• Tidak ada hasil yang ditemukan

PERSPEKTIF HAKIM TERHADAP PENGAJUAN ALAT BUKTI ELEKTRONIK DALAM PEMBUKTIAN PERKARA PERDATA DI PENGADILAN NEGERI KALIANDA

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2017

Membagikan "PERSPEKTIF HAKIM TERHADAP PENGAJUAN ALAT BUKTI ELEKTRONIK DALAM PEMBUKTIAN PERKARA PERDATA DI PENGADILAN NEGERI KALIANDA"

Copied!
136
0
0

Teks penuh

(1)

ABSTRACT

Development and advancement of information technology are marked with the widespread use of interconnected network technological tools or the internet. Activity in cyber space is a virtual activity that have real impact despite the evidence is purely electronic appliance. The use of electronics as a form of development of science and technology becomes the philosophy of the establishment of the Law No. 11 Year 2008 on Information and Electronic Transactions (hereinafter referred to as UU ITE).

The issues will be lifted in this thesis are about: 1) Position, legal force and application of the use of electronic evidence regulated in UU ITE in civil cases; 2) the Judge perspectives of Kalianda District Court on electronic evidence submitted by the parties in civil cases; 3) the cause of difference reasons on Judge perspectives of Kalianda District Court and how the attitude of judge ought to dealing with electronic evidences submitted by the parties.

Writing of thesis is using normative-empirical approach and the research can be define as applied research. Source of data used in thesis are primary data and secondary data. Legal materials form of thesis consist of primary, secondary and tertiary legal materials.

The result of this research are 1) the tools evidence in the proving process of civil law in Indonesia is set up in Herzine Indonesische Reglement (HIR) and Rechtreglement Voor de Buitengewesten (RBg). The electronic evidences as valid and recognized evidences are arranged by Article 5 paragraph (1) and (2) UU ITE. Those evidences are the extension of the evidences set out in the HIR and RBg. 2) Regarding to the Judge perspectives of Kalianda District Court in accepting electronic evidences submitted by the parties in a civil case there are any perspective difference. 3) The cause of the difference in perspective of the Judge because any differences of: a. perspective on the electronic evidences submission; b. perspectives on the parties who submitting the electronic evidences; c. perspective of the expert witnesses proposed by the parties. The difference of the perspective on electronic evidences presented by the parties at the trial can be solved by Judge by using extensive interpretation method, it means to interpret the electronic evidences regulated by UU ITE, because those are the extension of the HIR/RBg.

Suggestions to: 1) the judge and the parties are to increase knowledge and insights regarding electronic evidence in accordance to UU ITE, 2) the government and parliament are updating the Civil Code, HIR / RBg mainly on the evidence, 3) the judge if there is a difference in perspective against the submission of electronic evidence, it must find the way out by looking at the legal principles, doctrines and legal theories.

(2)

ABSTRAK

Perkembangan dan kemajuan teknologi informasi ditandai antara lain dengan maraknya penggunaan sarana teknologi interconnected network atau internet. Kegiatan dalam ruang siber adalah kegiatan virtual yang berdampak sangat nyata meskipun alat buktinya bersifat elektronik. Penggunaan elektronik sebagai bentuk perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi inilah yang menjadi landasan filosofi dibentuknya Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik (selanjutnya disebut dengan UU ITE).

Permasalahan yang diangkat dalam penulisan tesis ini adalah mengenai: 1) Kedudukan, kekuatan hukum dan penerapan penggunaan alat bukti elektronik yang diatur dalam UU ITE dalam perkara perdata; 2) Perspektif Majelis Hakim Pengadilan Negeri Kalianda terhadap alat bukti elektronik yang diajukan para pihak dalam perkara perdata; 3) Sebab terjadinya perbedaan perspektif oleh Majelis Hakim Pengadilan Negeri Kalianda dan bagaimana seharusnya sikap Majelis Hakim dalam menyikapi alat bukti elektronik yang diajukan oleh para pihak tersebut.

Penulisan tesis mempergunakan metode pendekatan normatif-empiris dan merupakan penelitian terapan (applied research). Sumber data yang dipergunakan berupa data primer dan data sekunder, serta bahan hukum terdiri atas bahan hukum primer, bahan hukum sekunder dan bahan hukum tersier.

Hasil dari penelitian ini adalah 1) Bahwa alat bukti dalam pembuktian hukum perdata di Indonesia diatur Herzine Indonesische Reglement (HIR) dan Rechtreglement Voor de Buitengewesten (RBg). Alat bukti elektronik sebagai alat bukti yang sah dan diakui keberadaannya diatur dalam Pasal 5 ayat (1) dan (2) UU ITE. Alat bukti tersebut merupakan perluasan dari alat bukti yang diatur dalam HIR dan RBg. 2) Mengenai Perspektif Majelis Hakim Pengadilan Negeri Kalianda dalam menerima alat bukti elektronik yang diajukan oleh para pihak pada perkara perdata terjadi perbedaan perspektif. 3) Penyebab perbedaan perspektif Majelis Hakim karena adanya perbedaan: a. perspektif terhadap pengajuan alat bukti elektronik; b. perspektif terhadap para pihak yang mengajukan alat bukti elektronik; c.perspektif terhadap saksi ahli yang diajukan oleh para pihak. Perbedaan perspektif terhadap alat bukti elektronik yang diajukan di persidangan dapat diselesaikan oleh hakim dengan menggunakan metode interpretasi ekstensif.

Saran penulisan ini ditujukan kepada: 1) hakim dan para pihak yang beperkara adalah meningkatkan pengetahuan dan wawasannya mengenai alat bukti elektronik sesuai UU ITE, 2) pemerintah dan DPR adalah memperbarui KUHPerdata, HIR/RBg terutama mengenai alat bukti, 3) hakim apabila ada perbedaan perspektif terhadap pengajuan alat bukti elektronik, maka harus dicari jalan keluarnya dengan melihat pada asas-asas hukum, doktrin dan teori-teori hukum.

(3)

PERSPEKTIF HAKIM TERHADAP PENGAJUAN ALAT BUKTI ELEKTRONIK DALAM PEMBUKTIAN PERKARA PERDATA DI

PENGADILAN NEGERI KALIANDA

Oleh:

HAPPY TRY SULISTIYONO NPM: 1322011071

Tesis

Diajukan Sebagai Salah Satu Syarat untuk Memperoleh Derajat MAGISTER HUKUM

Pada

Jurusan Sub Program Hukum Bisnis Program Pascasarjana Magister Hukum

Universitas Lampung

PROGRAM STUDI MAGISTER HUKUM PROGRAM PASCASARJANA FAKULTAS HUKUM

UNIVERSITAS LAMPUNG 2014

(4)

PERSPEKTIF HAKIM TERHADAP PENGAJUAN ALAT BUKTI ELEKTRONIK DALAM PEMBUKTIAN PERKARA PERDATA

DI PENGADILAN NEGERI KALIANDA

(Tesis)

Oleh :

HAPPY TRY SULISTIYONO NPM : 1322011071

PROGRAM MAGISTER HUKUM

PROGRAM PASCASARJANA FAKULTAS HUKUM UNIVERSITAS LAMPUNG

(5)

xiv DAFTAR ISI

Abstract ………... i

Abstrak ……….... ii

Halaman Sampul ………. iii

Halaman Persetujuan ……….. iv

Halaman Pengesahan ………. v

Halaman Pernyataan ……….. vi

Riwayat Penulis ………... vii

Halaman Persembahan ……….. ix

Halaman Motto ……….. x

Kata Pengantar ……….. xi

Daftar Isi ………... xiv

BAB I PENDAHULUAN ………. 1

A. Latar Belakang ……… 1

B. Masalah dan Ruang Lingkup ……….. 9

1. Masalah ……..…..………... 9

2. Ruang Lingkup ..……….... 9

C. Tujuan dan Kegunaan Penelitian ……….... 10

1. Tujuan Penelitian ……….. 10

2. Kegunaan Penelitian ………...……….. 10

D. Kerangka Pemikiran ……… 12

1. Kerangka Teori ………. 12

2. Kerangka Konseptual ……… 17

E. Metode Penelitian ……… 20

1. Pendekatan Masalah ……….………... 20

2. Jenis Penelitian dan Sumber Data ………. 22

(6)

xv

b. Sumber Data dan Bahan Hukum ………. 22

1) Sumber Data ……….. 22

2) Sumber Bahan Hukum ………... 23

3. Teknik Pengumpulan Data ……… 24

a. Teknik Pengumpulan Data ………. 24

b. Pengolahan Data ………. 25

c. Analisis Data ……….. 25

F. Sistematika Penulisan ………. 27

BAB II TINJAUAN PUSTAKA ……….. 28

A. Pembuktian Dalam Hukum Acara Perdata di Indonesia ……… 28

1. Pengertian Pembuktian ………. 28

2. Teori Kekuatan Pembuktian Suatu Alat Bukti ………... 30

3. Asas-asas Hukum Pembuktian ………... 33

4. Teori Beban Pembuktian ……….. 36

B. Alat Bukti Dalam Perkara Perdata ………. 41

1. Surat/ alat bukti tulisan ………. 45

2. Saksi ……….. 52

3. Persangkaan ……….. 57

4. Pengakuan ………. 59

5. Sumpah ……….. 60

6. Alat Bukti Tambahan ……… 62

a. Pemeriksaan Setempat/ (Plaatselijke onderzoek/ local investigation) ………... 62

b. Keterangan Ahli/Saksi Ahli ………... 63

(7)

