• Tidak ada hasil yang ditemukan

Mekanisme Adaptasi dan Penekanan Akumulasi Fe dan Al untuk Meningkatkan Produktivitas Padi di Lahan Pasang Surut

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2017

Membagikan "Mekanisme Adaptasi dan Penekanan Akumulasi Fe dan Al untuk Meningkatkan Produktivitas Padi di Lahan Pasang Surut"

Copied!
115
0
0

Teks penuh

(1)

MEKANISME ADAPTASI DAN PENEKANAN AKUMULASI Fe

DAN Al UNTUK MENINGKATKAN PRODUKTIVITAS PADI

DI LAHAN PASANG SURUT

SITI MARYAM HARAHAP

SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR

(2)
(3)

PERNYATAAN MENGENAI DISERTASI DAN

SUMBER INFORMASI SERTA PELIMPAHAN HAK CIPTA

Dengan ini saya menyatakan bahwa disertasi berjudul Mekanisme Adaptasi dan Penekanan Akumulasi Fe dan Al untuk Meningkatkan Produktivitas Padi di Lahan Pasang Surut adalah benar karya saya dengan arahan dari komisi pembimbing dan belum diajukan dalam bentuk apapun kepada perguruan tinggi manapun. Sumber informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan maupun tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam Daftar Pustaka di bagian akhir disertasi ini.

Dengan ini saya melimpahkan hak cipta dari karya tulis saya kepada Institut Pertanian Bogor.

Bogor, Agustus 2014

Siti Maryam Harahap

(4)
(5)

RINGKASAN

SITI MARYAM HARAHAP. Mekanisme Adaptasi dan Penekanan Akumulasi Fe dan Al untuk Meningkatkan Produktivitas Padi di Lahan Pasang Surut. Dibimbing oleh MUNIF GHULAMAHDI, SANDRA ARIFIN AZIZ, ATANG SUTANDI dan MIFTAHUDIN

Lahan pasang surut merupakan salah satu lahan yang dapat dimanfaatkan sekarang ini untuk dijadikan sebagai areal pengembangan pertanian, karena lahan ini tersedia cukup luas di Indonesia (20.11 juta ha) tetapi pemanfaatannya belum dilakukan secara maksimal, disamping itu hasil padi masih tergolong rendah (3-4.5 t ha-1). Salah satu penyebab rendahnya hasil padi di lahan ini adalah senyawa pirit yang terdapat di dalam tanah. Senyawa ini jika teroksidasi atau tereduksi dapat menghambat pertumbuhan tanaman padi. Proses oksidasi pirit terjadi dalam beberapa tahapan dan hasil akhir dari oksidasi pirit adalah menghasilkan ferri hidroksida (Fe(OH)3), asam sulfat dan juga ion H+ sehingga nilai pH tanah menjadi sangat rendah (<4). Pada kondisi reduktif, pirit dapat mengakibatkan tingginya kelarutan zat-zat beracun seperti, Fe2+, H2S, CO2 dan asam-asam organik. Oleh

karena itu, dalam mengelola lahan pasang surut perlu diperhatikan kondisi pirit supaya tidak teroksidasi atau tereduksi lebih lama. Salah satu kunci keberhasilan budidaya padi di lahan pasang surut adalah kondisi air, selain itu genotipe yang toleran dapat dilakukan untuk meningkatkan hasil padi di lahan pasang surut.

Penelitian ini difokuskan pada studi fisiologi dan mekanisme toleransi genotipe padi terhadap cekaman Fe atau Al dengan pendekatan penelitian dari laboratorium ke lapangan (from lab to land). Langkah awal yang dilakukan untuk mengetahui tingkat toleransi genotipe padi terhadap cekaman Fe adalah dengan menggunakan pengujian pada beberapa tingkat cekaman Fe serta pengujian pada dua umur bibit yang berbeda. Setelah diketahui umur bibit yang lebih toleran terhadap Fe kemudian digunakan umur tersebut untuk menguji tingkat ketahanan terhadap Al, selanjutnya aplikasi ke lapangan lahan pasang surut tipe luapan B.

(6)

Indragiri masih memiliki kemampuan untuk menahan Fe di akar yang ditunjukkan dengan semakin meningkatnya kadar plak besi di permukaan akar dan kadar Fe di akar dan di tajuk lebih rendah dari genotipe IR64. Berdasarkan hasil penelitian diketahui genotipe IR64 merupakan genotipe yang sangat peka terhadap keracunan Fe, genotipe IRH108 termasuk yang toleran dan genotipe Indragiri sangat toleran. Mekanisme pada genotipe IRH108 dan Indragiri adalah mekanisme inkluder.

Bibit berumur empat minggu diberi cekaman Fe dengan konsentrasi 500 ppm menyebabkan genotipe IR64 memiliki mekanisme inkluder avoidance dan genotipe IRH108 dan Indragiri juga memiliki mekanisme inkluder avoidance pada konsentrasi 1000 dan 1500 ppm. Persentase bronzing di daun pada genotipe IR64 lebih tinggi dibanding dengan genotipe IRH108 dan Indragiri. Berdasarkan perbedaan umur bibit antara dua dan empat minggu diketahui bahwa bibit berumur empat minggu lebih tahan menghadapi cekaman Fe. Hal ini dapat dilihat antara lain dari kemampuan bertahan hidup sampai mencapai cekaman maksimum (tanaman mati) yang berumur dua minggu hanya bertahan sampai enam hari, sedangkan umur empat minggu bertahan sepuluh sampai dua belas hari.

Selain keracunan Fe, keracunan yang disebabkan oleh Al juga dapat mempengaruhi pertumbuhan tanaman padi misalnya perkembangan akar terhambat. Hasil penelitian di kultur hara menunjukkan pada konsentrasi 120 ppm Al dapat menyebabkan terjadinya keracunan Al pada masing-masing genotipe yang diuji, hal ini ditunjukkan dengan semakin tertekannya pertumbuhan akar seiring dengan meningkatnya konsentrasi Al dalam laruta. Gejala klorosis pada daun mulai terlihat pada konsentrasi 240 ppm Al di dalam larutan hara.

Pengujian di lapangan dengan menerapkan teknologi pengelolaan air memberikan perbedaan terhadap tingkat keracunan tanaman dan hasil panen. Keracunan Fe yang paling tinggi terdapat pada kondisi air tergenang tanpa drainase dan yang memberikan hasil pada kondisi ini hanya genotipe Indragiri, sedangkan genotipe IR64 mengalami cekaman maksimum (tanaman mati) pada umur 8 minggu setelah tanam dan genotipe IRH108 mati saat umur 9 setelah tanam. Tingginya keracunan Fe yang terjadi pada kondisi tergenang kemungkinan disebabkan karena proses oksidasi ion Fe2+ menjadi Fe3+ menurun, karena pada

kondisi tergenang proses difusi udara sangat kecil. Selain itu hasil analisis tanah di lokasi penelitian menunjukkan kandungan Fe dalam tanah tergolong tinggi (316.86 ppm). Pada kondisi jenuh tingkat keracunan Fe lebih rendah, karena pirit berada pada lapisan kurang dari 50 cm di bawah permukaan tanah, sehingga kemungkinan oksidasi Fe dapat terjadi dan menghasilkan Fe(OH)3 yang tidak larut.

Berdasarkan hasil penelitian yang dilakukan pada musim tanam ke-dua diketahui genotipe IR64 dapat ditanam pada kondisi air jenuh dengan drainase atau tanpa drainase, dan hasil yang diperoleh menunjukkan lebih tinggi dari rata-rata hasil petani setempat (4.4 dan 4.5 t ha-1). Genotipe IRH108 juga dapat ditanam pada kondisi jenuh dengan drainse atau tanpa drainase dan hasil yang diperoleh 4.8 dan 5.5 t ha-1. Genotipe Indragiri yang ditanam pada kondisi jenuh dengan drainase dan kondisi tergenang dengan drainase memberikan hasil yang paling tinggi yaitu 6.23 dan 6.83 t ha-1. Sistem drainase sanngat penting dilakukan di lahan pasang surut pada tipe luapan B dengan interval dua minggu karena dapat meningkatkan hasil padi 55.75 sampai 70.75% dan genotipe yang dapat ditanam adalah Indragiri.

(7)

SUMMARY

SITI MARYAM HARAHAP Adaptation Mechanism and Accumulation of Fe and Al Suppression to Increase Rice Productivity on Tidal Land. Supervised by MUNIF GHULAMAHDI, SANDRA ARIFIN AZIZ, ATANG SUTANDI, MIFTAHUDIN

Currently, efforts to increase rice productivity is constrained with limited area of fertile lands for rice cultivation, whereas the annual rice consumption per capita is high as much as 135 kg person-1 year-1. It is therefore necessary to find alternative

lands that can be used for agriculture land. One of the alternative lands that can be used today is sub-optimal lands, such as tidal land, which the area is quite extensive in Indonesia (20.11 million ha).

The low productivity of rice in this area (3-4.5 ton ha-1) is caused partly by high concentration of toxic Fe for rice plants whether in the form of oxidized or reduced pyrite. Pyrite oxidation process occurs in several stages and involves the chemical and biochemical processes. Firstly, the oxygen dissolved in the ground water reacts slowly with small amount of pyrite produces ferrous iron (Fe2+) and sulphate/sulfur (S), then the oxidation of sulfur by oxygen occurs very slowly. However, with the help of autotroph bacteria, the process will run faster to produce acid sulphate resulting in the decrease of soil pH. Thiobacillus ferro oxidant lives at low pH and oxidize ferrous iron (Fe2+ ) into ferric iron (Fe3+). Ferric iron (Fe3+) is formed and then subsequently can act as an oxidant and then pyrite is oxidized rapidly and produce sulphuric acid and release acidity (H+). During the oxidation process, SO42- in soil solution increased instead of Fe2+, and Fe3+ decreases. In

waterlogged conditions (reductive) toxic substances such as, Fe2+, H2S, CO2 and

organic acids become toxic concentration. Rice plants grown under these conditions are very susceptible to Fe toxicity. Therefore, the key to the success of rice cultivation in the tidal land is managing water conditions in the field. The use of tolerant genotypes can also reduce the risk of Fe toxicity.

