• Tidak ada hasil yang ditemukan

Protektorasi Inggris terhadap kesultanan Brunei Darussalam (tahun 1888)

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2017

Membagikan "Protektorasi Inggris terhadap kesultanan Brunei Darussalam (tahun 1888)"

Copied!
78
0
0

Teks penuh

(1)

Diajukan Kepada Fakultas Adab dan Humaniora

Untuk Memenuhi Persyaratan Meraih Gelar Strata Satu (S1)

(Dosen Pembimbing: Dr. Parlindungan Siregar, MA)

Oleh:

Bahriyatul Arif NIM: 105022000832

JURUSAN SEJARAH DAN PERADABAN ISLAM FAKULTAS ADAB DAN HUMANIORA

(2)
(3)
(4)

Dengan ini saya menyatakan bahwa:

1. Skripsi ini merupakan hasil karya asli saya yang diajukan untuk memenuhi

salah satu persyaratan meraih gelar Strata Satu (S1) di Universitas Islam

Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta.

2. Semua sumber yang saya gunakan dalam penulisan ini telah saya cantumkan

sesuai dengan ketentuan yang berlaku di Universitas Islam Negeri Syarif

Hidayatullah Jakarta.

3. Jika kemudian hari terbukti bahwa karya ini bukan hasil dari karya saya atau

merupakan jiplakan dari karya orang lain, maka saya bersedia menerima

sanksi yang berlaku di Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta.

Jakarta, 19 Agustus 2011

(5)

i Nama : Bahriyatul Arif (105022000832)

Judul : Protektorasi Inggris Terhadap Kesultanan Brunei Darussalam (Tahun 1888)

Kesultanan Brunei Darussalam merupakan salah satu Kesultanan Islam di tanah Melayu yang dalam perkembangannya mengalamai pasang surut. Kedatangan Islam di Brunei hampir sama prosesnya seperti yang terjadi di kawasan Asia Tenggara pada umumnya, proses ini berlangsung dengan cara damai dan saling mempengaruhi satu sama lainnya. Masuk Islamnya Awang Alak Betatar secara otomatis merubah sistem pemerintahan dari sebuah kerajaan menjadi kesultanan Islam. Ketika Sultan Hashim Jalilul Aqamaddin naik takhta, ia mengambil langkah untuk mempertahankan sisa wilayah Brunei dengan melindungi Limbang ketika Charles Brooke (sepupu James Brooke) menempatinya. Namun demikian, dia tidak mampu melakukannya dan dia tidak berhasil untuk mencegah kerugian lebih lanjut dari caplokan keluarga Brooke. Sultan Hashim tidak memiliki kekuatan militer yang cukup kuat untuk menegakkan amanat tersebut. Awal tahun pemerintahannya, Sultan Hashim menghadapi kesulitan terbesar karena dihadapkan pada tekanan dari keluarga Brooke dan British North Borneo Company (BNBC).

Beberapa faktor yang melatar belakangi perjanjian perlindungan 1888 yang menjadikan Brunei sebagai negara atau wilayah naungan Inggris adalah Perluasan wilayah yang dilakukan Brooke di Serawak dan aktifitas BNBC di Sabah. Kedua pihak tersebut menguasai, memerintah secara penuh, mengeksploitasi sumber daya alam setempat, menghilangkan peran pembesar-pembesar setempat dan memonopoli semua perdagangan yang ada. Kondisi internal kesultanan dengan adanya perpecahan dan juga maraknya aktifitas bajak laut semakin memperburuk keadaan kesultanan. Campur tangan Brooke dan BNBC membuat masyarakat setempat melakukan perlawanan untuk mempertahankan kehidupan mereka.

Meskipun dalam perjanjian perlindungan 1888 tersebut menyebutkan bahwa Brunei menjadi naungan Inggris, akan tetapi dalam prakteknya banyak butir-butir dari perjanjian tersebut yang tidak di patuhi oleh Inggris. Tindakan Ini berdampak pada hilangnya kedaulatan dan menyusutnya wilayah Kesultanan Brunei Darussalam yang di rebut oleh Brooke dan BNBC.

(6)

ii

Dengan menyebut nama Allah yang Maha Pengasih lagi Maha Penyayang.

Puji syukur penulis panjatkan kehadirat Allah SWT, atas rahmat dan

hidayah-Nya, sehingga penulis dapat menyelesaikan skripsi ini. Shalawat dan salam

semoga tercurahkan kepada Nabi Muhammad SAW yang diutus menyeru kepada

iman, menuntun kepada jalan lurus, menyeru kepada yang ma’ruf dan mencegah

dari segala yang munkar.

Selanjutnya selama penyusunan skripsi ini, banyak sekali hambatan yang

penulis hadapi baik dari segi teknis maupun keterbatasan waktu, meskipun begitu

semua ini tidak menyurutkan keinginan penulis untuk tetap menyelesaikan

kewajiban serta tanggung jawab penulis sebagai mahasiswa di kampus UIN Syarif

Hidayatullah Jakarta.

Penulisan skripsi ini merupakan tugas akhir dalam perkuliahan di Jurusan

Sejarah dan Peradaban Islam, Fakultas Adab dan Humaniora, UIN Syarif

Hidayatullah Jakarta, adapun tujuan penulisan skripsi ini salah satunya seabagai

syarat untuk meraih gelar Sarjana Humaniora (S. Hum).

Pada akhirnya, penulis mengucapkan terima kasih yang sebesar-besarnya

atas bantuan dan doa kepada:

1. Dekan Fakultas Adab dan Humaniora, Universitas Islam Negeri Syarif

Hidayatullah Jakarta, bapak Dr. H. Abdul Wahid Hasyim M.Ag., beserta

PUDEK I, II, III.

(7)

iii

4. Bapak Dr. Parlindungan Siregar, MA. yang telah dengan sabar dan teliti

dalam memberikan bimbingan kepada penulis.

5. Ibu H. Tati Hartimah., selaku Dosen Penasehat Akademik

6. Seluruh staf dosen dan karyawan Fakultas Adab dan Humaniora,

khususnya dosen jurusan Sejarah dan Peradaban Islam.

7. Staf perpustakaan utama UIN Syarif Hidayatullah Jakarta, Perpustakaan

Fakultas Adab dan Humaniora, Perpustakaan Nasional Republik Indonesia

(PNRI), Perpustakaan Fakultas Ilmu Budaya UI, Lembaga Ilmu

Pengetahuan Indonesia (LIPI) yang telah banyak memberikan data

referensi kepada penulis.

8. Kedua orangtua, ayahanda H. Ma’muri dan Ibunda Hj. Sriyati, do’a restu yang tak pernah putus beliau panjatkan agar penulis dapat terus dan kuat

untuk menyelesaikan skripsi, rasa cinta dan kasih sayang beliau yang

begitu besar.

9. Adikku Zahrotun Nisa dan Ahmad Faiz al-Kautsar terimakasih atas doa

dan semangat kalian mendukung penulis menyelesaikan skripsi.

10.Keluarga besar H. Shobirin dan Ibu Hj. Nur khasanah, yang telah banyak

memberikan bantuan moril maupun materil serta do’a sehingga penulis bisa menyelesaikan skripsi ini.

11.Teman-teman seperjuangan SPI angkatan 2005, khususnya kepada

(8)

iv tidur lebih cepat.

Penulis hanya dapat berdo’a semoga bantuan dan amal baiknya mendapat

imbalan dari Allah Swt. Penulis menyadari bahwa skripsi ini masih jauh dari

sempurna, oleh sebab itu penulis mohon kritik dan saran yang membangun dalam

rangka saling mengingatkan antar sesama manusia guna untuk menuju kearah

kehidupan yang lebih baik. Akhir kata, semoga skripsi ini bisa bermanfaat bagi

kita semua.

(9)

v

ABSTRAKSI ... ...i

KATA PENGANTAR ... ... ii

DAFTAR ISI ... ...v

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah ... 1

B. Pembatasan dan Perumusan Masalah... 5

C. Metode Penelitian... 5

D. Studi Kepustakaan ... 7

E. Tujuan dan Manfaat Penelitian ... 8

F. Sistematika Penulisan... 9

BAB II KESULTANAN BRUNEI DARUSSALAM A. Letak Geografi... 10

B. Islamisasi dan Berdirinya Kesultanan Brunei Darussalam ... 11

C. Pemerintahan Sultan Hashim Jalilul Alam Aqamaddin ... 14

D. Sistem dan Struktur Pemerintahan ... 16

BAB III LATAR BELAKANG PROTEKTORASI INGGRIS A. Kondisi Kesultanan Brunei Darussalam ... 23

1) Disintegrasi Internal Istana... 23

(10)

vi

1) James Brooke dan Perluasan Wilayahnya... 32

2) British North Borneo Company... 35

BAB IV DAMPAK PROTEKTORASI INGGRIS A. Analisa terhadap Perjanjian Perlindungan 1888 ... 38

B. Dampak dan Respon terhadap Protektorasi Inggris ... 44

1) Politik ... 44

2) Ekonomi ... 47

3) Respon Masyarakat Sabah dan Serawak terhadap Inggris ... 50

BAB V PENUTUP A. Kesimpulan ... 55

DAFTAR PUSTAKA ... 57

(11)

1 BAB I PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah

Selama beberapa abad orang-orang Kristen di Eropa telah berjuang untuk

mempertahankan diri dari serangan tentara Islam. Spanyol dan Portugis berhasil

menaklukan tentara Islam yang telah menguasai Jazirah Iberia menjelang tahun

1250. Namun demikian baru tahun 1492 tentara Islam benar-benar mundur dari

Eropa setelah benteng yang terakhir yaitu Granada jatuh ke tangan bangsa Eropa.

