• Tidak ada hasil yang ditemukan

Keberlanjutan Kehidupan Sosial- Ekonomi Masyarakat, Tanpa Tambang Nikel. (Studi di Pulau Gebe Propinsi Maluku Utara)

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2017

Membagikan "Keberlanjutan Kehidupan Sosial- Ekonomi Masyarakat, Tanpa Tambang Nikel. (Studi di Pulau Gebe Propinsi Maluku Utara)"

Copied!
437
0
0

Teks penuh

(1)

Masyarakat, Tanpa tambang Nikel. (Studi di pulau Gebe Propinsi Maluku Utara). Di bawah bimbingan Kooswardhono Mudikdjo, sebagai pembimbing ketua, Lala M Kolopaking dan Oteng Haridjaja, sebagai pembimbing anggota.

Kegiatan penambangan nikel di Pulau Gebe telah menimbulkan pengaruh terhadap kualitas air, sifat fisik dan kimia tanah, serta aspek kehidupan sosial ekonomi masyarakat. Penelitian ini bertujuan (1) Mengidentifikasi keberlanjutan kehidupan masyarakat dilihat dari dimensi ekologi, dimensi ekonomi, dan dimensi sosial budaya di Pulau Gebe pada saat ini. (2). Merumuskan sektor ekonomi alternatif sebagai upaya memelihara keberlanjutan kehidupan masyarakat di saat pulau Gebe tanpa tambang nikel. Hasil penelitian, menunjukan di lokasi yang terganggu langsung maupun Pulau Gebe secara keseluruhan, indeks keberlanjutan kehidupan masyarakat dari dimensi ekologi, dimensi ekonomi, dan dimensi sosial budaya, berada pada kondisi kurang berlanjut. (nilai indeks < 50%). Kelas kemampuan lahan di lokasi penelitian berpotensi terbatas untuk usaha budidaya pertanian. Kerusakan tanah tergolong berat, sehingga sulit dimanfaatkan untuk berbagai penggunaan lahan. Rehabilitasi lahan dari segi revegetasi, cukup berhasil berdasarkan jumlah dan karakteristik pertumbuhan tanaman di lahan bekas galian tambang. Produksi pertanian, perkebunan, tanaman pangan, kehutanan, peternakan, perikanan, usaha jasa, pendapatan masyarakat menurun sejak perusahaan tidak lagi beroperasi. Pendapat para pihak (stakeholders) sektor perikanan tangkap, merupakan pilihan utama dari empat sektor ekonomi (pertanian, perkebunan, peternakan dan perikanan) yang harus dikembangkan sebagai upaya mempertahankan keberlanjutan kehidupan masyarakat secara sosial ekonomi di saat pulau Gebe tanpa tambang nikel.

(2)

Maluku, under the guidance of Koeswardhono Mudikdjo, the head of advisory team, and Lala M Kolopaking and Oteng Haridjaja, the advisory members.

Nickel mining on Gede Island has had negative effects on the water quality, the physical and chemical aspect of the soil, and the socio-economic aspect of the community. This research was aimed at (1) indentification of community sustainability viewed from ecological, economic, and socio-cultural dimension of Gebe Island nowadays; and (2) formulating an alternative to the economic sector to ensure the community sustainability on Gebe Island without nickel mining. The research result reveals that both in the directly-affected sites and on Gebe Island in general the index of community sustainability viewed from ecological, economic, and socio-cultural dimension is in a precarious condition. The soil fertility rate in the research site is relatively poor for agricultural endeavors. The damage to the soil is so serious that it is difficult to utilize it for different purposes. Rehabilitation of the area in terms of vegetation has been quite successful considering the number and characteristics of the growth of the plants in what used to be a mining area. The people’s income from such sectors as agriculture, plantation, cash crop, forestry, husbandry, fishery, and services has been going down since PT. ANTAM terminated its operation. According to the stakeholders, catch fishery is the first priority out of these four sectors—agriculture, plantation, husbandry, and fishery; therefore, it should be developed for the sake of socio-economic sustainability of the community on Gebe Island in the absence of nickel mining.

(3)

MASYARAKAT, TANPA TAMBANG NIKEL

(Studi di Pulau Gebe Propinsi Maluku Utara)

ABD.WAHAB HASYIM

SEKOLAH PASCA SARJANA

INSTITUT PERTANIAN BOGOR

(4)

Dengan ini saya menyatakan bahwa Disertasi dengan judul : Keberlanjutan Kehidupan Sosial Ekonomi Masyarakat Tanpa Tambang Nikel (Study di Pulau Gebe Propinsi Maluku Utara), adalah karya saya sendiri dan belum diajukan dalam bentuk apapun kepada Perguruan Tinggi manapun. Sumber informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam Daftar Pustaka bagian akhir Disertasi ini.

Bogor, Januari 2007

Abd. Wahab Hasyim

(5)

Masyarakat, Tanpa tambang Nikel. (Studi di pulau Gebe Propinsi Maluku Utara). Di bawah bimbingan Kooswardhono Mudikdjo, sebagai pembimbing ketua, Lala M Kolopaking dan Oteng Haridjaja, sebagai pembimbing anggota.

Kegiatan penambangan nikel di Pulau Gebe telah menimbulkan pengaruh terhadap kualitas air, sifat fisik dan kimia tanah, serta aspek kehidupan sosial ekonomi masyarakat. Penelitian ini bertujuan (1) Mengidentifikasi keberlanjutan kehidupan masyarakat dilihat dari dimensi ekologi, dimensi ekonomi, dan dimensi sosial budaya di Pulau Gebe pada saat ini. (2). Merumuskan sektor ekonomi alternatif sebagai upaya memelihara keberlanjutan kehidupan masyarakat di saat pulau Gebe tanpa tambang nikel. Hasil penelitian, menunjukan di lokasi yang terganggu langsung maupun Pulau Gebe secara keseluruhan, indeks keberlanjutan kehidupan masyarakat dari dimensi ekologi, dimensi ekonomi, dan dimensi sosial budaya, berada pada kondisi kurang berlanjut. (nilai indeks < 50%). Kelas kemampuan lahan di lokasi penelitian berpotensi terbatas untuk usaha budidaya pertanian. Kerusakan tanah tergolong berat, sehingga sulit dimanfaatkan untuk berbagai penggunaan lahan. Rehabilitasi lahan dari segi revegetasi, cukup berhasil berdasarkan jumlah dan karakteristik pertumbuhan tanaman di lahan bekas galian tambang. Produksi pertanian, perkebunan, tanaman pangan, kehutanan, peternakan, perikanan, usaha jasa, pendapatan masyarakat menurun sejak perusahaan tidak lagi beroperasi. Pendapat para pihak (stakeholders) sektor perikanan tangkap, merupakan pilihan utama dari empat sektor ekonomi (pertanian, perkebunan, peternakan dan perikanan) yang harus dikembangkan sebagai upaya mempertahankan keberlanjutan kehidupan masyarakat secara sosial ekonomi di saat pulau Gebe tanpa tambang nikel.

(6)

Maluku, under the guidance of Koeswardhono Mudikdjo, the head of advisory team, and Lala M Kolopaking and Oteng Haridjaja, the advisory members.

Nickel mining on Gede Island has had negative effects on the water quality, the physical and chemical aspect of the soil, and the socio-economic aspect of the community. This research was aimed at (1) indentification of community sustainability viewed from ecological, economic, and socio-cultural dimension of Gebe Island nowadays; and (2) formulating an alternative to the economic sector to ensure the community sustainability on Gebe Island without nickel mining. The research result reveals that both in the directly-affected sites and on Gebe Island in general the index of community sustainability viewed from ecological, economic, and socio-cultural dimension is in a precarious condition. The soil fertility rate in the research site is relatively poor for agricultural endeavors. The damage to the soil is so serious that it is difficult to utilize it for different purposes. Rehabilitation of the area in terms of vegetation has been quite successful considering the number and characteristics of the growth of the plants in what used to be a mining area. The people’s income from such sectors as agriculture, plantation, cash crop, forestry, husbandry, fishery, and services has been going down since PT. ANTAM terminated its operation. According to the stakeholders, catch fishery is the first priority out of these four sectors—agriculture, plantation, husbandry, and fishery; therefore, it should be developed for the sake of socio-economic sustainability of the community on Gebe Island in the absence of nickel mining.

(7)

© Hak Cipta milik Institut Pertanian Bogor, tahun 2007

Hak Cipta Dilindungi

(8)

ABD.WAHAB HASYIM

Disertasi

sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Doktor pada

Program Studi Pengelolaan Sumberdaya Alam dan Lingkungan

SEKOLAH PASCA SARJANA

INSTITUT PERTANIAN BOGOR

(9)

NRP : P 10600031

Disetujui : Komisi Pembimbing

Prof. Dr. Ir. Kooswardhono Mudikdjo, M.Sc Ketua

Dr.Ir. Lala M. Kolopaking, M.S Dr.Ir. Oteng Haridjaja, M.Sc Anggota Anggota

Diketahui

Ketua Program Studi Pengelolaan Dekan Sekolah Pascasarjana Sumber Daya Alam dan Lingkungan

Dr. Ir. Surjono H. Sutjahjo, M.S Prof. Dr. Ir. Khairil Anwar Notodiputro, MS

(10)

Penguji pada ujian Tertutup :

(11)

judul Upaya Meningkatkan Keberlanjutan Kehidupan Sosial Ekonomi Masyarakat, Tanpa Tambang Nikel (Studi di pulau Gebe Propinsi Maluku Utara).

Penulisan Desertasi ini didasari oleh makin marak dan berkembangnya kegiatan penambangan nikel pada 20 tahun terakhir ini, serta dampak yang timbul akibat penambangan tersebut, terutama dampak terhadap aspek biofisik, sosial, ekonomi dan tata nilai budaya masyarakat. Bagi pertambangan nikel di pulau-Gebe propinsi Maluku Utara yang beroperasi dengan sistem penambangan terbuka (open pit mining), juga memberikan pengaruh terhadap kondisi kehidupan aspek biofisik, kondisi sosial ekonomi dan tata nilai budaya masyarakat. Kondisi yang terjadi cukup berpengaruh pada saat pulau Gebe tanpa tambang nikel, karena sebagai pulau kecil dengan kendala ketergantungan terhadap pihak luar yang sangat besar.