This research focused on the study of the physiology and mechanisms of stress tolerance of rice genotypes to Fe and/or Al. It was conducted in the laboratory and the field (from lab to land). The initial steps to determine the level of tolerance of rice genotypes to several level of Fe stress of two different seedling ages. Another set of experiment was carried out to study the tolerance of rice to Al stress. The last step of this research was the evaluation of three rice genotypes on tidal land type B in South Sumatra. Four different water management systems were applied and assessed which one has the best management system for the specific rice variety.

(8)

production in roots. The larger aerenchyma formed, the more air diffused. Consequently the higher oxidation of Fe2+ to Fe3+ and the more increasing iron plaque formed.

At 1000 and 1500 ppm of Fe, genotype IR64 was not able to or hold the Fe on the root surface, as shown by the decreasing levels of root surface iron plaque. As a result, Fe content in root tissue increased, the levels of Fe in the tissue increase and the percentage of leaf bronzing increased. Genotype Indragiri and IRH108 still had the ability to withstand Fe in the root surface as indicated by increased levels of root surface iron plaque. Therefore includer mechanism might be happening in both genotypes could be concluded that genotype IR64 was very sensitive, IRH108 was tolerant and Indragiri was very tolerant to Fe toxicity.

At four weeks old seedlings, genotype IR64 was suggested to have includer avoidance mechanism at 500 ppm Fe, while genotypes IRH108 and Indragiri showed similar mechanism at higher concentrations (1000 and 1500 ppm). The percentage of leaf bronzing in the genotype IR64 was higher than that of genotypes IRH108 and Indragiri.

In addition to Fe toxicity, Al toxicity can also affect the growth of rice plants the produced stunted root development. The results showed the concentration of 120 ppm Al caused Al toxicity in each genotype. Based on the analysis of the relative root length (RRL), genotypes IR64 and Indragiri showed to be sensitive plants, whereas genotype IRH108 showed moderate tolerance to Al toxicity. Symptoms of chlorosis on the leaves begin to appear at the concentration of 240 ppm Al in the nutrient solution.

Evaluation of water management system in the field could manipulante the levels of Fe toxicity to the plants. The highest Fe toxicity found in stagnant water conditions without drainage. In this water management system, Indragiri genotype could produce, whereas genotypes IR64 and IRH108 genotype died at 8 and 10 weeks after planting, respectively. The high level of Fe toxicity that occurs in the reductive conditions (waterlogged) may be caused by the decreasing of Fe2+ oxidation. In saturated conditions, Fe toxicity is lower because pyrite is present at a layer less than 50 cm below the soil surface, therefore the possibility of pyrite oxidation was high and produce insoluble Fe(OH)3.

The drainage system with two intervals could increase rice yield on tidal land type B. Genotype Indragiri planted in both saturated and waterlogged condition with drainage produce more yield than without drainage. Rice plant production in waterlogged and saturated condition without drainage were 5.3 and 5.97 ton ha-1, respectively, whereas when the rice plant cultivated in those condition with drainage, the production increase to became 6.23 and 6.83 ton ha-1. Based on those

results, we concluded that two week interval drainage either with waterlogged or saturated irrigation system was the optimum condition for genotype Indragiri in tidal land type B for second planting season between April to June in South Sumatera.

(9)

© Hak Cipta Milik IPB, Tahun 2014

Hak Cipta Dilindungi Undang-Undang

Dilarang mengutip sebagian atau seluruh karya tulis ini tanpa mencantumkan atau menyebutkan sumbernya. Pengutipan hanya untuk kepentingan pendidikan, penelitian, penulisan karya ilmiah, penyusunan laporan, penulisan kritik, atau tinjauan suatu masalah; dan pengutipan tersebut tidak merugikan kepentingan IPB

(10)
(11)

Disertasi

sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Doktor

pada

Program Studi Agronomi dan Hortikultura

MEKANISME ADAPTASI DAN PENEKANAN AKUMULASI

Fe DAN Al UNTUK MENINGKATKAN PRODUKTIVITAS

PADI DI LAHAN PASANG SURUT

SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR

BOGOR 2014

(12)

Penguji pada Ujian Tertutup: Dr Ir Syaiful Anwar, MSc Dr Ir Iskandar Lubis, MS

Penguji pada Ujian Terbuka: Dr Ir Ali Jamil, MP

(13)

Judul Penelitian : Mekanisme Adaptasi dan Penekanan Akumulasi Fe dan Al untuk Meningkatkan Produktivitas Padi di Lahan Pasang Surut

Nama : Siti Maryam Harahap NIM : A262100071

Disetujui oleh Komisi Pembimbing

Prof Dr Ir Munif Ghulamahdi, MS Prof Dr Ir Sandra Arifin Aziz, MS

(Ketua) (Anggota)

Ir Atang Sutandi, MSi, PhD Dr Ir Miftahudin, MSi

(Anggota) (Anggota)

Diketahui oleh

Ketua Program Studi Agronomi dan Hortikultura

Dr Ir Maya Melati, MS, MSc

Dekan Sekolah Pascasarjana IPB Sekretaris Program Doktor

Dr Ir Dahrul Syah, MScAgr

Tanggal Ujian : (21 Agustus 2014)

(14)
(15)

PRAKATA

Syukur Alhamdulillah, penulis panjatkan kehadirat Allah SWT yang telah memberikan rahmat dan karunia-Nya sehingga penulisan disertasi ini dapat diselesaikan. Topik penelitian yang dipilih merupakan salah satu masalah pada peningkatan produktivitas padi di lahan pasang surut di wilayah provinsi Sumatera Selatan, yaitu pemanfaatan lahan yang belum optimal dan rendahnya produktivitas akibat adanya keracunan besi atau aluminium.

Selama melaksanakan penelitian dan penulisan disertasi, penulis banyak mendapatkan bantuan dan bimbingan dari berbagai pihak. Pada kesempatan ini, penulis menyampaikan penghargaan dan terima kasih kepada :

1. Prof Dr Ir Munif Ghulamahdi, MS sebagai ketua komisi pembimbing, Prof Dr Ir Sandra Arifin Aziz, MS, Ir Atang Sutandi, MSc, PhD, dan Dr Ir Miftahudin, MSi sebagai anggota komisi pembimbing atas semua saran, arahan dan bimbingan dalam penyusunan konsep penelitian sampai selesainya penulisan disertasi ini.

2. Kepala Badan Litbang Pertanian, Kepala BBP2TP dan Kepala BPTP Sumatera Utara, terima kasih atas rekomendasi yang diberikan sehingga penulis mendapat beasiswa untuk melanjutkan sekolah kejenjang S3 di Fakultas Pertanian Mayor Agronomi dan Hortikultura Pascasarjana IPB.

3. Staf Analisis Laboratorium Agronomi dan Hortikultura, Laboratorium Ilmu Tanah, Laboratorium Lingkungan dan Bangunan, Laboratorium Balai Penelitian Tanah Bogor, Kepala Desa Mulia Sari, Zuwedi staf BPTP Sumatera Selatan, Petani Pendamping di lapangan Suwarno dan Gunawan beserta seluruh tim di lapangan. 4. Dr Ir Syaiful Anwar, MSc, Dr Ir Iskandar Lubis, MS sebagai penguji luar pada ujian

prakualifikasi dan ujian tertutup.

5. Dr Ir Ali Jamil, MP dan Dr Ir Hajrial Aswidinnoor sebagai penguji luar pada ujian terbuka

6. Dr Ir Maya Melati, MS, MSc, selaku Ketua Mayor Agronomi dan Hortikultura beserta staf.

7. Kepada teman-teman seperjuangan pada Mayor Agronomi dan Hortikultura khususnya Angkatan 2010 dan 2009 (Aris, Odit, Thamrin, Dewi Erika) terima kasih atas bantuannya selama ini

8. Kepada teman-teman saya (Pepy=Banten, Ifa=Papua, Wiwik=Gorontalo, Meksi=Jawa Barat, Ida=Sulawesi, Darni=Kaltim) terima kasih atas kebersamaannya.

9. Ayahanda H. Solahuddin Nur Harahap (Alm) dan Ibunda Hj. Dermila Siregar, terima kasih atas semua pengorbanan, jerih payah dan semua usaha dalam membesarkan, mendidik dan mengizinkan penulis untuk berkarir seperti sekarang 10. Kepada ibu mertua (Amiesyah), terima kasih atas bantuan dan doanya. Penulis

berdoa semoga seluruh usaha diberkahi Allah SWT.

11. Kepada keluarga kakak ipar saya Rusmah, terima kasih atas bantuannya selama ini 12. Seluruh keluarga besar Patuan Humala Pontas Harahap (Ir. Hj. Sonja Agustina Harahap, Adelina Harahap, Rosminta Harahap, Jabilang Mauli Syukur Harahap (Alm), Akhmad Rivai Harahap) serta seluruh abang dan kakak ipar saya dan juga keponakan terima kasih atas bantuannya selama ini

(16)

14. Buat Kakak dan Adik saya Mogarohana, SE dan Dra Mariana Hazni Harahap, terima kasih atas bantuannya kepada penulis selama menjalankan studi.

15. Terima kasih yang sebesar-besarnya untuk suamiku tercinta Umar tanpa bantuan dan doa serta keikhlasannya penulis belum tentu bisa menyelesaikan studi ini dengan baik.

16. Buat buah hati kami ananda Muhammad Rizki Septian dan Amelia Luthfiyah terima kasih atas kesabaran, keikhlasan dan kerelaan waktu yang tersita untuk studi dan penelitian tanpa itu semua penulis (mama) belum tentu bisa menyelesaikan studi ini, semoga Allah SWT membalas kebaikan ini semua.

Akhirnya penulis sampaikan semoga Allah SWT membalas semua kebaikan dari Bapak dan Ibu semua, serta ilmu yang penulis peroleh mendapat Ridho dari Allah SWT dan dapat bermanfaat bagi penulis dan juga bagi orang lain.

