atas reruntuhan kota Jayakarta yang kemudian dijadikan basis utama VOC. Batavia dibangun dalam bentuk yang berbeda dibanding
kebanyakan kota-kota di Jawa. Bentuk kota Batavia itu meniru gaya kota di
Eropa, khususnya Belanda dengan ciri utama tembok pembenteng yang mengitari
pusat kota dan kali-kali buatan yang membelah bagian kota sekaligus
menghubungkan aliran-aliran sungai alamiah. Jumlah penduduk Batavia relatif
jarang karena Jan Pieterszoon Coen tidak memberikan kesempatan kepada
penduduk pedalaman Jawa untuk bermigrasi ke Batavia dengan alasan keamanan.
41
Abdurrahman Surdjomiharjo, Beberapa Segi Sejarah Masyarakat Budaya Jakarta, Dinas Museum dan Sejarah DKI Jakarta, hal. 21
42
Namun guna memenuhi keperluan membangun pertahanan dan perdagangan
akhirnya Jan Pieterszoon Coen secara terbatas membolehkan orang Cina dari
Banten dan Malaka untuk tinggal di Batavia. Selain mendatangkan orang Cina,
Jan Pieterszoon Coen juga membolehkan orang-orang Moor43, orang Melayu dan orang Bali untuk menetap di Batavia. Catatan harian yang dibuat Belanda yang
berdiam dalam benteng kota Batavia tahun 1673, penduduk Batavia dan
sekitarnya kala itu berjumlah 33. 687 orang, sebagian di dalam benteng dan
sebagian lagi di luarnya.
Tahun 1779, penduduk di dalam benteng tercatat 12.131 orang, sementara di
luar benteng 160.968 orang. Tetapi pada tahun 1788 jumlah penduduk berkurang
akibat terjangkitnya wabah penyakit. Catatan penduduk di dalam maupun di luar
benteng tidak diklasifikasikan berdasarkan etnisitas, agama dan status sosial,
sehingga sulit untuk mengetahui, misalnya berapa jumlah pribumi yang beragama
Kristen, atau berapa budak yang berasal dari kepulauan Nusantara.44
Pada tahun 1930, terdapat sensus penduduk yang dibuat pemerintah Hindia
Belanda berdasarkan etnis yang relatif kategoris. Berdasarkan sensus ini
penduduk Batavia telah berlipat ganda dibanding tiga dekade sebelumnya,
menjadi 786.800 orang. Dari sensus ini juga diketahui, penduduk yang tinggal di
wilayah Batavia dan Mr. Cornelis (sekarang Mester-Jatinegara) yang pada
dasarnya merupakan wilayah inti Batavia, tercatat 533.015 oarng.45
Hasil sensus pada tahun 1930, beberapa kelompok etnis seperti Bali, Bugis,
Makassar, Sumbawa, dsb. Tidak tercatat lagi sebagai kelompok etnis penduduk
Jakarta. Sedangkan jumlah orang Jawa dan Sunda meningkat pesat. Sebaliknya,
selain muncul kelompok etnis pendatang seperti Minangkabau, Batak dan Madura, juga telah lahir sebuah kelompok etnis baru yang disebut “Batavians” (Betawi) dalam jumlah besar. Para ahli menyatakan bahwa sebuah kelompok etnis
43“Moor”, yaitu orang Islam da
ri India Selatan. Perkampungan orang Moor disebut dengan
“Pakojan”. Orang-orang ini juga diduga merupakan keturunan komunitas muslim asal Arab yang telah lama menetap di Gujarat, India Selatan. Dan berasal dari komunitas Khojjah yang kemudian diperkirakan menjadi nama Kampung Pakojan. Lih. Abdul Aziz, Islam dan Masyarakat Betawi, (Jakarta: Logos Wacana Ilmu, 2002), hal. 13
44
Sobri, KH. Thohir Rohili, Riwayat Hidup dan Perjuangannya di Kalangan Masyarakat Betawi, Skripsi, UIN Syarif Hidayatullah (Jakarta, 2006), hal. 11
45Ibid
baru yaitu Betawi telah terbentuk secara jelas sekitar pertengahan abad ke-19, sebagai hasil peleburan dari berbagai kelompok etnis.46
E. Perkembangan Islam dan Masyarakat Betawi
Disebutkan bahwa fakta sejarah masuknya Islam di Jakarta mulai terjadi pada
abad ke 14 Masehi. Masuknya Islam di Batavia (Jakarta) dirunut dari
berdirinya Pesantren Quro di Karawang pada tahun 1418. Waktu itu dikenal seorang Syekh bernama Syekh Quro, yang bernama asli Syekh Hasanuddin, yang
kemudian diketahui berasal dari negara Kamboja.
