• Tidak ada hasil yang ditemukan

Keberlanjutan Kehidupan Sosial Ekonomi Masyarakat, Tanpa Tambang Nikel. (Studi di Pulau Gebe Propinsi Maluku Utara)

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2017

Membagikan "Keberlanjutan Kehidupan Sosial Ekonomi Masyarakat, Tanpa Tambang Nikel. (Studi di Pulau Gebe Propinsi Maluku Utara)"

Copied!
217
0
0

Teks penuh

(1)

MASYARAKAT, TANPA TAMBANG NIKEL

(Studi di Pulau Gebe Propinsi Maluku Utara)

ABD.WAHAB HASYIM

SEKOLAH PASCA SARJANA

INSTITUT PERTANIAN BOGOR

(2)

Dengan ini saya menyatakan bahwa Disertasi dengan judul : Keberlanjutan Kehidupan Sosial Ekonomi Masyarakat Tanpa Tambang Nikel (Study di Pulau Gebe Propinsi Maluku Utara), adalah karya saya sendiri dan belum diajukan dalam bentuk apapun kepada Perguruan Tinggi manapun. Sumber informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam Daftar Pustaka bagian akhir Disertasi ini.

Bogor, Januari 2007

(3)

Masyarakat, Tanpa tambang Nikel. (Studi di pulau Gebe Propinsi Maluku Utara). Di bawah bimbingan Kooswardhono Mudikdjo, sebagai pembimbing ketua, Lala M Kolopaking dan Oteng Haridjaja, sebagai pembimbing anggota.

Kegiatan penambangan nikel di Pulau Gebe telah menimbulkan pengaruh terhadap kualitas air, sifat fisik dan kimia tanah, serta aspek kehidupan sosial ekonomi masyarakat. Penelitian ini bertujuan (1) Mengidentifikasi keberlanjutan kehidupan masyarakat dilihat dari dimensi ekologi, dimensi ekonomi, dan dimensi sosial budaya di Pulau Gebe pada saat ini. (2).Merumuskan sektor ekonomi alternatif sebagai upaya memelihara keberlanjutan kehidupan masyarakat di saat pulau Gebe tanpa tambang nikel. Hasil penelitian, menunjukan di lokasi yang terganggu langsung maupun Pulau Gebe secara keseluruhan, indeks keberlanjutan kehidupan masyarakat dari dimensi ekologi, dimensi ekonomi, dan dimensi sosial budaya, berada pada kondisi kurang berlanjut. (nilai indeks < 50%). Kelas kemampuan lahan di lokasi penelitian berpotensi terbatas untuk usaha budidaya pertanian. Kerusakan tanah tergolong berat, sehingga sulit dimanfaatkan untuk berbagai penggunaan lahan. Rehabilitasi lahan dari segi revegetasi, cukup berhasil berdasarkan jumlah dan karakteristik pertumbuhan tanaman di lahan bekas galian tambang. Produksi pertanian, perkebunan, tanaman pangan, kehutanan, peternakan, perikanan, usaha jasa, pendapatan masyarakat menurun sejak perusahaan tidak lagi beroperasi. Pendapat para pihak (stakeholders) sektor perikanan tangkap, merupakan pilihan utama dari empat sektor ekonomi (pertanian, perkebunan, peternakan dan perikanan) yang harus dikembangkan sebagai upaya mempertahankan keberlanjutan kehidupan masyarakat secara sosial ekonomi di saat pulau Gebe tanpa tambang nikel.

(4)

Maluku, under the guidance of Koeswardhono Mudikdjo, the head of advisory team,

and Lala M Kolopaking and Oteng Haridjaja, the advisory members.

Nickel mining on Gede Island has had negative effects on the water quality, the physical and chemical aspect of the soil, and the socio-economic aspect of the community. This research was aimed at (1) indentification of community sustainability viewed from ecological, economic, and socio-cultural dimension of Gebe Island nowadays; and (2) formulating an alternative to the economic sector to ensure the community sustainability on Gebe Island without nickel mining. The research result reveals that both in the directly-affected sites and on Gebe Island in general the index of community sustainability viewed from ecological, economic, and socio-cultural dimension is in a precarious condition. The soil fertility rate in the research site is relatively poor for agricultural endeavors. The damage to the soil is so serious that it is difficult to utilize it for different purposes. Rehabilitation of the area in terms of vegetation has been quite successful considering the number and characteristics of the growth of the plants in what used to be a mining area. The people’s income from such sectors as agriculture, plantation, cash crop, forestry, husbandry, fishery, and services has been going down since PT. ANTAM terminated its operation. According to the stakeholders, catch fishery is the first priority out of these four sectors—agriculture, plantation, husbandry, and fishery; therefore, it should be developed for the sake of socio-economic sustainability of the community on Gebe Island in the absence of nickel mining.

(5)

© Hak Cipta milik Institut Pertanian Bogor, tahun 2007

Hak Cipta Dilindungi

(6)

ABD.WAHAB HASYIM

Disertasi

sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Doktor pada

Program Studi Pengelolaan Sumberdaya Alam dan Lingkungan

SEKOLAH PASCA SARJANA

INSTITUT PERTANIAN BOGOR

(7)

NRP : P 10600031

Disetujui : Komisi Pembimbing

Prof. Dr. Ir. Kooswardhono Mudikdjo, M.Sc

Ketua

Dr.Ir. Lala M. Kolopaking, M.S Dr.Ir. Oteng Haridjaja, M.Sc Anggota Anggota

Diketahui

Ketua Program Studi Pengelolaan Dekan Sekolah Pascasarjana Sumber Daya Alam dan Lingkungan

Dr. Ir. Surjono H. Sutjahjo, M.S Prof. Dr. Ir. Khairil Anwar Notodiputro, MS

(8)

Penguji pada ujian Tertutup :

(9)

judul Upaya Meningkatkan Keberlanjutan Kehidupan Sosial Ekonomi Masyarakat, Tanpa Tambang Nikel (Studi di pulau Gebe Propinsi Maluku Utara).

Penulisan Desertasi ini didasari oleh makin marak dan berkembangnya kegiatan penambangan nikel pada 20 tahun terakhir ini, serta dampak yang timbul akibat penambangan tersebut, terutama dampak terhadap aspek biofisik, sosial, ekonomi dan tata nilai budaya masyarakat. Bagi pertambangan nikel di pulau-Gebe propinsi Maluku Utara yang beroperasi dengan sistem penambangan terbuka (open pit mining), juga memberikan pengaruh terhadap kondisi kehidupan aspek biofisik, kondisi sosial ekonomi dan tata nilai budaya masyarakat. Kondisi yang terjadi cukup berpengaruh pada saat pulau Gebe tanpa tambang nikel, karena sebagai pulau kecil dengan kendala ketergantungan terhadap pihak luar yang sangat besar.

Penulisan ini, telah memakan waktu kurang lebih 3 tahun yang secara intensif telah dibimbing oleh komisi pembimbing. Untuk itu Kepada Prof. Dr. Ir. Kooswardhono Mudikdjo, M.Sc (Ketua komisi pembimbing), Dr. Ir. H. Lala Kolopaking, MS (anggota komisi pembimbing) dan Dr. Ir.H. Oteng Haridjaja, M.Sc (anggota komisi pembimbing) penulis mengucapkan penghargaan dan terima kasih yang setinggi-tingginya atas segala kesabaran dan ketabahan membimbing penulis, serta kontribusi dalam memberikan arahan mulai dari penyusunan proposal, prelium, kolokium, penelitian lapangan, seminar hasil sampai selesainya disertasi yang sederhana ini. Untuk semua ini, penulis hanya mampu mengatakan bahwa semoga Allah SWT memberikan balasan pahala berlipat kepada hambanya yang mengajarkan “kalam dan iqra” kepada hamba-hamba Tuhan.

Ucapan terima kasih juga, penulis sampaikan masing-masing kepada Dr. Ir. Surjono H. Sotjahjo, MS (ketua program studi PSL), dan Prof. Dr. Ir. M. Sri Saeni, MS (mantan ketua program studi PSL) yang banyak memberikan dorongan dan motivasi selama penulis mengikuti pendidikan di pasca sarjana IPB.

Bogor, Januari 2007

(10)

Bailusy dan Ayah H. Ismail Hasyim. Lahir di Ternate Maluku Utara pada tanggal 10 November 1962. Pada tahun 1974 menamatkan Sekolah Dasar Negeri (SDN) di desa Weda Halmahera Tengah, tahun 1977 tamat Sekolah Menengah Pertama Negeri (SPMN) Weda, tahun 1981 tamat Sekolah Menengah Atas Negeri (SMAN) di Ternate, tahun 1986 mencapai gelar Sarjana Ekonomi pada Fakultas Ekonomi Universitas Hasanuddin (UNHAS) Makassar, dan tahun 1991 menyelesaikan program Magister Sains pada program studi Perencanaan dan Pengembangan Wilayah. Pada bulan September tahun 2000, penulis diterima sebagai mahasiswa S3 pada program studi PSL IPB.