Bogor, Agustus 2014 Penulis

(17)

DAFTAR ISI

No. Hal

DAFTAR ISI xiii

DAFTAR TABEL xv

DAFTAR GAMBAR xvi

DAFTAR LAMPIRAN xvii

1. PENDAHULUAN 1 Lata Belakang 1 Tujuan Umum Penelitian 4 Tujuan Khusus 4 Hipotesis 5 Kerangka Pemikiran 5 Perumusan Masalah 8 Lingkup Kegiatan. 9 2. TINJAUAN PUSTAKA 10 Karakteristik Lahan Rawa Pasang Surut 10 Pengertian dan Potensi Lahan Sulfat Masam. 10 Proses Oksidasi pada Tanah Sulfat Masam 11 Proses Reduksi pada Tanah Sulfat Masam 11 Pengaruh Oksidasi dan Reduksi Pirit terhadap pH, Fe dan Al 12 Dampak Oksidasi Pirit pada Tanaman Padi 12 Pengaruh Cekaman Aluminium terhadap Pertumbuhan Tanaman 13 Mekanisme Toleransi Cekaman Aluminium 14

Dampak Reduksi Pirit pada Tanaman Padi 15 Respon Pertumbuhan Tanaman Padi terhadap Keracunan Fe 15 Gejala Keracunan Besi pada Tanaman Padi 16 Teknologi Peningkatan Produksi Padi di Lahan Pasang Surut 17  Pengelolaan air 18  Penggenangan 18  Penanaman Varietas 19 Pengaruh Pengelolaan Air terhadap Pertumbuhan Tanaman Padi 19 3. MEKANISME TOLERANSI BEBERAPA GENOTIPE PADI TERHADAP KERACUNAN Fe PADA MEDIA KULTUR HARA 20 Abstrak 20

Pendahuluan 21

Tujuan 22 Bahan dan Metode 22

Waktu dan Tempat Penelitian 22

Bahan dan Alat 23

(18)

No. Hal Hasil dan Pembahasan

1. Mekanisme Toleransi Beberapa Genotipe padi terhadap Keracunan Fe pada Media Kultur Hara (Bibit Padi Berumur dua Minggu)

2. Mekanisme Toleransi Beberapa Genotipe padi terhadap Keracunan Fe pada Media Kultur Hara (Bibit Umur empat Minggu)

25

25

38

Simpulan 49

4. PENGARUH BEBERAPA KONSENTRASI Al

TERHADAP PERTUMBUHAN BEBERAPA GENOTIPE

PADI 51

Abstrak 51

Pendahuluan 52

Tujuan 52

Bahan dan Metode 53

Waktu dan Tempat Penelitian 53

Bahan dan Alat 53

Hasil dan Pembahasan 54

Simpulan 62

5. KAJIAN PENGELOLAAN AIR DAN GENOTIPE PADI DI LAHAN PASANG SURUT MENDUKUNG

PENINGKATAN PRODUKSI PADI DI SUMATERA

SELATAN 64

Abstrak 64

Pendahuluan 65

Tujuan 66

Bahan dan Metode 66

Waktu dan Tempat Penelitian 66

Bahan dan Alat 66

Hasil dan Pembahasan 68

Simpulan 78

6. PEMBAHASAN UMUM 78

7. SIMPULAN UMUM 82

8. SARAN 83

9. DAFTAR PUSTAKA 83

10. DAFTAR LAMPIRAN 90

(19)

DAFTAR TABEL

No. Hal

1. Skoring gejala keracunan besi pada tanaman padi 17

2. Hasil analisis ragam perbedaan konsentrasi Fe, genotipe serta

interaksi antara kedua faktor terhadap komponen analisis jaringan 25 3. Hasil analisis ragam pada interaksi perbedaan konsentrasi Fe dan

genotipe pada komponen pertumbuhan bibit berumur dua minggu 26 4. Rata-rata ukuran aerenchyma pada masing-masing genotipe

padi pada beberapa konsentrasi Fe dalam larutan hara 28 5. Interaksi antara perbedaan konsentrasi Fe dan genotipe terhadap

kadar plak besi di permukaan akar, kadar Fe di jaringan akar, dan kadar Fe di jaringan tajuk yang menggunakan bibit berumur dua

minggu 32

6. Distribusi Fe pada jaringan akar pada masing-masing genotipe dengan perbedaan konsentrasi Fe dalam larutan, (bibit berumur dua

minggu) 33

7. Pengaruh perbedaan konsentrasi Fe dan genotipe serta interaksi antara ke-dua perlakuan terhadap variabel persentase bronzing di

daun (bibit berumur dua minggu) 35

8. Pengaruh perbedaan konsentrasi Fe dan genotipe terhadap variabel nilai pH larutan pada pengamatan (2, 4, 6 hari stres Fe) bibit berumur dua

minggu 36

9. Matriks korelasi antara persentase bronzing dengan peubah ukuran aerenchyma, produksi etilen, kadar Fe dalam akar, kadar Fe dalam tajuk

dan biomassa tanaman (bibit berumur dua minggu) 37 10. Pengaruh perbedaan konsentrasi Fe dan genotipe serta interaksi

antara ke-dua perlakuan terhadap variabel biomassa tanaman (bibit

berumur dua minggu) 38

11. Pengaruh interaksi antara perbedaan konsentrasi Fe dan genotipe

terhadap komponen analisis jaringan bibit berumur empat minggu 39 12. Hasil analisis ragam antara perbedaan konsentrasi Fe, genotipe dan

interaksi antara ke-dua faktor pada semua variabel pertumbuhan

tanaman (bibit berumur empat minggu) 39

13. Rata-rata ukuran aerenchyma pada masing-masing genotipe dengan perbedaan konsentrasi Fe dalam larutan hara yang

menggunakan bibit berumur empat minggu 42

14. Pengamatan distribusi Fe pada jaringan akar pada masing-masing

genotipe dengan perbedaan konsentrasi Fe dalam larutan 44 15. Interaksi perbedaan konsentrasi Fe dan genotipe terhadap variabel

kadar Fe di akar dan tajuk (bibit berumur empat minggu) 45 16. Pengaruh interaksi antara perbedaan konsentrasi Fe dan genotipe

terhadap variabel persentase bronzing pada daun (bibit berumur

empat mingu) 46

17. Faktor perbedaan konsentrasi Fe dan genotipe terhadap variabel pH

(20)

No. Hal. 18. Interaksi perbedaan konsentrasi Fe dan genotipe terhadap variabel

panjang akar, panjang tajuk, bobot kering akar dan bobot kering

tajuk (bibit berumur empat minggu) 48

19. Matriks korelasi antara persentase bronzing dengan peubah ukuran aerenchyma, produksi etilen, kadar Fe dalam akar dan kadar Fe dalam tajuk yang menggunakan bibit berumur empat

minggu 49

20. Hasil analisis sidik ragam pengaruh perbedaan konsentrasi Al dan

genotipe dan interaksinya terhadap komponen pertumbuhan 55 21. Faktor perbedaan konsentrasi Al dan genotipe terhadap variabel

pH larutan 56

22. Pengaruh perbedaan konsentrasi Al dan genotipe serta interaksi antara ke-dua perlakuan terhadap variabel bobot kering akar dan

volume akar 57

23. Pengaruh perbedaan konsentrasi Aluminium dan genotipe

terhadap variabel persentase penurunan akar dan panjang akar 58 24. Pengamatan distribusi Al pada jaringan akar pada masing-masing

genotipe dengan perbedaan konsentrasi Fe dalam larutan 60 25. Interaksi perbedaan konsentrasi Al dan genotipe terhadap variabel

kadar Al di akar dan di tajuk 62

26. Pengaruh interaksi antara perbedaan konsentrasi dengan genotipe terhadap variabel persentase keracunan aluminium (klorosis) pada

daun 63

27. Hasil analisis ragam perbedaan genotipe dan pengelolaan air dan interaksi terhadap parameter pertumbuhan dan hasil tanaman

padi di lahan pasang surut Sumatera Selatan. Tahun 2013 68 28. Pengaruh interaksi perbedaan pengelolaan air dan genotipe

terhadap persentase bronzing pada umur 9 minggu setelah tanam

di lahan pasang surut musim tanam ke-dua Tahun 2013 74 29. Perbedaan genotipe dan pengelolaan air terhadap komponen

pertumbuhan dan komponen hasil tanaman padi di lahan pasang

surut Sumatera Selatan. Tahun 2013 75

30. Pengaruh perbedaan pengelolaan air dan genotipe terhadap bobot seribu biji pada masing-masing genotipe dengan waktu tanam

adalah pada musim ke-dua Tahun 2013 76

31. Interaksi antara perbedaan pengelolaan air dan genotipe terhadap parameter hasil gabah ubinan (1 m x 1 m) dan per hektar di lahan

(21)

DAFTAR GAMBAR

No. Hal

1. Diagram alir penelitian mekanisme adaptasi dan penekanan. akumulasi Fe dan Al untuk meningkatkan produktivitas padi

di lahan pasang surut 9

2. Nilai persentase skoring keracunan Fe pada tanaman padi 23 3. Produksi etilen pada akar padi dengan berbagai tingkat

cekaman Fe pada masing-masing genotipe padi dengan

memakai bibit berumur dua minggu 27

4. Perbedaan ukuran aerenchyma pada akar dari genotipe Indragiri pada konsentrasi Fe yang berbeda ukuran perbesaran

10 x 4 28

5. Perbedaan kadar plak besi di permukaan akar pada masing-masing genotipe dengan perbedaan konsentrasi Fe (bibit

berumur dua minggu) 30

6. Distribusi Fe2+ pada penampang melintang akar dengan perlakuan perbedaan konsentrasi Fe pada genotipe IRH108

(bibit berumur dua minggu) perbesaran 10 x 4 34 7. Perbedaan produksi etilen di akar pada masing-masing

genotipe dengan perbedaan konsentrasi Fe dalam larutan yang

memakai bibit berumur empat minggu 40

8. Penampilan aerenchyma akar pada konsentrasi 0, 500, 1000 dan 1500 ppm dalam larutan hara (genotipe Indragiri). Pengamatan

menggunakan perbesaran 10 x 4 41

9. Perbedaan kadar plak besi di permukaan akar pada masing-masing genotipe pada beberapa konsentrasi Fe dalam larutan

hara (bibit berumur empat minggu) 43

10. Pengamatan distribusi Fe2+ pada penampang melintang akar

pada genotipe IRH108 dengan perbedaan konsentrasi Fe dalam larutan (bibit berumur empat minggu) perbesaran 10 x 4

