ABSTRACT
LOCAL ECONOMIC DEVELOPMENT POTENTIAL BACKWARD AS EFFORTS TO FIGHT BETWEEN REGIONAL INCOME DISPARITY IN
LAMPUNG PROVINCE BY
ATIN SUSANTI
Economic development undertaken by the government so far enough to encourage an increase in income areas, but in many cases can prevent problems relative inequality or disparitas. In general inequality cause spatial disparities or inequalities that led to the forward areas and disadvantaged areas as well as sectoral imbalances that created the flagship and non-flagship sector.
This study aims to analyze the level of income disparity that exists between the city/country in the province of Lampung, then identify the districts/municipalities in the category behind, as well as superior economic sectors and identify potential economic sectors in the region are relatively low so that it can be prioritized development to reduce disparities inter-regional economy in the province of Lampung.
The results showed the level of inequality in Lampung province is located in the low category with an index inequality between 0.22 to 0.26. Meanwhile, the results of the analysis show that there are regions lagging districts into three categories, namely, Tanggamus, Lampung Timur, and Way Kanan. And Overlay Analysis showed that the leading sector in Tanggamus are agricultural sector and mining and quarrying sector, in Lampung Timur is a sector of trade, hotels and restaurants and in Way Kanan the leading sector are agriculture, sectors industry and processing, carting sector and transportation and services sector.
ABSTRAK
PENGEMBANGAN POTENSI EKONOMI LOKAL DAERAH TERTINGGAL SEBAGAI UPAYA MENGATASI DISPARITAS
PENDAPATAN ANTAR DAERAH DI PROVINSI LAMPUNG
Oleh
ATIN SUSANTI
Pembangunan ekonomi yang dilakukan oleh pemerintah sejauh ini cukup mampu mendorong peningkatan pendapatan wilayah, tetapi dalam banyak kasus relatif tidak bisa mengurani permasalahan ketimpangan atau disparitas. Secara umum ketimpangan yang terjadi menimbulkan jurang perbedaan atau ketimpangan spasial yang menyebabkan adanya wilayah maju dan wilayah tertinggal serta ketimpangan sektoral yang menciptakan adanya sektor unggulan dan non unggulan.
Penelitian ini bertujuan untuk menganalisis tingkat disparitas pendapatan yang terjadi antar kota/kabupaten di Provinsi Lampung, kemudian mengidentifikasi kabupaten/kota yang masuk kedalam kategori tertinggal, serta mengidentifikasi sektor ekonomi unggul dan sektor ekonomi potensial di daerah yang relatif tertinggal sehingga dapat diprioritaskan pembangunannya untuk menurunkan kesenjangan ekonomi antar daerah di Provinsi Lampung.
Hasil penelitian menunjukan tingkat ketimpangan di Provinsi Lampung berada pada kategori rendah dengan indeks ketimpangan antara 0.22-0.26. Sementara itu, hasil analisis terhadap daerah tertinggal menunjukan bahwa terdapat tiga kabupaten yang masuk kedalam kategori tertinggal yaitu, Kabupaten Tanggamus, Lampung Timur, dan Way Kanan. Dan hasil analisis Overlay menunjukan sektor unggulan di Kabupaten Tanggamus adalah sektor pertanian dan sektor pertambangan dan penggalian, Kabupaten Lampung Timur adalah sektor perdagangan, hotel dan restoran dan untuk Kabupaten Way Kanan adalah sektor sektor pertanian, industri dan pengolahan, sektor pengangkutan dan transportasi serta sektor jasa-jasa.
I.PENDAHULUAN
A.Latar Belakang Masalah
Pembangunan ekonomi adalah usaha meningkatkan pendapatan perkapita dengan jalan mengolah sumberdaya ekonomi potensial menjadi ekonomi riil melalui penanaman modal, penggunaan teknologi, penambahan pengetahuan, peningkatan keterampilan penambahan kemampuan berorganisasi dan
manajemen (Sukirno, 1985). Definisi tersebut mengandung pengertian bahwa pembangunan ekonomi merupakan suatu perubahan yang terjadi secara terus menerus melalui serangkaian kombinasi proses demi mencapai sasaran akhir yaitu peningkatan pendapatan perkapita yang terus menerus berlangsung dalam jangka panjang.
Pembangunan daerah adalah suatu proses saat pemerintah daerah dan masyarakat mengelola sumber daya yang ada dan selanjutnya membentuk suatu pola kemitraan antara pemerintah daerah dengan sektor swasta untuk menciptakan suatu lapangan kerja baru dan merangsang perkembangan kegiatan ekonomi (pertumbuhan ekonomi) dalam wilayah tersebut (Arsyad, 2010). Pembangunan ekonomi daerah mempunyai suatu tujuan utama untuk meningkatkan jumlah dan jenis peluang kerja untuk masyarakat daerah. Pembangunan ekonomi daerah tidak dapat lepas dari pertumbuhan ekonomi (economic growth) wilayah tersebut yang dicapai setiap tahunnya.
Pembangunan ekonomi mendorong pertumbuhan ekonomi, dan sebaliknya pertumbuhan ekonomi memperlancar proses pembangunan ekonomi.
Arsyad (2010) memandang pertumbuhan ekonomi sebagai kenaikan output tanpa melihat apakah pertumbuhan itu lebih besar atau lebih kecil dari pertumbuhan penduduk dan apakah terjadi perubahan struktur ekonomi atau tidak. Pertumbuhan ekonomi itu sendiri ditandai dengan adanya laju kenaikan produk perkapita yang tinggi, sehingga untuk mendorong terjadinya
pertumbuhan ekonomi daerah perlu ditentukan prioritas pembangunan daerah.
masing-masing sektor ekonomi yang menyokong perekonomian suatu daerah. Selain itu, berdasarkan data ini pula pemerintah daerah dapat merumuskan kebijakan yang terkait dengan upaya mencapai pertumbuhan ekonomi yang diharapkan, karena dalam data ini memperlihatkan sektor-sektor ekonomi apa saja yang dapat diprioritaskan pembangunannya untuk dijadikan sebagai sektor unggulan.
Perumusan kebijakan pembangunan daerah yang dilakukan bertujuan untuk mencapai pertumbuhan ekonomi yang tinggi dengan memanfaatkan potensi dan sumberdaya yang dimiliki masing-masing daerah. Namun pada
kenyataannya, hasil pembangunan saat ini masih belum dapat dirasakan secara merata dan masih terdapat kesenjangan antardaerah. Hal ini disebabkan karena adanya perbedaan karakteristik dan keragaman yang tinggi antarwilayah. Perbedaan dan keragaman yang meliputi sumberdaya alam, potensi ekonomi, sosial, budaya, adat istiadat, kualitas sumber daya manusia, potensi geografis, kelengkapan sarana dan prasarana serta faktor-faktor penunjang lainnya berpengaruh terhadap pembangunan dan pertumbuhan daerah tersebut.
Puspandika (2007) melakukan penghitungan terhadap indeks ketimpangan pendapatan antar propinsi di Indonesia, didapatkan hasil bahwa ketimpangan pendapatan antar propinsi di Indonesia berada pada kategori tinggi. Indeks ketimpangan tersebut mengalami peningkatan dari tahun ke tahunnya kecuali pada tahun 2003, dimana pada saat itu pertumbuhan ekonomi Indonesia tengah mengalami peningkatan yang cukup signifikan. Hal ini menandakan bahwa usaha pemerintah selama ini dalam mengurangi ketimpangan pendapatan kurang berhasil walaupun tidak secara mutlak kondisi ini terjadi.
Provinsi Lampung sebagai salah satu provinsi di Indonesia yang terletak di ujung tenggara pulau Sumatera juga tidak lepas dari permasalahan disparitas pendapatan ini. Penduduk Provinsi Lampung pada tahun 2010 berjumlah 7.608.405 jiwa dan dengan total pendapatan regional 38.305.277 milyar rupiah. Dengan pendapatan per kapita pada tahun 2010 sebesar 5.034.600 rupiah.
Tabel 1. PDRB Atas Harga Konstan Menurut Kabupaten Atau Kota Di Provinsi Lampung Tahun 2006 – 2010 (Juta Rupiah)
KAB/KOTA 2006 2007 2008 2009 2010
Lampung Barat 1.214.618 1.286.066 1.351.526 1.427.754 1.509.674
Tanggamus - - -
2.218.851 2.329.522 Lampung Selatan 3.492.899 3.721.149 3.908.442 4.114.980 4.348.906 Lampung Timur 3.591.362 3.751.659 3.947.097 4.119.786 4.330.053 Lampung Tengah 4.948.566 5.255.606 5.553.010 5.883.047 6.228.793 Lampung Utara 2.686.696 2.855.121 3.017.663 3.208.506 3.401.717 Way Kanan 1.156.013 1.219.881 1.275.967 1.340.230 1.405.680
Tulang Bawang - - -
2.129.602 2.261.365 Pesawaran 1.336.858 1.415.474 1.491.042 1.572.794 1.661.428
Pringsewu - - -
1.358.634
1.436.188 Tulang Bawang
Barat - - -
1.064.633 1.127.310
Mesuji - - -
1.180.841 1.250.841 Bandar Lampung 5.079.047 5.426.158 5.802.308 6.151.069 6.540.521 Metro 451.254 479.408 504.393 531.202 562.509 Provinsi 30.861.360 32.694.890 34.443.152 36.221.139 38.305.277
Sumber : Badan Pusat Statistik (BPS) Provinsi Lampung
pendapatan tidak terdistribusi secara merata di tiap-tiap kabupaten dan kota di Provinsi Lampung. Ketidakmerataan tersebut disajikan dalam grafik berikut:
Gambar 1 PDRB Per Kapita Provinsi Lampung Menurut
Kabupaten/Kota Di Provinsi Lampung Tahun 2006-2010 (Rupiah) Sumber : Badan Pusat Statistik (diolah)
Kota Bandar Lampung merupakan wilayah dengan pendapatan periode tertinggi dimana rata-rata pendapatan per kapita rata-rata mencapai
Rp 6.809.809,7 per tahun. Hal ini menunjukan jika pusat pembangunan dan pusat perekonomian masih terpusat pada satu wilayah-wilayah tertentu yang pada akhirnya menyebabkan ketidakmerataan distribusi pendapatan.
