• Tidak ada hasil yang ditemukan

Sanksi Pelanggaran Terhadap Aturan Poligami dan Pencatatan Perkawinan di Indonesia, Malaysia, dan Negara Brunei Darussalam

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2017

Membagikan "Sanksi Pelanggaran Terhadap Aturan Poligami dan Pencatatan Perkawinan di Indonesia, Malaysia, dan Negara Brunei Darussalam"

Copied!
98
0
0

Teks penuh

(1)

SANKSI PERATURAN TERHADAP ATURAN POLIGAMI DAN PENCATATAN PERKAWINAN DI INDONESIA, MALAYSIA, DAN

NEGARA BRUNEI DARUSSALAM

Skripsi

Diajukan Untuk Memenuhi Salah Satu Syarat Memperoleh Gelar Sarjana Hukum (S.H)

Oleh:

Fajar Devan Afrizon 1112044100081

PROGRAM STUDI HUKUM KELUARGA

FAKULTAS SYARIAH DAN HUKUM

UNIVERSITAS ISLAM NEGERI

SYARIF HIDAYATULLAH

JAKARTA

(2)
(3)
(4)
(5)

ABSTRAK

FAJAR DEVAN AFRIZON, NIM: 1112044100081, SANKSI PELANGGARAN

TERHADAP ATURAN POLIGAMI DAN PENCATATAN PERKAWINAN DI

INDONESIA, MALAYSIA, DAN NEGARA BRUNEI DARUSSALAM. Konsentrasi Peradilan Agama, Program Studi Hukum Keluarga, Fakultas Syariah dan Hukum, Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta, 2016 M /1348. X+ 91 Halaman

Indonesia, Malaysia, Negara Brunei Darussalam adalah negara-negara yang termasuk dalam bagian Asia Tenggara, yang mana ketiga negara ini serumpun dan penduduknya banyak yang menganut agama Islam. Dan yang kita ketahui Islam mengenal yang namanya Poligami yang berati mempunyai istri lebih dari satu, namun berpoligami tidak mudah seperti yang diperkirakan, dalam berpoligami kita harus memenuhi syarat-syarat yang telah ditentukan dalam UU Pernikahan No. 1 Th 1974 dan juga di atur dalam KHI, dalam prakteknya masih banyak orang yang melanggar mungkin karena sanksi yang diterapkan belum memberikan efek jera sehingga seringkali terjadi pelanggaran. Selain Poligami di dalam dunia pernikahan kita megenal yang namanya Pencatatan Pernikahan sebagai salah satu syarat sahnya Perkawinan, dan yang bertugas dalam hal ini adalah Pegawai Pencatatan, jika seseorang tidak melakukan pencatatan maka dia termasuk melanggar yang mana itu di jelaskan dalam UU Pernikahan No 1 Th 1974 pasal 2 ayat (2), dan lagi-lagi masih banyak yang melanggar dalam hal ini.

Metode yang digunakan dalam penelitian ini mengunakan pendekatan yuridis normatif dengan sfesifikasi penelitian yaitu deskripsi analitis. Tehnik pengumpulan data yang dugunakan adalah data primer yang diperoleh dari peraturan perundang-undangan data skunder berupa buku-buku, kitab-kitab, dan karya tulis ilmiah. Data yang diperoleh kemudian kemudian dianalisis secara kualitatif.

Dari hasil penelitian penulis maka ada temuan yaitu, Di Indonesia, Malaysia, dan Negara Brunei Darussalam mempunya perbedaan dalam memberi sanksi dalam pelanggaran Pencatatan Perkawinan dan Poligami, jika di malaysia seorang melanggar Pencatatan Perkawinan dan Poligami itu bisa di kenakan sanksi denda sebanyak satu ribu Ringgit atau penjara tidak lebih dari enam bulan, sedangkan di Negara Brunei Darussalam bagi yang melanggar akan dikenakan sanksi penjara atau denda sebesar $200.

walaupun sanksi yang diberikan kepada pelanggar Pencatatan Perkawinan dan Poligami hampir sama, yaitu berupa kurungan atau denda namun ada perbedaan yang signifikan antara ketiga negara. Yang mana jika di Malaysia dan Brunei sanksi yang diberikan itu dijatuhkan untuk si pelaku, sanksi berupa kurungan dan denda sedangkan di Indonesia hanya dengan denda saja.

Kata Kunci : Sanksi Pelanggaran Terhadap Aturan Poligami dan Pencatatan Pekawinan di Indonesia, Malaysia, dan Negara Brunei Darussalam

Pembimbing : Dr.H. Ahmad Tholabi Kharlie, S.H,M.H

(6)
(7)

vii

2. Dr. Asep Saepudin Jahar, M.A, Dekan Fakultas Syariah dan Hukum

Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta.

3. Dr. H. Abdul Halim, M.Ag, Ketua Program Studi Ahwal Syakhshiyyah,

dan Bapak Arif Furqon, M.A. sekretaris Program Studi Ahwal

Syakhshiyyah Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta.

4. Dr. H. Ahmad Tholabi Kharlie, SH, MH, MA sebagai dosen pembimbing,

yang telah begitu bijaksana memberikan ilmunya kepada penulis ditengah

kesibukan yang padat, serta membimbing penulis dengan sabar agar

penulis ini selesai dengan baik dan juga bermanfaat.

5. Terimakasih juga kepada para penguji bapak Dr. Djuaini Syukri, Lc., MA

dan bapak Drs. Sirril Wafa, MA sehingga menjadikan skripsi ini menjadi

lebih baik.

6. Bapak/Ibu dosen Fakultas Syariah Dan Hukum Universitas Islam Negri

Syarif Hidayatullah Jakarta, yang telah mendidik dan mengajarkan ilmu

dan ahlak yang tidak ternilai harganya. Sehingga penulis dapat

menyelesaikan studi di Fakultas Syariah Dan Hukum Universitas Islam

Negri Syarif Hidayatullah Jakarta.

7. Segenap staff akademik dan staff perpustakaan Fakultas Syariah dan

Hukum dan staff Perpustakaan Umum Universitas Islam Negri Syarif

Hidatullah Jakarta.

8. Saudara dan saudari penulis, Darmawan Setiawan Afrizon, dan Aria

(8)

viii

Muhidin Prakoso, Ai Sri Maryani, Rahmat Abdullah, Muhammad Rifki

Mawali Lubis, Faizah Zatul Hilmi dan semua Sahabat yang tidak bisa

disebutkan satu persatu selalu memberikan bantuan dan motivasi,

10. Para teman-teman Alumni 2010 Pondok Modren Gontor, para Sahabat

Sahabati PMII, Semua teman-teman dosen alumni Kahfi BBC Motivator

School, teman-teman di Komunitas TI (Tim Ilustrasi), LBS Indonesia,

IKPM Bekasi, Konsulat Bekasi, Guru-guru Pramuka di SD AL- Azhar

Jagakarsa, Rakkay Bagero yang turut memberikan motivasi dan ilmu yang

bermanfaat dalam membantu menyelesaikan skripsi.

11. Teman-teman Hukum Keluarga angkatan 2012 yang memberikan saran

dan motivasi dalam menyelesaikan penulisan skripsi.

12. Dan untuk yang selalu menjadi inspirasi saya K.H. Hasan Abdullah Sahal,

K.H. Abdullah Syukri Zarkasyih, K.H. Samsul Hadi Abdan, Dr.Hj.

Mesraini, M.Ag, Tubagus Wahyudy, ST, MSI, MCHt, CHI

13. Dan semua pihak yang telah membantu memberikan kontribusi terhadap

penyelesain skripsi ini dan tiak dapat disebutkan satu persatu namun tidak

mengurangi rasa hormat penulis. Terimakasih dan semoga masukkan dan

bantuannya di catat oleh Allah sebagai pahala disisi-Nya. Amiin. Dan

semoga bermanfaat bagi semuanya, Amiin.

Jakarta, 4 Oktober 2016

(9)

x

DAFTAR ISI

HALAMAN JUDUL ... i

HALAMAN PERSETUJUAN PEMBIMBING ... ii

SURAT PENGESAHAN PANITIA UJIAN ... iii

LEMBAR PERNYATAAN ... iv

ABSTRAK ... v

KATA PENGANTAR ... vi

DAFTAR ISI ... x

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah ... 1

B. Identifikasi Masalah ... 10

C. Pembatasan Masalah dan Perumusan Masalah ... 10

D. Tujuan dan Manfaat Penelitian ... 11

E. Review Studi Terdahulu ... 13

F. Metode Penelitian dan Tehnik Penulisan ... 14

G. Sistematika Penulisan ... 15

BAB II PEMBENTUKAN HUKUM KELUARGA DI INDONESIA, MALAYSIA, DAN NEGARA BRUNEI DARUSSALAM A. Hukum Keluarga Islam di Indonesia ... 17

(10)

xi

2. Hukum keluarga Islam dalam peraturan Perundang-

undangan di Negara Indonesia ... 21

B. Hukum Keluarga Islam Malaysia ... 24

1. Pembentukan Hukum Keluarga Islam ... 24

2. Hukum Keluarga Islam dalam peraturan Perundang-

undangan di Malaysia ... 26

C. Hukum Keluarga Islam Negara Brunei Darussalam...28

1. Pembentukan Hukum Keluarga Islam ... 28

2. Hukum Keluarga Islam dalam peraturan

Perundang-undangan di Negara Brunei Darussalam ... 28

BAB III KETENTUAN POLIGAMI DAN PENCATATAN

PERKAWINAN

A. Pencatatan Perkawinan dan Poligami dalam Fiqih konven-

Sional ... 32

1. Pencatatan Perkawinan ... 32

2. Poligami ... 33

B. Pencatatan Perkawinan dan Poligami dalam Perundang-

undangan di Indonesia ... 39

1. Pencatatan Perkawinan ... 39

2. Poligami ... 42

C. Pencatatan Perkawinan dan Poligami dalam Perundang-

(11)

xii

1. Pencatatan Perkawinan ... 46

2. Poligami ... 47

D. Pencatatan Perkawinan dan Poligami dalam Perundang- undangan di Negara Brunei Darussalam ... 49

1. Pencatatan Perkawinan ... 49

2. Poligami ... 51

BAB IV ANALISIS SANKSI PENCATATAN PERKAWINAN DAN POLIGAMI DI INDONESIA, MALAYSIA, DAN NEGARA BRUNEI DARUSSALAM A. Sanksi Pencatatan Perkawinan dan Poligami di Indonesia, Malaysia, dan Negara Brunei Darussalam ... 53

