ABSTRACT
Development and advancement of information technology are marked with the widespread use of interconnected network technological tools or the internet. Activity in cyber space is a virtual activity that have real impact despite the evidence is purely electronic appliance. The use of electronics as a form of development of science and technology becomes the philosophy of the establishment of the Law No. 11 Year 2008 on Information and Electronic Transactions (hereinafter referred to as UU ITE).
The issues will be lifted in this thesis are about: 1) Position, legal force and application of the use of electronic evidence regulated in UU ITE in civil cases; 2) the Judge perspectives of Kalianda District Court on electronic evidence submitted by the parties in civil cases; 3) the cause of difference reasons on Judge perspectives of Kalianda District Court and how the attitude of judge ought to dealing with electronic evidences submitted by the parties.
Writing of thesis is using normative-empirical approach and the research can be define as applied research. Source of data used in thesis are primary data and secondary data. Legal materials form of thesis consist of primary, secondary and tertiary legal materials.
The result of this research are 1) the tools evidence in the proving process of civil law in Indonesia is set up in Herzine Indonesische Reglement (HIR) and Rechtreglement Voor de Buitengewesten (RBg). The electronic evidences as valid and recognized evidences are arranged by Article 5 paragraph (1) and (2) UU ITE. Those evidences are the extension of the evidences set out in the HIR and RBg. 2) Regarding to the Judge perspectives of Kalianda District Court in accepting electronic evidences submitted by the parties in a civil case there are any perspective difference. 3) The cause of the difference in perspective of the Judge because any differences of: a. perspective on the electronic evidences submission; b. perspectives on the parties who submitting the electronic evidences; c. perspective of the expert witnesses proposed by the parties. The difference of the perspective on electronic evidences presented by the parties at the trial can be solved by Judge by using extensive interpretation method, it means to interpret the electronic evidences regulated by UU ITE, because those are the extension of the HIR/RBg.
Suggestions to: 1) the judge and the parties are to increase knowledge and insights regarding electronic evidence in accordance to UU ITE, 2) the government and parliament are updating the Civil Code, HIR / RBg mainly on the evidence, 3) the judge if there is a difference in perspective against the submission of electronic evidence, it must find the way out by looking at the legal principles, doctrines and legal theories.
ABSTRAK
Perkembangan dan kemajuan teknologi informasi ditandai antara lain dengan maraknya penggunaan sarana teknologi interconnected network atau internet. Kegiatan dalam ruang siber adalah kegiatan virtual yang berdampak sangat nyata meskipun alat buktinya bersifat elektronik. Penggunaan elektronik sebagai bentuk perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi inilah yang menjadi landasan filosofi dibentuknya Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik (selanjutnya disebut dengan UU ITE).
Permasalahan yang diangkat dalam penulisan tesis ini adalah mengenai: 1) Kedudukan, kekuatan hukum dan penerapan penggunaan alat bukti elektronik yang diatur dalam UU ITE dalam perkara perdata; 2) Perspektif Majelis Hakim Pengadilan Negeri Kalianda terhadap alat bukti elektronik yang diajukan para pihak dalam perkara perdata; 3) Sebab terjadinya perbedaan perspektif oleh Majelis Hakim Pengadilan Negeri Kalianda dan bagaimana seharusnya sikap Majelis Hakim dalam menyikapi alat bukti elektronik yang diajukan oleh para pihak tersebut.
Penulisan tesis mempergunakan metode pendekatan normatif-empiris dan merupakan penelitian terapan (applied research). Sumber data yang dipergunakan berupa data primer dan data sekunder, serta bahan hukum terdiri atas bahan hukum primer, bahan hukum sekunder dan bahan hukum tersier.
Hasil dari penelitian ini adalah 1) Bahwa alat bukti dalam pembuktian hukum perdata di Indonesia diatur Herzine Indonesische Reglement (HIR) dan Rechtreglement Voor de Buitengewesten (RBg). Alat bukti elektronik sebagai alat bukti yang sah dan diakui keberadaannya diatur dalam Pasal 5 ayat (1) dan (2) UU ITE. Alat bukti tersebut merupakan perluasan dari alat bukti yang diatur dalam HIR dan RBg. 2) Mengenai Perspektif Majelis Hakim Pengadilan Negeri Kalianda dalam menerima alat bukti elektronik yang diajukan oleh para pihak pada perkara perdata terjadi perbedaan perspektif. 3) Penyebab perbedaan perspektif Majelis Hakim karena adanya perbedaan: a. perspektif terhadap pengajuan alat bukti elektronik; b. perspektif terhadap para pihak yang mengajukan alat bukti elektronik; c.perspektif terhadap saksi ahli yang diajukan oleh para pihak. Perbedaan perspektif terhadap alat bukti elektronik yang diajukan di persidangan dapat diselesaikan oleh hakim dengan menggunakan metode interpretasi ekstensif.
Saran penulisan ini ditujukan kepada: 1) hakim dan para pihak yang beperkara adalah meningkatkan pengetahuan dan wawasannya mengenai alat bukti elektronik sesuai UU ITE, 2) pemerintah dan DPR adalah memperbarui KUHPerdata, HIR/RBg terutama mengenai alat bukti, 3) hakim apabila ada perbedaan perspektif terhadap pengajuan alat bukti elektronik, maka harus dicari jalan keluarnya dengan melihat pada asas-asas hukum, doktrin dan teori-teori hukum.
PERSPEKTIF HAKIM TERHADAP PENGAJUAN ALAT BUKTI ELEKTRONIK DALAM PEMBUKTIAN PERKARA PERDATA DI
PENGADILAN NEGERI KALIANDA
Oleh:
HAPPY TRY SULISTIYONO NPM: 1322011071
Tesis
Diajukan Sebagai Salah Satu Syarat untuk Memperoleh Derajat MAGISTER HUKUM
Pada
Jurusan Sub Program Hukum Bisnis Program Pascasarjana Magister Hukum
Universitas Lampung
PROGRAM STUDI MAGISTER HUKUM PROGRAM PASCASARJANA FAKULTAS HUKUM
UNIVERSITAS LAMPUNG 2014
PERSPEKTIF HAKIM TERHADAP PENGAJUAN ALAT BUKTI ELEKTRONIK DALAM PEMBUKTIAN PERKARA PERDATA
DI PENGADILAN NEGERI KALIANDA
(Tesis)
Oleh :
HAPPY TRY SULISTIYONO NPM : 1322011071
PROGRAM MAGISTER HUKUM
PROGRAM PASCASARJANA FAKULTAS HUKUM UNIVERSITAS LAMPUNG
xiv DAFTAR ISI
Abstract ………... i
Abstrak ……….... ii
Halaman Sampul ………. iii
Halaman Persetujuan ……….. iv
Halaman Pengesahan ………. v
Halaman Pernyataan ……….. vi
Riwayat Penulis ………... vii
Halaman Persembahan ……….. ix
Halaman Motto ……….. x
Kata Pengantar ……….. xi
Daftar Isi ………... xiv
BAB I PENDAHULUAN ………. 1
A. Latar Belakang ……… 1
B. Masalah dan Ruang Lingkup ……….. 9
1. Masalah ……..…..………... 9
2. Ruang Lingkup ..……….... 9
C. Tujuan dan Kegunaan Penelitian ……….... 10
1. Tujuan Penelitian ……….. 10
2. Kegunaan Penelitian ………...……….. 10
D. Kerangka Pemikiran ……… 12
1. Kerangka Teori ………. 12
2. Kerangka Konseptual ……… 17
E. Metode Penelitian ……… 20
1. Pendekatan Masalah ……….………... 20
2. Jenis Penelitian dan Sumber Data ………. 22
xv
b. Sumber Data dan Bahan Hukum ………. 22
1) Sumber Data ……….. 22
2) Sumber Bahan Hukum ………... 23
3. Teknik Pengumpulan Data ……… 24
a. Teknik Pengumpulan Data ………. 24
b. Pengolahan Data ………. 25
c. Analisis Data ……….. 25
F. Sistematika Penulisan ………. 27
BAB II TINJAUAN PUSTAKA ……….. 28
A. Pembuktian Dalam Hukum Acara Perdata di Indonesia ……… 28
1. Pengertian Pembuktian ………. 28
2. Teori Kekuatan Pembuktian Suatu Alat Bukti ………... 30
3. Asas-asas Hukum Pembuktian ………... 33
4. Teori Beban Pembuktian ……….. 36