(11)
(12)

KATA PENGANTAR. ……….. iii

DAFTAR ISI ………. iv

DAFTAR TABEL. ……… v

DAFTAR GAMBAR. ……….….………. vi

DAFTAR LAMPIRAN……….. vii

I. PENDAHULUAN.

…………..………..………... 1

1.1. Latar Belakang ...……..……….…………..….……….. 1

1.2. Kerangka Pemikiran.…………..………..……… 6

1.3. Perumusan Masalah... 8

1.4. Tujuan Penelitian. ……… ………... 9

1.5. Manfaat Penelitian………... 10

1.6. Hipotesis………..………. …….. … ……... 10

1.7. Novelty... 11

II. TINJAUAN PUSTAKA

………..………. … 12

2.1. Pembangunan Berkelanjutan di Pulau Kecil....………... 12

2.2. Konsep dan Pengaruh Penambangan Nikel…………... 15

2.3. Keberlanjutan Kehidupan Setelah Penambangan... 21

2.4. Masyarakat dan Strategi Meningkatkan Kehidupan ………. ... 26

2.5. Konflik Sosial dan Persepsi Masyarakat. ………... 29

2.6. Indeks Keberlanjutan Kehidupan Masyarakat di Pulau Kecil... 30

2.7. Multi Deminsional Scaling... 32

III. METODE PENELITIAN

….……….. 34

3.1. Lokasi dan Waktu Penelitian………... 34

3.2. Jenis dan Sumber data ……… …………. …… ………... 34

3.3. Pengambilan Contoh Air…... 36

3.4. Pengambilan Contoh Tanah... 37

3.5. Bahan dan Alat yang digunakan di Lapangan dan Laboratorium…………. 38

3.6. Analisis data dan Kriteria Penilaian……… ….... 39

3.7. Pengamatan Vegetasi... 41

3.8. Metode Pengambilan Sampel Sosial Ekonomi………….. …….. ……... 42

3.9. Penentuan Penarikan Responden Sosial dan Ekonomi…... …………... 43

3.10. Analisis Sosial Ekonomi……….. …... 44

3.11. Analisis Keberlanjutan Kehidupan Masyarakat... 44

(13)

4.3. Iklim………. 56

4.4. Tata Air………. ... 57

4.5. Bencana... 57

4.6. Kondisi Lahan... 58

4.7. Penggunaan Lahan... 60

4.8. Evaluasi Kesesuaian Lahan di Pulau Gebe... 64

4.9. Potensi Pengembangan di Pulau Gebe... 66

4.10. Potensi Sumberdaya Tambang... 71

4.11. Ekosistem Terumbu Karang dan Mangrove……… ……….. 73

V. HASIL DAN PEMBAHASAN

………... 75

5.1. Kondisi Sumberdaya Air di Pulau Gebe

……... 75

Deskripsi Lokasi Penelitian dan Kualitas Air di Telaga ……….. 75

Deskripsi Lokasi Penelitian dan Kualitas Air di Bendungan……... 78

5.2. Kondisi Sumberdaya Air di Lokasi Bekas Tambang Nikel

... 81

Deskripsi Lokasi Penelitian dan Kualitas Air di Dermaga... 81

Deskripsi Lokasi Penelitian dan Kualitas Air di Gorong-gorong…….….... 85

Deskripsi Lokasi Penelitian dan Kualitas Air di Turap………... 88

Deskripsi Lokasi Penelitian dan Kualitas Air di Cekdam………... 92

5.3. Kondisi Sumberdaya Tanah

... 95

Kelas Tekstur……… ... 97

Bobot Isi Tanah……… …….. 99

Porositas total……… ……... 101

Pori Air tersedia……… ……... 103

Permeabilitas……… ……... 105

pH tanah……… ……….. 106

Kapasitas Tukar Kation……… ……….. 108

Kejenuhan Basa……… …………... 110

Ketersediaan unsur hara (K, N, dan P)……… ………... 111

(14)

Evaluasi kesesuaian lahan di loasi bekas tambang... .. 125

Evaluasi rehabilitasi……… ………. 130

Peranan Bahan Organik Terhadap Rehabilitasi Lahan... . 140

5.5 Kondisi Sumberdaya Manusia di Lokasi Penelitian

………. 143

Kesehatan ...… ……… . . 145

Pendidikan ...… ……… 145

Pendapatan……… . . ……….. 146

Tingkat Pengeluaran Konsumsi Rumah Tangga………... 147

Kondisi dan Fasilitas Perumahan………...… 148

Kekosmopolitan……… . 148

Partisipasi masyarakat……….. 149

5.6. Kondisi Sarana dan Prasarana Wilayah

……… ……… 150

5.7. Kondisi Sumberdaya Ekonomi

..……… ….. .... 151

Pertanian……… 151

Kehutanan……… 154

Peternakan………..………... 155

Perikanan……… 157

Usaha jasa... ……… .. 158

5.8. Kontribusi Terhadap Kabupaten

……….……… 159

5.9. Sosial - Budaya

... 161

Konflik sosial………... 162

5.10

.

Persepsi Masyarakat Terhadap PT ANTAM

……... 163

5.11.Indeks Keberlanjutan Kehidupan Masyarakat Pulau Gebe

... 166

5.12. STRATEGI KEBERLANJUTAN KEHIDUPAN SOSIAL

EKONOMI MASYARAKAT PULAU GEBE

……… ... 184

6. KESIMPULAN DAN SARAN

……… ... 188

6.1. Kesimpulan………... 188

6.2. Saran………... 189

DAFTAR PUSTAKA

…… ……… ….. 190

(15)

1 Parameter sifat tanah dan air, dan metode analisis. ……….. … 35

2 Contoh air dalam tiga waktu pengamatan di enam lokasi penelitian... 36

3 Jumlah contoh tanah utuh, tanah terganggu dan lokasi penelitian... 37

4 Nilai LS berdasarkan persen kemiringan lereng………. 40

5 Tingkat erosi (TBE) berdasarkan solum tanah dan bahaya erosi…….………. 39

6 Persentase penyimpangan kualitas perairan dengan pendekatan AMOEBA… 41

7 Struktur dan jumlah responden sosial ekonomi………. 43

8 Kategori status keberlanjutan kehidupan masyarakat berdasarkan nilai indeks 45

9 Kriteria pembobotan skor parameter dimensi ekologi, ekonomi, dan sosbud 48

10 Jenis dan luas tanah di Pulau Gebe (Ha)……… 54

11 Data sifat fisik dan kimia tanah di Pulau Gebe………. 54

12 Data rata-rata komponen iklim di Pulau Gebe selama 10 tahun pencatatan... 56

13 Klasifikasi kelerengan di Pulau Gebe……….. 58

14 Luas kedalaman efektif tanah di Pulau Gebe………... 59

15 Penyebaran tekstur Tanah di Pulau Gebe………. 59

16 Luas desa berdasarkan kondisi Drainase di Pulau Gebe (Ha)……….. 60

17 Luas lahan per jenis penggunaan di Pulau Gebe………... 61

18

Hasil evaluasi kesesuaian lahan tanaman perkebunan dan pertanian... 64

19

Perkembangan produksi nikel Pulau Gebe, tahun 1997 – 2003………. 72

20 Persentase penyimpangan kualitas air musim kemarau di Telaga Pulau Gebe... 75

21. Persentase penyimpangan kualitas air saat transisi di Telaga Pulau Gebe... 76

22. Persentase penyimpangan kualitas air pada musim hujan di Telaga Pulau Gebe 77

23 Persentase penyimpangan kualitas air musim kemarau di Bendungan Pulau Gebe 78

24 Persentase penyimpangan kualitas air saat transisi di Bendungan Pulau Gebe... 79

25 Persentase penyimpangan air musim hujan di Bendungan Pulau Gebe... 80

26. Persentase penyimpangan kualitas air musim kemarau di Dermaga Pulau Gebe... 81

27. Persentase penyimpangan kualitas air saat transisi di Dermaga Pulau Gebe... 83

(16)

31 Persentase penyimpangan kualitas air musim hujan di Gorong-gorong... 87

32 Persentase penyimpangan kualitas air musim kemarau di Turap…………... 89

33 Persentase penyimpangan kualitas air saat transisi di Turap………... 90

34 Persentase penyimpangan kualitas air musim hujan di Turap………. 91

35 Persentase penyimpangan kualitas air musim kemarau di Cekdam... 92

36 Persentase penyimpangan kualitas air saat transisi di Cekdam...……… 93

37. Persentase penyimpangan kualitas air pada musim hujan di Cekdam...……... 94

38 Pengklasan hasil pengukuran rata-rata sifat fisik dan kimia tanah di Gebe…….. 96

39 Kelas tekstur tiap lapisan tanah di Pulau Gebe………. ………. 97

40 Kelas tekstur tiap lapisan pada lokasi bekas tambang nikel...….. 97

41 Kondisi bobot isi tanah per lapisan di Pulau Gebe ... 99

42 Kondisi bobot isi tanah per lapisan di lokasi bekas tambang nikel... 100

43 Porositas tanah per lapisan di Pulau Gebe………... 101

44 Porositas tanah per lapisan di lokasi bekas tambang nikel... 102

45 Pori air tersedia pada setiap lapisan tanah di di Pulau Gebe………. . 103

46 Pori air tersedia pada setiap lapisan tanah di lokasi bekas tambang nikel... 103

47 Permeabilitas pada tiap lapisan tanah di Pulau Gebe………... 105

48 Permeabilitas pada tiap lapisan tanah di bekas tambang nikel……. ... 105

49 Kondisi pH tanah pada setiap lapisan tanah di Pulau Gebe………... 107

50 Kondisi pH tanah pada setiap lapisan tanah di lokasi bekas tambang nikel... 107

51 KTK pada tiap lapisan tanah di Pulau Gebe…... 108

52 KTK pada tiap lapisan tanah di lokasi bekas tambang nikel…... 109

53 Kejenuhan basa pada setiap lapisan tanah di Pulau Gebe.…... 110

54 Kejenuhan basa pada setiap lapisan tanah di lokasi bekas tambang nikel... 110

55 Kondisi Kalium pada setiap lapisan tanah di Pulau Gebe.………... 111

(17)

60 Kondisi Phaspor pada setiap lapisan tanah di lokasi bekas tambang nikel... 115

61 Kondisi unsur mikro pada lapisan tanah di Pulau Gebe... 116

62 Kondisi unsur mikro pada lapisan tanah di lokasi bekas tambang nikel... 117

63 Penyebaran kelas kemampuan tanah di Pulau Gebe……… 119

64a Hasil evaluasi kelas kemampuan lahan di Pulau Gebe………121

64b Hasil evaluasi kelas kemampuan lahan di bekas tambang nikel……… 122

65

Hasil evaluasi kesesuaian lahan: Acasia, Sengon, Cemara dan Lamtoro

di Pulau Gebe……… 124

66

Hasil evaluasi kesesuaian lahan: Acasia, Sengon, Cemara dan Lamtoro

di lokasi bekas tambang……… 126

67 Rata-rata Fisik –Kimia Tanah di Pulau Gebe dan Bekas Tambang Nikel... 132

68 Jumlah tanaman hidup dan mati, revegetasi tahun 1999 – 2005……… 133

69 Karakteristik pertumbuhan beberapa jenis tanaman revegetasi... 134

70 Tingkat erosi tanah (TE) di Pulau Gebe……… 135

71 Tingkat erosi tanah (TE) di bekas lokasi tambang……… 135

72

Rata-rata tingkat kesuburan beberapa sifat kimia tanah di lokasi penelitian……. 139

