• Tidak ada hasil yang ditemukan

Analisis Struktur Musik dan Fungsi Sosio Budaya Rapa’i Pasee di Biara Timu Jambo Aye Aceh Utara Provinsi Aceh

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2016

Membagikan "Analisis Struktur Musik dan Fungsi Sosio Budaya Rapa’i Pasee di Biara Timu Jambo Aye Aceh Utara Provinsi Aceh"

Copied!
131
0
0

Teks penuh

(1)

ANALISIS STRUKTUR MUSIK DAN FUNGSI SOSIO BUDAYA RAPA’I PASEE DI BIARA TIMU JAMBO AYE ACEH UTARA PROVINSI ACEH

TESIS

Oleh

ANGGA EKA KARINA NIM: 127037001

PROGRAM STUDI

MAGISTER (S2) PENCIPTAAN DAN PENGKAJIAN SENI FAKULTAS ILMU BUDAYA

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA M E D A N

2 0 1 4

(2)

Tesis

Untuk memperoleh gelar Magister Seni (M. Sn.) dalam Program Studi Magister (S2) Penciptaan dan Pengkajian Seni pada Fakultas Ilmu Budaya

Universitas Sumatera Utara

Oleh: AnggaEka Karina

NIM.127037001

PROGRAM STUDI

MAGISTER (S2) PENCIPTAAN DAN PENGKAJIAN SENI FAKULTAS ILMU BUDAYA

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA M E D A N

2 0 1 4

(3)

Nomor Pokok : 127037001

Program Studi : Magister (S2) Penciptaan dan Pengkajian Seni

Menyetujui Komisi Pembimbing

Pembimbing I Pembimbing II

Dr. Ridwan Hanafiah, SH., M.A. Drs. Irwansyah, M.A. NIP 19560705 198903 1 002 NIP. 19621221 199703 1 001

Program Studi Magister (S2) Dekan Fakultas Ilmu Budaya Penciptaan dan Pengkajian Seni

Ketua,

Drs. Irwansyah, M.A. Dr. Syahron Lubis, M. A. NIP. 19621221 199703 1 001 NIP. 195111013 197603 1 001

Telah diuji pada

Tanggal 2014

(4)

PANITIA PENGUJI UJIAN TESIS

Ketua :Drs. Irwansyah, M.A.

Sekretaris : Drs. Torang Naiborhu, M.Hum.

AnggotaI :Dr. Ridwan Hanafiah, SH., MA.

AnggotaII : Dr. Asmyta Surbakti, M. Si.

AnggotaIII : Dra. Rithaony, M. A.

Telah disetujui oleh: Komisi Pembimbing

(5)

Dr. Ridwan Hanafiah, SH., MA.

NIP 19560705 198903 1 002 tanggal ...

Anggota,

Drs. Irwansyah, M.A. tanggal………

NIP. 19621221 199703 1 001

Program Studi Magister (S2) Penciptaan dan Pengkajian Seni

Fakultas Ilmu Budaya Universitas Sumatera Utara

Ketua,

Drs. Irwansyah, M.A. tanggal………

NIP. 19621221 199703 1 001

ABSTRACK

(6)

Province. It learned about the function of socio-cultural and music structures in art traditional performance of Rapa’i Pasee. The background of this research is Rapa’i in Aceh has been a media which used by the societies to give motivation of spirit live struggle and relegion messages. This research is important because Rapa’i Pasee has used by Aceh society for a long time continually until now. The purpose of this research is to know the function of social-culture and how are the music structure of Rapa’i Pasee art in Panton Labu, Aceh Utara. The research method is qualitative-descriptive method and explained with social science interdicipliner.

The main problem of this research are the music traditional instrument of Rapa’i is the music structures, that was the kind of songs rhytme in Rapa’i Pasee that has social meaning and the spirit live in daily live. The social-culture’s function of Rapa’i Pasee toward the societies in Panton Labu, Aceh Utara which included emosional expression, estetis, entertaiment, communication and symbol related with social norms, culture, society integration and problem related with music structures such as rhytme of Rapa’i Pasee’s songs.

The result of the research show that the music structures of Rapa’i Pasee is devided into some hit that has kind of sound (timbre) dum and teng, sound of dum was heard lower and sound of teng was heard higher. Kind of hit in Rapa’i pasee is devided into lagu sa that show the music performance was start. lagu dua, lagu lhee, lagu limeung, lagu tujoh, lagu sikureung, and lagu duablah. The kind of hit in Rapa’i Pasee show togetherness and spirit of struggle.

Rapa’i Pasee has eight functions in field research result. Based on Merriam that has ten function of social-culture, not all of the functions suitable with Rapa’i Pasee it self, the functions are entertainment, communication, symbol, social norm, culture, society integration, and emotional function.

Key words : Rapa’i Pasee, Music structure and social-culture function.

(7)

Penelitian ini berjudul Analisis Struktur Musik Dan Fungsi Sosio Budaya Rapa’i Pasee di Biara Timu, Jambo Aye Aceh Utara Provinsi Aceh.

Penelitian ini mengkaji struktur musik dan fungsi sosial budaya pada seni pertunjukan tradisional Rapa’i Pasee. Adapun latar belakang penelitian ini bahwa Rapa’i di Aceh merupakan media dalam bentuk kesenian yang digunakan oleh masyarakat Aceh untuk menyampaikan pesan-pesan semangat perjuangan hidup dan menyampaikan pesan-pesan keagamaan melalui permainan Rapa’i Pasee, penelitian ini merupakan sesuatu yang penting karena Rapa’i Pasee ini sejak dahulu secara terus menerus sampai sekarang ini masih digunakan oleh masyarakat Aceh khususnya daerah Aceh Utara untuk memberikan apresiasi pesan sosial, semangat perjuangan dan syiar agama Islam, tujuan penelitian ini adalah untuk mengetahui struktur musik dan fungsi sosial budaya kesenian Rapa’i Pasee di Panton Labu Aceh Utara. Metode penelitian yang digunakan untuk mendeskripsikan struktur musik dan fungsi sosial budaya dalam penelitian ini menggunakan metode deskriptif kualitatif dan dibahas secara interdisipliner ilmu sosial.

Pokok-pokok masalah yang menjadi pembahasan dalam penelitian ini adalah struktur musik yaitu bentuk ritem pada lagu-lagu didalam Rapa’i Pasee yang mempunyai makna sosial dan semangat perjuangan hidup dalam kehidupan sehari-hari. Fungsi sosial budaya Rapa’i Pasee terhadap masyarakat dikota Panton Labu Aceh Utara yang meliputi fungsi pengungkapan emosional, estetika, hiburan, komunikasi, perlambangan, berkaitan dengan norma-norma sosial, kesinambungan kebudayaan, dan pengintegrasian masyarakat.

Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa:

Struktur musik Rapa’i Pasee yang terdiri motif pukulan yang mempunyai warna suara (timbre) dum dan teng, bunyi dum terdengar lebih rendah dan bunyi teng terdengar tinggi, bentuk pukulan Rapa’i Pasee terdiri dari lagu sa yang menunjukkan awal mulainya sebuah permainan musik, lagu dua, lagu lhee, lagu limeung, lagu tujoh, lagu sikureung, dan lagu duablah. Motif pukulan-pukulan Rapa’i Pasee mencerminkan kebersamaan dan semangat perjuangan.

Rapa’i Pasee mempunyai delapan fungsi hasil penelitian lapangan, dari sepuluh fungsi yang dikemukakan oleh Merriam, tidak semua fungsi sesuai dengan Rapa’i Pasee ini, fungsi-fungsinya adalah, fungsi penghayatan estetis, fungsi sebagai hiburan, fungsi komunikasi, fungsi perlambangan, fungsi yang berkaitan dengan norma sosial, sebagai fungsi kesinambungan budaya, fungsi pengintegrasian masyarakat,dan fungsi emosional.

(8)

PRAKATA

Puji dan syukur peneliti panjatkan kehadirat Allah SWT, yang senantiasa memberikan Rahmat dan Hidayah-Nya, sehingga penulis dapat menyelesaikan tesis ini dengan baik dan tepat pada waktunya.

Dalam kesempatan ini izinkan penulis menyampaikan ucapan terima kasih kepada :

1. Bapak Prof. Dr. Dr. Syahril Pasaribu., DTM & H, M, Sc. (CTM), Sp. AK., selaku rektor Universitas Sumatera Utara.

2. Bapak Dr. Syahron Lubis, M. A., sebagai dekan Fakultas Ilmu Budaya, yang telah memberikan fasilitas dan sarananya dalam proses pembelajaran bagi penulis sehingga dapat menuntut ilmu dikampus Universitas Sumatera Utara ini dalam kondisi yang nyaman.

3. Bapak Drs. Irwansyah, M. A., selaku ketua program studi Penciptaan dan Pengkajian Seni Fakultas Ilmu Budaya (FIB) Universitas Sumatera Utara (USU), dan selaku pembimbing II yang telah memberikan bimbingan dan masukan sehingga tesis ini dapat diselesaikan dengan baik.

4. Bapak Drs. Torang Naiborhu, M. Hum selaku sekretaris Program Studi Penciptaan dan Pengkajian Seni Fakultas Ilmu Budaya (FIB) Universitas Sumatera Utara (USU).

(9)

tepat pada waktunya dan memberikan ilmu yang banyak bermanfaat bagi penulis.

6. Ibu Dr. Asmyta Surbakti, M. Si dan Dra. Rithaony Hutajulu, M. A selaku penguji satu dan penguji dua banyak memberikan masukan, saran, dan kritik sehingga tesis ini dapat disempurnakan.

7. Bapak Ponisan selaku bagian staf tata usaha Program Studi Penciptaan dan Pengkajian Seni Fakultas Ilmu Budaya (FIB) Universitas Sumatera Utara (USU), atas bantuan dan informasi yang sangat bermanfaat dalam proses perkuliahan maupun dalam penyusunan tesis ini.

8. Kepada para dosen - dosen Program Studi Penciptaan dan Pengkajian Seni Fakultas Ilmu Budaya (FIB) Universitas Sumatera Utara (USU), yang telah memberikan wawasan dan ilmunya yang membuka cakrawala ilmu bagi penulis dan menjadi bekal dalam menyelesaikan tesis ini.

9. Kepada bapak Hasbullah, S. Pd selaku narasumber dan Zunuanis selaku seniman Aceh, dan bapak Razali penerus seniman Rapa’i Pasee Panton Labu Aceh Utara.