B. Alat Bukti Dalam Perkara Perdata ………. 41
1. Surat/ alat bukti tulisan ………. 45
2. Saksi ……….. 52
3. Persangkaan ……….. 57
4. Pengakuan ………. 59
5. Sumpah ……….. 60
6. Alat Bukti Tambahan ……… 62
a. Pemeriksaan Setempat/ (Plaatselijke onderzoek/ local investigation) ………... 62
b. Keterangan Ahli/Saksi Ahli ………... 63
xvi BAB III KEDUDUKAN, KEKUATAN HUKUM DAN PENERAPAN
PENGGUNAAN ALAT BUKTI ELEKTRONIK YANG DIATUR
DALAM UU ITE DALAM PERKARA PERDATA………...…… 74
A. Latar Belakang Penerbitan Undang-Undang No. 11 Tahun 2008 Tentang Informasi dan Transaksi Elektronik ………. 74
B. Macam-Macam Alat Bukti Elektronik Menurut UU ITE ……….. 76
C. Aspek Hukum Pembuktian Terhadap Alat Bukti Elektronik …………. 83
1. Aliran Mahzab Hukum tentang Perkembangan Transaksi Elektronik ……….. 83
a. Mahzab Klasik ……… 83
b. Mahzab Modernis atau Radikal ……….. 84
c. Mahzab Kompromistis ……… 84
2. Sistem Pembuktian Informasi, Dokumen, dan Tanda Tangan Elektronik ………. 86
D. Hambatan Penerapan UU ITE dalam Penegakan Hukum Acara Perdata ……… 95
1. Hambatan Substansi UU ITE ……… 95
2. Hambatan Hukum di Luar UU ITE ………... 96
3. Hambatan Teknologi ………. 97
4. Hambatan Sosial Budaya ……….. 98
5. Hambatan Stabilitas Finansial dan Keamanan ……….. 99
6. Hambatan Pemahaman UU ITE oleh Aparat Penegak Hukum .. 100
7. Hambatan dalam Pembuktian pada Persidangan …………... 101
xvii BAB IV ANALISIS PERSPEKTIF MAJELIS HAKIM PENGADILAN
NEGERI KALIANDA TERHADAP ALAT BUKTI ELEKTRONIK, SEBAB TERJADINYA PERBEDAAN PERSPEKTIF DAN SIKAP SEHARUSNYA MAJELIS HAKIM DALAM MENYIKAPI ALAT BUKTI ELEKTRONIK YANG
DIAJUKAN OLEH PARA PIHAK ………. 108
A. Perspektif Majelis Hakim Pengadilan Negeri Kalianda Terhadap Alat Bukti Elektronik Yang Diajukan Para Pihak Dalam Perkara Perdata … 108
B. Analisis Terjadinya Perbedaan Perspektif oleh Majelis Hakim pada Pengadilan Negeri Kalianda Terhadap Alat Bukti Elektronik yang Diajukan oleh Para Pihak ……….. 124
1. Perspektif terhadap pengajuan alat bukti elektronik ……… 127
2. Perspektif terhadap para pihak yang mengajukan alat bukti Elektronik ………. 132
3. Perspektif terhadap saksi ahli yang diajukan oleh para pihak …….. 136
C. Sikap Seharusnya Majelis Hakim dalam Menyikapi Alat Bukti Elektronik yang Diajukan Oleh Para Pihak ……… 142
BAB V PENUTUP ………... 148
A. Kesimpulan ………. 148
B. Saran ……… 149
DAFTAR PUSTAKA ……….. 151
Lampiran-lampiran:
1. Perbandingan alat bukti dalam KUHPerdata, HIR/RBg dan UU ITE
ix
PERSEMBAHAN
Seraya mengucap syukur kepada Illahi Rabbi, dengan segala kerendahan hati, kupersembahkan karya ini untuk:
- Kedua orang tuaku yang telah melimpahkan kasih sayangnya, doa dan pengorbanan yang tiada henti. Semoga Allah SWT senantiasa melimpahkan rahmat, karunia dan kasih sayang kepadanya serta memberikan ketenangan di alam penantian di sana.
- Kakak-kakakku, adik-adikku, Papa Mama, ipar-iparku yang tercinta, keluarga besar Joyo Sumarto dan Soemo Ooejoto yang telah mendukung dan mendoakan penulis untuk dapat melanjutkan dan menyelesaikan studi dengan baik di Universitas Lampung ini.
- Persembahan karya ini, penulis persembahkan khususnya untuk istri tercinta, Nina Riri Rahma Kurnia Puspita Sari, SE dan putriku Nur Afiqah Dealova Putri Sulistiyono yang selalu memberi motivasi, bantuan, semangat untuk belajar dan setia menemani dikala penulis menempuh kuliah di Universitas Lampung.
x
MOTTO
“Bacalah dengan nama Tuhanmu yang menciptakan. Dia telah menciptakan manusia dari segunmpal darah. Bacalah, dan Tuhanmulah Yang Maha Pemurah. Yang mengajar dengan Qalam. Dialah yang mengajar manusia segala yang belum
diketahui” (Q.S Al-‘Alaq 1-5).
vii
RIWAYAT HIDUP
Penulis dilahirkan di Purworejo, pada tanggal 12 Mei 1981, merupakan putra keempat dari tujuh bersaudara pasangan (Alm) H. Waris Susianto dan (Almh) Saminten. Jenjang pendidikan formal yang telah dilalui penulis dimulai dari Pendidikan Sekolah Dasar Muhammadiyah Kutoarjo (1987-1993), Sekolah Menengah Pertama 1 Kutoarjo (1993-1999) dan Sekolah Menengah Atas 1 Purworejo (1996-1999). Pada tahun 1999, Penulis melanjutkan pendidikan di Fakultas Hukum Universitas Padjadjaran Bandung dengan mengambil program kekhususan Hukum Internasional dan selesai pada bulan November 2003.
Pada tahun 2004, Penulis bergabung di Aditomo, Ariyanto, Perihantono Law Firm, sebuah kantor hukum di Jakarta dan berposisi sebagai Junior Lawyer, kemudian di tahun yang sama, Penulis bekerja di salah satu perusahaan sekuritas ternama yang menduduki Top Five Securities Companies yaitu PT. Trimegah Securities, Tbk. sebagai Legal Officer sampai dengan tahun 2005.
viii
Maret 2012. Penulis dimutasi ke Pengadilan Negeri Kalianda dan aktif bekerja dari 01 April 2012 hingga sekarang.
1
BAB I PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Sebelum era digital/elektronik muncul, cara penjual dan pembeli mengadakan
suatu transaksi bisnis yaitu dengan sistem “bertemu langsung” (face to face). Cara
ini masih banyak dilakukan dan dianggap sebagai bisnis yang sebenarnya karena
dilakukan secara tunai atau dapat disebut juga cash on delivery (COD), karena
selain menjamin rasa aman untuk pembayaran, pembeli dapat melihat dan
meneliti kualitas barang yang akan diperjualbelikan. Permasalahan terjadi ketika
barang tersebut berupa benda yang besar; benda mati yang tidak dapat
dipindahkan atau barang yang jumlah dan pembayarannya besar; antara penjual
dan pembeli berada di tempat yang berlainan bahkan di negara berbeda; hal ini
menimbulkan permasalahan untuk melakukan transaksi cash and carry dan tidak
mungkin dilakukan di tempat yang sama.
Perkembangan dan kemajuan teknologi informasi ditandai antara lain dengan
maraknya penggunaan sarana teknologi interconnected network atau internet.
Ketika dunia komunikasi berkembang yang kemudian disertai dengan hadirnya
internet, maka dapat dilihat dampak yang luar biasa akan kehadiran internet
tersebut, jarak dan waktu seolah bukan lagi menjadi penghalang untuk
berkomunikasi dan melakukan aktivitas-aktivitas percakapan, bisnis dan lain
sebagainya. Melalui media elektronik, masyarakat memasuki dunia maya yang
bersifat abstrak, universal, lepas dari keadaan, tempat dan waktu.1 Hal ini
1
2 berpengaruh pula pada perbuatan hukum yang tidak lagi dilakukan secara konkret,
kontan, dan komunal.2 Dalam sektor bisnis misalnya, pemanfaatan sistem
informasi akan membantu dan meningkatkan kinerja.3 Penggunaan sistem dan alat
elektronik telah menciptakan suatu cara pandang baru dalam menyikapi
perkembangan teknologi yaitu perubahan paradigma dari paper based menjadi
electronic based. Pada perkembangannya, electronic based semakin diakui
keefisienannya, baik dalam hal pembuatan, pengolahan, maupun dalam bentuk
penyimpanannya.4
Globalisasi di bidang telematika bersifat radikal dan seakan memaksa masyarakat
untuk selalu up to date.5 Pemanfaatan teknologi informasi dalam kegiatan yang
berbasis elektronik, seperti transaksi bisnis melalui telephone,
handphone/smartphone, mesin faximile, mobile banking, internet banking,
e-commerce, dan lain sebagainya ternyata belum diikuti dengan perkembangan
hukum yang dapat mengikuti percepatan kemajuan teknologi komunikasi dan
informasi. Sering kita dengar adagium bahwa hukum selalu tertinggal dengan
perkembangan masyarakat, akan tetapi, dalam teori hukum dikenal “hukum
sebagai alat pembaharuan sosial” (law as a tool of social engineering), hukum
harus dapat digunakan untuk memberikan jalan terhadap perkembangan yang
2
Yudha Bhakti Ardhiwisastra, 2000. Penafsiran dan Konstruksi Hukum (Bandung: Penerbit PT. Alumni), hlm 55.