73 Deskripsi karakteristik responden…….………. . 143

74 Hasil analisis uji beda parameter sosial ekonomi di Pulau Gebe………….. …… 144

75 Jumlah dan perkembangan produksi komoditi perkebunan di Pulau Gebe... 152

76 Nilai ekonomi hasil perkebunan tahun 2003……… ……….. 152

77 Jenis dan volume produksi tanaman pangan di Pulau Gebe………... 153

78 Nilai ekonomi hasil pertanian tanaman pangan tahun 2003 di Pulau Gebe……. 154

79 Jumlah dan perkembangan produksi komoditi kehutanan…………... 154

80 Nilai ekonomi hasil hutan di Pulau Gebe………… ………... 155

81 Jumlah jenis ternak dan tingkat perkembangannya di Pulau Gebe ………... 156

82 Nilai ekonomi hasil peternakan di Pulau Gebe………... 156

83 Produksi ikan Pulau Gebe, Tahun 1999-2003…… ………... 157

84 Nilai ekonomi hasil perikanan di Pulau Gebe... 158

(18)

89 Pandangan responden terhadap sosial budaya masyarakat di Pulau Gebe... 165

90 Hasil pengamatan dan nilai skor parameter dimensi ekologi,

ekonomi, dan sosial budaya... 167

91 Nilai Indeks keberlanjutan kehidupan masyarakat di Pulau Gebe dan lokasi

bekas tambang nikel, pada` setiap dimensi... 178

92 Nilai statistic yang berhubungan dengan analisis RAP-KEKEMAS………….. 180

93 Perubahan nilai RMS IKB akibat hilangnya setiap atribut pada analisis leverage 181

94 Perbandingan IKB-KEMAS hasil MDS dan Monte Carlo………. 183

(19)

1.

Kerangka pemikiran………... 7

2.

Peta lokasi pengambilan contoh tanah dan air……….. 38

3.

Ilustrasi indeks keberlanjutan kehidupan masyarakat Pulau Gebe………. 45

4.

Peta pulau Gebe lokasi penelitian………. 53

5.

Peta penggunaan lahan di Pulau Gebe……… 62

6.

Peta lokasi sebaran komoditi di Pulau Gebe……….. 63

7.

Peta kesesuaian lahan perkebunan dan pertanian... 65

8.

Timbunan Nikel jenis limonit (low gade). ………. 73

9.

Timbunan Nikel jenis saprolit (high gade)……… .... 73

10.

Peta kemampuan lahan di Pulau Gebe . ...………... 122

11.

Peta kemampuan lahan di lokasi pertambangan nikel Pulau Gebe... 123

12.

Peta kelas kesesuaian lahan untuk tanaman Akasia di Pulau Gebe………… 127

13.

Peta kelas kesesuaian lahan untuk tanaman Cemara di Pulau Gebe………… 128

14.

Peta kelas kesesuaian lahan untuk tanaman Lamtoro di Pulau Gebe………… 129

15.

Peta tingka erosi di bekas lokasi tambang……… 138

16 Perkembangan kontribusi royalti………. 160

17 Nilai IKB-KEMAS dimensi gabungan di lokasi bekas tambang……….. 171

18 Nilai IKB-KEMAS dimensi gabungan di Pulau Gebe……… 171

19 Nilai IKB-KEMAS dimensi ekologi di lokasi bekas tambang……… 172

20 Nilai IKB-KEMAS dimensi ekologi di Pulau Gebe……… 173

21 Nilai IKB-KEMAS dimensi ekonomi di lokasi bekas tambang……… 174

22 Nilai IKB-KEMAS dimensi ekonomi di Pulau Gebe……… 175

23 Nilai IKB-KEMAS dimensi Sosbud di lokasi bekas tambang……… 176

24 Nilai IKB-KEMAS dimensi sosbud di Pulau Gebe……… 177

25 Diagram layang IKB-KEMAS Pulau Gebe pada dimensi terkena dampak 178

(20)

1 Ukuran berbagai fraksi utama tekstur tanah………. 200

2 Klasifikasi Permeabilitas menurut Uhland dan O, Nell……….. ………. 200

3 Kriteria kesuburan tanah. ……… …… … ……… 201

4 Faktor tanaman (C ) atau jenis penggunaan tanah……….. 201

5 Faktor jenis pengelolaan atau teknik konservasi……… 202

6 Evaluasi kesesuaian untuk tanaman Sengon di Pulau Gebe………. 203

7 Evaluasi kesesuaian untuk tanaman Sengon di lahan bekas tambang……….. 203

8 Evaluasi kesesuaian untuk tanaman Akasia di Pulau Gebe………. 204

9 Evaluasi kesesuaian untuk tanaman Akasia di lahan bekas tambang……….. 204

10 Evaluasi kesesuaian untuk tanaman Cemara di Pulau Gebe………. 205

11 Evaluasi kesesuaian untuk tanaman Cemara di lahan bekas tambang……… . 205

12 Evaluasi kesesuaian untuk tanaman Lamtoro di Pulau Gebe………. 206

13 Evaluasi kesesuaian untuk tanaman Lamtoro di lahan bekas tambang………. 206

14 Evaluasi kesesuaian untuk tanaman Pinus di Pulau Gebe……… 207

15 Evaluasi kesesuaian untuk tanaman Pinus di lahan bekas tambang………. .. 207

16 Evaluasi kesesuaian untuk tanaman Eukaliptus di Pulau Gebe………... 208

17 Evaluasi kesesuaian untuk tanaman Eukaliptus di lahan bekas tambang………. .. 208

18 Evaluasi kesesuaian untuk tanaman Jati di Pulau Gebe………... 209

19 Evaluasi kesesuaian untuk tanaman Jati di lahan bekas tambang………. …… 209

20 Evaluasi kesesuaian untuk tanaman Mahoni di Pulau Gebe... 210

(21)

25 Data parameter kualitas fisik dan kimia air pada waktu pengamatan kemarau... 213

26 Data parameter kualitas fisik dan kimia air pada waktu pengamatan transisi... 213

27 Data parameter kualitas fisik dan kimia air pada waktu pengamatan hujan... 214

28. Lingkaran Baku mutu AMOEBA kualitas perairan di Dermaga musim kemarau 215

29 Lingkaran Baku mutu AMOEBA kualitas perairan di Dermaga saat transisi... 216

30 Lingkaran Baku mutu AMOEBA kualitas perairan di Dermaga musim hujan... 217

31 Lingkaran Baku mutu AMOEBA kualitas perairan di Turap musim kemarau... 218

32 Lingkaran Baku mutu AMOEBA kualitas perairan di Turap saat transisi... 219

33 Lingkaran Baku mutu AMOEBA kualitas perairan di Turap musim hujan... 220

34 Lingkaran Baku mutu AMOEBA di Gorong-gorong pada musim kemarau... ... 221

35 Lingkaran Baku mutu AMOEBA di Gorong-gorong saat transisi... 222

36 Lingkaran Baku mutu AMOEBA di Gorong-gorong pada musim hujan... 223

37 Lingkaran Baku mutu AMOEBA kualitas perairan di Telaga musim kemarau.... 224

38 Lingkaran Baku mutu AMOEBA kualitas perairan di Telaga saat transisi... 225

39 Lingkaran Baku mutu AMOEBA kualitas perairan di Telaga musim hujan... 226

40 Lingkaran Baku mutu AMOEBA di Bendungan pada musim kemarau... ... 227

41 Lingkaran Baku mutu AMOEBA di Bendungan saat transisi... 228

42 Lingkaran Baku mutu AMOEBA di Bendungan pada musim hujan... 229

43 Lingkaran Baku mutu AMOEBA kualitas perairan di Cekdam musim kemarau. 230

(22)
(23)

1. 1. Latar Belakang

Prospek pertambangan energi dan mineral di Indonesia pada 20 tahun terakhir ini mengalami kemajuan pesat, kemajuan ini ditandai dengan meningkat-nya volume produksi dan berkembangmeningkat-nya usaha eksploitasi jenis sumberdaya energi dan mineral yang pada tahun-tahun 1970-an sampai 1980-an belum banyak berkembang di Indonesia. Hasil penyelidikan dan pemetaan geologi yang telah dilakukan di sekitar 90 % dari luas wilayah daratan Indonesia, telah mengidentifikasikan wilayah negara dari Sabang sampai Merouke memiliki potensi kekayaan berbagai jenis mineral dan energi yang sangat diminati pasar ekspor (Ness, 1999), termasuk kawasan Timur Indonesia juga memiliki kekayaan sumber daya mineral dan energi pertambangan yang sangat bersar (Katili, 2002). Sumbangan atau kontribusi pertambangan terhadap Produk Domestik Bruto (PDB) Indonesia tahun 1996 telah mencapai 5,25%, angka ini jauh meningkat bila dibanding dengan capaian tahun 1983 yang hanya sebesar 1,13% dari PDB Indonesia. Pertumbuhan yang sangat signifikan ini, menunjukkan bahwa sektor pertambangan dapat menjadi sektor andalan bagi pembangunan perekonomian suatu negara (Ness,1999).

(24)

Dengan prinsip “kekayaan alam untuk kesejahteraan rakyat”, maka bahan tambang perlu diolah dengan tujuan: meningkatkan kesejahteraan rakyat. Sebagai implementasi dari tujuan tersebut, keberadaan PT ANTAM selama 24 tahun di Pulau Gebe telah mampu memberi kontribusi cukup nyata terhadap pembangunan wilayah Pulau Gebe, pembangunan daerah dan perekonomian nasional. Terhadap daerah penambangan menyebabkan penerimaan royalti dari eksploitasi nikel telah memberikan masukan berarti terhadap kas APBD Kabupaten Halmahera Tengah, dan efek positif yang timbul dari kegiatan eksploitasi telah menaikan pendapatan asli daerah dari pos retribusi dan pajak kendaraan bermotor serta pajak bumi dan bangunan (PBB). Namun demikian, kegiatan penambangan juga memunculkan sisi negatif, seperti terjadinya degradasi sumberdaya dan lingkungan, kesenjangan sosial ekonomi di masyarakat dan terjadi reduksi nilai terhadap tatanan sosial dan budaya. Karena itu menurut Salim (1989) pengelolaan sumberdaya pertambangan perlu dilakukan secara berhati hati agar mampu menjaga keberlanjutan aset generasi masa depan, untuk itu konsep pembangunan harus berkelanjutan.