Disamping jatuhnya Romawi Timur pada tahun 1453, hubungan dagang antara

Eropa dan Asia lewat Laut Tengah terputus, akibatnya bangsa-bangsa Eropa tidak

mendapatkan lagi rempah-rempah dari dunia timur lewat Asia Barat yang telah

dikuasai tentara Islam. Oleh karena itu Bangsa Eropa yang dipelopori oleh

Portugis dan Spanyol berusaha keras untuk mencari rempah-rempah langsung ke

sumbernya.

Selain putusnya hubungan perdagangan antara Eropa dan Asia, semangat

bangsa Eropa untuk ke Asia itu juga dipengaruhi oleh berita Marco Polo1.

Menurut berita tersebut, dunia timur (Asia Tenggara) memiliki tanah yang subur

dan hasil rempah-rempah serta penduduknya ramah tamah, tanaman di dunia

timur tidak pernah mengalami musim gugur seperti di Eropa, karena itu bangsa

Eropa semakin terdorong dan berlomba-lomba mencari jalan ke Asia Tenggara

lewat samudera.

1 Kardiyat Wiharyanto, Asia Tenggara Zaman Pranasionalime, Jogjakarta: Universitas

(12)

Setelah bangsa Eropa menemukan jalur baru pelayaran ke Asia Tenggara,

baru pada sekitar tahun 1511 dengan penaklukan Malaka oleh Portugis,

bangsa-bangsa Eropa lainnya seperti Belanda, Spanyol dan Inggris mengikuti jejak

Portugis untuk mencari rempah-rempah dan bahan makanan lainnya. Di kemudian

hari bangsa Belanda berhasil menduduki daerah Indonesia yang merupakan

daerah terluas di kawasan Asia Tenggara; Spanyol berhasil menduduki wilayah

Filipina dan Inggris berhasil menguasai Singapura, Malaysia dan Brunei

Darussalam.

Kekuasaan bangsa Eropa di Asia Tenggara berlangsung cukup lama

terhitung sejak takluknya Malaka abad ke 16 sampai pecahnya perang dunia II

yang berdampak pada kemerdekaan negara-negara di kawasan Asia Tenggara dari

tangan penjajah Eropa. Selama itu pula bangsa Eropa mengeksploitasi sumber

daya alam serta pengaruhnya di Asia Tenggara, dengan misi Gold, Glory, Gospel.

Penetrasi bangsa Eropa di wilayah Asia Tenggara membuat kekuasaan

legitimasi raja-raja berangsur memudar, beberapa tempat strategis berhasil

dikuasai seperti bandar pelabuhan dan memonopoli komoditas perdagangan, yang

berdampak pada banyaknya pedagang mencari alternatif tempat lain untuk

melanjutkan aktifitas perdagangannya. Pilihan untuk mencari alternatif lain ini

sebenarnya membuka jalur perdagangan baru dengan menjadikan wilayah tertentu

untuk berkembang dan berbanding lurus dengan semakin meratanya penyebaran

Islam di Asia Tenggara.

Kesultanan Brunei Darussalam menjadi salah satu alternatif ketika pusat

(13)

M.2 Malaka selain menjadi pusat perdagangan juga menjadi pusat bertemunya

para pedagang-pedagang Muslim untuk menyebarkan agama Islam ke penjuru

wilayah Asia Tenggara.

Brunei Darussalam dalam hal ini merupakan wilayah yang tak lepas dari

sistem protektorasi bangsa Inggris hampir selama 100 tahun berikutnya.

Protektorasi bangsa Inggris terhadap Brunei Darussalam bukan tanpa alasan, misi

ekspansionis Kerajaan Inggris membuat pencarian rute baru jalur perdagangan

sebagai dampak dari revolusi industri pertengahan abad 19. Inggris mendarat di

Brunei bertepatan dengan kondisi internal kesultanan Brunei yang sedang terjadi

perebutan kekuasaan diantara penguasanya. Kondisi ini menjadi sangat penting

ketika bangsa Inggris datang dan menawarkan bantuan kepada salah satu pihak

penguasa kesultanan Brunei. Bangsa Inggris tentunya tidak memberikan bantuan

secara cuma-cuma kepada salah satu pihak tersebut, namun bantuan yang

ditawarkan Inggris ini merupakan pintu masuk untuk dapat menguasai daerah

kekuasaan kesultanan Brunei secara bertahap.

Dalam masa-masa perebutan kekuasan itu, terjadi berbagai pemberontakan

yang terjadi di wilayah Serawak yang dimotori oleh aristokrat Melayu Serawak

dengan para pemimpin suku Dayak. Sebab utama dari pemberontakan itu adalah

adanya tekanan dari Putra Mahkota yang telah menghancurkan kekayaan setempat

dengan cara memonopoli seluruh produksi timah dan perdagangan secara umum

dan berusaha menekan tanah Dayak untuk memenuhi kebutuhan produksi timah

dengan cara menguras tenaga para buruhnya tanpa bayaran.

(14)

Karena merasa tidak mampu memadamkan pemberontakan tersebut, Raja

Muda Hassim meminta bantuan James Brooke. Kepada James Brooke ditawarkan

jabatan gubernur Serawak, jika mampu memadamkan pemberontakan tersebut.

Akhirnya berkat bantuan tersebut pemberontakan berhasil dipadamkan. Setelah itu

perjanjian antara Brooke dengan Raja Muda Hassim ditanda-tangani tanggal 24

September 1841 dimana Brooke menjadi gubernur yang memiliki kekuasaan

penuh atas Serawak.3

Munculnya James Brooke sebagai penguasa Serawak membuka tirai baru

penguasaannya atas beberapa wilayah kekuasaan Kesultanan Brunei berikutnya.

Beberapa perjanjian berikutnya seperti perjanjan persahabatan-perdagangan 1847

dan perjanjian perlindungan 1888 antara kerajaan Inggris dan Sultan Hashim

Jalilul Aqmaddin menandai kerjasama antara Inggris dengan sultan yang

sebenarnya hanya menguntungkan pihak Inggris saja dan berdampak pada

hilangnya kedaulatan sultan sebagai pemimpin pemerintahan kesultanan dan juga

meyusutnya wilayah kekuasaan Kesultanan Brunei Darussalam.

Dari sinilah awal kekuasaan Inggris dimulai yang kemudian berlanjut

hampir selama seratus tahun menancap kokoh diatas bumi Brunei Darussalam.

Penulis merasa tertarik dan bermaksud menyusun skripsi ini dengan mengambil

judul “Protektorasi Inggris Terhadap Kesultanan Brunei Darussalam (Tahun

1888)”.

3

(15)

B. Pembatasan dan Perumusan Masalah

Ruang lingkup penelitian ini bersifat kesejarahan, untuk menghindari

melebarnya pembahasan dalam penulisan skripsi ini, maka penulis membatasi

pembahasannya pada “Latar Belakang dan Dampak Protektorasi Inggris 1888”.

Adapun pembahasan skripsi ini dirumuskan dalam tiga pertanyaan:

1) Bagaimanakah Sejarah Kesultanan Brunei Darussalam?

2) Apakah latar belakang munculnya kebijakan protektorasi?

3) Bagaimana kondisi atau dampak dari Protektorasi Inggis?

C. Metode Penelitian

Pembahasan “Protektorasi Inggris Terhadap Kesultanan Brunei

Darussalam (Tahun 1888) menggunakan pendekatan dari ilmu sosiologi, politik

dan ekonomi. Dengan demikian diharapkan dapat membantu menjelaskan

penelitian ini, sebagai contoh, konsep interaksi sosial untuk menerangkan

hubungan atau interaksi dengan individu atau kelompok lain; konsep kekuasaan

untuk membantu menjelaskan hubungan raja dengan rakyat; sistem monopoly,

membantu menerangkan hubungan perdagangan. Dengan memggunakan

pendekatan multidimensional diharapkan dapat memberikan gambaran sejarah

menjadi lebih kuat dan menyeluruh karena hubungan antara suatu aspek

memberikan pengaruh terhadap aspek lainnya.4

Metode penelitian yang digunakan dalam penelitian ini adalah metode

historis. Metode historis merupakan proses menguji dan menganalisa secara kritis

4 Sartono Kartodirdjo, Pendek atan Ilmu Sosial Dalam Metodologi Sejara h, Jakarta:

(16)

rekaman dan peninggalan masa lampau.5 Untuk menganalisis suatu peristiwa,

menurut metode penelitiaan sejarah, dilakukan melalui empat tahapan,6 sebagai

berikut:

1) Heuristik: Mengumpulkan sumber-sumber berupa buku, jurnal,

seminar dan beberapa tulisan ahli sejarah Asia Tenggara, khususnya

yang membahas tentang Kesultanan Brunei Darussalam baik

masa-masa awal berdiri hingga masa-masa protektorasi Inggris.

2) Kritik: Sumber-sumber yang terkumpul kemudian dilakukan kritik

sumber. Baik kritik terhadap sumber primer ataupun kritik terhadap

para peneliti mengenai sejarah dan kondisi kesultanan Brunei

Darussalam pada masa Protektorasi Inggris.

3) Interpretasi: Interpretasi adalah pemahaman yang mendalam mengenai

teks-teks yang telah melalui fase kritik, di mana penulis sudah

menemukan korelasi dan pemahaman yang baru mengenai tema yang

dibahas.

4) Historiografi: Pemahaman yang diperoleh setelah melalui beberapa

tahap, ditransfer dalam bentuk tulisan dengan metode deduktif, dengan

pola umum-khusus, yakni dimulai dari Sejarah Kesultanan hingga

masa protektorasi Inggris.

