• Tidak ada hasil yang ditemukan

DAFTAR LAMPIRAN

DIMANFAATKAN SECARA LEBIH EFEKTIF

2.2. Lanskap Pedestrian 1 Pengertian

2.2.7. Bahan Permukaan Pedestrian

Bahan permukaan pedestrian yang biasa digunakan menurut McDowel (1975) dalam Kodariyah (2004) adalah batu, bata, cetakan beton dan batu kerikil. Setiap bahan-bahan ini mempunyai karakter yang membuatnya sesuai untuk suatu situasi.

Hampir semua batu dengan bagian atas datar, dapat digunakan untuk perkerasan pedestrian. Batu merupakan bahan alami yang paling disukai, karena salah satu sifatnya yang mempunyai daya tahan lama. Beberapa jenis yang biasa digunakan adalah sebagai berikut (Kodariyah, 2004):

1. Jenis sedimen seperti batu pasir, batu coklat, batu biru dan batu kapur. Jenis tersebut merupakan jenis yang lunak, sehingga mudah dipotong dan dibentuk, tetapi mudah berubah warnanya dan terpengaruh oleh perubahan cuaca karena karakternya yang berpori.

2. Bentuk metamorfik dari batu kapur adalah keramik, yang lebih keras, kuat, mudah dipahat dan diasah, dan sangat sering digunakan karena pola dan keindahannya.

3. Bentuk metamorfik dari batu tulis (shale) adalah tipis, keras, dan merupakan batu yang kuat serta bervariasi mulai dari warna abu-abu hingga hitam, disamping beberapa jenis yang berwarna merah.

4. Bentuk batu karang api adalah granit, yang keras dan jelas sangat kuat. Warnanya berkisar mulai dari keputihan sampai abu-abu tua, dengan beberapa jenis yang memiliki warna agak merah muda. Batu jenis ini dapat dipahat dan dipotong dalam banyak bentuk dan ukuran. Jenis ini tahan terhadap goresan dan cuaca.

5. Batu vulkanik memiliki karakter warna gelap dan terbatas dalam penggunaan dengan ukuran terpecah-pecah. Hal ini menjadikannya tidak praktis untuk dipahat. Batu ini digunakan seperti jenis batuan yang sudah dijelaskan sebelumnya. Jenis batu ini tidak berbentuk, tajam dan berbahaya untuk kulit. 6. Batuan jenis kecil, jenis batu keras seperti trap rock. Batuan ini mudah

dibentuk dan sangat berguna sebagai bahan dasar beton, lapisan dasar perkerasan, alas untuk kandang, dan sebagainya.

Bata dapat memberikan kontribusi yang menarik antara barat dan timur. Bata ini bersifat hangat, bernuansa tanah, cenderung berwarna coklat, permukaannya kasar dan bentuknya tidak rata. Bata dengan warna tua, yang berbunyi apabila saling berbenturan, biasanya lebih kuat, merupakan unit yang terbakar dengan baik, dan dapat dipastikan lebih tahan pecah. Bata dapat digunakan untuk semua tipe untuk membentuk perkerasan yang baik atau bisa dikombinasikan dengan batu alami. Batas standar yang dirancang untuk sambungan 3/8 inci adalah bata dengan tebal 2-1/4 inci, lebar 3-5/8 inci dan panjang 7-5/8 inci.

Cetakan beton tidak mempunyai penampilan yang alami dari batu, tetapi bisa dikombinasikan dengan bata untuk membentuk pedestrian yang bagus, sebagai perkerasan. Batu kerikil memiliki beberapa keuntungan di luar bahan- bahan permukaan untuk pedestrian. Batu kerikil untuk pedestrian relatif murah, sederhana untuk dipasang, dan mudah untuk dipelihara. Batu kerikil mengering dengan cepat. Baik pada waktu hujan atau ada siraman air akan menggenang, dengan kata lain, batu kerikil mempunyai permukaan yang tidak nyaman dan lambat.