Penulisan ini, telah memakan waktu kurang lebih 3 tahun yang secara intensif telah dibimbing oleh komisi pembimbing. Untuk itu Kepada Prof. Dr. Ir. Kooswardhono Mudikdjo, M.Sc (Ketua komisi pembimbing), Dr. Ir. H. Lala Kolopaking, MS (anggota komisi pembimbing) dan Dr. Ir.H. Oteng Haridjaja, M.Sc (anggota komisi pembimbing) penulis mengucapkan penghargaan dan terima kasih yang setinggi-tingginya atas segala kesabaran dan ketabahan membimbing penulis, serta kontribusi dalam memberikan arahan mulai dari penyusunan proposal, prelium, kolokium, penelitian lapangan, seminar hasil sampai selesainya disertasi yang sederhana ini. Untuk semua ini, penulis hanya mampu mengatakan bahwa semoga Allah SWT memberikan balasan pahala berlipat kepada hambanya yang mengajarkan “kalam dan iqra” kepada hamba-hamba Tuhan.

Ucapan terima kasih juga, penulis sampaikan masing-masing kepada Dr. Ir. Surjono H. Sotjahjo, MS (ketua program studi PSL), dan Prof. Dr. Ir. M. Sri Saeni, MS (mantan ketua program studi PSL) yang banyak memberikan dorongan dan motivasi selama penulis mengikuti pendidikan di pasca sarjana IPB.

Bogor, Januari 2007

(12)

Bailusy dan Ayah H. Ismail Hasyim. Lahir di Ternate Maluku Utara pada tanggal 10 November 1962. Pada tahun 1974 menamatkan Sekolah Dasar Negeri (SDN) di desa Weda Halmahera Tengah, tahun 1977 tamat Sekolah Menengah Pertama Negeri (SPMN) Weda, tahun 1981 tamat Sekolah Menengah Atas Negeri (SMAN) di Ternate, tahun 1986 mencapai gelar Sarjana Ekonomi pada Fakultas Ekonomi Universitas Hasanuddin (UNHAS) Makassar, dan tahun 1991 menyelesaikan program Magister Sains pada program studi Perencanaan dan Pengembangan Wilayah. Pada bulan September tahun 2000, penulis diterima sebagai mahasiswa S3 pada program studi PSL IPB.

(13)
(14)

KATA PENGANTAR. ……….. iii

DAFTAR ISI ………. iv

DAFTAR TABEL. ……… v

DAFTAR GAMBAR. ……….….………. vi

DAFTAR LAMPIRAN……….. vii

I. PENDAHULUAN.

…………..………..………... 1

1.1. Latar Belakang ...……..……….…………..….……….. 1

1.2. Kerangka Pemikiran.…………..………..……… 6

1.3. Perumusan Masalah... 8

1.4. Tujuan Penelitian. ……… ………... 9

1.5. Manfaat Penelitian………... 10

1.6. Hipotesis………..………. …….. … ……... 10

1.7. Novelty... 11

II. TINJAUAN PUSTAKA

………..………. … 12

2.1. Pembangunan Berkelanjutan di Pulau Kecil....………... 12

2.2. Konsep dan Pengaruh Penambangan Nikel…………... 15

2.3. Keberlanjutan Kehidupan Setelah Penambangan... 21

2.4. Masyarakat dan Strategi Meningkatkan Kehidupan ………. ... 26

2.5. Konflik Sosial dan Persepsi Masyarakat. ………... 29

2.6. Indeks Keberlanjutan Kehidupan Masyarakat di Pulau Kecil... 30

2.7. Multi Deminsional Scaling... 32

III. METODE PENELITIAN

….……….. 34

3.1. Lokasi dan Waktu Penelitian………... 34

3.2. Jenis dan Sumber data ……… …………. …… ………... 34

3.3. Pengambilan Contoh Air…... 36

3.4. Pengambilan Contoh Tanah... 37

3.5. Bahan dan Alat yang digunakan di Lapangan dan Laboratorium…………. 38

3.6. Analisis data dan Kriteria Penilaian……… ….... 39

3.7. Pengamatan Vegetasi... 41

3.8. Metode Pengambilan Sampel Sosial Ekonomi………….. …….. ……... 42

3.9. Penentuan Penarikan Responden Sosial dan Ekonomi…... …………... 43

3.10. Analisis Sosial Ekonomi……….. …... 44

3.11. Analisis Keberlanjutan Kehidupan Masyarakat... 44

(15)

4.3. Iklim………. 56

4.4. Tata Air………. ... 57

4.5. Bencana... 57

4.6. Kondisi Lahan... 58

4.7. Penggunaan Lahan... 60

4.8. Evaluasi Kesesuaian Lahan di Pulau Gebe... 64

4.9. Potensi Pengembangan di Pulau Gebe... 66

4.10. Potensi Sumberdaya Tambang... 71

4.11. Ekosistem Terumbu Karang dan Mangrove……… ……….. 73

V. HASIL DAN PEMBAHASAN

………... 75

5.1. Kondisi Sumberdaya Air di Pulau Gebe

……... 75

Deskripsi Lokasi Penelitian dan Kualitas Air di Telaga ……….. 75

Deskripsi Lokasi Penelitian dan Kualitas Air di Bendungan……... 78

5.2. Kondisi Sumberdaya Air di Lokasi Bekas Tambang Nikel

... 81

Deskripsi Lokasi Penelitian dan Kualitas Air di Dermaga... 81

Deskripsi Lokasi Penelitian dan Kualitas Air di Gorong-gorong…….….... 85

Deskripsi Lokasi Penelitian dan Kualitas Air di Turap………... 88

Deskripsi Lokasi Penelitian dan Kualitas Air di Cekdam………... 92

5.3. Kondisi Sumberdaya Tanah

... 95

Kelas Tekstur……… ... 97

Bobot Isi Tanah……… …….. 99

Porositas total……… ……... 101

Pori Air tersedia……… ……... 103

Permeabilitas……… ……... 105

pH tanah……… ……….. 106

Kapasitas Tukar Kation……… ……….. 108

Kejenuhan Basa……… …………... 110

Ketersediaan unsur hara (K, N, dan P)……… ………... 111

(16)

Evaluasi kesesuaian lahan di loasi bekas tambang... .. 125

Evaluasi rehabilitasi……… ………. 130

Peranan Bahan Organik Terhadap Rehabilitasi Lahan... . 140

5.5 Kondisi Sumberdaya Manusia di Lokasi Penelitian

………. 143

Kesehatan ...… ……… . . 145

Pendidikan ...… ……… 145

Pendapatan……… . . ……….. 146

Tingkat Pengeluaran Konsumsi Rumah Tangga………... 147

Kondisi dan Fasilitas Perumahan………...… 148

Kekosmopolitan……… . 148

Partisipasi masyarakat……….. 149

5.6. Kondisi Sarana dan Prasarana Wilayah

……… ……… 150

5.7. Kondisi Sumberdaya Ekonomi

..……… ….. .... 151

Pertanian……… 151

Kehutanan……… 154

Peternakan………..………... 155

Perikanan……… 157

Usaha jasa... ……… .. 158

5.8. Kontribusi Terhadap Kabupaten

……….……… 159

5.9. Sosial - Budaya

... 161

Konflik sosial………... 162

5.10

.

Persepsi Masyarakat Terhadap PT ANTAM

……... 163

5.11.Indeks Keberlanjutan Kehidupan Masyarakat Pulau Gebe

... 166

5.12. STRATEGI KEBERLANJUTAN KEHIDUPAN SOSIAL

EKONOMI MASYARAKAT PULAU GEBE

……… ... 184

6. KESIMPULAN DAN SARAN

……… ... 188

6.1. Kesimpulan………... 188

6.2. Saran………... 189

DAFTAR PUSTAKA

…… ……… ….. 190

(17)

1 Parameter sifat tanah dan air, dan metode analisis. ……….. … 35

2 Contoh air dalam tiga waktu pengamatan di enam lokasi penelitian... 36

3 Jumlah contoh tanah utuh, tanah terganggu dan lokasi penelitian... 37

4 Nilai LS berdasarkan persen kemiringan lereng………. 40

5 Tingkat erosi (TBE) berdasarkan solum tanah dan bahaya erosi…….………. 39

6 Persentase penyimpangan kualitas perairan dengan pendekatan AMOEBA… 41

7 Struktur dan jumlah responden sosial ekonomi………. 43

8 Kategori status keberlanjutan kehidupan masyarakat berdasarkan nilai indeks 45

9 Kriteria pembobotan skor parameter dimensi ekologi, ekonomi, dan sosbud 48

10 Jenis dan luas tanah di Pulau Gebe (Ha)……… 54

11 Data sifat fisik dan kimia tanah di Pulau Gebe………. 54

12 Data rata-rata komponen iklim di Pulau Gebe selama 10 tahun pencatatan... 56

13 Klasifikasi kelerengan di Pulau Gebe……….. 58

14 Luas kedalaman efektif tanah di Pulau Gebe………... 59

15 Penyebaran tekstur Tanah di Pulau Gebe………. 59

16 Luas desa berdasarkan kondisi Drainase di Pulau Gebe (Ha)……….. 60

17 Luas lahan per jenis penggunaan di Pulau Gebe………... 61

18

Hasil evaluasi kesesuaian lahan tanaman perkebunan dan pertanian... 64

19

Perkembangan produksi nikel Pulau Gebe, tahun 1997 – 2003………. 72

20 Persentase penyimpangan kualitas air musim kemarau di Telaga Pulau Gebe... 75

21. Persentase penyimpangan kualitas air saat transisi di Telaga Pulau Gebe... 76

22. Persentase penyimpangan kualitas air pada musim hujan di Telaga Pulau Gebe 77

23 Persentase penyimpangan kualitas air musim kemarau di Bendungan Pulau Gebe 78

24 Persentase penyimpangan kualitas air saat transisi di Bendungan Pulau Gebe... 79

25 Persentase penyimpangan air musim hujan di Bendungan Pulau Gebe... 80

26. Persentase penyimpangan kualitas air musim kemarau di Dermaga Pulau Gebe... 81

27. Persentase penyimpangan kualitas air saat transisi di Dermaga Pulau Gebe... 83

(18)