Warna biru terang atau biru gelap menunjukkan terdeteksi Fe 44 11. Penampang melintang akar (genotipe IRH108) perbesaran

4x10 dengan perbedaan konsentrasi Al dalam larutan (bibit berumur empat minggu). Warna ungu terang atau ungu gelap

menunjukkan bagian yang terdeteksi Al 59

12. Pengaruh perbedaan pengelolaan air dan genotipe serta interaksi antara ke-dua perlakuan terhadap variabel (A) kadar

Fe di akar dan (B) kadar Fe di tajuk 70

13. Pengaruh perbedaan pengelolaan air dan genotipe serta interaksi antara ke-dua perlakuan terhadap (A) variabel kadar

Al dalam akar dan (B) kadar Al dalam tajuk 71 14. Kondisi air tergenang dengan interval drainase pada

pertumbuhan vegetatif mulai tertekan (A) genotipe IRH108

dan Indragiri. (B) genotipe IR64 dan IRH108 73 15. Perbedaan penampilan ke-tiga genotipe padi yang diuji

(22)

16. Genotipe Indragiri kondisi pengelolaan air A= tergenang

dengan drainase dan B dan C = Jenuh dengan drainase 77

DAFTAR LAMPIRAN

No. Lamp. Hal

1. Komposisi larutan Yoshida (larutan stock) 90

2. Hasil analisis tanah yang dilakukan pada lokasi penelitian. lahan

pasang surut tipe luapan B 90

3. Sketsa tata letak penelitian sistem pengelolaan air pada budidaya

padi lahan pasang surut 91

4. Pertumbuhan vegetatif tanaman di lapangan pada kondisi jenuh

(23)

1

PENDAHULUAN

Latar Belakang

Kebutuhan pangan khususnya beras terus meningkat seiring dengan perkembangan penduduk yang terus bertambah serta tingkat konsumsi yang cukup tinggi (135 kg/org/thn). Sementara di sisi lain lahan-lahan subur yang selama ini dijadikan sebagai lahan untuk menghasilkan padi semakin menyempit akibat semakin banyaknya lahan pertanian yang beralih fungsi menjadi non pertanian. Untuk memenuhi jumlah kebutuhan pangan yang terus mengalami peningkatan perlu dicari lahan untuk areal penanaman padi. Salah satu solusinya adalah dengan memanfaatkan lahan-lahan sub-optimal seperti lahan pasang surut. Lahan ini tersedia cukup luas di Indonesia ada sekitar 20.11 juta hektar yang terdapat di pulau-pulau besar seperti Sumatera, Kalimantan, Papua (Widjaja-Adhi et al. 1992). Hasil panen (padi) di lahan pasang surut tergolong rendah rata-rata sekitar 1-4 t ha-1 (wawancara dengan petani di lahan pasang surut). Penyebab rendahnya hasil padi di lahan ini disebabkan oleh beberapa permasalahan antara lain tanahnya mengandung senyawa pirit.

Senyawa pirit jika berada dalam kondisi teroksidasi maupun dalam kondisi reduktif memberikan dampak negatif bagi pertumbuhan dan perkembangan tanaman padi. Pirit yang teroksidasi dapat menyebabkan tingginya konsentrasi ion H+ di dalam larutan tanah dan pH tanah menjadi sangat rendah, akibatnya terjadi peningkatan konsentrasi unsur-unsur yang bersifat racun bagi tanaman seperti Aluminium (Al), besi (Fe). Unsur ini dapat berikatan dengan unsur lain misalnya unsur P, sehingga menyebabkan P tidak tersedia dan akhirnya terjadi kahat hara (van Breemen 1997; Priatmadi 2008; Priatmadi dan Purnomo 2000). Pirit yang berada dalam kondisi reduktif dapat memicu terbentuknya senyawa lain yang cukup berbahaya bagi tanaman khususnya tanaman padi, misalnya terjadi peningkatan kelarutan Fe2+, H2S,CO2 dan asam-asam organik (Vadari et al. 1992).

Pada kondisi reduktif (tergenang) yang paling berbahaya bagi tanaman padi adalah tingginya konsentrasi ion Fe2+ di dalam larutan tanah. Pada musim kemarau di

lahan pasang surut tipe luapan B tingkat akumulasi Fe2+ lebih tinggi terjadi dibanding pada musim hujan, karena tingkat pencucian lebih kecil dan kondisi air umumnya diam sehingga tingkat akumulasi Fe2+ menjadi lebih tinggi pada musim

kemarau.

Tanaman secara langsung dapat menyerap besi dalam bentuk ion Fe2+. Besi ferro (Fe2+) dapat masuk melalui membrane akar secara difusi, selanjutnya masuk ke dalam sel-sel korteks akar menuju xylem secara simplast atau apoplast setelah melewati pita kaspari atau bisa juga melalui bagian akar yang rusak akibat penarikan bibit dari persemaian (Karim et al. 1989; Amnal 2009). Besi ferro yang sudah masuk ke dalam akar (epidermis, korteks, endodermis dan pembuluh xylem) kemudian dapat ditransportasikan ke tajuk/daun melalui aliran transfirasi menuju ruang-ruang antar sel. Di dalam sel daun Fe2+ bertindak sebagai katalisator pembentukan beberapa jenis oksigen aktif, seperti superoksida, radikal hidroksida, dan H2O2 (Marschner 1995). Selanjutnya Fe2+ yang terdapat di tajuk didistribusikan

(24)

2

Selain dalam bentuk Fe2+, besi dalam bentuk Fe3+ (ferri) dapat juga diserap

oleh akar tanaman dengan bantuan asam pengkelat. Pada saat tanaman mengalami defisiensi Fe, akar tanaman padi akan melepaskan asam muginik, yaitu molekul kimia dari kelompok fitosiderofor yang dapat mengkelat Fe3+ yang ada di rhizosfer untuk ditransportasikan ke dalam akar. Menurut Kim dan Guerinot (2007), mekanisme pengkelatan Fe3+ ini lebih efisien dari pada mekanisme reduksi Fe3+ menjadi Fe2+ oleh bakteri pereduksi.

Tanaman padi memiliki tingkat toleransi terhadap lingkungan yang memiliki kelarutan Fe atau Al yang tinggi. Toleransi tanaman padi terhadap lingkungan yang memiliki kelarutan Fe tinggi berbeda pada setiap genotipe. Menurut Marschner (1995) tanaman memiliki dua tipe mekanisme toleransi terhadap keracunan Fe2+

yaitu : 1) Tipe ekskluder yaitu tanaman mengakumulasi ion Fe2+ yang berlebihan di akar, ion Fe2+ yang berlebihan di dalam tanah dihambat masuk ke dalam zona perakaran. 2) Tipe inkluder yaitu akar tanaman menyerap unsur Fe2+ dan menahannya di daun. Mekanisme toleransi tipe ini adalah ion Fe2+ yang berlebihan

diserap oleh akar dan kemudian dinetralisir oleh enzim SOD (Super Oksida Dismutase) menghasilkan H2O2. Selanjutnya H2O2 yang terbentuk tersebut dengan

bantuan enzim peroksidase dan/atau katalase menghasilkan H2Odan triplet oksigen

yang tidak berbahaya bagi tanaman.

Mekanisme ekskluder yang terdapat dalam tanaman berhubungan dengan produksi etilen dalam akar. Etilen yang berupa molekul kecil dan berbentuk gas (Abeles 1973) memiliki fungsi untuk membantu perkembangan aerenchyma pada akar dan juga pembentukan akar-akar baru sebagai cara adaptasi tanaman pada kondisi tergenang (Yang 1980). Etilen yang terbentuk pada kondisi tergenang berasal dari S-adenosyl methionine (SAM), kondisi anaerob (genangan) dapat menstimulasi pembentukan Aminocyclopropana carboxilyc acid (ACC) yang berasal dari SAM. Kemudian ACC yang diturunkan dari SAM dapat diubah ke etilen di akar (Yang 1980), selanjutnya etilen ini dapat meningkatkan aktivitas sellulase. Peningkatan aktivitas sellulase ini yang mendorong perkembangan aerenchyma di akar (Kawase 1981). Aerenchyma yang terbentuk selanjutnya memfasilitasi oksigen berdifusi dari atmosfir ke dalam rongga akar. Keberadaan oksigen dalam larutan tanah berhubungan dengan aerenchyma yang terbentuk dalam jaringan akar. Oksigen ini merupakan unsur yang membantu terjadinya proses mekanisme ekskluder, misalnya oksidasi Fe2+ menjadi Fe3+ yang

menghasilkan plak besi dapat terjadi jika oksigen tersedia di daerah rhizosfer. Plak yang terbentuk di permukaan akar bukan hanya mengurangi kelarutan Fe2+ tetapi dapat juga menahan Fe2+ masuk ke dalam akar, selain itu sebagai penghalang supaya konsentrasi ion Fe2+ tidak meningkat.

Selain kondisi tergenang produksi etilen dapat juga dipicu oleh tanaman yang mengalami tekanan fisik, misalnya pada kondisi yang memiliki kandungan Fe tinggi (Becker dan Asch 2005; Dorlodot et al. 2005). Tanaman padi yang mengalami keracunan besi akan terjadi akumulasi ion Fe2+ dalam jaringan tanaman, seiring dengan terjadinya akumulasi ion Fe2+ ini akan terjadi biosintesis etilen dalam akar (Becker dan Asch 2005; Dorlodot et al. 2005).

(25)

3 dalam daun ion Fe2+ akan menyebabkan terbentuknya beberapa jenis oksigen aktif

seperti super oksida dan H2O2. Peningkatan konsentrasi super oksida dan H2O2

dapat mengakibatkan aktivitas enzim polifenol oksidase meningkat dan akhirnya akan meningkatkan jumlah polifenol teroksidasi. Hal ini yang diduga sebagai penyebab utama terbentuknya bronzing pada daun. Disamping itu kandungan Fe2+

yang tinggi dalam jaringan daun mengakibatkan terbentuknya oksigen radikal bebas yang sangat fitotoksik yang menyebabkan terdegradasinya protein dan lemak membran sel (Audebert 2006).