xvi BAB III KEDUDUKAN, KEKUATAN HUKUM DAN PENERAPAN

PENGGUNAAN ALAT BUKTI ELEKTRONIK YANG DIATUR

DALAM UU ITE DALAM PERKARA PERDATA………...…… 74

A. Latar Belakang Penerbitan Undang-Undang No. 11 Tahun 2008 Tentang Informasi dan Transaksi Elektronik ………. 74

B. Macam-Macam Alat Bukti Elektronik Menurut UU ITE ……….. 76

C. Aspek Hukum Pembuktian Terhadap Alat Bukti Elektronik …………. 83

1. Aliran Mahzab Hukum tentang Perkembangan Transaksi Elektronik ……….. 83

a. Mahzab Klasik ……… 83

b. Mahzab Modernis atau Radikal ……….. 84

c. Mahzab Kompromistis ……… 84

2. Sistem Pembuktian Informasi, Dokumen, dan Tanda Tangan Elektronik ………. 86

D. Hambatan Penerapan UU ITE dalam Penegakan Hukum Acara Perdata ……… 95

1. Hambatan Substansi UU ITE ……… 95

2. Hambatan Hukum di Luar UU ITE ………... 96

3. Hambatan Teknologi ………. 97

4. Hambatan Sosial Budaya ……….. 98

5. Hambatan Stabilitas Finansial dan Keamanan ……….. 99

6. Hambatan Pemahaman UU ITE oleh Aparat Penegak Hukum .. 100

7. Hambatan dalam Pembuktian pada Persidangan …………... 101

(8)

xvii BAB IV ANALISIS PERSPEKTIF MAJELIS HAKIM PENGADILAN

NEGERI KALIANDA TERHADAP ALAT BUKTI ELEKTRONIK, SEBAB TERJADINYA PERBEDAAN PERSPEKTIF DAN SIKAP SEHARUSNYA MAJELIS HAKIM DALAM MENYIKAPI ALAT BUKTI ELEKTRONIK YANG

DIAJUKAN OLEH PARA PIHAK ………. 108

A. Perspektif Majelis Hakim Pengadilan Negeri Kalianda Terhadap Alat Bukti Elektronik Yang Diajukan Para Pihak Dalam Perkara Perdata … 108

B. Analisis Terjadinya Perbedaan Perspektif oleh Majelis Hakim pada Pengadilan Negeri Kalianda Terhadap Alat Bukti Elektronik yang Diajukan oleh Para Pihak ……….. 124

1. Perspektif terhadap pengajuan alat bukti elektronik ……… 127

2. Perspektif terhadap para pihak yang mengajukan alat bukti Elektronik ………. 132

3. Perspektif terhadap saksi ahli yang diajukan oleh para pihak …….. 136

C. Sikap Seharusnya Majelis Hakim dalam Menyikapi Alat Bukti Elektronik yang Diajukan Oleh Para Pihak ……… 142

BAB V PENUTUP ………... 148

A. Kesimpulan ………. 148

B. Saran ……… 149

DAFTAR PUSTAKA ……….. 151

Lampiran-lampiran:

1. Perbandingan alat bukti dalam KUHPerdata, HIR/RBg dan UU ITE

(9)
(10)
(11)
(12)
(13)
(14)
(15)

ix  

PERSEMBAHAN

Seraya mengucap syukur kepada Illahi Rabbi, dengan segala kerendahan hati, kupersembahkan karya ini untuk:

- Kedua orang tuaku yang telah melimpahkan kasih sayangnya, doa dan pengorbanan yang tiada henti. Semoga Allah SWT senantiasa melimpahkan rahmat, karunia dan kasih sayang kepadanya serta memberikan ketenangan di alam penantian di sana.

- Kakak-kakakku, adik-adikku, Papa Mama, ipar-iparku yang tercinta, keluarga besar Joyo Sumarto dan Soemo Ooejoto yang telah mendukung dan mendoakan penulis untuk dapat melanjutkan dan menyelesaikan studi dengan baik di Universitas Lampung ini.

- Persembahan karya ini, penulis persembahkan khususnya untuk istri tercinta, Nina Riri Rahma Kurnia Puspita Sari, SE dan putriku Nur Afiqah Dealova Putri Sulistiyono yang selalu memberi motivasi, bantuan, semangat untuk belajar dan setia menemani dikala penulis menempuh kuliah di Universitas Lampung.

(16)

x  

MOTTO

“Bacalah dengan nama Tuhanmu yang menciptakan. Dia telah menciptakan manusia dari segunmpal darah. Bacalah, dan Tuhanmulah Yang Maha Pemurah. Yang mengajar dengan Qalam. Dialah yang mengajar manusia segala yang belum

diketahui” (Q.S Al-‘Alaq 1-5).

(17)

vii  

RIWAYAT HIDUP

Penulis dilahirkan di Purworejo, pada tanggal 12 Mei 1981, merupakan putra keempat dari tujuh bersaudara pasangan (Alm) H. Waris Susianto dan (Almh) Saminten. Jenjang pendidikan formal yang telah dilalui penulis dimulai dari Pendidikan Sekolah Dasar Muhammadiyah Kutoarjo (1987-1993), Sekolah Menengah Pertama 1 Kutoarjo (1993-1999) dan Sekolah Menengah Atas 1 Purworejo (1996-1999). Pada tahun 1999, Penulis melanjutkan pendidikan di Fakultas Hukum Universitas Padjadjaran Bandung dengan mengambil program kekhususan Hukum Internasional dan selesai pada bulan November 2003.

Pada tahun 2004, Penulis bergabung di Aditomo, Ariyanto, Perihantono Law Firm, sebuah kantor hukum di Jakarta dan berposisi sebagai Junior Lawyer, kemudian di tahun yang sama, Penulis bekerja di salah satu perusahaan sekuritas ternama yang menduduki Top Five Securities Companies yaitu PT. Trimegah Securities, Tbk. sebagai Legal Officer sampai dengan tahun 2005.

(18)

viii  

Maret 2012. Penulis dimutasi ke Pengadilan Negeri Kalianda dan aktif bekerja dari 01 April 2012 hingga sekarang.

(19)

1

BAB I PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Sebelum era digital/elektronik muncul, cara penjual dan pembeli mengadakan

suatu transaksi bisnis yaitu dengan sistem “bertemu langsung” (face to face). Cara

ini masih banyak dilakukan dan dianggap sebagai bisnis yang sebenarnya karena

dilakukan secara tunai atau dapat disebut juga cash on delivery (COD), karena

selain menjamin rasa aman untuk pembayaran, pembeli dapat melihat dan

meneliti kualitas barang yang akan diperjualbelikan. Permasalahan terjadi ketika

barang tersebut berupa benda yang besar; benda mati yang tidak dapat

dipindahkan atau barang yang jumlah dan pembayarannya besar; antara penjual

dan pembeli berada di tempat yang berlainan bahkan di negara berbeda; hal ini

menimbulkan permasalahan untuk melakukan transaksi cash and carry dan tidak

mungkin dilakukan di tempat yang sama.

Perkembangan dan kemajuan teknologi informasi ditandai antara lain dengan

maraknya penggunaan sarana teknologi interconnected network atau internet.

Ketika dunia komunikasi berkembang yang kemudian disertai dengan hadirnya

internet, maka dapat dilihat dampak yang luar biasa akan kehadiran internet

tersebut, jarak dan waktu seolah bukan lagi menjadi penghalang untuk

berkomunikasi dan melakukan aktivitas-aktivitas percakapan, bisnis dan lain

sebagainya. Melalui media elektronik, masyarakat memasuki dunia maya yang

bersifat abstrak, universal, lepas dari keadaan, tempat dan waktu.1 Hal ini

1

(20)

2 berpengaruh pula pada perbuatan hukum yang tidak lagi dilakukan secara konkret,

kontan, dan komunal.2 Dalam sektor bisnis misalnya, pemanfaatan sistem

informasi akan membantu dan meningkatkan kinerja.3 Penggunaan sistem dan alat

elektronik telah menciptakan suatu cara pandang baru dalam menyikapi

perkembangan teknologi yaitu perubahan paradigma dari paper based menjadi

electronic based. Pada perkembangannya, electronic based semakin diakui

keefisienannya, baik dalam hal pembuatan, pengolahan, maupun dalam bentuk

penyimpanannya.4

Globalisasi di bidang telematika bersifat radikal dan seakan memaksa masyarakat

untuk selalu up to date.5 Pemanfaatan teknologi informasi dalam kegiatan yang

berbasis elektronik, seperti transaksi bisnis melalui telephone,

handphone/smartphone, mesin faximile, mobile banking, internet banking,

e-commerce, dan lain sebagainya ternyata belum diikuti dengan perkembangan

hukum yang dapat mengikuti percepatan kemajuan teknologi komunikasi dan

informasi. Sering kita dengar adagium bahwa hukum selalu tertinggal dengan

perkembangan masyarakat, akan tetapi, dalam teori hukum dikenal “hukum

sebagai alat pembaharuan sosial” (law as a tool of social engineering), hukum

harus dapat digunakan untuk memberikan jalan terhadap perkembangan yang

2

Yudha Bhakti Ardhiwisastra, 2000. Penafsiran dan Konstruksi Hukum (Bandung: Penerbit PT. Alumni), hlm 55.

