• Tidak ada hasil yang ditemukan

Studi Aspek Kenyamanan Ruang Pedestrian dalam Rangka Peningkatan Efektivitas Penggunaannya pada Kawasan Jalan M.H. Thamrin-Jend. Sudirman Jakarta

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2017

Membagikan "Studi Aspek Kenyamanan Ruang Pedestrian dalam Rangka Peningkatan Efektivitas Penggunaannya pada Kawasan Jalan M.H. Thamrin-Jend. Sudirman Jakarta"

Copied!
215
0
0

Teks penuh

(1)

1.1. Latar Belakang

Pembangunan kota Jakarta sebagai pusat pemerintahan, pusat perdagangan, pusat perbankan dan pusat perindustrian menuntut adanya kemajuan teknologi melalui pembangunan di berbagai aspek kehidupan manusia. Oleh karena itu, kota secara dinamis akan terus berkembang seiring dengan kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi dalam memberikan fasilitas berupa sarana dan prasarana yang menunjang bagi kehidupan dan aktivitas warganya.

Fasilitas umum yang dibutuhkan oleh masyarakat, terutama bagi pejalan kaki adalah ruang pedestrian. Karakteristik pedestrian yang baik, menurut Simonds (1983) adalah diibaratkan sebagai anak sungai, mengalir mengikuti alur dengan mempunyai sedikit hambatan. Menurut Brooks (1988), fungsi sistem pedestrian paling sedikit mempunyai dua aturan yang umum, yaitu ruang untuk berjalan kaki dan tempat untuk duduk. Sebagai tempat untuk berjalan, kondisinya beragam sesuai dengan penggunaan lahan yang disediakan dan kualitas lingkungannya.

Kawasan jalan M.H. Thamrin–Jend. Sudirman Jakarta, merupakan kawasan jalan yang banyak dilalui oleh pengguna jalan, termasuk pejalan kaki. Sejak awal tahun 1980 hingga awal tahun 2000, penyediaan fasilitas jalur sirkulasi di kawasan ini berupa ruang pedestrian, kurang memberikan kenyamanan bagi penggunanya. Hal tersebut diduga disebabkan oleh keterbatasan lahan yang digunakan untuk ruang pedestrian, kurangnya peneduh karena kurangnya vegetasi pohon dan kehadiran tiang jembatan penyeberangan orang (JPO) yang semakin mempersempit lebar badan jalur pedestrian. Hal lain yang menyebabkan kurang nyamannya ruang pedestrian di kawasan tersebut adalah ruang pedestrian mempunyai fungsi ganda, yaitu sebagai ruang bagi penempatan struktur-struktur lain (seperti papan iklan, perlengkapan dan kelengkapan jalan, dan lainnya) dan bagian layanan pejalan kaki tanpa didukung oleh lebar ruang pedestrian yang cukup.

(2)

kawasan oleh Dinas Pertamanan. Namun saat itu pekerjaan fisik khususnya prasarana dan utilitas kota masih tumpang tindih sehingga pembuatan jalur pedestrian sulit dilaksanakan. Gagasan penataan tersebut muncul kembali di tahun 1996-1997, tetapi karena munculnya gejolak kondisi ekonomi, politik dan sosial tahun 1997, menyebabkan perencanaan yang sudah disosialisasikan oleh Gubernur Provinsi DKI Jakarta tertunda pelaksanaannya. Baru pada tahun 2002, setelah kondisi sosial, politik dan ekonomi mulai stabil, ide untuk mengembangkan pedestrian jalan M.H. Thamrin-Jend. Sudirman kembali dimunculkan oleh Gubernur Sutiyoso hingga sekarang.

Sejak tahun 2003 hingga sekarang, pemerintah Provinsi DKI Jakarta tengah berupaya membangun fasilitas ruang publik berupa ruang pedestrian di jalan M.H. Thamrin -Jend. Sudirman, Jakarta. Saat ini pembangunan jalur pedestrian di Jalan M.H. Thamrin- Jend. Sudirman, Jakarta telah selesai dengan panjang keseluruhan ± 6200 meter, lebar pedestrian bervariasi tergantung kesepakatan antara pemilik kavling dengan pemda DKI Jakarta (rata-rata ± 3 meter). Meskipun kondisi saat ini telah lebih baik daripada sebelumnya, masih terdapat permasalahan mengenai apresiasi pengguna ruang terutama dalam menunjang kenyamanan pengguna ruang, seperti kondisi fisik dan iklim mikro.

Sebagai salah satu jalur jalan utama di ibukota negara, maka seharusnya jalan M.H. Thamrin-Jend. Sudirman, termasuk ruang pedestriannya, mampu merefleksikan sebuah ruang lanskap yang fungsional sebagai area mobilisasi, elemen estetika kota dan menunjang kenyamanan pengguna ruang. Sebagai se-buah sarana publik, seharusnya mampu mengakomodasikan keinginan pengguna ruang sehingga menciptakan kenyamanan yang optimal bagi pengguna ruang itu sendiri.

(3)

ditangkap oleh mata pengamat dengan lingkungannya melalui persepsi dan preferensi.

Faktor lain yang sering ditambahkan sebagai penunjang kenyamanan yaitu kenyamanan fisik. Kenyamanan fisik berkaitan erat dengan aspek kesesuaian bentuk dan disain objek atau elemen-elemen yang dibangun terhadap lingkungan sekitarnya, misalnya kesesuaian bangku taman, lampu-lampu taman, pedestrian, papan reklame dan infrastruktur lainnya. Kenyamanan fisik ini sering dikaitkan dengan konsep “ergonomis”, yaitu objek atau stuktur yang dibangun secara dimensional dan strukturalnya mengikuti kebutuhan gerak tubuh manusia penggunanya. Hal ini dimaksudkan agar objek atau struktur yang dibangun dapat optimal dan nyaman untuk digunakan oleh penggunanya.

Oleh karena itu, untuk membentuk sebuah ruang pedestrian Jalan M.H. Thamrin-Jend. Sudirman sebagai ruang publik yang nyaman, maka diperlukan studi mengenai faktor-faktor yang meliputi kenyamanan klimatik, kenyamanan visual dan kenyamanan fisik. Hasil ini memberikan rekomendasi bentuk-bentuk perbaikan pada tapak sebagai bahan pertimbangan perencanaan lebih lanjut ruang pedestrian yang selain mendukung keindahan kota, juga memberikan kenyamanan bagi penggunanya.

1.2. Rumusan Permasalahan

(4)

1.3. Tujuan dan Manfaat Penelitian 1.3.1. Tujuan Penelitian

Tujuan dari penelitian ini adalah :

1. Menganalisis kondisi faktual ruang pedestrian kawasan jalan M.H. Thamrin – Jend. Sudirman, Jakarta kaitannya dengan faktor klimatik dan fisik.

2. Menganalisis persepsi dan preferensi pengguna ruang terhadap kenyamanan ruang pedestrian kawasan jalan M.H. Thamrin – Jend. Sudirman, Jakarta. 3. Menganalisis kualitas visual/keindahan sebagai faktor pendukung kenyamanan

pada ruang pedestrian kawasan jalan M.H. Thamrin – Jend. Sudirman, Jakarta. 4. Menganalisis hubungan persepsi dan preferensi dengan faktor-faktor

kenyamanan klimatik, fisik dan visual/keindahan.

5. Menyusun rekomendasi terkait dengan kebijakan, pengelolaan dan perbaikan fisik untuk meningkatkan kenyamanan, sehingga dapat meningkatkan efektivitas penggunaan ruang pedestrian kawasan jalan M.H. Thamrin –Jend. Sudirman, Jakarta dan juga diharapkan dapat diterapkan pada lanskap pedestrian lainnya.

1.3.2. Manfaat Penelitian

Hasil dari penelitian ini diharapkan dapat bermanfaat sebagai bahan masukan dalam perencanaan ruang pedestrian secara umum dan perencanaan atau pengembangan ruang pedestrian jalan M.H. Thamrin –Jend. Sudirman, Jakarta Pusat yang berfungsi secara efektif karena memenuhi kebutuhan pengguna, baik dari faktor kenyamanan klimatik, fisik/fungsi maupun visual/keindahan.

1.4. Batasan Penelitian

Aspek kenyamanan lanskap dianalisis berdasarkan faktor-faktor klimatik, fisik/fungsi dan visual/keindahan pada ruang pedestrian kawasan jalan M.H. Thamrin –Jend. Sudirman, Jakarta Pusat sepanjang ± 6200 meter (tahun 2008).

1.5. Kerangka Pikir Penelitian

(5)
(6)

Gambar 1 Kerangka pikir penelitian. RUANG PEDESTRIAN YANG DIRANCANG DAN DIKELOLA UNTUK

MEMENUHI KEBUTUHAN KENYAMANAN PENGGUNA

ASPEK PENGELOLAAN/

KEBIJAKAN

KAWASAN JALAN M.H. THAMRIN - JEND. SUDIRMAN, JAKARTA

RUANG PEDESTRIAN

ANALISIS SECARA KOMPREHENSIF

ASPEK PENGGUNA

PERSEPSI DAN PREFERENSI

ANALISIS

CHI-SQUARE

KEBIJAKAN& PENGELOLAAN

YANG DIPERLUKAN

ASPEK LANSKAP/RUANG

IKLIM MIKRO : - SUHU - KELEMBABAN - CURAH HUJAN - INTENSITAS CAHAYA - ANGIN

VIEW LANSKAP

ELEMEN FISIK RUANG :

- LOKASI - AKSESSIBILITAS - FASILITAS&

INFRASTRUKTUR - POHON/TANAMAN - KELENGKAPAN&

KUALITAS DISAIN

ANALISIS VISUAL SBE ANALISIS

KENYAMANAN FISIK ANALISIS

KENYAMANAN IKLIM

RUANG PEDESTRIAN SEBAGAI FASILITAS PUBLIK KOTA YANG

(7)

2.1. Perkotaan dan Ruang Terbuka

Berdasarkan Peraturan Menteri Dalam Negeri No. 2 tahun 1987, kota adalah pusat pemukiman dan kegiatan penduduk yang mempunyai batas wilayah administrasi yang diatur dalam peraturan perundang-undangan serta permukiman yang telah memperlihatkan watak dan ciri kehidupan perkotaan. Menurut Simonds (1983), kawasan perkotaan adalah suatu bentuk lanskap buatan manusia yang yang terbentuk akibat aktivitas manusia dalam mengelola kepentingan hidupnya, sedang kota adalah sebuah pusat populasi yang besar dan padat dengan aktivitas ekonomi, sosial, politik dan kebudayaan.