Tanaman padi dapat mengalami keracunan Fe mulai dari fase vegetatif sampai pada fase generatif. Lebih lanjut Sahrawat (2004) mengatakan tanaman yang mengalami keracunan besi dapat mempengaruhi perkembangan akar menjadi sedikit, kasar, pendek, tumpul dan berwarna coklat gelap. Keracunan yang terjadi pada fase vegetatif dapat menyebabkan menurunnya tinggi dan bobot kering tanaman atau keracunan besi lebih mempengaruhi biomassa bagian atas dari pada bagian akar (Fageria et al. 1989). Tanaman yang mengalami keracunan Fe menyebabkan daun tanaman menjadi berwarna coklat dimulai dari ujung daun kemudian menyebar keseluruh bagian daun dan jika mengalami keracunan yang lebih parah dapat menyebabkan daun menjadi kering seperti terbakar.

Selain keracunan Fe, tanaman yang mengalami keracunan Al juga dapat menurunkan hasil tanaman padi. Akibat keracunan Al dapat merusak sistem perakaran, misalnya perkembangan akar terhambat sehingga menyebabkan tanaman rentan terhadap kekeringan dan mengalami defisiensi nutrien mineral. Pengaruh Aluminium terhadap perakaran dapat menyebabkan kerusakan akar, akar menebal, menggulung dan pendek (Delhaize dan Ryan 1995; Kochian 1995; Samac dan Tesyafe 2003 dan Kochian et al. 2004). Kerusakan yang terjadi pada akar akibat keracunan Al dapat terjadi saat masih berada pada dinding sel tanpa hasur masuk ke dalam sel akar (Delhaize dan Ryan 1995). Lebih lanjut Miftahudin et al. (2007) menyampaikan kerusakan yang terjadi akibat keracunan Al berada pada 0-1 mm dari ujung akar (atau bagian meristematik akar).

Berdasarkan permasalahan tersebut, maka dipandang perlu dilakukan suatu penelitian atau kajian yang komprehensif untuk memperbaiki dan meningkatkan produktivitas padi di lahan pasang surut. Kajian tentang penerapan teknologi aplikatif seperti pengelolaan terhadap air, pemakaian varietas yang toleran terhadap keracunan Fe atau Al dan juga umur bibit yang lebih toleran terhadap Fe atau Al perlu diterapkan. Disamping itu pemanfaatan lahan yang maksimal perlu diterapkan misalnya memanfaatkan lahan dua musim dalam setahun.

(26)

4

contoh tanah utuh dapat meningkatkan pH tanah dan menurunkan kandungan Al-bebas, Fe-bebas sedangkan terhadap Mn-bebas tidak mengalami perubahan.

Selain pengelolaan air, yang perlu diperhatikan adalah perbaikan varietas. Perbaikan varietas ini diarahkan pada varietas unggul yang memiliki karakter toleran dan dapat tumbuh pada kondisi tercekam Fe atau Al serta pada kondisi pH rendah. Badan LITBANG Pertanian telah banyak merilis varietas yang toleran di lahan pasang surut, namun penggunaan varietas yang telah dilepas dan direkomendasikan untuk lahan pasang surut yang bermasalah dengan keracunan Fe atau Al menunjukkan hasil yang beragam dan tidak konsisten baik antara lokasi maupun antara musim. Terjadinya perbedaan hasil kemungkin disebabkan karena adanya perbedaan karakteristik tanah antar lahan pasang surut dan kemampuan tanaman dalam beradaptasi dengan kadar Fe atau Al yang ada di dalam tanah. Penerapan teknologi pengelolaan air dan penanaman varietas toleran terhadap Fe atau Al diperkirakan dapat meningkatkan produksi padi.

Penentuan umur bibit juga penting diperhatikan untuk mengatasi permasalahan penanaman padi di lahan pasang surut. Salah satu komponen teknologi PTT padi sawah yang direkomendasikan oleh Badan LITBANG Pertanian adalah menganjurkan umur bibit untuk tanaman padi adalah 2-3 minggu. Sementara itu menurut kebiasaan petani setempat umur bibit yang dilakukan dengan sistem tanam pindah adalah lebih dari 4 minggu. Berdasarkan hal tersebut dilakukan pengujian terhadap beberapa tingkat umur bibit yang lebih toleran terhadap keracunan Fe. Diharapkan dengan mengintegrasikan pengelolaan air dengan varietas toleran dan juga umur bibit yang ditanam dapat meningkatkan produktivitas padi di lahan pasang surut.

Penelitian ini dilakukan dua tahap, tahap pertama penelitian dilakukan pada lingkungan terkontrol (rumah kasa) dan tahap ke-dua merupakan aplikasi di lapangan mengambil lokasi di daerah lahan pasang surut dengan tipe luapan B yang mempunyai kedalam pirit antara 0-50 cm di bawah permukaan tanah. Penelitian dilakukan di lahan pasang surut tipe luapan B Sumatera Selatan pada musim ke-dua yaitu bulan April sampai dengan Juli. Pemilihan lokasi ini lebih ditekankan pada: (1) meningkatkan pendapatan petani setempat melalui pemanfaatan lahan pada musim tanam ke-dua, (2) menambah luasan areal pertanaman padi yang menggunakan genotipe toleran Fe atau Al.

Tujuan Umum Penelitian

Mendapatkan informasi perbedaan morfologi dan fisiologi tanaman yang mengalami keracunan Fe atau Al serta paket teknolgi yang dapat meningkatkan

produktivitas padi di lahan pasang surut.

Tujuan Khusus

1) Mempelajari mekanisme toleransi beberapa genotipe padi terhadap keracunan Fe

2) Untuk mengetahui umur bibit yang lebih toleran terhadap cekaman Fe 3) Mempelajari pengaruh cekaman Al terhadap pertumbuhan beberapa

(27)

5 4) Mendapatkan teknologi pengelolaan air dan genotipe yang toleran terhadap keracunan Fe dan Al yang dapat meningkatkan produktivitas padidi lahan pasang surut.

Hipotesis

1) Ada mekanisme/respon yang berbeda dari tiap genotip dan umur padi terhadap keracunan besi

2) Ada umur bibit yang lebih toleran terhadap keracunan Fe

3) Ada pengaruh cekaman Al terhadap pertumbuhan beberapa genotipe tanaman padi

4) Ada teknologi pengelolaan air dan genotipe yang toleran terhadap keracunan Fe dan Al yang dapat menekan terjadinya akumulasi besi atau aluminium.

Kerangka Pemikiran

Lahan pasang surut merupakan areal tujuan pengembangan pertanian khususnya tanaman padi dalam upaya pemenuhan kebutuhan pangan yang semakin meningkat. Lahan ini menjadi salah satu tujuan utama karena : 1) Ketersediaan lahan cukup luas di Indonesia, 2) Dari segi topografi, ketersediaan air, iklim dan letak sangat baik untuk pertanian. Namun demikian kenyataan menunjukkan bahwa pengembangan pertanian di lahan pasang surut sering menghadapi kegagalan. Kendala utama yang sering dijumpai adalah tingginya keracunan besi atau aluminium akibat reaksi oksidasi atau reduksi terhadap Fe yang terdapat dalam larutan tanah. Proses oksidasi pirit (FeS2), dapat terjadi secara alami yakni akibat

perbedaan yang besar antara pasang surutnya air laut dan musim kemarau panjang (Suriadikarta dan Setyorini 2006) atau karena aktivitas manusia. Menurut Dent (1986), Alloway dan Ayres (1997) proses oksidasi pirit dapat terjadi melalui beberapa tahapan yang melibatkan proses kimia dan biokimia yaitu mula-mula oksigen terlarut dalam air tanah bereaksi lambat dengan pirit, menghasilkan besi ferro (Fe2+) dan sulfat atau unsur belerang dengan reaksi sebagai berikut.

FeS2 + 1/2 O2 + 2H+ Fe2+ +2S + H2O ... (1)

Oksidasi belerang oleh oksigen terjadi sangat lambat, tetapi dengan bantuan bakteri autotrop yang berperan sebagai katalisator, proses dapat berjalan lebih cepat, reaksinya sebagai berikut :

S + 3/2 O2 + H2O SO42- + 2 H+ ... (2)

Reaksi oksidasi Fe2+ oleh oksigen yang menghasilkan besi ferri (Fe3+) dengan

(28)

6

Thiobacillus ferrooxidans

Fe2+ + 1/4O2 + H+ Fe3+ + ½ H2O ... (3)

Kemudian besi ferri yang terbentuk dapat bertindak sebagai oksidator bagi pirit. Jika pH tanah menjadi < 4.0, menyebabkan Fe3+ dapat mengoksidasi pirit dengan cepat yang digambarkan dalam reaksi berikut :

FeS2 + 14Fe3+ + 8H2O 15Fe2+ + 2SO42- +16H+ ... (4)

Hasil akhir dari reaksi oksidasi pirit adalah ferri hidroksida secara ringkas dapat digambarkan dalam persamaan berikut :

FeS2 + 15/4O2 + 7/2 H2O Fe(OH)3 + 2SO42- + 4H+ ... (5)

Oksidasi pirit mengakibatkan perubahan kandungan ion-ion di dalam larutan tanah dan kompleks jerapan. Selama proses oksidasi, SO42- di dalam larutan tanah

meningkat cepat, dan sebaliknya Fe2+ menurun. Penurunan kandungan besi tersebut karena terjadinya presipitasi besi dalam bentuk besi ferri yang sukar larut dan sebagian lagi terpresipitasi dalam bentuk jarosit.

Jika dalam oksidasi pirit terbentuk jarosit maka kemasaman yang dihasilkan adalah 3 mol H+ untuk setiap 1 mol pirit teroksidasi. Reaksi tersebut adalah : FeS2 +15/4O2+5/2H2O+1/3K+ 1/3KFe3 (SO4)2-(OH)6 + 4/3SO42- + 3H+ ... (6)

Menurut pendapat Breeman (1976) ion Fe2+, H+ dan SO42- yang dihasilkan

selama oksidasi pirit biasanya mengalami berbagai reaksi lanjut di dalam tanah. Proses oksidasi Fe2+ menjadi Fe3+ yang kemudian akan mengendap sebagai jarosit (pirit yang terokasidasi). Pada proses ini selain meningkatkan kelarutan Fe2+, H+ dan SO42- proses oksidasi pada bahan sulfidik dapat meningkatkan Al-dd karena

penurunan pH tanah sehingga meningkatkan kelarutan Al, dan adanya sumbangan Al3+ hasil pelapukan mineral. Lebih lanjut dijelaskan bahwa pada keadaan sangat masam, kaolinit dan beidelit dapat larut dan menyumbangkan Al3+ ke dalam larutan tanah sehingga meningkatkan kadar Al-dd.

