• Tidak ada hasil yang ditemukan

Nilai Titik Potong D-Dimer Sebagai Penanda Terjadinya Trombosis Vena Dalam pada Pasien Kanker Ovarium sebelum Operasi

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2016

Membagikan "Nilai Titik Potong D-Dimer Sebagai Penanda Terjadinya Trombosis Vena Dalam pada Pasien Kanker Ovarium sebelum Operasi"

Copied!
100
0
0

Teks penuh

(1)

NILAI TITIK POTONG D-DIMER SEBAGAI PENANDA TERJADINYA TROMBOSIS VENA DALAM PADA PASIEN KANKER OVARIUM SEBELUM OPERASI

Oleh : Yudha Sudewo

Pembimbing :

1. Prof. dr. M. Fauzie Sahil, SpOG(K) 2. dr. Deri Edianto, M.Ked(OG), SpOG.K

Pembanding :

1. dr. Makmur Sitepu, M.Ked(OG), SpOG.K 2. dr. Henry Salim Siregar, SpOG.K

3. dr. M. Fahdhy, MSc, SpOG

DEPARTEMEN OBSTETRI DAN GINEKOLOGI

FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS SUMATERA UTARA RSUP. H. ADAM MALIK – RSUD DR. PIRNGADI

MEDAN

(2)

PENELITIAN INI DI BAWAH BIMBINGAN TIM-5

Pembimbing :

Prof. dr. M. Fauzie Sahil, SpOG(K)

dr. Deri Edianto, M.Ked (OG), SpOG.K

Pembanding :

dr. Makmur Sitepu, M.Ked(OG), SpOG.K

dr. Henry Salim Siregar, SpOG.K

dr. M. Fahdhy, MSc, SpOG

Diajukan untuk Melengkapi dan Memenuhi Syarat

Menyelesaikan Program Pendidikan Dokter Spesialis

(3)
(4)

KATA PENGANTAR Dengan nama Allah Yang Maha Pengasih Lagi Maha Penyayang.

Segala puji dan syukur Saya panjatkan kepada Allah SWT, karena berkat rahmat dan hidayah-Nya penulisan tesis ini dapat diselesaikan.

Tesis ini disusun untuk melengkapi tugas-tugas dan memenuhi salah satu syarat untuk memperoleh gelar keahlian dalam bidang Obstetri dan Ginekologi. Sebagai manusia biasa Saya menyadari bahwa tesis ini banyak kekurangannya dan masih jauh dari sempurna, namun demikian besar harapan Saya kiranya Tesis ini dapat bermanfaat dalam menambah perbendaharaan bacaan khususnya tentang :

“NILAI TITIK POTONG D-DIMER SEBAGAI PENANDA TERJADINYA TROMBOSIS VENA DALAM PADA PASIEN KANKER OVARIUM SEBELUM OPERASI”

Dengan selesainya laporan penelitian ini, perkenankanlah Saya menyampaikan rasa terima kasih dan penghargaan yang setinggi-tingginya kepada yang terhormat :

1. Rektor Universitas Sumatera Utara, Prof. dr. Syahril Pasaribu, DTM&H (CTM&H), SpA(K) dan Dekan Fakultas Kedokteran Universitas Sumatera Utara, Prof. dr. Gontar Alamsyah Siregar, SpPD (KGEH), yang telah memberikan kesempatan kepada Saya untuk mengikuti Program Pendidikan Dokter Spesialis di Fakultas Kedokteran USU Medan

(5)

Z. Tala, M.Ked(OG), SpOG (K); Prof. dr. M. Jusuf Hanafiah, SpOG (K); Prof. dr. Djafar Siddik, SpOG (K); Prof. Dr. dr. M. Thamrin Tanjung, SpOG (K); Prof. dr. Hamonangan Hutapea, SpOG (K); Prof. dr. R. Haryono Roeshadi, SpOG (K); Prof. dr. T. M. Hanafiah, SpOG (K); Prof. dr. Budi R. Hadibroto, SpOG (K); Prof. dr. M. Fauzie Sahil, SpOG(K); Prof. dr. Daulat H. Sibuea, SpOG (K); yang telah bersama-sama berkenan menerima Saya untuk mengikuti pendidikan magister di Departemen Obstetri dan Ginekologi. 3. Khususnya kepada Prof. dr. Delfi Lutan, MSc, SpOG (K); yang telah memberi Saya

kesempatan untuk dapat menempuh Program Pendidikan Dokter Spesialis di Departemen Obstetri dan Ginekologi FK-USU. Saya ucapkan Terimakasih yang tidak terhingga, semoga Allah SWT membalas kebaikan beliau.

4. Ketua Divisi Onkologi Ginekologi Prof. dr. M. Fauzie Sahil, SpOG(K) dan Sekretaris Divisi Onkologi Ginekologi dr. Deri Edianto, M.Ked(OG), SpOG(K) yang telah mengizinkan Saya untuk melakukan penelitian tentang

“NILAI TITIK POTONG D-DIMER SEBAGAI PENANDA TERJADINYA TROMBOSIS VENA DALAM PADA PASIEN KANKER OVARIUM SEBELUM OPERASI”

5. Prof. dr. M. Fauzie Sahil, SpOG(K) dan dr. Deri Edianto, M.Ked(OG), SpOG(K) selaku pembimbing tesis Saya, bersama dr. Makmur Sitepu, M.Ked(OG), SpOG(K), dr.Henry Salim Siregar, SpOG(K); dan dr. M. Fahdhy, MSc, SpOG, selaku pembanding tesis Saya yang penuh dengan kesabaran telah meluangkan waktu yang sangat berharga untuk membimbing, memeriksa, dan melengkapi penulisan tesis ini hingga selesai.

(6)

7. Terimakasih kepada dr. Netty Lubis, SpRad yang telah membimbing Saya untuk dapat memahami lebih dalam mengenai pemeriksaan USG DVT dan juga selaku sonografer dalam penelitian ini, yang telah banyak membantu terselesaikannya tesis ini.

8. Prof. dr. M. Fauzie Sahil, SpOG(K) selaku Bapak Angkat Saya selama menjalani masa pendidikan, yang telah banyak mengayomi, membimbing dan memberikan nasehat yang bermanfaat kepada Saya selama dalam pendidikan.

9. Kepada dr. Henry Salim Siregar, SpOG(K) selaku pembimbing Minireferat Magister Saya yang berjudul: “Ablasi Syaraf Panggul Dengan Laparoskopi Dan Neurektomi Presakral Sebagai Penanganan Nyeri Panggul Kronis”. Kepada dr. Hotma Partogi Pasaribu, M.Ked(OG), SpOG selaku pembimbing Minireferat Fetomaternal Saya yang berjudul: ”D-Isoimunisasi”. Kepada dr. Ichwanul Adenin, M.Ked(OG), SpOG(K) selaku pembimbing Minirefarat Fertilitas Endokrinologi dan Reproduksi Saya yang berjudul: ”Abortus Berulang Dengan Hiperhomosisteinemia”. Kepada dr. Deri Edianto, M.Ked(OG), SpOG(K) selaku pembimbing minirefarat Onkologi-Ginekologi Saya yang berjudul: “Kemoterapi Perfusi Lokoregional Terisolasi Pada Panggul Dengan Kemofiltrasi Ekstrakorporal Sebagai Terapi Untuk Kanker Serviks Stadium Lanjut”.

10.Seluruh Staf Pengajar Departemen Obstetri dan Ginekologi FK-USU Medan, yang secara langsung telah banyak membimbing dan mendidik Saya sejak awal hingga akhir pendidikan. Semoga Allah SWT membalas budi baik Guru-guru Saya tersebut.

(7)

12.Kepada dr. Surya Dharma sebagai pembimbing statistik yang telah memberikan waktu dan tenaga dalam membantu dalam penyelesaian tesis magister ini.

13.Direktur RSUD dr. Pirngadi Medan, dr. Amran Lubis, SpJP; dan khususnya Kepala SMF Obstetri dan Ginekologi RSUD dr. Pirngadi Medan dr. Syamsul Arifin Nasution, SpOG(K); Ketua koordinator PPDS Obgin RSUD dr. Pirngadi Medan dr. Sanusi Piliang, SpOG; Ketua Komite Penelitian di RSUD dr. Pirngadi Medan dr. Fadjrir, SpOG beserta staf yang telah memberikan kesempatan dan sarana kepada Saya selama menempuh pendidikan di Departemen Obstetri dan Ginekologi.

14.Kepada dr. Rushakim Lubis, SpOG terima kasih atas nasehat yang telah diberikan kepada saya selama menjalani masa pendidikan.

15.Kepada dr. John S. Khoman, SpOG (K) dan dr. Roy Yustin, SpOG(K) terima kasih banyak atas segala nasehat, arahan, dan bimbingannya kepada Saya selama bertugas di Divisi Onkologi Ginekologi RSUD dr. Pirngadi Medan.

16.Direktur Rumkit Tk. II Puteri Hijau KESDAM II/BB Medan dan Kepala SMF Obstetri dan Ginekologi Rumkit Tk. II Puteri Hijau KESDAM II/BB Medan dr. Yazim Yaqub, SpOG; beserta staf yang telah memberi kesempatan dan sarana serta bimbingan selama Saya bertugas di Rumah Sakit tersebut.

17.Direktur Rumah Sakit Umum PTPN II Tembakau Deli; dr. Sofyan Abdul Ilah, SpOG dan dr. Nazaruddin Jaffar, SpOG (K) beserta staf yang telah memberikan kesempatan dan bimbingan selama Saya bertugas menjalani pendidikan di Rumah Sakit tersebut.

(8)

19.Direktur RSU Sundari Medan; dan Kepala SMF Obstetri dan Gnekologi RSU Sundari Medan dr. H. M. Haidir, MHA, SpOG dan Ibu Sundari, Am.Keb beserta staf yang telah memberi kesempatan dan bimbingan selama Saya bertugas di Rumah Sakit tersebut. 20.Direktur RSUD Sabang dr. Togu Siburian; beserta staf yang telah memberikan

kesempatan untuk bekerja dan memberikan bantuan moril selama Saya bertugas di Rumah Sakit tersebut.

21.Ketua Departemen Anestesiologi dan Reanimasi FK-USU Medan beserta staf, atas kesempatan dan bimbingan yang telah diberikan selama Saya bertugas di Departemen tersebut.

22.Ketua Departemen Patologi Anatomi FK-USU Medan beserta staf, atas kesempatan dan bimbingan yang telah diberikan selama Saya bertugas di Departemen tersebut.