1. Indonesia ... 53

2. Malaysia ... 56

3. Negara Brunei Darussalam ... 58

B. Perbandingan Vertikal dan Diagonal Sanksi Pencatatan Perkawinan dan Poligami di Indonesia, Malaysia, dan Negara Brunei Darussalam ... 60

1. Indonesia ... 60

a. Perkawinan : Fikih, Perundang-undangan Indonesia dan Nasional ... 62

b. Pencatatan Perkawinan ... 63

c. Poligami ... 65

(12)

xiii

a. Peranan Maslahat dalam Hukum Islam ... 68

3. Negara Brunei Darussalam ... 68

C. Prospek Hukum Keluarga di Indonesia, Malaysia, Negara Brunei Darussalam ... 71

1. Indonesia ... 71

a. Situasi Hukum ... 73

b. Hukum Islam pada Zaman Ta’biin ... 74

c. Pemberlakuan dan Perkembangan Hukum Islam di Indonesia ... 77

2. Malaysia ... 77

a. Perkembangan Muktahir ... 78

3. Negara Brunei Darussalam ... 79

a. Undang-undang untuk orang Islam di Brunei ... 80

BAB V PENUTUP A. Kesimpulan ... 83

B. Saran ... 86

(13)

1

BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah

Perkawinan merupakan satu-satunya sarana yang sah untuk membangun

sebuah rumah tangga dan melahirkan keturunan, sejalan dengan fitrah

manusia. Kehidupan dan peradaban manusia tidak akan berlanjut tanpa adanya

kesinambungan perkawinan dari setiap generasi ummat manusia.1 Nikah adalah salah satu sendi pokok pergaulan bermasyarakat. Oleh karena itu,

agama memerintahkan kepada ummat-Nya untuk melangsungkan pernikahan

bagi yang sudah mampu, sehingga malapetaka yang diakibatkan oleh

perbuatan terlarang dapat dihindari.2

Pernikahan seperti pada Undang-Undang Pasal (1) bab I tentang

perkawinan adalah: “ikatan lahir batin antara seorang pria dengan seorang

wanita sebagai suami isteri dengan tujuan membentuk keluarga (rumah

tangga) yang bahagia dan kekal berdasarkan KetuhananYang Maha Esa”.

Pernikahan bertujuan mendirikan keluarga yang harmonis dan sejahtera,

artinya terciptanya ketenangan lahir dan batin disebabkan terpenuhinya

keperluan hidup lahir dan batinnya, sehingga timbullah kebahagiaan, yakni

kasih sayang antara anggota keluarganya.3

1

Hasbi Indra,Potret Wanita Shalehah,(Jakarta: Penamadani, 2004), h. 61.

2

Asrorun Ni’am Sholeh, Fatwa-Fatwa Masalah Pernikahan dan Keluarga, (Jakarta: elsas,

2008), h. 4.

3

(14)

Melaksanakan perkawinan, lebih dahulu harus sesuai dengan ketentuan

peraturan perundang-undangan seperti rukun nikah, apabila rukunnya tidak

lengkap maka perkawinan itu tidak sah. Adapun rukun nikah terdiri atas: calon

suami, calon isteri, wali, dua orang saksi, dan ijab qabul.4

Diatas sudah di jelaskan macam-macam rukun pernikahan, namun yang

akan penulis akan bahas adalah tetang sanksi dalam hukum keluarga. Para

kaum Muslim di tanah air, memposisikan hukum Islam di atas segala norma

nilai yang ada di sekelilingnya, posisi istimewa hukum Islam itu bertahan

dalam rentang waktu yang cukup panjang. Dari mulai kerajaan Islam, yang

diperankan oleh otoritas kerajaan, kemudia berada dalam tarik-ulur

kepentingan kekuasaan penjajah Belanda, dan terakhir masa kemerdekaan,

sampai lahirnya UU No. 1/ 1974 tentang Perkawinan. Dari rentang waktu

implementasi hukum perkawinan Indonesia itu menekankan “jaminan hukum”

atas status hubungan suami istri, jaminan hukum itu, bisa berupa ikatan yang

dianggap sah karena sebuah ijab-qobul, yang dilakukan oleh mempelai pria,

wali dan di hadapan saksi, meski tanpa pencatatan. Dan pada masa kelahiran

UU No. 1/ 1974, “jaminan hukum” itu ditegaskan dengan pencatatan. Ini

mempuyai implikasi hukum, khususnya, hukum perdata. Selain itu, hukum

perkawinan termasuk hukum yang paling sering bersentuhan dengan “rasa

keadilan” di dalam masyarakat Muslim Indonesia, pasalnya dengan hukum

perkawinan struktur sosial akan menjadi kuat dan matang ini karena keluarga

sebagai unit terkecil dan paling penting dalam masyarakat, lahir dan tiada

4

(15)

3

karena sebuah perkawinan. Dan dengan hukum perkawinan pula, banyak

terjadi asimilasi budaya di beberapa sudut tanah air, bahkan antara negara5. RUU tentang perkawinan mengatur ketentuan-ketentuan pokok

perkawinan yang bersifat nasional, tidak membedakan golongan atau suku

bangsa. Sementara RUU perkawinan umat Islam ditarik dari pengusulan. RRU

tersebut menarik perhatian masyarakat luas, terutama umat Islam. Seluruh

lapisan masyarakat terpanggil minatnya untuk memperhatikan RUU itu

dianggap bertentangan dengan ajaran Islam. Menurut Taufik Abdullah, materi

RUU perkawinan yang diajukan pemerintah menyinggung “wilayah sakral”

agama yang begitu dijaga dengan ketat oleh pemeluknya [Taufik

Abdullah:1987]. Oleh karena itu, begitu naskah RUU perkawinan disampaikan

oleh pemerintah kepada DPR, belum lagi pemerintah menyampaikan

keterangan secara resmi pada sidang pleno DPR, reaksi terhadap RUU itu

sudah meletus dikalangan masyarakat. Mulanya riakan hanya DPR kemudian

merembes keluar, karena selembaran itu sudah terlebih dahulu didapatkan oleh

anggota DPR. Ini ditangkap dan digaungkan lagi oleh para ulama dan

mubaliq, dipublikasikan oleh media yang memungkinkan melalui dakwah,

khutbah-khutbah di masjid, ,maupun di media cetak6.

Satu tahun Indonesia merdeka, pembina’an Pengadilan Agama yang

semula berada dalam Kementerian Kehakiman diserahkan kepada

Kementerian Agama melalui peraturan pemerintah NO. 5 /SD/1946.

5

Yayan Sopyan,Islam Negara Transformasi Hukum Perkawinan Islam dalam Hukum Nasiaonal, (Jakarta Selatan: RMBooks, 2012) h. 78

6

(16)

Kemudian dengan Undang-Undang No. 19 tahun 1948, Pengadilan Agama

dimasukkan ke Pengadilan Umum. Namun menurut Hardi Djenawi Taher,

karena Undang-Undang tersebutn tidak sesuai dengan kesadaran hukum

masyarakat Indonesia sendiri, maka tidak pernah dinyatakan berlaku. Pada

perkembangan selanjutnya, berdasarkan Undang-Undang Darurat (UUDr) No.

1 Th. 1951, pemerintah menegaskan pendirianya untuk mempertahankan

Peradilan Agama, menghapus pengadilan Swapraja dan Peradilan Adat.

Sebagai pelaksanaan dari UUDr tersebut, kemudian pemerintah mengeluarkan

Peraturan Pemerintah No. 45 Tahun 1957 yang mengatur Pembentukan

Peradila Agama di luar Jawa Madura dan Klaimantan Selatan7.

Poligami adalah sebuah istilah dan sebuah realitas banyak manusia yang

terjebak dalam dialog dan perdebatan yang panjang mengenai poligami. Jika

dikaji pemicunya bukan karena pengaruh ketidak jelasan dalil-dalilnya

melainkan lebih banyak dipengaruhi oleh kepentingan para pihak yang

terlibat, dan buruknya dampak poligami yang dilakuan oleh kebanyakan

manusia. Dalam praktek poligami banyak contoh buruk dan merupakan relitas

poligami. Realitas seperti itu muncul dimana-mana. Persoalanya adalah

poligami yang dilaksanakan tidak sesuai dengan semangat dan tanggung

jawab yang seharusnya dimiliki oleh semua pihak yang berkepentingan.

Dengan kata lain poligami dilaksanakan tanpa peduli dengan syariatnya yang

7

(17)

5

telah mengaturnya, seakan mereka lupa bahwa poligami pada saatnya juga

akan dipertanggung jawabkan dihadapan Allah SWT8.

Di Indonesia melakukan poligami harus menempuh syarat-syarat dan

mekanisme yang harus dijalani, seperti yang tertera dalam Undang-Undang

Perkawinan No.1 Th 1974 BAB I Pasal : 4 yang berbunyi :

1. Dalam hal seorang suami akan beristri lebih seorang sebagaimana

tersebut tersebut dalam Pasal 3 ayat (2) Undang-undang ini, maka

ia wajib mengajukan permohonan kepada Pengadilan di daerah

tempat tinggalnya.

2. Pengadilan dimaksud dalam ayat (1) pasal ini hanya memberikan

izin kepada seorang suami yang akan beristri lebih dari seorang

apabila :

a. Istri tidak dapat menjalankan kewajibanya sebagai istri

b. Istri mendapat cacat badan atau penyakit yang tidak dapat

disembuhkan

c. Istri tidak dapat melahirkan keturunan

Dan di Indonesia jika ingin melakukan pernikahan juga harus di catat supaya

sah di mata hukum, seperti yang tertera dalam Undang-undang Perkawinan No.

