• Tidak ada hasil yang ditemukan

Pembagian Warisan dalam Budaya Poligini

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2017

Membagikan "Pembagian Warisan dalam Budaya Poligini"

Copied!
14
0
0

Teks penuh

(1)

Surabaya)”, hal.41-54.

P

Pembagian Warisan dalam Budaya Poligini

(Studi Kasus pada Komunitas Madura di Boto Putih, Surabaya)

Putri Kurnia Sari

Abstract

This paper explains, in term of Legal Anthopology, the legacy of the Maduranese polygyny at Boto Putih, Surabaya. The legal of legacy is govern the rule of the transition of wealth left by someone who died. The research problems are: (1) how to process marriage of the legally and illegally polygyny in Boto Putih, (2) How the process of legacy in polygyny system according to the Islamic law and customary law in Boto Putih, , and (3) How they divide the legacy and the solution if there is no agreement between the first and second wives. This research uses case studies where carried out to know the deeper problems that exist, but could not become the benchmark patrimonies in other areas. The technique of collecting data through observation and in-depth interviews. The technique of determining the informant i.e. there are 7 informants. 1 informer is a village govern, 1 informant is RT, and 5 informants are women from polygyny which a women is a first wive from the legally polygyny and 4 women are legalls polygyny (2 informan are the first wive and the 2 other is the second wife).

The results showed no difference in the division of the estate of marriage polygyny are legally and illegally. Polygyny is done legally, i.e. the process of marriage in accordance with the provisions of the marriage is recorded in the Court and KUA. Different things with his illegally polygyny which is where marriages are only recorded at KUA and attended the guardian of marriage only and there is no force of law. If it is legal then the division of inheritance are not subjected to the dispute. Unlike the illegal marriage, the division of inheritance can not run smoothly. In the division of his legacy, there are things that need to be done, including discussion between the two sides to give a fair decision. Completion of the form if there is no agreement between the first and second wife wife then conducted mediation where the parties to the dispute as a mediator selected third parties to take a decision. The mediator is the uncle of the deceased husband's family. In deciding the results of division of inheritance, the first wife and second wife to accept it. However, be advised that the division of the estate between the first and second wives wife in Boto Putih is divided fairly equally. The problem with such apportionment was not until heritage brought to the law but only with family deliberation only.

Keywords: legacy, heir, poligyny

(2)

Surabaya)”, hal.41-54. berarti perempuan. Poligini mempunyai arti suatu perkawinan antara satu orang laki-laki dengan lebih dari seorang istri (Syahrani, 1978 : 79).

Hukum waris merupakan hukum yang mengatur tentang peralihan harta kekayaan yang ditinggalkan seseorang yang meninggal serta akibatnya bagi para ahli warisnya. Pada asasnya hanya hak-hak dan kewajiban-kewajiban dalam lapangan hukum kekayaan atau harta benda saja yang dapat diwariskan. Hukum waris sangat erat kaitannya dengan ruang lingkup kehidupan manusia, sebab setiap manusia pasti akan mengalami peristiwa hukum yang dinamakan kematian (Effendi, 2003 : 30).

Pada dasarnya hukum waris yang berlaku dan diterima masyarakat Indonesia ada tiga yaitu, hukum waris adat, hukum waris Islam dan hukum waris perdata. Menurut hukum Islam, akibat hukum kewarisan suami menikah lebih dari satu kali (poligini) secara legal, dan meninggal dunia, maka terdapat perhitungan pembagian harta bersama adalah separuh harta bersama yang diperoleh dengan isteri pertama dan separuh harta bersama yang diperoleh dengan isteri kedua dan masing-masing terpisah dan tidak ada percampuran harta.

Pembagian harta warisan tersebut yaitu sama besarnya antara isteri pertama dengan isteri kedua, ketiga dan keempat terhadap bagian masing-masing, asal mereka mempunyai anak, maka bagian isteri yang seharusnya 1/8. Berhubung isterinya ada dua maka 1/8 dibagi 2 menjadi 1/16, sebaliknya berbeda jika salah satu isteri tidak mempunyai anak maka bagian isteri adalah 1/4. Apabila anak perempuan hanya seorang maka mendapat bagian 1/2 tetapi jika ada dua atau lebih maka mendapat bagian 2/3 tetapi jika anak perempuan bersama dengan anak laki-laki maka bagian anak laki-laki tersebut adalah dua banding satu (2:1), (Syarifuddin, 2006 : 61).