Mula-mula maksud kedatangannya ke Pulau Jawa untuk berdakwah di Jawa
Timur, namun ketika singgah di pelabuhan Karawang, Syekh Quro urung
meneruskan perjalanannya ke Jawa Timur karena dia menikah dengan penduduk
setempat dan membangun pesantren di Quro. Makam Syekh Quro di Karawang
sampai kini masih banyak diziarahi orang.
Dalam perkembangannya, seorang santri pesantren Quro, Nyai Subang
Larang, dipersunting Prabu Siliwangi. Dari perkawinan ini lahirlah Pangeran Kian
Santang yang kelak menjadi penyebar Islam di Pajajaran dan Batavia, sehingga
banyak warga Betawi menjadi pengikutnya.47 Pada waktu itu Kerajaan Pajajaran
mendudukin wilayah Batavia atau Jakarta yang sebelumnya masih bernama Sunda
Kelapa.
Menurut Ridwan Saidi, di kalangan penganut agama lokal, mereka yang
beragama Islam disebut sebagai kaum langgara, sebagai orang yang melanggar
adat istiadat leluhur dan tempat berkumpulnya disebut langgar. Sampai sekarang
warga Betawi umumnya menyebut mushola dengan langgar. Sebagian besar
masjid tua yang masih berdiri sekarang ini, seperti diuraikan Heuken, dulunya
adalah langgar.
Menelusuri awal penyebaran Islam di Betawi dan sekitarnya (1418-1527),
Ridwan menyebutkan sejumlah tokoh penyebarnya, seperti Syekh Quro, Kian
Santang, Pangeran Syarif Lubang Buaya, Pangeran Papak, Dato Tanjung Kait,
46Ibid
., hal. 19 47
Kumpo Datuk Depok, Dato Tonggara, Dato Ibrahim Condet, dan Dato Biru
Rawabangke.
Pada awalnya penyebaran Islam di Jakarta mendapat tantangan keras,
terutama dari bangsawan Pajajaran dan para resi. Menurut naskah kuno Carios
Parahiyangan, penyebaran Islam di bumi Nusa Kalapa (sebutan Jakarta ketika itu)
diwarnai dengan 15 peperangan. Peperangan di pihak Islam dipimpin oleh
dato-dato, dan di pihak agama lokal, agama Buwun dan Sunda Wiwitan, dipimpin oleh
Prabu Surawisesa, yang bertahta sejak 1521, yang dibantu para resi.
Bentuk perlawanan para resi terhadap Islam ketika itu adalah fisik melalui
peperangan, atau mengadu ilmu. Karena itulah saat itu penyebar Islam umumnya memiliki ‘ilmu’ yang dinamakan elmu penemu jampe pemake. Dato-dato umumnya menganut tarekat. Karena itulah banyak resi yang akhirnya takluk dan
masuk Islam. Ridwan mencontohkan resi Balung Tunggal, yang dimakamkan di
Bale Kambang (Condet, Kramatjati, Jakarta Timur).
Prabu Surawisesa sendiri akhirnya masuk Islam dan menikah dengan
Kiranawati. Kiranawati wafat tahun 1579, dimakamkan di Ratu Jaya, Depok.
Sesudah masuk Islam, Surawisesa dikenal sebagai Sanghyang. Ia dimakamkan di
Sodong, di luar komplek Jatinegara Kaum. Ajaran tarekat dato-dato kemudian menjadi ‘isi’ aliran maen pukulan syahbandar yang dibangun oleh Wa Item. Wa Item adalah syahbandar pelabuhan Sunda Kalapa yang tewas ketika terjadi
penyerbuan oleh pasukan luar yang dipimpin Falatehan (1527).
Selain itu juga ada perlawanan intelektual yang berbasis di Desa Pager Resi
Cibinong, dipimpin Buyut Nyai Dawit yang menulis syair perlawanan berjudul
Sanghyang Sikshakanda Ng Kareyan (1518). Sementara, di Lemah Abang,
Kabupaten Bekasi, terdapat seorang resi yang melakukan perlawanan terhadap
Islam melalui ajaran-ajarannya yang menyimpang. Resi ini menyebut dirinya
sebagai Syekh Lemah Abang, atau Syekh Siti Jenar. Tantangan yang demikian
berat mendorong tumbuhnya tradisi intelektual Betawi.