3

Rini Handayani, Analisis Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Minat Pemanfaatan Sistem Informasi dan Penggunaan Sistem Informasi (Studi Empiris Pada Perusahaan Manufaktur di Bursa Efek). Jurnal Akuntansi dan Keuangan, Vol. 9 No. 2. Bulan November 2007, hlm. 83.

4

Edmon Makarim, 2005. Pengantar Hukum Telematika, Cetakan I (Jakarta: Raja Grafindo Persada), hlm. 4.

5

(21)

3 terjadi di masyarakat, terutama perkembangan-perkembangan di bidang teknologi.

Hukum seharusnya berfungsi sebagai sarana pembaruan (pembangunan)

masyarakat, hukum harus berkembang pula seiring dengan lajunya

pembangunan/perkembangan di segala bidang kehidupan.6

Bentuk nyata dari perbuatan hukum yang dilaksanakan melalui sistem elektronik

saat ini sangat beraneka ragam salah satu contoh adalah seperti kegiatan berkirim

e-mail. Kasus-kasus pembobolan ATM baik langsung maupun melalui internet,

pencurian data perusahaan, carding kartu kredit, pencurian pulsa handphone,

sampai dengan praktik prostitusi dan judi online merupakan efek negatif dari

adanya teknologi informasi. Ibaratnya teknologi informasi saat ini menjadi pedang

bermata dua, karena selain memberikan kontribusi bagi peningkatan

kesejahteraan, kemajuan dan peradaban manusia, sekaligus menjadi sarana efektif

dalam melakukan perbuatan melawan hukum.7

Kegiatan melalui sistem elektronik yang menggunakan ruang siber (cyber space)

bersifat virtual, dalam perkembangannya saat ini dapat dikategorikan sebagai

tindakan atau perbuatan hukum yang nyata. Secara yuridis, kegiatan pada ruang

siber tidak dapat didekati dengan ukuran dan kualifikasi hukum konvensional saja,

sebab jika cara ini ditempuh akan terlalu banyak kesulitan dan hal yang lolos dari

pemberlakuan hukum. Kegiatan dalam ruang siber adalah kegiatan virtual yang

6

Mochtar Kusumaatmadja, 1986, Pembinaan Hukum dalam Rangka Pembangunan Nasional, Lembaga Penelitian Hukum dan Kriminologi Fakultas Hukum Universitas Padjadjaran, (Bandung: Binacipta), hlm. 3.

7

Siswanto Sunarso, 2009. Hukum Informasi dan Transaksi Elektronik: Studi Kasus “Prita

(22)

4 berdampak sangat nyata meskipun alat buktinya bersifat elektronik. Dengan

perluasan alat bukti maka subjek pelakunya dapat dikualifikasikan sebagai orang

yang telah melakukan perbuatan hukum secara nyata.8

Permasalahan yang lebih luas terjadi pada bidang keperdataan, karena transaksi

elektronik untuk kegiatan perdagangan melalui sistem elektronik (electronic

commerce) telah menjadi bagian dari perniagaan nasional dan internasional.

Kenyataan ini menunjukkan bahwa konvergensi di bidang teknologi informasi,

media, dan informatika (telematika) berkembang terus tanpa dapat dibendung,

seiring dengan ditemukannya perkembangan baru di bidang teknologi informasi,

media, dan komunikasi.9

Perkembangan teknologi dapat meningkatkan tindakan pelanggaran norma-norma

keperdataan, baik itu pelanggaran norma kontrak (wanprestasi) maupun

pelanggaran norma hukum atau perbuatan melanggar hukum. Sudah seharusnya

peraturan juga ditingkatkan sesuai dengan berkembangnya kemajuan teknologi

yang ada, terutama dalam hal pengajuan alat bukti yang digunakan sebagai sarana

pembuktian di pengadilan. Terkait dengan hukum pembuktian biasanya akan

memunculkan sebuah posisi dilema, di salah satu sisi diharapkan agar hukum

dapat mengikuti perkembangan zaman dan teknologi, di sisi yang lain perlu juga

pengakuan hukum terhadap berbagai jenis-jenis perkembangan teknologi digital

8

Clara Lintang Parica, 2009. Keterkaitan Arsip Elektronik Sebagai Alat Bukti Sah di Pengadilan (Yogyakarta: Badan Perpustakaan dan Arsip DIY), hlm. 3.

9

(23)

5 untuk berfungsi sebagai alat bukti di pengadilan.10 Oleh karena itu diperlukan

kehadiran hukum yang dapat menjangkau permasalahan pelanggaran-pelanggaran

yang terjadi di dunia maya, karena hukum positif yang ada belum dapat

menjangkau hal-hal tersebut.11 Perlu dibentuknya Hukum Acara baru sebagai

pengganti hukum acara perdata yang sekarang karena Hukum Acara Perdata yang

berlaku merupakan peninggalan Belanda yang sudah usang dan tidak mampu lagi

mengakomodasi perkembangan alat bukti pada saat ini.

Penggunaan elektronik sebagai bentuk perkembangan ilmu pengetahuan dan

teknologi inilah yang menjadi landasan filosofi dibentuknya Undang-Undang

Nomor 11 Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik (selanjutnya

disebut dengan UU ITE). Penggunaan elektronik sudah sedemikian rupa, mulai

dari aktifitas keuangan sampai dengan aktifitas lainnya yang sifatnya

menghasilkan informasi dan bersifat transaksional dimana alat elektronik adalah

hal yang semakin hari semakin vital.12

Sejak disahkan oleh rapat paripurna DPR-RI pada tanggal 25 Maret 2008, UU ITE

terus ramai dibicarakan, bahkan sampai dengan saat ini, mengingat begitu luas

dan kompleksnya permasalahan yang termuat dalam UU ITE. UU ITE bukan

hanya menjadi bahan kajian bagi orang hukum semata, tetapi juga mereka yang

berhubungan langsung dengan dunia teknik, informasi, bisnis dan lain sebagainya.

Law di Indonesia. PPH Newsletter No.49/XIII/Juni 2002, hlm. 36.

12

(24)

6 Kajian yang dilakukan bukan hanya kajian secara teoritis tetapi juga secara

praktik, karena ternyata antara kajian secara teoritis dan di dunia praktik yang

nyata banyak terjadi perbedaan dan menimbulkan permasalahan.

Pada awalnya alat bukti elektronik dalam perkara perdata tidak dikenal, dalam

Het Herziene Indonesisch Reglemen (HIR), Rechtreglement Buitengewesten

(RBg.), KUHPerdata (Kitab Undang-Undang Hukum Perdata) diatur secara

limitatif mengenai alat bukti dalam perkara perdata. Teori-teori tentang alat bukti

tersebut sangat beragam dan luas, dan dalam praktiknya pun masih dipergunakan

sampai dengan sekarang. Permasalahan yang timbul kemudian adalah setelah UU

ITE dinyatakan berlaku, para ahli hukum maupun ahli-ahli lain yang berhubungan

dengan informasi dan transaksi elektronik berupaya mengembangkan teori tentang

alat bukti elektronik yang seperti apa yang dimaksud oleh UU ITE dan bagaimana

dengan penerapannya dalam praktik pembuktian perkara perdata.

Di dalam praktik peradilan, sikap hakim dalam memandang suatu alat bukti dalam

perkara perdata adalah berpedoman kepada HIR, RBg dan KUHPerdata, namun

setelah diundangkannya UU ITE, maka sikap hakim dalam memandang suatu alat

bukti dokumen elektronik dapat beragam, yaitu:13

Ada yang berpendapat, bahwa alat bukti dokumen elektronik sebagai alat bukti

sah adalah sebagai tambahan alat bukti konvensional dalam Hukum Acara.

13Minanoer Rachman, Seminar Nasional: “

(25)

7 Namun ada juga yang berpendapat, bahwa dokumen elektronik adalah sebagai alat

bukti pendamping yang harus didukung dengan alat bukti lain untuk menambah

keyakinan hakim.

Pada perkara perdata Nomor: 01/PDT.G/2013/PN.KLD14 yang diadili oleh

Pengadilan Negeri Kalianda dimana pihak Penggugat menyerahkan alat bukti

berupa rekaman tayangan televisi yang disimpan dalam sebuah compact disk

(CD). Pihak Penggugat beralasan bahwa CD adalah alat bukti elektronik sesuai

dengan yang diatur dalam UU ITE. Sikap Majelis Hakim terhadap pengajuan alat

bukti CD tersebut adalah memerintahkan penggugat untuk menghadirkan saksi

ahli yang dapat menerangkan keaslian isi dari CD tersebut.

Pada perkara Nomor: 07/PDT.G/2013/PN.KLD,15 pihak tergugat mengajukan

bukti berupa daftar short message service (SMS) sebagai alat bukti di

persidangan. Tergugat di muka persidangan memperlihatkan isi SMS tersebut

kepada Majelis Hakim dengan menunjukkan SMS yang masih tersimpan dalam

handphone tergugat. Namun, pihak tergugat tidak menghadirkan ahli untuk

menerangkan tentang keaslian/otentisitas dari isi SMS tersebut. Majelis Hakim

dalam menangani alat bukti tersebut bersikap pasif dan tidak meminta pihak

tergugat untuk menghadirkan saksi ahli.