10. Kepada Rektor Universitas Al-Muslim, dosen, Staf atas dukungan selama ini. 11. Kepada seluruh teman-teman seperjuangan kuliah di pascasarjana Program

Studi Penciptaan dan Pengkajian Seni Fakultas Ilmu Budaya (FIB) Universitas Sumatera Utara (USU).

(10)

peneliti. Tesis ini adalah salah satu bentuk pembuktian bahwa ayah dan ibu telah berhasil menjadi orangtua yang sukses untuk anak-anaknya.

Terima kasih buat semuanya dan buat orang-orang yang belum sempat disebutkan. Peneliti menyadari bahwa Tesis ini masih banyak kekurangan, untuk itu peneliti mengharapkan kritik dan saran yang bersifat membangun demi perbaikan Tesis ini nantinya. Semoga Tesis ini dapat bermanfaat bagi kita semua.

Medan, Juli 2014 Penulis,

(11)

DAFTAR RIWAYAT HIDUP

1. Nama Lengkap : Angga Eka Karina, S. Pd

2. NIDN : 01 130787 01

3. Pangkat/ Jabatan Fungsional : -

4. TTL : Batuphat Timur/ 13 juli 1987

5. Agama : Islam

6. Jenis Kelamin : Laki-laki 7. Pendidikan Terakhir : S1 Seni Musik

8. Alamat : Dusun Tengah Blang Pulo

lhokseumawe, Provinsi Aceh.

9. No. HP : 081397175123

10. Golongan Darah : B 11. Jenjang Pendidikan :

No. Jenjang Pendidikan Tempat Tahun

1. Taman kanak-kanak Islam Fajar

Meutia Batuphat Barat

1992 – 1993 2. MIN Blang Mane II Batuphat Timur 1993 – 1999

3. SLTP Negeri I Lhokseumawe 1999 – 2002

4. SMA Negeri I Lhokseumawe 2002 – 2005

5. Universitas Negeri Medan (UNIMED) Medan 2005 – 2009

12. Pengalaman Kerja

a. Tahun 2010 Dosen Tetap Pendidikan Guru Sekolah Dasar (PGSD) Universitas Al-Muslim

b. Tahun 2010 Kepala Laboratorium Sendratasik Universitas Al-Muslim 13. Prestasi

a. The best Keyboard Rencong Festival Musik Se- Aceh 2011

b. Juara beberapa festival Seni Tari se- Kopertis Wilayah I Medan tahun 2012

c. Mewakili Muhibah Seni ke luar negeri ke Malaysia, Singapore, Thailand, Jepang dan Korea Selatan 2013-2014.

Matangglumpangdua, Juli 2014 Angga Eka Karina, S. Pd

(12)

PERNYATAAN

Dengan ini saya menyatakan bahwa dalam tesis ini tidak terdapat karya pernah diajukan untuk memperoleh gelar kesarjanaan dalam suatu perguruan tinggi dan sepengetahuan saya juga tidak terdapat karya atau pendapat yang pernah ditulis atau diterbitkan oleh orang lain , kecuali yang secara tertulis diacu dalam naskah ini dan disebutkan didalam daftar pustaka.

Medan, Juli 2014 Penulis,

(13)

DAFTAR ISI

HALAMAN JUDUL ... i

HALAMAN PENGESAHAN ... ii

ABSTRACT ... iv

ABSTRAK ... v

PRAKATA ... vii

DAFTAR RIWAYAT HIDUP ... x

HALAMAN PERNYATAAN ... xi

DAFTAR ISI ... xii

BAB. I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah ... 1

1.2 Pokok Masalah ... 6

1.3 Tujuan Penelitian dan Manfaat Penelitian ... 7

1.3.1 Tujuan Penelitian ... 7

1.3.2 Manfaat Penelitian ... 7

1.4 Konsep dan Landasan Teori... 8

1.4.1 Konsep ... 8

1.4.2 Landasan Teori ... 9

1.4.2.1 Teori Fungsional ... 9

1.4.2.2 Teori Analisis dan Transkripsi Musik ... . 15

1.5 Metode Penelitian ... 16

(14)

1.5.2 Penelitian lapangan ... 22

1.5.2.1 Observasi ... 23

1.5.2.2 Wawancara ... 24

1.5.2.3 Kerja laboratorium ... 24

1.6 Lokasi Penelitian ... 25

1.7 Alat yang digunakan ... 27

1.8 Sistematika Penulisan ... 27

BAB II ETNOGRAFI MASYARAKAT JAMBO AYE PANTON LABU 2.1 Sejarah Desa Jambo Aye Kota Panton Labu ... 29

2.2 Tinjauan Geografis Desa Jambo Aye Kota Panton Labu ... 34

2.3 Sistem Pemerintahan Kota Panton Labu... 36

2.4 Masyarakat Desa Jambo Aye Kota Panton Labu ... 37

2.4.1 Stratifikasi masyarakat desa Jambo Aye kota Panton Labu ... 37

2.4.2 Agama ... 38

2.4.3 Jumlah penduduk ... 38

2.4.4 Masyarakat kesenian desa Jambo Aye kota Panton Labu ... 39

2.4.5 Unsur kesenian masyarakat desa Jambo Aye kota Panton Labu ... 39

2.4.6 Tari... 39

(15)

BAB III STRUKTUR MUSIK KESENIAN RAPA’I PASEE : DI BIARA TIMU JAMBO AYE PANTON LABU ACEH UTARA

3.1 Sejarah Rapa’i Di Aceh ... ... 46

3.2 Klasifikasi Jenis Musik Aceh ... ... 50

3.3 Rapa’i Pasee ... ... 54

3.3.1 Latar Belakang Rapa’i Pasee ... ... 54

3.3.2 Organologi Rapa’i Pasee ... ... 55

3.3.3 Bentuk Kesenian Rapa’i Pasee ... ... 60

4.1 Proses Penstranskripsian ... 62

4.2 Notasi Ritem (Motif Pukulan) Pada Struktur Musik Rapa’i Pasee ... 68

4.2.1 Deskripsi Lagu Sa... 69

4.2.2 Deskripsi Lagu Dua ... 69

4.2.3 Deskripsi Lagu Lhee ... ... 70

4.2.4 Deskripsi Lagu Limeung... ... 71

4.2.5 Deskripsi Lagu Tujoh ... ... 71

4.2.6 Deskripsi Lagu Sikureung ... ... 72

(16)

BAB IV DESKRIPSI FUNGSI SOSIO BUDAYA RAPA’I PASEE : DI BIARA TIMU JAMBO AYE PANTON LABU ACEH UTARA

5.1 Penggunaan dan Fungsi Rapa’i Pasee ... ... 75

5.1.1 Pengertian Penggunaan dan Fungsi ... ... 75

5.1.1.1 Pengertian Fungsi ... ... 76

5.1.1.2 Penggunaan Rapa’i Pasee ... ... 89

6.1 Fungsi Kesenian Rapa’i Pasee ... ... 93

6.1.1 Fungsi Pengungkapan Emosional... ... 93

6.1.2 Fungsi Pengungkapan Estetika ... .. . 94

6.1.3 Fungsi Hiburan ... .. . 97

6.1.4 Fungsi Komunikasi ... .. . 97

6.1.5 Fungsi Perlambangan ... . .. 99

6.1.6 Fungsi Berkaitan Dengan Norma Sosial ... .. . 101

6.1.7 Fungsi Kesinambungan Kebudayaan ... . . 101

6.1.8 Fungsi Pengintegrasian Masyarakat .. ... ... 103

BAB V PENUTUP 7.1 Kesimpulan ... ... 105

7.2 Salam ... ... 108 DAFTAR PUSTAKA

LAMPIRAN

DAFTAR INFORMAN

(17)

BAB I PENDAHULUAN 1.1Latar Belakang

Provinsi Aceh sebagaimana provinsi lainnya di Indonesia merupakan salah satu daerah yang kaya akan kebudayaan. Sejarah telah membuktikan semenjak adanya kerajaan-kerajaan kecil di masa silam sampai Indonesia memproklamirkan kemerdekaanya hingga dewasa ini Aceh tetap menjunjung tinggi nilai-nilai kebudayaannya bahkan nilai-nilai budaya ini menjadi bagian dari kehidupan masyarakat Aceh. Aceh merupakan daerah pertama yang mempunyai hubungan langsung dengan dunia luar, contohnya Cina, India, Persia, Arab yang berdagang di Aceh masuk melalui pelabuhan Peurlak, Samudra Pasai dan lamuri, Hasbi (2006:5).Kebudayaan di Aceh dipengaruhi oleh peradaban Islam termasuk didalamnya tarian tradisional, musik tradisional, dan instrument tradisional.

Daerah Provinsi Aceh dihuni oleh beberapa sub etnik, dan masing-masing sub etnik memiliki kekhasan sendiri di bidang kebudayaan. Melihat beragamnya kebudayaan daerah Aceh, maka keadaan itu juga selaras dengan keberagaman budaya suku-suku bangsa di Indonesia. Daerah provinsi Aceh merupakan salah satu provinsi yang mempunyai beragam bentuk alat musik tradisional. Salah satu bentuk alat musik tradisional tersebut adalah Rapa’i.

(18)

bernama Ahmad Rifa’i, beliau juga salah seorang penyiar agama Islam di Aceh, beliau mencetuskan Rapa’i ini di Aceh besar sekitar tahun 900 M dan mulai dipertunjukkan pada masyarakat di Aceh, dan akhirnya Rapa’i ini menjadi permainan kesenian rakyat.

Rapa’i merupakan alat musik tradisional Aceh, sama halnya dengan gendang. Rapa’i dibuat dari batang kayu yang keras biasanya dari batang nangka, batang pohon aren, batang kelapa yang sudah tua, batang Tuwalang, pertama dibulatkan lalu diberi lobang di tengahnya. Kayu yang telah diberi lobang ini disebut baloh. Baloh ini lebih besar bagian atas dari pada bagian bawah. Bagian atas ditutup dengan kulit kambing atau kulit lembu sedangkan bawahnya dibiarkan terbuka. Penjepit kulit atau pengatur tegangan kulit dibuat dari rotan yang dibalut dengan kulit. Penjepit ini dalam bahasa Aceh disebut seudak. Rapa’i berkembang dan digunakan sejak adanya kerajaan Aceh yaitu kerajaan Samudra Pasai. Pada zaman kerajaan Samudra Pasai, Rapa’i digunakan untuk mengumpulkan masyarakat berperang melawan penjajah, mengumpulkan masyarakat untuk bermusyawarah, memberi isyarat tanda bahaya, dan memberi tanda bahwa waktu sholat telah tiba, masyarakat pada saat itu menggunakan Rapa’i sebagai Alat komunikasi1

Rapa’i terus berkembang dan masyarakat menggunakan Rapa’i untuk Acara kesenian rakyat dalam berbagai bentuk penampilan yang berbeda-beda. Dilihat dari perangkatan besar dan kecilnyaukuran Rapa’i ini dapat dibedakan beberapa jenis Rapa’i yang disebut Rapa’i Pasee, Rapa’i Puloet, Rapa’i

.