Proses reduksi atau penggenangan kembali tanah sulfat masam akan meningkatkan pH dan mengurangi kelarutan Al3+, namun kondisi ini dapat meningkatkan kelarutan Fe2+ dan H

2S yang juga meracuni tanaman. Proses reduksi

tersebut digambarkan dalam reaksi berikut :

SO42- + 2H+ + 2CH2O (b. organik) H2S+ 2H2O + 2CO2 ... (7)

Fe(OH)3 + 2H+ + 1/4CH2O (b. organik) Fe2+ + 11/4H2O + 1/4CO2 ... (8)

Tanah yang digenangi dapat menyebabkan munculnya besi ferro (Fe2+), asam

belerang (H2S), CO2 dan asam-asam organik (Vadari et al. 1992). Ion Fe2+ yang

dihasilkan pada kondisi reduktif cukup berbahaya karena dapat diserap langsung oleh akar tanaman.

(29)

7 terjadinya keracunan besi atau aluminium misalnya dengan menerapkan teknologi pengelolaan terhadap air untuk menekan akumulasi Fe2+ di dalam tanah. Konsep dasar dan strategi pengelolaan air dilakukan berdasarkan sifat tanah dan tipe luapan. Sehingga pengembangan dan pemanfaatan lahan yang sesuai dengan karakteristik, sifat tanah yang nantinya dapat menjadikan lahan pasang surut menjadi lahan pertanian yang mempunyai produktivitas tinggi dan berkelanjutan (Widjaja-Adhi, 1987).

Pengelolaan air yang menggunakan interval drainase sudah banyak dilakukan seperti yang dilakukan oleh Yuliana (1998), drainase yang dilakukan pada tanah sulfat masam 8 minggu dengan ke dalaman air bawah tanah sedalam 20 cm dari permukaan lapisan pirit yang mengakibatkan pH menjadi 4.3, dapat meningkatkan Al-dd dan menurunkan besi ferro dan meningkatkan besi ferri. Selain drainase, penggenanga dapat juga dilakukan pada lahan sulfat masam seperti yang dilakukan oleh Ritseme et al (1992), penggenangan yang dilakukan kembali selama 300 hari dari pulau petak setelah didrainase 450 hari dapat meningkatkan kandungan Fe2+.

Peningkatan ini lebih disebabkan karena proses reduksi Fe3+ yang berbentuk amorf menjadi Fe2+. Menurut Tan (1982) setelah tanah sulfat masam yang aerobik digenangi, maka nitrat pada tanah tersebut akan segera direduksi dan kemudian diikuti dengan Mn dan Fe. Akibat reduksi ini konsentrasi Mn dan Fe meningkat. Oleh karena itu penelitian tentang pengelolaan air jenuh atau tergenang yang dilakukan pada musim kemarau I diharapkan dapat mengurangi resiko terjadinya keracunan besi atau aluminium pada tanaman padi.

Disamping pengelolaan terhadap air, pemakaian genotipe yang toleran sangat berperan dalam usaha peningkatan produktivitas padi di lahan pasang surut, karena genotipe yang toleran memiliki kemampuan untuk mengurangi resiko terjadinya keracunan Fe, misalnya pada tanaman padi memiliki kemampuan mengembangkan mekanisme penghindaran dan toleransi baik secara morfologis maupun fisiologis untuk bertahan hidup pada kondisi tanah dengan kelarutan besi yang tinggi. Hal ini umum dilakukan oleh genotipe padi toleran terhadap cekaman besi (Gunawardena 1982). Menurut Marschner (1995) mekanisme toleransi tanaman terhadap keracunan Fe ada dua tipe yaitu : 1) Tipe ekskluder dimana tanaman mengakumulasi unsur Fe2+ yang berlebihan di akar, ion Fe2+ yang berlebihan di dalam tanah dihambat masuk ke dalam zona perakaran, misalnya dengan cara membentuk plak besi 2) Tipe inkluder yaitu dimana akar tanaman menyerap unsur Fe2+ dan menahannya di daun. Mekanisme toleransi tipe inkluder adalah ion Fe2+ yang berlebihan diserap oleh akar dan kemudian dinetralisir oleh enzim SOD (Super Oksida Dismutase) menghasilkan H2O2. Selanjutnya H2O2 yang terbentuk

tersebut dengan bantuan ezim peroksidase dan/atau katalase menghasilkan H2Odan

triplet oksigen yang tidak beracun bagi tanaman.

(30)

8

Alihamsyah (2002), di lahan pasang surut dengan mengintegrasikan teknologi pengelolaan air dengan varietas toleran diperoleh hasil lebih dari 5 t ha-1. Berdasarkan hasil-hasil penelitian tersebut menunjukkan bahwa produktivitas padi di lahan pasang surut masih dapat ditingkatkan. Selain itu lahan dapat dimanfaatkan dua musim dalam setahun, misalnya musim ke-dua bulan Maret – Juli.

Pemakaian genotipe toleran dan pengelolaan terhadap air dengan menggunakan kondisi air jenuh atau tergenang diharapkan akan dapat mengurangi resiko terjadinya keracunan Fe atau Al di lahan pasang surut yang dilakukan pada musim tanam ke-dua. Dari rangkaian penelitian ini diharapkan suatu informasi tentang mekanisme adaptasi terhadap keracunan Fe atau Al dan pengelolaan air di lahan pasang surut sehingga peningkatan produktivitas padi di lahan pasang surut dapat meningkat dan juga dapat menimbulkan minat petani setempat untuk menanam padi pada musim ke-dua.

Perumusan Masalah

Kebutuhan pangan terus mengalami peningkatan seiring dengan terus meningkatnya jumlah penduduk dan didukung juga tingkat konsumsi pangan yang cukup tinggi (135 kg/ tahun). Sementara itu permasalahan yang dihadapi sekarang dalam usaha peningkatan produktivitas padi adalah lahan subur semakin menyempit dan sulit ditemukan karena telah beralih fungsi dari lahan pertanian menjadi areal non pertanian. Lahan alternatif yang dapat dimanfaatkan adalah lahan pasang surut. Namun beberapa permasalahan sering dihadapi dalam budidaya tanaman di lahan pasang surut antara lain : 1) Tanahnya mengandung pirit, (bisa dalam kondisi reduktif atau kondisi oksidatif), 2) Nilai pH tanah yang rendah (<4.0), 3) Konsentrasi ion Fe atau Al yang cukup tinggi menjadi toksik bagi tanaman, 4) Terjadi kahat hara, 5) Produktivitas rendah dan 6) Pemanfaatan lahan belum maksimal. Dari latar belakang yang sudah disampaikan, yang menjadi rumusan masalah dalam penelitian ini difokuskan untuk menjawab nilai toleransi Fe atau Al yang dapat ditoleransi oleh genotipe padi dan penekanan akumulasi Fe atau Al di lahan pasang surut. Sebagai acuan ilmiah dari penelitian ini perlu dipelajari mekanisme toleransi dari genotip padi sehingga dapat bertahan pada kondisi lingkungan yang memiliki kandungan Fe atau Al tinggi.

Pendekatan penelitian yang dilaksanakan adalah dari laboratorium ke lapangan (from lab to land). Penelitian yang dilakukan terdiri dari dua tahap yaitu tahap I dilakukan pada lingkungan yang terkontrol rumah kasa IPB Bogor dan tahap II aplikasi ke lapangan yaitu lahan pasang surut. Kegiatan di rumah kasa dilakukan melihat tingkat toleransi dan mekanisme yang dicoba pada dua tingkat umur bibit. Setelah diperoleh umur yang lebih toleran terhadap keracunan Fe, kemudian diuji lagi dengan menggunakan cekaman Al untuk melihat pengaruhnya terhadap pertumbuhan tanaman. Pada tahap II dilakukan aplikasi ke lapangan dengan memakai umur hasil seleksi pada penelitian tahap I. Penelitian di lapangan mencoba melakukan penekanan terhadap akumulasi Fe melalui pengelolaan air dan genotipe yang mengambil lokasi di lahan pasang surut tipe luapan B dengan ke dalaman pirit 0-50 cm dari permukaan tanah.

(31)

9

Lingkup Kegiatan

PENEKANAN AKUMULASI Fe DAN Al UNTUK MENINGKATKAN PRODUKTIVITAS PADI DI LAHAN PASANG SURUT

Pengaruh perbedaan umur bibit terhadap tingkat keracunan Fe

Mekanisme toleransi beberapa genotip padi terhadap keracunan Fe pada media kultur hara (bibit berumur dua minggu)

Mekanisme toleransi beberapa genotip padi terhadap keracunan Fe pada media kultur hara (bibit berumur empat minggu)

Pengaruh beberapa konsentrasi Al terhadap pertumbuhan beberapa genotipe tanaman Padi

Tahap I

Kajian pengelolaan air dan genotipe untuk meningkatkan produktivitas padi di lahan pasang surut

Gambar 1. Diagram alir penelitian mekanisme adaptasi dan penekanan akumulasi Fe atau Al untuk meningkatkan produktivitas padi di lahan pasang surut

(32)

10

2

TINJAUAN PUSTAKA

Karakteristik Lahan Rawa Pasang Surut

Lahan pasang surut merupakan bagian dari lahan rawa pasang surut dimana tanahnya memiliki lapisan pirit atau sulfidik berkadar >2% pada ke dalaman <50 cm. Berdasarkan klasifikasi lahan, lahan pasang surut dibedakan berdasarkan tipe luapan A=didominasi oleh tanah sulfat masam potensial, tipe luapan B= didominasi oleh tanah sulfat masam aktual, tipe luapan C= didominasi oleh tanah sulfat masam aktual, dan tipe luapan D=didominasi oleh tanah sulfat masam potensial atau aktual (Ritzema et al. 1992). Berdasarkan tipe luapan air, lahan pasang surut dapat dibagi empat tipe (Noorsyamsi et al. 1984), yaitu :

Tipe A: adalah lahan rawa di bagian paling rendah dipengaruhi oleh pasang surut harian. Selalu terluapi air pasang harian, pasang besar dan pasang kecil, sepanjang tahun selama musim penghujan dan musim kemarau. Pasang surut harian mendominasi neraca air, dan profil tanah selalu jenuh air. Wilayahnya terletak diantara surut terendah rata-rata pasang kecil

Tipe B: adalah rawa di bagian agak lebih tinggi (antara lain ke arah tanggul sungai atau ke arah kubah), dipengaruhi langsung oleh pasang surut harian tetapi hanya terluapi oleh pasang besar saja dan tidak terluapi oleh pasang kecil atau pasang harian tertinggi. Air menggenang selama pasang besar, dan air tanah berada di bawah permukaan tanah selama pasang kecil. Wilayahnya terletak diantara pasang kecil rata-rata dan pasang besar rata-rata.

