• Tidak ada hasil yang ditemukan

Predicting Spatial Distribution of Stand Volume Using Geostatistics

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2017

Membagikan "Predicting Spatial Distribution of Stand Volume Using Geostatistics"

Copied!
23
0
0

Teks penuh

(1)

Trop. For. Manage. J. X (1) : 15-27 (2004)

NILAI EKONOMI AIR DOMESTIK DAN IRIGASI PERTANIAN :

Studi Kasus Di Desa-Desa Sekitar Kawasan Taman Nasional

Gunung Halimun

The Economic Values of Water for Domestic and Agricultural Uses

(Case Study in the Villages Surrounding Halimun Mountain

National Park Area)

WIDADA1) dan DUDUNG DARUSMAN2)

ABSTRACT

The hydrological function of Gunung Halimun National Park (GHNP) has enormous benefit for local people. To predict the monetary benefit of water stemming from the park, the research was conducted by taking 13 representative samples of villages surrounding GHNP. Through the economic valuation, this research found out that the total economic value (TEV) water was Rp 6.64 billion per year, consisting of water value for domestic uses (Rp 5.22 billion), and water value for agriculture uses (Rp 1.42 billion). The TEV of the water equal to Rp 6.64 billion (Rp 173.278,47 per ha) is representing economic benefit value of water stemming from area TNGH for the community of 51 villages which abut on direct by TNGH. The monetary value certainly will be bigger if we look at the area broader as the all area of watershed function. The enormous benefit value of water (domestic and the agriculture) prove that development of conservation area (in this case is GHNP) do not oppose against economic development.

Keywords: Nilai ekonomi air, surplus konsumen, air domestik, air pertanian, taman nasional, kawasan penyangga

PENDAHULUAN

Latar Belakang

Hutan berfungsi sebagai pengatur tata air, yaitu dengan cara menahan air hujan guna mengurangi erosi permukaan dan meresapkannya ke dalam tanah, dan selanjutnya dilepas secara teratur ke dalam berbagai aliran air permukaan dan di bawah permukaan, sehingga distribusinya lebih baik bagi berbagai kepentingan di luar hutannya itu sendiri (Darusman, 1993). Taman Nasional Gunung Halimun (TNGH) sebagai kawasan hutan alam pegunungan terluas yang tersisa di Pulau Jawa dan merupakan daerah tangkapan air bagi 50 sungai dan anak sungai. Airnya mengalir sepanjang tahun melalui daerah pertanian dan permukiman di tiga kabupaten, yaitu Bogor, Sukabumi, dan Lebak (Balai TNGH,

1)

Mahasiswa S3 Program Studi IPK Sekolah Pasca Sarjana IPB, Kampus IPB Darmaga Bogor

2)

(2)

2001). Dengan demikian kawasan hutan TNGH berfungsi sebagai pengatur tata air sangat penting dan perlu dijaga kelestariannya.

Masyarakat desa penyangga TNGH telah lama menyadari pentingnya fungsi tersebut. Hal ini tercermin dari penerapan konsep leuweung tutupan, yaitu hutan yang berfungsi sebagai sumber mata air (sirah cai) sehingga harus benar-benar terjaga kelestariannya (Adimihardja, 1992). Meskipun demikian, mereka belum mengetahui manfaat ekonomi yang terukur secara moneter karena belum adanya penilaian ekonomi secara kuantitatif, sehingga mengakibatkan kurangnya pemahaman tentang pentingnya fungsi hutan bagi kesejahteraan manusia secara lebih lengkap dan mendalam (Darusman, 1993). Di samping itu, belum adanya informasi nilai manfaat ekonomi fungsi hidrologis TNGH tersebut dapat menyebabkan masih rendahnya dukungan dari masyarakat termasuk dari para stakeholder terhadap pelestaraian ekosistem TNGH.

Berdasarkan hal-hal tersebut di atas, penelitian nilai ekonomi manfaat hidrologis kawasan hutan TNGH dilakukan. Mengukur nilai ekonomi manfaat hutan, khususnya manfaat hidrologi secara obyektif dan kuantitatif, maka alokasi pemanfaatan hutan menjadi semakin optimum dan semakin dapat dipertahankan. Informasi hasil pengukuran tersebut diharapkan dapat dijadikan landasan untuk meningkatkan pemahaman masyarakat terhadap manfaat ekonomi dari jasa ekosistem kawasan hutan sebagai pengatur tata air dan sumber mata air, dan menarik dukungan berbagai stakeholders bagi upaya pembangunan dan konservasi ekosistem hutan (Darusman, 1993).

Tujuan Penelitian

Tujuan penelitian adalah sebagai berikut:

1. Mengidentifikasi peubah-peubah sosial ekonomi yang mempengaruhi konsumsi air domestik dan pertanian yang bersumber dari kawasan TNGH oleh masyarakat desa penyangga TNGH.

2. Menduga kurva permintaan air domestik dan pertanian yang merupakan hubungan antara volume air yang dikonsumsi dengan biaya pengadaan.

3. Menduga nilai ekonomi air sebagai manfaat hidrologi TNGH, khususnya untuk memenuhi kebutuhan domestik dan pertanian masyarakat desa penyangga TNGH.

METODOLOGI

Penelitian dilaksanakan di Taman Nasional Gunung Halimun yang meliputi Kabupaten Bogor dan Kabupaten Sukabumi (Propinsi Jawa Barat) dan Kabupaten Lebak (Propinsi Banten) yang secara keseluruhan mencakup 51 desa dengan jumlah penduduknya adalah 219.723 jiwa.

(3)

sekitar TNGH (kawasan hutan dan perkebunan). Walaupun demikian, kemungkinan terjadinya interaksi dari kondisi atau karakteristik desa tersebut diabaikan. Atas dasar tersebut maka diambil 13 desa sampel sebagai berikut:

a) Kabupaten Bogor: Desa Cisarua (Kecamatan Sukajaya), Desa Malasari (Kecamatan Nanggung), dan Desa Purabakti (Kecamatan Pamijahan).

b) Kabupaten Sukabumi: Desa Sirnarasa (Kecamatan Cisolok), Desa Cihamerang dan Desa Cipeuteuy (Kecamatan Kabandungan), dan Desa Gunung Malang (Kecamatan Cikidang).

c) Kabupaten Lebak: Desa Cisungsang, Situmulya, Desa Kujangsari, dan Desa Citorek (Kecamatan Cibeber), serta Desa Lebak Situ dan Desa Ciladaen (Kecamatan Cipanas).