5 Louis Gottschalk, Mengerti Sejarah (terj. Nugroho Notosusanto), Jakarta: UI Press,

1983, hal. 32

6 Dudung Abdurahman, Metode Penelitian Sejarah, Jakarta: Logos Wacana Ilmu, 1999,

(17)

Adapun teknik penulisan yang digunakan dalam penulisan skripsi ini

mengacu pada pedoman penulisan skripsi, tesis, dan disertasi yang diterbitkan

oleh CeQDA UIN Syarif Hidayatullah Jakarta Press.7

D. Studi Kepustakaan

Setidaknya ada dua sumber yang membahas tentang Brunei Darussalam

yang saya peroleh dari perpustakaan utama UIN Syarif Hidayatullah, anatara lain:

Pertama, Muhammad Soheh, Eksistensi Kesultanan Brunei Darussalam Pasca

Kejatuhan Malaka, Tesis: Program Studi SPI Pascasarjana UIN Syarif

Hidayatullah Jakarta 2003.8 Muhammad Soheh dalam tesisnya tersebut

menjelaskan tentang kondisi Kesultanan Brunei Darussalam ketika Portugis

berhasil menaklukan Malaka pada tahun 1511 dari sudut pandang perdagangan

(ekonomi) sampai masa kedatangan James Brooke ke Brunei. Kedua, Awang

Mohammad Jamil al Sufri, Liku-liku Perjuangan Pencapaian Kemerdekaan

Negara Brunei Darussaalam. Bandar Seri Begawan: Jabatan Percetakan Kerajaan

Kementerian Undang-undang Brunei Darussalam 1992.9 Dalam bukunya ini

Awang Mohammad Jamil al Sufri menjelaskan tentang asal usul, proses

Islamisasi dan usaha-usaha yang dilakukan oleh Kesultanan Brunei Darussalam

dalam mencapai kemerdekaannya. Kedua sumber tersebut tidak membahas secara

lebih rinci latar belakang kebijakan protektorasi dan perjanjian-perjanjian apa saja

yang disepakati antara Inggris dan Brunei.

7

Hamid Nasuhi dkk., Pedoman Penulisan Karya Ilmiah (Sk ripsi, Tesis dan Disertasi), Jakarta: CeQDA UIN Syarif Hidayatullah Jakarta, 2007.

8 Muhammad Soheh, Ek sistensi Kesultanan Brunei Darussalam Pasca Kejatuhan

Malak a, Tesis: Program Studi SPI Pascasarjana UIN Syarif Hidayatullah Jakarta 2003.

9 Awang Mohammad Jamil al Sufri, Lik u-lik u Perjuangan Pencapaian Kemerdek aan

(18)

Penulisan skripsi ”Protektorasi Inggris Terhadap Kesultanan Brunei

Darussalam (Tahun 1888)” ini, Penulis berusaha lebih memfokuskan pada latar

belakang dan dampak dari protektorasi Inggris terhadap Kesultanan Brunei

Darussalam. Penulisan skripsi ini diharapkan dapat memberikan informasi tentang

sejarah Kesultanan Brunei Darussalam, khususnya faktor-faktor yang melatar

belakangi protektorasi Inggris tahun 1888.

E. Tujuan dan Manfaat Penelitian

Penelitian sejarah tentang Kesultanan Islam Melayu, khususnya di luar

Indonesia seperti Kesultanan Brunei Darussalam menurut sepengetahuan penulis

masih sedikit sekali belum banyak diteliti oleh sarjana Indonesia terutama di

lingkungan akademis UIN Syarif Hidayatullah, terlebih mengenai Kesultanan

Brunei Darussalam di bawah perlindungan dari Kerajaan Inggris. Untuk itulah

sekarang saatnya untuk mengusahakan pengkajian tentang sejarah Brunei

Darussalam tersebut.

Manfaat dari penelitian ini adalah:

1) Menambah wawasan kesejarahan terhadap Sejarah Kesultanan Islam di

Asia Tenggara, khususnya Kesultanan Brunei Darussalam.

2) Memahami sejarah Kesultanan Brunei Darussalam di bawah naungan

Kerajaan Inggris, dimana berdampak pada hilangnya kedaulatan sultan

setelah menyepakati perjanjian perlindungan tersebut.

3) Menambah daftar referensi mengenai sejarah Kesultanan Asia Tenggara di

perpustakaan utama UIN Syarif Hidayatullah dan perpustakaan Fakultas

(19)

F. Sistematika Penulisan

Penyajian proposal skripsi ini dituangkan dalam bentuk pembahasan bab

per bab.

BAB I PENDAHULUAN

Berisi tentang signifikansi tema yang diangkat, pembatasan dan

perumusan masalah, metodologi penelitian, studi kepustakaan,

tujuan dan manfaat penulisan serta sistematika penulisan.

BAB II KESULTANAN BRUNEI DARUSSALAM

Menjelaskan letak geografi, sejarah berdirinya kesultanan, masa

pemerintahan Sultan Hashim Jalilul Alam Aqamaddin. Selain itu

juga dibahas sistem dan struktur pemerintahan Kesultanan Brunei

Darussalam.

BAB III LATAR BELAKANG PROTEKTORASI INGGRIS

Menguraikan tentang faktor-faktor yang memicu terjadinya

protektorasi baik faktor internal seperti kondisi kesultanan Brunei

sendiri, maupun faktor eksternal melalui hubungannya dengan

pihak Inggris.

BAB IV DAMPAK PROTEKTORASI INGGRIS

Berisi analisa terhadap surat perjanjian perlindungan 1888 dan

dampak dari protektorasi Inggris serta respon masyarakat Serawak

dan Sabah terhadap Inggris.

BAB V PENUTUP

(20)

10

KESULTANAN BRUNEI DARUSSALAM

A. Letak Geografi

Slamet Mulyana dalam Sriwijaya menyimpulkan bahwa Po-Li terletak di

pantai barat Pulau Borneo dan disebelah utara/timur Ho-Ling.1 Dinasti Liang

(502-556 M) meriwayatkan bahwa Po-Li itu sebuah kerajaan yang memerintah

136 kampung dan hasil padinya dipanen dua kali setahun. Dinasti Sung (

960-1279 M) menyebut Po-Li atau Po-Lo dengan nama Puni, Kota Puni mempunyai

kira-kira 10.000 orang penduduk dan kerajaannya memerintah 14 wilayah.

Setelah terbentuknya pemerintahan Islam, didirikanlah ibukota sebagai

pusat pemerintahan yaitu Kota Batu pada masa pemerintahan Sultan Syarif Ali.

Kesultanan Brunei meliputi Serawak, Sabah, Kuching, Skrang, Saribas dengan

sungai-sungai yang mengelilingi disekitarnya. Dalam perkembangan selanjutnya,

pengaruh Kesultanan Brunei mencakup Kesultanan Sambas, Kotaringian,

Kepulauan Sulu, Luzon, Mindanau, Bolongan, Kepulauan Balabak, Banggi,

Balambangan, Mantanani dan bahagian utara Palawan hingga kerajaan Islam

Manila pada 1520 M.2

Masa-masa berikutnya selepas pemerintahan Sultan Hassan (1582-1598

M) luas pengaruh Brunei di beberapa tempat tersebut mulai pudar setelah

kedatangan Bangsa Eropa seperti Spanyol, Belanda dan Inggris. Inggris lah yang

berperan besar dalam menyusutkan wilayah Kesultanan Brunei Darussalam

terhitung sejak penetapan James Brooke sebagai penguasa di Serawak.

1 Slamet Mulyana, Sriwijaya, Jogjakarta: LKiS, 2001, hal. 85.

(21)

B. Islamisasi dan berdirinya Kesultanan Brunei Darussalam

Kerajaan Brunei kuno ditengarai sudah ada sejak 517 M bersaing dengan

Palembang Tua di Sumatera dan Taruma Negara di Jawa.3 Dalam catatan Cina

pada masa dinasti Sui (581-619 M) menyebutkan letak Brunei di sebuah pulau

sebelah tenggara Canton. Letak geografisnya yang sangat ideal menjadikan

Brunei kuno tempat lalu lalang pedagang-pedagang dari Arab, India, Cina dan

negeri-negeri disekitarnya. Dalam beberapa catatan Cina disebut dengan nama

Po-Li, Po-Lo atau Poni (Puni).4 Pada tahun 518 M, raja Po-Li pernah menghantar

utusan ke Cina dan membawa barang-barang atau hadiah persembahan dari dalam

negeri. Catatan Arab, oleh para pedagang Arab di Laut Cina Selatan memanggil

dengan sebutan Dzabaj atau Ranj yang kemudian nama ini berubah menjadi

Brunei.5

Penemuan data arkeologis mengenai Islamisasi di Brunei termuat dalam

batu Selasilah atau Tarsilah Brunei, sebuah batu nisan seorang Muslim Cina di

komplek pemakaman Islam Rangas, Jalan Tutong, Bandar Seri Begawan. Dari

batu nisan tersebut kemudian berkembang penelusuran secara rinci tentang jati

diri yang lebih lengkap nama tokoh yang tertera dalam nisan batu tarsilah tersebut.

Penelusuran menyebutkan nisan seorang Muslim berbangsa Cina, menurut

Wolfgang Franke dan Ch’en Tien Fan batu nisan ini bertuliskan Cina milik

seorang Cina bernama Pu-Kung Chih-Mu yang berasal dari keluarga Pu yang

3 Awang Mohammad Jamil al-Sufri, Lik u-lik u Perjuangan Pencapaian Kemerdek aan

Negara Brunei Darussalam, Brunei Darussalam: Jabatan Pusat Sejarah, 1992, hal. XVII.

