• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB II PEMBENTUKAN HUKUM KELUARGA DI INDONESIA,

1. Pencatatan Perkawinan

B. Pencatatan Perkawinan dan Poligami dalam Perundang- undangan di Indonesia ... 39

1. Pencatatan Perkawinan ... 39 2. Poligami ... 42 C. Pencatatan Perkawinan dan Poligami dalam Perundang- undangan di Malaysia ... 46

xii

1. Pencatatan Perkawinan ... 46

2. Poligami ... 47

D. Pencatatan Perkawinan dan Poligami dalam Perundang- undangan di Negara Brunei Darussalam ... 49

1. Pencatatan Perkawinan ... 49

2. Poligami ... 51

BAB IV ANALISIS SANKSI PENCATATAN PERKAWINAN DAN POLIGAMI DI INDONESIA, MALAYSIA, DAN NEGARA BRUNEI DARUSSALAM A. Sanksi Pencatatan Perkawinan dan Poligami di Indonesia, Malaysia, dan Negara Brunei Darussalam ... 53

1. Indonesia ... 53

2. Malaysia ... 56

3. Negara Brunei Darussalam ... 58

B. Perbandingan Vertikal dan Diagonal Sanksi Pencatatan Perkawinan dan Poligami di Indonesia, Malaysia, dan Negara Brunei Darussalam ... 60

1. Indonesia ... 60

a. Perkawinan : Fikih, Perundang-undangan Indonesia dan Nasional ... 62

b. Pencatatan Perkawinan ... 63

c. Poligami ... 65

xiii

a. Peranan Maslahat dalam Hukum Islam ... 68

3. Negara Brunei Darussalam ... 68

C. Prospek Hukum Keluarga di Indonesia, Malaysia, Negara Brunei Darussalam ... 71

1. Indonesia ... 71

a. Situasi Hukum ... 73

b. Hukum Islam pada Zaman Ta’biin ... 74

c. Pemberlakuan dan Perkembangan Hukum Islam di Indonesia ... 77

2. Malaysia ... 77

a. Perkembangan Muktahir ... 78

3. Negara Brunei Darussalam ... 79

a. Undang-undang untuk orang Islam di Brunei ... 80

BAB V PENUTUP A. Kesimpulan ... 83

B. Saran ... 86

1

BAB I PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah

Perkawinan merupakan satu-satunya sarana yang sah untuk membangun sebuah rumah tangga dan melahirkan keturunan, sejalan dengan fitrah manusia. Kehidupan dan peradaban manusia tidak akan berlanjut tanpa adanya kesinambungan perkawinan dari setiap generasi ummat manusia.1 Nikah adalah salah satu sendi pokok pergaulan bermasyarakat. Oleh karena itu, agama memerintahkan kepada ummat-Nya untuk melangsungkan pernikahan bagi yang sudah mampu, sehingga malapetaka yang diakibatkan oleh perbuatan terlarang dapat dihindari.2

Pernikahan seperti pada Undang-Undang Pasal (1) bab I tentang perkawinan adalah: “ikatan lahir batin antara seorang pria dengan seorang

wanita sebagai suami isteri dengan tujuan membentuk keluarga (rumah tangga) yang bahagia dan kekal berdasarkan KetuhananYang Maha Esa”.

Pernikahan bertujuan mendirikan keluarga yang harmonis dan sejahtera, artinya terciptanya ketenangan lahir dan batin disebabkan terpenuhinya keperluan hidup lahir dan batinnya, sehingga timbullah kebahagiaan, yakni kasih sayang antara anggota keluarganya.3

1

Hasbi Indra,Potret Wanita Shalehah,(Jakarta: Penamadani, 2004), h. 61.

2

Asrorun Ni’am Sholeh, Fatwa-Fatwa Masalah Pernikahan dan Keluarga, (Jakarta: elsas,

2008), h. 4.