1

(19)

geurimpheng, Rapa’i Daboh dan Rapa’i Geleng. Hampir semua bentuk Rapa’i sama yang membedakan adalah cara menampilkan permainannya. Salah satu contoh jenis kesenian Rapa’i Pasee yang akan penulis angkat sebagai kajian dalam penulisan tesis ini.

Nama Rapa’i Pasee diambil dari nama kerajaan Samudra Pasai dan sekarang sudah menjadi nama suatu daerah dikabupaten Aceh utara. Rapa’i Pasee hanya ada di wilayah Aceh Utara saja berkembang di desa-desa pada Kota Lhokseumawe, Geudong,Alue ie Puteh, dan Panton labu. Salah satu desa yang melestarikan sampai sekarang yaitu desa Biara timu kecamatan jambo aye kota Panton labu. Letak kota Panton Labu dari kabupaten Aceh utara dapat ditempuh dengan waktu satu jam perjalanan dengan kendaraan bermotor, pelestarian permainan kesenian Rapa’i Paseedi wilayah Aceh utara dan sekitarnya tergantung oleh masyarakat setempat yang tetap ingin menjaga kelestariannya, oleh karena itu sampai saat ini desa Biara timu kecamatan jambo aye masih terus melestarikanya, dalam kenyataannya dapat ditemui sampai sekarang ini sanggar seni Rapa’i Pasee, masyarakat desa masih membuat acara pertandingan Rapa’i Pasee antar desa, masih ditemui pemimpin kesenian Rapa’i Pasee sekaligus narasumber untuk sejarah dalam bentuk lisan Rapa’i Pasee didesa tersebut. Oleh karena itu peneliti memilih desa Biara timu kecamatan jambo aye untuk melakukan penelitian dalam menyelesaikan tesis ini.

(20)

tradisional. Memainkan Rapa’i dengan cara memukulnya dengan tangan dan biasanya dimainkan oleh kelompok (group). Didalam satu grup ada seorang pemimpin permainan Rapa’i disebut syeh mempunyai peran sebagai pemberi isyarat untuk pergantian dari lagu pertama ke lagu selanjutnya, ada sebutan canang yaitu orang yang memainkan pukulan variasi dan rando yaitu orang yang memainkan pukulan dasar.

Rapa’i Pasee berukuran besar (digantung) biasanya dibawah kolong muenasah 2

Rapa’i Pasee tidak mempunyai tangga nada, Rapa’i Pasee tidak ada nyanyian suara vokal serta gerakan tarian yang berpola. Rapa’i Pasee hanya sebagai ritme (tempo) oleh Penaboh

beratnya 20-50 kg yang berfungsi sebagai induk dan mempunyai gelar tersendiri sebagai kebangaan dari group tersebut contohnya : Rapa’i Raja Kuning. Unit besar terdiri dari 30 buah Rapa’i, unit sedang 15 buah, sedangkan unit kecil terdiri dari 10 – 12 buah.

3

. Bentuk pukulan/ritem Rapa’i Pasee terdiri dari lagu sa, lagu dua, lagu lhee, lagu limeung, lagu tujoh, lagu sikureung dan lagu duablah semua adalah sebutan untuk urutan permainan ritem pada Rapa’i Pasee. Rapa’i Pasee mempunyai dua warna suara (timbre) yaitu dum dan teng4

2

Meunasah : tempat beribadah umat islam didesa biasanya terbuat dari kayu dan tinggi.

3

Orang yang memukul alat musik Rapa’i pasee.

4

Dum untuk suara rendah dan teng untuk suara sedang atau tinggi.

(21)

Rapa’i Pasee mempunyai keunikan gema suaranya yang besar, Suaranya dapat didengar dari satu desa sampai kedesa lainnya.Rapa’i Pasee mempunyai ukiran dipinggiran kayunya yang disebut larik5, setiap larik mempunyai makna, larik satu bermakna siang dan malam, larik lima bermakna rukun Islam ada lima perkara, larik tujuh bermakna seminggu ada tujuh hari dan ada satu garis besar menandakan hari jumat dilarang untuk memukul Rapa’i dan larik delapan ada empat garis besar dan empat garis kecil bermakna yaitu Tuha peut dan tuha lapan orang yang dituakan atau penasehat dalam sebuah desa setempat6

5

Larik garis melingkar dipinggiran baloh (kayu) yang jumlahnya berbeda –beda .

6

Hasil wawancara dengan Hasbullah, S. Pd

. Menurut pakar seni budaya wilayah Aceh utara saudara Hasbullah bahwa Rapa’i Pasee alat musik tradisional Aceh (Uroh deng) maksudnya Alat musik yang dimainkan secara berdiri dan masyarakat menampilkan Rapa’i Pasee secara (Tunang) yaitu lawan antara satu grup desa dan satu grup desa lainnya. Setiap satu grup atau lawan harus dapat bermain Rapa’iPasee ini dengan menghasilkan suara yang besar, membuat variasi pukulan dan dapat bertahan selama waktu yang ditentukan.

(22)

Untuk menjaga kelestarian alat musik tradisional Aceh tersebut di kemudian hari, akibat dari perkembangan zaman dan juga untuk menggalakkan adanya usaha-usaha untuk penyesuaian dengan selera pasar dan keinginan para pemusik untuk mengklaim permainan Rapa’i Pasee ini, maka perlu untuk dilakukan studi terhadap Alat musik tradisional Aceh Rapa’i Pasee ini. Seperti yang penulis lakukan saat ini, sehingga baik fungsi sosio budaya dan struktur musik serta urutan-urutan penampilannya hendaknya mempunyai ketentuan yang jelas dan baku. Penentuan Rapa’i Pasee ini untuk di angkat kedalam satu topik tulisan yang berjudul Analisis Struktur Musik Dan Fungsi Sosio Budaya Rapa’i Pasee Di Biara timu, Jambo Aye Aceh Utara Provinsi Aceh merupakan salah satu usaha pelestarian pertunjukan Rapa’i Pasee tersebut.

Demikian menariknya keberadaan Rapa’i Pasee Di Biara timu, Jambo Aye Panton Labu Aceh Utara, baik ditinjau dari aspek sosial, budaya, estetika, dan filsafat yang terkandung di dalamnya. Oleh karena itu, secara keilmuan, khususnya melalui kajian seni, Rapa’i Pasee ini sangat menarik untuk diteliti, didokumentasi, dianalisis, dan tentu saja dipublikasikan keberadaannya.

1.2Pokok permasalahan

Berdasarkan latar belakang masalah di atas, maka dapat dirumuskan masalah dalam penelitian ini, yaitu

(23)

2. Bagaimana fungsi kesenian Rapa’i Pasee terhadap kehidupan sosial budaya masyarakat Biara timu, kecamatan Jambo Aye kota Panton Labu Aceh utara.

1.3 Tujuan dan Manfaat Penelitian 1.3.1 Tujuan Penelitian

Adapun yang menjadi tujuan penelitian ini adalah sebagai berikut: 1. Untuk mengetahui sejauh mana eksistensi kesenian Rapai Pasee baik pada

masa lalu maupun perkembangan saat ini.

2. Untuk mengetahui struktur musik baik dimensi ruang maupun waktu dalam pertunjukan Rapa’i Pasee.

3. Untuk mengetahui fungsi sosio budaya kesenian Rapa’i Pasee dalam kebudayaan masyarakat pendukungnya.

1.3.2 Manfaat Penelitian

Manfaat yang di ambil dari penelitian yang diwujudkan dalam laporan penelitian ini adalah sebagai berikut:

1. Menambah referensi tentang kesenian (khususnya Rapa’i Pasee) bagi lembaga-lembaga pendidikan (sekolah) sehingga dapat digunakan oleh guru kesenian sebagai bahan pembelajaran.

(24)

3. Sebagai bahan masukan bagi pembaca khususnya mahasiswa seni musik, agar dapat mengetahui penyajian Rapa’i Pasee termasuk pada konteks hiburan pada masyarakat Aceh.

4. Sebagai bahan masukan bagi pemerintah dalam menentukan kebijakan yang berkaitan dengan budaya daerah.

5. Menambah pengetahuan bagi penulis dan peneliti-peneliti lain, baik mencakup teori maupun uraian tentang bentuk penyajian Rapa’i Pasee. 6. Penelitian ini akan bermanfaat untuk pengembangan seni-seni tradisional

yang dalam konteks dunia kepariwisataan di Provinsi Aceh pada khususnya dan Indonesia secara umum.

7. Penelitian tentang Rapa’i Pasee ini akan dapat memberikan manfaat tentang bagaimana masyarakat Aceh membumikan ajaran Islam dalam konteks wilayah budaya etnik, yang spesifik dan bijaksana (arif).

1.4 Konsep dan landasan teori 1.4.1 Konsep

(25)

motif pukulan Rapa’i Pasee terdiri dari lagu sa, lagu dua, lagu lhee, lagu limeung, lagu tujoh, lagu sikureung dan lagu duablah, sebutan lagu pada permainan Rapa’i Pasee bukanlah lagu yang mempunyai lirik atau teks melainkan lagu tersebut adalah bentuk ritem atau motif pukulan.

1.4.2 Landasan Teori

Berikut ini akan disajikan beberapa teori yang akan digunakan sebagai alat untuk membedah berbagai masalah yang berkenaan dengan topik tulisan ini.