Sedangkan dari latar belakang yang dikemukakan tersebut diatas, perlu dilakukan kajian untuk mengetahui tingkat ketimpangan yang terjadi antar
0 1.000.000 2.000.000 3.000.000 4.000.000 5.000.000 6.000.000 7.000.000 8.000.000
2006 2007 2008 2009 2010
kabupaten/kota di Lampung dan daerah-daerah mana saja yang ada di Provinsi Lampung ini yang masuk ke dalam daerah tertinggal serta mengidentifikasi sektor apa yang bisa dikembangkan untuk mengurangi kesenjangan antar wilayah. Berdasarkan hal tersebut, penelitian ini mengambil judul
“Pengembangan Potensi Ekonomi Lokal Daerah Tertinggal Sebagai
Upaya Mengatasi Disparitas Pendapatan Aantar Daerah di Provinsi Lampung”
B.Rumusan Masalah
Ketidakmerataan pertumbuhan dan distribusi pendapatan serta ketertinggalan pembangungan merupakan permasalahan klasik dalam pembangunan ekonomi suatu daerah. Provinsi Lampung merupakan provinsi yang memiliki potensi yang sangat besar yang dapat dimanfaatkan untuk pembangunan wilayahnya, sehingga diharapkan potensi yang dimiliki ini dapat dijadikan suatu modal bagi kabupaten/kota untuk terus meningkatkan pendapatan regionalnya.
Berdasarkan uraian tersebut diatas, maka permasalahan yang akan diangkat dalam penelitian ini adalah :
1. Bagaimana tingkat ketimpangan yang terjadi antar kabupaten/kota di provinsi Lampung ?
2. Bagaimana posisi perekonomian masing-masing kabupaten/kota ditinjau dari tingkat pertumbuhan ekonomi dan perubahan pendapatan
3. Sektor ekonomi apa saja yang termasuk sektor ekonomi unggul dan sektor ekonomi potensial di daerah yang relatif tertinggal sehingga dapat
dirumuskan prioritas pengembangannya.
C.Tujuan
Berdasarkan latar belakang dan permasalahan yang diuraikan diatas, maka tujuan dari penelitian ini adalah:
1. Untuk mengetahui tingkat ketimpangan yang terjadi antar kabupaten/kota di Lampung
2. Untuk mengetahui posisi perekonomian masing-masing kabupaten
ditinjau dari tingkat pertumbuhan dan perubahan pendapatan perkapitanya. 3. Untuk mengidentifikasi sektor ekonomi unggul dan sektor ekonomi
potensial di daerah yang relatif tertinggal sehingga dapat diprioritaskan pembangunannya untuk menurunkan kesenjangan ekonomi antar daerah.
D.Manfaat Penelitian
1. Sebagai sumber informasi kepada pemerintah, khususnya pemerintah daerah dalam pelaksanaan kebijakan pembangunan.
2. Penelitian ini menjadi sumber pengetahuan dan informasi tentang potensi-potensi apa yang ada di setiap wilayah di Lampung, sehingga dapat dikembangkan untuk meningkatkan pendapatan daerah.
E.Ruang Lingkup Penelitian
Penelitian tentang Pengembangan Potensi Ekonomi Lokal Daerah Tertinggal dalam Upaya Mengurangi Disparitas Pendapatan antar daerah di Provinsi Lampung ini fokus untuk mengidentifikasi ketimpangan yang terjadi di Provinsi Lampung dan menentukan posisi perekonomian masing-masing kabupaten ditinjau dari tingkat pertumbuhan dan perubahan pendapatan
perkapitanya serta mengidentifikasi sektor ekonomi unggul dan sektor ekonomi potensial di kabupaten/kota yang relatif tertinggal perekonomiannya, sehingga dapat diprioritaskan pembangunannya untuk menurunkan kesenjangan
ekonomi antar daerah. Data yang digunakan dalam analisis ini adalah data sekunder dari tahun 2006 hingga 2010 yang diperoleh dari Badan Pusat Statistik Provinsi Lampung.
F. Sistematika Penulisan
Penelitian ini disusun dengan sistematika bab yang terdiri dari Bab I
Pendahuluan, Bab II Studi Pustaka, Bab III Metode Penelitian, Bab IV Hasil dan Analisis, serta Bab V Penutup.
BAB I Pendahuluan
BAB II Studi Pustaka
Merupakan bab yang berisi telaah pustaka, berisi tentang landasan teori-teori yang digunakan dalam penelitian yaitu pembangunan dan pertumbuhan ekonomi, pembangunan ekonomi daerah, teori pertumbuhan ekonomi, dan teori-teori tentang perencanaan pembangunan ekonomi daerah.
BAB III Metodologi Penelitian
Merupakan metode penelitian, berisi tentang jenis dan sumber data, metode pengumpulan data dan metode analisis data yang digunakan untuk memberikan jawaban atas permasalahan yang ada.
BAB IV Hasil dan Pembahasan
Merupakan hasil dan pembahasan, berisi tentang deskripsi objek penelitian, analisis data yang menjelaskan estimasi serta pembahasan yang menerangkan interpretasi dan pembahasan hasil penelitian.
BAB V Penutup
Merupakan penutup berisi kesimpulan hasil analisis data pembahasan, dalam bagian ini juga berisi keterbatasan dan saran-saran yang direkomendasikan kepada pihak-pihak tertentu yang berkaitan dengan tema penelitian ini.
G.Kerangka Pemikiran
Seperti telah diuraikan sebelumnya, masing-masing daerah secara endogenous memiliki karakteristik yang berbeda-beda. Hal ini tercermin melalui
pendapatan masing-masing wilayah yang berbeda-beda pula. Laju
yang dapat dilihat melalui nilai Pendapatan Regional Bruto nya atau (PDRB) dan pendapatan per kapita.
Dalam penelitian ini, langkah pertama yang dilakukan peneliti adalah melihat tingkat ketimpangan yang terjadi antar kabupaten/kota dengan menggunakan alat analisis Indeks Williamson. Melalui Indeks Williamson ini dapat dilihat bagaimana tingkat kesenjangan pendapatan antar kabupaten/kota dimana dalam indeks ini ditekankan dua variabel yaitu jumlah produk domestik regional bruto (PDRB) dan jumlah penduduk.
Setelah teridentifikasi bagaimana tingkat kesenjangan pendapatan antar kabupaten/kota di Provinsi Lampung ini, maka selanjutnya adalah
mengidentifikasi wilayah-wilayah mana saja yang termasuk kedalam kategori relatif tertinggal dengan menggunakan alat analisis Tipologi Klassen. Dalam tipologi ini, tiap-tiap kabupaten/kota akan terbagi ke dalam kategori-kategori sesuai dengan tingkat pertumbuhan dan tingkat pendapatan per kapita nya masing-masing yang dibandingkan dengan tingkat pertumbuhan dan
Gambar 2. Skema Kerangka Pemikiran
Perekonomian Provinsi Lampung tahun 2006-2010
Adanya Ketimpangan Pendapatan antar Kabupaten/Kota di Provinsi
Lampung
Indeks Williamson
Identifikasi Kabupaten/Kota yang termasuk ke dalam kategori relatif tertinggal
Tipologi Klassen
Sektor-sektor Perekonomian Kabupaten/Kota yang termasuk kategori
relatif tertinggal
Analisis Struktur Perekonomian Kabupaten/Kota yang termasuk kategori relatif
tertinggal
Analisis Shift Share
Identifikasi sektor unggulan Kabupaten/Kota yang termasuk kategori relatif
tertinggal
Analisis Overlay (LQ, Shift Share dan MRP)
Arahan Pengembangan Sektor Ekonomi yang Potensial untuk diprioritaskan
II. STUDI PUSTAKA
A.Pengertian Pembangunan Ekonomi
Arsyad (1999) mendefinisikan pembangunan ekonomi sebagai suatu proses yang menyebabkan kenaikan pendapatan riil perkapita penduduk suatu negara dalam jangka panjang yang disertai oleh perbaikan sistem kelembagaan. Sedangkan Todaro mengartikan pembangunan sebagai suatu proses
multidimensional yang menyangkut perubahan-perubahan besar dalam struktur sosial, sikap masyarakat, kelembagaan nasional maupun percepatan
pertumbuhan ekonomi, pengurangan ketidakmerataan dan penghapusan dari kemiskinan mutlak.
Menurut Schumpeter (dalam Jinghan, 2012), pembangunan ekonomi bukan merupakan proses yang harmonis atau gradual, tetapi merupakan perubahan yang spontan dan tidak terputus-putus. Pembangunan ekonomi disebabkan oleh perubahan terutama dalam lapangan industri dan perdagangan. Pembangunan ekonomi berkaitan dengan pendapatan perkapita dan pendapatan nasional.
jasa-jasa yang diciptakan dalam suatu perekonomian di dalam masa satu tahun. Pertambahan pendapatan nasional dan pendapatan perkapita dari masa ke masa dapat digunakan untuk mengetahui laju pertumbuhan ekonomi dan juga
perkembangan tingkat kesejahteraan masyarakat suatu daerah.