Pengumpulan data lapang dilakukan dengan menggunakan metoda survey yang dilaksanakan selama enam bulan, yaitu pada bulan Januari sampai dengan Juni 2003.

Lingkup dan Batasan Penelitian

Konsumsi air domestik (rumah tangga) meliputi air untuk kebutuhan minum dan memasak, air untuk mandi dan mencuci, serta untuk kakus. Air pertanian dibatasi pada air yang digunakan untuk pengairan air sawah. Dalam hal ini, yang dimaksud dengan sawah adalah sawah yang diairi dari aliran air (mata air, selokan, atau sungai) yang bersumber dari TNGH. Hal ini didasarkan pada asumsi bahwa kontinuitas sumber air tersebut terjadi karena keberadaan ekosistem TNGH. Air yang jatuh di daerah tangkapan (catchment area) diresapkan ke dalam tanah, disimpan sebagai tabungan, kemudian dikeluarkan sebagai mata air yang merupakan sumber air sungai-sungai yang mengairi daerah yang dilaluinya.

Harga air didasarkan pada pendekatan biaya pengadaan, yaitu korbanan yang harus dikeluarkan untuk dapat mengkonsumsi/menggunakan air tersebut (Darusman, 1993; Setiawan, 2000) dan analisis data dilakukan dengan menggunakan metoda regresi berganda dengan prosedur stepwise.

Total nilai ekonomi air domestik didasarkan pada konsumsi air domestik per kapita sehingga pengganda yang digunakan adalah jumlah penduduk di lokasi penelitian yang air domestiknya bersumber dari TNGH. Total nilai ekonomi air pertanian didasarkan pada luas panen (ha/tahun) sehingga pengganda yang digunakan adalah luas panen sawah per tahun yang airnya bersumber dari TNGH.

HASIL DAN PEMBAHASAN

Karakteristik Umum Responden

(4)

tinggi di daerah tersebut; sementara aksessibilitas tempat sarana pendidikan dan daya jangkau masyarakatnya rendah.

Responden pada umumnya (90,64%) bermatapencaharian dalam bidang pertanian; baik pertanian sawah irigasi maupun pertanian lahan kering. Sawah di sekitar TNGH terdapat di lereng-lereng bukit, berbentuk terasering yang bertingkat-tingkat atau memanjang sepanjang pinggiran sungai dengan hamparan yang sempit. Di daerah ini hampir tidak terdapat sawah dalam hamparan datar dan luas. Pengairan sawah umumnya dilakukan secara sederhana, air mengalir dari sawah yang satu ke sawah yang lain. Air sawah bersumber dari mata air atau dari badan sungai di daerah hulu yang dialirkan melalui saluran air (selokan) yang dibuat secara bergotong royong.

Rata-rata luas areal panen bervariasi antara 0,05 ha s.d. 3 ha per tahun, dan sebagian besar (83%) responden memiliki luas panen kurang dari 1 ha per tahun. Kepemilikan luas panen selain merefleksikan luas pemilikan lahan juga mencerminkan ketersediaan air karena luas panen merupakan hasil kali antara luas lahan dengan frekuensi panen. Frekuensi panen selain ditentukan oleh ketersediaan air juga oleh adat istiadat setempat. Sawah yang dapat diairi sepanjang tahun dapat memiliki frekuensi panen 2 s.d. 3 kali per tahun. Pendapatan per kapita keluarga responden bervariasi antara Rp 11.667 s.d. Rp 500.000 per orang per bulan dengan rata-rata Rp 93.209,70 per orang per bulan.

Pemanfaatan Air Rumah Tangga

Distribusi jumlah masyarakat berdasarkan sumber air yang digunakan dapat dilihat pada Gambar 1. Pada Gambar 1 dapat dilihat bahwa 90% masyarakat menggunakan mata air (belik) dan 10% menggunakan sumur gali untuk kebutuhan minum dan memasak. Sementara untuk kebutuhan mandi, cuci, dan kakus masing-masing 90% masyarakat menggunakan mata air (belik) dan sungai. Penggunaan sumbur gali dan sumber lainnya relatif masih jarang. Hal ini menunjukkan bahwa masyarakat sekitar TNGH tergantung pada sumber air yang tersedia secara alami.

0% 10% 20% 30% 40% 50% 60% 70% 80% 90% 100%

Mata Air (Belik) Sungai Sumur Gali Sumber Lain Minum-masak Mandi Cuci Kakus

(5)

Banyaknya anggota masyarakat yang menggunakan sungai sebagai sarana mandi, mencuci dan kakus nampaknya lebih dipengaruhi faktor sosial ekonomi. Anggota masyarakat yang memiliki tingkat pendapatan dan pendidikan lebih tinggi biasanya enggan melakukan mandi dan buang air di sungai karena memiliki kemampuan untuk membangun kamar mandi dan WC di dalam atau di sekitar rumahnya.

Dalam menggunakan air yang bersumber dari mata air atau sungai, air dialirkan ke rumah-rumah dengan dengan menggunakan saluran, baik yang dibuat secara kelompok maupun perorangan. Secara kelompok masyarakat membangun instalasi penampungan air primer (utama) dan sekunder (Gambar 2). Dengan menggunakan pipa, air dari bagian hulu sungai atau mata air dialirkan ke bak penampungan utama (primer), dari bak penampungan utama air dialirkan lagi ke bak penampungan sekunder yang juga berfungsi sebagai tempat pemandian umum. Dari bak sekunder, rumah tangga mengambil langsung dengan menggunakan ember atau mengalirkannya ke rumah-rumah dengan menggunakan selang. Di bak penampungan sekunder yang berfungsi sebagai pemandian umum, masyarakat juga dapat mandi dan mencuci.

Gambar 2. Sistem pengaliran air dari sumber (mata air) melalui bak primer dan sekunder sampai ke bak rumah tangga

Apabila saluran dibuat untuk kepentingan satu atau beberapa rumah tangga, saluran tersebut dibuat dari sumber air (mata air atau sungai) langsung ke rumah, tanpa melalui bak primer dan sekunder. Ini biasanya dilakukan jika jarak antara sumber air dengan rumah tidak terlalu jauh dan jumlah rumah tangga yang menggunakan sumber air tersebut tidak banyak.