Sebagai negara penganut “paham” sumber daya alam untuk kesejahteraan rakyat, Indonesia cenderung menggunakan prinsip pembangunan berkelanjutan yaitu mengolah kekayaan sumberdaya alam dan energi secara bijaksana agar kondisi lingkungan tetap lestari dan bermutu tinggi. Lingkungan yang lestari, pembangunan akan tetap berlangsung dari generasi ke generasi, dan lingkungan yang lestari hanya dapat dilahirkan dari pola pikir yang memiliki rasa bijak lingkungan yang besar (Naiola, 1996).

Konsep pembangunan berkelanjutan diperkenalkan pertama pada tahun 1987 oleh The World Commission on Enviroment and Development (WCED) melalui laporan “Our Common Future” yang disampaikan olehCicin-Sain et al. (1998).

(25)

mempunyai tugas dan tanggungjawab satu terhadap manusia lainnya seperti yang ada dalam satu generasi (Beller, 1990).

Kegiatan penambangan selalu memunculkan pengaruh positif dan negatif. Pengaruh positif kegiatan penambangan dapat dilihat dari kontribusinya terhadap pendapatan asli daerah, membuka isolasi keterisolasian wilayah, menyumbangkan devisa negara, menyediakan kesempatan kerja, serta pengadaan barang dan jasa untuk konsumsi dan yang berhubungan dengan kegiatan produksi, disamping itu dapat menyediakan prasarana bagi pertumbuhan sektor ekonomi lainnya (Mangkusubroto, 1995).

(26)

sumberdaya tambang yang cukup besar, serta musnahnya keanekaragaman hayati. Akibat dampak negatif terhadap komponen ekologi banyak daerah bekas tambang mengalami degradasi ekologi seperti tambang emas di Kalgoorie Australia Barat, bekas tambang timah di Pulau Dabo Singkep yang menyebabkan air tergenang pada lubang-lubang bekas galian sebagai sarang malaria, hamparan tanah gundul yang tidak produktif (Kasus ANTAM Pomala dan PT. Inco), rona kota terkesan sebagai kota mati (Katili, 1998), serta menurunnya kualitas tanah dan air.

(27)

nelayan, petani, pedagang dan usaha informal dan formal mengalami penurunan; (Anonim, 2003).

Menyadari bahwa masyarakat tetap membutuhkan keberlangsungan hidup secara sosial dan ekonomi, sementara kegiatan penambangan telah berakhir pada tahun 2005, dengan demikian terjadi lagi PHK terhadap 486 karyawan sisa. Akibat yang muncul adalah berpindahnya bekas karyawan ke daerah lain dan sebagian pulang ke kampung halaman asal. Dari hasil survei yang dilakukan Tim Fakultas Ekonomi Unkhair di Pulau Gebe tahun 2003 diperoleh beberapa harapan masyarakat, adalah : (1) Perbaikan lingkungan biofisik di areal tambang secara langsung dapat berpengaruh terhadap lingkungan pesisir pantai; (2) Perlu adanya investor yang dapat mengembangkan sektor- sektor primer yang bertumpu pada potensi sumberdaya lokal agar masyarakat dapat melangsungkan kehidupannya; (3) Perusahaan harus memperbaiki dan membangun fasilitas umum di bidang sosial dan ekonomi;

(28)

Kerangka Pemikiran

Pembangunan yang dilaksanakan di pulau-pulau kecil mengacu pada konsep pembangunan wilayah pesisir, karena kondisi ekologis dan sosial budaya masyarakat yang mendiami pulau kecil dan pulau besar relatif sama (Brookfield, 1990). Agenda 21, mengamanatkan arah pembangunan berkelanjutan kelautan dan wilayah pesisir, yakni pembangunan berkelanjutan pulau-pulau kecil (Cicin Sain dan Knecht, 1998). Oleh Direktorat Jenderal PPPK DKP (2000) adalah untuk mencegah munculnya konflik pemanfaatan, menjamin keberlanjutan pemanfaatan, serta optimalisasi ruang dan sumberdaya untuk peningkatan kesejahteraan masyarakat. Pembangunan Pulau Kecil juga diperkuat oleh Beatley et al, (1994), dan World Coast Conference (1993), yakni sangat ditentukan oleh kemampuan penduduknya mempertahankan sumberdaya, seperti: (1) energi, air, dan sumberdaya lainnya; (2) sistem alami; (3) tekhnologi; (4) fleksibiltas penduduk atas ekses pembangunan; (5) ketahanan ekosistem dari bencana alam; (6) kerjasama pemerintah dan masyarakat dalam mencegah kerusakan lingkungan; (7) tata nilai budaya. Cicin Sain dan Knecht, (1998) perlu memperhatikan ekonomi, lingkungan dan keadilan sosial. Berlanjut secara ekologis, ekonomi, lingkungan, keadilan, moral dan kelembagaan (OECD,1993).

Seiring dengan berakhirnya penambangan nikel di Pulau Gebe, persoalan mendasar yang muncul adalah bagaimana mengelolah sumberdaya yang terdapat di Pulau Gebe kehidupan sosial ekonomi masyarakat dapat dipertahankan. Mengacu pada kajian teori dan penelitian terdahulu, penelitian ini mencoba mendasarkan pada suatu kerangka pemikiran bahwa keberlanjutan kehidupan sosial ekonomi masyarakat sangat dipengaruhi oleh: (1) Daya dukung lingkungan; (2) Sumberdaya alam; (3) Sumberdaya manusia;(4) Sarana dan prasarana; dan (5) Sumberdaya finansial; (6) Sosial budaya; Menurut laporan Bank Dunia (2003), keberlanjutan kehidupan dipengaruhi oleh: sumberdaya manusia, sumberdaya alam, sumberdaya buatan manusia, pengetahuan, dan sumberdaya sosial.

(29)

Gambar 1. Kerangka pemikiran pilihan pengembangan sektor ekonomi sebagai upaya mempertahankan keberlanjutan kehidupan masyarakat di pulau Gebe, pada saat pasca tambang nikel.

ASSET SOSIAL EKONOMI

SARANA PRASARANA

SUMBERDAYA KAPITAL

Tidak ada tambang, tingkat kehidupan tinggi

1.Ada tambang, tingkat kehidupan tinggi

2.Tidak ada tambang, tingkat Kehidupan rendah

Berkelanjutan

Tidak berkelanjutan Pemberlanjutan Sistem

alam

Sistem Sosial

(30)

Perkembangan eksploitasi sumberdaya mineral dan energi pada beberapa tahun

terakhir ini telah menimbulkan banyak kasus terhadap kehidupan manusia dan

lingkungan sekitar. Kasus penambangan terkini yang paling memprihatinkan dunia

pertambangan adalah pencemaran di teluk Buyat Minahasa akibat kegiatan penambangan

emas oleh PT NMR. Kejadian-kejadian seperti ini kemudian memunculkan kesan bahwa

dalam hubungan dengan lingkungan hidup, tidak ada sektor lain yang lebih terpuruk

dibanding sektor pertambangan. Masalah yang sering muncul adalah pencemaran

terhadap sumber daya tanah, dan air yang berakibat pada turunnya kualitas dan

produktivitas tanah dan air, sehingga dalam pengembangan ekonomi bukan tambang

setelah pasca tambang, aspek daya dukung lingkungan sering menjadi kendala utama.

Pihak perusahaan sering kurang memperhatikan kewajiban pembangunan

masyarakat, pemerintah daerah juga kurang memperhatikan pembangunan sarana

prasarana daerah penghasil. Akibatnya setelah masa penambangan daerah yang

ditinggalkan ibarat kota hantu, karena jumlah penduduk berkurang dan kondisi sosial

ekonomi masyarakat yang ada di sekitar lokasi tambang menjadi miskin, karena hasilnya

hanya untuk manfaat ekonomi jangka pendek (Anwar, 1993).

Tingkat kehidupan masyarakat secara sosial ekonomi, merupakan salah satu isu

kunci yang selalu muncul pada saat berakhirnya kegiatan penambangan karena

berkurangnya lapangan kerja, sehingga ketergantungan masyarakat untuk mendapatkan

pekerjaan di luar Pulau Gebe sangat besar, kondisi ini sesuai dengan salah satu

karakteristik pulau kecil yaitu ketergantungan ekonomi lokal pada ekonomi luar

(Brookfield, 1990) juga (Retraubun dan Dahuri, 2002). Kekuatiran ini muncul karena

kenyataan yang terjadi seperti kasus PHK terhadap 484 karyawan KPO dan TKBM yang

dilakukan pihak manajemen perusahaan pada bulan Januari hingga Maret 2003.

Permasalahan sosial ekonomi yang lain adalah menyangkut dengan pengalih-an

aset-aset milik PT ANTAM ke pemerintah Kabupaten yang kemudian diikuti dengan

penerapan kebijakan dan peraturan daerah. Aset perusahaan yang diserahkan ke

pemerintah Kabupaten yaitu pasar, jaringan listrik, jaringan air bersih, dan sarana

(31)

Mamin mendapat secara gratis. Selain itu pendapatan masyarakat yang bekerja di

perusahaan akan terhenti sementara kebutuhan hidup tidak berkurang, pendapatan petani,

nelayan dan usaha jasa dan sektor informal juga mengalami penurunan. Prasarana dan

sarana perkantoran, rumah dinas petinggi perusahaan dan bangunan perumahan yang

ditempati karyawan perusahaan kalau tidak dimanfaatkan akan mengalami kerusakan

yang sangat cepat.

