Diajukan Kepada Fakultas Adab dan Humaniora
Untuk Memenuhi Persyaratan Meraih Gelar Strata Satu (S1)
(Dosen Pembimbing: Dr. Parlindungan Siregar, MA)
Oleh:
Bahriyatul Arif NIM: 105022000832
JURUSAN SEJARAH DAN PERADABAN ISLAM FAKULTAS ADAB DAN HUMANIORA
Dengan ini saya menyatakan bahwa:
1. Skripsi ini merupakan hasil karya asli saya yang diajukan untuk memenuhi
salah satu persyaratan meraih gelar Strata Satu (S1) di Universitas Islam
Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta.
2. Semua sumber yang saya gunakan dalam penulisan ini telah saya cantumkan
sesuai dengan ketentuan yang berlaku di Universitas Islam Negeri Syarif
Hidayatullah Jakarta.
3. Jika kemudian hari terbukti bahwa karya ini bukan hasil dari karya saya atau
merupakan jiplakan dari karya orang lain, maka saya bersedia menerima
sanksi yang berlaku di Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta.
Jakarta, 19 Agustus 2011
i Nama : Bahriyatul Arif (105022000832)
Judul : Protektorasi Inggris Terhadap Kesultanan Brunei Darussalam (Tahun 1888)
Kesultanan Brunei Darussalam merupakan salah satu Kesultanan Islam di tanah Melayu yang dalam perkembangannya mengalamai pasang surut. Kedatangan Islam di Brunei hampir sama prosesnya seperti yang terjadi di kawasan Asia Tenggara pada umumnya, proses ini berlangsung dengan cara damai dan saling mempengaruhi satu sama lainnya. Masuk Islamnya Awang Alak Betatar secara otomatis merubah sistem pemerintahan dari sebuah kerajaan menjadi kesultanan Islam. Ketika Sultan Hashim Jalilul Aqamaddin naik takhta, ia mengambil langkah untuk mempertahankan sisa wilayah Brunei dengan melindungi Limbang ketika Charles Brooke (sepupu James Brooke) menempatinya. Namun demikian, dia tidak mampu melakukannya dan dia tidak berhasil untuk mencegah kerugian lebih lanjut dari caplokan keluarga Brooke. Sultan Hashim tidak memiliki kekuatan militer yang cukup kuat untuk menegakkan amanat tersebut. Awal tahun pemerintahannya, Sultan Hashim menghadapi kesulitan terbesar karena dihadapkan pada tekanan dari keluarga Brooke dan British North Borneo Company (BNBC).
Beberapa faktor yang melatar belakangi perjanjian perlindungan 1888 yang menjadikan Brunei sebagai negara atau wilayah naungan Inggris adalah Perluasan wilayah yang dilakukan Brooke di Serawak dan aktifitas BNBC di Sabah. Kedua pihak tersebut menguasai, memerintah secara penuh, mengeksploitasi sumber daya alam setempat, menghilangkan peran pembesar-pembesar setempat dan memonopoli semua perdagangan yang ada. Kondisi internal kesultanan dengan adanya perpecahan dan juga maraknya aktifitas bajak laut semakin memperburuk keadaan kesultanan. Campur tangan Brooke dan BNBC membuat masyarakat setempat melakukan perlawanan untuk mempertahankan kehidupan mereka.
Meskipun dalam perjanjian perlindungan 1888 tersebut menyebutkan bahwa Brunei menjadi naungan Inggris, akan tetapi dalam prakteknya banyak butir-butir dari perjanjian tersebut yang tidak di patuhi oleh Inggris. Tindakan Ini berdampak pada hilangnya kedaulatan dan menyusutnya wilayah Kesultanan Brunei Darussalam yang di rebut oleh Brooke dan BNBC.
ii
Dengan menyebut nama Allah yang Maha Pengasih lagi Maha Penyayang.
Puji syukur penulis panjatkan kehadirat Allah SWT, atas rahmat dan
hidayah-Nya, sehingga penulis dapat menyelesaikan skripsi ini. Shalawat dan salam
semoga tercurahkan kepada Nabi Muhammad SAW yang diutus menyeru kepada
iman, menuntun kepada jalan lurus, menyeru kepada yang ma’ruf dan mencegah
dari segala yang munkar.
Selanjutnya selama penyusunan skripsi ini, banyak sekali hambatan yang
penulis hadapi baik dari segi teknis maupun keterbatasan waktu, meskipun begitu
semua ini tidak menyurutkan keinginan penulis untuk tetap menyelesaikan
kewajiban serta tanggung jawab penulis sebagai mahasiswa di kampus UIN Syarif
Hidayatullah Jakarta.
Penulisan skripsi ini merupakan tugas akhir dalam perkuliahan di Jurusan
Sejarah dan Peradaban Islam, Fakultas Adab dan Humaniora, UIN Syarif
Hidayatullah Jakarta, adapun tujuan penulisan skripsi ini salah satunya seabagai
syarat untuk meraih gelar Sarjana Humaniora (S. Hum).
Pada akhirnya, penulis mengucapkan terima kasih yang sebesar-besarnya
atas bantuan dan doa kepada:
1. Dekan Fakultas Adab dan Humaniora, Universitas Islam Negeri Syarif
Hidayatullah Jakarta, bapak Dr. H. Abdul Wahid Hasyim M.Ag., beserta
PUDEK I, II, III.
iii
4. Bapak Dr. Parlindungan Siregar, MA. yang telah dengan sabar dan teliti
dalam memberikan bimbingan kepada penulis.
5. Ibu H. Tati Hartimah., selaku Dosen Penasehat Akademik
6. Seluruh staf dosen dan karyawan Fakultas Adab dan Humaniora,
khususnya dosen jurusan Sejarah dan Peradaban Islam.
7. Staf perpustakaan utama UIN Syarif Hidayatullah Jakarta, Perpustakaan
Fakultas Adab dan Humaniora, Perpustakaan Nasional Republik Indonesia
(PNRI), Perpustakaan Fakultas Ilmu Budaya UI, Lembaga Ilmu
Pengetahuan Indonesia (LIPI) yang telah banyak memberikan data
referensi kepada penulis.
8. Kedua orangtua, ayahanda H. Ma’muri dan Ibunda Hj. Sriyati, do’a restu yang tak pernah putus beliau panjatkan agar penulis dapat terus dan kuat
untuk menyelesaikan skripsi, rasa cinta dan kasih sayang beliau yang
begitu besar.
9. Adikku Zahrotun Nisa dan Ahmad Faiz al-Kautsar terimakasih atas doa
dan semangat kalian mendukung penulis menyelesaikan skripsi.
10.Keluarga besar H. Shobirin dan Ibu Hj. Nur khasanah, yang telah banyak
memberikan bantuan moril maupun materil serta do’a sehingga penulis bisa menyelesaikan skripsi ini.
11.Teman-teman seperjuangan SPI angkatan 2005, khususnya kepada
iv tidur lebih cepat.
Penulis hanya dapat berdo’a semoga bantuan dan amal baiknya mendapat
imbalan dari Allah Swt. Penulis menyadari bahwa skripsi ini masih jauh dari
sempurna, oleh sebab itu penulis mohon kritik dan saran yang membangun dalam
rangka saling mengingatkan antar sesama manusia guna untuk menuju kearah
kehidupan yang lebih baik. Akhir kata, semoga skripsi ini bisa bermanfaat bagi
kita semua.
v
ABSTRAKSI ... ...i
KATA PENGANTAR ... ... ii
DAFTAR ISI ... ...v
BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah ... 1
B. Pembatasan dan Perumusan Masalah... 5
C. Metode Penelitian... 5
D. Studi Kepustakaan ... 7
E. Tujuan dan Manfaat Penelitian ... 8
F. Sistematika Penulisan... 9
BAB II KESULTANAN BRUNEI DARUSSALAM A. Letak Geografi... 10
B. Islamisasi dan Berdirinya Kesultanan Brunei Darussalam ... 11
C. Pemerintahan Sultan Hashim Jalilul Alam Aqamaddin ... 14
D. Sistem dan Struktur Pemerintahan ... 16
BAB III LATAR BELAKANG PROTEKTORASI INGGRIS A. Kondisi Kesultanan Brunei Darussalam ... 23
1) Disintegrasi Internal Istana... 23
vi
1) James Brooke dan Perluasan Wilayahnya... 32
2) British North Borneo Company... 35
BAB IV DAMPAK PROTEKTORASI INGGRIS A. Analisa terhadap Perjanjian Perlindungan 1888 ... 38
B. Dampak dan Respon terhadap Protektorasi Inggris ... 44
1) Politik ... 44
2) Ekonomi ... 47
3) Respon Masyarakat Sabah dan Serawak terhadap Inggris ... 50
BAB V PENUTUP A. Kesimpulan ... 55
DAFTAR PUSTAKA ... 57
1 BAB I PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah
Selama beberapa abad orang-orang Kristen di Eropa telah berjuang untuk
mempertahankan diri dari serangan tentara Islam. Spanyol dan Portugis berhasil
menaklukan tentara Islam yang telah menguasai Jazirah Iberia menjelang tahun
1250. Namun demikian baru tahun 1492 tentara Islam benar-benar mundur dari
Eropa setelah benteng yang terakhir yaitu Granada jatuh ke tangan bangsa Eropa.