4 Mohammad Deli bin Ahmad, Brunei Darussalam In Brief, Brunei Darussalam: The

Information Departemen, Prime Minister’s Office, 1989, hal. 32a.

5 Hasan Muarif Ambary, Menemuk an Peradaban: Jejak Ark eologis dan Historis Islam

(22)

datang dari daerah Chuan-chou pada masa dinasti Sung (960-1279 M).6 Perkataan

Pu yang terdapat diawal nama di nisan itu biasanya menunjukan orang Cina Islam

dari keturunan Arab, besar kemungkinan Pu yang disebutkan adalah nama orang

Islam yang asal keturunannya dari Pu Ya-Li atau Abu Ali yang ditengarai adalah

seorang yang pernah mengetuai perwakilan Brunei ke Cina pada tahun 977 M.7

Data arkeologis ini menarik garis latar belakang hadirnya Islam di Brunei

mundur jauh ke belakang yaitu sebelum abad 11 M atau berkaitan dengan

penemuan nisan seorang Muslimah bernama Fatimah binti Maemun binti

Hibatallah di Leran, Gresik yang berangka tahun 1082 M atau bisa juga dikatakan

bahwa kontak dengan Islam terjadi secara merata dibeberapa tempat di Asia

Tenggara. Adanya bukti ini, berarti juga membenarkan teori Uka Tjandrasasmita,

Islam datang di wilayah Indonesia dan Malaysia tepatnya sepanjang Selat Malaka

adalah pada abad pertama Hijriah atau pada abad 7 M.8

Menurut silsilah raja-raja Brunei, bahwa Awang Alak Betatar menikahi

putri Johor kira-kira pada tahun 1368 M, kemudian Awang Alak Betatar memeluk

Islam dan diubah namanya menjadi Muhammad Shah. Awang Muhammad Jamil

al-Sufri dalam bukunya Tarsilah Brunei sejarah awal dan perkembangan Islam,

Johor yang dimaksud adalah Singapura Tua yang didirikan oleh Sang Nila Utama

atau Sri Tri Buana atau Sultan Iskandar Shah yang memerintah antara tahun

1299-1347 M.9

6

Awang Muhammad Jamil Al-sufri, Tarsilah Brunei: Sejarah Awal dan Perk embangan Islam, Bandar Seri Begawan: Jabatan Pusat Sejarah, 1991, hal. 86.

7 Awang Muhammad Jamil Al-sufri, Tarsilah Brunei: Sejarah Awal dan Perk embangan

Islam, Bandar Seri Begawan: Jabatan Pusat Sejarah, 1991, hal. 87.

8 Uka Tjandrasasmita, Ark eologi Islam Nusantara, Jakarta: KPG, 2009, hal. 12.

9 Awang Muhammad Jamil al-Sufri, Tarsilah Brunei: sejarah awal dan perk embangan

(23)

Kondisi pasang surut mewarnai perjalanan Brunei selanjutnya, masa

pemerintahan Sultan Bolkiah (sultan ke V, 1485-1524) atau yang dikenal dengan

nahkoda ragam adalah masa kejayaan dan kemakmuran Brunei,10 luas

pengaruhnya mencapai Sambas, Kotaringian, Kepulauan Sulu, Luzon, Mindanau,

Bolongan, Kepulauan Balabak, Banggi, Balambangan, Mantanani dan bagian

utara Palawan hingga kerajaan Islam Manila pada 1520 M.11 Jatuhnya Malaka

ketangan Portugis pada 1511, Brunei memperoleh keuntungan dengan

menjadikannya sebagai bandar pelabuhan yang ramai.12

Masa surut Brunei ditandai dengan berakhirnya pemerintahan Sultan

Muhammad Hassan (sultan ke IX, 1582–1598), kemunduran demi kemunduran

terjadi dalam kesultanan Brunei, perpecahan dalam keluarga istana, lepasnya

beberapa wilayah jajahan ditambah dengan kedatangan Bangsa Eropa menjadi

beberapa faktor penyebabnya.

Selanjutnya, abad ke 19 adalah masa yang sangat penting bagi Brunei

dimana menghadapi arus hubungan, ancaman dan penjajahan dari Inggris. Situasi

Brunei abad 19 juga turut mengundang keterlibatan orang-orang Inggris, pada

mulanya secara individu, syarikat dan kemudian melibatkan kerajaan Inggris.

Masa pemerintahan Sultan Hashim Jalilul Alam Aqamaddin (sultan ke XXV,

1885-1906) merupakan masa yang menentukan nasib Brunei dalam

keberlangsungan pemerintahannya ditandai dengan perjanjian perlindungan antara

sultan dan pihak Inggris. Perjanjian tersebut menunjukkan bahwa Brunei berada

dalam perlindungan pihak yang lebih kuat yaitu Inggris.

10 Azumardi Azra, Perspek tif Islam di Asia Tenggara, Jakarta: Obor, 1989, hal. 8. 11 Cesar A. Majul, Dinamik a Islam Filipina, Jakarta: LP3ES, 1989, hal. 9.

12 Adrian B. Lapian, Pelayaran dan Perniagaan Nusantara Abad 16 -17, Depok:

(24)

C. Pemerintahan Sultan Hashim Jalilul Alam Aqamaddin

Sultan Hashim Jalilul Alam Aqamaddin berasal dari garis keturunan

sultan-sultan Brunei, silsilahnya adalah sebagai berikut: Sultan Hashim Jalilul

Alam Aqamaddin ibni Sultan Omar Ali Saifuddin II ibni Sultan Muhammad

Jamalul Alam I ibni Sultan Muhammad Tajuddin ibni Sultan Omar Ali Saifuddin

ibni Sultan Muhammad Alauddin ibni Pengiran Di-Gadong Shah ibni Sultan

Mubin Muhyiddin ibni Sultan Abdul Jalilul Akbar ibni Sultan Muhammad Hassan

ibni Sultan Saiful Rijal ibni Sultan Abdul Kahar ibni Sultan Bolkiah ibni Sultan

Sulaiman ibni Sultan Sharif Ali. Dia lahir pada tahun 1825 dan naik tahta sebagai

Sultan Brunei Darussalam ke-25 pada tahun 1885 ketika berusia 60 tahun. Dia

meninggal tak lama setelah menandatangani Perjanjian 1906 dengan Inggris Raya

yang memungkinkan seorang Residen Inggris untuk berada di Brunei. Sebelum

menjadi Sultan, Sultan Hashim bergelar Pengiran Temenggong, salah satu dari

empat wazir kepala di Kesultanan Brunei. Sultan Hashim menikahi putri Pengiran

Yusof. Pengiran Yusof tidak setuju dengan kebijakan untuk menyerahkan

Sarawak ke James Brooke, mencampuri urusan internal Brunei serta kekhawatiran

Pangeran Yusof terhadap upaya Brooke melanjutkan penaklukkan atas

wilayah-wilayah Brunei yang dimulai dengan Kuching dan sekitarnya pada tahun 1841.

Ketika Sultan Hashim naik takhta, ia mengambil langkah untuk

mempertahankan sisa wilayah Brunei dengan melindungi Limbang ketika Charles

Brooke (sepupu James Brooke) menempatinya. Namun demikian, dia tidak

mampu melakukannya dan dia tidak berhasil untuk mencegah kerugian lebih

lanjut dari caplokan keluarga Brooke. Sultan Hashim tidak memiliki kekuatan

(25)

Hashim menghadapi kesulitan terbesar karena dihadapkan pada tekanan dari

Brooke dan British North Borneo Company.

Pada tahun 1887, Sultan Hashim mengirim surat kepada Ratu Victoria

dengan maksud memohon Pemerintah Inggris tidak melaksanakan rencana untuk

membagi wilayah Brunei lebih lanjut. Dan akhirnya Ratu Victoria mengutus Sir

Frederic Weld untuk mengunjungi Brunei pada tahun 1887 untuk menunjukkan

cara terbaik Inggris agar dapat membantu Brunei sebagai penasehat Residen

Inggris terhadap Brunei. Hal ini yang akhirnya menyebabkan Perjanjian

Protektorat antara Brunei dan Inggris pada tahun 1888.

Sultan Hashim setuju untuk menandatangani Perjanjian karena ia ingin

mencegah hilangnya wilayah Brunei lebih banyak. Namun, meskipun ini

perjanjian bersejarah, Pemerintah Inggris gagal mengambil tindakan terhadap

Charles Brooke untuk mengambil Limbang. Charles Brooke bersikeras bahwa

Limbang telah diserahkan sebagai bagian dari Sarawak.

Pemerintah Inggris juga menolak untuk menyetujui penyerahan dari

Limbang. Tapi Charles Brooke merampas Limbang kemudian menyita dengan

paksa pada 17 Maret 1890. Pemerintah Inggris telah mengutus Noel Trevenan

untuk memimpin sebuah misi untuk menyelidiki situasi yang sebenarnya.

Trevenan didampingi pejabat Brooke bertemu dengan 15 pemimpin lokal dan

melaporkan bahwa 12 dari mereka mendukung. Tetapi kemudian disadari bahwa

18 pemimpin lokal tidak hadir pada pertemuan tersebut dan mereka yang hadir

adalah pendukung Brooke dan karena itu mereka tidak mewakili seluruh rakyat

(26)

itu. Dia bahkan menulis surat kepada Sultan Turki memohon bantuan, tetapi surat

itu disita oleh Inggris.