1 Th 1974 BAB I Pasal 2 ayat (2) yang berbunyi : ‘Tiap-tiap perkawinan

dicatat menurut peraturan perundang-undanan yangberlaku’.

88

(18)

Dari 2 ketentuan di atas tentang Poligami dan Pencatatan Nikah, dalam

Undang-undang perkawinan belum ada sanksi yang tegas yang tertera dalam

Undang-Undang.

Pada tahun 1957, ketika Undang-Undang persekutuan Malaysia di

Bicarakan menjelang kemerdekaan Malaysia, didalam draf rancangan

Undang-Undang tersebut tidak dicantumkan bahwa agama Islam adalah agama

persekutuan. Hakim Abdul Hamid salah seorang anggota sidang mengajukan

usulan agar agama Islam menjadi agama Negara, akan tetapi hasil akhir dari

pembahasan Undang-Undang tersebut tidak menyetujui usulan tersebut, juga

tidak disebutkan persekutuan Malaysia sebagai sebuah negara sekuler. Namum

melalui pertarungan yang cukup lama, akhirnya pengakuan atas Islam sebagai

agama resmi persekutuan dan hak menjalankan hukum Islam diakui dalam

Konstitusi Malaysia merdeka.

Malaysia merupakan yang mempunyai dua jenis undang-undang, yaitu :

Undang-undang Syariah dan Undang-undang sipil. Menurut Ahmad Ibrahim,

perubahan Undang-Undang pada awal kemerdekaan lebih banyak menyangkut

pengadministrasian, yurisdiksi dan kekuasaan pengadilan syariah9. Sebelum datang Inggris, Undang-Undang yang dilaksanakan di Negara

Brunei Darussalam ialah Undang-Undang Islam yang telah dikanunkan dengan

Hukum Kanun Brunei.Hukum Kanun Brunei tersebut sudah ditulis pada masa

pemerintahan Sultan Hasan (1605-1619 M) yang disempurnakan oelh Sultan

Jabbar (1619-1652 M). Pada tahun 1847 Inggris mulai mencampuri urusan

9

(19)

7

bidang kekuasaan Mahkamah Kesultanan Brunei karena itu pada tahun inilah

hubungan resmi dengan Inggris dimulai. Pemerintahan Inggris di Brunei

semakin jauh mencampuri urusan Hukum Brunei setelah diadakan perjanjian

tahun 185610.

Undang Keluarga Islam Brunei yang terdapat dalam

Undang-undang Majlis Ugama Islam dan Mahkamah kadi penggal 77 bentuk dan

kandunganya masih sama dengan Undang-undang Majlis Ugama Islam, Adat

Negeri dan Mahkamah Kadi No. 20/1955. Dalam Undang-undang tersebut

masalah hukum keluarga Islam diatur hanya 29 bab, yaitu dibawah aturan:

Marriage and Maintenance of Dependentdi bagian VII yang dimulai dari pasal

157 sampai 16311.

Indonesia pun mempunyai sejarah yang berbeda dengan Malaysia dan

Negara Brunei Darussalam, terlepas dari perkembangan sejarah

Undang-Undang di Indonesia terutama Undang-Undang-Undang-Undang Perkawinan, selain pada itu,

keberhasilan umat Islam Indonesia dalam menggolkan RUU PA menjadi

Undang-Undang Peradilan Agama No. 7 Tahun 1989, tidaklah berarti semua

persoalan yang berkaitan dengan implementasi hukum Islam di Indonesia

menjadi selesai. Ternyata persoalan krusial yang dihadapi adalah menempatkan

persoalan yang mereka hadapi.

Adalah gagasan Bustanul Arifin seorang Hakim Agung tampil dengan

gagasan perlunya membuat kompilasi hukum Islam. Gagasan tersebut

10

M. Atho Mudzar,Hukum Keluarga di Dunia Islam Modren,(Jakarta Selatan: Ciputat Press, 2003) h. 178

11

(20)

disepakati dan dibetuklah tim pelaksana proyek dengan surat keputusan

bersama (SKB) ketua mahkamah Agung RI dan Mentri Agama RI No.

07/KMA/1985. Dengan kerja keras anggota tim dan ulama-ulama, cendikiawan

yang terlibat didalamnya maka merumuskan KHI yang ditindak lanjuti dengan

keluarnya Intruksi Presiden No. 1 Tahun 1991 kepada Menteri Agama untuk

menyebarluaskan Kompilasi Hukum Islam yang terdiri dari beberapa Buku12. Poligami merupakan satu persoalan dalam perkawinan yang paling banyak

di bicarakan sekaligus kontroversial. Satu sisi poligami ditolak dengan

berbagai macam argumentasi baik yang bersifat normatif, psikologi bahkan

selalu dikaitkan dengan ketidak adilan gender. Bahkan penulis barat sering

mengklaim bahawa poligami adalah bukti ajaran Islam didalam bidang

perkawinan sangat diskriminatif terhadap perempuan. Pada sisi lain,poligami di

kampanyekan karena dianggap memiliki sandaran normatif yang tegas dan

dipandang sebagai salah satu alternatif untuk menyelesaikan selingkuh dan

prostitusi13.

Dan dalam penikahan harus juga melakukan Pencatatan Nikah yang di

lakukan di depan pegawa pencatat nikah, dalam hal ini sebagain syarat

Administrasi dalam perakwinan dan sebagai mempermudah dalam hal-hal

mengurus surat-menyurat dalam Administrasi, karena sekrang banyak seklai

yang melakukan perkawinan tanpa melakukan pencatatan perkawinan

fenomena ini bisa dibilang nikah sirih atau nikah dibawah tangan, dalam hal ini

12

Azhar Manan,Aneka Masalah Hukum Perdata Islam di Indonesia, (Jakarta: Kencana Prenada Group, 2008) h. 29-31

13

(21)

9

menurut Agama sah Perkawinannya namun dalam ranah hukum tidak sah

karena tidak melakukan pencatatan.

Untuk itu perlu adanya perlindungan terhadap nasib perempuan dari

perbuatan dan perlakuan yang semena-mena dari kaum laki-laki. Dan yang

mendasari lahirnya Undang-Undang perkawinan adalah masalah perlindungan

terhadap nasib kaum hawa ini14.

Indonesia, Malaysia, dan Negara Brunei Darussalam mempunyai banyak

kesamaan dari persamaan kultur sama-sama bangsa Melayu, terletak di daratan

Asia Tenggara. Tetapi dalam hal peraturan perundang-undangan khususnya

perundang-undangan hukum keluarga dan beberapa hal yang berbeda termasuk

dalam hukum materinya hal poligami dan pencatatan perkawinan dalam hal

sanksinya.

Bedasarkan uraian diatas, maka penulis bermasuk untuk mengangkat topik

tersebut dalam sebuah karya tulis yang berjudul “Sanksi Pelanggaran

Terhadap Aturan Poligami dan Pencatatan Perkawinan di Indonesia,

Malaysia, dan Negara Brunei Darussalam”

14

(22)

B. Identifikasi Masalah

Dari latar belakang masalah di atas penulis mendapatkan identifikasi

masalah sebagai berikut :

1. Apa yang membedakan Hukum Keluarga Islam Indonesia,

Malaysia, dan Negara Brunei Darussalam ?

2. Faktor apa saja yang melatar belakangi perbedaan Hukum

Keluarga Islam Indonesia, Malaysia, dan Negara Brunei

Darussalam ?

C. Pembatasan Masalah dan Perumusan Masalah

1. Pembatasan Masalah

Berdirinya sebuah negara, mensyaratkan pentingnya sebuah

perundang-undangan, karena peraturan perundang-undanganlah sebab

negara dapat berjalan dijalan yang baik.

Malaysia sebagai Negara Federasi yang mempunyai beberapa

wilayah bagian negara, tentulah setiap Undang-Undang keluarga Islam

berbeda, mesti dibawah naungan Mahkamah Syariah. Negara Brunei

Darussalam pun pasti mempunyai perundang-undangan keluarganya

sendiri sebagai pengatur dalam negaranya sendiri, dan Indonesia yang kini

mempunyai Undang-Undang Perkawinan yang mengatur masalah

Perkawinan semua warga negara Indonesia dan Kompilasi Hukum Islam

yang menjadi Kitab Rujukan para Hakim Agama mengambil suatu

(23)

11

Mengingat akan uraian di atas tentang keluarga Islam Indonesia, Malaysia,

dan Negara Brunei Darussalam yang memunyai aturan-aturan Hukum

Keluarga yang berbeda-beda, maka penulis membatasi masalah pada

skripsi ini yaitu tetang aturan Poligami dan Pencatatan Perkawinan dalam

Undang-Undang Keluarga Islam.

1. Perumusan Masalah

Selanjutnya untuk mempermudah pembahasan, maka hal tersebut dapat di

rumuskan permasalahannya sebagai berikut :

1. Bagaimana aturan Poligami dan Pencatatan Perkawinan di

Indonesia, Malaysia, dan Negara Brunei Darussalam ?

2. Apa perbedaan dan perasamaan aturan atau sanksi dalam

Poligami dan Pencatatan Perkawinan di Indonesia, Malaysia,

danNegara Brunei Darussalam ?

3. Faktor apa saja yang mempengaruhi perbedaan aturan atau

sangsi Poligami dan Pencatatan Perkawinan di Indonesia,

Malaysia, dan Negara Brunei Darussalam ?

D. Tujuan dan Manfaat Penelitian

1. Tujuan penelitian

Di sesuaikan dengan Rumusan penelitian, maka tujuan dari penelitian

ini yaitu:

1. Untuk mengetahui apa saja sanksi dalam aturan poligami dan

pencatatan perkawinan dalam hukum keluarga Islam Indonesia,

(24)

2. Untuk mengetahui apa saja perbedaan dan persamaan

Undang-undang Keluarga Islam di Indonesia, Malaysia, dan Negara Brunei

Darussalam.