Hukum waris adat merupakan cerminan dari hukum adat masyarakat Indonesia. Hukum waris adat memuat garis-garis ketentuan tentang sistem dan asas-asas hukum waris, tentang harta warisan, pewaris dan waris, serta cara harta warisan itu dialihkan penguasaan dan pemilikannya dari pewaris kepada ahli waris. Hukum waris adat adalah hukum penerusan harta kekayaan dari suatu generasi kepada keturunannya (Hadikusuma, 1980 : 7).

(3)

Surabaya)”, hal.41-54. Tujuan penelitian ini yaitu untuk mengetahui dan menganalisa pelaksanaan pembagian warisan dalam poligini menurut hukum Islam dan hukum waris adat pada komunitas Madura di Boto Putih, di kota Surabaya. Selain itu, juga untuk mengetahui penyelesaian pembagian warisan apabila salah satu isteri tidak meyetujui adanya pembagian warisan tersebut.

Konsep Hukum

Wujud masyarakat pluralistik adalah kenyataan bahwa para warga suatu masyarakat menjadi anggota dalam berbagai jenis satuan sosial tersebut berlaku berbagai norma yang telah disosialisasikan kepada para anggotanya dan dalam melakukan berbagai peran dalam bertindak, para warga dituntut untuk mengikutinya. Kajian-kajian yang tercantum dalam pernyataan diatas yaitu meliputi sifat-sifat dari berbagai pranata sosial serta pranata hukum, misalnya pembahasan perkawinan dan warisan serta pranata penyelesaian konflik yang nyata dipraktekkan dan metode untuk menemukan hukum rakyat yang berlaku (Sri Endah Kinasih, 2009 : 5).

Menurut Lawrence Friedman, hukum harus dilihat sebagai suatu sistem yang terdiri dari tiga komponen yaitu legal substance (aturan-aturan dan norma-norma), legal structure

(institusi atau penegak hukum), dan legal culture (budaya hukum, meliputi : ide-ide, sikap-sikap, kepercayaan, harapan dan pandangan tentang hukum). Hukum waris menurut Soepomo, (2007 : 3)

“...Hukum waris memuat peraturan-peraturan yang mengatur proses meneruskan serta mengoperkan barang-barang harta benda dan barang-barang yang tidak berwujud benda dari suatu angkatan manusia kepada keturunannya. Proses ini telah mulai pada waktu orang tua masih hidup. Proses ini tidak menjadi “akut” oleh sebab orang tua meninggal dunia. Memang meninggalnya bapak atau ibu adalah suatu peristiwa yang penting bagi proses itu, akan tetapi sesungguhnya tidak mempengaruhi secara radikal proses penerusan dan pengoperan harta benda dan harta bukan benda tersebut...”.

(4)

Surabaya)”, hal.41-54. Dalam pembagian harta warisan menurut hukum Islam maka apabila harta warisan akan dibagi, terlebih dahulu harus dikeluarkan dari harta warisan itu ialah : (1) zakat dan sewa, (2) biaya mengurus jenazah, (3) hutang-hutang pewaris, (4) wasiat yang tidak lebih dari sepertiga harta warisan (Hadikusuma, 1980 : 111).

Hukum perdata merupakan hukum yang meliputi semua hukum “privat materiil”, yaitu segala hukum pokok yang mengatur kepentingan-kepentingan perseorangan, hak dan kewajiban di antara anggota masyarakat khususnya di wilayah keluarga. Dalam pembagian harta warisan menurut hukum perdata yaitu tidak seorang ahli warispun dapat dipaksa untuk membiarkan harta waris tidak terbagi, pembagian harta peninggalan dapat dituntut setiap saat (Suparman, 2007 : 60).