14

Perkara Perdata Nomor: 01/Pdt.G/2013/PN.KLD antara Hi. Sachrudji Maun Putra sebagai Penggugat Melawan Jari sebagai Tergugat I dan Jaman sebagai Tergugat II diputus pada tanggal 18 September 2013 oleh Majelis Hakim Pengadilan Negeri Kalianda.

15

(26)

8

Selanjutnya pada perkara lain yaitu perkara perdata Nomor:

11/PDT.G/2013/PN.KLD,16 pihak saksi penggugat menunjukkan e-mail

percakapan komunikasi bisnis antara penggugat dan tergugat di muka persidangan

dengan menggunakan media laptop. Pada persidangan perkara ini penggugat tidak

mengajukan saksi ahli untuk menerangkan tentang keaslian dari isi e-mail tersebut

dikarenakan pihak tergugat telah mengakui isi e-mail serta tidak akan mengajukan

bukti e-mail sebagai bukti dari pihak penggugat dan dari pihak tergugat juga

mengajukan bukti print out e-mail percakapan antara tergugat dengan penggugat.

Dari hal tersebut, tampak bahwa dalam praktik pelaksanaan, perspektif Majelis

Hakim di Pengadilan Negeri Kalianda dalam menerima, mempertimbangkan, dan

menilai alat bukti elektronik yang diajukan dalam perkara perdata masih terjadi

perbedaan pendapat. Adanya perbedaan perspektif tentang penerimaan alat bukti

elektronik inilah yang menjadi lingkup dari permasalahan yang akan diuraikan

dalam tesis ini, oleh karena itu, penulisan tesis ini diberi judul:

PERSPEKTIF HAKIM TERHADAP PENGAJUAN ALAT BUKTI

ELEKTRONIK DALAM PEMBUKTIAN PERKARA PERDATA DI

PENGADILAN NEGERI KALIANDA.

16

(27)

9

B. Masalah dan Ruang Lingkup

1. Masalah

Bertitik tolak dari latar belakang masalah, maka yang akan diangkat menjadi

permasalahan adalah sebagai berikut:

a. Bagaimanakah kedudukan, kekuatan hukum dan penerapan penggunaan

alat bukti elektronik yang diatur dalam UU ITE dalam perkara perdata?

b. Bagaimanakah perspektif Majelis Hakim Pengadilan Negeri Kalianda

terhadap alat bukti elektronik yang diajukan para pihak dalam perkara

perdata?

c. Mengapa terjadi perbedaan perspektif oleh Majelis Hakim Pengadilan

Negeri Kalianda dan bagaimana seharusnya sikap Majelis Hakim dalam

menyikapi alat bukti elektronik yang diajukan oleh para pihak tersebut?

2. Ruang Lingkup

Ruang lingkup penelitian ini adalah

a. Ruang lingkup keilmuan

Berdasarkan permasalahan di atas, maka ruang lingkup penelitian ini

termasuk dalam bidang ilmu hukum perdata, khususnya mengenai hukum

acara perdata.

b. Ruang lingkup kajian

Lingkup penelitian ini akan mengkaji tentang perspektif Majelis Hakim

(28)

10

C. Tujuan dan Kegunaan Penelitian

1. Tujuan Penelitian

Penelitian dalam pembahasan mengenai alat bukti elektronik adalah bertujuan

untuk:

a. Untuk mengetahui kedudukan, kekuatan hukum dan penerapan

penggunaan alat bukti elektronik yang diatur dalam UU ITE dalam perkara

perdata.

b. Untuk memahami perspektif Majelis Hakim pada Pengadilan Negeri

Kalianda terhadap alat bukti elektronik yang diajukan para pihak dalam

perkara perdata.

c. Untuk menganalisis mengapa terjadi perbedaan perspektif oleh Majelis

Hakim pada Pengadilan Negeri Kalianda dan bagaimana seharusnya sikap

Majelis Hakim dalam menyikapi alat bukti elektronik yang diajukan oleh

para pihak tersebut.

2. Kegunaan Penelitian

Adapun kegunaan dari penelitian ini mencakup kegunaan teoritis dan kegunaan

praktis, yaitu:

a. Kegunaan Teoritis

1) Secara teoritis diharapkan berguna sebagai upaya pengembangan ilmu

pengetahuan dan teknologi, seperti upaya pengembangan wawasan

keilmuan peneliti, pengembangan teori ilmu hukum umumnya pada

pembuktian perdata di Indonesia dan khususnya yang berkaitan dengan

(29)

11 Selain itu, penelitian ini diharapkan dapat melengkapi hasil penelitian

yang dilakukan oleh pihak lain dalam bidang yang sama.

2) Sebagai masukan bagi penyempurnaan undang-undang khususnya

mengenai peraturan perundang-undangan yang lebih lengkap tentang

Hukum Acara Perdata yang pada saat ini sedang dalam proses

perumusan mengingat baik Hukum Perdata maupun Hukum Acara

Perdata merupakan produk hukum peninggalan Belanda, serta dapat

pula dijadikan masukan untuk pembuatan peraturan yang berlaku

secara internal di Mahkamah Agung dan Badan Peradilan di bawahnya

untuk mengisi kekosongan hukum dalam bentuk Surat Edaran

Mahkamah Agung (SEMA ) ataupun Peraturan Mahkamah Agung

(PERMA) yang nantinya dapat dijadikan sebagai aturan untuk panduan

bagi Hakim dalam menilai alat bukti elektronik khususnya dalam

pembuktian perkara perdata.

b. Kegunaan Praktis

Secara praktis, penulisan tesis ini diharapkan:

1) Dapat memberikan masukan dalam menjalankan tugas sehari-hari

khususnya bagi para penegak hukum dan para pihak yang

berkepentingan (justiciabelen) yaitu pihak yang sedang beperkara

perdata di pengadilan.

2) Agar dapat memahami perspektif Hakim dalam mempertimbangkan

alat bukti elektronik yang diajukan sebagai alat bukti di persidangan

(30)

12

D. Kerangka Pemikiran

1. Kerangka Teori

Teori adalah serangkaian praposisi atau keterangan yang saling berhubungan dan

tersusun dalam sistem deduksi yang mengemukakan penjelasan atas suatu

gejala.17 Sedikitnya terdapat tiga unsur dalam suatu teori. Pertama, penjelasan

tentang hubungan antara berbagai unsur dalam suatu teori. Kedua, teori yang

menganut sistem deduktif, yaitu sesuatu yang bertolak dari suatu yang umum dan

abstrak menuju suatu yang khusus dan nyata. Ketiga, adalah bahwa teori

memberikan penjelasan atas gejala yang dikemukakannya. Fungsi dari teori dalam

suatu penelitian adalah untuk memberikan pengarahan kepada penelitian yang

akan dilakukan.18

Pada proses pembuktian terdapat kegiatan membuktikan. Membuktikan adalah

meyakinkan hakim tentang kebenaran dalil atau dalil-dalil yang dikemukakan

dalam suatu persengketaan, sehingga tampaklah bahwa pembuktian itu hanyalah

diperlukan dalam persengketaan atau perkara di muka hakim atau pengadilan.19

Pembuktian adalah penyajian alat-alat bukti yang sah menurut hukum, kepada

hakim yang memeriksa perkara guna memberi kepastian tentang kebenaran suatu

peristiwa yang dikemukakan.20

17

Sutan Remy Sjahdeni, 2009. Kebebasan Berkontrak dan Perlindungan yang Seimbang Bagi Para Pihak Dalam Perjanjian Kredit Bank di Indonesia (Jakarta: CV Pustaka Utama Grafiti Pers), hlm. 8.

18

Duane R. Monette, 1986. Applied Social Research (New York: Holt, Rinehart, and Winston Inc.), hlm. 27.

19

Subekti, 1982. Hukum Acara Perdata (Bandung: Binacipta), hlm. 89.

20

(31)

13 Pembuktian dan alat bukti di dalam hukum acara perdata, merupakan hal yang

sangat penting dalam rangka mencari suatu kebenaran dan kepastian hukum atas

suatu perkara yang diajukan oleh penggugat, sehingga jika suatu alat bukti tidak

dapat ditemukan dan/atau tidak diketemukannya aturan hukum yang mengatur,

maka aparat penegak hukum akan kesulitan dalam menegakkan hak-hak

keperdataan bagi para pihak.

Dalam menilai suatu pembuktian alat bukti, hakim dapat bertindak bebas atau

terikat oleh Undang-undang dalam hal ini terdapat dua teori, yaitu:21

a. Teori Pembuktian Bebas

Dalam teori ini, Hakim bebas menilai alat-alat bukti yang diajukan oleh para

pihak yang beperkara, baik alat-alat bukti yang disebutkan oleh

undang-undang atau yang tidak disebutkan oleh undang-undang-undang-undang.

b. Teori Pembuktian Terikat

Hakim terikat dengan alat pembuktian yang diajukan oleh para pihak yang

beperkara.

Teori ini dibagi menjadi:

1) Teori Pembuktian Negatif

Hakim terikat dengan larangan Undang-Undang dalam melakukan

penilaian terhadap suatu alat bukti tertentu.