31 Persentase penyimpangan kualitas air musim hujan di Gorong-gorong... 87

32 Persentase penyimpangan kualitas air musim kemarau di Turap…………... 89

33 Persentase penyimpangan kualitas air saat transisi di Turap………... 90

34 Persentase penyimpangan kualitas air musim hujan di Turap………. 91

35 Persentase penyimpangan kualitas air musim kemarau di Cekdam... 92

36 Persentase penyimpangan kualitas air saat transisi di Cekdam...……… 93

37. Persentase penyimpangan kualitas air pada musim hujan di Cekdam...……... 94

38 Pengklasan hasil pengukuran rata-rata sifat fisik dan kimia tanah di Gebe…….. 96

39 Kelas tekstur tiap lapisan tanah di Pulau Gebe………. ………. 97

40 Kelas tekstur tiap lapisan pada lokasi bekas tambang nikel...….. 97

41 Kondisi bobot isi tanah per lapisan di Pulau Gebe ... 99

42 Kondisi bobot isi tanah per lapisan di lokasi bekas tambang nikel... 100

43 Porositas tanah per lapisan di Pulau Gebe………... 101

44 Porositas tanah per lapisan di lokasi bekas tambang nikel... 102

45 Pori air tersedia pada setiap lapisan tanah di di Pulau Gebe………. . 103

46 Pori air tersedia pada setiap lapisan tanah di lokasi bekas tambang nikel... 103

47 Permeabilitas pada tiap lapisan tanah di Pulau Gebe………... 105

48 Permeabilitas pada tiap lapisan tanah di bekas tambang nikel……. ... 105

49 Kondisi pH tanah pada setiap lapisan tanah di Pulau Gebe………... 107

50 Kondisi pH tanah pada setiap lapisan tanah di lokasi bekas tambang nikel... 107

51 KTK pada tiap lapisan tanah di Pulau Gebe…... 108

52 KTK pada tiap lapisan tanah di lokasi bekas tambang nikel…... 109

53 Kejenuhan basa pada setiap lapisan tanah di Pulau Gebe.…... 110

54 Kejenuhan basa pada setiap lapisan tanah di lokasi bekas tambang nikel... 110

55 Kondisi Kalium pada setiap lapisan tanah di Pulau Gebe.………... 111

(19)

60 Kondisi Phaspor pada setiap lapisan tanah di lokasi bekas tambang nikel... 115

61 Kondisi unsur mikro pada lapisan tanah di Pulau Gebe... 116

62 Kondisi unsur mikro pada lapisan tanah di lokasi bekas tambang nikel... 117

63 Penyebaran kelas kemampuan tanah di Pulau Gebe……… 119

64a Hasil evaluasi kelas kemampuan lahan di Pulau Gebe………121

64b Hasil evaluasi kelas kemampuan lahan di bekas tambang nikel……… 122

65

Hasil evaluasi kesesuaian lahan: Acasia, Sengon, Cemara dan Lamtoro

di Pulau Gebe……… 124

66

Hasil evaluasi kesesuaian lahan: Acasia, Sengon, Cemara dan Lamtoro

di lokasi bekas tambang……… 126

67 Rata-rata Fisik –Kimia Tanah di Pulau Gebe dan Bekas Tambang Nikel... 132

68 Jumlah tanaman hidup dan mati, revegetasi tahun 1999 – 2005……… 133

69 Karakteristik pertumbuhan beberapa jenis tanaman revegetasi... 134

70 Tingkat erosi tanah (TE) di Pulau Gebe……… 135

71 Tingkat erosi tanah (TE) di bekas lokasi tambang……… 135

72

Rata-rata tingkat kesuburan beberapa sifat kimia tanah di lokasi penelitian……. 139

73 Deskripsi karakteristik responden…….………. . 143

74 Hasil analisis uji beda parameter sosial ekonomi di Pulau Gebe………….. …… 144

75 Jumlah dan perkembangan produksi komoditi perkebunan di Pulau Gebe... 152

76 Nilai ekonomi hasil perkebunan tahun 2003……… ……….. 152

77 Jenis dan volume produksi tanaman pangan di Pulau Gebe………... 153

78 Nilai ekonomi hasil pertanian tanaman pangan tahun 2003 di Pulau Gebe……. 154

79 Jumlah dan perkembangan produksi komoditi kehutanan…………... 154

80 Nilai ekonomi hasil hutan di Pulau Gebe………… ………... 155

81 Jumlah jenis ternak dan tingkat perkembangannya di Pulau Gebe ………... 156

82 Nilai ekonomi hasil peternakan di Pulau Gebe………... 156

83 Produksi ikan Pulau Gebe, Tahun 1999-2003…… ………... 157

84 Nilai ekonomi hasil perikanan di Pulau Gebe... 158

(20)

89 Pandangan responden terhadap sosial budaya masyarakat di Pulau Gebe... 165

90 Hasil pengamatan dan nilai skor parameter dimensi ekologi,

ekonomi, dan sosial budaya... 167

91 Nilai Indeks keberlanjutan kehidupan masyarakat di Pulau Gebe dan lokasi

(21)

1.

Kerangka pemikiran………... 7

2.

Peta lokasi pengambilan contoh tanah dan air……….. 38

3.

Ilustrasi indeks keberlanjutan kehidupan masyarakat Pulau Gebe………. 45

4.

Peta pulau Gebe lokasi penelitian………. 53

5.

Peta penggunaan lahan di Pulau Gebe……… 62

6.

Peta lokasi sebaran komoditi di Pulau Gebe……….. 63

7.

Peta kesesuaian lahan perkebunan dan pertanian... 65

8.

Timbunan Nikel jenis limonit (low gade). ………. 73

9.

Timbunan Nikel jenis saprolit (high gade)……… .... 73

10.

Peta kemampuan lahan di Pulau Gebe . ...………... 122

11.

Peta kemampuan lahan di lokasi pertambangan nikel Pulau Gebe... 123

12.

Peta kelas kesesuaian lahan untuk tanaman Akasia di Pulau Gebe………… 127

13.

Peta kelas kesesuaian lahan untuk tanaman Cemara di Pulau Gebe………… 128

14.

Peta kelas kesesuaian lahan untuk tanaman Lamtoro di Pulau Gebe………… 129

15.

Peta tingka erosi di bekas lokasi tambang……… 138

16 Perkembangan kontribusi royalti………. 160

17 Nilai IKB-KEMAS dimensi gabungan di lokasi bekas tambang……….. 171

18 Nilai IKB-KEMAS dimensi gabungan di Pulau Gebe……… 171

19 Nilai IKB-KEMAS dimensi ekologi di lokasi bekas tambang……… 172

20 Nilai IKB-KEMAS dimensi ekologi di Pulau Gebe……… 173

21 Nilai IKB-KEMAS dimensi ekonomi di lokasi bekas tambang……… 174

22 Nilai IKB-KEMAS dimensi ekonomi di Pulau Gebe……… 175

23 Nilai IKB-KEMAS dimensi Sosbud di lokasi bekas tambang……… 176

24 Nilai IKB-KEMAS dimensi sosbud di Pulau Gebe……… 177

25 Diagram layang IKB-KEMAS Pulau Gebe pada dimensi terkena dampak 178

(22)

1 Ukuran berbagai fraksi utama tekstur tanah………. 200

2 Klasifikasi Permeabilitas menurut Uhland dan O, Nell……….. ………. 200

3 Kriteria kesuburan tanah. ……… …… … ……… 201

4 Faktor tanaman (C ) atau jenis penggunaan tanah……….. 201

5 Faktor jenis pengelolaan atau teknik konservasi……… 202

6 Evaluasi kesesuaian untuk tanaman Sengon di Pulau Gebe………. 203

7 Evaluasi kesesuaian untuk tanaman Sengon di lahan bekas tambang……….. 203

8 Evaluasi kesesuaian untuk tanaman Akasia di Pulau Gebe………. 204

9 Evaluasi kesesuaian untuk tanaman Akasia di lahan bekas tambang……….. 204

10 Evaluasi kesesuaian untuk tanaman Cemara di Pulau Gebe………. 205

11 Evaluasi kesesuaian untuk tanaman Cemara di lahan bekas tambang……… . 205

12 Evaluasi kesesuaian untuk tanaman Lamtoro di Pulau Gebe………. 206

13 Evaluasi kesesuaian untuk tanaman Lamtoro di lahan bekas tambang………. 206

14 Evaluasi kesesuaian untuk tanaman Pinus di Pulau Gebe……… 207

15 Evaluasi kesesuaian untuk tanaman Pinus di lahan bekas tambang………. .. 207

16 Evaluasi kesesuaian untuk tanaman Eukaliptus di Pulau Gebe………... 208

17 Evaluasi kesesuaian untuk tanaman Eukaliptus di lahan bekas tambang………. .. 208

18 Evaluasi kesesuaian untuk tanaman Jati di Pulau Gebe………... 209

19 Evaluasi kesesuaian untuk tanaman Jati di lahan bekas tambang………. …… 209

20 Evaluasi kesesuaian untuk tanaman Mahoni di Pulau Gebe... 210

(23)

25 Data parameter kualitas fisik dan kimia air pada waktu pengamatan kemarau... 213

26 Data parameter kualitas fisik dan kimia air pada waktu pengamatan transisi... 213

27 Data parameter kualitas fisik dan kimia air pada waktu pengamatan hujan... 214

28. Lingkaran Baku mutu AMOEBA kualitas perairan di Dermaga musim kemarau 215

29 Lingkaran Baku mutu AMOEBA kualitas perairan di Dermaga saat transisi... 216

30 Lingkaran Baku mutu AMOEBA kualitas perairan di Dermaga musim hujan... 217

31 Lingkaran Baku mutu AMOEBA kualitas perairan di Turap musim kemarau... 218

32 Lingkaran Baku mutu AMOEBA kualitas perairan di Turap saat transisi... 219

33 Lingkaran Baku mutu AMOEBA kualitas perairan di Turap musim hujan... 220

34 Lingkaran Baku mutu AMOEBA di Gorong-gorong pada musim kemarau... ... 221

35 Lingkaran Baku mutu AMOEBA di Gorong-gorong saat transisi... 222

36 Lingkaran Baku mutu AMOEBA di Gorong-gorong pada musim hujan... 223

37 Lingkaran Baku mutu AMOEBA kualitas perairan di Telaga musim kemarau.... 224

38 Lingkaran Baku mutu AMOEBA kualitas perairan di Telaga saat transisi... 225

39 Lingkaran Baku mutu AMOEBA kualitas perairan di Telaga musim hujan... 226

40 Lingkaran Baku mutu AMOEBA di Bendungan pada musim kemarau... ... 227

41 Lingkaran Baku mutu AMOEBA di Bendungan saat transisi... 228

42 Lingkaran Baku mutu AMOEBA di Bendungan pada musim hujan... 229

43 Lingkaran Baku mutu AMOEBA kualitas perairan di Cekdam musim kemarau. 230

(24)
(25)