3

Melaksanakan perkawinan, lebih dahulu harus sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan seperti rukun nikah, apabila rukunnya tidak lengkap maka perkawinan itu tidak sah. Adapun rukun nikah terdiri atas: calon suami, calon isteri, wali, dua orang saksi, dan ijab qabul.4

Diatas sudah di jelaskan macam-macam rukun pernikahan, namun yang akan penulis akan bahas adalah tetang sanksi dalam hukum keluarga. Para kaum Muslim di tanah air, memposisikan hukum Islam di atas segala norma nilai yang ada di sekelilingnya, posisi istimewa hukum Islam itu bertahan dalam rentang waktu yang cukup panjang. Dari mulai kerajaan Islam, yang diperankan oleh otoritas kerajaan, kemudia berada dalam tarik-ulur kepentingan kekuasaan penjajah Belanda, dan terakhir masa kemerdekaan, sampai lahirnya UU No. 1/ 1974 tentang Perkawinan. Dari rentang waktu

implementasi hukum perkawinan Indonesia itu menekankan “jaminan hukum”

atas status hubungan suami istri, jaminan hukum itu, bisa berupa ikatan yang dianggap sah karena sebuah ijab-qobul, yang dilakukan oleh mempelai pria, wali dan di hadapan saksi, meski tanpa pencatatan. Dan pada masa kelahiran

UU No. 1/ 1974, “jaminan hukum” itu ditegaskan dengan pencatatan. Ini mempuyai implikasi hukum, khususnya, hukum perdata. Selain itu, hukum

perkawinan termasuk hukum yang paling sering bersentuhan dengan “rasa keadilan” di dalam masyarakat Muslim Indonesia, pasalnya dengan hukum perkawinan struktur sosial akan menjadi kuat dan matang ini karena keluarga sebagai unit terkecil dan paling penting dalam masyarakat, lahir dan tiada

4

3

karena sebuah perkawinan. Dan dengan hukum perkawinan pula, banyak terjadi asimilasi budaya di beberapa sudut tanah air, bahkan antara negara5.

RUU tentang perkawinan mengatur ketentuan-ketentuan pokok perkawinan yang bersifat nasional, tidak membedakan golongan atau suku bangsa. Sementara RUU perkawinan umat Islam ditarik dari pengusulan. RRU tersebut menarik perhatian masyarakat luas, terutama umat Islam. Seluruh lapisan masyarakat terpanggil minatnya untuk memperhatikan RUU itu dianggap bertentangan dengan ajaran Islam. Menurut Taufik Abdullah, materi

RUU perkawinan yang diajukan pemerintah menyinggung “wilayah sakral”

agama yang begitu dijaga dengan ketat oleh pemeluknya [Taufik Abdullah:1987]. Oleh karena itu, begitu naskah RUU perkawinan disampaikan oleh pemerintah kepada DPR, belum lagi pemerintah menyampaikan keterangan secara resmi pada sidang pleno DPR, reaksi terhadap RUU itu sudah meletus dikalangan masyarakat. Mulanya riakan hanya DPR kemudian merembes keluar, karena selembaran itu sudah terlebih dahulu didapatkan oleh anggota DPR. Ini ditangkap dan digaungkan lagi oleh para ulama dan mubaliq, dipublikasikan oleh media yang memungkinkan melalui dakwah, khutbah-khutbah di masjid, ,maupun di media cetak6.

Satu tahun Indonesia merdeka, pembina’an Pengadilan Agama yang semula berada dalam Kementerian Kehakiman diserahkan kepada Kementerian Agama melalui peraturan pemerintah NO. 5 /SD/1946.

5

Yayan Sopyan,Islam Negara Transformasi Hukum Perkawinan Islam dalam Hukum Nasiaonal, (Jakarta Selatan: RMBooks, 2012) h. 78

6

Yayan Sopyan,Islam Negara Transformasi Hukum Perkawinan Islam dalam Hukum Nasional, (Jakarta Selatan: RMBOOKS, 2012) h. 92

Kemudian dengan Undang-Undang No. 19 tahun 1948, Pengadilan Agama dimasukkan ke Pengadilan Umum. Namun menurut Hardi Djenawi Taher, karena Undang-Undang tersebutn tidak sesuai dengan kesadaran hukum masyarakat Indonesia sendiri, maka tidak pernah dinyatakan berlaku. Pada perkembangan selanjutnya, berdasarkan Undang-Undang Darurat (UUDr) No. 1 Th. 1951, pemerintah menegaskan pendirianya untuk mempertahankan Peradilan Agama, menghapus pengadilan Swapraja dan Peradilan Adat. Sebagai pelaksanaan dari UUDr tersebut, kemudian pemerintah mengeluarkan Peraturan Pemerintah No. 45 Tahun 1957 yang mengatur Pembentukan Peradila Agama di luar Jawa Madura dan Klaimantan Selatan7.

