STUDI PENGENDALIAN KERACUNAN BESI
PADA PADI DI LAHAN PASANG SURUT
MELALUI KERAGAMAN GENOTIPE PADI
DAN AMELIORASI LAHAN
AIDI NOOR
SEKOLAH PASCASARJANA
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
PERNYATAAN MENGENAI DISERTASI DAN SUMBER INFORMASI
Dengan ini saya menyatakan bahwa disertasi yang berjudul “Studi
Pengendalian Keracunan Besi pada Padi di Lahan Pasang Surut Melalui
Keragaman Genotipe Padi dan Ameliorasi Lahan” adalah benar merupakan hasil karya saya sendiri dengan arahan Komisi Pembimbing dan belum pernah diajukan
dalam bentuk apapun kepada perguruan tinggi manapun. Sumber informasi yang
berasal atau dikutif dari karya yang diterbitkan maupun yang tidak diterbitkan dari
penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam Daftar Pustaka.
Bogor, Agustus 2012
Aidi Noor
ABSTRACT
AIDI NOOR. The Study of Controlling Iron Toxicity on Rice in the Tidal Swamp Land through the Diversity of Rice Genotypes and Land Amelioration. Under direction of MUNIF GHULAMAHDI, ISKANDAR LUBIS, M. AHMAD CHOZIN, AND KHAIRIL ANWAR.
The experiments were conducted in the greenhouse of Bogor Agriculture University, from May to November 2010, and field experiment in the tidal swamp area, Barito Kuala regency, South Kalimantan, from February to November 2011. The objectives of the experiment were 1) to obtain the Fe concentration in the solution that causing iron toxicity symptom with criteria severe, moderate and slightly, 2) to obtain tolerant or rather tolerant (moderate) rice genotypes to Fe toxicity, 3) to study the mechanism of tolerance of rice genotypes to Fe toxicity, 4) to obtain the adaptive Salvinia sp. which have high biomass 5) to study the effect of rice genotypes, land amelioration and its combination to iron toxicity at two location and two cropping season in the tidal swamp land. Result of the first experiment which were conducted in the green house showed that after 4 weeks, iron toxicity symptoms of IR 64 variety can be grouped based on Fe concentration, i.e. slightly (skoring 3) = 52 ppm Fe, moderate (scoring = 5) = 143 ppm Fe and severe (scoring 9) is 325 ppm Fe. Iron toxicity symptoms of four genotypes (TOX4136, Inpara-1, Inpara-2, and Inpara-4) which have been selected at 325 ppm Fe concentration were lower in the field experiment. Inpara-1 and Inpara-4 genotypes more tolerant to Fe toxicity than other genotypes and had higher productivity at two experimental sites. The tolerant genotype retain more Fe on surface roots (plaque Fe) and had a ratio of Fe stems/leaves higher than the sensitive genotype. The ability of tolerant genotypes retain more Fe on the root surface (Fe plaque) indicated the existence of mechanisms of avoidance to iron toxicity in rice. Results of 10 Salvinia sp. accessions eveluation in nutrient solution with 7 ppm Fe concentration obtained 4 Salvinia sp. accessions had faster growth with doubling time of 6.0-8.6 days. Countinous testing of four accession of Salvinia sp. at soil of tidal swamp in a pot obtained one accession of Salvinia sp. from S. Kambat had growth and doubling time faster than other accession. Salvinia sp. accession from S. Kambat grown in the field showed growth and doubling time faster (5.1 days and 5.9 days) than which in the greenhouse at 7 ppm Fe in nutrient solution (7.5 days) and the soil of tidal swamp land in a pot (7.9 days). Land amelioration and tolerant genotypes can be control iron toxicity on rice and increased rice productivity in the tidal swamp area. Salvinia sp. which grown or composted had no different with composted rice straw and farmyard manure. The Belandean site had higher iron toxicity level and lower rice productivity than the Danda Jaya site. Iron toxicity can reduce grain yield in tidal swamp land 15.6-63.9% (scoring 2-7) compared to plant which grow normally (scoring 1). Level of iron toxicity at second cropping season lower than at first cropping season.
RINGKASAN
AIDI NOOR. Studi Pengendalian Keracunan Besi pada Padi di Lahan Pasang Surut Melalui Keragaman Genotipe Padi dan Ameliorasi Lahan. Dibimbing oleh MUNIF GHULAMAHDI, ISKANDAR LUBIS, M. AHMAD CHOZIN, DAN KHAIRIL ANWAR.
Lahan pasang surut merupakan salah satu alternatif dalam mengatasi semakin menyusutnya lahan-lahan subur di pulau Jawa akibat konversi lahan. Luas lahan pasang surut di Indonesia diperkirakan sekitar 20.1 juta ha, dan sekitar 9.53 juta ha berpotensi untuk dijadikan sebagai lahan pertanian. Keracunan besi pada padi merupakan salah satu faktor pembatas produksi padi di lahan sawah yang telah dilaporkan terjadi secara luas di beberapa negara Asia seperti China, India, Indonesia, Thailand, Malaysia, dan Philipina. Keracunan besi pada padi dapat menurunkan hasil padi 12-100 %. Penelitian dilaksanakan di rumah kaca Institut Pertanian Bogor bulan Mei- Nopember 2010, dan di lapang bulan Pebruari-Nopember 2011 di lahan pasang surut, kabupaten Barito Kuala, Kalimantan Selatan. Penelitian bertujuan untuk : 1) mendapatkan konsentrasi besi dalam larutan hara yang menyebabkan gejala keracunan besi dengan kriteria ringan, sedang dan berat pada padi, 2) mendapatkan genotipe padi yang toleran atau agak toleran terhadap keracunan Fe dengan produktivitas tinggi, 3) mempelajari mekanisme toleransi genotipe padi terhadap keracunan Fe, 4) mendapatkan Salvinia sp. yang adaptif, cepat tumbuh dan mempunyai biomas yang tinggi, 5) mempelajari pengaruh genotipe padi, ameliorasi lahan dan kombinasinya terhadap keracunan Fe dan produktivitas padi pada dua lokasi dan dua musim tanam berbeda.
Penelitian yang telah dilaksanakan terdiri dari beberapa tahap kegiatan yaitu penelitian di rumah kaca/laboratorium dan lapangan. Penelitian di rumah kaca meliputi : 1) Pengaruh Konsentrasi Besi dalam Larutan Hara terhadap Gejala Keracunan Besi dan Pertumbuhan Tanaman Padi, 2) Evaluasi Toleransi Genotipe Padi terhadap Keracunan Besi pada Dua Level Konsentrasi Besi dalam Larutan Hara, 3) Evaluasi Adaptasi Salvinia sp. terhadap Konsentrasi Fe pada Media Larutan Hara dan Media Tanah Lahan Pasang Surut, 4) Penelitian lapangan : Pengaruh Genotipe Padi dan Ameliorasi Lahan serta Kombinasinya terhadap Keracunan Besi dan Produktivitas padi di Lahan Pasang Surut.
Hasil penelitian percobaan 1 di rumah kaca berdasarkan gejala keracunan besi setelah 4 minggu pada varietas IR. 64 diperoleh konsentrasi dalam larutan hara yang menyebabkan gejala keracunan Fe yang ringan (skor 3) adalah 52 ppm Fe, keracunan Fe sedang (skor = 5) = 143 ppm Fe, keracunan Fe agak berat (skor = 7) = 234 ppm Fe, dan keracunan Fe berat (skor 9) adalah 325 ppm.
viii
Genotipe Inpara-1 dan Inpara-4 tergolong toleran terhadap keracunan Fe dan menghasilkan gabah yang lebih tinggi dari genotipe lainnya pada ke dua lokasi penelitian. Konsentrasi 325 ppm Fe (pH 4.0) dalam larutan hara Yoshida dengan lama cekaman selama 4 minggu dapat digunakan untuk evaluasi (seleksi) genotipe padi toleran terhadap keracunan Fe.
Genotipe padi yang peka menyerap Fe yang lebih banyak dibagian daun dibandingkan genotipe toleran atau agak toleran. Genotipe toleran menahan Fe yang lebih banyak dipermukaan akar (plak Fe) dan mempunyai ratio Fe batang/daun yang lebih tinggi dibandingkan genotipe peka. Adanya kemampuan genotipe yang toleran untuk menahan lebih banyak Fe di permukaan akar (plag Fe) dan ratio Fe batang/daun yang lebih tinggi menunjukkan adanya mekanisme avoidance (penghindaran) terhadap keracunan besi dari tanaman padi.
Hasil eveluasi 10 aksesi Salvinia sp. pada larutan hara dengan konsentrasi 7 ppm Fe dan pH 4.5 diperoleh 4 aksesi Salvinia sp. yang mempunyai pertumbuhan lebih cepat dengan waktu menggandakan 6.0-8.6 hari. Satu aksesi Salvinia sp. (S. Kambat) yang dipilih dari 4 aksesi tersebut setelah dicoba di lapang menunjukkan pertumbuhan dan waktu menggandakan yang lebih cepat (5.1 hari dan 5.9 hari) dibandingkan di rumah kaca pada larutan hara+7 ppm Fe (7.5 hari) dan tanah dari pasang surut dalam pot (7.9 hari). Salvinia sp. mempunyai kemampuan untuk memindahkan (menyerap) Fe dalam larutan. Pada perlakuan 7 ppm Fe dalam media larutan (Hoagland) Salvinia sp. dapat menyerap Fe 19.7-65.6% selama 2 minggu ditumbuhkan.