Terdapat tiga kriteria yang mempengaruhi pemilihan perkerasan, yaitu (Steven, 1991 dalam Kodariyah, 2004) :

1. Kegunaan

Hal yang pertama dipikirkan adalah kegunaan dari dibuatnya perkerasan baik untuk jalan kendaraan, pedestrian ataupun patio. Ketiga hal ini dapat diakomodasi sesuai dengan kondisinya, dapat dilihat sebagai tiga hal yang terpisah dari teknik konstruksi dan bahan permukaan yang berbeda. Permukaan dari bahan perkerasan juga berpengaruh pada tujuan penggunaan

area, tekstur perkerasan penting untuk pejalan kaki, juga mempunyai dampak pada kecepatan pergerakan. Perkerasan dengan tekstur yang tidak licin, lebih digemari karena dapat menjamin keamanan pejalan kaki, biasanya dipakai di area sekitar display elemen air, atau tempat berbahaya. Perkerasan dengan tekstur yang lebih kasar dipakai di tepian sungai atau pada jalur dengan kemiringan cukup tajam.

2. Estetika

Pedestrian yang dibuat dengan mengikuti tema yang sangat sederhana atau sebaliknya dapat dibuat dengan sangat rumit dengan tujuan untuk menarik perhatian. Kombinasi yang dirancang secara cermat terutama menyangkut perubahan warna dan tekstur sangat membantu dalam menciptakan kesan kontras, variasi dan juga skala yang diinginkan. Mengenali keragaman jenis material berikut variasi tekstur dan warnanya sangat perlu mengingat untuk area yang luas, agar tidak terkesan monoton, dapat pula dipilih tema yang berbeda untuk masing-masing bagian tapak.

3. Biaya

Pemilihan material juga tergantung pada biaya yang akan dikeluarkan, jumlah tenaga manusia yang tinggi dibutuhkan dalam pemasangan bata, batu dan perkerasan pracetak, mengakibatkan biaya untuk jenis perkerasan ini menjadi tinggi. Penggunaan pola yang sulit dan keterbatasan tenaga kerja terlatih bisa menambah rumit masalah pembiayaan selanjutnya.

Menurut Reisig (1995) dalam Kodariyah (2004), area perkerasan dapat mempunyai dampak lingkungan yang berarti, karena perkerasan dapat mengganggu keseimbangan dari sistem air. Untuk tapak-tapak dimana banyak menggunakan tanaman, maka pemilihan perkerasan dianjurkan agar memper- timbangkan tingkat porositasnya, agar air dapat merembes masuk mencapai ke akar tanaman. Apabila dipilih perkerasan yang tidak poros, maka dianjurkan agar di sekeliling tanaman diberi ruang 1 m2 untuk menjamin perolehan air dari tapak sekitarnya.

2.3. Persepsi dan Preferensi

Persepsi adalah suatu gambaran, pengertian serta interpretasi seseorang mengenai suatu objek, terutama bagaimana orang tersebut menghubungkan informasi ini dengan dirinya dan lingkungan dimana ia berada (Porteous, 1977). Menurut Allport (1962), persepsi seseorang terhadap lingkungan tergantung kepada seberapa jauh suatu objek membuat arti terhadap dirinya. Persepsi juga melibatkan derajat pengertian kesadaran, suatu arti, atau suatu penghargaan terhadap objek tersebut. Menurut Lime dan Stanley (1971) persepsi berhubungan dengan suatu proses dimana individu menerima informasi dari lingkungan sosial ataupun fisik, kemudian menafsirkan dalam pengalaman dan sikapnya. Persepsi bukanlah proses yang pasif tetapi proses yang aktif dari suatu interaksi antara seseorang dengan lingkungannya, dan merupakan suatu pencapaian (Hilgard, 1978).