Pertambahan penduduk, perkembangan kawasan permukiman dan industri serta pembangunan sarana dan prasarana transportasi menyebabkan terjadinya penurunan luas lahan pertanian dan vegetasi lain sebagai suatu konsekuensi yang logis, karena tuntutan kebutuhan masyarakat. Walaupun demikian, keputusan mengenai perubahan penggunaan lahan atau konversi lahan areal bervegetasi menjadi lahan terbangun memerlukan perencanaan yang logis pula, agar tidak terjadi dampak negatif, misalnya berkurangnya lahan pertanian produktif, erosi, kenaikan suhu permukaan dan udara, penurunan kualitas lingkungan dan degradrasi lahan, ketidaknyamanan hunian dan polusi akibat kegiatan industri.

Berdasarkan masalah-masalah tersebut maka berkembang kepedulian masyarakat di daerah perkotaan untuk menciptakan lingkungan yang lebih nyaman, terutama dalam hal keleluasaan berinteraksi, baik sesama individu, kelompok maupun antar keduanya. Kemudian disusun perencanaan-perencanaan mengenai tata guna ruang dan pemanfaatannya yang disesuaikan dengan kebutuhan dan kelangsungan lingkungan di sekitarnya. Melalui pengembangan ruang-ruang binaan di lingkungan perkotaan tersebut, maka muncul konsep-konsep perencanaan ruang terbuka dan/ruang terbuka hijau yang ditujukan untuk mengakomodasi kebutuhan masyarakat perkotaan dalam hal interaksi dan sebagai penunjang kenyamanan di dalam ruang perkotaan.

(8)

area atau kawasan maupun dalam bentuk area memanjang/jalur tanpa bangunan diatasnya. Menurut Rob Rimer dalam Hakim dan Utomo (2003), bentuk ruang terbuka secara garis besar ada dua jenis, yaitu memanjang (koridor) dan membulat. Bentuk memanjang pada umumnya hanya mempunyai batas pada sisi-sisinya, seperti pada jalan dan sungai, sedangkan bentuk membulat pada umumnya mempunyai batas di sekelilingnya, seperti pada lapangan upacara, area rekreasi dan lapangan olah raga.

Menurut Simonds (1983), ruang terbuka berhubungan langsung dengan penggunaan struktur sehingga dapat mendukung fungsi struktur tersebut. Sebagian besar masalah perkotaan merupakan masalah sosial. Penguasaan ruang kota oleh manusia merupakan salah satu bentuk perilaku utama manusia modern. Fungsi ruang terbuka menurut Hakim (1991) adalah sarana penghubung antara satu tempat dengan tempat yang lain, pembatas jarak antara massa bangunan dan pelembut arsitektur bangunan. Lebih lanjut Simonds (1983) menjelaskan bahwa, karakteristik dan kelangsungan hidup suatu kota sebagian besar ditentukan oleh pengaturan Ruang Terbuka Hijau (RTH).

Dalam Rencana Umum Tata Ruang DKI Jakarta 1985-2005, disebutkan bahwa RTH mempunyai fungsi sebagai berikut :

1. Proteksi lingkungan

Fungsi pengamanan ruang terbuka hijau adalah (i) mencegah pengikisan air laut dan kemungkinan meluasnya abrasi pantai (ii) mencegah meluapnya air sungai, waduk dan kanal.

2. Pemanfaatan

Aspek pemanfaatan ruang terbuka hijau sangat luas, diantaranya ruang terbuka hijau diperuntukkan sebagai sarana penelitian, sarana olahraga dan rekreasi, kawasan untuk resapan air, sarana pengungsian pada saat bencana alam, sarana penampung luapan air di sepanjang sungai dan kesegaran kota serta halaman yang dinikmati setiap penghuninya.

3. Produksi

(9)

atau kehutanan dan kegiatan jasa yang berkaitan dengan aktivitas rekreasi dan wisata.

4. Kelestarian

Fungsi kelestarian ruang terbuka hijau mencakup dua aspek, yaitu (i) nilai-nilai alam dan sosial-budaya seperti lingkungan bersejarah, cagar budaya dan sumberdaya langka, dan (ii) lingkungan yang dilestarikan dan dipertahankan sebagai areal terbuka dengan kehidupan asli.

2.2. Lanskap Pedestrian 2.2.1. Pengertian

Lanskap merupakan ruang di sekeliling manusia, mencakup segala hal yang dapat dilihat dan dirasakan (Eckbo, 1964). Simonds (1983) menyatakan bahwa lanskap apabila dipandang dari setiap tempat ternyata mempunyai karakter-karakter lanskap tertentu yang terbentuk secara alami. Karakter ini terbentuk karena adanya kesan harmoni dan kesatuan dari elemen yang ada di alam, seperti bentuk suatu lahan, formasi batuan, vegetasi dan binatang. Derajat harmoni atau kesatuan dari elemen-elemen lanskap tidak hanya diukur dari kesan yang menyenangkan yang ditimbulkan, tetapi juga dari segi keindahan.

Menurut Simonds (1983), pedestrian adalah yang diibaratkan sebagai anak sungai, mengalir mengikuti alur dengan mempunyai sedikit hambatan. Dalam kaitannya dengan pedestrian, yang perlu diperhatikan adalah jalur pedestrian. Menurut Nurisjah dan Qodarian (1995), pada umumnya jalur pedestrian direncanakan hanya sebagai jalur pejalan kaki, dan jalur ini dapat dikembangkan menjadi suatu sistem sirkulasi pedestrian yang indah, menyenangkan, nyaman dan tak terasa panjangnya bila berjalan diatasnya. Caranya yaitu dengan meman-faatkan topografi dan pemandangan alami serta pemandangan yang menarik lainnya sehingga membentuk suatu visualisasi bentuk perjalanan yang menarik.

2.2.2. Kriteria Teknis Ruang Pedestrian

Terkait dengan ruang pedestrian, Harris dan Dines (1988) menjelaskan tentang kriteria fisik dalam pembuatan sirkulasi pedestrian, diantaranya adalah : 1. Kriteria dimensional

(10)

1,8 m A (Tempat umum)

2,8 – 3,6 m B (Tempat belanja)

4,6 – 5,5 m C (Berjalan Normal)

> 10,6 m D (Jalan santai)

Gambar 2 Jarak ruang yang dibutuhkan antar pejalan kaki di depannya sesuai lokasi (Harris dan Dines, 1988).

2. Kriteria pergerakan

Faktor kecepatan pergerakan akan menurun bila jumlah pejalan kaki meningkat, ada persimpangan dan naik atau turun tangga.

3. Kriteria visual

Kriteria atau persyaratan visual (pemandangan) disesuaikan dengan tinggi mata dan sudut pandang pejalan kaki dan nyaman untuk melihat pada pandangan normal setinggi mata (misalnya untuk penempatan rambu-rambu lalu-lintas).

Harris dan Dines (1988) juga menjelaskan tentang standar ruang untuk pedestrian, yaitu :

1. Lebar

a. Lebar jalur pedestrian tergantung pada tujuan dan intensitas pemakaian b. 1 orang = 24 inchi (60 cm) dengan lebar minimum jalan setapak = 4 ft (120

cm).

c. Memperhatikan kelengkapan dan perlengkapan jalan (street furniture). 2. Kemiringan

a. Longitudinal, dengan dasar pertimbangan kebiasaan atau kemudahan bergerak dan tujuan desain.

(11)

4) Untuk ramp : 1,5-8% b. Transversal

1) Minimum tergantung material : 1%

2) Ideal rata-rata : 3%

3) Maksimum untuk drainase baik : 3% 3. Perhitungan dimensi untuk lebar pedestrian

Lebar jalan (W) =

S VxM

Keterangan : V = Volume (orang/menit) M = Modul ruang (ft2/orang) S = Kecepatan berjalan (ft/menit)

2.2.3. Vegetasi pada Jalur Pedestrian

Carpenter et. al. (1975), mengemukakan bahwa kehadiran tanaman di lingkungan perkotaan memberikan suasana alami. Tanaman mempengaruhi penampakan visual yang kita lihat. Secara umum di dalam lanskap, pohon merupakan sebuah elemen utama. Secara individual maupun berkelompok, pohon-pohon dapat memberikan kesan yang berbeda-beda jika dilihat dari jarak yang berbeda-beda pula. Pada jarak dekat, daun, batang pohon dan cabang-cabang dapat dilihat secara jelas. Jika dilihat dari jarak menengah puncak-puncak pohon terlihat membentuk seperti garis. Jarak ini merupakan bagian yang penting dalam lanskap karena memberkan kesan kedalaman yang kuat, perubahan secara halus dalam pencahayaan dan perspektif. Bila dilihat dari jarak jauh, perbedaan ketinggian dari puncak-puncak pohon tidak dapat dinikmati, biasanya dari jarak ini pohon digunakan sebagai latar belakang.

(12)

1. Akar, harus cukup kuat untuk menahan vibrasi yang disebabkan oleh kendaraan yang lewat. Jenis yang digunakan sebaiknya tidak mempunyai akar yang menembus aspal dan beton sehingga kerusakan utilitas dapat dihindari. 2. Batang dan cabang, cukup elastis dan kuat untuk mencegah roboh dan

rusaknya pohon akibat tiupan yang kencang.

3. Naungan, yang sangat berhubungan dengan penetrasi radiasi matahari sehingga temperatur udara di sekitar jalur pedestrian menurun.

Dalam pemilihan jenis pohon menurut Arnold (1980), tinggi dan diameter tajuk merupakan hal yang paling penting diperhatikan oleh arsitek lanskap. Pada beberapa tempat, ketinggian percabangan pohon yang nyaman berjalan di bawahnya berkisar dari 2,4 – 4,5 meter. Pergerakan kendaraan membutuhkan kejelasan pandangan sehingga diperlukan pohon peneduh jalan dengan ketinggian percabangan minimum 4,5 meter. Pohon berukuran kecil (5,5 – 10,5 meter) dapat digunakan sebagai tirai (screening) dan seringkali tepat digunakan sebagai pohon tingkat bawah untuk menambah tekstur dan warna.

