• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Tuberkulosis Paru 2.1.1. Definisi

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2017

Membagikan "BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Tuberkulosis Paru 2.1.1. Definisi"

Copied!
33
0
0

Teks penuh

(1)

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

2.1. Tuberkulosis Paru

2.1.1. Definisi

Tuberkulosis adalah penyakit menular langsung yang disebabkan oleh kuman Tuberkulosis (Mycobacterium tuberculosa) yang ditularkan melalui udara (droplet nuclei) saat seorang pasien Tuberkulosis batuk dan percikan ludah yang mengandung bakteri tersebut terhirup oleh orang lain saat bernapas.(Widoyono, 2008)

2.1.2. Penyebab Tuberkulosis

Tuberkulosis paru disebabkan oleh Mycobacterium Tuberculosa. Ditemukan pertama kali oleh Robert Koch pada tahun 1882. Hasil penemuan ini diumumkan di Berlin pada tanggal 24 Maret 1882 dan tanggal 24 Maret setiap tahunnya diperingati sebagai hari Tuberkulosis.

(2)

Bakteri tuberkulosis ini mati pada pemanasan 100ºC selama 5-10 menit atau pada pemanasan 60ºC selama 30 menit, dan dengan alkohol 70-95% selama 15-30 detik. Bakteri ini tahan selama 1-2 jam di udara, di tempat yang lembab dan gelap bisa berbulan-bulan namun tidak tahan terhadap sinar matahari atau aliran udara. Data pada tahun 1993 melaporkan bahwa untuk mendapatkan 90% udara bersih dari kontaminasi bakteri memerlukan 40 kali pertukaran udara per jam (Widoyono, 2008)

2.1.3. Gejala-gejala Tuberkulosis

Gejala klinis pasien Tuberkulosis Paru menurut Depkes RI (2008), adalah : - Batuk berdahak selama 2-3 minggu atau lebih.

- Dahak bercampur darah. - Batuk berdarah.

- Sesak napas. - Badan lemas.

- Nafsu makan menurun.

- Berkeringat malam hari tanpa kegiatan fisik. - Demam meriang lebih dari satu bulan.

(3)

2.1.4. Penemuan Pasien Tuberkulosis

1. Penemuan Pasien Tuberkulosis Pada Orang Dewasa

Kegiatan penemuan pasien terdiri dari penjaringan suspek, diagnosis, penentuan klasifikasi penyakit dan tipe pasien.

Penemuan pasien merupakan langkah pertama dalam kegiatan program penanggulangan Tuberkulosis. Penemuan dan penyembuhan pasien Tuberkulosis menular secara bermakna akan dapat menurunkan kesakitan dan kematian akibat Tuberkulosis, penularan Tuberkulosis di masyarakat dan sekaligus merupakan kegiatan pencegahan penularan Tuberkulosis yang paling efektif di masyarakat.

Strategi penemuan pasien Tuberkulosis dilakukan secara pasif dengan promosi aktif. Penjaringan tersangka pasien dilakukan di unit pelayanan kesehatan, didukung dengan penyuluhan secara aktif, baik oleh petugas kesehatan maupun masyarakat untuk meningkatkan cakupan penemuan tersangka pasien Tuberkulosis. Pemeriksaan terhadap kontak pasien Tuberkulosis, terutama mereka yang BTA positif dan pada keluarga anak yang menunjukan gejala sama, harus diperiksa dahaknya. Penemuan secara aktif dari rumah ke rumah, dianggap tidak cost efektif. 2. Penemuan Pasien Tuberkulosis Pada Anak

(4)

aksila, inguinal, pembengkakan tulang/sendi panggul, lutut, falang, foto thoraks. (Depkes RI, 2008).

2.1.5. Klasifikasi Penyakit dan Tipe PasienTuberkulosis Paru

1. Klasifikasi Penyakit Tuberkulosis Paru

Klasifikasi penyakit Tuberkulosis paru berdasarkan pemeriksaan dahak menurut Depkes RI (2008), dibagi dalam :

1. Tuberkulosis paru BTA positif.

a. Sekurang-kurangnya 2 dari 3 spesimen dahak SPS hasilnya BTA positif. b. 1 spesimen dahak SPS hasilnya BTA positif dan foto toraks dada

menunjukkan gambaran tuberkulosis.

c. 1 spesimen dahak SPS hasilnya BTA positif dan biakan kuman Tuberkulosis positif.

d. 1 atau lebih spesimen dahak hasinya positif setelah 3 spesimen dahak SPS pada pemeriksaan sebelumnya hasilnya BTA negatif dan tidak ada perbaikan setelah pemberian antibiotika non OAT.

2. Tuberkulosis paru BTA negatif.

Kasus yang tidak memenuhi definisi pada Tuberkulosis paru BTA positif.

Kriteria diagnostik Tuberkulosis paru BTA negatif harus meliputi :

a. Paling tidak 3 spesimen dahak SPS hasilnya negative.

(5)

c. Tidak ada perbaikan setelah pemberian antibiotika non OAT.

d. Ditentukan (dipertimbangkan) oleh dokter untuk diberi pengobatan.