Dalam pengertian pembangunan ekonomi yang dijadikan pedoman adalah sebagai suatu proses yang menyebabkan pendapatan perkapita penduduk suatu masyarakat meningkat dalam jangka panjang. Namun demikian menurut Todaro dan Smith (dalam Arsyad, 2010) proses kenaikan pendapatan perkapita secara terus menerus dalam jangka panjang saja tidak cukup bagi kita untuk mengatakan telah terjadi pembangunan ekonomi. Perbaikan struktur sosial, sistem kelembagaan (baik organisasi maupun aturan main), perubahan sikap dan perilaku masyarakat juga merupakan komponen penting dari pembangunan ekonomi, selain masalah pertumbuhan ekonomi dan pengentasan kemiskinan. Keberhasilan pembangunan ekonomi suatu negara ditunjukan oleh tiga nilai pokok yaitu :
1) Berkembangnya kemampuan masyarakat untuk memenuhi kebutuhan pokoknya (sustenance)
2) Meningkatkan rasa harga diri (self-esteem) masyarakat sebagai manusia 3) Meningkatkan kemampuan masyarakat untuk memilih (freedom from
servitude) yang merupakan salah satu dari hak asasi manusia.
pembangunan ekonomi dapat diamati dan dianalisis. Dengan cara tersebut dapat diketahui runtutan peristiwa yang terjadi dan dampaknya pada
peningkatan kegiatan ekonomi dan taraf kesejahteraan masyarakat dari satu tahap pembangunan ke tahap pembangunan berikutnya (Arsyad, 2010).
B.Teori-teori Pembangunan Ekonomi 1. Teori Pembangunan Adam Smith
Menurut Adam Smith, untuk berlangsungnya perkembangan ekonomi
diperlukan adanya spesialisasi atau pembagian kerja agar produktifitas tenaga kerja bertambah. Spesialisai dalam proses produksi akan dapat meningkatkan ketrampilan tenaga kerja,ndapat mendorong ditemukannya alat-alat atau mesin-mesin baru dan akhirnya dapat mempercepat dan meningkatkan produksi (Jinghan, 2012). Menurut Smith sekali pertumbuhan itu mulai maka ia akan bersifat kumulatif, artinya bila ada pasar yang cukup dan ada akumulasi kapital, pembagian kerja akan terjadi dan ini akan menaikkan tingkat produktifitas tenaga kerja. Teori Smith memberikan sumbangan yang besar dalam menunjukan bagaimana pertumbuhan ekonomi terjadi dan faktor-faktor serta kebijaksanaan apa yang menghambatnya.
tidak membuat tarif pajak daerah yang lebih tinggi dari daerah lain sehingga pengusaha enggan berusaha didaerah tersebut, menjaga keamanan dan ketertiban sehingga relatif aman untuk berusaha, menyediakan berbagai fasilitas dan prasarana sehingga pengusaha dapat beroperasi dengan efisien serta tidak membuat prosedur penanaman modal yang rumit.
2. Teori Pembangunan Jhon Stuart Mill
Mill menganggap pembangunan ekonomi sebagai fungsi dari tanah, tenaga kerja, dan modal. Sementara tanah dan tenaga kerja adalah dua faktor produksi yang asli, modal adalah persediaan yang dikumpulkan dari produk-produk tenaga kerja sebelumnya (dalam Jinghan, 2012). Peningkatan kesejahteraan hanya mungkin bila tanah dan modal mampu meningkatkan produksi lebih cepat dibanding angkatan kerja. Kesejahteraan terdiri dari peralatan, mesin dan keterampilan angkatan kerja. Tenaga kerja produktif inilah yang merupakan pencipta kesejahteraan dan akumulasi modal.
3. Teori Marxis tentang Pembangunan Ekonomi
Karl Marx (dalam Jinghan, 2012) menyumbang kepada teori pembangunan dalam tiga hal, yaitu dalam arti luas memberikan penafsiran sejarah dari sudut ekonomi, dalam arti sempit merinci kekuatan yang mendorong perkembangan kapitalis dan terakhir menawarkan jalan alternatif tentang pembangunan
C.Teori-Teori Pertumbuhan Ekonomi
Pertumbuhan ekonomi dan pembangunan ekonomi sama-sama menerangkan mengenai perkembangan ekonomi yang berlaku. Pertumbuhan selalu
digunakan sebagai suatu ungkapan umum yang menggambarkan tingkat perkembangan suatu negara yang diukur melalui persentasi pertambahan pendapatan nasional riil (Sukirno, 1985). Menurut Sukirno (1985) pada dasarnya teori pertumbuhan ekonomi dapat dikelompokan menjadi 2 yaitu: 1) Teori – teori Klasik, mencakup teori Adam Smith, David Ricardo dan
lain-lain.
2) Teori – teori modern, mencakup empat sub golongan yaitu :
a. Teori pertumbuhan dari teori makro ekonomi Keynes, dalam hal ini termasuk pertumbuhan ekonomi Harrord-Domar
b. Teori pertumbuhan Neoklasik yaitu seperti Teori pertumbuhan Solow-Swan
c. Teori Pertumbuhan Endogen (endogenous growth theory)
d. Teori Schumpeter dan teori ketergantungan ( dependencia theory)
1. Teori-Teori Klasik
Ada beberapa teori-teori klasik yaitu teori menurut : a. Adam Smith
Wealth of the Nations (1776) secara singkat sering disebut sebagai Wealth of Nations, bisa dilihat bahwa tema pokoknya adalah mengenai bagaimana perekonomian (kapitalis) tumbuh. Dalam buku tersebut Smith, mungkin orang yang pertama yang mengungkapkan proses pertumbuhan ekonomi dalam jangka panjang secara sistematis. Menurut Adam Smith, ada dua aspek utama dari pertumbuhan ekonomi yaitu :
a) Pertumbuhan Output (GDP) total b) Pertumbuhan Penduduk
Menurut Smith, sumber-sumber alam yang tersedia merupakan wadah yang paling mendasar dari kegiatan produksi suatu masyarakat. Jumlah sumber-sumber alam yang tersedia merupakan batas maksimum bagi pertumbuhan perekonomian tersebut. Artinya, selama sumber-sumber ini belum sepenuhnya dimanfaatkan, yang memegang peranan dalam proses produksi adalah dua unsur produksi yang lain, yaitu jumlah penduduk dan stok kapital yang ada. Dua unsur lain inilah yang menentukan besarnya output masyarakat dari tahun-ketahun. Tetapi apabila output terus meningkat, sumber-sumber alam akhirnya akan sepenuhnya dimanfaatkan (dieksploitir), dan pada tahap ini sumber-sumber alam akan menbatasi output. Unsur sumber alam ini akan menjadi batas atas dari pertumbuhan suatu perekonomian.
b. David Ricardo
maupun dalam hal mekanisme proses pertumbuhan itu sendiri. Namun perlu ditekan lagi disini bahwa garis besar dari proses pertumbuhan dan
kesimpulan-kesimpulan umum yang ditarik oleh Ricardo tidak terlalu berbeda dengan teori Adam Smith. Tema dari proses pertumbuhan ekonomi masih pada perpacuan antara laju pertumbuhan penduduk dan laju pertumbuhan output. Menurut Ricardo (dalam Jinghan 2012) kesimpulan umumnya masih tetap bahwa dalam perpacuan tersebut penduduklah yang akhirnya menang, dan dalam jangka panjang perekonomian akan mencapai posisi stationer. Menurut Jinghan (2012) perekonomian Ricardo ditandai oleh ciri-ciri sebagai berikut :
a) Tanah terbatas jumlahnya
b) Tenaga kerja (penduduk) yang meningkat (atau menurun) sesuai dengan apakah tingkat upah diatas atau dibawah tingkat upah minimal (yang oleh Ricardo disebut tingkat upah alamiah natural wage)
c) Akumulasi kapital terjadi apabila tingkat keuntungan yang diperoleh pemilik kapital berada diatas tingkat keuntungan minimal yang diperlukan untuk menarik mereka melakukan investasi.
d) Dari waktu ke waktu terjadi kemajuan teknologi. e) Sektor pertanian dominan
2. Teori – teori Modern
a. Teori Pertumbuhan Ekonomi Harrord – Domar
Teori pertumbuhan yang dikemukakan oleh Harrod-Domar merupakan perluasan dari analisa Keynes mengenai kegiatan ekonomi nasional dan masalah penggunaan tenaga kerja. Teori Harrod-Domar pada hakekatnya berusaha untuk menunjukkan syarat yang diperlukan agar pertumbuhan yang mantap atau steady growth yang dapat didefinisikan sebagai pertumbuhan yang akan selalu menciptakan penggunaan sepenuhnya alat-alat modal yang akan selalu berlaku dalam perekonomian.
