• Tidak ada hasil yang ditemukan

Pengaruh Penyimpanan dan Pemasakan terhadap Mutu Gizi dan Organoleptik Empek-empek

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2017

Membagikan "Pengaruh Penyimpanan dan Pemasakan terhadap Mutu Gizi dan Organoleptik Empek-empek"

Copied!
222
0
0

Teks penuh

(1)
(2)
(3)
(4)
(5)
(6)
(7)
(8)
(9)
(10)
(11)
(12)
(13)
(14)
(15)
(16)
(17)
(18)
(19)
(20)
(21)
(22)
(23)
(24)
(25)
(26)
(27)
(28)
(29)
(30)
(31)
(32)
(33)
(34)
(35)
(36)
(37)
(38)
(39)
(40)
(41)
(42)
(43)
(44)
(45)
(46)
(47)
(48)
(49)
(50)
(51)
(52)
(53)
(54)
(55)
(56)
(57)
(58)
(59)
(60)
(61)
(62)
(63)
(64)
(65)
(66)
(67)
(68)
(69)
(70)
(71)
(72)
(73)
(74)
(75)
(76)
(77)
(78)
(79)
(80)
(81)
(82)
(83)
(84)
(85)
(86)
(87)
(88)
(89)
(90)
(91)
(92)
(93)
(94)
(95)
(96)
(97)
(98)
(99)
(100)
(101)
(102)
(103)
(104)
(105)
(106)
(107)
(108)
(109)
(110)
(111)
(112)
(113)
(114)
(115)
(116)
(117)

PENGARUH PENYIMPANAN DAN

PEMASAKAN TERHADAP MUTU GIZI DAN

ORGANOLEPTIK EMPEK-EMPEK

ROSDIANA

PROGRAM PASCASARJANA

INSTITUT PERTANIAN BOGOR

(118)

ABSTRAK

ROSDIANA. Pengaruh Penyimpanan dan Pemasakan terhadap Mutu Gizi dan Organoleptik Empek-empek (Dibimbing oleh BUD1 SETIAWAN, R1MBAWAN)l.

Penelitian ini bertujuan untuk mengkaji pengaruh cara penyimpanan dan pemasakan terhadap kualitas empek-empek, suatu makanan tradisional dari Sumatera Selatan. Pada penelitian ini digunakan empat cara penyimpanan yakni penyimpanan pada suhu kanlar, penyimpanan pada suhu kamar dengan pembalutan tepung tapioka, penyimpanan den,gan menggunakan refrigerator, dan penyimpanan dengan freezer. Cara pemasakan dilakukan dengan dikukus dan digoreng. Kajian kualitas gizi diamati dengan cara mengukur kadar lisin pada empek-empek, daya cerna protein dan bioavailabilitas lisin akibat terjadinya proses pemanasan dan penyimpanan.

Setelah melalui proses penyimpanan empek-empek yang disimpan di dalamfree::er, dan refrigerator memiliki kualitas yang lebih baik (bioavailabilitas lisin 80,5 % dan daya cerna protein 87,2 %) dibandingkan dengan empek-empek yang disimpan dengan cara lainnya. Penyimpanan pada suhu di sekitar titik beku air dapat menekan tingkat kerusakan empek-empek. Uji proksimat atas empek-empek juga menunjukkan bahwa tingkat kelembaban ruang penyimpanan juga berpengaruh terhadap kualitas empek- empek yang ditunjukkan dengan kadar air yang paling rendah yaitu 50,52% dan kadar protein yaitu 14,79% pada empek-empek yang disimpan di dalam freezer. Dengan demikian dapat dikatakan bahwa penyimpanan dengan tingkat kelembaban yang rendah dapat menjaga kualitas empek-empek.

Hasil dari penelitian menunjukkan bahwa proses pemanasan dapat menurunlcan kualitas gizi empek-empek. Empek-empek yang dikukus mempunyai daya cerna prolein 86,47% dan setelah pemanasan turun menjadi 85,3 %. Demikian juga dengan bioavailabilitas lisin yang mengalami penurunan dari 82,62 % menjadi 77,6 %.

(119)
(120)

SURAT PERNYATAAN

Dengan ini saya menyatakan bahwa tesis yang berjudul :

"Pengaruh Penyimpanan dun Pemasakan terhadap Mutu Gizi dun Organoleptik Empek-empek "

Adalah benar merupakan hasil karya saya sendiri dan belum pernah dipublikasikan. Semua sumber data dan informasi yang digunakan telah dinyatakan secara jelas dan da.pat diperiksa kebenarannya.

Bogor, Juli 2002

(121)

PENGARUH PENYIMPANAN DAN PEMASAKAN

TERHADAP MUTU GIZI DAN ORGANOLEPTIK

EMPEK-EMPEK

ROSDIANA

T e s i s

sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Magister Sains pada

Program Studi Gizi Masyarakat dan Sumberdaya Keluarga

PROGRAM PASCASARJANA

INSTITUT PERTANIAN BOGOR

(122)

Judul Penelitian : Pengaruh Penyimpanan dan Pemasakan terhadap Mutu; Gizi dan Organoleptik Empek-empek

Nama Mahasiswa : Rosdiana

Nomor Pokok : 99490

Program Studi : Ilmu Gizi Masyarakat dan Sumberdaya Keluarga

Menyetuj ui, 1. Komisi Pembimbing

~ r . ~ r . ' ~ d d i Setiawan, M S Ketua

Dr. Rimbawan Anggota

Mengetahui,

2. Ketua Program Studi 3. Direktur

Ilmu Gizi Masyarakat dan Sumberdaya Program Pascasariana "

Keluarga

&+

Prof. Dr. Ir. Ali Khomsan, M S
(123)

RIWAYAT HIDUP

Penulis dilahirkan di Jogyakarta pada tanggal 24 April 1963 sebagai anak ke dua dari

pasangan Muchyin Akip (Alm) dan Maryam. Pendidikan sarjana ditempuh di Fakultas

Pertanian Universitas Sriwijaya Palembang, lulus pada tahun 1989. Saat ini menjadi

tenaga pengajar di Fakultas Pertanian Universitas Muhammadiyah Jakarta. Kesempatim

untuk melanjutkan ke Program Magister Sains pada Program Studi Ilmu Gizi Masyarakat

dan Sumberdaya Keluarga IPB diperoleh pada tahun1999 dengan beasiswa pendidikan.

Pascasarjana yang diperoleh dari DITJEN DIKTI (BPPS) Departemen Pendidikan

(124)

PRAKATA

Puji dan syukur kehadirat Allah SWT karena berkat rahmat dan hidayah-Nya

penulis dapat menyelesaikan tesis ini. Tesis yang berjudul : "Pengaruh Penyimpanan dan Pemasakan terhadap Mutu Gizi dan Organoleptik Empek-empek" ini

merupakan salah satu syarat untuk memperoleh gelar Magister Sains pada Program Sludi

Ilmu Gizi Masyarakat dan Sumberdaya Keluarga.

Terimakasih penulis ucapkan kepada Bapak, Ibu, Suami dan kedua anakku atas

doa, dukungan dan kasih sayangnya. Kepada Bapak Dr.Ir.Budi Setiawan, MS dan Bapak

Dr.Rimbawan selaku pembimbing yang telah banyak meluangkan waktu dalam memberi

bimbingan, arahan, saran selama penelitian dan penyusunan tesis ini. Di samping itu,

penulis mengucapkan terimakasih kepada Kepala Laboratorium BALITBIO Tanarnan

Pangan yang telah memberikan izin selama penelitian, Juga teman-teman penulis

angkatan 1999 di GMSK yang telah membantu penulis selama dalam perkuliahan (clan

penyelesaian tesis ini yang tidak dapat disebutkan satu persatu.

Semoga hasil studi ini dapat bermanfaat.

Bogor, Juli 2002

(125)

DAFTAR IS1

Halarnan

DAFTAR TABEL

...

DAFTAR GAMBAR

...

...

DAFTAR LAMPIRAN

...

PENDAHULUAN

...

Latar Belakang

...

Tujuan Penelitian

Tujuan Umum

...

...

Tujuan Khusus

...

Manfaat Penelitian

...

Kerangka Pemikiran

...

TINJAUAN PUSTAKA

...

Empek-empek

...

Ikan Tenggiri

...

Tepung Tapioka

Protein

...

...

Daya Cerna Protein

Bioavailabilitas Lisin

...

...

Metode Evaluasi Kualitas Protein

...

Uji Organoleptik

...

Warna

...

Tekstur

...

Kekenyalan

...

Aroma

...

Rasa

...

METODOLOGI PENELITIAN

...