Umumnya masyarakat belum menerapkan penghematan dalam penyediaan air. Setelah sampai di tempat penampungan, air dibiarkan terus mengalir sehingga terbuang ke saluran pembuangan. Hal ini disebabkan air tersedia secara bebas. Selain biaya pembuatan saluran, untuk setiap volume air yang sampai ke rumah tidak diperlukan korbanan tambahan.

Bak Utama (Primer) Bak Kedua

(Sekunder)

Bak Kedua (Sekunder)

Bak Kedua (Sekunder) Sumber air

Pemaanfaatan langsung

 Mandi

 Mencuci Bak Rumah Tangga Bak Rumah Tangga

Saluran pembuangan/selokan

(6)

Pemanfaatan Air Pertanian

Pengairan sawah di sekitar TNGH dilakukan secara sederhana; dari sumbernya air dialirkan ke sawah melalui selokan atau saluran irigasi bersifat semi permanen (Gambar 3). Sumber air ini dapat berupa mata air atau bagian hulu dari suatu sungai. Selokan atau saluran irigasi umumnya sedapat mungkin dibuat mengikuti garis kontur. Pembuatan selokan atau saluran irigasi dilakukan secara bergotong royong atas swadaya masyarakat atau dengan bantuan dana pemerintah melalui subsidi desa. Untuk menjaga kontinuitas aliran irigasi sawah tersebut maka setiap pemilik sawah atau penggarap melakukan pemeliharaan dan perbaikan saluran irigasinya pada saat pengolahan tanah untuk persiapan penanaman.

Gambar 3. Saluran irigasi sederhana atau irigasi dengan bangunan saluran semi permanen

(7)

Faktor-faktor yang Mempengaruhi Konsumsi Air domestik

Hasil analisis regresi antara konsumsi air (Y) dengan biaya pengadaan (X1) dan

lima peubah sosial ekonomi (X2,X3,X4, X5,X6)dengan metode stepwise menunjukkan

bahwa konsumsi air rumah tangga tidak dipengaruhi oleh pendapatan perkapita (X2), umur

(X3), dan pendidikan (X4), sedangkan peubah yang berpengaruh adalah X1, X5,dan X 6.

Model persamaan sebagai berikut:

Y = 58.2 - 0.0435 X1 - 1.80 X5 - 0.105 X6,

dalam hal ini:

Y = konsumsi air (m3 per orang per tahun), X1 = biaya pengadaan air (Rp per m

3

),

X2 = pendapatan per kapita (Rp per orang per bulan),

X3 = umur kepala keluarga (tahun),

X4 = pendidikan kepala keluarga (tahun),

X5 = jumlah anggota keluarga (orang),

X6 = jarak ke sumber air (meter).

Model tersebut sangat nyata (P = 0,00), dengan koefisien determinasi (R2) model adalah 94,9%, artinya 94,9% keragaman yang terjadi pada konsumsi air disebabkan oleh biaya pengadaan, jumlah anggota keluarga, dan jarak ke sumber air. Persamaan tersebut menunjukkan bahwa konsumsi air berkorelasi negatif dengan biaya pengadaan, makin besar biaya pengadaan konsumsi per orang dalam keluarga akan semakin menurun. Ini sesuai dengan teori permintaan barang pada umumnya, makin tinggi harga permintaan makin menurun.

Konsumsi air berkorelasi negatif dengan jumlah anggota keluarga. Walaupun masyarakat pada umumnya menggunakan air mata air (belik) dan sungai, tetapi air tersebut disediakan di rumah dengan cara mengangkut atau mengalirkannya dengan menggunakan selang. Air tersebut disediakan dalam bak dan digunakan untuk berbagai keperluan. Kecuali untuk minum dan memasak, biasanya disediakan dalam tempat terpisah. Pada dasarnya ketersediaan air tersebut untuk seluruh keluarga adalah terbatas. Oleh karena itu, makin banyak jumlah anggota keluarga jumlah konsumsi air per orang makin menurun. Keluarga melakukan upaya-upaya penghematan dengan membatasi pamakaian.

Konsumsi air juga berkorelasi negatif dengan jarak ke sumber air, makin jauh jarak ke sumber air konsumsinya makin menurun. Ini berarti makin jauh ke sumber air maka jumlah penggunaan air oleh masyarakat juga berkurang. Hal ini disebabkan makin jauh ke sumber air kemampuan untuk menyediakan air di rumahnya semakin berkurang. Dalam

keadaan penyediaan air tersebut diangkut dengan menggunakan “jrigen” atau ember,

makin jauh tempat pengambilan frekuensi pengambilannya semakin berkurang dan volume yang diambil dalam setiap pengambilan juga berkurang. Demikian juga jika pengadaannya dialirkan menggunakan selang. Karena pengaliran dilakukan secara estafet maka makin jauh dari sumber air, air yang tersedia semakin berkurang.

(8)

dijadikan sebagai peubah terikat dan Y sebagai peubah bebas) persamaan menjadi X1=

1053.817 – 22.98851Y. Dalam keadaan batas bawah konsumsi air (m3/orang/tahun) atau (Y) = 0 dan batas atas 40.097 m3/orang/tahun diperoleh rata-rata kesediaan membayar (berkorban), nilai yang dibayarkan, dan surplus konsumen masing-masing sebesar Rp 23.774,8 per orang per tahun, Rp 5.294,7 per orang per tahun dan Rp 18.480,1 per orang per tahun. Dengan asumsi bahwa seluruh penduduk di desa-desa yang berbatasan dengan TNGH memiliki perilaku konsumsi yang sama, total nilai ekonomi air bagi masyarakat yang berbatasan langsung dengan TNGH dapat dihitung sebagaimana disajikan pada Tabel 1 dan secara grafis disajikan pada Gambar 4.

