• Tidak ada hasil yang ditemukan

Merintis Lembaga Pendidikan

BAB IV: PEMBAHASAN

D. Kontribusi KH. M. Syafi’i Hadzami dalam Pendidikan Islam

3. Merintis Lembaga Pendidikan

Pada tahun 1963 sewaktu Mu’allim Syafi’i Hadzami baru mengajar pada 14 majelis taklim, terbentuk sebuah badan yang bernama BMMT (Badan Musyawarah Majelis Taklim) yang mengkoordinasikan majelis-majelis itu. Badan ini dibentuk setelah memperhatikan kesungguhan dan ketekunan para jamaah

Do’a yang Dibaca Setiap Akhir Majelis KH. M. Syafi’i Hadzami ِمْسِب ِها ِنَمْحَّلا ِمْيِحَّلا

غ ا ع ♦ فغ ح ا

ح ا ق ح ♦ أا ف ف ا

ه اس ♦ ا ها اص

خ ي ♦ إ جي ٰ ع

ج ك حص ا ♦ ا ا أاٰ ع

جعأا ع ♦ ا ا ق ف

ف قا ♦ ف عا ي

ف س ٰ ظ ٰ ع ♦ ف س إ

ه ح ك سغ ♦ ه ي ع ف

ع ا ي ♦ ا ع ا سا

ي ♦ ي ا فغا

ا ا ئ س ♦ ا خإا هأا

ه حص يج ♦ ه ح ك

ع سا ي ي ♦ ع ج ي س ا

س ك ا ♦ اً ج ًا ف

س ٰ ظح ♦ س ا ٰ فطص

ح ا ع هي ع ♦ س ص

حس ا شط ا ع ♦ حص ا ه آ

ه ا ء ا ف ♦ إ ح ا

majelis-majelis taklim dalam menuntut ilmu. Ide pendiriannya datang dari Mu’allim sendiri yang ketika itu berusia 32 tahun sebagai pengasuh majelis-majelis taklim teresebut. BMMT tersebut diberi nama Al ‘Asyirotusy Syafi’iyyah.

Semakin bertambahnya jumlah majelis taklim beliau menjadi 26 buah juga karena semakin berkembangnya kegiatan BMMT, maka untuk melancarkan gerak dan usahanya di bidang sosial, pendidikan/pengajaran, dan lain-lain, pengurus BMMT al ‘Asyirrotusy Syafi’iyyah dengan berlandaskan musyawarah mufakat segenap anggota majelis taklim pada tahun 1975 dengan Akta Notaris M.S. Tadjoedin No. 288 tertanggal 30 Juni 1975, lahirlah suatu yayasan yang bernama Yayasan BMMT al Asyirotusy Syafi’iyyah dengan ketua umum KH. M. Syafi’i Hadzami.

Untuk mewujudkan cita-citanya di bidang sosial, Yayasan BMMT al-‘Asyirotus Syafi’iyyah23

bertekad untuk lebih menggiatkan para anggota majelis taklim dalam pembinaan mental (akhlak) Islam dengan bimbingan praktis ke arah terjalinnya kerukunan hidup dan kegotong-royongan di segala bidang kehidupan sebagaimana dicontohkan oleh Rasulullah dan para sahabatnya. Sedangkan cita-cita dalam bidang pedidikan diupayakan untuk diwujudkan melalui tiga jalan usaha. Pertama, melalui majelis-majelis taklim, yayasan memberikan penyuluhan-penyuluhan lisan dan tulisan bagi jamaah majelis taklim pada khususnya dan warga Ibukota umumnya ke arah kemajuan pengetahuan ilmu agama Islam dan pengembangan jiwa ibadah. Kedua, melalui penyelenggaraan kursus-kursus yang intensif dan terarah, berusaha secepatnya untuk dapat mencetak sebanyak mungkin guru-guru agama, muballigh, dan lainnya, pria maupun wanita, untuk dapat mengisi kekurangan. Ketiga, melalui penyelenggaraan pendidikan pesantren, berusahan untuk turut membangun generasi muda Islam melalui penyediaan fasilitas ruang kehidupan belajar di mana para pemuda dan pemudi Islam dididik sepenuhnya agat menjadi pewaris-pewaris ulama, patriot-patriot dan