Permasalahan-permasalahan ini harus ditangani secara terpadu dan melalui

pelibatan para pihak agar tidak memunculkan konflik sosial yang pada gilirannya

menjurus pada kegiatan anarkis. Secara spesifik dapat dirumuskan dua masalah penelitian

sebagai berikut.

1.

Berapa besar indeks keberlanjutan kehidupan masyarakat dilihat dari dimensi ekologi,

dimensi ekonomi, dimensi sosial budaya dan dimensi gabungan (multi dimensi) di

Pulau Gebe pada saat ini.

2.

Kebijakan strategi apa yang dapat dirumuskan agar kehidupan sosial ekonomi

masyarakat pada saat pasca tambang di Pulau Gebe masih tetap berlanjut.

1. 4. Tujuan Penelitian

Mengacu pada latar belakang dan permasalahan-permasalahan yang telah

dikemukakan, penelitian ini bertujuan :

1.

Mengidentifikasi keberlanjutan kehidupan masyarakat Pulau Gebe yang hidup di pulau

kecil dari pengaruh sumberdaya dimensi ekologi (sifat tanah, kualitas air), dimensi

ekonomi (modal, dana, jalan, bangunan, jaringan air, jaringan listrik, pelabuhan, dan

pasar), dimensi sosial budaya (pendidikan, kesehatan, partisipasi, kekosmopolitan,

kondisi perumahan, kelembagaan, adat istiadat, nilai-nilai budaya, persepsi dan konflik

sosial), sebagai aset untuk meningkatkan keberlanjutan kehidupan sosial ekonomi

(32)

nikel.

1. 5. Manfaat Penelitian

Hasil penelitian diharapkan dapat:

1.

Dirumuskan kebijakan strategi untuk meningkatkan keberlanjutan kehidupan sosial

ekonomi masyarakat Pulau Gebe pada saat pasca tambang nikel.

2.

Hasil penelitian ini juga dapat dijadikan bahan informasi dan data awal bagi

penelitian bidang ilmu yang terkait dengan aspek kehidupan sosial dan ekonomi

masyarakat di pulau-pulau kecil bekas tambang.

1. 6. Hipotesis

Mengacu pada kerangka pemikiran konseptual keberlanjutan kehidupan sosial

ekonomi masyarakat Pulau Gebe sebagai suatu masyarakat yang mendiami Pulau kecil

yang pada saat ini terdapat penambangan nikel, hipotesis yang diajukan dalam

penelitian ini meliputi

1.

Untuk meningkatkan keberlanjutan kehidupan sosial ekonomi masyarakat Pulau Gebe

sebagai suatu masyarakat yang tinggal di pulau kecil pada saat PT ANTAM

menghentikan kegiatan penambangan nikel, sangat ditentukan oleh

sumberdaya-sumberdaya dimensi ekologi, dimensi ekonomi, dan dimensi sosial-budaya.

2.

Strategi kebijakan sebagai upaya meningkatkan keberlanjutan kehidupan secara sosial

(33)

1. 7. Kebaruan

Kehidupan masyarakat yang mendiami Pulau Gebe yang memiliki kandungan

tambang nikel, sampai tahun 2000-an belum banyak mendapat perhatian dalam

studi/kajian-kajian akademik. Kajian tentang kondisi hidup masyarakat di wilayah ini,

hampir seluruhnya merupakan bagian dari kondisi hidup masyarakat Maluku Utara.

Anhar,

et al

. (2003) dalam penelitian data base sosial ekonomi di wilayah pengaruh

tambang emas PT NHM (Nusa Halmahera Minerals) di Halmahera Utara, menemukan

aspek

community development

dijalankan perusahaan masih bersifat insidentil. Marsaoly

et al

. (2000) dalam penelitiannya rencana penambangan nikel oleh PT Weda By di

wilayah pengaruh tambang nikel Halmahera Tengah, lebih menyoroti aspek pengaruh

tambang terhadap kondisi ekologi dan masyarakat pesisir.

Khusus di Pulau Gebe, studi lebih spesifik relatif baru dilaksanakan pada tahun

1996 oleh Sumanagara, yang mengkaji peran serta unit pertambangan Nikel Pulau Gebe

dalam perkembangan wilayah dan daerah, sedangkan Darijanto (1999) melakukan

penelitian tentang pengaruh morfologi dan penyebaran endapan nikel unit penambangan

Pulau Gebe. Selanjutnya, untuk kepentingan rumusan visi pembangunan Maluku Utara

tentang pembangunan Pulau-pulau kecil dan pesisir, penelitian dilakukan kerjasama

Dinas Perikanan Propinsi Maluku utara dengan Pusat Studi Kelautan dan perikanan

Universitas Khairun (2003). Hasyim,

et al

. (2003) mengeksplorasi pengaruh PHK dan

persiapan pasca tambang terhadap kondisi sosial ekonomi masyarakat Pulau Gebe.

Beberapa penelitian terdahulu yang dilakukan di daerah lain, tentang pengaruh

tambang terhadap kehidupan masyarakat, antara lain : Haswanto (2000) pembangunan

pedesaan dan melawan kemiskinan di sekitar wilayah tambang, Hardiyanti (2000),

Purwadhi (2002), dan Sembiring (1997), tentang pengelolaan Pulau-pulau kecil, secara

holistik belum mengkaji keterkaitan dimensi : ekologi, ekonomi dan sosial budaya,

sebagai upaya meningkatkan kehidupan masyarakat yang hidup di Pulau kecil yang di

(34)

Pembangunan yang dilaksanakan di pulau-pulau kecil mengacu pada

konsep pembangunan wilayah pesisir, hal ini karena sekalipun ekosistem perairan

di pulau-pulau kecil sangat beragam dibanding dengan ekosistem perairan yang

terdapat di wilayah pesisir daratan dan pulau besar (Salm dan Clark, 1984),

namun kondisi ekologis dan sosial budaya masyarakat pesisir yang bermukim di

pulau kecil relatif tidak berbeda secara signifikan dengan masyarakat yang

bermukim di wilayah pesisir pulau besar (Brookfield, 1990). Mengacu pada

filosofis di atas, maka pemerintah menyatukan pengelolaan wilayah pesisir dan

pulau-pulau kecil berada dalam satu payung Dirjen PPPK.

Secara ekologis letak pulau kecil terpisah dari Pulau induk (maindland)

dengan batasan yang pasti, dan terisolasi dari habitat lain. Karena keterisolirannya

ini menimbulkan nilai keunggulan-keunggulan tertentu, terutama keanekaragaman

vegetasi dan biota laut, memiliki spesies endemik yang tinggi (Holling et al,

1973). Walaupun berukuran kecil namun secara ekologis, ekonomi, sosial-budaya

mampu meningkatkan skala ekonomi dari pengelolaan sumberdaya yang ada.

Beberapa batasan tentang pulau kecil adalah pulau yang luasnya ≤ 1.000

km2 atau berpenduduk < 100.000 jiwa (Brookfield, 1990) pendapat yang sama

juga dianut oleh Nakajima dan Machida, (1990). Oleh Sugandhy (1980) mengutip

dari UNESCO pulau yang luasnya < 10.000 km2 dengan penduduk < 500.000

jiwa, pendapat yang sama juga dikemukakan Dahuri (2002). Pulau yang luasnya <

2000 km2 adalah pulau kecil (Tresnadi, 1998), Hehanusa dan Haryani (1998)

menambahkan pulau yang luasnya < 2.000 km2 dan lebarnya < 10 km2, sedangkan

Bengen (2001) pulau kecil adalah pulau yang mempunyai luas ≤ 10.000 km2 atau

lebarnya < 10 km2, sementara DKP (2001) pulau kecil adalah pulau dengan

ukuran luasnya ≤ 10.000 km2, dengan jumlah penduduk 200.000 orang. Jumlah

pulau kecil dan sangat kecil di Indonesia ada sekitar 931 buah yang berpenghuni

(35)

Hasil konferensi Negara-negara tentang lingkungan hidup dan

pembangunan yang dilaksanakan di Rio de Janeiro Brasil (1992) yang dikenal

dengan “Agenda 21”. Mengamanatkan arah pembangunan berkelanjutan tentang

masalah kelautan dan wilayah pesisir, yakni pembangunan berkelanjutan

pulau-pulau kecil (Cicin Sain dan Knecht, 1998). Implementasi dari semangat “Agenda

21”, maka visi pembangunan kawasan pesisir, pantai dan pulau-pulau kecil oleh

Direktorat Jenderal PPPK DKP (2000) adalah untuk mencegah munculnya konflik

pemanfaatan, menjamin keberlanjutan pemanfaatan, serta optimalisasi ruang dan

sumberdaya untuk peningkatan kesejahteraan dan sebagai sumber pertumbuhan

ekonomi nasional. Selanjutnya menurut Dahuri (2002) pembangunan kelautan,

pantai, pesisir dan pulau-pulau kecil harus dilakukan secara terpadu antara

dimensi yang bersifat “contraint based development” yakni harus berkelanjutan

secara ekonomi efisien dan optimal, secara sosial budaya berkeadilan, secara

ekologis tidak melampaui daya dukung lingkungan, dan secara politik menjadi

perekat bangsa.

Dimensi keterpaduan pembangunan wilayah pesisir dan pulau-pulau kecil

juga diperkuat oleh Beatley et al, (1994), dan World Coast Conference (1993).

Dalam pandangan Beller et al, (1990) pembangunan berkelanjutan di pulau kecil

sangat ditentukan oleh kemampuan penduduknya mempertahankan sumberdaya

milik pulau tersebut, seperti: (1) energi, air, dan sumberdaya lainnya; (2) sistem

alami; (3) tekhnologi; (4) fleksibiltas penduduk atas ekses pembangunan; (5)

ketahanan ekosistem dari bencana alam; (6) kerjasama pemerintah dan masyarakat

dalam mencegah kerusakan lingkungan; (7) tata nilai budaya. Menurut Cicin Sain

dan Knecht, (1998) keberlanjutan pembangunan di wilayah pesisir perlu

memperhatikan ekonomi, lingkungan dan keadilan sosial. Kenchington (1995)

harus memperhatikan isu biologis, budaya, geologis, yurisdiksi, hukum dan

administrasi, politik dan birokrasi, serta sosial dan ekonomi. Wilayah pesisir dapat

memenuhi konsep pembangunan berkelanjutan kalau berlanjut secara ekologis,

ekonomi, lingkungan, keadilan, moral dan kelembagaan (OECD,1993).

