• Tidak ada hasil yang ditemukan

KAJIAN TEKSTUAL DAN FUNGSI LAGU KAPULO PINANG DALAM UPACARA PERNIKAHAN DI DESA SIJAGO-JAGO, KECAMATAN BADIRI, KABUPATEN TAPANULI TENGAH

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2022

Membagikan "KAJIAN TEKSTUAL DAN FUNGSI LAGU KAPULO PINANG DALAM UPACARA PERNIKAHAN DI DESA SIJAGO-JAGO, KECAMATAN BADIRI, KABUPATEN TAPANULI TENGAH"

Copied!
98
0
0

Teks penuh

(1)

KAJIAN TEKSTUAL DAN FUNGSI LAGU KAPULO PINANG DALAM UPACARA PERNIKAHAN DI DESA SIJAGO-JAGO, KECAMATAN BADIRI, KABUPATEN TAPANULI TENGAH

.

SKRIPSI SARJANA

DIKERJAKAN O

L E H

RIGINA JANET SIHOMBING NIM: 130707026

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA FAKULTAS ILMU BUDAYA

PROGRAM STUDI ETNOMUSIKOLOGI MEDAN

(2)
(3)
(4)
(5)
(6)

ABSTRAK

Skripsi ini berjudul Analisis Tekstual dan Fungsi Lagu Kapulo Pinang pada Ensambel Sikambang dalam Upacara Adat Pernikahan di Desa Sijago-jago, Kecamatan Badiri, Tapanuli Tengah. Tujuan dari penelitian ini adalah untuk mengkaji makna tekstual dari lagu Sikambang Kapulo Pinang, dan utnuk mengkaji fungsi dari lagu Sikambang Kapulo Pinang dalam upacara adat pernikahan masyarakat di Desa Sijago-jago.

Metode yang penulis gunakan adalah pendekatan kualitatif dan pengumpulan data, yaitu: observasi, wawancara, perekaman audio dan suara, dan studi pustaka. Untuk mengetahui tujuan penulis menggunakan dua teori utama yang mengkaji teks penulisan menngunakan teori semiotik oleh Ferdinand De Saussure dan untuk kajian fungsi menggunakan teori dari Allan P. Merriam.

Hasil dari penelitian ini menunjukan bahwa analisis tekstual dan fungsi lagu Sikambang Kapulo Pinang terdapat banyak pesan yang disampaikan kepada si pembuat acara yang disampaikan oleh seniman. Sikambang dengan menggunakan istilah atau perumpamaan–perumpamaan yang berisikan nasihat yang ditujukan kepada si pembuat acara. Dalam setiap penyajiannya lagu Kapulo Pinang berperan sebagai tari payung yang menggambarkan kisah tentang suami istri yang baru saja melangsungkan pernikahan (pengantin baru). Lagu ini bersifat ratapan atau kesedihan dari sang istri yang ditinggalkan berlayar untuk mencari nafkah ke negeri seberang dengan menggunakan kapal pembawa dagangan dari pulau Poncan ke pulau Pinang. Lagu ini juga diiringi alat musik tradisional Pesisir khas Tapanuli Tengah Ensambel Sikambang, yaitu terdiri dari : Gendang Sikambang, Accordion, biola, Gendang Batapik, Singkadu,

(7)

KATA PENGANTAR

Puji dan syukur saya panjatkan kepada Tuhan Yesus Kristus, karena kasih karunianya yang begitu besar dan melimpahi kehidupan penulis sehingga penulis dapat menyelesaikan skripsi yang berjudul “Analisis Tesktual dan Fungsi Lagu Kapulo Pinang dalam Upacara Adat Pernikahan di Desa Sijago-jago, Kecamatan Badiri,

Tapanuli Tengah”.

Karya ini merupakan salah satu persyaratan untuk memperoleh gelar sarjana seni di Fakultas Ilmu Budaya Universitas Sumatera Utara, tidak dapat dipungkiri bahwa penulis banyak menerima bantuan dari berbagai pihak yang selalu mendukung penulis untuk menyelesaikan tulisan ini. Saya selaku penulis sudah berusaha semampu dan semaksimal kemapuan penulis dalam menyelesaikan karya tulisan ini dengan berbagai kekurangan dan kesulitan yang penulis hadapi. Untuk itu, penulis mengucapkan terimakasih kepada Bapak Prof. Runtung Sitepu, SH., M.Hum. selaku Rektor Universitas Sumatera Utara. Penulis juga mengucapkan terimakasih kepada Bapak Dr.