Tempat dan Waktu Penelitian

...

Bahan dan Alat

...

Penelitian Pendahuluan

...

Penelitian Lanjutan

...

V l l l

i x

(126)

Halarnan Rancangan Percobaan

...

..

...

..

...

34 Analisa Data

...

34

...

HASIL DAN PEMBAHASAN

...

Penelitian Pendahuluan

...

Penelitian Lanjutan

...

Mutu Gizi Empek-empek

...

Kadar Air

...

Kadar Abu

...

Kadar Lemak

...

Kadar Protein

...

Kadar Karbohidrat

...

Kadar Serat ... Kontribusi Empek-empek terhadap Kecukupan Energi

... Kandungan Asam Amino Empek empek

Kandungan Lisin. Daya Cerna Protein dan Bioavailabilitas Lisin pada

Empek-empek

...

...

Kadar Lisin

...

Daya Cerna Protein

...

Bioavailabilitas Lisin

...

Mutu Organoleptik

...

Warna

...

Tekstur dan Kekenyalan

...

Aroma

...

Rasa

...

Kuah Cuka

...

KESIMPULAN DAN SARAN 65

Kesimpulan

...

6 5 Saran

...

65

DAFTAR PUSTAKA

...

67
(127)

DAFTAR TABEL

Halanian Komposisi Kimiawi Ikan Tenggiri

.

. . .

. .

. . .

.

.

.

.

.

. . .

.

. . .

.

.

. . .

. ..

1 21. Komposisi Kimiawi pada tapioka per 100 gr bahan

. . .

. . .

.

. . .

. .

. . . .

14. Beberapa Komposisi Resep Pembuatan Empek-empek yang diuji

. . .

3 21 Hasil Analisa Proksimat Empek-empek dengan Berbagai Cara

Penyimpanan

...

40

Hasil Analisa Proksimat Empek-empek dengan Berbagai Cara

Pemasakan

...

40

Kadar Serat Kasar Empek-empek dengan Berbagai Penyimpanan

.

.

. . . .

48: Kadar Serat Kasar Empek-empek dengan Berbagai Pemasakan

. . .

.

. . .

48; Kontribusi Empek-empek terhadap Pola Kecukupan Energi ..

. . .

. .

.

.

.

483

Perbandingan Kontribusi Energi pada Beberapa Bahan Pangan

. .

. . . .

. . . .

49 Kandungan Asam Amino Esensial Empek-empek

. . . ..

5 1

Kadar Lisin, Daya Cerna Protein dan Bioavailabilitas Lisin Empek-

empek dengan Berbagai Penyimpanan

. .

. . .

.

. . .

.

. .

.

.

. . .

.

. .

.

.

.

. . ..

53

Kadar Lisin, Daya Cerna Protein dan Bioavailabilitas Lisin Empek-

empek dengan Berbagai Pemasakan..

. .

.

.

. . .

. .

. . .

. .

.

.

..

53

Kadar Lisin, Daya Cerna Protein dan Bioavailabilitas Lisin Empek-

empek pada setiap Perlakuan

. . .

.

. .

.

. . .

. . .

. . .

.

.

. . .

. ..

53

Modus dan Persentase Kesukaan terhadap Karakteristik Organoleptik

Empek-empek dengan berbagai cara Penyimpanan

. .

. . .

. . .

.

. . . .

. .

. . .

6C1 Modus dan Persentase Kesukaan terhadap Karakteristik Organoleptik
(128)

DAFTAR GAMBAR

(129)

DAFTAR LAMPIRAN

Halarnan Hasil Uji Proksimat dan Kualitas Protein dari

Empek-empek

...

7'3 Hasil Uji Asam Amino Empek-empek

...

74

...

Anova dan Uji LSD Kadar Air 76

...

Anova dan Uj i LSD Kadar Abu 76

Anova dan Uji LSD Kadar Lemak

...

77 Anova dan Uji LSD Kadar Protein

...

77 Anova dan Uji LSD Kadar Serat

...

78 Anova dan Uji LSD Kadar karbohidrat

...

78 Anova dan Uji LSD Kadar Lisin (per 100 gr)

...

79 Anova dan Uji LSD Kadar Daya cerna protein

...

79

...

Anova dan Uji LSD Bioavailabilitas lisin 80

...

Anova dan Uji LSD Aroma 81

Anova dan Uji LSD Rasa

...

81 Anova dan Uji LSD Wama

...

82

...

Anova dan Uji LSD Tekstur 82

...

Anova dan Uji LSD Kekenyalan 83

...

Anova dan Uji LSD Keseluruhan 83

...

Uj i Organoleptik dengan Metoda Friedman 85

...

Forrnulir Uji ( Hedonik) 86

...

Penentuan Kadar Air Metode Oven (AOAC, 1995) 87

...

Penentuan Kadar Protein Metode Mikro - Kjeldahl 88 Penentuan Kadar Lemak Metoda Ekstraksi Soxhlet

...

89 Penentuan Kadar Serat (Sulaeman dkk., 1995)

...

90

...

Penentuan Kadar Karbohidrat Metode by - Different 91

...

Penentuan Asarn amino (HPLC) 92

...

Penentuan Daya Cema Protein in vitro 92

(130)

PENDAHULUAN

Latar Belakang

Indonesia memiliki beragam surnberdaya pangan dalam bentuk mak03nan

maupun bahan makanan. Salah satu sumberdaya pangan tersebut adalah makanan

tradisional yang merupakan asset potensial bagi upaya penganekaragaman pangan

(Suhardjo, 1994). Makanan tradisional dapat diartikan sebagai makanan yang biasa

dikonsumsi masyarakat menurut golongan etnik dan wilayah tertentu serta

mempunyai rasa relatif sesuai dengan masyarakat setempat (Wirakusurnah, 1994).

Empek-empek merupakan salah satu produk makanan tradisional yang khas bagi

masyarakat di daerah Sumatera Selatan. Produk ini menggunakan bahan dasar ikan,

yang telah lama dikenal dan telah memasyarakat baik di kota Palembang maupun di

daerah-daerah lain di Indonesia.

Berkaitan dengan makanan tradisional atau makanan daerah, pemerintah

pernah giat melancarkan karnpanye "Aku Cinta Makanan Indonesia" (ACMI).

Gerakan ini bertujuan untuk yang bertujuan meningkatkan kecintaan terhiidap

makanan Indonesia serta mempopulerkan makanan Indonesia seperti pangiman

(makanan kecil) yang tidak terbatas pada upacara, tetapi lebih ditekankan pada

pelaksanaan nyata oleh masyarakat dalam susunan hidangan sehari-hari (Partini dan

Sidik, 1994). Khasanah makanan Indonesia yang terdiri dari beragam makiman

(131)

yang dinamis. Untuk itu diperlukan penyesuaian berkaitan dengan cara penyajian,

penyimpanan, masa simpan ataupun teknik pengemasannya.

Kualitas gizi makanan jajanan dan potensinya sebagai salah satu wahana

program diversifikasi pangan dan perbaikan gizi nasional hams diberi perhatian :fang

lebih baik (Widyakarya Nasional Pangan dan Gizi, 1993). Dari sekian banyak

makanan jajanan yang dikenal salah satunya adalah empek-empek yang merupakan

jajanan tradisional dari Palembang.

Empek-empek dibuat dengan menggunakan bahan dasar daging ikan, tepung

tapioka, air dan garam. Kesemua bahan tersebut diaduk sehingga menjadi adonan

kemudian dibentuk, direbus dan digoreng. Jajanan ini dikonsumsi dengan

menggunakan cuka sebagai bahan penyedap tambahan. Makanan ini banyak

digemari masyarakat terutama mereka yang suka mengkonsurnsi makanan dengan

cita rasa ikan, karena disamping rasanya yang gurih, enak juga banyak mengantfung

protein. Di Palembang empek-empek merupakan makanan yang khas, yang banyak

dijadikan sebagai kegiatan usaha di bidang industri rumah-tangga.

Menurut Roestam (1 994), dalam rangka memasyarakatkan makiman

tradisional perlu diberikan informasi mengenai kandungan zat gizi makanan tersebut.

Bentuk yang paling baik adalah mencantumkan komposisi zat gizinya pada setiap

resep masakan Indonesia. Adanya label zat gizi akan memberikan kemudahan bagi

masyarakat untuk memilih sesuai dengan kebutuhan.

Sumber protein hewani yang digunakan dalam pembuatan empek-empelc ini

adalah ikan. Jenis ikan yang biasa dan banyak digunakan antara lain adalah ikan

(132)

mahal dan saat ini sudah langka walaupun rasanya lebih enak dibandingkan dengan

bahan ikan lainnya. Rasa empek-empek dari ikan tenggiri lebih lezat bila

dibandingkan dari ikan gabus.