Poligami adalah sebuah istilah dan sebuah realitas banyak manusia yang terjebak dalam dialog dan perdebatan yang panjang mengenai poligami. Jika dikaji pemicunya bukan karena pengaruh ketidak jelasan dalil-dalilnya melainkan lebih banyak dipengaruhi oleh kepentingan para pihak yang terlibat, dan buruknya dampak poligami yang dilakuan oleh kebanyakan manusia. Dalam praktek poligami banyak contoh buruk dan merupakan relitas poligami. Realitas seperti itu muncul dimana-mana. Persoalanya adalah poligami yang dilaksanakan tidak sesuai dengan semangat dan tanggung jawab yang seharusnya dimiliki oleh semua pihak yang berkepentingan. Dengan kata lain poligami dilaksanakan tanpa peduli dengan syariatnya yang

7

5

telah mengaturnya, seakan mereka lupa bahwa poligami pada saatnya juga akan dipertanggung jawabkan dihadapan Allah SWT8.

Di Indonesia melakukan poligami harus menempuh syarat-syarat dan mekanisme yang harus dijalani, seperti yang tertera dalam Undang-Undang Perkawinan No.1 Th 1974 BAB I Pasal : 4 yang berbunyi :

1. Dalam hal seorang suami akan beristri lebih seorang sebagaimana tersebut tersebut dalam Pasal 3 ayat (2) Undang-undang ini, maka ia wajib mengajukan permohonan kepada Pengadilan di daerah tempat tinggalnya.

2. Pengadilan dimaksud dalam ayat (1) pasal ini hanya memberikan izin kepada seorang suami yang akan beristri lebih dari seorang apabila :

a. Istri tidak dapat menjalankan kewajibanya sebagai istri

b. Istri mendapat cacat badan atau penyakit yang tidak dapat disembuhkan

c. Istri tidak dapat melahirkan keturunan

Dan di Indonesia jika ingin melakukan pernikahan juga harus di catat supaya sah di mata hukum, seperti yang tertera dalam Undang-undang Perkawinan No.

1 Th 1974 BAB I Pasal 2 ayat (2) yang berbunyi : ‘Tiap-tiap perkawinan dicatat menurut peraturan perundang-undanan yangberlaku’.

88

Aedy Hasan,Poligami syariah dan Perjuagan Kaum Perempuan, (Bandung: Alfabeta, 2007), h. 61

Dari 2 ketentuan di atas tentang Poligami dan Pencatatan Nikah, dalam Undang-undang perkawinan belum ada sanksi yang tegas yang tertera dalam Undang-Undang.

Pada tahun 1957, ketika Undang-Undang persekutuan Malaysia di Bicarakan menjelang kemerdekaan Malaysia, didalam draf rancangan Undang-Undang tersebut tidak dicantumkan bahwa agama Islam adalah agama persekutuan. Hakim Abdul Hamid salah seorang anggota sidang mengajukan usulan agar agama Islam menjadi agama Negara, akan tetapi hasil akhir dari pembahasan Undang-Undang tersebut tidak menyetujui usulan tersebut, juga tidak disebutkan persekutuan Malaysia sebagai sebuah negara sekuler. Namum melalui pertarungan yang cukup lama, akhirnya pengakuan atas Islam sebagai agama resmi persekutuan dan hak menjalankan hukum Islam diakui dalam Konstitusi Malaysia merdeka.