2. Tipe Pasien Tuberkulosis Paru

Klasifikasi pasien Tuberkulosis Paru berdasarkan riwayat pengobatan sebelumnya dibagi menjadi beberapa tipe, yaitu :

a. Baru

Adalah pasien yang belum pernah diobati dengan OAT atau sudah pernah menelan OAT kurang dari satu bulan (4 minggu).

b. Kambuh (Relaps)

Adalah pasien Tuberkulosis yang sebelumnya pernah mendapat pengobatan Tuberkulosis dan telah dinyatakan sembuh atau pengobatan lengkap, didiagnosis kembali dengan BTA positif (apusan atau kultur).

c. Pengobatan setelah putus berobat (Default)

Adalah pasien yang telah berobat dan putus berobat 2 bulan atau lebih dengan BTA positif.

(6)

Adalah pasien yang hasil pemeriksaan dahaknya tetap positif atau kembali menjadi positif pada bulan kelima atau lebih selama pengobatan.

e. Pindahan (Transfer In)

Adalah pasien yang dipindahkan dari UPK yang memiliki register Tuberkulosis lain untuk melanjutkan pengobatannya.

f. Lain-lain

Adalah semua kasus yang tidak memenuhi ketentuan diatas. Kelompok ini termasuk Kasus Kronik, yaitu pasien dengan hasil pemeriksaan masih BTA positif setelah selesai pengobatan ulangan.

2.1.6. Cara Penularan Tuberkulosis

(7)

Lingkungan yang kurang baik sebagai salah satu reservoir atau tempat baik dalam menularkan penyakit menular seperti penyakit tuberkulosis. Menurut Azwar (1990), peranan faktor lingkungan sebagai predisposing artinya berperan dalam menunjang terjadinya penyakit pada manusia, misalnya sebuah keluarga yang berdiam dalam suatu rumah yang berhawa lembab dalam daerah yang endemis terhadap penyakit Tuberkulosis.

Umumnya penularan terjadi dalam ruangan dimana percikan dahak berada dalam waktu yang lama. Ventilasi dapat mengurangi jumlah percikan, sementara sinar matahari langsung dapat membunuh kuman.

Menurut Depkes RI (2008), risiko tertular tergantung dari tingkat pajanan dengan percikan dahak. Pasien Tuberkulosis paru dengan BTA positif memberikan risiko penularan lebih besar dari pasien Tuberkulosis Paru dengan BTA negatif.

Setiap satu BTA positif akan menularkan kepada 10-15 orang lainnya, sehingga kemungkinan setiap kontak untuk tertular Tubekulosis adalah 17%. Hasil studi lainnya melaporkan bahwa kontak terdekat (misalnya keluarga serumah) akan dua kali lebih berisiko dibandingkan kontak biasa (tidak serumah).(Widoyono, 2008)

Angka risiko penularan infeksi Tuberkulosis setiap ditunjukan dengan Annual Risk of Tuberculosis Infection (ARTI) yaitu proporsi penduduk yang berisiko terinfeksi Tuberkulosis selama satu tahun. ARTI di Indonesia sebesar 1-3% yang berarti di antara 100 penduduk terdapat 1-3 warga yang terinfeksi Tuberkulosis. Setengah dari mereka BTAnya akan positif (0,5%). (Depkes RI, 2008)

(8)

dan malnutrisi (gizi buruk). HIV merupakan faktor risiko yang paling kuat bagi yang terinfeksi Tuberkulosis menjadi sakit Tuberkulosis. Infeksi HIV mengakibatkan kerusakan luas sistem daya tahan tubuh seluler (cellular immunity), sehingga jika terjadi infeksi penyerta (oportunity), seperti Tuberkulosis, maka yang bersangkutan akan menjadi sakit parah bahkan bisa mengakibatkan kematian.(Depkes RI, 2008)

Menurut Amin, Alsagaf dan Saleh yang dikutip Rajagukguk (2008), faktor-faktor yang erat hubungannya dengan infeksi basil Tuberkulosis adalah :

a. Harus ada sumber penularan

b. Jumlah basil yang mempunyai kemampuan mengadakan terjadinya infeksi, cukup banyak dan terus menurus.

c. Virulensi (keganasan) basil.

d. Daya tahan tubuh yang menurun sehingga memungkinkan basil Tuberkulosis berkembang biak.

Menurut Depkes RI (2008) Faktor risiko kejadian Tuberkulosis, secara ringkas digambarkan pada gambar berikut:

Bagan 2.1

Faktor Risiko Kejadian Tuberkolosis Paru

transmisi

●Diagnosis tepat Jumlah kasus TB BTA+ dan cepat Faktor lingkungan: Risiko menjadi TB bila ●Pengobatan tepat

(9)

Kosentrasi Kuman ■Keterlambatan diagnosis Lama Kontak dan pengobatan

■Malnutrisi ■Tatalaksana tak memadai

■Penyakit DM, ■Kondisi kesehatan

Immuno-supresan

Sumber: Depkes RI, (2008). Pedoman Nasional Penanggulangan Tuberkulosis ● Riwayat alamiah pasien TB yang tidak diobati menurut Depkes RI, (2008)

Pasien yang tidak diobati, setelah 5 tahun akan : 50% meninggal

25% akan sembuh sendiri dengan daya tahan tubuh yang tinggi 25% menjadi kasus kronis yang tetap menular

2.1.7. Upaya Pencegahan dan Pemberantasan Tuberkulosis Paru

Upaya pencegahan adalah upaya kesehatan yang dimaksudkan agar setiap orang terhindar dari terjangkitnya suatu penyakit dan dapat mencegah terjadinya penyebaran penyakit.

Tujuannya adalah untuk mengendalikan faktor-faktor yang mempengaruhi timbulnya penyakit yaitu penyebab penyakit (agent), manusia atau tuan rumah (host) dan faktor lingkungan (environment).