0 200 400 600 800 1000 1200

0 10 20 30 40 50

Konsumsi Domestik (m3/kapita/tahun)

B

ia

y

a

P

e

n

g

a

d

a

a

n

A

ir

(

R

p

/m

3

)

X1= 1053.817 – 22.98851Y Surplus Konsumen

Nilai yang Dibayarkan

Gambar 4.Diagram perbandingan antara nilai yang dibayarkan dan surplus konsumen nilai air domestik bagi masyarakat desa yang berbatasan langsung dengan Taman Nasional Gunung Halimun

(9)

cukup tersedia (terutama dalam bentuk mata air dan air sungai) sehingga untuk mendapatkannya tidak perlu banyak korbanan.

Tabel 1. Total nilai air bagi masyarakat desa yang berbatasan langsung dengan TNGH

Nilai ekonomi Contoh (Rp/orang/thn)

Populasi (Orang)

Total Nilai (Rp/tahun)

Kesediaan membayar 23.774,8 219.723 5.223.870.380

Nilai yang dibayarkan 5.294,7 219.723 1.163.367.368

Surplus konsumen 18.480,1 219.723 4.060.503.012

Faktor-faktor yang Mempengaruhi Konsumsi Air Pertanian

Untuk nilai air pertanian, hasil analisis regresi dengan metoda stepwise antara luas panen sawah yang diairi dari TNGH dengan biaya pengadaan (biaya pengaliran air dari sumber ke sawah) dan lima peubah sosial ekonomi lainnya diperoleh persamaan permintaan sebagai berikut.

Y = 0,404 -0,000002 X1 -0,000410 X3 + 0,00006 X5 + 0,154 X6,

dalam hal ini:

Y = luas areal panen sawah per tahun (ha)

X1 = biaya pengadaan, yaitu biaya yang dikeluarkan untuk mengalirkan air dari sumber

ke sawah (Rp per tahun)

X2 = penghasilan keluarga (Rp per keluarga per bulan)

X3 = umur kepala keluarga (tahun)

X4 = jarak ke sumber air (m)

X5 = jumlah anggota keluarga (orang)

X6 = frekuensi panen per tahun (kali)

Persamaan tersebut menunjukkan bahwa luas areal panen tidak dipengaruhi oleh penghasilan keluarga (X2) dan jarak ke sumber air (X4). Model tersebut sangat nyata (P =

0,00), dengan koefisien determinasi (R2) model adalah 86,6%, artinya 86,6% keragaman yang terjadi pada konsumsi air pertanian disebabkan oleh biaya pengadaan (X1), umur

kepala keluarga (X3), jumlah anggota keluarga (X5), dan frekuensi panen per tahun (X6).

Luas panen areal ternyata berkorelasi negatif dengan biaya pengadaan air dan umur kepala keluarga. Artinya makin tinggi biaya pengadaan air, luas areal panen semakin menurun. Luas areal panen merefleksikan konsumsi air pertanian, semakin luas areal panen air yang dipergunakan semakin banyak. Sementara biaya pengadaan merefleksikan harga air, yaitu korbanan yang harus dikeluarkan untuk mendapatkan atau mengalirkan air ke sawah sehingga sawah dapat berproduksi. Kondisi ini sesuai dengan teori ekonomi bahwa semakin mahal harga, konsumsi akan semakin menurun.

(10)

tenaga mengolah lahan. Sistim pertanian yang diterapkan masyarakat masih bersifat tradisional, pengolahan lahan dilakukan dengan cara mencangkul dan dilakukan setiap musim tanam. Dalam usaha pertanian ini, di samping sebagai pemimpin, kepala keluarga berfungsi sebagai motor penggerak dalam seluruh tahapan kegiatan pertanian sehingga perannya sangat menentukan. Semakin tua kemampuan atau energi petani umumnya semakin lemah, sehingga kemampuan mengolah lahan semakin menurun dan luas areal panen pun menurun.

Luas panen berkorelasi positif dengan jumlah anggota keluarga. Kegiatan pertanian di sekitar TNGH merupakan usaha yang melibatkan seluruh anggota keluarga (Bapak, Ibu, dan anak-anak). Oleh karena itu, makin banyak jumlah anggota keluarga, luas panennya makin meningkat karena kemampuan pengolahan lahannya makin meningkat (makin luas lahan yang dapat diolah).

Dalam keadaan peubah X3, X5 dan X6 dianggap tetap (dalam hal ini digunakan nilai

rata-ratanya) model permintaan tersebut diubah menjadi Y = 0.651579 – 0.000002X1 dan

diinversi menjadi X1= 325789.3 – 500000Y. Dalam keadaan batas bawah luas panen (Y)

= 0 dan batas atas 0,31917 ha diperoleh rata-rata kesediaan membayar (berkorban), nilai yang dibayarkan, dan surplus konsumen masing-masing sebesar Rp 78.414,8 per ha per tahun, Rp 53.047,43 per ha per tahun dan Rp 25.467,37 per ha per tahun.

Dengan asumsi seluruh luas sawah desa-desa penyangga TNGH 18.077,54 ha mendapat pengairan dari TNGH, maka total nilai air pertanian (sawah) bagi masyarakat desa yang berbatasan langsung dengan TNGH adalah sebagaimana disajikan pada Tabel 2 dan Gambar 5.

Tabel 2. Total nilai air sawah bagi masyarakat desa yang berbatasan langsung dengan TNGH

Nilai ekonomi Contoh (Rp/ha/thn)

Populasi (ha)

Total Nilai (Rp/tahun) Kesediaan membayar 78.414,80 18.077,54 1.417.546.683,6 Nilai yang dibayarkan 53.047,43 18.077,54 958.967.037,7 Surplus konsumen 25.467,37 18.077,54 460.387.399,9

Data pada Tabel 2 dan Gambar 5 menunjukkan bahwa surplus konsumen yang diperoleh masyarakat dari air sawah dibanding dengan air domestik relatif kecil. Hal ini antara lain dikarenakan saluran air yang terdapat di areal pertanian mereka bersifat sangat sederhana, tidak permanen sehingga setiap musim tanam saluran tersebut harus dibuat lagi atau diperbaiki.

Nilai ekonomi air total sebesar Rp 6,64 milyar (Rp 173.278,47 per ha) merupakan nilai manfaat TNGH sebagai penyedia air bagi masyarakat 51 desa penyangga yang berbatasan langsung dengan TNGH yang luasnya 77.835 ha. Nilai tersebut mencakup nilai air domestik sebesar Rp 5,22 milyar (Rp 136.192,86 per ha) dan nilai air pertanian sebesar Rp 1,42 milyar (Rp 37.048,63 per ha).