Teori Harrod-Domar ini mempunyai beberapa asumsi, yaitu :
a) Perekonomian dalam keadaan pengerjaan penuh (full employment) dan faktor-faktor produksi yang ada juga dimanfaatkan secara penuh
b) Perekonomian terdiri atas dua sektor yaitu; sektor rumah tangga dan sektor perusahaan
c) Besarnya tabungan masyarakat proporsional dengan besarnya pendapatan nasional
d) Kecenderungan menabung (MPS) tetap, demikian juga rasio antara modal-output (capital-modal-output ratio = COR) dan rasio pertambahan modal-modal-output (incremental capital capital-output ratio = ICOR.
menambah kesanggupan suatu perekonomian untuk menghasilkan barang-barang maupun sebagai pengeluaran yang akan menambah permintaan efektif seluruh masyarakat (Jinghan, 2012).
b. Model Pertumbuhan Solow-Swan
Dalam model pertumbuhan Harrod-Domar kelihatan steady state sangat tidak stabil. Sekali rasio tabungan, rasio kapital output, dan laju kenaikan tenaga kerja meleset sedikit saja dari titik tumpu, maka konsekuensinya akan berupa inflasi kronis atau meningkatnya pengangguran. Robert M. Solow (1956), Trevor Swan (1956), dan berikutnya James E. Meade (1961) memperbaiki model pertumbuhan yang disampaikan Harrod-Domar itu. Mereka mengatakan bahwa rasio kapital output dalam model Harrod-Domar tersebut tidak bisa dianggap sebagai eksogenus. Dalam kenyataannya menurut mereka, pada suatu model pertumbuhan, rasio kapital output (v) itu justru merupakan adjusting variable yang akan menggiring kembali sistem pada jalur pertumbuhan steady state. Dalam hal ini, v akan menggeser s/v sampai sama dengan pertumbuhan natural jika terjadi ketidakseimbangan. Model pertumbuhan yang dihasilkan inilah yang terkenal dengan nama model pertumbuhan Solow, atau biasa disebut juga model pertumbuhan neoklasik. Solow membangun model di sekitar asumsi berikut :
a) ada satu komoditi gabungan yang diproduksi
c) fungsi produksi adalah homogen pada derajad satu, atau bersifat constant return to scale,
d) faktor produksi kapital dan tenaga kerja dibayar sesuai dengan produktifitas fisik marginal mereka
e) harga dan upah fleksibel
f) perekonomian dalam kondisi full employment
g) stok kapital yang ada juga terpekerjakan secara penuh h) tenaga kerja dan kapital dapat disubtirusikan satu sama lain i) kemajun teknologi bersifat netral.
Dengan asumsi-asumsi ini, Solow menunjukkan dalam modelnya bahwa dengan koefisien teknik yang bersifat variabel, rasio kapital-tenaga kerja akan cenderung menyesuaikan dirinya, dalam perjalanan waktu, ke arah rasio keseimbangan.
c. Teori Pertumbuhan Endogen
Model pertumbuhan endogen ini menyajikan sebuah kerangka teoritis yang lebih luas dalam menganalisis proses pertumbuhan ekonomi. Teori ini
mencoba mengidentifikasi dan menganalisis faktor-faktor yang mempengaruhi proses pertumbuhan ekonomi yang berasal dari dalam (endogenous) sistem ekonomi itu sendiri. Dalam model ini, faktor teknologi memegang peranan penting, namun hal itu bukan berarti bahwa faktor tersebut mampu
menjelaskan tentang fenomena pertumbuhan dalam jangka panjang. Romer (1994) menyatakan bahwa akumulasi modal tetap memegang peranan penting dalam pertumbuhan, namun dengan definisi yang lebih luas yaitu dengan memasukan unsur modal ilmu pengetahuan (knowledge capital) dan luas insani (human capital) ke dalam model. Selain itu, perubahan teknologi merupakan bagian daru proses pertumbuhan ekonomi, bukan sebagai faktor yang berasal dari luar model (exogenous) (dalam Adisasmitha, 2013).
D.Pengertian Pembangunan Ekonomi Daerah
Arsyad (1999), menjelaskan istilah pembangunan ekonomi daerah, yaitu suatu proses dimana pemerintah daerah dan masyarakatnya mengelola sumberdaya-sumberdaya yang ada dan membentuk nota kemitraan antara pemerintah daerah dengan sektor swasta untuk menciptakan suatu lapangan kerja baru dan merangsang berkembangan kegiatan ekonomi (pertumbuhan ekonomi) dalam wilayah tersebut.
sumber daya manusia, kelembagaan, dan sumber daya fisik secara lokal
(daerah). Orientasi ini mengarahkan kita kepada pengambilan inisiatif-inisiatif dari daerah tersebut dalam proses pembangunan untuk menciptakan
kesempatan kerja baru dan merangsang pertumbuhan ekonomi.
Perbedaan kondisi daerah membawa implikasi bahwa corak ekonomi yang diterapkan berbeda pula. Jika akan membangun suatu daerah, kebijakan yang diambil harus sesuai dengan kondisi (masalah, kebutuhan dan potensi) daerah yang bersangkutan.
Sementara itu menurut Arsyad (1999), strategi pembangunan ekonomi daerah dapat dikelompokan menjadi empat kelompok besar yaitu :
1) Strategi pengembangan fisik/lokalitas (locality or physical development strategy)
2) Strategi pengembangan dunia usaha (bussiness development strategy) 3) Strategi pengembangan sumber daya manusia (human resource development
strategy)
4) Strategi pengembangan masyarakat (community based development strategy)
Strategi pengembangan sumberdaya manusia merupakan aspek yang paling penting dalam pembangunan ekonomi. Pengembangan kualitas sumberdaya manusia ini antara lain dapat dilakukan dengan pelatihan dengan sistem costumized trainning atau pelatihan yang dirancang khusus untuk memenuhi kebutuhan dan harapan pemberi kerja. Sementara itu strategi pengembangan ekonomi masyarakat merupakan kegiatan yang ditujukan untuk
mengembangkan suatu kelompok tertentu disuatu daerah. Kegiatan tersebut juga sering disebut dengan pemberdayaan (empowerment) masyarakat. Tujuan dari kegiatan ini adalah untuk menciptakan manfaat sosial, misalnya dengan menciptakan proyek-proyek padat karya untuk memenuhi kebutuhan hidup mereka atau memperoleh keuntungan usahanya.
Dalam kaitannya dalam mempercepat pengembangan ekonomi daerah atau regional, keterkaitan antar daerah merupakan hal yang sangat penting terutama jika dikaitkan dengan konsep spesialisasi. Adanya spesialisasi komoditas sesuai dengan sektor dan subsektor yang dimiliki memungkinkan dilakukannya kegiatan sektoral pada masing-masing daerah yang akan mempercepat
pembangunan daerah.
E.Teori Pertumbuhan Ekonomi Daerah
pertumbuhan regional, mengadaptasi model - model ekonomi makro yang digunakan dalam teori pertumbuhan agregatif atau menafsirkan pertumbuhan suatu daerah menurut dinamikanya struktur industri.
Pendekatan pertama memungkinkan sutau daerah mengidentifikasikan hubungan terpenting antara perpindahan faktor-faktor dan pertumbuhan regional dengan cara yang lebih jelas. Sementara pendekatan kedua lebih berorientasi pada perubahan pola pertumbuhan regional sebagai efek neto dari keputusan-keputusan lokasi dan output yang diambil oleh
perubahan-perubahan bisnis sebagai reaksi terhadap perubahan-perubahan-perubahan-perubahan kebutuhan input dan pasar dalam industri-industri tersebut dan arus faktor adalah variabel-variabel yang relevan dalam keputusan seperti itu (Richardson, 2001).
Yang dimaksud dengan pertumbuhan ekonomi daerah adalah pertambahan pendapatan masyarakat yang terjadi di wilayah tersebut, yaitu kenaikan seluruh nilai tambah (added value) yang terjadi di wilayah tersebut. Pertambahan pendapatan itu diukur dalam nilai riil, artinya dinyatakan dalam harga konstan (Tarigan, 2004). Penekanan pertumbuhan ekonomi regional lebih dipusatkan pada pengaruh perbedaan karateristik space terhadap pertumbuhan ekonomi. Faktor yang menjadi perhatian utama dalam teori pertumbuhan ekonomi regional (Tarigan, 2004):
1) Keuntungan Lokasi 2) Aglomerasi Migrasi
Teori yang membicarakan pertumbuhan regional ini dimulai dari teori yang dikutip dari ekonomi makro atau ekonomi pembangunan dengan mengubah batas wilayah yang disesuaikan dengan lingkungan operasionalnya, dilanjutkan dengan teori yang dikembangkan asli dalam ekonomi regional.
1. Teori Harrod – Domar dalam Sistem Regional
Dalam Tarigan (2004) disebutkan bahwa teori ini dikembangkan hampir pada wakti bersamaan oleh Roy F. Harrod (1948) di Inggris dan Evsey D. Domar (1957) di Amerika Serikat. Diantara mereka menggunakan proses perhitungan yang berbeda tetapi memberikan hasil yang sama. Teori ini melengkapi teori Keynes, dimana Keynes melihatnya dalam jangka pendek (kondisi statis) sedangkan Harrod – Domar melihatnya dalam jangka panjang (kondisi dinamis). Menurut Tarigan (2004) Teori Harrod – Domar didasarkan pada asumsi :
1) Perekonomian bersifat tertutup
2) Hasrat menabung (MPS=S) adalah konstan
3) Proses produksi memiliki koefisien yang tetap (constan return to scale) 4) Tingkat pertumbuhan angkatan kerja (n) adalah konstan dan sama dengan
tingkat pertumbuhan penduduk.
g = K = n
dimana : g = Growth (tingkat pertumbuhan output) K = Capital (tingkat pertumbuhan modal n = Tingkat pertumbuhan angkatan kerja
agar terdapat keseimbangan maka antara tabungan (S) dan investasi (I) harus terdapat kaitan yang saling menyeimbangkan, padahal peran k untuk
menghasilkan tambahan produksi ditentukan oleh v (capital output ratio = Rasio modal output).
2. Teori Pertumbuhan Jalur Cepat yang Disinergikan
Teori pertumbuhan Jalur Cepat (Turnpike) diperkenalkan oleh Samuelson (1955). Setiap negara atau wilayah perlu melihat sektor atau komoditi apa yang memiliki potensi besar dan dapat dikembangkan dengan cepat, baik karena potensi alam maupun karena sektor ini memiliki competitive advantage untuk dikembangkan (Tarigan, 2004). Artinya, dengan kebutuhan modal yang sama sektor tersebut dapat memberikan nilai tambah yang lebih besar, dapat
3. Teori Basis Ekspor Richardson
Teori ini membagi kegiatan produksi atau jenis pekerjaan yang terdapat didalam satu wilayah atas: pekerjaan basis (dasar) dan pekerjaan service (pelayanan atau nonbasis). Kegiatan basis adalah kegiatan yang bersifat exogenous artinya tidak terikat pada kondisi internal perekonomian wilayah dan sekaligus berfungsi mendorong tumbuhnya jenis pekerjaan lainnya. Sedangkan kegiatan nonbasis adalah kegiatan untuk memenuhi kebutuhan masyarakat didaerah itu sendiri. Oleh karena itu, pertumbuhannya tergantung pada kondisi umum perekonomian wilayah tersebut. Artinya sektor ini bersifat endogenous (tidak bebas tumbuh). Pertumbuhannya tergantung kepada kondisi perekonomian wilayah secara keseluruhan. Perbedaan pandangan antara Richardson dan Tiebout dalam teori basis adalah Tiebout melihatnya dari sisi produksi sedangkan Richardson melihatnya dari sisi pengeluaran.