Genotipe padi toleran dan agak toleran dan ameliorasi lahan dapat mengendalikan keracunan besi dan meningkatkan produktivitas padi di lahan pasang surut. Salvinia sp. ditumbuhkan atau dikomposkan sebagai bahan amelioran tidak berbeda dengan kompos jerami dan pupuk kandang. Ameliorasi lahan menggunakan bahan organik Salvinia sp. ditumbuhkan dan kompos Salvinia sp., jerami padi dan pupuk kandang rata-rata meningkatkan hasil gabah 12-21% di KP. Belandean dan 14-20% di Danda Jaya dibandingkan kontrol tanpa amelioran. Penggunaan genotipe toleran atau agak toleran dapat meningkatkan hasil gabah 11.2-54.7% di KP. Belandean dan 25.4-90.2% di Danda Jaya dibandingkan t/ha, peningkatan skor keracunan besi menjadi 2, 3, 5, dan 7 mengurangi hasil padi berturu-turut menjadi 4.84, 4.08, 2.91, dan 2.07 t/ha. Gejala keracunan besi pada musim tanam I (musim hujan) lebih berat dibandingkan pada musim tanam II (musim kemarau). Perbedaan gejala keracunan besi pada dua musim tanam terutama terlihat jelas pada genotipe padi yang peka seperti IR.64. Pada musim tanam I rata-rata skor keracunan besi IR. 64 adalah 5.53 dan pada musim tanam II 3.47 pada loksi KP. Belandean, sedangkan pada lokasi Danda Jaya musim tanam I rata-rata 4.60 dan pada musim tanam II 2.27.
@ Hak cipta milik Institut Pertanian Bogor, tahun 2012
Hak cipta dilindungi Undang-undang
1) Dilarang mengutip sebagian atau seluruh karya tulis ini tanpa mencantumkan atau menyebutkan sumber
a. Pengutipan hanya untuk kepentingan pendidikan, penulisan karya ilmiah, penyusunan laporan, penulisan kritik atau tujuan suatu masalah.
b. Pengutipan tidak merugikan kepentingan yang wajar bagi Institut Pertanian Bogor.
STUDI PENGENDALIAN KERACUNAN BESI
PADA PADI DI LAHAN PASANG SURUT
MELALUI KERAGAMAN GENOTIPE PADI
DAN AMELIORASI LAHAN
AIDI NOOR
Disertasi
sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Doktor
pada Program Studi Agronomi dan Hortikultura
SEKOLAH PASCASARJANA
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
Penguji pada Ujian Tertutup :
1. Dr. Ir. Atang Sutandi, MS.
Dosen Departemen Ilmu Tanah dan Sumberdaya Lahan, Fakultas Pertanian IPB
2. Dr. Ir. Eko Sulistyono, MSi.
Dosen Departemen Agronomi dan Hortikultura, Fakultas Pertanian, IPB
Penguji pada Ujian Terbuka :
1. Prof. (Riset). Dr. Ir. A. Karim Makarim, M.Sc.
Staf Peneliti Pusat Penelitian dan Pengembangan Tanaman Pangan, Bogor.
2. Dr. Ir. Hajrial Aswidinoor, M.Sc.
Judul Penelitian : Studi Pengendalian Keracunan Besi pada Padi di Lahan Pasang Surut Melalui Keragaman Genotipe Padi dan Ameliorasi Lahan
Nama : Aidi Noor
N I M : A262080041
Program Studi : Agronomi dan Hortikultura
Disetujui
Komisi Pembimbing
Prof. Dr. Ir. Munif Ghulamahdi, MS. Ketua
Dr. Ir. Iskandar Lubis, MS. Anggota
Prof. Dr. Ir. M. Ahmad Chozin, M.Agr. Anggota
Dr. Ir. Khairil Anwar, MS. Anggota
Diketahui
Ketua Program Studi Agronomi dan Hortikultura
Prof. Dr. Ir. Munif Ghulamahdi, MS.
Dekan Sekolah Pascasarjana IPB
Dr. Ir. Dahrul Syah, M.Sc.Agr.
Tanggal Ujian : 29 Agustus 2012 Tanggal Lulus :
PRAKATA
Puji syukur penulis panjatkan kepada Allah SWT yang telah melimpahkan
rahmat dan karuniaNya, sehingga disertasi ini berhasil diselesaikan. Disertasi ini
merupakan penulisan hasil penelitian yang telah dilaksanakan sejak bulan Mei
tahun 2010 sampai bulan Nopember 2011 dengan judul “ Studi Pengendalian
Keracunan Besi pada Padi di Lahan Pasang Surut Melalui Keragaman Genotipe
Padi dan Ameliorasi Lahan.”
Disertasi ini disusun untuk memenuhi salah satu syarat dalam penyelesaian
Program Doktor pada Program Studi Agronomi dan Hortikultura, Sekolah
Pascasarjana, Institut Pertanian Bogor. Bagian dari disertasi Bab 3 dengan judul
“Pengaruh Konsentrasi Besi dalam Larutan Hara terhadap Gejala Keracunan Besi dan Pertumbuhan Tanaman Padi” sedang menunggu proses penerbitan pada Jurnal
Agronomi Indonesia (Vol. XL, No.2, 2012)
Dalam penyelesaian penulisan disertasi ini banyak pihak yang telah
membantu dan berperan sejak dari penyusunan proposal, penelitian di rumah kaca
dan laboratorium, serta kegiatan penelitian di lapang, oleh karena itu penulis
mengucapkan terima kasih yang tak terhingga kepada :
1. Prof. Dr. Ir. Munif Ghulamahdi, MS. sebagai Ketua Komisi Pembimbing atas
bimbingan, arahan, saran, semangat dan dorongan dalam pelaksanaan
penelitian, penulisan disertasi dan penyelesaian studi.
2. Dr. Ir. Iskandar Lubis, MS., Prof. Dr. Ir. M. Ahmad Chozin, M.Agr. dan Dr. Ir.
Khairil Anwar, MS. sebagai Anggota Komisi Pembimbing atas bimbingan,
arahan, saran, semangat dan dorongan dalam pelaksanaan penelitian, penulisan
disertasi dan penyelesaian studi.
3. Dr. Ir. Ahmad Junaedi, MS. sebagai penguji luar komisi dalam ujian kualifikasi
lisan.
4. Dr. Ir. Atang Sutandi, MS. sebagai penguji luar komisi dalam ujian kualifikasi
lisan dan ujian tertutup.
5. Dr. Ir. Eko Sulistyono, MSi. sebagai penguji luar komisi dalam ujian tertutup.
6. Prof (Riset). Dr. Ir. A. Karim Makarim, M.Sc. dan Dr. Ir. Hajrial Aswidinoor,
M.Sc. sebagai penguji luar komisi dalam ujian terbuka.
7. Dr. Ir. Maya Melati, MSc. yang mewakili program studi dalam ujian prelium
xvi
8. Rektor Institut Pertanian Bogor, Dekan Pascasarjana, Dekan Fak. Pertanian
IPB yang telah memberikan kesempatan dan fasilitas selama saya menjalani
studi.
9. Pengelola, dosen dan staf administrasi Departemen Agronomi dan
Hortikultura, IPB yang telah banyak membantu dalam kegiatan akademik.
10.Bapak Kepala Badan Penelitian dan Pengembangan Pertanian yang telah
memberikan kesempatan untuk belajar dan beasiswa selama studi.
11.Bapak Kepala Balai Pengkajian Teknologi Pertanian Kalimantan Selatan yang
telah memberikan izin tugas belajar.
12.Kepala dan staf University Farm Cikabayan dan laboratorium Research Group
of Crop Improvement (RGCI), Institut Pertanian Bogor yang telah memberikan
izin, dan fasilitas dalam kegiatan penelitian.
13.Kepala Balai Penelitian Pertanian Lahan Rawa Banjarbaru dan Kepala Kebun
Percobaan Belandean yang telah memberikan izin dan fasilitas dan staf yang
telah membantu dalam kegiatan penelitian di lapang.
14.Sekretariat Badan Litbang Pertanian yang telah memberikan dana untuk
penelitian melalui program kerjasama penelitian antara Badan Litbang
Pertanian dengan Perguruan Tinggi (KKP3T).
15.Kedua orang tuaku dan keluarga yang telah memberikan dorongan, semangat,
bantuan serta doanya.
16.Isteriku Ir. Rina Dirgahayu Ningsih, MSi., anak-anaku M. Arief Rosyadi dan
Namira Amalia atas pengertian dan kesabarannya.
Penulis menyadari kalau tulisan ini masih belum sempurna dan masih
terdapat kekurangan-kekurangan, namun demikian penulis berharap tulisan ini
bermanfaat bagi yang membacanya. Pada akhirnya penulis berharap disertasi ini
bermanfaat bagi pengembangan ilmu pengetahuan bidang pertanian khususnya di
lahan pasang surut.
Bogor, Agustus 2012
RIWAYAT HIDUP
Penulis dilahirkan di Banjarmasin pada tanggal 12 Nopember 1962, dari
ayah yang bernama Drs. H. Adijani Al-Alabij, SH. dan ibu bernama Hj. Idalia
Hafni. Penulis adalah anak pertama dari enam bersaudara.