1. 1. Latar Belakang

Prospek pertambangan energi dan mineral di Indonesia pada 20 tahun terakhir ini mengalami kemajuan pesat, kemajuan ini ditandai dengan meningkat-nya volume produksi dan berkembangmeningkat-nya usaha eksploitasi jenis sumberdaya energi dan mineral yang pada tahun-tahun 1970-an sampai 1980-an belum banyak berkembang di Indonesia. Hasil penyelidikan dan pemetaan geologi yang telah dilakukan di sekitar 90 % dari luas wilayah daratan Indonesia, telah mengidentifikasikan wilayah negara dari Sabang sampai Merouke memiliki potensi kekayaan berbagai jenis mineral dan energi yang sangat diminati pasar ekspor (Ness, 1999), termasuk kawasan Timur Indonesia juga memiliki kekayaan sumber daya mineral dan energi pertambangan yang sangat bersar (Katili, 2002). Sumbangan atau kontribusi pertambangan terhadap Produk Domestik Bruto (PDB) Indonesia tahun 1996 telah mencapai 5,25%, angka ini jauh meningkat bila dibanding dengan capaian tahun 1983 yang hanya sebesar 1,13% dari PDB Indonesia. Pertumbuhan yang sangat signifikan ini, menunjukkan bahwa sektor pertambangan dapat menjadi sektor andalan bagi pembangunan perekonomian suatu negara (Ness,1999).

(26)

Dengan prinsip “kekayaan alam untuk kesejahteraan rakyat”, maka bahan tambang perlu diolah dengan tujuan: meningkatkan kesejahteraan rakyat. Sebagai implementasi dari tujuan tersebut, keberadaan PT ANTAM selama 24 tahun di Pulau Gebe telah mampu memberi kontribusi cukup nyata terhadap pembangunan wilayah Pulau Gebe, pembangunan daerah dan perekonomian nasional. Terhadap daerah penambangan menyebabkan penerimaan royalti dari eksploitasi nikel telah memberikan masukan berarti terhadap kas APBD Kabupaten Halmahera Tengah, dan efek positif yang timbul dari kegiatan eksploitasi telah menaikan pendapatan asli daerah dari pos retribusi dan pajak kendaraan bermotor serta pajak bumi dan bangunan (PBB). Namun demikian, kegiatan penambangan juga memunculkan sisi negatif, seperti terjadinya degradasi sumberdaya dan lingkungan, kesenjangan sosial ekonomi di masyarakat dan terjadi reduksi nilai terhadap tatanan sosial dan budaya. Karena itu menurut Salim (1989) pengelolaan sumberdaya pertambangan perlu dilakukan secara berhati hati agar mampu menjaga keberlanjutan aset generasi masa depan, untuk itu konsep pembangunan harus berkelanjutan.

Sebagai negara penganut “paham” sumber daya alam untuk kesejahteraan rakyat, Indonesia cenderung menggunakan prinsip pembangunan berkelanjutan yaitu mengolah kekayaan sumberdaya alam dan energi secara bijaksana agar kondisi lingkungan tetap lestari dan bermutu tinggi. Lingkungan yang lestari, pembangunan akan tetap berlangsung dari generasi ke generasi, dan lingkungan yang lestari hanya dapat dilahirkan dari pola pikir yang memiliki rasa bijak lingkungan yang besar (Naiola, 1996).

(27)

mempunyai tugas dan tanggungjawab satu terhadap manusia lainnya seperti yang ada dalam satu generasi (Beller, 1990).

Kegiatan penambangan selalu memunculkan pengaruh positif dan negatif. Pengaruh positif kegiatan penambangan dapat dilihat dari kontribusinya terhadap pendapatan asli daerah, membuka isolasi keterisolasian wilayah, menyumbangkan devisa negara, menyediakan kesempatan kerja, serta pengadaan barang dan jasa untuk konsumsi dan yang berhubungan dengan kegiatan produksi, disamping itu dapat menyediakan prasarana bagi pertumbuhan sektor ekonomi lainnya (Mangkusubroto, 1995).

(28)

sumberdaya tambang yang cukup besar, serta musnahnya keanekaragaman hayati. Akibat dampak negatif terhadap komponen ekologi banyak daerah bekas tambang mengalami degradasi ekologi seperti tambang emas di Kalgoorie Australia Barat, bekas tambang timah di Pulau Dabo Singkep yang menyebabkan air tergenang pada lubang-lubang bekas galian sebagai sarang malaria, hamparan tanah gundul yang tidak produktif (Kasus ANTAM Pomala dan PT. Inco), rona kota terkesan sebagai kota mati (Katili, 1998), serta menurunnya kualitas tanah dan air.

(29)

nelayan, petani, pedagang dan usaha informal dan formal mengalami penurunan; (Anonim, 2003).

Menyadari bahwa masyarakat tetap membutuhkan keberlangsungan hidup secara sosial dan ekonomi, sementara kegiatan penambangan telah berakhir pada tahun 2005, dengan demikian terjadi lagi PHK terhadap 486 karyawan sisa. Akibat yang muncul adalah berpindahnya bekas karyawan ke daerah lain dan sebagian pulang ke kampung halaman asal. Dari hasil survei yang dilakukan Tim Fakultas Ekonomi Unkhair di Pulau Gebe tahun 2003 diperoleh beberapa harapan masyarakat, adalah : (1) Perbaikan lingkungan biofisik di areal tambang secara langsung dapat berpengaruh terhadap lingkungan pesisir pantai; (2) Perlu adanya investor yang dapat mengembangkan sektor- sektor primer yang bertumpu pada potensi sumberdaya lokal agar masyarakat dapat melangsungkan kehidupannya; (3) Perusahaan harus memperbaiki dan membangun fasilitas umum di bidang sosial dan ekonomi;

(30)

Kerangka Pemikiran

Pembangunan yang dilaksanakan di pulau-pulau kecil mengacu pada konsep pembangunan wilayah pesisir, karena kondisi ekologis dan sosial budaya masyarakat yang mendiami pulau kecil dan pulau besar relatif sama (Brookfield, 1990). Agenda 21, mengamanatkan arah pembangunan berkelanjutan kelautan dan wilayah pesisir, yakni pembangunan berkelanjutan pulau-pulau kecil (Cicin Sain dan Knecht, 1998). Oleh Direktorat Jenderal PPPK DKP (2000) adalah untuk mencegah munculnya konflik pemanfaatan, menjamin keberlanjutan pemanfaatan, serta optimalisasi ruang dan sumberdaya untuk peningkatan kesejahteraan masyarakat. Pembangunan Pulau Kecil juga diperkuat oleh Beatley et al, (1994), dan World Coast Conference (1993), yakni sangat ditentukan oleh kemampuan penduduknya mempertahankan sumberdaya, seperti: (1) energi, air, dan sumberdaya lainnya; (2) sistem alami; (3) tekhnologi; (4) fleksibiltas penduduk atas ekses pembangunan; (5) ketahanan ekosistem dari bencana alam; (6) kerjasama pemerintah dan masyarakat dalam mencegah kerusakan lingkungan; (7) tata nilai budaya. Cicin Sain dan Knecht, (1998) perlu memperhatikan ekonomi, lingkungan dan keadilan sosial. Berlanjut secara ekologis, ekonomi, lingkungan, keadilan, moral dan kelembagaan (OECD,1993).

Seiring dengan berakhirnya penambangan nikel di Pulau Gebe, persoalan mendasar yang muncul adalah bagaimana mengelolah sumberdaya yang terdapat di Pulau Gebe kehidupan sosial ekonomi masyarakat dapat dipertahankan. Mengacu pada kajian teori dan penelitian terdahulu, penelitian ini mencoba mendasarkan pada suatu kerangka pemikiran bahwa keberlanjutan kehidupan sosial ekonomi masyarakat sangat dipengaruhi oleh: (1) Daya dukung lingkungan; (2) Sumberdaya alam; (3) Sumberdaya manusia;(4) Sarana dan prasarana; dan (5) Sumberdaya finansial; (6) Sosial budaya; Menurut laporan Bank Dunia (2003), keberlanjutan kehidupan dipengaruhi oleh: sumberdaya manusia, sumberdaya alam, sumberdaya buatan manusia, pengetahuan, dan sumberdaya sosial.

(31)
[image:31.792.107.758.103.431.2]

Gambar 1. Kerangka pemikiran pilihan pengembangan sektor ekonomi sebagai upaya mempertahankan keberlanjutan kehidupan masyarakat di pulau Gebe, pada saat pasca tambang nikel.

ASSET SOSIAL EKONOMI

SARANA PRASARANA

SUMBERDAYA KAPITAL

Tidak ada tambang, tingkat kehidupan tinggi

1.Ada tambang, tingkat kehidupan tinggi

2.Tidak ada tambang, tingkat Kehidupan rendah

Berkelanjutan

Tidak berkelanjutan Pemberlanjutan Sistem

alam

Sistem Sosial

(32)

Perkembangan eksploitasi sumberdaya mineral dan energi pada beberapa tahun

terakhir ini telah menimbulkan banyak kasus terhadap kehidupan manusia dan

lingkungan sekitar. Kasus penambangan terkini yang paling memprihatinkan dunia

pertambangan adalah pencemaran di teluk Buyat Minahasa akibat kegiatan penambangan

emas oleh PT NMR. Kejadian-kejadian seperti ini kemudian memunculkan kesan bahwa

dalam hubungan dengan lingkungan hidup, tidak ada sektor lain yang lebih terpuruk

dibanding sektor pertambangan. Masalah yang sering muncul adalah pencemaran

terhadap sumber daya tanah, dan air yang berakibat pada turunnya kualitas dan

produktivitas tanah dan air, sehingga dalam pengembangan ekonomi bukan tambang

setelah pasca tambang, aspek daya dukung lingkungan sering menjadi kendala utama.