Ikan merupakan salah satu sumber protein hewani yang cukup potensial,

karena mengandung protein sekitar 15-24 % dari total berat daging ikan segar dan mempunyai daya cerna yang sangat tinggi, yaitu sekitar 95 % (ITC, 1991 dtrlarn

Hubeis, 1994). Mengingat tingginya kandungan gizi dalarn daging ikan, maka perlu

dilakukan upaya untuk meningkatkan konsurnsi daging ikan tersebut. Usaha yang

dapat dilakukan antara lain adalah penganekaragaman produk olahan ikan dan salah

satunya adalah pembuatan empek-empek.

Usaha untuk menjadikan empek-empek sebagai komoditas perdaga~igan

tidaklah mudah untuk dilaksanakan. Salah satu kendalanya yaitu mengenai claya

tahan atau keawetan empek-empek yang rendah. Empek-empek bila tidak diberi

perlakuan pengawetan yang memadai, dalam waktu tiga hari saja dapat rusak dan

tidak dapat dikonsumsi lagi. Selain itu proses pemasakan pada saat akan disajikan

juga dapat mempengaruhi kualitas empek-empek tersebut, karena pada saat disajikan

empek-empek akan mengalami proses pemasakan yakni dalam bentuk perebusan atau

pengukusan ulang dan dilanjutkan dengan menggoreng.

Selama ini persepsi konsumen terhadap kualitas empek-empek terutama

ditentukan oleh faktor organoleptik (bentuk, ukuran, tekstur, warna, aroma, rasa) dan

faktor ekonomis (harga), sedangkan faktor gizi masih kurang mendapat perhatian

(Winarno, 1983). Protein dalam empek-empek diperlukan untuk membentuk teE:stur

(133)

panas, selama pengolahan khususnya pemanasan. Empek-empek dengan perlalcuan

tertentu (didinginkan, dilapis tapioka dan di simpan pada suhu ruang) dapat disinlpan

hingga 3 hari. Setelah mengalami penyimpanan, empek-empek perlu dilaki~kan

pemanasan secara berulang baik yang dikukus maupun yang digoreng sebelum

dikonsumsi.

Mengingat banyaknya faktor yang dapat mempengaruhi kualitas gizi empek-

empek, maka penelitian ini dilakukan untuk mengetahui pengaruh teknik, lama

penyimpanan serta teknik penyajian terhadap kualitas gizi dan organoleptik empek-

empek.

Tujuan Penelitian

Tujuan Umum

Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui pengaruh cara penyimpanan dan

pemasakan terhadap mutu gizi empek-empek.

Tujuan Khusus

Penelitian ini secara khusus bertujuan untuk mempelajari:

1) Pengaruh proses penyimpanan terhadap mutu gizi dan organoleptik empek-

empek.

2) Pengaruh proses pemasakan terhadap mutu gizi dan organoleptik empek-empek.

3) Daya cerna dan bioavailabilitas lisin pada empek-empek setelah mengalami

(134)

Manfaat Penelitian

Penelitian ini diharapkan dapat memberikan informasi ilmiah yang

bermanfaat kepada masyarakat mengenai kualitas empek-empek selama penyimp;anan

dan pada saat diproses untuk disajikan kembali.

Kerangka Pemikiran

Kualitas empek-empek sangat dipengaruhi oleh proses pembuatan, proses

penyimpanan dan penyajiannya. Proses pembuatan mencakup komponen bahan d~asar

yang digunakan misalnya jenis ikan (ikan belida, ikan tenggiri, ikan gabus), jenis

tepung tapioka serta teknik pemasakannya (meliputi komposisi resep, lama perebusan

dan suhu air), sedangkan proses penyimpanan mencakup teknik penyimpanan !rang

berpengaruh terhadap daya simpan empek-empek. Proses penyajian merupiikan

proses penyiapan pemasakan empek-empek sehingga siap disajikan. Pada saat ;ikan

disajikan empek-empek tersebut dimasak ulang sesuai dengan selera. Pemasakan ini

umumnya empek-empek tersebut digoreng (Komariah, 1995).

Umumnya terdapat berbagai macam teknik penyimpanan empek-empek,

antara lain adalah penyimpanan pada suhu kamar di ruangan yang berangin,

penyimpanan di lemari pendingin dengan suhu 5°C atau dalamfieezer bersuhu -4°C.

Menurut penelitian Septriana (1995), empek-empek yang disimpan pada suhu dingin

beku (-4°C) dapat bertahan hingga 40 hari namun mengalami penurunan kualitas

organoleptiknya. Teknik pelumuran tepung merupakan teknik yang digunakan pads

(135)

memerlukan waktu menginap. Umumnya empek-empek tersebut mampu bert(3han

hingga 2 hari. Setelah mengalami proses penyimpanan, empek-empek hams dimasak

ulang dengan cara perebusan atau pengukusan, kemudian digoreng.

Dari situasi di atas tampak bahwa titik rawan dalam pengelolaan empek-

empek adalah pada bagian proses penyimpanan dan pada proses pemasakan pada saat

akan disajikan. Salah satu komponen yang dikhawatirkan akan mudah mengalami

kerusakan adalah protein dan asam amino yang banyak terkandung dalam ikan.

Padahal ikan telah diketahui mempunyai kualitas protein yang amat baik dari segi

jumlah, kelengkapan maupun bioavailabilitasnya bagi manusia. Kerusakan tersebut

dapat timbul dalam bentuk terjadinya perubahan struktur ataupun menurunnya daya

cerna protein ataupun bioavailabilitas asam aminonya. Pada beberapa penelitian yang

telah ada disebutkan bahwa penggunaan panas yang tinggi, tekanan yang tinggi atau

waktu pemasakan yang lama akan mengurangi bioavailabilitas asam amino (termasuk

(136)
[image:136.586.71.522.85.769.2]
(137)

TINJAUAN PUSTAKA

Empek-empek adalah makanan yang terbuat dari campuran tepung tapioka,

daging ikan, air dan garam yang diaduk menjadi satu lalu dibentuk, direbus, dikukus,

digoreng atau dipanggang dan dimakan dengan cuka. Pada prinsipnya pembuatan

empek-empek dilakukan melalui beberapa tahap, yaitu pengolahan ikan,

pencampuran, pembentukan dan pemasakan (Komariah, 1995). Tahap pengoli~han ikan meliputi proses penyiangan, pencucian, pembuatan filet dan penggilingan

daging ikan. Menurut Suzuki (1 98 I), pencucian daging ikan bertujuan untuk

menghilangkan kotoran berupa darah dan kotoran lain yang dapat menimbulkan bau

dan warna yang tidak disukai pada produk akhir. Ikan terlebih dahulu difilet untuk

memudahkan pada proses selanjutnya. Setelah itu daging ikan digiling. Pada tiihap

pencampuran dilakukan penggabungan dari bahan-bahan tersebut dengan proporsi

yang tepat sesuai dengan resep yang digunakan. Ketepatan proporsi bahan amat

diperlukan karena proporsi atau komposisi sangat berpengaruh terhadap rasa dan

kekenyalan empek-empek. Menurut Karmas (1982), Komponen daging ikan

dipengaruhi oleh jenis, kesegaran dan komposisi kimia ikan yang digunakan :;erta

metode pengolahan yang dipakai. Penggunaan ikan yang banyak akan membuat

rasa empek-empek yang dihasilkan akan terasa semakin enak (Dinas Perindus1:rian

Sumetera Selatan, 1978).

Tahap pembentukan bertujuan untuk memantapkan campuran dan

(138)

dapat dibentuk sesuai dengan keinginan. Cara pembentukan empek-empek sangat

beragam, tergantung dari jenis empek-empek yang akan dibuat (Komariah, 1995)

Dewasa ini empek-empek dikenal dengan berbagai jenis dan bentuk, aritara

lain dikenal pempek kapal selam, lenjeran, pempek keriting seperti kue putu

mayang, empek-empek adaan yang bentuknya bulat seperti bakso, empek-enlpek

lenggang yang menggunakan campuran telur dan dipanggang seperti halnya dengan

otak-otak dibungkus dengan daun dan dibakar (Anonimous, 1993).

Tahap pemasakan empek-empek dapat dilakukan dengan berbagai cara ~raitu

perebusan, pengukusan, penggorengan dan pemanggangan. Empek-empek dibentuk

lenjeran dan pemasakan dilakukan dengan perebusan, yaitu dengan memasulckan

empek-empek lenjeran ke dalam panci berisi air mendidih, kemudian direbus

didalam air mendidih. Empek-empek yang telah matang akan mengapung di

permukaan air rebusan, dan jika ditekan dengan tangan akan terasa lembut dan kenyal

sampai bagian dalamnya.