21

(32)

14 2) Teori Pembuktian Positif

Hakim terikat dengan perintah Undang-Undang dalam melakukan

penilaian terhadap suatu alat bukti tertentu.

3) Teori Pembuktian Gabungan

Hakim bebas dan terikat dalam menilai hasil pembuktian. Dalam menilai

pembuktian, seorang hakim harus pula mengingat asas-asas yang penting

dalam hukum pembuktian perdata.

Terminologi “asas hukum” dapat diartikan sebagai landasan pembentukan hukum

positif (tata hukum), “asas hukum” dapat pula didefinisikan sebagai aturan dasar

dan prinsip-prinsip hukum yang abstrak dan pada umumnya melatar belakangi

peraturan konkret dan pelaksanaan hukum. Pada Hukum Pembuktian, dikenal

adanya asas-asas hukum yaitu sebagai berikut:

a. Asas ius curia novit

Hakim dianggap mengetahui akan hukum, tentang hukumnya tidak harus

diajukan atau dibuktikan oleh para pihak, tetapi dianggap harus diketahui dan

diterapkan oleh hakim.

b. Asas audi et altera partem

Asas ini berarti bahwa kedua belah pihak yang bersengketa harus

diperlakukan sama (equal justice under law). Kedudukan prosesual yang sama

(33)

15 c. Asas actor sequitur forum rei

Gugatan harus diajukan pada pengadilan di mana tergugat bertempat tinggal.

d. Asas affirmandi incumbit probatio

Asas ini mengandung arti bahwa siapa yang mengaku memiliki hak maka ia

harus membuktikannya.

e. Asas acta publica probant sese ipsa

Asas ini berkaitan dengan pembuktian suatu akta otentik, yang berarti suatu

akta yang lahirnya tampak sebagai akta otentik serta memenuhi syarat yang

telah ditentukan, akta itu berlaku atau dianggap sebagai akta otentik sampai

terbukti sebaliknya.22

f. Asas testimonium de auditu

Artinya adalah keterangan yang saksi peroleh dari orang lain, saksi tidak

mendengarnya atau mengalaminya sendiri, melainkan mendengar dari orang

lain tentang kejadian tersebut.

g. Asas unus testis nullus testis

Yaitu satu saksi bukan saksi, artinya bahwa satu alat bukti saja tidaklah cukup

untuk membuktikan kebenaran suatu peristiwa atau adanya hak.

22

(34)

16 Berkaitan dengan beban pembuktian, di dalam hukum pembuktian terdapat

beberapa teori yang dapat menjadi pedoman bagi hakim dalam memeriksa perkara

di persidangan, yaitu sebagai berikut:

a. Teori Hukum Subyektif

Suatu proses perdata selalu merupakan pelaksanaan dari hukum subyektif, dan

siapa yang mengemukakan atau mengaku mempunyai hak harus

membuktikannya. Penggugat berkewajiban membuktikan adanya

peristiwa-peristiwa khusus yang bersifat menimbulkan hak, sedangkan tergugat harus

membuktikan tidak adanya peristiwa-peristiwa (syarat-syarat) umum dan

adanya peristiwa-peristiwa khusus yang bersifat menghalang-halangi dan

bersifat membatalkan.

b. Teori Hukum Obyektif

Penggugat harus membuktikan kebenaran dari peristiwa yang diajukannya dan

kemudian mencari hukum objektifnya untuk diterapkan pada peristiwa

tersebut.

c. Teori Hukum Publik

Mencari kebenaran suatu peristiwa di dalam peradilan merupakan kepentingan

publik, sehingga hakim harus diberi wewenang yang lebih besar untuk

mencari kebenaran. Disamping itu, ada kewajiban para pihak yang sifatnya

(35)

17

d. Teori Hukum Acara

Asas kedudukan prosesual yang sama bagi para pihak di muka hakim (audi et

alteram partem). Hakim harus membagi beban pembuktian berdasarkan

kesamaan kedudukan para pihak, asas ini membawa akibat bahwa

kemungkinan untuk menang bagi para pihak harus sama.

2. Kerangka Konseptual

Untuk menemukan atau mendapatkan pengertian atau penafsiran dalam tesis ini,

maka berikut ini adalah definisi operasional sebagai batasan tentang objek yang

diteliti:

a. Perspektif adalah 1) cara melukiskan suatu benda pada permukaan yang

mendatar sebagaimana yang terlihat oleh mata dengan tiga dimensi (panjang,

lebar, dan tingginya); 2) sudut pandang; pandangan.23

b. Alat bukti adalah suatu hal (barang dan non barang) yang ditentukan oleh

undang-undang yang dapat dipergunakan untuk memperkuat dakwaan,

tuntutan atau gugatan maupun guna menolak dakwaan, tuntutan atau

gugatan.24

c. Alat Bukti Elektronik ialah Informasi Elektronik dan/atau Dokumen

Elektronik yang memenuhi persyaratan formil dan persyaratan materil yang

diatur dalam UU ITE.25

23

http://kamusbahasaindonesia.org/perspektif, dikutip pada 25 November 2014.

(36)

18 d. Informasi Elektronik adalah satu atau sekumpulan data elektronik, termasuk

tetapi tidak terbatas pada tulisan, suara, gambar, peta, rancangan, foto,

electronic data interchange (EDI), surat elektronik (electronic mail), telegram,

teleks, telecopy atau sejenisnya, huruf, tanda, angka, Kode Akses, simbol, atau

perforasi yang telah diolah yang memiliki arti atau dapat dipahami oleh orang

yang mampu memahaminya.26

e. Transaksi Elektronik adalah perbuatan hukum yang dilakukan dengan

menggunakan Komputer, jaringan Komputer, dan/atau media elektronik

lainnya.27

f. Teknologi Informasi adalah suatu teknik untuk mengumpulkan, menyiapkan,

menyimpan, memproses, mengumumkan, menganalisis, dan/atau

menyebarkan informasi.28

g. Dokumen Elektronik adalah setiap Informasi Elektronik yang dibuat,

diteruskan, dikirimkan, diterima, atau disimpan dalam bentuk analog, digital,

elektromagnetik, optikal, atau sejenisnya, yang dapat dilihat, ditampilkan,

dan/atau didengar melalui Komputer atau Sistem Elektronik, termasuk tetapi

tidak terbatas pada tulisan, suara, gambar, peta, rancangan, foto atau

Pasal 1 angka 1 UU Nomor 11 Tahun 2008 Tentang Informasi dan Transaksi Elektronik.

27

Pasal 1 angka 2 UU Nomor 11 Tahun 2008 Tentang Informasi dan Transaksi Elektronik.

28

Pasal 1 angka 3 UU Nomor 11 Tahun 2008 Tentang Informasi dan Transaksi Elektronik.

29

(37)

19 h. Tanda Tangan Elektronik adalah tanda tangan yang terdiri atas Informasi

Elektronik yang dilekatkan, terasosiasi atau terkait dengan Informasi

Elektronik lainnya yang digunakan sebagai alat verifikasi dan autentikasi.30

i. Penanda Tangan adalah subjek hukum yang terasosiasikan atau terkait dengan

Tanda Tangan Elektronik.31

j. Pembuktian adalah suatu proses bagaimana alat-alat bukti dipergunakan,

diajukan atau dipertahankan sesuatu hukum acara yang berlaku.32

k. Hakim adalah Hakim adalah hakim pada Mahkamah Agung dan hakim pada

badan peradilan yang berada di bawahnya dalam lingkungan peradilan umum,

lingkungan peradilan agama, lingkungan peradilan militer, lingkungan

peradilan tata usaha negara, dan hakim pada pengadilan khusus yang berada

dalam lingkungan peradilan tersebut.33

l. Pengadilan Negeri Kalianda adalah instansi pengadilan pada lingkungan

peradilan umum yang terletak di Kota Kalianda, yang melingkupi wilayah

hukum Kabupaten Lampung Selatan dan Kabupaten Pesawaran.

m. PERMA adalah bentuk peraturan yang berisi ketentuan bersifat hukum

acara.34

n. SEMA adalah bentuk edaran pimpinan MA ke seluruh jajaran peradilan yang

berisi bimbingan dalam penyelenggaraan peradilan, yang lebih bersifat

administrasi.35

30

Pasal 1 angka 12 UU Nomor 11 Tahun 2008 Tentang Informasi dan Transaksi Elektronik.

31

Pasal 1 angka 13 UU Nomor 11 Tahun 2008 Tentang Informasi dan Transaksi Elektronik.

32

Subekti, 1991. Hukum Pembuktian (Jakarta: Pradnya Paramita), hlm. 7.

33

Pasal 1 angka 5 UU Nomor 48 Tahun 2009 Tentang Kekuasaan Kehakiman.

