• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB II PEMBENTUKAN HUKUM KELUARGA DI INDONESIA,

2. Poligami

Penjelasan tentang asa perkawina tidak ditemukan secara tegas dalam kitab al-Mabsut, yaitu sebuah kitab yang ditulis as-Sarakhsi (w. 483/1090) dari mazhab Hanafi. Dalam kitab ini hanya ditulis, seorang suami yang berpoligami harus berlaku adil terhadap para istrinya. Keharusan berlaku adil

1

https://mohmahfudz.wordpress.com/2014/11/27/pernikahan-dalam-kajian-fiqih-klasik-dan-kontemporer/hari selasa tanggal 21 bulan 6 jam 14:25

ini bedasarkan surah an-Nissa (4): 3 dan hadis dari A’isyah yang menceritakan

perlakuan yang adil dari Nabi kepada istrinya, ditambah dengan ancaman bagi suami yang berpoligami tetapi tidak berlaku adil kepada para istrinya. Ketika berbicara tentang hak dan kewajiban suami dan istri, al-Kasani (w. 587/1191) juga dari mazhab Hanafi, menulis tentang kewajiban suami yang berpoligami, yakni wajib berlaku adil tethadap istri-istrinya, dan mendapat perlakuan adil ini menjadi hak istri.

Wahbah al-Zuhaily lebih menguatkan kepada pendapat yang menyatakan bahwa maksimal isteri itu 4. Beliau beralasan bahwa 1 bulan ada 4 minggu menjadikan kemudahan bagi laki- laki untuk membagi waktu bersama isteri-isterinya pencurahan cinta dan kasih sayang akan lebih mudah dicurahkan kepada isteri-isterinya dalam batas waktu tidak melebihi satu bulan. Untuk beristeri lebih dari 4 itu ditakutkan berbuat aniaya dan lemah dalam memenihi hak-hak para isteri. Hal inilah yang mengindikasikan bahwa laki-laki yang takut untuk tidak berlaku adil maka baginya lebih baik menikah dengan seorang saja. Keadilan ini menyangkut pembagian waktu, jima’,dan nafaqah. Pendapat maksimal 4 ini bukan berarti laki-laki boleh menikah lebih dari 1, hal ini hanyalah merupakan pengecualian yang jarang sekali, bahkan beristeri satu itu merupakan hal yang umum dan paling utama2.

Imam Syafi’i berkata : laki-laki budak tidak boleh menikahi wanita lebih dari dua orang, demikian pula semua orang yang kemerdekaanya belum sempurna. Hukum budak yang menikahi lebih dari dua wanita sama seperti

2

Wahbah al-Zuhaily,al-Fiqh al-Islām wa Adillatuh, juz 7(Demaskus:Dār al-Fiqr, 1985), h. 165

35

hukum laki-laki merdeka yang menikahi lebih dari empat orang wanita, tidak ada perbedaan antara keduanya. Apabila laki-laki merdeka menikahi empat

wanita, maka saya katakan, “Pernikahan yang terakhir harus dipisahkan, yakni istri yang kelima dan seterusnya.” Demikian pula harus dipisahkan istri budak

yang lebih dari dua3.

Jika budak yang akan menikah dimiliki oleh dua orang, lalu salah seorang majikan memberi izin untuk menikah dan yang satunya tidak memberi izin, kemudian budak tersebut menikah, maka pernikahan ini mesti dibatalkan. Pernikahan budak ini tidak sah hingga kedua majikan sama-sama memberi izin4.

Menurut Sayyid Qutub, sebagiman yang dikutib oleh Quthbuddin Aibak yaitu, poligami merupakan suatu perbuatan rukhsah yang dapat dilakukan hanya dalam keadaan darurat yang dapat dialakukan hanya dalam keadaan darurat yang benar-benar mendesak. Kebolehan ini masih disyaratkan harus bisa berbuat adil terhadap istri-istri dibidang nafkah,

mu’amalah, pergaulan dan pembagian malam. Bagi calon suami yang tidak

sanggup berbuat adil, maka diharuskan cukup menikahi satu orang istri saja, sedangkan bagi suami yang sanggup berbuat adil, maka boleh berpoligami dengan batasan maksimal hanya empat orang istri5.