Proses perebusan bertujuan agar pati mengalami proses gelatinisasi sehiligga

granula pati mengembang dan protein terdenaturasi. Pengembangan granula pati ini

disebabkan molekul-molekul air melakukan penetrasi ke dalam granula dan

terperangkap dalam susunan molekul-molekul amilosa dan amilopektin (Muchtacli et.

al., 1988).

Setelah matang, empek-empek diangkat, ditiriskan dan didinginkan sesaat.

Berdasarkan penelitian Septriana (1 9 9 9 , daya awet eppek-empek relatif rendah,

apabila disimpan pada suhu kamar, pada hari ke-3 empek-empek tidak dapat

(139)

tahan sampai 30 hari. Namun empek-empek yang direbus hanya mempunyai

ketahanan simpan 48 jam. Apabila penyimpanan terlalu lama, pada permu.kaan

produk akan timbul lendir (Komariah, 1995). Hal ini menyebabkan mutu empek-

empek turun dan pemasaran ke luar daerah mengalami hambatan. Produsen empek-

empek mencoba mengatasi masalah ini dengan melumuri permukaan empek-enipek

dengan tepung tapioka untuk pemasaran ke luar daerah.

Ikan Tenggiri

Ikan tenggiri termasuk dalam ordo Percomorphi, famili Scombridae, sub

famili Scomberomorinae, genus Scomberomorus dan species Scomberomorus

commersoni (Saanin, 1968). Ikan tenggiri termasuk ikan pelagis besar (ikan !rang

hidup dekat permukaan laut). Adapun ciri-ciri dari ikan tenggiri adalah sebagai

berikut, tubuhnya memanjang, bermulut lebar, rahang bergigi tajam dan kuat, tidak

bersisik kecuali sisik gurat sisi yang kecil-kecil dan sirip punggung ada dua !rang

letaknya berdekatan (Djuhanda, 1981). Ikan tenggiri tergolong ikan buas, predator,

karnivor dan makanannya berupa ikan kecil dan cumi-cumi. Hidupnya menyendiri

(soliter) di perairan lepas dan pantai (Anonimous, 1979). Warna tubuh ikan tenggiri

abu-abu kebiruan pada bagian atas, putih perak pada bagian bawah, dan terdapat ban-

ban berwarna gelap, menggelombang dan melintang di sepanjang badan. Siripnya

berwarna biru keabu-abuan. Bagian daging yang dapat dimakan dari ikan tenggiri

(140)

Menurut Komariah (1995), ikan sungai yang umum digunakan oleh

masyarakat Palembang sebagai bahan baku dalam pembuatan empek-empek ad.alah

ikan belida (Notopterus notopterus), ikan gabus (Channa striata), ikan toman

(Channa micropeltes), sedangkan ikan laut yang sering digunakan adalah ikan

tenggiri (Scomberomorus commersoni), ekor kuning (Caesio cuning), kakap merah

(Lutjanus argentimaculatus), ikan parang-parang (Chirocentrus dorab).

Menurut Dinas Perindustrian Sumatera Selatan (1997), pada awalnya

pembuatan empek-empek dengan menggunakan ikan belida akan menghasilkan

produk yang lebih kenyal dan rasa yang lebih enak. Namun jenis ikan tersebut saat

ini semakin jarang ditemukan di pasaran dan harganyapun relatif lebih mahal. Oleh

sebab itu, industri pembuatan empek-empek lebih banyak menggunakan ikan tenggiri

atau ikan gabus. Komposisi kimia daging ikan pada umumnya terdiri dari 66-84% air,

15-24% protein, 0,l-22% lemak, 1-3% karbohidrat dan 0,8-2% bahan anorganik

(Suzuki, 198 1). Komposisi tersebut bervariasi antar spesies, antar individu dalam

spesies dan antar bagian dari satu individu ikan. Variasi ini dipengaruhi oleh uinur,

laju metabolisme dan aktivitas pergerakan ikan (Stansby, 1963). Air meruprikan

komponen dominan pada daging ikan. Kadar air tersebut mempunyai hubungan !rang

berlawanan dengan kadar lemak, dimana makin tinggi kadar air maka makin rendah

kadar lemaknya. Ikan tenggiri mempunyai komposisi kimiawi seperti tampak pada

(141)
[image:141.586.142.440.93.496.2]

Tabel 1. Komposisi Kimiawi Ikan Tenggiri

Bahan

*

1

I Berat (gr1100gr)

I

\D n ,

Kadar air (g)

Kadar protein (g) Kadar Lemak (g) Kadar Serat (g) Kadar Abu (g) Kadar Karbohidrat ( g )

70.15 20,07 7,89 0,OO 1,62 0.00 \"/ Energi (Kalori)

Asam Amino

**

Tryptophan

- 3 - -

158

mglgr protein

0.225

-* A I

Threonine Iso leucine Leucine 0.880 0,925 1.631 Lisin Methionine

- 7 - - -

1,843 0.594

Cystein Phenvlalanine

- 7 - - - 0,2 15 0.783 Tyrosine Valine Arginine Histidine Alanine

- 2 - - -

0,687 1,034 1,201 9,591 1,214 Aspartic Acid Glutamic Acid 2,055 2.006 Gl ycine Proline Tepung Tapioka

Tepung tapioka berasal dari hasil ekstraksi umbi ubi kayu (Manihot esculenta

Crantz) (Tjokroadikoesoemo,1986). Ubi kayu merupakan hasil produk pertanian

yang berpotensi tinggi sebagai sumber karbohidrat untuk bahan pangan dan industri. - 7 - - -

0,963 0.7 1 0

I - 7 - -

Alasan penggunaan tapioka untuk bahan pangan dan industri karena harganya murah,

Serine 0,819

Sumber :

*

Grace (1977)
(142)

mudah didapat, mempunyai daya ikat yang tinggi dan membentuk struktur yang kuat

(Widowati, 1987).

Pengolahan pati tepung tapioka sangat erat hubungannya dengan pemanasan,

karena bila suspensi pati dalam air dipanaskan akan terjadi gelatinisasi pati. Suhu

saat granula pati pecah disebut dengan suhu gelatinisasi (Winarno, 1992). Terjadinya

gelatinisasi pati disebabkan adanya gerakan kinetika yang kuat selarna pemanasan

yang menyebabkan jembatan hidrogen di bagian luar ikatan primer akan piltus,

kemudian bagian molekul yang dibebaskan akan melakukan hidrasi sehiilgga

bentuknya lebih terbuka. Bila proses dilanjutkan maka granula yang membengkak

akan pecah dan sifat kekentalannya akan hilang.

Tepung tapioka memiliki larutan yang jernih, daya gel yang baik, tidak berbau

dan berasa, mempunyai warna yang terang dan daya lekatnya yang sangat baik

(Radley, 1976). Penambahan tepung tapioka dalam pembuatan empek-empek

berfungsi sebagai bahan pengikat air agar mengurangi penyusutan saat pengolahan.

Selain itu tapioka juga membentuk daya emulsi protein ikan, memperbaiki warna

produk, membentuk tekstur yang baik dan meningkatkan volume. Peningkatan

volume dapat menurunkan jumlah daging ikan yang digunakan sehingga menekan

biaya produksi (Sugiyono, 1992).

Penggolongan mutu tepung tapioka didasarkan sifat organoleptik dan telmis.

Sifat organoleptik meliputi, penampakan bersih, putih, kering, tidak berbau asam

atau apek dan tidak kelihatan ampas atau bahan asing. Kandungan zat gizi dan

(143)
[image:143.591.199.505.91.551.2]

Tabel 2. Komposisi Kimiawi Tapioka per 100 gr bahan

Kandungan ( gr1100gr)

Amilosa (%) Amilopektin (%)

Ukuran Granula (pm) 5 p m - 3 5 p m

52 "C

-

64 "C

Kadar air (g) 10,99 gr Kadar Protein (g) 0,19 gr Kadar Lemak (a) 0,02 ar Kadar Serat (g)'

Kadar Abu (g) Kadar Karbohidrat (rr)

.

-

0,9 gr O,11 gr

88.69 gr

1

\w/

Energi (Kalori)

Asam Amino

**

T w ~ t o ~ h a n

I

Leucine

I

0,006

I

, u

3 59 kkal

mglgr Protein

0,003

..

.