Laura Nader dan Todd mengemukakan pandangan mengenai adanya tiga fase dalam sengketa, yaitu tahap pra-konflik, tahap konflik, dan tahap sengketa. Tahap pra-konflik mengacu kepada keadaan atau kondisi dimana seseorang atau kelompok merasakan adanya ketidakadilan, dan mengadakan keluhan. Tahap konflik yaitu keadaan dimana para pihak menyadari atau mengetahui tentang adanya perasaan tidak puas tersebut dan pihak yang merasa dirugikan memberitahukan keluhannya kepada pihak yang dianggap melanggar haknya. Tahap sengketa adalah keadaan dimana konflik tersebut dinyatakan di muka umum atau dengan melibatkan pihak ketiga (Ihromi, 1993 : 210).

Ketika kelanjutan hubungan sosial dianggap sebagai hal yang penting bagi seseorang, maka ia akan melakukan upaya apa saja untuk mempertahankan hubungan tersebut. Upaya itu diantaranya adalah mencari penyelesaian melalui negoisasi atau penyelesaian dengan perantara (musyawarah), yang pada prinsipnya akan menghasilkan penyelesaian yang kompromistis, atau bahkan menghindari terjadinya sengketa (Sulistyowati Irianto, 2003 : 46).

(5)

Surabaya)”, hal.41-54. Perempuan sebagai salah satu pihak yang bersengketa dalam perkara waris karena beberapa hal yaitu pertama, nilai-nilai dan konsep budaya mengenai perempuan dan laki-laki yang mencerminkan hubungan kekuasaan yang timpang antara laki-laki dan perempuan, menempatkan perempuan pada posisi yang lemah, khususnya dalam hal waris. Kedua,

ketiadaan faktor teritorial dikota tidak menyebabkan berkurangnya keberlakuan nilai-nilai budaya yang berdampak pada lemahnya kedudukan perempuan dalam hal waris (Sulistyowati Irianto, 2003:2).

Pendekatan yang digunakan dalam penelitian diatas menggunakan pendekatan kualitatif. Tujuan pendekatan kualitatif bermaksud memberikan gambaran terhadap suatu gejala seperti yang dimaksudkan dalam permasalahan penelitian. Cara pendekatan antropologi hukum yaitu dengan metode studi kasus, yang dimaksud ialah mempelajari kasus-kasus peristiwa hukum yang terjadi, terutama kasus-kasus perselisihan. Lokasi penelitian ini dilakukan secara purposive pada komunitas Madura di Boto Putih, di kota Surabaya.

Penelitian ini yang termasuk informan adalah individu-individu yang memiliki pengetahuan dan pengalaman yang baik tentang permasalahan yang diteliti, meliputi : (1)Satu orang perangkat kelurahan, (2) Satu orang perangkat RT, (3) Lima orang perempuan dari perkawinan Poligini. Analisa dalam penelitian ini menggunakan analisa studi kasus untuk mengetahui lebih dalam permasalahan yang ada, namun tidak bisa dijadikan patokan pembagian warisan pada daerah lain serta mengetahui keadaan yang berlangsung dilapangan pada objek kajian serta hasil transkrip wawancara mengenai pembagian warisan budaya poligini menurut hukum Islam dan hukum adat di Boto Putih.

Lingkup Penelitian Boto Putih

(6)

Surabaya)”, hal.41-54. Citra Madura sebagai “masyarakat santri” dan haji sangat kuat. Jarak yang dekat merupakan faktor orang Madura bermigrasi ke Surabaya. Selain itu, migrasi orang Madura dipengaruhi juga oleh faktor budaya. Orang Madura lebih memilih bermigrasi kedaerah yang dekat dengan tempat asalnya. Hal ini karena orang Madura memiliki ikatan kekeluargaan yang sangat kuat dengan sanak saudaranya dan kampung halamannya.