2.2.4. Kelengkapan dan Perlengkapan Jalan (Street Furniture)

Harris dan Dines (1988) mengartikan kelengkapan dan perlengkapan jalan

(street furniture) secara kolektif sebagai elemen-elemen yang ditempatkan dalam

suatu lanskap jalan atau streetscape untuk kenyamanan, kesenangan, informasi, kontrol sirkulasi dan perlindungan bagi pengguna jalan. Elemen-elemen ini harus merefleksikan karakter dari lingkungan setempat dan menyatu dengan sekitarnya.

2.2.4.1. Rambu-rambu lalu lintas

Ketinggian penempatan rambu lalu lintas pada sisi jalan minimum 1,75 meter dan maksimum 2,65 meter, sedangkan untuk lokasi fasilitas pedestrian minimum 2 meter dan maksimum 2,65 meter (Keputusan Menteri Perhubungan No. 63 tahun 1993).

2.2.4.2. Lampu jalan

(13)

tepat. Hirarki penerangan terlihat dari perbedaan jarak, ketinggian dan warna cahaya lampu yang digunakan. Penerangan juga harus cocok secara fungsional dan dalam skala yang sesuai baik bagi pejalan kaki maupun jalur kendaraan. Untuk penerangan jalur pejalan kaki dapat digunakan lampu dengan ketinggian relatif agar memberikan skala manusia dan menerangi kanopi bawah dari pohon tepi jalan. Sifat penerangan untuk jalur pedestrian sebaiknya tidak seragam sepanjang jalan dan distribusi pencahayaan harus mencapai 2 meter agar penglihatan ke arah pejalan kaki lain tetap jelas.

2.2.4.3. Halte

Harris dan Dinnes (1988) mengemukakan bahwa persyaratan untuk halte bus adalah memiliki kebebasan pandangan ke arah kedatangan kendaraan baik dalam posisi berdiri maupun duduk di halte dan zona perhentian bus harus merupakan bagian dari jaringan akses pejalan kaki. Didalam Keputusan Menteri Perhubungan No. 65 tahun 1993 juga disebutkan bahwa fasilitas halte harus dibangun sedekat mungkin dengan fasilitas penyeberangan pejalan kaki. Halte dapat ditempatkan di atas trotoar atau bahu jalan dengan jarak bagian paling depan dari halte sekurang-kurangnya 1 meter dari tepi jalur lalu lintas. Persyaratan struktur bangunan memiliki lebar minimal 2 meter, panjang 4 meter dan tinggi bagian atap paling bawah minimal 2,5 meter dari lantai.

2.2.4.4. Utilitas

Elemen yang termasuk dalam utilitas meliputi hidran, boks kabel telepon, listrik, penutup saluran bawah gril penutup pohon dan lain-lain. Secara ideal, tempat pejalan kaki seharusnya relatif bebas dari penutupan utilitas. Jika tidak memungkinkan, penutup utilitas dapat dimasukkan sebagai bagian dari pola lantai keseluruhan (Harris dan Dinnes, 1988).

2.2.4.5. Papan reklame

Papan reklame merupakan elemen informasi, dalam peletakannya memerlukan pengaturan yang sesuai. Menurut Simonds (1978), pengontrolan peletakan papan reklame diperlukan untuk melindungi pemandangan menarik

(vista) dan pemandangan yang ada serta mempertahankan kualitas jalan dan

(14)

mengelompokkan berbagai informasi dan ditempatkan pada titik lain yang mudah terlihat. Standar jarak dalam Harris dan Dinnes (1988) untuk letak papan informasi ini dimasukkan sebagai zona penglihatan yang dibedakan untuk jarak tangkap setinggi mata. Dalam kondisi berdiri, jarak pandangan setinggi mata berkisar 1,4 – 1,8 meter dan dalam kondisi duduk dalam kendaraan berkisar 1 – 1,2 meter.

2.2.4.6. Tempat duduk

Prinsip disain tempat duduk harus menekankan kenyamanan, bentuk dan detail yang sederhana, mudah dipelihara, tahan lama dan mencegah kemungkinan perusakan (vandalisme). Peletakan tempat duduk sebaiknya terlindung dari gangguan angin kencang, menempati lokasi yang memiliki pemandangan (view) yang bagus, terletak di luar jalan sirkulasi serta memberikan pilihan kepada pengguna jalan seperti terbuka di bawah cahaya matahari, teduh, tempat yang tenang, tempat beraktivitas, formal dan informal. Pemilihan dan peletakan elemen tempat yang tenang, tempat yang tenang, tempat beraktivas, formal dan informal. Pemilihan dan peletakan elemen tempat duduk harus disesuaikan dengan elemen lainnya agar menyatu dengan lingkungan sekitarnya (Harris dan Dinnes, 1988).

2.2.4.7. Telepon, kotak pos dan tempat sampah

Elemen-elemen ini harus ditempatkan pada lokasi yang mudah terlihat dan mudah dicapai. Telepon dapat ditempatkan pada halte bus atau tempat tertentu untuk memudahkan pemakaian, demikan juga dengan kotak pos dapat diletakkan pada lokasi yang memudahkan pengangkutan. Tempat sampah untuk menjaga kebersihan setiap jalan atau ruang terbuka umum dan dapat diletakkan pada tempat yang ramai dilalui orang (Harris dan Dinnes, 1988).

2.2.5. Sistem Sirkulasi dan Sistem Pedestrian

(15)

memiliki lebar yang cukup untuk diakomodasikan bagi beban lalu lintas pejalan kaki (pedestrian) terutama pada periode puncak penggunaan.

Sebagai bagian dari proses perencanaan, aspek estetik dari sistem yang diusulkan harus dipelajari dan diintegrasikan dengan aspek fungsionalnya. Aspek fungsional yang penting dalam sistem pedestrian adalah kenyamanan yang diberikan kepada pejalan kaki. Dalam Kodariyah (2004) dijelaskan bahwa sistem pedestrian mempunyai ciri-ciri sebagai berikut :

1. Kelongggaran, sistem ini memberikan kebebasan perancangan yang tinggi karena sistem ini memanfaatkan kemampuan manusia/pejalan dalam membelok pada sudut-sudut tajam, berubah arah dan berhenti.

2. Fleksibilitas, perancang harus dapat memberikan arah aliran/pergerakan menuju lokasi-lokasi yang diinginkan.

3. Berkecepatan rendah, terdapat hierarki intensitas penggunaan, misalnya melebar pada lokasi yang padat dan menyempit pada lokasi lalu lintas yang ringan.

4. Skala kecil, luas ukuran dari sirkulasi berskala manusia.

Semua pengguna jalan menggunakan kegiatan berjalan untuk satu atau lebih tahap dari setiap perjalanannya, untuk jarak yang relatif dekat lebih disesuaikan untuk menggunakan kakinya dan lebih dari 60% perjalanan dengan jarak kurang dari 1,5 km menggunakan kaki. Tetapi jarang sekali pejalan kaki di daerah urban yang melakukan kegiatan berjalan kaki lebih dari 3 km (Departemen of Transport

of British, 1986). Selanjutnya aktivitas pejalan kaki dapat dibedakan antara

(16)

Menurut Brooks (1988), fungsi sistem pedestrian paling sedikit mempunyai dua aturan yang umum, yaitu ruang untuk berjalan kaki dan tempat untuk duduk. Sebagai tempat untuk berjalan, kondisinya beragam sesuai dengan penggunaan lahan yang disediakan dan kualitas lingkungannya. Tujuan perencanaan sistem pedestrian sebaiknya menfokuskan pada :

1. Pengembangan dari sistem pedestrian yang fungsinya sebagai penghubung dan memberikan pengalaman yang menyenangkan.

2. Desain dari sistem pedestrian yang disesuaikan dengan konteks lingkungan sekitarnya yang telah ada.

3. Desain dari sistem pedestrian yang ada sesuai secara skala.

4. Desain dari jalur yang dapat meningkatkan sense of place dari tapak tersebut. Persyaratan ukuran lebar trotoar atau jalur pejalan kaki berdasarkan lokasi dan jumlah pejalan kaki (Departemen Perhubungan, 1993), dapat dilihat dalam Tabel 1 di bawah ini.

Tabel 1 Lebar trotoar berdasarkan lokasi dan jumlah pejalan kaki

No Lokasi Trotoar Lebar Trotoar Minimum

(m) 1.

2. 3.

4.

Jalan di daerah perkantoran atau kaki lima Daerah perkantoran utama

Daerah industri : a. Jalan primer b. Jalan akses Di wilayah pemukiman

a. Jalan primer b. Jalan akses Jumlah Pejalan Kaki/Detik/Meter

1. Sumber : Departemen Perhubungan (1993)

Hal-hal yang harus dipertimbangkan di dalam rancangan atau modifikasi sistem pedestrian adalah (Kodariyah, 2004) :

(17)

2. Tempat istirahat, terdapat pada tempat-tempat tertentu sangat menyenangkan dan membantu para pejalan kaki, terutama bagi para cacat fisik sehingga membuat perjalanan kaki yang jauh menjadi terasa lebih ringan.

3. Kemiringan, untuk pedestrian kemiringan maksimal 5% sedangkan ukuran idealnya dalah 0-3%.

4. Penerangan, sangat dibutuhkan untuk keamanan, kenyamanan dan estetika. 5. Pemeliharaan.

6. Ramp, perubahan permukaan pedestrian dari suatu ketinggian menuju ketinggian yang berbeda dapat menimbulkan persoalan bagi orang cacat fisik. Untuk memudahkan pergerakan dibuat suatu ramp dengan permukaan yang tidak boleh licin. Kemiringan ramp ini maksimal adalah 17%.

7. Struktur drainase, faktor drainase air perlu diperhatikan agar pedestrian tidak tergenang air pada saat hujan.

8. Ukuran, lebar trotoar berbeda menurut jumlah dan jenis lalu lintas yang melaluinya. Lebar minimum adalah 4 kaki (1,2 meter).