(9)

Joshimin F, SpOG, dr. Firman A, SpOG; dr. Aidil A, SpOG; dr. Rizka H, SpOG; dr. Hatsari, SpOG, dr. Reynanta SpOG, dr. Andri P. Aswar, SpOG, dr. Alfian ZS SpOG, dr. Errol, SpOG, dr. T. Johan A., M.Ked(OG), SpOG; dr. Tigor PH, M.Ked(OG), SpOG; dr. Elvira MS, M.Ked(OG), SpOG; dr. Hendry AS, M.Ked(OG), SpOG; dr. Heika NS, M.Ked(OG), SpOG; dr. Riske EP, M.Ked(OG); dr. Ali Akbar, M.Ked(OG), SpOG; dr. Arjuna S, M.Ked(OG), SpOG; dr. Janwar S, M.Ked(OG), SpOG; dr. Irwansyah P, M.Ked(OG), SpOG; dr.Ulfah WK, M.Ked(OG), SpOG; dr. Ismail Usman, M.Ked(OG), SpOG; dr. Aries M, dr.Hendri Ginting, M.Ked(OG), SpOG, dr. Robby Pakpahan, dr. Meity Elvina, M.Ked(OG), SpOG, dr. M. Yusuf, M.Ked(OG), SpOG; dr. Dany Aryani, M.Ked(OG), SpOG; dr. Fatin Atifa, M.Ked(OG), SpOG; Saya berterima kasih atas segala bimbingan, bantuan dan dukungannya yang telah diberikan selama ini.

24.Kepada sahabat-sahabat saya sejawat satu angkatan: dr. Pantas S Siburian; dr. Morel Sembiring; dr. Eka Handayani, M.Ked(OG); dr. Sri Damayana Hrp, M.Ked(OG); dr. Liza Marosa; dr. M Rizki Pratama Yudha; dr. M. Arif Siregar, M. Ked(OG); dr. Ferdiansyah Putra Hrp, M.Ked(OG); dr. Henry Gunawan terima kasih untuk kebersamaan dan kerjasamanya selama pendidikan hingga saat ini.

(10)

Lubis, terima kasih atas kebersamaan kita selama ini, kenangan indah akan Saya ingat selamanya.

(11)

Utari, Terima kasih atas kebersamaan, dorongan semangat dan doa yang telah diberikan selama ini.

27.Kepada almh. Ibu Hj. Asnawati Hsb, Ibu Hj. Sosmalawaty, Ibu Zubaedah, Mimi, dan seluruh Pegawai di lingkungan Departemen Obstetri dan Ginekologi RSUP H. Adam Malik Medan terima kasih atas bantuan dan dukungannya.

28.Dokter muda, Bidan, Paramedis, karyawan/karyawati, serta para pasien di Departemen Obstetri dan Ginekologi FK-USU / RSUP. H. Adam Malik Medan, RSUD dr. Pirngadi Medan, RS. Haji Medan, RS. Sundari, Rumah Sakit Umum PTPN II Tembakau Deli, Rumkit Tk. II Puteri Hijau KESDAM II/BB Medan, yang dari padanya Saya banyak memperoleh pengetahuan baru, terima kasih atas kerja sama dan saling pengertian yang diberikan kepada Saya sehingga dapat sampai pada akhir program pendidikan ini.

(12)

30. Akhirnya kepada seluruh keluarga handai tolan yang tidak dapat Saya sebutkan namanya satu persatu, baik secara langsung maupun tidak langsung, yang telah banyak memberikan bantuan, baik moril maupun materil, Saya ucapkan terima kasih yang sebesar-besarnya. Semoga Allah SWT senantiasa memberikan rahmat dan hidayah-Nya kepada kita semua. Amin Ya Rabbal ‘Alamin.

Medan, Oktober 2013

(13)

DAFTAR ISI

(14)

2.2.6. DIAGNOSIS ... 16

2.3. D-DIMER SEBAGAI PENANDA DVT ... 22

2.4. USG UNTUK MENEGAKKAN DVT ... 25

2.5. DVT PADA KANKER OVARIUM ... 28

2.5.1. PREVALENSI ... 28

2.5.2. PATOFISIOLOGI ... 28

2.5.3. FAKTOR RISIKO DVT PADA PASIEN KANKER ... 32

2.5.4. LMWH SEBAGAI PROFILAKSIS DVT PADA KANKER ... 35

2.5.5. KEUNGGULAN LMWH DIBANDINGKAN DENGAN UFH ... 37

2.6. KERANGKA TEORI ... 40

2.7. KERANGKA KONSEP ... 41

BAB 3 METODE PENELITIAN 3.1. RANCANGAN PENELITIAN ... 42

3.2. TEMPAT DAN WAKTU PENELITIAN ... 42

3.3. POPULASI DAN SAMPEL PENELITIAN ... 42

3.3.1. POPULASI PENELITIAN ...………….... 42

3.3.2. SAMPEL PENELITIAN ...…... 43

3.4. CARA KERJA PENELITIAN ... 44

3.5. VARIABEL PENELITIAN ... 44

3.6. PERSETUJUAN SETELAH PENJELASAN ... 44

3.7. ETIKA PENELITIAN ... 45

3.8. ALUR PENELITIAN ... 45

3.9. BATASAN OPERASIONAL ... 46

3.10. ANALISIS DATA ... 46

BAB 4 HASIL DAN PEMBAHASAN ... 47

BAB 5 KESIMPULAN DAN SARAN ... 56

DAFTAR PUSTAKA ...…………... 58

(15)

DAFTAR TABEL

Halaman

Tabel 2.1. Five-year survival rate kanker ovarium berdasarkan stadium ... 5 Tabel 2.2. Tampilan makroskopik tumor ovarium jinak dan ganas …….. 7 Tabel 2.3. Stadium kanker ovarium menurut FIGO 2000 ……….. 7 Tabel 2.4. Resiko keganasan berdasarkan indeks risiko keganasan ... 11 Tabel 2.5. Faktor risiko DVT ... 16 Tabel 2.6. Tingkatan risiko tromboembolisme pada pasien operasi tanpa

profilaksis ... 17 Tabel 2.7. Modified Wells Score ... 18 Tabel 2.8. Hasil berbagai penelitian mengenai D-Dimer untuk diagnostik DVT

... 24 Tabel 2.9. Faktor-faktor koagulasi dan protein regulasi yang berhubungan dengan

kanker ovarium ... 29 Tabel 2.10. Hubungan DVT dengan faktor risiko pada kanker ... 33 Tabel 2.11. Tumor ganas yang berhubungan dengan DVT ... 33 Tabel 2.12. Perbandingan penggunaan LMWH dengan UFH terhadap mortalitas

terkait kanker ... 38 Tabel 2.13. Perbandingan pengaruh LMWH dengan UFH terhadap kualitas hidup

... 39 Tabel 4.1. Karakteristik rata-rata pasien ... 47 Tabel 4.2. Hubungan usia dan ukuran tumor dengan kadar D-Dimer sebelum operasi

... 48 Tabel 4.3. Hubungan usia dengan kejadian DVT ... 49 Tabel 4.4. Hubungan ukuran tumor dengan kejadian DVT ... 49 Tabel 4.5. Hubungan BMI dengan kadar D-Dimer dan kejadian DVT .... 50

Tabel 4.6. Hubungan stadium kanker ovarium dengan kadar D-Dimer dan kejadian DVT ... 51

(16)

Tabel 4.8. Hubungan kadar D-Dimer dengan kejadian DVT pada pasien kanker ovarium sebelum dilakukan tindakan pembedahan ... 53

Tabel 4.9. Sensitivitas dan Spesifisitas dari berbagai cut-off kadar D-Dimer untuk diagnosis DVT pada pasien kanker ovarium sebelum

(17)

DAFTAR GAMBAR

Halaman

Gambar 2.1. Anatomi Vena Ekstremitas Bawah ... 13 Gambar 2.2. Sistem USG B-mode resolusi tinggi dan transduser datar yang digunakan

untuk menilai adanya DVT ... 26 Gambar 2.3. Pemeriksaan USG kompresi pada DVT ... 27 Gambar 2.4. Diagram kaskade koagulasi darah ………...… 30 Gambar 2.5. Regulasi dari fungsi prokoagulan sel tumor dan sel endotelial dalam

patogenesis trombosis kanker ……….... 30 Gambar 2.6. Faktor intrinsik dan ekstrinsik koagulasi serta inhibitornya … 32 Gambar 2.7. Proses inaktivasi dari trombin (A) dan inaktivasi dari faktor Xa (B)

(18)

DAFTAR LAMPIRAN

Lampiran 1. Ethical Clearance

Lampiran 2. Lembar Penjelasan Kepada Calon Subyek Penelitian Lampiran 3. Lembar Persetujuan Setelah Penjelasan

(19)

DAFTAR SINGKATAN

DVT = Deep Vein Thrombosis RSUP = Rumah Sakit Umum Pusat USG = Ultrasonography

FIGO = International Federation of Gynecology and Obstetrics CT-Scan = Computed Tomography Scanning

MRI = Magnetic Resonance Imaging CA 125 = Cancer Antigen 125

OC 125 = Mouse Monoclonal 125 IRK = Indeks Risiko Keganasan

RCOG = Royal College of Obstetricians and Gynaecologists VTE = Venous Thromboembolic Disease

PE = Pulmonary Embolism PTS = Post-Thrombotic Syndrome BMI = Body Mass Index

EPC = Evidence-based Practice Centers NPV = Negative Predictive Value

DIC = Disseminated Intravascular Coagulation B-mode = Brightness Mode

TF = Tissue Factor

PARs = Proase-Activated Reseptors

PL = Platelet

CP = Cancer Procoagulant

u-PA = Urokinase-type Plasminogen Activator t-PA = Tissue-type Plasminogen Activator PAI = Plasminogen Activation Inhibitor

uPAR = Urokinase-type Plasminogen Activator Reseptor IL-1 = Interleukin-1

TNF = Tumor Necrosis Factor

TFPI = Tissue Factor Pathway Inhibitor LMWH = Low Molecular Weight Heparin UFH = Unfractioned Heparin

LDH = Low-Dose Heparin

(20)

NILAI TITIK POTONG D-DIMER SEBAGAI PENANDATERJADINYA TROMBOSIS VENA DALAMPADA PASIEN KANKER OVARIUM SEBELUM OPERASI

Sudewo Y, Sahil MF, Edianto D, Sitepu M, Siregar HS, Fahdhy M Departemen Obstetri dan Ginekologi

Fakultas Kedokteran Universitas Sumatera Utara Medan, Indonesia, Oktober 2013

ABSTRAK

LATAR BELAKANG: D-Dimer, suatu penanda dari DVT, dapat digunakan untuk menyingkirkan adanya DVT, dimana apabila dibandingkan dengan pemeriksaan USG yang menjadi gold standar untuk menegakkan DVT, pemeriksaan ini relatif murah dan dapat dilakukan secara bersamaan dengan pemeriksaan lain yang rutin dilakukan pada saat persiapan operasi pada pasien-pasien kanker ovarium sebelum dilakukan tindakan operasi, dianggap lebih dapat diterapkan sebagai skrining rutin.