Budi Agustono, M.S. selaku Dekan Fakultas Ilmu Budaya. Penulis juga mengucapkan terimakasih kepada Ibu Arifni Netrirosa, SST, M.A. selaku Ketua Prodi Etnomusikologi yang tetap mendukung saya dalam menyelesaikan tulisan ini, juga kepada Bapak Drs.

Bebas Sembiring, M.Si selaku Sekretaris jurusan yang sudah memberikan kritik dan saran yang membangun dalam menyelesaikan skripsi ini. Penulis juga berterimakasih kepada Bapak Drs. Muhammad Takari, M..Hum., PhD selaku Dosen Pembinmbing I saya yang selalu sabar dan komunikatif dalam membimbing saya dan banyak memberi nasihat dan saran yang membantu penulis dapat menyelesaiakn penulisan skripsi ini.

Penulis juga mengucapkan terimakasih kepada Bapak Drs. Fadlin, M.A selaku Dosen Pembimbing II yamg sudah membantu dan memberikan semangat kepada penulis

(8)

kepada Bapak Prof. Mauly Purba, M.A., Ph.D., Ibu Dra. Heristina Dewi, M.Pd., Bapak Drs. Setia Dermawan, M.Si., Bapak Drs. Irwansyah Harahap M.A., Bapak Drs. Kumalo Tarigan, M.A., Bapak Drs. Prikuten Tarigan, M.Si., Ibu Dra. Frida Deliana, M.Si., Ibu Dra. Rithaony Hutajulu, M.A., yang sudah mengajarkan dan memberi ilmu Etnomusikologi kepada penulis dan menjadi manfaat bagi penulis dan kelestarian musik tradisional di Indonesia.

Penulis juga mengucapkan banyak-banyak terimakasih kepada Ibu penulis yang selalu sabar dan setia, juga selalu memberikan motivasi juga semangat dalam menyelesaikan skripsi ini. Skripsi ini penulis persembahkan kepada Ibu Herlina Pasaribu selaku ibu kandung penulis dan juga kepada almarhum mendiang Ayah Rikki Nelson N, T , P Sihombing. Penulis juga berterimakasih kepada kakak penulis Ayu Eplina Sihombing dan adik penulis Rizky Ferdinan Sihombing.

Selanjutnya penulis juga berterimakasih kepada teman-teman seperjuangan penulis yang selama proses perkuliahan selalu memberikan semangat dan memotivasi penulis yaiut stambuk 2013 terkhususnya kepada Farida Ros Simasmata, S.Sn., Cindi Nathania Panjaitan, S.Sn., Eridianto Barus, S.Sn., Herlina Pasaribu, S.Sn., Elisabet Vidia Siahaan. Penulis juga mengucapkan terimakasih banyak kepada Yosia Ginting yang selalu sabar dan memberikan semangat juga motivasi kepada penulis dalam menyelesaikan skripsi ini. Penulis beterimakasih kepada Kakak saya Ade Yohana Sitorus, S.Pd., yang selalu ada untu memberikan dorongan semangat kepada penulis untuk menyelesaikan skripsi ini. Penulis juga berterimakasih kepada Niko Sitanggang, S.Sn., Lois Situmorang, Yogi Sipayung, S.Sn, yang sudah memberikan banyak bantuan kepada penulis sehingga skripsi ini bisa selesai dengan baik. Penulis juga banyak

(9)

penulis ucapkan satu-persatu. Ucapan terimakasih juga penulis berikan kepada informan penulis yang sudah setia dan sabar dengan materi dan wawancara yang penulis lalui bersama informan kedapa bapak Khairil Asni Siregar dan juga Bapak Syahrimaan Irawadi Hutajulu.