23

Al-Asyirotusy Syafi’iyyah arti ya keluarga besar pe gikut adzhab Syafi’i atau I a Syafi’i. Mu’alli Syafi’i Hadza i erupaka seora g Ula a pe ga ut adzah terseebut da guru

geneerasi penerus umat Islam yang dinamis, militan, dan dapat diandalkan dalam membangun masyarakat ibukota yang religius.24

b. Jenis-Jenis Pendidikan yang Diselenggarakan 1) Mendirikan TK – Madrasah Tsanawiyyah

Perguruan al ‘Asyirotus Syafi’iyyah menyelenggarakan pendidikan dari tingkat TK hingga Aliyah. Sejak berdiri perkembangannya cukup pesat bahkan muridnya pernah mencapai 500 murid. Tetapi berangsur-angsur sampai sekarang mengalami penurunan. Faktor utamanya karena penggusuran rumah di sekitar yayasan, dengan adanya penggusuran otomatis murid-murid berkurang. Di samping juga karena persaingan antar perguruan pun makin meningkat. Sampai saat ini hanya dari TK-Tsanawiyyah sedangkan Madrasah Aliyahnya sudah ditiadakan.

2) Proyek Pesantren Arba’in

Keberhasilan menelurkan sejumlah besar ulama yang berkualitas tinggi adalah berkat metode pendidikan sistem pesantren yang dikembangkan oleh para kiai. Tujuan pendidikan tidak semata-mata untuk memperkaya pikiran murid-murid dengan berbagai pengetahuan, tetapi juga untuk meninggikan moral, melatih dan mempertinggi semangat, menghargai nilai-nilai spiritual dan kemanusiaan, mengajarkan sikap dan tingkah laku yang jujur dan bermoral, serta menyiapkan para murid untuk hidup sederhana dan bersih hati.

Dalam rangka menyiapkan kader-kader ulama yang memiliki bekal yang dapat diandalkan itulah, maka Muallim merencakan membuat sebuah pesantren khusus. Pesantren tersebut direncakan menampung santri sebanyak 40 orang. Nama yang diberikan untuk pesantrennya adalah Ma’had al

-‘Arba’in atau lengkapnya Ma’had al-‘Arba’in al-Islami as-Salafi as-Sunni

asy-Syafi’i. Pesantren bermodel pesantren tradisional yang mempelajari ilmu-ilmu agama dengan membaca kitab-kitab kuning.

Inisiatif dan gagasan mendirikan pesantren datang dari Muallim sendiri. Pembatasan santri sebanyak 40 orang hanya karena pertimbangan lokasi, bukan karena ada maksud apa-apa. Arealnya tidak terlalu besar, sehingga akan kurang memadai bila santrinya banyak. Jika dibatasi 40 orang maka tempat para santri cukup luas. Tempat tidur, tempat belajar dan makan serta ruang-ruang lainnya akan cukup layak. Seandainya nanti yang ingin masuk lebih dari 40 orang, akan diadakan seleksi.

Seleksi terhadap para santri yang ingin masuk benar-benar objektif dengan tes membaca kitab-kitab kuning, dan berbagai pertanyaan keagamaan. Tidak melihat latar belakang akademis atau anak dari seorang yang terkenal, jika calon santri tidak lulus tes maka tidak diterima dalam pesantren Arba’in. Banyak lulusan S-1 IAIN Jakarta yang mengikuti tes pada waktu itu namun hanya beberapa yang lulus dan diterima. Sebagian besar yang diterima lulusan Madrasah Aliyah atau sudah nyantri di pesantren sebelumnya.25