3

Imam Syafi’i, Ringkasan Kitab AL-Umm, Penerjemah Rosadi Imron, Amiruddin, Awaluddin Imam, (Jakarta Selatan: Pustaka Azzam, 2004), h. 384

4

Imam Syafi’i, Ringkasan Kitab AL-Umm, Penerjemah Rosadi Imron, Amiruddin, Awaluddin Imam, (Jakarta Selatan:Pustaka Azzam, 2004), h. 385

5

Penerapan yang tidak baik dan tidak adanya perhatian yang sungguh-sungguh atas ajaran Islam menjadi alasan utama bagi mereka yang ingin mempersempit wilayah cakupan poligami; ketika seorang laki-laki dilarang untuk berpoligami kecuali setelah lulus ujian penelitian yang dilakukan oleh kehakiman dan instansi terkait yang memiliki wewenang dalam hal ini berkenaan dengan kemampuannya secara materi. Instansi inilah yang selajutnya berhak memberi izin kepadanya untuk menikahi lagi. Demikian ini perlu dilakukan karena kehidupan berumah tangga memerlukan biaya yang cukup tinggi. Apabila jumlah anggota keluarga bertambah dengan berpoligami, tentunya beban yang harus ditanggung pihak laki-laki sebagai kepala rumah tangga akan semakin berat. Suami bisa jadi tidak akan mampu melaksanakan kewajibannya dalam memberi nafkah, mengasuh, dan mendidik keluarganya agar menjadi anggota masyarakat yang baik, yang mampu bangkit dan memikul beban tanggung jawab dan keperluan hidup sehari-hari. Ketidakmampuan ini akan melahirkan kebodohan, semakin bertambahnya angka penganguran, juga telantarnya sebagian besar masyarkat, sehingga para pemuda yang ada hanya menjandi penyakit sosial yang merusak tatanan masyarakat6.

Asy-Syekh Tbanthaawy Jauhary dalam kitab Tafsirnya; mengemukakan hasil penelitian penulis Inggris di masa itu, yang mengatakan bahwa oarang-orang Muslim istri lebih dari 10 oarang-orang, dengan pendapat yang sangat minim.

6

Sayyid Sabiq, Fikih Sunnah jilid 3, Penerjemah Harahap Amru Khairul, (Jakarta: Cakrawala Publishing, 2012) h. 364

37

Masing-masing istri itu mempunyai banyak anak, padahal kadang-kadang tidak mendapatkan biaya hidup dari suaminya, maka penulis tersebut menganggapnya seperti kehidupan ayam, selanjutnya Asy-Syekh Tbanthaawy Jauhary mengemukakan kesimpulanya dari hasil penelitian penulis tersebut di

atas, dengan mengatakan : “ Dan sesungguhnya tim peneliti (bangsa Inggris)

menemukan data, bahwa orang-orang berpoligami di negara Islam (benua Afrika) menunjukan hasil yang maksimal 5 orang yang berpoligami dalam setiap 100 penduduk, dan minimal 3 orang yang berpoligami dalam setiap 100

penduduk” kalau ada diantara orang Muslim yang berpoligami lebih dari 4

orang, apalagi kalau ekonominya lemah, maka hal itu termasuk oramg yang menyeleweng dari ajaran Islam. Bahkan Asy-Syekh Thanthaawy Jauhary sendiri mengherankan laki-laki yang berpoligami lebih dari satu orang, sedangkan status ekonominya lemah. Sehingga ia mengatakan; bagaimana seorang laki-laki dapat berpoligami, padahal kemampuan tenaga dan ekonominya sangat terbatas7.