1.4.2.1Teori Fungsionalisme

Untuk mengkaji fungsi sosio budaya Rapa’i Pasee dalam kebudayaan masyarakat Biara Timu Jambo Aye Panton Labu Aceh Utara, khususnya di kawasan penelitian, maka penulis menggunakan teori fungsionalisme.Teori fungsionalisme adalah salah satu teori yang dipergunakan dalam ilmu sosial, yang menekankan pada saling ketergantungan antara institusi-institusi (pranata-pranata) dan kebiasaan-kebiasaan pada masyarakat tertentu. Analisis fungsi menjelaskan bagaimana susunan sosial didukung oleh fungsi-institusi-institusi seperti: negara, agama, keluarga, aliran, dan pasar terwujud.

(26)

yang kelak memberikannnya suatu karier akademik juga. Tahun1908 ia lulus Fakultas Ilmu Pasti dan Alam dri Universitas Cracow. Yang menarik, selama studinya ia gemar membaca buku mengenai folkor dan dongeng-dongeng rakyat, sehingga ia menjadi tertarik kepada ilmu psikologi. Ia kemudian belajar psikologi kepada Profesor W. Wundt, di Leipzig, Jerman (Koentjaraningrat, 1987:160).

Ia kemudian mengembangkan suatu kerangka teori baru untuk menganalisis fungsi kebudayaan manusia, yang disebutnya dengan teori fungsionalisme kebudayaan, atau a functional theory of culture. Ia kemudian mengambil keputusan untuk menetap di Amerika Serikat, ketika ia menjadi guru besar Antropologi di University Yale tahun 1942. Sayang tahun itu ia juga meninggal dunia. Buku mengenai fungsional yang baru yang telah ditulisnya, diredaksi oleh muridnya H. Crains dan menerbitkannya dua tahun selepas itu (Malinowski 1944).

(27)

Kebutuhan pokok adalah seperti makanan, reproduksi (melahirkan keturunan), merasa enak badan (bodily comfort), keamanan, kesantaian, gerak dan pertumbuhan. Beberapa aspek dari kebudayaan memenuhi kebutuhan-kebutuhan dasar itu. Dalam pemenuhan kebutuhan dasar itu, muncul kebutuhan jenis kedua (derived needs), kebutuhan sekunder yang harus juga dipenuhi oleh kebudayaan.

Pemikiran Malinowski mengenai syarat-syarat metode geografi berintegrasi secara fungsional yang dikembangkannya dalam kuliah-kuliahnya tentang metode-metode penelitian lapangan dalam masa penulisannya ketiga buku etnografi mengenai kebudayaan Trobriand selanjutnya, menyebabkan bahwa konsepnya mengenai fungsi sosial dari adat, tingkah laku manusia, dan pranata-pranata sosial menjadi mantap juga. Dalam hal itu ia membedakan antara fungsi sosial dalam tiga tongkat abstraksi (Koentjaraningrat, 1987:167), yaitu:

1. Fungsi sosial dari suatu adat, pranata sosial atau unsur kebudayaan pada tingkat abstraksi pertama mengenai pengaruh atau efeknya, terhadap adat, tingkah laku manusia dan pranata sosial yang lain dalam masyarakat;

2. Fungsi sosial dari suatu adat, pranata sosial atau unsur kebudayaan pada tingkat abstraksi kedua mengenai pengaruh atau efeknya, terhadap kebutuhan suatu adat atau pranata lain untuk mencapai maksudnya, seperti yang dikonsepsikan oleh warga masyarakat yang bersangkutan;

(28)

Contohnya unsur kebudayaan yang memenuhi kebutuhan akan makanan menimbulkan kebutuhuan sekunder yaitu kebutuhan untuk kerja sama dalam pengumpulan makanan atau untuk produksi; untuk ini masyarakat mengadakan bentuk-bentuk organisasi politik dan pengawasan sosial yang manjamin kelangsungan kewajiban kerja sama tersebut di atas. Jadi menurut pandangan Malinowski tentang kebudayaan, bahwa semua unsur kebudayaan akhirnya dapat dipandang sebagai hal yang memenuhi kebutuhan dasar para warga masyarakat.

Seperti Malinowski, Arthur Reginald Radcliffe-Brown (1881-1955), seorang ahli lain dalam antropologi sosial berdasarkan teorinya mengenai prilaku manusia pada konsep fungsionalisme. Tetapi berlainan dengan Malinowski, radcliffe-Brown (Ihromi, 2006), mengatakan, bahwa berbagai aspek perilaku sosial, bukanlah berkembang untuk memuaskan kebutuhan individual, tapi justru timbul untuk mempertahankan struktur sosial masyarakat. Struktur sosial dari suatu masyarakat adalah seluruh jaringan dari hubungan-hubungan sosial yang ada.

(29)

antara warga dalam suatu komunitas desa Andaman yang kecil, menjadi tampak jelas.

Metodologi deskripsi tersebut dengan sengaja dan sadar dipergunakannya, dan dapat dirumuskan mengenai upacara (Koentjaraningrat, 1987), sebagai berikut:

1. Agar suatu masyarakat dapat hidup langsung, maka harus ada suatu sentimen dalam jiwa para warganya yang merangsang mereka untuk berprilaku sosial dengan kebutuhan masyarakat;

2. Tiap unsur dalam sistem sosial dan tiap gejala atau benda yang dengan demikian mempunyai efek pada solidaritas masyarakat, menjadi pokok orientasi dari sentimen tersebut;

3. Sentimen itu dalam pikiran individu dalam pikiran individu warga masyarakat sebagai akibat pengaruh hidup masyarakat;

4. Adat-istiadat upacara adalah wahana dengan apa sentimen-sentimen itu dapat diekspresikan secara kolektif dan berulang-ulang pada saat-saat tertentu; 5. Ekspresi kolektif dari sentimen memelihara intensitas-intensitas itu dalam jiwa

warga masyarakat, dan bertujuan meneruskannya kepada warga-warga dalam generasi berikutnya (1922:233-234).

(30)

one generation to another the emotional dispositions on which the society (as it constituted) depends for its existence.”

Radcliffe-Brown juga memiliki teori yang sama dengan Malinowskiyaitu teori fungsionalisme. Menurut beliau lebih menekankan teori fungsional struktural, ia mengatakan, “… bahwa berbagai aspek perilaku sosial, bukanlah berkembang untuk memuaskan kebutuhan individual, tapi justru timbul untuk mempertahakan struktur sosial masyarakat danstruktur sosial masyarakat adalah seluruh jaringan dari hubungan-hubungan sosial yang ada.”

Jadi, menurut penulis, kedua teori fungsional ini memfokuskan fungsi-fungsi sosial budaya pada apa penyebabnya. Bagi Malinowski penyebab fungsi-fungsi itu adalah pada kebutuhan dasar manusia sebagai individu-individu. Sementara menurut Radcliffe-Brown fungsi itu muncul untuk memenuhi sistem sosial yang telah dibangun berdasarkan kesepakatan bersama.

(31)

teori fungsionalisme Radcliffe-Brown, Rapa’i Pasee timbul karena kebutuhan masyarakat secara bersama, bukan karena individu.

1.4.2.2Teori analisis dan transkripsi musik

Teori analisis dan transkripsi musik digunakan sebagai sebuah proses pentranskripsian yang merupakan langkah awal dalam kerja analisis yang tujuannya adalah untuk mengubah bentuk bunyi musik kedalam suatu lambang bunyi. Dalam hal ini lambang bunyi dari bentuk musik notasi Rapa’i Pasee ditranskripsikan kedalam bentuk notasi musik barat hal ini bertujuan untuk melihat dan memahami bunyi musik tersebut sebagai tingkah laku masyarakat pemiliknya dalam bentuk visual. Transkripsi diperlukan untuk memvisualisasikan apa yang didengar yang memungkinkan untuk membantu mempelajari musik secara komparatif dan detail, serta membantu untuk mengkomunikasikannya kepada pihak lain tentang apa yang dipikirkan dari apa yang didengar itu7, meskipun sesungguhnya mentranskripsikan bunyi musik kedalam bentuk visualisasi tidak pernah bisa persis sama sebagaimana ketika musik itu disajikan.8

Demikian kira-kira gambaran umum teori yang akan penulis gunakan nantinya dalam mengkaji Fungsi sosio budaya, dan struktur musik yang dipertunjukan dalam kesenian Rapa’i Pasee di Biara Timu Jambo Aye Aceh Utara.

7

Bruno Nettl, The study of Rthnomusicology. Twenty-nine Issues and concept (Chicago: University Press, 1983,16)

8

(32)

1.5 Metode Penelitian

Metode yang di gunakan dalam penelitian ini berdasarkan prosedur kualitatif hal ini dilakukan untuk memperoleh data secara sistematis yang didapat dari hasil pernyataan-pernyataan atau pun dalam bentuk hasil tulisan-tulisan yang berasal dari kelompok maupun individu yang terlibat dalam kesenian Rapa’i Pasee tersebut baik sebagai pelaku maupun pemerhati, sebagai masyarakat pendukungnya.9

Dalam menganalisis struktur musik pada objek penelitian kesenian Rapa’i Pasee ini Penulis melakukan metode transkripsi yang digunakan sebagai bentuk Kemudian penulis menjelaskan hasil penelitian ini melalui metode deskriptif yaitu dengan menggambarkan atau mengamati fakta-fakta yang sedang berlangsung. Teknik pengumpulan data dan penelitian ini adalah observasi dan wawancara. Tekhnik pengolahan dan analisa data di gunakan metode deskripsi kualitatif yaitu, menguraikan bagaimana Fungsi sosio budaya, dan struktur Musik Rapa’i Pasee ini sesuai dengan yang di katakan Arikunto, (2003:309-310), yaitu penelitian deskriptif merupakan penelitian yang di maksudkan untuk mengumpulkan informasi mengenai status, satu gejala yang ada yaitu gejala menurut apa adanya pada saat penelitian di lakukan. Adapun pengertian deskriptif menurut Sukardi (2003:15) adalah metode yang berusaha menggambarkan objek atau subjek yang di teliti sesuai dengan apa adanya. Tujuannya adalah menggambarkan secara sistematis fakta dan karakteristik objek yang di teliti secara tepat.

9

(33)

pendokumentasian lagu-lagu yang ada dalam Rapa’i Pasee ini kedalam bentuk notasi. Proses pentranskripsian merupakan langkah awal dalam kerja analisis yang tujuannya adalah untuk mengubah bentuk bunyi kedalam suatu lambang. Sebagaimana yang dikemukakan oleh Nettl bahwa:

“Transkripsi adalah proses menotasikan bunyi, mengalihkan bunyi menjadi simbol visual atau kegiatan memvisualisasikan bunyi musik kedalam bentuk notasi dengan cara menuliskannya ke atas kertas”.10

1. Untuk mendapatkan rekaman lantunan lagu Rapa’i Pasee, penulis merekam langsung bunyi dari pemain baik dalam proses penelitian maupun dalam konteks pertunjukannya di berbagai even pertunjukan kesenian lokal maupun nasional.