Tradisi-tradisi ulama dalam mengajar ilmu-ilmu agama akan tetap dipertahankan. Kitab-kitab yang dipelajari, metode mengajar, dan nilai-nilai akhlak yang dikembangkan akan tetap mengacu kepada tradisi yang selama ini berlaku di dunia pesantren. Sedangkan pembaharuan juga diterapkan sesuai dengan tuntutan zaman, sepanjang tidak bertentangan dengan prinsip-prinsip yang dianut. Bagaimanapun kehidupan di masa kini dan mendatang semakin kompleks dan tantangan-tantangan semakin banyak. Misalnya para santri akan dididik untu menguasai beberapa keterampilan seperti menggunakan bahasa Arab dan Inggris secara aktif. Nantinya mereka diharapkan tidak hanya menguasai tata bahasa serta memahami kitab-kitab berbahasa Arab dan buku-buku berbahasa Inggris saja, tetapi juga mampu

25

Wawancara dengan KH. Bahruddin (Pimpinan Ponpes Mahasiswa Darul Hikam, Ciputat),

murid Muallim Syafi’i Hadzami. Beliau termasuk salah satu santri angkatan pertama Ma’had Arba’in yang merupakan santri terbaik yang mendapat hadiah umroh pada waktu itu. Sabtu, 17

berkomunikasi dalam kedua bahasa itu. Hal ini sejalan denga prinsip yang sejak lama terus dipertahankan dalam kehidupan pesantren yaitu

al-muhafazhoh ‘alal-qodimish-sholih wal-akhdzu bil jadidil-ashlah atau melestarikan barang lama yang baik dan mengambil barang baru yang lebih baik.

Untuk mendidik santri-santri, Muallim dibantu oleh beberapa orang guru. Tetapi yang menangani keseluruhannya tetap beliau. Adapaun guru-guru bantu yang sudah dipertimbangkan oleh Muallim diantaranya adalah murid-murid Muallim yang memenuhi syarat menjadi pengajar, antara lain KH Muhammad Sholeh Zawawi, KH. Sabilar Rosyad, KH. Syaifudin Amsir, dan lain-lain. Juga pengajar-pengajar lain yang merupakan mutakharrijin dari luar negeri diantaranya KH. Syarifuddin Abdul Ghani (keluaran Mekkah dan terkenal sebagai ahli hadits), KH. Luthfi Fathullah (pakar hadits), dan lain-lain.

Ada yang unik dari pesantren Arba’in ini. Jika yang masyhur di pesantren-pesantren lain menggunakan kitab Nahwu Alfiyyah ibnu Malik, tapi di kitab Nahwu yang diajarkan di pesantren tersebut justru Syarah al-Kafrawi. Hal ini membuat terkejut para santri dan mendorong rasa ingin tahu mereka akan hal tersebut, karena menurut mereka kitab Kafrawi merupakan kitab Nahwu kelas rendah jika dibanding kitab-kitab Nahwu yang lain seperti Alfiyyah ibn Malik,

Syarh Ibn ‘Aqil, dll. Namun ternyata justru yang memilih Kitab Kafrawi sebagai kitab Nahwu yang diajarkan adalah Muallim sendiri. Muallim mengatakan, “Bahwa kita jangan memandang kecil besarnya kitab tapi kita

menandang bahwa semuanya ilmu, mudah-mudahan dari justru dari belajar yang kecil itu Allah berikan pemahaman. Kita jangan suka menghina kitab yang kecil, karena ketika kita nisbahkan atau muqobalahkan dengan kitab-kitab yang besar, karena bisa jadi masalah-masalah, hal-hal yang tidak ada pada kitab yang besar tapi ada pada kitab yang kecil”. Hal ini sesuai dengan kaidah:

ح ا ف ج ي ا ف ج ي

“Terkadang ada (ikan) yang bisa ditemukan di dalam sungai tapi tidak

ditemukan di dalam laut”.

Selain itu alasan mengapa Muallim memilih kitab Kafrawi karena pengalaman beliau ketika itu mengaji Kafrawi termasuk sebab Allah

memberikan futuh (pemahaman) ilmu kepada beliau. Artinya Allah memberi futuh tidak harus dari kitab-kitab yang besar tapi bisa jadi dari kitab-kitab yang kecil.26

Dokumen terkait