Persepsi masyarakat menurut Porteous (1977) dipengaruhi oleh faktor internal dan eksternal. Faktor internal adalah nilai-nilai dari dalam diri dipadukan dengan hal-hal yang ditangkap panca indera pada proses melihat, merasakan, mencium aroma, mendengar, dan meraba. Faktor-faktor tersebut kemudian dikombinasikan dengan faktor eksternal, yaitu keadaan lingkungan fisik dan sosial, yang kemudian menjadi suatu respon dalam bentuk tindakan. Menurut Brockman dan Merriem (1973), faktor-faktor yang mempengaruhi persepsi adalah jenis kelamin dan umur, latar belakang kebudayaan, pendidikan, pekerjaan, asal/tempat tinggal, status ekonomi, waktu luang, dan kemampuan fisik dan intelektual. Menurut Grilick dalam Porteous (1977), semakin tinggi pendidikan seseorang, maka persepsinya akan semakin baik. Sedang menurut Tood (1987), persepsi seseorang akan ruang tergantung pada ukuran usia dan latar belakang budaya, suasana pikiran, pengalaman-pengalaman masa lalu dan pengharapan- pengharapannya.

Proses yang melandasi persepsi menurut Boedojo, et al. (1986) berawal dari adanya informasi dari lingkungan. Tidak semua informasi diterima dan disadari oleh individu, melainkan diseleksi berdasarkan orientasi nilai yang dimilikinya dan juga pengalaman pribadi (Gambar 3). Kekurangan yang melekat pada informasi, begitupun bagian-bagian yang kabur, dilengkapi sendiri oleh individu,

INFORMASI

ORIENTASI NILAI BUDAYA DAN PENGALAMAN

PERSEPSI

SELEKSI INTERPRETASI PENGUKUHAN

PEMBULATAN SUBYEKTIF

baik melalui imajinasi maupun pikiran dan nalar untuk memperoleh suatu keutuhan dan kebulatan yang bermakna. Keseluruhan informasi yang telah membulat menjadi sesuatu yang utuh, kemudian diberi tafsiran (interpretasi, makna) antara lain atas dasar orientasi nilai dan pengalaman pribadi individu. Keluaran keseluruhan proses ini ialah penghayatan. Antara seleksi, pembulatan dan tafsiran terjadi hubungan ketergantungan, namun ciri khas individualnya diperoleh dari orientasi nilai dan pengalaman pribadi.

Preferensi adalah kecenderungan untuk memilih sesuatu yang lebih disukai daripada yang lain. Menurut Porteous (1977), studi perilaku individu dapat digunakan oleh ahli lingkungan dan para desainer untuk menilai keinginan pengguna (user) terhadap suatu objek yang akan direncanakan. Dengan melihat preferensi dapat memberikan masukan bagi bentuk partisipasi dalam proses perencanaan.

Gambar 3 Proses persepsi (Boedojo, et al., 1986).

Porteous (1977) menyatakan bahwa terdapat hubungan yang kuat antara preferensi dan sikap. Sikap selalu melibatkan preferensi yang merupakan komponen yang mempengaruhi sikap. Preferensi juga dihubungkan dengan kepuasan akibat dari penilaian persepsi yang berulang-ulang.

2.4. Kenyamanan Lanskap

Menurut Marsh (1991), kenyamanan dapat dibentuk melalui 2 hal, yaitu kenyamanan klimatik dan kenyamanan visual. Kenyamanan klimatik dihubungkan dengan kesesuaian faktor-faktor iklim mikro dalam mempengaruhi temperatur kulit dan persepsi manusia terhadap panas dan dingin, yaitu radiasi

matahari, temperatur udara, angin dan kelembaban. Sedangkan kenyamanan visual dihubungkan dengan kesesuaian pemandangan yang ditangkap oleh mata pengamat terhadap lingkungannya melalui persepsi dan preferensi. Kedua bentuk kenyamanan di atas pada suatu lingkungan tidak dapat terbentuk secara spontan, melainkan merupakan interaksi antara objek-objek dalam lanskap dan elemen klimatik. Apabila terbentuk keselarasan dan keseimbangan antara-antara faktor- faktor tersebut, maka kenyamanan lingkungan dapat terciptakan.

Faktor lain yang sering ditambahkan sebagai penunjang kenyamanan yaitu kenyamanan fisik. Kenyamanan fisik berkaitan erat dengan kesesuaian bentuk dan disain objek atau elemen-elemen yang dibangun terhadap lingkungan sekitarnya, misalnya kesesuaian bangku taman, lampu-lampu taman, pedestrian, papan reklame dan infrastruktur lainnya. Kenyamanan fisik ini sering dikaitkan dengan konsep “ergonomis”, yaitu objek atau stuktur yang dibangun secara dimensional dan strukturalnya mengikuti lekuk tubuh manusia penggunanya. Hal ini dimaksudkan agar objek atau struktur yang dibangun dapat optimal dan nyaman untuk digunakan oleh penggunanya.