Pencegahan Tuberkulosis yang utama bertujuan memutus rantai penularan yaitu menemukan pasien Tuberkulosis paru dan kemudian mengobatinya sampai benar-benar sembuh.

Cara pencegahan dan pemberantasan Tuberkulosis secara efektif diuraikan sebagai berikut :

1. Melenyapkan sumber infeksi, dengan : a. Penemuan penderita sedini mungkin.

(10)

2. Memutuskan mata rantai penularan.

3. Pendidikan kesehatan kepada masyarakat tentang penyakit Tuberkulosis paru. Untuk memberantas penyakit Tuberkulosis paru kita harus mampu mempengaruhi unsur-unsur seperti manusia, perilaku dan lingkungan serta memperhitungkan interaksi dari ketiga unsur tersebut.

Menurut Rajagukguk (2008), yang mengutip penelitian Entjang keberhasilan usaha pemberantasan Tuberkulosis paru juga tergantung pada :

a. Keadaan sosial ekonomi rakyat.

Makin buruk keadaan sosial ekonomi masyarakat, sehingga nilai gizi dan sanitasi lingkungan jelek, yang mengakibatkan rendahnya daya tahan tubuh mereka sehingga mudah menjadi sakit bila tertular Tuberkulosis.

b. Kesadaran berobat si penderita

Kadang-kadang walaupun penyakitnya agak berat si penderita tidak merasa sakit, sehingga tidak mau mencari pengobatan.

c. Pengetahuan penderita, keluarga dan masyarakat pada umumnya tentang penyakit Tuberkulosis.

Makin rendah pengetahuan penderita tentang bahaya penyakit Tuberkulosis untuk dirinya, keluarga dan masyarakat sekitarnya makin besar pula bahaya si penderita sebagai sumber penularan penyakit, baik dirumah maupun tempat pekerjaannya untuk keluarga dan orang disekitarnya.

(11)

Lingkungan adalah segala sesuatu baik fisik, biologis, maupun sosial yang berada disekitar manusia serta pengaruh-pengaruh luar yang mempengaruhi kehidupan dan perkembangan manusia.

Unsur-unsur lingkungan sebagai berikut :

2.2.1. Lingkungan Fisik

Lingkungan fisik adalah segala sesuatu yang berada disekitar manusia yang bersifat tidak bernyawa misalnya air, tanah, kelembaban udara, suhu, angin, rumah dan benda mati lainnya.

2.2.2. Lingkungan Biologi

Lingkungan biologi adalah segala sesuatu yang bersifat hidup seperti tumbuh-tumbuhan, hewan, termasuk mikroorganisme.

2.2.3. Lingkungan Sosial

Lingkungan sosial adalah segala sesuatu tindakan yang mengatur kehidupan manusia dan usaha-usahanya untuk mempertahankan kehidupan seperti pendidikan pada tiap individu, rasa tanggung jawab, pengetahuan keluarga, jenis pekerjaan, jumlah penghuni dan keadaan ekonomi.

2.2.4. Lingkungan Rumah

(12)

2.3. Perumahan Sehat

Menurut Winslow dan APHA yang dikutip oleh Suyono dan Budiman (2011), perumahan yang sehat harus memenuhi beberapa persyaratan, antara lain memenuhi kebutuhan fisiologis, memenuhi kebutuhan psikologis, mencegah penularan penyakit, dan mencegah terjadinya kecelakaan.

2.3.1. Persyaratan Rumah Sehat

Rumah sehat menurut Winslow dan APHA yang dikutip oleh Suyono dan Budiman (2011), menetapkan fungsi pokok pembangunan rumah sebagai tempat tinggal yang sehat, sebagai berikut :

a. Perumahan yang sehat harus memenuhi kebutuhan fisiologis :

1. Pencahayaan yang cukup, baik cahaya alam (sinar matahari) maupun cahaya buatan (lampu).

2. Penghawaan (ventilasi) yang cukup untuk proses penggantian udara dalam ruangan.

3. Tidak terganggu oleh suara-suara yang berasal dari luar maupun dalam rumah (termasuk radiasi).

(13)

1. Setiap anggota keluarga terjamin ketenangannya dan kebebasannya (privacy), tidak terganggu oleh anggota keluarga dalam rumah maupun oleh tetangga atau orang lewat.

2. Mempunyai ruang untuk berkumpulnya anggota keluarga.

3. Lingkungan yang sesuai, homogen, tidak terlalu ada perbedaan tingkat yang ekstrem di lingkungannya. Misalnya tingkat ekonomi.

4. Mempunyai fasilitas kamar mandi dan WC sendiri.

5. Jumlah kamar tidur dan pengaturannya harus disesuaikan dengan umur dan jenis kelaminnya. Orangtua dan anak dibawah 2 tahun boleh satu kamar. Anak di atas 10 tahun dipisahkan antara laki-laki dan perempuan. Anak umur 17 tahun ke atas diberi kamar sendiri.

6. Jarak antara tempat tidur minimal 90 cm untuk terjaminnya keleluasaan bergerak, bernapas dan untuk memudahkan membersihkan lantai.

7. Ukuran ruang tidur anak yang berumur ≤ 5 tahun sebesar 4,5 m³, dan yang umurnya 5 tahun adalah 9 m³. Artinya dalam satu ruangan anak yang berumur 5 tahun kebawah diberi kebebasan menggunakan volume ruangan 1,5 x 1 x 3 m³, dan diatas 5 tahun menggunakan ruangan 3 x 1 x 3 m³.