Threonine Iso leucine

Lysine 0,006

Methionine 0.002 0,004 0,004

7 - -

Cystein 0,004

Phenilalanine 0,004

Tyrosine 0,002

Valine 0,005

Arginine 0,019

Histidine 0,003

Alanine 0,005

Aspartic Acid 0,011 ~ l i t a m i c Acid 0,029

Glvcine 0.004

I

Serine 0,005

Sumber :

*

Grace (1977);

1

* *

Anonimus (200 1).

Protein

Protein merupakan zat makanan yang amat penting bagi tubuh manusia,

karena disamping sebagai zat pembangun dan pengatur juga sebagai bahan bakar

dalam tubuh

.

Zat pembangun protein merupakan bahan pembentuk jaringan-jaringan
(144)

jaringan terjadi secara besar-besaran (Winarno, 1992). Di alam protein tersedia dillam

bentuk protein nabati dan protein hewani. Protein nabati banyak ditemukan pada

tanaman polong-polongan, sedangkan protein hewani banyak ditemukan pada telur

dan ikan, serta daging.

Protein yang terkandung dalam bahan pangan setelah dikonsumsi ,akan

mengalami pencernaan (pemecahan oleh enzim-enzim protease) menjadi unit,-unit

penyusunnya yaitu asam amino. Asam-asam amino inilah yang selanjutnya diserap

oleh usus, dan kemudian dialirkan ke seluruh tubuh untuk digunakan dillam

pembentukan jaringan-jaringan barn dan mengganti jaringan yang rusak. Untulc itu

diperlukan asam-asam amino yang sesuai dengan apa yang dibutuhkan tubuh

(Muchtadi, 1989).

Mutu protein dinilai dari perbandingan asam-asam amino yang terkanciung

dalam protein tersebut (Winamo, 1991). Pada prinsipnya, suatu protein yang dapat

menyediakan asarn amino essensial dalam suatu perbandingan yang menyiunai

kebutuhan tubuh manusia mempunyai mutu yang tinggi. Sebaliknya protein ;rang

kekurangan satu atau lebih asam amino non essensial tidak dapat digunakan sebagai

pedoman karena asam-asam amino tersebut dapat disintesis di dalam tubuh.

Dari sekitar 24 macam asam amino yang terdapat di alam dan berguna untuk

pertumbuhan manusia, ada 10 macam asam amino yang tidak dapat disintesa oleh

tubuh manusia, sehingga harus disuplai dari makanan. Asam-asam amino tersebut

digolongkan sebagai asarn amino esensial yaitu, lisin leusin, isoleusin, treonin,

(145)

digolongkan sebagai non esensial karena dapat disintesa oleh tubuh (Muchtadi,

1989).

Hasil-hasil penelitian menunjukkan bahwa meskipun ada sepuluh asam a~nino

esensial bagi tubuh, namun di negara yang sedang berkembang dan juga di Indonesia

mengungkapkan bahwa asam amino esensial yang sering kekurangan dillam

konsumsi pangan dan satu diantara asam amino adalah sebagai berikut : lisin dan treonin, sedangkan triptofan, metionin dan sistin sering disatukan dillam

menghitungnya karena sama-sama mengandung unsur sulfur (belerang) dan dalam

banyak ha1 mempunyai fungsi yang sama dalam tubuh (Hardinsyah dan Martianto,

1989).

Mutu protein dinilai dari perbandingan asam-asam amino yang terkanciung

dalam protein tersebut. Pada prinsipnya, suatu protein yang dapat menyediiakan

asam-amino esensial dalam suatu perbandingan yang menyamai kebutuhan tubuh

manusia mempunyai mutu yang tinggi. Sebaliknya protein yang kekurangan satu

atau lebih asam amino esensial mempunyai mutu yang rendah. Jumlah asam arnino

non esensial tidak dapat digunakan sebagai pedoman karena asam-asam arnino

tersebut dapat disintesa oleh tubuh.

Pada awalnya penentuan skor suatu protein dilakukan dengan

membandingkan kadar asam-asam amino esensial bahan dengan kadar asam-eeam

amino esensial protein telur ayam. Namun ternyata protein telur digunakan sebagai

referensi berbeda-beda, sehingga dapat diduga bahwa dengan menggunakan referensi

(146)

sekarang orang lebih cenderung menggunakan pola asam amino referensi yang

dibuat oleh FA0 pada tahun 1973.

Ikan kaya akan protein dengan komposisi asam amino yang sangat baik

dalam memenuhi kebutuhan diet manusia, dan setara dengan telur, susu atau daging

yang dianggap sebagai sumber ketersediaan protein hewani yang paling murah (FAO,

198 1 dalam Rimbawan, 1992 ). Ikan selain dianggap sebagai sumber protein, juga mengandung berbagai lemak, vitamin, dan mineral. Sedangkan karbohidrat hmya

ada sebagian kecil. Bagian yang dapat dimakan dari ikan berupa sekitar 45

-

50

persen dari berat keselumhan. Komposisi dari daging ikan adalah 15 - 24 persen protein, 0,l - 22 persen lemak, 1 - 3 persen karbohidrat, 0,8 - 2 persen subs1:ansi anorganik dan 66 - 84 persen air (Borgstrom, 1962 dalam Rimbawan, 1992 ).

Menurut FAO, 1981 dalam Rimbawan (1992), protein ikan memiliki kualitas

yang baik. Keadaan ini dapat diterima dari segi kuantitas ataupun kelengkapannya

untuk memenuhi kebutuhan hidup manusia. Namun lisin yang terkandung dalam

komponen protein ikan dapat mudah msak apabila mendapatkan perlakuan panas

yang tinggi dalam jangka watu yang cukup lama; sedangkan lisin merupakan salah

satu faktor pembatas dalam pemanfaatan protein oleh tubuh manusia.

Daya Cerna Protein

Kemampuan suatu protein untuk dapat dihidrolisis menjadi asam-asam arnino

oleh enzim-enzim pencernaan (protease) dikenal dengan istilah daya cerna protein

(147)

protein merupakan bagian dari protein atau asam amino yang dapat diserap tilbuh

dibandingkan dengan yang dikonsumsi. Suatu protein yang mudah dicerna

menunjukkan bahwa jumlah asam amino yang dapat diserap dan digunakan oleh

tubuh tinggi. Sebaliknya, suatu protein yang sukar di cerna berarti jumlah asam-

amino yang dapat diserap dan digunakan oleh tubuh rendah, karena sebagian hesar

akan dibuang oleh tubuh bersama kotoran.

Pada kehidupan secara umum, suatu bahan pangan selalu mengalami proses

pengolahan sebelum dapat dikonsumsi. Proses pengolahan pangan ini dilakilkan

dengan berbagai tujuan, antara lain adalah untuk meningkatkan sanitasi pangan,

peningkatkan daya simpan, merubah aroma, cita-rasa dan sebagainya. Pengolahan

suatu bahan pangan menjadi makanan siap saji, sering kali menimbulkan kerus,&an

kualitas pada bahan pangan tersebut secara urnurn, ataupun akan dapat menunulkan

daya cerna protein yang terkandung di dalam bahan pangan tersebut.

Kerusakan pada mutu protein ikan dapat disebabkan oleh beberapa hal, di

antaranya adalah pengeringan, pemanasan atau pendinginan, penyimpanan,

pengasapan dan sebagainya. Menurut Bender (1978) dalam Mudjajanto (1991),

apabila protein mengalami proses pemanasan maka terhadap protein tersebut iikan

terjadi perubahan. Perubahan tersebut antara lain adalah adalah : 1) Terjadinya perubahan pada struktur protein tersier, yakni akan terjadi proses denaturasi protein.

Proses ini tidak mempunyai pengaruh yang signifikan terhadap nilai gizi, namun

aktifitas protein sebagai enzim dan hormon pada bahan pangan tersebut akan hilang.

2) Terjadinya proses reduksi pada substansi protein berakibat terjadinya proses

(148)

dihidrolisis oleh enzim pencernaan. Reaksi tersebut terjadi umumnya terjadi pada

proses Mailard atau reaksi pencoklatan non enzimatis. 3). Protein dapat tereduksi

menjadi senyawa lain atau asam amino. Kejadian ini biasanya akan menurunkan nilai

kecernaannya. 4). Pemanasan yang lebih intensif seperti pemanggangan akan me-

nyebabkan kerusakan yang cukup besar karena terjadi ikatan silang dari poliamin,

sehingga protein akan kehilangan fungsi biologisnya dan juga flavor yang berbed;~.