Pihak perusahaan sering kurang memperhatikan kewajiban pembangunan

masyarakat, pemerintah daerah juga kurang memperhatikan pembangunan sarana

prasarana daerah penghasil. Akibatnya setelah masa penambangan daerah yang

ditinggalkan ibarat kota hantu, karena jumlah penduduk berkurang dan kondisi sosial

ekonomi masyarakat yang ada di sekitar lokasi tambang menjadi miskin, karena hasilnya

hanya untuk manfaat ekonomi jangka pendek (Anwar, 1993).

Tingkat kehidupan masyarakat secara sosial ekonomi, merupakan salah satu isu

kunci yang selalu muncul pada saat berakhirnya kegiatan penambangan karena

berkurangnya lapangan kerja, sehingga ketergantungan masyarakat untuk mendapatkan

pekerjaan di luar Pulau Gebe sangat besar, kondisi ini sesuai dengan salah satu

karakteristik pulau kecil yaitu ketergantungan ekonomi lokal pada ekonomi luar

(Brookfield, 1990) juga (Retraubun dan Dahuri, 2002). Kekuatiran ini muncul karena

kenyataan yang terjadi seperti kasus PHK terhadap 484 karyawan KPO dan TKBM yang

dilakukan pihak manajemen perusahaan pada bulan Januari hingga Maret 2003.

(33)

Mamin mendapat secara gratis. Selain itu pendapatan masyarakat yang bekerja di

perusahaan akan terhenti sementara kebutuhan hidup tidak berkurang, pendapatan petani,

nelayan dan usaha jasa dan sektor informal juga mengalami penurunan. Prasarana dan

sarana perkantoran, rumah dinas petinggi perusahaan dan bangunan perumahan yang

ditempati karyawan perusahaan kalau tidak dimanfaatkan akan mengalami kerusakan

yang sangat cepat.

Permasalahan-permasalahan ini harus ditangani secara terpadu dan melalui

pelibatan para pihak agar tidak memunculkan konflik sosial yang pada gilirannya

menjurus pada kegiatan anarkis. Secara spesifik dapat dirumuskan dua masalah penelitian

sebagai berikut.

1.

Berapa besar indeks keberlanjutan kehidupan masyarakat dilihat dari dimensi ekologi,

dimensi ekonomi, dimensi sosial budaya dan dimensi gabungan (multi dimensi) di

Pulau Gebe pada saat ini.

2.

Kebijakan strategi apa yang dapat dirumuskan agar kehidupan sosial ekonomi

masyarakat pada saat pasca tambang di Pulau Gebe masih tetap berlanjut.

1. 4. Tujuan Penelitian

Mengacu pada latar belakang dan permasalahan-permasalahan yang telah

dikemukakan, penelitian ini bertujuan :

(34)

nikel.

1. 5. Manfaat Penelitian

Hasil penelitian diharapkan dapat:

1.

Dirumuskan kebijakan strategi untuk meningkatkan keberlanjutan kehidupan sosial

ekonomi masyarakat Pulau Gebe pada saat pasca tambang nikel.

2.

Hasil penelitian ini juga dapat dijadikan bahan informasi dan data awal bagi

penelitian bidang ilmu yang terkait dengan aspek kehidupan sosial dan ekonomi

masyarakat di pulau-pulau kecil bekas tambang.

1. 6. Hipotesis

Mengacu pada kerangka pemikiran konseptual keberlanjutan kehidupan sosial

ekonomi masyarakat Pulau Gebe sebagai suatu masyarakat yang mendiami Pulau kecil

yang pada saat ini terdapat penambangan nikel, hipotesis yang diajukan dalam

penelitian ini meliputi

1.

Untuk meningkatkan keberlanjutan kehidupan sosial ekonomi masyarakat Pulau Gebe

sebagai suatu masyarakat yang tinggal di pulau kecil pada saat PT ANTAM

menghentikan kegiatan penambangan nikel, sangat ditentukan oleh

sumberdaya-sumberdaya dimensi ekologi, dimensi ekonomi, dan dimensi sosial-budaya.

(35)

1. 7. Kebaruan

Kehidupan masyarakat yang mendiami Pulau Gebe yang memiliki kandungan

tambang nikel, sampai tahun 2000-an belum banyak mendapat perhatian dalam

studi/kajian-kajian akademik. Kajian tentang kondisi hidup masyarakat di wilayah ini,

hampir seluruhnya merupakan bagian dari kondisi hidup masyarakat Maluku Utara.

Anhar,

et al

. (2003) dalam penelitian data base sosial ekonomi di wilayah pengaruh

tambang emas PT NHM (Nusa Halmahera Minerals) di Halmahera Utara, menemukan

aspek

community development

dijalankan perusahaan masih bersifat insidentil. Marsaoly

et al

. (2000) dalam penelitiannya rencana penambangan nikel oleh PT Weda By di

wilayah pengaruh tambang nikel Halmahera Tengah, lebih menyoroti aspek pengaruh

tambang terhadap kondisi ekologi dan masyarakat pesisir.

Khusus di Pulau Gebe, studi lebih spesifik relatif baru dilaksanakan pada tahun

1996 oleh Sumanagara, yang mengkaji peran serta unit pertambangan Nikel Pulau Gebe

dalam perkembangan wilayah dan daerah, sedangkan Darijanto (1999) melakukan

penelitian tentang pengaruh morfologi dan penyebaran endapan nikel unit penambangan

Pulau Gebe. Selanjutnya, untuk kepentingan rumusan visi pembangunan Maluku Utara

tentang pembangunan Pulau-pulau kecil dan pesisir, penelitian dilakukan kerjasama

Dinas Perikanan Propinsi Maluku utara dengan Pusat Studi Kelautan dan perikanan

Universitas Khairun (2003). Hasyim,

et al

. (2003) mengeksplorasi pengaruh PHK dan

persiapan pasca tambang terhadap kondisi sosial ekonomi masyarakat Pulau Gebe.

(36)

Pembangunan yang dilaksanakan di pulau-pulau kecil mengacu pada konsep pembangunan wilayah pesisir, hal ini karena sekalipun ekosistem perairan di pulau-pulau kecil sangat beragam dibanding dengan ekosistem perairan yang terdapat di wilayah pesisir daratan dan pulau besar (Salm dan Clark, 1984), namun kondisi ekologis dan sosial budaya masyarakat pesisir yang bermukim di pulau kecil relatif tidak berbeda secara signifikan dengan masyarakat yang bermukim di wilayah pesisir pulau besar (Brookfield, 1990). Mengacu pada filosofis di atas, maka pemerintah menyatukan pengelolaan wilayah pesisir dan pulau-pulau kecil berada dalam satu payung Dirjen PPPK.

Secara ekologis letak pulau kecil terpisah dari Pulau induk (maindland) dengan batasan yang pasti, dan terisolasi dari habitat lain. Karena keterisolirannya ini menimbulkan nilai keunggulan-keunggulan tertentu, terutama keanekaragaman vegetasi dan biota laut, memiliki spesies endemik yang tinggi (Holling et al, 1973). Walaupun berukuran kecil namun secara ekologis, ekonomi, sosial-budaya mampu meningkatkan skala ekonomi dari pengelolaan sumberdaya yang ada.

Beberapa batasan tentang pulau kecil adalah pulau yang luasnya ≤ 1.000 km2 atau berpenduduk < 100.000 jiwa (Brookfield, 1990) pendapat yang sama juga dianut oleh Nakajima dan Machida, (1990). Oleh Sugandhy (1980) mengutip dari UNESCO pulau yang luasnya < 10.000 km2 dengan penduduk < 500.000 jiwa, pendapat yang sama juga dikemukakan Dahuri (2002). Pulau yang luasnya < 2000 km2 adalah pulau kecil (Tresnadi, 1998), Hehanusa dan Haryani (1998) menambahkan pulau yang luasnya < 2.000 km2 dan lebarnya < 10 km2, sedangkan

(37)

Hasil konferensi Negara-negara tentang lingkungan hidup dan pembangunan yang dilaksanakan di Rio de Janeiro Brasil (1992) yang dikenal dengan “Agenda 21”. Mengamanatkan arah pembangunan berkelanjutan tentang masalah kelautan dan wilayah pesisir, yakni pembangunan berkelanjutan pulau-pulau kecil (Cicin Sain dan Knecht, 1998). Implementasi dari semangat “Agenda 21”, maka visi pembangunan kawasan pesisir, pantai dan pulau-pulau kecil oleh Direktorat Jenderal PPPK DKP (2000) adalah untuk mencegah munculnya konflik pemanfaatan, menjamin keberlanjutan pemanfaatan, serta optimalisasi ruang dan sumberdaya untuk peningkatan kesejahteraan dan sebagai sumber pertumbuhan ekonomi nasional. Selanjutnya menurut Dahuri (2002) pembangunan kelautan, pantai, pesisir dan pulau-pulau kecil harus dilakukan secara terpadu antara dimensi yang bersifat “contraint based development” yakni harus berkelanjutan secara ekonomi efisien dan optimal, secara sosial budaya berkeadilan, secara ekologis tidak melampaui daya dukung lingkungan, dan secara politik menjadi perekat bangsa.