8. Mempunyai halaman yang dapat ditanami pepohonan.

9. Hewan/ternak yang akan mengotori ruangan dan ribut/bising hendaknya dipindahkan dari rumah dan dibuat kandang tersendiri dan mudah dibersihkan. c. Perumahan juga harus mampu mencegah penularan penyakit :

(14)

2. Tidak memberi kesempatan serangga (nyamuk dan lalat), tikus dan binatang lainnya bersarang di dalam atau di sekitar rumah.

3. Pembuangan kotoran (tinja) dan air limbah memenuhi syarat kesehatan. 4. Pembuangan sampah pada tempat yang baik, kuat dan higienis.

5. Luas kamar tidur maksimal 3,5 m² per orang dan tinggi langit-langit maksimal 2,7 m. Ruangan yang terlalu luas akan menyebabkan mudah masuk angin, tidak nyaman secara psikologis (gamang), sedang apabila terlalu sempit akan menyebabkan sesak napas dan memudahkan penularan penyakit karena terlalu dekat kontak.

6. Tempat masak dan menyimpan makanan harus bersih dan bebas dari pencemaran atau gangguan serangga (lalat, semut, lipas dll) dan tikus serta debu.

d. Perumahan harus memenuhi keamanan untuk terjadinya kecelakaan.

2.3.2. Sanitasi Perumahan dan Hubungannya dengan Tuberkulosis Paru

Menurut Departemen Kesehatan RI (1997), sanitasi adalah usaha pencegahan penyakit untuk melenyapkan, mengendalikan faktor-faktor lingkungan yang merupakan mata rantai penularan penyakit.

(15)

Jadi berdasarkan kedua definisi diatas, disimpulkan inti dari sanitasi adalah pengawasan terhadap faktor-faktor lingkungan untuk menghindari penularan penyakit dari satu orang kepada orang lain.

Bila dihubungkan dengan perumahan sebagai faktor lingkungan, sanitasi tersebut meliputi kegiatan usaha yang sasarannya adalah segala aspek yang berkaitan dengan rumah sehingga tidak menimbulkan dampak negatif terhadap kesehatan penghuninya.

Penyehatan perumahan dan lingkungan perlu dilakukan karena erat kaitannya dengan masalah kesehatan masyarakat. Untuk menunjukkan bahwa kondisi perumahan yang tidak sehat sangat berpengaruh dalam penularan penyakit dilihat dari data-data penelitian yang sudah ada.

Berdasarkan hasil Survey Kesehatan Rumah Tangga (SKRT) pada tahun 1980 didapatkan hasil sebagai berikut :

1. 35,8% rumah tidak mempunyai kamar tidur terpisah.

2. 34% rumah mempunyai lubang penghawaan, pencahayaan, lantai, dinding dan atap yang buruk.

(16)

Hal diatas menunjukkan betapa besar pengaruh sanitasi perumahan terhadap kejadian penularan penyakit Tuberkulosis, begitu juga untuk penyakit menular lainnya apabila rumah tersebut tidak memenuhi syarat sanitasi.

Di daerah-daerah pedesaan, masalah perumahan masih banyak yang belum memenuhi syarat kesehatan sedangkan di kota-kota sudah ada kemajuan, tetapi di berbagai tempat masih terdapat perumahan yang sama sekali tidak memenuhi persyaratan kesehatan, yang sering disebut dengan daerah kumuh (slum area).

Menurut Reksosoebroto (1978) yang dikutip oleh Rajagukguk (2008), perumahan yang tidak sehat disebabkan oleh faktor-faktor sebagai berikut :

a. Taraf sosial ekonomi yang masih rendah b. Kurangnya pengertian tentang kesehatan

c. Sanitasi lingkungan yang tidak memenuhi syarat d. Kepadatan penghuni (over crowding)

e. Konstruksi bangunan yang tidak memenuhi syarat-syarat kesehatan

Perumahan yang tidak memenuhi persyaratan fisik akan menimbulkan gangguan kesehatan antara lain yang erat kaitannya dengan penyebaran penyakit Tuberkulosis paru adalah luas ruangan, ventilasi, konstruksi lantai dan pencahayaan sinar matahari yang tidak memenuhi persyaratan sanitasi.

2.3.3. Luas Ruangan

(17)

meliputi konstruksi yang baik dan memenuhi syarat kesehatan dan sanitasi yang baik (Reksosoebroto, 1978).

Salah satu syarat konstruksi yang harus diperhatikan sehubungan dengan penyakit Tuberkulosis Paru adalah luas ruangan rumah. Ada dua pendapat yang representatif yang dikutip oleh James and Parkinson (1976) yaitu yang pertama ukuran luas ruangan suatu perumahan erat kaiatannya dengan terjadinya Tuberkulosis Paru.

Pendapat kedua dikemukakan oleh Asosiasi Pencegahan Tuberkulosis Paru Brandbury yang membuat kesimpulan secara statistik bahwa kejadian Tuberkulosis Paru paling besar diakibatkan keadaan rumah yang tidak memenuhi syarat pada luas ruangannya.

Ruangan suatu rumah juga berperan dalam meningkatkan jumlah bakteri, hal ini terjadi apabila terdapat sumbernya misalnya adanya penderita Tuberkulosis Paru, sehingga kondisi ruangan yang memang mendukung perkembangan bakteri dan mikroorganisme lain akan menyebabkan jumlah bakteri juga mengalami peningkatan jumlahnya yang membawa resiko bagi orang lain.