Malaysia merupakan yang mempunyai dua jenis undang-undang, yaitu : Undang-undang Syariah dan Undang-undang sipil. Menurut Ahmad Ibrahim, perubahan Undang-Undang pada awal kemerdekaan lebih banyak menyangkut pengadministrasian, yurisdiksi dan kekuasaan pengadilan syariah9. Sebelum datang Inggris, Undang-Undang yang dilaksanakan di Negara Brunei Darussalam ialah Undang-Undang Islam yang telah dikanunkan dengan Hukum Kanun Brunei.Hukum Kanun Brunei tersebut sudah ditulis pada masa pemerintahan Sultan Hasan (1605-1619 M) yang disempurnakan oelh Sultan Jabbar (1619-1652 M). Pada tahun 1847 Inggris mulai mencampuri urusan

9

Ahmad Ibrahim,Perkembangan Kodifikasi Hukum di Malaysia, dalamSudirman Teba, Perkembangan Hukum Islam Terakhir di Asia Tenggara, (Bandung: Mizan, 1993), h. 100-101

7

bidang kekuasaan Mahkamah Kesultanan Brunei karena itu pada tahun inilah hubungan resmi dengan Inggris dimulai. Pemerintahan Inggris di Brunei semakin jauh mencampuri urusan Hukum Brunei setelah diadakan perjanjian tahun 185610.

Undang Keluarga Islam Brunei yang terdapat dalam Undang-undang Majlis Ugama Islam dan Mahkamah kadi penggal 77 bentuk dan kandunganya masih sama dengan Undang-undang Majlis Ugama Islam, Adat Negeri dan Mahkamah Kadi No. 20/1955. Dalam Undang-undang tersebut masalah hukum keluarga Islam diatur hanya 29 bab, yaitu dibawah aturan: Marriage and Maintenance of Dependentdi bagian VII yang dimulai dari pasal 157 sampai 16311.

Indonesia pun mempunyai sejarah yang berbeda dengan Malaysia dan Negara Brunei Darussalam, terlepas dari perkembangan sejarah Undang-Undang di Indonesia terutama Undang-Undang-Undang-Undang Perkawinan, selain pada itu, keberhasilan umat Islam Indonesia dalam menggolkan RUU PA menjadi Undang-Undang Peradilan Agama No. 7 Tahun 1989, tidaklah berarti semua persoalan yang berkaitan dengan implementasi hukum Islam di Indonesia menjadi selesai. Ternyata persoalan krusial yang dihadapi adalah menempatkan persoalan yang mereka hadapi.

Adalah gagasan Bustanul Arifin seorang Hakim Agung tampil dengan gagasan perlunya membuat kompilasi hukum Islam. Gagasan tersebut

10

M. Atho Mudzar,Hukum Keluarga di Dunia Islam Modren,(Jakarta Selatan: Ciputat Press, 2003) h. 178

11

M. Atho Mudzar,Hukum Keluarga di Dunia Islam Modren, (Jakarta Selatan: Ciputat Press, 2003) h. 181-182

disepakati dan dibetuklah tim pelaksana proyek dengan surat keputusan bersama (SKB) ketua mahkamah Agung RI dan Mentri Agama RI No. 07/KMA/1985. Dengan kerja keras anggota tim dan ulama-ulama, cendikiawan yang terlibat didalamnya maka merumuskan KHI yang ditindak lanjuti dengan keluarnya Intruksi Presiden No. 1 Tahun 1991 kepada Menteri Agama untuk menyebarluaskan Kompilasi Hukum Islam yang terdiri dari beberapa Buku12.

Poligami merupakan satu persoalan dalam perkawinan yang paling banyak di bicarakan sekaligus kontroversial. Satu sisi poligami ditolak dengan berbagai macam argumentasi baik yang bersifat normatif, psikologi bahkan selalu dikaitkan dengan ketidak adilan gender. Bahkan penulis barat sering mengklaim bahawa poligami adalah bukti ajaran Islam didalam bidang perkawinan sangat diskriminatif terhadap perempuan. Pada sisi lain,poligami di kampanyekan karena dianggap memiliki sandaran normatif yang tegas dan dipandang sebagai salah satu alternatif untuk menyelesaikan selingkuh dan prostitusi13.

Dan dalam penikahan harus juga melakukan Pencatatan Nikah yang di lakukan di depan pegawa pencatat nikah, dalam hal ini sebagain syarat Administrasi dalam perakwinan dan sebagai mempermudah dalam hal-hal mengurus surat-menyurat dalam Administrasi, karena sekrang banyak seklai yang melakukan perkawinan tanpa melakukan pencatatan perkawinan fenomena ini bisa dibilang nikah sirih atau nikah dibawah tangan, dalam hal ini

12

Azhar Manan,Aneka Masalah Hukum Perdata Islam di Indonesia, (Jakarta: Kencana Prenada Group, 2008) h. 29-31

13

Azhar Akmal Taringan,Hukum Perdata Islam di Indonesia, (Jakarta: Kencana Prenada Media Group, 2004) h. 155

9

menurut Agama sah Perkawinannya namun dalam ranah hukum tidak sah karena tidak melakukan pencatatan.