Maka dalam hal ini penulis mencoba mendapatkan transkripsi lagu-lagu Rapa’i Pasee dengan beberapa langkah yang penulis lakukan, diantaranya sebagai berikut:

2. Rekaman tersebut didengarkan secara berulang-ulang agar mendapatkan hasil yang maksimal, dan kemudian ditranskripsikan kedalam bentuk notasi.

3. Pendekatan transkripsi yang dilakukan adalah pendekatan preskriptif, yaitu menuliskan perjalanan melodi secara makro dam garis besar saja. Tujuannya adalah untuk memperlihatkan bagaimana struktural umum pukulan yang berbentuk melodi dari pola ritmis dari pertunjukan Rapa’i Pasee tersebut.

10

(34)

4. Ritmis maupun melodi lagu dalam Rapa’i Pasee dituliskan dengan notasi Barat agar dapat lebih mudah dimengerti, karena dalam notasi Barat tinggi dan rendahnya nada, pola ritme, dan simbol-simbol, terlihat lebih jelas ditransmisikan kepada para pembaca melalui tanda-tanda dalam garis paranada.

Dalam proses pentranskripsian ini penulis menggunakan perangkat lunak (software) Sibellius 7, yang digunakan untuk membantu proses pentranskripsian agar mengetahui bentuk ritmis pada lagu-lagu yang dimainkan dalam kesenian Rapa’i Pasee tersebut.

Oleh karena itu dalam hal penelitian lapangan untuk memperoleh data yang akurat dan sistematis tersebut penulis melakukan beberapa tahapan-tahapan sebagai langkah penyelesaian tesis ini dengan beberapa tahap yaitu melalui pengumpulan data dan tulisan-tulisan kepustakaan sebagai semberrujukan yang berhubungan dengan pokok permasalahan pada topik penulisan tesis ini, melakukan penelitian dilapangan, observasi, wawancara, kerja laboratorium dengan menganalisis melalui transkripsi lagu-lagu yang ada pada kesenian Rapa’i Pasee.

1.5.1 Kajian Pustaka

(35)

1.5.1.1Kajian sejarah

1. Pemerintah Aceh Dinas Kebudayaan Dan Pariwisata Aceh yang berjudul Budaya Aceh Propinsi Daerah istimewa Aceh, tahun 2009, yang didalamnya terdapat pembahasan tentang sejarah budaya Aceh dan Alat musik Rapa’i.Sejarah Rapa’i yang dibahas mencakup masa kesultanan Aceh, masa penjajahan Belanda,dan masa kemerdekaan yang mempengaruhi perkembangan alat musik tradisional Rapa’i di Aceh.

2. Departemen Pendidikan dan Kebudayaan Direktorat Jendral Kebudayaan Daerah Istimewa Aceh yang berjudul Dampak Pengembangan Pariwisata terhadap Kehidupan Sosial di Daerah Istimewa Aceh, yang berisikan tentang budaya dan kesenian pariwisata Aceh.

3. Majelis Ulama Propinsi Daerah Istimewa Aceh, Banda Aceh, yang berjudul “Bagaimana Islam Memandang Kesenian”(1972) yang berisikan tentang bagaiman agama Islam memandang kesenian dari sudut keagamaan.

4. Mohammad Said menulis buku yang berjudul Aceh Sepanjang Abad (Jilid I) yang diterbitkan tahun 2007. Buku ini berisikan tentang sejarah rakyat Aceh sepanjang abad dan perjuangan Rakyat Aceh dalam memperjuangkan kemerdekaan rakyat Aceh. Pendekatan yang dilakukan Mohammad Said adalah pendekatan sejarah.

(36)

perjuangan rakyat Aceh dalam memperjuangkan kemerdekaan rakyat Aceh, diterbitkan tahun 2007.

6. Ali Hasymy menulis buku yang bertajuk Kebudayaan Aceh dalam Sejarah. Buku ini diterbitkan oleh Penerbit Benua di Jakarta tahun 1983. Adapun isi buku ini secara umum adalah uraian mengenai kebudayaan Aceh, filsafat-filsafatnya, dan sejarah perkembangan kebudayaan Aceh.

1.5.1.2Kajian teori

1. Alan P. Merriam menulis buku yang berjudul The Anthropology of Music, yang berisikan tentang ilmu antropologi musik. Di dalam buku ini juga dibahas secara mendalam bagaimana guna dan fungsi musik di dalam kebudayaan manusia di dunia ini.

2. Bronislaw Malinowski yang berjudul “ Teori Fungsional Dan Struktural” yang berisikan tentang teori- teori fungsional dan structural yang menjadi acuan juga dalam merumuskan permasalahan pada pendekatan teoritis dalam mendeskripsikan fungsi social budaya terhadap objek penelitian ini.

1.5.1.3Kajian bentuk kesenian Rapa’i Pasee yang diantaranya :

(37)

2. Rita dewi, Rapai Pasee pada Masyarakat Aceh didesa Lam Awe Kecamatan Syamtalira Aron : Analisis Musik Dalam Konteks Pertunjukan. (skripsi sarjana), jurusan etnomusikologi, fakultas sastra, Universitas Sumatera Utara, 1995 berisikan hasil penelitian tentang Rapa’i Pasee didaerah Lam Awe, Aceh Utara sebagai masukan kajian sejarah Rapa’i di Aceh.

3. Dindin achmad nazmuddin, Analisis Fungsi Sosial Budaya dan Struktur Musik Kesenian Rapa’i Geleng Di Kota Banda Aceh. (tesis), jurusan pencintaan dan pengkajian seni fakultas ilmu budaya, Universitas Sumatera Utara, 2013. Sebagai masukan kajian sejarah Rapa’i diAceh.

1.5.1.4Kajian Metode Penulisan

1. Arikunto, (2003:309-310), yaitu penelitian deskriptif merupakan penelitian yang di maksudkan untuk mengumpulkan informasi mengenai status, satu gejala yang ada yaitu gejala menurut apa adanya pada saat penelitian di lakukan.

2. Sukardi (2003:15) adalah metode yang berusaha menggambarkan objek atau subjek yang di teliti sesuai dengan apa adanya. Tujuannya adalah menggambarkan secara sistematis fakta dan karakteristik objek yang di teliti secara tepat.

(38)

rangka meneliti dan kemudian menganalisisnya berdasarkan multidisiplin dan interdisiplin ilmu, sebagaimana yang selama ini penulis peroleh dari kuliah di Program Studi Magister (S-2) Penciptaan dan Pengkajian Seni, Fakultas Ilmu Budaya, Universitas Sumatera Utara Medan. Selanjutnya penulis melakukan penelitian lapangan.

1.5.2 Penelitian lapangan

(39)

Guillaume-Andre Villoeau hun 1809. Periode ini dipandang sebagai awal perkembangan etnomusikologi. Masa ini pula diterbitkan Ensiklopedi Musik oleh Jean-Jaques Rousseau, tepatnya tahun 1768, yang memberi semangat tumbuhnya etnomusikologi (Bandem, 2001:1-2).

Penelitian lapangan yang dilakukan penulis dalam penelitian ini adalah observasi dan wawancara dengan para tokoh seniman tradisional (pelaku seni) Rapa’i Pasee, dan para pegawai pemerintah di lingkungan Dinas Pariwisata dan kebudayaan Aceh utara. Observasi adalah pengamatan dengan cara sebagai pengamat yang terlibat dalam kegiatan seni secara langsung. Kemudian wawancara adalah dilakukan kepada terutama informan kunci untuk mengetahui Sejarah, Fungsi Sosio budaya Rapa’i Pasee dalam konteks kebudayaan Aceh.

1.5.2.1Observasi

(40)

1.5.2.2Wawancara

Wawancara merupakan suatu cara untuk mengumpulkan data atau memperoleh informasi secara langsung bertatap muka dengan informan, sehingga mendapatkan gambaran lengkap tentang objek yang sedang diteliti. Wawancara dilakukan dengan pemusik, pelatih, dan tokoh Musik di Aceh maupun di luar Daerah Provinsi Aceh. Wawancara dilakukan sesuai dengan format yang telah penulis siapkan dengan tujuan data-data yang di inginkan akan di uraikan, sehingga mendukung hasil penelitian. Hal-hal yang akan diwawancarai berkaitan dengan dua pokok masalah, yaitu (1) fungsi sosial dan budaya Rapa’i Pasee dalam kebudayaan masyarakatnya; dan (2) struktur musik Rapa’i Pasee.

1.5.2.3Kerja laboratorium

Setelah pengumpulan data di laksanakan, data penelitian ini diolah dengan menggunakan pendekatan deskrptif kualitatif yaitu, dengan mendeskripsikan Sejarah, bentuk alat musik, busana pemusik, dan cara penyajian musik Rapa’i Pasee. Seterusnya berdasarkan fakta sosial, penulis akan menganalisis guna dan fungsi Rapa’i Pasee dalam kebudayaan masyarakat Aceh di Provinsi Aceh. Seterusnya, sesuai dengan bidang keilmuan penulis yaitu pengkajian seni, maka tidak lupa penulis akan mengkaji struktur musik Rapa’i Pasee.

(41)

struktur musik, penulis terlebih dahulu mentranskripsikannya dalam bentuk visual, yang merupakan pemindahan dimensi dengar ke dimensi penglihatan. Adapun transkripsi dilakukan dengan pendekatan transkripsi preskriptif, yaitu menuliskan ritem-ritem utama, tidak serinci mungkindengan demikian Rapa’i Pasee termasuk budaya musik yang melogenik.11

1.6 Lokasi Penelitian

Dalam tulisan ini akan di bahas hasil penelitian tentang pertunjukan Rapa’i Pasee yang dilaksanakan di daerah Biara Timu, Jambo Aye Aceh Utara, penetilian ini di laksanakan di desa Biara Timu,Jambo Aye Aceh Utara dengan daftar observasi terlampir serta di lengkapi dengan foto-foto mengenai pertunjukan Rapa’i Pasee hasil penelitian tersebut dapat di paparkan sebagai berikut.