3
Rini Handayani, Analisis Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Minat Pemanfaatan Sistem Informasi dan Penggunaan Sistem Informasi (Studi Empiris Pada Perusahaan Manufaktur di Bursa Efek). Jurnal Akuntansi dan Keuangan, Vol. 9 No. 2. Bulan November 2007, hlm. 83.
4
Edmon Makarim, 2005. Pengantar Hukum Telematika, Cetakan I (Jakarta: Raja Grafindo Persada), hlm. 4.
5
3 terjadi di masyarakat, terutama perkembangan-perkembangan di bidang teknologi.
Hukum seharusnya berfungsi sebagai sarana pembaruan (pembangunan)
masyarakat, hukum harus berkembang pula seiring dengan lajunya
pembangunan/perkembangan di segala bidang kehidupan.6
Bentuk nyata dari perbuatan hukum yang dilaksanakan melalui sistem elektronik
saat ini sangat beraneka ragam salah satu contoh adalah seperti kegiatan berkirim
e-mail. Kasus-kasus pembobolan ATM baik langsung maupun melalui internet,
pencurian data perusahaan, carding kartu kredit, pencurian pulsa handphone,
sampai dengan praktik prostitusi dan judi online merupakan efek negatif dari
adanya teknologi informasi. Ibaratnya teknologi informasi saat ini menjadi pedang
bermata dua, karena selain memberikan kontribusi bagi peningkatan
kesejahteraan, kemajuan dan peradaban manusia, sekaligus menjadi sarana efektif
dalam melakukan perbuatan melawan hukum.7
Kegiatan melalui sistem elektronik yang menggunakan ruang siber (cyber space)
bersifat virtual, dalam perkembangannya saat ini dapat dikategorikan sebagai
tindakan atau perbuatan hukum yang nyata. Secara yuridis, kegiatan pada ruang
siber tidak dapat didekati dengan ukuran dan kualifikasi hukum konvensional saja,
sebab jika cara ini ditempuh akan terlalu banyak kesulitan dan hal yang lolos dari
pemberlakuan hukum. Kegiatan dalam ruang siber adalah kegiatan virtual yang
6
Mochtar Kusumaatmadja, 1986, Pembinaan Hukum dalam Rangka Pembangunan Nasional, Lembaga Penelitian Hukum dan Kriminologi Fakultas Hukum Universitas Padjadjaran, (Bandung: Binacipta), hlm. 3.
7
Siswanto Sunarso, 2009. Hukum Informasi dan Transaksi Elektronik: Studi Kasus “Prita
4 berdampak sangat nyata meskipun alat buktinya bersifat elektronik. Dengan
perluasan alat bukti maka subjek pelakunya dapat dikualifikasikan sebagai orang
yang telah melakukan perbuatan hukum secara nyata.8
Permasalahan yang lebih luas terjadi pada bidang keperdataan, karena transaksi
elektronik untuk kegiatan perdagangan melalui sistem elektronik (electronic
commerce) telah menjadi bagian dari perniagaan nasional dan internasional.
Kenyataan ini menunjukkan bahwa konvergensi di bidang teknologi informasi,
media, dan informatika (telematika) berkembang terus tanpa dapat dibendung,
seiring dengan ditemukannya perkembangan baru di bidang teknologi informasi,
media, dan komunikasi.9
Perkembangan teknologi dapat meningkatkan tindakan pelanggaran norma-norma
keperdataan, baik itu pelanggaran norma kontrak (wanprestasi) maupun
pelanggaran norma hukum atau perbuatan melanggar hukum. Sudah seharusnya
peraturan juga ditingkatkan sesuai dengan berkembangnya kemajuan teknologi
yang ada, terutama dalam hal pengajuan alat bukti yang digunakan sebagai sarana
pembuktian di pengadilan. Terkait dengan hukum pembuktian biasanya akan
memunculkan sebuah posisi dilema, di salah satu sisi diharapkan agar hukum
dapat mengikuti perkembangan zaman dan teknologi, di sisi yang lain perlu juga
pengakuan hukum terhadap berbagai jenis-jenis perkembangan teknologi digital
8
Clara Lintang Parica, 2009. Keterkaitan Arsip Elektronik Sebagai Alat Bukti Sah di Pengadilan (Yogyakarta: Badan Perpustakaan dan Arsip DIY), hlm. 3.
9
5 untuk berfungsi sebagai alat bukti di pengadilan.10 Oleh karena itu diperlukan
kehadiran hukum yang dapat menjangkau permasalahan pelanggaran-pelanggaran
yang terjadi di dunia maya, karena hukum positif yang ada belum dapat
menjangkau hal-hal tersebut.11 Perlu dibentuknya Hukum Acara baru sebagai
pengganti hukum acara perdata yang sekarang karena Hukum Acara Perdata yang
berlaku merupakan peninggalan Belanda yang sudah usang dan tidak mampu lagi
mengakomodasi perkembangan alat bukti pada saat ini.
Penggunaan elektronik sebagai bentuk perkembangan ilmu pengetahuan dan
teknologi inilah yang menjadi landasan filosofi dibentuknya Undang-Undang
Nomor 11 Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik (selanjutnya
disebut dengan UU ITE). Penggunaan elektronik sudah sedemikian rupa, mulai
dari aktifitas keuangan sampai dengan aktifitas lainnya yang sifatnya
menghasilkan informasi dan bersifat transaksional dimana alat elektronik adalah
hal yang semakin hari semakin vital.12
Sejak disahkan oleh rapat paripurna DPR-RI pada tanggal 25 Maret 2008, UU ITE
terus ramai dibicarakan, bahkan sampai dengan saat ini, mengingat begitu luas
dan kompleksnya permasalahan yang termuat dalam UU ITE. UU ITE bukan
hanya menjadi bahan kajian bagi orang hukum semata, tetapi juga mereka yang
berhubungan langsung dengan dunia teknik, informasi, bisnis dan lain sebagainya.
Law di Indonesia. PPH Newsletter No.49/XIII/Juni 2002, hlm. 36.
12
6 Kajian yang dilakukan bukan hanya kajian secara teoritis tetapi juga secara
praktik, karena ternyata antara kajian secara teoritis dan di dunia praktik yang
nyata banyak terjadi perbedaan dan menimbulkan permasalahan.
Pada awalnya alat bukti elektronik dalam perkara perdata tidak dikenal, dalam
Het Herziene Indonesisch Reglemen (HIR), Rechtreglement Buitengewesten
(RBg.), KUHPerdata (Kitab Undang-Undang Hukum Perdata) diatur secara
limitatif mengenai alat bukti dalam perkara perdata. Teori-teori tentang alat bukti
tersebut sangat beragam dan luas, dan dalam praktiknya pun masih dipergunakan
sampai dengan sekarang. Permasalahan yang timbul kemudian adalah setelah UU
ITE dinyatakan berlaku, para ahli hukum maupun ahli-ahli lain yang berhubungan
dengan informasi dan transaksi elektronik berupaya mengembangkan teori tentang
alat bukti elektronik yang seperti apa yang dimaksud oleh UU ITE dan bagaimana
dengan penerapannya dalam praktik pembuktian perkara perdata.
Di dalam praktik peradilan, sikap hakim dalam memandang suatu alat bukti dalam
perkara perdata adalah berpedoman kepada HIR, RBg dan KUHPerdata, namun
setelah diundangkannya UU ITE, maka sikap hakim dalam memandang suatu alat
bukti dokumen elektronik dapat beragam, yaitu:13
Ada yang berpendapat, bahwa alat bukti dokumen elektronik sebagai alat bukti
sah adalah sebagai tambahan alat bukti konvensional dalam Hukum Acara.
13Minanoer Rachman, Seminar Nasional: “
7 Namun ada juga yang berpendapat, bahwa dokumen elektronik adalah sebagai alat
bukti pendamping yang harus didukung dengan alat bukti lain untuk menambah
keyakinan hakim.
Pada perkara perdata Nomor: 01/PDT.G/2013/PN.KLD14 yang diadili oleh
Pengadilan Negeri Kalianda dimana pihak Penggugat menyerahkan alat bukti
berupa rekaman tayangan televisi yang disimpan dalam sebuah compact disk
(CD). Pihak Penggugat beralasan bahwa CD adalah alat bukti elektronik sesuai
dengan yang diatur dalam UU ITE. Sikap Majelis Hakim terhadap pengajuan alat
bukti CD tersebut adalah memerintahkan penggugat untuk menghadirkan saksi
ahli yang dapat menerangkan keaslian isi dari CD tersebut.