2.2.6. Jenis Pedestrian

Harris dan Dines (1988) membedakan pedestrian menjadi 3 jenis, yaitu : 1. Pedestrianisasi penuh (Full pedestrianitation)

Dengan menghilangkan/melarang semua kendaraan bermotor untuk sepanjang waktu, terkecuali untuk pemeliharaan tapak, full pedestrianitation biasanya menghilangkan badan jalan untuk kendaraan dan menjadikan jalan secara kontinyu ditutupi oleh paving dengan tekstur permukaan yang konsisten. Pedestrian ini membutuhkan jalan terdekat sebagai akses lokal jalur bus/angkutan umum. Dengan ditiadakannya kendaraan bermotor maka dibutuhkan sekali suatu desain yang sangat baik, untuk mencapai daerah pedestrian ini harus menberikan kesan yang jelas bahwa kendaraan akan memberikan gangguan terhadap lingkungan pejalan kaki. Contohnya adalah

pedestrian street dan pedestrian mall yang biasanya terdapat di daerah

komersial dan ditujukan untuk kenyamanan berbelanja. 2. Pedestrianisasi sebagian (Partial pedestrianitation)

(18)

diperbesar dan jalur kendaraan bermotor diperkecil maksimum dua jalur. Kendaraan pribadi biasanya dilarang masuk terkecuali angkutan umum, taksi dan bus. Laju kendaraan dibatasi pada kecepatan tertentu.

3. Pedestrian distrik

Dibuat dengan menghilangkan lalu lintas kendaraan dari sebagian daerah perkotaan, dengan mempertimbangkan alasan adanya unit arsitektural, komersial maupun sejarah. Kota-kota di Eropa seringkali menggunakan jenis ini karena sesuai dengan kondisi daerah pusat kota yang bersejarah.

2.2.7. Bahan Permukaan Pedestrian

Bahan permukaan pedestrian yang biasa digunakan menurut McDowel (1975) dalam Kodariyah (2004) adalah batu, bata, cetakan beton dan batu kerikil. Setiap bahan-bahan ini mempunyai karakter yang membuatnya sesuai untuk suatu situasi.

Hampir semua batu dengan bagian atas datar, dapat digunakan untuk perkerasan pedestrian. Batu merupakan bahan alami yang paling disukai, karena salah satu sifatnya yang mempunyai daya tahan lama. Beberapa jenis yang biasa digunakan adalah sebagai berikut (Kodariyah, 2004):

1. Jenis sedimen seperti batu pasir, batu coklat, batu biru dan batu kapur. Jenis tersebut merupakan jenis yang lunak, sehingga mudah dipotong dan dibentuk, tetapi mudah berubah warnanya dan terpengaruh oleh perubahan cuaca karena karakternya yang berpori.

2. Bentuk metamorfik dari batu kapur adalah keramik, yang lebih keras, kuat, mudah dipahat dan diasah, dan sangat sering digunakan karena pola dan keindahannya.

3. Bentuk metamorfik dari batu tulis (shale) adalah tipis, keras, dan merupakan batu yang kuat serta bervariasi mulai dari warna abu-abu hingga hitam, disamping beberapa jenis yang berwarna merah.

(19)

5. Batu vulkanik memiliki karakter warna gelap dan terbatas dalam penggunaan dengan ukuran terpecah-pecah. Hal ini menjadikannya tidak praktis untuk dipahat. Batu ini digunakan seperti jenis batuan yang sudah dijelaskan sebelumnya. Jenis batu ini tidak berbentuk, tajam dan berbahaya untuk kulit. 6. Batuan jenis kecil, jenis batu keras seperti trap rock. Batuan ini mudah

dibentuk dan sangat berguna sebagai bahan dasar beton, lapisan dasar perkerasan, alas untuk kandang, dan sebagainya.

Bata dapat memberikan kontribusi yang menarik antara barat dan timur. Bata ini bersifat hangat, bernuansa tanah, cenderung berwarna coklat, permukaannya kasar dan bentuknya tidak rata. Bata dengan warna tua, yang berbunyi apabila saling berbenturan, biasanya lebih kuat, merupakan unit yang terbakar dengan baik, dan dapat dipastikan lebih tahan pecah. Bata dapat digunakan untuk semua tipe untuk membentuk perkerasan yang baik atau bisa dikombinasikan dengan batu alami. Batas standar yang dirancang untuk sambungan 3/8 inci adalah bata dengan tebal 2-1/4 inci, lebar 3-5/8 inci dan panjang 7-5/8 inci.

Cetakan beton tidak mempunyai penampilan yang alami dari batu, tetapi bisa dikombinasikan dengan bata untuk membentuk pedestrian yang bagus, sebagai perkerasan. Batu kerikil memiliki beberapa keuntungan di luar bahan-bahan permukaan untuk pedestrian. Batu kerikil untuk pedestrian relatif murah, sederhana untuk dipasang, dan mudah untuk dipelihara. Batu kerikil mengering dengan cepat. Baik pada waktu hujan atau ada siraman air akan menggenang, dengan kata lain, batu kerikil mempunyai permukaan yang tidak nyaman dan lambat.

Terdapat tiga kriteria yang mempengaruhi pemilihan perkerasan, yaitu (Steven, 1991 dalam Kodariyah, 2004) :

1. Kegunaan

(20)

area, tekstur perkerasan penting untuk pejalan kaki, juga mempunyai dampak pada kecepatan pergerakan. Perkerasan dengan tekstur yang tidak licin, lebih digemari karena dapat menjamin keamanan pejalan kaki, biasanya dipakai di area sekitar display elemen air, atau tempat berbahaya. Perkerasan dengan tekstur yang lebih kasar dipakai di tepian sungai atau pada jalur dengan kemiringan cukup tajam.

2. Estetika

Pedestrian yang dibuat dengan mengikuti tema yang sangat sederhana atau sebaliknya dapat dibuat dengan sangat rumit dengan tujuan untuk menarik perhatian. Kombinasi yang dirancang secara cermat terutama menyangkut perubahan warna dan tekstur sangat membantu dalam menciptakan kesan kontras, variasi dan juga skala yang diinginkan. Mengenali keragaman jenis material berikut variasi tekstur dan warnanya sangat perlu mengingat untuk area yang luas, agar tidak terkesan monoton, dapat pula dipilih tema yang berbeda untuk masing-masing bagian tapak.

3. Biaya

Pemilihan material juga tergantung pada biaya yang akan dikeluarkan, jumlah tenaga manusia yang tinggi dibutuhkan dalam pemasangan bata, batu dan perkerasan pracetak, mengakibatkan biaya untuk jenis perkerasan ini menjadi tinggi. Penggunaan pola yang sulit dan keterbatasan tenaga kerja terlatih bisa menambah rumit masalah pembiayaan selanjutnya.

(21)

2.3. Persepsi dan Preferensi

Persepsi adalah suatu gambaran, pengertian serta interpretasi seseorang mengenai suatu objek, terutama bagaimana orang tersebut menghubungkan informasi ini dengan dirinya dan lingkungan dimana ia berada (Porteous, 1977). Menurut Allport (1962), persepsi seseorang terhadap lingkungan tergantung kepada seberapa jauh suatu objek membuat arti terhadap dirinya. Persepsi juga melibatkan derajat pengertian kesadaran, suatu arti, atau suatu penghargaan terhadap objek tersebut. Menurut Lime dan Stanley (1971) persepsi berhubungan dengan suatu proses dimana individu menerima informasi dari lingkungan sosial ataupun fisik, kemudian menafsirkan dalam pengalaman dan sikapnya. Persepsi bukanlah proses yang pasif tetapi proses yang aktif dari suatu interaksi antara seseorang dengan lingkungannya, dan merupakan suatu pencapaian (Hilgard, 1978).

Persepsi masyarakat menurut Porteous (1977) dipengaruhi oleh faktor internal dan eksternal. Faktor internal adalah nilai-nilai dari dalam diri dipadukan dengan hal-hal yang ditangkap panca indera pada proses melihat, merasakan, mencium aroma, mendengar, dan meraba. Faktor-faktor tersebut kemudian dikombinasikan dengan faktor eksternal, yaitu keadaan lingkungan fisik dan sosial, yang kemudian menjadi suatu respon dalam bentuk tindakan. Menurut Brockman dan Merriem (1973), faktor-faktor yang mempengaruhi persepsi adalah jenis kelamin dan umur, latar belakang kebudayaan, pendidikan, pekerjaan, asal/tempat tinggal, status ekonomi, waktu luang, dan kemampuan fisik dan intelektual. Menurut Grilick dalam Porteous (1977), semakin tinggi pendidikan seseorang, maka persepsinya akan semakin baik. Sedang menurut Tood (1987), persepsi seseorang akan ruang tergantung pada ukuran usia dan latar belakang budaya, suasana pikiran, pengalaman-pengalaman masa lalu dan pengharapan-pengharapannya.

(22)

INFORMASI

ORIENTASI NILAI BUDAYA DAN PENGALAMAN

PERSEPSI

SELEKSI INTERPRETASI PENGUKUHAN

PEMBULATAN SUBYEKTIF

baik melalui imajinasi maupun pikiran dan nalar untuk memperoleh suatu keutuhan dan kebulatan yang bermakna. Keseluruhan informasi yang telah membulat menjadi sesuatu yang utuh, kemudian diberi tafsiran (interpretasi, makna) antara lain atas dasar orientasi nilai dan pengalaman pribadi individu. Keluaran keseluruhan proses ini ialah penghayatan. Antara seleksi, pembulatan dan tafsiran terjadi hubungan ketergantungan, namun ciri khas individualnya diperoleh dari orientasi nilai dan pengalaman pribadi.

Preferensi adalah kecenderungan untuk memilih sesuatu yang lebih disukai daripada yang lain. Menurut Porteous (1977), studi perilaku individu dapat digunakan oleh ahli lingkungan dan para desainer untuk menilai keinginan pengguna (user) terhadap suatu objek yang akan direncanakan. Dengan melihat preferensi dapat memberikan masukan bagi bentuk partisipasi dalam proses perencanaan.

Gambar 3 Proses persepsi (Boedojo, et al., 1986).

