UJI EFEK HIPOGLIKEMIK EKSTRAK ETANOL DAUN SIRIH MERAH (Piper cf. fragile Benth.)
TERHADAP TIKUS PUTIH JANTAN
SKRIPSI
OLEH: SRI HATI SITEPU
NIM 081524055
FAKULTAS FARMASI
UJI EFEK HIPOGLIKEMIK EKSTRAK ETANOL DAUN SIRIH MERAH (Piper cf. fragile Benth.)
TERHADAP TIKUS PUTIH JANTAN SKRIPSI
Diajukan untuk melengkapi salah satu syarat untuk memperoleh gelar Sarjana Farmasi pada Fakultas Farmasi
Universitas Sumatera Utara
OLEH: SRI HATI SITEPU
NIM 081524055
FAKULTAS FARMASI
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA MEDAN
PENGESAHAN SKRIPSI
UJI EFEK HIPOGLIKEMIK EKSTRAK ETANOL DAUN SIRIH MERAH (Piper cf. fragile Benth.)
TERHADAP TIKUS PUTIH JANTAN
OLEH: SRI HATI SITEPU
NIM 081524055
Dipertahankan di hadapan Panitia Penguji Fakultas Farmasi
Universitas Sumatera Utara Pada tanggal: Desember 2010
Disetujui Oleh:
Pembimbing I, Panitia Penguji,
Drs. Rasmadin Mukhtar, MS., Apt. Dr. Rosidah, M.Si., Apt. NIP 194909101980031002 NIP 195103261978022001
Drs. Rasmadin Mukhtar, MS., Apt. Pembimbing II, NIP 194909101980031002
Dra. Suwarti Aris, M.Si., Apt. Drs. Saiful Bahri, MS., Apt.
NIP 195107231982032001 NIP 195208241983031001
Dra. Herawaty Ginting, M.Si., Apt. NIP 195112231980032002
Disahkan Oleh:
Dekan Fakultas Farmasi
KATA PENGANTAR
Puji dan syukur kehadirat Tuhan Yang Maha Esa karena senantiasa
memberikan rahmat dan kasih karunia-Nya sehingga penulis dapat menyelesaikan
penelitian dan penyusunan skripsi yang berjudul ”Uji Efek Hipoglikemik Ekstrak
Etanol Daun Sirih Merah (Piper cf. fragile Benth.) Terhadap Tikus Putih Jantan”.
Skripsi ini diajukan sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar sarjana
farmasi pada Fakultas Farmasi Universitas Sumatera Utara.
Salah satu tanaman obat yang digunakan masyarakat adalah daun sirih
merah. Saat ini sirih merah banyak dilirik dan digunakan oleh para ahli
pengobatan untuk mengobati berbagai penyakit. Selain bersifat antiseptik, sirih
merah ini juga dapat mengobati penyakit diabetes melitus. Tujuan penelitian ini
adalah untuk menguji efek hipoglikemik ekstrak etanol daun sirih merah terhadap
tikus putih jantan dengan metode toleransi glukosa. Penelitian ini diharapkan
dapat menambah informasi mengenai tanaman sirih merah sebagai obat
tradisional untuk dapat digunakan masyarakat secara luas.
Dalam menyelesaikan skripsi ini penulis banyak mendapatkan masukan
dan dukungan dari berbagai pihak. Oleh karena itu pada kesempatan ini penulis
mengucapkan terima kasih yang tulus tiada terhingga kepada kedua orangtua,
ayahanda Ngapuli Sitepu dan ibunda tercinta Lianna br Ginting yang telah
mencurahkan kasih sayang dan jerih payah serta selalu mendoakan ananda hingga
sekarang, begitu juga kepada adinda Seteisya Sitepu dan Yohana Sitepu serta
kepada semua keluarga atas perhatian, nasehat dan semangat serta dukungan doa
Pada kesempatan ini penulis juga menyampaikan dengan segala ketulusan
hati rasa terima kasih yang sebesar-besarnya kepada Bapak Drs. Rasmadin
Mukhtar, MS., Apt. dan Ibu Dra. Suwarti Aris, M.Si., Apt., selaku dosen
pembimbing yang telah membimbing penulis dengan penuh kesabaran dan
tanggung jawab selama melakukan penelitian hingga selesainya penulisan skripsi
ini.
Penulis juga menyampaikan terima kasih yang sebesar-besarnya kepada:
1. Bapak Prof. Dr. Sumadio Hadisahputra, Apt. selaku Dekan Fakultas Farmasi
Universitas Sumatera Utara yang telah memberikan bantuan dan fasilitas
selama masa pendidikan.
2. Bapak Prof. Dr. Urip Harahap, Apt. selaku Penasehat Akademik yang selalu
memberikan bimbingan kepada penulis selama masa perkuliahan.
3. Ibu Dr. Rosidah, M.Si., Apt., bapak Drs. Saiful Bahri, MS., Apt.
dan ibu Dra. Herawaty Ginting, M.Si., Apt. selaku dosen penguji yang telah
memberikan masukan dan saran kepada penulis sehingga dapat menyelesaikan
skripsi ini.
4. Bapak Drs. Awaluddin Saragih, M.Si., Apt. selaku Kepala Laboratorium Obat
Tradisional Fakultas Farmasi dan Bapak Drs. Saiful Bahri, MS., Apt. selaku
Kepala Laboratorium Farmakologi Fakultas Farmasi yang telah mengizinkan
penulis menggunakan fasilitas laboratorium selama penelitian.
5. Staf pengajar Fakultas Farmasi yang telah mendidik dan membimbing penulis
selama di perguruan tinggi.
6. Teman-teman dan sahabatku serta rekan Farmasi yang tidak dapat disebutkan
7. Teman-teman Ekstensi Farmasi stambuk 2008 tanpa terkecuali, terima kasih
buat kebersamaannya di kala suka maupun duka.
8. Serta semua pihak yang telah ikut membantu penulis namun tidak tercantum
namanya.
Penulis menyadari sepenuhnya bahwa dalam penulisan maupun penyajian
dalam tulisan ini masih jauh dari kesempurnaan, oleh karena itu dengan segala
kerendahan hati penulis menerima kritik dan saran yang bersifat membangun.
Kiranya skripsi ini dapat memberi manfaat bagi para pembaca.
Medan, Desember 2010 Penulis,
ABSTRAK
UJI EFEK HIPOGLIKEMIK EKSTRAK ETANOL DAUN SIRIH MERAH (Piper cf. fragile Benth.)
TERHADAP TIKUS PUTIH JANTAN
Diabetes melitus merupakan penyakit yang ditandai dengan meningkatnya kadar glukosa darah (hiperglikemia). Penyakit diabetes melitus memerlukan pengobatan jangka panjang dan biaya yang mahal, sehingga diperlukan pencarian obat diabetes yang relatif murah dan terjangkau oleh masyarakat. Telah dilakukan pemeriksaan karakterisasi simplisia, skrining fitokimia serbuk simplisia dan pengujian efek hipoglikemik ekstrak etanol daun sirih merah (Piper cf. fragile Benth.) terhadap tikus putih jantan dengan metode uji toleransi glukosa. Data yang diperoleh dianalisis secara analisis variansi kemudian dilanjutkan dengan metode Duncan. Hasil karakteristik simplisia daun sirih merah diperoleh kadar air 8,66%, kadar sari larut air 18,39%, kadar sari larut etanol 11,62%, kadar abu total 9,56% dan kadar abu tidak larut asam 1,20%. Hasil skrining fitokimia serbuk simplisia menunjukkan adanya senyawa flavonoid, alkaloid, saponin, tanin, glikosida dan steroid/triterpenoid. Ekstraksi dilakukan secara perkolasi menggunakan pelarut etanol 96%. Pengujian kadar gula darah terhadap tikus putih jantan yang dilakukan terdiri dari 6 kelompok perlakuan yaitu hanya diberikan glukosa 50% dosis 5 g/kg BB, suspensi CMC 0,5% dosis 1% BB, suspensi glibenklamid dosis 1 mg/kg BB, 3 kelompok obat (ekstrak) dosis 50, 100 dan 200 mg/kg BB. Hasil pengujian farmakologi ekstrak etanol daun sirih merah dengan dosis 50, 100 dan 200 mg/kg BB dapat menurunkan kadar gula darah tikus. Berdasarkan hasil analisis statistik ekstrak etanol daun sirih merah dengan dosis 100 mg/kg BB sebanding dengan glibenklamid dosis 1 mg/kg BB.
ABSTRACT
THE HYPOGLYCEMIC EFFECT OF ETHANOLIC EXTRACT FROM THE LEAVES OF RED BETEL VINE (Piper cf. fragile Benth.)
IN MALE WHITE RATS
Diabetes mellitus is the disease which is marked by increasing the blood glucose level (hyperglycemia). Diabetes mellitus requiring long term treatment and expensive cost, therefore it is required to search diabetic drugs that are relatively cheap and affordable by the community. The test of simplex characterization, phytochemical screening of simplex powder and hypoglycemic effect of ethanolic extract from the leaves of red betel vine (Piper cf. fragile Benth.) in male white rats by using a glucose tolerance test had been investigated. The data were analyzed by variance analysis and then continued by Duncan method. Result of characteristic from the leaves of red betel vine simplex got water level 8.66%, extract level that dissolved in water 18.39%, extract level that dissolved in ethanolic 11.62%, ash level total 9.56% and ash level that is not dissolved in acid 1.20%. The result of phytochemical screening of simplex powder showed there is the presence of flavonoids, alkaloids, saponins, tannins, glycosides and steroids/triterpenoids. Extraction was done by percolation using ethanol 96%. Effect of blood glucose level in male white rats that is done consist of 6 groups of treatment which is only given of glucose 50% at dose of 5 g/kg BW, suspension CMC 0.5% at dose of 1% BW, glibenclamide suspension at dose of 1 mg/kg BW, 3 groups of medicine (extract) at dose of 50, 100 and 200 mg/kg BW. The pharmacology test result of ethanolic extract from the leaves of red betel vine at dose of 50, 100 and 200 mg/kg BW can decrease the blood glucose level of rats. The statistical result showed that ethanolic extract from the leaves of red betel vine at dose of 100 mg/kg BW was equal with glibenclamide at dose of 1 mg/kg BW.
