• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB IV ANALISIS SANKSI PENCATATAN PERKAWINAN DAN

B. Perbandingan Vertikal dan Diagonal Sanksi Pencatatan

1. Indonesia

Kalau kita meneliti kitab-kitab hukum Islam, baik kitab-kitab hukum klasik (kitab kuning) maupun buku-buku hukum yang lebih dekat dengan kita, kita tidak menemukan kitab dan buku hukum yang melukiskan secara khusus bagaimana susunan, kekuasaan, dan acara badan-badan peradilan. Dalam literatur hukum Islam dan literatur sejarah negar Islam, yang selalu terdapat hanya prinsip-prinsip pokok tentang perlunya suatu pengadilan, atau perlunya ada qadhi/hakim, syarat seorang hakim, saksi-saksi,sumpah,dan beberapa cara

13

Ahmad Tholabi Kharlie dan Asep Syaripuddin Hidayat, Hukum Keluarga di Dunia Islam Kontenporer(Ciputat: lembaga penelitian UIN jakarta, 2011) h. 232

14

Ahmad Tholabi Kharlie dan Asep Syaripuddin Hidayat, Hukum Keluarga di Dunia Islam Kontenporer(Ciputat: lembaga penelitian UIN jakarta, 2011) h. 232

61

pembuktian. Dalil pen-syari’ atau peradilan (qadhi) adalah berdasarkan

Al-Qur’an, Sunnah, dan ijma’ dimulai sejak masa sahabat, tabiin, sampai para ulama sesudahnya. Hukumnya telah disepakati pula, yaitu fardhu kifayah. Setiap negara, bagaimana bentuknya selalu memerlukan hukum yang berlaku di negara masing-masing, dan setiap hukum memerlukan peradilan untuk menegakkannya. Islam adalah aqidah wa syari’ah, keyakinan dan hukum. Karena itu pulalah masyarakat Islam memerlukan peradilan yang akan menegakkan hukum15.

Mengenai kelembagaan peradilan itu sendiri, karena termasuk bidang ijtihad, bisa saja berbeda-beda di setiap negara Islam maupun di negara-negara yang ada masyarkat muslimnya. Satu hal yang pasti ialah peradilan itu (qadha) adalah alat kekuasaan untuk menegakkan syariat atau Fiqih (menegakkan

hukum Islam). Pengertian “hukum Islam” memang mengandung problem

tersendiri. Bukan hanya di kalangan kaum muslim Indonesia, tetapi juga di kalangan umat Islam sedunia. Karena itu, mutlak perlunya pelurusan pemahaman tentang syariat16.

Dalam konteks hukum keluarga dan pembaruan hukum Islam, pembedaan antara beberapa istilah ini menjadi sangat penting, karena kesalahpahaman terhadap penegrtian hukum, Syariat dan fikih akan berimplikasi pada perkembangan hukum Islam dalam konteks perubahan masyarakat. Syariat,

15

Busthanul Arifin,Pelembagaan Hukum Islam di Indonesia akar sejarah, hambatan dan prospeknya(Jakarta: Gema Insani Press, 1996) h. 77

16

Busthanul Arifin,Pelembagaan Hukum Islam di Indonesia akar sejarah, hambatan dan prospeknya(Jakarta: Gema Insani Press, 1996) h. 78