Pada perkara Nomor: 07/PDT.G/2013/PN.KLD,15 pihak tergugat mengajukan
bukti berupa daftar short message service (SMS) sebagai alat bukti di
persidangan. Tergugat di muka persidangan memperlihatkan isi SMS tersebut
kepada Majelis Hakim dengan menunjukkan SMS yang masih tersimpan dalam
handphone tergugat. Namun, pihak tergugat tidak menghadirkan ahli untuk
menerangkan tentang keaslian/otentisitas dari isi SMS tersebut. Majelis Hakim
dalam menangani alat bukti tersebut bersikap pasif dan tidak meminta pihak
tergugat untuk menghadirkan saksi ahli.
14
Perkara Perdata Nomor: 01/Pdt.G/2013/PN.KLD antara Hi. Sachrudji Maun Putra sebagai Penggugat Melawan Jari sebagai Tergugat I dan Jaman sebagai Tergugat II diputus pada tanggal 18 September 2013 oleh Majelis Hakim Pengadilan Negeri Kalianda.
15
8
Selanjutnya pada perkara lain yaitu perkara perdata Nomor:
11/PDT.G/2013/PN.KLD,16 pihak saksi penggugat menunjukkan e-mail
percakapan komunikasi bisnis antara penggugat dan tergugat di muka persidangan
dengan menggunakan media laptop. Pada persidangan perkara ini penggugat tidak
mengajukan saksi ahli untuk menerangkan tentang keaslian dari isi e-mail tersebut
dikarenakan pihak tergugat telah mengakui isi e-mail serta tidak akan mengajukan
bukti e-mail sebagai bukti dari pihak penggugat dan dari pihak tergugat juga
mengajukan bukti print out e-mail percakapan antara tergugat dengan penggugat.
Dari hal tersebut, tampak bahwa dalam praktik pelaksanaan, perspektif Majelis
Hakim di Pengadilan Negeri Kalianda dalam menerima, mempertimbangkan, dan
menilai alat bukti elektronik yang diajukan dalam perkara perdata masih terjadi
perbedaan pendapat. Adanya perbedaan perspektif tentang penerimaan alat bukti
elektronik inilah yang menjadi lingkup dari permasalahan yang akan diuraikan
dalam tesis ini, oleh karena itu, penulisan tesis ini diberi judul:
PERSPEKTIF HAKIM TERHADAP PENGAJUAN ALAT BUKTI
ELEKTRONIK DALAM PEMBUKTIAN PERKARA PERDATA DI
PENGADILAN NEGERI KALIANDA.
16
9
B. Masalah dan Ruang Lingkup
1. Masalah
Bertitik tolak dari latar belakang masalah, maka yang akan diangkat menjadi
permasalahan adalah sebagai berikut:
a. Bagaimanakah kedudukan, kekuatan hukum dan penerapan penggunaan
alat bukti elektronik yang diatur dalam UU ITE dalam perkara perdata?
b. Bagaimanakah perspektif Majelis Hakim Pengadilan Negeri Kalianda
terhadap alat bukti elektronik yang diajukan para pihak dalam perkara
perdata?
c. Mengapa terjadi perbedaan perspektif oleh Majelis Hakim Pengadilan
Negeri Kalianda dan bagaimana seharusnya sikap Majelis Hakim dalam
menyikapi alat bukti elektronik yang diajukan oleh para pihak tersebut?
2. Ruang Lingkup
Ruang lingkup penelitian ini adalah
a. Ruang lingkup keilmuan
Berdasarkan permasalahan di atas, maka ruang lingkup penelitian ini
termasuk dalam bidang ilmu hukum perdata, khususnya mengenai hukum
acara perdata.
b. Ruang lingkup kajian
Lingkup penelitian ini akan mengkaji tentang perspektif Majelis Hakim
10
C. Tujuan dan Kegunaan Penelitian
1. Tujuan Penelitian
Penelitian dalam pembahasan mengenai alat bukti elektronik adalah bertujuan
untuk:
a. Untuk mengetahui kedudukan, kekuatan hukum dan penerapan
penggunaan alat bukti elektronik yang diatur dalam UU ITE dalam perkara
perdata.
b. Untuk memahami perspektif Majelis Hakim pada Pengadilan Negeri
Kalianda terhadap alat bukti elektronik yang diajukan para pihak dalam
perkara perdata.
c. Untuk menganalisis mengapa terjadi perbedaan perspektif oleh Majelis
Hakim pada Pengadilan Negeri Kalianda dan bagaimana seharusnya sikap
Majelis Hakim dalam menyikapi alat bukti elektronik yang diajukan oleh
para pihak tersebut.
2. Kegunaan Penelitian
Adapun kegunaan dari penelitian ini mencakup kegunaan teoritis dan kegunaan
praktis, yaitu:
a. Kegunaan Teoritis
1) Secara teoritis diharapkan berguna sebagai upaya pengembangan ilmu
pengetahuan dan teknologi, seperti upaya pengembangan wawasan
keilmuan peneliti, pengembangan teori ilmu hukum umumnya pada
pembuktian perdata di Indonesia dan khususnya yang berkaitan dengan
11 Selain itu, penelitian ini diharapkan dapat melengkapi hasil penelitian
yang dilakukan oleh pihak lain dalam bidang yang sama.
2) Sebagai masukan bagi penyempurnaan undang-undang khususnya
mengenai peraturan perundang-undangan yang lebih lengkap tentang
Hukum Acara Perdata yang pada saat ini sedang dalam proses
perumusan mengingat baik Hukum Perdata maupun Hukum Acara
Perdata merupakan produk hukum peninggalan Belanda, serta dapat
pula dijadikan masukan untuk pembuatan peraturan yang berlaku
secara internal di Mahkamah Agung dan Badan Peradilan di bawahnya
untuk mengisi kekosongan hukum dalam bentuk Surat Edaran
Mahkamah Agung (SEMA ) ataupun Peraturan Mahkamah Agung
(PERMA) yang nantinya dapat dijadikan sebagai aturan untuk panduan
bagi Hakim dalam menilai alat bukti elektronik khususnya dalam
pembuktian perkara perdata.
b. Kegunaan Praktis
Secara praktis, penulisan tesis ini diharapkan:
1) Dapat memberikan masukan dalam menjalankan tugas sehari-hari
khususnya bagi para penegak hukum dan para pihak yang
berkepentingan (justiciabelen) yaitu pihak yang sedang beperkara
perdata di pengadilan.
2) Agar dapat memahami perspektif Hakim dalam mempertimbangkan
alat bukti elektronik yang diajukan sebagai alat bukti di persidangan
12
D. Kerangka Pemikiran
1. Kerangka Teori
Teori adalah serangkaian praposisi atau keterangan yang saling berhubungan dan
tersusun dalam sistem deduksi yang mengemukakan penjelasan atas suatu
gejala.17 Sedikitnya terdapat tiga unsur dalam suatu teori. Pertama, penjelasan
tentang hubungan antara berbagai unsur dalam suatu teori. Kedua, teori yang
menganut sistem deduktif, yaitu sesuatu yang bertolak dari suatu yang umum dan
abstrak menuju suatu yang khusus dan nyata. Ketiga, adalah bahwa teori
memberikan penjelasan atas gejala yang dikemukakannya. Fungsi dari teori dalam
suatu penelitian adalah untuk memberikan pengarahan kepada penelitian yang
akan dilakukan.18
Pada proses pembuktian terdapat kegiatan membuktikan. Membuktikan adalah
meyakinkan hakim tentang kebenaran dalil atau dalil-dalil yang dikemukakan
dalam suatu persengketaan, sehingga tampaklah bahwa pembuktian itu hanyalah
diperlukan dalam persengketaan atau perkara di muka hakim atau pengadilan.19
Pembuktian adalah penyajian alat-alat bukti yang sah menurut hukum, kepada
hakim yang memeriksa perkara guna memberi kepastian tentang kebenaran suatu
peristiwa yang dikemukakan.20
17
Sutan Remy Sjahdeni, 2009. Kebebasan Berkontrak dan Perlindungan yang Seimbang Bagi Para Pihak Dalam Perjanjian Kredit Bank di Indonesia (Jakarta: CV Pustaka Utama Grafiti Pers), hlm. 8.
18
Duane R. Monette, 1986. Applied Social Research (New York: Holt, Rinehart, and Winston Inc.), hlm. 27.
19
Subekti, 1982. Hukum Acara Perdata (Bandung: Binacipta), hlm. 89.
20
13 Pembuktian dan alat bukti di dalam hukum acara perdata, merupakan hal yang
sangat penting dalam rangka mencari suatu kebenaran dan kepastian hukum atas
suatu perkara yang diajukan oleh penggugat, sehingga jika suatu alat bukti tidak
dapat ditemukan dan/atau tidak diketemukannya aturan hukum yang mengatur,
maka aparat penegak hukum akan kesulitan dalam menegakkan hak-hak
keperdataan bagi para pihak.
Dalam menilai suatu pembuktian alat bukti, hakim dapat bertindak bebas atau
terikat oleh Undang-undang dalam hal ini terdapat dua teori, yaitu:21
a. Teori Pembuktian Bebas
Dalam teori ini, Hakim bebas menilai alat-alat bukti yang diajukan oleh para
pihak yang beperkara, baik alat-alat bukti yang disebutkan oleh
undang-undang atau yang tidak disebutkan oleh undang-undang-undang-undang.
b. Teori Pembuktian Terikat
Hakim terikat dengan alat pembuktian yang diajukan oleh para pihak yang
beperkara.