Ahir kata penulis mengharapkan kritik dan saran yang membangun untuk kesempurnaan skripsi yang penulis kerjakan, sehingga dapat memberikan pengetahuan dan infromasi yang bermanfaat dala kesenian Sikambang dan juga tentang adat Sumando di masyarakat Pesisir serta dalam bidang ilmu Etnomusikologi. Terimakasih.

Medan,11 September 2020

Rigina Janet Sihombing NIM 130707026

(10)

DAFTAR ISI

PERNYATAAN ... v

ABSTRAK ... vi

KATA PENGANTAR ... vii

DAFTAR ISI ... x

DAFTAR GAMBAR, ... 85

DAFTAR TABEL ... 86

BAB I. PENDAHULUAN ... 1

1.1 Latar Belakang Masalah ... 1

1.2 Pokok Permasalahan... 6

1.3 Tujuan dan Manfaat Penelitian ... 6

1.3.1 Tujuan Penelitian ... 6

1.3.2 Manfaat Penelitian ... 7

1.4 Konsep dan Teori ... 7

1.4.1 Konsep ... 7

1.4.2 Teori ... 9

1.5 Metode Penelitian ... 12

1.5.1 Studi Kepustakaan ... 14

1.5.2 Observasi ... 14

1.5.3 Wawancara ... 15

1.5.3 Kerja Laboratorium ... 15

1.6 Lokasi Penelitian ... 16

BAB II. ETNOGRAFI UMUM MASYARAKAT SIJAGO-JAGO, KECAMATAN BADIRI ... 17

2.1 Wilayah Desa Sijago-jago ... 17

2.2 Unsur Kebudayaan Di Desa Sijago-jago ... 18

2.2.1 Sistem Mata Pencaharian ... 18

2.2.2 Sistem Kepercayaan ... 20

2.2.3 Sistem Kekerabatan ... 21

2.2.4 Bahasa ... 22

2.2.5 Kesenian ... 23

2.2.5.1 Alat Musik ... 24

2.2.5.2 Lagu ... 28

2.2.5.3 Tari ... 29

BAB III. DESKRIPSI UPACARA ADAT PERNIKAHAN DI DESA SIJAGO- JAGO, KECAMATA BADIRI ... 32

3.1 UpacaraAdat Pernikahan Masyarakat Desa Sijago-jago ... 32

3.2 Tahapan Upacara Adat Penikahan di Desa Sijago-jago ... 32

3.2.1 Risik-risik ... 33

3.2.2 Sirih Tanyo ... 34

3.2.3 Marisik ... 35

3.2.4 Maminang... 35

(11)