Penulis menyelesaikan pendidikan S1 bidang Ilmu Tanah di Universitas
Lambung Mangkurat Banjarbaru pada tahun 1989, kemudian melanjutkan sekolah
Pascasarjana S2 bidang Kesuburan Tanah di Universitas Padjadjaran Bandung dan
lulus tahun 2002. Pada tahun 2008 penulis mendapat kesempatan untuk
melanjutkan pendidikan Pascasarjana S3 program Studi Agronomi dan
Hortikultura di Institut Pertanian Bogor.
Sejak tahun 1991-1996 penulis bekerja sebagai peneliti di Balai Penelitian
Pertanian Lahan Rawa (Balittra) di Banjarbaru, Kalimantan Selatan, dan sejak
tahun 1996 sampai sekarang bekerja sebagai peneliti di Balai Pengkajian
Teknologi Pertanian (BPTP) Kalimantan Selatan, Banjarbaru.
Pada tahun 1991 penulis menikah dengan Ir. Rina Dirgahayu Ningsih,
MSi., dan dikaruniai dua orang putera yaitu M. Arief Rosyadi (19 tahun) dan
DAFTAR ISI
Halaman
DAFTAR TABEL ……… xxiii
DAFTAR GAMBAR ……….. xxvii
DAFTAR LAMPIRAN……… xxix
BAB I. PENDAHULUAN……… 1
Latar Belakang ……… 1
Rumusan Masalah………. 3
Tujuan Penelitian………. 5
Kerangka Pemikiran……… 5
Hipotesis………. 7
Ruang Lingkup Penelitian……… 7
BAB II. TINJAUAN PUSTAKA……… 9
Karakteristik Lahan Pasang Surut……… 9
Gejala Keracunan Besi dan Karakter Morfologi dan Fisiologi pada Tanaman Padi……… 10
Peranan dan Mekanisme Genotipe Padi dalam Mengatasi Keracunan Besi 13 Peranan Bahan Organik dalam Ameliorasi Lahan……….. 15
BAB III. PENGARUH KONSENTRASI BESI DALAM LARUTAN HARA TERHADAP GEJALA KERACUNAN BESI DAN PERTUMBUHAN TANAMAN PADI……… 19
Abstrak……… 19
Abstract……… 19
Pendahuluan……… 20
Metode Penelitian……… 21
Hasil dan Pembahasan……… 23
Kesimpulan……… 32
Daftar Pustaka……… 33
BAB. IV. EVALUASI TOLERANSI GENOTIPE PADI TERHADAP KERACUNAN BESI PADA DUA LEVEL KONSENTRASI BESI DALAM LARUTAN HARA……… 35
xx
Halaman
Abstract……….. 35
Pendahuluan……….. 36
Metode Penelitian……….. 37
Hasil dan Pembahasan……… 40
Kesimpulan………. 57
Daftar Pustaka………. 57
BAB. V. EVALUASI ADAPTASI Salvinia sp. TERHADAP KONSENTRASI FE PADA MEDIA LARUTAN HARA DAN MEDIA TANAH LAHAN PASANG SURUT……… 61
Abstrak……… 61
Abstract……… 61
Pendahuluan……… 62
Metode Penelitian……… 63
Hasil dan Pembahasan……… 66
Kesimpulan………. 77
Daftar Pustaka………. 77
BAB. VI. PENGARUH GENOTIPE PADI DAN AMELIORASI LAHAN SERTA KOMBINASINYA TERHADAP KERACUNAN BESI DAN PRODUKTIVITAS PADI DI LAHAN PASANG SURUT ………. 81
Abstrak………. 81
Abstract……… 81
Pendahuluan……… 82
Metode Penelitian……… 84
Hasil dan Pembahasan………. 87
Kesimpulan………. 109
Daftar Pustaka………. 110
BAB. VII. PEMBAHASAN UMUM……… 113
Konsentrasi Fe dalam Tanah dan Larutan Hara yang Menyebabkan Keracunan Fe pada Padi……….. 113
xxi Halaman
Pertumbuhan Salvinia sp. pada Kondisi Cekaman Fe………. 118
Gejala Keracunan Besi Tanaman Padi pada Dua Musim tanam……. 120
Hubungan antara Keracunan Besi dengan Hasil Gabah……… 124
BAB. VIII. KESIMPULAN DAN SARAN……… 127
Kesimpulan……… 127
Saran……….. 128
DAFTAR PUSTAKA……… 129
DAFTAR TABEL
Halaman
3.1. Skor gejala keracunan besi pada tanaman padi... 23
3.2. Analisis ragam pengaruh konsentrasi Fe (0-600 ppm Fe) dan varietas padi (IR.64 dan Margasari) terhadap skor keracunan Fe dan kadar Fe
tanaman……… 24
3.3. Analisis ragam pengaruh konsentrasi Fe dan varietas padi terhadap
pertumbuhan tanaman……… 28
3.4. Pengaruh konsentrasi Fe dalam larutan dan varietas padi terhadap
tinggi dan jumlah anakan tanaman……… 29
3.5. Pengaruh konsentrasi Fe dalam larutan dan varietas padi terhadap
bobot kering tajuk (g)……….. 29
3.6. Pengaruh konsentrasi Fe dalam larutan dan varietas padi terhadap
bobot kering dan panjang akar……… 30
3.7. Korelasi antara skor keracunan Fe dengan kadar Fe dan
pertumbuhan tanaman………. 31
4.1. Genotipe padi yang digunakan dalam penelitian……… 38
4.2. Skor gejala keracunan besi pada tanaman padi ... 39
4.3. Analisis ragam pengaruh konsentrasi Fe dalam larutan hara dan genotipe padi terhadap skor gejala keracunan besi pada tanaman umur
1-4 minggu setelah tanam ……… 40
4.4. Interaksi antara genotipe dan konsentrasi Fe teradap skor gejala keracunan Fe tanaman umur 1 minggu dan 2 minggu……… 42
4.5. Interaksi antara genotipe dan konsentrasi Fe terhadap skor gejala keracunan Fe tanaman umur 3 minggu dan 4 minggu……… 43
4.6. Konsentrasi Fe pada bagian tanaman 8 genotipe padi pada perlakuan
konsentrasi 325 ppm Fe pada umur tanaman 4 minggu……… 47
4.7. Korelasi antara partisi kadar Fe dalam bagian tanaman dengan skor
gejala keracunan Fe………. 50
4.8. Analisis ragam pengaruh konsentrasi Fe dalam larutan hara dan genotipe padi terhadap pertumbuhan tanaman umur 4 minggu
setelah tanam……… 51
4.9. Jumlah anakan tanaman dan bobot kering tajuk tanaman pada
konsentrasi 143 dan 325 ppm Fe……… 52
4.10. Bobot kering akar dan panjang akar tanaman pada pada konsentrasi
xxiv
Halaman
4.11. Korelasi antara skor keracunan Fe dengan pertumbuhan tanaman padi 55
4.12. Ranking toleransi genotipe padi berdasarkan skor keracunan Fe umur 4 minggu dan jumlah anakan pada perlakuan konsentrasi 143 ppm dan
325 ppm Fe ………. 56
5.1. Lokasi/aksesi pengambilan Salvinia sp. di beberapa tempat di Kalimantan Selatan yang akan digunakan dalam penelitian……… 66
5.2. Bobot basah (g) Salvinia sp. pada beberapa level perlakuan Fe pada media larutan hara Hoagland setelah ditumbuhkan selama 4
minggu……… 68
5.3. Waktu penggandaan (hari) Salvinia sp. setelah ditumbuhkan selama 4 minggu pada beberapa perlakuan Fe pada media larutan hara Hoagland 69
5.4. Perubahan pH dan Fe dalam larutan hara (Hoagland) yang ditambahkan 7 dan 14 ppm Fe setelah ditumbuhkan Salvinia sp.
selama 2 minggu……… 69
5.5. Kadar hara empat Salvinia sp. terpilih yang mempunyai biomas tertinggi dan waktu penggandaan lebih cepat pada media air yang
diberi perlakuan 7 ppm Fe……….. 71
5.6. Karakteristik tanah, KP. Blandean, Kabupaten Barito Kuala, Kalimantan Selatan untuk percobaan pot dirumah kaca…………. 72
5.7. Persentase penutupan permukaan Salvinia sp. setelah ditumbuhkan selama 4 minggu pada media tanah yang berasal dari lahan pasang
surut 73
5.8. Bobot basah Salvinia sp., waktu penggandaan dan kadar Fe dalam jaringan setelah ditumbuhkan selama 4 minggu pada media tanah yang
berasal dari lahan pasang surut……… 73
5.9. pH dan Fe permukaan air dalam pot setelah Salvinia sp. ditumbuhkan selama 4 minggu pada media tanah yang berasal dari lahan pasang
surut……….. 74
6.1. Skor gejala keracunan besi pada tanaman padi... 86
6.2. Karakteristik tanah lokasi penelitian di lahan rawa pasang surut, KP. Blandean dan Danda Jaya, Kabupaten Barito Kuala, Kalimantan
Selatan……… 88
6.3. Kadar hara bahan amelioran yang digunakan dalam penelitian……… 90
6.4. Analisis ragam pengaruh genotipe padi dan ameliorasi lahan terhadap gejala keracunan besi pada tanaman umur 2-8 minggu setelah tanam di KP. Belandean dan Danda Jaya, Kalimantan Selatan, MT. I. 2011…. 92
xxv Halaman
6.6. Gejala keracunan Fe umur 6 dan 8 minggu setelah tanam di KP.
Belandean dan Danda Jaya, Kalimantan Selatan, MT.I. 2011……… 93
6.7. Analisis ragam pengaruh bahan ameliorasi lahan dan genotipe padi terhadap tinggi dan jumlah anakan tanaman padi di KP. Belandean
dan Danda Jaya, Kalimantan Selatan, MT.I. 2011……… 96
6.8. Tinggi tanaman dan jumlah anakan padi pada fase akhir vegetatif di
Belandean dan Danda Jaya, Kalimantan Selatan, MT.I. 2011……… 97
6.9. Analisis ragam pengaruh ameliorasi lahan dan genotipe padi terhadap hasil dan komponen hasil padi di KP. Belandean dan Danda
Jaya, Kalimantan Selatan, MT.I. 2011……… 98
6.10. Pengaruh ameliorasi lahan dan genotipe padi terhadap hasil gabah kering (t/ha), jumlah malai/rumpun, dan jumlah gabah isi/malai di KP. Belandean dan Danda Jaya, Kalimantan Selatan, MT.I.