Sebagaimana haram bagi laki-laki menikahi istri yang kelima, jika di bawahnya masih ada empat orang istri, haram pula menikahinya jika ia talak salah satunya dan masih dalam iddah, karena hukumnya ia masih menjadi istrinya. Imam Asy-Syafi’i berbeda pendapat menegenai hal ini, menurutnya sah pernikahan dalam masa iddah talak ba’in karena terputusnya hubungan istri sebab talak ba’in. Dalam kondisi ini wanita yang dinikahi bukan yang kelima tapi yang keempat, karena wanita tercerai ba’in itu sudah keluar dari

7

Mahjuddin, Masailul Fiqhiyah Berbagi kasus yabg dihadapi Hukum Islam masa kini, (Kalam Mulia, ) h. 52-53

istrinya. Berbeda dengan wanita yang tercerai talak raj’i, suami yang ingin

menikah untuk yang kelima disyaratkan telah habis masa iddah istri keempat. Ia tidak halal menikahi yang kelima sebelum habis masa iddah-nya karena ia

masih dalam hukum istri. Talak raj’i tidak menghilangkan kehalalan dan

milik8.

Sebelum ayat 1-4 surat al-Nisa’ turun, perlakuan wali terhadap anak-anak yatim yang di bawah pengasuhannya umumnya tidak berlaku adil. Banyak wali yang ingin menikahi anak yatim untuk menguasai hartanya atau menikahkan anak yatim tersebut dengan anaknya agar terjadi percampuran harta yang dapat menambah kekayaannya. Bahkan ada wali yang menahan anak yatim untuk tidak menikah, atau menikah tapi dengan calon pilihan si wali agar si wali tersebut mendapat keuntungan dari pengurangan mahar, belanja, dan si walipun tetap secara tak langsung terus menguasai hak- hak perdata si yatim9.

B. Pencatatan Perkawinan dan Poligami dalam Perundang-undangan di Indonesia

1. Pencatatan Perkawinan

Bagi umat Islam, keberadaan lembaga peradilan merupakancondition sine quanon, yakni sesuatu yang mutlak adanya. Ia ada berbanding lurus dengan adanya Islam dan pemeluknya. Sehingga di mana pun ada Islam dan pemeluknya, maka maka disitu pasti ada lembaga peradilan. Karena ia

8

Azzam Muhammad Aziz Abdul dan Hawwas Sayyed Wahab Abdul, penerjemah Khon Majid Abdul,Fiqih Munakahat Khitbah Nikah dan Talak,(Jakarta: Amzah, 2011) h. 169

9

Abdul Nashir Taufiq al-‘Atthar, Poligami Ditinjau dari Segi Agama Sosial dan Perundang-Undangan (Jakarta: Bulan Bintang, 1976) h. 111.

39

berfungsi sebagai lembaga yang menyelesaikan persengketaan di antara pemeluk Islam. Hal ini tercermin dari preseden munculnya bentuk-bentuk penyelesaian sengketa yang terjadi pada masa Rasulullah SAW, bahkan sudah terlihat dalam bentuk lembaga pada masa sahabat dan sesudahnya, tentunya dengan bentuk dan corak yang sederhana10.

Tedapat tiga aspek struktural yang melekat pada badan-badan peradilan. Semuanya diatur dalam peraturan perundang undangan (UU Nomor 14 Tahun 1985, UU Nomor 2 Tahun 1989). Ketiga aspek adalah susunan pengadilan. Kekuasaan pengadilan, dan hukum acara yang berlaku. Mengenai hukum acara yang berlaku pada pengadilan dalam lingkungan Peradilan Agama, diatur dalam BAB IV UU Nomor 7 Tahun 1989, mulai Pasal 54 sampai dengan Pasal 10511.

Dalam perkawinan, pencatatan mutlak diperbelakukan. Adapun fungsi dan kegunaan pencatatn adalah untuk memberi jaminan hukum terhadap perkawinan yang dilakuan, bahwa perkawinan itu dilaksanakan dengan sungguh-sungguh, berdasarkan i’tikad baik, serta suami sebagai pihak yang melakukan transaksi benar-benar akan menjalankan segala konsekuensi atau akibat hukum dari perkawinan yang dilaksanakannya itu12.

Melalui pencatatan perkawinan yang dibuktikan dengan akta nikah, yang masing-masing suami istri mendapatkan salinanya, apabila terjadi perselisihan

10

Jaenal Aripin, Jejak langkah Peradilan Agama di Indonesia, (Jakarta: PT Kharisma Putra Utama,2013) h.1

11

Cik Hasan Bisri,Peradilan Agama di Indonesia, (Jakarta: Rajawali Pres, 1998) h. 225

12

Yayan Sopyan, Islam-Negara Transformasi Hukum Perkawinan Islam dalam Hukum Nasional, (Jakarta Selatan: RMBooks, 2012) h. 131

atau percekcokan di antara mereka, atau salah satu pihak tidak bertanggung jawab, maka yang lainya dapat melakukanya upaya hukum guna mempertahankan atau memperboleh hak masing-masing. Karena dengan akta tersebut, baik suami maupun isteri memiliki bukti otentik atas perubahan hukum yang telah mereka lakukan13.