Kerusakan pada protein akibat pemanasan dapat terjadi melalui beberapa

alternatif proses antara lain degradasi lisin akibat adanya reaksi otooksidasi lemak

yang umumnya terjadi pada suhu di bawah 100 "C atau suhu ruangan dan reaksi yang

tidak dipengaruhi oleh lemak. Menurut Mauron (1986), ikan yang dipanaskan pada

suhu yang relatif tinggi, dengan waktu yang lama akan mengalami degradasi lisin

hanya jika kadar air pada saat dipanaskan lebih dari 10%. Kerusakan pada protein

dapat dikelompokkan ke dalam tiga golongan yakni:

a) Kerusakan akibat terjadinya reaksi Maillard.

Reaksi ini awalnya ditemukan oleh seorang ahli kimia Perancis bernama Louis

Camille Maillard pada tahun 1912, yang pada saat itu meneliti formasi dari

pigmen coklat (melanoidin) yang ditemui pada pemanasan glukosa dan glisin.

Reaksi yang ditemukannya kemudian disebut sebagai reaksi Maillard, dan

berkembang ke arah terjadinya reaksi-reaksi yang sejenis, yakni antara asam

amino dengan gula, aldehid atau keton (Hurrel, 1984)

Reaksi Maillard terbentuk dari sejumlah reaksi kimia yang melibatkan gilgus

fungsi amino dan karbonil, dan menghasilkan sejumlah komponen volatil yang

(149)

suhu, pH, kadar air dan jenis dari pereaksi (yaitu jenis gula dan sumber asam

amino) pada saat terjadinya reaksi. Dari kajian yang dilakukan oleh Hwang dan

Ho (1995) tentang reaktivitas asam amino dalam reaksi Maillard, diketahui

bahwa lisin merupakan asam amino yang paling reaktif dalam reaksi Maillard,

karena memiliki gugus asam amino bebas di dalam rantai protein. Gugus asam

amino bebas ini akan bereaksi dengan gula pereduksi menuju tahapan proses

pembentukan melanoidin.

b) Penurunan daya cerna akibat terjadinya reaksi biokimiawi dari asam amino.

Pemanasan protein khususnya pada protein ikan akan menyebabkan terjadinya

denaturasi yang berupa pemecahan struktur sekunder dan lebih tinggi dari

protein, tanpa perubahan rantai asam amino. Denaturasi yang disebabkan oleh

panas ini selalu bersifat irreversibel atau tidak dapat dikembalikan seperti sernula

(FAO, 198 1 dalam Rimbawan 1992).

c) Kerusakan akibat alkali dan reaksi oksidasi

Reaksi antara alkali dan protein akan menyebabkan terbentuknya asam amino

baru yang sifatnya tidak tersedia bagi tubuh. Demikian juga halnya dengan

terjadinya reaksi antara protein dengan oksigen atau oksidasi.

Bioavailabilitas Lisin

Bioavailabilitas lisin adalah jumlah lisin terabsorbsi yang dapat dimanfaatkan

oleh mahluk hidup untuk pertumbuhan dan perkembangan hidupnya. Nilai

bioavalabilitas lisin umumnya berada di bawah nilai daya cerna protein ataupun lebih

(150)

Diantara semua asam amino esensial, lisin merupakan satu-satunya asam

amino yang digunakan secara luas dalam pelaksanaan penelitian pengukuran

bioavailabilitas dengan metode kimiawi. Keadaan ini disebabkan karena reaktivitas

lisin yang cenderung menggambarkan komponen-komponen yang ada dalam pangan,

dan karena lisin sering merupakan asam amino pembatas pertama. Pada suatu saat

komponen lisin dapat terdeteksi keberadaannya namun sebenarnya lisin tersebut

'tidak tersedia' bagi tubuh. Situasi ini dapat menunjukkan bahwa lisin berada drzlam

status tercerna (digested,) namun tidak tersedia (non-bioavailable). Ketidak tersediaan

ini terjadi antara lain karena lisin yang terdapat dalam bahan pangan telah

terkomposisi menjadi komponen Mailard karena adanya reaksi antara gula pereduksi

dan protein, yang ditimbulkan oleh adanya pemanasan dengan suhu tinggi atau pada

waktu yang lama Salah satu cara untuk menggambarkan kerusakan nilai gizi protein

akibat reaksi Maillard adalah dengan mengukur lisin tersedia yang tersisa (Holguin

dan Nakai, 1 980)

Lisin adalah satu-satunya asam amino essensial yang memiliki gugusan alsam

amino bebas (&-amino) dalam bentuk terkondensasi dalam rantai peptida (Carpenter,

1973). Gugus amino ini dapat bereaksi secara kimia dengan banyak unsur pokok

selama pembuatan dan penyimpanan bahan makanan (Finot dan Hurrel, 1985).

(151)

Asam amino lisin (asarn a-E-diaminokaproat) masih mengandung satu gugus

amino bebas walaupun asam amino itu terkondensasi. Oleh karena itu asam arnino

lisin mudah sekali bereaksi dengan senyawa lain melalui gugus epsilon arnino

bebasnya tersebut. Gugus epsilon amino ini dapat bereaksi dengan gugus metil dari

residu alanin membentuk lisinoalanine. Jika kedua residu asam amino tersebut

terdapat pada satu rantai protein maka terjadi ikatan silang intra atau inter molekul

(Bjarnarson dan Carpenter, 1970).

Melalui analisa kandungan asam amino essensial dalam bahan pangan niaka

dapat dinilai kualitas gizi bahan pangan tersebut. Bahan yang mengandung asam

amino yang lengkap serta susunannya sesuai dengan kebutuhan tubuh dengan calatan

bahwa asam-asam amino tersebut available atau tersedia bagi tubuh. Nilai gizi suatu

protein juga ditentukan dengan menggunakan analisa daya cerna dan dilanjutkan

dengan analisa untuk menentukan bioavailabilitas suatu asam amino.

Bioavailabilitas asam amino dalam bahan pangan adalah jumlah asam arnino

yang dapat diabsorbsi oleh usus dan digunakan oleh tubuh untuk sintesis protein atau

metabolisme yang spesifik (Finot dan Hurrel, 1985). Southgate (1 99 I), menyatiikan

bahwa bioavailabilitas zat gizi adalah bagian dari zat gizi yang dapat dicr:rna,

diabsorbsi dan dimetabolisme oleh tubuh secara normal. Asam-asam amino merljadi

tidak tersedia apabila mereka tidak dapat dihidrolisis dari ikatan peptida proteinnya

oleh enzim-enzim proteolitik. Pengawetan dan pengolahan pangan berprotein !rang

tidak terkontrol dengan baik juga dapat menurunkan daya cerna dan bioavailabilitas

(152)

yang penting untuk mendeteksi kerusakan kualitas protein yang disebabkan oleh

proses pengolahan.

Pemanasan yang terlalu berlebihan pada bahan pangan yang kaya protein

seperti ikan dan susu akan menyebabkan kerusakan pada lisin. Bahan pangan yang

mempunyai kandungan gula pereduksi yang tinggi seperti susu amat rentan terhi~dap

kerusakan akibat pemanasan, terlebih lagi jika pemanasan terjadi pada saat

kelembaban bahan berkisar antara 50-250 grlkg. Pada situasi tersebut ballkan

penyimpanan di daerah tropis mampu menimbulkan kerusakan. Perusakan atas lisin

ini terjadi akibat adanya reaksi yang melibatkan komponen E-NH2 (Pellett dan

Young, 1980)

Beberapa metoda pengukuran telah dikembangkan untuk menganalisa tingkat

kerusakan lisin, yang kesemuanya menggunakan konsep mengukur kerusakan !rang

timbul akibat proses hidrolisa enzim pada protein yang tidak sempurna. Beberapa

penelitian dilakukan dengan menggunakan Metode Enzimatik In Vitro. Dari beberapa

kajian diketahui bahwa terdapat korelasi yang positif atas hasil analisa in vitro dan

hasil kajian secara in vivo dengan menggunakan hewan, walaupun secara absolut

penelitian secara in vitro menunjukkan hasil yang lebih rendah (Pellett dan Young,

1980 ).

Metode Evaluasi Kualitas Protein

Dalam bidang biokimia terdapat berbagai metode untuk menguji kualitas dari

protein yang terdapat suatu bahan pangan. Setiap metode mempunyai kelemahan dan

(153)

suatu asam amino tertentu. Metode analisa tersebut sebagian besar dikembangkan

untuk mengkaji Essential Amino Acid (EAA) atau Asam Amino Essensial yang runat

dibutuhkan bagi pertumbuhan dan perkembangan manusia khususnya EAA yang

bersifat sebagai asam amino pembatas.

Secara umum metode evaluasi tersebut dapat dikelompokkan menjadi dua

bagian, yakni evaluasi yang bersifat in-vitro yakni assay kimiawi atau mikrobilogis

dan evaluasi yang in-vivo yakni assay yang menggunakan mahluk hidup sebagai

sarana pengkajian atau sering disebut sebagai bio-assay.