4. Teori Tempat Sentral
Lincolin Arsyad (1999) menjelaskan bahwa Teori Tempat Sentral (Central Place Theory) memiliki pandangan bahwa ada hirarki tempat (hirarcy of place) di setiap wilayah atau daerah. Setiap tempat sentral didukung oleh sejumlah tempat yang lebih kecil yang menyediakan sumberdaya (industri dan bahan baku). Tempat sentral tersebut merupakan suatu pemukiman yang
menyediakan jasa-jasa bagi penduduk daerah yang bersangkutan.
(berbatasan). Beberapa daerah dapat menjadi wilayah penyedia jasa sedangkan daerah lainnya hanya sebagai daerah pemukiman. Seorang ahli pembangunan ekonomi daerah dapat membantu masyarakat untuk mengembangkan peranan fungsional mereka dalam sistem ekonomi daerah.
5. Teori Kausasi Kumulatif
Myrdal (1957) mengungkapkan sebuah konsep Teori Kausasi Kumulatif. Dalam konsep ini, Myrdal dengan gamblang menjelaskan tentang sebab-sebab dari bertambah memburuknya perbedaan dalam tingkat pembangunan di berbagai daerah dalam suatu negara. Menurut Myrdal, pembangunan di daerah-daerah yang lebih maju akan menyebabkan suatu keadaan yang akan
menimbulkan hambatan yang lebih besar pada daerah-daerah yang lebih terbelakang untuk dapat maju dan berkembang. Suatu keadaan yang
menghambat pembangunan ini digolongkan sebagai backwash effects. Disisi lain, perkembangan di daerah-daerah yang lebih maju ternyata juga dapat menimbulkan suatu keadaan yang akan mendorong perkembangan bagi daerah-daerah yang lebih miskin. Suatu keadaan yang akan dapat mendorong
pembangunan ekonomi di daerah-daerah yang lebih miskin ini dinamakan sebagai spread effects.
F. Strategi Pembangunan Seimbang dan Tak Seimbang
dapat diartikan sebagai keseimbangan pembangunan di berbagai sektor. Strategi pembangunan seimbang ini dilaksanakan dengan maksud untuk menjaga agar proses pembangunan tidak menghadapi hambatan-hambatan dalam: (1) memperoleh bahan baku, tenaga ahli, sumberdaya energi, dan fasilitas-fasilitas untuk mengangkut hasil-hasil produksi ke pasar, dan (2) memperoleh pasar untuk barang-barang yang telah dan yang akan diproduksi. Pembangunan seimbang ini dapat pula didefinisikan sebagai usaha
pembangunan yang bertujuan untuk mengatur program investasi sehingga sepanjang proses pembangunan tidak akan timbul hambatan yang bersumber dari penawaran dan permintaan (Arsyad, 2010).
Sedangkan pembangunan tak seimbang merupakan lawan dari strategi
pembangunan seimbang. Menurut konsep ini, investasi seyogyanya dilakukan pada sektor yang terpilih daripada secara serentak di semua sektor ekonomi (Arsyad, 2010). Tidak ada satupun negara sedang berkembang yang
mempunyai modal dan sumberdaya yang sedemikian besarnya untuk dapat melakukan investasi secara serentak pada semua sektor ekonomi. Oleh karena itu, investasi haruslah dilakukan pada beberapa sektor atau industri terpilih saja agar cepat berkembang dan keuntungan ekonomis yang diperoleh dapat
digunakan untuk pembangunan sektor lainnya. Dengan demikian,
Menurut Hirschman (dalam Arsyad 2010), investasi pada satu industri ataupun sektor-sektor yang strategis dinilai akan membuka kesempatan investasi baru dan membuka jalan bagi proses pembangunan selanjutnya. Hirschman
memandang bahwa pembangunan merupakan suatu rantai disekuilibrium yang harus dipertahankan, bukan dihapuskan. Ketika proyek (investasi) baru
dimulai, proyek-proyek tersebut memperoleh eksternalitas ekonomi yang diciptakan oleh-oleh proyek-proyek sebelumnya, dan proyek baru tersebut juga akan menciptakan eksternalitas ekonomi baru yang dapat dimanfaatkan
proyek-proyek selanjutnya. Menurut Hirschman (dalam Arsyad, 2010) pola pembangunan tidak seimbang ini didasarkan oleh beberapa pertimbangan yaitu:
1. Secara historis, proses pembangunan ekonomi yang terjadi mempunyai corak yang tidak seimbang.
2. Untuk meningkatkan efisiensi dalam penggunaan sumberdaya yang tersedia.
3. Pembangunan tidak seimbang akan berpotensi untuk menimbulkan
kemacetan atau gangguan-gangguan dalam proses pembangunannya, tetapi hal tersebut dinilai akan menjadi pendorong bagi pembangunan
selanjutnya.
Menurut Hirschman (dalam Arsyad, 2010) meskipun pada awalnya
pembangunan tidak seimbang ini akan menciptakan gangguan-gangguan dan ketidakseimbangan-ketidakseimbangan dalam kegiatan ekonomi, tetapi
lebih banyak pada masa yang akan datang. Dengan demikian, pembangunan tidak seimbang akan mempercepat pembangunan ekonomi pada masa yang akan datang.
G.Ketimpangan Pendapatan Regional
Adanya perbedaan kemajuan antar daerah di jelaskan Myrdal dalam teorinya,
Myrdal berpendapat pembangunan ekonomi proses sebab dan penyebab sirkuler
yang membuat si kaya mendapat keuntungan yang semakin banyak dan mereka
yang tinggal di belakang akan menjadi semakin terhambat. Perbedaan tingkat
kemajuan ekonomi antar daerah yang berlebihan akan menyebabkan pengaruh
yang merugikan (backwash effect) mendominasi pengaruh yang menguntungkan
(spread effect) terhadap pertumbuhan daerah, dalam hal ini mengakibatkan proses
ketidakseimbangan. Pelaku-pelaku yang mempunyai kekuatan di pasar secara
normal akan cenderung meningkat bukannya menurun,sehingga mengakibatkan
ketimpangan antar daerah (Jhingan, 2012).
Dengan adanya pertumbuhan ekonomi baik secara langsung maupun tidak langsung akan berpengaruh terhadap masalah ketimpangan daerah.
Ada beberapa faktor yang menyebabkan ketimpangan wilayah(Jinghan, 2012) antara lain :
2) Alokasi investasi. Berdasarkan teori Harrod-Domar yang menerangkan adanya korelasi positif antara tingkat investasi dengan laju pertumbuhan ekonomi, dengan kata lain bahwa kurangnya investasi disuatu wilayah akan menyebabkan pertumbuhan ekonomi dan tingkat pendapatan masyarakat perkapita di wilayah tersebut rendah, karena tidak ada kegiatan-kegiatan ekonomi yang produktif.
3) Tingkat mobilitas dan faktor-faktor produksi yang rendah antar daerah. Kurang lancarnya mobilitas faktor produksi seperti tenaga kerja dan modal bisa menyebabkan terjadinya ketimpangan ekonomi regional.
4) Perbedaan sumberdaya alam antar daerah. Dasar pemikiran klasik mengatakan bahwa pembangunan ekonomi di daerah yang kaya
sumberdaya alamnya akan lebih cepat maju dibandingkan dengan daerah yang miskin sumberdaya alam.
5) Perbedaan kondisi demografis antar wilayah. Ketimpangan ekonomi regional juga disebabkan oleh perbedaan kondisi demografis, terutama dalam hal jumlah dan pertumbuhan penduduk, tingkat kepadatan,
pendidikan, kesehatan, disiplin masyarakat dan etos kerja. Faktor-faktor ini mempengaruhi tingkat pembangunan dan pertumbuhan ekonomi lewat sisi permintaan dan penawaran.
Indikator yang digunakan untuk menganalisis ketimpangan antar wilayah, diantaranya Produk Domestik Regional Bruto (PDRB), Konsumsi Rumah Tangga Perkapita, Kontribusi Sektoral terhadap PDRB, Tngkat Kemiskinan dan Struktur Fiskal. Dalam perspektif antarwilayah, ketidakmerataan terjadi baik dalam hal tingkat pendapatan masyarakat antarwilayah yang satu dengan wilayah yang lain, maupun dalam hal distribusi pendapatan dikalangan penduduk masing-masing wilayah.
H.Penelitian Terdahulu
Williamson tahun 1965 (dalam Kuncoro, 2004) meneliti hubungan antara disparitas regional dengan tingkat pembangunan ekonomi, dengan
menggunakan data ekonomi negara yang sudah maju dan yang sedang berkembang. Hasil penelitian ditemukan bahwa selama tahap awal pembangunan, disparitas regional menjadi lebih besar dan pembangunan terkonsentrasi di daerah-daerah tertentu. Pada tahap yang lebih matang dilihat dari pertumbuhan ekonomi tampak adanya keseimbangan antardaerah di mana disparitas berkurang dengan signifikan.