3. Untuk mengetahui faktor apa saja yang mempengaruhi perbedaan

sangsi dalam aturan poligami dan pencatatan perkawinan di

Indonesia, Malaysia, dan Negara Brunei Darussalam.

2. Manfaat

Adapun manfaat dari penelitian ini dapat digunakan untuk beberapa

hal :

1. Sebagai input atau referensi bagi mahasiswa Fakultas Syariah dan

Hukum Khususnya Studi Hukum Keluarga, untuk mengetahu

beberapa perbedaan sanksi dalam aturan poligami dan pencatatan

perkawinan di Indonesia, Malaysia, dan Negara Brunei

Darussalam.

2. Bagi kalangan civitas akademisi, diharapkan penelitian akan

menambah khazanah keilmuan yang ada di Syariah dan Hukum

dan Universitas Islam Negri Syarif Hidayatullah Jakarta.

3. Bagi masyarakat pada umunya, penelitian ini dapat menjadi

wawasan baru dan ilmu pengetahuan baru tentang sangsi dalam

aturan poligami dana pencatatan nikah di berbagai negara

(25)

13

E. Review studi terdahulu

Dalam penulisan skripsi ini penulis juga meruuk kepada

skripsi-skripsi yang sudah terdahulu dengan subtansi pembahasan yang tentu

berbeda, diantaranya sebagi berikut :

Skripsi, Pencatatan Nikah Beda Agama di kantor Urusan Agama (KUA)

studi kasus KUA Kecamatan Cilandak, ditulis oleh Aqib Maimun Tahun

2010, pembahasan pada skripsi ini lebih memfokuskan kepada analisis

penetapan akta nikah pernikahan beda agama di KUA Kecamatan

Cilandak dan tidak menyinggung sama sekali tentang biaya pencatatan

nikah serta regulasinya.

Skripsi, Undang-undang Syariah dan Undang-undang Sipil di

Malaysia suatu perbandingan (studi perbandingan kewenangan Mahkamah

Syariah dan Mahakamah Sipil di Malaysia), ditulis oleh Aminudin Ramli

Tahun 2008. Pembahasanya menjelaskan tentang perbedaan-perbedaan

antara kewenangan Mahkamah Syariah dan Mahkamah Sipil di Malaysia

serta kedudukan antara kedua mahkamah tersebut.

Skripsi, Efektivitas Peraturan Menteri Agama (PMA) No.11 Tahun

2007 Tentang Pencatatan Nikah di KUA Kecamatan Sukakarya Bekasi, di

tulis oleh Muhammad Muhiddin Tahun 2011, Skripsi ini mengungkap

tentang efektivitas PMA tentang pencatatn nikah serta konsep-konsep

(26)

F. Metode penelitian dan Teknik Penulisan

1. Jenis penelitian

Dalam penulisan ini, penulisan menggunakan metode penelitian

normatif, pada penelitian hukum normatif, peraturan

Perundang-undangan yang menjadi objek penelitian menjadi sumber data primer

dalam penelitian yang dilakukan. Dalam penelitian hukum tertulis

yang dilakukan peneliti adalah melakuan, pengumpulan bahan-bahan

baik yang terpublikasi atau tidak berkenaan dengan bahan hukum

positif yang dikaji. Dalam penulisan skripsi ini, ini penulis lebih

memeilih studi kepustakaan. Penulis mencari bahan-bahan tulisan yang

berhubungan dengan hukum keluarga Islam.

2. Sumber data

penulisan skripsi ini menggunakan dua sumber pokok dalam

mengumpulkan data, yakni sumber primer dan sumber sekunder.

Adapun rinci masing-masing sumber adalah :

a. Data primer disadarkan Undang-undang Hukum Keluarga Islam

Indonesia, Malaysia, dan Negara Brunei Darussalam.

b. Data skunder merupakan data pendukung dan sumber primer, yang

berasal dari kepustakaan, buku-buku maupun data tertulis yang ada

(27)

15

1. Tehnik pengumpulan data

Tehnik pengumpulan data pada penelitian ini didasarkan

pada riset pustaka (Library Research) yakni proses

pengendifikasian secara sistematis penemuan-penemuan dan

analisis dokumen-dokumen yang membuat informasi diperoleh

bahan-bahan yang ada di perpustakaan, baik berupa arsip,

dokumen, majalah maupun lainya.

2. Tehnik Analisis data

Analisis yang digunakan dalam penelitian ini adalah

analisis isi (Content Analisis) yaitu penguraian data melalui

katagorisasi, perbandingan dan pencarian sebab akibat baik

menggunakan analisis induktif maupun deduktif.

3. Teknik penulisan

Teknik penulisan skripsi ini didasarkan pada buku pedoman

penulisan Skripsi Fakultas Syariah dan Hukum UIN Syarif

Hidayatullah Jakarta Tahun 2015.

G. Sistematika Penulisan

Untuk mempermudah dan mendapatkan gambaran tentang

kerangka dan alur penulisan Skripsi ini, serta apa saja yang nanti akan di

bahas dalam Skripsi ini, maka penuis akan mengurai sistematika penulisan

skripsi ini sebagai berikut :

Pada bab pendahuluan akan di uraikan latar belakang penulisan

(28)

berurutan penjelasan serta pembatasan dan rumusan masalah, tujuan dan

manfaat penelitian, review sudi terdahulu, metode penelitian, dan teknik

penulisan serta di tutup dengan sistematika penulisan ini.

Bab kedua dibahas tentang pembentukan hukum keluarga Islam

dan pembentukan hukum keluarga di Indonesia, Malaysia, Negara Brunei

Darussalam.

Sedangkan di Bab ke tiga ini berisi tentang bagaimana pencatatan

nikah dan poligami dalam Fiqih Konvensional dan pencatatan nikah dalam

per undang-undangan di Indonesia, Malaysia, Negara Brunei Darussalam.

Dalam Bab ke IV ini berisi tentang sanksi pencatatan nikah dan

poligami di Indonesia, Malaysia, Negara Brunei Darussalamkemudian

perbandingan Vertikal dan Diagonal sanksi pencatatan nikah dan poligami

di Indonesia, Malaysia, dan Negara Brunei Darussalam dan prospek

Hukum Keluarga di Indonesia, Malaysia, dan Negara Brunei Darussalam.

Pada bab terkahir akan disampaikan beberapa kesimpulan guna

menjawab beberapa pertanyaan yang mendasar dari permasalahan yang

ada di dalam skripsis ini. Tidak lupa pula penulis akan memberikan

beberapa saran-saran yang di perlukan sebagai catatan atas permasalahan

(29)

17

BAB II

PEMBENTUKAN HUKUM KELUARGA DI INDONESIA, MALAYSIA,

NEGARA BRUNEI DARUSSALAM

A. Hukum keluarga Islam di Indonesia

1. Pembentukan Hukum Keluarga Islam

Para kaum Muslim di tanah air, memposisikan hukum Islam di atas segala

norma nilai yang ada di sekelilingnya. Posisi istimewa hukum islam itu,

bertahan di dalam rentang waktu cukup panjang. Dari mulai kerjaan Islam,

yang diperankan oleh otoritas kerajaan, kemudian berada dalam tarik-ulur

kepentingan kekuasaan penjajah Belanda, dan terakhir masa kemerdekaan,

sampai lahirnya UU No. 1/1974 Tentang Perkawinan1.

Selain itu, hukum perkawinan termasuk hukum yang paling sering

bersentuhan dengan “rasa keadilan” di dalam masyarakat muslim Indonesia.

Pasalnya, dengan hukum perkawinan struktur sosial akan menjadi kuat dan

matang. Ini karena, keluarga sebagai unit terkecil dan paling penting dalam

masyarakat, lahir dan tiada karena sebuah perkawinan. Dan, dengan hukum

perkawinan pula, banyak terjadi asimilasi budaya di beberapa sudut tanah air,

bahkan antara negara2.

Setidaknya, pemberlakuan hukum Islam ini untuk dirinya sendiri seperti

hukum shalat, puasa, dan hukum makanan/minuman. Ketika orang Islam

1

Yayan Sopyan, Islam Negara Transpormasi Hukum Perkawinan Islam dalam Hukum, (Jakarta: RMBooks, 2012) h. 77

2

(30)

berkumpul dalam satu komunitas, maka biasanya ada seseorang yang ditugasi

untuk menyelesaikan persengketaan yang muncul di kalangan mereka. Dan

penyelesaian perkara masih dengan cara yang sederhana yaitu melalui hakam.

Secara kelembagaan, lembaga tahkim ini merupakan lembaga yang kali

pertama muncul di Indonesia. Dari lembaga tahkim kemudian diikuti dengan

lembaga ahl al-hilli wa al-aqd dalam bentuk peradilan adat, di mana para

hakim diangkat oleh rapat marga, nagari dan semacamnya. Setelah

terbentuknya kerajaan-kerajaan Islam di Nusantara, lembaga ini berubah

menjadi Peradilan Swapraja, yang kemudian berubah lagi menjadi Peradilan

Agama. Sedangkan bentuk dari lembaga perdilan ini disetiap daerah di

nusantara ini masing-masing berbeda3.

Sebelum Indonesia merdeka, hukum tertulis mengenai perkawinan bagi

golongan-golongan tertentu sudah ada. Yang jadi masalah adalah bagai warga

bumipuetra yang beragama Islam, tidak adanya aturan tersendiri yang

mengatur perkawinan, dan tidak ada UU tersendiri yang dapat dijadikan

patokan dalam pelaksanaan akad nikah perkawinanya. Masa awal

kemerdekaan, keinginan membuat hukum dan peraturan perundang-undangan

yang berciri khas ke-Indonesiaan tetap ada. Undang-Undang ini hanya berlaku

untuk Jawa dan Madura. Uniknya, justru UU inilah yang pertama kali dibuat

3

(31)

19

oleh bangsa Indonesia. Sayangnya UU perkawinan ini hanya berlaku untuk

wilayah Jawa dan Madura saja4.