TUJUAN: Mengetahui korelasi antara karakteristik pasien kanker ovarium dengan kadar D-Dimer dan kejadian DVT. Dan mencari nilai titik potong D-D-Dimer sebagai penanda untuk menyingkirkan DVT pada pasien-pasien kanker ovarium sebelum operasi.

METODE: Penelitian ini merupakan penelitian uji diagnostik dengan luaran sensitivitas dan spesifisitas dari berbagai cut-off kadar D-Dimer untuk diagnosis DVT sebelum dilakukan tindakan pembedahan, dilakukan di RSUP H. Adam Malik Medan, dimulai dari bulan April 2013 sampai September 2013. Populasi penelitian adalah semua pasien sangkaan kanker ovarium yang direncanakan untuk dilakukan tindakan operasi di RSUP H. Adam Malik Medan yang telah memenuhi kriteria inklusi dan eksklusi.

HASIL: Dari 24 subjek penelitian yang dilakukan pemeriksaan USG DVT didapati 9 subjek (37,5%) yang menderita DVT. Berbagai variabel seperti usia, ukuran tumor, BMI, stadium, serta jumlah ovarium yang terlibat keganasan tidak berhubungan dengan kadar D-Dimer mauupun kejadian DVT. Diperoleh nilai titik potong dari D-Dimer untuk menegakkan sekaligus menyingkirkan DVT adalah 506,0 ng/ml (sensitivitas 53,3%, spesifisitas 55,6%). Namun karena sensitivitas dan spesifisitas yang didapat rendah, kadar D-Dimer ini masih belum bisa dijadikan sebagai alat diagnostik tunggal untuk menegakkan sekaligus menyingkirkan DVT. Dari penelitian ini juga didapat D-Dimer 2185,5 ng/ml memiliki sensitivitas 100%, dan D-Dimer 245,5 ng/ml memiliki spesifisitas 100%. Sehingga pasien-pasien kanker ovarium dengan kadar D-Dimer di bawah 245,5 ng/ml dapat dianggap aman bahwa pasien tersebut tidak menderita DVT dan tidak perlu dilakukan pemeriksaan tambahan dengan USG, serta tidak perlu mendapat profilaksis untuk DVT sebelum dilakukannya tindakan operasi. Sementara pada pasien kanker ovarium dengan kadar D-Dimer di atas 245,5 ng/ml perlu dilakukan pemeriksaan tambahan dengan USG untuk menegakkan ataupun menyingkirkan adanya DVT sebelum dilakukannya tindakan operasi.

(21)

CUT-OFF VALUE OF D-DIMER AS A MARKER OF DEEP VENOUS THROMBOSIS IN OVARIAN CANCER PATIENTS PREOPERATIVELY

Sudewo Y, Sahil MF, Edianto D, Sitepu M, Siregar HS, Fahdhy M The Departmet of Obstetrics and Gynecology

Faculty of Medicine, University of Sumatera Utara Medan, Indonesia, October, 2013

ABSTRACT

BACKGROUND: D-dimer, a marker for DVT, can be used to eliminate the possibilities of DVT. Compared to sonographic imaging, the gold standard in diagnosing DVT, D-Dimer is relatively less expensive. It is not complicated, and could even be tested together with other laboratory tests as part of a preoperative screening in ovarian cancer patients scheduled for surgery, and should be included as part of a routine procedure.

OBJECTIVE: To determine the correlation between the characteristics of ovarian cancer patients with D-Dimer levels and events of DVT. To determined the cut-off value of D-Dimer, as a marker to exclude DVT in ovarian cancer patients preoperatively.

METHOD: This diagnostic accuracy study with sensitivity and specificity outcomes of various cut-off values for D-Dimer used to diagnose DVT preoperatively, was performed at H. Adam Malik General Hospital, Medan, from April to September 2013. All eligible patients suspected with ovarian cancer and scheduled for surgery at H. Adam Malik General Hospital were included in this study.

RESULTS: Nine of 24 (37,5%) subjects, on whom sonographic imaging to determine DVT was performed, were confirmed positive. Various variables including tumor size, BMI, stage, and the number of ovarium involved in malignancy were not associated with D-Dimer levels or the incidence of DVT. A D-Dimer cut off value of 506,0 ng/ml (sensitivity and specificity of 53,3% and 55,6%, respectively) was obtained and used to both diagnose and eliminate DVT. However, due to low sensitivity and specificity values, using D-Dimer as a single diagnostic tool to diagnose and exclude DVT is still not possible. This study also revealed that D-Dimer values of 2185,5 ng/mL and 245,5 ng/mL had sensitivity and specificity values of 100%, respectively. Ovarian cancer patients with D-Dimer levels under 245,5 ng/mL indicated that a patient was not confirmed for DVT and therefore additional tests, including sonographic imaging, were not required. Consequently, administration of preoperative DVT prophylactic agents are also unneccessary. However, patients with D-Dimer levels above 245,5 ng/mL should be subject to further sonographic imaging, to determine or eliminate DVT prior to a surgical procedure.

(22)

NILAI TITIK POTONG D-DIMER SEBAGAI PENANDATERJADINYA TROMBOSIS VENA DALAMPADA PASIEN KANKER OVARIUM SEBELUM OPERASI

Sudewo Y, Sahil MF, Edianto D, Sitepu M, Siregar HS, Fahdhy M Departemen Obstetri dan Ginekologi

Fakultas Kedokteran Universitas Sumatera Utara Medan, Indonesia, Oktober 2013

ABSTRAK

LATAR BELAKANG: D-Dimer, suatu penanda dari DVT, dapat digunakan untuk menyingkirkan adanya DVT, dimana apabila dibandingkan dengan pemeriksaan USG yang menjadi gold standar untuk menegakkan DVT, pemeriksaan ini relatif murah dan dapat dilakukan secara bersamaan dengan pemeriksaan lain yang rutin dilakukan pada saat persiapan operasi pada pasien-pasien kanker ovarium sebelum dilakukan tindakan operasi, dianggap lebih dapat diterapkan sebagai skrining rutin.

TUJUAN: Mengetahui korelasi antara karakteristik pasien kanker ovarium dengan kadar D-Dimer dan kejadian DVT. Dan mencari nilai titik potong D-D-Dimer sebagai penanda untuk menyingkirkan DVT pada pasien-pasien kanker ovarium sebelum operasi.

METODE: Penelitian ini merupakan penelitian uji diagnostik dengan luaran sensitivitas dan spesifisitas dari berbagai cut-off kadar D-Dimer untuk diagnosis DVT sebelum dilakukan tindakan pembedahan, dilakukan di RSUP H. Adam Malik Medan, dimulai dari bulan April 2013 sampai September 2013. Populasi penelitian adalah semua pasien sangkaan kanker ovarium yang direncanakan untuk dilakukan tindakan operasi di RSUP H. Adam Malik Medan yang telah memenuhi kriteria inklusi dan eksklusi.

HASIL: Dari 24 subjek penelitian yang dilakukan pemeriksaan USG DVT didapati 9 subjek (37,5%) yang menderita DVT. Berbagai variabel seperti usia, ukuran tumor, BMI, stadium, serta jumlah ovarium yang terlibat keganasan tidak berhubungan dengan kadar D-Dimer mauupun kejadian DVT. Diperoleh nilai titik potong dari D-Dimer untuk menegakkan sekaligus menyingkirkan DVT adalah 506,0 ng/ml (sensitivitas 53,3%, spesifisitas 55,6%). Namun karena sensitivitas dan spesifisitas yang didapat rendah, kadar D-Dimer ini masih belum bisa dijadikan sebagai alat diagnostik tunggal untuk menegakkan sekaligus menyingkirkan DVT. Dari penelitian ini juga didapat D-Dimer 2185,5 ng/ml memiliki sensitivitas 100%, dan D-Dimer 245,5 ng/ml memiliki spesifisitas 100%. Sehingga pasien-pasien kanker ovarium dengan kadar D-Dimer di bawah 245,5 ng/ml dapat dianggap aman bahwa pasien tersebut tidak menderita DVT dan tidak perlu dilakukan pemeriksaan tambahan dengan USG, serta tidak perlu mendapat profilaksis untuk DVT sebelum dilakukannya tindakan operasi. Sementara pada pasien kanker ovarium dengan kadar D-Dimer di atas 245,5 ng/ml perlu dilakukan pemeriksaan tambahan dengan USG untuk menegakkan ataupun menyingkirkan adanya DVT sebelum dilakukannya tindakan operasi.

(23)

CUT-OFF VALUE OF D-DIMER AS A MARKER OF DEEP VENOUS THROMBOSIS IN OVARIAN CANCER PATIENTS PREOPERATIVELY

Sudewo Y, Sahil MF, Edianto D, Sitepu M, Siregar HS, Fahdhy M The Departmet of Obstetrics and Gynecology

Faculty of Medicine, University of Sumatera Utara Medan, Indonesia, October, 2013

ABSTRACT

BACKGROUND: D-dimer, a marker for DVT, can be used to eliminate the possibilities of DVT. Compared to sonographic imaging, the gold standard in diagnosing DVT, D-Dimer is relatively less expensive. It is not complicated, and could even be tested together with other laboratory tests as part of a preoperative screening in ovarian cancer patients scheduled for surgery, and should be included as part of a routine procedure.

OBJECTIVE: To determine the correlation between the characteristics of ovarian cancer patients with D-Dimer levels and events of DVT. To determined the cut-off value of D-Dimer, as a marker to exclude DVT in ovarian cancer patients preoperatively.

METHOD: This diagnostic accuracy study with sensitivity and specificity outcomes of various cut-off values for D-Dimer used to diagnose DVT preoperatively, was performed at H. Adam Malik General Hospital, Medan, from April to September 2013. All eligible patients suspected with ovarian cancer and scheduled for surgery at H. Adam Malik General Hospital were included in this study.

RESULTS: Nine of 24 (37,5%) subjects, on whom sonographic imaging to determine DVT was performed, were confirmed positive. Various variables including tumor size, BMI, stage, and the number of ovarium involved in malignancy were not associated with D-Dimer levels or the incidence of DVT. A D-Dimer cut off value of 506,0 ng/ml (sensitivity and specificity of 53,3% and 55,6%, respectively) was obtained and used to both diagnose and eliminate DVT. However, due to low sensitivity and specificity values, using D-Dimer as a single diagnostic tool to diagnose and exclude DVT is still not possible. This study also revealed that D-Dimer values of 2185,5 ng/mL and 245,5 ng/mL had sensitivity and specificity values of 100%, respectively. Ovarian cancer patients with D-Dimer levels under 245,5 ng/mL indicated that a patient was not confirmed for DVT and therefore additional tests, including sonographic imaging, were not required. Consequently, administration of preoperative DVT prophylactic agents are also unneccessary. However, patients with D-Dimer levels above 245,5 ng/mL should be subject to further sonographic imaging, to determine or eliminate DVT prior to a surgical procedure.