Teori ini dibagi menjadi:
1) Teori Pembuktian Negatif
Hakim terikat dengan larangan Undang-Undang dalam melakukan
penilaian terhadap suatu alat bukti tertentu.
21
14 2) Teori Pembuktian Positif
Hakim terikat dengan perintah Undang-Undang dalam melakukan
penilaian terhadap suatu alat bukti tertentu.
3) Teori Pembuktian Gabungan
Hakim bebas dan terikat dalam menilai hasil pembuktian. Dalam menilai
pembuktian, seorang hakim harus pula mengingat asas-asas yang penting
dalam hukum pembuktian perdata.
Terminologi “asas hukum” dapat diartikan sebagai landasan pembentukan hukum
positif (tata hukum), “asas hukum” dapat pula didefinisikan sebagai aturan dasar
dan prinsip-prinsip hukum yang abstrak dan pada umumnya melatar belakangi
peraturan konkret dan pelaksanaan hukum. Pada Hukum Pembuktian, dikenal
adanya asas-asas hukum yaitu sebagai berikut:
a. Asas ius curia novit
Hakim dianggap mengetahui akan hukum, tentang hukumnya tidak harus
diajukan atau dibuktikan oleh para pihak, tetapi dianggap harus diketahui dan
diterapkan oleh hakim.
b. Asas audi et altera partem
Asas ini berarti bahwa kedua belah pihak yang bersengketa harus
diperlakukan sama (equal justice under law). Kedudukan prosesual yang sama
15 c. Asas actor sequitur forum rei
Gugatan harus diajukan pada pengadilan di mana tergugat bertempat tinggal.
d. Asas affirmandi incumbit probatio
Asas ini mengandung arti bahwa siapa yang mengaku memiliki hak maka ia
harus membuktikannya.
e. Asas acta publica probant sese ipsa
Asas ini berkaitan dengan pembuktian suatu akta otentik, yang berarti suatu
akta yang lahirnya tampak sebagai akta otentik serta memenuhi syarat yang
telah ditentukan, akta itu berlaku atau dianggap sebagai akta otentik sampai
terbukti sebaliknya.22
f. Asas testimonium de auditu
Artinya adalah keterangan yang saksi peroleh dari orang lain, saksi tidak
mendengarnya atau mengalaminya sendiri, melainkan mendengar dari orang
lain tentang kejadian tersebut.
g. Asas unus testis nullus testis
Yaitu satu saksi bukan saksi, artinya bahwa satu alat bukti saja tidaklah cukup
untuk membuktikan kebenaran suatu peristiwa atau adanya hak.
22
16 Berkaitan dengan beban pembuktian, di dalam hukum pembuktian terdapat
beberapa teori yang dapat menjadi pedoman bagi hakim dalam memeriksa perkara
di persidangan, yaitu sebagai berikut:
a. Teori Hukum Subyektif
Suatu proses perdata selalu merupakan pelaksanaan dari hukum subyektif, dan
siapa yang mengemukakan atau mengaku mempunyai hak harus
membuktikannya. Penggugat berkewajiban membuktikan adanya
peristiwa-peristiwa khusus yang bersifat menimbulkan hak, sedangkan tergugat harus
membuktikan tidak adanya peristiwa-peristiwa (syarat-syarat) umum dan
adanya peristiwa-peristiwa khusus yang bersifat menghalang-halangi dan
bersifat membatalkan.
b. Teori Hukum Obyektif
Penggugat harus membuktikan kebenaran dari peristiwa yang diajukannya dan
kemudian mencari hukum objektifnya untuk diterapkan pada peristiwa
tersebut.
c. Teori Hukum Publik
Mencari kebenaran suatu peristiwa di dalam peradilan merupakan kepentingan
publik, sehingga hakim harus diberi wewenang yang lebih besar untuk
mencari kebenaran. Disamping itu, ada kewajiban para pihak yang sifatnya
17
d. Teori Hukum Acara
Asas kedudukan prosesual yang sama bagi para pihak di muka hakim (audi et
alteram partem). Hakim harus membagi beban pembuktian berdasarkan
kesamaan kedudukan para pihak, asas ini membawa akibat bahwa
kemungkinan untuk menang bagi para pihak harus sama.
2. Kerangka Konseptual
Untuk menemukan atau mendapatkan pengertian atau penafsiran dalam tesis ini,
maka berikut ini adalah definisi operasional sebagai batasan tentang objek yang
diteliti:
a. Perspektif adalah 1) cara melukiskan suatu benda pada permukaan yang
mendatar sebagaimana yang terlihat oleh mata dengan tiga dimensi (panjang,
lebar, dan tingginya); 2) sudut pandang; pandangan.23
b. Alat bukti adalah suatu hal (barang dan non barang) yang ditentukan oleh
undang-undang yang dapat dipergunakan untuk memperkuat dakwaan,
tuntutan atau gugatan maupun guna menolak dakwaan, tuntutan atau
gugatan.24
c. Alat Bukti Elektronik ialah Informasi Elektronik dan/atau Dokumen
Elektronik yang memenuhi persyaratan formil dan persyaratan materil yang
diatur dalam UU ITE.25
23
http://kamusbahasaindonesia.org/perspektif, dikutip pada 25 November 2014.
18 d. Informasi Elektronik adalah satu atau sekumpulan data elektronik, termasuk
tetapi tidak terbatas pada tulisan, suara, gambar, peta, rancangan, foto,
electronic data interchange (EDI), surat elektronik (electronic mail), telegram,
teleks, telecopy atau sejenisnya, huruf, tanda, angka, Kode Akses, simbol, atau
perforasi yang telah diolah yang memiliki arti atau dapat dipahami oleh orang
yang mampu memahaminya.26
e. Transaksi Elektronik adalah perbuatan hukum yang dilakukan dengan
menggunakan Komputer, jaringan Komputer, dan/atau media elektronik
lainnya.27
f. Teknologi Informasi adalah suatu teknik untuk mengumpulkan, menyiapkan,
menyimpan, memproses, mengumumkan, menganalisis, dan/atau
menyebarkan informasi.28
g. Dokumen Elektronik adalah setiap Informasi Elektronik yang dibuat,
diteruskan, dikirimkan, diterima, atau disimpan dalam bentuk analog, digital,
elektromagnetik, optikal, atau sejenisnya, yang dapat dilihat, ditampilkan,
dan/atau didengar melalui Komputer atau Sistem Elektronik, termasuk tetapi
tidak terbatas pada tulisan, suara, gambar, peta, rancangan, foto atau
Pasal 1 angka 1 UU Nomor 11 Tahun 2008 Tentang Informasi dan Transaksi Elektronik.
27
Pasal 1 angka 2 UU Nomor 11 Tahun 2008 Tentang Informasi dan Transaksi Elektronik.
28
Pasal 1 angka 3 UU Nomor 11 Tahun 2008 Tentang Informasi dan Transaksi Elektronik.
29
19 h. Tanda Tangan Elektronik adalah tanda tangan yang terdiri atas Informasi
Elektronik yang dilekatkan, terasosiasi atau terkait dengan Informasi
Elektronik lainnya yang digunakan sebagai alat verifikasi dan autentikasi.30
i. Penanda Tangan adalah subjek hukum yang terasosiasikan atau terkait dengan
Tanda Tangan Elektronik.31
j. Pembuktian adalah suatu proses bagaimana alat-alat bukti dipergunakan,
diajukan atau dipertahankan sesuatu hukum acara yang berlaku.32
k. Hakim adalah Hakim adalah hakim pada Mahkamah Agung dan hakim pada
badan peradilan yang berada di bawahnya dalam lingkungan peradilan umum,
lingkungan peradilan agama, lingkungan peradilan militer, lingkungan
peradilan tata usaha negara, dan hakim pada pengadilan khusus yang berada
dalam lingkungan peradilan tersebut.33
l. Pengadilan Negeri Kalianda adalah instansi pengadilan pada lingkungan
peradilan umum yang terletak di Kota Kalianda, yang melingkupi wilayah
hukum Kabupaten Lampung Selatan dan Kabupaten Pesawaran.
m. PERMA adalah bentuk peraturan yang berisi ketentuan bersifat hukum
acara.34
n. SEMA adalah bentuk edaran pimpinan MA ke seluruh jajaran peradilan yang
berisi bimbingan dalam penyelenggaraan peradilan, yang lebih bersifat
administrasi.35
30
Pasal 1 angka 12 UU Nomor 11 Tahun 2008 Tentang Informasi dan Transaksi Elektronik.
31
Pasal 1 angka 13 UU Nomor 11 Tahun 2008 Tentang Informasi dan Transaksi Elektronik.