Menurut “ Regional Housing Centre “ seperti yang dikutip oleh Reksosoebroto (1978), suatu bangunan harus memenuhi ukuran luas yang layak (dengan perhitungan untuk setiap keluarga yang terdiri dari 5 anggota rata-rata).

(18)

Penyebaran penyakit menular seperti Tuberkulosis Paru cepat sekali terjadi pada rumah yang padat penghuninya.

Luas bangunan yang optimum menurut Notoatmodjo (1997) adalah apabila dapat menyediakan 2,5 – 3 m² untuk tiap orang anggota keluarga. Menurut Lubis (1985) over crowing suatu perumahan apabila kondisi rumah terhadap jumlah penghuni sebagai berikut :

a. Dua individu dari jenis kelamin berbeda dan usia diatas 10 tahun yang bukan suami isteri, tidur dalam satu kamar.

b. Jumlah penghuni dibandingkan dengan luas lantai melebihi ketentuan yang ditetapkan.

Di Indonesia ketentuan mengenai kepadatan hunian ruang tidur oleh keputusan Menteri Kesehatan RI Nomor 829/Menkes/SK/VII/1999, yaitu luas ruang tidur minimal 8 meter, dan tidak dianjurkan digunakan lebih dari 2 orang tidur dalam satu ruang tidur, kecuali anak dibawah 5 tahun.

2.3.4. Ventilasi

Menurut Suyono dan Budiman (2011), hawa segar diperlukan untuk mengganti udara ruangan yang sudah terpakai. Udara bebas mempunyai susunan unsur :

1. Oksigen (zat asam) 20,7% 2. Nitrogen (zat lemas) 78,8%

(19)

5. Ozon (O ), amoniak (NH ), hidrogen (H2) dan lain-lain.

Suatu ruangan yang terlalu padat penghuninya dapat memberikan dampak yang buruk terhadap kesehatan para penghuni rumah tersebut, untuk itu pengaturan sirkulasi udara sangat diperlukan.

Pengadaan ventilasi menurut Salvato yang dikutip oleh Lubis (1985) dalam Rajagukguk (2008) adalah untuk menyediakan udara segar dan melenyapkan udara jenuh, tapi tidak ada sangkut pautnya dengan komposisi kimia, namun ia tetap menghubungan dengan pencegahan terjadinya akumulasi gas-gas beracun dan mikroorganisme di ruangan.

Rumah yang ventilasinya tidak memenuhi syarat kesehatan mengakibatkan perasaan sesak, pengap, cepat lelah dan keaktifan menurun. Hal ini disebabkan oleh peningkatan suhu udara yang dikeluarkan oleh tubuh dan tertahan di dalam ruangan, tidak adanya pergerakan udara serta kelembaban yang tinggi akibat uap air yang dilepaskan oleh paru-paru.

Keadaan ini dapat diatasi dengan menggerakkan udara dalam ruangan, misalnya dengan kipas angin atau dengan membuat ventilasi. Tidak adanya ventilasi yang baik di suatu ruangan akan semakin membahayakan kesehatan jika didalam ruangan tersebut terdapat penderita Tuberkulosis Paru.

(20)

C sudah cukup segar. Pergantian udara bersih untuk orang dewasa adalah 33 m³/orang/jam, kelembaban udara sekitar 60% optimum.

Ventilasi udara dalam ruangan harus memenuhi syarat lain di antaranya : 1. Luas lubang ventilasi tetap, minimum 5% dari luas lantai ruangan, selain itu luas

ventilasi insidentil (buka dan tutup) minimum 5% luas lantai. Jumlah keduanya menjadi 10% dari luas lantai. Ukuran luas ini diatur sedemikian rupa agar udara yang masuk tidak terlalu deras dan tidak terlalu sedikit.

2. Udara yang masuk harus udara bersih, tidak tercemar gas atau asap dari pembakaran sampah, pabrik, knalpot kendaraan, asap rokok, debu, dll.

3. Aliran udara jangan membuat orang masuk angin, untuk ini jangan menempatkan tempat tidur atau tempat duduk persis pada aliran udara, misalnya di depan jendela atau pintu.

4. Aliran udara mengikuti aturan cross ventilation dengan menempatkan lubang ventilasi berhadapan/berseberangan antara 2 dinding ruangan. Aliran udara ini jangan terhalang oleh barang-barang besar seperti lemari, dinding sekat dan lain-lain.

5. Kelembaban udara jangan sampai terlalu tinggi (menyebabkan orang berkeringat) dan jangan terlalu rendah (menyebabkan kulit kering, bibir pecah-pecah dan hidung sampai berdarah).

(21)

Beberapa pendapat para ahli yang dikutip oleh Lubis (1985) dalam Rajagukguk (2008), tentang kondisi paling baik terhadap temperatur kelembaban dapat dilihat pada tabel dibawah ini.

Tabel 2.1. Persyaratan Temperatur dan Kelembaban Perumahan

Pendapat dari : Temperatur (ºC) Kelembaban (%) Mac Nall

Joseph Lubart ASHRAE

22,7 – 25 20 – 24,4

25,5 dengan ventilasi ± 17,1 ºC

20 - 60 10 – 50

70 Sumber : Lubis (1985), Perumahan Sehat

Macam ventilasi adalah ventilasi alami dan ventilasi buatan. Ventilasi alami misalnya dengan memasang jendela dan lobang-lobang angin serta menggunakan bahan-bahan untuk dinding, lantai yang berpori-pori.