2011……….. 99
6.11. Pengaruh ameliorasi lahan dan genotipe padi terhadap panjang malai (cm) dan gabah hampa (%) di KP. Belandean dan Danda Jaya,
Kalimantan Selatan, MT.I. 2011……… 101
6.12. Analisis ragam pengaruh ameliorasi lahan dan genotipe padi terhadap skor keracunan Fe umur tanaman 2-8 minggu, tinggi tanaman dan jumlah anakan padi di KP. Belandean dan Danda Jaya,
Kalimantan Selatan, MT. II. 2011……… 105
6.13. Gejala keracunan Fe umur 2 dan 4 minggu setelah tanam di KP.
Belandean dan Danda Jaya, Kalimantan Selatan, MT. II. 2011……. 106
6.14. Gejala keracunan Fe umur 6 dan 8 minggu setelah tanam di KP.
Belandean dan Danda Jaya, Kalimantan Selatan, MT. II. 2011……. 107
6.15. Tinggi tanaman dan jumlah anakan padi pada fase akhir vegetatif di KP. Belandean dan Danda Jaya, Kalimantan Selatan, MT. II.
2011…… 108
7.1. Kualitas air permukaan pada saat Salvinia sp. ditumbuhkan (disebar)
di lokasi penelitian KP. Belandean dan Danda Jaya……… 120
7.2. Skor gejala keracunan besi dan hasil padi berdasarkan persamaan
DAFTAR GAMBAR
Halaman
1.1. Diagram Alur Kegiatan Peneltian... 4
2.1. Hubungan antara skor keracunan Fe dan dengan hasil padi………… 12
2.2. Pengaruh konsentrasi besi terhadap pertumbuhan relatif padi……… 12
3.1. Pelaksanaan kegiatan penelian di tumah kaca : (a) persemaian padi di bak pasir, (b) bibit padi umur 14 hari yang dipindahkan dalam pot plastik (PVC) dan diaklimatisasi selama 7 hari, (c) tanaman padi yang telah diberi perlakuan Fe dan ditumbuhkan selama 4 minggu……. 22
3.2. Pengaruh konsentrasi Fe dalam larutan terhadap skor keracunan Fe
varietas IR. 64 dan Margasari……… 24
3.3. Hubungan konsentrasi Fe dalam larutan dengan skor keracunan Fe
umur 4 minggu pada varietas IR.64……… 25
3.4. Hubungan konsentrasi Fe dalam larutan dengan skor keracunan Fe
umur 4 minggu pada varietas Margasari……… 26
3.5. Kadar Fe jaringan tanaman padi varietas IR. 64 dan Margasari yang
diberi perlakuan Fe……….. 27
4.1. Perubahan skor keracunan Fe dari rata-rata padi sawah, padi rawa, dan galur harapan genotipe padi pada dua level konsentrasi Fe selama 4
minggu……… 41
4.2. Hubungan antara kadar Fe tajuk 20 genotipe padi dengan skor gejala keracunan Fe yang diberi cekaman Fe 143 ppm dan 325 ppm Fe pada
umur tanaman 4 minggu ………. 44
4.3. Penampilan akar tanaman padi yang menunjukkan plak Fe yang rendah (a), dan akar dengan plak Fe dipermukaan akar yang tinggi (b)…… 46
4.4. Proporsi sebaran kadar Fe bagian atas tanaman dan bagian akar pada 8 genotipe padi yang diberi cekaman 325 ppm Fe pada tanaman umur 4
minggu……….. 48
4.5. Persentase penurunan pertumbuhan tanaman sebagai akibat peningkatan cekaman Fe dari 143 ppm menjadi 325 ppm Fe……… 54
5.1. Percobaan pengujian adaptasi Salvinia sp. terhadap konsentrasi Fe dalam larutan hara Hoagland pada bak plastik yang diisi larutan
sebanyak 4 liter selama 4 minggu……… 64
xxviii
Halaman
5.3. Kadar Fe Salvinia sp. umur 4 minggu pada dua konsentrasi Fe yang
ditumbuhkan pada media larutan hara Hoagland……… 70
6.1. Perubahan pH dan Fe sebelum tanam (7 hari setelah perlakuan ameliorasi lahan), pada akhir vegetatif dan setelah panen di KP.
Belandean dan Danda Jaya……….. 91
6.2. Gejala keracunan besi genotipe Inpara-4 dan IR 64 pada saat pertumbuhan vegetatif (kiri) dan genotipe IR 64 dan Inpara-2 pada saat telah keluar malai (kanan), KP. Belandean, MT. I……… 94
6.3. Rata-rata kadar Fe tanaman padi pada perlakuan amelioran dan genotipe padi pada lokasi KP. Belandean dan Danda Jaya, MT. I.
2011……….. 94
6.4. Rata-rata kadar hara N, P, K tanaman padi pada perlakuan ameliorasi lahan dan genotipe padi pada lokasi KP. Belandean dan Danda Jaya,
MT. I. 2011……… 96
7.1. Gejala keracunan besi 5 genotipe padi di rumah kaca (konsentrasi 325 ppm Fe dalam larutan hara) dan di lahan pasang surut KP.
Belandean dan Danda Jaya (perlakuan kontrol), MT. I ………….. 116 7.2. Hubungan kadar Fe tanaman dengan skor keracunan Fe berdasarkan
data MT. I, KP. Belandean dan Danda Jaya………. 117
7.3. Pertumbuhan Salvinia sp. di lapang di KP. Belandean dan Danda
Jaya setelah ditumbuhkan selama 4 minggu……… 119
7.4. Rata-rata skor keracunan Fe padi umur 8 minggu pada perlakuan amelioran dan genotipe padi selama dua musim tanam di dua lokasi
penelitian……… 121
7.5. Hubungan antara skor gejala keracunan besi dengan hasil padi di
DAFTAR LAMPIRAN
Halaman
1. Analisis ragam pengaruh perlakuan varietas dan konsentrasi Fe dalam larutan hara terhadap skor keracunan Fe 1-4 minggu dan kadar Fe
tanaman……… 133
2. Analisis ragam pengaruh perlakuan varietas dan konsentrasi Fe dalam
larutan hara terhadap pertumbuhan tanaman……… 134
3. Analisis ragam pengaruh perlakuan dua level konsentrasi Fe dalam larutan hara dan 20 genotipe (varietas) padi terhadap skor gejala
keracunan Fe umur 1-4 minggu……… 136
4. Analisis ragam pengaruh konsentrasi Fe dalam larutan dan aksesi Salvinia terhadap penutupan permukaan Salvinia sp. selama 4 minggu, bobot basah Salvinia sp., bobot kering Salvinia sp., dan waktu
penggandaan 138
5. Analisis ragam pengaruh dua level konsentrasi Fe dalam larutan dan aksesi Salvinia sp. terhadap pH. Fe air, dan kadar Fe jaringan Salvinia
sp……… 140
6. Analisis ragam pentutupan permukaan Salvinia selama 1-4 minggu, bobot basah Salvinia sp., waktu menggandakan, kadar Fe jaringan Salvinia sp., pH air, Fe air pengaruh perlakuan 4 aksesi Salvinia sp.
pada media tanah dari lahan pasang surut ……… 141
7. Analisis ragam pengaruh kombinasi genotipe padi dan bahan amelioran terhadap skor keracunan Fe umur 2-8 minggu, tinggi tanaman, jumlah anakan, hasil gabah, jumlah malai, panjang malai, jumlah gabah isi per malai, dan persentase gabah hampa, KP.
Belandean, MT. I……….. 143
8. Analisis ragam pengaruh kombinasi genotipe padi dan bahan amelioran terhadap skor keracunan Fe umur 2-8 minggu, tinggi tanaman, jumlah anakan, hasil gabah, jumlah malai, panjang malai, jumlah gabah isi per malai, dan persentase gabah hampa, Danda Jaya,
MT. I……….. 146
9. Analisis ragam pengaruh kombinasi genotipe padi dan residu bahan amelioran terhadap skor keracunan Fe umur 2-8 minggu, tinggi
tanaman, dan jumlah anakan, KP. Belandean, MT. II……… 149
10. Analisis ragam pengaruh kombinasi genotipe padi dan residu bahan amelioran terhadap skor keracunan Fe umur 2-8 minggu, tinggi
BAB I. PENDAHULUAN
Latar Belakang
Padi merupakan komoditas yang penting dan strategis, dimana kebutuhan
akan konsumsi beras ini terus meningkat seiring dengan meningkatnya jumlah
penduduk, hal ini mengisyaratkan perlunya peningkatan produksi beras di
Indonesia. Peningkatan produksi beras di Indonesia menghadapi tantangan
semakin berat, karena berkurangnya lahan subur di pulau Jawa akibat konversi
lahan ke non pertanian. Lahan pasang surut merupakan salah satu alternatif dalam
mengatasi semakin menyusutnya lahan-lahan subur di pulau Jawa akibat konversi
lahan. Luas lahan pasang surut di Indonesia diperkirakan sekitar 20.1 juta ha, dan
sekitar 9.53 juta ha berpotensi untuk dijadikan sebagai lahan pertanian
(Alihamsyah 2004). Walaupun lahan pasang surut mempunyai potensi sebagai
sumber produksi padi, namun produktivitas padi di lahan ini masih rendah.