Porteous (1977) menyatakan bahwa terdapat hubungan yang kuat antara preferensi dan sikap. Sikap selalu melibatkan preferensi yang merupakan komponen yang mempengaruhi sikap. Preferensi juga dihubungkan dengan kepuasan akibat dari penilaian persepsi yang berulang-ulang.

2.4. Kenyamanan Lanskap

(23)

matahari, temperatur udara, angin dan kelembaban. Sedangkan kenyamanan visual dihubungkan dengan kesesuaian pemandangan yang ditangkap oleh mata pengamat terhadap lingkungannya melalui persepsi dan preferensi. Kedua bentuk kenyamanan di atas pada suatu lingkungan tidak dapat terbentuk secara spontan, melainkan merupakan interaksi antara objek-objek dalam lanskap dan elemen klimatik. Apabila terbentuk keselarasan dan keseimbangan antara-antara faktor-faktor tersebut, maka kenyamanan lingkungan dapat terciptakan.

Faktor lain yang sering ditambahkan sebagai penunjang kenyamanan yaitu kenyamanan fisik. Kenyamanan fisik berkaitan erat dengan kesesuaian bentuk dan disain objek atau elemen-elemen yang dibangun terhadap lingkungan sekitarnya, misalnya kesesuaian bangku taman, lampu-lampu taman, pedestrian, papan reklame dan infrastruktur lainnya. Kenyamanan fisik ini sering dikaitkan dengan konsep “ergonomis”, yaitu objek atau stuktur yang dibangun secara dimensional dan strukturalnya mengikuti lekuk tubuh manusia penggunanya. Hal ini dimaksudkan agar objek atau struktur yang dibangun dapat optimal dan nyaman untuk digunakan oleh penggunanya.

2.4.1. Kenyamanan Klimatik

Faktor-faktor iklim mikro yang mempengaruhi kenyamanan manusia adalah suhu, radiasi matahari, kelembaban nisbi dan angin. Kenyamanan menurut Albert

dalam Hakim (1991) adalah kenikmatan atau kepuasan di dalam melaksanakan

aktivitasnya. Menurut Tood (1987), seseorang yang terbiasa dengan iklim tropis akan merasa nyaman pada suatu zona yang beberapa derajat lebih hangat dari suhu efektif maksimum yang secara nyaman dialami seseorang dari Inggris. Menurut Laurie (1986), standar kelembaban bagi kenyamanan manusia dalam beraktivitas berkisar antara 40% - 70%, dengan temperatur antara 150C – 270C. Sehingga pada kisaran itu disebut sebagai comfort zone atau zona kenyamanan, yaitu zona atau kisaran dimana temperatur/suhu dan kombinasinya dengan kelembaban, seusai dengan kenyamanan manusia.

(24)

menciptakan sengatan radiasi atau hipotermia. Tubuh menetralkan panas lewat metabolisme, oleh karena itu panas harus dieliminasi.

Panas dieleiminasi tubuh melalui: radiasi, konveksi dan evaporasi. Energi panas diradiasikan oleh manusia ke lingkungannya. Terdapat dua cara perubahan radiasi, yaitu jika lingkungan lebih dingin daripada tubuh, radiasi akan hilang dari tubuh dan kondisi dingin akan tercipta. Kedua, jika lingkungan lebih panas maka radiasi akan menuju pada tubuh. Panas juga berpindah melalui konveksi, jika udara lebih dingin daripada kulit atau pakaian, transport konvektif panas akan menuju udara. Pendinginan evaporatif yaitu hilangnya panas melalui proses pernafasan dan kontak dengan udara. Penurunan kelembaban dan meningkatnya kecepatan angin akan meningkatakan pendinginan evaporatif.

Pepohonan, semak dan rumput menyamankan temperatur udara pada lingkungan perkotaan melalui kontrol radiasi. Dedauanan menerima, memantulkan, menyerap dan mentransimisikan radiasi. Efektifitasnya bergantung pada kerapatan dan bentuk daun serta pola percabangan. Pepohonan dan vegetasi lainnya juga berfungsi memberikan kenyamanan melalui proses evapo-transpirasi.

Alasan utama mempertimbangkan iklim mikro di dalam disain lanskap adalah untuk menciptakan habitat yang nyaman bagi manusia. Terutamanya, sebuah lanskap tidak akan dipakai oleh manusia apabila tidak mendukung sebuah lingkungan yang nyaman secara termal (Brown and Gillespie, 1995). Aliran energi yang menuju dan keluar dari seseorang dapat dinilai dan keseimbangan yang dihasilkan dapat diestimasi bagaimana kenyamanan seseorang dalam sebuah iklim mikro tertentu. Tujuan dari perencanaan yaitu menciptakan lanskap yang berinteraksi dengan atmosfer menghasilkan iklim mikro, dimana manusia memiliki keseimbangan budget energi mendekati nol (tidak kepanasan dan kedinginan).

2.4.2. Kenyamanan Fisik

(25)

lain: jalur pedestrian, halte dan tempat tunggu, rambu-rambu jalan, papan iklan

dan street furniture lainnya. Sedangkan pada lanskap taman, fasilitas penunjang

kenyamanan fisik antara lain: jogging track, bangku dan meja taman, lampu taman, badan-badan air buatan (seperti air mancur, kolam, danau atau situ buatan),

shelter, playground untuk anak-anak dan lainnya.

Fasilitas atau struktur bangunan yang dibuat tersebut harus mengikuti standar-standar dimensi manusia penggunanya. Kenyamanan fisik ini sering dikaitkan dengan konsep “ergonomis”, yaitu objek atau stuktur yang dibangun secara dimensional dan strukturalnya mengikuti lekuk tubuh manusia penggunanya. Hal ini dimaksudkan agar objek atau struktur yang dibangun dapat optimal dan nyaman untuk digunakan oleh penggunanya.

Sebagai contoh pada lanskap jalan, fasilitas atau struktur bangunan yang dibuat harus sesuai dengan dimensi manusia penggunanya, seperti lebar jalur pedestrian disesuaikan volume pengguna (rendah, sedang, tinggi) dan karakter penggunaannya (berjalan di tempat umum, berjalan di tempat belanja, berjalan normal atau berjalan santai). Selain dimensi/ukuran pedestrian juga perlu diperhatikan mengenai bahan perkerasannya, disain dan pola, sudut kemiringan dan lainnya. Sehingga fasilitas atau struktur jalur pedestrian tersebut secara fungsional mampu mengakomodasikan pergerakan pengguna secara nyaman. Hal ini juga berlaku pada fasilitas/struktur atau street furniture lainnya pada lanskap jalan tersebut, halte dibangun berdasarkan potensi volume pengguna yang akan menggunakannya, standar ergonomi manusia yang nyaman untuk duduk, kesesuaian peletakan pada konsentrasi pengguna. Rambu-rambu jalan, papan petunjuk, papan iklan dibuat sesuai dengan sudut ketinggian dan jarak pandang mata, dimensi dan disainnya tidak mengganggu pemandangan dan standar teknis lainnya.

(26)

Konfigurasi pohon-pohon menciptakan naungan, keindahan dan keuntungan-keuntungan lainnya.

2.4.3. Kenyamanan Visual

Kenyamanan visual dihubungkan dengan kesesuaian pemandangan yang ditangkap oleh mata pengamat terhadap lingkungannya melalui persepsi dan preferensi. Pohon dan semak baik secara individu maupun kelompok dapat membentuk keindahan pada seluruh susunan. Keindahan dapat muncul dari garis, bentuk, warna dan tekstur yang tampak. Pepohonan dan semak membingkai pemandangan, memperhalus garis-garis arsitektural, meningkatkan dan meleng-kapi elemen-elemen arsitektural, menyatukan elemen-elemen yang beragam dan menciptakan suasana alami.

Sedang keindahan menurut Hakim (1991) merupakan hal yang perlu diperhatikan sekali dalam hal penciptaan kenyamanan karena hal tersebut dapat mencakup masalah kepuasan batin dan panca indera. Pemandangan sebagian besar didasarkan pada estetika (buatan manusia), tetapi pada beberapa hal juga berhubungan dengan konservasi dan preservasi. Pemandangan yang merupakan suatu karya seni dalam lanskap (karya seni alam) lebih bersifat artifisial, yang memandang alam bukan sebagai suatu totalitas tetapi hanya memandang sebagian atau relatif jarang memperhatikan. Bentuk pengartikulasian lingkungan oleh seseorang dilakukan melalui hubungan langsung dengan alam dan selalu mengobservasinya.

Persepsi kita merupakan dasar utama bagi fungsi penglihatan. Perwujudan ruang atau spasial dicapai melalui jarak pada elemen yang terhalang oleh pandangan. Perwujudan ruang dicapai melalui tekstur dan naungan. Pepohonan dan semak membentuk dinding dan kanopi pada lanskap dan bersama dengan komponen arsitektural lainnya dapat digunakan untuk mendekatkan, mengisi, membingkai, mengubungkan, memperluas, mengurangi dan mengartikulasi ruang eksterior.

(27)

seseorang terhadap karya seni hubungannya dengan lanskap, sejauh mana orang tersebut mampu mengidentifikasi dan mengklasifikasikan gaya-gaya alam yang diterimanya termasuk model atau objek (baik artifisial atau alami). Manusia membuat objek menjadi sebuah karya seni (alam), yang merupakan wujud metafora alam, objek atau model lanskap, unit, totalitas terbatas atau karya spasial, dimana seseorang bergerak.

Daniel dan Booster (1976) mengungkapkan bahwa, sentimen dan pernyataan-pernyataan publik yang memerlukan pertimbangan estetika dan konsekuensi tak terukur lainnya terhadap tata guna lahan publik harus dipertimbangkan. Keindahan pemandangan lanskap adalah salah satu sumberdaya alami yang paling penting. Dari beberapa sumberdaya yang kita pakai, dipreservasi dan dicoba untuk dikembangkan, keindahan pemandangan (scenic

beauty) telah terbukti merupakan sumberdaya yang paling sulit untuk dihitung

dengan objektif secara ilmiah. Hal ini disebabkan karena keindahan hanya secara parsial didefinisikan oleh karakteristik lingkungan dan tergantung pada penilaian manusia.