2.4.1. Kenyamanan Klimatik

Faktor-faktor iklim mikro yang mempengaruhi kenyamanan manusia adalah suhu, radiasi matahari, kelembaban nisbi dan angin. Kenyamanan menurut Albert

dalam Hakim (1991) adalah kenikmatan atau kepuasan di dalam melaksanakan

aktivitasnya. Menurut Tood (1987), seseorang yang terbiasa dengan iklim tropis akan merasa nyaman pada suatu zona yang beberapa derajat lebih hangat dari suhu efektif maksimum yang secara nyaman dialami seseorang dari Inggris. Menurut Laurie (1986), standar kelembaban bagi kenyamanan manusia dalam beraktivitas berkisar antara 40% - 70%, dengan temperatur antara 150C – 270C. Sehingga pada kisaran itu disebut sebagai comfort zone atau zona kenyamanan, yaitu zona atau kisaran dimana temperatur/suhu dan kombinasinya dengan kelembaban, seusai dengan kenyamanan manusia.

Kenyamanan manusia bergantung pada faktor yang berdampak pada temperatur kulit dan persepsi terhadap panas dan dingin. Temperatur optimal bagi tubuh manusia yaitu 37 0C. Perpindahan energi ini pada saat kondisi ekstrim dapat

menciptakan sengatan radiasi atau hipotermia. Tubuh menetralkan panas lewat metabolisme, oleh karena itu panas harus dieliminasi.

Panas dieleiminasi tubuh melalui: radiasi, konveksi dan evaporasi. Energi panas diradiasikan oleh manusia ke lingkungannya. Terdapat dua cara perubahan radiasi, yaitu jika lingkungan lebih dingin daripada tubuh, radiasi akan hilang dari tubuh dan kondisi dingin akan tercipta. Kedua, jika lingkungan lebih panas maka radiasi akan menuju pada tubuh. Panas juga berpindah melalui konveksi, jika udara lebih dingin daripada kulit atau pakaian, transport konvektif panas akan menuju udara. Pendinginan evaporatif yaitu hilangnya panas melalui proses pernafasan dan kontak dengan udara. Penurunan kelembaban dan meningkatnya kecepatan angin akan meningkatakan pendinginan evaporatif.

Pepohonan, semak dan rumput menyamankan temperatur udara pada lingkungan perkotaan melalui kontrol radiasi. Dedauanan menerima, memantulkan, menyerap dan mentransimisikan radiasi. Efektifitasnya bergantung pada kerapatan dan bentuk daun serta pola percabangan. Pepohonan dan vegetasi lainnya juga berfungsi memberikan kenyamanan melalui proses evapo-transpirasi.

Alasan utama mempertimbangkan iklim mikro di dalam disain lanskap adalah untuk menciptakan habitat yang nyaman bagi manusia. Terutamanya, sebuah lanskap tidak akan dipakai oleh manusia apabila tidak mendukung sebuah lingkungan yang nyaman secara termal (Brown and Gillespie, 1995). Aliran energi yang menuju dan keluar dari seseorang dapat dinilai dan keseimbangan yang dihasilkan dapat diestimasi bagaimana kenyamanan seseorang dalam sebuah iklim mikro tertentu. Tujuan dari perencanaan yaitu menciptakan lanskap yang berinteraksi dengan atmosfer menghasilkan iklim mikro, dimana manusia memiliki keseimbangan budget energi mendekati nol (tidak kepanasan dan kedinginan).