Berdasarkan jangkauan air pasang, lahan pasang surut dibagi berdasarkan
tipe luapannya yaitu : 1) tipe luapan A, terluapi air pasang baik pasang besar
maupun kecil, 2) tipe luapan B, hanya terluapi air pada pasang besar saja, 3) tipe
luapan C, tidak terluapi air pasang tapi kedalaman air tanahnya < 50 cm, 4) tipe
luapan D, tidak terluapi air kedalaman air tanahnya > 50 cm. Berdasarkan
tipologinya dari 20.1 juta ha lahan pasang surut terdiri dari lahan gambut 10.9 juta
ha, kemudian diikuti lahan sulfat masam (6.7 juta ha), lahan potensial (2.1 juta ha)
dan lahan salin 0.4 juta ha (Widjaya Adhi 1986; Alihamsyah 2004). Lahan pasang
surut sulfat masam merupakan lahan yang mempunyai kendala lebih berat, karena
mempunyai lapisan pirit yang apabila teroksidasi mengakibatkan pH tanah yang
sangat masam, kandungan unsur meracun Al. Fe dan H2S yang tinggi serta
kandungan dan ketersediaan hara yang rendah (Sarwani et al. 1994).
Keracunan besi pada padi merupakan salah satu faktor pembatas produksi
padi di lahan sawah yang dapat menurunkan hasil padi 12-100 % (Sahrawat 2000;
Sahrawat et al. 2004; Sahrawat 2010). Keracunanbesi merupakan stress fisiologi
pada tanaman padi yang umum dijumpai di lahan pasang surut dan merupakan
kendala utama dalam produksi padi. Keracunan besi pada padi selain disebabkan
2
seperti ketidakseimbangan hara, tanah selalu tergenang (Sahrawat et al. 2004) dan
penggunaan genotipe padi yang peka seperti varietas IR 64 (Suhartini 2004;
Suhartini dan Makarim 2009).
Dalam pertanian berkelanjutan, selain berupaya meningkatkan
produktivitas juga berupaya memperbaiki dan menjaga kualitas lahan. Hasil-hasil
penelitian menunjukkan bahwa penggunaan genotipe toleran, pemupukan
berimbang dan ameliorasi lahan menggunakan bahan organik dan kapur dapat
mengatasi keracunan besi dan meningkatkan kualitas lahan dan produktivitas padi.
Pengapuran walaupun telah diketahui dapat meningkatkan produktivitas padi dan
mengurangi keracunan Fe, namun bahan ini sulit diperoleh di lokasi. Pemanfaatan
bahan organik yang banyak terdapat di lokasi untuk ameliorasi lahan merupakan
salah satu cara penggunaan input yang lebih murah, ramah lingkungan dan
mengurangi penggunaan bahan kimia seperti pupuk anorganik.
Penggunaan genotipe toleran merupakan cara yang lebih murah dan mudah
diaplikasikan oleh petani, namun demikian genotipe toleran kadang-kadang tidak
selalu mampu beradaptasi secara luas untuk semua kondisi lahan. Penggunaan
varietas yang telah dilepas dan direkomendasikan untuk lahan pasang surut yang
bermasalah keracunan besi menunjukkan hasil yang beragam dan tidak konsisten
baik antar lokasi maupun antar musim. Perbedaan hasil mungkin disebabkan
karena sangat beragamnya karakteristik tanah di lahan pasang surut dan
beragamnya kemampuan tanaman dalam beradaptasi dengan kadar besi di dalam
tanah. Hal ini menunjukkan perlunya penggunaan genotipe padi yang spesifik
lokasi dalam meningkatkan produktivitas padi di lahan pasang surut yang
bermasalah dengan keracunan besi.
Penggunaan bahan organik selain dapat mengurangi kadar Al/Fe di dalam
tanah dengan reaksi pengkelatan asam-asam organik, hasil dekomposisi bahan
organik juga memberikan sumbangan hara makro seperti N, P, K dan unsur hara
mikro. Hasil penelitian Noor dan Jumberi (1998) menunjukkan pemberian jerami
padi dengan dosis 5.0 t/ha di lahan pasang surut bukaan baru Kalimantan Tengah
dapat meningkatkan hasil padi varietas IR 64 27% dan varietas Kapuas 58%
3
meningkatkan hasil padi juga dapat mengurangi kadar besi dan sulfat di lahan
pasang surut (Jumberi dan Alihamsyah 2004).
Salah satu sumber bahan organik yang potensial selain jerami padi dan
pupuk kandang adalah Salvinia sp. Salvinia sp. merupakan tumbuhan air yang
banyak terdapat di lahan rawa, sehingga Salvinia sp. merupakan salah satu
alternatif penyediaan bahan organik baik secara ex-situ maupun secara in-situ
ditumbuhkan di lahan pertanaman padi. Selain itu Salvinia sp. juga mempunyai
tingkat pertumbuhan dan produktivitas biomas yang tinggi sehingga potensial
digunakan sebagai sumber pupuk organik (Schneider dan Rubio 1999; Oguin et al.
2002; Oguin et al. 2003).
Penggunaan genotipe padi toleran atau agak toleran yang spesifik lokasi
dan ameliorasi lahan menggunakan bahan organik seperti limbah pertanian dan
Salvinia sp. diharapkan dapat mengendalikan keracunan Fe dan meningkatkan
produktivitas padi di lahan pasang surut.
Rumusan Masalah
Untuk mengatasi keracunan besi dan meningkatkan produktivitas padi di
lahan pasang surut bermasalah keracunan besi dapat dilakukan dengan
memperbaiki lingkungan tumbuh seperti pemupukan berimbang, ameliorasi lahan,
pengaturan air dan menggunakan varietas toleran. Penggunaan bahan amelioran
seperti kapur telah diketahui mampu meningkatkan pH tanah dan menekan
kelarutan besi dalam tanah, namun demikian untuk memberikan dalam dosis 1-2
t/ha bahan ini sulit dicari di lokasi dan sering tidak tersedia. Pengelolaan air di
lahan pasang surut juga telah diketahui dapat memperbaiki kualitas lahan, namun
infrastruktur seperti saluran dan pintu-pintu air tidak seluruhnya ada dan berfungsi.
Pada musim hujan sering air kelebihan di lahan sawah dan tidak bisa didrainase
atau dibuang ke saluran, sehingga lahan yang selalu tergenang ini memicu
terjadinya keracunan besi pada tanaman.
Menurut Alihamsyah (2002), strategi yang dapat dilakukan dalam
meningkatkan produktivitas padi di lahan pasang surut adalah dengan cara
mengintegrasikan antara : (1) perbaikan lingkungan tumbuh tanaman, dan (2)
4
dengan adaptasi tanaman terhadap cekaman lingkungan merupakan salah satu cara
dalam mengatasi keracunan besi. Sebagian petani telah menggunakan limbah
panen seperti jerami padi dan pupuk kandang sebagai ameliorasi lahan maupun
sebagai pupuk organik. Selain itu di lahan rawa pasang surut ternyata juga banyak
terdapat Salvinia sp. di saluran-saluran maupun di lahan pertanaman padi.
Salvinia sp. belum banyak dimanfaatkan oleh petani sebagai pupuk organik dan
sebagian petani menganggap sebagai gulma. Dalam penelitian ini mencoba
menggunakan Salvinia sp. sebagai alternatif bahan untuk ameliorasi lahan selain
jerami padi dan pupuk kandang. Langkah-langkah (roadmap) yang dilakukan
dalam upaya memecahkan permasalahan dalam mengatasi keracunan besi di lahan
pasang surut dapat digambarkan dalam diagram alir kegiatan penelitian berikut
(Gambar 1.1).
Gambar 1.1. Diagram Alir Kegiatan Penelitian
STUDI PENGENDALIAN KERACUNAN BESI PADA PADI DI LAHAN PASANG SURUT MELALUI KERAGAMAN GENOTIPE PADI DAN AMELIORASI LAHAN
(1) Pengaruh konsentrasi Fe dalam media larutan hara terhadap gejala keracunan Fe
(3a) Evaluasi Salvinia sp yang adaptif terhadap Fe dalam media larutan hara
(2) Evaluasi toleransi genotipe padi terhadap keracunan Fe dalam larutan hara
(3b) Evaluasi Salvinia sp yang adaptif pada media tanah lahan pasang surut
(4a) Kombinasi genotipe padi dan ameliorasi lahan dalam mengendalikan keracunan Fe di lahan pasang surut (MT. I )
(4b) Kombinasi genotipe padi dan residu ameliorasi dalam mengendalikan keracunan Fe di lahan pasang surut (MT. II)
Perc. Rumah Kaca (2010)
5
Tujuan Penelitian
Penelitian bertujuan untuk :
1. Mendapatkan konsentrasi besi dalam larutan hara yang menyebabkan
gejala keracunan besi ringan, sedang dan berat pada padi sebagai dasar
seleksi padi.