Hubungan antara sesama orang Madura yang tinggal dalam satu lingkungan yang sama terjalin sangat kuat. Namun hubungan kekerabatan diantara orang Madura itu sendiri dapat terpecah disebabkan karena harta warisan keluarga, sehingga hubungan kekerabatan itu tidak terjalin dengan baik dari sebelumnya. Orang Madura tidak menyukai orang yang hanya pembual atau omong kosong saja perkataannya. Dalam menyampaikan informasi, mereka terkesan memberikan data dengan cukup jelas dan tidak berbelit-belit. Keyakinan teguh dan berlebihan pada kebenaran yang dipercayainya, hingga tidak mau mengenal kompromi, sering memunculkan pembawaan keras kepala orang Madura. Selanjutnya, mereka akan terkesan mencari menang sendiri meskipun mereka berada dipihak yang salah (Mien Ahmad Rifai, 2007:222).

Praktek poligini memang menghasilkan berbagai dampak, baik positif maupun negatif. Poligini akan lebih banyak menghasilkan keuntungan pada pihak laki-laki dibandingkan pada perempuan. Salah satunya adalah dapat meningkatkan prestise di hadapan masyarakat karena mempunyai banyak isteri. Sedangkan pihak isteri lebih sering mendapatkan dampak negatif dari perkawinan poligini. Tidak diketahui secara pasti kapan poligini menjadi budaya dalam komunitas Madura di Boto Putih.

Poligini hanya sebagai gambaran pihak laki-laki, apabila melakukan poligini maka ia dianggap sebagai orang yang dapat berlaku adil baik dalam penghasilan maupun cinta dan kasih sayang terhadap isteri pertama dan isteri kedua nya. Masyarakat Madura melakukan poligini atas dasar kesenangan mereka untuk memperoleh isteri lebih dari satu, karena apabila seseorang bisa melakukan poligini di dalam komunitas nya maka ia akan bangga karena dapat melakukan hal itu.

(7)

Surabaya)”, hal.41-54. Menurut data yang diperoleh dari salah satu perangkat desa, dalam hal ini Bapak Lurah, beliau mengatakan bahwa salah satu warga Madura Boto putih ada yang melakukan poligini dan secara legal. Hal ini karena, ada salah satu warga yang datang ke Kelurahan untuk meminta ijin melakukan poligini. Poligini dapat dilakukan secara legal apabila telah memenuhi syarat-syarat yang telah ditentukan.

Dapat diketahui bahwa salah satu warga yang melakukan poligini secara legal sudah tidak menjadi warga Boto Putih karena tempat tinggal beliau telah berpindah ke lokasi lain. Ini yang menjadi kesulitan peneliti dalam melakukan wawancara dan melakukan penelitian untuk memperoleh data lebih lanjut, karena kelengkapan data berpindahnya orang tersebut tidak diketahui oleh perangkat setempat maupun warga sekitarnya.

Namun setelah melakukan penelitian lebih lanjut, peneliti hanya menemukan kediaman dari isteri pertamanya saja yaitu informan yang bernama Ibu Sriningtyas. Dari penjelasan isteri pertama dari perkawinan poligini legal yaitu Ibu Sriningtyas, sang isteri mengatakan apabila ia mengetahui jika sang suami saat itu menginginkan adanya perkawinan poligini. Alasan yang digunakan suami saat itu ingin menjalankan syariat agama Islam yang dijalankan oleh nabi yaitu boleh menikah lebih dari seorang isteri.

Beliau mengatakan sudah di poligini selama 15 tahun. Menurut beliau, surat yang menjadi bukti kejelasan sebagai fakta pendukung beliau di poligini sudah tidak ada setelah suami beliau meninggal dunia, sebab beliau mengatakan apabila surat tersebut hanya suami beliau saja yang mengetahui dan menyimpannya. Untuk berlaku adil antara isteri pertama dan isteri kedua terjadi kesepakatan diantara kedua belah pihak yaitu mereka sama-sama membuat keputusan yang kemudian untuk dipatuhi.

Perkawinan ibu Sriningtyas, dimana pembagian untuk waktu bersama suaminya yaitu tiga hari untuk isteri pertama dan tiga hari berikutnya untuk isteri kedua. Apabila untuk hari libur mereka sepakat untuk saling bergantian, sebab kedua belah pihak yaitu antara isteri pertama dan isteri kedua sama-sama tidak menginginkan apabila pergi bersama. Oleh sebab itu dilakukan pembagian seperti itu untuk menghindari kesalahpahaman dan ketidakadilan dalam melakukan hal tersebut.