DAFTAR ISI
Halaman
JUDUL ... i
HALAMAN PENGESAHAN ... iii
KATA PENGANTAR ... iv
ABSTRAK ... vii
ABSTRACT ... viii
DAFTAR ISI ... ix
DAFTAR TABEL ... xii
DAFTAR GAMBAR ... xiii
DAFTAR LAMPIRAN ... xiv
BAB I PENDAHULUAN ... 1
1.1 Latar belakang ... 1
1.2 Perumusan masalah ... 3
1.3 Hipotesis ... 3
1.4 Tujuan ... 4
1.5 Manfaat ... 4
1.6 Kerangka konsep penelitian ... 5
BAB II TINJAUAN PUSTAKA ... 6
2.1 Uraian tanaman ... 6
2.1.1 Sistematika tanaman ... 7
2.1.2 Morfologi tanaman ... 7
2.1.3 Kandungan kimia ... 7
2.2 Ekstraksi... 8
2.3 Diabetes Melitus ... 10
2.3.1 Klasifikasi diabetes melitus ... 11
2.3.2 Gejala diabetes melitus ... 12
2.4 Toleransi glukosa ... 13
2.5 Pengaturan kadar glukosa dalam darah ... 14
2.6 Terapi farmakologi ... 15
2.6.1 Terapi insulin ... 15
2.6.2 Terapi obat hipoglikemik oral ... 16
BAB III METODOLOGI PENELITIAN ... 18
3.1 Alat-alat... 18
3.2 Bahan-bahan ... 18
3.3 Pembuatan larutan pereaksi ... 19
3.4 Pengambilan sampel ... 20
3.5 Identifikasi sampel ... 21
3.6 Pengolahan sampel ... 21
3.7 Pemeriksaan karakterisasi simplisia ... 21
3.7.1 Pemeriksaan makroskopik ... 21
3.7.2 Pemeriksaan mikroskopik ... 22
3.7.3 Penetapan kadar air ... 22
3.7.4 Penetapan kadar sari larut air ... 23
3.7.5 Penetapan kadar sari larut etanol... 23
3.7.6 Penetapan kadar abu total ... 23
3.8 Skrining fitokimia serbuk simplisia ... 24
3.9 Pembuatan ekstrak etanol sirih merah (EESM) ... 26
3.10 Hewan percobaan ... 27
3.11 Penyiapan bahan... 27
3.11.1 Pembuatan larutan glukosa 50% (b/v)... 27
3.11.2 Pembuatan suspensi CMC 0,5%... 27
3.11.3 Pembuatan suspensi EESM 1% (b/v)... 27
3.11.4 Pembuatan suspensi Glibenklamid dari tablet Glibenklamid® ... 28
3.12 Pengujian farmakologi ... 28
3.12.1 Penentuan kadar gula darah (KGD) ... 28
3.12.2 Prosedur kerja pengujian efek hipoglikemik ... 28
3.13 Penggunaan gluko meter ... 29
3.14 Prinsip penggunaan glukometer ... 30
3.12 Analisis data ... 30
BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN... 31
BAB V KESIMPULAN DAN SARAN ... 43
5.1 Kesimpulan ... 43
5.2 Saran ... 43
DAFTAR TABEL
Tabel Halaman
1. Hasil pemeriksaan makroskopik simplisia daun sirih merah ... 49
2. Hasil karakteristik simplisia daun sirih merah dibandingkan dengan daun sirih (Piper betle L.) ... 56
3. Hasil skrining fitokimia serbuk simplisia daun sirih merah... 56
4. Hasil pengukuran rata-rata KGD setelah perlakuan (n = 6) ... 34
5. Konversi dosis antara jenis hewan dengan manusia ... 58
6. Data hasil pengukuran KGD tikus setelah perlakuan ... 65
7. Data hasil pengukuran rata-rata KGD tikus ... 66
DAFTAR GAMBAR
Gambar Halaman
1. Bagan kerangka konsep penelitian ... ... 5
2. Hasil identifikasi tanaman sirih merah... 46
3. Tanaman sirih merah (Piper cf. fragile Benth.) ... .... 47
4. Daun sirih merah ... .... 47
5. Simplisia daun sirih merah ... .... 48
6. Hasil pemeriksaan mikroskopik serbuk simplisia daun sirih merah pada perbesaran 10 x 40... 50
7. Bagan pembuatan ekstrak etanol daun sirih merah secara perkolasi... 57
8. Bagan prosedur kerja pengujian farmakologi ... .... 60
9. Alat Glukometer ... .... 61
10. Grafik rata-rata KGD setelah perlakuan (n = 6) ... .. 35
11. Grafik rata-rata KGD tikus/persentase penurunan KGD tikus setelah pemberian larutan glukosa 50% pada selang waktu 60 menit... 36
12. Grafik rata-rata KGD tikus/persentase penurunan KGD tikus setelah pemberian larutan glukosa 50% pada selang waktu 90 menit... 37
13. Grafik rata-rata KGD tikus/persentase penurunan KGD tikus setelah pemberian larutan glukosa 50% pada selang waktu 120 menit... 38
14. Grafik rata-rata KGD tikus/persentase penurunan KGD tikus setelah pemberian larutan glukosa 50% pada selang waktu 150 menit... 40
15. Grafik rata-rata KGD tikus/persentase penurunan KGD tikus setelah pemberian larutan glukosa 50% pada selang waktu 180 menit... 41
DAFTAR LAMPIRAN
Lampiran Halaman
1. Hasil identifikasi tanaman sirih merah ... 46
2. Tanaman, daun dan simplisia daun sirih merah ... 47
3. Hasil pemeriksaan makroskopik simplisia daun sirih merah ... 49
4. Hasil pemeriksaan mikroskopik serbuk simplisia daun sirih merah pada perbesaran 10 x 40 ... 50
5. Hasil perhitungan karakteristik simplisia ... 51
6. Hasil karakteristik simplisia dan skrining fitokimia serbuk simplisia daun sirih merah... 56
7. Bagan pembuatan ekstrak etanol daun sirih merah secara perkolasi.. 57
8. Perhitungan Kadar Glibenklamid Dari Tablet Glibenklamid® ... 58
9. Bagan prosedur kerja pengujian farmakologi ... 60
10. Alat Glukometer ... 61
11. Hasil analisis data SPSS ... 62
12. Data hasil pengukuran KGD tikus setelah perlakuan... 65
13. Data hasil pengukuran rata-rata KGD tikus... 66
14. Perhitungan dosis... 68
ABSTRAK
UJI EFEK HIPOGLIKEMIK EKSTRAK ETANOL DAUN SIRIH MERAH (Piper cf. fragile Benth.)
TERHADAP TIKUS PUTIH JANTAN
Diabetes melitus merupakan penyakit yang ditandai dengan meningkatnya kadar glukosa darah (hiperglikemia). Penyakit diabetes melitus memerlukan pengobatan jangka panjang dan biaya yang mahal, sehingga diperlukan pencarian obat diabetes yang relatif murah dan terjangkau oleh masyarakat. Telah dilakukan pemeriksaan karakterisasi simplisia, skrining fitokimia serbuk simplisia dan pengujian efek hipoglikemik ekstrak etanol daun sirih merah (Piper cf. fragile Benth.) terhadap tikus putih jantan dengan metode uji toleransi glukosa. Data yang diperoleh dianalisis secara analisis variansi kemudian dilanjutkan dengan metode Duncan. Hasil karakteristik simplisia daun sirih merah diperoleh kadar air 8,66%, kadar sari larut air 18,39%, kadar sari larut etanol 11,62%, kadar abu total 9,56% dan kadar abu tidak larut asam 1,20%. Hasil skrining fitokimia serbuk simplisia menunjukkan adanya senyawa flavonoid, alkaloid, saponin, tanin, glikosida dan steroid/triterpenoid. Ekstraksi dilakukan secara perkolasi menggunakan pelarut etanol 96%. Pengujian kadar gula darah terhadap tikus putih jantan yang dilakukan terdiri dari 6 kelompok perlakuan yaitu hanya diberikan glukosa 50% dosis 5 g/kg BB, suspensi CMC 0,5% dosis 1% BB, suspensi glibenklamid dosis 1 mg/kg BB, 3 kelompok obat (ekstrak) dosis 50, 100 dan 200 mg/kg BB. Hasil pengujian farmakologi ekstrak etanol daun sirih merah dengan dosis 50, 100 dan 200 mg/kg BB dapat menurunkan kadar gula darah tikus. Berdasarkan hasil analisis statistik ekstrak etanol daun sirih merah dengan dosis 100 mg/kg BB sebanding dengan glibenklamid dosis 1 mg/kg BB.
ABSTRACT
THE HYPOGLYCEMIC EFFECT OF ETHANOLIC EXTRACT FROM THE LEAVES OF RED BETEL VINE (Piper cf. fragile Benth.)