3.3.1 Upacara Adat Pernikahan Dengan Gala Duo Bale ... 44

3.3.2 Upacara Adat Perniakhan Dengan Gala Sambilan ... 45

3.4 Komponen Upacara Adat Pernikahan Di Desa Sijago-jago ... 46

3.4.1 Tempat Upacara Adat Pernikahan... 46

3.4.2 Waktu Upacara Adat Pernikahan ... 46

3.4.3 Benda dan Peralatan Upacara Adat Pernikahan ... 47

3.4.4 Pemimpin dan Peserta Upacara Adat Pernikahan ... 48

BAB IV. ANALISIS TEKSTUAL LAGU KAPULO PINANG DI DESA SIJAGO-JAGO ... 50

4.1 Susunan Lagu dan Tarian dalam Kesenian Sikambang ... 50

4.1.1 Lagu Kapri dan Tari Saputangan ... 50

4.1.2 Lagu Kapulo Pinang dan Tari Payung ... 51

4.1.3 Lagu Duo dan Tari Selendang ... 52

4.1.4 Lagu Dampeng dan Tari Rande ... 52

4.1.5 Lagu Siambag dan Tari Anak ... 53

4.2 Transkripsi ... 54

4.3 Susuna dan Bentuk Teks Lagu Kapulo Pinang ... 55

4.4 Analisis Semiotik Teks Lagu Kapulo Pinang ... 57

4.4.1 Makna Penanda ... 67

4.4.2 Makna Petanda ... 68

BAB V. FUNGSI LAGU KAPULO PINANG DALAM UPACARA ADAT PERNIKAHAN DI DESA SIJAGO-JAGO, KECAMATAN BADIRI ... 71

5.1 Fungsi Lagu Kapulo Pinang Dalam Upacara Adat Pernikahan ... 72

5.1.1 Pengintegrasian Masyarakat ... 72

5.1.2 Hiburan ... 73

5.1.3 Media Komunikasi……….. .. 73

5.1.4 Norma Sosial ... 74

5.1.5 Pengesahan Lembaga Sosial ... 74

5.1.6 Kesinambungan Budaya ... 75

5.1.7 Estetika ... 76

5.2 penggunaa Lagu Kapulo Pinang Dalam Upacara Adat Pernikahan ... 77

BAB VI. KESIMPULAN ... 78

6.1 Kesimpulan ... 78

6.2 Saran ... 80

DAFTAR PUSTAKA ... 82

DAFTAR INFORMAN ... 84

(12)

BAB I PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang Masalah

Manusia di dunia ini memiliki kesenian, yang menjadi bagian integral dari kebudayaan. Kesenian memiliki berbagai jenis, seperti: seni lukis, patung, lanskap, kerajinan, media, teater, tari, pantomim, musik, dan lain-lainnya.

Kesenian ini ada yang sebarannya populer dan menasional atau mendunia, namun ada juga yang sifatnya lokal, tergantung situasinya. Seni musik yang hidup dalam kebudayaan masyarakat, dapat dikaji melalui disiplin ilmu etnomusikologi.

Etnomusikologi sangat interdisipliner. Para ilmuwan yang bekerja dalam lapangan etnomusikologi ini berasal dari pelatihan musik, cerita rakyat, kajian pertunjukan, ilmuwan antropologi budaya, tari, studi ras dan etnik, studi kawasan, atau bidang lainnya dalam bidang ilmu-ilmu humaniora. Dalam hal ini, etnomusikolog berbagi landasan yang koherensi dalam pendekatan dan metodenya, seperti berikut: (1) Mengambil pendekatan global musik. (2) Memahami musik sebagai praktik sosial (melihat musik sebagai aktivitas manusia yang dibentuk oleh konteks budaya). (3) Melakukan penelitian lapangan etnografi (berpartisipasi aktif dalam mengamati musik yang sedang dipelajari, mengkaji tradisi musik baik sebagai pemain atau ahli teori), dan penelitian sejarah musik.

Sebagai peneliti, etnomusikolog belajar musik dari setiap bagian di dunia ini.

Etnomusikologi juga berperan dalam budaya masyarakat. Demikian pula yang penulis lakukan terhadap salah satu genre kesenian Melayu di pesisir barat

(13)

Kebudayaan Melayu telah melahirkan berbaga jenis kesenian yang tersebar di seluruh Nusantara, di antaranya adalah kesenian berbalas pantun.

Tulisan ini akan membahas lagu Kapulo Pinang dalam ensambel Sikambang, yaitu kesenian yang menggunakan vokal sebagai pembawa melodi utama. Dalam kesempatan ini penulis fokus mengangkat kesenian Sikambang dan makna tekstual dan fungsi dari lagu Kapulo Pinang yang dimiliki masyarakat Pesisir di Desa Sijago-jago, Kecamatan Badiri, Tapanuli Tengah. Sikambang sendiri terdiri dari kata Si dan Kambang yang berarti sebagai salah sau jenis musik yang ada dalam masyarakat Pesisir.

Kesenian Sikambang ini sangat sakral dalam upacara pernikahan adat pada masyarakat Pesisir, dalam setiap upacara adat pernikahan, kesenian Sikambang selalu dimainkan. Dalam kesempatan ini penulis meneliti upacara adat pernikahan masyarakat Pesisisir dari Desa Sijago-jago, Kecamatan Badiri, Tapanuli Tengah yaitu pada pernikahan anak daro1 Adinda Putri dan maralek2 M. Faisal Harahap pada tanggal 02 febuari 2018. Kesenian Sikambang memiliki beberapa jenis kesenian yaitu: (1) musik, (2) nyanyian (3) pantun dan (4) tarian. tarian dan musik yang sudah dipasangkan dan tidak dapat diubah.