34

Henry P. Panggabean, 2001, Fungsi Mahkamah Agung dalam Praktik Sehari-Hari

(38)

20

E. Metode Penelitian

1. Pendekatan Masalah

Penelitian hukum merupakan suatu kegiatan ilmiah yang didasarkan pada metode,

sistematika, dan pemikiran tertentu, yang bertujuan untuk mempelajari satu atau

beberapa gejala hukum tertentu dengan jalan menganalisisnya, dan juga diadakan

pemeriksaan yang mendalam terhadap fakta hukum tersebut untuk kemudian

mengusahakan suatu pemecahan atas permasalahan-permasalahan yang timbul

didalam gejala yang bersangkutan.36

Pendekatan masalah dilakukan dengan cara: pertama, dengan pendekatan

undang-undang (statute approach) yaitu mencari kesesuaian bunyi dari pasal-pasal dalam

UU ITE; kedua, pendekatan konseptual (concetual approach) yaitu beranjak dari

perkembangan doktrin hukum pembuktian; dan yang ketiga adalah pendekatan

kasus (case approach) karena beranjak dari tiga putusan Pengadilan Negeri

Kalianda yang telah diputus oleh Majelis Hakim, yang menjadi kajian dalam

pendekatan kasus adalah rasio decidendi hakim atau reasoning yaitu

pertimbangan hakim untuk sampai pada suatu putusan.

Penulisan ini didasarkan atas data yang dikumpulkan melalui penelitian. Untuk

itu, fokus kajian dalam penelitian ini dipergunakan cara pendekatan

normatif-empiris.37 Hukum normatif-empiris adalah perilaku nyata (in action) setiap warga

(39)

21 negara sebagai akibat keberlakuan hukum normatif. Perilaku tersebut dapat

diobservasi dengan nyata dan merupakan bukti apakah warga telah berperilaku

sesuai atau tidak sesuai dengan ketentuan hukum normatif (kodifikasi atau

undang-undang).38 Penelitian hukum normatif-empiris yaitu mengkaji

pelaksanaan implementasi ketentuan hukum positif (perundang-undangan) dan

kontrak secara faktual pada setiap peristiwa hukum tertentu yang terjadi dalam

masyarakat guna mencapai tujuan yang telah ditentukan. Pengkajian tersebut

bertujuan untuk memastikan apakah hasil penerapan pada persitiwa hukum in

concreto itu sesuai atau tidak sesuai dengan ketentuan undang-undang atau

ketentuan kontrak. Dengan kata lain, apakah ketentuan undang-undang atau

kontrak telah dilaksanakan sebagaimana patutnya atau tidak, sehingga pihak-pihak

yang berkepentingan mencapai tujuannya atau tidak.

Dalam penelitian hukum normatif-empiris selalu terdapat gabungan 2 (dua) tahap

kajian. Tahap pertama, kajian mengenai hukum normatif (perundang-undangan,

kontrak) yang berlaku, dan tahap kedua kajian hukum empiris berupa penerapan

(implementasi) pada peristiwa hukum in concreto guna mencapai tujuan yang

telah ditentukan. Oleh karena itu, penelitian hukum ini disebut penelitian hukum

normatif-empiris atau penelitian hukum normatif-terapan (applied law research).

Penelitian hukum normatif-empiris membutuhkan data sekunder dan data

primer.39 Pada penelitian ini, yang diteliti bukan pada aplikasi tentang kontrak

atau perjanjian, akan tetapi putusan hakim. Putusan-putusan yang diteliti dalam

38

ibid. hlm. 132.

39

(40)

22 tesis ini akan dianalisis dengan undang-undang, apakah putusan hakim telah

sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang ada atau tidak. 40

2. Jenis Penelitian dan Sumber Data

a. Jenis Penelitian

Berdasarkan tipologi penelitian, penelitian ini merupakan penelitian terapan

(applied research) yaitu mempergunakan practical reasoning untuk menjawab

sesuatu masalah yang timbul pada suatu ketika, agar dapat melakukan sesuatu

dengan lebih baik/ efisien.

b. Sumber Data dan Bahan Hukum

1) Sumber Data

Pada penelitian hukum normatif empiris, sumber data yang dipergunakan dalam

penelitian ini adalah data primer dan data sekunder yang terdiri atas:

a) Data Primer:

Pengumpulan data primer dilakukan dengan cara observasi disertai

pencatatan di lokasi penelitian termasuk juga wawancara terhadap sumber.

b) Data Sekunder:

Pengumpulan data sekunder dilakukan dengan studi pustaka.

40

(41)

23

2) Sumber Bahan Hukum

Sumber bahan hukum penelitian ini terdiri dari:

a) Bahan hukum primer, yaitu bahan hukum yang bersifat autoritatif, artinya

mempunyai otoritas.41 Bahan-bahan hukum yang mengikat, seperti:

i. Kitab Undang-undang Hukum Perdata (KUHPerdata);

ii. Reglemen Indonesia yang Diperbarui atau Het Herziene Indonesisch

Reglemen, Staatblad 1926:559 juncto Staatblad 1941:44 (HIR),

sepanjang yang berlaku mengenai hukum acara perdata;

iii. Reglemen Hukum Acara untuk Daerah Luar Jawa dan Madura atau

disebut Rechtreglement Buitengewesten, Staatblad 1927:227 (RBg);

iv. Reglement op de Burgerlijke Rechtsvordering (Rv);

v. Undang-undang Nomor 11 Tahun 2008 Tentang Informasi dan

Transaksi Elektronik;

vi. Putusan Nomor: 01/PDT.G/2013/PN.KLD;

vii. Putusan Nomor: 07/PDT.G/2013/PN.KLD;

viii. Putusan Nomor: 11/PDT.G/2013/PN.KLD;

b) Bahan hukum sekunder, yaitu bahan hukum yang memberi penjelasan

terhadap bahan hukum primer seperti buku-buku bacaan, tulisan–tulisan ilmiah dan hasil-hasil penelitian yang berkaitan dengan masalah yang

diteliti, jurnal hukum dan lain-lain;

c) Bahan hukum tertier, yaitu bahan yang memberi petunjuk maupun

penjelasan terhadap bahan-bahan hukum sekunder dan primer seperti

rancangan undang-undang (RUU), Kamus Besar Bahasa Indonesia

41

(42)

24 (KBBI), kamus hukum seperti Black Law Dictionary, Kamus hukum

Belanda-Indonesia, dan ensiklopedia.

3. Teknik Pengumpulan Data dan Pengolahan Data

a. Teknik Pengumpulan Data

Data penelitian ini, prosedur pengumpulan data dilakukan dengan studi pustaka,

dan wawancara.

1) Studi pustaka (library research)

Yaitu dengan cara mencari dan mengumpulkan bahan-bahan teoritis dengan

cara mempelajari melalui studi literatur dan ketentuan perundang-undangan

mengenai Informasi dan Transaksi Elektronik serta mengutip bahan-bahan

pustaka yang berhubungan dengan objek penelitian.

2) Studi Dokumen (document research)

Yaitu dengan cara membaca dan menelaah dokumen yang ada kaitannya

dengan pokok bahasan.

3) Wawancara.

Peneliti akan melakukan wawancara dengan Majelis Hakim pemeriksa perkara

No. 01/Pdt.G/2013/PN.KLD, No. 07/Pdt.G/2013/PN.KLD dan No.

11/Pdt.G/2013/PN.KLD yang berkaitan dengan masalah yang diteliti sebagai

(43)

25

b. Pengolahan Data

Setelah data sekunder diperoleh, selanjutnya akan diolah dengan menggunakan

tahap-tahap sebagai berikut:42

1) Pemeriksaan data (editing), yaitu pembenaran apakah data yang terkumpul

melalui studi pustaka, dokumen, wawancara, dan kuisioner sudah dianggap

lengkap, relevan, jelas, tidak berlebihan, dan tanpa kesalahan.

2) Penandaan data (coding), yaitu pemberian tanda pada data yang diperoleh,

baik berupa penomoran ataupun penggunaan tanda atau simbol atau kata

tertentu yang menunjukkan golongan/kelompok/klasifikasi data menurut jenis

dan sumbernya, dengan tujuan untuk menyajikan data secara sempurna,

memudahkan rekontruksi serta analisis data.

3) Penyusunan/sistematisasi data (constructing/sistematizing), yaitu kegiatan

menabulasi secara sistematis data yang sudah diedit dan diberi tanda itu dalam

bentuk tabel-tabel yang berisi angka-angka dan persentase bila data itu

kuantitatif; mengelompokkan secara sistematis data yang sudah diedit dan

diberi tanda itu menurut klasifikasi data dan urutan masalah bila data itu

kualitatif.

c. Analisis Data

Apabila semua data sekunder telah didapatkan melalui studi pustaka (library

research), studi dokumen (document research) dan dari hasil wawancara,

selanjutnya dilakukan analisis data dengan menggunakan pisau analisis kualitatif,

yaitu dengan cara menafsirkan secara kualitatif data-data yang dikaji dengan

42

(44)

26 teori dan asas-asas, serta memperhatikan sinkronisasi antara ketentuan peraturan

hukum yang satu dengan ketentuan peraturan hukum yang lain dengan

memperhatikan hierarki peraturan perundang-undangan yang mengatur tentang

informasi dan transaksi elektronik dan implementasi teori, peraturan

perundang-undangan pada putusan perdata No. 01/Pdt.G/2013/PN.KLD, No.

07/Pdt.G/2013/PN.KLD dan No. 11/Pdt.G/2013/PN.KLD.

