• Tidak ada hasil yang ditemukan

Politik Ekonomi Tata Kelola Minyak Bumi

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2017

Membagikan "Politik Ekonomi Tata Kelola Minyak Bumi"

Copied!
14
0
0

Teks penuh

(1)

Harlitus Berniawan/ 1206272646 Syamsul Bahri/ 1206255450 Ilmu Politik Universitas Indonesia

Makalah Teori dan Metode Ekonomi Politik Kelas A

Politik Ekonomi Tata Kelola Minyak Bumi dan Gas di Indonesia: Sebuah Telaah atas Pasal 33 UUD 1945

Latar Belakang

Adalah wajar bagi Indonesia untuk berbangga diri sebagai negara dengan kekayaan sumber daya alam yang begitu melimpah. Kekayaan alam yang kita miliki dengan jumlah yang terbilang banyak adalah minyak bumi dan gas (Migas). Namun, hal ini menjadi ironi saat sekarang kita terlihat kekurangan migas dan harus mengimpor dari luar, yang tentunya berdampak pada meningkatnya beban anggaran negara.

Mungkin di awal perlu dijelaskan secara singkat bagaimana salah urus pengelolaan Migas di Indonesia hingga tiba pada kondisi seperti sekarang ini. Di masa Orba, kecenderungan negara dalam menguasai berbagai sektor terlihat begitu jelas. Ini dibuktikan dengan kuatnya korporasi negara yang disebabkan oleh empat faktor, yaitu (1) korporasi negara mencegah menguatnya pengaruh internasional; (2) korporasi negara menjadi penentu dalam strategi industrialisasi nasional; (3) korporasi negara menjadi elemen tak tergantikan dalam perkembangan kapital swasta di Indonesia; (4) korporasi negara memberi keuntungan bagi elit politik dan militer.1

Demikian halnya pertamina yang menjadi kunci utama pengelolaan Migas pada waktu itu. Kewenangan yang begitu besar yang diberikan ke tangan Presiden Direktur Pertamina untuk mengelola dan mengontrol semua sektor yang berhubungan dengan minyak menjadi pemicu begitu banyaknya pelanggaran yang menguntungkan para petinggi militer pada waktu itu dan sekaligus menimbulkan kerugian yang begitu besar bagi perekonomian negara akibat penyalahgunaan anggaran dan meningkatnya hutang luar negeri.2

1 Richard Robison, Soeharto & Bangkitnya Kapitalisme Indonesia, (Jakarta: Komunitas Bambu, 2012), hal. 165-166

(2)

Singkat cerita, masalah yang dihadapi Pertamina dan berbagai sektor yang dijadikan penggerak ekonomi oleh Orba membawa Indonesia ke dalam krisis hebat di tahun 1998. Dalam buku “Gagalnya Pembangunan” karya Andrinof Chaniago, jika diuraikan secara singkat, krisis menjelang runtuhnya Orba banyak banyak disebabkan oleh kesalahan strategi ekonomi yang cenderung pragmatis dan mengakibatkan rapuhnya landasan ekonomi yang dibangun. Perekonomian Indonesia dibangun dengan struktur ekonomi yang begitu buruk. Pembangunan ekonomi masih didominasi oleh industri ekstraktif dan bukan justru bergerak dalam pengembangan sektor sumber daya manusia dan teknologi.3

Krisis yang begitu parah kemudian menjadi pemicu yang memprovokasi Indonesia untuk mau tidak mau menerima bantuan dari lembaga donor. Dalam tulisan ini, pembahasan mengenai lembaga donor difokuskan pada IMF. Hutang Indonesia yang begitu banyak kepada IMF mengahasilkan Letter of Intent antara Indonesia dan IMF di tahun 1998 yang pada intinya berisi desakan untuk meliberalisasi berbagai sektor ekonomi di Indonesia, termasuk untuk sektor Migas dalam hal ini.