Konsep pembangunan berkelanjutan wilayah pesisir dan pulau pulau kecil

(36)

1.Terintegrasinya konsep “equity”, lingkungan dan ekonomi dalam paradigma

pengambilan keputusan.

2.Dipertimbangkan secara khusus aspek ekonomi.

3.Dipertimbangkan secara khusus aspek lingkungan

Menurut Bengen dan Rizal (2002) pemanfaatn sumberdaya pesisir dan

pulau-pulau kecil di Indonesia perlu memperhitungkan hal-hal berikut:

1.Rehabilitasi kawasan pesisir dan lautan yang telah mengalami kerusakan

2.Internalisasi biaya eksternalitas ke dalam setiap kegiatan pembangunan

3.Penetapan retribusi atas setiap pemanfaatan sumberdaya kelautan

4.Laut dikelolah secara “co-management”

5.Reorientasi laut sebagai milik negara ke milik rakyat

6.Laut harus dianggap sebagai bagian dari ekosistem global.

Pulau kecil yang tak berpenghuni tapi letaknya di jalur perdagangan atau

memiliki sumberdaya alam berlimpah akan sangat bermanfaat bagi pembangunan

bangsa, berfungsi sebagai benteng perlindungan kehidupan manusia,

ekosisitem-nya berperan mengatur iklim global dan pengontrol dinamika El-Nino, siklus

hidrologi dan biogeokimia, penyerap limbah, sumber plasma nutfah dan

penun-jang sistem kehidupan (Dahuri, 1998). Keterisolirannya pulau kecil banyak

menghadapi kendala dalam pembangunan ekonomi (Hess, 1990). Memiliki

kewajiban lebih besar dalam pembangunan infrastruktur, pendidikan, penelitian,

dan pemasaran (Hein, 1990) karena itu ketergantungan terhadap bantuan pihak

luar sangat tinggi (Hein, 1990).

Disamping banyak kendala pulau-pulau kecil memiliki satu atau lebih

sistem ekologi pesisir dan sumberdaya pesisir bersifat alamiah, terumbu karang,

hutan mangrove, padang lamun, pantai berpasir, pantai berbatu, esturia, laguna

dan delta), bersifat buatan meliputi kawasan pemukiman, pariwisata, budidaya

ikan. Sumberdaya alam di Pulau-Pulau kecil juga terdiri dari sumberdaya alam

terpulihkan, mamalia laut, rumput laut, mangrove dan terumbu karang, dan yang

tak terpulihkan. Walaupun banyak kendala, beberapa pulau kecil berhasil

(37)

Sebagai sebuah pulau kecil Gebe sangat tergantung terhadap wilayah luar,

masyarakatnya sangat membutuhkan tersedianya usaha ekonomi alternatif untuk

mempertahankan keberlanjutan kehidupan. Dengan berakhirnya penambangan

nikel, muncul permasalahan-permasalahan yang terkait dengan kondisi kehidupan

sosial ekonomi masyarakat, seperti terjadi pengangguran, pendapatan masyarakat

dan daerah menurun. Kondisi ini dipastikan lebih parah lagi manakala tidak

diantisipasi sejak dini agar tidak terjadi gejolak sosial di masyarakat. Mengacu

pada kondisi ini, kemudian mencuat perlu adanya kebijakan pembangunan sektor

ekonomi alternatif yang layak dan berkelanjutan dengan mengandalkan potensi

sumberdaya Pulau Gebe.

2. 2. Konsep dan Pengaruh Pertambangan Nikel

Sumberdaya nikel merupakan logam yang berasosiasi dengan tanah dan

bebatuan, umumnya terdapat di perut bumi pada kedalaman 2 sampai 10 meter

dari top soil dan sub soil (Sukandarrumidi, 1998). Hasil penelitian Darijanto

(1999) di Pulau Gebe, menunjukan pelapukan secara intensif batuan peridotit

serpentinit menghasilkan endapan nikel lateritik dan kobalt yang ekonomis untuk

ditambang. Jenis nikel yang ekonomis terdiri dari nikel Saprolit dan Limonit.

Nikel saprolit berada di daerah punggungan, karena pembentukan zona saprolit

yang menghasilkan jenis nikel saprolit yang berkualitas tinggi lebih banyak

dipengaruhi struktur batuan asal dibandingkan terhadap morfologinya (Darijanto,

1999).

Tambang dapat memberikan nilai tambah, jika deposit yang tersimpan di

perut bumi dieksploitasi secara efektif (Yusgiantoro, 2000) sehingga dapat

memberikan manfaat secara ekonomi bagi kesejahteraan rakyat, pembangunan

wilayah, pertumbuhan industri dan perdagangan, serta peningkatan pendapatan

nasional dan daerah, juga merupakan salah satu landasan terpenting pembangunan

nasional Indonesia (Katili, 1998). Penambangan, meliputi pengambilan dan

(38)

2000), semua usaha yang dilakukan untuk mengambil bahan galian dengan tujuan

dimanfaatkan lebih lanjut bagi kepentingan manusia Boegel (1976).

Penambangan nikel dapat dilakukan secara terbuka dan tertutup, termasuk

penggalian, pengerukan dan penyedotan untuk mengambil deposit yang ada di

dalamnya (VonBulow, 1993). Penambangan nikel dimulai dengan penebangan

pohon dan semak-semak selanjutnya dilakukan pemindahan tanah permukaan ke

tempat penampungan sementara (Suhala dan Supriatna, 1995). Untuk memenuhi

persyaratan ekspor bijih nikel dari seluruh lokasi penambangan dicampur dengan

kandungan nikel paling rendah 2,1%. Bijih nikel Saprolit diproduksi lanjut di

Pomalaa menjadi Ferronikel (FeNi), sedangkan biji nikel Limonit seluruhnya

dijual ke Australia.

Menurut UU. Nomor 11 Tahun 1967 dan Peraturan Pemerintah (PP) Nomor

27 Tahun 1980, jenis sumberdaya pertambangan dibagi menjadi tiga golongan (A,

B, dan C), dan untuk jenis nikel termasuk dalam golongan A (strategis), untuk

pertahanan dan keamanan perekonomian negara. Bahan galian golongan A

diusahakan oleh Badan Usaha Milik Negara (BUMN), golongan B diusahakan

oleh BUMN atau kerjasama swasta, golongan C diusahakan oleh Badan Usaha

Swasta (BUS) dan rakyat. Pengusahaannya harus memiliki ijin penambangan

yang disebut Kuasa Pertambangan (KP), dengan tugas melakukan: penyelidikan

umum, eksplorasi, eksploitasi, pengolahan dan pemurnian, pengangkutan dan

penjualan. Kuasa pertambangan berisi hal-hal penting meliputi: letak dan luas

wilayah pengusahaan tambang, yang disertai dengan peta dan batas-batasnya

(Sukadarrumidi, 1998), seperti: (1) Penyelidikan umum, 1 KP maksimum 5.000

ha sampai 5 KP (25.000 ha); (2) Eksplorasi, satu KP maksimum 2.000 ha, dan

paling banyak 5 KP (10.000 ha); (3) Eksploitasi, satu KP maksimum 1.000 ha dan

paling banyak 5 KP ( 5.000 ha); (4) Jangka waktu berlakunya KP, yaitu: KP

penyelidikan umum waktunya 1 tahun, perpanjang 1 tahun; KP eksplorasi 3

tahun, kemungkinan perpanjangan 2 kali 1 tahun.

Untuk mendapatkan Kuasa Pertambangan dilakukan perjanjian Kontrak Karya

antara pemerintah Indonesia dengan perusahaan yang mengusahakan penggalian

(39)

Pemerintah (PP) Nomor 37 Tahun 1986 Tentang penyerahan sebagian urusan

pemerintah di bidang pertambangan kepada Pemerintah Daerah Tingkat I, yang

memberikan kewenangan kepada pemerintah daerah mengelolah bahan galian

golongan C. Substansi UU. Nomor 22 tahun 1999 dan UU. Nomor 25 tahun 1999

menjelaskan daerah otonom berwenang mengelolah sumberdaya yang terdapat di

daerahnya, seperti memberi ijin usaha penyelidikan umum dan eksplorasi,

eksploitasi, pengolahan dan pemurnian, serta pengangkutan dan penjualan.

Menurut Abdurrahman dan Setiawan (1999) pelaksanaan UU. Nomor 22 Tahun

1999 di sektor pertambangan umum dapat berjalan dengan baik dan mampu

memberikan kontribusi maksimal pada wilayah dan menjadi pemicu

pengembangan kegiatan sektor non tambang, perlu adanya kerjasama antar

daerah-daerah otonom yang mempunyai kewenangan mengelolah sumberdaya

tambang di wilayahnya (pasal 10, UU. No. 22/1999), pemerintah pusat

menentukan kebijaksanaan makro perencanaan pendayagunaan sumberdaya

tambang (pasal 7 ayat 2 UU No. 22/1999). Peran pemerintah pusat sebagai

instrumen optimalisasi pendayagunaan sumberdaya tambang, Sujana (1996) peran

pemerintah pusat dalam menyusun rencana makro pengelolaan tambang harus

secara detail, efektif dan sistematik. Mangkusubroto (1995) perlu perencanaan

sistematik terhadap pengusahaan pertambangan berskala operasi antara 25 –30

tahun bahkan lebih dari 50 tahun.

Penambangan nikel dilakukan dengan cara mengeduk pelapukan batuan

ultrabasa (peridotite), sehingga praktis seluruh tubuh tanah diambil (Sudrajat,

1999). Bagian permukaan tanah ditampung pada tempat tertentu sebagai tanah

penutupan kembali saat rehabilitasi. Salah satu dampak penyebab kerusakan

lingkungan di indonesia adalah kerusakan yang disebabkan kegiatan

pertambang-an. Penambangan yang dilakukan PT Free Port di Papua telah menimbulkan

pengaruh terhadap suatu wilayah yang sangat luas, mulai dari lokasi

pertambangan di ketinggian sekitar 300 meter diatas permukaan laut membujur

(40)

Landsat-TM tahun 2000, luas wilayah daratan yang mendapat pengaruh limbah

penambangan adalah 36 ha, sedangkan luas wilayah laut sebesar 84 ha.