Satu lagi perjanjian yang disepakati antara Sultan Hashim dengan pihak

Inggris yaitu perjanjian 1905, perjanjian ini memungkinkan seorang Residen

Inggris untuk berada di Brunei. Tidak lama setelah kesepakatan tersebut, Sultan

Hashim meninggal dunia pada 10 Mei 1906 dan beberapa ushanya itu cukup

untuk menyelamatkan Brunei dari kerakusan Inggris.

D. Sistem dan Struktur Pemerintahan

Dalam perkembangannya, Islam dan Melayu menjadi dua kata yang

seiring berjalan beriringan; Islam menjadi bagian dari kehidupan masyarakat

Melayu. Sebaliknya, masyarakat Melayu juga menjadi sangat identik dengan

Islam. Bagi komunitas Melayu, hal ini terefleksikan dalam suatu slogan; “masuk

Islam berarti menjadi Melayu“, atau dengan ungkapan lain: “menjadi Melayu

berarti menjadi Islam.”13 Slogan seperti ini sedemikian mengakar dalam kalangan

masyarakat Melayu, sehingga nilai-nilai yang diproduksi oleh Islam niscaya

dengan sendirinya akan banyak melandasi perumusan nilai-nilai kehidupan dan

perilaku masyarakat Melayu, tidak terkecuali dalam mengekspresikan

gagasan-gagasan tentang politik, seperti konsep pemerintahan, penguasa atau raja (sultan),

hubungan antara penguasa dengan rakyat, serta hal-hal lain yang berada dalam

ranah politik.

Dalam tradisi politik Islam Melayu (baca: pemerintahan Islam Melayu),

penguasa atau raja (sultan) merupakan figure dan lembaga yang terpenting. Raja

13 Ahmad Ibrahim dkk, Islam di Asia Tenggara Perk embangan Kontemporer, Jakarta:

(27)

dianggap sebagai orang yang mulia dan mempunyai berbagai kelebihan (kekuatan

supranatural). Posisi raja adalah setingkat dengan Nabi dan sebagai pengganti

Allah dibumi (khalifah). Dalam pandangan Melayu, menganalogikan Raja dan

Nabi sebagai dua permata dalam satu cincin. Konsep ini mengandung arti bahwa

pengusa mempunyai dua kekuasaan: keduniaan dan keagamaan.

Meskipun dalam perkembangannya, pemerintahan kerajaan-kerajaan di

Asia Tenggara banyak dipengaruhi oleh unsur-unsur Islam seiring dengan

ramainya aktivitas pelayaran pedagang-pedagang Muslim. Fenomena bentuk

pemerintahan dunia Melayu seperti ini juga tidak bisa serta merta dianggap

sebagai citra dari sebuah pemerintahan ala Islam. Dunia politik Melayu sudah

lama memiliki akar-akar yang kuat dengan tradisi Hindu-Budha nya.

Dialog Islam dengan tradisi ini dilakukan dalam semangat negosiasi.

Negosiasi merupakan proses menafsirkan sesuatu yang hadir dan menafsirkan

dirinya untuk mecari sesuatu yang baru yang dikenal dalam kebudayaan sebagai

sesuatu yang hidup. Dalam konteks kultural, masyarakat memiliki kemampuan

untuk bernegosiasi dengan caranya masing-masing. Sejatinya, pergulatan antara

yang didatangi dan pendatang dalam bernegosiasi bukan didasarkan pada

semangat saling mengubah. Karena kalau sudah saling mengubah bukan lagi

negosiasi, melainkan hegemoni bahkan represi. Ini artinya, negosiasi merupakan

bagian dari transformasi kultural dalam setiap gerak kebudayaan. Hasilnya

menurut Hussin Mutalib adalah jenis doktrin Islam bastar (cangkokan), beraneka

ragam, yang terdiri dari campuran antara praktek-praktek Islam maupun

non-Islam yang diserap oleh Orang Melayu.14

14 Hussin Mutalib, Islam dan Etnisitas Perspek tif Politik Melayu, Jakarta: LP3ES, 1996,

(28)

Dalam susunan pemerintahan tradisi Brunei, raja atau sultan mempunyai

kuasa penuh dalam menjalankan pemerintahan dibantu oleh wazir-wazir,

cheteria-cheteria, menteri-menteri dan ketua-ketua lain yang dilantik oleh sultan.

Kedaulatan raja atau sultan adalah di antara ciri-ciri utama kesatuan dan

perpaduan rakyat sejak zaman dulu. Mentaati raja yang adil dan bijaksana

bersesuaian dengan konsep Ulil Amri di dalam Islam.15

Menurut adat, sultan juga merupakan wakil rakyat yang mutlak dan

menjadi tiang negara atau lambang negara tertinggi untuk menguasai dan

menjalankan pemerintahan negara. Dasar yang menopang pemerintahan

Kesultanan Brunei itu ada 4 macam: kanun, syara’, adat istiadat dan resam.16

Kanun adalah hukum kanun Brunei yang telah ada sejak sebelum masa sultan

Hasan (1582-1598 M) yang kemudian disempurnakan olehnya. Syara’ merupakan

rujukan kepada ajaran-ajaran Islam. Adat istiadat merujuk kepada adat istiadat

Brunei sejak pra-Islam, baik yang berkaitan dengan sultan dan para

pembesar-pembesar negara maupun ada istiadat yang diterima dan dilaksanakan oleh

masyarakat Brunei secara keseluruhan. Resam merujuk kepada perkara-perkara

diluar adat istiadat seperti kebiasaan suatu kelompok masyarakat kecil dikalangan

suku tertentu.

Secara umum pada abad 15 dan 16 antara Brunei dengan beberapa

Kesultanan Melayu lainnya memiliki kesamaan dalam hal sistem pemeintahannya.

Disebutkan bahwa Brunei mengadopsi hukum kanun Malaka,17 Brunei juga

15 Saadiah DDW Hj. Tamit (artikel), Pentadbiran Undang-Undang Islam Di Negara

Brunei Darussalam Pada Zaman British, Universiti Brunei Darussalam.

16 Zainuddin Fanani dan M. Thoyib (penyunitng), Studi Islam Asia Tenggara, Surakarta:

Muhammadiyyah University Press, 1999, hal.102.

17 Malaka merupakan Kesultanan Melayu yang mempunyai beberapa undang -undang

(29)

memiliki struktur pemerintahan yang sangat variatif yang terus berkembang sesuai

dengan perkembangan zaman. Kekuasaan tertinggi terletak ditangan raja atau

sultan dan dijalankan dengan dibantu oleh pejabat-pejabat negara menurut

tingkatannya masing-masing. Dibawah sultan tedapat susunan struktur beberapa

pembantunya yang bersifat hirarkis, struktur tersebut kemudian secara tidak

langsung membentuk kelas-kelas atau tingkatan pejabatnya. System dan proses

pendelegasian yang bersifat desentralisasi. Masyarakat Brunei secara umum

terbagi 3 golongan, yaitu golongan ningrat (bangsawan), rakyat umum dan

golongan yang terkait dengan keduanya. Pejabat atau pegawai negara juga terbagi

dalam 2 golongan, yaitu golongan ningrat (bangsawan) dan golongan pejabat atau

pegawai umum. Hubungan sultan dengan rakyatnya termuat dalam sebuah motto

“pantang Melayu menderhaka kepada raja”.

Susunan hirarkis menurut DE. Brown sebagai berikut:18

1. Sultan

2. Wazir

3. Cheteria

4. Menteri

5. Kepala Kampung

Menurut adat istiadat Brunei sebagai berikut:19

1. Sultan

2. 4 Wazir

berbagai permasalahan dalam masyarakat dengan sistem keadilan yang telah ditentukan dalam masyarakat tertentu. Salah satunya adalah Hukum Kanun Malaka yang sebagian besar isinya diserap dari ajaran Islam. Lihat (Muhammad Yusuf Hashim, Kesultanan Melayu Melak a, Kuala Lumpur: Dewan Bahasa dan Pustaka Kementrian Pendidikan Malaysia, 1990).

18 DE. Brown, Brunei: The Structure and History of a Bornean Malay Sultanate, Brunei:

The Star Press, 1970.

19 Zainuddin Fanani dan M. Thoyib (penyunitng), Studi Islam Asia Tenggara, Surakarta:

(30)

3. 4 Cheteria

a. Cheteria (4 Kepala Cheteria)

b. Cheteria (8 Cheteria Besar)

c. Cheteria (16 Pengalasan Biasa)

d. Cheteria (32 Pengalasan Damit)

4. Menteri Agama

5. Menteri Dagang

6. Menteri Istana

Sultan, wazir, cheteria, semuanya adalah golongan ningrat (bangsawan),

sedangkan menteri dan kepala kampung bukanlah termasuk golongan bangsawan

(pejabat biasa). Kepala Kampung ditunjuk oleh masyarakat setempat, sedangkan

pejabat negara yang lainnya selain Kepala Kampung ditunjuk dari kerajaan

berdasarkan kecakapan dan keputusan sultan.

A. Wazir, terdiri 4 orang yang semuanya adalah pejabat penting di lingkungan

istana.

1. Pangeran Bendahara, sebagai kepala menteri berkedudukan sebagai

deputy sultan (wakil sultan di wilayah tertentu) dan bertugas dalam

kaitannya dengan pertahanan wilayah negara.

2. Pangeran Digadong, wazir bidang keuangan negara.

3. Pangeran Pemanca, wazir bidang rumah tangga negara

4. Pangeran Temenggung, wazir bidang urusan kelautan merangkap sebagai

panglima perang dan pelaksana fungsi- fungsi yudisial (hukum).