Menurut pasal 11 ayat 2 peraturan Pemerintah No. 9 Tahun 1975 tentang pelaksanaan Undang-undang No. 1 tahun 1974 tentang perkawinan dan peraturan Menteri Agama No. 11 tahun 2007 tetang pencatatan perkawinan bahwa perkawinan dianggap lebih tercatat secara resmi apabila akata perkawianan telah ditandatangani oleh kedua mempelai, dua orang saksi, pegawai dan bagi yang beragama Islam juga wali atau yangmewakilinya. Pada 11 ayat (3) dijelaskan bahwa dengan pencatatan akta perkawinan, maka perkawinan telah tercatat secara resmi14.

Namum realitasnya, undang-undang tersebut tidak terimplementasiakn atau terlaksana dengan baik. Masih banyak penyimpangan-penyimpangan hukum yang dilakukan masyarakat dalam beberpa kasus, misalnya perkawinan tidak dicatatkan masih sering ditemukan dalam masyarakat. Perkawinan seperti ini sangat merugikan terutama bagi perempuan. Padahal jika ditela’ah makna dari perkawinan tersebut adalah ikatanyang kuat antara

13

Yayan Sopyan, Islam-Negara Transformasi Hukum Perkawinan Islam dalam Hukum Nasional, (Jakarta Selatan: RMBooks, 2012) h. 132

14

Nurdin Amiur dan Taringan Akmal Azhari, Hukum Perdata Islam di Indonesia,

41

seorang perempuan dan laki-laki yang tidak hanya disaksian oleh dua orang saksi, tetapi juga disaksikan oleh Allah SWT15.

Perkawinan yang dilakukan tanpa prosedur pencatatan dikenal dengan nikah sirih. Nikah siri menurut KHI tidak mempunyai kekuatan hukukm. Nikah sirih dikatagorikan sebagai perkawinan haram dalam bentuk compassianate marriage atau kawin kumpul kerbau. Perkawinan sirih sah menurut agama,tetapi hak-haknya tidak dijamin oleh peraturan perundang-undangan. Jika selama masa kawin sirih lahir seorang anak, maka anak tersebut dianggap tidak sah oleh hukum, sehingga hanya mempunyai hubungan keperdtaan dengan ibunya. Dengan kata lain, anak tersebut tidak mempunyai kekuatan hukum (tidak diakui jika timbul masalah perdata)16.

Dalam UU Nomor 1 Tahun 1974 di jelaskan dalam BAB 1 pasal 2 ayat (2)

yang berbunyi “ Tiap-tiap perkawinan dicatat menurut peraturan perundang

undangan yang berlaku”

UU No. 22 Tahun 1946 pasal 1 ayat (1), “Nikah dilakukan menurut agama

Islam, selanjutnya disebut nikah, diawasi oleh pegawai pencatat Nikah yang diangkat oleh Menteri Agama atau pegawai yang ditunjuk olehya. Talak dan Rujuk yang dilakukan menurut agama Islam, selanjutnya disebut talak dan

rujuk, diberitahukan kepada pegawai pencatat nikah”.

15

Syarifuddin Amir, Hukum Perkawinan Islam di Indonesia, (Jakarta: Kencana, 2009) h.62

16

ABD Shomad, Hukum Islam Penormaan Prinsip Syariah dalam Hukum Indonesia, (Jakarta: Kencana, 2010) h. 298

Ketika menjelaskan hukuman bagi pasangan yang melakukan perkawinan tanpa pengawasan disebutkan, maksud hukum bagi pasangan yang melanggar adalah agar aturan administrasi ini diperhatikan tetapi tidak mengakibatkan batalnyan perkawinan17.