Seperti dituturkan Ridwan Saidi, intelektualitas Islam yang bersinar di
atau Guru Cit, pelanjut kakeknya yang mendirikan Langgar Tinggi di
Pecenongan, Jakarta Pusat.
Pada pertengahan abad ke-19 hingga abad ke-20 terdapat sejumlah sentra
intelektual Islam di Betawi. Seperti sentra Pekojan, Jakarta Barat, yang banyak
menghasilkan intelektual Islam. Di sini lahir Syekh Djuned Al-Betawi yang
kemudian menjadi mukimin di Mekah. Di sini juga lahir Habib Usman Bin
Yahya, yang mengarang puluhan kitab dan pernah menjadi mufti Betawi.
Kemudian, sentra Mester (Jatinegara), dengan tokoh Guru Mujitaba, yang
mempunyai istri di Bukit Duri. Karena itulah ia secara teratur pulang ke Betawi.
Guru Mujitaba selalu membawakitab-kitab terbitan Timur Tengah bila ke Betawi.
Dia punya hubungan dengan Guru Marzuki Cipinang, yang melahirkan sejumlah ulama terkemuka, seperti KH Nur Ali, KH Abdullah Syafi’ie, dan KH Tohir Rohili.
Juga, sentra Tanah Abang, yang dipimpin oleh Al-Misri. Salah seorang
cucunya adalah Habib Usman, yang mendirikan percetakan 1900. Sebelumnya,
Habib Usman hanya menempelkan lembar demi lembar tulisannya pada dinding
Masjid Petamburan. Lembaran itu setiap hari digantinya sehingga selesai sebuah
karangan. Jamaah membacanya secara bergiliran di masjid tersebut sambil
berdiri.48
Pembacaan rawi, manaqib, ratib juga banyak dijumpai di penjuru daerah
masyarakat Betawi. Persentuhan Islam dengan budaya Betawi tanpa menimbulkan
konflik. Hal ini bisa terjadi karena Islam yang hadir di Betawi lebih bermadzhab Syafi’i dan berfaham Ahli Sunnah Wal Jama’ah yang cenderung lebih toleran dan inklusif serta menghargai budaya dan tradisi lokal. Organisasi Islam yang
berfaham Wahabi kurang mengakar di kalangan masyarakat Betawi karena
organisasi tersebut kerapkali mengecam apa yang dinamakan TBC (tahayyul, bid’ah, dan khurafat).49
48
https://alwishahab.wordpress.com/2009/12/10/penyebaran-islam-di-betawi-2/ diakses pada 19 Januari 2015
49
F. Penelitian yang Relevan
Penulisan kajian tentang kontribusi KH. M. Syafi’i Hadzami ini memiliki penelitian yang relevan, diantaranya:
1. Ahmad Fadli, HS., sebuah tesis yang berjudul “Ulama Betawi: Studi Tentang
Jaringan Ulam Betawi dan Kontribusinya Terhadap Perkembangan Islam Abad ke-19”, Program Pasca Sarjana Universitas Indonesia tahun 2006. Tesis
ini kemudian dicetak menjadi buku pada tahun 2011 dengan judul “Ulama Betawi” disertai penambahan materi yang tidak ada pada saat berbentuk tesis. Tesis atau buku itu berisi penelitian tentang jaringan ulama Betawi yangn
belajar langsung kepada ulama Timur Tengah, khususnya Mekkah dan
Madinah serta upaya pembaharuan keagamaan di Betawi abad ke-19 dan 20.
2. Sobri, sebuah skripsi yang berjudul “KH. Thohir Rohili, Riwayat Hidup dan
Perjuangannya di Kalangan Masyarakat Betawi”, UIN Syarif Hidaytullah
Jakarta, tahun 2006. Pada skripsi ini diuraikan bagaimana biografi, aktivitas
serta peranan KH. Thohir Rohili terhadap masyarakat Betawi.