(24)

BAB 1

PENDAHULUAN

1.1. LATAR BELAKANG

Sampai saat ini penanganan kanker ovarium masih belum menujukkan hasil yang memuaskan, terutama pada kanker ovarium jenis epitel. Kanker ovarium memiliki angka kematian yang paling tinggi di antara semua keganasan ginekologi. Dijumpai lebih dari 25.500 kasus baru tiap tahunnya di Amerika Serikat. Kanker ovarium merupakan penyebab kematian keempat terbanyak dari keganasan pada wanita.

Karena gejala yang tidak spesifik sampai terjadi metastase, pasien sering datang dengan keadaan kanker ovarium yang sudah lanjut pada lebih dari dua pertiga kasus (sekitar 70%), dan keadaan lanjut ini tampaknya berhubungan dengan risiko yang lebih besar untuk terjadinya kejadian tromboembolisme. Selain memiliki prognosa yang buruk, kanker ovarium juga seringkali disertai dengan komplikasi terjadinya deep venous thrombosis (DVT) atau Trombosis Vena Dalam yang juga dapat berakibat fatal. DVT ini terjadi karena terbentuknya bekuan darah di vena dalam pada sistem sirkulasi, dimana apabila sebagian dari trombus atau bekuan darah tadi terlepas atau terpisah dari dinding vena, dan pindah melalui aliran pembuluh darah menuju arteri pulmonal akan terjadi suatu keadaan yang disebut emboli paru yang dapat berakibat fatal. Dalam beberapa tahun terakhir dijumpai hubungan peningkatan terjadinya DVT dengan tindakan operasi sebagai prosedur terapi dari kanker ovarium.

1,2

Di RSUP Haji Adam Malik Medan pernah dilakukan penelitian mengenai prevalensi DVT pada pasien-pasien tumor ginekologi, dan dijumpai terjadinya DVT pada tumor ginekologi secara keseluruhan adalah sebesar 16,5%, dan proporsi kejadian DVT pada tumor ganas ginekologi adalah 24,7% (resiko relatif 9,3; artinya penderita tumor ganas ginekologi kemungkinan menderita DVT 9,3 kali lipat bila dibandingkan dengan penderita tumor jinak ginekologi), dimana prevalensi kanker ovarium adalah sebesar 35,3%.

1,2,3,4,5,6,7

(25)

DVT dapat terjadi tanpa gejala klinis sebelum dilakukannya operasi karena keadaan hiperkoagulasi yang ada pada pasien-pasien kanker, dan dapat memberikan gejala klinis setelah dilakukannya tindakan pembedahan. Dua pertiga dari kejadian trombus ini terjadi dengan keadaan tanpa gejala klinis. Oleh karena itu, penting untuk melakukan skrining DVT pre-operasi pada pasien-pasien kanker ginekologi untuk mencegah DVT ataupun emboli paru pasca operasi. D-Dimer, suatu penanda keadaan hiperkoagulasi, merupakan suatu hasil akhir degradasi fibrin, akan meningkat kadarnya sebagai hasil terbentuknya fibrin dan fibrinolisis. D-Dimer merupakan penanda molekuler dari koagulasi dan fibrinolisis. Kadar D-Dimer yang tinggi menunjukkan peningkatan pembentukan fibrin dan proses fibrinolisis. Terbukti bahwa kadar D-Dimer akan meningkat pada pasien-pasien kanker, termasuk kanker ovarium.

Pemeriksaan USG dengan kompresi vena saat ini menjadi standar lini pertama untuk menegakkan DVT pada pasien-pasien dengan sangkaan DVT. Namun, pemeriksaan dengan menggunakan USG ini memerlukan keahlian khusus dari operator yang melakukan pemeriksaan, dimana tidak semua tenaga kesehatan dapat melakukan pemeriksaan ini dengan memberi hasil yang adekuat, selain itu pemeriksaan USG juga akan memakan waktu tambahan dan juga untuk menilai DVT memerlukan probe USG khusus yang hanya tersedia di fasilitas radiologi yang tidak dapat diakses setiap saat. Dan juga ada beberapa keadaan pada pasien yang dapat menyebabkan pemeriksaan USG ini tidak dapat dilakukan pada daerah yang ingin diperiksa untuk menilai adanya DVT. Sementara pemeriksaan D-Dimer yang relatif tidak mahal, dan dapat dilakukan bersamaan dengan pemeriksaan darah lain yang rutin dilakukan pada saat persiapan operasi pasien-pasien kanker ovarium, dianggap lebih dapat diterapkan sebagai skrining rutin DVT pada pasien-pasien kanker ovarium yang akan menjalani operasi, sehingga tidak perlu dilakukan pemeriksaan tambahan dengan USG pada semua pasien.

6,9,10,11

12,13

Berbagai keadaan lain, seperti perdarahan, kehamilan, trauma, aterosklerosis, usia tua, dan keadaan inflamasi, bahkan kanker dan tindakan pembedahan sendiri dapat menyebabkan peningkatan kadar D-Dimer, terutama pada pasien-pasien rawat inap. Penelitian-penelitian yang sudah ada selama ini belum dapat menunjukkan bahwa kadar D-Dimer sendiri yang meningkat dapat membuktikan atau menegakkan terjadinya DVT, mengingat adanya berbagai faktor yang dapat mempengaruhi nilai dari D-Dimer ini. Namun sebaliknya, kadar D-Dimer yang rendah terbukti dapat menyingkirkan diagnosis dari DVT dengan tidak diperlukannya dilakukan

(26)

pemeriksaan tambahan dengan USG. Kadar D-Dimer yang dipakai selama ini sebagai nilai titik potong untuk menyingkirkan adanya DVT adalah 500 ng/mL pada pasien secara keseluruhan. Namun belum ada kesepakatan mengenai berapa kadar D-Dimer yang digunakan untuk menyingkirkan DVT pada pasien kanker ovarium sebelum dilakukan tindakan pembedahan.

Berdasarkan hal tersebut di atas, maka penulis ingin mencari cut-off point atau nilai titik potong dari D-Dimer sebagai penanda (marker) terjadinya DVT pada pasien-pasien kanker ovarium yang akan menjalani operasi, dengan memeriksa kadar D-Dimer, dan dilanjutkan dengan pemeriksaan USG pada vena proximal dari tungkai bawah dengan kompresi vena untuk membuktikan atau menunjukkan adanya trombus pada vena dalam.

6,9,11,12,14,15

1.2. RUMUSAN MASALAH

Sampai saat ini penanganan kanker ovarium masih belum menujukkan hasil yang memuaskan, sehingga kanker ovarium masih memiliki prognosa yang buruk. Selain itu, seringkali pula hal ini disertai dengan komplikasi terjadinya deep venous thrombosis (DVT) yang juga dapat berakibat fatal, terutama dengan dilakukannya tindakan pembedahan. Oleh karena itu, penting untuk melakukan skrining DVT sebelum dilakukannya tindakan pembedahan pada pasien-pasien kanker ovarium.

Pemeriksaan USG dengan kompresi vena saat ini menjadi standar lini pertama untuk menegakkan DVT. Namun pemeriksaan ini memiliki kekurangan apabila harus dilakukan secara rutin pada setiap pasien dengan sangkaan DVT, dimana untuk melakukannya diperlukan beberapa persyaratan dan akan memakan waktu lebih lama.

(27)

1.3. TUJUAN

1.3.1. TUJUAN UMUM

Untuk mencari cut-off point atau nilai titik potong dari D-Dimer sebagai marker atau penanda untuk menyingkirkan DVT pada pasien-pasien kanker ovarium yang akan menjalani operasi.

1.3.2. TUJUAN KHUSUS

- Mengetahui korelasi antara karakteristik pasien kanker ovarium dengan kadar D-Dimer dan kejadian DVT.

- Untuk menentukan sensitivitas dan spesifisitas dari D-Dimer sebagai marker atau penanda DVT pada pasien-pasien kanker ovarium yang akan menjalani operasi.

1.4. MANFAAT PENELITIAN

- Sebagai alternatif untuk menyingkirkan diagnosis DVT pada pasien-pasien kanker ovarium yang akan menjalani operasi.

- Sebagai bahan pertimbangan klinis untuk memberikan terapi pencegahan pada pasien-pasien kanker ovarium yang akan menjalani operasi agar tidak terjadi emboli paru.

(28)

BAB 2

TINJAUAN PUSTAKA

2.1. KANKER OVARIUM 2.1.1. EPIDEMIOLOGI

Kanker ovarium adalah penyebab utama kematian akibat kanker di Amerika Serikat, terutama karsinoma jenis epitel. Meskipun mayoritas kanker ovarium adalah jenis epitel, kanker ovarium dapat juga berasal dari sel lain yang terdapat di ovarium, akan tetapi angka kejadian tumor ovarium non-epitelial kecil.1,16

Kanker ovarium jarang ditemukan pada usia di bawah 40 tahun. Angka kejadian meningkat dengan makin tuanya usia; dari 15-16 per 100.000 pada usia 40-44 tahun, menjadi paling tinggi dengan angka 57 per 100.000 pada usia 70-74 tahun. Usia median saat diagnosis adalah 63 tahun dan 48% penderita berusia di atas 65 tahun.

Karena belum ada metode skrining yang efektif untuk kanker ovarium, 70% kasus ditemukan pada keadaan yang sudah lanjut yakni setelah tumor menyebar jauh di luar ovarium, sehingga angka kematian akibat kanker ovarium ini cukup tinggi. Satu penelitian melaporkan meningkatnya 5-year survival rate dengan makin akuratnya tindakan surgical staging yang dilakukan.