32
Subekti, 1991. Hukum Pembuktian (Jakarta: Pradnya Paramita), hlm. 7.
33
Pasal 1 angka 5 UU Nomor 48 Tahun 2009 Tentang Kekuasaan Kehakiman.
34
Henry P. Panggabean, 2001, Fungsi Mahkamah Agung dalam Praktik Sehari-Hari
20
E. Metode Penelitian
1. Pendekatan Masalah
Penelitian hukum merupakan suatu kegiatan ilmiah yang didasarkan pada metode,
sistematika, dan pemikiran tertentu, yang bertujuan untuk mempelajari satu atau
beberapa gejala hukum tertentu dengan jalan menganalisisnya, dan juga diadakan
pemeriksaan yang mendalam terhadap fakta hukum tersebut untuk kemudian
mengusahakan suatu pemecahan atas permasalahan-permasalahan yang timbul
didalam gejala yang bersangkutan.36
Pendekatan masalah dilakukan dengan cara: pertama, dengan pendekatan
undang-undang (statute approach) yaitu mencari kesesuaian bunyi dari pasal-pasal dalam
UU ITE; kedua, pendekatan konseptual (concetual approach) yaitu beranjak dari
perkembangan doktrin hukum pembuktian; dan yang ketiga adalah pendekatan
kasus (case approach) karena beranjak dari tiga putusan Pengadilan Negeri
Kalianda yang telah diputus oleh Majelis Hakim, yang menjadi kajian dalam
pendekatan kasus adalah rasio decidendi hakim atau reasoning yaitu
pertimbangan hakim untuk sampai pada suatu putusan.
Penulisan ini didasarkan atas data yang dikumpulkan melalui penelitian. Untuk
itu, fokus kajian dalam penelitian ini dipergunakan cara pendekatan
normatif-empiris.37 Hukum normatif-empiris adalah perilaku nyata (in action) setiap warga
21 negara sebagai akibat keberlakuan hukum normatif. Perilaku tersebut dapat
diobservasi dengan nyata dan merupakan bukti apakah warga telah berperilaku
sesuai atau tidak sesuai dengan ketentuan hukum normatif (kodifikasi atau
undang-undang).38 Penelitian hukum normatif-empiris yaitu mengkaji
pelaksanaan implementasi ketentuan hukum positif (perundang-undangan) dan
kontrak secara faktual pada setiap peristiwa hukum tertentu yang terjadi dalam
masyarakat guna mencapai tujuan yang telah ditentukan. Pengkajian tersebut
bertujuan untuk memastikan apakah hasil penerapan pada persitiwa hukum in
concreto itu sesuai atau tidak sesuai dengan ketentuan undang-undang atau
ketentuan kontrak. Dengan kata lain, apakah ketentuan undang-undang atau
kontrak telah dilaksanakan sebagaimana patutnya atau tidak, sehingga pihak-pihak
yang berkepentingan mencapai tujuannya atau tidak.
Dalam penelitian hukum normatif-empiris selalu terdapat gabungan 2 (dua) tahap
kajian. Tahap pertama, kajian mengenai hukum normatif (perundang-undangan,
kontrak) yang berlaku, dan tahap kedua kajian hukum empiris berupa penerapan
(implementasi) pada peristiwa hukum in concreto guna mencapai tujuan yang
telah ditentukan. Oleh karena itu, penelitian hukum ini disebut penelitian hukum
normatif-empiris atau penelitian hukum normatif-terapan (applied law research).
Penelitian hukum normatif-empiris membutuhkan data sekunder dan data
primer.39 Pada penelitian ini, yang diteliti bukan pada aplikasi tentang kontrak
atau perjanjian, akan tetapi putusan hakim. Putusan-putusan yang diteliti dalam
38
ibid. hlm. 132.
39
22 tesis ini akan dianalisis dengan undang-undang, apakah putusan hakim telah
sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang ada atau tidak. 40
2. Jenis Penelitian dan Sumber Data
a. Jenis Penelitian
Berdasarkan tipologi penelitian, penelitian ini merupakan penelitian terapan
(applied research) yaitu mempergunakan practical reasoning untuk menjawab
sesuatu masalah yang timbul pada suatu ketika, agar dapat melakukan sesuatu
dengan lebih baik/ efisien.
b. Sumber Data dan Bahan Hukum
1) Sumber Data
Pada penelitian hukum normatif empiris, sumber data yang dipergunakan dalam
penelitian ini adalah data primer dan data sekunder yang terdiri atas:
a) Data Primer:
Pengumpulan data primer dilakukan dengan cara observasi disertai
pencatatan di lokasi penelitian termasuk juga wawancara terhadap sumber.
b) Data Sekunder:
Pengumpulan data sekunder dilakukan dengan studi pustaka.
40
23
2) Sumber Bahan Hukum
Sumber bahan hukum penelitian ini terdiri dari:
a) Bahan hukum primer, yaitu bahan hukum yang bersifat autoritatif, artinya
mempunyai otoritas.41 Bahan-bahan hukum yang mengikat, seperti:
i. Kitab Undang-undang Hukum Perdata (KUHPerdata);
ii. Reglemen Indonesia yang Diperbarui atau Het Herziene Indonesisch
Reglemen, Staatblad 1926:559 juncto Staatblad 1941:44 (HIR),
sepanjang yang berlaku mengenai hukum acara perdata;
iii. Reglemen Hukum Acara untuk Daerah Luar Jawa dan Madura atau
disebut Rechtreglement Buitengewesten, Staatblad 1927:227 (RBg);
iv. Reglement op de Burgerlijke Rechtsvordering (Rv);
v. Undang-undang Nomor 11 Tahun 2008 Tentang Informasi dan
Transaksi Elektronik;
vi. Putusan Nomor: 01/PDT.G/2013/PN.KLD;
vii. Putusan Nomor: 07/PDT.G/2013/PN.KLD;
viii. Putusan Nomor: 11/PDT.G/2013/PN.KLD;
b) Bahan hukum sekunder, yaitu bahan hukum yang memberi penjelasan
terhadap bahan hukum primer seperti buku-buku bacaan, tulisan–tulisan ilmiah dan hasil-hasil penelitian yang berkaitan dengan masalah yang
diteliti, jurnal hukum dan lain-lain;
c) Bahan hukum tertier, yaitu bahan yang memberi petunjuk maupun
penjelasan terhadap bahan-bahan hukum sekunder dan primer seperti
rancangan undang-undang (RUU), Kamus Besar Bahasa Indonesia
41
24 (KBBI), kamus hukum seperti Black Law Dictionary, Kamus hukum
Belanda-Indonesia, dan ensiklopedia.
3. Teknik Pengumpulan Data dan Pengolahan Data
a. Teknik Pengumpulan Data
Data penelitian ini, prosedur pengumpulan data dilakukan dengan studi pustaka,
dan wawancara.
1) Studi pustaka (library research)
Yaitu dengan cara mencari dan mengumpulkan bahan-bahan teoritis dengan
cara mempelajari melalui studi literatur dan ketentuan perundang-undangan
mengenai Informasi dan Transaksi Elektronik serta mengutip bahan-bahan
pustaka yang berhubungan dengan objek penelitian.
2) Studi Dokumen (document research)
Yaitu dengan cara membaca dan menelaah dokumen yang ada kaitannya
dengan pokok bahasan.
3) Wawancara.
Peneliti akan melakukan wawancara dengan Majelis Hakim pemeriksa perkara
No. 01/Pdt.G/2013/PN.KLD, No. 07/Pdt.G/2013/PN.KLD dan No.
11/Pdt.G/2013/PN.KLD yang berkaitan dengan masalah yang diteliti sebagai
25
b. Pengolahan Data
Setelah data sekunder diperoleh, selanjutnya akan diolah dengan menggunakan
tahap-tahap sebagai berikut:42
1) Pemeriksaan data (editing), yaitu pembenaran apakah data yang terkumpul
melalui studi pustaka, dokumen, wawancara, dan kuisioner sudah dianggap
lengkap, relevan, jelas, tidak berlebihan, dan tanpa kesalahan.
2) Penandaan data (coding), yaitu pemberian tanda pada data yang diperoleh,
baik berupa penomoran ataupun penggunaan tanda atau simbol atau kata
tertentu yang menunjukkan golongan/kelompok/klasifikasi data menurut jenis
dan sumbernya, dengan tujuan untuk menyajikan data secara sempurna,
memudahkan rekontruksi serta analisis data.