Jauh sebelum kesepakatan ini muncul, IMF dan beberapa lembaga donor lainya memang telah menjadi provokator yang secara berlebihan mendorong Indonesia dan beberapa negara berkembang laiinya untuk melakukan liberalisasi dan swastanisasi. Untuk konteks Indonesia, liberalisasi yang dilakukan cenderung prematur sehingga merusak tatanan ekonomi yang telah dibangun sebelumnya.4 Untuk sektor migas, liberalisasi yang dilakukan menghasilkan Undang-Undang Nomor 22 Tahun 2001 yang poin utamanya adalah pembentukan BP Migas, menggantikan Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1971. Ini kemudian menjadi babak baru pengelolaan migas di Indonesia yang bergeser dari pola etatisme ke model yang lebih liberal.

Rumusan Masalah

Sebagaimana telah dijelaskan sebelumnya, pengelolaan migas di Indonesia telah mengalami perubahan sistem dan struktur. Dalam makalah ini, kami berusaha untuk menjelaskan bagaimana bagaimana mekanisme pengelolaan migas di Indonesia pasca reformasi dan apakah hasilnya sudah dapat mencerminkan apa yang tertulis dalam Undang-Undang Dasar 1945 pasal 33, ayat 3 yang berbunyi “Bumi dan air dan kekayaan alam yang

3 Andrinof A. Chaniago, Gagalnya Pembangunan: Membaca Ulang Keruntuhan Orde Baru, (Jakarta: LP3ES, 2012), hal 18-74

(3)

terkandung di dalamnya dikuasai oleh negara dan dipergunakan untuk sebesarbesar kemakmuran rakyat". Selain itu, terkait perubahan mekanisme yang terjadi dalam pengelolaan migas, kami berusaha membandingkan strategi mana yang dapat dikatakan lebih baik antara negara korporatis dan liberal untuk konteks Indonesia.

Tata Kelola Migas Pasca-Reformasi

Pada masa Orba, mekanisme pengelolaan migas diatur dalam Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1971 Tentang Perusahaan Pertambangan Minyak dan Gas Bumi Negara. Pada pasal 1, dijelaskan bahwa:

(1) Dengan tidak mengurangi tugas dan wewenang departemen-departemen dalam bidangnya masing-masing, maka tata-usaha, pengawasan pekerjaan dan pelaksanaan pengusahaan pertambangan minyak dan gas bumi serta pengawasan hasil pertambangannya dipusatkan pada departemen yang lapangan tugasnya meliputi pertambangan minyak dan gas bumi.

(2) Pengawasan termaksud pada ayat (1) pasal ini meliputi pengawasan produksi, pengawasan keselamatan kerja dan kegiatan-kegiatan lainnya dalam pertambangan minyak dan gas bumi yang menyangkut kepentingan umum.

(3) Cara pengawasan dan pengaturan keselamatan kerja yang ditujukan untuk keamanan, keselamatan kerja dan effisiensi pekerjaan dari pada pelaksanaan usaha pertambangan minyak dan gas bumi, diatur dengan Peraturan Pemerintah.

Dari pasal di atas, jelas bahwa kontrol sepenuhnya terletak pada departemen yang selanjutnya disebut Perusahaan Minyak dan Gas Bumi Negara (Pertamina) pada pasal yang kedua. Banyaknya pelanggaran dalam tubuh Pertamina yang menyebabkan kerugian negara dan desakan IMF untuk meliberalisasi sektor migas kemudian melahirkan Undang-Undang Nomor 22 Tahun 2001 Tentang Minyak dan Gas Bumi menggantikan undang-undang migas yang telah dijelaskan sebelumnya.

(4)

negara namun, pelaksanaan dan pengelolaannya diserahkan kepada Badan Pelaksana sebagaimana yang tertulis pada pasal 4:

(1) Minyak dan Gas Bumi sebagai sumber daya alam strategis tak terbarukan yang terkandung di dalam Wilayah Hukum Pertambangan Indonesia merupakan kekayaan nasional yang dikuasai oleh negara.

(2) Penguasaan oleh negara sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) diselenggarakan oleh Pemerintah sebagai pemegang Kuasa Pertambangan.

(3) Pemerintah sebagai pemegang Kuasa Pertambangan membentuk Badan Pelaksana sebagaimana dimaksud dalam Pasal 1 angka 23.