16

Stadium

16

Five-year Survival rate (%)

Semua stadium 36 – 42

Stadium I 70 – 100

Stadium II 55 – 63

Stadium III 10 – 27

Stadium IV 3 – 15

(29)

2.1.2. GEJALA DAN TANDA

Karena pada stadium dini gejala-gejala kanker ovarium tidak khas, lebih dari 70% penderita kanker ovarium ditemukan sudah dalam stadium lanjut. Mayoritas penderita kanker ovarium jenis epitel tidak menunjukkan gejala sampai periode waktu tertentu. Pada stadium awal kanker ovarium ini muncul dengan gejala-gejala tidak khas. Bila penderita dalam usia perimenopause, keluhan mereka adalah haid yang tidak teratur. Bila masa tumor telah menekan kandung kemih atau rektum, keluhan sering berkemih dan konstipasi akan muncul. Kadang-kadang gejala seperti distensi perut sebelah bawah, rasa tertekan, dan nyeri dapat pula ditemukan. Pada stadium lanjut gejala-gejala yang ditemukan umumnya berkaitan dengan adanya asites, metastasis ke omentum (omental cake), atau metastasis ke usus.16

Tanda paling penting adanya kanker ovarium adalah ditemukannya massa tumor di pelvis. Bila tumor tersebut padat, bentuknya ireguler dan terfiksir ke dinding panggul, keganasan perlu dicurigai. Bila di bagian atas abdomen ditemukan juga massa dan disertai asites, keganasan hampir dapat dipastikan. Menurut Piver perhatian khusus harus diberikan jika ditemukan kista ovarium berdiameter > 5 cm, karena pada 95% kasus kanker ovarium, tumornya berdiameter > 5 cm. Dengan demikian, bila tumor sebesar ini ditemukan pada pemeriksaan pelvis, evaluasi lebih lanjut perlu dilakukan untuk menyingkirkan keganasan, khususnya pada wanita yang telah berusia > 40 tahun. Jika ditemukan massa kistik berukuran 5 – 7 cm pada usia reproduktif kemungkinan kista tersebut suatu kista fungsional yang akan mengalami regresi dalam masa 4 – 6 minggu kemudian. Bilateralitas pada kista jinak hanya ditemukan pada 5% kasus, sedangkan pada kista ganas ditemukan pada 25% kasus. Oleh karena itu, jika ditemukan kista ovarium bilateral harus dilakukan pemeriksaan-pemeriksaan untuk menyingkirkan keganasan termasuk pada penderita yang masih berusia muda.

Berek mengambil batasan ukuran kista 8 cm, jika kista tersebut berukuran > 8 cm, sangat mungkin kista tersebut suatu neoplasma, bukan kista fungsional. Kista yang berukuran < 8 cm, dapat dianggap sebagai kista fungsional jika pada pemeriksaan ginekologi ditemukan kista yang mudah digerakkan, kistik, unilateral, dan permukaan rata.

16

(30)

pula diprediksi dengan memperhatikan beberapa penampilan makroskopis dari tumor ovarium seperti dalam tabel berikut.

Jinak

16

Ganas

Unilateral Bilateral

Kapsul utuh Kapsul pecah

Bebas dari perlengketan Adanya perlengketan dengan organ sekitar Permukaan licin Pertumbuhan abnormal di permukaan tumor

Tidak ada asites Asites hemoragik

Peritoneum licin Ada metastasis di peritoneum

Seluruh permukaan tumor viabel Ada bagian-bagian yang nekrotik dan berdarah Tumor kistik Padat atau kistik dengan bagian-bagian padat Permukaan dalam kista licin Terdapat pertumbuhan papiler intra kista

Bentuk tumor seragam Bentuk tumor bermacam-macam Tabel 2.2. Tampilan makroskopik tumor ovarium jinak dan ganas16

2.1.3. STADIUM

Stadium kanker ovarium disusun menurut keadaan yang ditemukan pada operasi eksplorasi, atau laparotomy surgical staging. Stadium tersebut menurut International Federation of Gynecologist and Obstetricians (FIGO) tahun 2000 adalah seperti dalam tabel berikut:

Stadium

16,17

Keterangan

I Tumor terbatas pada ovarium

IA Tumor terbatas pada satu ovarium, kapsul tumor utuh, tidak ada pertumbuhan di permukaan ovarium, tidak ada sel tumor pada cairan asites ataupun pada bilasan cairan di rongga peritoneum

(31)

kapsul, tidak ada sel tumor pada cairan asites ataupun pada bilasan cairan di rongga peritoneum

IC Tumor terbatas pada satu atau dua dengan salah satu faktor dari kapsul tumor yang pecah, pertumbuhan tumor pada permukaan kapsul, ditemukan sel tumor ganas pada cairan asites ataupun bilasan rongga peritoneum

II Tumor pada satu atau dua ovarium dengan perluasan di pelvis

IIA Tumor meluas ke uterus dan atau ke tuba tanpa sel tumor di cairan asites ataupun bilasan rongga peritoneum

IIB Tumor meluas ke jaringan organ pelvis lainnya tanpa sel tumor di cairan asites ataupun bilasan rongga peritoneum

IIC Perluasan di pelvis (IIA atau IIB) dengan ditemukan sel tumor di cairan asites atau bilasan rongga peritoneum

III Tumor pada satu atau dua ovarium disertai dengan perluasan tumor pada rongga peritoneum di luar pelvis dengan atau metastasis ke kelenjar getah bening regional IIIA Metastasis mikroskopis di luar pelvis

IIIB Metastasis makroskopis di luar pelvis dengan besarnya lesi metastasis yang kurang atau sama dengan 2 sentimeter

IIIC Metastasis makroskopis di luar pelvis dengan besarnya lesi metastasis yang lebih dari 2 sentimeter dan atau metastasis ke kelenjar getah bening regional

IV Metastasis jauh ( di luar rongga peritoneum )

Tabel 2.3. Stadium kanker ovarium menurut International Federation of Gynecology and Obstetrics (FIGO) 2000.17

2.1.4. DIAGNOSIS

Diagnosis kanker ovarium memerlukan pemeriksaan histopatologi jaringan yang diperoleh melalui tindakan laparotomi eksplorasi. Selain dari anamnesa dan pemeriksaan fisik ginekologi yang dilakukan, pemeriksaan pembantu dapat pula dilakukan, yaitu :

(32)

USG adalah cara pemeriksaan non-invasif yang relatif murah. Dengan USG dapat secara tegas dibedakan tumor kistik dengan tumor yang padat. Pada tumor dengan bagian-bagian padat (echogenik) persentase keganasan makin meningkat. Sebaliknya, pada tumor kistik tanpa ekointernal (anechoic) kemungkinan keganasan menurun.16 Pada umumnya, tumor ganas ovarium mempunyai gambaran multilokulasi, komponen padat atau echogenik dan mempunyai septa yang tebal dengan area nodular.

Pemakaian USG transvaginal color Doppler dapat membedakan tumor ovarium jinak dengan tumor ovarium ganas. Modalitas ini didasarkan kepada analisis gelombang suara Doppler (resistance index atau RI, pulsatility index atau PI, dan velocity) dari pembuluh-pembuluh darah pada tumor yang menunjukkan peningkatan arus darah diastolik dan perbedaan kecepatan arus darah sistolik dan diastolik. Keganasan dicurigai jika RI < 0,4.

18

Computed Tomography Scanning (CT-Scan)

16

Pemakaian Scan untuk diagnosis tumor ovarium juga sangat bermanfaat. Dengan CT-Scan dapat diketahui ukuran tumor primer, adanya metastasis ke hepar, dan kelenjar getah bening, asites, dan penyebaran ke dinding perut. Akan tetapi, CT-Scan kurang disenangi karena (1) resiko radiasi, (2) resiko reaksi alergi terhadap zat kontras, (3) kurang tegas dalam membedakan tumor kistik dengan tumor padat, dan (4) biayanya mahal.

Magnetic Resonance Imaging (MRI)

16

Jika dibandingkan dengan CT-Scan, MRI tidak lebih baik dalam hal diagnostik, menggambarkan penjalaran penyakit, dan menentukan lokasi tumor di abdomen atau pelvis. CT-Scan lebih dianjurkan dalam evaluasi kanker ovarium.

Pemeriksaan tumor marker (CA-125)

16

(33)

ovarium fetus dan dewasa tidak menghasilkan CA 125, kecuali kista inklusi, permukaan epitel ovarium yang mengalami metaplasia, dan yang mengalami pertumbuhan papiler. Kadar normal paling tinggi yang disepakati untuk CA 125 adalah 35 U/ml. Untuk penderita yang telah mengalami menopause atau histerektomi, kadar normalnya lebih rendah, yaitu 20 U/ml dan 26 U/ml. Pada 83% penderita kanker ovarium epitelial, kadar CA 125 adalah > 35 U/ml. Kadar CA 125 yang meningkat ditemukan pada 50% kanker ovarium stadium I dan pada 90% penderita kanker ovarium epitelial stadium lanjut.

Pemeriksaan kadar CA 125 ini mempunyai spesifisitas dan positive predictive value yang rendah. Hal ini karena pada kanker lain seperti kanker pankreas, kanker mamae, kanker kandung kemih, kanker liverm dan kanker paru, kadar CA 125 juga meningkat. Di samping itu, pada keadaan bukan kanker seperti divertikulitis, mioma uteri, endometriosis, kista jinak ovarium, abses tubovarium, sindroma hiperstimulasi ovarium, kehamilan ektopik, kehamilan, dan menstruasi, kadar CA 125 juga meningkat.

16

Indeks Risiko Keganasan (IRK)

16

Jacob dan kawan-kawan pada tahun 1990, membuat indeks risiko keganasan (IRK) berdasarkan kadar serum CA 125, status menopause, dan hasil ultrasonografi, dan merekomendasikan penggunaannya untuk membedakan tumor jinak atau ganas dari tumor ovarium. Dari hasil penelitian Jacob dan kawan-kawan, dengan menggunakan indeks risiko keganasan (IRK) dengan skor IRK = 200, sensitivitasnya adalah 85,4% dan spesifisitasnya adalah 96,9%. Hasil ini lebih akurat diibandingkan dengan penggunaan ultrasonografi dan serum CA 125 secara sendiri-sendiri.

Indeks resiko keganasan menurut Jacob dan kawan-kawan (IRK) dihitung dengan menggunakan rumus:

20,21

20,21

Keterangan :

U = hasil ultrasonografi dimana karakteristik ultrasonografi yang dijumpai : - multilokulasi kista ovarium

- komponen solid pada tumor ovarium

(34)

- lesi bilateral - asites

- adanya bukti metastasis intra abdomen

Nilai U = 0, jika tidak dijumpai karakteristik ultrasonografi di atas Nilai U = 1, jika dijumpai salah satu karakteristik ultrasonografi di atas Nilai U = 3, jika dijumpai dua hingga lima karakteristik ultrasonografi di atas M = status menopause

Nilai M = 1, jika belum menopause Nilai M = 3, jika sudah menopause

Serum CA 125 = kadar serum penanda tumor CA 125 dalam U/ml

Royal College of Obstetricians and Gynaecologists (RCOG) menggunakan Indeks Risiko Keganasan (IRK) sebagi cara yang efektif triase wanita untuk dikelompokkan menjadi risiko rendah, sedang, atau tinggi.