2. Mendapatkan genotipe padi yang toleran terhadap keracunan Fe dengan
produktivitas tinggi
3. Mempelajari mekanisme toleransi genotipe padi terhadap keracunan Fe.
4. Mendapatkan Salvinia sp. yang adaptif, cepat tumbuh dengan biomas
tinggi pada media larutan hara dan di lahan pasang surut
5. Mempelajari pengaruh genotipe padi, ameliorasi lahan dan kombinasinya
terhadap keracunan besi dan produktivitas padi pada tingkat cekaman Fe
dan musim tanam berbeda.
Kerangka Pemikiran
Lahan pasang surut yang luas dengan air yang relatif selalu tersedia sangat
potensial sebagai sumber produksi padi, karena sumber air bukan saja dari air
hujan tetapi juga dari pasang surutnya air laut. Walaupun demikian, lahan pasang
surut di Indonesia dengan luas 20.1 juta ha, sebagian dari lahan tersebut
merupakan tanah sulfat masam (6.7 juta ha) dengan produktivitas padi yang
masih rendah (Alihamsyah 2004). Keracunan besi merupakan stress fisiologi
pada tanaman padi yang umum dijumpai di lahan pasang surut sulfat masam yang
disebabkan tingginya kadar besi ferro (Fe2+) di dalam tanah. Keracunan besi
mengakibatkan rendahnya produktivitas padi dan dapat menurunkan hasil
12-100% (Sahrawat 2000; Sahrawat et al. 2004; Sahrawat 2010) .
Bentuk besi di dalam tanah dipengaruhi oleh reaksi oksidasi-reduksi.
Dalam keadaan tergenang (reduktif) besi berada dalam bentuk Fe+2, sedangkan
dalam kondisi oksidatif besi berada dalam bentuk Fe+3, padi menyerap Fe dalam
bentuk Fe+2. Keracunan Fe disebabkan tingginya serapan Fe+2 dalam jaringan
tanaman padi yang disebabkan tingginya kadar Fe di dalam tanah yang juga
6
mempengaruhi pertumbuhan tanaman. Hasil-hasil penelitian menunjukkan padi
yang keracunan Fe mempunyai korelasi dengan rendahnya kadar hara P, K, Ca
dan Zn dalam jaringan tanaman padi. Keracunan besi juga disebabkan kondisi
lingkungan yang selalu dalam keadaan tergenang (reduktif) dengan drainase jelek
mengakibatkan semakin tingginya kadar Fe+2 yang tereduksi dalam tanah
(Sahrawat et al. 2004). Keracunan Fe berhubungan juga dengan genotipe tanaman,
genotipe padi yang peka menyebabkan semakin parahnya keracunan Fe dan
mengakibatkan rendahnya produktivitas padi (Suhartini 2004; Suhartini dan
Makarim 2009).
Strategi yang dapat dilakukan dalam mengendalikan keracunan besi dan
meningkatkan produktivitas padi di lahan pasang surut : (1) perbaikan lingkungan
tumbuh tanaman dengan pemupukan berimbang untuk memperkuat ketahanan
genotipe terhadap keracunan Fe, penggunaan bahan amelioran (bahan organik,
kapur) dan pengelolaan air untuk mengurangi kadar Fe di dalam tanah, (2)
menggunakan genotipe yang toleran terhadap keracunan besi, atau (3) integrasi
antara keduanya (Alihamsyah 2002).
Pendekatan dengan perbaikan lingkungan tumbuh untuk menekan kadar Fe
dan meningkatkan kadar hara biasanya menggunakan bahan dalam dosis yang
tinggi sehingga memerlukan biaya besar. Menggunakan genotipe toleran
merupakan cara yang lebih murah dan mudah diaplikasikan oleh petani, namun
demikian perakitan genotipe toleran memerlukan waktu yang lama dan biasanya
varietas yang dihasilkan tidak selalu mampu beradaptasi secara luas. Varietas yang
toleran terhadap stress Fe juga biasanya mempunyai potensi hasil yang tidak terlalu
tinggi.
Penggunaan atau pemilihan varietas hendaknya disesuaikan dengan
cekaman lingkungan dimana padi akan ditanam. Pada cekaman ringan tidak perlu
menggunakan varietas yang toleran, tetapi sebaiknya menggunakan varietas
dengan potensi hasil tinggi. Pada lingkungan dengan cekaman sedang, sebaiknya
menggunakan varietas dengan potensi tinggi dan agak toleran terhadap keracunan
Fe. Pada cekaman berat sebaiknya menggunakan varietas yang toleran, atau agak
toleran dengan sedikit perbaikan lingkungan dengan ameliorasi lahan
7
genotipe toleran atau agak toleran dan perbaikan lingkungan tumbuh dengan bahan
organik merupakan strategi yang dapat dilakukan dalam mengatasi keracunan Fe di
lahan pasang surut.
Penerapan penggunaan genotipe padi toleran/agak toleran dan perbaikan
lingkungan tumbuh dengan menggunakan ameliorasi lahan dengan bahan organik
seperti Salvinia sp. maupun limbah panen diharapkan akan dapat meningkatkan
produktivitas padi dan pendapatan petani di lahan pasang surut. Meningkatnya
produktivitas di harapkan juga akan mendorong semakin banyak petani yang
menanam padi unggul yang berimplikasi akan semakin meningkatnya luas dan
intensitas tanam padi di lahan pasang surut. Meningkatnya luas dan intensitas
tanam akan meningkatkan produksi padi dan beras di lahan pasang surut yang
selama ini dianggap sebagai lahan marginal atau lahan suboptimal.
Hipotesis
Hipotesis yang diajukan dalam penelitian adalah :
1. Konsentrasi besi dalam larutan hara yang berbeda menyebabkan tingkat
keracunan besi yang berbeda (ringan, sedang dan berat)
2. Genotipe padi memiliki perbedaan toleransi terhadap tingkat
keracunan Fe pada konsentrasi Fe yang berbeda.
3. Mekanisme toleransi antara genotipe padi peka dan toleran terhadap
keracunan besi berbeda.
4. Terdapat Salvinia sp. yang adaptif, cepat tumbuh dengan biomas
tinggi, pada media larutan hara dan lahan pasang surut.
5. Genotipe padi, ameliorasi lahan dan kombinasinya dapat
mengendalikan keracunan besi dan meningkatkan produktivitas padi
pada tingkat cekaman Fe dan musim tanam yang berbeda.
Ruang Lingkup Penelitian
Penelitian yang telah dilaksanakan terdiri dari beberapa tahap kegiatan
yaitu :
A. Penelitian di Rumah Kaca/Laboratorium
1. Pengaruh Konsentrasi Besi dalam Larutan Hara terhadap Gejala
8
2. Evaluasi Toleransi Genotipe Padi terhadap Keracunan Besi pada Dua
Level Konsentrasi Besi dalam Larutan Hara.
3. Evaluasi Adaptasi Salvinia sp. terhadap Konsentrasi Fe pada Media
Larutan Hara dan Media Tanah Lahan Pasang Surut
B. Penelitian lapangan
4. Pengaruh Genotipe Padi dan Ameliorasi Lahan serta Kombinasinya
terhadap Keracunan Besi dan Produktivitas Padi pada Dua Lokasi dan
BAB. II. TINJAUAN PUSTAKA
Karakteristik Lahan Pasang Surut
Lahan pasang surut adalah lahan yang rejim airnya dipengaruhi oleh pasang
surutnya air laut atau sungai. Berdasarkan sifat kimia air pasangnya, lahan pasang
surut dibagi menjadi dua zona yaitu zona air pasang surut salin dan pasang surut
air tawar (Widjaya Adhi et al. 1992). Berdasarkan jangkauan air pasang, lahan
pasang surut dibagi berdasarkan tipe luapannya yaitu : 1) tipe luapan A, terluapi air
pasang baik pasang besar maupun kecil, 2) tipe luapan B, hanya terluapi air pada
pasang besar saja, 3) tipe luapan C, tidak terluapi air pasang tapi kedalaman air
tanahnya < 50 cm, 4) tipe luapan D, tidak terluapi air kedalaman air tanahnya > 50
cm (Widjaya Adhi 1986)
Lahan pasang surut berdasarkan tipologi lahannya, dibagi menurut macam
dan tingkat masalah fisiko kimia tanahnya, yaitu 1) lahan potensial, kedalaman
lapisan pirit > 50 cm dari permukaan tanah, 2) lahan sulfat masam (sulfat masam
potensial dan sulfat masam aktual), bila kedalaman lapisan pirit (FeS2 > 2%) < 50
cm dari permukaan tanah, 3) lahan gambut, mengandung lapisan sisa-sisa tanaman
yang sudah lapuk secara alami, 4) lahan salin, dipengaruhi oleh intrusi alir laut
selama lebih 3 bulan dalam setahunnya. Berdasarkan tipologinya, lahan gambut
merupakan tipe lahan pasang surut yang terluas (10,9 juta ha), kemudian diikuti
lahan sulfat masam (6.7 juta ha), lahan potensial ( 2.1 juta ha) dan lahan salin 0.4
juta ha (Widjaya Adhi 1986).