sebagai suatu sumber hakiki hukum Islam merupakan perangkat baku yang harus menjadi acuan dan tidak dapat diotak-atik oleh manusia, sehingga setiap tingkah laku manusia, dari dulu sampe sekarang, dapat diakomodasi oleh Syariat. Sementara fikih merupakan suatu interpensi para Ulama terhadap Syariat untuk perbuatan tertentu, dengan menggunakan dalil-dalil terperinci, sehingga fikih menjadi sangat acceptable dengan perubahan dan modifikasi. Ketika menyamakan istilah fikih dan Syariat, maka sebetulnya telah menggabungkan dua aspek yang berbeda dan telah mengabsolutkan fikih yang sebetulnya merupakan produk manusia biasa. Implikasinya, fikih yang diambil melalui metode istinbat hukum atau ijtihad dan digunakan sebagai suatu jawaban atas permasalahan sosial umat Islam sepanjang keberadaan mereka, akan menjadi kaku dan berhenti pada produk-produk terdahulu. Hukum Islam akhirnya tidak mampu menjawab permasalahan-permasalahan masyarakat kontemporer atau bahkan hukum Islam menjadi tidak relevan dengan perkembangan zaman. Dengan pembedaan inilah konteks pembaharuan hukum keluarga dimungkinkan untuk dilakukan, karena beberapa peraturan fikih yang mengatur hukum keluarga justru dapat ditinjau ulang untuk kepentingan perkembangan zaman17.

17

Ahmad Tholabi Kharlie dan Asep Syaripuddin Hidayat, Hukum Keluarga di Dunia Islam Kontenporer(Ciputat: lembaga penelitian UIN jakarta, 2011) h. 9

63

a. Perkawinan: Fiqih, Perundang-Undangan Indonesia dan Internasional

Perkawinan merupakan kata yang merujuk pada hal-hal atau hubungan pernikahan. Pengertian istilah perkawinan lebih luas dari istilah pernikahan. Jika pernikahan merujuk pada sebuah ikatan yang dilakukan atau dibuat oleh pihak suami dan istri untuk kehidupan bersama, dan atau merujuk pada sebuah proses dari ikatan tersebut, perkawinan merujuk pada hal-hal yang muncul terkait dengan proses, pelaksanaan dan akibat pernikahan. Dengan demikian, perkawinan mencakup bukan saja syarat dan rukun pernikahan dan bagaimana pernikahan harus dilakukan, tetapi juga masalah hak dan kewajiban suami istri, nafkah, penceraian, pengasuhan anak, perwalian, dan lain-lain. Beranjak dari perbedaan pengertian dari kedua istilah tersebut, UU No. 1/1974 disebut dengan Undang-Undang Perkawinan bukan Undang-Undang Pernikahan, karena undang-undang tersebut mencakup banyak hal,seperti dirinci sebelumya18. b. Pencatatan Perkawinan

Menurut doktrin hukum Islam kalsik, perkawinan dianggap sah dan terjadi dengan adanya ijab (menyerahkan) yang diucapkan oleh wali dari pihak calon istri dan adanya qabul (menerima) yang diucapkan oleh pihak laki-laki dan dua orang saksi; dua atau satu orang Muslim laki-laki dan dua orang Muslim perempuan dan ada maharnya. Unsur-unsur tersebut

18

Asep Saepudin Jahar, Euis Nurlelawati, Jaenal Aripin, Hukum Keluarga, Pidana dan Bisnis,(Jakarta: Kencana, 2013) h. 23

dinamakan dengan rukun pernikahan, dan setiap rukun dari pernikahan terdapat syarat-syarat yang harus terpenuhi. Syarta bagi rukun adanya ijab dan qabul adalah, di antaranya, bahwa ijab dan qabul harus dengan kalimat yang jelas, selaras, dan berkesinambungan. Wali yang mengucapkan ijab juga harus memenuhi syarat, seperti, persamaan agama. Begitu juga halnya dengan saksi. Terkait dengan saksi, para ulama berbeda pandangan dalam menetapkan syarat-syarat yang harus dipenuhi. Tidak terdapat aturan tentang keharusan pencatatan dalam aturan hukum Islam klasik ini. Perkembangan zaman dan kompleksitas kehidupan telah mendorong para ulama untuk melakukan sebuah pembaruan terkait pernikahan, dan negara-negara Muslim menyadari bahwa kontrak perkawinan perlu didaftarkan agar bukti dari pernikahan tersebut dapat disimpan dan dijadikan sandaran dengan jelas. Meskipun tidak ada satu pun kelompok ulama menegaskan tentang pentignya pencatatan, tetapi apa yang dikemukakan Maliki terkait dengan hukum adanya saksi, di mana ia menyebutkan bahwa saksi tidak perlu dihadirkan pada waktu akad diucapkan dan bisa dihadirkan setelahnya, serta tentang fungsinya memberikan pengumuman tentang pernikahan yang ia saksikan, dapat diajdikan pijakan pentingnya pencatatan untuk zaman sekarang19.