Risiko

22

Indeks Risiko Keganasan

Rendah < 25

Sedang 25 – 250

Tinggi > 250

Tabel 2.4. Risiko keganasan berdasarkan Indeks Risiko Keganasan22

(35)

2.1.5. PROGNOSIS

Penanganan kanker ovarium sampai saat ini belum memberikan hasil yang memuaskan. Kanker ovarium memiliki prognosa yang buruk, dan selain itu seringkali hal ini disertai dengan komplikasi terjadinya deep venous thrombosis (DVT) yang juga dapat berakibat fatal. Karena gejala yang tidak spesifik sampai terjadi metastase, pasien sering datang dengan keadaan kanker ovarium yang sudah lanjut pada lebih dari dua pertiga kasus (sekitar 70%), dan keadaan lanjut ini tampaknya berhubungan dengan resiko yang lebih besar untuk terjadinya kejadian tromboembolisme. Dalam beberapa tahun terakhir, dijumpai hubungan peningkatan terjadinya DVT dengan tindakan operasi dan prosedur terapi yang ada sekarang. 1,3,4,6

2.2. DEEP VEIN THROMBOSIS (DVT) 2.2.1. DEFINISI

Venous thromboembolic disease (VTE) merupakan suatu istilah yang mencakup deep vein thrombosis (DVT) dan pulmonary embolism (PE), atau kombinasi dari keduanya. DVT merupakan suatu kondisi pada pembuluh darah dimana terbentuk bekuan darah di vena dalam pada sistem sirkulasi vena dalam. PE terjadi apabila sebagian dari trombus atau bekuan darah tadi terlepas atau terpisah dari dinding vena, dan pindah melalui aliran pembuluh darah menuju arteri pulmonal.7,24

(36)

Gambar 2.1. Anatomi Vena Ekstremitas Bawah

2.2.2. PREVALENSI

25,26

DVT bukan merupakan keadaan yang jarang terjadi. Sekitar 900.000 orang didiagnosa dengan VTE setiap tahunnya, dengan 1 dari 20 warga Amerika pernah mengalami DVT sepanjang hidupnya. Beberapa penelitian epidemiologi memperkirakan insidensi tahunan sebanyak 80 kasus dari 100.000. Resiko absolut dari terjadinya DVT pada pasien-pasien rawat inap yang tidak menerima profilaksis terbilang lebih tinggi, dengan insidensi bervariasi dari 10 sampai 80%. Walaupun diagnosis dari DVT dapat dihubungkan dengan angka morbiditas yang tinggi, konsekuensi yang paling berbahaya dari VTE adalah PE. Sebanyak 10% dari kematian di rumah sakit dapat disebabkan oleh emboli paru, sehingga PE merupakan penyebab kematian di rumah sakit yang dapat dicegah yang paling tinggi di Amerika.

2.2.3. PATOFISIOLOGI

7

(37)

pembuluh darah, sedangkan pada trombosis vena yang terpenting adalah adanya stasis dan hiperkoagulabilitas. Berbagai kelainan koagulasi dan trombosit baik yang bersifat herediter maupun yang didapat bisa menimbulkan hiperkoagulabilitas dan menyebabkan DVT.

2.2.3.a.PERUBAHAN ALIRAN DARAH

11,27,28

Pada vena, aliran darah cenderung lambat, bahkan dapat terjadi stasis pada vena di tungkai yang mengalami immobilisasi. Stasis ini mengakibatkan gangguan mekanisme pembersih sehingga menimbulkan akumulasi faktor-faktor pembekuan yang aktif. Trombosis vena biasanya mulai di tempat yang mengalami stasis, misalnya pada daerah antara dinding vena dan katup yang disebut valve-pocket thrombi. Kecepatan aliran darah dipengaruhi oleh viskositas darah. Menurut Verstraete faktor-faktor yang menentukan viskositas darah adalah nilai hematokrit, kemampuan eritrosit untuk berubah bentuk, serta kadar fibrinogen dan protein-protein lain yang bermolekul besar.

2.2.3.b.PERANAN PEMBULUH DARAH

11

Pada trombosis vena, kerusakan endotel tidak memegang peranan penting, kecuali pada trombosis vena femoralis yang terjadi setelah operasi panggul. Pada operasi ini terjadi kerusakan jaringan yang luas dan melibatkan vena. Selain efek mekanik tindakan operasi, pemakaian alat protese juga dapat merusak dinding vena dan kerusakan ini berlangsung relatif lama. Penurunan tonus vena yang terjadi pada kehamilan dan pemakaian pil kontrasepsi akan menimbulkan stasis sehingga memudahkan terjadinya trombosis. Diduga hal ini karena efek estrogen.

2.2.3.c.PERUBAHAN DAYA BEKU DARAH

11

Dalam keadaan normal, terdapat keseimbangan dalam sistem pembekuan darah dan sistem fibrinolisis maupun antara kedua sistem tersebut. Kecenderungan trombosis timbul bila aktivitas sistem pembekuan darah meningkat dan atau aktivitas sistem fibrinolisis menurun. Menurut beberapa peneliti, darah penderita trombosis lebih cepat membeku dibandingkan orang normal. Keadaan tersebut disebut hiperkoagulabilitas.11

(38)

Pada kebanyakan pasien, DVT muncul tanpa tanda dan gejala, ataupun sangat tersamar, sehingga pasien tidak menyadari bahwa kondisi ini ada. Ketika tanda dan gejala sudah ada, intensitas dan berbagai gejala berhubungan langsung dengan derajat dari obstruksi aliran vena dan inflamasi dari dinding pembuluh darah.

Tanda dan gejala yang sering dijumpai dari DVT termasuk pembengkakan yang tiba-tiba dari salah satu ekstremitas, kemerahan atau perubahan warna kulit, rasa panas di daerah yang terlibat, nyeri yang diperparah dengan aktivitas tetapi tidak hilang setelah istirahat, sedikit demam, dan takikardia.

7

7

Emboli paru merupakan suatu keadaan yang mengancam nyawa karena terbentuknya emboli dapat menghalangi aliran darah pulmonal. Hal ini dapat menyebabkan syok kardiogenik yang diikuti dengan kegagalan sirkulasi hingga kematian. Lebih dari 60% emboli paru tidak terdiagnosa secara klinis, dan kematian dapat terjadi dalam waktu yang singkat sekitar 30 menit. Emboli paru yang simptomatis biasanya dikarakteristikkan dengan nafas yang memendek, hipoksia, takikardia, nyeri dada pleuritis, hemoptisis, hipotensi, kelelahan, atau kegagalan sirkulasi perifer.

2.2.5. KOMPLIKASI

7

Emboli paru merupakan komplikasi yang paling segera dan signifikan dari DVT. Emboli paru dapat dideteksi pada lebih dari 50% pasien dengan diagnosa DVT. Lebih dari 80% pasien yang telah dikonfirmasi diagnosa emboli paru memiliki DVT asimptomatik. Walaupun emboli paru merupakan penyebab terbesar mortalitas yang berhubungan dengan DVT, komplikasi lain juga dapat muncul.

Komplikasi lain yang penting adalah DVT rekuren dan post-thrombotic syndrome. Lebih dari 30% pasien dapat mengalami DVT rekuren dalam waktu delapan tahun setelah diagnosa awal. Banyak pasien dengan DVT rekuren memerlukan terapi jangka panjang, jika tidak seumur hidup, untuk menangani keadaan ini. Post-thrombotic syndrome (PTS) merupakan komplikasi lain dari DVT yang terjadi pada lebih kurang 29% pasien dengan DVT simptomatis dalam kurun waktu 8 tahun setelah kejadian awal. PTS biasanya terjadi secara sekunder akibat kerusakan katup vena, yang memicu hipertensi vena dan dapat mempengaruhi integritas dari sistem

(39)

vaskular pada ekstremitas bawah. Gejala primer dari PTS termasuk nyeri, varikosa vena, edema, ektasia vena, indurasi, dan ulserasi.

2.2.6. DIAGNOSIS

7

Resiko klinis, kecurigaan, dan probabilitas dapat memperingatkan praktisi untuk kemungkinan DVT. Diagnosis kemudian dikonfirmasi dengan pemeriksaan kinis dan hasil dari pemeriksaan diagnostik. Identifikasi dari resiko DVT berhubungan dengan faktor patofisiologis berdasarkan hipotesis dari Rudolph Virchow lebih dari 100 tahun yang lalu. Virchow percaya bahwa terbentuknya suatu trombosis merupakan hasil langsung dari interaksi berbagai faktor, termasuk statis vena, kerusakan endotel pembuluh darah dan hiperkoagulabilits dari darah. Kondisi dan faktor predisposisi yang merepresentasikan ketiga aspek penelitian Virchow tadi adalah adanya DVT sebelumnya atau riwayat keluarga trombosis, gangguan koagulasi, usia di atas 55 tahun (insiden meningkat dengan usia), kegemukan (BMI > 25 kg/m2), imobilitas (tirah baring atau duduk untuk jangka waktu yang lama), trauma mayor, riwayat operasi, kanker, terapi kanker (hormonal, kemoterapi, atau radioterapi), merokok, sepsis berat, hipertensi, hiperlipidemia, kehamilan atau masa postpartum.7,24,29,30

(40)

Sebagai tambahan dari beberapa keadaan spesifik, intervensi dan penanganan klinis juga dapat meningkatkan resiko terbentuknya DVT. Pada pasien-pasien yang dilakukan tindakan pembedahan, insiden dari DVT dipengaruhi selain oleh faktor-faktor yang sudah ada seperti disebut di atas, juga faktor-faktor yang berhubungan dengan prosedur operasi sendiri, termasuk lokasi, teknik, dan durasi dari prosedur; jenis anestesi, adanya infeksi, dan derajat imobilisasi setelah operasi. Resiko tromboembolisme vena pada pasien-pasien yang dilakukan tindakan pembedahan pada kasus ginekologi yang tidak mendapat profilaksis diperkirakan sekitar 2% sampai 80%.7,29

Tabel 2.6. Tingkatan risiko tromboembolisme pada pasien operasi tanpa profilaksis

Sebagai tambahan untuk evaluasi klinis kemungkinan, faktor rIsiko, dan adanya gejala, digunakan juga skoring untuk membantu menentukan diagnosa DVT. Skoring yang sering digunakan dan sudah tervalidasi adalah Modified Wells Score.

29

(41)

Tabel 2.7. Modified Wells Score

Diagnosis secara klinis tidak sensitif dan tidak akurat karena tanda dan gejala dari DVT bisa tidak spesifik. Tidak dapat diterima untuk mendiagnosis DVT atau PE hanya secara klinis dan memberikan terapi antikoagulan tanpa dilakukannya konfirmasi dengan pemeriksaan objektif. Berbagai algoritma diagnostik yang non-invasif dan efektif dari segi biaya telah dievaluasi. Suatu penanda atau marker laboratorium tunggal yang dapat mengkonfirmasi diagnosis atau menyingkirkan penyakit ini, dalam hal ini D-Dimer, dapat dianggap sebagai suatu kemajuan yang baik dalam bidang medis.