Dalam rangka menganalisis data, digunakan interpretasi hukum, yaitu proses

pemberian makna dengan masih tetap berpegang pada teks peraturan

perundang-undangan.43 Adapun jenis interpretasi yang digunakan adalah:

1) Subsumtive, yaitu menerapkan suatu teks undang-undang terhadap

in-concreto;

2) Grammatical, yaitu penafsiran dengan cara menyesuaikan kata-kata dalam

undang-undang sehingga sesuai dengan kaidah hukum tata bahasa; dan

3) Historis, yaitu penafsiran berdasarkan sejarah undang-undang dan sejarah

hukum. sejarah undang-undang memuat kehendak pembuat undang-undang

pada waktu membuat undang-undang. Sejarah hukum memuat pemahaman

mengenai keadaan yang melatarbelakangi lahirnya suatu peraturan

perundang-undangan.

4) Futuristik, yaitu penafsiran dengan memberikan gambaran kemungkinan yang

akan terjadi dikemudian hari terhadap peraturan perundang-undangan.

43

(45)

27

F. Sistematika Penulisan

Tesis ini membahas dan menguraikan masalah yang terbagi ke dalam lima bab.

Maksud dari pembagian tesis ini ke dalam bab-bab dan sub bab-bab adalah untuk

menjelaskan dan menguraikan setiap masalah dengan baik dan lebih jelas.

Bab I : Pendahuluan, bab ini berisikan latar belakang masalah, perumusan

masalah dan ruang lingkup, tujuan dan kegunaan penelitian, kerangka teori dan

kerangka konseptual.

Bab II : Tinjauan Pustaka, bab ini berisikan tinjauan umum mengenai pembuktian

dan alat bukti dalam hukum acara perdata di Indonesia.

Bab III : Merupakan hasil penelitian dan pembahasan masalah, bab ini membahas

materi tentang kedudukan, kekuatan hukum dan penerapan penggunaan alat bukti

elektronik yang diatur dalam UU ITE dalam perkara perdata.

Bab IV: Merupakan hasil dan pembahasan masalah, bab ini berisikan uraian

mengenai hasil penelitian yaitu perspektif Majelis Hakim Pengadilan Negeri

Kalianda terhadap alat bukti elektronik, sebab terjadinya perbedaan perspektif dan

sikap seharusnya Majelis Hakim dalam menyikapi alat bukti elektronik yang

diajukan oleh para pihak.

Bab V : Merupakan bab penutup, dalam bab ini akan diuraikan kesimpulan dari

masalah-masalah yang dirumuskan dalam penelitian. Setelah itu diakhir bab akan

(46)

28

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

A. Pembuktian Dalam Hukum Acara Perdata di Indonesia

1. Pengertian Pembuktian

Pembuktian adalah penyajian alat-alat bukti yang sah menurut hukum oleh para

pihak yang beperkara kepada hakim dalam suatu persidangan, dengan tujuan

untuk memperkuat kebenaran dalil tentang fakta hukum yang menjadi pokok

sengketa, sehingga hakim memperoleh dasar kepastian untuk menjatuhkan

keputusan.1 Menurut M. Yahya Harahap, pembuktian adalah kemampuan

Penggugat atau Tergugat memanfaatkan hukum pembuktian untuk mendukung

dan membenarkan hubungan hukum dan peristiwa-peristiwa yang didalilkan atau

dibantahkan dalam hubungan hukum yang diperkarakan.2 Subekti, mantan Ketua

MA RI dan guru besar hukum perdata pada Universitas Indonesia berpendapat

bahwa pembuktian adalah suatu proses bagaimana alat-alat bukti dipergunakan,

diajukan atau dipertahankan sesuatu hukum acara yang berlaku.3

Menurut Sudikno Mertokusumo, membuktikan mengandung beberapa pengertian,

yaitu:4

1

Bahtiar Effendie, Masdari Tasmin, dan A.Chodari, 1999, Surat Gugat Dan Hukum Pembuktian Dalam Perkara Perdata (Bandung: Citra Aditya Bakti), hlm. 50.

2Abd. Rasyid As’ad, 5 November 2012,

Akta Elektronik Sebagai Alat Bukti Dalam Perkara Perdata, http://fakultashukumdarussalam.blogspot.com/2012/11/akta-elektronik-sebagai-alat-bukti.html, dikutip pada 13 Desember 2013.

3

Subekti, 1991. Hukum Pembuktian (Jakarta: Pradnya Paramita), hlm. 7.

4

(47)

29 a. Membuktikan dalam arti logis, berarti memberi kepastian yang

bersifat mutlak, karena berlaku bagi setiap orang dan tidak memungkinan adanya bukti lawan.

b. Membuktikan dalam arti konvensional, berarti memberi

kepastian tetapi bukan kepastian mutlak melainkan kepastian yang relatif sifatnya yang mempunyai tingkatan-tingkatan sebagai berikut:

1) Kepastian yang hanya didasarkan pada perasaan, sehingga bersifat intuitif dan disebut conviction intime.

2) Kepastian yang didasarkan pada pertimbangan akal,

sehingga disebut conviction raisonee.

3) Membuktikan dalam arti yuridis (dalam hukum acara

perdata), tidak lain berarti memberi dasar-dasar yang cukup kepada hakim yang memeriksa perkara guna memberi kepastian tentang kebenaran peristiwa yang diajukan.

Pada tahapan penyelesaian perkara di pengadilan, acara pembuktian merupakan

tahap terpenting untuk membuktikan kebenaran terjadinya suatu peristiwa atau

hubungan hukum tertentu, atau adanya suatu hak, yang dijadikan dasar oleh

penggugat untuk mengajukan gugatan ke pengadilan. Pada tahap pembuktian

juga, pihak tergugat dapat menggunakan haknya untuk menyangkal dalil-dalil

yang diajukan oleh penggugat. Melalui pembuktian dengan menggunakan alat-alat

bukti inilah, hakim akan memperoleh dasar-dasar untuk menjatuhkan putusan

dalam menyelesaikan suatu perkara.

Hukum pembuktian (law of evidence) dalam beperkara merupakan bagian yang

sangat kompleks dalam proses ligitasi. Kompleksitas itu akan semakin rumit

karena pembuktian berkaitan dengan kemampuan merekonstruksi kejadian atau

peristiwa masa lalu (past event) sebagai suatu kebenaran (truth). Meskipun

kebenaran yang dicari dalam proses peradilan perdata, bukan kebenaran yang

(48)

30 bersifat kemungkinan (probable), namun untuk menemukan kebenaran yang

demikian pun tetap menghadapi kesulitan.

Sampai saat ini sistem pembuktian hukum perdata di Indonesia, masih

menggunakan ketentuan-ketentuan yang diatur di dalam Kitab Undang-Undang

Hukum Perdata (KUHPerdata) dari Pasal 1865 - Pasal 1945, sedangkan dalam

Herzine Indonesische Reglement (HIR) berlaku bagi golongan Bumi Putera untuk

daerah Jawa dan Madura diatur dalam Pasal 162 – Pasal 165, Pasal 167, Pasal 169

– Pasal 177, dan dalam Rechtreglement Voor de Buitengewesten (RBg) berlaku

bagi golongan Bumi Putera untuk daerah luar Jawa dan Madura diatur dalam

Pasal 282 – Pasal 314.

2. Teori Kekuatan Pembuktian Suatu Alat Bukti

Ketika membahas tentang penilaian pembuktian, alat bukti yang diajukan oleh

para pihak ke persidangan akan dilakukan penilaian, yang dalam hal ini yang

berwenang untuk melakukan penilaian adalah Hakim. Pada umumnya, sepanjang

undang-undang tidak mengatur sebaliknya, Hakim bebas untuk menilai

pembuktian. Dalam hal ini, pembentuk undang-undang dapat mengikat Hakim

pada alat-alat bukti tertentu (misalnya alat bukti surat), sehingga Hakim tidak

bebas menilainya. Salah satu contohnya adalah alat bukti surat yang mempunyai

kekuatan pembuktian mengikat bagi Hakim maupun para pihak.

Sebaliknya, pembentuk undang-undang dapat menyerahkan dan memberi

kebebasan pada Hakim dalam menilai pembuktian terhadap alat bukti, misalnya

(49)

31 diserahkan pada Hakim untuk menilai pembuktiannya, Hakim boleh terikat atau

tidak pada keterangan yang diberikan oleh saksi.5

Pada saat menilai alat bukti, hakim dapat bertindak bebas atau terikat oleh

Undang-undang, dalam hal ini terdapat dua teori, yaitu:6

a. Teori Pembuktian Bebas

Hakim bebas menilai alat-alat bukti yang diajukan oleh para pihak yang

beperkara, baik alat-alat bukti yang sudah disebutkan oleh Undang-Undang,

maupun alat-alat bukti yang tidak disebutkan oleh Undang-Undang.

b. Teori Pembuktian Terikat

Hakim terikat dengan alat pembuktian yang diajukan oleh para pihak yang

beperkara. Putusan yang dijatuhkan, harus selaras dengan alat-alat bukti yang

diajukan dalam persidangan.

Lebih lanjut teori ini dibagi menjadi:

1) Teori Pembuktian Negatif

Hakim terikat dengan larangan Undang-Undang dalam melakukan

penilaian terhadap suatu alat bukti tertentu.

2) Teori Pembuktian Positif

Hakim terikat dengan perintah Undang-Undang dalam melakukan

penilaian terhadap suatu alat bukti tertentu.