Oktafilia (2011) dalam penelitiannya tentang analisis wilayah tertinggal dan pengidentifikasian sektor-sektor ekonomi unggul di Jawa Tengah menjelaskan strategi pembangunan daerah tertinggal sebagai salah satu upaya untuk
meminimalisir tingkat disparitas di suatu wilayah disesuaikan dengan
menghasilkan kesimpulan berupa upaya dalam pengembangan ekonomi lokal adalah dengan melihat sektor-sektor potensial di masing-masing
kabupaten/kota tertinggal di Provinsi Jawa Tengah. Hal ini dapat dilakukan dengan menggunakan alat analisis Location Quitient (LQ), Shift-Share dan tipologi klassen pendekatan sektoral.
Secara keseluruhan sektor pertanian dan jasa adalah sektor yang mendominasi wilayah tertinggal ini yang memiliki potensi untuk dikembangkan.
Kekompetitifan sebuah sektor salah satunya didukung karena sektor tersebut sudah terspesialisasi, baik melalui teknologi maupun dengan peran sektor lain yang mendukungnya sehingga sektor tersebut mampu bersaing dengan daerah lain pada sektor yang sejenis. Pengembangan sektor pertanian dan jasa salah satunya dapat dilakukan dengan melakukan spesialisasi pada sektor tersebut. Mengingat karena preferensi dan motivasi jasa dan sektor pariwisata
wisatawan berkembang secara dinamis sehingga mendukung sektor jasa secara keseluruhan.
Restiatun (2009) dalam penelitiannya tentang identifikasi sektor unggulan dan ketimpangan antar kabupaten/kota di Provinsi Yogyakarta menyatakan
menunjukkan trend yang sama, yaitu bahwa di provinsi DIY terjadi kecenderungan kenaikan ketimpangan, meskipun hasil perhitungan kedua indeks tersebut juga sama‐sama menunjukkan terjadinya penurunan ketimpangan pada tahun 1998, tetapi mulai tahun 1999 ketimpangan ini
kemudian meningkat. Penurunan ketimpangan pada tahun 1998 ini diakibatkan oleh dampak krisis yang lebih berimbas di daerah perkotaan sehingga
ketimpangan menurun.
Erawati dan I Nyoman M.Y (2011) menggunakan metode analisis LQ, MRP, Overlay dan Rasio Penduduk Pengerjaan (RPP) untuk mengetahui pola
pertumbuhan ekonomi Kabupaten Klungkung yang dilihat dari sisi pendapatan per kapita dan laju pertumbuhan serta untuk mengetahui sektor ekonomi potensial dan mengetahui peluang/kesempatan kerja yang mampu diciptakan oleh sektor ekonomi potensial di Kabupaten Klungkung. Kesimpulan yang diperoleh adalah pola pertumbuhan ekonomi Kabupaten Klungkung dalam periode tahun 2008-2010 menurut Tipologi Klassen termasuk dalam klasifikasi daerah makmur yang sedang menurun (potensial tertinggal). Sedangkan untuk sektor potensial yang dapat diprioritaskan untuk dikembangkan di Kabupaten Klungkung dalam periode tahun 2008-2010 yaitu sektor bangunan dan sektor jasa-jasa. Dari sektor jasa-jasa, sub sektor yang lebih menyumbang kontribusi cukup tinggi adalah sub sektor jasa swasta.
menunjukkan bahwa jumlah masyarakat yang terlayani dari sektor bangunan selama periode 2008-2010 rata-rata hanya sebesar 3,01 persen, sedangkan dari sektor jasa-jasa rata-rata hanya sebesar 5,96 persen.
Roziana Ainul Hidayati (2007) menggunakan metode analisis Indeks Williamson dan tipologi Klassen untuk menganalisis ketimpangan antar kecamatan di Kabupaten Gresik. Kesimpulan yang diperoleh adalah bahwa beberapa kecamatan di Kabupaten Gresik masuk kedalam kategori relatif tertinggal. Kecamatan-kecamatan tersebut adalah kecamatan Balongpanggang, Bungah dan Sangkapura. Nilai Indeks Williamson pada tahun 2003 sebesar 0,47 turun menjadi 0,46 pada tahun 2004 dan meningkat menjadi 0,48 pada tahun 2005.
Sutrisno (2012) dalam penelitiannya yang menggunakan analisis Indeks Williamson, Indeks Enthropi Theil, Location Quotient (LQ) dan analisis Shift-Share untuk menganalisis ketimpangan pendapatan dan sektor unggulan di kabupaten dalam kawasan Barlingmascakeb menghasilkan kesimpulan
mengindikasikan ketimpangan pendapatan yang terjadi di Kawasan Barlingmascakeb masih relatif rendah.
III. METODE PENELITIAN
A.Jenis dan Sumber Data
Data yang digunakan untuk menganalisis pengembangan potensi ekonomi lokal daerah tertinggal sebagai upaya mengatasi disparitas pendapatan di Provinsi Lampung adalah data sekunder berupa PDRB tiap kabupaten/kota di Provinsi Lampung atas harga konstan tahun 2006-2010, PDRB Provinsi Lampung atas dasar harga konstan pada tahun yang sama dan data jumlah penduduk Provinsi Lampung berdasarkan kabupaten/kota. Data diperoleh melalui Badan Pusat Statistik (BPS) Provinsi Lampung dan sumber lainnya.
B.Profil Wilayah Penelitian
Menurut Badan Pusat Statistik (BPS) Provinsi Lampung, Daerah Provinsi Lampung meliputi areal dataran seluas 35.288,35 km2 termasuk pulau-pulau yang terletak pada bagian sebelah paling ujung tenggara pulau Sumatera, dan dibatasi oleh :
1. Provinsi Sumatera Selatan dan Bengkulu, di Sebelah Utara 2. Selat Sunda, di Sebelah Selatan
3. Laut Jawa, di Sebelah Timur
Secara Geografis Provinsi Lampung terletak pada kedudukan : Timur - Barat berada antara : 103o 40' - 105o 50' Bujur Timur, Utara - Selatan berada antara : 6o 45' - 3o 45' Lintang Selatan.
Secara administratif Provinsi Lampung dibagi dalam 14 (empat belas) Kabupaten/Kota , yang selanjutnya terdiri dari beberapa wilayah Kecamatan dengan perincian sebagai berikut :
1. Kabupaten Lampung Barat dengan Ibukotanya Liwa, luas wilayahnya 4.950,40 km2 terdiri dari 25 (dua puluh lima) kecamatan.
2. Kabupaten Tanggamus dengan Ibukotanya Kota Agung, luas wilayahnya 3.356,61 km2 terdiri dari 20 (dua puluh) kecamatan.
3. Kabupaten Lampung Selatan dengan Ibukotanya Kalianda, luas wilayahnya 2.007,01 km2 terdiri dari 17 (tujuh belas) kecamatan.
4. Kabupaten Lampung Timur dengan Ibukotanya Sukadana, luas wilayahnya 4.337,89 km2 terdiri dari 24 (dua puluh empat) kecamatan.
5. Kabupaten Lampung Tengah dengan Ibukotanya Gunung Sugih, luas wilayahnya 4.789,82 km2 terdiri dari 28 (dua puluh delapam) kecamatan. 6. Kabupaten Lampung Utara dengan Ibukotanya Kotabumi, luas wilayahnya
2.725,63 km2 terdiri dari 23 (dua puluh tiga) kecamatan.
7. Kabupaten Way Kanan dengan Ibukotanya Blambangan Umpu, luas wilayahnya 3.921,63 km2 terdiri dari 14 (empat belas) kecamatan.
8. Kabupaten Tulangbawang dengan Ibukotanya Menggala, luas wilayahnya 7.770,84 km2 terdiri dari 15 (lima belas) kecamatan.
10.Kabupaten Pringsewu dengan ibukota Pringsewu, luas wilayahnya 625,00 km2 terdiri 8 (delapan) kecamatan.
11.Kabupaten Mesuji dengan ibukota Mesuji, luas wilayahnya 2.184,00 km2 terdiri 7 (tujuh) kecamatan.
12. Kabupaten Tulang Bawang Barat dengan ibukota Panaragan Jaya, luas wilayahnya 1.201,00 km2 terdiri 8 (delapan) kecamatan.
13.Kota Bandar Lampung dengan luas wilayah 192,96 km2 terdiri dari 13 (tiga belas) kecamatan.
14.Kota Metro dengan luas wilayah 61,79 km2 terdiri dari 5 (lima) kecamatan.
Berdasarkan hasil Sensus Penduduk tahun 2010 (SP2010) Penduduk Provinsi Lampung tahun 2010 sebesar 7.608.405 orang dan rata-rata kepadatan
penduduk per Kabupaten/Kota di Provinsi Lampung 216 orang per km2 tahun 2010 berturut - turut adalah Kabupaten Lampung Barat 85, Kabupaten
Tanggamus 196, Kabupaten Lampung Selatan 455, Kabupaten Lampung Timur 219, Kabupaten Lampung Tengah 244, Kabupaten Lampung Utara 214, Kabupaten Way Kanan 104, Kabupaten Tulangbawang 91, Kabupaten
Pringsewu 585, Kabupaten Tulang Bawang Barat 209, Kabupaten Mesuji 86, Kota Bandar Lampung 4.570, dan Kota Metro 2.354 orang per km2.