Metode kimiawi yang umum digunakan adalah metode Kjehdahl !rang

mengukur jumlah protein yang terkadung dalam suatu bahan pangan, dan biastmya

kajian ini dilanjutkan dengan analisa komposisi kandungan asarn amino murni dari

protein bahan pangan. Analisa kualitas ini kemudian diperdalam dengan melakukan

analiasa bioavalabilitas asam amino tersebut, karena lisin merupakan salah satu asarn

amino pembatas maka umumnya digunakan lisin sebagai salah satu tolok ukur

kualitas protein. Pengukuran bioavailabilitas lisin umumnya dilaksanakan de~igan

menggunakan metode FDNB (1 -fluoro-2,4-dinitrobenzene). Bahan ini bersifat reaktif

terhadap lisin maka dari analisa jumlah FDNB yang dipergunakan untuk bereaksi

dengan lisin maka dapat diduga kandungan lisin dalam suatu bahan. Sejumlah brihan

yang telah mengalami kerusakan lisin, pada umumnya lisin c-NH2 bebas yang

merupakan kelompok lisin dan terkandung pada protein telah bereaksi dengan suatu

(154)

merupakan derivatif dari FDNB sehingga EAA tersebut menjadi tidak tersedia bagi

mahluk (Pellett dan Young, 1980)

FDNB yang bereaksi terhadap lisin ini dapat diukur dengan berbagai ma.cam

prosedur, tetapi yang menjadi masalah utamanya adalah tentang cara meminimalkan

hilangnya DNP-lisin pada proses hidrolisa. Metode FDNB ini telah terbukti dapat

digunakan sebagai indikator akurat untuk menguji kualitas protein dari bahan pangan

yang berasal dari ikan dan daging. Namun akurasi metode ini dapat terganggu apabila

terjadi proteolisis pada bahan mentah yang digunakan. Metode TNBS (trinitro-

benzenesulphonic acid) merupakan alternatif dari penggunaan FDNB karena

beberapa kelebihannya seperti tidak berbahaya bagi pemakai, larut dalam air, namun

bersifat amat sensitif terhadap kompen Mailard sehingga tidak cocok untuk

digunakan dalam analisa beberapa bahan pangan tertentu (Pellett dan Young, 19810).

Uji Organoleptik

Menurut Rahayu (1998), dalam uji organoleptik, indera yang berperan dalam

pengujian adalah indera penglihatan, penciuman, pencicipan, peraba, dan

pendengaran. Untuk produk pangan, yang paling jarang digunakan adalah indera

pendengaran. Dalam melakukan suatu penilaian panelis harus dilatih mengguni~kan

indera untuk menilai sehingga didapat suatu kesan terhadap suatu rangsangan.

Untuk melaksanakan penilaian organoleptik diperlukan panel. Dalam

penilaian suatu mutu atau analisis sifat-sifat sensorik dari suatu komoditi, panel

(155)

yang bertugas menilai sifat atau mutu komoditi berdasarkan kesan subjektif. Orang

yang menjadi anggota panel disebut panelis. Dalam penilaian organoleptik dikenal

tujuh macam panel, yaitu panel perorangan, panel terbatas, panel terlatih, panel agak

terlatih, panel tidak terlatih, panel konsumen, dan panel anak-anak. Perbedaan

ketujuh panel tersebut didasarkan pada keahlian dalam melakukan penilaian

organoleptik (Rahayu, 1998).

Dalam penelitian ini digunakan uji hedonik atau uji kesukaan yang

merupakan satu jenis uji penerimaan. Dalam uji ini panelis diminta mengungkapkan

tanggapan pribadinya tentang uji kesukaan atau sebaliknya ketidaksukaan, disamping

itu mereka juga mengemukakan tingkat kesukaan atau ketidaksukaan. Tingkat

kesukaan ini disebut orang sebagai skala hedonik, misalnya amat sangat suka, sangat

suka, agak suka, netral, agak tidak suka, tidak suka, sangat tidak suka, dan amat

sangat tidak suka.

Skala hedonik dapat direntangkan atau diperkecil menurut skala !rang

dikendaki. Dalam analisisnya skala hedonik ditransformasikan menjadi skala

numerik dengan angka menaik menurut tingkat kesukaan. Dengan adanya skala

hedonik ini secara tidak langsung uji dapat digunakan untuk mengetahui adrinya

perbedaan (Rahayu, 1 998).

Uji penerimaan menyangkut penilaian seseorang akan suatu sifat atau brihan

yang menyebabkan orang menyenangi. Dalam ha1 ini panelis mengemukrikan

tanggapan senang atau tidaknya terhadap sifat sensorik atau kualitas yang dinilai

(156)

Warna

Menurut Sukarni dan Kusno (1980), yang termasuk dalarn faktor-faktor rupa

diantaranya adalah sifat-sifat seperti warna, ukuran dan bentuk. Selanjutnya L,owe

(1955) dalam Hardinsyah, Setiawan dan Maryati (1989), berpendapat bahwa ha1

pertama yang dinilai dari suatu makanan adalah berdasarkan indera penglihatan, Jraitu

warna, bentuk, ukuran dan sifat perrnukaan seperti halus, kasar, berkerut, dan

sebagainya.

Warna makanan memegang peranan utama dalam penampilan makanan,

karena meskipun makanan tersebut lezat, tetapi bila penampilan tidak menarik waktu

disajikan, akan mengakibatkan selera orang yang akan memakannya menjadi hilang

(Moehyi, 1992). Warna biasanya merupakan tanda kemasakan atau kerusakan dari

makanan, seperti makanan dari penyimpanan wamanya mungkin akan berubah, oleh

karena itu mendapatkan warna yang sesuai dan menarik haws digunakan teknik

memasak tertentu atau dengan penyimpanan yang baik (Sukarni dan kusno, 1980).

Tekstur

Penilaian tekstur makanan dapat dilakukan dengan jari, gigi, langit-langit

(tekak). Dari nilai yang diperoleh diharapkan dapat diketahui kualitas makanan.

Menurut Sukarni, dan Kusno (1980) termasuk dalam faktor tekstur diantari~nya

adalah rabaan oleh tangan, keempukan, mudah dikunyah. Selain itu termasuk juga

kerenyahan makanan. Untuk itu cara pemasakan bahan makanan dapat

(157)

Kekenyalan

Kekenyalan didefinisikan oleh Soekarto (1990), sebagai sifat reologi produk

pangan yang bersifat deformasi. Gaya tekan terhadap produk mula-~nula

menyebabkan deforrnasi produk, baru kemudian memecahkan produk setelah produk

itu mengalami deformasi bentuk.

Aroma

Aroma adalah rasa dan bau yang sangat subyektif serta sulit diukur, karena

setiap orang mempunyai sensitifitas yang berbeda dan meskipun mereka dapat

mendeteksi, tetapi memiliki kesukaan yang berlainan (Sukarni dan Kusno, 15180).

Timbulnya aroma makanan disebabkan oleh terbentuknya senyawa yang mudah

menguap. Aroma yang dikeluarkan setiap makanan berbeda-beda. Selain itu cara

memasak yang berbeda akan menimbulkan aroma yang berbeda pula (Moehyi,

1992).

Rasa

Rasa makanan merupakan faktor kedua yang mempengaruhi cita rasa

makanan setelah penampilan makanan itu sendiri (Moehyi, 1992). Rasa merupi~kan

tanggapan atas adanya rangsangan kimiawi yang sampai indera pengecap lidah,

khususnya jenis rasa dasar manis, asin, asam dan pahit (Nasoetion, 1980).

Pada konsumsi tinggi indera pengecap akan mudah mengenal rasa-rasa d.asar

tersebut. Beberapa komponen yang berperan dalam penentuan rasa makanan adalah

(158)

kekenyalan makanan, kerenyahan makanan, tingkat kematangan dan tempeiratur

(159)

METODOLOGI PENELITIAN

Tempat dan Waktu Penelitian

Penelitian ini dilaksanakan di Laboratorium Kimia ~ a k a n a n Jurusan Gizi

Masyarakat dan Sumberdaya Keluarga, Fakultas Pertanian, Institut Pertanian Bogor, dan

Laboratorium Biokimia dan Enzimatik di BALITBIO Tanarnan Pangan Cimanggu

Bogor dari bulan Juni

-

Nopember 2001.