Sebelum melangkah lebih jauh melihat proses munculnya Undang-undang

perkawinan ini, terlebih dahulu dikemukakan bagaimana tuntutan dibuatnya

Undang-undang perkawinan ini yang sejatinya telah ada sejak awal

kemerdekaan, sehingga dalam kerangka ini dapat dilihat bahwa

Undang-undang perkawinan yang disahkan oleh Orde Baru adalah kelanjutan dari

proses pembentukanya pada masa Orde Lama yang tidak mendapat hasil yang

signifikan5.

Ketidakpuasaan masyarakat atau perempuan secara lebih khusus ini

mendorong beberapa pihak tetap mendesak pemerintah untuk mengeluarkan

peraturan yang baru. Desakan-desakan yang diantaranya datang dari fraksi

Wanita di Parlemen direspon oleh Pemerintah, dalam dalam hal ini Mentri

Agama, dengan membentuk panitaia Penyelidik Pertauran Hukum

Perkawinan, Talak, dan Rujuk (NTR) yang bertugas meninjau RUU yang

selaras dengan keadaan zaman. Dari segala usul dan masukan, akhirnya

panitia ini berhasil membentuk suatu peraturan perkawinan yang mengatur

seluruh warga Indonesia, dengan tidak membedakan golongan, agama, ras,

suku bangsa, dan sesuai dengan pancasila. Selain itu, panitia ini juga

bermaksud menyusun peraturan khusus yang mengatur perkawinan yang tidak

tercakup dalam peraturan ini. Unifikasi ini dilakukan dengan mengambil

4

Yayan Sopyan, Islam Negara Transpormasi Hukum Perkawinan Islam dalam Hukum Nasional, (Jakarta: RMBooks, 2012) h. 82

5

(32)

peraturan-peraturan yang telah ada dan berserakan sejak zaman kolonial,

termasuk pula didalamnya hukum-hukum yang berlaku dalam hukum adat6. Ketika RUU yang disusun oleh panitai NTR ini telah selesai, pada Agustus

1945 ternyata Pemerintah hanya mengumumkan kepada parlemen tentang

dirumuskanya kembali UU No. 22 Tahun 1946 tentang Pencatatan Nikah,

Talak, dan Rujuk sehingga hal ini mengundang raeksi dari fron Wanita di

Parlemen. Apabila ditarik dari garis politik, adanya dua RUU ini adalah

karena adanya perpecahan antara dua kubu yang berkepentingan, yaitu dua

partai besar yang menduduki kabinet : PNI dan NU. Apabila diteliti secara

historis, pergumulan tersebut telah terjadi sejak lama, setidaknya ketika

Indonesia baru terbentuk. Pada masa penjajahan, pertentangan ini seolah

hilang karena adanya common enemy, tapi tidak sedamai itu ketika Indonesia

telah merdeka, kelompok-kelompok tersebut menjadi gerakan politik yang

masif dan saling memengaruhi7.

RUU tentang Perkawinan mengatur ketentuan-ketentuan pokok

perkawinan yang bersifat nasional, tidak membedakan golongan atau suku

bangsa. Sementara RUU perkawinan umat Islam ditarik dari pengusulan. DPR

yang akan membahas RUU tersebut merupakan DPR yang terpilih dari hasil

pemilu 1971. RUU tersebut menarik perhatian masyarakat luas, terutama umat

Islam. Seluruh lapisan masyarakat terpanggil minatnya untuk memperhatikan

RUU tersebut karena ternyata banyak materi RUU perkawinan yang diajukan

6

Ahmad Tholabi Kharlie, Hukum Keluarga Indonesia,(Jakarta: Sinar Grafika, 2013) h. 158

7

(33)

21

pemerintah itu menyinggung wilayah sakral agama yang begitu dijaga ketat

oleh pemeluknya.

2. Hukum keluarga Islam dalam peraturan Perundang-undangan di

Negara Indonesia

Pasal 2 ayat 1 perkawinan adalah sah apabila dilakukan dihadapan

pegawai pencatat perkawinan. Pasal 3 ayat 2 pengadilan dalam lingkungan

peradilan umum selanjutnya dalam UU ini disebut pengadilan, dapat memberi

izin kepada seorang suami untuk beristeri lebih dari satu tanpa adanya batasan

jumlah istri. Pasal 7 ayat 1 perkawinan hanya diizinkan jika para pihak pria

sudah mencapai umur 21 tahun dan pihak wanita umur 18 tahun. Pasal 8

tentang larangan perkawinan dengan anak adopsi. Pasal 10 ayat 2 apabila

suami dan isteri telah bercerai untuk yang ke dua kalinya maka di antara

mereka tidak boleh melangsungkan perkawinan lagi. Pasal 11 ayat 2

perbedaan agama/kepecayaan tidak merupakan penghalang perkawinan. Pasal

12 bagi janda ditetapkan jangka waktu 306 hari. Pasal 13 ayat 2 bila

pertunangan itu mengakibatkan kehamilan maka pihak pria diharuskan kawin

dengan wanita itu jika disetujui oleh pihak wanita. (Pasal ini seolah olah

melegitimasi perzinahan). Pasal 37 (1) harta benda yang diperoleh selama

perkawinan menjadi milik bersama. Pasal 39 apabila pasangan bercerai maka,

harta benda dibagi sama antara bekas suami-istri. Pasal 46 poin c bekas suami

wajib memberikan biaya penghidupan kepada bekas istri selama ia masih

hidup dan belum kawin lagi. Pasal 49 anak yang dilahirkan di luar perkawinan

(34)

mengakibatkan putusnya hubungan keluarga antara anak yang diangkat

dengan keluarganya sedarah, semenda garis ke atas dan ke samping8.

Dengan berlakunya Undang-Undang Nomor 1 tahun 1974, maka

ketentuan perkawinan yang diatur di Burgerlijk Wetboek (Kitab

Undang-Undang Hukum Perdata) tidak berlaku lagi. Hal ini berarti Undang-Undang-Undanng

Perkawinan akan menjadi sumber pokok bagi peraturan hukum perkawinan,

perceraian, dan rujuk yang berlaku bagi semua Warga Negara Indonesia9. Karena belum ada kompilasi di Indonesia, dalam praktik sering dijumpai

adanya keputusan pengadilan agama yang tidak seragam padahal kasusnya

sama. Masalah fiqih yang semestinya membawa rahmat malah menjadi

perpecahan.

Akhirnya pada tanggal 10 Juni 1991 dibuatlah Kompilasi Hukum Islam

yang dikeluarkan dalam bentuk Instruksi Presiden Nomor 1 tahun 1991.

Instruksi itu dilaksanakan dengan keputusan Menteri Agama Nomor 154

tanggal 22 juli 1991. Yang bertujuan untuk meunifikasi Hukum Islam yang

masih berserakan dalam berbagai kitab fiqih klasik, dan sebagai peraturan

khusus yang menjelaskan secara rinci bagaimana hukum perkawinan, wakaf,

warisan di Indonesia10.

Instruksi Presdien Nomor 1 tahun 1991 ini ditujukan kepada Menteri

Agama untuk menyebarluaskan Kompilasi Hukum Islam yang sudah

8

Yayan Sopyan, Islam-Negara Transformasi Hukum Perkawinan Islam dalam Hukum Nasional,(Jakarta: RMBooks, 2012)h. 102-103.

9

Usman Rachmadi, Aspek-Aspek Hukum Perorangan dan Kekeluargaan di Indonesia,

(Jakarta: Sinar Grafika, 2006) h. 242.

10

(35)

23

disepakati tersebut, sesuai dengan maksud penetapannya Instruksi Presiden

tersebut hanyalah mengatur tentang soal penyebarluasan Kompilasi Hukum

Islam yang telah diterima oleh para ulama dalam satu.

lokakarya nasional. Kompilasi ini dapat digunakan sebagai pedoman

dalam penyelesaian masalah-masalah di bidang perkawinan, waris dan wakaf.

Kedudukan KHI di sini hanyalah sebagai pedoman yang dipakai baik di

lingkungan Pengadilan Agama maupun warga masyarakat dalam bidang

hukum perkawinan, kewarisan, dan perwakafan.

Adapun hal-hal yang di atur dalam Hukum Keluarga yang tedapat dalam

Undang-undang No 1 Tahun 1974 tetang Perkawinan adalah :

a. Dasar Perkawinan yang diatur dalam pasal 1-5

b. Syarat-syarat Perkawinan yang diatur dalam pasal 6-12

c. Pencegahan Perkawinan yang diatur dalam pasal 13- 21

d. Batalnya Perkawinan yang diatur dalam pasal 22- 28

e. Perjanjian Perkawinan yang diatur dalam pasal 29

f. Hak dan kewajiban suami istri yang diatur dalam pasal 30- 34

g. Harta benda dalam perkawinan yang daitur dalam pasal 35-37

h. Putusnya perkawinan dan akibatnya yang diatur dalam pasal 38- 41

i. Kedudukan anak yang diatur dalam pasal 42-44

j. Hak dan kewajiban orang tua dan anak yang diatur dalam pasal 45- 49

k. Perwalian yang diatur dalam pasal 50- 54

(36)

B. HUKUM KELURAGA ISLAM MALAYSIA

1. Pembentukan hukum keluarga Islam

Malaysia merupakan Negara yang berbentuk fedral yang terdiri atas

beberapa negara bagian, yaitu: Johor, Kedah, Kelantan, Malaka, Negeri

Sembilan, Pahang, Perak, Perlis, Sabah, Sarawak, Selangor, dan Trengganu.

Agama yang diakui secara menyeluruh adalah Islam, meskipun eksistensi

agama lain masih dimungkinkan keberadaanya. Malaysia menggunakan

sistem hukum Inggris, meskipun Islam dan adat yang menjadi sumber

signifikan dalam hukum Nasional, terutama dalam hukum keluarga.

Sebelumnya Malaysia merupakan bagian dari Portugis dan Belanda, namun

pada 1942 kekuasaan protektorat Malaysia berpindah ke Inggris perjanjian

pada tahun 182411.