2. Poligami

Kata poligami berasal dari Bahasa Yunani secara etimologis poligami merupakan derivasi dari kata apolus yang berarti banyak, dan gamos yang berarti istri atau pasangan. Jadi poligami bisa dikatakan sebagai mempunyai istri lebih dari satu orang secara bersamaan. Adapun secara terminologis, poligami dapat dipahami sebagai suatu keadaan dimana seorang suami memiliki istri lebih dari satu orang18.

Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI) kata poligami diartikan sistem perkawinan yang membolehkan seseorang mempunyai istri atau suami lebih dari satu orang. Memoligami adalah menikahi seseorang sebagai istri atau suami kedua ketiga dan seterusnya19.

Indonesia memiliki system hukum keluarga yang unik karena campuran antara hukum Islam dan hokum adat. Di bawah pemerintahan Hindia Belanda dan Jepang, hukum keluarga yang diberlakukan di Indonesia adalah hukum

17

Khoiruddin Nasution, Status Wanita Di Asia Tenggara: Studi Terhadap PerundangUndangan Perkawinan Muslim Kontemporer Di Indonesia Dan Malaysia, (Jakarta: Katalog Dalam Terbitan (KDT), 2012) h. 147

18

A. Rodli Makmun dan Evi Muafiah ,Poligami dalam Penafsiran Muhammad Syahrur,( Ponorogo: STAIN Ponorogo Press, 2009), h. 15

19

Departemen Pendidikan Nasional,Kamus Besar Bahasa Indonesia Pusat Bahasa,Eds. Empat, (Jakarta: PT. Gramedia, 2008), h. 1089

43

adat yang dimodifikasi dengan hukum Islam. Hal ini telah diatur sejak tahun 1882 dengan peraturan tentang Peradilan Agama20.

Lahirnya Undang-Undang Perkawinan Nomor1 tahun 1974 merupakan kelanjutan dari pen- jabaran UU No.1 tahun 1970 tentang Pokok- Pokok Kekuasaan Kehakiman, khususnya untuk melengkapi hukum materil Peradilan Agama. Oleh karena itu pula, Undang-Undang Perkawinan ini dapatlah dikatakan sebagai langkah awal dari usaha legislasi hukum Islam di Indonesia untuk kemudian dilanjutkan dengan Undang-Undang Peradilan Agama No. 7 tahun 1989 dan Inpres No. 1 tahun 1991 tentang Kompilasi Hukum Islam.

Poligami adalah yang cukup dominan sebelum datangnya Islam, kemudian datanglah Islam dengan membolehkan poligami ketika poligami tu merupakan sistem yang sangat kuat di dalam kehdupan masyarkat Arab, yang meruapakan konsekuensi dari tabiat biologi dan relitas mereka. Islam tidak memisahkan antara kehidupan banggsa Arab ketika masih Jahiliyah dengan kehidupan mereka setelah datangnya Islam, akan tetapi Islam hanya membersihkan kehidupan Jahiliyah ini , sehingga tinggal yang baik-baik saja kemudian menghapus dan meluruskan dengan lemah le,but dan penuh belas kasih apa yang seharusnya dihapus dan diluruskan sesuai dengan tujuanya. Islam yang lurus tidak melanggar Poligami, tetapi juga tidak membiarkannya bebas tanpa aturan, akan tetapi Islam mengaturnya dengan syarat-syarat

20

Tahir Mahmood, Personal Law in Islamic Countries, (New Delhi: Academy of Law and religion, 1987), h. 205

Imaniyah yang jelas dalam hukum-hukum Al-Qur’an. Maka Islam membatasi

poligami hanya sampai empat orang, di mana zaman Jahiliyah dulu tampa batas. Firman Allah21:

“Dan jika kalian takut tidak kan dapat berlaku adil terhadap (hak-hak) perempuan yatim (jika kalian menikahinya), maka nikahilah wanita-wanita (lain) yang kami senangi dua, tiga, atau empat dan jika kalian takut tidak bisa berlaku adil maka (nikahilah) seorang saja ata budak-budak yang kalian

miliki..” (An-Nisa: 3)

Diantara keagungan ayat ini tampak jelas bahwa bolehnya Poligamidan pembatasanya dengan empat orang, datang dengan dibarengi kekhawatiran berlaku zhalim kepada perempuan Yatim22.