Untuk itu perlu adanya perlindungan terhadap nasib perempuan dari perbuatan dan perlakuan yang semena-mena dari kaum laki-laki. Dan yang mendasari lahirnya Undang-Undang perkawinan adalah masalah perlindungan terhadap nasib kaum hawa ini14.

Indonesia, Malaysia, dan Negara Brunei Darussalam mempunyai banyak kesamaan dari persamaan kultur sama-sama bangsa Melayu, terletak di daratan Asia Tenggara. Tetapi dalam hal peraturan perundang-undangan khususnya perundang-undangan hukum keluarga dan beberapa hal yang berbeda termasuk dalam hukum materinya hal poligami dan pencatatan perkawinan dalam hal sanksinya.

Bedasarkan uraian diatas, maka penulis bermasuk untuk mengangkat topik tersebut dalam sebuah karya tulis yang berjudul “Sanksi Pelanggaran Terhadap Aturan Poligami dan Pencatatan Perkawinan di Indonesia, Malaysia, dan Negara Brunei Darussalam”

14

Yayan Sopyan,Islam Negara Transpormasi Hukum Perkawinan Islam dalam Hukum, (Jakarta: RMBooks, 2012) h. 157-158

B. Identifikasi Masalah

Dari latar belakang masalah di atas penulis mendapatkan identifikasi masalah sebagai berikut :

1. Apa yang membedakan Hukum Keluarga Islam Indonesia, Malaysia, dan Negara Brunei Darussalam ?

2. Faktor apa saja yang melatar belakangi perbedaan Hukum Keluarga Islam Indonesia, Malaysia, dan Negara Brunei Darussalam ?

C. Pembatasan Masalah dan Perumusan Masalah 1. Pembatasan Masalah

Berdirinya sebuah negara, mensyaratkan pentingnya sebuah perundang-undangan, karena peraturan perundang-undanganlah sebab negara dapat berjalan dijalan yang baik.

Malaysia sebagai Negara Federasi yang mempunyai beberapa wilayah bagian negara, tentulah setiap Undang-Undang keluarga Islam berbeda, mesti dibawah naungan Mahkamah Syariah. Negara Brunei Darussalam pun pasti mempunyai perundang-undangan keluarganya sendiri sebagai pengatur dalam negaranya sendiri, dan Indonesia yang kini mempunyai Undang-Undang Perkawinan yang mengatur masalah Perkawinan semua warga negara Indonesia dan Kompilasi Hukum Islam yang menjadi Kitab Rujukan para Hakim Agama mengambil suatu keputusan untuk masalah perkawinan orang Islam.

11

Mengingat akan uraian di atas tentang keluarga Islam Indonesia, Malaysia, dan Negara Brunei Darussalam yang memunyai aturan-aturan Hukum Keluarga yang berbeda-beda, maka penulis membatasi masalah pada skripsi ini yaitu tetang aturan Poligami dan Pencatatan Perkawinan dalam Undang-Undang Keluarga Islam.

1. Perumusan Masalah

Selanjutnya untuk mempermudah pembahasan, maka hal tersebut dapat di rumuskan permasalahannya sebagai berikut :

1. Bagaimana aturan Poligami dan Pencatatan Perkawinan di Indonesia, Malaysia, dan Negara Brunei Darussalam ?

2. Apa perbedaan dan perasamaan aturan atau sanksi dalam Poligami dan Pencatatan Perkawinan di Indonesia, Malaysia, danNegara Brunei Darussalam ?

3. Faktor apa saja yang mempengaruhi perbedaan aturan atau sangsi Poligami dan Pencatatan Perkawinan di Indonesia, Malaysia, dan Negara Brunei Darussalam ?