Disamping jatuhnya Romawi Timur pada tahun 1453, hubungan dagang antara
Eropa dan Asia lewat Laut Tengah terputus, akibatnya bangsa-bangsa Eropa tidak
mendapatkan lagi rempah-rempah dari dunia timur lewat Asia Barat yang telah
dikuasai tentara Islam. Oleh karena itu Bangsa Eropa yang dipelopori oleh
Portugis dan Spanyol berusaha keras untuk mencari rempah-rempah langsung ke
sumbernya.
Selain putusnya hubungan perdagangan antara Eropa dan Asia, semangat
bangsa Eropa untuk ke Asia itu juga dipengaruhi oleh berita Marco Polo1.
Menurut berita tersebut, dunia timur (Asia Tenggara) memiliki tanah yang subur
dan hasil rempah-rempah serta penduduknya ramah tamah, tanaman di dunia
timur tidak pernah mengalami musim gugur seperti di Eropa, karena itu bangsa
Eropa semakin terdorong dan berlomba-lomba mencari jalan ke Asia Tenggara
lewat samudera.
1 Kardiyat Wiharyanto, Asia Tenggara Zaman Pranasionalime, Jogjakarta: Universitas
Setelah bangsa Eropa menemukan jalur baru pelayaran ke Asia Tenggara,
baru pada sekitar tahun 1511 dengan penaklukan Malaka oleh Portugis,
bangsa-bangsa Eropa lainnya seperti Belanda, Spanyol dan Inggris mengikuti jejak
Portugis untuk mencari rempah-rempah dan bahan makanan lainnya. Di kemudian
hari bangsa Belanda berhasil menduduki daerah Indonesia yang merupakan
daerah terluas di kawasan Asia Tenggara; Spanyol berhasil menduduki wilayah
Filipina dan Inggris berhasil menguasai Singapura, Malaysia dan Brunei
Darussalam.
Kekuasaan bangsa Eropa di Asia Tenggara berlangsung cukup lama
terhitung sejak takluknya Malaka abad ke 16 sampai pecahnya perang dunia II
yang berdampak pada kemerdekaan negara-negara di kawasan Asia Tenggara dari
tangan penjajah Eropa. Selama itu pula bangsa Eropa mengeksploitasi sumber
daya alam serta pengaruhnya di Asia Tenggara, dengan misi Gold, Glory, Gospel.
Penetrasi bangsa Eropa di wilayah Asia Tenggara membuat kekuasaan
legitimasi raja-raja berangsur memudar, beberapa tempat strategis berhasil
dikuasai seperti bandar pelabuhan dan memonopoli komoditas perdagangan, yang
berdampak pada banyaknya pedagang mencari alternatif tempat lain untuk
melanjutkan aktifitas perdagangannya. Pilihan untuk mencari alternatif lain ini
sebenarnya membuka jalur perdagangan baru dengan menjadikan wilayah tertentu
untuk berkembang dan berbanding lurus dengan semakin meratanya penyebaran
Islam di Asia Tenggara.
Kesultanan Brunei Darussalam menjadi salah satu alternatif ketika pusat
M.2 Malaka selain menjadi pusat perdagangan juga menjadi pusat bertemunya
para pedagang-pedagang Muslim untuk menyebarkan agama Islam ke penjuru
wilayah Asia Tenggara.
Brunei Darussalam dalam hal ini merupakan wilayah yang tak lepas dari
sistem protektorasi bangsa Inggris hampir selama 100 tahun berikutnya.
Protektorasi bangsa Inggris terhadap Brunei Darussalam bukan tanpa alasan, misi
ekspansionis Kerajaan Inggris membuat pencarian rute baru jalur perdagangan
sebagai dampak dari revolusi industri pertengahan abad 19. Inggris mendarat di
Brunei bertepatan dengan kondisi internal kesultanan Brunei yang sedang terjadi
perebutan kekuasaan diantara penguasanya. Kondisi ini menjadi sangat penting
ketika bangsa Inggris datang dan menawarkan bantuan kepada salah satu pihak
penguasa kesultanan Brunei. Bangsa Inggris tentunya tidak memberikan bantuan
secara cuma-cuma kepada salah satu pihak tersebut, namun bantuan yang
ditawarkan Inggris ini merupakan pintu masuk untuk dapat menguasai daerah
kekuasaan kesultanan Brunei secara bertahap.
Dalam masa-masa perebutan kekuasan itu, terjadi berbagai pemberontakan
yang terjadi di wilayah Serawak yang dimotori oleh aristokrat Melayu Serawak
dengan para pemimpin suku Dayak. Sebab utama dari pemberontakan itu adalah
adanya tekanan dari Putra Mahkota yang telah menghancurkan kekayaan setempat
dengan cara memonopoli seluruh produksi timah dan perdagangan secara umum
dan berusaha menekan tanah Dayak untuk memenuhi kebutuhan produksi timah
dengan cara menguras tenaga para buruhnya tanpa bayaran.
Karena merasa tidak mampu memadamkan pemberontakan tersebut, Raja
Muda Hassim meminta bantuan James Brooke. Kepada James Brooke ditawarkan
jabatan gubernur Serawak, jika mampu memadamkan pemberontakan tersebut.
Akhirnya berkat bantuan tersebut pemberontakan berhasil dipadamkan. Setelah itu
perjanjian antara Brooke dengan Raja Muda Hassim ditanda-tangani tanggal 24
September 1841 dimana Brooke menjadi gubernur yang memiliki kekuasaan
penuh atas Serawak.3
Munculnya James Brooke sebagai penguasa Serawak membuka tirai baru
penguasaannya atas beberapa wilayah kekuasaan Kesultanan Brunei berikutnya.
Beberapa perjanjian berikutnya seperti perjanjan persahabatan-perdagangan 1847
dan perjanjian perlindungan 1888 antara kerajaan Inggris dan Sultan Hashim
Jalilul Aqmaddin menandai kerjasama antara Inggris dengan sultan yang
sebenarnya hanya menguntungkan pihak Inggris saja dan berdampak pada
hilangnya kedaulatan sultan sebagai pemimpin pemerintahan kesultanan dan juga
meyusutnya wilayah kekuasaan Kesultanan Brunei Darussalam.
Dari sinilah awal kekuasaan Inggris dimulai yang kemudian berlanjut
hampir selama seratus tahun menancap kokoh diatas bumi Brunei Darussalam.
Penulis merasa tertarik dan bermaksud menyusun skripsi ini dengan mengambil
judul “Protektorasi Inggris Terhadap Kesultanan Brunei Darussalam (Tahun
1888)”.
3
B. Pembatasan dan Perumusan Masalah
Ruang lingkup penelitian ini bersifat kesejarahan, untuk menghindari
melebarnya pembahasan dalam penulisan skripsi ini, maka penulis membatasi
pembahasannya pada “Latar Belakang dan Dampak Protektorasi Inggris 1888”.
Adapun pembahasan skripsi ini dirumuskan dalam tiga pertanyaan:
1) Bagaimanakah Sejarah Kesultanan Brunei Darussalam?
2) Apakah latar belakang munculnya kebijakan protektorasi?
3) Bagaimana kondisi atau dampak dari Protektorasi Inggis?
C. Metode Penelitian
Pembahasan “Protektorasi Inggris Terhadap Kesultanan Brunei
Darussalam (Tahun 1888)” menggunakan pendekatan dari ilmu sosiologi, politik
dan ekonomi. Dengan demikian diharapkan dapat membantu menjelaskan
penelitian ini, sebagai contoh, konsep interaksi sosial untuk menerangkan
hubungan atau interaksi dengan individu atau kelompok lain; konsep kekuasaan
untuk membantu menjelaskan hubungan raja dengan rakyat; sistem monopoly,
membantu menerangkan hubungan perdagangan. Dengan memggunakan
pendekatan multidimensional diharapkan dapat memberikan gambaran sejarah
menjadi lebih kuat dan menyeluruh karena hubungan antara suatu aspek
memberikan pengaruh terhadap aspek lainnya.4
Metode penelitian yang digunakan dalam penelitian ini adalah metode
historis. Metode historis merupakan proses menguji dan menganalisa secara kritis
4 Sartono Kartodirdjo, Pendek atan Ilmu Sosial Dalam Metodologi Sejara h, Jakarta:
rekaman dan peninggalan masa lampau.5 Untuk menganalisis suatu peristiwa,
menurut metode penelitiaan sejarah, dilakukan melalui empat tahapan,6 sebagai
berikut:
1) Heuristik: Mengumpulkan sumber-sumber berupa buku, jurnal,
seminar dan beberapa tulisan ahli sejarah Asia Tenggara, khususnya
yang membahas tentang Kesultanan Brunei Darussalam baik
masa-masa awal berdiri hingga masa-masa protektorasi Inggris.
2) Kritik: Sumber-sumber yang terkumpul kemudian dilakukan kritik
sumber. Baik kritik terhadap sumber primer ataupun kritik terhadap
para peneliti mengenai sejarah dan kondisi kesultanan Brunei
Darussalam pada masa Protektorasi Inggris.
3) Interpretasi: Interpretasi adalah pemahaman yang mendalam mengenai
teks-teks yang telah melalui fase kritik, di mana penulis sudah
menemukan korelasi dan pemahaman yang baru mengenai tema yang
dibahas.