Dampak penambangan terhadap sumberdaya tanah, seperti: (1) Kerusakan

bentuk permukaan bumi; (2) Menumpuknya ampas buangan; (3) polusi udara; (4)

Erosi dan sedimentasi; (5) Terjadi penurunan permukaan bumi; (6) kerusakan

karena transportasi alam dan yang diakibatkan pengangkutan alat-alat berat

(Sudrajat, 1999), permukaan tanah runtuh sehingga menjadi gersang dan sukar

dihijaukan kembali (Katili, 1998), menimbulkan erosi dan sedimentasi, terjadinya

pemadatan tanah, terganggunya flora dan fauna yang disekitar wilayah tambang

(Kusnoto dan Kusumodirdjo, 1995), terjadi perubahan iklim (Hardiyanti, 2000).

Naiola, et. al. (1996) kegiatan penambangan dapat mengakibatkan: (1) perubahan

sifat fisik dan kimia tanah: (2) pengurangan sejumlah spesies tumbuhan maupun

hewan; (3) Kanopi/tajuk tumbuhan menjadi terbuka, sehingga suhu tanah naik; (4)

Faktor mikrolimat berubah (klimat disekitar daerah tumbuh aktif); (5)

terdorongnya water table lebih mendekati permukaan tanah. Terjadinya

kolong-kolong bekas galian tambang dan turunnya permukaan bumi (Koesnaryo, 1996)

seperti yang terjadi di Pulau Bangka, di Pomala, di Pulau Kijang, tambang batu

bara, dan nikel di Pulau Gebe. Ampas buangan atau tailing banyak terjadi di

lokasi pertambangan emas seperti di Kalgoorlie Australia Barat, Free Port, dan

tambang emas di teluk Buyat Minahasa (2004). Industri mineral di Kanada

menghasilkan 1 milyar ton batuan penutup dari kegiatan penambangan dan

950.000 ton lumpur dari hasil ekstraksi logam per hari (Barton, 1993) .

Saptaningrum (2001) dalam penelitiannya di Pulau Bangka,

menyimpul-kan faktor waktu setelah penambangan berhubungan dengan perubahan sifat fisik

dan kimia tanah, pada awal penambangan kadar pasir sangat tinggi dan akan

berangsur turun sampai tahun ke-15, sebaliknya kadar pasir dan liat menjadi

sangat rendah dan berangsur tinggi pada tahun ke-15. Parameter pH, C, N, P, K

dan Fe, mengalami kenaikan, sedangkan KTK mengalami kenaikan pada tahun

ke-5. Penambangan menyebabkan terangkatnya mineral tertentu yang kemudian

(41)

Perairan atau badan air seperti sungai, danau dan laut, serta air tanah

sangat rentan terhadap kegiatan-kegiatan disekitarnya terutama kegiatan

eksploitasi tambang. Hasil penelitian Purwadi (2002), penambangan di lembah

Cartenz dan lembah Wanagon Papua, menyebabkaan buangan limbah tambang

yang menyusur sepanjang sungai bermuara ke pantai dan telah merubah ekosistem

akuatik. Hasil penelitian yang dilakukan Rompas (2002), aktifitas penambangan

di Minahasa menyebabkan 2000 ton limbah setiap hari dibuang ke Teluk Buyat,

dan rata-rata 100.000 ton limbah aktifitas tambang yang dibuang ke Teluk Senunu

Sumbawa Nusa Tenggara Barat, yang menyebabkan kerusakan ekosistem,

terumbu karang dan perikanan di sekitar perairan. Limbah penambangan yang

terbawa air ke hilir, menurunkan kualitas perairan yang dapat merubah ekosistem

perairan dan komunitas biota air (Vesilind et. al, 1990). Aliran permukaan yang

mengandung logam berat akan mencemari perairan permukaan maupun air tanah,

selanjutnya merusak keadaan lingkungan dengan aktifitas sistemik dan keadaan

cuaca yang buruk (Koyanagi, 1994). Hasil penelitian Deocadiz dan Montano,

1999) di Ranong Thailand partikel-partikel dari limbah tambang yang tersuspensi

ke perairan dan mengendap telah menyebabkan kematian tiram dan populasi

fitoplanton. Biota yang hidup pada medium terbatas (sungai, danau dan teluk)

akan sangat menderita pada kondisi tercemar (Darmono, 1995). Tanah dengan

tingkat kemasaman tinggi mengakibatkan logam-logam berat menjadi lebih larut,

dan saat erosi dapat tercuci ke daerah hilir, sehingga mencemari lingkungan

perairan sekitar (Greene, 1988).

Keberadaan usaha industri pertambangan juga berpotensi merusak

sumberdaya nilai-nilai sosial budaya lokal dan ekonomi masyarakat yang

bermukim di wilayah lingkar tambang (Mangkusubroto, 1995), juga berpengaruh

terhadap lingkungan sosial budaya, ekonomi dan warisan nasional (Barton, 1993),

memberi kontribusi terhadap devisa negara dan menyediakan lapangan kerja,

meningkatkan pendapatan masyarakat, serta menjamin terciptanya kesejahteraan

(Salim, 1989), memproses sumberdaya tambang dan mendayagunakan

sumber-daya manusia dalam menunjang pembangunan berkelanjutan (Kantor Meneg LH,

(42)

lahan, pemanfaatan dan penguasaan sumberdaya alam, pertumbuhan dan

perkembangan fasilitas sosial yang pada gilirannya menurunkan tingkat

kehidupan sosial dan ekonomi masyarakat (Djajadiningrat, 2001). Menyediakan

bahan baku bagi industri, devisa negara, kesempatan kerja, pengembangan

wilayah, dan kualitas SDM, serta penguasaan tekhnologi (Sujana, 1996), juga

mengemban misi pembangunan sektoral (Mangkusubroto, 1995). Menurut

Sembiring (1997) yang didukung oleh Haswanto (2000), pertambangan

menciptakan iklim saling menguntungkan antara kepentingan pengembangan

wilayah, sedangkan Amri (2002) pertambangan skala besar mampu membawa

perubahan terhadap kehidupan sosial ekonomi masyarakat yang bermukim di

wilayah lingkar tambang.

Kondisi sosial ekonomi masyarakat Pulau Gebe yang terjadi pada saat

sekarang adalah menurunnya pendapatan. Rata-rata pendapatan nelayan sebelum

PT ANTAM berhenti beroperasi adalah Rp 50.000,- per hari, namun setelah

penambangan berhenti rata-rata pendapatan nelayan Rp 25.000,- per hari, dengan

frekwensi penangkapan menurun dari 5 kali seminggu menjadi 3 kali seminggu.

Pendapatan rata-rata petani turun dari Rp 30.000,-perhari menjadi rata-rata Rp

15.000,- (Anonim, 2003). Pendapatan rata-rata tukang ojek turun dari Rp 35.000

perhari menjadi Rp 20.000,- perhari. Pendapatan buruh terminal rata-rata perhari

Rp 20 000,- menjadi Rp15.000,-perhari (Anonim, 2003). Pada saat ini ada

sejumlah 218 bekas karyawan perusahaan yang tetap berdomisili di Gebe tidak

mempunyai pekerjaan tetap, terjadinya unjuk rasa dan tuntutan pembayaran

pesangon yang sesuai, serta desakan agar dilakukan perbaikan sarana dan

prasarana umum, seperti listrik, air minum dan dermaga pelabuhan laut (Anonim,

(43)

2. 3. Keberlanjutan Kehidupan Setelah Penambangan

Kekayaan sumber daya alam senantiasa dibanggakan sebagai salah satu

keunggualan komparatif bangsa, namun dewasa ini kebanggaan tersebut mulai

dipertanyakan kesasihannya, seiring dengan eksploitasi sumber daya alam yang

dilakukan secara besar–besaran tanpa memperhatikan aspek lingkungan dan

keberlanjutannya. Keunggulan komparatif tersebut akan dapat dibangun dengan

bertumpuk pada keunggulan komparatif yang dimiliki, namun pencapaian

keunggulan kompetitif itu mungkin akan memerlukan jangka waktu yang relatif

lama. Percepatan pencapaian keunggulan kompetetif itu mungkin dicapai dengan

memanfaatkan sentuhan teknologi dan manajemen profesional. Tanpa sumber

daya alam terjaga baik, tentu upaya pencapaian keunggulan kompetetif bangsa

akan menjadi mustahil. Penilaian terhadap tersedianya stok volume sumberdaya

alam di suatau daerah, dapat dilakukan melalui pendekatan kesejahteraan.

Disadari bahwa semakin banyak persediaan atau volume sumberdaya alam di

suatu daerah (wilayah) akan semakin sejahtera masyarakat yang mendiami

wilayah tersebut, karena sumberdaya alam yang ada dapat dimanfaatkan dalam

jangka panjang.

Lingkungan alam (Biospher) yang meliputi : air, atmospir, flora dan fauna

serta energi adalah merupakan sumber bahan mentah bagi proses produksi dan

sebagai penampung limbah (natural asilmilator). Biosper itu ada yang hidup

seperti mineral, air, dan udara, dan selalu berada dalam kondisi yang seimbang

melalui aliran energi dan daur ulang secara terus-menerus dalam suatu ekosistem,

yang oleh Karlen (1997) untuk memenuhi keseimbangan kehidupan perlu dijaga

kelestariannya. Keberlanjutan ekologis dibutuhkan dalam pengelolaan

sumberdaya, karena sebagai media sentral bagi kehidupan dan proses untuk

ekosistem global Wagner dan Hudson (1997). Selanjutnya tanah harus diakui

sebagai suatu system kehidupan dinamis yang muncul melalui suatu

keseimbangan unik dan interaksi dari komponen biologi, kimia dan fisik tanah

(44)

ekosistem, maka Wagner dan Hutson (1997) mengatakan mutu dan kualitas tanah

perlu dipelihara dari degradasi dan penurunan kualitasnya.