Ventilasi buatan diperlukan untuk membantu fungsi dari ventilasi alami yang kadang-kadang tidak berfungsi dengan baik, sehingga kebersihan udara, kelembaban, temperatur, kecepatan angin dan pergantian udara tidak dapat diatasi.

Ventilasi buatan yang kita kenal di antaranya sebagai berikut :

1. Fan (kipas angin), perputaran baling-baling menghasilkan pergerakan udara ke depan. Semakin cepat baling-baling diputar, semakin deras angin yang dihasilkan. Penggunaan kipas angin dapat menimbulkan masuk angin bagi yang tidak tahan. 2. Exhauster/exhaust fan, prinsip kerjanya hampir sama dengan fan, namun

(22)

ruangan melalui lubang udara lain di seberang exhauster tersebut. Exhauster dapat juga menyedot udara dari luar dan menekan udara kotor keluar ruangan melalui lubang udara di seberangnya. Ada jenis lain dari exhauster fan ini dipasang pada lanit-langit atau plafon disebut ceiling fan.

3. Air conditioned (AC). Prinsip kerja AC adalah mengisap udara dalam ruangan, disaring dan didinginkan kemudian disemprotkan kembali ke dalam ruangan dengan temperatur yang dapat disesuaikan melalui tombol mekanik atau melalui remote control.

2.3.5. Lantai

Perkembangbiakan mikroorganisme pada ruangan rumah juga dipengaruhi oleh kondisi lantai yang tidak memenuhi syarat kesehatan. Lantai rumah juga dipengaruhi oleh kondisi lantai yang tidak memenuhi syarat kesehatan. Lantai rumah biasanya hanya berupa tanah atau batu bata yang langsung diletakkan diatas tanah, sehingga kelembabannya sangat tinggi dan pada musim panas dapat menyebabkan udara berdebu.

Umumnya masyarakat Indonesia terutama yang tinggal di daerah pedesaan belum memperhatikan kondisi perumahan khususnya kondisi lantai yang biasanya hanya berupa tanah saja.

(23)

Lantai yang tidak memenuhi syarat dapat mengundang berbagai serangga dan tikus untuk bersarang, demikian juga kotoran yang melekat padanya. Biasanya tanah dan debu banyak mengandung mikroorganisme berbahaya antara lain kuman Tuberkulosis.

Lantai perumahan yang dipersyaratkan di Indonesia seperti telah ditetapkan oleh Departemen Pekerjaan Umun adalah : tidak mudah aus, kedap air, mudah dibersihkan, tidak lentur, tidak mudah terbakar dan harus memenuhi normalisasi serta peraturan yang berlaku.

2.3.6. Pencahayaan Sinar Matahari

Salah satu syarat rumah sehat adalah tersedianya cahaya yang cukup. Karena suatu rumah atau ruangan yang tidak mempunyai cahaya yang cukup, selain dapat menimbulkan perasaan kurang nyaman, juga dapat mendatangkan penyakit.

Sinar matahari berperan secara langsung dalam mematikan bakteri dan mikroorganisme lain yang terdapat di lingkungan rumah, dengan demikian sinar matahari sangat diperlukan di dalam suatu ruangan rumah terutama ruangan tidur, khususnya sinar matahari pagi yang dapat menghambat perkembang biakan kuman tuberkulosis dan kuman penyakit lainnya.

(24)

penyakit tertentu, misalnya untuk membunuh bakteri adalah cahaya dengan panjang gelombang di bawah 4000 A yakni sinar ultra violet (Azwar,1990).

Cahaya matahari ini berguna selain untuk penerangan, juga dapat mengurangi kelembaban ruangan, mengusir nyamuk, membunuh kuman penyakit tertentu seperti TBC, Influensa, penyakit mata dan lain-lain. (Sanropie, et.al, 1989).

Cara dalam mengupayakan masuknya sinar matahari ke ruangan rumah, dapat dilakukan dengan membuat jendela kaca, pintu kaca, dinding kaca dan genteng kaca. Pencahayaan yang baik adalah terang dan tidak silau sehingga dapat dipergunakan untuk membaca dengan normal. (Depkes, 2002).

2.4. Perilaku

Lingkungan mempunyai andil yang paling besar terhadap status kesehatan, kemudian berturut-turut disusul oleh perilaku mempunyai andil nomor dua, pelayanan kesehatan, dan keturunan mempunyai andil yang paling kecil terhadap status kesehatan. (Notoatmodjo, 1993).

Lawrence Green menjelaskan bahwa perilaku itu dilatar belakangi atau dipengaruhi oleh tiga faktor pokok yakni :

a. Faktor-faktor predisposisi (predisposing factors) mencakup pengetahuan dan sikap masyarakat terhadap kesehatan, tradisi dan kepercayaan masyarakat terhadap hal yang berkaitan dengan kesehatan, sistem nilai yang dianut masyarakat, tingkat pendidikan, tingkat sosial ekonomi, dan sebagainya.

(25)

c. Faktor-faktor yang memperkuat atau mendorong (reinforcing factors) meliputi faktor sikap dan perilaku tokoh masyarakat, tokoh agama, sikap dan perilaku para petugas termasuk petugas kesehatan. Juga undang-undang dan peraturan.

Oleh sebab itu, pendidikan kesehatan sebagai faktor usaha intervensi perilaku harus diarahkan kepada ketiga faktor pokok tersebut.