3. Maya Maryati, sebuah skripsi yang berjudul “Peran KH. Ahmad Sanusi dalam
Pendidikan Islam”, UIN Syarif Hidayatullah Jakarta, tahun 2014. Pada skripsi ini diinformasikan biografi serta peranan KH. Anwar Sanusi dalam pendidikan
27
merekonstruksi masa lampau dari objek penelitian itu ditempuh melalui metode
Historis, yaitu pemilihan topik, pengumpulan sumber, verifikasi atau kritik
sejarah, interpretasi: analisa dan sintesis, dan penulisan.1
A. Tempat dan Waktu Penelitian
Penelitian yang berjudul “Kontribusi KH. Muhammad Syafi’i Hadzami dalam Pendidikan Islam” ini dilaksanakan di Pesantren Al-‘Asyirotus Syafi’iyyah, tepatnya di daerah Jl. KH. M. Syafi’i Hadzami, Gandaria, Kebayoran Lama, Jakarta Selatan. Dalam proses pengumpulan data dibagi menjadi tiga tahap:
Pertama, tahap persiapan dimulai pada tanggal 28 April 2016. Pada tahap
persiapan ini, penulis merinci daftar keluarga KH. M. Syafi’i Hadzami. Mulai dari istri, anak, sampai murid-murid beliau. Kedua, pada bulan Mei 2016 penulis pertama kalinya berangkat ke Pesantren Al-‘Asyirutos Syafi’iyah di Gandaria yang dibangun oleh KH. M. Syafi’i Hadzami untuk memperoleh sumber-sumber tertulis yang diperoleh dari lembaran ataupun buku-buku autobiografi, tulisan
tentang beliau ataupun karya-karya beliau. Selain itu penulis silaturahmi ke rumah keluarga KH. M. Syafi’i Hadzami yang berada di pesantren tersebut guna mendapatkan informasi tentang beliau. Penulis juga memperoleh kutipan yang
bersangkutan dari perpustakaan, internet, serta sumber lain yang mendukung penelitian, terutama yang berkaitan dengan kontribusi KH. M. Syafi’i Hadzami dalam pendidikan Islam dari beberapa sumber sebagai sumber sekunder.
Pada Mei 2016, penulis pun berangkat kedua kalinya ke Gandaria tepatnya
pesantren beliau guna mencari dokumentasi yang tersedia sekaligus digunakan
untuk penelitian dalam bentuk wawancara dengan salah seorang keluarga dari KH. M. Syafi’i Hadzami. Setelah didapatkan hasil wawancara dari keluarga-keluarga beliau, kemudian penulis mendatangi murid-murid beliau yang umumnya sekarang masyhur menjadi ‘Ulama penerus beliau di daerahnya
masing-masing. Murid-murid beliau yang penulis datangi diantaranya adalah
Ustadz Suhendi (Rawa Belong), H. Basri Muhajir (Cidodol), Ustadz Syahrullah
(Kelapa Dua – Kebon Jeruk), KH. Bahruddin (Pondok Ranji - Ponpes Darul Hikam), KH. Fakhruddin Al-Bantani (Bintaro).
Pendekatan penelitian yang digunakan dalam penelitian ini adalah pendekatan
kualitatif deskriptif dengan jenis penelitian Library Research (penelitian kepustakaan). Penelitian ini adalah penelitian kepustakaan (library research), yakni sebuah studi dengan mengkaji buku-buku yang bersumber dari khazanah
kepustakaan yang relevan dengan permasalahan yang diangkat dalam penelitian.
Semua sumber dari bahan-bahan tertulis yang berkaitan dengan Ulama Betawi secara umum serta kontribusinya serta tentang KH. M. Syafi’i Hadzami secara khusus.
Penekanan penelitian ini adalah ingin menemukan berbagai teori, hukum,
dalil, prinsip, pendapat, gagasan dan lain-lain yang dapat di pakai untuk
menganalisis dan memecahkan masalah yang diteliti.2 Jadi, penelitian ini
mengacu pada buku-buku, artikel, dan dokumen-dokumen yang berhubungan
dengan konsep belajar dan kajian aspek psikologisnya.