4) Historiografi: Pemahaman yang diperoleh setelah melalui beberapa
tahap, ditransfer dalam bentuk tulisan dengan metode deduktif, dengan
pola umum-khusus, yakni dimulai dari Sejarah Kesultanan hingga
masa protektorasi Inggris.
5 Louis Gottschalk, Mengerti Sejarah (terj. Nugroho Notosusanto), Jakarta: UI Press,
1983, hal. 32
6 Dudung Abdurahman, Metode Penelitian Sejarah, Jakarta: Logos Wacana Ilmu, 1999,
Adapun teknik penulisan yang digunakan dalam penulisan skripsi ini
mengacu pada pedoman penulisan skripsi, tesis, dan disertasi yang diterbitkan
oleh CeQDA UIN Syarif Hidayatullah Jakarta Press.7
D. Studi Kepustakaan
Setidaknya ada dua sumber yang membahas tentang Brunei Darussalam
yang saya peroleh dari perpustakaan utama UIN Syarif Hidayatullah, anatara lain:
Pertama, Muhammad Soheh, Eksistensi Kesultanan Brunei Darussalam Pasca
Kejatuhan Malaka, Tesis: Program Studi SPI Pascasarjana UIN Syarif
Hidayatullah Jakarta 2003.8 Muhammad Soheh dalam tesisnya tersebut
menjelaskan tentang kondisi Kesultanan Brunei Darussalam ketika Portugis
berhasil menaklukan Malaka pada tahun 1511 dari sudut pandang perdagangan
(ekonomi) sampai masa kedatangan James Brooke ke Brunei. Kedua, Awang
Mohammad Jamil al Sufri, Liku-liku Perjuangan Pencapaian Kemerdekaan
Negara Brunei Darussaalam. Bandar Seri Begawan: Jabatan Percetakan Kerajaan
Kementerian Undang-undang Brunei Darussalam 1992.9 Dalam bukunya ini
Awang Mohammad Jamil al Sufri menjelaskan tentang asal usul, proses
Islamisasi dan usaha-usaha yang dilakukan oleh Kesultanan Brunei Darussalam
dalam mencapai kemerdekaannya. Kedua sumber tersebut tidak membahas secara
lebih rinci latar belakang kebijakan protektorasi dan perjanjian-perjanjian apa saja
yang disepakati antara Inggris dan Brunei.
7
Hamid Nasuhi dkk., Pedoman Penulisan Karya Ilmiah (Sk ripsi, Tesis dan Disertasi), Jakarta: CeQDA UIN Syarif Hidayatullah Jakarta, 2007.
8 Muhammad Soheh, Ek sistensi Kesultanan Brunei Darussalam Pasca Kejatuhan
Malak a, Tesis: Program Studi SPI Pascasarjana UIN Syarif Hidayatullah Jakarta 2003.
9 Awang Mohammad Jamil al Sufri, Lik u-lik u Perjuangan Pencapaian Kemerdek aan
Penulisan skripsi ”Protektorasi Inggris Terhadap Kesultanan Brunei
Darussalam (Tahun 1888)” ini, Penulis berusaha lebih memfokuskan pada latar
belakang dan dampak dari protektorasi Inggris terhadap Kesultanan Brunei
Darussalam. Penulisan skripsi ini diharapkan dapat memberikan informasi tentang
sejarah Kesultanan Brunei Darussalam, khususnya faktor-faktor yang melatar
belakangi protektorasi Inggris tahun 1888.
E. Tujuan dan Manfaat Penelitian
Penelitian sejarah tentang Kesultanan Islam Melayu, khususnya di luar
Indonesia seperti Kesultanan Brunei Darussalam menurut sepengetahuan penulis
masih sedikit sekali belum banyak diteliti oleh sarjana Indonesia terutama di
lingkungan akademis UIN Syarif Hidayatullah, terlebih mengenai Kesultanan
Brunei Darussalam di bawah perlindungan dari Kerajaan Inggris. Untuk itulah
sekarang saatnya untuk mengusahakan pengkajian tentang sejarah Brunei
Darussalam tersebut.
Manfaat dari penelitian ini adalah:
1) Menambah wawasan kesejarahan terhadap Sejarah Kesultanan Islam di
Asia Tenggara, khususnya Kesultanan Brunei Darussalam.
2) Memahami sejarah Kesultanan Brunei Darussalam di bawah naungan
Kerajaan Inggris, dimana berdampak pada hilangnya kedaulatan sultan
setelah menyepakati perjanjian perlindungan tersebut.
3) Menambah daftar referensi mengenai sejarah Kesultanan Asia Tenggara di
perpustakaan utama UIN Syarif Hidayatullah dan perpustakaan Fakultas
F. Sistematika Penulisan
Penyajian proposal skripsi ini dituangkan dalam bentuk pembahasan bab
per bab.
BAB I PENDAHULUAN
Berisi tentang signifikansi tema yang diangkat, pembatasan dan
perumusan masalah, metodologi penelitian, studi kepustakaan,
tujuan dan manfaat penulisan serta sistematika penulisan.
BAB II KESULTANAN BRUNEI DARUSSALAM
Menjelaskan letak geografi, sejarah berdirinya kesultanan, masa
pemerintahan Sultan Hashim Jalilul Alam Aqamaddin. Selain itu
juga dibahas sistem dan struktur pemerintahan Kesultanan Brunei
Darussalam.
BAB III LATAR BELAKANG PROTEKTORASI INGGRIS
Menguraikan tentang faktor-faktor yang memicu terjadinya
protektorasi baik faktor internal seperti kondisi kesultanan Brunei
sendiri, maupun faktor eksternal melalui hubungannya dengan
pihak Inggris.
BAB IV DAMPAK PROTEKTORASI INGGRIS
Berisi analisa terhadap surat perjanjian perlindungan 1888 dan
dampak dari protektorasi Inggris serta respon masyarakat Serawak
dan Sabah terhadap Inggris.
BAB V PENUTUP
10
KESULTANAN BRUNEI DARUSSALAM
A. Letak Geografi
Slamet Mulyana dalam Sriwijaya menyimpulkan bahwa Po-Li terletak di
pantai barat Pulau Borneo dan disebelah utara/timur Ho-Ling.1 Dinasti Liang
(502-556 M) meriwayatkan bahwa Po-Li itu sebuah kerajaan yang memerintah
136 kampung dan hasil padinya dipanen dua kali setahun. Dinasti Sung (
960-1279 M) menyebut Po-Li atau Po-Lo dengan nama Puni, Kota Puni mempunyai
kira-kira 10.000 orang penduduk dan kerajaannya memerintah 14 wilayah.
Setelah terbentuknya pemerintahan Islam, didirikanlah ibukota sebagai
pusat pemerintahan yaitu Kota Batu pada masa pemerintahan Sultan Syarif Ali.
Kesultanan Brunei meliputi Serawak, Sabah, Kuching, Skrang, Saribas dengan
sungai-sungai yang mengelilingi disekitarnya. Dalam perkembangan selanjutnya,
pengaruh Kesultanan Brunei mencakup Kesultanan Sambas, Kotaringian,
Kepulauan Sulu, Luzon, Mindanau, Bolongan, Kepulauan Balabak, Banggi,
Balambangan, Mantanani dan bahagian utara Palawan hingga kerajaan Islam
Manila pada 1520 M.2
Masa-masa berikutnya selepas pemerintahan Sultan Hassan (1582-1598
M) luas pengaruh Brunei di beberapa tempat tersebut mulai pudar setelah
kedatangan Bangsa Eropa seperti Spanyol, Belanda dan Inggris. Inggris lah yang
berperan besar dalam menyusutkan wilayah Kesultanan Brunei Darussalam
terhitung sejak penetapan James Brooke sebagai penguasa di Serawak.
1 Slamet Mulyana, Sriwijaya, Jogjakarta: LKiS, 2001, hal. 85.
B. Islamisasi dan berdirinya Kesultanan Brunei Darussalam
Kerajaan Brunei kuno ditengarai sudah ada sejak 517 M bersaing dengan
Palembang Tua di Sumatera dan Taruma Negara di Jawa.3 Dalam catatan Cina
pada masa dinasti Sui (581-619 M) menyebutkan letak Brunei di sebuah pulau
sebelah tenggara Canton. Letak geografisnya yang sangat ideal menjadikan
Brunei kuno tempat lalu lalang pedagang-pedagang dari Arab, India, Cina dan
negeri-negeri disekitarnya. Dalam beberapa catatan Cina disebut dengan nama
Po-Li, Po-Lo atau Poni (Puni).4 Pada tahun 518 M, raja Po-Li pernah menghantar
utusan ke Cina dan membawa barang-barang atau hadiah persembahan dari dalam
negeri. Catatan Arab, oleh para pedagang Arab di Laut Cina Selatan memanggil
dengan sebutan Dzabaj atau Ranj yang kemudian nama ini berubah menjadi
Brunei.5
Penemuan data arkeologis mengenai Islamisasi di Brunei termuat dalam
batu Selasilah atau Tarsilah Brunei, sebuah batu nisan seorang Muslim Cina di
komplek pemakaman Islam Rangas, Jalan Tutong, Bandar Seri Begawan. Dari
batu nisan tersebut kemudian berkembang penelusuran secara rinci tentang jati
diri yang lebih lengkap nama tokoh yang tertera dalam nisan batu tarsilah tersebut.