Bagan 2.2 Skema

Hubungan Status Kesehatan, Perilaku dan Pendidikan Kesehatan

Keturunan

Pelayanan Status Lingkungan

Kesehatan Kesehatan

Perilaku

Proses Perubahan

Predisposting Enabling Factors Reinforcing Factor Factors (ketersediaan sumber- (sikap dan perilaku (pengetahuan,sikap Sumber/fasilitas) petugas) kepercayaan, tradisi,

nilai,dsb)

Komunikasi Pemberdayaan Masyarakat Training

(26)

Pendidikan Kesehatan (Promosi Kesehatan)

Sumber : Notoatmodjo (2003), Pendidikan dan Perilaku Kesehatan  

Perilaku manusia pada hakikatnya adalah suatu aktifitas dari manusia itu sendiri yang mencakup berjalan, berbicara, bereaksi, berpakaian, bahkan kegiatan internal seperti berpikir, persepsi dan emosi. (Notoatmodjo, 2003).

Perilaku kesehatan pada dasarnya adalah suatu respons seseorang baik bersifat pasif (pengetahuan, persepsi dan sikap), maupun bersifat aktif (tindakan yang nyata atau practice) terhadap stimulus yang berkaitan dengan sakit dan penyakit, sistem pelayanan kesehatan, makanan serta lingkungan. Menurut Becker (1979) perilaku kesehatan berkaitan dengan tindakan atau kegiatan seseorang dalam memelihara dan meningkatkan kesehatannya. Termasuk juga tindakan-tindakan untuk mencegah penyakit, kebersihan perorangan, memilih makanan, sanitasi dan sebagainya.

Benyamin Bloom (1908) membagi perilaku ke dalam tiga domain pendidikan yang terdiri dari kognitif, afektif dan psikomotor. Kemudian dalam perkembangan selanjutnya oleh para ahli pendidikan, ketiga domain ini diukur dari pengetahuan, sikap dan tindakan.

2.4.1. Pengetahuan (Knowledge)

(27)

a. Awareness (kesadaran), dimana orang tersebut menyadari dalam arti mengetahui terlebih dahulu terhadap stimulus (objek).

b. Interest (merasa tertarik) terhadap stimulus atau objek tersebut. Disini sikap subjek sudah mulai timbul.

c. Evaluation (menimbang-nimbang) terhadap baik atau tidaknya stimulus tersebut bagi dirinya. Hal ini berarti sikap responden sudah lebih baik lagi.

d. Trial, dimana subjek mulai mencoba melakukan sesuai dengan apa yang dikehendaki oleh stimulus.

e. Adoption, dimana subjek telah berperilaku baru sesuai dengan pengetahuan, kesadaran dan sikapnya terhadap stimulus.

Perilaku yang didasari oleh pengetahuan, kesadaran dan sikap yang positif akan bersifat langgeng. Sebaliknya perilaku yang tidak didasari pengetahuan dan kesadaran tidak akan berlangsung lama. Ada enam tingkatan pengetahuan yakni :

1. Tahu (know)

Tahu diartikan sebagai mengingat suatu materi yang telah dipelajari sebelumnya. Termasuk kedalam pengetahuan tingkat ini adalah mengingat kembali (recall) terhadap suatu yang spesifik dari seluruh bahan yang dipelajari atau rangsangan yang telah diterima. Tahu merupakan tingkat pengetahuan yang paling rendah. Kata kerja untuk mengukur bahwa orang tahu tentang apa yang dipelajari antara lain menyebutkan, menguraikan, mendefinisikan dan sebagainya.

(28)

Memahami diartikan sebagi suatu kemampuan menjelaskan secara benar tentang objek yang diketahui dan dapat menginterpretasikan materi secara benar. Orang yang telah paham terhadap objek atau materi harus dapat menjelaskan, menyebutkan contoh, menyimpulkan, meramalkan dan sebagainya terhadap objek yang dipelajari.

3. Aplikasi (application)

Aplikasi diartikan sebagai kemampuan untuk menggunakan materi yang telah dipelajari pada situasi atau kondisi riil (sebenarnya). Aplikasi disini dapat diartikan aplikasi atau penggunaan hukum-hukum, rumus, metode, prinsip dan sebagainya dalam konteks atau situasi yang lain.

4. Analisis (analysis)

Analisis adalah suatu kemampuan untuk menjabarkan materi atau suatu objek kedalam komponen, tetapi masih didalam suatu stuktur organisasi tersebut dan masih ada kaitannya satu sama lain. Kemampuan analisis ini dapat dilihat dari penggunaan kata-kata kerja menggambarkan (membuat bagan), membedakan, memisahkan dan sebagainya.

5. Sintesis (synthesis)

Sintesis menunjukkan suatu kemampuan untuk meletakkan atau menghubungkan bagian-bagian di dalam suatu bentuk keseluruhan yang baru. Dengan kata lain kemampuan menyusun formulasi baru dari formulasi-formulasi yang ada.

(29)

Evaluasi ini berkaitan dengan kemampuan untuk melakukan justifikasi atau penilaian terhadap suatu materi atau objek. Penilaian-penilaian itu berdasarkan suatu kriteria yang ditentukan sendiri atau kriteria yang telah ada.