2.5. Pendugaan Keindahan Pemandangan

Menurut Daniel dan Booster (1976), keindahan pemandangan lanskap merupakan salah satu sumber daya alam yang sangat penting walaupun secara obyektif keindahan pemandangan sulit untuk diukur. Namun pendekatan yang bisa mendukungnya bahwa keindahan pemandangan lanskap tidak hanya ditentukan oleh karakteristik lingkungan dan kekayaan lanskapnya saja namun sebagian besar ditentukan oleh penilaian manusia.

(28)

Scenic Beauty Estimation (SBE) merupakan metode yang menyediakan ukuran secara kuantitatif dari suatu hal yang disukai keindahannya terhadap alternatif sistem manajemen lanskap alam. SBE menunjukkan arti keefektifan dan keobjektifan dari keputusan scenic beauty dari lanskap alam secara umum dan juga menduga konsekuensi keindahan dari alternatif tata guna lahan. Scenic

beauty diartikan sebagai keindahan alami, estetik lanskap atau sumber

(29)

3.1. Tempat dan Waktu Penelitian

Penelitian ini dilaksanakan di jalur pedestrian kawasan Jalan M.H. Thamrin

– Jend. Sudirman, Jakarta (Gambar 4). Jalur pedestrian pada Jalan M.H. Thamrin

yang diamati adalah sisi Timur (T) dan Barat (B) dari Air Mancur Bank Indonesia

sampai dengan Jembatan Dukuh Atas, sedangkan pada Jalan Jenderal Sudirman

yang diamati adalah sisi Timur (T) dan Barat (B) dari Jembatan Dukuh Atas

sampai Tugu Api Nan Tak Kunjung Padam, dengan total panjang ± 6200 meter.

Pengamatan dan pengukuran dilaksanakan mulai bulan Mei 2007 sampai dengan

Oktober 2007. Analisis dan penyelesaian studi dilakukan hingga Juli 2009.

Gambar 4 Peta lokasi penelitian.

100

300 500

900 PETA DKI JAKARTA

A

B

C

D

E

F

KETERA NG A N :

A : A ir Ma nc ur BI B : Bund e ra n HI C : Je m b a ta n Dukuh A ta s D : Fly - Ove r Se m a ng g i E : Ko m p le ks G e lo ra

Bung Ka rno F : Tug u Ap i Na n Ta k

Kunjung Pa d a m

: Lo ka si Stud i A – C : Jl. M.H. Tha m rin C – F : Jl. Je nd . Sud irm a n

(30)

3.2. Metode Penelitian

3.2.1. Tahap Pengumpulan Data

Pengumpulan data dilakukan dengan cara survey lapang, studi

dokumentasi/pustaka dan wawancara. Data yang dikumpulkan meliputi data

mengenai aspek fisik ruang, aspek kepuasan pengguna dan aspek kebijakan dan

pengelolaan, baik berupa data primer yang diperoleh melalui pengamatan

langsung dan wawancara ataupun data sekunder yang diperoleh melalui studi

pustaka.

Gambar 5 Proses studi.

Data mengenai aspek fisik ruang terdiri atas data iklim (umum dan mikro),

elemen fisik (aksessibilitas, lebar pedestrian, disain paving, bahan perkerasan,

street furniture, vegetasi dan elemen fisik lainnya), serta data mengenai visual,

Pendalaman teori sesuai tujuan dan ruang lingkup studi.

Penetapan lokasi studi:

-Jalur pedestrian Jalan M.H. Thamrin – Jend.

Sudirman, Jakarta Pusat.

-Panjang area studi ± 6200 meter, melintang

Selatan-Utara, dengan area studi di sisi Barat-Timur.

Pengambilan data primer dan sekunder mengenai kondisi tapak.

Aspek Kebijakan dan Pengelolaan

Aspek Kepuasan Pengguna Aspek Fisik Ruang

Elemen Fisik : -Aksessibilitas;

-Lebar pedestrian;

-Disain paving;

-Bahan perkerasan;

-Street furniture; -Vegetasi;

-Elemen lainnya.

Kondisi Fisik/Fungsi

Kualitas Visual :

View di dalam ruang

pedestrian.

Kualitas Visual (SBE)

Data mengenai Persepsi dan Preferensi

Chi Square : Persepsi dan Preferensi

-Kebijakan-kebijakan terkait

penyediaan dan pengelolaan ruang pedestrian.

-Pengelola dan pengelolaan

ruang pedestrian.

Deskriptif :

-Dukungan;

-Kendala.

Analisis keterkaitan antara aspek fisik dan aspek kenyamanan pengguna (kenyamanan klimatik, fisik dan visual).

Saran kebijakan dan pengelolaan

Rekomendasi perencanaan dan pengelolaan ruang pedestrian Jalan M.H. Thamrin – Jend. Sudirman, Jakarta Pusat.

(31)

yaitu pemandangan (view dalam ruang pedestrian). Aspek kepuasan pengguna

diperoleh melalui data persepsi dan preferensi pengguna ruang dengan cara

membagikan kuisioner mengenai faktor-faktor kenyamanan dalam ruang

pedestrian. Sedangkan aspek kebijakan dan pengelolaan terdiri atas

kebijakan-kebijakan yang terkait dengan penyediaan dan pengelolaan ruang pedestrian, serta

hal-hal yang terkait dengan pengelola dan usaha-usaha pengelolaannya. Untuk

lebih jelasnya, proses dan langkah-langkap metode yang dipergunakan pada studi

ini dapat dilihat pada Gambar 5 di atas.

Adapun jenis data, bentuk data dan sumber pengambilan data pada

masing-masing aspek dapat dilihat pada Tabel 2.

Tabel 2 Aspek, jenis, bentuk dan sumber pengambilan data

Aspek Jenis Data Bentuk Data Sumber Pengambilan Data

Kondisi Umum

Lokasi tapak Aksessibilitas

Letak, luas dan batas-batas

Bappeda dan lapang Bappeda dan lapang

Fisik

ƒLebar pedestrian

ƒDisain paving

ƒBahan perkerasan

ƒStreet furniture

ƒVegetasi

ƒElemen lainnya

Visual

Akses dan jaringan jalan Lebar pedestrian Detail disain/site plan

Bahan perkerasan Inventarisasi perlengkapan dan kelengkapan jalan (lampu penerangan jalan, tempat sampah, pagar, jembatan penyeberangan, sarana komunikasi, kios, shelter, bangku, dan lainnya) Jenis dan pola penanaman Inventarisasi lapang dan data sekunder

Dokumentasi foto

BMKG, Bappedalda dan lapang BMKG, Bappedalda dan lapang

Bappeda dan lapang

Bappeda, Dinas Pertamanan dan Lapang Bappeda, Dinas Pertamanan dan Lapang Bappeda, Dinas Pertamanan dan Lapang Lapang

Bappeda, Dinas Pertamanan dan Lapang Bappeda, BMKG, Dinas Pertamanan dan Lapang dan preferensi terhadap kenyamanan ruang

Lapang (kuisioner dan wawancara)

Kebijakan dan Pengelolaan

Peraturan yang berlaku

Keputusan, aturan dan RUTR Jakarta Pusat

(32)

3.2.2. Tahap Analisis 3.2.2.1. Analisis Klimatik

Menurut Brown and Gillespie (1995), iklim mikro berkaitan erat dengan

rasa nyaman, suhu yang nyaman. Suhu yang nyaman dapat diwujudkan dengan

memahami (1) unsur-unsur iklim mikro (angin, temperatur udara) yang dapat

mempengaruhi kenyamanan suhu pada manusia; (2) unsur-unsur lanskap

(tanaman, air) yang mempengaruhi iklim mikro. Kelembaban udara adalah

ba-nyaknya kandungan air di udara. Pada kelembaban udara yang cukup tinggi, NO2

di udara dapat bereaksi dengan massa air membentuk HNO3, dan unsur S bereaksi

dengan O2 membentuk SO4, yang akhirnya SO3 bereaksi dengan massa air

membentuk H2SO4 (Purnomohadi, 1995).

Temperature Humidity Index (THI) merupakan suatu indeks untuk

menetapkan kenyamanan secara kuantitatif dengan mengkombinasikan suhu dan

kelembaban relatif udara (Nieuwolt, 1977), dengan rumus:

THI = 0,8 Ta + (RH x Ta ) / 500 Keterangan:

THI = indeks kenyamanan Ta = suhu udara (OC)

RH = kelembaban relatif udara (%)

3.2.2.2. Analisis Kondisi Fisik

Kondisi fisik area studi yang terdiri atas aksessibilitas, lebar pedestrian,

disain paving, bahan perkerasan, street furniture, vegetasi dan elemen fisik

lainnya dianalisis secara deskriptif dengan menjelaskan secara faktual

kondisi-kondisi yang ada pada saat ini. Kondisi faktual yang ditemukan di lapang akan

dibandingkan kesesuaiannya dengan standar-standar dimensi ruang dan ilmu

Arsitektur Lanskap.

Hal ini sangat penting, untuk melihat sejauh mana kondisi fisik yang telah

terbangun saat ini memberikan dampak dan kesan yang nyaman bagi

penggunanya. Fasilitas atau struktur bangunan yang dibuat tersebut harus

mengikuti standar-standar dimensi manusia penggunanya. Kenyamanan fisik ini

sering dikaitkan dengan konsep “ergonomis”, yaitu objek atau stuktur yang

(33)

penggunanya. Hal ini dimaksudkan agar objek atau struktur yang dibangun dapat

optimal dan nyaman untuk digunakan oleh penggunanya.

3.2.2.3. Analisis Visual/Scenic Beauty Estimation (SBE)

Aspek bio-fisik yaitu visual, dianalisis dengan SBE. Metode SBE terdiri dari

tiga langkah utama, yaitu penentuan titik pemotretan, presentasi foto dan analisis

data hasil survey (Daniel dan Booster, 1976). Secara lebih rinci dapat dijelaskan

sebagai berikut:

1. Penentuan Titik dan Pemotretan

Proses menentukan titik dan pemotretan dimulai dengan survey lapang

terlebih dahulu. Penentuan titik ini dilakukan di sepanjang jalur pedestrian pada

Jalan M. H. Thamrin (sisi timur dan barat sejak Air Mancur Bank Indonesia

hingga Jembatan Dukuh Atas) dan Jalan Jenderal Sudirman (sisi timur dan barat

sejak Jembatan Dukuh Atas hingga Tugu Api Tak Kunjung Padam). Jarak antara

titik satu dengan yang lain adalah 200 meter. Menurut Dharmawadhani (1997),

titik pandang 200 meter merupakan jangkauan relatif mata normal untuk melihat

pemandangan hingga batas titik maksimum (tidak terlihat) terhadap objek dalam

lanskap. Setelah penentuan titik pemotretan selesai baru dilakukan pemotretan.