Penelusuran menyebutkan nisan seorang Muslim berbangsa Cina, menurut
Wolfgang Franke dan Ch’en Tien Fan batu nisan ini bertuliskan Cina milik
seorang Cina bernama Pu-Kung Chih-Mu yang berasal dari keluarga Pu yang
3 Awang Mohammad Jamil al-Sufri, Lik u-lik u Perjuangan Pencapaian Kemerdek aan
Negara Brunei Darussalam, Brunei Darussalam: Jabatan Pusat Sejarah, 1992, hal. XVII.
4 Mohammad Deli bin Ahmad, Brunei Darussalam In Brief, Brunei Darussalam: The
Information Departemen, Prime Minister’s Office, 1989, hal. 32a.
5 Hasan Muarif Ambary, Menemuk an Peradaban: Jejak Ark eologis dan Historis Islam
datang dari daerah Chuan-chou pada masa dinasti Sung (960-1279 M).6 Perkataan
Pu yang terdapat diawal nama di nisan itu biasanya menunjukan orang Cina Islam
dari keturunan Arab, besar kemungkinan Pu yang disebutkan adalah nama orang
Islam yang asal keturunannya dari Pu Ya-Li atau Abu Ali yang ditengarai adalah
seorang yang pernah mengetuai perwakilan Brunei ke Cina pada tahun 977 M.7
Data arkeologis ini menarik garis latar belakang hadirnya Islam di Brunei
mundur jauh ke belakang yaitu sebelum abad 11 M atau berkaitan dengan
penemuan nisan seorang Muslimah bernama Fatimah binti Maemun binti
Hibatallah di Leran, Gresik yang berangka tahun 1082 M atau bisa juga dikatakan
bahwa kontak dengan Islam terjadi secara merata dibeberapa tempat di Asia
Tenggara. Adanya bukti ini, berarti juga membenarkan teori Uka Tjandrasasmita,
Islam datang di wilayah Indonesia dan Malaysia tepatnya sepanjang Selat Malaka
adalah pada abad pertama Hijriah atau pada abad 7 M.8
Menurut silsilah raja-raja Brunei, bahwa Awang Alak Betatar menikahi
putri Johor kira-kira pada tahun 1368 M, kemudian Awang Alak Betatar memeluk
Islam dan diubah namanya menjadi Muhammad Shah. Awang Muhammad Jamil
al-Sufri dalam bukunya Tarsilah Brunei sejarah awal dan perkembangan Islam,
Johor yang dimaksud adalah Singapura Tua yang didirikan oleh Sang Nila Utama
atau Sri Tri Buana atau Sultan Iskandar Shah yang memerintah antara tahun
1299-1347 M.9
6
Awang Muhammad Jamil Al-sufri, Tarsilah Brunei: Sejarah Awal dan Perk embangan Islam, Bandar Seri Begawan: Jabatan Pusat Sejarah, 1991, hal. 86.
7 Awang Muhammad Jamil Al-sufri, Tarsilah Brunei: Sejarah Awal dan Perk embangan
Islam, Bandar Seri Begawan: Jabatan Pusat Sejarah, 1991, hal. 87.
8 Uka Tjandrasasmita, Ark eologi Islam Nusantara, Jakarta: KPG, 2009, hal. 12.
9 Awang Muhammad Jamil al-Sufri, Tarsilah Brunei: sejarah awal dan perk embangan
Kondisi pasang surut mewarnai perjalanan Brunei selanjutnya, masa
pemerintahan Sultan Bolkiah (sultan ke V, 1485-1524) atau yang dikenal dengan
nahkoda ragam adalah masa kejayaan dan kemakmuran Brunei,10 luas
pengaruhnya mencapai Sambas, Kotaringian, Kepulauan Sulu, Luzon, Mindanau,
Bolongan, Kepulauan Balabak, Banggi, Balambangan, Mantanani dan bagian
utara Palawan hingga kerajaan Islam Manila pada 1520 M.11 Jatuhnya Malaka
ketangan Portugis pada 1511, Brunei memperoleh keuntungan dengan
menjadikannya sebagai bandar pelabuhan yang ramai.12
Masa surut Brunei ditandai dengan berakhirnya pemerintahan Sultan
Muhammad Hassan (sultan ke IX, 1582–1598), kemunduran demi kemunduran
terjadi dalam kesultanan Brunei, perpecahan dalam keluarga istana, lepasnya
beberapa wilayah jajahan ditambah dengan kedatangan Bangsa Eropa menjadi
beberapa faktor penyebabnya.
Selanjutnya, abad ke 19 adalah masa yang sangat penting bagi Brunei
dimana menghadapi arus hubungan, ancaman dan penjajahan dari Inggris. Situasi
Brunei abad 19 juga turut mengundang keterlibatan orang-orang Inggris, pada
mulanya secara individu, syarikat dan kemudian melibatkan kerajaan Inggris.
Masa pemerintahan Sultan Hashim Jalilul Alam Aqamaddin (sultan ke XXV,
1885-1906) merupakan masa yang menentukan nasib Brunei dalam
keberlangsungan pemerintahannya ditandai dengan perjanjian perlindungan antara
sultan dan pihak Inggris. Perjanjian tersebut menunjukkan bahwa Brunei berada
dalam perlindungan pihak yang lebih kuat yaitu Inggris.
10 Azumardi Azra, Perspek tif Islam di Asia Tenggara, Jakarta: Obor, 1989, hal. 8. 11 Cesar A. Majul, Dinamik a Islam Filipina, Jakarta: LP3ES, 1989, hal. 9.
12 Adrian B. Lapian, Pelayaran dan Perniagaan Nusantara Abad 16 -17, Depok:
C. Pemerintahan Sultan Hashim Jalilul Alam Aqamaddin
Sultan Hashim Jalilul Alam Aqamaddin berasal dari garis keturunan
sultan-sultan Brunei, silsilahnya adalah sebagai berikut: Sultan Hashim Jalilul
Alam Aqamaddin ibni Sultan Omar Ali Saifuddin II ibni Sultan Muhammad
Jamalul Alam I ibni Sultan Muhammad Tajuddin ibni Sultan Omar Ali Saifuddin
ibni Sultan Muhammad Alauddin ibni Pengiran Di-Gadong Shah ibni Sultan
Mubin Muhyiddin ibni Sultan Abdul Jalilul Akbar ibni Sultan Muhammad Hassan
ibni Sultan Saiful Rijal ibni Sultan Abdul Kahar ibni Sultan Bolkiah ibni Sultan
Sulaiman ibni Sultan Sharif Ali. Dia lahir pada tahun 1825 dan naik tahta sebagai
Sultan Brunei Darussalam ke-25 pada tahun 1885 ketika berusia 60 tahun. Dia
meninggal tak lama setelah menandatangani Perjanjian 1906 dengan Inggris Raya
yang memungkinkan seorang Residen Inggris untuk berada di Brunei. Sebelum
menjadi Sultan, Sultan Hashim bergelar Pengiran Temenggong, salah satu dari
empat wazir kepala di Kesultanan Brunei. Sultan Hashim menikahi putri Pengiran
Yusof. Pengiran Yusof tidak setuju dengan kebijakan untuk menyerahkan
Sarawak ke James Brooke, mencampuri urusan internal Brunei serta kekhawatiran
Pangeran Yusof terhadap upaya Brooke melanjutkan penaklukkan atas
wilayah-wilayah Brunei yang dimulai dengan Kuching dan sekitarnya pada tahun 1841.
Ketika Sultan Hashim naik takhta, ia mengambil langkah untuk
mempertahankan sisa wilayah Brunei dengan melindungi Limbang ketika Charles
Brooke (sepupu James Brooke) menempatinya. Namun demikian, dia tidak
mampu melakukannya dan dia tidak berhasil untuk mencegah kerugian lebih
lanjut dari caplokan keluarga Brooke. Sultan Hashim tidak memiliki kekuatan
Hashim menghadapi kesulitan terbesar karena dihadapkan pada tekanan dari
Brooke dan British North Borneo Company.
Pada tahun 1887, Sultan Hashim mengirim surat kepada Ratu Victoria
dengan maksud memohon Pemerintah Inggris tidak melaksanakan rencana untuk
membagi wilayah Brunei lebih lanjut. Dan akhirnya Ratu Victoria mengutus Sir
Frederic Weld untuk mengunjungi Brunei pada tahun 1887 untuk menunjukkan
cara terbaik Inggris agar dapat membantu Brunei sebagai penasehat Residen
Inggris terhadap Brunei. Hal ini yang akhirnya menyebabkan Perjanjian
Protektorat antara Brunei dan Inggris pada tahun 1888.
Sultan Hashim setuju untuk menandatangani Perjanjian karena ia ingin
mencegah hilangnya wilayah Brunei lebih banyak. Namun, meskipun ini
perjanjian bersejarah, Pemerintah Inggris gagal mengambil tindakan terhadap
Charles Brooke untuk mengambil Limbang. Charles Brooke bersikeras bahwa
Limbang telah diserahkan sebagai bagian dari Sarawak.
Pemerintah Inggris juga menolak untuk menyetujui penyerahan dari
Limbang. Tapi Charles Brooke merampas Limbang kemudian menyita dengan
paksa pada 17 Maret 1890. Pemerintah Inggris telah mengutus Noel Trevenan
untuk memimpin sebuah misi untuk menyelidiki situasi yang sebenarnya.