2.4.2. Sikap (Attitude)

Sikap adalah reaksi atau respon seseorang yang masih tertutup suatu stimulus atau objek. Sikap itu tidak dapat langsung dilihat, tetapi hanya dapat ditafsirkan terlebih dahulu dari perilaku yang tertutup. Sikap secara nyata menunjukkan konotasi adanya kesesuaian reaksi terhadap stimulus tertentu. Newcomb seorang ahli psikologi sosial menyatakan bahwa sikap merupakan kesiapan atau kesediaan untuk bertindak dan bukan merupakan pelaksanaan motif tertentu. Sikap merupakan reaksi terhadap objek di lingkungan tertentu sebagai suatu penghayatan terhadap objek.

Allport (1954) menjelaskan bahwa sikap mempunyai tiga komponen pokok a. Kepercayaan (keyakinan), ide dan konsep terhadap objek.

b. Kehidupan emosional atau evaluasi terhadap suatu objek. c. Kecenderungan untuk bertindak (trend to behave)

Ketiga komponen ini membentuk sikap yang utuh (total attitude). Dalam penentuan sikap yang utuh ini, pengetahuan, berpikir, keyakinan dan emosi memegang peranan penting.

Sikap terdiri dari berbagai tingkatan, yakni ; 1. Menerima (Receiving)

(30)

2. Merespons (Responding)

Memberikan jawaban apabila ditanya, mengerjakan dan menyelesaikan tugas yang diberikan adalah suatu indikasi dari sikap. Karena dengan suatu usaha untuk menjawab pertanyaan atau mengerjakan tugas yang diberikan, lepas pekerjaan itu benar atau salah adalah berarti menerima ide tersebut.

3. Menghargai

Mengajak orang lain untuk mengerjakan atau mendiskusikan dengan orang lain terhadap suatu masalah adalah indikasi sikap tingkat tiga.

4. Bertanggung jawab (Responsible)

Bertanggung jawab atas segala sesuatu yang telah dipilihnya dengan segala resiko adalah sikap yang paling tinggi.

2.4.3. Praktek atau Tindakan (Practise)

Suatu sikap belum otomatis terwujud dalam suatu tindakan (overt behavior) sehingga diperlukan faktor pendukung atau kondisi yang memungkinkan antara lain fasilitas dan dukungan berbagai pihak.

Tingkatan-tingkat tindakan : 1. Persepsi (Perception)

Mengenal dan memilih objek sehubungan dengan tindakan yang akan diambil adalah praktek tingkat pertama.

(31)

Dapat melakukan sesuatu sesuai dengan urutan yang benar sesuai dengan contoh adalah merupakan indikator praktek tingkat dua.

3. Mekanisme (Mechanism)

Apabila seseorang telah dapat melakukan dengan benar secara otomatis atau sesuatu itu sudah merupakan kebiasaan maka ia sudah mencapai praktek tingkat tiga.

4. Adaptasi (Adaptation)

Adaptasi adalah suatu praktek atau tindakan yang sudah berkembang dengan baik, artinya tindakan itu sudah dimodifikasinya sendiri tanpa mengurangi kebenaran tindakannya tersebut.

(32)

Variabel Independen Variabel Dependen ---: Variabel tidak diteliti

2.6.Hipotesis Penelitian

‐ Pengetahuan Kejadian Tuberkulosis

(33)

Berdasarkan uraian di atas, maka dapat dirumuskan hipotesa penelitian sebagai berikut:

Ha : Ada hubungan pengetahuan, sikap dan tidakan tentang lingkungan fisik rumah dengan kejadian Tuberkulosis Paru di wilayah kerja Puskesmas Sukarame Kecamatan Kualuh Hulu.

Ho : Tidak ada hubungan pengetahuan, sikap dan tidakan tentang lingkungan fisik rumah dengan kejadian Tuberkulosis Paru di wilayah kerja Puskesmas Sukarame Kecamatan Kualuh Hulu.

Gambar

Tabel 2.1. Persyaratan Temperatur dan Kelembaban Perumahan

Referensi

Dokumen terkait

Setelah 4-5 jam dalam pelayarannya kapal mengalami cuaca buruk dan ombak besar, Saksi melaporkan kepada Tersangkut Nakhoda bahwa kapal bocor dan diperintahkan

Dimana apabila menunjukan status tersedia dari sebuah sarana pada suatu tanggal tertentu itu artinya sarana tersebut masih bisa untuk dilakukan pemesanan karena

Berdasarkan hasil penelitian yang telah dilakukan untuk mengetahui jenis dan komposisi substrat di ekosistem mangrove kampung nipah, rata-rata persentase jenis

Berdasarkan latar belakang yang telah diuraikan, penulis akan meneliti pengaruh dari penerapan PSAK 24 khususnya mengenai imbalan pascakerja terhadap risiko perusahaan dan

Achmad Wardi - Badan Wakaf Indonesia bekerjasama dengan Yayasan Dompet Dhuafa Republika sebagai pengelola RS - Masyarakat dhuafa (gratis disubsidi dana zakat).

Hasil dari penelitian ini terdapat 5 etika moral bushido pada dorama Remake Great Teacher Onizuka 2012, yaitu etika moral keadilan, etika moral kebajikan, etika moral

Namun pada neonatus dengan gejala klinis TB dan didukung oleh satu atau lebih pemeriksaan penunjang (foto toraks, patologi anatomi plasenta dan mikrobiologis darah v.umbilikalis)

Skripsi berjudul “Pengaruh Perubahan Penggunaan Lahan Terhadap Angka Kesakitan Malaria: Studi di Provinsi Lampung” merupakan salah satu syarat untuk memperoleh gelar