Tipe C: adalah lahan pasang surut yang relatif kering, tidak dipengaruhi oleh pasang surut harian. Tidak pernah terluapi air pasang baik itu pasang besar maupun pasang kecil. Air pasang berpengaruh melalui air tanah, dan oleh karena itu air tanahnya dangkal <50 cm dari permukaan tanah. Pada musim penghujan dapat terluapi oleh air hujan atau air yang berasal dari wilayah hutan.

Tipe D: adalah lahan pasang surut yang tergolong kering. Lahan tidak pernah terluapi walaupun pasang besar. Kedalaman air tanah umumnya > 50 cm dari permukaan tanah. Air pengairan semata-mata datang dari air hujan atau air yang berasal dari wilayah hutan.

Pengertian dan Potensi Lahan Sulfat Masam

(33)

11 dalam klasifikasi tanah Entisol dan (2) Sulfat masam aktual, dimana memiliki horizon sulfurik atau pirit yang telah teroksidasi pada ke dalaman 0-50 cm dan pH<3.5, termasuk dalam klasifikasi tanah Inceptisol. Kondisi tanah sulfat masam umumnya sangat merugikan pertumbuhan tanaman.

Proses Oksidasi pada Tanah Sulfat Masam

Proses oksidasi yang paling penting adalah oksidasi pirit (FeS2), dimana

proses ini dapat terjadi secara alami yakni akibat perbedaan yang besar antara pasang surutnya air laut dan musim kemarau panjang (Suriadikarta dan Setyorini 2006) atau akibat aktivitas manusia. Menurut Dent (1986), Alloway dan Ayres (1997) proses oksidasi pirit dapat terjadi melalui beberapa tahapan yang melibatkan proses kimia dan biokimia (dapat dilihat pada reaksi 1 sampai reaksi 6).

Oksidasi pirit mengakibatkan perubahan kandungan ion-ion di dalam larutan tanah dan kompleks jerapan. Selama proses oksidasi, SO42- di dalam larutan tanah meningkat cepat, dan sebaliknya Fe2+ menurun. Penurunan kandungan besi tersebut karena terjadinya presipitasi besi dalam bentuk besi ferri yang sukar larut dan sebagian lagi terpresipitasi dalam bentuk jarosit. Terbentuknya jarosit akibat teroksidasinya pirit dapat menurunkan kemasaman tanah, karena konsentrasi ion H+ yang dihasilkan dari reaksi oksidasi pirit juga

digunakan 1 mol untuk mereduksi jarosit.

Menurut van Breemen (1993), kecepatan penurunan pH akibat oksidasi pirit ditentukan oleh jumlah pirit, kecepatan oksidasi, kecepatan perubahan hasil oksidasi dan kapasitas netralisasi. Penurunan pH ini sendiri dapat juga dihalangi oleh tanah itu sendiri melalui beberapa cara, yaitu :

a. pembentukan jarosit.

b. penetralan oleh hasil disosiasi beberapa mineral hijau seperti khlorit, chamosit, dan glaukonit.

c. reaksi pertukaran dengan kation pada kompleks absorbsi dan d. penetralan dengan bahan kapur.

Proses Reduksi pada Tanah Sulfat Masam

Tanah sulfat masam yang digenangi (anaerob) dapat menyebabkan berkurangnya kemasaman tanah yang timbul akibat proses oksidasi, tetapi bila kondisi reduksi ini terjadi secara berlebihan akan muncul permasalahan baru, yaitu terbentuknya besi ferro (Fe2+) asam belerang (H2S), CO2 dan asam-asam organik

(Vadari et al. 1992). Proses reduksi yang terjadi pada tanah sulfat masam juga dapat meningkatkan pH di larutan tanah dan mengurangi kelarutan Al3+ dalam larutan tanah. Prosesnya dapat digambarkan pada reaksi berikut ini :

SO42- + 2H+ + 2CH

2O (b. organik) H2S + 2H2O+2CO2……... (7)

(34)

12

Pengaruh Oksidasi dan Reduksi Pirit terhadap pH, Fe, dan Al

Tanah sulfat masam yang mengalami proses oksidasi pada senyawa pirit dapat menghasilkan asam sulfat. Kemasaman yang tinggi akibat oksidasi pirit menyebabkan kisi-kisi mineral liat akan pecah atau terbongkar dan kemudian melepaskan Al3+ ke dalam larutan tanah. Proses oksidasi dapat terjadi karena tanah

retak akibat kekeringan, bekas perakaran tanaman atau drainase yang berlebihan sehingga oksigen dapat masuk ke dalam tanah melalui pori-pori tanah yang terbuka. Di dalam tanah oksigen dan ion Fe3+ dapat berperan sebagai oksidator bagi pirit

yang menyebabkan tanah menjadi sangat masam (Suriadikarta dan Setyorini 2006; Damanik dan Hanudi 2008; Priatmadi dan Haris 2009) dan nilai pH tanah menjadi sangat rendah mencapai 2-3 (Dent 1986). Ion H+, Fe2+ dan SO42- yang dihasilkan

akibat nilai pH yang rendah juga dapat meningkatkan Fe-bebas.

Menurut Sudarmo (2004), penurunan pH disamping meningkatkan kadar Fe-bebas juga meningkatkan kadar Mn-Fe-bebas, Al-dd dan Mg-dd serta cenderung meningkatkan kapasitas tukar kation (KTK). Pada tahap lanjut peningkatan Fe-bebas, Al-dd, Mn-bebas dapat menurunkan P-tersedia. Konsentrasi ion H+ yang tinggi di dalam larutan tanah dapat memicu kemasaman tanah, hal ini menggambarkan bahwa proses oksidasi yang terjadi pada tanah tersebut sangat kuat (Sumner dan Noble 2003).

Oksidasi terhadap bahan sulfidik dapat menyebabkan tanah menjadi sangat masam, kaolinit dan beidelit dapat larut dan menyumbang Al3+ ke dalam larutan tanah sehingga kadar Al-dd meningkat. Hasil penelitian Charoenchamratcheep et al. (1987) dalam Sudarmo (2004) menyatakan kemasaman akibat oksidasi tanah sulfat masam menyebabkan mineral alumino-silikat menjadi larut, dicirikan dengan konsentrasi Si-Al dalam suspensi larutan tanah meningkat. Aktivitas ion Al3+ yang

larut tergantung langsung dari nilai pH tanah, van Breemen (1976). Seperti yang disampaikan oleh Cho et al. (2002) konsentrasi Al dalam larutan tanah meningkat dari 0.4 ppm pada pH 5.5 menjadi 54 ppm pada pH 2.8 di Tanah sulfat masam di Thailand. Lebih lanjut Anwar (2006) menyampaikan penurunan pH tanah 1 unit dapat meningkatkan aktivitas ion Al3+ 10 kali.

Dampak Oksidasi Pirit pada Tanaman.

(35)

13 Pengaruh Cekaman Al pada Pertumbuhan Tanaman

Keracunan yang terjadi di lahan sulfat masam dengan kondisi pirit yang teroksidasi adalah keracunan aluminium (Al) akibat dari tingginya konsentrasinya Al di dalam larutan tanah. Aluminium yang terdapat di dalam larutan tanah dapat ditemui dalam bentuk yang berbeda-beda tergantung pada nilai pH yang terdapat di dalam tanah. Nilai pH 4.0 dalam bentuk Al (H2O)63+, pH 4.5 – 5.0 dalam bentuk

Al (OH)2+ , pH 5.5 - 6,0 dalam bentuk Al (OH)2+ dan pH >6.0 dalam bentuk

Al(OH)2 atau Al(OH)4- (Samac dan Tesfaye 2003). Bentuk Al yang diserap oleh

akar tanaman dan yang dapat meracuni berbeda pada setiap jenis tanaman maupun pada bagian tanaman.

Bagian tanaman yang pertama kali berinteraksi dengan tanah adalah akar dan bagian ini merupakan yang sensitif terhadap keracunan Al. Tingginya konsentrasi Al dalam larutan tanah dapat menimbulkan efek yang merugikan bagi pertumbuhan tanaman baik secara langsung maupun tidak langsung. Beberapa penelitian melaporkan bahwa keracunan Al dapat menurunkan dan merusak sistem perakaran sehingga menyebabkan tanaman rentan terhadap cekaman kekeringan dan mengalami defisiensi hara (Kochian 1995; Samac dan Tesyafe, 2003; Kochian et al. 2004). Gejala awal yang terlihat pada tanaman adalah sistem perakaran tidak berkembang akibatnya pemanjangan sel akar menjadi terganggu (Purnamaningsih dan Mariska 2008). Hal yang sama juga disampaikan oleh Delhaize dan Ryan (1995) dalam Roslim (2011), bahwa tanaman yang mengalami cekaman Al menyebabkan kerusakan pada akar, misalnya akar menebal, menggulung dan pendek. Jika tanaman mengalami cekaman Al lebih lama dapat menghambat pembelahan sel (Kochian 1995; Matsumoto 2000). Menurut Delhaize dan Ryan (1995) dalam Trikoesoemaningtyas (2002) kerusakan akar berkorelasi dengan akumulasi Al di ujung akar terutama pada daerah 0-5mm dari ujung akar. Pendapat ini juga didukung oleh hasil penelitian yang dilakukan oleh Miftahudin et al. (2007) bahwa daerah kerusakan pada akar tanaman yang ditimbulkan oleh Al berada sekitar 1 mm dari ujung akar. Lebih lanjut Delhaize dan Ryan (1995), menyampaikan Al dapat merusak akar pada saat masih berada pada dinding sel tanpa harus masuk ke dalam sel.