Trevenan didampingi pejabat Brooke bertemu dengan 15 pemimpin lokal dan
melaporkan bahwa 12 dari mereka mendukung. Tetapi kemudian disadari bahwa
18 pemimpin lokal tidak hadir pada pertemuan tersebut dan mereka yang hadir
adalah pendukung Brooke dan karena itu mereka tidak mewakili seluruh rakyat
itu. Dia bahkan menulis surat kepada Sultan Turki memohon bantuan, tetapi surat
itu disita oleh Inggris.
Satu lagi perjanjian yang disepakati antara Sultan Hashim dengan pihak
Inggris yaitu perjanjian 1905, perjanjian ini memungkinkan seorang Residen
Inggris untuk berada di Brunei. Tidak lama setelah kesepakatan tersebut, Sultan
Hashim meninggal dunia pada 10 Mei 1906 dan beberapa ushanya itu cukup
untuk menyelamatkan Brunei dari kerakusan Inggris.
D. Sistem dan Struktur Pemerintahan
Dalam perkembangannya, Islam dan Melayu menjadi dua kata yang
seiring berjalan beriringan; Islam menjadi bagian dari kehidupan masyarakat
Melayu. Sebaliknya, masyarakat Melayu juga menjadi sangat identik dengan
Islam. Bagi komunitas Melayu, hal ini terefleksikan dalam suatu slogan; “masuk
Islam berarti menjadi Melayu“, atau dengan ungkapan lain: “menjadi Melayu
berarti menjadi Islam.”13 Slogan seperti ini sedemikian mengakar dalam kalangan
masyarakat Melayu, sehingga nilai-nilai yang diproduksi oleh Islam niscaya
dengan sendirinya akan banyak melandasi perumusan nilai-nilai kehidupan dan
perilaku masyarakat Melayu, tidak terkecuali dalam mengekspresikan
gagasan-gagasan tentang politik, seperti konsep pemerintahan, penguasa atau raja (sultan),
hubungan antara penguasa dengan rakyat, serta hal-hal lain yang berada dalam
ranah politik.
Dalam tradisi politik Islam Melayu (baca: pemerintahan Islam Melayu),
penguasa atau raja (sultan) merupakan figure dan lembaga yang terpenting. Raja
13 Ahmad Ibrahim dkk, Islam di Asia Tenggara Perk embangan Kontemporer, Jakarta:
dianggap sebagai orang yang mulia dan mempunyai berbagai kelebihan (kekuatan
supranatural). Posisi raja adalah setingkat dengan Nabi dan sebagai pengganti
Allah dibumi (khalifah). Dalam pandangan Melayu, menganalogikan Raja dan
Nabi sebagai dua permata dalam satu cincin. Konsep ini mengandung arti bahwa
pengusa mempunyai dua kekuasaan: keduniaan dan keagamaan.
Meskipun dalam perkembangannya, pemerintahan kerajaan-kerajaan di
Asia Tenggara banyak dipengaruhi oleh unsur-unsur Islam seiring dengan
ramainya aktivitas pelayaran pedagang-pedagang Muslim. Fenomena bentuk
pemerintahan dunia Melayu seperti ini juga tidak bisa serta merta dianggap
sebagai citra dari sebuah pemerintahan ala Islam. Dunia politik Melayu sudah
lama memiliki akar-akar yang kuat dengan tradisi Hindu-Budha nya.
Dialog Islam dengan tradisi ini dilakukan dalam semangat negosiasi.
Negosiasi merupakan proses menafsirkan sesuatu yang hadir dan menafsirkan
dirinya untuk mecari sesuatu yang baru yang dikenal dalam kebudayaan sebagai
sesuatu yang hidup. Dalam konteks kultural, masyarakat memiliki kemampuan
untuk bernegosiasi dengan caranya masing-masing. Sejatinya, pergulatan antara
yang didatangi dan pendatang dalam bernegosiasi bukan didasarkan pada
semangat saling mengubah. Karena kalau sudah saling mengubah bukan lagi
negosiasi, melainkan hegemoni bahkan represi. Ini artinya, negosiasi merupakan
bagian dari transformasi kultural dalam setiap gerak kebudayaan. Hasilnya
menurut Hussin Mutalib adalah jenis doktrin Islam bastar (cangkokan), beraneka
ragam, yang terdiri dari campuran antara praktek-praktek Islam maupun
non-Islam yang diserap oleh Orang Melayu.14
14 Hussin Mutalib, Islam dan Etnisitas Perspek tif Politik Melayu, Jakarta: LP3ES, 1996,
Dalam susunan pemerintahan tradisi Brunei, raja atau sultan mempunyai
kuasa penuh dalam menjalankan pemerintahan dibantu oleh wazir-wazir,
cheteria-cheteria, menteri-menteri dan ketua-ketua lain yang dilantik oleh sultan.
Kedaulatan raja atau sultan adalah di antara ciri-ciri utama kesatuan dan
perpaduan rakyat sejak zaman dulu. Mentaati raja yang adil dan bijaksana
bersesuaian dengan konsep Ulil Amri di dalam Islam.15
Menurut adat, sultan juga merupakan wakil rakyat yang mutlak dan
menjadi tiang negara atau lambang negara tertinggi untuk menguasai dan
menjalankan pemerintahan negara. Dasar yang menopang pemerintahan
Kesultanan Brunei itu ada 4 macam: kanun, syara’, adat istiadat dan resam.16
Kanun adalah hukum kanun Brunei yang telah ada sejak sebelum masa sultan
Hasan (1582-1598 M) yang kemudian disempurnakan olehnya. Syara’ merupakan
rujukan kepada ajaran-ajaran Islam. Adat istiadat merujuk kepada adat istiadat
Brunei sejak pra-Islam, baik yang berkaitan dengan sultan dan para
pembesar-pembesar negara maupun ada istiadat yang diterima dan dilaksanakan oleh
masyarakat Brunei secara keseluruhan. Resam merujuk kepada perkara-perkara
diluar adat istiadat seperti kebiasaan suatu kelompok masyarakat kecil dikalangan
suku tertentu.
Secara umum pada abad 15 dan 16 antara Brunei dengan beberapa
Kesultanan Melayu lainnya memiliki kesamaan dalam hal sistem pemeintahannya.
Disebutkan bahwa Brunei mengadopsi hukum kanun Malaka,17 Brunei juga
15 Saadiah DDW Hj. Tamit (artikel), Pentadbiran Undang-Undang Islam Di Negara
Brunei Darussalam Pada Zaman British, Universiti Brunei Darussalam.
16 Zainuddin Fanani dan M. Thoyib (penyunitng), Studi Islam Asia Tenggara, Surakarta:
Muhammadiyyah University Press, 1999, hal.102.
17 Malaka merupakan Kesultanan Melayu yang mempunyai beberapa undang -undang
memiliki struktur pemerintahan yang sangat variatif yang terus berkembang sesuai
dengan perkembangan zaman. Kekuasaan tertinggi terletak ditangan raja atau
sultan dan dijalankan dengan dibantu oleh pejabat-pejabat negara menurut
tingkatannya masing-masing. Dibawah sultan tedapat susunan struktur beberapa
pembantunya yang bersifat hirarkis, struktur tersebut kemudian secara tidak
langsung membentuk kelas-kelas atau tingkatan pejabatnya. System dan proses
pendelegasian yang bersifat desentralisasi. Masyarakat Brunei secara umum
terbagi 3 golongan, yaitu golongan ningrat (bangsawan), rakyat umum dan
golongan yang terkait dengan keduanya. Pejabat atau pegawai negara juga terbagi
dalam 2 golongan, yaitu golongan ningrat (bangsawan) dan golongan pejabat atau
pegawai umum. Hubungan sultan dengan rakyatnya termuat dalam sebuah motto
“pantang Melayu menderhaka kepada raja”.
Susunan hirarkis menurut DE. Brown sebagai berikut:18
1. Sultan
2. Wazir
3. Cheteria
4. Menteri
5. Kepala Kampung
Menurut adat istiadat Brunei sebagai berikut:19
1. Sultan
2. 4 Wazir
berbagai permasalahan dalam masyarakat dengan sistem keadilan yang telah ditentukan dalam masyarakat tertentu. Salah satunya adalah Hukum Kanun Malaka yang sebagian besar isinya diserap dari ajaran Islam. Lihat (Muhammad Yusuf Hashim, Kesultanan Melayu Melak a, Kuala Lumpur: Dewan Bahasa dan Pustaka Kementrian Pendidikan Malaysia, 1990).
18 DE. Brown, Brunei: The Structure and History of a Bornean Malay Sultanate, Brunei:
The Star Press, 1970.
19 Zainuddin Fanani dan M. Thoyib (penyunitng), Studi Islam Asia Tenggara, Surakarta:
3. 4 Cheteria
a. Cheteria (4 Kepala Cheteria)
b. Cheteria (8 Cheteria Besar)
c. Cheteria (16 Pengalasan Biasa)
d. Cheteria (32 Pengalasan Damit)
4. Menteri Agama
5. Menteri Dagang
6. Menteri Istana
Sultan, wazir, cheteria, semuanya adalah golongan ningrat (bangsawan),
sedangkan menteri dan kepala kampung bukanlah termasuk golongan bangsawan
(pejabat biasa). Kepala Kampung ditunjuk oleh masyarakat setempat, sedangkan
pejabat negara yang lainnya selain Kepala Kampung ditunjuk dari kerajaan
berdasarkan kecakapan dan keputusan sultan.