Dimensi keterpaduan pembangunan wilayah pesisir dan pulau-pulau kecil juga diperkuat oleh Beatley et al, (1994), dan World Coast Conference (1993). Dalam pandangan Beller et al, (1990) pembangunan berkelanjutan di pulau kecil sangat ditentukan oleh kemampuan penduduknya mempertahankan sumberdaya milik pulau tersebut, seperti: (1) energi, air, dan sumberdaya lainnya; (2) sistem alami; (3) tekhnologi; (4) fleksibiltas penduduk atas ekses pembangunan; (5) ketahanan ekosistem dari bencana alam; (6) kerjasama pemerintah dan masyarakat dalam mencegah kerusakan lingkungan; (7) tata nilai budaya. Menurut Cicin Sain dan Knecht, (1998) keberlanjutan pembangunan di wilayah pesisir perlu memperhatikan ekonomi, lingkungan dan keadilan sosial. Kenchington (1995) harus memperhatikan isu biologis, budaya, geologis, yurisdiksi, hukum dan administrasi, politik dan birokrasi, serta sosial dan ekonomi. Wilayah pesisir dapat memenuhi konsep pembangunan berkelanjutan kalau berlanjut secara ekologis, ekonomi, lingkungan, keadilan, moral dan kelembagaan (OECD,1993).

(38)

1.Terintegrasinya konsep “equity”, lingkungan dan ekonomi dalam paradigma pengambilan keputusan.

2.Dipertimbangkan secara khusus aspek ekonomi. 3.Dipertimbangkan secara khusus aspek lingkungan

Menurut Bengen dan Rizal (2002) pemanfaatn sumberdaya pesisir dan pulau-pulau kecil di Indonesia perlu memperhitungkan hal-hal berikut:

1.Rehabilitasi kawasan pesisir dan lautan yang telah mengalami kerusakan 2.Internalisasi biaya eksternalitas ke dalam setiap kegiatan pembangunan 3.Penetapan retribusi atas setiap pemanfaatan sumberdaya kelautan 4.Laut dikelolah secara “co-management”

5.Reorientasi laut sebagai milik negara ke milik rakyat 6.Laut harus dianggap sebagai bagian dari ekosistem global.

Pulau kecil yang tak berpenghuni tapi letaknya di jalur perdagangan atau memiliki sumberdaya alam berlimpah akan sangat bermanfaat bagi pembangunan bangsa, berfungsi sebagai benteng perlindungan kehidupan manusia, ekosisitem-nya berperan mengatur iklim global dan pengontrol dinamika El-Nino, siklus hidrologi dan biogeokimia, penyerap limbah, sumber plasma nutfah dan penun-jang sistem kehidupan (Dahuri, 1998). Keterisolirannya pulau kecil banyak menghadapi kendala dalam pembangunan ekonomi (Hess, 1990). Memiliki kewajiban lebih besar dalam pembangunan infrastruktur, pendidikan, penelitian, dan pemasaran (Hein, 1990) karena itu ketergantungan terhadap bantuan pihak luar sangat tinggi (Hein, 1990).

(39)

Sebagai sebuah pulau kecil Gebe sangat tergantung terhadap wilayah luar, masyarakatnya sangat membutuhkan tersedianya usaha ekonomi alternatif untuk mempertahankan keberlanjutan kehidupan. Dengan berakhirnya penambangan nikel, muncul permasalahan-permasalahan yang terkait dengan kondisi kehidupan sosial ekonomi masyarakat, seperti terjadi pengangguran, pendapatan masyarakat dan daerah menurun. Kondisi ini dipastikan lebih parah lagi manakala tidak diantisipasi sejak dini agar tidak terjadi gejolak sosial di masyarakat. Mengacu pada kondisi ini, kemudian mencuat perlu adanya kebijakan pembangunan sektor ekonomi alternatif yang layak dan berkelanjutan dengan mengandalkan potensi sumberdaya Pulau Gebe.

2. 2. Konsep dan Pengaruh Pertambangan Nikel

Sumberdaya nikel merupakan logam yang berasosiasi dengan tanah dan bebatuan, umumnya terdapat di perut bumi pada kedalaman 2 sampai 10 meter dari top soil dan sub soil (Sukandarrumidi, 1998). Hasil penelitian Darijanto (1999) di Pulau Gebe, menunjukan pelapukan secara intensif batuan peridotit serpentinit menghasilkan endapan nikel lateritik dan kobalt yang ekonomis untuk ditambang. Jenis nikel yang ekonomis terdiri dari nikel Saprolit dan Limonit. Nikel saprolit berada di daerah punggungan, karena pembentukan zona saprolit yang menghasilkan jenis nikel saprolit yang berkualitas tinggi lebih banyak dipengaruhi struktur batuan asal dibandingkan terhadap morfologinya (Darijanto, 1999).

(40)

2000), semua usaha yang dilakukan untuk mengambil bahan galian dengan tujuan dimanfaatkan lebih lanjut bagi kepentingan manusia Boegel (1976).

Penambangan nikel dapat dilakukan secara terbuka dan tertutup, termasuk penggalian, pengerukan dan penyedotan untuk mengambil deposit yang ada di dalamnya (VonBulow, 1993). Penambangan nikel dimulai dengan penebangan pohon dan semak-semak selanjutnya dilakukan pemindahan tanah permukaan ke tempat penampungan sementara (Suhala dan Supriatna, 1995). Untuk memenuhi persyaratan ekspor bijih nikel dari seluruh lokasi penambangan dicampur dengan kandungan nikel paling rendah 2,1%. Bijih nikel Saprolit diproduksi lanjut di Pomalaa menjadi Ferronikel (FeNi), sedangkan biji nikel Limonit seluruhnya dijual ke Australia.

Menurut UU. Nomor 11 Tahun 1967 dan Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 27 Tahun 1980, jenis sumberdaya pertambangan dibagi menjadi tiga golongan (A, B, dan C), dan untuk jenis nikel termasuk dalam golongan A (strategis), untuk pertahanan dan keamanan perekonomian negara. Bahan galian golongan A diusahakan oleh Badan Usaha Milik Negara (BUMN), golongan B diusahakan oleh BUMN atau kerjasama swasta, golongan C diusahakan oleh Badan Usaha Swasta (BUS) dan rakyat. Pengusahaannya harus memiliki ijin penambangan yang disebut Kuasa Pertambangan (KP), dengan tugas melakukan: penyelidikan umum, eksplorasi, eksploitasi, pengolahan dan pemurnian, pengangkutan dan penjualan. Kuasa pertambangan berisi hal-hal penting meliputi: letak dan luas wilayah pengusahaan tambang, yang disertai dengan peta dan batas-batasnya (Sukadarrumidi, 1998), seperti: (1) Penyelidikan umum, 1 KP maksimum 5.000 ha sampai 5 KP (25.000 ha); (2) Eksplorasi, satu KP maksimum 2.000 ha, dan paling banyak 5 KP (10.000 ha); (3) Eksploitasi, satu KP maksimum 1.000 ha dan paling banyak 5 KP ( 5.000 ha); (4) Jangka waktu berlakunya KP, yaitu: KP penyelidikan umum waktunya 1 tahun, perpanjang 1 tahun; KP eksplorasi 3 tahun, kemungkinan perpanjangan 2 kali 1 tahun.

(41)

Pemerintah (PP) Nomor 37 Tahun 1986 Tentang penyerahan sebagian urusan pemerintah di bidang pertambangan kepada Pemerintah Daerah Tingkat I, yang memberikan kewenangan kepada pemerintah daerah mengelolah bahan galian golongan C. Substansi UU. Nomor 22 tahun 1999 dan UU. Nomor 25 tahun 1999 menjelaskan daerah otonom berwenang mengelolah sumberdaya yang terdapat di daerahnya, seperti memberi ijin usaha penyelidikan umum dan eksplorasi, eksploitasi, pengolahan dan pemurnian, serta pengangkutan dan penjualan. Menurut Abdurrahman dan Setiawan (1999) pelaksanaan UU. Nomor 22 Tahun 1999 di sektor pertambangan umum dapat berjalan dengan baik dan mampu memberikan kontribusi maksimal pada wilayah dan menjadi pemicu pengembangan kegiatan sektor non tambang, perlu adanya kerjasama antar daerah-daerah otonom yang mempunyai kewenangan mengelolah sumberdaya tambang di wilayahnya (pasal 10, UU. No. 22/1999), pemerintah pusat menentukan kebijaksanaan makro perencanaan pendayagunaan sumberdaya tambang (pasal 7 ayat 2 UU No. 22/1999). Peran pemerintah pusat sebagai instrumen optimalisasi pendayagunaan sumberdaya tambang, Sujana (1996) peran pemerintah pusat dalam menyusun rencana makro pengelolaan tambang harus secara detail, efektif dan sistematik. Mangkusubroto (1995) perlu perencanaan sistematik terhadap pengusahaan pertambangan berskala operasi antara 25 –30 tahun bahkan lebih dari 50 tahun.

(42)

Landsat-TM tahun 2000, luas wilayah daratan yang mendapat pengaruh limbah penambangan adalah 36 ha, sedangkan luas wilayah laut sebesar 84 ha.

Dampak penambangan terhadap sumberdaya tanah, seperti: (1) Kerusakan bentuk permukaan bumi; (2) Menumpuknya ampas buangan; (3) polusi udara; (4) Erosi dan sedimentasi; (5) Terjadi penurunan permukaan bumi; (6) kerusakan karena transportasi alam dan yang diakibatkan pengangkutan alat-alat berat (Sudrajat, 1999), permukaan tanah runtuh sehingga menjadi gersang dan sukar dihijaukan kembali (Katili, 1998), menimbulkan erosi dan sedimentasi, terjadinya pemadatan tanah, terganggunya flora dan fauna yang disekitar wilayah tambang (Kusnoto dan Kusumodirdjo, 1995), terjadi perubahan iklim (Hardiyanti, 2000). Naiola, et. al. (1996) kegiatan penambangan dapat mengakibatkan: (1) perubahan sifat fisik dan kimia tanah: (2) pengurangan sejumlah spesies tumbuhan maupun hewan; (3) Kanopi/tajuk tumbuhan menjadi terbuka, sehingga suhu tanah naik; (4) Faktor mikrolimat berubah (klimat disekitar daerah tumbuh aktif); (5) terdorongnya water table lebih mendekati permukaan tanah. Terjadinya kolong-kolong bekas galian tambang dan turunnya permukaan bumi (Koesnaryo, 1996) seperti yang terjadi di Pulau Bangka, di Pomala, di Pulau Kijang, tambang batu bara, dan nikel di Pulau Gebe. Ampas buangan atau tailing banyak terjadi di lokasi pertambangan emas seperti di Kalgoorlie Australia Barat, Free Port, dan tambang emas di teluk Buyat Minahasa (2004). Industri mineral di Kanada menghasilkan 1 milyar ton batuan penutup dari kegiatan penambangan dan 950.000 ton lumpur dari hasil ekstraksi logam per hari (Barton, 1993) .