7

32

Beberapa evaluasi diagnostik yang digunakan untuk menegakkan atau menyingkirkan diagnosis dari DVT, termasuk pemeriksaan:

7,14,33

• D-Dimer

(42)

hasil dari pemeriksaan ini lebih terbatas untuk menyingkirkan daripada menegakkan diagnosis DVT.7,14,32,33 Kadar D-Dimer serum yang dianggap normal atau negatif untuk DVT adalah kurang dari 500 ng/mL, sementara kadar D-Dimer 500 ng/mL atau lebih dianggap sebagai positif untuk DVT.34 Beberapa penelitian lain menyebutkan batasan kadar D-Dimer yang lebih rendah yaitu 400 ng/mL sebagai batasan untuk menegakkan atau menyingkirkan adanya DVT.12 Namun pemeriksaan D-Dimer dengan nilai cut-off sebesar 500 ng/mL mempunyai spesifisitas paling tinggi yaitu lebih kurang 99% untuk menyingkirkan adanya DVT.

• Ultrasonografi

11

Ultrasonografi duplex dengan kompresi merupakan suatu pemeriksaan non invasif yang sensitif dan spesifik untuk diagnosis DVT dengan sensitifitas untuk thrombosis vena proximal mencapai 97%. Ultraonografi menjadi alat diagnostik yang baik, yang banyak digunakan saat ini sebagai standar untuk menegakkan DVT.

Magnetic Resonance Imaging (MRI) 7,14,32,33

MRI sensitif dan spesifik dalam menegakkan trombosis pada vena pelvis. Biaya MRI cukup mahal, dan alat ini tidak boleh digunakan pada pasien-pasien dengan alat pacu jantung atau implan metal lain, namun MRI dapat menjadi pilihan diagnostik yang efektif pada beberapa pasien.

Contrast venography 7,14,33

(43)

mendiagnosis DVT, namun saat ini alat ini semakin jarang digunakan. Penelitian-penelitian telah menetapkan bahwa venografi ini telah digantikan perannya sebagai pilihan lini pertama sebagai pemeriksaan diagnostik untuk DVT.32,35 Pemeriksaan venografi ini masih dianggap sebagai gold standard untuk menegakkan DVT sampai tahun 1995, namun setelah itu dengan dilakukannya berbagai penelitian, USG duplex telah diakui secara luas perannya sebagai gold standard.7,14,33,34

The American Academy of Family Physicians dan American College of Physicians mengeluarkan suatu pedoman (guideline) untuk diagnosis VTE (termasuk DVT dan PE) berdasarkan ulasan sistematis berbasis bukti (evidence based systematic review) dari berbagai penelitian yang pernah dilaporkan. Rekomendasi pedoman ini berdasarkan penelitan meta-analisa atau ulasan dari Evidence-based Practice Centers (EPC). Pedoman yang dikeluarkan adalah :

1. Rekomendasi I : Prediksi klinis yang tervalidasi dapat memperhitungkan kemungkinan VTE, dan menjadi dasar dari pemeriksaan lanjutan.

15

Bukti yang ada menunjukkan bahwa penggunaan prediksi secara klinis yang sudah tervalidasi dapat menentukan kemungkinan penyakit ini. Skor prediksi Wells untuk menilai DVT dan PE telah tervalidasi dan digunakan secara luas untuk menentukan kemungkinan VTE sebelum dilakukannya pemeriksaan lanjutan. Penggunaan skor Wells dapat dipercaya lebih baik pada pasien-pasien dengan usia lebih muda tanpa komorbid atau riwayat adanya VTE dibandingkan pasien lain. Klinisi perlu melakukan penliaian klinis pada kasus-kasus dimana pasien memiliki usia yang lebih tua dan memiliki komorbid.

2. Rekomendasi II : Pada pasien-pasien tertentu dengan resiko rendah untuk DVT atau PE berdasarkan penilaian skor Wells, diperlukan dilakukan pemeriksaan D-Dimer, dan jika hasilnya negatif, kemungkinan untuk terjadinya VTE rendah.

15

(44)

komorbid atau riwayat VTE, dan dengan durasi gejala yang pendek. Pada pasien dengan usia lebih tua, yang berhubungan dengan komorbid, dan memiliki gejala dengan durasi yang lama, pemeriksaan D-Dimer sendiri mungkin tidak cukup untuk menyingkirkan adanya VTE.15

3. Rekomendasi III : Ultrasonografi direkomendasikan pada pasien dengan resiko sedang sampai tinggi untuk menilai adanya DVT pada ekstremitas bawah.

Penggunaan USG dalam diagnostik thrombosis pada vena proximal dari tungkai bawah direkomendasikan pada pasien dengan kelompok resiko sedang sampai tinggi berdasarkan kriteria skor Wells. Pada pasien dengan adanya DVT yang terbatas pada betis penggunaan USG kurang sensitif, diperlukan pemeriksaan USG ulangan ataupun jika diperlukan dilakukan venografi pada pasien yang dicurigai memiliki DVT pada betis dimana USG memberi hasil negatif dan pemeriksaan USG yang dilakukan tidak adekuat atau memberi hasil tersamar.15

(45)

2.3. D-DIMER SEBAGAI PENANDA DVT

Trombosis vena mengaktivasi sistem koagulasi dan fibrinolisis, dan menghasilkan peningkatan kadar serum penanda secara kolektif yang disebut produk fibrin. Selama proses pembentukan trombus, fibrinogen dikonversi menjadi monomer fibrin yang secara luas berikatan dengan jaringan polimer. Ikatan fibrin ini membentuk suatu daerah polimer yang disebut “D-Domain”. D-domain ini berhubungan secara kovalen dan membentuk suatu gambaran fibrin spesifik dari trombus, yang tidak ditemukan pada fibrinogen.

Polimer fibrin terdegradasi oleh plasmin dalam proses fibrinolitik. Satu produk akhir dari pemecahan fibrin (fibrinolisis) adalah Domain yang berikatan secara kovalen, yang disebut D-Dimer. Antibodi monoklonal dari D-Dimer telah ditemukan, dan dapat membedakan bekuan spesifik fibrin dari fibrin yang tidak berikatan seperti fibrinogen. Penting untuk mengetahui bahwa antibodi ini spesifik untuk bekuan fibrin yang baru terbentuk maupun produk dari fibrinolisis. Karakteristik yang spesifik dari antibodi D-Dimer ini menjelaskan spesifisitas yang tinggi terhadap thromboembolisme vena.

32

Kadar antigen D-Dimer akan meningkat pada fase pembentukan fibrin, dan juga pada tahap fibrinolisis. Proses fibrinolisis yang terus berlangsung pada DVT dan PE menyebabkan kadar D-Dimer akan tetap meningkat. Kadar D-Dimer berhubungan dengan adanya bekuan fibrin tanpa memandang lokasinya. Pada berbagai kondisi medis lain seperti adanya trauma, tindakan pembedahan, perdarahan, kanker, sepsis atau kondisi lain yang berhubungan dengan aktivasi sistem koagulasi dan pembentukan bekuan fibrin, kadar D-Dimer akan meningkat. Beberapa hal inilah yang dapat mempengaruhi sensitivitas dari kadar D-Dimer pada pemeriksaan thromboembolisme vena.

32

Diperkenalkannya pemeriksaan D-Dimer pada algoritme diagnostik dari DVT atau PE telah diterima secara luas, namun klinisi harus mengingat batasan dari pemeriksaan ini. Pemeriksaan D-Dimer ini spesifik tetapi relatif tidak sensitif. Nilai yang paling penting dari pemeriksaan ini adalah untuk menyingkirkan diagnosis DVT atau PE.

32

Spesifisitas dari pemeriksaan D-Dimer ini harus mendekati 100% untuk dapat secara efektif menyingkirkan DVT pada kelompok pasien dengan risiko tinggi yang dicurigai DVT atau PE. Sementara pada kelompok pasien dengan risiko rendah, spesifisitas yang lebih rendah,

(46)

sekitar 80%, dapat menyingkirkan diagnosis dengan baik, dengan negative predictive value sebesar 98%.

Dimasukkannya pemeriksaan D-Dimer ke dalam algoritme diagnostik untuk DVT telah dievaluasi pada berbagai penelitian yang berbeda. Dalam mengevaluasi suatu penelitian mengenai hal ini, perlu diperhatikan populasi dari sampel yang ada. Penelitian klinis yang menganalisa hasil dengan kelompok risiko yang spesifik adalah yang paling baik. Penelitian yang menggabungkan seluruh faktor risiko ke dalam suatu kelompok sampel sulit untuk diinterpretasikan.

32

32

Ginsberg mengevaluasi pemeriksaan D-Dimer pada 398 pasien dengan sangkaan DVT menggunakan kriteria skor Well. Pada pasien dengan kelompok resiko rendah, hanya 1/178 pasien dengan hasil D-Dimer negatif yang memiliki DVT. Secara keseluruhan negative predictive value dari pemeriksaan ini didapat sebesar 97,2%.