A. Wazir, terdiri 4 orang yang semuanya adalah pejabat penting di lingkungan
istana.
1. Pangeran Bendahara, sebagai kepala menteri berkedudukan sebagai
deputy sultan (wakil sultan di wilayah tertentu) dan bertugas dalam
kaitannya dengan pertahanan wilayah negara.
2. Pangeran Digadong, wazir bidang keuangan negara.
3. Pangeran Pemanca, wazir bidang rumah tangga negara
4. Pangeran Temenggung, wazir bidang urusan kelautan merangkap sebagai
panglima perang dan pelaksana fungsi- fungsi yudisial (hukum).
1. Pangeran Syah Bandar (kepala cheteria) yang bertugas sebagai menteri
urusan perdagangan.
2. Cheteria besar
3. Cheteria pengalasan
4. Cheteria damit. Ketiga cheteria ini bertugas membantu Pangeran syah
Bandar (kepala cheteria).
C. Menteri, selain sebagai birokrat, bertugas juga sebagai kepala urusan
pertahanan. Mereka adalah pejabat-pejabat tambahan yang memiliki tugas
spesifik terutama yang berkaitan dengan administrasi ibukota negara dan
istana raja.
Sistem pemerintahan negara Brunei pertama kali disusun dengan rapi pada
masa Sultan Hasan (1582-1598 M), jika sebelumnya sultan hanya dibantu oleh 2
orang wazir maka sejak itu ditambah lagi 2 orang yaitu Pangeran Digadong dan
Pangeran Pemanca. Sultan Hasan pula yang melengkapi gelar-gelar seperti wazir
juga menyusun dan mengatur tugas-tugas mereka. Dalam urusan keagamaan,
disusun pula sebuah system pentadbiran (pengurusan) yang diatur dalam susunan
menteri agama, yaitu: kepala menteri agama (mufti), menteri-menteri,
pegawai-pegawai agama.
A. Kepala Menteri Agama (mufti) bergelar Pehin Datu Seri Maharaja, tugasnya:
a. Mengawasi hal ihwal agama Islam
b. Mengawasi pelaksanaan hukum Islam
c. Menjadi hakim besar bagi hal ihwal yang besangkutan dengan hukum
B. Menteri-menteri Agama
1) Pehin Si Raja Khatib, tugasnya:
a. Menjadi hakim bagi hal ihwal yang bersangkutan dengan hukum
syara’.
b. Menjadi imam masjid
c. Khutbah di hari raya jika dihadiri sultan
2) Pehin Datu Imam, tugasnya:
a. Menjadi imam masjid
b. Mengawasi hal ihwal masjid
3) Pehin Tuan Imam, tugasnya:
a. Menjadi imam masjid
b. Mengawasi hal ihwal masjid
4) Pehin Udana Khatib, tugasnya:
a. Menjadi imam masjid
b. Khutbah di hari raya jika dihadiri sultan
c. Menjadi ketua pehin-pehin khatib
5) Pehin-pehin Khatib, tugasnya:
a. Khutbah setiap jum’at
b. Menjadi imam masjid setiap waktu shalat
C. Pegawai Agama yaitu mudim- mudim, tugasnya:
a. Azan setiap waktu shalat
b. Menjalankan hal ihwal yang bersangkutan dengan agama Islam di
23 A. Kondisi Kesultanan Brunei Darussalam 1) Disintegrasi Internal Istana
Pada masa kejayaannya, wilayah taklukan Kesultanan Brunei mencakup
hampir seluruh Pulau Kalimantan dan sebagian perairan Filipina. Namun setelah
masa pemerintahan Sultan Hasan, beranjak kekuasaan di wilayah-wilayah
taklukannya mulai memudar. Pembunuhan Sultan Muhammad Ali ( Sultan ke-12)
oleh Pengiran Bendahara Abdul Mubin yang mengundang kemarahan dari
anggota keluarga Sultan Muhammad Ali yaitu Muhyidin yang kemudian menjadi
penggantinya sebagai Sultan Brunei. Inilah yang menyebabkan terjadinya
perebutan kekuasaan.
Perebutan kekuasaan ini mengundang kedatangan Spanyol untuk kedua
kalinya pada 1578, motif dari kedatangan Spanyol adalah bukan karena
ketertarikan Spanyol menguasai Brunei, namun karena pengaruh Brunei yang
masih kuat di Filipina yang membuat Spanyol belum bisa menguasai Filipina.
Usaha yang dilakukan Spanyol adalah intervensi permasalahan dua keluarga
dalam istana tersbut. Selanjutnya, intervensi juga dilakukan oleh Kesultanan Sulu
terhadap Brunei pada 1662 dengan membantu Sultan Muhyidin dalam
menghadapi serangan Pengiran Bendahara Abdul Mubin. Peperangan itu
berlangsung selama 12 tahun yang akhirnya dimenangkan oleh Sultan Muhyidin.
Keberhasilan Sulu membantu serangan itu, kawasan sebelah utara teluk Brunei
Brunei tidak mengakui kepemilikan wilayah tersebut atas Sulu. Alasannya adalah
konflik masa lalu Brunei-Sulu yang merebutkan wilayah Utara Kiamanis, Pulau
Balabak, Balambangan dan Palawan.1
Posisi Brunei semakin sulit ketika bangsa Eropa lainnya, Belanda, yang
akhirnya pada akhir abad 18 berhasil mengusai perdagangan di Selatan Borneo.
Sama halnya dengan Inggris, Belanda juga mempunyai motif yang sama yaitu
menguasai perdagangan, namun Inggris hanya ingin menggunakan pulau Borneo
sebagai tempat persinggahan atau pangkalan dalam perjalanan mereka dari Inggris
atau India menuju ke Cina. Sementara Belanda lebih kepada penguasaan kontrol
politik dan perdagangan. Perjanjian antara Inggris dan Belanda disepakati pada
1824 dengan perjanjian pemisahan kawasan antara keduanya, dengan selat
Singapura sebagai garis pemisah.
Persaingan dagang Inggris dan Belanda berakibat merosotnya
perekonomian Brunei, lebih lagi tampilnya Spanyol dan Kesultanan Sulu yang
melepaskan dirinya dari pengaruh Brunei kemudian munculnya aktivitas bajak
laut Sulu yang mengganggu kapal dagang Brunei. Selanjutnya secara bertahap
Inggris melalui East India Company-nya mulai menancapkan kekuasaannya di
wilayah Utara Borneo, pangkalan dagang didirikan di Balambangan tahun 1773
dan Labuan tahun 1805. Dari sini disepakati monopoli perdagangan lada sekaligus
mengharuskan Inggris untuk mengawal perdagangan dari serangan bajak laut
Sulu.
Di lain pihak, perdagangan reguler berkembang antara Singapura dan
Sarawak, komoditas utama dari Serawak adalah timah, kemudian barang-barang
1 Nicholas Tarling, Britain, The Brook es and Brunei, Singapore: Oxford University Press,
dari Singapura sangat diminati di Kerajaan Sambas. Hubungan komersial dengan
Sarawak ini perlahan membantu Singapura bersaing di kawasan tersebut. Ketika
James Brooke2 tiba di Singapura, ia menerima berita tentang Bendahara
Kesultanan Brunei yang ramah dan berkeinginan membangun hubungan yang
lebih erat dengan Inggris. Sebuah berita menyebutkan Brooke diminta untuk
berlayar ke Borneo, ketika Brooke mencapai Sarawak pada tahun 1839, ia melihat
terjadinya pemberontakan berlangsung. Sementara itu, Raja Muda Hassim yang
khusus dikirim dari ibu kota untuk berusaha memadamkan pemberontakan.
Pemberontakan yang dimulai sekitar tahun 1835 atau 1836, dipimpin oleh
aristokrasi Melayu Sarawak bergabung juga dengan pemimpin Suku Dayak.
Beberapa alasan pemicu pemberontakan adalah penindasan dan eksploitasi yang
diakukan gubernur, Putra Mahkota kepada penduduk lokal. Dia menghancurkan
kemakmuran penduduk setempat dengan memonopoli atas produksi timah dan
perdagangan secara umum Tanah Dayak.3 Selain itu, ia memaksa Tanah Dayak
untuk bekerja dipertambangan timahnya, memeras keringat tanpa membayar
buruhnya. Para tetua Melayu Siniawan juga serta dalam pemberontakan tersebut.
Dalam kalangan istana terjadi perselisihan antara dua faksi politik yang
merupakan faktor lain yang memicu terjadinya pemberontakan. Pengiran Usop,
mertua dari anak Sultan yang mempunyai kebencian terhadap posisi Raja Muda
Hassim sebagai Bendahara. Untuk menyingkirkan Raja Muda Hassim dari ibukota
serta untuk melemahkan pemerintahannya, Pengiran Usop diam-diam mendorong
2James Brooke lahir di India pada 1803, dia adalah anak dari pejabat East India
Company. Brooke menjadi perwira tentara kavaleri di India dan karena kegagahnnya direkomendasikan untuk memimpin perang Anglo-Burmese. Lihat, Mary Turnbull, A History of Malaysia, Singapore andBrunei, Sydney: Allen & Unwin, 1989, hal. 157.