Ini yang kemudian mendasari didirikannya BP Migas oleh pemerintah yang tugasnya diatur pada pasal 44, yaitu:

(1) Pengawasan terhadap pelaksanaan Kontrak Kerja Sama Kegiatan Usaha Hulu sebagaimana dimaksud dalam Pasal 5 angka 1 dilaksanakan oleh Badan Pelaksana sebagaimana dimaksudd alam Pasal 4 ayat (3).

(2) Fungsi Badan Pelaksana sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) melakukan pengawasan terhadap Kegiatan Usaha Hulu agar pengambilan sumber daya alam Minyak dan Gas Bumi milik negara dapat memberikan manfaat dan penerimaan yang maksimal bagi negara untuk sebesar-besar kemakmuran rakyat.

(3) Tugas Badan Pelaksana sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) adalah :

a. memberikan pertimbangan kepada Menteri atas kebijaksanaannya dalam hal penyiapan dan penawaran Wilayah Kerja serta Kontrak Kerja Sama;

b. melaksanakan penandatanganan Kontrak Kerja Sama;

c. mengkaji dan menyampaikan rencana pengembangan lapangan yang pertama kali akan diproduksikan dalam suatu Wilayah Kerja kepada Menteri untuk mendapatkan persetujuan;

d. memberikan persetujuan rencana pengembangan lapangan selain sebagaimana dimaksud dalam huruf c;

(5)

f. melaksanakan monitoring dan melaporkan kepada Menteri mengenai pelaksanaan Kontrak Kerja Sama;

g. menunjuk penjual Minyak Bumi dan atau Gas Bumi bagian negara yang dapat memberikan keuntungan sebesar-besarnya bagi negara

Keberadaan dan wewenang BP migas kemudian semakin diperjelas dan diperkuat melalui Peraturan Pemerintah Republik Indonesia nomor 42 tahun 2002 Tentang Badan Pelaksana Kegiatan Usaha Hulu Minyak dan Gas Bumi.

Banyak kontradiksi yang kemudian timbul dari keberadaan BP Migas sebagai lembaga dengan wewenang penuh di sektor migas. Keberadaan BP Migas dan UU No. 22 Tahun 2001 dianggap semakin menguntungkan pihak asing yang berinvestasi di Indonesia khususnya di sektor migas. Mengutip argumen Dr. Kurtubi bahwa tata kelola dengan UU Migas menghilangkan kedaulatan negara dan merugikan secara finansial karena pengelola kekayaan migas nasional diserahkan kepada Lembaga Pemerintah. Pola B to G (Business to Governmet) yang dibangun menyebabkan pemerintah harus menaati kontrak yang dibuat sekalipun merugikan negara di kemudian hari.5

Beberapa permasalahan lainnya seperti pengelolaan pertambangan diserahkan kepada pihak asing, harga migas nasional yang harus disesuaikan dengan harga internasional, dan batas maksimal 25% kewajiban DMO.6 Hal ini kemudian yang memicu desakan agar dilakukannya Judicial Reveiew atau uji materi terhadap UU No. 22 tahun 2001. Dari beberapa kali uji materi yang dilakukan, salah satu putusan yang kemudian dianggap cukup fenomenal dari Mahkamah Konstitusi adalah amar putusan MK Nomor 36/PUU-X/2012.

Gugatan ini diajukan oleh organisasi-organisasi Islam dan beberapa orang lainnya.7 Keputusan yang dianggap paling luar biasa dalam putusan MK ini adalah dibubarkannya BP Migas yang kemudian kewenangan dari lembaga ini diambil alih oleh SKK Migas. Keberadaan SKK Migas diatur dalam Peraturan Menteri Energi Dan Sumber Daya Mineral Republik Indonesia Nomor 09 Tahun 2013 Tentang Organisasi Dan Tata Kerja Satuan Kerja Khusus Pelaksana Kegiatan Usaha Hulu Minyak Dan Gas Bumi.