Di Indonesia, aturan tentang pencatatan pernikahan dapat dilihat di UU No. 22/1964. UU ini mengatur hanya administrasi perkawinan dan

19

Asep Saepudin Jahar, Euis Nurlelawati, Jaenal Aripin, Hukum Keluarga, Pidana dan Bisnis, (Jakarta: Kencana 2013) h. 25

65

menegaskan bahwa pernikahan diawasi oleh pegawai pencatat nikah. Aturan pencatatn pernikahan diperkuat dalam UU No.1/1974 dan KHI. KHI menyatakan bahwa perkawinan dinayatakan sah denga hadirnya pencatat perkawinan yang resmi atau jika didaftarkan. Tidak dipenuhinya pendaftaran perkawinan berakibat pada ketidaksahanya perkawinan, dan upaya hukum di pengadilan akan ditolak jika perkawinan tidak terdaftar20.

c. Poligami

Poligami memang bukan isu baru dalam wacana dan perdebatn hukum Islam. Namun, karena aturan-aturanya yang terus berkembang di beberapa negara, termasuk di Indonesia, dan karena perbedaan cara pandang dari para ulama dan ahli hukum terkait dengan hukumnya, isu poligami menjadi menarik dan penting untuk didiskusikan. Poligami merupakan salah satu bentuk pernikahan yang diatur dalam hukum Islam. Mengacu pada hukum Islam (fiqih), poligami merupakan bentuk pernikahan yang diperbolehkan. Mayoritas ulama memperbolehkan pernikahan poligami, dan pandangan kebolehan pernikahan poligami ini berdasarkan pada ayat al-Qur’an yang menyatakan bahwa seorang Muslim laki-laki boleh melakukan pernikahan dengan satu, dua, tiga, dan empat wanita yang baik, seperti tercantum dalam ayat keempat Surat an-Nisa (4). Ayat tersebut dipahami sebagai sebuah aturan kebolehan pernikahan poligami, meskipun

20

Asep Saepudin Jahar, Euis Nurlelawati, Jaenal Aripin, Hukum Keluarga, Pidana dan Bisnis, (Jakarta: Kencana, 2013) h. 26

turunya ayat tersebut dilantari oleh praktik pernikahan yang dilakukan laki-laki dengan motivasi penguasaan harta anak dan atau perempuan yatim. Tidak menghendaki adanya pernikahan dengan motivasi tersebut, Allah menurunkan ayat tersebut untuk menghalangi praktik tersebut. Namum, ayat tersebut kemudian dipahami sebagai sebuah dasar pembolehan praktik pernikahan poligami secara umum. Meskipun beberapa kalangan menafsirkan kebolehan dengan penekanan pada kalimat berikutnya yang menyinggung tentang keadilan yang harus dipenuhi suami, mayoritas ulama menganggap keharusan berlaku adil tersebut tidak terlalu penting mengingat keadilan merupakan hal yang sangat abstrak.

Para ulama Sunni Malikiyah, Syafi’iyah, Hanabilah, dan Hanafiyah,

menegaskan bahwa dalam poligami

tidak disyaratkan keadilan hati dan cinta. Syafi’iyah bahkan

menyebutkan, keadilan dalam masalah nafkah juga tidak ditekankan21. Namun, sejalan dengan perkembangan zaman dan cara berfikir tentang perlindungan hak-hak individu manusia, aturan poligami yang ditemukan dalam buku-buku fikih mengalami penafsiran ulang dan pembaruan. Sama halnya dengan beberapa negara lain, seperti diuraikan berikut, Indonesia juga mengatur poligami. UU No. 1/1974 dan KHI menjelaskan bahwa poligami dimungkinkan untuk dilakukan. Dasar atau prinsip perkawinan monogami, dengan kemingkinan diizinkanya seorang laki-laki melakukan

21

Asep Saepudin Jahar, Euis Nurlelawati, Jaenal Aripin, Hukum Keluarga, Pidana dan Bisnis, (Jakarta: Kencana, 2013) h.29

67

poligami, maksimal dengan empat orang (pasal 3 ayat 1-2 UU No. 1/1974)22.