Masalah fisiko-kimia lahan untuk pengembangan tanaman pangan di lahan
pasang surut meliputi antara lain genangan air dan kondisi fisik lahan, kemasaman
tanah dan asam organik pada lahan gambut tinggi, mengandung zat beracun dan
intrusi air garam, kesuburan alami tanah rendah dan keragaman kondisi lahan
tinggi (Adimihardja et al. 1998; Sarwani et al. 1994). Dari ketiga tipologi lahan
di lahan pasang surut, lahan sulfat masam merupakan lahan yang mempunyai
kendala lebih berat, karena mempunyai lapisan pirit yang apabila teroksidasi
mengakibatkan pH tanah yang masam sampai sangat masam, mempunyai
10
hara yang rendah. Pada kondisi tergenang (reduktif) besi ferro biasanya berlebihan
pada lahan sulfat masam yang dapat berakibat keracunan besi pada padi.
Reaksi oksidasi pirit menghasilkan besi ferri (Fe+3) dan H+ yang
menyebabkan tanah menjadi sangat masam secara sederhana dapat digambarkan
sebagai berikut (Dent, 1986).
FeS2 + 15/4 O2 + 7/2 H2O Fe(OH)3 + 2 SO42- + 4 H+
Dalam keadaan reduktif (tergenang) besi ferri (Fe+3) akan tereduksi
menjadi besi ferro (Fe+2) yang dapat diserap oleh tanaman dan dalam jumlah
berlebihan dapat meracuni tanaman padi. Reaksi reduksi besi ferri menjadi besi
ferro yang biasanya melibatkan bakteri pereduksi dapat digambarkan sebagai
beikut (Dent 1986) :
Fe(OH)3 + 3H+ + e− Fe2+ + 3H2O
Gejala Keracunan Besi dan Karakter Morfologi dan Fisiologi pada Tanaman Padi
Keracunan besi pada tanaman disebabkan karena tingginya konsentrasi besi
larut dalam tanah. Kebanyakan tanah mineral kaya akan besi, gejala keracunan
besi pada jaringan daun yang mengakibatkan pengurangan hasil hanya terjadi
pada kondisi lahan tergenang dimana terjadi proses reduksi yang melibatkan
mikrobia yang merubah besi tidak larut (Fe+3) menjadi besi larut (Fe+2) (Beckers
dan Ash 2005).
Keracunan Fe selain disebabkan tingginya serapan Fe+2 dalam jaringan
tanaman padi yang disebabkan tingginya kadar Fe di dalam tanah, juga
berhubungan dengan berbagai faktor seperti ketidakseimbangan hara mineral
(stres hara) P, K, Ca, Mg dan Zn yang cenderung mengurangi kemampuan
oksidasi akar tanaman padi. Keracunan besi juga disebabkan kondisi lingkungan
yang selalu tergenang (reduktif) dengan drainase jelek mengakibatkan semakin
tingginya kadar Fe+2 hasil reduksi Fe+3 dalam tanah (Sahrawat et al. 2004).
Keracunan Fe berhubungan juga dengan genotipe tanaman, penggunaan varietas
yang peka seperti IR 64 menyebabkan rendahnya produktivitas padi (Suhartini
2004; Suhartini dan Makarim 2009). Hasil penelitian Noor et al. (2006)
11
dibandingkan varietas Margasari yang lebih toleran di lahan pasang surut
Kalimantan Selatan dengan kadar Fe tanah 719 ppm dan pH 3.84.
Dobermann dan Fairhurst (2000) mengemukakan mengenai prinsif
terjadinya keracunan Fe pada tanaman : 1) konsentrasi Fe+2 yang tinggi dalam
larutan tanah yang disebabkan oleh kondisi reduksi yang kuat dalam tanah dan atau
pH yang rendah, 2) status hara yang rendah dan tidak seimbang di dalam tanah,
3) kurangnya oksidasi akar dan rendahnya daya ekslusi Fe+2 oleh akar yang
disebabkan defisiensi hara P, Ca, Mg atau K, 4) kurangnya daya oksidasi akar
(eksklusi Fe+2) akibat terjadinya akumulasi bahan-bahan yang menghambat
respirasi (H2S, FeS, asam organik), 5) aplikasi bahan organik dalam jumlah besar
yang belum terdekomposisi, 6) suplai Fe secara terus menerus dari air bawah tanah
atau rembesan secara lateral dari tempat yang lebih tinggi
Gejala visual yang khas berhubungan dengan proses keracunan besi,
terutama terjadinya akumulasi dari polyphenol teroksidasi yang disebut bronzing
atau yellowing pada padi. Karena mobiltas Fe yang rendah dalam tanaman, gejala
yang khas dimulai dengan bercak berwarna coklat kemerahan dari ujung daun tua.
Bercak berwarna tembaga kemudian meluas ke seluruh daun. Perkembangan
gejala selanjutnya ujung daun menjadi kuning-jingga kemudian kering dari bagian
atas. Gejala ini terutama berkembang pada organ daun tua dengan transpirasi
tinggi (Yamaouchi dan Yoshida 1981). Selanjutnya seluruh daun padi menjadi
jingga sampai coklat atau coklat ungu pada keracunan yang berat (Fairhurt dan
Witt 2002).
Gejala keracunan besi dapat terjadi pada tahap pertumbuhan yang berbeda
dan dapat mempengaruhi padi pada tahap tanaman muda, selama seluruh tahap
pertumbuhan vegetatif, dan tahap reproduktif. Dalam kasus keracunan pada tahap
pembibitan, perkembangan tanaman padi terhenti, dan pembentukan anakan secara
ekstrem terhambat. Keracunan pada tahap vegetatif menyebabkan menurunnya
tinggi dan berat kering tanaman. Biomas bagian atas tanaman dapat lebih
dipengaruhi oleh kendala keracunan dari pada biomas akar (Fageria et al. 1989).
Pembentukan anakan dan jumlah anakan produktif secara drastis menurun. Bila
keracunan besi terjadi pada tahap akhir vegetatif, atau pada awal tahap
12
dan pematangan menjadi tertunda 20-25 hari (Chema et al. 1990). Hasil-hasil
penelitian Audebert (2006), Suhartini dan Makarim (2009) menunjukkan skor
keracunan besi berkorelasi negatif dengan hasil padi, sedangkan penelitian
Mehbaran et al. (2008) menunjukkan konsentrasi besi di dalam jaringan tanaman
berpengaruh terhadap pertumbuhan tanaman padi. Semakin tinggi keracunan besi
semakin rendah hasil padi (Gambar 2.1), semakin tinggi kadar Fe dalam jaringan
tanaman padi semakin terhambat pertumbuhan tanaman padi (Gambar 2.2).
Keracunan besi pada padi menyebabkan kemampuan oksidasi akar
menurun dan permukaan akar menjadi gelap karena pengendapan senyawa Fe
(OH)3 (Audebert dan Sahrawat 2000). Gejala keracunan besi beragam diantara
genotipe padi, dan umumnya adalah adanya bercak coklat keunguan dari daun
yang diikuti dengan pengeringan, akar menjadi sedikit, kasar, pendek dan tumpul
(Peng dan Yamauchi 1993).
Gambar 2.1. Hubungan antara skor keracunan Fe dan dengan hasil padi
Sumber : Audebert (2000)
Gambar 2.2. Pengaruh konsentrasi besi terhadap pertumbuhan relatif padi
Sumber : Mehraban et al. (2008)
Keracunan besi pada padi menyebabkan terjadinya perubahan baik karakter
morofologi maupun fisiologi tanaman, dimana respon setiap genotipe
berbeda-beda tergantung sifat toleransi atau kepekaanya terhadap keracunan besi.
Penampilan tanaman keracunan besi berhubungan dengan tingginya serapan Fe+2
oleh akar dan ditransportasikan ke daun melalui aliran trasnspirasi. Kelebihan
kadar Fe dalam jaringan tanaman padi menyebabkan terjadinya perubahan
beberapa karakter fisiologi seperti kadar protein larut, gula larut, klorofil, ethylene,
proline, radikal bebas dan laju fotosintesis. Kelebihan besi menyebabkan produksi
13
membrane, DNA, dan protein (Arora et al. 2002; Dorlodot et al. 2005). Dalam
sel, kelebihan sejumlah besi dapat di sintesis dari komponen-komponen dengan
dasar oksigen aktif seperti radikal superoxide, hydroxyl dan H2O2 (Machner
1995). Radikal bebas dapat mempengaruhi kerusakan yang disebabkan oleh
keracunan besi (Thongbai dan Goodman 2000), pada waktu yang sama
meningkatkan aktivitas phenol oxydase dan akumulasi polyphenol teroksidasi
(Yamauchi dan Peng 1993).
Meningkatnya jumlah H2O2 dan phenolica dan menurunnya kandungan
klorofil dan protein larut oleh stres oksidatif telah dilaporkan beberapa peneliti
(Blokhina et al. 2003; Kuo dan Kao 2004). Keracunan besi pada padi
menunjukkan terjadinya akumulasi unsur dalam jaringan tanaman yang diiringi
dengan biosintesis ethylene dalam akar, menurunnya pertumbuhan akar dengan
drastis dan hilangnya hasil (Yamauchi dan Feng 1995; Becker dan Ash 2005;
Dorlodot et al. 2005). Kandungan Fe yang tinggi dalam daun juga berpengaruh
negatif terhadap laju fotosintesis, penurunan gejala keracunan besi berkorelasi
dengan laju fotosisntesis dan meningkatkan hasil padi (Audebert 2006).