5 Disampaikan dalam kuliah umum Ekonomi Poitik “Pengelolaan Batubara, Untuk Siapa?”, Senin, 7 Mei 2014, FISIP UI

6 Ibid

(6)

Tugas dan tanggung jawab yang sebelumnya dipegang oleh BP Migas kemudian diserahkan kepada SKK Migas sebagaimana. SKK Migas pada pasal satu menjadi penyelenggara pengelolaan migas dan bertanggung jawab langsung kepada presiden. Rincian peran dan fungsi SKK Migas yang tertulis dalam pasal 3 meliputi:

a. memberikan pertimbangan kepada Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral atas kebijaksanaannya dalam hal penyiapan dan penawaran Wilayah Kerja serta Kontrak Kerja Sarna;

b. rnelaksanakan penandatanganan Kontrak Kerja Sarna;

c. mengkaji dan menyampaikan rencana pengembangan lapangan yang pertarna kali akan diproduksikan dalam suatu Wilayah Kerja kepada Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral untuk mendapatkan persetujuan;

d. memberikan persetujuan rencana pengernbangan lapangan selain sebagaimana dirnaksud dalam huruf c;

e. memberikan persetujuan rencana kerja dan anggaran;

f. melaksanakan monitoring dan melaporkan kepada Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral mengenai pelaksanaan Kontrak Kerja Sarna; dan

g. menunjuk penjual minyak burni dan/ atau gas bumi bagian negara yang dapat memberikan keuntungan sebesar-besarnya bagi negara.

Jika diperhatikan dan dibandingkan secara langsung, tidak terdapat perbedaan tugas yang mencolok antara BP Migas dan SKK Migas. Ini yang kemudian memicu lahirnya argumen bahwa dua lembaga ini tidaklah berbeda dan hanya sekedar “ganti baju”. Argumen ini kemudian terbukti dari kasus penyelewengan dalam bentuk tindak pidana korupsi di tubuh SKK Migas yang menjerat Rudi Rubiandini. Melihat tidak adanya perubahan yang berarti dalam pengelolaan Migas, baik saat dipegang sepenuhnya oleh pemerintah, maupun saat diliberalkan, selanjutnya kami akan menjelaskan bagaimana seharusnya keadaan ideal saat sektor migas dikelola oleh negara dan saat diliberalkan serta melihat mekanisme mana yang kemudian dapat mewujudkan situasi yang dimaksud pada pasal 33 UUD 1945.

(7)

Sebelum masuk ke pembahasan mengenai pasal 33, kita sebaiknya bertanya kembali, sejauh mana intervensi negara ke sektor ekonomi dapat dijustifikasi? Kami mengajukan teori liberalisme, baik liberalisme klasik mau pun neo-liberal, dan teori Keynesian. Kemudian kami baru akan membahas perekonomian Indonesia dilihat dari pasal 33 UUD 1945.

Adidaya Pasar

Bagi penganut liberalisme klasik, dan liberalisme baru sampai batas-batas tertentu, haram hukumnya ketika negara masuk ke dalam persaingan pasar. Ada dua hal yang menjustifikasi ini. Pertama adalah keniscayaan tentang pasar yang mampu meregulasi diirnya sendiri, di mana terdapat ‘tangan tak terlihat’ yang membuat pasar menjadi tempat sempurna untuk memenuhi kebutuhan manusia. Pasar digerakkan oleh individu di dalamnya.

Mengacu pada apa yang ditulis Coparaso dan Levine (2008), individu di dalam pasar tidak akan pernah membiarkan uang yang dimilikinya diam begitu saja. Uang tersebut akan digunakan untuk keperluan konsumsi dan investasi, sebab di dalam pasar, baik pekerja mau pun pemilik modal adalah pembeli dan penjual sekaligus. Pekerja menjual tenaganya dan pemilik modal akan membelinya. Nanti ketika komoditas telah dihasilkan lewat proses produksi, pemilik modal akan menjualnya di pasar. Proses itu akan terjadi terus-menerus beriring dengan penumpukkan modal, yang dilakukan pemilik modal untu mencapai efisiensi. Penumpukkan modal ini berasal dari asumsi kalau para pelaku pasar akan memaksimalkan keuntungannya. Dengan menumpuk modal, pemilik modal akan semakin untung, karena modal yang terakumalasi akan membantu perusahaan untuk bersaing di dalam pasar.