(31)

1. Pangeran Syah Bandar (kepala cheteria) yang bertugas sebagai menteri

urusan perdagangan.

2. Cheteria besar

3. Cheteria pengalasan

4. Cheteria damit. Ketiga cheteria ini bertugas membantu Pangeran syah

Bandar (kepala cheteria).

C. Menteri, selain sebagai birokrat, bertugas juga sebagai kepala urusan

pertahanan. Mereka adalah pejabat-pejabat tambahan yang memiliki tugas

spesifik terutama yang berkaitan dengan administrasi ibukota negara dan

istana raja.

Sistem pemerintahan negara Brunei pertama kali disusun dengan rapi pada

masa Sultan Hasan (1582-1598 M), jika sebelumnya sultan hanya dibantu oleh 2

orang wazir maka sejak itu ditambah lagi 2 orang yaitu Pangeran Digadong dan

Pangeran Pemanca. Sultan Hasan pula yang melengkapi gelar-gelar seperti wazir

juga menyusun dan mengatur tugas-tugas mereka. Dalam urusan keagamaan,

disusun pula sebuah system pentadbiran (pengurusan) yang diatur dalam susunan

menteri agama, yaitu: kepala menteri agama (mufti), menteri-menteri,

pegawai-pegawai agama.

A. Kepala Menteri Agama (mufti) bergelar Pehin Datu Seri Maharaja, tugasnya:

a. Mengawasi hal ihwal agama Islam

b. Mengawasi pelaksanaan hukum Islam

c. Menjadi hakim besar bagi hal ihwal yang besangkutan dengan hukum

(32)

B. Menteri-menteri Agama

1) Pehin Si Raja Khatib, tugasnya:

a. Menjadi hakim bagi hal ihwal yang bersangkutan dengan hukum

syara’.

b. Menjadi imam masjid

c. Khutbah di hari raya jika dihadiri sultan

2) Pehin Datu Imam, tugasnya:

a. Menjadi imam masjid

b. Mengawasi hal ihwal masjid

3) Pehin Tuan Imam, tugasnya:

a. Menjadi imam masjid

b. Mengawasi hal ihwal masjid

4) Pehin Udana Khatib, tugasnya:

a. Menjadi imam masjid

b. Khutbah di hari raya jika dihadiri sultan

c. Menjadi ketua pehin-pehin khatib

5) Pehin-pehin Khatib, tugasnya:

a. Khutbah setiap jum’at

b. Menjadi imam masjid setiap waktu shalat

C. Pegawai Agama yaitu mudim- mudim, tugasnya:

a. Azan setiap waktu shalat

b. Menjalankan hal ihwal yang bersangkutan dengan agama Islam di

(33)

23 A. Kondisi Kesultanan Brunei Darussalam 1) Disintegrasi Internal Istana

Pada masa kejayaannya, wilayah taklukan Kesultanan Brunei mencakup

hampir seluruh Pulau Kalimantan dan sebagian perairan Filipina. Namun setelah

masa pemerintahan Sultan Hasan, beranjak kekuasaan di wilayah-wilayah

taklukannya mulai memudar. Pembunuhan Sultan Muhammad Ali ( Sultan ke-12)

oleh Pengiran Bendahara Abdul Mubin yang mengundang kemarahan dari

anggota keluarga Sultan Muhammad Ali yaitu Muhyidin yang kemudian menjadi

penggantinya sebagai Sultan Brunei. Inilah yang menyebabkan terjadinya

perebutan kekuasaan.

Perebutan kekuasaan ini mengundang kedatangan Spanyol untuk kedua

kalinya pada 1578, motif dari kedatangan Spanyol adalah bukan karena

ketertarikan Spanyol menguasai Brunei, namun karena pengaruh Brunei yang

masih kuat di Filipina yang membuat Spanyol belum bisa menguasai Filipina.

Usaha yang dilakukan Spanyol adalah intervensi permasalahan dua keluarga

dalam istana tersbut. Selanjutnya, intervensi juga dilakukan oleh Kesultanan Sulu

terhadap Brunei pada 1662 dengan membantu Sultan Muhyidin dalam

menghadapi serangan Pengiran Bendahara Abdul Mubin. Peperangan itu

berlangsung selama 12 tahun yang akhirnya dimenangkan oleh Sultan Muhyidin.

Keberhasilan Sulu membantu serangan itu, kawasan sebelah utara teluk Brunei

(34)

Brunei tidak mengakui kepemilikan wilayah tersebut atas Sulu. Alasannya adalah

konflik masa lalu Brunei-Sulu yang merebutkan wilayah Utara Kiamanis, Pulau

Balabak, Balambangan dan Palawan.1

Posisi Brunei semakin sulit ketika bangsa Eropa lainnya, Belanda, yang

akhirnya pada akhir abad 18 berhasil mengusai perdagangan di Selatan Borneo.

Sama halnya dengan Inggris, Belanda juga mempunyai motif yang sama yaitu

menguasai perdagangan, namun Inggris hanya ingin menggunakan pulau Borneo

sebagai tempat persinggahan atau pangkalan dalam perjalanan mereka dari Inggris

atau India menuju ke Cina. Sementara Belanda lebih kepada penguasaan kontrol

politik dan perdagangan. Perjanjian antara Inggris dan Belanda disepakati pada

1824 dengan perjanjian pemisahan kawasan antara keduanya, dengan selat

Singapura sebagai garis pemisah.

Persaingan dagang Inggris dan Belanda berakibat merosotnya

perekonomian Brunei, lebih lagi tampilnya Spanyol dan Kesultanan Sulu yang

melepaskan dirinya dari pengaruh Brunei kemudian munculnya aktivitas bajak

laut Sulu yang mengganggu kapal dagang Brunei. Selanjutnya secara bertahap

Inggris melalui East India Company-nya mulai menancapkan kekuasaannya di

wilayah Utara Borneo, pangkalan dagang didirikan di Balambangan tahun 1773

dan Labuan tahun 1805. Dari sini disepakati monopoli perdagangan lada sekaligus

mengharuskan Inggris untuk mengawal perdagangan dari serangan bajak laut

Sulu.

Di lain pihak, perdagangan reguler berkembang antara Singapura dan

Sarawak, komoditas utama dari Serawak adalah timah, kemudian barang-barang

1 Nicholas Tarling, Britain, The Brook es and Brunei, Singapore: Oxford University Press,

(35)

dari Singapura sangat diminati di Kerajaan Sambas. Hubungan komersial dengan

Sarawak ini perlahan membantu Singapura bersaing di kawasan tersebut. Ketika

James Brooke2 tiba di Singapura, ia menerima berita tentang Bendahara

Kesultanan Brunei yang ramah dan berkeinginan membangun hubungan yang

lebih erat dengan Inggris. Sebuah berita menyebutkan Brooke diminta untuk

berlayar ke Borneo, ketika Brooke mencapai Sarawak pada tahun 1839, ia melihat

terjadinya pemberontakan berlangsung. Sementara itu, Raja Muda Hassim yang

khusus dikirim dari ibu kota untuk berusaha memadamkan pemberontakan.

Pemberontakan yang dimulai sekitar tahun 1835 atau 1836, dipimpin oleh

aristokrasi Melayu Sarawak bergabung juga dengan pemimpin Suku Dayak.

Beberapa alasan pemicu pemberontakan adalah penindasan dan eksploitasi yang

diakukan gubernur, Putra Mahkota kepada penduduk lokal. Dia menghancurkan

kemakmuran penduduk setempat dengan memonopoli atas produksi timah dan

perdagangan secara umum Tanah Dayak.3 Selain itu, ia memaksa Tanah Dayak

untuk bekerja dipertambangan timahnya, memeras keringat tanpa membayar

buruhnya. Para tetua Melayu Siniawan juga serta dalam pemberontakan tersebut.

Dalam kalangan istana terjadi perselisihan antara dua faksi politik yang

merupakan faktor lain yang memicu terjadinya pemberontakan. Pengiran Usop,

mertua dari anak Sultan yang mempunyai kebencian terhadap posisi Raja Muda

Hassim sebagai Bendahara. Untuk menyingkirkan Raja Muda Hassim dari ibukota

serta untuk melemahkan pemerintahannya, Pengiran Usop diam-diam mendorong

2James Brooke lahir di India pada 1803, dia adalah anak dari pejabat East India

Company. Brooke menjadi perwira tentara kavaleri di India dan karena kegagahnnya direkomendasikan untuk memimpin perang Anglo-Burmese. Lihat, Mary Turnbull, A History of Malaysia, Singapore andBrunei, Sydney: Allen & Unwin, 1989, hal. 157.

3Ranjit Singh, Brunei 1839-1983: The problems of political survival, Singapore: Oxford

(36)

rakyat Sarawak untuk memberontak serta bernegosiasi menyerahkan Sarawak ke

Sambas. Pemberontakan sendiri mungkin atas inisiatif dari Pengiran Usop juga

dukungan Sultan Sambas serta perlindungan Asisten Residen Belanda. Dari

konspirasi tersebut, Sultan Sambas memasok pemberontak dengan senjata dan

amunisi,4 sedangkan Asisten Residen Belanda R. Bloem memberikan dukungan

moral.