Ajaran Islam pada hakekatya terdiri dari dua ajaran pokok. Pertama ajaran

Islam yang bersifat absolut dan permanen. Kedua ajaran Islam yang bersifat

relatif dan tidak permanen, dapat berubah dan diubah-ubah. Termasuk

kelompok kedua ini adalah ajaran Islam yang dihasilkan melalui proses

ijtihad. Hal ini menunjukkan terbukanya peluang tentang kemungkinan

mengadakan perubahan dan pembaruan ajaran Islam yang bersifat relatif,

termasuk dalam bidang hukum. Hukum Islam dalam pengertian inilah yang

memberi kemungkinan epistimologi bahwa setiap wilayah yang dihuni umat

Islam dapat menerapkan hukum secara berbeda-beda. Kenyataan ini tercermin

pada kecenderungan sistem hukum di negara-negara Muslim dewasa ini. Hal

11

(37)

25

ini bukan saja karena sistem politik yang dianut, melainkan juga oleh faktor

sejarah, sosiologi dan kultur dari masin-masing negara tersebut. Penerapan

hukum Islam diberbagai negara yang berpenduduk Muslim mempunyai corak

serta sistem yang satu dengan yang lainnya saling berbeda. Di negara yang

mayoritas penduduknya beragam Islam berbeda nuansanya dengan negara

yang relatif berimbang antara setiap pemeluknya, misalnya negara tersebut

memiliki pluralitas agama, dominasi penguasa atau”political will” juga amat

berpengaruh terhadap kebijaksanaan hukum suatu negara. Karenanya

implementasi hukum Islam di negara-negara Muslim bukan hanya terletak

pada seberapa banyak penganut Islam tetapi juga ditentukan oleh sistem yang

dikembangkan oleh negara tersebut. Malaysia merupakan salah satu negara

yang mempunyai posisi cukup penting di dunia Islam karena kiprah

keIslamannya. Berbagai proses Islamisasi di negeri Jiran ini tentu tidak terjadi

begitu saja, melainkan didahului oleh pencarian dan pergulatan yang panjang,

meskipun penduduknya tidak sebanyak penduduk di Indonesia, bahkan

hampir separuh dari keseluruhan warganya adalah non Muslim yang

didominasi oleh etnik Cina dan India. Namun demikian Malaysia telah tampil

di pentas dunia internasional dengan nuansa serta simbol Islam yang begitu

melekat, termasuk dalam kebijakan perundang-undangan banyak diwarnai

oleh jiwa keIslaman12.

12

(38)

2. Hukum keluarga Islam dalam peraturan Perundang-undangan di

Negara Malaysia

Sebagai hukum yang hidup yang sesuai dalam kehidupan umat Islam,

maka hukum Islam telah menjadi bagian dari kehidupan umat, sehingga

hukum Islam tidak lagi dirasakan sebagai norma-norma hukum yang

dipaksakan dari luar diri masing-masing pemeluknya.

Jika diamati, maka implementasi hukum Islam di Malaysia, tampak dari

kodifikasi yang dilakukan yang telah melewati tiga fase, masing-masing

periode Melayu, penjajahan Inggris, serta fase kemerdekaan. Kodifikasi

hukum paling awal termuat dalam prasasti Trengganu yang di tulis dalam

aksara Jawi, memuat daftar singkat mengenai sepuluh aturan dan bagi siapa

yang melangarnya akan mendapat hukuman. Selain kodifikasi hukum tersebut,

juga terdapat buku aturan hukum yang singkat, salah satu diantaranya adalah

Risalah Hukum Kanun atau buku Hukum Singkat Malaka yang memuat aturan

Hukum Perdata dan Pidana Islam. Pada fase penjajahan Inggris, posisi hukum

Islam sebagai dasar negara berubah. Administrasi hukum Islam dibatasi pada

hukum keluarga dan beberapa masalah tentang pelanggaran agama. Pada fase

awal kemerdekaan Malaysia, pengaruh serta pakar hukum Inggris masih

begitu kuat, namun di beberapa negara bagian telah diundangkan

undang-undang baru mengenai administrasi hukum Islam. Hal ini dimaksudkan untuk

memberikan pendasaran konstitusi serta wewengan pada Majelis Agama

Islam, Departemen Agama, dan Pengadilan Syari’ah. Pada dekade 80-an telah

(39)

27

sebuah konferensi nasionasl telah diadakan di Kedah untuk membicarakan

hukum Islam, khususnya yang berkaitan dengan masalah hukum pidana. Maka

dibentuklah sebuah komite yang terdiri dari ahli hukum Islam dan anggota

bantuan hukum, kemudian mereka dikirim ke berbagai negara Islam untuk

mempelajari hukum Islam dan penerapannya di negara-negara tersebut.

Sebagai wujud perhatian pemerintah federal kepada hukum Islam, maka pada

saat yang sama dibentuk beberapa komite diantaranya bertujuan untuk

menelaah struktur, yuridiksi, dan wewenang Pengadilan Syari’ah dan

merekomendasikan pemberian wewenang dan kedudukan yang lebih besar

kepada hakim Pengadilan Syaria’ah, mempertimbangkan suatu kitab UU

hukum keluarga Islam yang baru guna mengantikan yang lama sebagai

penyeragaman UU di negara-negara bagian. Dan salah satu komite juga

mempertimbangkan proposal adaptasi hukum acara pidana dan perdata bagi

Pengadilan Syari’ah. Sebagai hasilnya, beberapa UU telah ditetapkan yaitu13 : Administrasi Hukum Islam.

1. UU Administrasi Pengadilan Kelantan, 1982.

2. UU Mahkamah Syari’ah Kedah, 1983.

3. UU Administrasi Hukum Islam Wilayah Federal, 1985.

Hukum Keluarga.

1. UU Hukum Keluarga Islam Kelantan, 1983.

2. UU Hukum Keluarga Islam Negeri Sembilan, 1983.

13

(40)

3. UU Hukum Keluarga Islam Malaka, 1983.

4. UU Hukum Keluarga Islam Selangor, 1984.

5. UU Hukum Keluarga Islam Perak ,1984.

6. UU Hukum Keluarga Islam Kedah, 1984.

7. UU Hukum Keluarga Islam Wilayah Federal, 1984.

8. UU Hukum Keluarga Islam Penang, 1985.

9. UU Hukum Keluarga Islam Trengganu, 1985.

10. Acara Pidana.

C. HUKUM KELUARGA ISLAM NEGARA BRUNEI DARUSSALAM

1. Pembentukan hukum keluarga Islam

Sebelum datang Inggris, Undang-undang yang dilaksanakan di Negara

Brunei Darussalam ialah Undang-undang Islam yang telah dikanunkan

denganHukum Kanun Brunei. Hukum Kanun Bruneitersebut sudah ditulis

pada masa Pemerintaha Sultan Hasan (1605-1619 M) yang disempurnakan

oleh sultan Jalilu Jabbar (1619-1652 M). Pada tahun 1847 Inggris mulai

mencampuri urusan bidang kekuasaan Mahkamah Kesultanan Brunei

karena pada tahun inilah hubngan resmi dengan Inggris dimulai.

Pemerintahan Inggrissemakin jauh mencampuri urusan hukum Brunei

(41)

29

merasa mempunyai saluran untuk intervensi dalam masalah keadilan dan

kehakiman Kesultanan Brunei14.

Diperkirakan Islam mulai diperkenalkan di Brunei Darussalam pada tahun

1977 melalui jalur Timur Asia Tenggara oleh pedagang-pedagang dari Cina.

Islam telah menjadi agama resmi negara semenjak Raja Awang Alak Betatar

masuk Islam dan berganti nama menjadi Muhammad Shah (1406-1408). Pada

masa Sultan Hassan (Sultan ke-9) dilakukan revisi pada beberapa hal

menyangkut tata pemerintahan yaitu: 1) menyusun institusi-institusi

pemerintahan agama, karena agama dianggap memainkan peranan penting

dalam memandu negara Brunei ke arah kesejahteraan. 2) menyusun

adat-istiadat yang dipakai dalam semua upacara, baik suka maupun duka,

disamping menciptakan atribut kebesaran dan perhiasan raja; 3) menguatkan

undang-undang Islam, yaitu hukum Qanun yang mengandung 46 pasal dan 6

bagian. Pada tahun 1888-1983 Brunei berada di bawah penguasaan Inggris.

Kemudian Brunei memproklamasikan kemerdekaannya pada tanggal 31

Desember 198315.

Sultan telah melakukan usaha penyempurnaan pemerintah, antara lain

dengan membentuk Majelis Agama Islam atas dasar Undang-Undang Agama

dan Mahkamah kadi tahun 1955. Majelis ini bertugas menasehati sultan dalam

masalah agama Islam. Langkah ini yang ditempuh sultan adalah menjadikan

14

Atho khairuddin, Hukum Keluarga di Dunia Islam Modren, (Jakarta: Ciputat Press, 2003) h. 178

15

(42)

Islam benar-benar berfungsi sebagai pandangan hidup rakyat Brunei dan

satu-satunya ideologi negara16

2. Hukum keluarga Islam

Sebelum datangnya Inggris, Undang-Undang yang dilaksanakan di Brunei

ialah Undang-Undang Islam yang telah dikanunkan dengan hukum qanun

Brunei. Hukum Qanun Brunei tersebut sudah ditulis pada masa pemerintahan

Sultan Hassan (1605-1619 M) yang disempurnakan oleh Jalilul jabbar

(1619-1652 M)17.

Negara Brunei Darussalam terus-menerus melakukan perombakan dan

pembaruan pada Peraturan-peraturan dan perundang-undangan, seperti pada

tahun 1912 majelis Masyuarat Negeri telah memproklamirkan keberlakuan

Undang-undang agama Islam yang dikenal dengan “Muhammadans Marriages

and Divorce Enactement.” Sampai yang terakhir yaitu dengan

diberlakukannya Undang-undang Majelis Agama, Adat Negeri dan

Mahkamah Kadi tahun 1955, yang telah pada tanggal 1 Januari 1956. Setelah

tahun itu berturut-turut undang-Undang mengalami amandemen yaitu mulai

tahun 1957, 1960, 1961, dan 196718.