(11)

mendapatkan air domestik umumnya berupa uang tunai untuk pembelian ember, gayung, selang, jrigen, dan untuk pembuatan bak penampungan air di dalam rumah. Uang tunai tersebut diserap oleh para pedagang di sekitar TNGH. Biaya pengadaan air irigasi pada umumnya meliputi biaya pembuatan dan biaya perawatan saluran irigasi agar air mengalir ke sawah secara terus menerus. Biaya tersebut dapat berupa tenaga yang dikeluarkan oleh petani sendiri atau berupa uang yang dikeluarkan petani dan diserap oleh buruh yang mengerjakan pembuatan atau perawatan saluran tersebut.

Hasil perhitungan nilai ekonomi air domestik bagi masyarakat desa yang berbatasan langsung dengan TNGH sebesar Rp 5,22 milyar tersebut menunjukkan bahwa pengeluaran aktual masyarakat hanya sebesar 22% dari total nilai ekonomi air. Sebagian besar (78%) merupakan surplus konsumen atau nilai kesejahteraan yang diperoleh masyarakat dari TNGH yang berperan sebagai penyedia air.

0 50000 100000 150000 200000 250000 300000 350000

0 0,1 0,2 0,3 0,4 0,5 0,6 0,7

Luas Panen per Tahun (ha)

B

ia

y

a

P

e

ng

a

da

a

n

A

ir

(

R

p/

ta

hu

n)

Surplus Konsumen

X1= 325789.3– 500000Y

Nilai yang Dibayarkan

Gambar 5. Diagram perbandingan antara nilai yang dibayarkan dan surplus Konsumen nilai air pertanian bagi masyarakat desa yang berbatasan langsung dengan Taman Nasional Gunung Halimun

(12)

korbanan aktual yang harus dikeluarkan petani mencapai 68%. Hal ini disebabkan pemanfataan air untuk pertanian (sawah) masih menggunakan irigasi sederhana (tidak permanen) sehingga untuk menjamin kontinuitas aliran air ke sawah diperlukan perawatan irigasi secara berkala. Setiap musim petani harus mengeluarkan korbanan berupa waktu dan tenaga untuk merawat atau memperbaiki saluran irigasi tersebut.

Nilai manfaat air (domestik dan pertanian) yang sangat besar tersebut membuktikan bahwa pembangunan kawasan konservasi (dalam hal ini TNGH) sangat mendukung pembangunan ekonomi. Hal ini dapat ditunjukkan bahwa fungsi hidrologi TNGH mampu memberikan nilai kesejahteraan (surplus konsumen) kepada masyarakat di sekitar TNGH sebesar Rp 4.520.890.412 untuk memenuhi kebutuhan air domestik dan air pertanian.

Menurut Darusman (1993), nilai manfaat air yang sangat besar tersebut dalam struktur perekonomian sekarang masuk dalam sektor rumah tangga dan pertanian, padahal sesungguhnya merupakan nilai tambah yang dihasilkan oleh Sektor Kehutanan, khususnya dari kawasan konservasi. Bias peran sektoral ini telah membuat tertekannya atau terdesaknya alokasi hutan konservasi (khususnya yang berfungsi hidrologi) oleh permukiman dan pertanian yang sesungguhnya telah menurunkan nilai kesejahteraan masyarakat secara keseluruhan.

KESIMPULAN

Dari hasil penelitian ini dapat diambil kesimpulan-kesimpulan sebagai berikut:

1. Konsumsi air rumah tangga (domestik) per kapita masyarakat desa penyangga TNGH selain oleh biaya pengadaan dipengaruhi jumlah anggota keluarga dan jarak ke sumber air. Makin banyak jumlah anggota keluarga dan makin jauh jarak ke sumber air konsumsi air per kapita semakin menurun.

2. Konsumsi air pertanian (sawah) masyarakat desa penyangga TNGH, selain oleh biaya pengadaan dipengaruhi oleh umur kepala keluarga, jumlah anggota keluarga, dan frekuensi panen per tahun. Makin tinggi umur keluarga konsumsinya semakin menurun, sedangkan makin banyak jumlah anggota keluarga dan tinggi frekuensi panen per tahun konsumsinya semakin meningkat.

3. Dalam keadaan peubah sosial ekonomi dianggap tetap (dalam hal ini digunakan angka rata-rata) kurva permintaan air domestik masayarakat desa penyangga TNGH adalah Y = 45.84105 – 0.0435X1 dan setelah diinversi menjadi X1 = 1053.817 – 22.98851Y,

sedangkan untuk air pertanian adalah Y = 0.651579 – 0.000002X1 dan diinversi

menjadi X1= 325789.3 – 500000Y.

4. Nilai ekonomi air sebagai manfaat manfaat hidrologi TNGH untuk kebutuhan domestik masyarakat desa penyangga TNGH adalah Rp 5.223.870.380 terdiri atas nilai yang dibayarkan Rp 1.163.367.368 dan surplus konsumen Rp 4.060.503.012. 5. Nilai ekonomi air sebagai manfaat-manfaat hidrologi TNGH untuk kebutuhan

(13)

DAFTAR PUSTAKA

Adimihardja., K. 1992. Kasepuhan yang Tumbuh di Atas yang Luruh – Pengelolaan Lingkungan Secara Tradisional di Kawasan Gunung Halimun Jawa Barat. Bandung: Penerbit Transito.

Balai TNGH. 2001. Rencana Pengelolaan Taman Nasional Gunung Halimun 2000-2004. Kabandungan: Balai TNGH.

Beratha, IN. 1991. Pembangunan Desa Berwawasan Lingkungan. Bumi Aksara. Jakarta. Darusman, D. 1993. Nilai Ekonomi Air Untuk Pertanian dan Rumah Tangga: Studi Kasus

Di Sekitar Taman Nasional Gunung Gede Pangrango. Makalah disampaikan pada Simposium Nasional Permasalahan Air di Indonesia di ITB, 28 - 29 Juli 1993. Setiawan, A. 2000. Nilai Ekonomi Taman Hutan Raya Wan Abdul Rachman Propinsi

Lampung. Thesis Program Pascasarjana Instritut Pertanian Bogor.