Islam memandang poligami lebih banyak membawa resiko/ madharat daripada manfaatnya, karena manusia itu menurut fitrahnya (human nature) mempunyai watak cemburu, iri hati, dan suka menegeluh. Watak-watak tersebut akan mudah timbul dengan kadar tinggi, jika hidup dalam kehidupan keluarga yang poligamis. Dengan demikian, poligami itu bisa menjadi sumber konflik dalam kehidupan keluarga, baik konflik antara suami dengan istri-istri dan anak dan istri-istrinya, maupun konflik antara istri beserta

anak-21

Karam Hilmi Farhat,Poligami dalam pandangan Islam,Nasrani, dan Yahudi,(Jakarta: Darul Haq, 2007) h. 23

22

Karam Hilmi Farhat,Poligami dalam pandangan Islam,Nasrani, dan Yahudi,(Jakarta: Darul Haq, 2007) h. 29

45

anaknya masing-masing. Karena itu hukum asal dalam perkawinan menurut Islam adalah monogami, seba dengan monogami akan mudah menetralisir sifat/ watak cemburu, iri hati dan suka mengeluh dalam kehidupan keluarga yang monogami. Berberda dengan keluarga yang poligamis, orang akan mudah peka dan terangsang timbulnya perasaan cemburu, iri hati/ dengki, dan suka menegeluh dalamkadar tinggi, sehingga bisa mengganggu ketenangan keluarga dan dapat pula membahayakan keutuhan keluarga. Karena itu, poligami hanya diperbolehkan, bila dalam keadaan darurat, misalnya istri ternyata mandul, sebab menurut Islam, anak itu merupakan salah satu dari tiga human investment yang sangat berguna bagi manusia setelah ia meninggal dunia, keturunan yang shaleh yang selalu berdoa untuknya. Maka dalam keadaan istri mandul dan suami tidak mandul berdasarkan keterangan medis hasil laboratoris, suami diizinkan berpoligami denga syarat ia benar-benar mampu mencukupi nafkah untuk semua keluarga dan harus bersikap adil dalam pemberian nafkah lahir dan giliran waktu tinggal23.

Dalam UU Perkawinan No 1 Tahun 1974 pasal 4 ayat 1-2 yang berbunyi

“1. Dalam hal seorang suami akan beristri lebih dari seorang, sebagaimana

tersebut dalam pasal 3 ayat (2) Undang-undang ini, maka ia wajib mengajukan permohonan kepada Pengadilan di daerah tempat tinggalnya” “2. Pengadilan

dimaksud dalam ayat (1) pasal ini hanya memberikan izin kepada seorang suami yang akan beristri lebih dari seorang apabila: a. Istri tidak dapat

23

menjalankan kewajibannya sebagai istri b. Istri mendapat cacat badan atau penyakityang dapat disembuhkan c. Istri tidak dapat melahirkan keturunan”. C. Pencatatan Perkawinan dan Poligami dalam Perundang-undangan di

Malaysia

a. Pencatatan perkawinan

Tidak berbeda dengan Indonesia, UU Hukum Keluarga Malaysia menetapkan keharusan pencatatan perkawinan, selma perkawinan tersebut sesuai dengan UU. Namun di sisi yang lain, UU masih membuka peluang adanya perkawinan yang didasarkan kepada hukum Islam, yaitu jika perkawinan tersebut dilakukan sesuai dengan hukum Syarak (Islam), dengan putusan dari Pengadilan perkawinan tersebut dapat di catatkan. Meskipun dengan ketentuan yang masih terbuka dan mengakui perkawinan menurut Islam, UU Hukum Keluarga Malaysia sanksi bagi mereka yang dinyatakan melanggar ketentuan dan kewajiban pendaftaran perkawinan, dengan ancaman hukuman denda paling banyak 1000 ringgit atau dengan kurungan paling lama bulan, dan/atau keduanya24.