2. Malaysia

Pembaharuan hukum Islam (Fiqih) di Malaysia secara garis besar dapat dibagi menjadi dua kelompok pemikir; tradisionalis dan modren. Ciri utama pemikir Fiqih tradisionalis di Malaysia adalah bersandar pada Mazhab Ahlu-Sunnah wal-Jamaah, atau lebih khusus, bertaklid pada mazhab Syafi’i. Jika meruuk kitab-kitab Ushul Fiqih karangan ulama tardisionalis, jelas sekali tekananya agar bertaklid kepada mazhab yang empat, khususnya mazhab

Syafi’i. Kitab-kitab yang menjadi rujukan para ulama tradisional sebenarnya tidak merunjuk kepada karya-karya Imam asy-Syafi’i an sich tetapi kepada karya para ulama Syafi’iyah. Kelompok tradisionalis ini berpuas hati pada kitab al-Muhazzab (ash-Shirazi), Fath al-Wahhab (Zakariya al-Anshari), Thufat al-Muhtaj (Ibn Hajar al-Haitami), Nihayat al-Muhtaj (Syamsuddin ar-Ramli), Mughni al-Muhtaj (Ibnu Khatib ash-Sharbini), Fath al-Mu’in

(Zainuddin bin Abdul Aziz al-Malibari), dan al-Ghayat wat-Taqrib (al-Ashfahani). 154 Bukan Karya-karya Imam Syafi’i seperti al-risalah atau al-Um23.

Mengenai hukum Munakahat, perkara yang dibahas ialah pertunangan, perkawinan, hak dan kewajiban suami-isteri seperti nafkah dan hadanah serta

perceraian dan rujuk. Adapun bidang mu’amalat menyangkut masalah sosio-22

Muhammad Syaifuddin,Hukum Kontrak, (Bandung: Mandar Maju, 2012) h. 90

23

Dedi Supriyadi dan Mustofa, Perbandingan Hukum Perkawinan di Dunia Islam, (Bandung: PustakaAl-Fikriis, 2009) h. 125

ekonomi seperti riba, khiyar, jual beli, jual saham, mufis, berhutang, gadai, suih, hilwalah, berwakil, iqrar, wadi’ah, luqatah, mengupah, sewa, dhaman, ariyah, mati, wakaf, dan lain-lain. Termasuk dalam persoalan ini ialah hukum faraid atau pembagian pusaka, ahli waris, kadar masing-masing, pendingding, sisa harta, wasiat, dan sebagainya24.

Lepas dari perbedaan mazhab Fiqih yang dianut umat Islam seperti akan nanti, yang pasti hukum keluarga Islam hingga kini dan insya Allah hingga di masa-masa mendatang masih tetap dan akan terus berlaku di Dunia Islam. Bahkan di dunia non-Islam pun keluarga Muslim secara umum tampak memiliki perlindungan dan keluarga Muslim secara umum tampak memiliki perlindungan dan jaminan hukum yang cukup memadai untuk memberlakukan hukum keluarga Islam bagi keluarga-keluarga Muslim. Terutama dalam hal perkawinan25.

a. Peranan Maslahat dalam Hukum Islam

Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia disebutkan bahwa “peranan” artinya “bagian yang dimainkan”. Peranan juga berati “tindakan yang dilakukan oleh seseorang dalam satu peristiwa”26. Dari kutipan tersebut dapat diambil kesimpulan bahwa yang dimaksud dengan peranan maslahat dalam hukum Islam serta bertindak dalam kaitanya dengan penetapan hukum Islam.