UCAPAN TERIMA KASIH

(14)

Trop. For. Manage. J. XI (2) : 15- 27 (2005)

PREDICTING SPATIAL DISTRIBUTION OF STAND VOLUME

USING GEOSTATISTICS

(Pendugaan Sebaran Spasial Volume Tegakan Menggunakan Metode

Geostatistika)

TATANG TIRYANA1

ABSTRACT

Pendugaan volume tegakan hutan alam biasanya dilakukan dengan metode penarikan contoh (sampling) non-spasial. Dalam penelitian ini, dikembangkan metode pendugaan spasial dengan pendekatan geostatistika yang diterapkan untuk menduga dan memetakan sebaran volume tegakan di areal HPH Labanan, Kalimantan Timur. Pendugaan dilakukan dengan menggunakan metode kriging berdasarkan model spherical variogram dan data dari 1090 plot contoh. Keakuratan hasil pendugaan diuji melalui validasi dengan menggunakan 272 plot contoh yang berbeda. Hasil analisis menunjukkan bahwa volume tegakan memiliki korelasi spasial dengan keragaman yang cukup besar, namun tidak dijumpai adanya kecenderungan arah sebarannya. Selain itu, dapat dibuktikan bahwa pendugaan dengan metode kriging dapat memberikan nilai dugaan volume tegakan dengan akurasi yang cukup tinggi. Hal ini menunjukkan bahwa pendekatan geostatistika dapat digunakan sebagai metode alternatif dalam pendugaan dan pemetaan sebaran volume tegakan.

Keywords: stand volume, sampling technique, geostatistics, spatial dependence variogram, kriging

INTRODUCTION

In any forest management activities, data and information concerning stand parameters, such as stand diameter, stand height, basal area, stand density, and stand volume, are absolutely required. Commonly, these data are obtained by conducting forest inventory in a particular area or in the whole forest area. In general, forest inventory is conducted to obtain information on the quantity, quality and condition of the forest resources that are being managed (Husch et al., 2002), particularly in order to estimate timber stocks.

Among the other stand parameters, stand volume is the most commonly used parameter to quantify the timber stocks, particularly in a production forest. Usually, a stand volume estimation is required to determine an appropriate annual allowable cut (AAC) in a

1 L
(15)

forest management unit (FMU). Moreover, by knowing the stand volume, the forest managers will also be able to estimate total revenue that can be generated from their concession.

Commonly, estimating stand volume for a large forest area is conducted by applying a sampling technique. In Indonesia, the standard sampling technique for conducting forest inventory in a natural production forest is systematic transect sampling with random start (Tiryana, 2003). This technique is considered to be an effective way in estimating stand volume because it takes into account variations of the stand volume which may vary from site to site as the contour lines shift, and also because of its practicability in the fields (Shiver and Borders, 1996; Vries, 1986). The average and total stand volume are then estimated based on stand volume of each sampling unit (i.e. transect with a given area) using non-spatial estimators such as ratio or regression estimator (Vries, 1986).

Despite its applicability for estimating stand volume in a large forest area, the sampling technique as described above has a main drawback since it can not provide a means to estimate stand volume at unsampled forest areas; whereas the stand volume distribution on each forest site is absolutely required to manage the forest properly. In addition, either the ratio or regression estimator as commonly used in the sampling technique is a biased estimator particularly when the sample size is small (Cochran, 1977). These facts indicate the need for developing another technique to spatially estimate stand volume distribution. In this context, geostatistical methods (such as kriging) provide a novel approach to predict the stand volume at unsampled locations based on spatial dependences among the observed samples (Nielsen and Wendroth, 2003; Rossiter, 2004; Saborowski and Jansen, 2002). In a forest stand, the spatial dependence may occur since site productivity has continuity in space, hence the stand volume would have spatial continuity as well (Nanos et al., 2004). Accordingly, the geostatistical methods would be appropriate to be used in predicting spatial distribution of the stand volume.

This paper describes the use of geostatistics as an alternative method to predict spatial distribution of stand volume in the natural production forest of Labanan concession, East Kalimantan, Indonesia. More specifically, the objective of this study was threefold: 1) to model spatial dependence and trend of the stand volume distribution.

2) to analyze spatial factors affecting variation of the stand volume. 3) to map stand volume distribution using the kriging methods.

METHODS

Data

(16)

Figure 1. Layout of the sample plots in the study area

Forest inventory in the Labanan concession was conducted by applying systematic transect sampling with a spacing of about 5 km with azimuth 315o. The sample plots were located along transects with a spacing 100 m (see Figure 1). In each plot, tree measurements (i.e. dbhdiameter at breast heightand tree species) were conducted using three nested subplots, i.e. 0.125 ha for dbh >50 cm, 0.04 ha for dbh 20-49 cm, and 0.0125 for dbh 10-19 cm. Coordinates of centre plot were also recorded using GPS. The total size of sample was 1538 plots which covered approximately 0.24% of the total area of 81224.79 ha (Gunawan, 2002). From the tree measurements, stand volume of each plot was determined using a volume table.

Methods

In this study, the geostatistical approaches were used to model spatial distribution of the stand volume as well as to predict stand volume at unsampled locations. In details, the methods used in this study can be described as follows:

Analyzing the data set

The data set consists of 1362 sample plots located inside the study area. This large amount of data was divided into two independent datasets, i.e. 1090 plots for modeling and 272 plots for validation purposes. The descriptive statistics was used to summarize both datasets. In addition, analysis of variance (anova) was also used to analyze some spatial factors affecting the variation of stand volume, namely slope, elevation, and geographical coordinate (x,y) which were derived from DEM (Digital Elevation Model) of the study area. The significant factors, then, were used as auxiliary variables for predicting stand volume using the kriging method.

Modelling spatial dependence and trend of the stand volume distribution

(17)

( )

       − + = −  2 1 1 0 a h e c c h γ

( )

( )

( )

[

]

2

1 1 ˆ ( ) ( ) 2 N h i i i

h z x z x h

N h γ

=

=

− + (1)

where: γˆ

( )

h is semivariance of the stand volume for distance h, N(h) is the number of point pairs within distance h, whereas z(xi) and z(xi+h) are the stand volume at locations xi and xi+h, respectively.