Rapa’i Pasee adalah kesenian tradisional Aceh, Rapa’i Pasee berkembang hanya di daerah Aceh Utara saja, daerah Aceh lainnya saat ini hampir tidak ada kesenian tersebut.Semua penduduknya beragama Islam, masyarakat di desa Biara Timupada umumnya bermata pencahariannya adalah sebagai petani, pedagang, nelayan dan sebagai pegawai negeri.

Penelitian ini penulis lakukan di Biara Timu Kecamatan Jambo Aye, Kabupaten Aceh Utara, komunikasi antara penduduk disini penulis perhatikan

11

(42)

menggunakan bahasa Aceh dan Bahasa Indonesia sebagai alat komunikasi dan bahasa komunikasi antar etnis mereka. Masyarakat Biara timu tidak mudah menerima adat-adat baru dari pendatang luar, karena pada umumnya mereka masih berpijak kepada adat tradisional daerah mereka. Saat ini upacara-upacara tradisional masih kuat melekat di kalangan mereka dalam acara adat seperti adat perkawinan, sunat Rasul, dan memperingati hari-hari besar.

Masyarakat Biara Timu tidak hanya menampilkan Rapa’i Pasee, namun berbagai bentuk kesenian lain seperti tari saman, rateb meuseukat, tari rapa’i saman, tari laweut, tari raneup lampuan, tari likok puloh, tari pho, dan tari lainnya. Alat musik Rapa’i Pasee di desa ini merupakan kesenian tradisional yang hidup dan berkembang dalam masyarakat Biara Timu. Pertunjukan alat musik musik ini berpatokan kepada tradisi, karena pada umumnya masyarakat Biara timu menampilkan Rapa’i Paseepada acara tertentu, seperti memperingati hari-hari besar, kampanye politik, menyambut tamu kehormatan, perlombaan Rapa’i Tunang dan acara hiburan lainnya.

(43)

1.7 Alat yang digunakan

Alat yang digunakan untuk mendapatkan informasi yang dijadikan data sebagai bahan dan sumber penelitian ini adalah sebagai berikut : handycam, merk sony dan mini DV, cassette.

1.8 Sistematika Penulisan

Tesis ini ditulis dalam bentuk bab demi bab. Setiap bab secara saintifik dianggap memiliki isi yang dekat. Setiap bab akan dibagi menjadi sub-sub bab. Secara keseluruhan tesis ini di bagi ke dalam tujuh bab, dengan perincian sebagai berikut.

Pada Bab I yang merupakan pendahuluan, akan diisi oleh uraian mengenai latar belakang, pokok permasalahan, tujuan dan manfaat penelitian, (dirinci menjadi tujuan penelitian serta manfaat penelitian), konsep dan landasan teori dirinci menjadi konsep serta landasan teori), teori diuraikan lagi yaitu dengan menggunakan teori fungsi oleh Merriam dan Bruno nettle untuk teori transkipsi musik, metode penelitian (yang diperinci lagi menjadi studi kepustakaan dan penelitian lapangan yang terdiri dari: observasi dan wawancara serta kerja laboratorium), lokasi penelitian, gambaran umum lokasi penelitian dan sistematika penulisan.

(44)

agama, jumlah penduduk, masyarakat kesenian desa Jambo Aye kota Panton Labu, unsur kesenian masyarakat desa Jambo Aye kota Panton Labu, tari dan musik.

Bab III diberi berisikan tentang : Struktur musik kesenian Rapa’i Pasee: di biara timu Jambo Aye Panton Labu Aceh Utara, sejarah Rapa’i di Aceh, klasifikasi jenis alat musik Aceh, Rapa’i Pasee diuraikan yaitu latar belakang Rapa’i Pasee, Organologi Rapa’i Pasee, bentuk kesenian Rapa’i Pasee, proses penstranskripsian, notasi ritem (Motif pukulan) pada struktur musik Rapa’i Pasee diuraikan yaitu : deskripsi ritem 1 (lagu sa), deskripsi ritem 2 (lagu dua), deskripsi ritem 3 (lagu lhee), deskripsi ritem 5 (lagu limeung), deskripsi ritem 7 (lagu tujoh), deskripsi ritem 9 (lagu sikureung), deskripsi ritem 12 (lagu duablah). Bab IV adalah berjudul Deskripsi fungsi sosio budaya Rapa’i Pasee di biara timu Jambo Aye Panton Labu Aceh Utara, Bab ini dibangun oleh sub-sub bab yaitu penggunaan dan fungsi Rapa’i Pasee, pengertian penggunaan dan fungsi diuraikan menjadi pengertian fungsi dan pengertian penggunaan, fungsi kesenian Rapa’i Pasee, fungsi penggungkapan emosional, fungsi penggungkapan estetika, fungsi hiburan, fungsi komunikasi, fungsi perlambangan, fungsi berkaitan dengan norma sosial, fungsi kesinambungan kebudayaan dan fungsi penginteghrasian masyarakat.

(45)

BAB II

ETNOGRAFI MASYARAKAT JAMBO AYE PANTON LABU ACEH UTARA

2.1 Sejarah Desa Jambo Aye Kota Panton Labu Aceh Utara

Sejarah Aceh Utara tidak dapat dilepaskan dari sejarah perkembangan Kerajaan Islam di pesisir Sumatera yaitu Samudera Pasai yang terletak di Kecamatan Samudera Geudong yang merupakan tempat pertama kehadiran Agama Islam di kawasan Asia Tenggara. Kerajaan-kerajaan Islam di Aceh mengalami pasang surut, mulai dari zaman Kerajaan Sriwijaya, Majapahit, kedatangan Portugis ke Malaka pada tahun 1511 sehingga 10 tahun kemudian Samudera Pasai turut diduduki, hingga masa penjajahan Belanda. Secara de facto Belanda menguasai Aceh pada tahun 1904, yaitu ketika Belanda dapat menguasai benteng pertahanan terakhir pejuang Aceh Kuta Glee di Batee Iliek di Samalanga. Dengan surat Keputusan Vander Geuvemement General Van Nederland Indie tanggal 7 September 1934, Pemerintah Hindia Belanda membagi Daerah Aceh atas 6 (enam) Afdeeling (Kabupaten) yang dipimpin seorang Asistent Resident, salah satunya adalah Affleefing Noord Kust Van Aceh (Kabupaten Aceh Utara) yang meliputi Aceh Utara sekarang ditambah Kecamatan Bandar Dua yang kini telah termasuk Kabupaten Pidie (Monografi Aceh Utara tahun 1986, BPS dan BAPPEDA Aceh Utara).

(46)

1. Onder Afdeeling Bireuen 2. Onder Afdeeling Lhokseumawe 3. Onder Afdeeling Lhoksukon.

(47)

Keberadaan Aceh di bawah Propinsi Sumatera Utara menimbulkan rasa tidak puas pada para tokoh Aceh yang menuntut agar Aceh tetap berdiri sendiri sebagai propinsi dan tidak berada di bawah Sumatera Utara. Tetapi ide ini kurang didukung oleh sebagian masyarakat Aceh terutama yang berada di luar Aceh. Keadaan ini menimbulkan kemarahan tokoh Aceh dan memicu terjadinya pemberontakan DIMI pada tahun 1953. Pemberontakan ini baru padam setelah datang Wakil Perdana Menteri Mr Hardi ke Aceh yang dikenal dengan Missi Hardi dan kemudian menghasilkan Daerah Istimewa Aceh. Dengan Keputusan Perdana Menteri Republik Indonesia Nomor I/ Missi / 1957, lahirlah Propinsi Daerah Istimewa Aceh. Dengan sendirinya Kabupaten Aceh Utara masuk dalam wilayah Propinsi Daerah Istimewa Aceh. Berdasarkan Undang Undang Nomor I tahun 1957 dan Keputusan Presiden Nomor 6 tahun 1959. Kabupaten Daerah Tingkat II Aceh Utara terbagi dalam 3 (tiga) Kewedanaan yaitu:

1. Kewedanan Bireuen terdiri atas 7 kecamatan 2. Kewedanan Lhokseumawe terdiri atas 8 Kecamatan 3. Kewedanan Lhoksukon terdiri atas 8 kecamatan

(48)

Kabupaten Daerah Tingkat II Aceh Utara yang dikepalai seorang kepala perwakilan yang kini sudah menjadi Kabupaten Bireuen. Hampir dua dasawarsa kemudian dikeluarkan Undang Undang Nomor 5 Tahun 1974 tentang Pokok-pokok Pemerintahan di Daerah, sebutan Kepala Perwakilan diganti dengan Pembantu Bupati Kepala Daerah Tingkat II, sehingga daerah perwakilan Bireuen berubah menjadi Pembantu Bupati Kepala Daerah Tingkat II Aceh Utara di Bireuen. Dengan berkembangnya Kabupaten Aceh Utara yang makin pesat, pada tahun 1986 dibentuklah Kotif (Kota Administratif) Lhokseumawe dengan peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 32 Tahun 1986 yang membawahi 5 kecamatan. Dan berdasarkan Kep Mendagri Nomor 136.21-526 tanggal 24 Juni 1988 tentang pembentukan wilayah kerja pembantu Bupati Pidie dan Pembantu Bupati Aceh Utara dalam wilayah Propinsi Daerah Istimewa Aceh, maka terbentuklah Pembantu Bupati Aceh Utara di Lhoksukon, sehingga pada saat ini Kabupaten Aceh Utara terdiri dari 2 Pembantu Bupati, 1 kota administratip, 26 wilayah kecamatan yaitu 23 kecamatan yang sudah ada ditambah dengan 3 kecamatan pemekaran baru.

(49)

pemekaran kecamatan baru tersebut, Aceh Utara harus merelakan hampir sepertiga wilayahnya untuk menjadi kabupaten baru, yaitu Kabuparten Bireuen berdasarkan Undang-Undang nomor 48 tahun 1999. Wilayahnya mencakup bekas wilayah Pembantu Bupati di Bireuen. Kemudian pada Oktober 2001, tiga kecamatan dalam wilayah Aceh Utara, yaitu Kecamatan Banda Sakti, Kecamatan Muara Dua, dan Kecamatan Blang Mangat dijadikan Kota Lhokseumawe. Saat ini Kabupaten Aceh Utara dengan luas wilayah sebesar 3.296,86 Km2 dan berpenduduk sebanyak 477.745 jiwa membawahi 27 kecamatan.