IN MALE WHITE RATS
Diabetes mellitus is the disease which is marked by increasing the blood glucose level (hyperglycemia). Diabetes mellitus requiring long term treatment and expensive cost, therefore it is required to search diabetic drugs that are relatively cheap and affordable by the community. The test of simplex characterization, phytochemical screening of simplex powder and hypoglycemic effect of ethanolic extract from the leaves of red betel vine (Piper cf. fragile Benth.) in male white rats by using a glucose tolerance test had been investigated. The data were analyzed by variance analysis and then continued by Duncan method. Result of characteristic from the leaves of red betel vine simplex got water level 8.66%, extract level that dissolved in water 18.39%, extract level that dissolved in ethanolic 11.62%, ash level total 9.56% and ash level that is not dissolved in acid 1.20%. The result of phytochemical screening of simplex powder showed there is the presence of flavonoids, alkaloids, saponins, tannins, glycosides and steroids/triterpenoids. Extraction was done by percolation using ethanol 96%. Effect of blood glucose level in male white rats that is done consist of 6 groups of treatment which is only given of glucose 50% at dose of 5 g/kg BW, suspension CMC 0.5% at dose of 1% BW, glibenclamide suspension at dose of 1 mg/kg BW, 3 groups of medicine (extract) at dose of 50, 100 and 200 mg/kg BW. The pharmacology test result of ethanolic extract from the leaves of red betel vine at dose of 50, 100 and 200 mg/kg BW can decrease the blood glucose level of rats. The statistical result showed that ethanolic extract from the leaves of red betel vine at dose of 100 mg/kg BW was equal with glibenclamide at dose of 1 mg/kg BW.
BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar belakang
Sejak ratusan tahun yang lalu, nenek moyang kita telah memanfaatkan
tanaman sebagai upaya penyembuhan jauh sebelum obat-obatan modern yang
sekarang ada. Merebaknya kecenderungan atau tren hidup kembali ke alam (back
to nature) semakin menambah keingintahuan tentang khasiat tanaman obat, salah
satunya adalah sirih (Piper betle L.) Penggunaan sirih secara tradisional
dimanfaatkan dalam menyembuhkan penyakit seperti sariawan dan sakit gigi.
Sementara itu, air rebusan daun sirih yang bersifat antiseptik dapat berkhasiat
sebagai obat kumur, mencegah bau mulut serta menghilangkan bau badan
(Sudewo, 2005).
Sirih memiliki beberapa varietas tidak hanya yang berdaun hijau, namun
ada juga daun yang berwarna hitam, merah, kuning bahkan perak. Sirih merah
rasanya sangat pahit dibandingkan dengan sirih biasa atau varietas lainnya. Sirih
merah selain digunakan sebagai tanaman hias, juga bermanfaat sebagai tanaman
obat yang dapat menyembuhkan penyakit diantaranya diabetes melitus, kolesterol,
asam urat dan hipertensi (Sudewo, 2005).
Ramuan daun sirih merah untuk mengobati diabetes melitus dapat
dipadukan dengan tanaman obat lain atau bisa digunakan secara tunggal yaitu
hanya dengan merebus daun sirih merah segar setelah dingin air hasil rebusan
diminum sebanyak tiga kali sehari, hari berikutnya daun diganti dengan yang
baru, bila rasa pahitnya masih dianggap sama dengan hari sebelumnya, maka daun
Seiring dengan perubahan gaya hidup di masyarakat yang terjadi beberapa
tahun terakhir menunjukkan adanya perubahan pola makan dari makanan
tradisional menjadi makanan cepat saji (fast food). Hal ini dihubungkan oleh para
ahli kesehatan dengan timbulnya berbagai penyakit salah satunya adalah diabetes
melitus (DM). Diabetes melitus merupakan penyakit yang ditandai dengan
meningkatnya kadar glukosa darah (hiperglikemia) akibat tubuh kekurangan
insulin baik absolut maupun relatif (Jayadi, 2009).
Secara klinis DM dibedakan menjadi DM tipe 1 dimana pankreas
kehilangan kemampuan menghasilkan insulin dan DM tipe 2 dimana pankreas
masih berfungsi tetapi menunjukkan defisiensi relatif sehingga tubuh kehilangan
kemampuan untuk memanfaatkan insulin secara efektif (Depkes RI, 2005).
Salah satu tanaman yang digunakan sebagai obat DM yaitu sirih merah.
Dari beberapa pengalaman seorang praktisi kesehatan dan produsen tanaman obat
bernama Bambang Sudewo di Blunyah Rejo, Yogyakarta, diketahui sirih merah
memiliki khasiat obat untuk penyakit diabetes melitus (Sudewo, 2005).
Untuk lebih memberikan dasar bagi bukti manfaatnya, maka penggunaan
tanaman sebagai bahan obat tradisional memerlukan penelitian ilmiah untuk
mengetahui kebenaran khasiatnya. Dengan didapatnya data yang meyakinkan
secara ilmiah, maka penggunaan tanaman tersebut sebagai obat dapat dijamin
kebenarannya (Widowati, dkk., 1997).
Karakteristik simplisia daun sirih merah (Piper cf. fragile Benth.) belum
terdapat pada monografi buku Materia Medika Indonesia (MMI) sebagai petunjuk
karakteristik simplisia, oleh karena itu sebagai perbandingan dilihat dari suku
Berdasarkan latar belakang diatas, tujuan penelitian adalah untuk
menentukan karakteristik simplisia dan untuk membuktikan bahwa daun sirih
merah memiliki efek hipoglikemik terhadap tikus putih jantan dengan metode
toleransi glukosa serta untuk meningkatkan pemanfaatan varietas sirih agar dapat
digunakan masyarakat secara luas khususnya sirih merah. Penelitian ini meliputi
karakterisasi simplisia, skrining fitokimia, pembuatan ekstrak etanol dan
pengujian efek hipoglikemik ekstrak daun sirih merah terhadap tikus putih jantan
dengan metode toleransi glukosa.
1.2 Perumusan masalah
Berdasarkan latar belakang di atas perumusan masalah penelitian yaitu:
a. Apakah karakteristik simplisia daun sirih merah (Piper cf. fragile Benth.)
sama dengan daun sirih (Piper betle L.) yang terdapat pada buku Materia
Medika Indonesia?
b. Apakah kandungan golongan senyawa kimia yang terdapat dalam daun
sirih merah?
c. Apakah ekstrak etanol daun sirih merah memberikan efek hipoglikemik
terhadap tikus putih jantan?
d. Apakah ada perbedaan antara ekstrak etanol daun sirih merah dengan
glibenklamid dalam menurunkan kadar gula darah?
1.3 Hipotesis
Berdasarkan perumusan masalah di atas maka dibuat hipotesis yaitu:
a. Karakteristik simplisia daun sirih merah (Piper cf. fragile Benth.) berbeda
dengan daun sirih (Piper betle L.) yang terdapat pada buku Materia
b. Kandungan golongan senyawa kimia yang terdapat dalam daun sirih
merah adalah flavonoid, alkaloid, tanin dan saponin.
c. Ekstrak etanol daun sirih merah memberikan efek hipoglikemik terhadap
tikus putih jantan.
d. Tidak ada perbedaan antara ekstrak etanol daun sirih merah dengan
glibenklamid dalam menurunkan kadar gula darah.
1.4 Tujuan
Tujuan penelitian ini adalah:
a. Untuk menentukan karakteristik simplisia daun sirih merah.
b. Untuk mengetahui kandungan golongan senyawa kimia yang terdapat
dalam daun sirih merah.
c. Untuk membuktikan efek hipoglikemik ekstrak etanol daun sirih merah
terhadap tikus putih jantan.
d. Untuk mengetahui perbedaan antara ekstrak etanol daun sirih merah
dengan glibenklamid terhadap penurunan kadar gula darah.
1.5 Manfaat
Manfaat penelitian yang dilakukan adalah:
a. Hasil karakteristik simplisia daun sirih merah yang diperoleh dapat
digunakan sebagai acuan dalam pembuatan simplisia.
b. Sebagai sumber informasi mengenai kandungan golongan senyawa kimia
yang terdapat dalam daun sirih merah.
c. Sebagai sumber informasi mengenai efek hipoglikemik ekstrak etanol
daun sirih merah.
1.6 Kerangka konsep penelitian
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Uraian tanaman
Sirih (Piper betle L.) merupakan tumbuhan terna yang termasuk famili
piperaceae. Sirih memiliki jenis yang beragam, seperti sirih hijau, sirih hitam,
sirih kuning dan sirih merah. Semua jenis tanaman sirih memiliki ciri yang hampir
sama yaitu tanamannya merambat dengan bentuk daun menyerupai hati dan
bertangkai yang tumbuh berselang seling dari batangnya. Sirih merah selain
digunakan sebagai tanaman hias oleh para hobis karena penampilannya yang
menarik, namun dapat juga dimanfaatkan sebagai tanaman obat (Anonim, 2009).
Sirih merah merupakan tanaman yang diketahui tumbuh di berbagai
daerah di Indonesia, seperti di lingkungan Keraton Yogyakarta dan di lereng
Merapi sebelah timur, serta di Papua dan Jawa Barat. Sirih merah bisa tumbuh
dengan baik di tempat yang teduh dan tidak terlalu banyak terkena sinar matahari.
Jika terkena sinar matahari langsung secara terus-menerus warna merah daunnya
bisa menjadi pudar dan kurang menarik (Sudewo, 2005).
Daun sirih merah yang memenuhi syarat untuk dipanen adalah daun yang
sudah berumur lebih dari satu bulan. Pada umur ini ketebalan dan lebar daun
sudah memenuhi syarat untuk dipanen. Jika umurnya kurang dari satu bulan, daun
sirih merah masih tipis, cepat layu dan aromanya belum kuat. Kandungan zat
kimianya pun belum maksimal, sehingga daya penyembuhnya tidak sebaik daun
yang sudah berumur satu bulan atau lebih. Waktu yang tepat memetik atau
memanen daun sebaiknya dilakukan pada pagi hari sampai dengan jam 11.00
2.1.1 Sistematika tanaman
Sistematika sirih merah sebagai berikut (Sugati dan Johnny, 2000).