Kadar gula larut dan klorofil dipengaruhi oleh konsentrasi Fe dan kadar
hara dalam medium pertumbuhan tanaman, kandungan gula larut dalam tanaman
menurun pada konsentrasi Fe diatas 50-100 ppm (Mehraban et al. 2008).
Penurunan konsentrasi gula larut total sebagai akibat keracunan Fe > 80%
dibandingkan dengan tanaman tanpa keracunan. Kandungan gula larut dalam daun
juga dipengaruhi oleh perbedaan kepekaan genotipe padi terhadap keracunan besi
keracunan Fe juga dapat menyebabkan terjadinya akumulasi proline dalam daun
tanaman padi terutama pada kultivar yang peka, sedangkan pada kultivar toleran
tidak terjadi akumulasi proline dalam daun (Majerus, et al. 2007).
Peranan dan Mekanisme Genotipe Padi dalam Mengatasi Keracunan Besi Gejala keracunan besi pada tanaman padi berhubungan dengan tingginya serapan Fe+2 oleh akar dan ditransportasikan ke daun melalui aliran transpirasi.
Kadar besi dalam jaringan daun tanaman padi yang tinggi menyebabkan tanaman
keracunan besi. Mekanisme keracunan besi dimulai dengan meningkatnya
14
mikroba pereduksi Fe di daerah perakaran tanaman, sehingga penyerapan ion ferro
meningkat pesat. Reduksi Fe3+ yang terjadi di daerah perakaran secara terus
menerus menyebabkan rusaknya oksidasi Fe sehingga influks Fe2+ tidak terkendali
masuk dalam perakaran padi (Makarim dan Supriadi 1989; Makarim et al. 1989).
Setelah penyerapan oleh korteks akar, besi Fe 2+ yang mencapai xylem berkurang
setelah melalui lintasan simplastik pada pita caspari, meskipun bagian lebih besar
ion besi dapat diserap sampai ke xylem secara langsung melalui tonoplas
(Tsuchiya et al. 1995).
Audebert (2006) mempelajari mengenai karakteristik morfo-fenologi dan
serapan Fe tanaman dari beberapa varietas menunjukkan adanya perbedaan
distribusi Fe dalam organ tanaman padi (akar, batang dan daun). Hal ini
menunjukkan adanya mekanisme penghindaran (avoidance) secara fisiologi yang
spesifik diantara masing-masing varietas. Pada genotipe toleran (CK4), lebih
banyak menimbun Fe di batang dan lebih sedikit di daun di bandingkan genotype
yang peka. Genotipe yang sangat peka (Tox 3069) tidak mempunyai mekanisme
penghambat (barrier) Fe diantara organ yang berbeda dan kandungan Fe lebih
tinggi dalam semua organ, hal ini menunjukkan genotype sensitif tidak mempunyai
selektivitas Fe diantara organ tanaman. Korelasi antara hasil padi dengan
distribusi Fe diantara organ tanaman dapat digunakan sebagai kriteria pemuliaan
padi dalam menyeleksi dan memperbaiki genotipe padi.
Kemampuan padi untuk mengatasi Fe eksternal tinggi mungkin adalah hasil
dari strategi penghindaran (avoidance) dan atau toleransi jaringan. Avoidance pada
padi mungkin berhubungan dengan kemampuan oksidasi Fe+2 menjadi Fe+3 pada
permukaan akar, sehingga membentuk endapan jingga yang khas yang dikenal
sebagai “iron plaque” (Asch et al. 2005). Hasil penelitian yang ada menunjukkan lebih efisiennya genotipe toleran dari pada genotipe peka karena menahan lebih
banyak Fe di perakaran tanaman. Konsentrasi besi yang rendah dalam tajuk
(shoot) juga diperkirakan adalah mekanisme avoidance, dan mungkin merupakan
mekanisme yang bermanfaat dalam memberikan kontribusi pertahanan tanaman
seperti yang telah dikemukan oleh Audebert dan Sahrawat (2000).
Menurut Becker dan Ash (2005), tanaman padi mempunyai mekanisme
15
bertahan dari kondisi merugikan pada tanah yang mengandung unsur meracun Fe
dan jumlah Fe yang besar dalam tanaman. Mekanisme ini adalah penting dalam
seleksi genotipe padi adaptif atau toleran. Tiga tipe utama strategi adaptasi yang
dapat dibedakan dan terdiri dari strategi includer dan excluder seperti halnya
mekanisme avoidance dan tolerance (toleransi). Tanaman memanfaatkan strategi I
(eksklusi/avoidance), mengeluarkan Fe atau menahan Fe pada level akar sehingga
menghindarkan Fe+2 merusak jaringan tajuk (oksidasi di daerah perakaran dan
selektivitas ion pada akar). Dengan strategi II (inklusi/avoidance), Fe+2 diserap ke
dalam akar padi, tapi kerusakan jaringan dapat terhindar dengan kompartmentasi
(imobilisasi dari Fe aktif dalam tempat pembuangan, seperti daun tua atau jaringan
daun yang kurang aktif melakukan fotosintetis) atau mengeluarkan dari symplast
(imobilisasi dalam daun apoplas). Strategi III (inklusi/toleransi), tanaman secara
nyata mentolerir kadar Fe+2 yang meningkat dalam sel-sel daun, mungkin melalui
detoksifikasi enzimatik dalam simplas.
Peranan Bahan Organik dalam Ameliorasi Lahan
Hasil-hasil penelitian menunjukkan pemberian bahan organik baik limbah
panen, pupuk kandang dan pupuk hijau berperan dalam memperbaiki kualitas
lahan, mengurangi kadar unsur meracun seperti Al dan Fe dalam tanah, dan
meningkatkan hasil padi. Hasil penelitian Noor dan Jumberi (1998) menunjukkan
pemberian jerami padi dengan dosis 5.0 t/ha di lahan pasang surut Kalimantan
Tengah dapat meningkatkan hasil padi varietas IR 64 dari 1.61 t/ha menjadi 2.04
t/ha dan varietas Kapuas dari 2.05 menjadi 3.24 t/ha. Menurut Karama (1990),
bahan organik selain sebagai sumber hara juga meningkatkan daya pegang tanah
terhadap pupuk yang diberikan dan meningkatkan KTK tanah.
Salah satu sumber bahan organik yang potensial dan penyediaannya dapat
dilakukan secara in-situ di lahan sawah adalah Salvinia sp. Salvinia sp. merupakan
tanaman pakis air yang mengapung di permukaan air termasuk dalam kelompok
divisi Pteridophyta, famili Salviniacea (Saunder dan Fowler 1993). Salvinia sp.
merupakan pakis air yang mengapung bebas yang mempunyai kemampuan dalam
memindahkan kontaminan seperti logam-logam berat, senyawa organik dan hara
16
2009). Selain itu beberapa spesies Salvinia sp. mempunyai beberapa keuntungan
karena produktivitasnya yang tinggi dan toleransi yang luas terhadap temperatur
(Olguin et al. 2002).
Hasil penelitian Begum et al. (2010) menunjukkan Salvinia sp. mampu
menyerap logam-logam berat Fe 88.8% , Cu 67%, dan Ni 40.4% dalam larutan
yang masing-masing diberi perlakuan 5.0 ppm Fe, Cu, dan Ni, setelah 10 hari.
Salvinia sp. potensial dalam menyerap logam berat dari lingkungan dengan cara
mengkompartmentasi sebagai upaya pertahanan sekunder terhadap lingkungan
(Olguin et al. 2003). Logam berat yang diserap oleh Salvinia sp. melalui dua cara
yaitu secara biologis dan fisik. Logam seperti Cr dan Pb diserap melalui proses
fisik seperti penjerapan, pertukaran ion dan pengkelatan, sedangkan proses biologis
adalah meliputi penyerapan intrasellular (ditransportasi melalui plasmalemma
kedalam sel) seperti penyerapan logam Cd dari akar ke daun (Sun’e et al. 2007). Penyerapan logam berat dapat secara langsung melalui kontak daun
dengan larutan melalui kapasitas penjerapan yang terdapat pada daun (Sun’e et al. 2007). Telah diketahui bahwa penyerapan logam berat digerakkan oleh protein
transport sekunder melalui saluran protein atau protein pembawa (carrier) yang
berikatan dengan H+ dimana potensial membran negatif dalam plasma membran
menggerakkan penyerapan kation melalui transporter sekunder. Adanya kelompok
karboksilat pada permukaan sel menyediakan tempat untuk mengikat logam
(Olguin et al. 2005). Kemampuan biomas Salvinia sp. yang tinggi dalam
memindahkan atau mengikat logam ditunjukkan oleh besarnya permukaan spesifik
(264 m2 g-1) yang kaya dengan karbohidrat (48.50%), fenolik hidroksil (2.96 mmol
g-1), protein (27.6%), lipid 1.52% dan karboksil (0.95 mmol g-1). Protein
merupakan atom ligan yang penting dan juga berperan penting dalam penyerapan
logam (Sanchez-Galvan et al. 2008).
Biomas Salvinia sp. yang telah mati menunjukkan kemampuan yang tinggi
untuk mengikat logam-logam berat. Adanya konsentrasi yang tinggi dari lipid dan
karbohidrat pada permukaan tanaman bertindak sebagai kelompok penukar kation
lemah yang berkonstribusi untuk penyerapan logam dengan reaksi pertukaran ion.
Reaksi pertukaran ion merupakan fungsi utama adanya kelompok karboksil dalam