Aceh Utara hingga tahun 2006 memiliki 850 desa dan 2 kelurahan, yang terbagi ke dalam 56 buah mukim. Sebanyak 780 buah desa berada di kawasan dataran dan 72 desa di kawasan berbukit. Desa yang terletak di daerah berbukit dijumpai di 12 kecamatan. Yang paling banyak desanya di kawasan perbukitan adalah di Kecamatan Sawang, Syamtalira Bayu, Nisam, Kuta Makmur, dan Muara Batu. Disamping itu, terdapat 40 buah desa yang berada dikawasan pesisir. Aceh Utara yang beriklim tropis, musim kemarau berlangsung antara bulan Februari sampai Agustus, sedangkan musim penghujan antara bulan September sampai Januari. Suhu dimusim kemarau rata-rata 32.8oC dan pada musim penghujan rata-rata 28oC.

(50)

dapat mendukung pembangunan ekonomi jika mampu dikelola dengan baik tanpa merusak kelestarian alam dan lingkungan.

Sedangkan fauna, Aceh Utara juga memiliki kekayaan dengan berbagai jenis hewan liar seperti gajah, harimau, badak, rusa, indus¬ kijang, orang hutan, babi, ular dan lain-lain sebagainya.

2.2 Tinjauan geografis desa Jambo Aye kota Panton labu Aceh Utara

(51)

- Sebelah utara - Sebelah timur - Sebelah selatan - Sebelah barat

: : : :

Kota Lhokseumawe Kabupaten Aceh Timur Kabupaten Bener Meuriah Kabupaten Bireuen

Luas wilayah Kabupaten Aceh Utara yang tercatat adalah 3.296,86 km2, atau 329.686 Ha. Dengan panjang garis pantai 51 km, dan kewenangan kabupaten adalah sampai 4 mil laut, maka luas wilayah laut kewenangan ini adalah 37.744 Ha atau 3.774,4 km2. Untuk lebih jelas dapat dilihat pada tabel 1.1.

Tabel 1.1

No Kecamatan Luas Wilayah (Km2) Persentase

1 Sawang 384,65 11,67

2 Nisam 42,74 3,48

3 Nisam Antara 84,38 2,56

4 Bandar Baro 42,35 1,28

5 Kuta Makmur 151,32 4,59

6 Simpang Keramat 79,78 2,42

7 Syamtalira Bayu 77,53 2,35

8 Geurudong Pase 269,28 8,17

9 Meurah Mulia 202,57 6,14

10 Matang Kuli 56,94 1,73

11 Paya Bakong 418,32 12,69

12 Pirak Timu 67,70 2,05

13 Cot Girek 189,00 5,73

(52)

15 Langkahan 150,52 4,98

16 Seunuddon 100,63 3,05

17 Baktiya 158,67 4,81

18 Baktiya Barat 83,08 2,52

19 Lhoksukon 243,00 7,37

20 Tanah Luas 30,64 0,93

21 Nibong 44,91 1,36

22 Samudera 43,28 1,31

23 Syamtalira Aron 28,13 0,85

24 Tanah Pasir 20,38 0,62

25 Lapang 19,27 0,58

26 Muara Batu 33,34 1,01

27 Dewantara 39,47 1,20

Kabupaten 3.296,86 100,00

Sumber Data : Aceh Utara Dalam Angka 2012

2.3 Sistem Pemerintahan Kota Panton Labu

(53)

2.4 Masyarakat Desa Jambo Aye Kota Panton Labu

2.4.1 Stratifikasi masyarakat desa jambo aye kota Panton Labu

(54)

undang-undang otonomi khusus dan keistimewaan daerah Aceh, sementara kedudukan geuchik, kepala mukim, tuha peut masih dipertahankan sebagai sistem Pemerintahan tradisional dilapisan bawah masyarakat yang setara dengan lurah, kepala dusun, dan sebagainya.

2.4.2 Agama

Mayoritas penduduk kota Panton labu merupakan penganut agama Islam. Meskipun yang dominan adalah pemeluk agama Islam, namun kita juga dapat menjumpai beberapa tempat ibadah bagi agama-agama non Muslim sepeti Gereja dan Klenteng ditempat tertentu dan terbatas.

2.4.3. Jumlah penduduk kota Panton Labu

Menurut data dari Dinas Kependudukan dan catatan Sipil berdasarkan laporan kependudukan Kota Panton labu, menurut jumlah Kartu keluarga, jumlah penduduk dan jumlah wajib KTP pada bulan April 2014, diperoleh data jumlah penduduk kota Panton labu keseluruhan adalah berjumlah 41.032.

2.4.4. Masyarakat kesenian di desa Jambo Aye kota Panton Labu

Yang di maksud dengan masyarakat adalah sekumpulan manusia, yang dalam kehidupannya melakukan kerjasama secara kolektif, karena saling ketergantungan sosial diantara mereka12

12

M.takari,dkk, op.cit hal, 1

(55)

unsur keindahan yang digunakan dalam kehidupan manusia. Maka masyarakat kesenian di Kota Panton Labu adalah sekelompok masyarakat yang beraktifitas dibidang kesenian baik sebagai pelaku maupun sebagi penontonnya, yang ada di Kota Panton labu, yang di kelompokkan menjadi dua kelompok masyarakat kesenian diantaranya adalah sebagai berikut:

1. Masyarakat kesenian yang ada pada masyarakat umum, di sekitar Kota Panton Labu (gampong, desa, ataupun kecamatan) seperti sanggar-sanggar,

komunitas-komunitas seni dan sebagainya, misalnya Sanggar Jeumpa Aceh dan Sanggar Pocut Meurah Insen.

2. Masyarakat kesenian yang ada di institusi sekolah (SD,SMP,SMA), dan perguruan Tinggi (seperti, Sanggar seni sekolah, atau unit kegiatan mahasiswa).

2.4.5. Unsur Kesenian Masyarakat Desa Jambo Aye Kota Panton Labu 2.4.6 Tari

a. Tari Ranup Lampuan

Tari Ranup Lampuan adalah salah satu tarian tradisional Aceh yang

ditarikan oleh para wanita. Tarian ini biasanya ditarikan untuk penghormatan dan

penyambutan tamu secara resmi. Ranup dalam bahasa Aceh yaitu Sirih,

sedangkan Puan yaitu Tempat sirih khas Aceh. Ranup Lampuan bisa diartikan

"Sirih dalam Puan". Sirih ini nantinya akan diberikan kepada para tamu sebagai

(56)

b. Tari Likok Pulo

Tarian Likok Pulo ini lahir sekitar tahun 1949 yang diciptakan oleh

seorang Ulama berasal dari Arab yang tinggal di Pulo Aceh, yaitu salah satu

kecamatan di Kabupaten Aceh Besar.Tarian ini pada hakekatnya adalah zikir

kepada Allah SWT dan selawat kepada Nabi Muhammad SAW. Gerakan tarian

pada prinsipnya ialah gerakan olah tubuh, keterampilan, keseragaman atau

kesetaraan dengan memfungsikan anggota tubuh bagian atas, tangan sama-sama

ke depan, ke samping kiri atau kanan, dari depan ke belakang, keatas dan

kebawah, dengan tempo yang lambat hingga cepat. Tarian ini membutuhkan

energi yang tinggi.

c. Tari Tarek Pukat

Tarek Pukat ini menggambarkan aktifitas para nelayan yang menangkap

ikan dilaut.Tarek yang berarti "Tarik", dan Pukat adalah alat sejenis jaring yang

digunakan untuk menangkap ikan.

d. Tari Rapa’i Geleng

Rapa`i Geleng pertama kali dikembangkan pada tahun 1965 di Pesisir

Pantai Selatan. Nama Rapa`i diadopsi dari nama Syeik Ripa`i yaitu orang pertama

yang mengembangkan alat musik pukul ini. Permainan Rapa`i Geleng juga

disertakan gerakan tarian yang melambangkan sikap keseragaman dalam hal

kerjasama, kebersamaan, dan penuh kekompakan dalam lingkungan

(57)

(lagu-lagu) yang dinyanyikan. Fungsi dari tarian ini adalah syiar agama, menanamkan

nilai moral kepada masyarakat, dan juga menjelaskan tentang bagaimana hidup

dalam masyarakat sosial.

e. Tari Saman

Syair dalam tarian Saman mempergunakan bahasa Arab dan bahasa Aceh

ataupun Gayo. Pada masa lalu, Tari Saman biasanya ditampilkan untuk

merayakan peristiwa - peristiwa penting dalam adat dan masyarakat Aceh.Selain

itu biasanya tarian ini juga ditampilkan untuk merayakan kelahiran Nabi

Muhammad SAW. Pada kenyataannya nama "Saman" diperoleh dari salah satu

ulama besar Aceh, Syech Saman.Tari Saman biasanya ditampilkan tidak

menggunakan iringan alat musik, akan tetapi menggunakan suara dari para penari

dan tepuk tangan mereka yang biasanya dikombinasikan dengan memukul dada

dan pangkal paha mereka sebagai sinkronisasi dan menghempaskan badan ke

berbagai arah. Tarian ini dipandu oleh seorang pemimpin yang lazimnya disebut

Syech.Karena keseragaman formasi dan ketepatan waktu adalah suatu keharusan

dalam menampilkan tarian ini, maka para penari dituntut untuk memiliki

konsentrasi yang tinggi dan latihan yang serius agar dapat tampil dengan

sempurna.Tarian ini khususnya ditarikan oleh para pria.

f. Tari Laweut

Sebelum sebutan Laweut dipakai, tarian ini mulanya disebut "Seudati

(58)

penari dari arah kiri atas dan kanan atas dengan jalan gerakan barisan memasuki

pentas dan langsung membuat komposisi berbanjar satu, menghadap penonton,

memberi salam hormat dengan mengangkat kedua belah tangan sebatas dada,

kemudian mulai melakukan gerakan-gerakan tarian.

g. Tari Pho

Perkataan Pho berasal dari kata peuba-e, peubae artinya meratoh atau

meratap. Pho adalah panggilan atau sebutan penghormatan dari rakyat. Hamba

kepada Yang Maha Kuasa yaitu Po Teu Allah. Bila raja yang sudah almarhum

disebut Po Teumeureuhom. Tarian ini dibawakan oleh para wanita, dahulu

biasanya dilakukan pada kematian orang besar dan raja-raja, yang didasarkan atas

permohonan kepada Yang Maha Kuasa, mengeluarkan isi hati yang sedih karena

ditimpa kemalangan atau meratap melahirkan kesedihan-kesedihan yang diiringi

ratap tangis. Sejak berkembangnya agama Islam, tarian ini tidak lagi ditonjolkan

pada waktu kematian, dan telah menjadi kesenian rakyat yang sering ditampilkan

pada upacara-upacara adat.

h. Tari Seudati.