Dalam pembagian jenisnya, kesenia Sikambang tersebut memiliki tarian dan musik yang sudah dipasangkan dan tidak dapat dirubah seperti: (1) Lagu Kapri dipasangkan dengan Tari Sapu Tangan, (2) Lagu Kapulo Pinang dipasangkan dengan Tari Payung dan Selendang, (3) Lagu Duo dipasangkan dengan Tari Selendang, (4) Dampeng dipasangkan dengan Tari Selendang, dan (5) Lagu Sikambang dipasangkan dengan Tari Anak. Setiap lagu dan tarian yang

(14)

dipasangkan dalam kesenian Sikambang ini memiliki arti dan nasehat terhadap muda-mudi yang sedang menjalin hubungan dan yang akan melaksanakan pernikahan.

Pantun lagu merupakan ekspresi seseorang tentang suatu hal yang sudah dilihat, maupun yang pernah dialaminya. Dalam mengekspesikan pengalamannya, pemain melakukan permainan kata-kata dan bahasa dalam menciptakan daya tarik dan ciri khas melalui lirik pada pantun. Permainan bahasa dalam hal ini dapat berupa permainan vokal, gaya bahasa maupun penyampaianan makna kata dan diperkuat dengan permainan melodi dan notasi musik yang yang disesuaikan dengan lirik lagunya, sehingga pendengar semakin terbawa dengan apa yang dipikirkan pengarangnya (Awe, 2003:51).

Lagu Kapulo Pinang ini berisi tentang pantun yang dinyayikan oleh pemusik Sikambang serta nasehat kepada anak daro1 yang akan melakukan pernikahan. Dalam pantun yang dinyanyikan oleh pemusik Sikambang berisikan tentang kesedihan hati sang pemuda yang pergi merantau meninggalkan wanita yang akan dipinangnya.

Berikut adalah syair pantun Kapulo Pinang, yang dinyanyikan oleh Bapak Syariman Irawadi Hutajulu saat penulis melakukan observasi awal pada tanggal 3 Februari 2018 dengan menggunakan Gala 12.

(1) Maule… ka Pulo lah Pinang, jiko la bala... i Ka Pulo lah Pinang... ambiklah haluan Maule... si timulah lawik, ambiklah haluan

1Anak daro adalah istilah yang digunakan oleh masyarakat pesisir kepada pengantin

(15)

Maule... si timulah lawik

[Maule… ke Pulau Pinang, jika telah berlayar Ke Pulau Pinang… ambil lah haluan (tujuan) Maule… si laut timur, ambil lah haluan Maule… si laut timur]

(2) Maule… ati ambo dak sanang, jikolah bala... i Ati ambo dak sanang... ailah mato

Maule... sapanjanglah lawik

Ailah mato, maule... sapanjanglah lawik

[Maule… Hati saya tidaklah senang, jika sudah berla…yar Hati saya tidak senang… air lah mata

Maule… Sepanjanglah laut

Airlah mata, maule… sepanjang laut]

(3) Maule... ambo banyanyi... bukanlah dek riang Ambo banyanyi... badanlah takana

Maule... pado untungnyo badanlah takana Maule... pado untungnyo

[Maule… saya bernyanyi… bukanlah karena senang Saya bernyanyi… badanlah terkenang (rindu) Maule… Sudah nasibnya badanlah terkenang Maule… Sudah nasibnya]

(4) Maule… buminyo lah kare… Pulo lah Pinang Buminyolah kare banyaklah dagang

(16)

Maule... pulang barutang banyaklah dagang Maule... pulang barutang

[Maule… tanahnya sudah mengeras… di Pulau Pinang Tananhnya sudah mengeras banyaklah berdagang Maule… banyak berdagang pulang ber hutang Maule… pulang ber hutang]