(8)

Kedua adalah karena negara memiliki kekuasaan politik. Menurut Budiardjo (2008), kekuasaan adalah kemampuan untuk mempengaruhi orang lain untuk mengikuti keinginan pemegang kekuasaan. Sementara itu, kekuasaan politik adalah kekuasaan yang terlegitimasi secara politik, artinya segala instrumen yang digunakan oleh negara agar masyarakatnya patuh diperbolehkan. Namun penggunaan ini hanya bisa sampai batas-batas tertentu. Batasan ini tercipta lewat kontrak sosial, yaitu perjanjian antara masyarakat dan negara yang biasanya tertulis di dalam konstitusi sebuah negara.8 Dan tentu, para pelaku pasar tidak menyukai ketika negara terlalu masuk ke sektor ekonomi. Karena, dengan asumsi utilitarian, negara akan menciptakan regulasi yang menguntungkan untuk dirinya sendiri. Regulasi ini sifatnya koersif bagi setiap pelaku pasar. Keseimbangan pasar terganggu karena hal ini, sebab ketika seharusnya negara, yang juga adalah pelaku pasar, kalah dalam persaingan, negara justru tidak keluar dari pasar atau masuk ke sektor ekonomi lain, tetapi hal yang paling rasional adalah negara akan menyelamatkan dirinya dengan regulasi yang mengikat. Regulasi inilah yang membuat pasar jadi tidak efisien. Persaingan pasar adalah persaingan efisiensi. Pelaku pasar yang tidak efisien harus angkat kaki dari pasar. Negara yang kalah dalam pasar tapi tetap bertahan karena regulasi yang diciptakannya sendiri akan bertindak tidak efisien. Hal ini justru merugikan pelaku pasar yang berhasil efisien. Hal ini akan memotivasi mereka untuk bertindak tidak secara utilitarian lagi, karena peraturan terpenting dalam pasar dilanggar. Pada akhirnya, efisiensi tidak lagi menjadi tujuan mereka. Dampak yang terjadi digambarkan secara mengerikan: tertutupnya lapangan pekerjaan dan berkurangnya pasokan komoditas material untuk memenuhi kebutuhan masyarakat.

(9)

orang yang bekerja di dalamnya. Dalam kondisi yang paling ekstrem, negara eksistensinya ditolak, karena hanya dapat melakukan perampasan dari para pemilik modal dan pekerja. Namun Adam Smith, pemikir utama dalam liberalisme klasik, tidak berpikir sejauh itu. Seperti yang dikutip Coparaso dan Levine (2008), ia menulis:

“...pemegang kedaulatan (negara/pemerintah—pent) memiliki tiga tugas yang harus dijalankan...pertama...melindungi masyarakat dari kekerasan atau penyerbuan dari masyarakat lain; yang kedua adalah tugas untuk melindungi... semua anggota dari masyarakat dari ketidakadilan atau penindasan anggota lainnya dalam masyarakat yang sama...dan yang ketiga adalah tugas untuk membangun fasilitas-fasilitas umum dan mendirikan lembaga-lembaga publik tertentu...”9

Oleh karena itu, di dalam teori ini, peran negara harus dibatasi seminimal mungkin sampai batas-batas tertentu. Namun, penganut neo-liberal tidak terlalu resisten terhadap negara. neo-liberal berfokus pada usaha penyetaraan dan keadilan. Menurut Rawls, seperti yang diungkapkan Gaust dan Courtlan (2010), distribusi pemerataan pendapatan dan kekayaan oleh negara tidak diperkenankan, kecuali bagi mereka yang paling tidak beruntung. Itulah keadilan menurut Rawls. Oleh karena itu, negara hanya boleh bertindak selama dimotivasi untuk keadilan. Tapi tetap saja, peran negara dibatasi dalam hal ini.