3) Penyusunan/sistematisasi data (constructing/sistematizing), yaitu kegiatan
menabulasi secara sistematis data yang sudah diedit dan diberi tanda itu dalam
bentuk tabel-tabel yang berisi angka-angka dan persentase bila data itu
kuantitatif; mengelompokkan secara sistematis data yang sudah diedit dan
diberi tanda itu menurut klasifikasi data dan urutan masalah bila data itu
kualitatif.
c. Analisis Data
Apabila semua data sekunder telah didapatkan melalui studi pustaka (library
research), studi dokumen (document research) dan dari hasil wawancara,
selanjutnya dilakukan analisis data dengan menggunakan pisau analisis kualitatif,
yaitu dengan cara menafsirkan secara kualitatif data-data yang dikaji dengan
42
26 teori dan asas-asas, serta memperhatikan sinkronisasi antara ketentuan peraturan
hukum yang satu dengan ketentuan peraturan hukum yang lain dengan
memperhatikan hierarki peraturan perundang-undangan yang mengatur tentang
informasi dan transaksi elektronik dan implementasi teori, peraturan
perundang-undangan pada putusan perdata No. 01/Pdt.G/2013/PN.KLD, No.
07/Pdt.G/2013/PN.KLD dan No. 11/Pdt.G/2013/PN.KLD.
Dalam rangka menganalisis data, digunakan interpretasi hukum, yaitu proses
pemberian makna dengan masih tetap berpegang pada teks peraturan
perundang-undangan.43 Adapun jenis interpretasi yang digunakan adalah:
1) Subsumtive, yaitu menerapkan suatu teks undang-undang terhadap
in-concreto;
2) Grammatical, yaitu penafsiran dengan cara menyesuaikan kata-kata dalam
undang-undang sehingga sesuai dengan kaidah hukum tata bahasa; dan
3) Historis, yaitu penafsiran berdasarkan sejarah undang-undang dan sejarah
hukum. sejarah undang-undang memuat kehendak pembuat undang-undang
pada waktu membuat undang-undang. Sejarah hukum memuat pemahaman
mengenai keadaan yang melatarbelakangi lahirnya suatu peraturan
perundang-undangan.
4) Futuristik, yaitu penafsiran dengan memberikan gambaran kemungkinan yang
akan terjadi dikemudian hari terhadap peraturan perundang-undangan.
43
27
F. Sistematika Penulisan
Tesis ini membahas dan menguraikan masalah yang terbagi ke dalam lima bab.
Maksud dari pembagian tesis ini ke dalam bab-bab dan sub bab-bab adalah untuk
menjelaskan dan menguraikan setiap masalah dengan baik dan lebih jelas.
Bab I : Pendahuluan, bab ini berisikan latar belakang masalah, perumusan
masalah dan ruang lingkup, tujuan dan kegunaan penelitian, kerangka teori dan
kerangka konseptual.
Bab II : Tinjauan Pustaka, bab ini berisikan tinjauan umum mengenai pembuktian
dan alat bukti dalam hukum acara perdata di Indonesia.
Bab III : Merupakan hasil penelitian dan pembahasan masalah, bab ini membahas
materi tentang kedudukan, kekuatan hukum dan penerapan penggunaan alat bukti
elektronik yang diatur dalam UU ITE dalam perkara perdata.
Bab IV: Merupakan hasil dan pembahasan masalah, bab ini berisikan uraian
mengenai hasil penelitian yaitu perspektif Majelis Hakim Pengadilan Negeri
Kalianda terhadap alat bukti elektronik, sebab terjadinya perbedaan perspektif dan
sikap seharusnya Majelis Hakim dalam menyikapi alat bukti elektronik yang
diajukan oleh para pihak.
Bab V : Merupakan bab penutup, dalam bab ini akan diuraikan kesimpulan dari
masalah-masalah yang dirumuskan dalam penelitian. Setelah itu diakhir bab akan
28
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
A. Pembuktian Dalam Hukum Acara Perdata di Indonesia
1. Pengertian Pembuktian
Pembuktian adalah penyajian alat-alat bukti yang sah menurut hukum oleh para
pihak yang beperkara kepada hakim dalam suatu persidangan, dengan tujuan
untuk memperkuat kebenaran dalil tentang fakta hukum yang menjadi pokok
sengketa, sehingga hakim memperoleh dasar kepastian untuk menjatuhkan
keputusan.1 Menurut M. Yahya Harahap, pembuktian adalah kemampuan
Penggugat atau Tergugat memanfaatkan hukum pembuktian untuk mendukung
dan membenarkan hubungan hukum dan peristiwa-peristiwa yang didalilkan atau
dibantahkan dalam hubungan hukum yang diperkarakan.2 Subekti, mantan Ketua
MA RI dan guru besar hukum perdata pada Universitas Indonesia berpendapat
bahwa pembuktian adalah suatu proses bagaimana alat-alat bukti dipergunakan,
diajukan atau dipertahankan sesuatu hukum acara yang berlaku.3
Menurut Sudikno Mertokusumo, membuktikan mengandung beberapa pengertian,
yaitu:4
1
Bahtiar Effendie, Masdari Tasmin, dan A.Chodari, 1999, Surat Gugat Dan Hukum Pembuktian Dalam Perkara Perdata (Bandung: Citra Aditya Bakti), hlm. 50.
2Abd. Rasyid As’ad, 5 November 2012,
Akta Elektronik Sebagai Alat Bukti Dalam Perkara Perdata, http://fakultashukumdarussalam.blogspot.com/2012/11/akta-elektronik-sebagai-alat-bukti.html, dikutip pada 13 Desember 2013.
3
Subekti, 1991. Hukum Pembuktian (Jakarta: Pradnya Paramita), hlm. 7.
4
29 a. Membuktikan dalam arti logis, berarti memberi kepastian yang
bersifat mutlak, karena berlaku bagi setiap orang dan tidak memungkinan adanya bukti lawan.
b. Membuktikan dalam arti konvensional, berarti memberi
kepastian tetapi bukan kepastian mutlak melainkan kepastian yang relatif sifatnya yang mempunyai tingkatan-tingkatan sebagai berikut:
1) Kepastian yang hanya didasarkan pada perasaan, sehingga bersifat intuitif dan disebut conviction intime.
2) Kepastian yang didasarkan pada pertimbangan akal,
sehingga disebut conviction raisonee.
3) Membuktikan dalam arti yuridis (dalam hukum acara
perdata), tidak lain berarti memberi dasar-dasar yang cukup kepada hakim yang memeriksa perkara guna memberi kepastian tentang kebenaran peristiwa yang diajukan.
Pada tahapan penyelesaian perkara di pengadilan, acara pembuktian merupakan
tahap terpenting untuk membuktikan kebenaran terjadinya suatu peristiwa atau
hubungan hukum tertentu, atau adanya suatu hak, yang dijadikan dasar oleh
penggugat untuk mengajukan gugatan ke pengadilan. Pada tahap pembuktian
juga, pihak tergugat dapat menggunakan haknya untuk menyangkal dalil-dalil
yang diajukan oleh penggugat. Melalui pembuktian dengan menggunakan alat-alat
bukti inilah, hakim akan memperoleh dasar-dasar untuk menjatuhkan putusan
dalam menyelesaikan suatu perkara.
Hukum pembuktian (law of evidence) dalam beperkara merupakan bagian yang
sangat kompleks dalam proses ligitasi. Kompleksitas itu akan semakin rumit
karena pembuktian berkaitan dengan kemampuan merekonstruksi kejadian atau
peristiwa masa lalu (past event) sebagai suatu kebenaran (truth). Meskipun
kebenaran yang dicari dalam proses peradilan perdata, bukan kebenaran yang
30 bersifat kemungkinan (probable), namun untuk menemukan kebenaran yang
demikian pun tetap menghadapi kesulitan.
Sampai saat ini sistem pembuktian hukum perdata di Indonesia, masih
menggunakan ketentuan-ketentuan yang diatur di dalam Kitab Undang-Undang
Hukum Perdata (KUHPerdata) dari Pasal 1865 - Pasal 1945, sedangkan dalam
Herzine Indonesische Reglement (HIR) berlaku bagi golongan Bumi Putera untuk
daerah Jawa dan Madura diatur dalam Pasal 162 – Pasal 165, Pasal 167, Pasal 169
– Pasal 177, dan dalam Rechtreglement Voor de Buitengewesten (RBg) berlaku
bagi golongan Bumi Putera untuk daerah luar Jawa dan Madura diatur dalam
Pasal 282 – Pasal 314.
2. Teori Kekuatan Pembuktian Suatu Alat Bukti
Ketika membahas tentang penilaian pembuktian, alat bukti yang diajukan oleh
para pihak ke persidangan akan dilakukan penilaian, yang dalam hal ini yang
berwenang untuk melakukan penilaian adalah Hakim. Pada umumnya, sepanjang
undang-undang tidak mengatur sebaliknya, Hakim bebas untuk menilai
pembuktian. Dalam hal ini, pembentuk undang-undang dapat mengikat Hakim
pada alat-alat bukti tertentu (misalnya alat bukti surat), sehingga Hakim tidak
bebas menilainya. Salah satu contohnya adalah alat bukti surat yang mempunyai
kekuatan pembuktian mengikat bagi Hakim maupun para pihak.