B. Sumber Data
Penelitian ini tergolong penelitian pustaka yang bersifat literatur dan
menggunakan metode atau cara: membaca, menelaah dan menganalisa
sumber-sumber literatur yang berhubungan dengan penelitian ini. Oleh karena itu sumber-sumber
data yang di gunakan adalah sebagai berikut:
1. Data Primer
Data primer adalah literatur-literatur yang membahas secara langsung
objek permasalahan penelitian ini. Data primer dalam penelitian ini adalah:
a. Taudhihul Adillah (Seratus Masalah Agama)
b. Sullamul ‘Arsy fi Qira’at Warsy (ilmu qiraat)
c. Qiyas Adalah Hujjah Syar’iyyah (qiyas adalah hujjah syariah) d. Qabliyyah Jum’at (tentang kesunnahan qabliyah Jum’at) e. Shalat Tarawih
f. ‘Ujalah Fidyah Shalat (membahas tentang khilaf dalam membayar fidyah)
g. Mathmah ar-Ruba fi Ma’rifah ar-Riba (pembahasan tentang riba) 2. Data Sekunder
Sumber data sekunder sebagai data pendukung, yaitu berupa data-data
tertulis atau sumber lain yang memiliki relevansi dengan masalah yang
dibahas. Kegunanan dari data sekunder ini adalah untuk menginterpretasi
data primer. Dikarenakan penelitian ini adalah mengenai aktivitas hidup
serta kontribusi KH. M. Syafi’i Hadzami terhadap pendidikan Islam. Beberapa di antara data sekunder penulis adalah:
a. Sumur yang Tak Pernah Kering (Biografi KH. M. Syafi’i Hadzami) oleh Ali Yahya. Jakarta: Yayasan Al ‘Asyirotus Syafi’iyyah
b. Ulama Betawi (Studi tentang Jaringan Ulama Betawi dan
Kontribusinya Terhadap Perkembangan Islam Abad ke 19 dan 20) oleh
Ahmad Fadli HS. Jakarta: Manhalun Nasyi-in Press, 2011
c. Wawancara terhadap orang-orang terdekat KH. M. Syafi’i Hadzami, seperti anak, cucu, kerabat juga murid-murid beliau.
Pemilihan informan sebagai sumber data dalam penelitian ini adalah
berdasarkan pada asas subjek yang menguasai permasalahan, memiliki
data, dan bersedia memberikan informasi lengkap dan akurat. Informan
yang bertindak sebagai sumber data dan informasi harus memenuhi
syarat, yang akan menjadi informan narasumber (key informan) dalam
penelitian ini adalah:
1) Narasumber mengenal atau paling tidak mengetahui tentang tokoh
yang diteliti,
2) Narasumber pernah menyaksikan dan hidup bersama tokoh yang
diteliti,
3) Narasumber merupakan orang yang dapat dipercaya kebenarannya
Dilihat dari segi sumber data, bahan tambahan yang berasal dari sumber
tertulis dapat dibagi atas sumber buku dan majalah ilmiah, sumber dari arsip,
dokumen pribadi dan dokumen resmi. Sumber tertulis lainnya adalah dokumen
pribadi, yaitu tulisan tentang diri seseorang yang ditulisnya sendiri.3
C. Metode Penelitian
Penelitian ini adalah penelitian kualitatif (qualitative research) yaitu penelitaian yang ditujukan untuk mendeskripsikan dan menganalisis fenomena,
peristiwa, aktivitas sosial, sikap, kepercayaan, persepsi, pemikiran orang secara
individual maupun kelompok.4 Penulis menggunakan metode studi kepustakaan
(library research) dan analisis isi (contetnt analysis). Analisis isi merupakan teknik untuk mempelajari dokumen. Dari dokumen yang tersedia, penelitian ini
dilakukan untuk mengungkap ingormasi-informasi yang berguna di bidang
masing-masing.5
Menurut M. Nazir dalam bukunya yang berjudul “Metode Penelitian” mengemukakan bahwa yang dimaksud dengan studi kepustakaan adalah teknik pengumpulan data dengan mengadakan studi penelaahan terhadap buku-buku,
literatur-literatur, catatan-catatan, dan laporan-laporan yang ada hubungannya
dengan masalah yang dipecahkan.6 Peneliti mencari tulisan-tulisan baik skripsi,
buku, majalah yang berkaitan tentang KH. M. Syafi’i Hadzami terutama pada kontribusinya, juga segala hal yang berbuhungan dengan ulama dan masyarakat
Betawi baik dari segi pengertian, hubungan keislaman, dll.
D. Teknik Pengumpulan Data
1. Observasi
3
Lexi Moleong, Metodologi Penelitian Kualitatif, (Bandung: PT. Remaja Rosda Karya, 2011) Cet. 29, h. 159
4 Pedoman Penulisan Skripsi
, (Fakultas Ilmu Tarbiyah dan Keguruan Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta, 2013), hal. 62
5
M. Subana dan Sudrajat, Dasar-Dasar Penelitian Ilmiah, (Bandung: CV Pustaka Setia 2001), hal. 37
6
Observ