Keynesian

Inti dari teori Keynesian adalah bagaimana pengaruh permintaan agregat terhadap hasil keluaran (output) dan inflasi. Sebagaimana ditulis Blinder (tanpa tahun), ada enam (6) pokok pemikiran Ekonomi Keynesian. Pertama, seorang Keynesianis menganggap kalau permintaan agregat dipengaruhi oleh keputusan ekonomi, baik oleh pemerintah mau pun swasta. Permintaan agregat adalah akumulasi permintaan secara keseluruhan. Kebijakan fiskal dan moneter pemerintah mempengaruhi ini. Kedua, permintaan agregat mempengaruhi hasil keluaran rill (real output) dan jumlah tenaga kerja, bukan pada harganya. Sebagai misal, ketika pemerintah menaikkan pajak, maka hal yang paling mungkin dilakukan perusahaan, menurut Keynesian, adalah menurunkan hasil produksinya, ketimbang menaikkan harga, dan mengurangi jumlah pekerja. Ketiga, harga dan pendapatan merespon secara perlahan perubahan permintaan dan penawaran, yang membawa dampak pada kerugian dan

(10)

keuntungan, terutama bagi para pekerja. Keempat, tidak ada toleransi bagi Keynesian terhadap jumlah penganggur, sebab tenaga kerja merupakan subjek utama dalam permintaan agregat. Kelima, umumnya seorang Keynesianis akan menuntut kebijakan stabilitas ekonomi dari pemerintah. Terakhir, usaha yang dilakukan Keynesianis adalah untuk mengurangi tenaga kerja, bukan angka inflasi. Dengan demikian, dari keenam tipikal tersebut, maka dapat disimpulkan kalau peran negara di dalam teori Keynesian sentral. Negara semestinya, dalam teori ini, mengontrol tingkat tenaga kerja lewat kebijakan fiskal dan moneter.

Pasal 33

Ada lima poin atau ayat yang tertera di pasal 33 UUD 1945:

(1) Perekonomian disusun sebagai usaha bersama berdasar atas asas kekeluargaan. (2) Cabang-cabang produksi yang penting bagi negara dan yang menguasai hajat hidup orang banyak dikuasai oleh negara. (3) Bumi dan air dan kekayaan alam yang terkandung di dalamnya dikuasai oleh negara dan dipergunakan untuk sebesar-besar kemakmuran rakyat. (4) Perekonomian nasional diselenggarakan berdasar atas demokrasi ekonomi dengan prinsip kebersamaan,efisiensi berkeadilan, berkelanjutan, berwawasan lingkungan, kemandirian, serta dengan menjaga keseimbangan kemajuan dan kesatuan ekonomi nasional. (5) Ketentuan lebih lanjut mengenai pelaksanaan pasal ini diatur dalam undang-undang.

Hal yang menarik dari pasal itu adalah kata-kata ‘usaha bersama berdasar asas kekeluargaan’, ‘sebesar-besar kemakmuran rakyat’, dan ‘demokrasi ekonomi dengan prinsip kebersamaan’. Merujuk pada keempat hal itu, maka pola liberalisme klasik jauh dari kemiripan dari konstitusi kita. Tradisi Barat itu bukanlah diri kita. Kegiatan ekonomi, khususnya di ‘cabang-cabang produksi penting bagi negara’, bukanlah dianggap sebagai sektor privat, di mana setiap pelakunya bertindak untuk kepentingan diri sendiri. Kegiatan ekonomi didasarkan atas komunalisme, serta negara punya tanggung jawab yang besar.

(11)

Soepomo yang ia tuturkan, adat Indonesia didasarkan oleh, dalam bahasanya, cita-cita ‘perkauman’. Berbeda dengan tradisi Barat, tidak ada pembedaan antara privat dan publik dalam hukum adat kita. Meski gelombang kapitalisme telah sampai ke Indonesia saat itu, yang membawa nilai-nilai individualistik, cita-cita ‘perkauman’ ini tidak akan pernah hilang menurut Hatta. Cita-cita perkauman datang dari tingkat yang paling bawah, yaitu desa. Itulah bentuk koperasi sosial. Kemudian, Hatta melanjutkan, koperasi sosial adalah landasan yang kuat untuk membangun koperasi ekonomi. Oleh karena itu, pengukuhan UUD 1945, terutama pasal 33, adalah penting untuk menjaga hal ini. Koperasi bukan berarti menghilangkan unsur individualisme di dalam masyarakat, sehingga tiap orang harus meleburkan diri di dalam komunalisme, tetapi justru memberikan kesempatan kepada tiap individu untuk melakukan inisiatif atas setiap pemutusan kebijakan.