Tujuan pemotretan adalah untuk mendokumentasikan pemandangan lanskap

pedestrian kawasan jalan M. H. Thamrin-Jend. Sudirman yang nantinya akan

dinilai oleh publik.

Pada tiap titik dilakukan pemotretan sebanyak dua kali, yaitu arah Utara dan

Selatan dengan pengambilan foto dalam bentuk panorama. Tinggi pemotretan

adalah setinggi mata manusia (150 cm) dan sejajar dengan arah pandangan

normal. Foto lanskap hasil dokumentasi lapang sebanyak 128 foto, yang

kemudian dilakukan seleksi oleh pakar (komisi pembimbing) dihasilkan sebanyak

50 foto. Foto-foto ini yang kemudian dijadikan sebagai bahan presentasi

kuesioner kualitas visual. Dalam tahap ini alat dan bahan yang digunakan adalah

kamera digital, kompas dan tripod kamera.

2. Presentasi Foto

Terhadap foto yang terseleksi terlebih dahulu dilakukan editing untuk

(34)

dipresentasikan pada responden memiliki kualitas gambar yang sama. Selanjutnya

foto dipresentasikan dengan menggunakan LCD Projector.

Presentasi foto merupakan tahap penilaian lanskap oleh responden. Jumlah

total responden adalah 59 orang, yang diambil dengan teknik purposive sampling,

yaitu mahasiswa Arsitektur Lanskap dari Institut Pertanian Bogor (45 orang) dan

Universitas Trisakti (14 orang). Menurut Daniel dan Booster (1976), mahasiswa

adalah bagian dari masyarakat yang dianggap peduli dan kritis terhadap

lingkungan sekitarnya.

Sebelum dilakukan presentasi foto, terlebih dahulu responden diberikan

penjelasan mengenai tujuan penelitian, cara mengisi kuisioner, cara melihat dan

menilai foto. Setiap foto disajikan dengan waktu ± 8 detik. Responden menilai

setiap foto dengan cara memberi bobot dari skala 1 sampai 10 pada kuisioner

(Daniel dan Booster, 1976). Presentasi 2 foto pertama merupakan foto contoh,

sebagai gambaran mengenai ruang pedestrian kawasan jalan M.H. Thamrin-Jend.

Sudirman, Jakarta. Sebelum memasuki pemutaran foto utama, responden diberi

kesempatan untuk menanyakan hal-hal yang belum dimengerti. Setelah seluruh

foto dipresentasikan, tahap terakhir dari presentasi foto ini adalah pengisian

biodata responden dan komentar bebas mengenai ruang pedestrian tersebut.

3. Analisis Data

Data yang diperoleh diolah secara statistik untuk mendapatkan nilai SBE

pada setiap titik pemotretan. Pengolahan data dilakukan dengan menggunakan

nilai z, dengan rumus sebagai berikut :

Zij = (Rij – Rj)/Sj

Keterangan :

Zij : standar nilai Z untuk penilaian ke-i dari pengamatan ke-j Rj : rata-rata dari seluruh penilaian pengamat ke-j

Rij : nilai ke-i dari pengamat ke-j

Sj : standar deviasi dari seluruh pengamat ke-j

Perhitungan nilai Z pada kasus ini dilakukan secara tabulasi untuk setiap

pemandangan lanskap. Nilai Z total untuk setiap titik pemotretan merupakan hasil

rata-rata nilai Z dua pemandangan. Nilai Z yang dihasilkan digunakan sebagai

standar penilaian untuk menduga keindahan pemandangan (Nilai SBE). Nilai SBE

(35)

SBEx = (ZLX – ZLS) x 100

Keterangan :

SBEx : nilai SBE pemandangan ke-x ZLX : nilai rata-rata Z pemandangan ke-x

ZLS : nilai rata-rata Z pemandangan yang digunakan sebagai standar.

Setelah diperoleh nilai SBE, dilakukan analisis secara deskriptif untuk

mengevaluasi setiap pemandangan.

3.2.2.4. Analisis Chi-Square (Persepsi dan Preferensi )

Aspek sosial, yaitu persepsi dan preferensi pengguna (user), dianalisis

dengan Chi-Square dengan langkah-langkah sebagai berikut :

1. Pengambilan Sampel

Pengambilan sampel dilakukan dengan teknik purposive sampling yaitu

dengan memilih responden yang sering atau pernah berinteraksi dengan lokasi

penelitian, sebagai pengguna (user)ruang pedestrian pada tapak. Jumlah kuisioner

yang disebarkan sebanyak 250 eksemplar kepada responden yang dipilih secara

acak pada titik-titik tempat pengambilan sampel yang telah ditentukan

(pusat-pusat aktivitas, halte dan kantor). Dari jumlah tersebut, sebanyak 215 kuisioner

(86%) yang dikembalikan. Sedangkan validitas data dari 215 kuisioner tersebut

berkisar antara 76,7% - 100%.

Selain mengajukan kuisioner, juga dilakukan wawancara secara langsung

(indepedent interview) dengan responden untuk memperoleh informasi yang lebih

detil berkaitan dengan ruang pedestrian pada tapak (misalnya kondisi, bentuk dan

fasilitas-fasilitas penunjang kenyamanan yang diinginkan). Penyebaran kuisioner

dilakukan pada hari kerja dan hari libur dengan waktu pada pagi, siang dan sore

hari.

2. Analisa Data

Data persepsi dan preferensi pengguna (user) terhadap kenyamanan ruang

pedestrian pada tapak dipersentasekan terhadap jumlah masing-masing pilihan

dalam kuisioner atau bersifat independen karena responden dapat menjawab

dengan lebih dari satu pilihan jawaban. Kemudian data yang diperoleh dianalisa

(36)

Menurut Santoso (2002), uji Chi-Square dilakukan untuk mengetahui

apakah ada hubungan diantara dua variabel tertentu atau tidak. Uji ini dilakukan

dengan Statistical Product and Service Solution (SPSS) dengan α = 0,05.

Menurut Suharjo dan Siswadi (1999), dari uji ini diketahui nilai uji Pearson

chi-square. Bila nilai uji Pearson chi-square > 0,05 maka antar kategori yang diuji

tidak saling terikat (bebas), dapat diartikan bahwa besarnya frekuensi (nilai) profil

pada satu kategori tidak dipengaruhi oleh profil pada kategori lainnya. Sedang

bila nilai uji Pearson chi-square < 0,05 maka antar kategori yang diuji saling

terkait, dapat diartikan bahwa besarnya frekuensi (nilai) profil pada satu kategori

dipengaruhi oleh profil pada kategori yang lainnya. Rumus analisis uji Chi-Square

yang digunakan adalah sebagai berikut (Johnson and D.W. Wichern, 1988):

X2=

(

)

ij Eij

Eij

Oij

2

Keterangan :

X2 = Chi-Square

Oij = jumlah pilihan jawaban pada kolom i sampai baris j Eij = nilai harapan pada kolom i dan baris j

3.2.2.5. Analisis Kebijakan dan Pengelolaan

Aspek legal/kebijakan dan pengelolaan yaitu kebijakan pemerintah

dianalisis secara deskriptif. Di dalam analisis ini mencakup kebijakan-kebijakan

yang terkait dengan penyediaan dan pengelolaan ruang pedestrian, serta tanggung

jawab pemerintah daerah di dalam usaha-usaha pengelolaannya. Berdasarkan

analisa deskripsi tersebut, maka akan dapat dirumuskan hal-hal yang

memungkinkan atau mendukung pengembangan ruang pedestrian Jalan M.H.

Thamrin-Jend. Sudirman menuju ke arah perbaikan, sekaligus menganalisis

kendala atau hambatan yang menyertainya.

3.3. Perumusan Rekomendasi

Berdasarkan hasil-hasil analisis, maka dapat diketahui potensi dan kendala

pengembangan tapak yang bisa dijadikan sebagai bahan-bahan pertimbangan

dalam menyusun konsep ruang pedestrian pada kawasan Jalan M.H.

(37)

mengakomodasikan kepentingan pengguna ruang (user) dan membentuk sebuah

ruang yang memiliki kenyamanan tinggi serta selaras dengan kondisi lingkungan

(38)

4.1. Kondisi Lanskap Pedestrian

Lanskap Jalan M.H. Thamrin dan Jend. Sudirman, Jakarta adalah salah satu

contoh lanskap jalan yang sangat dinamis, baik elemen penyusun dan aktivitas

yang terjadi di dalamnya. Jalan M.H. Thamrin–Jend. Sudirman merupakan salah

satu jalan utama di ibukota yang dapat dijadikan sebagai path kota Jakarta.

Berbagai golongan masyarakat sangat berkepentingan dengan lanskap ini, baik

sebagai jalur mobilitasnya dan/ atau sebagai tempat aktivitasnya.

(a) (b)

(c) (d)

Gambar 6 Elemen-elemen penyusun jalan (street furniture): (a) halte; (b) telepon umum; (c) shelter; (d) jembatan penyeberangan.

Pada tahun 2003, pemerintah Provinsi DKI Jakarta membangun fasilitas

ruang publik berupa ruang pedestrian di Jalan M.H. Thamrin-Jend. Sudirman,

Jakarta. Saat ini pembangunan jalur pedestrian di Jalan M.H. Thamrin- Jend.

(39)

pedestrian bervariasi tergantung kesepakatan antara pemilik kavling dengan

pemda DKI Jakarta (rata-rata ± 3 meter). Jalur pedestrian di Jalan M.H. Thamrin-

Jend. Sudirman ini merupakan jalur pedestrian pertama yang dibangun di Jakarta

yang cukup lengkap fasilitas dan elemen-elemen penunjangnya. Fasilitas-fasilitas

yang telah dibangun antara lain: pedestrian, tanda-tanda jalan, lampu jalan,

jembatan pemyeberangan, shelter, halte dan lainnya, termasuk vegetasi tepi jalan

(Gambar 6).