2.4.2. Kenyamanan Fisik

Kenyamanan pengguna dalam beraktivitas di ruang lanskap tidak terlepas oleh kenyamanan fisik ruang itu sendiri. Kenyamanan fisik muncul karena fasilitas-fasilitas atau struktur yang dibangun di dalam ruang tersebut, termasuk faktor tanaman. Kelengkapan fasilitas atau struktur tersebut tergantung ruang lanskapnya, misalnya pada lanskap jalan, fasilitas yang melengkapinya antara

lain: jalur pedestrian, halte dan tempat tunggu, rambu-rambu jalan, papan iklan

dan street furniture lainnya. Sedangkan pada lanskap taman, fasilitas penunjang

kenyamanan fisik antara lain: jogging track, bangku dan meja taman, lampu taman, badan-badan air buatan (seperti air mancur, kolam, danau atau situ buatan),

shelter, playground untuk anak-anak dan lainnya.

Fasilitas atau struktur bangunan yang dibuat tersebut harus mengikuti standar-standar dimensi manusia penggunanya. Kenyamanan fisik ini sering dikaitkan dengan konsep “ergonomis”, yaitu objek atau stuktur yang dibangun secara dimensional dan strukturalnya mengikuti lekuk tubuh manusia penggunanya. Hal ini dimaksudkan agar objek atau struktur yang dibangun dapat optimal dan nyaman untuk digunakan oleh penggunanya.

Sebagai contoh pada lanskap jalan, fasilitas atau struktur bangunan yang dibuat harus sesuai dengan dimensi manusia penggunanya, seperti lebar jalur pedestrian disesuaikan volume pengguna (rendah, sedang, tinggi) dan karakter penggunaannya (berjalan di tempat umum, berjalan di tempat belanja, berjalan normal atau berjalan santai). Selain dimensi/ukuran pedestrian juga perlu diperhatikan mengenai bahan perkerasannya, disain dan pola, sudut kemiringan dan lainnya. Sehingga fasilitas atau struktur jalur pedestrian tersebut secara fungsional mampu mengakomodasikan pergerakan pengguna secara nyaman. Hal ini juga berlaku pada fasilitas/struktur atau street furniture lainnya pada lanskap jalan tersebut, halte dibangun berdasarkan potensi volume pengguna yang akan menggunakannya, standar ergonomi manusia yang nyaman untuk duduk, kesesuaian peletakan pada konsentrasi pengguna. Rambu-rambu jalan, papan petunjuk, papan iklan dibuat sesuai dengan sudut ketinggian dan jarak pandang mata, dimensi dan disainnya tidak mengganggu pemandangan dan standar teknis lainnya.

Salah satu objek lanskap lain yang memiliki pengaruh besar dalam membentuk kenyamanan fisk melalui modifikasi iklim mikro, yaitu vegetasi. Vegetasi memiliki peranan besar dalam memodifikasi elemen-elemen iklim mikro dalam lingkungan, baik radiasi matahari, temperatur udara, angin dan kelembaban. Vegetasi baik secara individu atau soliter maupun dalam suatu konfigurasi memiliki nilai penting di dalam menciptakan kenyamanan.

Konfigurasi pohon-pohon menciptakan naungan, keindahan dan keuntungan- keuntungan lainnya.

2.4.3. Kenyamanan Visual

Kenyamanan visual dihubungkan dengan kesesuaian pemandangan yang ditangkap oleh mata pengamat terhadap lingkungannya melalui persepsi dan preferensi. Pohon dan semak baik secara individu maupun kelompok dapat membentuk keindahan pada seluruh susunan. Keindahan dapat muncul dari garis, bentuk, warna dan tekstur yang tampak. Pepohonan dan semak membingkai pemandangan, memperhalus garis-garis arsitektural, meningkatkan dan meleng- kapi elemen-elemen arsitektural, menyatukan elemen-elemen yang beragam dan menciptakan suasana alami.

Sedang keindahan menurut Hakim (1991) merupakan hal yang perlu diperhatikan sekali dalam hal penciptaan kenyamanan karena hal tersebut dapat mencakup masalah kepuasan batin dan panca indera. Pemandangan sebagian besar didasarkan pada estetika (buatan manusia), tetapi pada beberapa hal juga berhubungan dengan konservasi dan preservasi. Pemandangan yang merupakan suatu karya seni dalam lanskap (karya seni alam) lebih bersifat artifisial, yang memandang alam bukan sebagai suatu totalitas tetapi hanya memandang sebagian atau relatif jarang memperhatikan. Bentuk pengartikulasian lingkungan oleh seseorang dilakukan melalui hubungan langsung dengan alam dan selalu mengobservasinya.