Tanaman yang sensitif terhadap cekaman Al seperti IR64 akan memperlihatkan gejala sekunder yaitu akan terlihat kerusakan pada daun yang dimulai dengan berwarna kuning pada ujung daun kemudian berubah merah atau coklat pada seluruh helaian daun hingga daun layu dan mati. Gejala keracunan Al pada padi dapat terlihat seperti pada keracunan Fe, tetapi gejala akibat keracunan Al merupakan gejala sekunder, karena kerusakan pada daun timbul karena rusaknya sistem perakaran dan oleh karena itu akan terjadi penghambatan penyerapan air dan nutrisi dari dalam tanah, sedang yang terjadi akibat cekaman Fe pada tanaman padi merupakan gejala primer daun akan mengalami bronzing kemudian layu dan mati akibat tingginya ion Fe2+ dalam jaringan daun.

(36)

14

1984). Hipotesis lain menyebutkan bahwa pada kondisi tercekam Al menyebabkan aktivitas H+-ATPase menjadi tertekan karena Ca+ digantikan oleh Al sedangkan unsur Ca+ dibutuhkan sebagai second massenger dalam aktivitas H+-ATPase (Wagatsu et al 1987 dalam Trikoesoemaningtyas 2002).

Hambatan yang terjadi secara langsung pada tanaman padi akan menghambat pertumbuhan akar primer dan menghalangi pembentukan akar lateral dan bulu akar, ujung akar menebal berwarna cokelat, dan akar menjadi kerdil dan pendek (Harmida 2007) sehingga dapat mengganggu sistem transportasi air dan nutrisi dan menyebabkan penurunan hasil yang signifikan (Giannakoula 2009).

Mekanisme Toleransi Cekaman Al pada Tanaman

Tanaman, sejak awal pertumbuhan sudah dihadapkan pada berbagai permasalahan seperti cekaman biotik atau abiotik. Salah satu cekaman abiotik yang sering dihadapi adalah cekaman Al. Akibat dari tingginya konsentrasi Al di dalam tanah dapat menyebabkan tanaman mengalami keracunan Al. Keracunan Al merupakan salah satu faktor utama yang membatasi produksi pertanian (Samac dan Tesyafe 2003). Tiap-tiap tanaman memiliki perbedaan respon terhadap Al yang tinggi. Tanaman yang toleran terhadap Al berarti tanaman dapat tumbuh dengan baik pada lingkungan yang memiliki kandungan Al tinggi, sedangkan tanaman yang peka terhadap Al akan mengalami gangguan pertumbuhan seperti perubahan struktur sel-sel epidermis, penebalan akar dan kerusakan pada permukaan akar (Wahyuningsih 2009).

Menghadapi cekaman Al di dalam tanah, tanaman mempunyai strategi untuk dapat bertahan hidup. Strategi yang dimiliki untuk menghadapi cekaman Al tinggi adalah sebagai berikut :

1. Akar tidak menyerap Al sehingga Al tidak terakumulasi di tajuk (avoidance). Mekanisme ini terjadi bila tanaman mengeksudasi senyawa asam organik dari akar. Senyawa asam organik yang dieksudasi dapat meningkatkan pH rhizosfer sehingga Al berada dalam bentuk tidak larut dan tidak toksik bagi tanaman. Selain itu asam organik tersebut dapat mengkelat Al sehingga Al tidak diserap tanaman. Asam organik yang dieksudasi dapat berupa asam malat dan asam sitrat pada gandum, (Delhaize dan Ryan 1995).

2. Akar tanaman menahan dan mengakumulasi Al di akar, terutama di jaringan epidermis akar.

3. Tanaman mengakumulasi Al di dalam tajuk (Al akumulator)

Mekanisme internal detoksifikasi Al di dalam sitoplasma lebih kepada pembentukan asam organik dan pembentukan komplek Al, sehingga Al tidak bersifat racun di dalam sel tanaman. Pengaktifan enzim tertentu juga dapat menghasilkan asam organik yang dapat mengkelat Al supaya tidak toksik bagi tanaman, misalnya pembentukan ikatan kompleks Al-COOH (Carboxylate-Al) sehingga Al menjadi tidak aktif. Aluminium yang berada di dalam tonoplas akan didetoksifikasi oleh asam organik dan membentuk senyawa kompleks Al disebut dengan internal detoksifikasi.

(37)

15 Dampak Reduksi Pirit pada Tanaman.

Pada proses reduksi (kondisi tergenang) pada tanah sulfat masam dapat meningkatkan pH dan mengurangi kelarutan Al, namun kondisi ini dapat meningkatkan kelarutan Fe2+, H2S, CO2 dan asam organik yang bersifat racun bagi

tanaman (Vadari et al. 1992). Salah satu permasalahan yang muncul dari kondisi ini adalah tingginya konsentrasi ion Fe2+ di dalam larutan tanah. Konsentrasi ion Fe2+ di dalam tanah yang menyebabkan keracunan bagi tanaman khususnya tanaman padi bervariasi 100 ppm dengan pH 3.7 dan 300 ppm pada pH 5.0 (Sahrawat et al 1996). Sedangkan konsentrasi Fe2+ yang terdapat di dalam jaringan tanaman yang dapat meracuni tanaman antara 300-500 ppm (Sahrawat 2000) 500 – 2000 ppm (Nozoe et al. 2008).

Respon Pertumbuhan Tanaman Padi terhadap Keracunan Fe

Besi termasuk unsur hara mikro esensial bagi tumbuhan, yaitu unsur hara yang dibutuhkan oleh tanaman dalam jumlah sedikit. Apabila tanaman menyerap besi melebihi kebutuhan dapat mengakibatkan keracunan bagi tanaman. Batas kritis Fe di dalam jaringan tanaman cukup bervariasi, >300 ppm (Yamauchi dan Peng 1995), 400-600 ppm (Koesrini dan William, 2001), 500 – 2000 ppm (Becker dan Asch 2005; Nozoe 2008). Besi yang merupakan komponen dari berbagai enzim berperan sebagai (1) katalisator dalam berbagai proses metabolisme, (2) pembentukan klorofil dan (3) merupakan komponen enzim reduksi-oksidasi apabila bergabung dengan senyawa organik.

Tanaman padi memiliki suatu kecenderungan dalam menyerap besi lebih tinggi dibandingkan dengan tanaman lain. Besi diserap akar tanaman dalam bentuk Fe2+ dan masuk ke dalam jaringan akar kemudian ditransportasikan ke dalam jaringan tanaman. Transport Fe2+ di dalam akar tanaman padi bisa melalui jalur

apoplas maupun simplast menuju epidermis, corteks, endodermis dan setelah melewati pita kaspari besi ditransportasikan ke pembuluh xylem. Oleh xylem besi ditransportasikan ke tajuk mengikuti aliran transpirasi menuju ruang-ruang antar sel. Setelah berada di dalam sel daun, Fe2+ bertindak sebagai katalisator dalam pembentukan beberapa jenis oksigen aktif seperti superoksida, radikal hidroksida dan H2O, selanjutnya Fe2+ yang ada di tajuk didistribusikan ke jaringan target (sink)

(Marschner 1995; Kim dan Guerinot 2007).

Besi dalam bentuk Fe3+ dapat juga diserap oleh akar tanaman dengan bantuan pengkelat. Pada saat tanaman mengalami defisiensi Fe, akar tanaman padi akan melepaskan asam muginik, yaitu molekul kimia dari kelompok fitosiderofor dan mengkelat Fe3+ yang ada di rhizosfer untuk diserap ke dalam akar. Mekanisme pengkelatan Fe ini lebih efisien dari mekanisme reduksi Fe3+ menjadi Fe2+ oleh bakteri pereduksi (Kim dan Guerinot 2007)

Mekanisme toleransi tanaman padi terhadap keracunan besi terdapat dua tipe (Marschner 1995) yaitu : 1) Tipe ekskluder dimana tanaman mengakumulasi unsur Fe yang berlebihan di akar, ion Fe2+ yang berlebihan di dalam tanah dihambat

Gambar

Gambar 1. Diagram alir penelitian mekanisme adaptasi dan penekanan
Tabel 1  Skoring gejala keracunan besi pada tanaman padi
Tabel 2 Hasil analisis ragam perbedaan konsentrasi Fe, genotipe serta
Gambar  4 Perbedaan ukuran aerenchyma pada akar dari genotipe Indragiri
+7

Referensi

Dokumen terkait

Budidaya padi sistem ratun berpotensi meningkatkan produktivitas padi di lahan reklamasi pasang surut di Kabupaten Banyuasin.Sistem budidaya ratun telah lama diterapkan

Varietas padi sawah yang dapat tumbuh dan berproduksi dengan baik di lahan sawah pasang surut dapat dilihat pada Tabel 1.. - Tidak tercampur dengan jenis padi atau biji

Hasil percobaan pengelolaan air sistem tabat dengan mengkonservasi air hujan untuk pertanaman padi varietas IR66 pada musim hujan dengan pola padi- padi di lahan pasang surut

Kajian ini bertujuan untuk (a) menganalisis faktor-faktor yang mempengaruhi produksi dalam usahatani padi di lahan pasang surut, (b) menganalisis beda resiko produksi padi di

Pada lahan pasang surut sulfat masam dalam keadaan reduktif (tergenang) di dalam larutan tanah sangat tinggi konsentrasi Fe, sehingga genotipe IRH108 dan IR64 yang

Pengelolaan tanah dan air (soil and water management) merupakan kunci utama keberhasilan pengembangan pertanian di lahan rawa pasang surut. Pengelolaan tanah dan air ini

Upaya meningkatkan produktivitas lahan pasang surut dan sekaligus kesejahteraan petani, perlu suatu strategi/program yang didukung oleh teknologi tepat guna yang

RPKPS Mata Pengelolaan Lahan Pasang Surut & Lebak 12 PS Agroekoteknologi Faperta UNLAM 4 Mahasiswa mampu mengkarakteristik lahan pasang surut yang ditinjau dari aspek tanah mineral