Lanskap koridor Jalan M.H. Thamrin – Jend. Sudirman dibentuk oleh

jajaran gedung-gedung bertingkat tinggi, sehingga koridor ini berkesan masif dan

artifisial. Lanskap ini memberikan pemandangan efek visual berupa bayangan

bangunan dan secara struktural memberikan ruang binaan yang berkesan kokoh,

serta mempersempit dimensi pergerakan manusia yang melewatinya (Gambar 7).

Gambar 7 Konfigurasi dan struktur bangunan di sepanjang lanskap Jalan M.H. Thamrin – Jend. Sudirman.

Setiap blok dan grid dalam lanskap pedestrian Jalan M.H. Thamrin – Jend.

Sudirman memiliki karakteristik yang relatif seragam, yaitu konfigurasi

bangunan-bangunan masif berupa gedung-gedung bertingkat tinggi. Oleh karena

itu, setiap titik pengamatan (vantage point) akan memperlihatkan karakteristik

yang relatif sama, tetapi yang cukup khas yaitu setiap titik pengamatan akan

memperlihatkan karakter gedung yang berbeda-beda. Konfigurasi blok dan grid

kawasan Jalan M.H. Thamrin dapat dilihat pada Gambar 8. Sedangkan konfigurasi

blok dan grid kawasan Jalan Jend. Sudirman dapat dilihat pada Gambar 9 di

(40)

G

p

k

p

k

S/ D JEMBATAN DUKUH ATAS S/ D JEMBATAN DUKUH ATAS

Gam

PLAZACENTEROIL

PLAZA INDONESIA

PLAZACENTEROIL

figurasi blok

ENERGIDEPARTEMENENERGI DAN

SUMBER DAYA

ENERGIDEPARTEMENENERGI DAN

(41)

(a) (b)

(c)

meskipun demikian hal ini tidak cukup mampu mengatasi kepadatan tersebut,

sehingga menimbulkan berbagai masalah lalu-lintas, seperti yang terlihat pada

Gambar 10 di bawah ini.

Gambar 10 Beragam aktivitas pengguna lanskap, (a) halte Ratu Plaza, (b) dan (c) pedestrian di depan Sarinah Plaza.

4.2. Kebijakan dan Pengelolaan

Berdasarkan SK Gubernur No. 72 tahun 2003 tentang penataan pedestrian

di kawasan Jalan M.H. Thamrin, Instruksi Gubernur No. 169 tahun 2003 tentang

penataan pedestrian di Kawasan Jalan M.H. Thamrin dan SK Gubernur No. 48

tahun 2005 tentang penataan pedestrian di kawasan Jalan Jenderal Sudirman,

maka dibuatlah nota kesepakatan antara Pemda DKI yang diwakili oleh Dinas

Pertamanan, dengan pemilik kavling di sepanjang Jalan M. H. Thamrin-Jend.

Sudirman, mengenai lebar pedestrian kawasan jalan ini. Oleh karena itu, lebar

pedestrian Jalan M.H. Thamrin-Jend. Sudirman beragam, tergantung kesepakatan.

(42)

beberapa titik lebar pedestrian sangat sempit, hal ini menyebabkan

ketidak-nyamanan pergerakan pengguna yang melalui titik tersebut, misalnya di depan

Bangkok Bank dan Bank Indonesia (Gambar 11).

(a) (b)

Gambar 11 Pedestrian yang sempit (a) Bangkok Bank; (b) Bank Indonesia.

Meskipun beberapa kebijakan dan peraturan-peraturan telah dibuat untuk

menunjang kenyamanan para pengguna jalan, khususnya pejalan kaki di lanskap

Jalan M. H. Thamrin-Jend. Sudirman, berdasarkan pengamatan lapang, hal itu

belum sepenuhnya berjalan efektif. Seperti lebar pedestrian yang sempit pada

beberapa titik, efektivitas fungsi elemen-elemen street furniture dalam menunjang

kenyamanan belum dapat mengakomodasikan kepentingan pejalan kaki dalam

bermobilisasi. Penempatan struktur seperti jembatan penyeberangan orang (JPO),

tiang-tiang lampu, bollard masih mengganggu pergerakan pengguna.

Elemen-elemen lain seperti papan-papan iklan, penunjuk jalan dan rambu lalu-lintas

kurang memperhatikan standar dimensi dan ketersediaan ruang dalam

penempatannya.

Hal ini patut dipahami bahwa penetapan kebijakan dan peraturan tersebut

termasuk terlambat, karena program penataan pedestrian di Kawasan Jalan M. H.

Thamrin-Jend. Sudirman baru ditetapkan sekitar awal tahun 2000-an, meskipun

gagasan penataan sudah mulai dimunculkan sejak pertengahan tahun 1900-an.

Kawasan Jalan M. H. Thamrin-Jend. Sudirman, Jakarta telah menjadi akses dan

jalur utama sejak tahun 1960-an. Sudah selayaknya Pemerintah Daerah DKI

Jakarta telah mempunyai site planning serta grand design yang dituangkan dalam

(43)

itu. Lanskap yang telah terlanjur terbangun sangat solid dan masif ini tidak dapat

dirubah melalui kebijakan dan peraturan secara cepat atau instant, karena dapat

mengakibatkan perubahan yang sangat besar dan mendasar, terutama pada

bangunan-bangunan yang telah dibangun sejak lama, sebagai contoh Bank

Indonesia, Gedung Departemen Agama, Gedung PBB. Bangunan-bangunan

tersebut telah lama dibangun, sehingga pada saat pelaksanaan kebijakan mengenai

penataan pedestrian di Kawasan Jalan M. H. Thamrin-Jend. Sudirman, pihak

pengelola hanya menyisakan sedikit ruang bagi pedestrian (kurang dari 3 meter).

Tetapi usaha-usaha penataan pedestrian di Kawasan Jalan M. H.

Thamrin-Jend. Sudirman tetap perlu dilanjutkan, dengan memperhatikan kepentingan

berbagai pihak (pengguna jalan, pejalan kaki dan pihak pengelola gedung).

Sebagai kawasan bisnis dan perdagangan, kawasan Jalan M. H. Thamrin-Jend.

Sudirman merupakan path kota Jakarta yang sangat penting. Hendaknya lanskap

yang terbangun tidak hanya memiliki keberpihakan pada pemilik bangunan dan

pengguna jalan, tetapi juga pada pejalan kaki. Menambah atau mengurangi

elemen-elemen fisik pada lanskap ini perlu mempertimbangkan dampak

lingkungan yang mungkin timbul. Misalnya dengan membangun underpass

sebagai pengganti JPO, untuk memberikan ruang yang lebih lebar bagi pejalan

kaki dalam bermobilisasi di pedestrian. Kebijakan ini akan menimbulkan dampak

lingkungan yang sangat signifikan terhadap pengguna jalan dan pemilik gedung.

Oleh karena itu, dalam penetapan kebijakan penataan pedestrian di

Kawasan Jalan M. H. Thamrin-Jend. Sudirman selain mengakomodasikan pejalan

kaki, harus memperhatikan pula pengguna jalan dan pemilik bangunan. Hal lain

yang penting adalah penegakan hukum yang tegas dan jelas. Selain itu

keberlanjutan program penataan ini dari tahun ke tahun harus secara konsisten

dilaksanakan oleh Pemerintah Daerah DKI Jakarta, melalui dinas-dinas yang

terkait.

4.3. Persepsi dan Preferensi

Analisis mengenai persepsi dan preferensi pengguna dilakukan untuk

melihat sejauh mana apresiasi pengguna pedestrian dalam memandang fungsi,

(44)

pertimbangan dalam pengembangan perencanaan ruang pedestrian kawasan Jalan

M. H. Thamrin-Jend. Sudirman, Jakarta.

4.3.1. Analisis Persepsi Pengguna

Analisis statistik dilakukan dengan menggunakan ”crosstab analysis

dengan masing-masing indikator serta variabel pengendali (kontrol). Kontrol

disini sangat diperlukan untuk menghindari bias yang berlebihan. Pada analisis

penelitian ini terdapat 4 indikator kategori pengguna, yaitu kategori gender/jenis

kelamin, umur, pendidikan dan pekerjaan. Indikator ketegori gender/jenis kelamin

dijadikan sebagai indikator atau variabel kontrol.

Jumlah kuisioner yang disebarkan sebanyak 250 eksemplar kepada

responden yang dipilih secara acak pada titik-titik tempat pengambilan sampel

yang telah ditentukan (pusat-pusat aktivitas, halte dan kantor). Dari jumlah

tersebut, sebanyak 215 kuisioner (86%) yang dikembalikan. Sedangkan validitas

data dari 215 kuisioner tersebut berkisar antara 76,7% - 100%. Lebih lengkapnya

karakteristik responden dapat dilihat pada Tabel 3 di bawah ini. Dengan 34

macam indikator variabel persepsi diharapkan dapat mewakili penjabaran tentang

persepsi pengguna tapak terhadap kenyamanan ruang pedestrian.

Tabel 3 Karakteristik responden analisis persepsi dan preferensi.

No. Karakter Responden Kategori

1 Jenis Kelamin -Laki-laki : 97 org

-Perempuan : 118 org

2 Umur

- ≤ 20 tahun : 22 org - 21 - 30 tahun: 122 org - 31 - 40 tahun: 36 org - 41 - 50 tahun: 27 org - ≥ 51 tahun : 8 org

3 Pendidikan

- Perguruan tinggi : 109 org - Akademi/diploma : 25 org - SMA/aliyah : 78 org - Tidak sekolah : 1 org - Tidak menjawab : 2 org

4 Pekerjaan

Gambar

Gambar 5  Proses studi.
Tabel 2  Aspek, jenis, bentuk dan sumber pengambilan data
Gambar 6  Elemen-elemen penyusun jalan (street furniture): (a) halte; (b) telepon umum; (c) shelter; (d) jembatan penyeberangan
Gambar 10 Beragam aktivitas pengguna lanskap, (a) halte Ratu Plaza, (b) dan (c)
+7

Referensi

Dokumen terkait