Perkawinan Poligini Secara Ilegal (Kawin Siri)

(8)

Surabaya)”, hal.41-54. kedua. Informan yang bernama Ibu Munawaroh merasa tidak nyaman dengan adanya perkawinan poligini. Sebab menurutnya dengan adanya perkawinan tersebut maka rasa sayang akan terbagi antara isteri pertama dan isteri kedua. Selama hidup merasa ada beban dalam rumah tangga nya selain rasa malu juga terhadap tetangga sekitar yang mengetahui. Beliau beranggapan bahwa sebagai isteri pertama, orang-orang mengira beliau tidak bisa melayani suaminya baik secara lahir maupun batin.

Sama halnya dengan apa yang dialami oleh informan kedua bernama Ibu Siti. Beliau juga merupakan isteri yang pertama. Beliau mengatakan apabila tidak mengetahui jika ia telah di poligini. Perkawinan poligini tersebut baru dijelaskan oleh suaminya setelah perkawinan kedua suaminya telah menginjak tiga bulan lamanya. Ketidakmauan beliau untuk menolak tidak ada hasilnya, karena perkawinan tersebut telah dilangsungkan. Pada dasarnya perempuan lebih ingin menolak untuk di poligami karena ketidakadilan laki-laki sebagai suami dalam membagi serta memenuhi kebutuhan istri dan anak-anaknya.

Proses melakukan poligini secara ilegal cenderung sangat mudah sekali. Apabila antara laki-laki dan pihak perempuan sebagaimana yang akan dijadikan isteri kedua setuju dan mau untuk dinikahi maka perkawinan akan dapat dilakukan tanpa memperoleh ijin dari isteri pertama. Dapat dikatakan jika melakukan perkawinan seperti itu maka disebut sebagai kawin siri. Adapun pembagian waktu bersama, sama seperti perkawinan yang dilakukan secara legal yaitu mereka ada kesepakatan untuk itu. Untuk informan yang bernama Ibu Munawaroh, pembagian bersama suaminya yaitu satu minggu bersama isteri pertama dan satu minggu bersama isteri kedua. Hal itu berlanjut terus menerus secara bergantian.

Berbeda hal dengan ibu Siti, pembagian waktu bersama yaitu tiga hari dirumah beliau dan tiga hari berikutnya berada dirumah isteri kedua. Namun apabila untuk hari libur seperti sabtu dan minggu, maka ada kesepakatan untuk bergantian keluar bersama suaminya, sehingga kemungkinan untuk adanya konflik tentang masalah pembagian waktu bersama tidak ada karena kedua belah pihak telah menyepakatinya.

(9)

Surabaya)”, hal.41-54.

Proses Pembagian Harta Waris di Boto Putih

Pembagian warisan yang terjadi di Boto Putih dalam perkawinan poligini yaitu mengikuti pewarisan secara testamentair atau berdasarkan wasiat. Wasiat tersebut berisi penjelasan dari almarhum (suami) yang memberikan keterangan agar pembagian waris dibagi sesuai dengan yang diinginkan almarhum. Perkawinan poligini ini hanya ditemukan di RW 09, RT 06. Wasiat yang dilakukan oleh almarhum yaitu wasiat lisan yang dihadiri para saksi untuk memperkuat wasiat almarhum. Wasiat diucapkan sebelum almarhum meninggal dunia. Saksi-saksi yang menghadiri yaitu ada paman (adik dari ibu atau ayah almarhum), isteri pertama ataupun isteri kedua beserta anak-anaknya dan juga teman dekat dari almarhum.

Pembagian warisan yang terjadi di Boto Putih ini juga dilakukan ada juga yang sesuai dengan hukum Islam. Hanya satu dari beberapa informan yang melakukan pembagian warisan menurut hukum Islam. Sesuai dengan yang disampaikan Ibu Sriningtyas, beliau menjalankan pembagian harta waris dari suami sesuai dengan yang di wasiatkan oleh suami nya yaitu dibagi sesuai dengan hukum Islam yang telah ada.