Persepsi kita merupakan dasar utama bagi fungsi penglihatan. Perwujudan ruang atau spasial dicapai melalui jarak pada elemen yang terhalang oleh pandangan. Perwujudan ruang dicapai melalui tekstur dan naungan. Pepohonan dan semak membentuk dinding dan kanopi pada lanskap dan bersama dengan komponen arsitektural lainnya dapat digunakan untuk mendekatkan, mengisi, membingkai, mengubungkan, memperluas, mengurangi dan mengartikulasi ruang eksterior.

Perilaku estetika manusia tergantung pada tingkat ketidaktertarikan dan jarak konsepsi yang diartikan dalam asumsi-asumsi terhadap objek. Tindakan ini dibagi menjadi model objek, model lanskap atau pemandangan, dan model lingkungan. Bentuk dari tindakan tersebut akan mempengaruhi penilaian

seseorang terhadap karya seni hubungannya dengan lanskap, sejauh mana orang tersebut mampu mengidentifikasi dan mengklasifikasikan gaya-gaya alam yang diterimanya termasuk model atau objek (baik artifisial atau alami). Manusia membuat objek menjadi sebuah karya seni (alam), yang merupakan wujud metafora alam, objek atau model lanskap, unit, totalitas terbatas atau karya spasial, dimana seseorang bergerak.

Daniel dan Booster (1976) mengungkapkan bahwa, sentimen dan pernyataan-pernyataan publik yang memerlukan pertimbangan estetika dan konsekuensi tak terukur lainnya terhadap tata guna lahan publik harus dipertimbangkan. Keindahan pemandangan lanskap adalah salah satu sumberdaya alami yang paling penting. Dari beberapa sumberdaya yang kita pakai, dipreservasi dan dicoba untuk dikembangkan, keindahan pemandangan (scenic

beauty) telah terbukti merupakan sumberdaya yang paling sulit untuk dihitung

dengan objektif secara ilmiah. Hal ini disebabkan karena keindahan hanya secara parsial didefinisikan oleh karakteristik lingkungan dan tergantung pada penilaian manusia.

2.5. Pendugaan Keindahan Pemandangan

Menurut Daniel dan Booster (1976), keindahan pemandangan lanskap merupakan salah satu sumber daya alam yang sangat penting walaupun secara obyektif keindahan pemandangan sulit untuk diukur. Namun pendekatan yang bisa mendukungnya bahwa keindahan pemandangan lanskap tidak hanya ditentukan oleh karakteristik lingkungan dan kekayaan lanskapnya saja namun sebagian besar ditentukan oleh penilaian manusia.

Lebih lanjut Daniel dan Booster (1976) juga mengemukakan, bahwa pendugaan keindahan dapat menggunakan metode pengukuran keindahan pemandangan (scenic beauty) yang ditentukan oleh penilaian responden sebagai persepsi manusia terhadap suatu lanskap. Menurut Dharmawandhani (1997), penilaian responden sebagai pengguna tapak merupakan partisipasi dari masyarakat umum untuk memberikan tanggapan kepada perencana (planner), karena pendapat dari responden sebagai masyarakat umum digunakan dalam pembentukan kebijaksanaan atau keputusan dalam perencanaan suatu lingkungan.

Scenic Beauty Estimation (SBE) merupakan metode yang menyediakan ukuran secara kuantitatif dari suatu hal yang disukai keindahannya terhadap alternatif sistem manajemen lanskap alam. SBE menunjukkan arti keefektifan dan keobjektifan dari keputusan scenic beauty dari lanskap alam secara umum dan juga menduga konsekuensi keindahan dari alternatif tata guna lahan. Scenic

beauty diartikan sebagai keindahan alami, estetik lanskap atau sumber

3.1. Tempat dan Waktu Penelitian

Penelitian ini dilaksanakan di jalur pedestrian kawasan Jalan M.H. Thamrin – Jend. Sudirman, Jakarta (Gambar 4). Jalur pedestrian pada Jalan M.H. Thamrin yang diamati adalah sisi Timur (T) dan Barat (B) dari Air Mancur Bank Indonesia sampai dengan Jembatan Dukuh Atas, sedangkan pada Jalan Jenderal Sudirman yang diamati adalah sisi Timur (T) dan Barat (B) dari Jembatan Dukuh Atas sampai Tugu Api Nan Tak Kunjung Padam, dengan total panjang ± 6200 meter. Pengamatan dan pengukuran dilaksanakan mulai bulan Mei 2007 sampai dengan Oktober 2007. Analisis dan penyelesaian studi dilakukan hingga Juli 2009.