Sebaliknya, pembentuk undang-undang dapat menyerahkan dan memberi
kebebasan pada Hakim dalam menilai pembuktian terhadap alat bukti, misalnya
31 diserahkan pada Hakim untuk menilai pembuktiannya, Hakim boleh terikat atau
tidak pada keterangan yang diberikan oleh saksi.5
Pada saat menilai alat bukti, hakim dapat bertindak bebas atau terikat oleh
Undang-undang, dalam hal ini terdapat dua teori, yaitu:6
a. Teori Pembuktian Bebas
Hakim bebas menilai alat-alat bukti yang diajukan oleh para pihak yang
beperkara, baik alat-alat bukti yang sudah disebutkan oleh Undang-Undang,
maupun alat-alat bukti yang tidak disebutkan oleh Undang-Undang.
b. Teori Pembuktian Terikat
Hakim terikat dengan alat pembuktian yang diajukan oleh para pihak yang
beperkara. Putusan yang dijatuhkan, harus selaras dengan alat-alat bukti yang
diajukan dalam persidangan.
Lebih lanjut teori ini dibagi menjadi:
1) Teori Pembuktian Negatif
Hakim terikat dengan larangan Undang-Undang dalam melakukan
penilaian terhadap suatu alat bukti tertentu.
2) Teori Pembuktian Positif
Hakim terikat dengan perintah Undang-Undang dalam melakukan
penilaian terhadap suatu alat bukti tertentu.
5
Efa Laela Fakhriah, 2013. Bukti Elektronik dalam Sistem Pembuktian Perdata. Cetakan ke-2 (Bandung: PT Alumni), hlm. 40.
6
32
3) Teori Pembuktian Gabungan
Hakim bebas dan terikat dalam menilai hasil pembuktian. Dalam menilai
pembuktian, seorang hakim harus pula mengingat asas-asas yang penting
dalam hukum pembuktian perdata.
Kekuatan pembuktian alat bukti surat dapat dibedakan antara yang berbentuk akta
dengan bukan akta. Surat yang berbentuk akta juga dapat dibedakan menjadi akta
otentik dan akta di bawah tangan. Kekuatan pembuktian suatu akta dapat
dibedakan menjadi:7
1) Kekuatan pembuktian luar
Suatu akta otentik yang diperlihatkan harus dianggap dan diperlakukan
sebagai akta otentik, kecuali dapat dibuktikan sebaliknya bahwa akta itu
bukan akta otentik. Selama tidak dapat dibuktikan sebaliknya pada akta
tersebut melekat kekuatan bukti luar. Maksud dari kata memiliki daya
pembuktian luar adalah melekatkan prinsip anggapan hukum bahwa setiap
akta otentik harus dianggap benar sebagai akta otentik sampai pihak lawan
mampu membuktikan sebaliknya.
2) Kekuatan pembuktian formil
Berdasarkan Pasal 1871 KUHPerdata, bahwa segala keterangan yang tertuang
di dalamnya adalah benar diberikan dan disampaikan kepada pejabat yang
membuatnya. Oleh karena itu segala keterangan yang diberikan penanda
tangan dalam akta otentik dianggap benar sebagai keterangan yang dituturkan
7
33 dan dikehendaki yang bersangkutan. Anggapan atas kebenaran yang
tercantum di dalamnya, bukan hanya terbatas pada keterangan atau
pernyataan di dalamnya benar dari orang yang menandatanganinya tetapi
meliputi pula kebenaran formil yang dicantumkan pejabat pembuat akta:
mengenai tanggal yang tertera di dalamnya, sehingga tanggal tersebut harus
dianggap benar, dan tanggal pembuatan akta tidak dapat lagi digugurkan oleh
para pihak dan hakim.
3) Kekuatan pembuktian materil
Mengenai kekuatan pembuktian materil akta otentik menyangkut
permasalahan benar atau tidak keterangan yang tercantum di dalamnya. Oleh
karena itu, kekuatan pembuktian materiil adalah persoalan pokok akta otentik.
3. Asas-asas Hukum Pembuktian
Suatu sistem hukum merupakan suatu kesatuan aturan-aturan hukum yang
berhubungan satu dengan lainnya, dan telah diatur serta disusun berdasarkan
asas-asas. Asas-asas hukum adalah aturan-aturan pokok yang tidak dapat lagi
dijabarkan lebih lanjut, diatasnya tidak lagi ditemukan aturan-aturan yang lebih
tinggi lagi. Asas hukum merupakan dasar bagi aturan-aturan hukum yang lebih
rendah.8
Perbedaan antara asas hukum dengan peraturan yang lebih rendah adalah bahwa
asas hukum lebih abstrak, apabila asas hukum tidak dimasukkan dalam
undang-undang, tidak mengikat bagi hakim, melainkan hanya sebagai pedoman saja. Akan
8
34 tetapi, bila asas itu secara tegas dituangkan dalam undang-undang, mempunyai
kekuatan mengikat sebagai undang-undang sehingga hakim berkewajiban untuk
menerapkan asas tersebut secara langsung terhadap semua kasus-kasus nyata yang
atasnya tidak terdapat aturan-aturan khusus.9
Asas-asas dalam Hukum Pembuktian adalah sebagai berikut:
a. Asas ius curia novit
Hakim dianggap mengetahui akan hukum, hal ini berlaku juga dalam
pembuktian, karena dalam membuktikan, tentang hukumnya tidak harus
diajukan atau dibuktikan oleh para pihak, tetapi dianggap harus diketahui dan
diterapkan oleh hakim.
b. Asas audi et altera partem
Asas ini berarti bahwa kedua belah pihak yang bersengketa harus
diperlakukan sama (equal justice under law). Kedudukan prosesual yang sama
bagi para pihak di muka hakim. Ini berarti bahwa hakim harus membagi beban
pembuktian berdasarkan kesamaan kedudukan para pihak secara seimbang.
Dengan demikian kemungkinan untuk menang bagi para pihak haruslah sama.
c. Asas actor sequitur forum rei
Gugatan harus diajukan pada pengadilan di mana tergugat bertempat tinggal.
Asas ini dikembangkan dari asas presumption of innocence yang dikenal
dalam hukum pidana.
9
35 d. Asas affirmandi incumbit probatio
Asas ini mengandung arti bahwa siapa yang mengaku memiliki hak maka ia
harus membuktikannya.
e. Asas acta publica probant sese ipsa
Asas ini berkaitan dengan pembuktian suatu akta otentik, yang berarti suatu
akta yang lahirnya tampak sebagai akta otentik serta memenuhi syarat yang
telah ditentukan, akta itu berlaku atau dianggap sebagai akta otentik sampai
terbukti sebaliknya. Beban pembuktiannya terletak pada siapa yang
mempersoalkan otentik tidaknya akta tersebut.10
f. Asas testimonium de auditu
Merupakan asas dalam pembuktian dengan menggunakan alat bukti kesaksian,
artinya adalah keterangan yang saksi peroleh dari orang lain, saksi tidak
mendengarnya atau mengalaminya sendiri melainkan mendengar dari orang
lain tentang kejadian tersebut. Pada umumnya, kesaksian berdasarkan
pendengaran ini tidak diperkenankan, karena keterangan yang diberikan bukan
peristiwa yang dialaminya sendiri, sehingga tidak merupakan alat bukti dan
tidak perlu lagi dipertimbangkan. Hal ini sesuai dengan yurisprudensi
Mahkamah Agung RI tanggal 15 Maret 1972 No. 547 K/Sip/1971, yang
menentukan: Keterangan saksi de auditu bukan merupakan alat bukti.
10
36 g. Asas unus testis nullus testis
Yang berarti satu saksi bukan saksi, artinya bahwa satu alat bukti saja tidaklah
cukup untuk membuktikan kebenaran suatu peristiwa atau adanya hak. Pasal
169 HIR/306 RBg menyebutkan bahwa keterangan seorang saksi saja tanpa
alat bukti lainnya tidak dapat dianggap sebagai pembuktian yang cukup. Hal
ini sesuai dengan yurisprudensi Mahkamah Agung RI No. 665 K/Sip/1973,
yang menentukan: “Satu surat bukti saja tanpa dikuatkan oleh alat bukti lain
tidak dapat diterima sebagai pembuktian”.
Mengenai asas testimonium de auditu dan asas unus testis nullus testis akan
dibahas lebih lanjut pada bagian alat bukti saksi di bawah ini.
4. Teori Beban Pembuktian
Di dalam pembagian beban pembuktian dikenal asas, yaitu siapa yang
mendalilkan sesuatu dia harus membuktikannya, sebagaimana tercantum dalam
Pasal 163 HIR/283 RBg. Hal ini secara sepintas mudah untuk diterapkan. Namun,
sesungguhnya dalam praktik merupakan hal yang sukar untuk menentukan secara
tepat siapa yang harus dibebani kewajiban untuk membuktikan sesuatu.11 Menurut
Peneliti, kewajiban untuk membuktikan sesuatu tersebut, terletak pada siapa yang
mendalilkan seperti dalam gugatan, dalam hal ini adalah penggugat, namun
apabila tergugat mengajukan dalil bantahannya, maka dia dibebani pula untuk
11