Beberapa kabupaten di Provinsi Lampung merupakan hasil dari pemekaran wilayah, berikut ini data pemekaran wilayah di Provinsi Lampung:
2. Kabupaten Tanggamus, pemekaran dari Kabupaten Lampung Selatan (3 Januari 1997)
3. Kabupaten Tulang Bawang, pemekaran dari Kabupaten Lampung Utara (3 Januari 1997)
4. Kabupaten Lampung Timur, pemekaran dari Kabupaten Lampung Tengah (20 April 1999)
5. Kota Metro, pemekaran dari Kabupaten Lampung Tengah (20 April 1999) 6. Kabupaten Way Kanan, pemekaran dari Kabupaten Lampung Utara (20
April 1999)
7. Kabupaten Pesawaran, pemekaran dari Kabupaten Lampung Selatan (17 Juli 2007)
8. Kabupaten Mesuji, pemekaran dari Kabupaten Tulang Bawang (29 Oktober 2008)
9. Kabupaten Pringsewu, pemekaran dari Kabupaten Tanggamus (29 Oktober 2008)
10.Kabupaten Tulang Bawang Barat, pemekaran dari Kabupaten Tulang Bawang (29 Oktober 2008)
C.Metode Analisis Data
1. Indeks Williamson
Williamson mengemukakan model Vw (indeks tertimbang terhadap jumlah penduduk) dan Vuw (tidak tertimbang) untuk mengukur tingkat pendapatan perkapita suatu negara pada waktu tertentu (Arsyad, 2010).
Berikut ini adalah formulasi dari indeks ketimpangan daerah yang dikemukakan oleh Williamson :
Vw =
Keterangan :
Vw = Indeks Williamson
fi = Jumlah penduduk kabupaten/kota ke-i (jiwa) n = Jumlah penduduk Lampung (jiwa)
Yi = PDRB per kapita kabupaten/kota ke-i (Rupiah) Y = PDRB per kapita Provinsi Lampung (Rupiah)
Kriteria yang digunakan untuk menentukan tingkat ketimpangan taraf rendah,
sedang atau tinggi. Kriteria yang digunakan adalah sebagai berikut :
a. Ketimpangan taraf rendah, bila indeks ketimpangan kurang dari 0,35
b. Ketimpangan taraf sedang, bila indeks ketimpangan antara 0,35 – 0,50
c. Ketimpangan taraf tinggi, bila indeks ketimpangan lebih dari 0,50
menggunakan Produk Domestik Regional Bruto (PDRB) perkapita sebagai data dasar.
2. Analisis Tipologi Klassen
Menurut Arsyad (2010)alat analisis Klassen Typology (Tipologi Klassen) merupakan suatu teknik sederhana yang digunakan untuk mengetahui gambaran tentang pola dan struktur pertumbuhan ekonomi masing-masing daerah. Tipologi Klassen pada dasarnya membagi daerah berdasarkan dua indikator utama, yaitu pertumbuhan ekonomi daerah dan pendapatan per kapita daerah. Kriteria yang digunakan untuk membagi daerah kabupaten/kota
berdasarkan Tipologi Klassen dalam penelitian kali ini adalah sebagai berikut: 1) Daerah tipe I cepat-maju dan cepat-tumbuh, yaitu daerah yang memiliki
tingkat pertumbuhan ekonomi dan pendapatan per kapita yang lebih tinggi dibanding rata-rata Provinsi Lampung.
2) Daerah tipe II maju tapi tertekan, yaitu daerah yang memiliki pendapatan per kapita lebih tinggi, tetapi tingkat pertumbuhan ekonominya lebih rendah dibanding rata-rata Provinsi Lampung.
3) Daerah tipe III berkembang cepat, yaitu daerah yang memiliki tingkat pertumbuhan tinggi, tetapi tingkat pendapatan per kapita lebih rendah dibanding rata-rata Provinsi Lampung.
Dikatakan tinggi apabila indikator di suatu kabupaten/kota lebih tinggi dibandingkan rata-rata seluruh kabupaten/kota di Provinsi Lampung dan digolongkan rendah apabila indikator di suatu kabupaten/kota lebih rendah dibandingkan rata-rata seluruh kabupaten/kota di Provinsi Lampung.
[image:48.595.117.506.369.603.2]Daerah-daerah yang termasuk kategori relatif tertinggal ditandai oleh pertumbuhan ekonomi yang rendah, tingkat pendapatan yang rendah, dan tingkat pengangguran yang tinggi sehingga daerah-daerah seperti ini tidak mampu bersaing dengan daerah-daerah lainnya dan tidak berperan dalam pertumbuhan ekonomi nasional (Arsyad, 2010).
Gambar 3. Tipologi Klassen untuk Pengidentifikasian Daerah Tertinggal
Menurut Klassen, daerah tertinggal kurang dapat berpartisipasi dalam
pembangunan ekonomi nasional. Daerah-daerah tersebut tidak dapat bersaing dengan daerah-daerah lainnya paling tidak dalam satu cabang industri.
Tingkat pertumbuhan pendapatan daerah dibandingkan dengan tingkat pertumbuhan pendapatan provinsi
Tingkat pendapatan daerah dibandingkan dengan tingkat pendapatan provinsi
Y1 > y Y1 < y
R1 > r
R1 < r
Tipe I Daerah cepat-maju
dan cepat-tumbuh
Tipe II Daerah maju tapi
tertekan
Tipe III Daerah berkembang
cepat
3. Analisis Location Quotient (LQ)
Location Quotient (kuosien lokasi) atau disingkat LQ adalah suatu
perbandingan tentang besarnya peranan suatu sektor atau industri di suatu daerah terhadap besarnya peranan sektor atau industri tersebut secara nasional (Tarigan, 2004).
Selain itu, menurut Arsyad (2010) analisis LQ merupakan suatu pendekatan tidak langsung yang digunakan untuk mengukur kinerja basis ekonomi suatu daerah, artinya bahwa analisis ini digunakan untuk melakukan pengujian sektor-sektor ekonomi yang termasuk dalam kategori sektor unggulan. Dalam teknik ini kegiatan ekonomi suatu daerah dibagi ke dalam dua golongan, yaitu :
1. Kegiatan industri yang melayani pasar di daerah itu sendiri maupun di luar daerah yang bersangkutan. Industri seperti ini dinamakan industri basis. 2. Kegiatan ekonomi atau industri yang hanya melayani pasar di daerah
tersebut, jenis industri ini dinamakan industri non basis atau industri lokal. Rumus menghitung LQ adalah sebagai berikut :
LQ =
Dimana :
xi = nilai tambah sektor i di wilayah yang lebih sempit
PDRBi = Produk Domestik Regional Bruto wilayah yang lebih sempit Xi = nilai tambah sektor i secara Provinsi atau Nasional
Dari perhitungan LQ, dapat ditarik kesimpulan sebagai berikut :
1) Jika nilai LQ > 1, maka sektor tersebut merupakan sektor basis. Sektor tersebut tidak hanya memenuhi kebutuhan di dalam daerah saja namun juga kebutuhan di luar daerah karena sektor ini sangat potensial untuk
dikembangkan.
2) Jika nilai LQ = 1, maka sektor tersebut hanya cukup memenuhi kebutuhan di daerahnya saja.
3) Jika nilai LQ < 1, maka sektor tersebut merupakan sektor non basis dan perlu impor produk dari luar daerah karena sektor ini kurang prospektif untuk dikembangkan.
Menurut Arsyad (2010), ada tiga asumsi yang digunakan dalam teknik LQ ini: 1) Semua penduduk di setiap daerah mempunyai pola permintaan yang sama
dengan pola permintaan pada tingkat nasional (pola pengeluaran secara geografis sama).
2) Produktivitas tenaga kerja sama antara daerah dan nasional.
3) Setiap industri menghasilkan barang yang homogen pada setiap sektor.
1) Static Location Quotient (SLQ)
SLQ merupakan metode LQ yang sering digunakan. Kelemahan SLQ adalah bahwa kriteria ini bersifat statis, artinya hanya memberikan gambaran pada satu titik waktu tertentu saja.
Rumus untuk menghitung SLQ adalah sebagai berikut :
SLQ =
Dimana:
Vik = Nilai output (PDRB) sektor i daerah studi k (kabupaten/kotamadya) dalam pembentukan produk domestik regional riil (PDRB) daerah studi k.
Vk = PDRB total semua sektor di daerah studi k.
Vip = Nilai output (PDRB) sektor i daerah refrensi p (propinsi misalnya) dalam pembentukan PDRB daerah p.
Vp = PDRB total di semua sektor daerah refrensi p.
Kemungkinan nilai SLQ yang diperoleh adalah:
SLQ > 1 : ini berarti daerah studi (kabupaten) memiliki spesialisasi disektor i dibandingkan sektor yang sama di tingkat daerah referensi (provinsi).
SLQ < 1 : ini berarti sektor i bukan merupakan spesialisasi daerah studi (kabupaten) dibandingkan sektor yang sama di tingkat daerah referensi (propinsi).
Karena kelemahan yang dimiliki oleh kriteria LQ statis ini, maka sebagai alternatifnya dikembangkan metode LQ yang dinamis atau Dynamic Location Quotient (DLQ) (Rahmawati, 2006).
2) Dynamic Location Quotient (DLQ)
Dinamic Location Quotient (DLQ) sebenarnya memiliki prinsip yang sama dengan LQ statis, hanya untuk mengintroduksikan laju pertumbuhan digunakan asumsi bahwa nilai tambah sektoral maupun PDRB mempunyai rata-rata laju pertumbuhan sendiri-sendiri selama kurun waktu antara tahun (0) sampai tahun (t). Sedangkan formula untuk DLQ adalah :
DLQij =
Dimana:
IPPSij = indeks potensi perkembangan sektor i didaerah j
IPPSi = indeks potensi perkembangan sektor i di wilayah referensi gij = laju pertumbuhan sektor i didaerah j
Gi = laju pertumbuhan sektor i di wilayah referensi gj = rata-rata laju pertumbuhan di daerah j
G = rata-rata laju pertumbuhan di wilayah referensi
Penafsiran DLQ sebenarnya masih sama dengan LQ, kecuali perbandingan ini lebih menekankan pada laju pertumbuhan. Jika DLQ = 1 berarti laju
DLQ < 1, berarti proporsi laju pertumbuhan sektor (i) terhadap laju pertumbuhan PDRB daerah (j) lebih rendah dibandingkan proporsi laju pertumbuhan sektor tersebut terhadap PDRB wilayah referensi. Sebaliknya, jika DLQ berarti proporsi laju pertumbuhan sektor (i) terhadap PDRB daerah (j) lebih cepat dibandingkan dengan proporsi laju pertumbuhan sektor tersebut terhadap PDRB wilayah referensi.