The best fitted variogram for the stand volume data was selected from the most commonly used variogram models as follows (Nangendo et al., 2002; Nielsen and Wendroth, 2003; Rossiter, 2004; Webster and Oliver, 2001):

• The spherical model:

( )

(

( )

)

3 3 1

0 1 2 2

0 1

, for:

, for:

h h

a a

c c h a

h

c c h a

γ =  + − <

 + ≥

(2)

• The exponential model: γ

( )

h =c0+c1

(

1−eha

)

(3)

• The Gaussian model: (4)

where: c0 is nugget effect, which represents unexplained variability at distance close to zero; c1 is sill, which represents variability when the observations become independence; a is range, which represents distance in which the spatial dependence would no longer exist. Figure 2 illustrates such variogram features. The modeling of variograms and other geostatistical computations were performed using the Gstat package of the R software (Pebesma, 2004; see also: www.r-project.org).

The spatial dependence of the stand volume may occur in omni-direction (called isotropy) or tend to a certain direction only (called anisotropy). The anisotropic phenomenon was analyzed by plotting the directional variograms at different angles. In addition, the variogram surface tool of the ILWIS software was also used to confirm whether or not the anisotropy existed in the stand volume distribution.

Predicting the stand volume distribution

One of the objectives of this study was to obtain a map, showing the stand volume distribution of the study area. It can be obtained by using a geostatistical method known as kriging. There were two kriging methods used in this study, namely ordinary kriging and universal kriging.

Sill

Range Nugget

(18)

The ordinary kriging was used to predict stand volume at unsampled locations by using the selected variogram model obtained from the previous step and the stand volume data in the neighborhood of an estimated location (Nielsen and Wendroth, 2003; Wackernagel, 1998). Meanwhile, the universal kriging was used to improve prediction of the stand volume by using an auxilary variable as complement to the other variables used in the ordinary kriging. The analysis of variance in the previous step would reveal which factors, i.e. slope, elevation, or coordinate, that could be used as an appropriate auxiliary variable.

Validating the predictions

To assess validity of the predictions produced by the krigings, a validation was carried out by comparing the predictions with 272 independent sample plots. The following statistics were used to assess reliability of the predictons (Rossiter, 2004; Webster and Oliver, 2001):

• Bias or mean error (ME), which should be zero (0):

(

)

1 1 ˆ ( ) ( ) n i i i

ME z x z x

n =

=

− (5)

• Root mean squared error (RMSE), which should be low:

(

)

2

1 1 ˆ ( ) ( ) n i i i

RMSE z x z x

n =

=

− (6)

• Mean squared deviation ratio (MSDR), which should be one (1):

(

)

2

2 1 ˆ ( ) ( ) 1 ˆ ( ) n i i i i

z x z x MSDR

n = σ x

=

(7)

where:

z

i is observed stand volume,

z

ˆ

iis predicted stand volume, n is number of sample

plots, and 2

ˆ ( )xi

σ is kriging variances.

RESULTS AND DISCUSSION

Characteristic of the stand volume and auxiliary variables

Table 1 shows descriptive statistics of the stand volume and the auxiliary variables (i.e. slope and elevation) of the 1090 sample plots.

Table 1. Descriptive statistics of the stand volume and topographical factors

Variable Statistic

Volume (m3/ha) Slope (%) Elevation (m)

Minimum 1.73 0.00 25.00

Mean 159.65 14.23 132.01

Maximum 620.77 176.60 250.00

(19)

The stand volume had large variation, i.e. ranged from 1.73 m3/ha to 620.80 m3/ha, which means that the timber stocks were not evenly distributed in the study area. Based on the Shapiro-Wilk test, i.e. W=0.9505 and p-value <2.2e-16, at 5% of confidence level there was an evidence that the stand volume data were not normally distributed as seen in Figure 3. To facilitate the geostatistical analyses, which require normality of the data, the stand volume data were transformed into the squared root scale.

For the slope and elevation, it can be seen that the sample plots were mostly located in flat areas. Indeed, the Labanan forest is a low land tropical forest.

Factors affecting the stand volume distribution

Table 2 shows analysis of variance for the auxiliary variables, i.e. slope, elevation, and the geographical coordinate (x,y).

Table 2. Analysis of variance of the auxiliary variables

Analysis of variance Factor

Adjusted R2 (%) F-test p-value

Slope 0.39 5.242 0.0222*

Elevation 0.07 0.736 0.3912

Geographical coordinate (x, y) 6.13 36.56 4.297e-16**

*significant at 5% of confidence level, **highly significant at 1% of confidence level

The results showed that, at 5% confidence level, the slope had significant effect to the variation of stand volume. However, due to only 0.39% of the total variance which can be explained by the slope, it could not be used as an auxiliary variable for the universal kriging. Likewise, the elevation had no significant effect to explain variation of the stand volume. The main reason is that the sample plots were taken from the almost uniform conditions with little variations in their slope and elevation, since the Labanan forest is located in a low land area. Obviously, only the geographical coordinate had significant effect in which it explained about 6.13% of the total variation of the stand volume. Although, its adjusted-R2 value was not so high, it could be used as an auxiliary variable to improve prediction of the stand volume using the universal kriging.

(20)

Spatial dependence of the stand volume

As mentioned before, the variogram can be used to model spatial dependence of the observed attributes. Table 3 presents the parameters of the three variogram models that were used to explain spatial dependence of the stand volume.

Table 3. Parameters of the variogram models

Variogram model Parameter

Spherical Exponential Gaussian

Nugget 9.65 9.50 9.92

(total) Sill 12.80 13.21 12.71

Range (m) 6870 3578 2886

Sum squared error (SSErr) 0.0021 0.0019 0.0017

All the variogram models have low SSErr values, but they are not significantly different. Although the Gaussian model has lowest SSErr, it has the shortest range compared to the others. Therefore, it was considered that the spherical model is better than the others because it has longer range, hence it would explain better the spatial dependence of the stand volume. The spherical model was also used by Nanos et al. (2004) to develop a model for predicting spatially the stand height–diameter relationship. Visually, this variogram model is depicted in Figure 4.