Kembali ke konteks tata-kelola Migas, pengelolaan yang dilakukan jika kita mendasarkan pada pasal ini, yang ditafsirkan Hatta, adalah bukan diselenggarakan oleh negara. Menurutnya, pemerintah memang harus menguasai sumber daya alam yang ada, namun penyelenggaraannya dilakukan oleh badan yang ditunjuk pemerintah, bertanggung-jawab kepada pemerintah, dan ‘dikontrol pemerintah’. Frasa terakhir itu menjadi penting di dalam pengelolaan Migas. Jadi, kita perlu menilik sejauh mana kontrol dilakukan pemerintah kepada badan pelaksana yang mengelola Migas.

Di dalam Peraturan Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral Nomor 09 Tahun 2013 pasal 2 tertulis tugas SKK Migas. Hal penting yang perlu dilihat dalam pasal itu adalah frasa ‘berdasarkan kontrak kerja sama’, yang berarti penyelenggaraan pengelolaan kegiatan hulu diselenggarakan oleh perusahaan yang ditunjuk atas dasar kontrak kerja sama. Kontrak kerja sama kami maknai sebagai hubungan timbal-balik yang setara. Hal ini berbeda dengan cita-cita dari pasal 33 itu sendiri. Pasal 33 menyaratkan agar pemerintah berdiri di atas perusahaan penyelenggara pengelolaan Migas. Ini dapat dibuktikan jika kita merujuk pada interpretasi Hatta tadi, bahwasannya perusahaan penyelenggara bertanggung-jawab kepada pemerintah dan utamanya, tentu, dikontrol pemerintah. Kontrak kerja sama berbeda dari cita-cita itu. Pemerintah bertanggung-jawab kepada kontrak-kerja sama, begitu pula dengan perusahaan penyelenggara. Padahal perusahaanlah yang semestinya bertanggung-jawab kepada pemerintah, sementara tanggung-jawab pemerintah adalah kepada rakyat Indonesia, karena sumber daya alam harus dipergunakan sebesar-besarnya untuk rakyat Indonesia

(12)

Dengan demikian, perlu dipurifikasi lagi pemahaman mengenai pasal 33 UUD 1945, beserta cita-cita yang diselipkan para pendiri negara sebagai cita-cita untuk membebaskan masyarakat Indonesia dari keterpurukan. Keberadaan SKK Migas jelas membuat pemerintah harus rukuk kepada perusahaan swasta, baik nasional mau pun asing. Padahal pemerintah harus berdiri lebih tinggi, sehingga kedaulatan rakyat dapat terjamin.

Setelah itu, liberalisasi yang ada telah melanggar cita-cita awal pendirian negara Indonesia. Individualisme secara genologis bukanlah hakikat dari bangsa Indonesia. Itu jelas dipaparkan oleh pendiri bangsa kita, seperti Hatta dan Soepomo. Oleh karena itu, pengelolaan Migas tidak boleh diserahkan pada prinsip-prinsip pasar. Sebab, seperti teori yang telah dikemukakan, unsur yang paling penting di dalam pasar adalah individualisme dan utilitarianisme. Kedua hal itu merupakan syarat utama untuk menjamin pasar dapat memenuhi kebutuhan masyarakat, sebagaimana angan-angan Adam Smith. Lewat kedua hal itu, modal akan mengalir tanpa-henti, kemudian masuk ke sektor-sektor ekonomi untuk memenuhi permintaan.

Namun, hal itu tidak mungkin diterapkan di Indonesia, karena konstitusi mengisyaratkan bangunan ekonomi yang didasarkan oleh prinsip kebersamaan. Selain itu, Soepomo, sebagaimana ditulis Hatta, mengatakan bahwa di dalam alam pikir masyarakat Indonesia tidak ada pembedaan publik dan privat seperti yang terjadi di Barat. Jika ekonomi adalah privat dan politik adalah publik, maka di Indonesia, keduanya bukanlah dua hal yang berbeda. Persoalan ekonomi sekaligus menjadi persoalan bersama. Persoalan publik! Oleh karena itu, negara, sebagai lembaga politik tertinggi, punya peran dominan.