(43)

Perairan atau badan air seperti sungai, danau dan laut, serta air tanah sangat rentan terhadap kegiatan-kegiatan disekitarnya terutama kegiatan eksploitasi tambang. Hasil penelitian Purwadi (2002), penambangan di lembah Cartenz dan lembah Wanagon Papua, menyebabkaan buangan limbah tambang yang menyusur sepanjang sungai bermuara ke pantai dan telah merubah ekosistem akuatik. Hasil penelitian yang dilakukan Rompas (2002), aktifitas penambangan di Minahasa menyebabkan 2000 ton limbah setiap hari dibuang ke Teluk Buyat, dan rata-rata 100.000 ton limbah aktifitas tambang yang dibuang ke Teluk Senunu Sumbawa Nusa Tenggara Barat, yang menyebabkan kerusakan ekosistem, terumbu karang dan perikanan di sekitar perairan. Limbah penambangan yang terbawa air ke hilir, menurunkan kualitas perairan yang dapat merubah ekosistem perairan dan komunitas biota air (Vesilind et. al, 1990). Aliran permukaan yang mengandung logam berat akan mencemari perairan permukaan maupun air tanah, selanjutnya merusak keadaan lingkungan dengan aktifitas sistemik dan keadaan cuaca yang buruk (Koyanagi, 1994). Hasil penelitian Deocadiz dan Montano, 1999) di Ranong Thailand partikel-partikel dari limbah tambang yang tersuspensi ke perairan dan mengendap telah menyebabkan kematian tiram dan populasi fitoplanton. Biota yang hidup pada medium terbatas (sungai, danau dan teluk) akan sangat menderita pada kondisi tercemar (Darmono, 1995). Tanah dengan tingkat kemasaman tinggi mengakibatkan logam-logam berat menjadi lebih larut, dan saat erosi dapat tercuci ke daerah hilir, sehingga mencemari lingkungan perairan sekitar (Greene, 1988).

(44)

lahan, pemanfaatan dan penguasaan sumberdaya alam, pertumbuhan dan perkembangan fasilitas sosial yang pada gilirannya menurunkan tingkat kehidupan sosial dan ekonomi masyarakat (Djajadiningrat, 2001). Menyediakan bahan baku bagi industri, devisa negara, kesempatan kerja, pengembangan wilayah, dan kualitas SDM, serta penguasaan tekhnologi (Sujana, 1996), juga mengemban misi pembangunan sektoral (Mangkusubroto, 1995). Menurut Sembiring (1997) yang didukung oleh Haswanto (2000), pertambangan menciptakan iklim saling menguntungkan antara kepentingan pengembangan wilayah, sedangkan Amri (2002) pertambangan skala besar mampu membawa perubahan terhadap kehidupan sosial ekonomi masyarakat yang bermukim di wilayah lingkar tambang.

(45)

2. 3. Keberlanjutan Kehidupan Setelah Penambangan

Kekayaan sumber daya alam senantiasa dibanggakan sebagai salah satu keunggualan komparatif bangsa, namun dewasa ini kebanggaan tersebut mulai dipertanyakan kesasihannya, seiring dengan eksploitasi sumber daya alam yang dilakukan secara besar–besaran tanpa memperhatikan aspek lingkungan dan keberlanjutannya. Keunggulan komparatif tersebut akan dapat dibangun dengan bertumpuk pada keunggulan komparatif yang dimiliki, namun pencapaian keunggulan kompetitif itu mungkin akan memerlukan jangka waktu yang relatif lama. Percepatan pencapaian keunggulan kompetetif itu mungkin dicapai dengan memanfaatkan sentuhan teknologi dan manajemen profesional. Tanpa sumber daya alam terjaga baik, tentu upaya pencapaian keunggulan kompetetif bangsa akan menjadi mustahil. Penilaian terhadap tersedianya stok volume sumberdaya alam di suatau daerah, dapat dilakukan melalui pendekatan kesejahteraan. Disadari bahwa semakin banyak persediaan atau volume sumberdaya alam di suatu daerah (wilayah) akan semakin sejahtera masyarakat yang mendiami wilayah tersebut, karena sumberdaya alam yang ada dapat dimanfaatkan dalam jangka panjang.

(46)

ekosistem, maka Wagner dan Hutson (1997) mengatakan mutu dan kualitas tanah perlu dipelihara dari degradasi dan penurunan kualitasnya.

Upaya memelihara lingkungan ekologis agar dapat berlanjut dapat dilakukan: (1) Memelihara integritas tatanan lingkungan/ekosistem agar system penunjang kehidupan tetap berlanjut; (2) Memelihara keanekaragaman hayati. Menurut Barry (1997) keberlanjutan menghendaki: (1) Hasil sumberdaya alam yang dieksploitasi, tingkat produktivitas jangka panjangnya tetap dipertahankan; (2). Keuntungan penipisan sumberdaya alam tak terpulihkan perlu diinvestasikan dalam kapital manusia, teknologi, maupun kapital buatan manusia; (3). Kapasitas lingkungan untuk menerima dan mengasimilasi pembuangan tidak dilampaui atau dirusak. Menurut Barry, (1997) penurunan pada satu stok mineral dan hutan harus diganti dengan penambahan lebih banyak sekolah dan pabrik, setiap penduduk lokal harus diberikan kebebasan memperbaiki kehidupannya melalui investasi sumberdaya SDM, energi, modal setiap saat dan dapat memperoleh keuntungan dari modal yang ditanamkan tersebut secara proporsional (Watt, 1973).

Dalam melangsungkan kehidupannya manusia tergantung kepada keanekaragaman sumber daya alam untuk pangan, energi, papan, obat-abatan, inspirasi dan banyak lagi kebutuhan lain (Barry, 1997). Keanekaragaman sumber daya alam dan manusia telah mempunyai keterkaitan yang erat dan saling mendukung selama puluhan ribu tahun. Sumberdaya alam untuk pemenuhan kebutuhan hidup memiliki karakter penting yaitu bersifat terpulihkan dan tak terpulihkan (Suparmoko 2000). Cara masyarakat memanfaatkan keanekaragaman sumberdaya alam menentukakan kelestarian sumber daya ini, dan cara msyarakat mengelolahnya akan menetukan produktifitas sumber daya yang penting ini dan kelestaraian fungsi-fungsi ekologisnya.

(47)

dapat digambarkan dalam diagram siklus interaksi. Dari sudut pandang antroposentris, interaksi dimulai dari faktor-faktor pendorong yang ada di masyarakat, sepeti untuk memenuhi kebutuhan, inspirasi dan fungsi-fungsi ekologis sebagai pendukung kehidupan. Faktor pendorong ini mempengaruhi dampak kegiatan manusia pada keanekaragaman sumberdaya alam, dampak tersebut kemudian akan mempengaruhi kondisi dan dinamika keanekaragaman sumberdaya alam, yang kemudian mempengaruhi nilai-nilai dan fungsi keanekaragaman sumberdaya alam dan pada gilirannya akan mempengaruhi pula ketersedian dan kualitas sumberdaya alam dalam memenuhi kebutuhan manusia dan juga menjamin kelestariaanya. Sementara itu, kondisi dan dinamika, nilai-nilai dan dampak kegiatan manusia pada keanekaragaman sumberdaya alam dapat pula diupayakan melalui peningkatan kesadaran masyarakat untuk menjadi faktor pendorong bagi berubahnya pola konsumsi efesiensi pemanfaatan sumberdaya dan apresiasi masyarakat.

Pengelohan sumberdaya alam terpulihkan dan takterpulihkan harus memberi jaminan bagi keberlanjutan kehidupan, seperti kontribusi pada pertumbuhan sektor jasa dan peningkatan kualita sumberdaya manusia, tanpa merusak sistem alam, sehingga rantai kehidupan ekosistem tetap terjaga. Eksploitasi sumberdaya tambang yang takterbaharukan, harus diganti dengan peningkatan pengembangan masyarakat dan peningkatan taraf hidup masyarakat. Dengan terjaganya sistem alam akan dapat mendorong eksistensi keberlanjutan sistem sosial masyarakat.

Pada masa lalu eksploitasi sumberdaya alam dilakukan dengan lebih bertujuan pada pertumbuhan ekonomi untuk memenuhi hajat hidup masyarakat, namun eksploitasi sumberdaya alam untuk meningkatkan kesejahteraan hidup masyarakat disaat ini lebih peduli pada aspek tekanan ekologi (ekological stress), seperti menurunya sifat pisik dan kimia tanah, kualitas air, udara, maupun hilangnya vegetasi dan hutan terhadap kondisi dan prospek ekonomi.

(48)

krisis ekologi terjadi karena negara, pemodal, dan sistem pengetahuan ”modern” telah mereduksi alam menjadi onggokan komoditi yang bisa direkayasa dan dieksploitasi untuk memperoleh keuntungan ekonomi jangka pendek. Industri keruk kekayaan tambang telah mengganggu dan menghancurkan fungsi ekologis dan keseimbangan alam (Katili, 1998). Eksploitasi sumberdaya alam bagi pembangunan dan kehidupan masyarakat, harus tetap dijaga, sehingga walaupun generasi mendatang memiliki volume sumberdaya alam yang jumlahnya mungkin relatif sedikit, namun memiliki tingkat tekhnologi dan pengetahuan yang lebih baik, serta sumberdaya kapital buatan manusia yang lebih memadai.