24

Dedi Supriyadi dan Mustofa, Perbandingan Hukum Perkawinan di Dunia Islam, (Bandung: PustakaAl-Fikriis, 2009) h. 127

25

Muhammad Amin Suma,Hukum Keluarga Islam di Dunia Islam, (Jakarta: Rajawali Pres, 2004) h. 144

26

69

3. Negara Brunei Darussalam

Bagi Muslim Negara Brunei Darussalam, hukum Islam sangat berpengaruh terutama hukum keluarga yang bersumber kepada mazhab

Syafi’i, tiga mazhab Sunni lainya setelah disetujui oleh Sultan, tradisi kuno dan tradisi Melayu. Selain itu, secara fakta sejarah, Negara Brunei Darussalam adalah jajahan Inggris yang memberikan pengaruh besar terhadap konstitusi hukum di negara tersebut. Hal itu terbukti,constitusi negara yang dibuat pada tahun 1959 dipengaruhi oleh Inggris dengan sistem common law, terutama sistem peradilan yang mengadopsi sistem Inggris sejak tahun 1955. Pengaruh itu tidak hanya pada konstitusi negara tetapi pada konstitusi atau undang-undang hukum Islam sampai Brunei merdeka secara penuh dari Inggris tahun 1984. Hal itu terungkap dalam wikipedia : Free Encyclopedia, bahwa:

“Selama kurun waktu abad 15 dan 16, Negara Brunei menguasai kepulauan Borneo dan beberapa pulau Kalimantan dan Philipina. Expansi Eropa yang datang dari Spanyol dan Belanda, sejak abad 16 mencaplok sebagian wilayah Negara Brunei Darussalam. Pada abad 19, Brunei mencari bantuan ke Inggris dalam mempertahankan sebagian wilayah tersebut. Sampai akhirnya, beberapa bagian Negara Brunei Darussalam dikuasai dan diatur oleh Inggris yang diformalkan pada tahun 1906. Konstitusi negara ditegakan pada tahun 1959 yang memberi izin pengaturan secara internal dan menetapkan berakhir pada tahun 1971 bahwa Brunei bebas dari protokoler Inggris sampai negara tersebut

Meskipun demikian, ketentuan hukum Islam yang mulai diundangkan tahun 1912 antara Brunei dan Inggris dengan nama The Mohammedan Laws Enactment 1912, didasarkan kepada kedua tradisi negara tersebut dan hukum Islam. Perundangan ini meliputi aspek hukum Keluarga dan Kriminal dan Juridiksi Hakim. Selanjutnya diikuti dengan The Mohammedan Marrige and Disvorce Enactmen 1913 yang mengatur tentang pendaftaran perkawinan dan penceraian melalui hakim pengadilan. Kedua undang-undang tersebut tidak berlaku lagi diganti denganThe Brunei Religios Councils, Khathis Courts and State Customs Enactmen 1955 dan beberapa perubanhanya samapai sekarang27.

Seluruh umat Islam berkeyakinan bahwa dalam hukum keluarga terkandung nilai-nilai ubudiah dan kewajiban individu (fardhu’ain) yang berbeda dari kewajiban kolektif (nonta’abudi) yang penerapanya dimungkinkan semata-mata berdasarkan hukum tata negara (al-ahkam ad-dusturiyyah) dan hukum internasional (al-ahkam ad-duwaliyah), yang penerapanya dapat selalu disesuaikan dengan kemaslahatan umat dan kepentingan umum, dalam bidang hukum keluarga umat Islam telah memiliki keyakinan tersendiri yang demikian melekat dengan aqidah Islamiyah28.

27

Dedi Supriyadi dan Mustofa, Perbandingan Hukum Perkawinan di Dunia Islam, (Bandung: PustakaAl-Fikriis, 2009) h.148

28

Muhammad Amin Suma, Hukum Keluarga Islam di Dunia Islam, (Jakarta: Rajawali Pres, 2004) h. 145

71

C. Prospek Hukum Keluarga di Indonesia, Malaysia, Negara Brunei

Dokumen terkait