Divisi : Spermatophyta
Sub divisi : Angiospermae
Kelas : Dicotyledonae
Bangsa : Piperales
Suku : Piperaceae
Marga : Piper
Jenis : Piper cf. fragile Benth.
2.1.2 Morfologi tanaman
Sirih merah merupakan tanaman yang tumbuh menjalar. Batangnya bulat
berwarna hijau keunguan dan tidak berbunga. Daunnya bertangkai berbentuk
jantung dengan bagian atas meruncing, bertepi rata dan permukaannya mengkilap
atau tidak berbulu. Panjang daunnya bisa mencapai 15-20 cm. Warna daun bagian
atas hijau bercorak warna putih keabu-abuan. Bagian bawah daun berwarna merah
cerah. Daunnya berlendir, berasa sangat pahit dan beraroma wangi khas sirih.
Batangnya bersulur dan beruas dengan jarak buku 5-10 cm. Di setiap buku
tumbuh bakal akar (Sudewo, 2005).
2.1.3 Kandungan kimia
Senyawa fitokimia yang terkandung dalam daun sirih merah yakni alkaloid
flavonoid, saponin, tanin dan minyak atsiri. Menurut Ivorra, M.D di dalam buku
”A review of natural product and plants as potensial antidiabetic” senyawa aktif
flavonoid dan alkaloid memiliki aktivitas hipoglikemik atau penurun kadar
2.1.4 Khasiat dan penggunaan
Penggunaan sirih merah dapat digunakan dalam bentuk segar maupun
simplisia. Secara empiris sirih merah dapat menyembuhkan berbagai jenis
penyakit seperti diabetes millitus, hepatitis, batu ginjal, kolesterol, hipertensi,
asam urat, keputihan, obat kumur, maag, radang mata, nyeri sendi dan
memperhalus kulit. Sirih merah banyak digunakan pada klinik herbal center
sebagai ramuan atau terapi bagi penderita yang tidak dapat disembuhkan dengan
obat kimia (Anonim, 2009).
2.2 Ekstraksi
Ekstraksi adalah kegiatan penarikan kandungan kimia yang dapat larut
sehingga terpisah dari bahan yang tidak dapat larut dengan menggunakan pelarut
cair. Senyawa aktif yang terdapat dalam berbagai simplisia dapat digolongkan ke
dalam golongan minyak atsiri, alkaloid, flavonoid dan lain-lain. Dengan
diketahuinya senyawa aktif yang dikandung simplisia akan mempermudah
pemilihan pelarut dan cara ekstraksi yang tepat (Ditjen POM, 2000).
Ekstrak adalah sediaan pekat yang diperoleh dengan mengekstraksi zat
aktif dari simplisia nabati atau simplisia hewani menggunakan pelarut yang
sesuai, kemudian semua atau hampir semua pelarut diuapkan dan massa atau
serbuk yang tersisa diperlakukan sedemikian hingga memenuhi baku yang telah
Metode ekstraksi dapat dilakukan dengan beberapa cara:
a. Cara dingin
1. Maserasi
Maserasi merupakan proses pengekstrakan simplisia yang menggunakan
pelarut dengan beberapa kali pengocokan atau pengadukan pada temperatur
ruangan (kamar).
2. Perkolasi
Perkolasi adalah ekstraksi dengan pelarut yang selalu baru sampai
penyarian sempurna yang umumnya dilakukan pada temperatur ruangan. Proses
terdiri dari tahapan pengembangan bahan, tahap maserasi antara dan tahap
perkolasi sebenarnya (penetesan/penampungan ekstrak) secara terus menerus
sampai diperoleh ekstrak (perkolat) yang jumlahnya 1-5 kali bahan.
b. Cara panas
1. Refluks
Refluks merupakan ekstraksi dengan pelarut pada temperatur titik
didihnya, selama waktu tertentu dan jumlah pelarut terbatas yang relatif konstan
dengan adanya pendingin balik. Umumnya dilakukan pengulangan proses pada
residu pertama sampai 3-5 kali sehingga dapat termasuk proses ekstraksi
sempurna.
2. Sokletasi
Sokletasi adalah ekstraksi menggunakan pelarut yang selalu baru yang
umumnya dilakukan dengan alat khusus sehingga terjadi ekstraksi yang
berkelanjutan dengan jumlah pelarut yang relatif konstan dengan adanya
3. Digesti
Digesti adalah maserasi kinetik (dengan pengadukan kontiniu) pada
temperatur yang lebih tinggi dari temperatur ruangan (kamar) yaitu secara umum
dilakukan pada temperatur 40-50oC. 4. Infus
Infus adalah ekstraksi dengan pelarut air pada temperatur penangas air
(bejana infus tercelup dalam penangas air mendidih, temperatur terukur 96-98oC) selama waktu tertentu (15-20 menit).
5. Dekok
Dekok adalah infus pada waktu yang lebih lama (≥30oC) dengan temperatur sampai titik didih air.
6. Destilasi uap
Destilasi uap adalah ekstraksi senyawa kandungan menguap (minyak
atsiri) dari bahan (segar atau simplisia) dengan uap air berdasarkan peristiwa
tekanan parsial. Senyawa menguap akan terikut dengan fase uap air dari ketel
secara kontiniu dan diakhiri dengan kondensasi fase uap campuran (senyawa
kandungan menguap ikut terdestilasi) menjadi destilat air bersama senyawa
kandungan yang memisah sempurna atau memisah sebagian (Ditjen POM, 2000).
2.3 Diabetes Melitus
Diabetes melitus adalah istilah kedokteran untuk sebutan penyakit yang di
Indonesia kita kenal dengan nama penyakit gula atau kencing manis. Istilah ini
berasal dari bahasa Yunani. Diabetes artinya mengalir terus, melitus berarti madu
atau manis. Jadi, istilah ini menunjukkan tentang keadaan tubuh penderita yaitu
Diabetes melitus merupakan penyakit yang ditandai dengan kadar glukosa
darah yang melebihi nilai normal (hiperglikemia) akibat tubuh kekurangan insulin
baik absolut maupun relatif. Penyakit ini bersifat menahun atau kronis
(Dalimartha, 2004).
Hiperglikemia timbul karena penyerapan glukosa ke dalam sel terhambat
serta metabolismenya diganggu. Dalam keadaan normal, kira-kira 50% glukosa
yang dimakan mengalami metabolisme sempurna menjadi CO2 dan air, 5% diubah menjadi glikogen dan kira-kira 30-40% diubah menjadi lemak. Pada diabetes
proses tersebut terganggu dimana glukosa tidak dapat masuk ke dalam sel, oleh
karena itu energi terutama diperoleh dari metabolisme protein dan lemak
(Handoko dan Suharto, 1995).
2.3.1 Klasifikasi diabetes melitus
Secara klinis diabetes melitus dibedakan menjadi 2 tipe yaitu:
a. Diabetes melitus tipe 1
Penderita diabetes tipe 1 diperkirakan kurang dari 5-10% dari keseluruhan
populasi penderita diabetes (Depkes RI, 2005). Pada tipe ini terdapat destruksi
dari sel beta pankreas, sehingga tidak dapat memproduksi insulin lagi dengan
akibat sel-sel tidak bisa menyerap glukosa dari darah (Tjay dan Kirana, 2007).
Penyakit ini ditandai dengan defisiensi insulin absolut yang disebabkan
oleh lesi atau nekrosis sel beta berat. Hilangnya fungsi sel beta mungkin
disebabkan oleh invasi virus, kerja toksin kimia atau karena proses destruksi
autoimun. Akibat dari destruksi sel beta, pankreas gagal berespons terhadap
masukan glukosa. Diabetes tipe 1 memerlukan insulin eksogen untuk menghindari
b. Diabetes melitus tipe 2
Penderita diabetes tipe 2 mencapai 90-95% dari keseluruhan populasi
penderita diabetes. Penderita terutama yang berada pada tahap awal, umumnya
masih terdapat jumlah insulin yang cukup di dalam darahnya, disamping kadar
glukosa yang juga tinggi (Depkes RI, 2005). Pada tipe ini, pankreas masih
mempunyai beberapa fungsi sel beta, yang menyebabkan kadar insulin bervariasi
yang tidak cukup untuk memelihara homeostasis glukosa (Mycek, et al., 2001). Di
samping karena defisiensi fungsi insulin yang bersifat relatif, namun juga
disebabkan sel-sel sasaran insulin gagal atau tidak mampu merespon insulin
secara normal. Keadaan ini lazim disebut sebagai resistensi insulin yaitu gangguan
fungsi insulin yang ditandai dengan tidak responsifnya sel-sel tubuh walaupun
kadar insulin cukup tinggi. Resistensi insulin banyak terjadi di negara-negara
maju seperti Amerika Serikat, antara lain sebagai akibat dari obesitas dan gaya
hidup kurang gerak (Depkes RI, 2005).
Bila tindakan umum (diet, gerak badan dan penurunan berat badan) tidak
atau kurang efektif untuk menormalkan kadar glukosa darah, perlu digunakan
antidiabetika oral (Tjay dan Kirana, 2007).