Bahan dan Alat

Bahan

Bahan bahan yang digunakan dalam penelitian ini adalah ikan tenggiri y;mg

diperoleh dari Pasar Ciputat, tepung tapioka, air, garam. Bahan bahan kimia y;mg

digunakan untuk analisa produk diperoleh dari laboratorium Biokimia dan Enzimatik

BALITBIO Tanaman Pangan Cimanggu Bogor.

Peralatan

Alat yang digunakan dalam penelitian ini meliputi alat pengolahan dan alat analisa

produk. Alat-alat pengolahan antara lain kompor gas, pisau, timbangan, penggi1in;gan

daging, panci, wajan, sedangkan untuk analisis kimia meliputi oven, tanur, cawan

poselen, buret untuk titrasi, timbangan analitik, labu kjeldahl, hot plate dan eksikator,

sedangkan alat untuk analisis bioavailabilitas lisin digunakan HPLC (High Perfomavlce

Liquid Chromatography) injector, kolom pemisah picotag, detektor, sentrifuse, penangas

(160)

Penelitian Pendahuluan

Penelitian pendahuluan ini bertujuan untuk menetapkan prosedur standar

pembuatan empek-empek, batasan waktu penyimpanan, pemanasan ulang, penggorengan

untuk menghasilkan empek-empek yang diterima konsumen. Variabel dikaji adalah 1) Resep empek-empek ; 2) Lama perebusan (matang, mengapung); 3) Suhu air perebusan dan suhu minyak pada saat penggorengan; 4) Lama penyimpanan (batas waktu empek-

enlpek mulai rusak).

Jenis ikan yang digunakan pada penelitian ini digunakan ikan tenggiri, den,gan

kriteria ikan segar, tidak ada bau, insangnya berwarna merah, rongga perut bersih bebas

dari bau yang menusuk (Ilyas, 1983).

Pada penelitian pendahuluan dilakukan analisa proksimat ikan tenggiri segar, clan

juga dilakukan reformulasi atas komposisi resep bahan baku dalam pembuatan empek-

empek yang diperoleh dari resep peneliti sebelumnya Septriana (1995). Reformulasi

resep empek-empek ini perlu dilakukan karena, ternyata empek-empek yang dihasillkan

liat. Dari hasil uji coba atas resep awal, maka dapat dibuat empat macam resep dengan

fo~rmulasi (perbandingan antara ikan, tapioka, dan air) seperti tampak pada tabel berikut

ini :

Tabel 3. Beberapa Komposisi Resep pembuatan Empek-empek yang Diuji

Komposisi Resep Empek-empek

(161)

Empek-empek dengan formulasi tersebut di atas kemudian diuji organole1)tik

kepada 15 orang responden untuk mengetahui preferensi para konsumen atas ke-emlpat

resep tersebut.

Empek-empek yang dihasilkan pada resep 1 warnanya putih mengkilap, teksturnya

keras, tidak ada rasa ikan dan liat. Semakin banyak tepung tapioka yang ditambahkan,

adonan semakin padat, walaupun mudah untuk dibentuk menjadi lenjeran (silinder) tei.api

setelah direbus hasilnya empek-empek akan keras dan terlalu kenyal. Kekerasan sangat

dipengaruhi oleh jumlah penggunaan tepung tapioka, semakin banyak tepung yang

digunakan maka nilai kekerasan semakin tinggi. Hal ini diduga disebabkan oleh struktur

pati lebih sulit untuk dipecah, sehingga pada empek-empek yang mempunyai kadar

tepung tinggi dibutuhkan kekuatan yang lebih tinggi untuk memecah struktur matriks pati

tersebut (Pandisurya, 1983). Resep 2 warnanya putih agak kusam, teksturnya agak keras

dibandingkan dengan resep 3 warnanya putih agak kusam, tekstur lebih lembut, ikmmya

lebih terasa, sehingga lebih enak bila dibandingkan empek-empek resepl dan 2,

sedangkan resep 4 teksturnya terlalu lembut, rasanya sangat gurih dan aroma ikan terlalu

taj am.

Pengkajian atas lama perebusan, suhu selama perebusan, serta suhu minyak untuk

melakukan penggorengan dilakukan dengan cara melakukan pengamatan terhadap para

pembuat empek-empek, kemudian mencoba ulang di laboratorium. Suhu yang digunaltan

untuk merebus empek-empek adalah 100 OC (air mendidih), sedangkan lama perebusan

(162)

Pengkajian atas suhu dan lama penggorengan, dilakukan dengan mencobakan dua

tingkat suhu yakni 150 OC dan 190 OC. Nilai ini merupakan modifikasi dari hasil

pengamatan terhadap para pedagang empek-empek yang umumnya melakukan

penggorengan pada suhu 190 OC. Lama proses penggorengan tidak dapat ditetap kan

karena target akhirnya adalah empek-empek tersebut berwarna agak kecoklatan.

Pengkajian atas variabel lama penyimpanan dilakukan dengan melakukan uji coba

penyimpanan pada suhu kamar, penyimpanan pada suhu kamar dengan pembalutan

tepung, refigerator dan freezer; kemudian mulai hari ke dua hingga hari ke 4 dilaku.kan

pengamatan terhadap empek-empek tersebut.

Penelitian Lanjutan

Penelitian lanjutan bertujuan untuk mengkaji faktor dan variabel utama dalam

penelitian ini yakni dampak penyimpanan, dan pemasakan terhadap mutu gizi dan

organoleptik empek-empek. Mutu gizi ditunjukkan oleh daya cerna protein dan

bioavailabilitas lisin.

Perlakuan yang digunakan dalam penelitian ini adalah faktor penyimpanan y;mg

mencakup penyimpanan pada suhu kamar, pembalutan tepung, refrigerator dan freezer;

dan faktor pemasakan yang berupa proses pengukusan dan penggorengan.

Pengukuran atas mutu gizi empek-empek dilakukan dengan cara melakukan uji

proximat yang mencakup uji kadar air, kadar abu, kadar lemak, kadar protein, kadar serat

makanan, kadar karbohidrat dan uji asam amino lengkap. Pemeriksaan atas mutu gizi ini

juga dilakukan uji daya cerna protein dan uji bioavailabilitas lisin. Teknik dan metode

(163)

Pemeriksaan mutu organoleptik dilakukan untuk mengetahui tingkat kesukaan

kclnsumen yang diwakili oleh panelis terhadap suatu perlakukan (produk). Oleh karena

itu terhadap perlakuan ini dilakukan uji hedonik yang meliputi pemeriksaan atas rasa,

aroma, warna, tekstur serta kekenyalan.

Rancangan Percobaan

Penelitian ini menggunakan rancangan Faktorial4 X 2 dengan dua (2) kali

pengulangan. Faktor teknik penyimpanan 4 taraf, yaitu penyimpanan pada suhu kamas,

pembalutan tepung, freezer, refrigerator; sedangkan faktor teknik penyajian dengan 2

taraf, yaitu pengukusan dan penggorengan.

Analisa Data

Semua data yang diperoleh akan dianalisa dengan menggunakan SPSS versi 10.0.

Jika terdapat pengaruh yang signifik

Gambar

Gambar 1. Kerangka Pemikiran
Tabel 1. Komposisi Kimiawi Ikan Tenggiri
Tabel 2. Komposisi Kimiawi Tapioka per 100 gr bahan
Gambar 3. Kadar Air Empek-empek
+7

Referensi

Dokumen terkait

Pembangunan Jalan Tol Trans Sumatera yang berada di Desa Jatimulyo Kecamatan Jati Agung Kabupaten Lampung Selatan memberikan dampak perubahan pemanfaatan lahan

Sistem informasi ini akan memiliki keuntungan ganda, baik bagi industri pariwisata maupun institusi pendidikan, yaitu :menyediakan informasi kebutuhan dan ketersediaan tenaga

The small coefficient values show that the effect of slope on residuals, which has been proved in many researches, decreases due to the use the suitable number of STKN

Finally, insert the two catches of the back cover corresponding slot in the phone and slide the cover forward button of the phone until locks into place Don’t forget to switch on

Berdasarkan evaluasi terhadap percobaan- percobaan yang sudah dilaksanakan dapat diambil suatu simpulan bahwa parameter pemanasan pada material PPGF mempunyai

Berkaitan dengan permasalahan-permasalahan di atas, maka Program Studi Pendidikan Sejarah, FKIP, Universitas Sanata Dharma memfasilitasi penyaluran ekspresi para siswa

Percobaan ini dilakukan dalam rangka mempelajari pengaruh kombinasi konsentrasi tryptophan sebagai prekursor dan konsentrasi awal inokulan Azospirillum terhadap

Desa Singengu menunjukkan bahwa sebuah permukiman tidak hanya terkait dengan socio- spatial saja, yang menekankan relasi antar manusia dengan benda-benda; atau