3Ranjit Singh, Brunei 1839-1983: The problems of political survival, Singapore: Oxford
rakyat Sarawak untuk memberontak serta bernegosiasi menyerahkan Sarawak ke
Sambas. Pemberontakan sendiri mungkin atas inisiatif dari Pengiran Usop juga
dukungan Sultan Sambas serta perlindungan Asisten Residen Belanda. Dari
konspirasi tersebut, Sultan Sambas memasok pemberontak dengan senjata dan
amunisi,4 sedangkan Asisten Residen Belanda R. Bloem memberikan dukungan
moral.
Pemberontakan yang terus berlangsung dan belum bisa dipadamkan
akhirnya memaksa Raja Muda Hassim untuk meminta bantuan kepada James
Brooke dengan tawaran mendapatkan jabatan gubernur Serawak dan Siniawan
jika mampu memadamkan pemberontakan tersebut. Akhirnya berkat bantuan
James Brooke pemberontakan berhasil dipadamkan, dengan demikian sebuah
perjanjian antara Raja Muda Hassim dan James Brooke ditanda-tangani pada 24
September 1841,5 yang kemudian menempatkan James Brooke sebagai gubernur
yang memiliki kekuasaan penuh atas Serawak dengan persyaratan harus tetap
memberikan pajak dan tidak mencampuri adat, agama penduduk setempat, James
Brooke juga tidak boleh memindahkan hak kekuasaan atas wilayahnya kepada
pihak yang lain kecuali atas izin Raja Muda Hassim. James Brooke mengatakan:
“ He begged me to stay, and offered me the country of Siniawan and
Sarawak and its government and trade, if I would only stop and not desert
him”.6
4
Beberapa tempat di Kalimantan terkenal sebagai penghasil senjata api, te rutama Brunei. Senjata api yang dibuat seperti lela dan rentak a yaitu meriam yang biasa berputar-putar untuk membidik yang terbuat dari perunggu maupun dari bahan besi. Lihat. Adrian B. Lapian, Orang Laut Bajak Laut Raja Laut: Sejarah Kawasan Laut Sulawesi Abad XIX, Depok: Komunitas Bambu, 2009, hal. 150.
5Mary Turnbull, A History of Malaysia, Singapore andBrunei, Sydney: Allen & Unwin,
1989, hal. 157.
6Ranjit Singh, Brunei 1839-1983: The problems of political survival, Singapore: Oxford
Posisi Raja Muda Hassim sebagai perdana menteri berhasil direbut oleh
Pengiran Usop ketika masih berada di Serawak. Sultan membiarkan hal itu terjadi
karena merasa curiga terhadap Raja Muda Hassim dengan dua alasan. Pertama,
Raja Muda Hassim dan keluarganya mewakili Raja Api karena persaingan antara
dua keluarga yang tidak pernah usai. Kedua, Sultan Omar Ali Saifuddin II tidak
memiliki anak sah, maka Raja Muda Hassim secara otomatis akan memenuhi
syarat sebagai pewaris yang sah untuk naik takhta. Hal ini sangat mungkin bahwa
keretakan antara kedua keluarga telah terkesan menunjukkan bahwa Raja Muda
Hassim dan saudara-saudaranya telah dikucilkan ke Sarawak. Makanya ketika
James Brooke berkunjung ke Brunei untuk mengkonfirmasi pengangkatannya itu
anehnya Raja Muda Hassim tidak menyertainya. Salah satu tujuan dari kunjungan
Brooke adalah untuk mengadakan rekonsiliasi antara Sultan dan Muda Hassim.
Bahkan setelah itu, Raja Muda Hassim tak berani kembali, sampai pada tahun
1844 di bawah perlindungan senjata Inggris. Untuk alasan ini Raja Muda Hassim
memerlukan aliansi dengan Brooke.
Langkah selanjutnya yang diambil oleh James Brooke untuk memperkuat
posisinya di Serawak adalah mencari pengakuan dari kerajaan Inggris untuk
melegitimasi keberadaannya di Serawak serta secara perlahan berusaha
menggerogoti kedaulatan Kesultanan Brunei. Selanjutnya untuk mengatasi
beberapa persoalan bajak laut yang berada di wilayah tetangganya yaitu Saribas
dan Skrang dilakukanlah konfrontasi,7 James Brooke memanfaatkan diplomasi
yang cerdik dengan meminta bantuan dari unsur-unsur angkatan laut Inggris untuk
memenuhi tujuan pribadinya. Akhirnya pada tahun 1843 James Brooke berhasil
7JH. Walker, Power and Prowess: The Origins of Brook e Kingship in Sarawak,
meyakinkan Kerajaan Inggris dengan mengutus Kapten Henry Keppel untuk
menumpas bajak laut dari dua wilayah tersebut.
2) Kondisi Sosial Masyarakat
Penindasan dan eksploitasi yang dilakukan oleh salah satu fraksi keluarga
istana yaitu Putra Mahkota, adalah pemicu pemberontakan yang dilakukan dan di
pimpin langsung oleh aristokrasi Melayu Siniawan dan orang-orang Suku Dayak.
Tindakan penguasa dengan memonopoli perdagangan timah dan perdagangan
secara umum Tanah Dayak, memaksa orang-orang Suku Dayak untuk bekerja di
pertambangan timahnya tanpa memberikan upah.
Akibatnya mereka melakukan berbagai usaha untuk melawan penguasa
tersebut. Selain melakukan pemberontakan, mereka juga melakukan pembajakan
di laut.8 Maraknya kegiatan bajak laut ini membuat hubungan antara Kesultanan
Brunei dengan Inggris terjalin,aktivitas pembajakan ini terjadi misalnya di
wilayah Saribas dan Skrang. Dalam keadaan yang sangat kacau dalam Kesultanan
Brunei mengingat perselisihan antar keluarga dalam istana kemudian ditambah
8Selama berabad-abad, bajak laut atau pembajakan adalah bentuk mata pencaharian kuno
yang telah ada di wilayah perairan manapun di dunia. Pembajakan sebagai sebuah profesi kuno dianggap sebagai lambang kedewasaan, keberanian, kenegaraan dan kebangsawanan. Sebelum adanya larangan hukum internasional, di negara-negara maritim kegiatan pembajakan menjadi instrumen kebijakan luar negeri dan sumber pendapatan negara. Lihat (BA. Hamzah, The Oil Sultanate: Political History of Oil in Brunei Darussalam, Kuala Lumpur: Enterprise Mawaddah, 1991. Hal. 14).
Bajak laut merupakan terjemahan dari kata pirata yang dikenal dalam kebudayaan Barat
(bahasa Inggris dan Perancis “pirate”; bahasa Belanda “piraat” atau “zeerover”; Bahasa Spanyol,
dengan banyaknya aktivitas pembajakan yang terjadi di wilayah perairan Brunei,
memaksa untuk penguasa Brunei menerima kedatangan pasukan angkatan laut
Inggris. Inisiatif James Brooke ini disisi lain sangat dibutuhkan oleh Kesultanan
Brunei untuk memulihkan suasana dari tindakan para bajak laut dari Saribas dan
Skrang.
Dari kedatangan pasukan laut Inggris yang pertama tahun 1843 pimpinan
Kapten Henry Keppel, selanjutnya di tahun yang sama kapal kedua yang dipimpin
oleh Kapten Sir Edward Belcher menyusul menuju Brunei. Bersama Brooke,
Belcher menawarkan perjanjian mengenai pertahanan keamanan. Dalam
perjanjian tersebut Kesultanan Brunei menjanjikan untuk membuka jalur
perdagangan dengan Inggris, dengan kesepakatan mendapat pengamanan dari
serangan bajak laut serta melarang Kesultanan Brunei untuk beraliansi dengan
kekuatan selain Inggris, meskipun kesepakatan ini sebenarnya secara tidak
langsung merongrong kedaulatan luar negeri Kesultanan Brunei.9
Selepas Sultan Hashim menandatangani perjanjan perlindungan dengan
Inggris, tidak serta merta aktivitas pembajakan sepenuhnya habis. Meskipun
dalam kesepakatan tersebut disebutkan bahwa Inggris harus wajib untuk
menindak kegiatan bajak laut ini, namun justru penguasaan Inggris atas beberapa
wilayah Brunei dan memonopoli perekonomian di wilayah-wilayah tersebut
membuat penduduk setempat mulai kehilangan mata pencaharian mereka dan
akhirnya menentang perilaku Inggris dengan melakukan kegiatan bajak laut atas
perahu-perahu Inggris. Konfrontasi kepada pihak Inggris juga dilakukan oleh
9
rakyat dan pemimpin-pemimpin setempat dalam mencegah kerakusan Inggris
menguasai perekonomian di daerah mereka.
B. Hubungan Kesultanan Brunei Darussalam dengan Inggris
Abad ke-16 M membuka tirai hubungan bangsa Eropa dengan
kerajaan-kerajaan di Nusantara dan sekitarnya khususnya dengan Brunei. Hubungan
dengan bangsa Portugis terjalin berdasarkan prinsip negosiasi dan kompromi yang
bermula ketika perahu dagang Brunei tiba di Malaka pada 1514 tiga tahun setelah
penaklukan Malaka oleh Portugis. Kemudian kedatangan bangsa Spanyol ke
Brunei pada 1521 meskipun hubungan ini selalu mengarah pada konfrontasi
bersenjata dan perebutan wilayah kekuasaan yang mengarah pada usaha
memperlemah Kesultanan Brunei, jalur diplomasi tetap senantiasa diusahakan.