Gambar 4 Peta lokasi penelitian.

100

300 500

900 PETA DKI JAKARTA

A B C D E F KETERA NG A N : A : A ir Ma nc ur BI B : Bund e ra n HI C : Je m b a ta n Dukuh A ta s D : Fly - Ove r Se m a ng g i E : Ko m p le ks G e lo ra Bung Ka rno F : Tug u Ap i Na n Ta k Kunjung Pa d a m : Lo ka si Stud i A – C : Jl. M.H. Tha m rin C – F : Jl. Je nd . Sud irm a n m e te r

3.2. Metode Penelitian

3.2.1. Tahap Pengumpulan Data

Pengumpulan data dilakukan dengan cara survey lapang, studi dokumentasi/pustaka dan wawancara. Data yang dikumpulkan meliputi data mengenai aspek fisik ruang, aspek kepuasan pengguna dan aspek kebijakan dan pengelolaan, baik berupa data primer yang diperoleh melalui pengamatan langsung dan wawancara ataupun data sekunder yang diperoleh melalui studi pustaka.

Gambar 5 Proses studi.

Data mengenai aspek fisik ruang terdiri atas data iklim (umum dan mikro), elemen fisik (aksessibilitas, lebar pedestrian, disain paving, bahan perkerasan,

street furniture, vegetasi dan elemen fisik lainnya), serta data mengenai visual,

Pendalaman teori sesuai tujuan dan ruang lingkup studi.

Penetapan lokasi studi:

-Jalur pedestrian Jalan M.H. Thamrin – Jend. Sudirman, Jakarta Pusat.

-Panjang area studi ± 6200 meter, melintang Selatan- Utara, dengan area studi di sisi Barat-Timur.

Pengambilan data primer dan sekunder mengenai kondisi tapak.

Aspek Kebijakan dan Pengelolaan

Aspek Kepuasan Pengguna Aspek Fisik Ruang

Elemen Fisik : -Aksessibilitas; -Lebar pedestrian; -Disain paving; -Bahan perkerasan; -Street furniture; -Vegetasi; -Elemen lainnya. Kondisi Fisik/Fungsi Iklim : -Umum; -Mikro: ƒSuhu; ƒKelembaban. Kondisi Klimatik Kualitas Visual :

View di dalam ruang pedestrian.

Kualitas Visual (SBE)

Data mengenai Persepsi dan Preferensi

Chi Square : Persepsi dan Preferensi

-Kebijakan-kebijakan terkait penyediaan dan pengelolaan ruang pedestrian. -Pengelola dan pengelolaan

ruang pedestrian.

Deskriptif : -Dukungan; -Kendala.

Analisis keterkaitan antara aspek fisik dan aspek kenyamanan pengguna (kenyamanan klimatik, fisik dan visual).

Saran kebijakan dan pengelolaan

Rekomendasi perencanaan dan pengelolaan ruang pedestrian Jalan M.H. Thamrin – Jend. Sudirman, Jakarta Pusat.

Tahap Pra-Survey Tahap Survey/ Pengumpulan Data Analisis dan Sintesis

yaitu pemandangan (view dalam ruang pedestrian). Aspek kepuasan pengguna diperoleh melalui data persepsi dan preferensi pengguna ruang dengan cara membagikan kuisioner mengenai faktor-faktor kenyamanan dalam ruang pedestrian. Sedangkan aspek kebijakan dan pengelolaan terdiri atas kebijakan- kebijakan yang terkait dengan penyediaan dan pengelolaan ruang pedestrian, serta

Dokumen terkait