Based on the spherical variogram, it can be concluded that the longest distance in which spatial dependence of stand volume would still exist is approximately 6870 m with the total variability at this distance onwards is 12.80 (m3/ha)2 (in squared-root scale). While, at distance close to zero there is still high variability (nugget effect), i.e. 9.65 (m3/ha)2 (in squared-root scale).

This large nugget effect indicates that in each sample plot, the variability of stand volume is relatively high. This is due to the fact that in each plot there were mixed trees with three different diameter classes (i.e. trees with diameter 10-19 cm, 20-49, and ≥50 cm), whereas the stand volume was calculated by aggregating volume of these trees. Another reason is that the size of sampling unit (i.e. inventory plot) was too small to capture spatial variability in the heterogeneous tropical forest. Indeed, in the standard forest inventory for the natural forests, the common sampling support is continuous transects instead of clustered plots (Tiryana, 2003; Vries, 1986).

(21)

Anisotropic issue

Figure 5 shows the directional variograms at the nine different angles. It seems that the anisotropy would occur at direction 112.50 because it has longest distance (approximately 16973 m with nugget 9.05 and total sill 12.07) as compared to the others. However, it does not provide sufficient evidence since we only judged it visually. Further analysis using the variogram surface (the result is not shown here) revealed that obviously there was no pattern showing anisotropy, such as an ellipse-like pattern in a certain direction.

Therefore, we concluded that there was no anisotropy found in the stand volume distribution. It means that there were no spatial variability changes with direction of the stand volume.

This is possibly due to the sample plots which were not evenly distributed in the field, so that they could not be able to capture spatial variability of stand volume in all possible directions. Indeed, the sample plots were located along transects at spacing 100 m between plots and about 5 km between transects.

Prediction of the stand volume

The stand volume distribution of the whole study area was predicted using the ordinary kriging and the universal kriging. The results were prediction maps as shown in Figure 6 and Figure 7.

Obviously, there are some differences in both prediction maps, particularly in the areas away from the sample plots. From Table 4, it can be seen that the ordinary kriging produced predictions higher than the universal kriging, although the differences seem not so significant. In addition, both krigings produced the prediction errors as summarized in Table 5. It can be seen that the errors produced by the universal kriging are lower than those of the ordinary kriging, particularly for the areas around the sample plots.

(22)

Figure 6. Prediction map of the stand volume obtained from the ordinary kriging (not to scale). The values are squared-root of stand volume in m3/ha.

(23)

Table 4. Descriptive statistics of the predictions obtained from the ordinary kriging and the universal kriging

Statistics Kriging

method Minimum 1stquartile Median Mean 3rdquartile Maximum Ordinary

kriging

8.46 11.33 12.18 12.21 12.94 17.07

Universal kriging

8.53 11.03 12.13 12.08 13.10 17.20

Difference *) -1.57 -0.26 0.01 0.12 0.35 3.65

*) the differences were calculated from all prediction values of both krigings

Table 5. Descriptive statistics of the prediction errors produced by the ordinary kriging and the universal kriging

Statistics Kriging

method Minimum 1stquartile Median Mean 3rdquartile Maximum Ordinary

kriging

10.21 10.65 11.06 11.29 11.75 12.95

Universal kriging

10.26 10.55 11.02 11.32 11.91 13.66

Difference *) -0.71 -0.12 0.004 -0.024 0.08 0.22

*) the differences were calculated from all prediction error values of both krigings

The results revealed that predictions of the stand volume using the ordinary kriging and the universal kriging seem not so much different. However, the universal kriging performed better than the ordinary kriging. It was proven that by incorporating the auxiliary variable (i.e. geographical coordinate) into model, the prediction could be improved. In this case, the coordinate gives the advantage in adjusting local variability of the stand volume so that the prediction errors around sample plots would become lower. However, for the unsampled area or for the areas away from the sample plots, the universal kriging cannot well-predict the stand volume due to the absences of local trend, so that the variance of prediction is higher for those areas.

Validation of the predictions

Gambar

Gambar 1.  Distribusi jumlah penduduk berdasarkan cara memenuhi kebutuhan air
Gambar 2.   Sistem pengaliran air dari sumber (mata air) melalui bak primer dan sekunder sampai ke bak rumah tangga
Gambar 3.   Saluran irigasi sederhana atau irigasi dengan bangunan saluran semi permanen
Gambar 4.Diagram perbandingan antara nilai yang dibayarkan dan surplus konsumen nilai air domestik bagi masyarakat desa yang berbatasan langsung dengan Taman Nasional Gunung Halimun
+7

Referensi

Dokumen terkait

Umumnya penelitian tentang kinerja perusahaan hanya menggunakan rasio profitabilitas saja sebagai alat bantu dan penelitian juga berfokus pada peningkatan saham,

Skripsi yang berjudul : Analisis Kualitas Pelayanan Pembuatan Kartu Tanda Penduduk (KTP) di Badan Kependudukan, Keluarga Berencana dan Catatan Sipil Kabupaten

Penelitian tentang pengaruh jumlah kunjungan wisatawan terhadap penerimaan pajak hotel, penerimaan pajak restoran dan pendapatan asli daerah (PAD) Kabupaten

Memperbaiki dan menambahkan konsep perencanaan dan perancangan utilitas yang sesuai dengan kebutuhan dan karakter bangunan Gedung Pertunjukan Seni Kabupaten Kuningan

(1) Evaluasi Pengembangan Koleksi sebagai Dasar Memahami Problematika dalam Perpustakaan (Studi Kasus Dinas Kearsipan dan Perpustakaan Provinsi Gorontalo) (Ade Yul Pascasari Katili);

Dari hasil penelitian, diperoleh beberapa kesimpulan yaitu: iklan Zoya mengkomodifikasikan nilai agama melalui wacana tentang hijab halal sebagai karakteristik utama

Studi yang dilakukan oleh Laksmi Indira (2009) menemukan bahwa ”Sekali wanita mengetahui tempat pelayanan kontrasepsi, perbedaan jarak dan waktu bukanlah hal yang penting

Terdapat 15 jenis tumbuhan yang memiliki potensi daya serap karbon tinggi dari 84 jenis tumbuhan yang sudah teridentifikasi di pelepasan 1-3 (hutan dataran rendah)