Pemberontakan yang terus berlangsung dan belum bisa dipadamkan

akhirnya memaksa Raja Muda Hassim untuk meminta bantuan kepada James

Brooke dengan tawaran mendapatkan jabatan gubernur Serawak dan Siniawan

jika mampu memadamkan pemberontakan tersebut. Akhirnya berkat bantuan

James Brooke pemberontakan berhasil dipadamkan, dengan demikian sebuah

perjanjian antara Raja Muda Hassim dan James Brooke ditanda-tangani pada 24

September 1841,5 yang kemudian menempatkan James Brooke sebagai gubernur

yang memiliki kekuasaan penuh atas Serawak dengan persyaratan harus tetap

memberikan pajak dan tidak mencampuri adat, agama penduduk setempat, James

Brooke juga tidak boleh memindahkan hak kekuasaan atas wilayahnya kepada

pihak yang lain kecuali atas izin Raja Muda Hassim. James Brooke mengatakan:

“ He begged me to stay, and offered me the country of Siniawan and

Sarawak and its government and trade, if I would only stop and not desert

him”.6

4

Beberapa tempat di Kalimantan terkenal sebagai penghasil senjata api, te rutama Brunei. Senjata api yang dibuat seperti lela dan rentak a yaitu meriam yang biasa berputar-putar untuk membidik yang terbuat dari perunggu maupun dari bahan besi. Lihat. Adrian B. Lapian, Orang Laut Bajak Laut Raja Laut: Sejarah Kawasan Laut Sulawesi Abad XIX, Depok: Komunitas Bambu, 2009, hal. 150.

5Mary Turnbull, A History of Malaysia, Singapore andBrunei, Sydney: Allen & Unwin,

1989, hal. 157.

6Ranjit Singh, Brunei 1839-1983: The problems of political survival, Singapore: Oxford

(37)

Posisi Raja Muda Hassim sebagai perdana menteri berhasil direbut oleh

Pengiran Usop ketika masih berada di Serawak. Sultan membiarkan hal itu terjadi

karena merasa curiga terhadap Raja Muda Hassim dengan dua alasan. Pertama,

Raja Muda Hassim dan keluarganya mewakili Raja Api karena persaingan antara

dua keluarga yang tidak pernah usai. Kedua, Sultan Omar Ali Saifuddin II tidak

memiliki anak sah, maka Raja Muda Hassim secara otomatis akan memenuhi

syarat sebagai pewaris yang sah untuk naik takhta. Hal ini sangat mungkin bahwa

keretakan antara kedua keluarga telah terkesan menunjukkan bahwa Raja Muda

Hassim dan saudara-saudaranya telah dikucilkan ke Sarawak. Makanya ketika

James Brooke berkunjung ke Brunei untuk mengkonfirmasi pengangkatannya itu

anehnya Raja Muda Hassim tidak menyertainya. Salah satu tujuan dari kunjungan

Brooke adalah untuk mengadakan rekonsiliasi antara Sultan dan Muda Hassim.

Bahkan setelah itu, Raja Muda Hassim tak berani kembali, sampai pada tahun

1844 di bawah perlindungan senjata Inggris. Untuk alasan ini Raja Muda Hassim

memerlukan aliansi dengan Brooke.

Langkah selanjutnya yang diambil oleh James Brooke untuk memperkuat

posisinya di Serawak adalah mencari pengakuan dari kerajaan Inggris untuk

melegitimasi keberadaannya di Serawak serta secara perlahan berusaha

menggerogoti kedaulatan Kesultanan Brunei. Selanjutnya untuk mengatasi

beberapa persoalan bajak laut yang berada di wilayah tetangganya yaitu Saribas

dan Skrang dilakukanlah konfrontasi,7 James Brooke memanfaatkan diplomasi

yang cerdik dengan meminta bantuan dari unsur-unsur angkatan laut Inggris untuk

memenuhi tujuan pribadinya. Akhirnya pada tahun 1843 James Brooke berhasil

7JH. Walker, Power and Prowess: The Origins of Brook e Kingship in Sarawak,

(38)

meyakinkan Kerajaan Inggris dengan mengutus Kapten Henry Keppel untuk

menumpas bajak laut dari dua wilayah tersebut.

2) Kondisi Sosial Masyarakat

Penindasan dan eksploitasi yang dilakukan oleh salah satu fraksi keluarga

istana yaitu Putra Mahkota, adalah pemicu pemberontakan yang dilakukan dan di

pimpin langsung oleh aristokrasi Melayu Siniawan dan orang-orang Suku Dayak.

Tindakan penguasa dengan memonopoli perdagangan timah dan perdagangan

secara umum Tanah Dayak, memaksa orang-orang Suku Dayak untuk bekerja di

pertambangan timahnya tanpa memberikan upah.

Akibatnya mereka melakukan berbagai usaha untuk melawan penguasa

tersebut. Selain melakukan pemberontakan, mereka juga melakukan pembajakan

di laut.8 Maraknya kegiatan bajak laut ini membuat hubungan antara Kesultanan

Brunei dengan Inggris terjalin,aktivitas pembajakan ini terjadi misalnya di

wilayah Saribas dan Skrang. Dalam keadaan yang sangat kacau dalam Kesultanan

Brunei mengingat perselisihan antar keluarga dalam istana kemudian ditambah

8Selama berabad-abad, bajak laut atau pembajakan adalah bentuk mata pencaharian kuno

yang telah ada di wilayah perairan manapun di dunia. Pembajakan sebagai sebuah profesi kuno dianggap sebagai lambang kedewasaan, keberanian, kenegaraan dan kebangsawanan. Sebelum adanya larangan hukum internasional, di negara-negara maritim kegiatan pembajakan menjadi instrumen kebijakan luar negeri dan sumber pendapatan negara. Lihat (BA. Hamzah, The Oil Sultanate: Political History of Oil in Brunei Darussalam, Kuala Lumpur: Enterprise Mawaddah, 1991. Hal. 14).

Bajak laut merupakan terjemahan dari kata pirata yang dikenal dalam kebudayaan Barat

(bahasa Inggris dan Perancis “pirate”; bahasa Belanda “piraat” atau “zeerover”; Bahasa Spanyol,

(39)

dengan banyaknya aktivitas pembajakan yang terjadi di wilayah perairan Brunei,

memaksa untuk penguasa Brunei menerima kedatangan pasukan angkatan laut

Inggris. Inisiatif James Brooke ini disisi lain sangat dibutuhkan oleh Kesultanan

Brunei untuk memulihkan suasana dari tindakan para bajak laut dari Saribas dan

Skrang.

Dari kedatangan pasukan laut Inggris yang pertama tahun 1843 pimpinan

Kapten Henry Keppel, selanjutnya di tahun yang sama kapal kedua yang dipimpin

oleh Kapten Sir Edward Belcher menyusul menuju Brunei. Bersama Brooke,

Belcher menawarkan perjanjian mengenai pertahanan keamanan. Dalam

perjanjian tersebut Kesultanan Brunei menjanjikan untuk membuka jalur

perdagangan dengan Inggris, dengan kesepakatan mendapat pengamanan dari

serangan bajak laut serta melarang Kesultanan Brunei untuk beraliansi dengan

kekuatan selain Inggris, meskipun kesepakatan ini sebenarnya secara tidak

langsung merongrong kedaulatan luar negeri Kesultanan Brunei.9

Selepas Sultan Hashim menandatangani perjanjan perlindungan dengan

Inggris, tidak serta merta aktivitas pembajakan sepenuhnya habis. Meskipun

dalam kesepakatan tersebut disebutkan bahwa Inggris harus wajib untuk

menindak kegiatan bajak laut ini, namun justru penguasaan Inggris atas beberapa

wilayah Brunei dan memonopoli perekonomian di wilayah-wilayah tersebut

membuat penduduk setempat mulai kehilangan mata pencaharian mereka dan

akhirnya menentang perilaku Inggris dengan melakukan kegiatan bajak laut atas

perahu-perahu Inggris. Konfrontasi kepada pihak Inggris juga dilakukan oleh

9

(40)

rakyat dan pemimpin-pemimpin setempat dalam mencegah kerakusan Inggris

menguasai perekonomian di daerah mereka.

B. Hubungan Kesultanan Brunei Darussalam dengan Inggris

Abad ke-16 M membuka tirai hubungan bangsa Eropa dengan

kerajaan-kerajaan di Nusantara dan sekitarnya khususnya dengan Brunei. Hubungan

dengan bangsa Portugis terjalin berdasarkan prinsip negosiasi dan kompromi yang

bermula ketika perahu dagang Brunei tiba di Malaka pada 1514 tiga tahun setelah

penaklukan Malaka oleh Portugis. Kemudian kedatangan bangsa Spanyol ke

Brunei pada 1521 meskipun hubungan ini selalu mengarah pada konfrontasi

bersenjata dan perebutan wilayah kekuasaan yang mengarah pada usaha

memperlemah Kesultanan Brunei, jalur diplomasi tetap senantiasa diusahakan.

Perjalanan pertama bangsa Inggris ke Wilayah Nusantara dimulai sejak

tahun 1579, diawali oleh seorang penjelajah bernama F. Drake yang singgah

untuk pertama kalinya di wilayah Ternate dalam perjalanan keliling dunianya.

Setelah perjalan F. Drake yang mendapati pulau ternate pada 1600, dengan

terbentuknya sebuah kongsi dagang baru yang dikenal dengan sebuatan East India

Company (EIC/Perusahaan India Timur Inggris), bangsa Inggris memulai mencari

keberuntungannya dalam mendapatkan barang perdagangan ke wilayah Asia.

EIC didirakan dua tahun sebelum kongsi dagang Belanda yang dikenal

dengan VOC. Berbeda dengan Kongsi dagang Belanda. EIC berkembang lebih

lambat, disebabkan modal Perusahaan Inggris yang hanya seperdelapan dari

(41)

kemanapun VOC pergi berharap mendapatkan keuntungan dari wilayah-wilayah

yang pernah di jelajahi oleh VOC.10

Pada dekade awal abad ke-18, kontrol atas rute perdagangan sangat

penting bagi Kerajaan Inggris. Rute perdagangan merupakan urat nadi dari

Kerajaan Inggris yang bergantung pada kemampuannya untuk mengendalikan rute

timur-barat. Inggris melihat pentingnya geostrategis Brunei dan kepulauan

Melayu dalam konteks keamanan komersial global. Selain berada dalam jalur

timur-barat, Brunei juga memiliki fasilitas penting untuk pertahanan Inggris.