2.3.2 Gejala diabetes melitus
Gejala yang sering dirasakan penderita diabetes melitus antara lain poliuria
(sering buang air kecil), polidipsia (sering haus) dan polifagia (banyak
makan/mudah lapar). Selain itu, sering pula muncul keluhan penglihatan kabur,
kesemutan pada tangan atau kaki, timbul gatal-gatal yang seringkali sangat
mengganggu (pruritus), penurunan berat badan dengan cepat dan sukar sembuh
2.4 Toleransi glukosa
Pada diabetes, glukosa menumpuk dalam aliran darah, terutama setelah
makan. Bila beban glukosa diberikan pada seorang pasien diabetes, maka glukosa
plasma meningkat lebih tinggi dan kembali ke nilai normal lebih lambat daripada
yang terjadi pada orang normal. Respons terhadap dosis uji glukosa oral standar
yaitu uji toleransi glukosa oral, digunakan secara klinis untuk mendiagnosis
diabetes. Gangguan toleransi glukosa pada diabetes disebabkan oleh penurunan
pemasukan glukosa ke dalam sel (Ganong, 1998).
Insulin mempunyai peran yang sangat penting dalam membantu transpor
glukosa dari darah ke dalam sel. Kekurangan insulin menyebabkan glukosa darah
tidak dapat atau terhambat masuk ke dalam sel. Akibatnya, glukosa darah akan
meningkat dan sebaliknya sel-sel tubuh kekurangan bahan sumber energi sehingga
tidak dapat memproduksi energi sebagaimana seharusnya (Depkes RI, 2005).
Kemampuan tubuh dalam memanfaatkan glukosa dapat ditentukan dengan
mengukur toleransi glukosa yang dapat ditunjukkan dengan sifat kurva glukosa
darah setelah pemberian glukosa. Diabetes melitus ditandai dengan berkurangnya
toleransi tubuh terhadap glukosa yang disebabkan berkurangnya sekresi insulin.
Hal ini dimanifestasikan dengan kadar glukosa darah yang makin meningkat
(hiperglikemik) disertai glikosuria dan perubahan pada metabolisme lemak
2.5 Pengaturan kadar glukosa dalam darah
Pengaturan kadar glukosa dalam darah dipengaruhi oleh organ-organ
tertentu, diantaranya adalah pankreas dan hati.
a. Pankreas
Terdapat empat peptida dengan aktivitas hormonal yang disekresikan oleh
pulau Langerhans di pankreas yaitu insulin, glukagon, somatostatin dan
polipeptida pankreas. Hormon yang mempunyai peranan penting dalam
pengaturan kadar glukosa darah adalah insulin dan glukagon (Ganong, 1998).
Fungsi utama insulin adalah merendahkan kadar glukosa dalam darah dan
mengubah glukosa menjadi glikogen sedangkan glukagon bekerja meningkatkan
glukosa darah dengan cara mengubah glikogen menjadi glukosa (Faigin, 2001).
b. Hati
Hati berperan dalam mempertahankan kadar glukosa darah normal
(glukostat), menyimpan glikogen jika terjadi kelebihan glukosa, membebaskan
glukosa kedalam darah jika diperlukan dan merupakan tempat utama interkonversi
metabolisme misalnya glukoneogenesis (Faigin, 2001).
Pada keadaan setelah makan, sebanyak dua pertiga glukosa yang
diabsorpsi dari usus segera disimpan di hati dalam bentuk glikogen. Jika glukosa
tidak memasuki tubuh selama beberapa jam, glikogen hati diuraikan atas perintah
glukagon (yang mengaktifkan enzim pengurai glikogen, phosphorilase).
Degradasi glikogen menghasilkan glukosa, yang kemudian dilepaskan ke
dalam aliran darah sehingga konsentrasi glukosa dalam darah meningkat. Sebagai
reaksi dari kegiatan glukagon yang menaikkan glukosa darah, insulin diproduksi
sel-sel tubuh. Hal ini mempercepat turunnya glukosa darah, sebagai akibatnya
glukagon diproduksi untuk mempertinggi glukosa darah, sebagai akibatnya
dilepaskan insulin, demikian seterusnya. Jika masukan karbohidrat ditiadakan,
aksi hormon-hormon ini secara perlahan menghilang karena glikogen hati habis
(Faigin, 2001).
Pada keadaan terjadi diabetes melitus semua proses tersebut terganggu,
glukosa tidak dapat masuk ke dalam sel sehingga energi terutama diperoleh dari
metabolisme protein dan lemak (Handoko dan Suharto, 1995).
2.6 Terapi farmakologi
Dalam penatalaksanaan diabetes, hal penting yang harus dilakukan adalah
berupa pengaturan diet dan olahraga (Depkes RI, 2005). Obat hipoglikemik oral
perlu diberikan bila pengaturan nutrisi secara maksimal tidak berhasil
mengendalikan kadar gula darah. Segala program pengobatan bertujuan untuk
mengendalikan hiperglikemia dengan pengelolaan gizi dan latihan, baik dengan
tambahan obat hipoglikemik oral maupun insulin (Drury, 1979).
2.6.1 Terapi insulin
Terapi insulin merupakan satu keharusan bagi penderita diabetes melitus
tipe 1. Pada diabetes melitus tipe 1, sel-sel beta Langerhans kelenjar pankreas
penderita rusak, sehingga tidak lagi dapat memproduksi insulin. Sebagai
penggantinya, maka penderita harus mendapat insulin eksogen untuk membantu
agar metabolisme karbohidrat didalam tubuhnya dapat berjalan dengan normal
2.6.2 Terapi obat hipoglikemik oral
Obat-obat hipoglikemik oral terutama ditujukan untuk membantu
penanganan pasien diabetes melitus tipe 2 (Depkes RI, 2005). Obat antidiabetika
oral dapat dibagi dalam 2 golongan yaitu derivat sulfonilurea dan derivat biguanid
(Handoko dan Suharto, 1995).
a. Golongan sulfonilurea
Mekanisme kerja sulfonilurea termasuk merangsang pelepasan insulin dari
sel beta pankreas, mengurangi kadar glukagon dalam serum dan meningkatkan
pengikatan insulin pada jaringan target dan reseptor (Mycek, et al., 2001).
Contoh obat golongan sulfonilurea diantaranya:
1. Tolbutamid
Mula kerjanya cepat dan kadar maksimal dicapai dalam 3-5 jam. Dalam darah
tolbutamid terikat protein plasma dan diekskresi melalui ginjal.
2. Gliburid (glibenklamid)
Cara kerjanya sama dengan sulfonilurea lainnya. Obat ini 200 kali lebih kuat
dari tolbutamid, tetapi efek hipoglikemia maksimal mirip sulfonilurea lainnya.
Gliburid dimetabolisme dalam hati, hanya 25% metabolit diekskresi melalui
urin dan sisanya diekskresi melalui empedu dan tinja. Gliburid efektif dengan
pemberian dosis tunggal. Bila pemberian dihentikan obat akan bersih dari
serum sesudah 36 jam.
3. Klorpropamid
Diserap dengan cepat oleh usus, 70-80% dimetabolisme dalam hati dan
metabolitnya cepat diekskresi melalui ginjal. Dalam darah obat ini terikat
beberapa hari setelah pengobatan dihentikan. Efek hipoglikemik maksimal
dosis tunggal terjadi kira-kira 10 jam setelah obat itu diberikan.
4. Glipizid
Kekuatan 100 kali lebih kuat daripada tolbutamid, tetapi efek hipoglikemia
maksimal mirip dengan sulfonilurea lain. Glipizid diabsorpsi lengkap sesudah
pemberian oral dan dengan cepat dimetabolisme dalam hati menjadi tidak aktif.
Metabolit dan kira-kira 10% obat yang utuh diekskresi melalui ginjal (Handoko
dan Suharto, 1995).
b. Golongan biguanida
Berbeda dengan sulfonilurea, obat ini tidak menstimulasi pelepasan
insulin dan tidak menurunkan kadar gula darah pada orang sehat. Zat ini juga
menekan nafsu makan hingga berat badan tidak meningkat, maka layak diberikan
pada penderita yang kegemukan (Tjay dan Kirana, 2007).
Kerja derivat biguanid tidak bergantung pada fungsi pankreas. Sediaan
biguanid tidak dapat menggantikan fungsi insulin endogen dan digunakan pada
terapi diabetes dewasa. Penyerapan oleh usus baik sekali, obat ini dapat digunakan
bersamaan dengan insulin atau sulfonilurea (Handoko dan Suharto, 1995).
Contoh obat golongan ini adalah metformin. Metformin bekerja terutama
dengan jalan mengurangi pengeluaran glukosa hati, sebagian besar dengan
menghambat glukoneogenesis. Metformin mudah diabsorpsi secara peroral, tidak
terikat dengan protein serum dan tidak dimetabolisme, ekskresinya melalui urin
BAB III
METODOLOGI PENELITIAN
Penelitian ini dilakukan dengan metode eksperimental yang meliputi
pengambilan sampel, identifikasi, pengolahan sampel, pemeriksaan karakterisasi
simplisia, skrining fitokimia serbuk simplisia, pembuatan ekstrak dan pengujian
efek hipoglikemik ekstrak daun sirih merah terhadap tikus putih jantan dengan
metode toleransi glukosa menggunakan rancangan acak lengkap (RAL). Data
hasil penelitian dianalisis secara analisis variansi (Anava) program SPSS
(Statistical Product and Service Solution) dan untuk melihat perbedaan nyata
antar perlakuan digunakan uji Duncan.
3.1 Alat-alat
Alat-alat yang digunakan pada penelitian ini meliputi oven listrik (Fisher
scientific), neraca listrik (Vibra AJ), neraca kasar (Ohaus), blender (National),
freeze dryer (Modulyo), rotary evaporator (Buchi 461), penangas air (Yenaco),
seperangkat alat penetapan kadar air, mikroskop (Olympus), Glucometer dan
Glucotest strip (Accu-Chek®), neraca hewan (Presica Geniweigher GW-1500), syringe 1 ml dan 5 ml (Terumo), oral sonde, mortir dan stamfer, aluminium foil,
kertas saring dan alat-alat gelas laboratorium.