Perhitungan warisan dalam keluarga yang melakukan perkawinan poligini secara legal yaitu antara istri pertama dan juga isteri kedua sama-sama memiliki kedudukan yang kuat, baik secara agama maupun hukum. Pembagiannya yaitu istri pertama dan kedua masing-masing mendapatkan 1/16 bagian warisan dari suaminya, sedangkan masing-masing anak laki-laki mendapatkan 1/4, anak perempuan masing-masing mendapat 2/3. Pembagian warisan tersebut karena harta yang di milki suami menjadi harta bersama, baik untuk istri pertama maupun istri kedua.

Pembagian pewarisan menurut hukum adat yang dilakukan di Boto Putih yaitu dilakukan dengan cara pengumpulan keluarga baik pada isteri pertama beserta anak begitu juga dengan isteri kedua beserta anak-anaknya. Contohnya pada pembagian warisan poligini secara ilegal. Pembagian antara anak laki-laki dan anak perempuan berimbang sama yaitu terjadi pada informan yang bernama Ibu Sholeh. Beliau merupakan isteri kedua, dimana beliau mempunyai dua orang anak yaitu perempuan dan laki-laki sedangkan dari isteri pertama memiliki tiga orang anak yaitu yang pertama dan yang kedua laki-laki serta yang ketiga yaitu perempuan.

(10)

Surabaya)”, hal.41-54. industri kerajinan tangan, dan juga membuka dua kios kecil juga dibagi sama rata. Anak laki-laki baik dari isteri pertama dan kedua mendapat kewajiban untuk mengurusnya dan penghasilannya dibagi separo agar sama-sama berimbang.

Sama halnya dengan anak perempuan, mereka mendapat kewajiban untuk mengurus kios-kios kecil tersebut. Satu kios untuk anak perempuan dari isteri pertama dan satu kios untuk anak perempuan dari isteri kedua. Untuk penghasilan pewaris yang banyaknya sekitar dua juta perbulan menjadi kewajiban sang isteri baik isteri pertama maupun kedua untuk membaginya secara rata yaitu separo untuk isteri pertama dan separo untuk isteri kedua. Untuk bagian kendaraan bermotor yang dimana sudah mempunyai empat kendaraan bermotor roda dua maka pembagiannya juga disamakan. Dua kendaraan bermotor untuk keluarga dari isteri pertama dan dua kendaraan bermotor yang lainnya untuk keluarga dari isteri kedua. Dengan begitu pembagian warisan yang dilakukan secara adat dalam perkawinan poligini diharapkan dapat berlaku adil. Dengan cara seperti ini dapat terhindar dari adanya konflik dan kesalahpahaman dalam pembagian warisan tersebut.

Pembagian Warisan Apabila Tidak Ada Kesepakatan

Tidak adanya kesepakatan antara isteri pertama dan isteri kedua, menimbulkan konflik dalam pembagian warisan yaitu isteri pertama yang sah lebih menginginkan pembagian warisannya harus lebih banyak daripada isteri kedua. Tidak adanya kesadaran diri isteri kedua yang dinikahi secara siri ini yang membuat pembagian mangalami kerumitan. Walaupun sesuai dengan wasiat yaitu dimana pembagian harus dibagi secara adil. Jalan penyelesaian damai itu dapat ditempuh dengan cara bermusyawarah, baik musyawarah terbatas dalam lingkungan anggota keluarga sendiri atau musyawarah kerabat, atau jika dipandang perlu di musyawarahkan dalam musyawarah perdamaian adat setempat yang disaksikan sesepuh yang menjadi orang dituakan di Boto Putih.

(11)

Surabaya)”, hal.41-54. mendapatkan 50% harta waris dari almarhum. Sengketa warisan yang terjadi di Boto Putih terjadi pada perkawinan poligini secara ilegal/kawin siri.