Eksploitasi deposit tambang (sumberdaya takterbarukan) yang tidak mengindahkan aspek-aspek pelestarian dapat mengakibatkan terganggunya sistem alam yang akan berdampak pada sistem sosial ekonomi (Salim, 1991). Perlu ada keselarasan antara pembangunan ekonomi dengan aspek lingkungan, dan antara lingkungan dengan faktor sosial budaya (Sahlins, 1968). Pembangunan membutuhkan pencapaian keberlanjutan pada dimensi sosial, ekonomi, dan ekologi (Djajadiningrat, 2001).Haeruman (1983) pertambangan sekalipun terletak di daerah pinggiran yang umumnya dihuni penduduk berpendapatan rendah, namun kegiatan ini tetap bersifat padat modal, yang dapat mengancam kepunahan sumberdaya hayati dan satwa. Keberlanjutan kehidupan masyarakat di lokasi lingkar tambang dapat dipertahankan dengan adanya keseimbangan antara eksploitasi sumberdaya alam takterbarukan dengan sistem alam dan sistem sosial yang ada.

(49)

nilai-nilai sosial kedua masyarakat sehingga terjadi suatu proses perubahan sosial dan pergeseran nilai-nilai (Djajadiningrat, 2001). Gillin dan Gillin dalam

Soekanto (1982) pertemuan nilai-nilai sosial yang berbeda, serta hubungan antara struktur sosial yang berbeda, kemungkinan dapat menimbulkan dua hal, yakni (1) gesekan gesekan sosial, dan (2) interaksi sosial yang bersifat assosiatif. Djajadiningrat (2001) keberlanjutan sosial dinyatakan dalam “keadilan sosial”, harga diri manusia dan peningkatan kualitas hidup manusia”, dengan sasaran tercapainya : (1).Stabilitas penduduk; (2) memenuhi kebutuhan dasar manusia; (3) mempertahankan keanekaragaman budaya; dan (4) Mendorong partisipasi masyarakat lokal dalam pengambilan keputusan. Keberlanjutan kehidupan juga ditentukan oleh sumberdaya buatan manusia, seperti: sarana, tekhnologi, modal, fasilitas umum (Anonim, 2003).

Menurut Myrdal (1979) peningkatan jumlah penduduk merupakan faktor kunci masalah lingkungan. Goldscheider (1971) ada dua proses dasar dalam setiap system kependudukan, yaitu jumlah orang yang masuk dan keluar dari suatu populasi. Daerah pertambangan itu mulanya merupakan wilayah terpencil yang sulit dijangkau oleh budaya modern karena hanya didiami masyarakat asli, namun dengan kehadiran perusahaan kemudian menjadi penarik gerak masuk penduduk. Migrasi masuk dapat bersifat assosiatif dan disasosiatif (Gillin dan Gillin dalam

Soekanto, 1982). Asosiatif (mendekatkan) bilamana proses itu menimbulkan kerjasama, asmilasi, akulturasi dan akomodasi yang saling menguntungkan antara penduduk asli dengan pendatang, sebaliknya proses disasosiatif terjadi apabila antara penduduk asli dengan pendatang selalu timbul persaingan, kontroversi dan konflik karena kesenjangan sosial ekonomi. Sitorus (1998) untuk menghindari timbul gesekan sosial perlu memberdayakan masyarakat lokal, seperti berpartisipasi dalam pembangunan, perumahan, pendidikan, kesehatan, listrik, air minum dan sarana/ prasarana, dan saluran limbah.

(50)

wilayah Tambang dapat mempengaruhi pola sosial budaya masyarakat asli. Dalam jangka panjang bila kesenjangan ini tidak diatasi, menurut Loekman (1997) akan memicu kerawanan sosial. Sumanegara dan Orlensandra (1996) untuk membangun hubungan harmonis antara penduduk asli dengan pendatang perlu dilakukan upaya meningkatkan kemampuan masyarakat asli, melalui kemandirian masyarakat untuk aktif pada kegiatan-kegiatan yang bermuara pada perbaikan kesejahteraan hidup. Sumardjan dan Soemardi (1976) penambangan adalah suatu usaha masif yang dapat menarik penduduk masuk ke wilayah sekitar tambang, yang selanjutnya memunculkan lapangan kerja baru, sementara lesuhnya ekonomi dapat mengurangi lapangan kerja, akibatnya akan terjadi migrasi penduduk ke luar (kasus di Singkep dan Pulau Gebe). Keadaan seperti ini, selanjutnya membuat wilayah bekas tambang ibarat kota mati (Loekman, 1997).

2. 4. Masyarakat dan Strategi Meningkatkan Kehidupan

(51)

Manusia yang secara relatif mandiri, cukup lama hidup bersama, mendiami satu wilayah, memiliki kebudayaan sama dan melakukan sebagian besar kegiatannya didalam kelompok tersebut (Horton, 1999).

Menurut Sitorus (1998), kelompok manusia yang telah hidup dan bekerja-sama cukup lama sehingga mereka dapat mengatur dan menganggap diri mereka sebagai satu kesatuan sosial dengan batas-batas yang dirumuskan secara jelas. Dalam pandangan Soekanto (1982) masyarakat terdiri dari unsur-unsur: (1) manusia yang hidup bersama; (2) bercampur dalam waktu yang lama; (3) sadar sebagai satu kesatuan komunitas; (4) sadar sebagai satu system hidup bersama. Koentjaraningrat (1990) masyarakat dikategorikan dalam matriks yang terdiri dari sumbu horizontal (satuan-satuan sosial) dan sumbu vertikal (unsur pengikat satuan sosial). Masyarakat yang tinggal di pulau-pulau kecil, adalah satu bagian dari continuum peradaban yang berada pada tiap komunitas dan mencirikan kebudayaan Folk (Redfield dalam Koentjaraningrat, 1990). Banyak masyarakat yang hidup di pulau-pulau kecil di Indonesia merupakan representasi komunitas desa petani dan desa terisolir, dengan salah satu ciri ekonomi adalah kebutuhan hidup terbatas dapat dipenuhi sendiri. Jumlah penduduk pulau kecil sangat terbatas, sehingga prilaku kerjasama sangat dominan (Soemardjan dan Soemardi, 1976) namun kalau sudah berhadapan dengan penduduk luar, umumnya merasa terpinggirkan, ini karena isolasi geografis lingkungan yang membentuk prilaku pergaulan mereka (Koentjaraningrat, 1990).

Karakteristik masyarakat pesisir berbeda dengan karaktersitik masyarakat agraris, Satria (2002) karena sumberdaya yang dihadapi merupakan sumberdaya terbuka dan tidak terbuka, cara pengolahan lahan, sifat produksi (bergerak dan tidak bergerak), pola panen (kontrol dan tidak terkontrol). Firth dan Raymond (1969) masyarakat nelayan memiliki kemiripan dengan masyarakat petani (misalnya sifat usaha berskala kecil, peralatan dan organisasi pasar sangat rendah).

(52)

secara ekonomis dapat efisien serta layak, secara ekologi lestari, dan secara sosial berkeadilan (Dahuri, 2003).

Untuk meningkatkan tingkat kehidupan masyarakat Pulau kecil, maka konsep pemberdayaan ekonomi masyarakat pesisir (PEMP) dapat dipakai, karena tujuannya untuk meningkatkan taraf hidup masyarakat pesisir. Pelaksanaan program PEMP dilakukan melalui tahapan (1) partisipasi masyakat dalam perencanaan, pelaksanaan, pengawasan, pengembangan, pelestarian pembangunan ekonomi, masyarakat, dan wilayah; (2) Kemandirian pembangunan masyarakat dan wilayah; (3) Kemitraan sejajar antara masyarakat, pemerintah dan pihak swasta dalam mengembangkan kegiatan (DKP, 2002).

Selanjutnya, untuk meningkatkan kehidupan sosial ekonomi masyarakat di wilayah pesisir, adalah:

(1)Meningkatkan pendapatan untuk kegiatan pengentasan kemiskinan, selain itu untuk perbaikan akses pelaku yang terdiri dari: (a) akses terhadap sumberdaya; (b) akses terhadap modal; (c) Akses terhadap pasar; (d) Akses terhadap tekhnologi. (2) Penerapan secara utuh, prinsip pembinaan masyarakat miskin di pesisir dengan pendekatan kelompok, kemitraan, keluarga, serta berprinsip pada keserasian dan keswadayaan. (3) Perencanaan pola pelatihan bagi masyarakat. (4) Penggunaan berbagai skim kredit pada usaha yang mempunyai peluang besar melalui prinsip pendekatan kelompok, keluarga, kepemimpinan kelompok, dan sambil bekerja.

Sedangkan kebijakan operasional pembinaan masyarakat pesisir, meliputi: (a) Memanfaatkan efisiensi pemanfaatan ruang pesisir, pantai dan Pulau Pulau kecil, tempat masyarakat pesisir melaksanakan ekonomi. (b) Meningkatkan pendapatan dan kesejahteraan masyarakat. (c) Peningkatan pendayagunaan SDA untuk memenuhi konsumsi domestik, ekspor dan bahan baku industri berbasis sumberdaya kelautan. (d) Memberdayakan masyarakat pesisir, pantai dan pulau-pulau kecil dalam mengelolah SDA secara berkelanjutan (e) Memperkaya dan meningkatkan mutu SDA, pengelolaan SDA secara bertanggungjawab, serta konservasi dan rehabilitasi lingkungan SDA yang rusak.

(53)

2. 5. Konflik Sosial dan Persepsi Masyarakat

Kegiatan eksploitasi penambangan nikel di Pulau Gebe telah menimbulkan implikasi pada terjadinya corak perubahan lingkungan sosial masyarakat yang bersifat positif maupun negatif. Soekanto (1982) faktor-faktor menyebabkan munculnya konflik di dalam suatu masyarakat karena adanya perbedaan individu, perbedaan budaya, perbedaan kepentingan, dan terjadinya perubahan sosal di dalam masyarakat. Perbedaan individu/budaya terjadi karena perbedaan ling-kungan yang membentuk ke dua belah pihak yang melahirkan prinsip-prins

Gambar

Gambar 1. Kerangka pemikiran  pilihan pengembangan sektor ekonomi sebagai upaya mempertahankan keberlanjutan kehidupan                      masyarakat di pulau Gebe, pada saat pasca tambang nikel
Tabel 1. Parameter  sifat tanah dan air, metode analisis dan tempat analisis
Gambar 2: Peta lokasi pengambilan contoh tanah dan air
Tabel 9. Kriteria pembuatan skor parameter dimensi ekologi, ekonomi dan sosial-budaya
+7

Referensi

Dokumen terkait