3.2 Bahan-bahan
Bahan-bahan yang digunakan pada penelitian ini adalah daun sirih merah
dan semua bahan kimia yang digunakan berkualitas pro analisis kecuali
dinyatakan lain adalah etanol 96% (hasil destilasi), air suling, raksa (II) klorida,
natrium hidroksida, amil alkohol, asam klorida pekat, metanol, kloralhidrat,
toluen, serbuk magnesium, isopropanol, n-heksan, CMC (Carboxy Methyl
Cellulose), glukosa, tablet Glibenklamid® (Indofarma). 3.3 Pembuatan larutan pereaksi
3.3.1 Larutan pereaksi Mayer
Sebanyak 5 g kalium iodida dalam 10 ml air suling kemudian ditambahkan
larutan 1,36 g raksa (II) klorida dalam 60 ml air suling. Larutan dikocok dan
ditambahkan air suling hingga 100 ml (Depkes RI, 1980).
3.3.2 Larutan pereaksi Dragendorff
Sebanyak 8 g bismuth (III) nitrat dilarutkan dalam asam nitrat 20 ml
kemudian dicampur dengan larutan kalium iodida sebanyak 27,2 g dalam 50 ml
air suling. Campuran didiamkan sampai memisah sempurna. Larutan jernih
diambil dan diencerkan dengan air secukupnya hingga 100 ml (Depkes RI, 1980).
3.3.3 Larutan pereaksi Bouchardat
Sebanyak 4 g kalium iodida dilarutkan dalam 20 ml air suling kemudian
ditambah 2 g iodium sambil diaduk sampai larut, lalu dicukupkan dengan air
suling hingga 100 ml (Depkes RI, 1980).
3.3.4 Larutan pereaksi Lieberman-Burchard
Sebanyak 20 bagian asam asetat anhidrat dicampurkan dengan 1 bagian
asam sulfat pekat dan 50 bagian kloroform. Larutan pereaksi ini harus dibuat baru
(Harborne, 1987).
3.3.5 Larutan pereaksi Molish
3.3.6 Larutan pereaksi besi (III) klorida 1% (b/v)
Sebanyak 1 g besi (III) klorida dilarutkan dalam air suling hingga
diperoleh larutan 100 ml kemudian disaring (Depkes RI, 1980).
3.3.7 Larutan pereaksi timbal (II) asetat 0,4 M
Sebanyak 15,17 g timbal (II) asetat ditimbang, kemudian dilarutkan dalam
air suling bebas karbondioksida hingga 100 ml (Ditjen POM, 1979).
3.3.8 Larutan pereaksi natrium hidroksida 2 N
Sebanyak 8,002 g kristal natrium hidroksida dilarutkan dalam air suling
hingga diperoleh larutan 100 ml (Ditjen POM, 1979).
3.3.9 Larutan pereaksi asam klorida 2 N
Sebanyak 17 ml asam klorida pekat diencerkan dengan air suling sampai
100 ml (Ditjen POM, 1979).
3.3.10 Larutan pereaksi kloralhidrat
Sebanyak 50 g kloralhidrat dilarutkan dalam 20 ml air suling (Depkes RI,
1995).
3.4 Pengambilan sampel
Pengambilan sampel dilakukan secara purposif yaitu tanpa
membandingkan tanaman serupa dari daerah lain. Sampel yang digunakan adalah
daun sirih merah diambil dari halaman belakang rumah di jalan Pahlawan gang
3.5 Identifikasi sampel
Identifikasi tanaman dilakukan di “Herbarium Bogoriense” Bidang Botani,
Pusat Penelitian Biologi, Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI), Bogor.
Hasil identifikasi tanaman dapat dilihat pada lampiran 1 gambar 2 halaman 46.
Gambar tanaman, daun dan simplisia daun sirih merah dapat dilihat pada lampiran
2 gambar 3, 4 dan 5 halaman 47 dan 48.
3.6 Pengolahan sampel
Sampel yang digunakan pada penelitian ini adalah daun sirih merah yang
masih segar, dicuci bersih dengan air mengalir dan ditiriskan, lalu ditimbang
sebagai berat basah yaitu 1,65 kg, kemudian dikeringkan di lemari pengering pada
suhu ± 40°C hingga kering. Daun dianggap kering jika daun tersebut diremas
menjadi hancur, setelah kering sampel ditimbang sebagai berat kering yaitu 335 g.
Sampel selanjutnya diserbukkan dengan menggunakan blender dan disimpan
dalam wadah plastik sebelum digunakan.
3.7 Pemeriksaan karakterisasi simplisia
Pemeriksaan karakterisasi simplisia meliputi pemeriksaan makroskopik,
mikroskopik, penetapan kadar air, penetapan kadar sari larut air, penetapan kadar
sari larut etanol, penetapan kadar abu total, penetapan kadar abu tidak larut asam
(Depkes RI, 1995; WHO, 1992).
3.7.1 Pemeriksaan makroskopik
Pemeriksaan makroskopik dilakukan terhadap simplisia daun sirih merah
dengan cara memperhatikan bentuk, bau, rasa, warna dan ukuran daun sirih. Hasil
3.7.2 Pemeriksaan mikroskopik
Pemeriksaan mikroskopik dilakukan terhadap serbuk simplisia dengan
cara menaburkan serbuk simplisia diatas kaca objek yang telah ditetesi dengan
larutan kloralhidrat dan ditutup dengan kaca penutup kemudian dilihat dibawah
mikroskop. Hasil dari pemeriksaan mikroskopik dapat dilihat pada lampiran 4
gambar 6 halaman 50.
3.7.3 Penetapan kadar air
Penetapan kadar air dilakukan dengan metode Azeotropi (destilasi toluen).
Alat-alat terdiri dari labu alas bulat 500 ml, pendingin, tabung penerima 5 ml
berskala 0,05 ml, tabung penyambung dan pemanas listrik.
Cara penetapan:
Ke dalam labu alas bulat dimasukkan 200 ml toluen dan 2 ml air suling, di
destilasi selama 2 jam, dibiarkan dingin selama 30 menit dan volume air pada
tabung penerima dibaca. Ke dalam labu tersebut dimasukkan 5 g serbuk simplisia
yang telah ditimbang seksama, lalu dipanaskan hati-hati selama 15 menit. Setelah
toluen mulai mendidih, kecepatan tetesan diatur kurang lebih 2 tetes tiap detik
hingga sebagian besar air terdestilasi, kemudian kecepatan destilasi dinaikkan
sampai 4 tetes tiap detik. Setelah semua air terdestilasi, bagian dalam pendingin
dibilas dengan toluen yang telah dijenuhkan. Destilasi dilanjutkan selama 5 menit,
kemudian tabung penerima dibiarkan mendingin sampai suhu kamar. Setelah air
dan toluen memisah sempurna, volume air dibaca. Kadar air dihitung dalam
3.7.4 Penetapan kadar sari larut air
Sebanyak 5 g serbuk di maserasi selama 24 jam dalam 100 ml
air-kloroform (2,5 ml air-kloroform dalam air suling 1000 ml) dalam labu bersumbat
sambil sesekali dikocok selama 6 jam pertama kemudian dibiarkan selama 18 jam.
Saring, diuapkan 20 ml filtrat sampai kering dalam cawan dangkal berdasar rata
yang telah ditara, sisa dipanaskan dalam oven pada suhu 105oC hingga diperoleh bobot tetap, kemudian dihitung kadar sari larut air (Depkes RI, 1995).
3.7.5 Penetapan kadar sari larut etanol
Sebanyak 5 g serbuk di maserasi selama 24 jam dalam 100 ml etanol 96%
dalam labu bersumbat sambil sesekali dikocok selama 6 jam pertama dan
dibiarkan selama 18 jam. Saring cepat untuk menghindari penguapan etanol,
diuapkan 20 ml filtrat sampai kering dalam cawan dangkal berdasar rata yang
telah ditara, sisa dipanaskan dalam oven pada suhu 105oC hingga diperoleh bobot tetap, kemudian dihitung kadar sari larut etanol (Depkes RI, 1995).
3.7.6 Penetapan kadar abu total
Sebanyak 2 g serbuk yang telah digerus, ditimbang seksama dimasukkan
ke dalam krus porselin yang telah dipijarkan dan ditara, kemudian diratakan. Krus
dipijarkan perlahan-lahan pada suhu 500-600oC hingga arang habis, dinginkan dan ditimbang sampai diperoleh bobot tetap, kemudian dihitung kadar abu total
(WHO, 1992).
3.7.7 Penetapan kadar abu tidak larut asam
Abu yang telah diperoleh pada penetapan kadar abu total dididihkan dalam
25 ml asam klorida encer selama 5 menit. Bagian yang tidak larut dalam asam
air panas. Residu dan kertas saring dipijarkan, didinginkan dan ditimbang sampai
bobot tetap, kemudian dihitung kadar abu tidak larut asam (WHO, 1992). Hasil
perhitungan karakteristik simplisia dapat dilihat pada lampiran 5 halaman 51 dan
hasil karakteristik simplisia dapat dilihat pada lampiran 6 tabel 2 halaman 56.
3.8 Skrining fitokimia serbuk simplisia
Skrining fitokimia serbuk simplisia meliputi pemeriksaan senyawa
golongan flavonoid, alkaloid, saponin, tanin, glikosida dan steroid/triterpenoid.
3.8.1 Pemeriksaan flavonoid
Sebanyak 10 g serbuk simplisia ditimbang lalu ditambahkan 100 ml air
panas, dididihkan selama 5 menit dan disaring dalam keadaan panas. Filtrat yang
diperoleh kemudian diambil 5 ml lalu ditambahkan 0,1 g serbuk magnesium dan 1
ml asam klorida pekat dan 2 ml amil alkohol, dikocok dan dibiarkan memisah.