5

Efa Laela Fakhriah, 2013. Bukti Elektronik dalam Sistem Pembuktian Perdata. Cetakan ke-2 (Bandung: PT Alumni), hlm. 40.

6

(50)

32

3) Teori Pembuktian Gabungan

Hakim bebas dan terikat dalam menilai hasil pembuktian. Dalam menilai

pembuktian, seorang hakim harus pula mengingat asas-asas yang penting

dalam hukum pembuktian perdata.

Kekuatan pembuktian alat bukti surat dapat dibedakan antara yang berbentuk akta

dengan bukan akta. Surat yang berbentuk akta juga dapat dibedakan menjadi akta

otentik dan akta di bawah tangan. Kekuatan pembuktian suatu akta dapat

dibedakan menjadi:7

1) Kekuatan pembuktian luar

Suatu akta otentik yang diperlihatkan harus dianggap dan diperlakukan

sebagai akta otentik, kecuali dapat dibuktikan sebaliknya bahwa akta itu

bukan akta otentik. Selama tidak dapat dibuktikan sebaliknya pada akta

tersebut melekat kekuatan bukti luar. Maksud dari kata memiliki daya

pembuktian luar adalah melekatkan prinsip anggapan hukum bahwa setiap

akta otentik harus dianggap benar sebagai akta otentik sampai pihak lawan

mampu membuktikan sebaliknya.

2) Kekuatan pembuktian formil

Berdasarkan Pasal 1871 KUHPerdata, bahwa segala keterangan yang tertuang

di dalamnya adalah benar diberikan dan disampaikan kepada pejabat yang

membuatnya. Oleh karena itu segala keterangan yang diberikan penanda

tangan dalam akta otentik dianggap benar sebagai keterangan yang dituturkan

7

(51)

33 dan dikehendaki yang bersangkutan. Anggapan atas kebenaran yang

tercantum di dalamnya, bukan hanya terbatas pada keterangan atau

pernyataan di dalamnya benar dari orang yang menandatanganinya tetapi

meliputi pula kebenaran formil yang dicantumkan pejabat pembuat akta:

mengenai tanggal yang tertera di dalamnya, sehingga tanggal tersebut harus

dianggap benar, dan tanggal pembuatan akta tidak dapat lagi digugurkan oleh

para pihak dan hakim.

3) Kekuatan pembuktian materil

Mengenai kekuatan pembuktian materil akta otentik menyangkut

permasalahan benar atau tidak keterangan yang tercantum di dalamnya. Oleh

karena itu, kekuatan pembuktian materiil adalah persoalan pokok akta otentik.

3. Asas-asas Hukum Pembuktian

Suatu sistem hukum merupakan suatu kesatuan aturan-aturan hukum yang

berhubungan satu dengan lainnya, dan telah diatur serta disusun berdasarkan

asas-asas. Asas-asas hukum adalah aturan-aturan pokok yang tidak dapat lagi

dijabarkan lebih lanjut, diatasnya tidak lagi ditemukan aturan-aturan yang lebih

tinggi lagi. Asas hukum merupakan dasar bagi aturan-aturan hukum yang lebih

rendah.8

Perbedaan antara asas hukum dengan peraturan yang lebih rendah adalah bahwa

asas hukum lebih abstrak, apabila asas hukum tidak dimasukkan dalam

undang-undang, tidak mengikat bagi hakim, melainkan hanya sebagai pedoman saja. Akan

8

(52)

34 tetapi, bila asas itu secara tegas dituangkan dalam undang-undang, mempunyai

kekuatan mengikat sebagai undang-undang sehingga hakim berkewajiban untuk

menerapkan asas tersebut secara langsung terhadap semua kasus-kasus nyata yang

atasnya tidak terdapat aturan-aturan khusus.9

Asas-asas dalam Hukum Pembuktian adalah sebagai berikut:

a. Asas ius curia novit

Hakim dianggap mengetahui akan hukum, hal ini berlaku juga dalam

pembuktian, karena dalam membuktikan, tentang hukumnya tidak harus

diajukan atau dibuktikan oleh para pihak, tetapi dianggap harus diketahui dan

diterapkan oleh hakim.

b. Asas audi et altera partem

Asas ini berarti bahwa kedua belah pihak yang bersengketa harus

diperlakukan sama (equal justice under law). Kedudukan prosesual yang sama

bagi para pihak di muka hakim. Ini berarti bahwa hakim harus membagi beban

pembuktian berdasarkan kesamaan kedudukan para pihak secara seimbang.

Dengan demikian kemungkinan untuk menang bagi para pihak haruslah sama.

c. Asas actor sequitur forum rei

Gugatan harus diajukan pada pengadilan di mana tergugat bertempat tinggal.

Asas ini dikembangkan dari asas presumption of innocence yang dikenal

dalam hukum pidana.

9

(53)

35 d. Asas affirmandi incumbit probatio

Asas ini mengandung arti bahwa siapa yang mengaku memiliki hak maka ia

harus membuktikannya.

e. Asas acta publica probant sese ipsa

Asas ini berkaitan dengan pembuktian suatu akta otentik, yang berarti suatu

akta yang lahirnya tampak sebagai akta otentik serta memenuhi syarat yang

telah ditentukan, akta itu berlaku atau dianggap sebagai akta otentik sampai

terbukti sebaliknya. Beban pembuktiannya terletak pada siapa yang

mempersoalkan otentik tidaknya akta tersebut.10

f. Asas testimonium de auditu

Merupakan asas dalam pembuktian dengan menggunakan alat bukti kesaksian,

artinya adalah keterangan yang saksi peroleh dari orang lain, saksi tidak

mendengarnya atau mengalaminya sendiri melainkan mendengar dari orang

lain tentang kejadian tersebut. Pada umumnya, kesaksian berdasarkan

pendengaran ini tidak diperkenankan, karena keterangan yang diberikan bukan

peristiwa yang dialaminya sendiri, sehingga tidak merupakan alat bukti dan

tidak perlu lagi dipertimbangkan. Hal ini sesuai dengan yurisprudensi

Mahkamah Agung RI tanggal 15 Maret 1972 No. 547 K/Sip/1971, yang

menentukan: Keterangan saksi de auditu bukan merupakan alat bukti.

10

(54)

36 g. Asas unus testis nullus testis

Yang berarti satu saksi bukan saksi, artinya bahwa satu alat bukti saja tidaklah

cukup untuk membuktikan kebenaran suatu peristiwa atau adanya hak. Pasal

169 HIR/306 RBg menyebutkan bahwa keterangan seorang saksi saja tanpa

alat bukti lainnya tidak dapat dianggap sebagai pembuktian yang cukup. Hal

ini sesuai dengan yurisprudensi Mahkamah Agung RI No. 665 K/Sip/1973,

yang menentukan: “Satu surat bukti saja tanpa dikuatkan oleh alat bukti lain

tidak dapat diterima sebagai pembuktian”.

Mengenai asas testimonium de auditu dan asas unus testis nullus testis akan

dibahas lebih lanjut pada bagian alat bukti saksi di bawah ini.

4. Teori Beban Pembuktian

Di dalam pembagian beban pembuktian dikenal asas, yaitu siapa yang

mendalilkan sesuatu dia harus membuktikannya, sebagaimana tercantum dalam

Pasal 163 HIR/283 RBg. Hal ini secara sepintas mudah untuk diterapkan. Namun,

sesungguhnya dalam praktik merupakan hal yang sukar untuk menentukan secara

tepat siapa yang harus dibebani kewajiban untuk membuktikan sesuatu.11 Menurut

Peneliti, kewajiban untuk membuktikan sesuatu tersebut, terletak pada siapa yang

mendalilkan seperti dalam gugatan, dalam hal ini adalah penggugat, namun

apabila tergugat mengajukan dalil bantahannya, maka dia dibebani pula untuk

11

Referensi

Dokumen terkait

Melaksanakan pemeliharaan berkala sistem pada karburator yang meliputi : sistem pelampung, sistem idel dan perpindahan, sistem tambahan pada idel, sistem utama, sistem

Pandang S benda padat yang terlingkupi oleh balok B, dan definisikan nilai f nol untuk luar S (gb.. Contoh (Tabung)

Selain adanya masalah hutang perusahaan yang tinggi sehingga kesulitan membayar kewajibannya termasuk pembayaran dividen, masalah lain adalah adanya penjualan yang menurun

Untuk tahap dream, pada kelompok ini berharap dengan mempunyai kemampuan yang meningkat dalam pencatatan keuangan usaha, maka dapat bersinergi dengan Lembaga Keuangan

Solusi yang direncanakan oleh tim pengabdi adalah aktivitas fisik rutin yang tidak membutuhkan banyak alat dan lokasi yang luas. Selain menentukan aktivitas fisik yang

Sri komalasari 2012 , dengan judul penelitian Analisis Perencanaan Pajak (Tax Planning) atas pajak penghasilan badan Pada PT. Lau Linggau , Hasilnya Efisiensi

Pada baja yang tidak diberi perlakuan ketahanan korosinya sangat baik ini terlihat dari pengurangan massa dari hasil uji weight loss, sebesar 0.2mg, sedangkan pada

Fokus yang harus ditingkatkan dalam integrasi transportasi antarmoda di bandar udara antara lain perluasan fasilitas pendaftaran calon penumpang pesawat udara sebelum