D. Tujuan dan Manfaat Penelitian 1. Tujuan penelitian

Di sesuaikan dengan Rumusan penelitian, maka tujuan dari penelitian ini yaitu:

1. Untuk mengetahui apa saja sanksi dalam aturan poligami dan pencatatan perkawinan dalam hukum keluarga Islam Indonesia, Malaysia, dan Negara Brunei Darussalam.

2. Untuk mengetahui apa saja perbedaan dan persamaan Undang-undang Keluarga Islam di Indonesia, Malaysia, dan Negara Brunei Darussalam.

3. Untuk mengetahui faktor apa saja yang mempengaruhi perbedaan sangsi dalam aturan poligami dan pencatatan perkawinan di Indonesia, Malaysia, dan Negara Brunei Darussalam.

2. Manfaat

Adapun manfaat dari penelitian ini dapat digunakan untuk beberapa hal :

1. Sebagai input atau referensi bagi mahasiswa Fakultas Syariah dan Hukum Khususnya Studi Hukum Keluarga, untuk mengetahu beberapa perbedaan sanksi dalam aturan poligami dan pencatatan perkawinan di Indonesia, Malaysia, dan Negara Brunei Darussalam.

2. Bagi kalangan civitas akademisi, diharapkan penelitian akan menambah khazanah keilmuan yang ada di Syariah dan Hukum dan Universitas Islam Negri Syarif Hidayatullah Jakarta.

3. Bagi masyarakat pada umunya, penelitian ini dapat menjadi wawasan baru dan ilmu pengetahuan baru tentang sangsi dalam aturan poligami dana pencatatan nikah di berbagai negara khususnya Indonesia, Malaysia, dan Negara Brunei Darussalam.

13

E. Review studi terdahulu

Dalam penulisan skripsi ini penulis juga meruuk kepada skripsi-skripsi yang sudah terdahulu dengan subtansi pembahasan yang tentu berbeda, diantaranya sebagi berikut :

Skripsi, Pencatatan Nikah Beda Agama di kantor Urusan Agama (KUA) studi kasus KUA Kecamatan Cilandak, ditulis oleh Aqib Maimun Tahun 2010, pembahasan pada skripsi ini lebih memfokuskan kepada analisis penetapan akta nikah pernikahan beda agama di KUA Kecamatan Cilandak dan tidak menyinggung sama sekali tentang biaya pencatatan nikah serta regulasinya.

Skripsi, Undang-undang Syariah dan Undang-undang Sipil di Malaysia suatu perbandingan (studi perbandingan kewenangan Mahkamah Syariah dan Mahakamah Sipil di Malaysia), ditulis oleh Aminudin Ramli Tahun 2008. Pembahasanya menjelaskan tentang perbedaan-perbedaan antara kewenangan Mahkamah Syariah dan Mahkamah Sipil di Malaysia serta kedudukan antara kedua mahkamah tersebut.

Skripsi, Efektivitas Peraturan Menteri Agama (PMA) No.11 Tahun 2007 Tentang Pencatatan Nikah di KUA Kecamatan Sukakarya Bekasi, di tulis oleh Muhammad Muhiddin Tahun 2011, Skripsi ini mengungkap tentang efektivitas PMA tentang pencatatn nikah serta konsep-konsep pencatatan nikah.

F. Metode penelitian dan Teknik Penulisan 1. Jenis penelitian

Dalam penulisan ini, penulisan menggunakan metode penelitian normatif, pada penelitian hukum normatif, peraturan Perundang-undangan yang menjadi objek penelitian menjadi sumber data primer dalam penelitian yang dilakukan. Dalam penelitian hukum tertulis yang dilakukan peneliti adalah melakuan, pengumpulan bahan-bahan baik yang terpublikasi atau tidak berkenaan dengan bahan hukum positif yang dikaji. Dalam penulisan skripsi ini, ini penulis lebih memeilih studi kepustakaan. Penulis mencari bahan-bahan tulisan yang berhubungan dengan hukum keluarga Islam.

2. Sumber data

penulisan skripsi ini menggunakan dua sumber pokok dalam mengumpulkan data, yakni sumber primer dan sumber sekunder. Adapun rinci masing-masing sumber adalah :

a. Data primer disadarkan Undang-undang Hukum Keluarga Islam Indonesia, Malaysia, dan Negara Brunei Darussalam.

b. Data skunder merupakan data pendukung dan sumber primer, yang berasal dari kepustakaan, buku-buku maupun data tertulis yang ada relevansinya dengan judul skripsi ini.