Flavonoid positif jika terjadi warna merah, kuning, jingga pada lapisan amil
alkohol (Farnsworth, 1966).
3.8.2 Pemeriksaan alkaloid
Serbuk simplisia ditimbang sebanyak 0,5 g kemudian ditambahkan 1 ml
asam klorida 2 N dan 9 ml air suling, dipanaskan di atas penangas air selama 2
menit, didinginkan lalu disaring. Filtrat dipakai untuk percobaan berikut:
- Diambil 3 tetes filtrat, lalu ditambahkan 2 tetes pereaksi Mayer.
- Diambil 3 tetes filtrat, lalu ditambahkan 2 tetes pereaksi Bouchardat.
- Diambil 3 tetes filtrat, lalu ditambahkan 2 tetes pereaksi Dragendorff.
Alkaloid positif jika terjadi endapan atau kekeruhan paling sedikit pada
3.8.3 Pemeriksaan saponin
Sebanyak 0,5 g serbuk simplisia dimasukkan kedalam tabung reaksi
ditambahkan 10 ml air suling panas, didinginkan kemudian dikocok selama 10
detik, jika terbentuk buih yang mantap setinggi 1-10 cm yang stabil tidak kurang
dari 10 menit dan tidak hilang dengan penambahan 1 tetes larutan pereaksi asam
klorida 2 N, menunjukkan adanya saponin (Depkes RI, 1995).
3.8.4 Pemeriksaan tanin
Sebanyak 0,5 g serbuk simplisia disari dengan 10 ml air suling lalu
disaring, filtratnya diencerkan dengan air suling sampai tidak berwarna. Diambil 2
ml larutan dan ditambahkan 1-2 tetes pereaksi besi (III) klorida 1%. Jika terjadi
warna biru atau hijau kehitaman menunjukkan adanya tanin (Farnsworth, 1966).
3.8.5 Pemeriksaan glikosida
Serbuk simplisia ditimbang sebanyak 3 g kemudian disari dengan 30 ml
campuran etanol 95% dengan air (7:3) dan 10 ml larutan asam sulfat 2 N,
direfluks selama 1 jam, didinginkan dan disaring. Pada 20 ml filtrat ditambahkan
25 ml air suling dan 25 ml timbal (II) asetat 0,4 M, dikocok, didiamkan 5 menit
lalu disaring. Filtrat disari dengan 20 ml campuran isopropanol dan kloroform
(2:3) dilakukan berulang sebanyak 3 kali. Kumpulan sari air diuapkan pada
temperatur tidak lebih dari 50oC. Sisanya dilarutkan dalam 2 ml metanol. Larutan sisa dimasukkan dalam tabung reaksi selanjutnya diuapkan diatas penangas air,
pada sisa ditambahkan 2 ml air dan 5 tetes larutan pereaksi Molish, kemudian
ditambahkan hati-hati 2 ml asam sulfat pekat melalui dinding tabung, cincin
berwarna ungu yang terbentuk pada batas kedua cairan menunjukkan adanya
3.8.6 Pemeriksaan steroid/triterpenoid
Sebanyak 1 g serbuk di maserasi dengan 20 ml n-heksan selama 2 jam,
lalu disaring, filtrat diuapkan dalam cawan penguap. Pada sisa ditambahkan 2
tetes asam asetat anhidrat dan 1 tetes asam sulfat pekat (pereaksi
Lieberman-Burchard). Apabila terbentuk warna ungu atau merah dan berubah menjadi biru
ungu atau biru hijau menunjukkan adanya steroid/triterpenoid (Harborne, 1987).
Hasil skrining fitokimia dapat dilihat pada lampiran 6 tabel 3 halaman 56.
3.9 Pembuatan ekstrak etanol sirih merah (EESM)
Sebanyak 200 g serbuk simplisia dimasukkan ke dalam bejana tertutup dan
dibasahi dengan cairan penyari etanol 96%, dimaserasi selama 3 jam. Massa
dipindahkan sedikit demi sedikit ke dalam perkolator, kemudian cairan penyari
dituangkan secukupnya sampai semua simplisia terendam dan terdapat selapis
cairan penyari di atasnya, perkolator ditutup dengan aluminium foil dan dibiarkan
selama 24 jam, kemudian kran perkolator dibuka dan dibiarkan tetesan perkolat
mengalir dengan kecepatan 1 ml tiap menit, ditambahkan berulang-ulang cairan
penyari secukupnya hingga selalu terdapat selapis cairan penyari di atas simplisia.
Perkolasi dihentikan jika 500 mg perkolat yang keluar terakhir diuapkan, tidak
meninggalkan sisa. Perkolat yang diperoleh digabung dan diuapkan pada tekanan
rendah dengan suhu tidak lebih dari 50oC menggunakan rotary evaporator, kemudian dipekatkan dengan menggunakan freeze dryer sehingga diperoleh
ekstrak kental 53,2 g (Ditjen POM, 1979). Bagan pembuatan ekstrak dapat dilihat
3.10 Hewan percobaan
Hewan yang digunakan pada penelitian ini adalah tikus putih jantan galur
SD dengan berat badan antara 150-200 g. Sebelum dilakukan percobaan tikus
terlebih dahulu dipelihara selama 2 minggu dalam kandang yang baik untuk
menyesuaikan dengan lingkungannya (Ditjen POM, 1979).
3.11 Penyiapan bahan
Bahan yang digunakan meliputi larutan glukosa, suspensi CMC sebagai
kontrol negatif, suspensi EESM sebagai sediaan uji dan suspensi Glibenklamid
sebagai pembanding.
3.11.1 Pembuatan larutan glukosa 50% (b/v)
Sebanyak 50 g glukosa dilarutkan dalam air suling sampai dengan volume
100 ml.
3.11.2 Pembuatan suspensi CMC 0,5%
Sebanyak 0,5 g CMC ditaburkan dalam lumpang yang berisi 10 ml air
suling panas. Didiamkan selama 15 menit hingga diperoleh massa yang
transparan, lalu digerus sampai homogen, diencerkan dengan sedikit air suling dan
dimasukkan ke dalam labu tentukur 100 ml, dicukupkan volume hingga 100 ml.
3.11.3 Pembuatan suspensi EESM 1% (b/v)
Sebanyak 1 g ekstrak etanol daun sirih merah dimasukkan ke dalam
lumpang dan ditambahkan suspensi CMC 0,5% sedikit demi sedikit sambil
digerus sampai homogen lalu diencerkan dengan suspensi CMC 0,5%, kemudian
dimasukkan ke dalam labu tentukur 100 ml, dicukupkan volumenya dengan
3.11.4 Pembuatan suspensi Glibenklamid dari tablet Glibenklamid®
Tablet Glibenklamid® mengandung 5 mg Glibenklamid, ditimbang sebanyak 20 tablet. Tablet digerus dan diambil serbuk sebanyak 40,29 mg,
kemudian serbuk dimasukkan ke dalam lumpang ditambah suspensi CMC 0,5%
sedikit demi sedikit sambil digerus sampai homogen lalu diencerkan dengan
suspensi CMC 0,5% hingga 100 ml. Perhitungan kadar glibenklamid dari tablet
Glibenklamid® dapat dilihat pada lampiran 8 halaman 58. 3.12 Pengujian farmakologi
3.12.1 Penentuan kadar gula darah (KGD)
Sebelum dilakukan percobaan, tikus dipuasakan (tidak makan tetapi tetap
minum) selama 18 jam, ditimbang berat badan. Untuk mempermudah
pengambilan darah, tikus dimasukkan ke dalam tabung dimana bagian ekor tetap
berada di luar, dicukur bulu ekor dan dibersihkan dengan alkohol, lalu diukur
kadar gula darah puasa. Darah diambil melalui vena bagian ekor yang ditusuk
dengan menggunakan jarum suntik. Darah yang keluar disentuhkan pada test strip
yang telah terpasang pada alat glucometer dan dibiarkan alat mengukur kadar gula
darah secara otomatis. Angka yang tampil pada layar alat dicatat sebagai kadar
gula darah (mg/dl).
3.12.2 Prosedur kerja pengujian efek hipoglikemik
Pengujian efek hipoglikemik ekstrak etanol daun sirih merah dilakukan
menggunakan metode uji toleransi glukosa dengan variasi dosis. Tikus
dikelompokkan secara acak menjadi 6 kelompok, masing-masing kelompok terdiri
dari 6 ekor tikus. Tikus yang telah dipuasakan ditimbang berat badannya,
larutan glukosa 50% dengan dosis 5 g/kg BB secara oral dan ditentukan kadar
gula darah setelah 30 menit pemberian larutan glukosa 50%, selanjutnya
masing-masing tikus diberi perlakuan secara oral yaitu kelompok I tidak diberi obat hanya
diberikan larutan glukosa 50% dosis 5 g/kg BB, kelompok II diberikan suspensi
CMC 0,5% dosis 1% BB, kelompok III diberikan suspensi glibenklamid dosis 1
mg/kg BB, kelompok IV diberikan suspensi EESM dosis 50 mg/kg BB, kelompok
V diberikan suspensi EESM dosis 100 mg/kg BB dan kelompok VI diberikan
suspensi EESM dosis 200 mg/kg BB. Pengukuran kadar gula darah tikus
dilakukan pada menit ke 60, 90, 120, 150 dan 180 (Raja, 2008). Bagan prosedur
kerja pengujian farmakologi dapat dilihat pada lampiran 9 gambar 8 halaman 60.