Adapun tahap sengketa yaitu baik pihak isteri pertama dan isteri kedua tidak menyetujui hasil pembagian warisan tersebut. Hal ini mereka memerlukan pihak ketiga untuk memberikan jalan keluar serta keputusan yang bijak dalam masalah waris ini. Pihak ketiga ini tidak melibatkan pengadilan, namun melibatkan saudara sendiri baik dari pihak isteri pertama dan pihak isteri kedua. Saudara dari masing-masing pihak yaitu paman dari orang tua mereka memberikan pengarahan dalam menjaga tali persaudaraan dan tidak pilih kasih pada salah satu pihak.

Konsep paman pada keluarga yang beretnis Madura sangatlah memegang peranan penting. Hal ini dapat diketahui karena apabila terjadi permasalahan atau kerumitan dalam masalah keluarga, peran seorang paman sangatlah diperlukan dan diutamakan. Paman ini sendiri merupakan adik dari ibu atau adik dari ayah almarhum. Paman selalu dapat memutuskan apa yang menjadi permasalahan dalam keluarganya agar dapat terselesaikan dengan baik tidak menimbulkan konflik dan sengketa yang berkepanjangan maka paman di tuntut adil dalam memberi keputusan tanpa memihak salah satu pihak. Paman merupakan orang yang dianggap sebagai tetua dalam keluarga yang patut disegani karena perilaku paman sangat mengontrol orang-orang dalam keluarganya. Pada perkawinan poligini secara legal bentuk penyelesaian pembagian harta waris dilakukan secara hukum Islam. Hal ini berbeda pada perkawinan poligini secara ilegal maka pembagian waris untuk ahli waris nya yaitu berdasarkan hukum adat untuk mendapatkan persamaan hak dalam mendapatkan harta waris dari almarhum suaminya.

Marginalisasi Perempuan

(12)

Surabaya)”, hal.41-54. untuk ditaati dan dilakukan. Hal ini dilakukan agar tidak terjadi konflik dan sengketa antara keluarga isteri pertama dan keluarga isteri kedua terkait pambagian harta gono-gini.

Kedudukan Perempuan dalam Pluralisme Hukum Waris

Kedudukan isteri pertama dan isteri kedua dalam perkawinan poligini ini tidak ada perbedaan. Walaupun kekuatan hukum antara isteri pertama dan isteri kedua berbeda, namun pembagian warisan dilakukan secara hukum adat yaitu pembagian tidak berat sebelah. Pembagian dilakukan sesuai dengan ketentuan hukum adat yang berlaku pada masing-masing keluarga yang melakukan poligini secara ilegal (kawin siri). Hal ini seperti informan-informan yang dinikahi secara ilegal (kawin siri).

Penentuan pembagian warisan dilakukan berdasarkan hukum Islam yang berlaku sehingga tidak menimbulkan konflik. Dalam hal ini isteri pertama dan isteri kedua juga tidak ada perbedaan karena mereka sama-sama mempunyai kekuatan hukum yang dinikahi secara sah oleh almarhum suaminya. Pada perkawinan poligini ilegal, isteri pertama dan isteri kedua memperoleh hak yang sama karena ketika dalam pembagian warisan terdapat masalah maka mereka memerlukan seorang mediator (paman almarhum) untuk memutuskan pembagian tersebut. Paman akan memutuskan berdasarkan pertimbangan wasiat yang diucapkan secara lisan dan juga melakukan pertimbangan agar tidak terjadi konflik antara isteri pertama dan isteri kedua.

Isteri pertama dan isteri kedua selalu menerima apa yang sudah menjadi keputusan dari seorang mediator. Sikap menerima yang dimiliki oleh perempuan pada umumnya, khususnya masyarakat Madura menyebabkan perempuan menjadi yang nomer dua setelah laki-laki. Hal ini terkait dalam pembagian waris, perempuan diharuskan menerima dan tidak boleh memutuskan sendiri pembagian waris tersebut. Sikap menerima yang dimiliki oleh semua perempuan termasuk perempuan yang mengalami perkawinan poligini secara legal dan ilegal ini terkait perempuan tidak menginginkan adanya perseteruan yang berkepanjangan antara kedua belah pihak.