Sebelum adanya seudati, sudah ada kesenian yang seperti itu dinamakan

ratoih, atau saman, kemudian baru ditetapkan nama syahadati dan disingkat

menjadi seudati. Pemain seudati terdiri dari 8 orang pemain dengan 2 orang syahi

berperan sebagai vokalis, salah seorang diangkat sebagai syekh, yaitu pimpinan

(59)

tempo tarian, ditentukan oleh irama dan tempo lagu yang dibawakan pada

beberapa adegan oleh petikan jari dan tepukan tangan ke dada serta hentakan kaki

ke tanah.Tepukan dada memberikan suara seolah-olah ada sesuatu bahan logam di

bagian dada atau perut yang dilengketkan sehingga bila dipukul mengeluarkan

suara getar dan gema.

2.4.7 Musik

a. Serunee Kalee

Serune Kalee adalah instrumen tiup tradisional Aceh yaitu sejenis Clarinet

terutama terdapat di daerah Pidie, Aceh Utara, Aceh Besar, dan Aceh Barat. Alat

ini terbuat dari kayu nangka, bagian pangkal kecil serta di bagian ujungnya besar

menyerupai corong. Di bagian pangkal terdapat piringan penahan bibir peniup

yang terbuat dari kuningan yang disebut perise. Serune ini mempunyai 7 buah

lobang pengatur nada. Selain itu terdapat lapis kuningan serta 10 ikatan dari tem

baga yang disebut klah (ring) serta berfungsi sebagai pengamanan dari

kemungkinan retak/pecah badan serune tersebut. Alat ini biasanya digunakan

bersama genderang dan Rapa’i dalam upacara-upacara maupun dalam mengiringi

tarian-tarian tradisional.

b. Gendang (Geundrang)

Gendang terdapat hampir di seluruh daerah Aceh. Gendang berfungsi

(60)

kalee mengiringi setiap tarian tradisional baik pada upacara adat maupun upacara

lainnya.

Alat ini terbuat dari kayu nangka, kulit kambing dan rotan. Pembuatan

gendang yaitu dengan melubangi kayu nangka yang berbentuk selinder

sedemikian rupa sehingga badan gendang menyerupai bambam. Pada permukaan

lingkarannya (kiri-kanan) dipasang kulit kambing, yang sebelumnya telah dibuat

ringnya dari rotan dengan ukuran persis seperti ukuran lingkaran gendangnya.

Sebagai alat penguat/pengencang permukaan kulit dipakai tali yang juga terbuat

dari kulit.Tali ini menghubungkan antara kulit gendang yang kanan dengan kiri.

Alat pemukul (stick) gendang juga dibuat dari kayu yang dibengkakkan pada

ujungnya yaitu bagian yang dipukul ke kulit.

c. Rapa’i

Rapa’i merupakan sejenis alat instrumen musik tradisional Aceh, sama

halnya dengan gendang. Rapai dibuat dari kayu yang keras (biasanya dari batang

tuwalang) yang setelah dibulatkan lalu diberi lobang di tengahnya. Kayu yang

telah diberi lobang ini disebut baloh. Baloh ini lebih besar bagian atas dari pada

bagian bawah. Bagian atas ditutup dengan kulit kambing sedangkan bawahnya

dibiarkan terbuka. Penjepit kulit atau pengatur tegangan kulit dibuat dari rotan

yang dibalut dengan kulit (Penjepit ini dalam bahasa Aceh disebut seudak).

Rapa’i digunakan sebagai alat musik pukul pada upacara-upacara terutama yang

berhubungan dengan keagamaan, perkawinan, kelahiran dan permainan

(61)

tangan dan biasanya dimainkan oleh kelompok (group). Pemimpin permainan

(62)

BAB III

STRUKTUR MUSIK KESENIAN RAPA’I PASEE: DI BIARA TIMU JAMBO AYE PANTON LABU ACEH UTARA

3.1 Sejarah Rapa’i Di Aceh

(63)

Bahkan hampir semua instrumen tersebut digunakan untuk mengiringi perayaan hari besar keagamaan agama Islam seperti Maulid Nabi (hari kelahiran Nabi Muhammad), Isra Mi’raj (perjalanan nabi Muhammad dari mesjidil Haram ke Masjidil Aqsa), hingga Sidratul Munthaha atau Langit ke Tujuh untuk menerima perintah shalat dari Allah SWT) dalam hal tersebut selalu dilantunkan Shalawat Nabi (memuliakan dan mendoa’kan) terhadap Nabi Muhammad beserta keluarganya.

(64)

Nusantara yaitu Samudera pasai yang berada di daerah lhokseumawe Aceh bagian Utara, dengan rajanya yang bernama Sultan Malik Al- Saleh, maka sebagai bentuk kebudayaan penyebaran Islam tersebut dinamailah Rapa’i tersebut dengan nama Rapa’i Pasee karena berada disekitar daerah pase (dahulu terkenal dengan nama Samudera Pasai, sebuah kerajaan Islam pertama di Nusantara), sebagai media dakwah yang dianut oleh aliran Tarekat Sufi sebagai jalan untuk mendekatkan diri terhadap Allah SWT Tuhan yang menguasai alam semesta dalam masyarakat Islam dalam setiap lantunan dzikir dengan bentuk nyanyian yang diiringi oleh tabuhan Rapa’i tersebut.

(65)

Dilanget Manyang Bintang Meuble ble Cahya ban kande leumah u bumoe Asai rapai bak syekh abdul kade Masa nyan lahe peutren u bumoe Artinya:

(dilangit tinggi bintang berbinar-binar) Cahaya seperti lilin memancar ke bumi Asal Rapa’i dari syekh Abdul kadir

Inilah yang sah pencintanya lahir ke bumi)

Dalam syair teks ini mengandung makna bahwa Rapa’i mempunyai peran yang sangat penting sebagai kesenian yang saat itu popular di masyarakat sebagai media dakwah syiar Islam yang menerangi masyarakat Aceh saat itu berada pada masa kebodohan menjadi masyarakat yang cerdas dan menjadikan sebuah bangsa yang gemilang dengan sinar Islam, dijelaskan pula bahwa asal Rapa’i dibawa oleh ulama Syekh Abdul Qadir Zailani sebagai penciptanya dan mengenalkannya kepada seluruh dunia.

Kata Rapa’i sendiri mengandung beberapa pengertian yang dipahami oleh masyarakat Aceh sebagai berikut:

a. Rapa’i diartikan sebagai alat musik pukul yang dibuat dari kayu nangka atau kayu merbau, sedang kulitnya dari kulit kambing yang telah diolah. Badan Rapa’i sendiri disebut Baloh. Dilihat dari perangkat besar kecilnya ukuran Rapa’i, ini dapat dibedakan menjadi beberapa jenis.

(66)

c. Rapa’i diartikan sebagai bentuk permainan kesenian Rapa’i itu sendiri.

Pada abad 17 para ulama memilih cara berdakwah dengan bentuk kesenian dan menerapkan budaya Islam yang egaliter dan demokratis, hal ini menjadikan Agama Islam lebih mudah difahami dan diterima oleh masyarakat Islam di Aceh pada masa itu, salah satu ulama besar yaitu Syekh Muhammad Saman berdakwah dengan memperkenalkan seni meu-Rateb, dimana cara berdakwah ini mengajarkan pada umatnya untuk selalu mengingat Allah, dalam melakukan meu-Rateb ini sambil melakukan gerakan badan dan kepala dengan mengangguk-angguk sambil berdzikir sebagai bentuk totalitas untuk mengingat Allah, yang kemudian cara ini berkembang menjadi suatu jenis tarian yang sangat dikenal seperti Ratoh duek (yang menyebar didaerah Aceh pesisir) dan Saman (yang menyebar didataran tinggi Gayo). Pada awalnya kedua jenis tarian ini tidak menggunakan alat musik Rapa’i sebagai pengiring tariannya, namun seiring perkembangannya mendapat pengaruh iringan Rapa’idisekitar Aceh Barat dan Selatan sebagai pengaruh Rapa’i pasee dari Aceh Utara, yang kemudian penyebaraannya didaerah Aceh bagian Barat dan Selatan melahirkan jenis kesenian campuran antara seni tari dan musik yang dikenal dengan seni Rapa’i Saman.

3.2 Klasifikasi Jenis Musik Aceh

(67)

dan Serune kalee. Alat musik tradisional Aceh apabila diklasifikasikan menurut system klasifikasi Curt Sachs dan Hornbostel adalah seperti terlihat pada tabel berikut13

No :

Jenis klasifikasi Nama alat musik

Deskripsi keterangan

1. Chodrophone

a. Arbab Sejenis lute berleher panjang, terbuat dari bahan tempurung kelapa, kulit kambing sebgai membran,kayu sebagai badan dan senar dari bahan ijuk.

Fungsi dalam musik sebagai pembawa melodi b. Biola Aceh

Sejenis lute berleher

pendek, yang dimainkan secara digesek (seperti biola) berasal dari Eropa penamaan Aceh lebig menitik beratkan kepada Gaya permainannya saja. Fungsi dalam musik sebagai pembawa melodi banyak dijumpai didaera pidie. a. Bangsi alas

Sejenis rekorder yang terbuat dari bahan bambo, dengan panjang 40 cm

Berasal dari daerah pegunungan alas 13

(68)

2 Aerophone

b. Bebelen

Sejenis aerofon reed tunggal, lima lubang benada, dan ujungnya memiliki bell.

Berasal dari Aceh selatan

c. Bensi Sejenis rekorder

terbuat dari bahan bambo.

Berasal dari aceh selatan

d. Bereguh Sejenis

terompet,terbuat dari tanduk kerbau Dijumpai di d

Gambar

Gambar 1. Skema ukuran Rapa’i Pasee
Gambar 2. Baloh (Kayu)
Gambar 4. Pengapet (Seudak)
Gambar 5. Larik (garis)
+2

Referensi

Dokumen terkait