16

Thohir Ajid,Perkembangan Peradaban Islam di Kawasan Dunia Islam(Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada, 2002), h. 110

17

Haji Mahmud Saedon Awang Othman, Mahkamah Syari’ah di Negara Brunei

Darussalam dan Permasalahannya, dalam Mimbar hukum No. 23 Tahun VI, 1995, h. 41-42

18

(43)

31

Ketika terjadiRevision Laws of Brunei pada tahun 1984, undang-undang

ini pun mengalami revisi tapi hanya sedikit saja disamping namanya ditukar

dengan akta Majelis Agama dan Mahkamah Kadin Penggal 7719.

Sebenarnya perundang-undangan ini, didasarkan pada perundangan yang

berlaku di negeri Kelantan dengan mengalami penyesuaian-penyesuaian

dengan kondisi Brunei. Peraturan ini ini terdiri dari:20 1. pendahuluan (Bagian I pasal 1-4)

2. Majelis Ugama Islam (Bagian II pasal 5-44)

3. Mahkamah syari’ah (Bagian III pasal 45-96)

4. Masalah Keuangan (Bagian IV pasal 97-122)

5. Masjid (Bagian V pasal 123-133)

6. Perkawinan dan perceraian (Bagian VI pasal 134-156)

7. Nafkah Tanggungan (Bagian VII pasal 157-163)

8. Muallaf (Bagian VIII pasal 164-168)

9. Kesalahan (Bagian IX pasal 169-195)

10. Perkara Umum (Bagian X pasal 196-204

19

Haji Salim bin Haji Besar, Pelaksanaan Undang-undang keluarga Islam di Negara Brunei Darussalam dan Permasalahannya dalam Mimbar Hukum, h. 9-10

20

(44)

32

A. Pencatatan Perkawinan dan Poligami dalam Fiqih konvensional

1. Pencatatan Perkawinan

Pembahasan tentang pencatatn perkawinan dalam kitab-kitab Fiqih

konvensional tidak ditemukan. Sejauh ini hanya ditemukan konsep nikahsirri

dalam kitab al-Mudawwamah, karangan Sahnun (160-240/776-854), dan

pembahasan tentang fungsi saksin dalam perkawinan oleh Fukaha lain.

Masalah saksi yang oleh ulama lain menjadi subbahasan tersendiri, oleh

Sahnun hanya disinggung ketika membahas status hukum nikah sirri. Hal ini

memperkuat keyakinan, bahwa masalah pencatatn perkawinan memang erat

hubunganya dengan masalah saksi (fungsi saksi) dalam perkawinan.

Dalam kitab al-Mudawwamah ditulis, Imam Malik (93-179/172-789)

membedalan antara perakwinan sirri (nikah as-sirri) dan perakawinan yang

tidak disertai bukti (nikah bigairi al-bayyinah). Adapun nikah sirri adalah

nikah yang sengaja dirahasiakan oleh pihak-pihak yang terlibat dalam

pernikahan tersebut. Hukum pernikahan seperti ini adalah tidak sah.

Sebaliknya , hukum pernikahan yang tidak ada bukti tetapi diumumkan

kepada khayalak ramai (masyarakat) adalah sah.

Dijelaskan juga bahwa perkawinan yang tidak ada bukti, tetapi ada

(45)

33

cacatan disaksikan kemudian. Sebaliknya, perkawinan yang tidak ada saksi

dan tidak ada mahar adalah tidak sah (fasid) dan harus difasakh (mafsukh).

Tidak ada ketentuan dalam Fikih konvensional apakah sebuah pernikahan

harus atau perlu dicatatkan. Namun ada petunjuk al-Qur’an bahwa jika kamu

bertransaksi secara tidak tunai supaya ditulis atau dicatat. Jika hutang-piutang

saja perlu dicatat, bukankah pernikahan sebagai sebuah transaksi yang

istimewa dan agung lebih perlu unutk dicatat?. Maka UUP secara tegas

mengharuskan dalam pasal 2 ayat 2 UUP agar setiap pernikahan harus

dicatatkan. Bagi umat Islam pencatatan dilakukan oleh PPN ( Petugas pencatat

Nikah). Bagi non muslim pencatatan dilakukan di kantor catatan sipil. Bahkan

CLD KHI dengan tegas mengusulkan agar pencatatan menjadi salah

satu rukun pernikahan dan mengusulkan agar mereka yang menikah tanpa

mencatatkan dapat dikenai sanksi pidana1.

Aturan pencatatan ini ditengarai banayak pihak masih banyak dilanggar

alias kurang dipatuhi oleh sebagian umat Islam dengan alasan agama atau

ketentuan fikih tidak mengharuskan buat itu, sehingga pernikahan siri atau

bawah tangan masih cukup marak dilakukan.

2. Poligami

Penjelasan tentang asa perkawina tidak ditemukan secara tegas dalam

kitab al-Mabsut, yaitu sebuah kitab yang ditulis as-Sarakhsi (w. 483/1090)

dari mazhab Hanafi. Dalam kitab ini hanya ditulis, seorang suami yang

berpoligami harus berlaku adil terhadap para istrinya. Keharusan berlaku adil

1

(46)

ini bedasarkan surah an-Nissa (4): 3 dan hadis dari A’isyah yang menceritakan

perlakuan yang adil dari Nabi kepada istrinya, ditambah dengan ancaman bagi

suami yang berpoligami tetapi tidak berlaku adil kepada para istrinya. Ketika

berbicara tentang hak dan kewajiban suami dan istri, al-Kasani (w. 587/1191)

juga dari mazhab Hanafi, menulis tentang kewajiban suami yang berpoligami,

yakni wajib berlaku adil tethadap istri-istrinya, dan mendapat perlakuan adil

ini menjadi hak istri.

Wahbah al-Zuhaily lebih menguatkan kepada pendapat yang menyatakan

bahwa maksimal isteri itu 4. Beliau beralasan bahwa 1 bulan ada 4 minggu

menjadikan kemudahan bagi laki- laki untuk membagi waktu bersama

isteri-isterinya pencurahan cinta dan kasih sayang akan lebih mudah dicurahkan

kepada isteri-isterinya dalam batas waktu tidak melebihi satu bulan. Untuk

beristeri lebih dari 4 itu ditakutkan berbuat aniaya dan lemah dalam memenihi

hak-hak para isteri. Hal inilah yang mengindikasikan bahwa laki-laki yang

takut untuk tidak berlaku adil maka baginya lebih baik menikah dengan

seorang saja. Keadilan ini menyangkut pembagian waktu, jima’,dan nafaqah.

Pendapat maksimal 4 ini bukan berarti laki-laki boleh menikah lebih dari 1,

hal ini hanyalah merupakan pengecualian yang jarang sekali, bahkan beristeri

satu itu merupakan hal yang umum dan paling utama2.

Imam Syafi’i berkata : laki-laki budak tidak boleh menikahi wanita lebih

dari dua orang, demikian pula semua orang yang kemerdekaanya belum

sempurna. Hukum budak yang menikahi lebih dari dua wanita sama seperti

2

(47)

35

hukum laki-laki merdeka yang menikahi lebih dari empat orang wanita, tidak

ada perbedaan antara keduanya. Apabila laki-laki merdeka menikahi empat

wanita, maka saya katakan, “Pernikahan yang terakhir harus dipisahkan, yakni

istri yang kelima dan seterusnya.” Demikian pula harus dipisahkan istri budak

yang lebih dari dua3.

Jika budak yang akan menikah dimiliki oleh dua orang, lalu salah seorang

majikan memberi izin untuk menikah dan yang satunya tidak memberi izin,

kemudian budak tersebut menikah, maka pernikahan ini mesti dibatalkan.

Pernikahan budak ini tidak sah hingga kedua majikan sama-sama memberi

izin4.

Menurut Sayyid Qutub, sebagiman yang dikutib oleh Quthbuddin Aibak

yaitu, poligami merupakan suatu perbuatan rukhsah yang dapat

dilakukan hanya dalam keadaan darurat yang dapat dialakukan hanya

dalam keadaan darurat yang benar-benar mendesak. Kebolehan ini masih

disyaratkan harus bisa berbuat adil terhadap istri-istri dibidang nafkah,

mu’amalah, pergaulan dan pembagian malam. Bagi calon suami yang tidak

sanggup berbuat adil, maka diharuskan cukup menikahi satu orang istri saja,

sedangkan bagi suami yang sanggup berbuat adil, maka boleh berpoligami

dengan batasan maksimal hanya empat orang istri5.

3

Imam Syafi’i, Ringkasan Kitab AL-Umm, Penerjemah Rosadi Imron, Amiruddin, Awaluddin Imam, (Jakarta Selatan: Pustaka Azzam, 2004), h. 384

4

Imam Syafi’i, Ringkasan Kitab AL-Umm, Penerjemah Rosadi Imron, Amiruddin, Awaluddin Imam, (Jakarta Selatan:Pustaka Azzam, 2004), h. 385

5

(48)

Penerapan yang tidak baik dan tidak adanya perhatian yang

sungguh-sungguh atas ajaran Islam menjadi alasan utama bagi mereka yang ingin

mempersempit wilayah cakupan poligami; ketika seorang laki-laki dilarang

untuk berpoligami kecuali setelah lulus ujian penelitian yang dilakukan oleh

kehakiman dan instansi terkait yang memiliki wewenang dalam hal ini

berkenaan dengan kemampuannya secara materi. Instansi inilah yang

selajutnya berhak memberi izin kepadanya untuk menikahi lagi. Demikian ini

perlu dilakukan karena kehidupan berumah tangga memerlukan biaya yang

cukup tinggi. Apabila jumlah anggota keluarga bertambah dengan

berpoligami, tentunya beban yang harus ditanggung pihak laki-laki sebagai

kepala rumah tangga akan semakin berat. Suami bisa jadi tidak akan mampu

melaksanakan kewajibannya dalam memberi nafkah, mengasuh, dan mendidik

keluarganya agar menjadi anggota masyarakat yang baik, yang mampu

bangkit dan memikul beban tanggung jawab dan keperluan hidup sehari-hari.