3.13 Penggunaan glukometer
Alat yang digunakan untuk mengukur kadar glukosa darah adalah
glucometer Accu-Chek®. Glucometer ini secara otomatis akan hidup ketika test
strip dimasukkan dan akan mati ketika test strip dicabut. Accu-Chek® check strip
dimasukkan ke glucometer Accu-Chek®. Test strip dimasukkan pada glucometer
sehingga glucometer akan hidup secara otomatis, dicocokkan kode nomor yang
muncul pada layar dengan yang ada pada vial Accu-Chek® test strip. Test strip
yang dimasukkan pada glucometer maka pada bagian layar akan tertera angka
sesuai dengan kode check strip, kemudian pada layar monitor glucometer muncul
tanda akan siap di teteskan darah. Dengan menyentuhkan setetes darah ke test
strip, reaksi dari wadah test strip akan otomatis menyerap darah ke dalam test
strip melalui aksi kapiler. Ketika wadah terisi penuh oleh darah, alat mulai
mengukur kadar glukosa darah. Hasil pengukuran diperoleh selama 8 detik. Alat
3.14 Prinsip pengukuran glukometer
Sampel darah akan masuk ke dalam tes strip melalui aksi kapiler. Glukosa
yang ada dalam darah akan bereaksi dengan glukosa oksidase dan kalium
ferisianida yang ada dalam strip dan akan dihasilkan kalium ferosianida. Kalium
ferosianida yang dihasilkan sebanding dengan konsentrasi glukosa yang ada
dalam sampel darah. Oksidasi kalium ferosianida akan menghasilkan muatan
listrik yang akan diubah oleh glukometer untuk ditampilkan sebagai konsentrasi
glukosa pada layar.
glukosa oksidase
β-D-Glukosa + kalium ferisianida asam glukonat + kalium ferosianida
oksidasi
Kalium ferosianida kalium ferisianida + e -3.15 Analisis data
Data hasil penelitian dianalisis secara statistik dengan metode analisis
variansi (Anava) dan untuk melihat adanya perbedaan nyata antar perlakuan
digunakan metode uji Duncan. Analisis statistik ini menggunakan program SPSS.
BAB IV
HASIL DAN PEMBAHASAN
Hasil identifikasi/determinasi yang dilakukan di “Herbarium Bogoriense”
Bidang Botani Pusat Penelitian Biologi, Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia
(LIPI) Bogor, menunjukkan bahwa tanaman sirih merah yang diteliti adalah jenis
Piper cf. fragile Benth., suku Piperaceae.
Hasil pemeriksaan makroskopik simplisia daun sirih merah yaitu daun
bertangkai berbentuk jantung, ujung daun runcing, bertepi rata, daun berkerut,
berwarna coklat, panjang 10-15 cm, lebar 7-8 cm dan beraroma wangi khas sirih.
Sirih merah rasanya sangat pahit dibandingkan dengan sirih biasa atau
varietas lainnya, warna daun bagian atas hijau bercorak warna putih keabu-abuan
sedangkan bagian bawah daun berwarna merah cerah (Sudewo, 2005). Tanaman
ini berbatang bulat hijau keunguan dan tidak berbunga. Yang membedakan
dengan sirih hijau adalah selain daunnya berwarna merah, bila daunnya disobek
maka akan berlendir serta aromanya lebih wangi. Tanaman tumbuh subur di
tempat teduh, bila tumbuh pada daerah panas atau sinar matahari langsung maka
batangnya cepat mengering. Selain itu, warna merah daunnya akan pudar, padahal
kemungkinan khasiatnya terletak pada senyawa kimia yang terkandung dalam
warna merah daunnya (Anonim, 2007).
Hasil pemeriksaan mikroskopik serbuk simplisia daun sirih merah
diperoleh adanya stomata tipe anomositik, rambut penutup, berkas pembuluh,
tetesan minyak dan kelenjar minyak atsiri berwarna kuning jingga.
Hasil karakteristik simplisia daun sirih merah diperoleh kadar air 8,66%,
dan kadar abu tidak larut asam 1,20%. Karakteristik simplisia daun sirih merah
belum terdapat pada monografi buku Materia Medika Indonesia (MMI), maka
sebagai perbandingan dilihat dari suku Piperaceae yaitu daun sirih (Piper betle
L.). Hasil karakteristik simplisia daun sirih merah (Piper cf. fragile Benth.)
berbeda dengan daun sirih (Piper betle L.) yang terdapat pada buku MMI edisi IV,
namun kadar yang diperoleh dari hasil karakteristik simplisia daun sirih merah
tersebut memenuhi syarat yang sesuai dengan standar simplisia daun sirih (Piper
betle L.) pada monografi buku MMI edisi IV jadi simplisia daun sirih merah dapat
digunakan sebagai bahan penelitian.
Hasil pemeriksaan skrining fitokimia serbuk simplisia daun sirih merah
menunjukkan adanya senyawa flavonoid, alkaloid, glikosida, saponin, tanin dan
steroid/triterpenoid.
Ekstraksi dilakukan secara perkolasi menggunakan pelarut etanol 96% dari
200 g serbuk kering diperoleh ekstrak kental 53,2 g.
Pada uji efek hipoglikemik, terlebih dahulu dilakukan orientasi penurunan
KGD EESM 1% dengan variasi dosis yaitu 50, 100 dan 200 mg/kg BB dan dari
ketiga dosis yang diuji ternyata EESM 1% memberikan efek penurunan KGD
dimana dosis 100 mg/kg BB memberikan efek menurunkan KGD tikus yang
mendekati glibenklamid dosis 1 mg/kg BB, sehingga untuk penelitian selanjutnya
tetap digunakan EESM dosis 50, 100 dan 200 mg/kg BB sebagai perlakuan.
Penelitian ini menggunakan tikus putih jantan sebagai hewan percobaan
yang dibuat hiperglikemia dengan harapan tercapai kenaikan kadar gula dalam
darah dengan metode toleransi glukosa yang diberikan secara oral. Tikus
dari 6 ekor tikus yaitu kelompok I tidak diberi obat hanya diberikan larutan
glukosa 50% dosis 5 g/kg BB sebagai kontrol diabetes, kelompok II diberi
suspensi CMC 0,5% dosis 1% BB sebagai kontrol negatif, kelompok III diberikan
suspensi glibenklamid dosis 1 mg/kg BB sebagai pembanding, kelompok IV, V
dan VI masing-masing diberikan suspensi EESM 50, 100 dan 200 mg/kg BB
sebagai kelompok sediaan uji.
Rata-rata KGD tikus setelah puasa selama 18 jam untuk semua hewan
percobaan adalah 104,40 mg/dl. Berdasarkan hasil analisis statistik Anava dan
dilanjutkan uji beda rata-rata Duncan menunjukkan tidak ada perbedaan yang
bermakna untuk setiap perlakuan baik n = 6 maupun n = 36, hal ini menunjukkan
bahwa tikus yang digunakan masih dalam kondisi fisiologis yang homogen yakni
dengan kadar gula darah normal. Berdasarkan analisis statistik tersebut maka
untuk menit 0 digunakan rata-rata KGD puasa yaitu 104,40 mg/dl.
Tikus yang telah diukur KGD puasanya, kemudian diberi larutan glukosa
50% dosis 5 g/kg BB dimana setelah 30 menit kemudian terjadi peningkatan KGD
tikus pada masing-masing kelompok perlakuan.
Rata-rata KGD tikus setelah pemberian larutan glukosa 50% dosis 5 g/kg
BB untuk semua hewan percobaan adalah 202,32 mg/dl, selanjutnya diistilahkan
sebagai tikus diabetes. Berdasarkan hasil analisis statistik Anava dan dilanjutkan
uji beda rata-rata Duncan menunjukkan tidak ada perbedaan yang bermakna untuk
setiap perlakuan baik n = 6 maupun n = 36, hal ini menunjukkan bahwa tikus yang
digunakan masih dalam kondisi fisiologis yang homogen yakni hiperglikemia.
Berdasarkan hasil analisis statistik tersebut maka untuk menit ke-30 digunakan
Terhadap tikus diabetes masing-masing diberi perlakuan yaitu kelompok I
tidak diberi obat hanya diberikan larutan glukosa 50% dosis 5 g/kg BB, kelompok
II diberikan suspensi CMC 0,5% dosis 1% BB, kelompok III diberikan suspensi
glibenklamid dosis 1 mg/kg BB, kelompok IV, V dan IV masing-masing
diberikan suspensi EESM dosis 50, 100 dan 200 mg/kg BB. Pengukuran kadar
gula darah tikus dilakukan pada menit ke 60, 90, 120, 150 dan 180.
Hasil pengukuran rata-rata KGD setelah perlakuan pada masing-masing
kelompok dapat dilihat pada tabel 4 dan gambar 10 dibawah ini.
Tabel 4. Hasil pengukuran rata-rata KGD setelah perlakuan (n = 6)
No.
KGD setelah perlakuan (mg/dl)
0 50 100 150 200 250
Waktu (menit)
K
G
D
(m
g
/d
l)
Glukosa 50% CMC 1% BB
Glibenklamid 1 mg/kg BB EESM 50
EESM 100 EESM 200
0 30 60 90 120 150 180
Gambar 10. Grafik rata-rata KGD setelah perlakuan (n = 6)
Pada gambar 10 diatas menunjukkan bahwa pemberian EESM dengan
dosis 50, 100 dan 200 mg/kg BB dapat menurunkan KGD sampai ke batas
normal. Penurunan KGD EESM dengan dosis 100 mg/kg BB lebih mendekati
penurunan glibenklamid dosis 1 mg/kg BB. Penurunan KGD tikus mulai terlihat
pada menit ke-60 baik dengan pemberian EESM dosis 50, 100 dan 200 mg/kg BB
maupun dengan pemberian glibenklamid dengan dosis 1 mg/kg BB.
Hasil pengukuran rata-rata KGD tikus/persentase penurunan KGD tikus
setelah pemberian larutan glukosa 50% pada selang waktu 60 menit dapat dilihat