Upaya memelihara lingkungan ekologis agar dapat berlanjut dapat

dilakukan: (1) Memelihara integritas tatanan lingkungan/ekosistem agar system

penunjang kehidupan tetap berlanjut; (2) Memelihara keanekaragaman hayati.

Menurut Barry (1997) keberlanjutan menghendaki: (1) Hasil sumberdaya alam

yang dieksploitasi, tingkat produktivitas jangka panjangnya tetap dipertahankan;

(2). Keuntungan penipisan sumberdaya alam tak terpulihkan perlu diinvestasikan

dalam kapital manusia, teknologi, maupun kapital buatan manusia; (3). Kapasitas

lingkungan untuk menerima dan mengasimilasi pembuangan tidak dilampaui atau

dirusak. Menurut Barry, (1997) penurunan pada satu stok mineral dan hutan harus

diganti dengan penambahan lebih banyak sekolah dan pabrik, setiap penduduk

lokal harus diberikan kebebasan memperbaiki kehidupannya melalui investasi

sumberdaya SDM, energi, modal setiap saat dan dapat memperoleh keuntungan

dari modal yang ditanamkan tersebut secara proporsional (Watt, 1973).

Dalam melangsungkan kehidupannya manusia tergantung kepada

keanekaragaman sumber daya alam untuk pangan, energi, papan, obat-abatan,

inspirasi dan banyak lagi kebutuhan lain (Barry, 1997). Keanekaragaman sumber

daya alam dan manusia telah mempunyai keterkaitan yang erat dan saling

mendukung selama puluhan ribu tahun. Sumberdaya alam untuk pemenuhan

kebutuhan hidup memiliki karakter penting yaitu bersifat terpulihkan dan tak

terpulihkan (Suparmoko 2000). Cara masyarakat memanfaatkan keanekaragaman

sumberdaya alam menentukakan kelestarian sumber daya ini, dan cara msyarakat

mengelolahnya akan menetukan produktifitas sumber daya yang penting ini dan

kelestaraian fungsi-fungsi ekologisnya.

Kegiatan manusia telah membantu keanekaragaman sumberdaya, dan telah

meningkatkan komunitas di dalam lingkungan yang tertentu melalui praktek

pengelolaan sumberdaya alam tersebut. Disisi lain manusisa juga menyebaban

menurunnya keanekaragaman sumberdaya alam beserta fungsi-fungsi ekologis

yang dihasilkan. Munurunnya mutu keanekaragaman sumberdaya alam dapat

(45)

dapat digambarkan dalam diagram siklus interaksi. Dari sudut pandang

antroposentris, interaksi dimulai dari faktor-faktor pendorong yang ada di

masyarakat, sepeti untuk memenuhi kebutuhan, inspirasi dan fungsi-fungsi

ekologis sebagai pendukung kehidupan. Faktor pendorong ini mempengaruhi

dampak kegiatan manusia pada keanekaragaman sumberdaya alam, dampak

tersebut kemudian akan mempengaruhi kondisi dan dinamika keanekaragaman

sumberdaya alam, yang kemudian mempengaruhi nilai-nilai dan fungsi

keanekaragaman sumberdaya alam dan pada gilirannya akan mempengaruhi pula

ketersedian dan kualitas sumberdaya alam dalam memenuhi kebutuhan manusia

dan juga menjamin kelestariaanya. Sementara itu, kondisi dan dinamika,

nilai-nilai dan dampak kegiatan manusia pada keanekaragaman sumberdaya alam dapat

pula diupayakan melalui peningkatan kesadaran masyarakat untuk menjadi faktor

pendorong bagi berubahnya pola konsumsi efesiensi pemanfaatan sumberdaya

dan apresiasi masyarakat.

Pengelohan sumberdaya alam terpulihkan dan takterpulihkan harus

memberi jaminan bagi keberlanjutan kehidupan, seperti kontribusi pada

pertumbuhan sektor jasa dan peningkatan kualita sumberdaya manusia, tanpa

merusak sistem alam, sehingga rantai kehidupan ekosistem tetap terjaga.

Eksploitasi sumberdaya tambang yang takterbaharukan, harus diganti dengan

peningkatan pengembangan masyarakat dan peningkatan taraf hidup masyarakat.

Dengan terjaganya sistem alam akan dapat mendorong eksistensi keberlanjutan

sistem sosial masyarakat.

Pada masa lalu eksploitasi sumberdaya alam dilakukan dengan lebih

bertujuan pada pertumbuhan ekonomi untuk memenuhi hajat hidup masyarakat,

namun eksploitasi sumberdaya alam untuk meningkatkan kesejahteraan hidup

masyarakat disaat ini lebih peduli pada aspek tekanan ekologi (ekological stress),

seperti menurunya sifat pisik dan kimia tanah, kualitas air, udara, maupun

hilangnya vegetasi dan hutan terhadap kondisi dan prospek ekonomi.

Tidak terjaganya sumberdaya alam yang mengakibatkan degradasi

terhadap sistem alam dan sistem sosial, dapat menimbulkan krisis kehidupan

(46)

krisis ekologi terjadi karena negara, pemodal, dan sistem pengetahuan ”modern”

telah mereduksi alam menjadi onggokan komoditi yang bisa direkayasa dan

dieksploitasi untuk memperoleh keuntungan ekonomi jangka pendek. Industri

keruk kekayaan tambang telah mengganggu dan menghancurkan fungsi ekologis

dan keseimbangan alam (Katili, 1998). Eksploitasi sumberdaya alam bagi

pembangunan dan kehidupan masyarakat, harus tetap dijaga, sehingga walaupun

generasi mendatang memiliki volume sumberdaya alam yang jumlahnya mungkin

relatif sedikit, namun memiliki tingkat tekhnologi dan pengetahuan yang lebih

baik, serta sumberdaya kapital buatan manusia yang lebih memadai.

Eksploitasi deposit tambang (sumberdaya takterbarukan) yang tidak

mengindahkan aspek-aspek pelestarian dapat mengakibatkan terganggunya sistem

alam yang akan berdampak pada sistem sosial ekonomi (Salim, 1991). Perlu ada

keselarasan antara pembangunan ekonomi dengan aspek lingkungan, dan antara

lingkungan dengan faktor sosial budaya (Sahlins, 1968). Pembangunan

membutuhkan pencapaian keberlanjutan pada dimensi sosial, ekonomi, dan

ekologi (Djajadiningrat, 2001).Haeruman (1983) pertambangan sekalipun terletak

di daerah pinggiran yang umumnya dihuni penduduk berpendapatan rendah,

namun kegiatan ini tetap bersifat padat modal, yang dapat mengancam kepunahan

sumberdaya hayati dan satwa. Keberlanjutan kehidupan masyarakat di lokasi

lingkar tambang dapat dipertahankan dengan adanya keseimbangan antara

eksploitasi sumberdaya alam takterbarukan dengan sistem alam dan sistem sosial

yang ada.

Menurut Kolopaking (2000) pembangunan yang mengejar pertumbuhan

ekonomi dengan berbasis eksploitasi sumberdaya alam, menyebabkan sebagian

besar tatanan lembaga-lembaga dan nilai-nilai sosial masyarakat di daerah

terpinggirkan dan mengalami kerusakan, selanjutnya ekonomi lokal terpinggirkan

dan melemahkan kemampuan masyarakat mengatasi masalah di daerah. Masalah

sosial ini penting karena setiap kegiatan pembangunan di kawasan yang

berpenghuni dapat mengancam kehidupan manusia (Soemardjan dan Soemardi,

1976). Masuknya pendatang berprofesi tenaga kerja dengan membawa prilaku

(47)

nilai-nilai sosial kedua masyarakat sehingga terjadi suatu proses perubahan sosial

dan pergeseran nilai-nilai (Djajadiningrat, 2001). Gillin dan Gillin dalam

Soekanto (1982) pertemuan nilai-nilai sosial yang berbeda, serta hubungan antara

struktur sosial yang berbeda, kemungkinan dapat menimbulkan dua hal, yakni (1)

gesekan

Gambar

Tabel 1. Parameter  sifat tanah dan air, metode analisis dan tempat analisis
Gambar 2: Peta lokasi pengambilan contoh tanah dan air
Tabel 9. Kriteria pembuatan skor parameter dimensi ekologi, ekonomi dan sosial-budaya
Tabel 18.Hasil evaluasi kesesuaian lahan tanaman perkebunan dan pertanian di Pulau Gebe
+7

Referensi

Dokumen terkait

Dari uji lanjut duncan didapatkan bahwa perbandingan ekstrak laktosa pada konsentrasi senyawa flavonoid 1:2 mempunyai kandungan senyawa flavonoid berbeda tidak nyata

Mengingat Kota Tarutung merupakan salah satu wilayah dengan tingkat kerawanan yang tinggi terhadap bencana gempa, maka selain perlunya evaluasi terhadap bangunan yang telah ada,

Berdasarkan data dan analisa dengan bantuan software Mike 11, dapat diketahui bahwa peran Floodway dalam mengatasi banjir di Krueng Aceh sangat signifikan hal ini

- Psikologi, mengingat bahwa pengguna memiliki sifat yang beraneka ragam untuk itu perancang harus mempelajari aspek psikologi pengguna untuk dapat memahami

Menurut Roji (2006:187) ”ada 3 metode yang dapat diajarkan dalam renang, yaitu : menggunakan pelampung, bantuan teman dan berpegang pada tepi kolam”. Dari ketiga jenis

Berdasarkan hasil penelitian nugget ikan lele dengan substitusi tepung terigu menggunakan tepung biji nangka, maka dapat disimpulkan :.. Substitusi tepung terigu menggunakan

Puji syukur kepada Tuhan Yang Maha Esa atas berkat dan rakhmat- Nya, sehingga penulis dapat menyelesaikan makalah Praktek Kerja Industri Pengolahan Pangan dengan judul

Merupakan Master dari lebih 80 tradisi energi esoterik, dan pada tahun 1998, mulai memperkenalkan Reiki kepada masyarakat Indonesia, melalui lembaga pelatihan Reiki yang