Ketidakmampuan ini akan melahirkan kebodohan, semakin bertambahnya

angka penganguran, juga telantarnya sebagian besar masyarkat, sehingga para

pemuda yang ada hanya menjandi penyakit sosial yang merusak tatanan

masyarakat6.

Asy-Syekh Tbanthaawy Jauhary dalam kitab Tafsirnya; mengemukakan

hasil penelitian penulis Inggris di masa itu, yang mengatakan bahwa

oarang-orang Muslim istri lebih dari 10 oarang-orang, dengan pendapat yang sangat minim.

6

(49)

37

Masing-masing istri itu mempunyai banyak anak, padahal kadang-kadang

tidak mendapatkan biaya hidup dari suaminya, maka penulis tersebut

menganggapnya seperti kehidupan ayam, selanjutnya Asy-Syekh Tbanthaawy

Jauhary mengemukakan kesimpulanya dari hasil penelitian penulis tersebut di

atas, dengan mengatakan : “ Dan sesungguhnya tim peneliti (bangsa Inggris)

menemukan data, bahwa orang-orang berpoligami di negara Islam (benua

Afrika) menunjukan hasil yang maksimal 5 orang yang berpoligami dalam

setiap 100 penduduk, dan minimal 3 orang yang berpoligami dalam setiap 100

penduduk” kalau ada diantara orang Muslim yang berpoligami lebih dari 4

orang, apalagi kalau ekonominya lemah, maka hal itu termasuk oramg yang

menyeleweng dari ajaran Islam. Bahkan Asy-Syekh Thanthaawy Jauhary

sendiri mengherankan laki-laki yang berpoligami lebih dari satu orang,

sedangkan status ekonominya lemah. Sehingga ia mengatakan; bagaimana

seorang laki-laki dapat berpoligami, padahal kemampuan tenaga dan

ekonominya sangat terbatas7.

Sebagaimana haram bagi laki-laki menikahi istri yang kelima, jika di

bawahnya masih ada empat orang istri, haram pula menikahinya jika ia talak

salah satunya dan masih dalam iddah, karena hukumnya ia masih menjadi

istrinya. Imam Asy-Syafi’i berbeda pendapat menegenai hal ini, menurutnya

sah pernikahan dalam masa iddah talak ba’in karena terputusnya hubungan

istri sebab talak ba’in. Dalam kondisi ini wanita yang dinikahi bukan yang

kelima tapi yang keempat, karena wanita tercerai ba’in itu sudah keluar dari

7

(50)

istrinya. Berbeda dengan wanita yang tercerai talak raj’i, suami yang ingin

menikah untuk yang kelima disyaratkan telah habis masa iddah istri keempat.

Ia tidak halal menikahi yang kelima sebelum habis masa iddah-nya karena ia

masih dalam hukum istri. Talak raj’i tidak menghilangkan kehalalan dan

milik8.

Sebelum ayat 1-4 surat al-Nisa’ turun, perlakuan wali terhadap anak-anak

yatim yang di bawah pengasuhannya umumnya tidak berlaku adil. Banyak

wali yang ingin menikahi anak yatim untuk menguasai hartanya atau

menikahkan anak yatim tersebut dengan anaknya agar terjadi percampuran

harta yang dapat menambah kekayaannya. Bahkan ada wali yang menahan

anak yatim untuk tidak menikah, atau menikah tapi dengan calon pilihan si

wali agar si wali tersebut mendapat keuntungan dari pengurangan mahar,

belanja, dan si walipun tetap secara tak langsung terus menguasai hak- hak

perdata si yatim9.

B. Pencatatan Perkawinan dan Poligami dalam Perundang-undangan di

Indonesia

1. Pencatatan Perkawinan

Bagi umat Islam, keberadaan lembaga peradilan merupakancondition sine

quanon, yakni sesuatu yang mutlak adanya. Ia ada berbanding lurus dengan

adanya Islam dan pemeluknya. Sehingga di mana pun ada Islam dan

pemeluknya, maka maka disitu pasti ada lembaga peradilan. Karena ia

8

Azzam Muhammad Aziz Abdul dan Hawwas Sayyed Wahab Abdul, penerjemah Khon Majid Abdul,Fiqih Munakahat Khitbah Nikah dan Talak,(Jakarta: Amzah, 2011) h. 169

9

(51)

39

berfungsi sebagai lembaga yang menyelesaikan persengketaan di antara

pemeluk Islam. Hal ini tercermin dari preseden munculnya bentuk-bentuk

penyelesaian sengketa yang terjadi pada masa Rasulullah SAW, bahkan sudah

terlihat dalam bentuk lembaga pada masa sahabat dan sesudahnya, tentunya

dengan bentuk dan corak yang sederhana10.

Tedapat tiga aspek struktural yang melekat pada badan-badan peradilan.

Semuanya diatur dalam peraturan perundang undangan (UU Nomor 14 Tahun

1985, UU Nomor 2 Tahun 1989). Ketiga aspek adalah susunan pengadilan.

Kekuasaan pengadilan, dan hukum acara yang berlaku. Mengenai hukum

acara yang berlaku pada pengadilan dalam lingkungan Peradilan Agama,

diatur dalam BAB IV UU Nomor 7 Tahun 1989, mulai Pasal 54 sampai

dengan Pasal 10511.

Dalam perkawinan, pencatatan mutlak diperbelakukan. Adapun fungsi dan

kegunaan pencatatn adalah untuk memberi jaminan hukum terhadap

perkawinan yang dilakuan, bahwa perkawinan itu dilaksanakan dengan

sungguh-sungguh, berdasarkan i’tikad baik, serta suami sebagai pihak yang

melakukan transaksi benar-benar akan menjalankan segala konsekuensi atau

akibat hukum dari perkawinan yang dilaksanakannya itu12.

Melalui pencatatan perkawinan yang dibuktikan dengan akta nikah, yang

masing-masing suami istri mendapatkan salinanya, apabila terjadi perselisihan

10

Jaenal Aripin, Jejak langkah Peradilan Agama di Indonesia, (Jakarta: PT Kharisma Putra Utama,2013) h.1

11

Cik Hasan Bisri,Peradilan Agama di Indonesia, (Jakarta: Rajawali Pres, 1998) h. 225

12

(52)

atau percekcokan di antara mereka, atau salah satu pihak tidak bertanggung

jawab, maka yang lainya dapat melakukanya upaya hukum guna

mempertahankan atau memperboleh hak masing-masing. Karena dengan akta

tersebut, baik suami maupun isteri memiliki bukti otentik atas perubahan

hukum yang telah mereka lakukan13.

Menurut pasal 11 ayat 2 peraturan Pemerintah No. 9 Tahun 1975 tentang

pelaksanaan Undang-undang No. 1 tahun 1974 tentang perkawinan dan

peraturan Menteri Agama No. 11 tahun 2007 tetang pencatatan perkawinan

bahwa perkawinan dianggap lebih tercatat secara resmi apabila akata

perkawianan telah ditandatangani oleh kedua mempelai, dua orang saksi,

pegawai dan bagi yang beragama Islam juga wali atau yangmewakilinya. Pada

11 ayat (3) dijelaskan bahwa dengan pencatatan akta perkawinan, maka

perkawinan telah tercatat secara resmi14.

Namum realitasnya, undang-undang tersebut tidak terimplementasiakn

atau terlaksana dengan baik. Masih banyak penyimpangan-penyimpangan

hukum yang dilakukan masyarakat dalam beberpa kasus, misalnya

perkawinan tidak dicatatkan masih sering ditemukan dalam masyarakat.

Perkawinan seperti ini sangat merugikan terutama bagi perempuan. Padahal

jika ditela’ah makna dari perkawinan tersebut adalah ikatanyang kuat antara

13

Yayan Sopyan, Islam-Negara Transformasi Hukum Perkawinan Islam dalam Hukum Nasional, (Jakarta Selatan: RMBooks, 2012) h. 132

14

Nurdin Amiur dan Taringan Akmal Azhari, Hukum Perdata Islam di Indonesia,

Referensi

Dokumen terkait

Pertamanya, kajian ini telah membuktikan bahawa standard halal yang digunakan di Malaysia dan Negara Brunei mempunyai ciri-ciri jaminan yang tersendiri, Brunei

perlombongan menjadi penyumbang utama eksport Malaysia, tetapi pada tahun 1990- an, sektor perkilangan pula memberi sumbangan yang utama kepada eksport Malaysia Dalam keadaan

Penelitian yang berjudul Penjatuhan Sanksi Administratif Kepada Organisasi Masyarakat Atas Pelanggaran Kewajiban Berpartisipasi Dalam Pencapaian Tujuan Negara

Dalam masalah perceraian ini ketentuan di negara Brunei tergolong kontroversial. Apabila perempuan diceraikan qabla dukhul, perempuan tadi tetap berhak untuk dirujuk

Kemudian Indonesia, Singapura, Malaysia, Brunei Darussalam dan Filipina merupakan satu kategori yaitu tergolong pada kategori negara maritim dan tergabung dalam

Berdasarkan penjelasan pada bagian 1, telah di jelaskan mengapa dipilih negara Brunei Darussalam, Malaysia, dan Indonesia sebagai subjek penelitian dengan objek

Pengaruh NPF Terhadap Total Aset Perbankan Syariah di Bahrain, Arab Saudi, Brunei Darussalam, Malaysia, dan Indonesia Hasil uji t parsial yang ditampilkan pada Tabel 4.8 dapat

Journal of Sustainable Economics Journal homepage: https://talenta.usu.ac.id/jse The Determinants of Capital Structure of Islamic Banks in Indonesia, Malaysia, and Brunei Darussalam