39

(47)

dengan sangkaan DVT. Spesifisitas pada kelompok risiko rendah adalah 100% dan pada kelompok risiko sedang adalah 98%. Angka negative predictive value pada kedua kelompok adalah 99%.44 Dari seluruh penelitian yang ada ini, dapat disimpulkan bahwa potensi dari pemeriksaan D-Dimer sebagai pemeriksaan laboratorium tunggal untuk menyingkirkan diagnosis DVT terbukti dapat dipercaya.32

Tabel 2.8. Hasil dari berbagai penelitian mengenai D-dimer untuk diagnostik DVT

Namun ternyata kadar D-Dimer ini dapat meningkat pada beberapa keadaan atau penyakit lain, sehingga peran D-Dimer dalam mendiagnosis DVT ini lebih kepada untuk menyingkirkan adanya DVT daripada untuk menegakkan adanya DVT, atau dengan kata lain D-Dimer ini digunakan sebagai prediktor negatif dari DVT. Dimana artinya apabila tidak dijumpai kenaikan dari kadar D-Dimer, maka dapat disimpulkan tidak terjadi proses trombosis dan adanya DVT. Sebaliknya, apabila dijumpai kenaikan dari kadar DVT, dapat dikatakan bahwa kemungkinan terjadi suatu proses trombosis, yang dapat disebabkan oleh DVT, namun juga dapat disebabkan oleh kondisi atau penyakit lain. Beberapa penyakit dan kondisi yang dapat meningkatkan kadar dari D-Dimer ini tanpa adanya DVT adalah :

32

- Disseminated Intravascular Coagulation (DIC)

13

- Kehamilan

(48)

- Kanker

- Tindakan Pembedahan

- Diabetes

- Hematoma

- Terapi trombolitik

- Thrombosis arteri

- Usia tua (> 55 tahun)

- Pasien rawat inap yang lama berbaring (1 minggu)

2.4. USG UNTUK MENEGAKKAN DVT

Alur diagnostik yang direkomendasikan saat ini untuk menegakkan DVT adalah dengan menggunakan USG duplex dengan gambaran B-mode, sebagai pilihan lini pertama. Hampir seluruh pasien dengan kecurigaan DVT dapat disingkirkan ataupun ditegakkan dengan pemeriksaan ini.32 Penelitian oleh Goodacre dkk. pada tahun 2006 yang membandingkan penggunaan USG dengan venografi memperoleh sensitifitas USG untuk DVT proksimal sebesar 96% dan spesifisitas sebesar 94%.26 Penelitian meta-analisa pada tahun 2007 menunjukkan sensitivitas sebesar 89% sampai 96% dan spesifisitas sebesar 94% sampai 99% dari USG untuk diagnosis thrombosis pada vena proksimal dari ekstremitas bawah. Seluruh penelitian dalam ulasan ini menggunakan venografi dengan kontras untuk mengkonfirmasi adanya DVT.15

Ultrasonografi kompresi atau USG duplex pada sistem vena merupakan prosedur diagnostik yang menggunakan sistem ultrasonografi B-mode dengan resolusi tinggi dan transduser 3-MHz sampai 7,5-MHz untuk menghasilkan suatu gambaran dari vena yang diperiksa. Pasien dibaringkan dalam posisi supine dengan tungkai bawah yang akan diperiksa dirotasikan ke lateral. Kompresi diberikan dari transduser ke bagian yang diperiksa. Pemeriksaan dilakukan dengan kompresi pada dua titik poin yaitu vena femoralis dan vena poplitea dengan gambaran transversal.

(49)

Gambar 2.2. Sistem USG B-mode resolusi tinggi dan transduser datar yang digunakan untuk menilai adanya DVT

Pemeriksaan dimulai dari di bawah ligamen inguinal. Pertama dilakukan identifikasi vena femoralis komunis pada penampang melintang. Vena femoralis komunis ini berada dekat dengan arteri femoralis komunis. Dilakukan tekanan untuk melihat kemampuan kompresi dari vena femoralis komunis. Selanjutnya tekanan dipindahkan perlahan 1 cm demi 1 cm hingga tercapai sapheno-femoral junction. Probe diarahkan lebih distal untuk melihat percabangan vena femoralis komunis menjadi vena femoralis superfisial dan vena femoralis dalam. Setelah itu transduser diletakkan di fossa poplitea tepat di belakang lutut untuk menilai vena poplitea. Apabila vena yang diperiksa dapat dikompresi (kolaps) secara penuh, maka pemeriksaan dianggap negatif atau normal. Sebaliknya, jika vena yang diperiksa tidak dapat dikompresi (tidak kolaps) pada saat prosedur, pemeriksaan dianggap positif atau dijumpai DVT. Hasil pemeriksaan tidak dapat dipakai sebagai diagnostik apabila gambaran USG tidak jelas atau vena tidak terlihat. Kompresi vena paling mudah didapat pada vena besar dari paha dan bagian posterior dari lutut. USG dengan kompresi ini secara universal dianggap sebagai pemeriksaan diagnostik lini pertama untuk pasien-pasien dengan sangkaan DVT pada kelompok risiko sedang sampai tinggi.

25

(50)

Gambar 2.3. Pemeriksaan USG kompresi pada DVT

Ada beberapa keadaan yang dapat menjadi gangguan pada pemeriksaan USG untuk menilai adanya DVT, yaitu :

25

- Variasi Anatomi

26

Dijumpai vena femoralis ganda pada 32,5% dan 42% memiliki lebih dari 1 vena poplitea pada fosa poplitea.

- Aspek Teknis

Kelenjar getah bening dapat disalah interpretasikan sebagai vena yang mengalami trombus. Arteri normal yang tidak dapat dikompresi juga bisa disalah interpretasikan sebagai vena.

- Kesulitan Fisik

(51)

2.5. DVT PADA KANKER OVARIUM

Hubungan antara kanker dan penyakit tromboembolisme pertama kali dilaporkan pada tahun 1800-an oleh Trousseau. Hubungan ini, ditemukan lebih dari satu abad yang lalu, disebabkan oleh variasi dari kelainan hemostasis, termasuk di dalamnya peningkatan agregasi platelet, aktivasi dari kaskade koagulasi, perubahan dalam sistem fibrinolitik, dan berkurangnya sintesa dari protein antikoagulan. Resiko dari penyakit tromboembolisme pada pasien-pasien kanker meningkat dengan dilakukannya tindakan pembedahan dan kemoterapi.

2.5.1. PREVALENSI

2,43

Prevalensi dari tromboembolisme vena pada pasien-pasien kanker diperkirakan berkisar antara 10% - 20%. Yasnil dkk (2010) menemukan kejadian DVT sekitar 25% (5 dari 20 subjek) pada penderita kanker ovarium dalam penelitian sebelumnya.8 Levitan dkk, menemukan bahwa pasien-pasien kanker mempunyai kemungkinan kumulatif yang lebih tinggi untuk rawat inap karena deep venous thromboembolism (DVT) dan/atau pulmonary embolism (PE) daripada pasien-pasien tanpa keganasan. Pada penelitian yang sama, ditemukan bahwa insidensi dari DVT / PE lebih tinggi pada beberapa kanker tertentu dibandingkan dengan yang lain. Insidensi paling tinggi dari DVT / PE paling tinggi ditemukan pada pasien-pasien dengan keganasan pada ovarium, otak, pankreas, lambung, ginjal, dan limfoma. Sementara insidensi DVT / PE paling rendah ditemukan pada keganasan kepala dan leher, kandung kemih, payudara, esofagus, uterus, dan serviks.

Di RSUP Haji Adam Malik Medan pernah dilakukan penelitian mengenai prevalensi DVT pada pasien-pasien tumor ginekologi, dan dijumpai terjadinya DVT pada tumor ginekologi secara keseluruhan adalah sebesar 16,5%, dan proporsi kejadian DVT pada tumor ganas ginekologi adalah 24,7% (resiko relatif 9,3; artinya penderita tumor ganas ginekologi kemungkinan menderita DVT 9,3 kali lipat bila dibandingkan dengan penderita tumor jinak ginekologi), dimana prevalensi kanker ovarium adalah sebesar 35,3%.

43,44,45,46

2.5.2. PATOFISIOLOGI

8

(52)

koagulan mendorong pertumbuhan, invasi, metastasis, dan angiogenesis dari sel tumor telah menjadi topik yang hangat pada penelitian di bidang kanker. Beberapa faktor koagulasi yang berperan dalam progresi tumor telah diteliti. Laporan paling banyak pada protein koagulan dan interaksi kanker termasuk faktor III (tissue factor [TF] ), TF-factor VIIa, faktor Xa, reseptor faktor IIa (trombin) – faktor II (disebut juga proase-activated reseptor [PARs] ), dan faktor XIIIa – faktor Ia (fibrin).2

Tabel 2.9. Faktor-faktor koagulasi dan protein regulasi yang berhubungan dengan kanker ovarium 2

(53)

Gambar 2.4. Diagram kaskade koagulasi darah (PL = platelet, TF = tissue factor).

Walaupun faktor-faktor non spesifik seperti stasis dapat berperan dalam mengaktivasi koagulasi pada pasien-pasien kanker, koagulasi lebih sering disebabkan oleh mekanisme tumor-specific yang menyebabkan gumpalan bekuan darah. Kaskade mekanisme ini melibatkan reaksi aktivasi faktor pembekuan yang mengikuti jalur intrinsik dan ekstrinsik. Kedua jalur ini bertemu pada akhirnya dimana faktor pembekuan terakhir adalah trombin (faktor IIa). Trombin mengkonversi fibrinogen (protein larut) menjadi fibrin yang tidak larut. Faktor XIII mengkatalisa ikatan kovalen untuk memperkuat pembekuan fibrin. Ada sejumlah cara dimana interaksi antara sel kanker dan sistem hemostasis dapat terjadi.

43

43

(54)

Gambar di atas menunjukkan jalur utama dimana terjadi interaksi antara sel tumor dan sistem hemostasis. Sel tumor mengekspresikan:

1. Prokoagulan seluler (tissue factor [TF], cancer procoagulant [CP]; reseptor faktor V) yang mengaktivasi kaskade pembekuan

43

2. Protein fibrinolisis (urokinase-type plasminogen activator [u-PA]; tissue type plasminogen activator [t-PA]; plasminogen activation inhibitor [PAI] dan urokinase-type plasminogen activator receptor [uPAR]

3. Sitokin, termasuk IL-1 dan TNF, yang merangsang trombogenisitas endotel Rickles dan Falanga mengklasifikasikan interaksi ini menjadi:

1. Sintesa mediator peptida dan polipeptida (prokoagulan, protein fibrinolotik, dan sitokin)

43

2. Interaksi selular langsung

(55)

Gambar 2.6. Faktor instrinsik dan ekstrinsik koagulasi serta inhibitornya

Walaupun sel-sel tumor dapat mengekspresikan sejumlah protein fibrinolitik, pasien-pasien dengan tumor solid menunjukkan gangguan aktivitas fibrinolitik. Temuan ini mengarahkan dugaan bahwa gangguan ini mungkin merupakan mekanisme yang dapat menjelaskan mengapa pada pasien-pasien ini cenderung terjadi DVT. Sitokin juga dihasilkan oleh sel-sel tumor ganas. Molekul ini dapat mendukung koagulasi dengan bekerja pada endotel pembuluh darah. Pada satu contoh telah diamati bahwa ekspresi dari faktor jaringan sel endotel pembuluh darah dapat dirangsang oleh sitokin nekrotik tumor faktor-α dan interleukin-1β. Interaksi seluler langsung dari sel tumor dapat terjadi pada sel endotel, monosit/makrofag, dan platelet. Interaksi ini dapat merangsang DVT dengan mempengaruhi sistem hemostasis melalui inisiasi dari down-regulation antikoagulan dan up-regulation dari efek prokoagulan.

43

2.5.3. Faktor Risiko DVT Pada Pasien Kanker

43

Gambar

Tabel 2.2. Tampilan makroskopik tumor ovarium jinak dan ganas16
Tabel 2.3. Stadium kanker ovarium menurut International Federation of Gynecology and
Gambar 2.1. Anatomi Vena Ekstremitas Bawah25,26
Tabel 2.5. Faktor risiko DVT11,31
+7

Referensi

Dokumen terkait