UU Perak pasal 20 ayat (1, 2 dan 3), UU Serawak pasal 20 ayat (1, 2, dan 3), UU Kelantan pasal 21 ayat (2), UU Negeri Sembilan pasal 22 ayat (1, 2 dan 3), UU Pahang pasal 22 ayat (1, 2, dan 3), UU Persekutuan pasla 22 ayat (1, 2 dan 3), UU Selangor pasal 22 ayat (1, 2, dan 3) dan UU Pinang pasal 22 ayat (1, 2, dan 3). Contoh teks UU Pinang pasal 22 ayat (1), “selepas sahaja

akadnikah sesuatu perkahwinan dilakukan, pendaftaran hendaklah

24

Ahmad Tholabi Kharlie dan Asep Syarifuddin Hidayat, Hukum Keluarga di Dunia Islam Kontenporer, (Ciputat: Lembaga Penelitian UIN Syarif Hidayatullah Jakarta, 2011), h. 264

47

mencatatkan butir-butir yang ditetapkan dan ta’liq yang ditetapkan atau ta’liq

lain bagi perkahwinan itu di dalam daftar perkawinan”, ayat (2) “Catatan itu

hendaklah diakusaksi oleh pihak-pihak kepada perkahwinan itu, oleh wali, dan oleh dua orang saksi, selain daripada pendaftaran, yang hadir semasa perkahwinan itu diakad nikah”, ayat (3) “Catatan itu hendaklah kemudiannya

ditandatangani oleh pendaftaran itu”.

b. Poligami

Mayoritas penduduk negara Malaysia (55%) adalah muslim bermazhab

Syafi’i. Negara ini terletak di Asia Tenggara dengan memakai bahasa Melayu dan Inggris sebagai bahasa resmi negara. Pada masa pemerintahan Inggris di akhir abad ke-19, semenanjung Malaka terdiri atas kerajaan- kerajaan kecil dan budaya Islam diberlakukan diseluruh negeri tersebut, seperti hukum perkawinan, hukum perceraian, dan hukum waris25.

Berdasarkan undang-undang Perkawinan tentang boleh atau tidaknya seorang laki-laki melakukan poligami, ada tiga hal penting yang dibicarakan, yakni: (i) syarat-syarat, (ii) alasan-alasan pertimbangan boleh tidaknya poligami, dan (iii) prosedur. Namun perlu dicatat, berbeda dengan perundang-undangan Indonesia yang dengan tegas menyebut bahwa prinsip perkawinan adalah monogami, dalam perundang-undangan Malaysia tidak ada penegasan tentang prinsip perkawinan. Adapun syarat yang harus dioenuhi, semua Undang-undang keluarga Malaysia mengharuskan adanya izin lebih dahulu

25

Tahir Mahmood, Family Law Reform in the Muslim, World, (Delhi: N.M Tripathi, 1972) h. 219

secara tertulis dari hakim (pengadilan). Hanya saja dalam rincianya ada sedikit perbedaan, yang merupakan kelompok mayoritas, poligami tanpa izin lebih dahulu dari pengadilan boleh didaftarkan dengan syarat lebih dahulu membayar denda atau menjalani hukuman yang telah ditentukaan26.

Kelompok pertama yang mayoritas adalah UU Negeri Sembilan pasal 23 ayat (1). UU Pinang pasal 23 ayat (1). UU Pahang pasal 23 ayat (1). UU Selangor pasal 23 ayat (1). UU Wilayah Persekutuan pasal 23 ayat (1). Dan UU Perak pasal 21 ayat (1). Contoh teks UU Perak pasal 21 ayat (1) berbunyi.

“Tiada seseorang lelaki boleh berkahwin dengan seorang lain dalam masa dia

masih beristrikan istrinya yang sedia ada kecuali dengan terlebih dahulu mendapatkan kebenaran secara bertulis dari Hakim Syari’ah, dan jika dia

melakukan perkawinan tanpa kebenaran tersebut maka perkahwinan itu tidak boleh didaftarkan di bawah Enakme ini ”. Dalam UU Perak pasal 21 ayat (1)

ada tambahan kalimat, “mendapatkan pengesahan lebih dahulu dari Hakim bahwa ia akan berlaku adil terhadap istri-istrinya”.

Kelompok kedua adalah UU Serawak dan UU Kelantan. Pada UU Serawak pasal 21 ayat (1), ada kalimat “kalimat perkawinan itu hanya boleh

Dokumen terkait