Selain itu, Brunei kaya akan sumber daya alam seperti batubara dan minyak bumi

yang Inggris perlukan pada masa-masa ekspansi.

Kontak awal hubungan Brunei dengan Inggris terjadi pada 1775 ketika

utusan East India Company (perusahaan India Timur Inggris) Alexander

Dalrymple datang untuk merundingkan perdagangan lada hitam.11 Kedatangan

Inggris ini disambut dengan baik oleh masyarakat Brunei dan menerima tawaran

dari kongsi dagang Inggris untuk memonopoli perdagangan lada dan

mempersilahkan agar Brunei dijadikan satu-satunya sumber pengimpor lada

dikawasan ini.

Dalam perkembangan hubungan Brunei-Inggris berikutnya, hubungan

yang lebih resmi terjalin ketika beberapa perjanjian disepakati oleh keduanya

yang meliputi perjanjian persahabatan, perdagangan dan perjanjian perlindungan.

Perjanjian-perjanjian ini berujung kepada munculnya kebijakan protektorasi

Inggris atas Brunei, yang mengakibatkan hilangnya wilayah kekuasaan Brunei.

10Bernard. H. M. Vlekke, Nusantara: Sejarah Indonesia,(Terj), Jakarta: Kepustakaan

Populer Gramedia, 2008, hal. 140

11DE. Brown, Brunei: The Structure and History of a Bornean Malay Sultanate, Brunei:

(42)

1) James Brooke dan Perluasan Wilayahnya

James Brooke lahir di India pada 1803, dia adalah anak dari pejabat East

India Company. Brooke menjadi perwira tentara kavaleri di India dan karena

kegagahnnya kemudian direkomendasikan untuk memimpin perang

Anglo-Burmese.12 Ketika James Brooke tiba di Singapura, ia menerima berita tentang

Bendahara Kesultanan Brunei yang ramah dan berkeinginan membangun

hubungan yang lebih erat dengan Inggris. Sebuah berita menyebutkan Brooke

diminta untuk berlayar ke Borneo, ketika Brooke mencapai Sarawak pada tahun

1839, ia melihat terjadinya pemberontakan berlangsung. Sementara itu, Raja

Muda Hassim yang khusus dikirim dari ibu kota untuk berusaha memadamkan

pemberontakan.

Pemberontakan yang dimulai sekitar tahun 1835 atau 1836, dipimpin oleh

aristokrasi Melayu Sarawak bergabung juga dengan pemimpin Suku Dayak.

Beberapa alasan pemicu pemberontakan adalah penindasan dan eksploitasi yang

diakukan gubernur, Pengiran Mahkota kepada penduduk lokal. Dia

menghancurkan kemakmuran penduduk setempat dengan memonopoli atas

produksi logam putih dan perdagangan secara umum Tanah Dayak.13 Selain itu, ia

memaksa Tanah Dayak untuk bekerja dipertambangan logam putihnya, memeras

keringat tanpa membayar buruhnya. Para tetua Melayu Siniawan juga serta dalam

pemberontakan tersebut.

Dalam kalangan istana terjadi perselisihan antara dua faksi politik yang

merupakan faktor lain yang memicu terjadinya pemberontakan. Pengiran Usop,

12Mary Turnbull, A History of Malaysia, Singapore andBrunei, Sydney: Allen & Unwin,

1989, hal. 157.

13Ranjit Singh, Brunei 1839-1983: The problems of political survival, Singapore: Oxford

(43)

mertua dari anak Sultan yang mempunyai kebencian terhadap posisi Raja Muda

Hassim sebagai Bendahara. Untuk menyingkirkan Raja Muda Hassim dari ibukota

serta untuk melemahkan pemerintahannya, Pengiran Usop diam-diam mendorong

rakyat Sarawak untuk memberontak serta bernegosiasi menyerahkan Sarawak ke

Sambas. Pemberontakan sendiri mungkin atas inisiatif dari Pengiran Usop juga

dukungan Sultan Sambas serta perlindungan Asisten Residen Belanda. Dari

konspirasi tersebut, Sultan Sambas memasok pemberontak dengan senjata dan

amunisi,14 sedangkan Asisten Residen Belanda R. Bloem memberikan dukungan

moral.

Pemberontakan yang terus berlangsung dan belum bisa dipadamkan

akhirnya memaksa Raja Muda Hassim untuk meminta bantuan kepada James

Brooke dengan tawaran mendapatkan jabatan gubernur Serawak dan Siniawan

jika mampu memadamkan pemberontakan tersebut. Akhirnya berkat bantuan

James Brooke pemberontakan berhasil dipadamkan, dengan demikian sebuah

perjanjian antara Raja Muda Hassim dan James Brooke ditanda-tangani pada 24

September 1841, yang kemudian menempatkan James Brooke sebagai gubernur

yang memiliki kekuasaan penuh atas Serawak dengan persyaratan harus tetap

memberikan pajak dan tidak mencampuri adat, agama penduduk setempat, James

Brooke juga tidak boleh memindahkan hak kekuasaan atas wilayahnya kepada

pihak yang lain kecuali atas izin Raja Muda Hassim.

Posisi Raja Muda Hassim sebagai perdana menteri berhasil direbut oleh

Pengiran Usop ketika masih berada di Serawak. Sultan membiarkan hal itu terjadi

14Beberapa tempat di Kalimantan terkenal sebagai penghasil senjata api, terutama Brunei.

(44)

karena merasa curiga terhadap Raja Muda Hassim dengan dua alasan. Pertama,

Raja Muda Hassim dan keluarganya mewakili Raja Api karena persaingan antara

dua keluarga yang tidak pernah usai. Kedua, Sultan Omar Ali Saifuddin II tidak

memiliki anak sah, maka Raja Muda Hassim secara otomatis akan memenuhi

syarat sebagai pewaris yang sah untuk naik takhta. Hal ini sangat mungkin bahwa

keretakan antara kedua keluarga telah terkesan menunjukkan bahwa Raja Muda

Hassim dan saudara-saudaranya telah dikucilkan ke Sarawak. Makanya ketika

James Brooke berkunjung ke Brunei untuk mengkonfirmasi pengangkatannya itu

anehnya Raja Muda Hassim tidak menyertainya. Salah satu tujuan dari kunjungan

Brooke adalah untuk mengadakan rekonsiliasi antara Sultan dan Muda Hassim.

Bahkan setelah itu, Raja Muda Hassim tak berani kembali, sampai pada tahun

1844 di bawah perlindungan senjata Inggris. Untuk alasan ini Raja Muda Hassim

memerlukan aliansi dengan Brooke.

Langkah selanjutnya yang diambil oleh James Brooke untuk memperkuat

posisinya di Serawak adalah mencari pengakuan dari kerajaan Inggris untuk

melegitimasi keberadaannya di Serawak serta secara perlahan berusaha

menggerogoti kedaulatan Kesultanan Brunei. Selanjutnya untuk mengatasi

beberapa persoalan bajak laut yang berada di wilayah tetangganya yaitu Saribas

dan Skrang dilakukanlah konfrontasi,15 James Brooke memanfaatkan diplomasi

yang cerdik dengan meminta bantuan dari unsur-unsur angkatan laut Inggris untuk

memenuhi tujuan pribadinya. Akhirnya pada tahun 1843 James Brooke berhasil

meyakinkan Kerajaan Inggris dengan mengutus Kapten Henry Keppel untuk

menumpas bajak laut dari dua wilayah tersebut.

15JH. Walker, Power and Prowess: The Origins of Brook e Kingship in Sarawak,

(45)

Referensi

Dokumen terkait

Kecepatan gerak (jarak) isoenzim esterase non-spesifik dalam medan listrik (Rf) setiap pita yang terdapat pada zymogram hasil elektroforesis untuk setiap kelompok nyamuk

Keadaan itu mengurangi hak dan kesempatan wanita yang akhirnya mengukuhkan bentuk-bentuk ketidaksamaan dan ketidakadilan gender di segala bidang pembangunan (Mansour,

Tujuan penelitan ini adalah untuk mengetahui perbedaan dari kedua BPR, parameter yang digunakan unutk melihat perbedaan tingkat efisiensi yaitu dilihat dari

Berdasarkan hasil penelitian dan pembahasan, diperoleh kesim- pulan bahwa peningkatan kemam- puan komunikasi matematis siswa yang mengikuti pembelajaran PBL lebih

Dengan demikian penciri gen GH Alu I memiliki pola frekuensi alel L yang tinggi pada sapi Pesisir Sumatera Barat, juga pada kelompok sapi Bos indicus (zebu) maupun Bos taurus,

Maka dari itu, penelitian ini bertujuan untuk memperoleh bukti empiris tentang (a) pengaruh profitabilitas yang diproksikan dengan return on equity (ROE) dan return on assets (ROA)

Asosiasi Konsultan Hak Kekayaan Intelektual (selanjutnya disebut dengan AKHKI) pun merupakan wadah Konsultan HKI yang terbesar di Indonesia, yang jumlah

Seperti halnya kualitas pelayanan E-KTP yang menjadi obyek analisis pada penelitian ini masih mengalami berbagai permasalahan, baik yang bersumber dari internal maupun