4. Analisis Shift-Share
Arsyad (2010) menjelaskan pada dasarnya analisis shift-share menggambarkan kinerja dan produktivitas sektor-sektor dalam perekonomian suatu wilayah dengan membandingkannya dengan kinerja sektor-sektor wilayah yang lebih besar (provinsi/nasional). Analisis ini membandingkan laju pertumbuhan sektor-sektor ekonomi regional (kota/kabupaten) dengan laju pertumbuhan perekonomian yang lebih tinggi tingkatannya (provinsi). Analisis ini
memberikan data tentang kinerja perekonomian dalam tiga bidang yang saling berhubungan satu sama lain, yaitu :
1) Pertumbuhan ekonomi daerah diukur dengan menganalisis perubahan kesempatan kerja agregat secara sektoral dibandingkan dengan perubahan pada sektor yang sama di perekonomian yang dijadikan acuan.
2) Pergeseran proporsional (proportional shift) mengukur perubahan relatif, pertumbuhan atau penurunan, pada daerah dibandingkan dengan
3) Pergeseran diferensial (differential shift) membantu dalam menentukan seberapa jauh daya saing industri daerah (lokal) dengan perekonomian yang dijadikan acuan.
Bentuk umum dari persamaan shift-share adalah sebagai berikut:
Dij = Nij + PP + PPW...(1)
Nij = Eij x Ra...(2)
PP = (Ri-Ra) x Eij...(3)
PPW = (ri-Ra) x Eij...(4) Keterangan :
Dij = perubahan suatu variabel regional sektor (i) di kabupaten dalam kurun waktu tertentu.
Nij = pengaruh pertumbuhan ekonomi Provinsi Lampung terhadap perekonomian kabupaten/kota.
PP = pertumbuhan proporsional atau pengaruh bauran industri PPW = pertumbuhan pangsa wilayah
Eij = PDRB sektor (i) kabupaten pada awal tahun periode
5. Analisis Model Rasio Pertumbuhan
Dalam penelitian ini, komponen MRP yang digunakan hanya rasio pertumbuhan wilayah (RPs). Rumusnya adalah sebagai berikut :
Rasio Pertumbuhan Wilayah Kabupaten (RPs) =
Keterangan :
ΔYij = Yij(t+1) - Yij(t) adalah perubahan PDRB Kabupaten di sektor i
Yij(t) = PDRB Kabupaten di sektor i tahun awal periode penelitian.
ΔYj = Yj(t+1)– Yj(t) perubahan PDRB Kabupaten.
Yj(t) = PDRB Kabupaten pada tahun awal periode penelitian.
6. Analisis Overlay
Metode ini digunakan untuk menentukan sektor unggulan dengan
menggabungkan beberapa alat analisis. Dalam penelitian ini, analisis overlay menggabungkan tiga analisis yaitu Location Quotient (LQ), analisis Shift-Share dan Model Rasio Pertumbuhan (MRP). Tujuan dari analisis overlay ini adalah untuk melihat deskripsi kegiatan ekonomi yang potensial berdasarkan kriteria kontribusi (analisis Location Quotient), kriteria pertumbuhan (analisis shift-share) dan kriteria rasio pertumbuhan wilayah (analisis MRP).
V. KESIMPULAN DAN SARAN
A. Kesimpulan
Berdasarkan hasil penelitian dan pembahasan, maka dapat ditarik kesimpulan sebagai berikut:
1. Hasil perhitungan terhadap ketimpangan antar wilayah menunjukan bahwa tingkat ketimpangan antar kabupaten/kota di Provinsi Lampung berada pada kategori rendah dengan nilai indeks Williamson pada tahun 2006-2010 yang berkisar antara 0,20-0,23.
2. Terdapat empat kabupaten di Provinsi Lampung yang masuk kedalam kategori tertinggal. Keempat wilayah tersebut adalah Kabupaten Tanggamus, Kabupaten Lampung Timur, Kabupaten Way Kanan dan Kabupaten Way Kanan.
3. Hasil analisis sektor unggulan terhadap Kabupaten Tanggamus yang menunjukan bahwa tidak ada satupun sektor perekonomian di Kabupaten Tanggamus yang berkencenderungan surplus, tumbuh dominan, dan progresif. Hanya sektor pertanian dan jasa-jasa yang memiliki kriteria surplus dan sektor pertambangan dan penggalian yang memiliki kriteria tumbuh dominan.
yang memiliki kecenderungan surplus, tumbuh dominan dan progresif adalah sektor perdagangan, hotel dan restoran. Sementara itu, sektor pertanian dan sektor pertambangan merupakan sektor potensial yang layak dikembangkan karena memiliki kriteria surplus dan tumbuh dominan.
5. Hasil analisis sektor unggulan terhadap Kabupaten Way Kanan
B.Saran
Mengacu pada hasil penelitian yang telah dilakukan dapat diberikan saran dan
masukan sebagai bahan pertimbangan bagi penelitian dan pembangunan pada
Perekonomian Provinsi Lampung, yaitu sebagai berikut :
1. Secara keseluruhan perekonomian Provinsi Lampung ditunjang oleh sektor
utama yaitu sektor pertanian, namun selama periode penelitian kontribusi
sektor pertanian semakin menurun dikarekan meningkatnya kontribusi selain
sektor primer tersebut yaitu sektor perdagangan, hotel dan restoran serta sektor
industri pengolahan. Oleh karena itu, pemerintah daerah melalui dinas-dinas
yang terkait perlu melakukan kebijakan dalam hal pengembangan sektor
sekunder dan tersier yang dimiliki sehingga sektor tersebut bisa berkembang di
masa mendatang.
2. Perhitungan terhadap tiga kabupaten yang masuk ke dalam kategori tertinggal
menunjukan jika sektor pertanian merupakan sektor yang selalu mendominasi
pada perekonomian tiap kabupaten tersebut. Maka, pemerintah tiap-tiap
kabupaten melalui dinas pertanian setempat diharapkan merumuskan strategi
pengembangan daerah yang paling menguntungkan untuk diterapkan dimasa
mendatang, yakni dengan mengutamakan kegiatan unggulan sesuai dengan
potensi masing-masing.
3. Diharapkan pemerintah juga fokus dalam pembangunan sarana dan prasarana
tiap-tiap wilayah seperti infrastruktur dan sebagainya karena tanpa
DAFTAR PUSTAKA
Arsyad, Lincolin. 1999. Pengantar Perencanaan dan Pembangunan Ekonomi Daerah. Yogyakarta: Bagian Penerbitan STIE YKPN.
Arsyad, Lincolin. 2010. Ekonomi Pembangunan. Yogyakarta: Bagian Penerbitan STIE YKPN.
Adisasmita, Rahardjo. 2013. Teori-Teori Pembangunan Ekonomi. Yogyakarta: Graha Ilmu.
Dumairy, M. A. 1996. Perekonomian Indonesia. Jakarta: Erlangga.
Erawati, Ni Komang dan I Nyoman Mahendra. 2011. Analisis Pola Pertumbuhan Ekonomi dan Sektor Potensial Kabupaten Klungkung. Jurnal Ekonomi Pembangunan.
Jhingan, M. L. 2012. Ekonomi Pembangunan dan Perencanaan. Jakarta: Rajawali Press.
Hidayati, A. Roziana. 2008. Analisis Ketimpangan Ekonomi antar Kecamatan di Kabupaten Gresik. Jurnal Ekonomi Pembangunan.
Kuncoro, Mudrajad. 2004. Otonomi dan Pembangunan Daerah. Yogyakarta: Erlangga.
Oktafilia, Shanty. 2011. Pengembangan Potensi Ekonomi Lokal Daerah
Tertinggal Sebagai Upaya Mengatasi Disparitas Pendapatan di Provinsi Jawa Tengah. Jurnal Ekonomi Pembangunan Universitas Negeri
Semarang.
Purba, F. Elvis. 2009. Sektor Unggulan Dan Potensil Enam Kabupaten Pantai Timur Sumatera Utara. Laporan Hasil Penelitian, Medan: Fakultas Ekonomi, Universitas Sumatera Utara, Medan.
Rahmawati, Farida. 2006. Analisa Kinerja Sektoral Perekonomian Jawa Timur (Studi Perencanaan Regional: Model Kebijakan Prioritas Sektoral). Jurnal Keuangan dan Perbankan.
Restiatun, 2009. Identifikasi Sektor Unggulan dan Ketimpangan Antar kabupaten/Kota Di Provinsi Daerah Istimewa Yogyakarta. Jurnal Ekonomi dan Studi Pembangunan.
Richardson, H. W. 2001. Dasar-dasar Ilmu Ekonomi Regional. Jakarta: Lembaga Penerbit FE-UI.
Sukirno, Sadono. 1985. Ekonomi Pembangunan. Jakarta : Lembaga Penerbit Fakultas Ekonomi Universitas Indonesia.
Sutrisno, Adi. 2012. Analisis Ketimpangan Pendapatan Dan Pengembangan Sektor Unggulan Di Kabupaten Dalam Kawasan Barlingmascakeb Tahun 2007-2010. Jurnal Analisis Ekonomi Pembangunan.
Tarigan, Robinson, 2004. Ekonomi Regional, Medan: Bumi Aksara.