Terakhir, pengelolaan Migas dikuasai negara namun tidak diselenggarakan negara sepenuhnya. Jika terjadi hal seperti ini, maka pantas untuk dikatakan sebaga etatisme, yang hanya teradapat di negara-negara totalitarian. Pengelolaan Migas diberikan kepada swasta, namun bertanggung-jawab kepada pemerintah dan dikontrol pemerintah, atau perusahaan bebentuk badan hukum yang dibuat pemerintah. Dengan begitu, negara tetap memegang daulatnya sebagai lembaga tertinggi yang memiliki kekuasaan politik.

(13)

Buku

Budiardjo, Miriam. 2008. Dasar-Dasar Ilmu Politik. Jakarta: Gramedia Pustaka

Chaniago, Andrinof A. 2012 Gagalnya Pembangunan: Membaca Ulang Keruntuhan Orde Baru. Jakarta: LP3ES.

Coparaso, A. James dan David P. Levine. 2008. Teori-teori Ekonomi Politik. Penerjemah Suraji. Yogyakarta: Pustaka Pelajar

Hatta, Muhammad. Persoalan Ekonomi Sosialis Indonesia. Penerbit Djambatan, diunduh di http://kolomsejarah.files.wordpress.com/2008/07/persosindsiahatta.pdf pada 11 Mei 2014

Robison, Richard. 2012 Soeharto & Bangkitnya Kapitalisme Indonesia. Jakarta: Komunitas Bambu

Rousseau, Jean-Jacques. 1913.The Social Contract and The Discourse. J.M. Dent & Sons: New York

Wolff, Jonathan. 2013. Pengantar ke Filsafat Politik. Bandung: CV Nusa Media

Sumber Lain

Undang-Undang Dasar 1945 amandemen ke-4

Putusan MK No. 36/PUU-X/2012

Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1971

Undang-Undang Nomor 22 Tahun 2001

Peraturan Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral Nomor 09 Tahun 2013

Blinder, S. Alan. Tanpa tahun. Keynesian Economics. The Concise Encyclopedia of Economics. http://www.econlib.org/library/Enc/KeynesianEconomics.html# diakses tanggal 11 Mei 2014, pukul 19:30 WIB

(14)

http://plato.stanford.edu/archives/spr2011/entries/liberalism, diakses tanggal 11 Mei 2014, 19:35 WIB

Referensi

Dokumen terkait

Pemerintah Aceh di bidang penegakan pelaksanaan Qanun dan Syariat Islam, ketentraman, ketertiban umum, perlindungan masyarakat serta hubungan antar lembaga, ayat

Total produk sertifikat ADS-I dari berbagai tingkat yang telah dilaksanakan UDC dari April-Oktober 2011 adalah 209 eksemplar dengan asal peserta pelatihan dan

Dengan semakin diketahuinya keunggulan kerbau dan peran besarnya dalam penyediaan daging maka perbaikan perbibitan sudah harus menjadi perhatian utama bagi daerah-daerah sumber

Dari segi profitabilitas TSPC mengalami penurunan dalam beberapa tahun terakhir dikarenakan beban penjualan yang naik melebihi pertumbuhan penjualan dan laba anak perusahaan yang

Pembuktian yang dilakukan oleh penuntut umum terhadap kasus penyalahgunaan narkotika bagi diri sendiri telah sesuai dengan ketentuan Pasal 184 ayat 1 huruf a, c, d

Dalam pembuatan mobile aplikasi tabung wakaf untuk mencapai tujuan peningkatan jumlah partisipan dan transaksi wakaf maka harus memperhatikan tentang bagaimana menghubungkan

mengambil seutas tali unta yang mereka dahulu serahkan sebagai zakat kepada Rasulullah nescaya aku perangi mereka kerana penolakannya itu. Maka kemudian