15

1. Tehnik pengumpulan data

Tehnik pengumpulan data pada penelitian ini didasarkan pada riset pustaka (Library Research) yakni proses pengendifikasian secara sistematis penemuan-penemuan dan analisis dokumen-dokumen yang membuat informasi diperoleh bahan-bahan yang ada di perpustakaan, baik berupa arsip, dokumen, majalah maupun lainya.

2. Tehnik Analisis data

Analisis yang digunakan dalam penelitian ini adalah analisis isi (Content Analisis) yaitu penguraian data melalui katagorisasi, perbandingan dan pencarian sebab akibat baik menggunakan analisis induktif maupun deduktif.

3. Teknik penulisan

Teknik penulisan skripsi ini didasarkan pada buku pedoman penulisan Skripsi Fakultas Syariah dan Hukum UIN Syarif Hidayatullah Jakarta Tahun 2015.

G. Sistematika Penulisan

Untuk mempermudah dan mendapatkan gambaran tentang kerangka dan alur penulisan Skripsi ini, serta apa saja yang nanti akan di bahas dalam Skripsi ini, maka penuis akan mengurai sistematika penulisan skripsi ini sebagai berikut :

Pada bab pendahuluan akan di uraikan latar belakang penulisan skripsi ini yang merupakan pijakan awal berfikir, disusul kemudian secara

berurutan penjelasan serta pembatasan dan rumusan masalah, tujuan dan manfaat penelitian, review sudi terdahulu, metode penelitian, dan teknik penulisan serta di tutup dengan sistematika penulisan ini.

Bab kedua dibahas tentang pembentukan hukum keluarga Islam dan pembentukan hukum keluarga di Indonesia, Malaysia, Negara Brunei Darussalam.

Sedangkan di Bab ke tiga ini berisi tentang bagaimana pencatatan nikah dan poligami dalam Fiqih Konvensional dan pencatatan nikah dalam per undang-undangan di Indonesia, Malaysia, Negara Brunei Darussalam.

Dalam Bab ke IV ini berisi tentang sanksi pencatatan nikah dan poligami di Indonesia, Malaysia, Negara Brunei Darussalamkemudian perbandingan Vertikal dan Diagonal sanksi pencatatan nikah dan poligami di Indonesia, Malaysia, dan Negara Brunei Darussalam dan prospek Hukum Keluarga di Indonesia, Malaysia, dan Negara Brunei Darussalam.

Pada bab terkahir akan disampaikan beberapa kesimpulan guna menjawab beberapa pertanyaan yang mendasar dari permasalahan yang ada di dalam skripsis ini. Tidak lupa pula penulis akan memberikan beberapa saran-saran yang di perlukan sebagai catatan atas permasalahan dlam skripsis ini yang di angkat.

17

BAB II

PEMBENTUKAN HUKUM KELUARGA DI INDONESIA, MALAYSIA, NEGARA BRUNEI DARUSSALAM

A. Hukum keluarga Islam di Indonesia 1. Pembentukan Hukum Keluarga Islam

Para kaum Muslim di tanah air, memposisikan hukum Islam di atas segala norma nilai yang ada di sekelilingnya. Posisi istimewa hukum islam itu, bertahan di dalam rentang waktu cukup panjang. Dari mulai kerjaan Islam, yang diperankan oleh otoritas kerajaan, kemudian berada dalam tarik-ulur kepentingan kekuasaan penjajah Belanda, dan terakhir masa kemerdekaan, sampai lahirnya UU No. 1/1974 Tentang Perkawinan1.

Selain itu, hukum perkawinan termasuk hukum yang paling sering

bersentuhan dengan “rasa keadilan” di dalam masyarakat muslim Indonesia. Pasalnya, dengan hukum perkawinan struktur sosial akan menjadi kuat dan matang. Ini karena, keluarga sebagai unit terkecil dan paling penting dalam masyarakat, lahir dan tiada karena sebuah perkawinan. Dan, dengan hukum perkawinan pula, banyak terjadi asimilasi budaya di beberapa sudut tanah air,

Dokumen terkait