Perjalanan pertama bangsa Inggris ke Wilayah Nusantara dimulai sejak
tahun 1579, diawali oleh seorang penjelajah bernama F. Drake yang singgah
untuk pertama kalinya di wilayah Ternate dalam perjalanan keliling dunianya.
Setelah perjalan F. Drake yang mendapati pulau ternate pada 1600, dengan
terbentuknya sebuah kongsi dagang baru yang dikenal dengan sebuatan East India
Company (EIC/Perusahaan India Timur Inggris), bangsa Inggris memulai mencari
keberuntungannya dalam mendapatkan barang perdagangan ke wilayah Asia.
EIC didirakan dua tahun sebelum kongsi dagang Belanda yang dikenal
dengan VOC. Berbeda dengan Kongsi dagang Belanda. EIC berkembang lebih
lambat, disebabkan modal Perusahaan Inggris yang hanya seperdelapan dari
kemanapun VOC pergi berharap mendapatkan keuntungan dari wilayah-wilayah
yang pernah di jelajahi oleh VOC.10
Pada dekade awal abad ke-18, kontrol atas rute perdagangan sangat
penting bagi Kerajaan Inggris. Rute perdagangan merupakan urat nadi dari
Kerajaan Inggris yang bergantung pada kemampuannya untuk mengendalikan rute
timur-barat. Inggris melihat pentingnya geostrategis Brunei dan kepulauan
Melayu dalam konteks keamanan komersial global. Selain berada dalam jalur
timur-barat, Brunei juga memiliki fasilitas penting untuk pertahanan Inggris.
Selain itu, Brunei kaya akan sumber daya alam seperti batubara dan minyak bumi
yang Inggris perlukan pada masa-masa ekspansi.
Kontak awal hubungan Brunei dengan Inggris terjadi pada 1775 ketika
utusan East India Company (perusahaan India Timur Inggris) Alexander
Dalrymple datang untuk merundingkan perdagangan lada hitam.11 Kedatangan
Inggris ini disambut dengan baik oleh masyarakat Brunei dan menerima tawaran
dari kongsi dagang Inggris untuk memonopoli perdagangan lada dan
mempersilahkan agar Brunei dijadikan satu-satunya sumber pengimpor lada
dikawasan ini.
Dalam perkembangan hubungan Brunei-Inggris berikutnya, hubungan
yang lebih resmi terjalin ketika beberapa perjanjian disepakati oleh keduanya
yang meliputi perjanjian persahabatan, perdagangan dan perjanjian perlindungan.
Perjanjian-perjanjian ini berujung kepada munculnya kebijakan protektorasi
Inggris atas Brunei, yang mengakibatkan hilangnya wilayah kekuasaan Brunei.
10Bernard. H. M. Vlekke, Nusantara: Sejarah Indonesia,(Terj), Jakarta: Kepustakaan
Populer Gramedia, 2008, hal. 140
11DE. Brown, Brunei: The Structure and History of a Bornean Malay Sultanate, Brunei:
1) James Brooke dan Perluasan Wilayahnya
James Brooke lahir di India pada 1803, dia adalah anak dari pejabat East
India Company. Brooke menjadi perwira tentara kavaleri di India dan karena
kegagahnnya kemudian direkomendasikan untuk memimpin perang
Anglo-Burmese.12 Ketika James Brooke tiba di Singapura, ia menerima berita tentang
Bendahara Kesultanan Brunei yang ramah dan berkeinginan membangun
hubungan yang lebih erat dengan Inggris. Sebuah berita menyebutkan Brooke
diminta untuk berlayar ke Borneo, ketika Brooke mencapai Sarawak pada tahun
1839, ia melihat terjadinya pemberontakan berlangsung. Sementara itu, Raja
Muda Hassim yang khusus dikirim dari ibu kota untuk berusaha memadamkan
pemberontakan.
Pemberontakan yang dimulai sekitar tahun 1835 atau 1836, dipimpin oleh
aristokrasi Melayu Sarawak bergabung juga dengan pemimpin Suku Dayak.
Beberapa alasan pemicu pemberontakan adalah penindasan dan eksploitasi yang
diakukan gubernur, Pengiran Mahkota kepada penduduk lokal. Dia
menghancurkan kemakmuran penduduk setempat dengan memonopoli atas
produksi logam putih dan perdagangan secara umum Tanah Dayak.13 Selain itu, ia
memaksa Tanah Dayak untuk bekerja dipertambangan logam putihnya, memeras
keringat tanpa membayar buruhnya. Para tetua Melayu Siniawan juga serta dalam
pemberontakan tersebut.
Dalam kalangan istana terjadi perselisihan antara dua faksi politik yang
merupakan faktor lain yang memicu terjadinya pemberontakan. Pengiran Usop,
12Mary Turnbull, A History of Malaysia, Singapore andBrunei, Sydney: Allen & Unwin,
1989, hal. 157.
13Ranjit Singh, Brunei 1839-1983: The problems of political survival, Singapore: Oxford
mertua dari anak Sultan yang mempunyai kebencian terhadap posisi Raja Muda
Hassim sebagai Bendahara. Untuk menyingkirkan Raja Muda Hassim dari ibukota
serta untuk melemahkan pemerintahannya, Pengiran Usop diam-diam mendorong
rakyat Sarawak untuk memberontak serta bernegosiasi menyerahkan Sarawak ke
Sambas. Pemberontakan sendiri mungkin atas inisiatif dari Pengiran Usop juga
dukungan Sultan Sambas serta perlindungan Asisten Residen Belanda. Dari
konspirasi tersebut, Sultan Sambas memasok pemberontak dengan senjata dan
amunisi,14 sedangkan Asisten Residen Belanda R. Bloem memberikan dukungan
moral.
Pemberontakan yang terus berlangsung dan belum bisa dipadamkan
akhirnya memaksa Raja Muda Hassim untuk meminta bantuan kepada James
Brooke dengan tawaran mendapatkan jabatan gubernur Serawak dan Siniawan
jika mampu memadamkan pemberontakan tersebut. Akhirnya berkat bantuan
James Brooke pemberontakan berhasil dipadamkan, dengan demikian sebuah
perjanjian antara Raja Muda Hassim dan James Brooke ditanda-tangani pada 24
September 1841, yang kemudian menempatkan James Brooke sebagai gubernur
yang memiliki kekuasaan penuh atas Serawak dengan persyaratan harus tetap
memberikan pajak dan tidak mencampuri adat, agama penduduk setempat, James
Brooke juga tidak boleh memindahkan hak kekuasaan atas wilayahnya kepada
pihak yang lain kecuali atas izin Raja Muda Hassim.
Posisi Raja Muda Hassim sebagai perdana menteri berhasil direbut oleh
Pengiran Usop ketika masih berada di Serawak. Sultan membiarkan hal itu terjadi
14Beberapa tempat di Kalimantan terkenal sebagai penghasil senjata api, terutama Brunei.
karena merasa curiga terhadap Raja Muda Hassim dengan dua alasan. Pertama,
Raja Muda Hassim dan keluarganya mewakili Raja Api karena persaingan antara
dua keluarga yang tidak pernah usai. Kedua, Sultan Omar Ali Saifuddin II tidak
memiliki anak sah, maka Raja Muda Hassim secara otomatis akan memenuhi
syarat sebagai pewaris yang sah untuk naik takhta. Hal ini sangat mungkin bahwa
keretakan antara kedua keluarga telah terkesan menunjukkan bahwa Raja Muda
Hassim dan saudara-saudaranya telah dikucilkan ke Sarawak. Makanya ketika
James Brooke berkunjung ke Brunei untuk mengkonfirmasi pengangkatannya itu
anehnya Raja Muda Hassim tidak menyertainya. Salah satu tujuan dari kunjungan
Brooke adalah untuk mengadakan rekonsiliasi antara Sultan dan Muda Hassim.
Bahkan setelah itu, Raja Muda Hassim tak berani kembali, sampai pada tahun
1844 di bawah perlindungan senjata Inggris. Untuk alasan ini Raja Muda Hassim
memerlukan aliansi dengan Brooke.
Langkah selanjutnya yang diambil oleh James Brooke untuk memperkuat
posisinya di Serawak adalah mencari pengakuan dari kerajaan Inggris untuk
melegitimasi keberadaannya di Serawak serta secara perlahan berusaha
menggerogoti kedaulatan Kesultanan Brunei. Selanjutnya untuk mengatasi
beberapa persoalan bajak laut yang berada di wilayah tetangganya yaitu Saribas
dan Skrang dilakukanlah konfrontasi,15 James Brooke memanfaatkan diplomasi
yang cerdik dengan meminta bantuan dari unsur-unsur angkatan laut Inggris untuk
memenuhi tujuan pribadinya. Akhirnya pada tahun 1843 James Brooke berhasil
meyakinkan Kerajaan Inggris dengan mengutus Kapten Henry Keppel untuk
menumpas bajak laut dari dua wilayah tersebut.
15JH. Walker, Power and Prowess: The Origins of Brook e Kingship in Sarawak,