Kesimpulan

(13)

Surabaya)”, hal.41-54. sangat menentukan sah tidaknya perkawinan poligini itu dilakukan. Namun, di dalam masyarakat saat ini banyak yang melakukan perkawinan poligini tanpa persetujuan dari isteri pertama.

Pembagian harta waris dalam perkawinan poligini ada dua yaitu secara legal dan ilegal. Dalam pembagian harta waris juga berbeda-beda berdasarkan apa yang telah disepakati oleh kedua belah pihak. Pembagian harta pada perkawinan poligini secara legal dalam pembagiannya antara isteri pertama dan isteri kedua mendapatkan harta dengan pembagian yang sama. Berbeda halnya dengan pembagian waris pada perkawinan poligini yang ilegal, dalam perkawinan seperti ini, isteri kedua tidak mendapat kedudukan yang kuat karena tidak adanya bukti resmi perkawinannya. Maka dari itu dalam pembagian waris yang sesuai dengan apa yang telah di sepakati suami sebelum meninggal, atau berdasarkan apa yang sudah menjadi keputusan isteri pertama dan tidak boleh diganggu gugat.

Apabila ingin melakukan perkawinan poligini hendaknya benar-benar mandapat persetujuan dari isteri pertama, sebab persetujuan isteri pertama merupakan syarat mutlak untuk melakukan perkawinan poligami. Apabila hal tersebut tidak dilakukan maka perkawinan poligini tersebut tidak mendapatkan kekuatan hukum dan isteri kedua tidak mempunyai kedudukan yang sama seperti halnya isteri pertama, sebagai contoh isteri kedua tidak mempunyai hak atas harta bersama yang telah ada sebelum perkawinan dengan isteri kedua terjadi.

Daftar Pustaka

Hadikusuma, Hilman (1980), Hukum Waris Adat, PT Citra Aditya Bakti.

Ihromi, T. O. (1993), Antropologi Hukum Sebuah Bunga Rampai. Jakarta. Yayasan Obor Indonesia.

Irianto, Sulistyowati (2003), Perempuan Di Antara Berbagai Pilihan Hukum, Jakarta, Yayasan Obor Indonesia.

Kinasih, Sri Endah (2009), Buku Ajar Antropologi Hukum, Surabaya: PT. Revka Petra Media.

Perangin, Effendi (2003), Hukum Waris, Jakarta, PT Rajagrafindo Persada. Rifai, Mien Ahmad (2007), Manusia Madura, Jakarta.

Suparman (2007) Hukum Waris Indonesia (Dalam Perspektif Islam, Adat dan BW), Bandung, PT Refika Aditama.

(14)

Referensi

Dokumen terkait

BAB V : Penutup berisi kesimpulan yang menjelaskan secara singkat hasil penelitian tentang Analisis Kompetensi Karyawan, Reward , dan Punishment terhadap Kinerja

luas dan asri, namun demikian kenyataan yang ada tidak mampu memberikan ruang bagi anak untuk sekedar bermain, justru mereka harus bermain ditempat yang

Penelitian berjudul uji efektifitas Trichoderma harzianum dengan formulasi granular ragi untuk mengendalikan penyakit jamur akar putih ( Rigidoporus microporus

〔最高裁民訴事例研究一〇七〕株式会社に対しその整理開始前に負

Syarat ini terkait dengan para pihak yang berakad, objek akad dan upah. syarat sah ijārah diantaranya sebagai berikut:.. 1) Adanya unsur kerelaan dari kedua belah pihak yang

Hal yang menarik untuk diteliti adalah bagaimana pandangan Michael Cook terhadap fenomena Common Link serta bagaimana Cook mengaplikasikan teori The Spread of Isna>d

Untuk mendukung visi sekolah plus diperlukan dukungan sumber daya manusia yang handal, terutama kualitas gurunya, kurikulum internasional dengan tetap bersandar pada

Permasalahan berikutnya, sebagai pelaku ekonomi khususnya para pengusaha kecil dan menengah telah menginvestasikan modal yang dimiliki dengan menggunakan prinsip bagi hasil