Secara kontekstual lagu Kapulo Pinang ini, biasanya digunakan sebagai hiburan dalam acara-acara pesta pernikahan, pesta budaya, dalam kebudayaan suku Pesisir. Lagu ini secara fungsional adalah sebagai pelanjutan generasi manusia suku Pesisir. Awalnya adalah nasehat kepada anak daro (calon mempelai wanita) kepada calon suamninya sangat sedih ketika merantau ke Pulau Pinang di sebelah timur laut Pesisir Sibolga dan Tapanuli Tengah ini. Lagu ini berisi tema bagaiman kerinduan kedua calon mempelai tersebut karena dipisahkan oleh jarak, dan demi kepentingan kehidupan rumah tangga mereka kelak, dalam kerangka menyiapkan ekonomi untuk pesta perkawinan (perhelatan) mereka. Jadi dengan demikian, lagu ini mengingatkan dua kekasih harus terus memupuk rasa cintanya dalam keadaan apapun, termasuk ketika berpisah untuk sementara. Kemudian ujung dari fungsi lagu ini adalah mereka kemudian melakukan pernikahan, berumah tangga dan memiliki keturunan, yakni meneruskan generasi manusia suku Pesisir.

Masing-masing lagu dalam kesenian Sikambang memiliki maksud-maksud tertentu. Maka dari itu penulis tertarik untuk menganalisis tekstual dan fungsional dari lagu Kapulo Pinang dan untuk dijadikan sebagai topik penelitian.

(17)

Berdasarkan penelitian di atas penulis tertarik untuk mengangkat topik ini menjadi bahan obeservasi karya ilmiah skripsi sarjana, dengan judul: Kajian Tekstual dan Fungsi Lagu Kapulo Pinang dalam Upacara Pernikahan di Desa Sijago-jago, Kecamatan Badiri, Tapanuli Tengah.

1.2 Pokok Permasalahan

Dalam uraian yang terdapat pada latar belakang masalah, maka dengan ini peniliti merumuskan masalah dalam penelitian ini sebagai berikut:

1. Bagaimanakah struktur dan makna teks dari lagu Kapulo Pinang dalam pernikahan dari Desa Sijago-jago Kecamatan Badiri Tapanuli Tengah?

2. Apakah fungsi dari lagu Kapulo Pinang dalam pernikahan dari Desa Sijago-jago Kecamatan Badiri Tapanuli Tengah?

1.3 Tujuan dan Manfaat Penelitian 1.3.1 Tujuan penelitian

Pada umumnya sebuah kegiatan penelitian berorientasi pada tujua tertentu.

Maka dengan demikian tujuan yang ingin dicapai dalam penelitian ini adalah:

1. Untuk menganalisis dan mengetahui makna tekstual dari lagu Lagu Kapulo Pinang dalam pernikahan dari Desa Sijago-jago Kecamatan Badiri Tapanuli Tengah.

2. Untuk menganalisis fungsi dari lagu Kapulo Pinang dalam pernikahan dari Desa Sijago-jago Kecamatan Badiri Tapanuli Tengah.

(18)

1.3.2 Manfaat Penelitian

Setelah penelitian ini rampung, peniliti berharap bahwa hasil dari penelitian tersebut dapat dimanfaatkan sebagai berikut:

1. Sebagai suatu perwujudan dari hasil yang peneliti dapatkan selama melaksanakan kegiatan perkuliahan di Departemen Etnomusikologi.

2. Sebagai bahan bacaan dan bahan informasi kepada masyarakat tentang musik Sikambang.

3. Sebagai bahan referensi dan acuan kepada peneliti berikutnya yang memiliki keterkaitan dengan topik penelitian ini.

1.4 Konsep dan Teori 1.4.1 Konsep

Konsep merupakan penggambaran atas imagi (citra) sebelumnya dengan meletakan perbedaannya (Schopenhaur 1992). Pemahaman konsep diperoleh melaui proses belajar. Sedangkan belajar merupakan proses kognitif (kepercayaan) yang melibatkan tiga proses yang berlangsung hampir bersamaan.

Ketiga proses tersebut yaitu: (1) memperoleh informasi baru, (2) transformasi informasi, dan (3) menguji relevansi dan ketetapan pengetahaun.

Dalam mencari ketiga proses diatas tidakakan lepas dari kata observasi dan pengamatan. Pengertian observasi adalah teknik pengumulan data yang dilakukan secara sistematis dan sengaja, yang dilakukan melalui pengamatan dan pencatatan gejala-gejala yang diselidiki. Dalam hal ini observasi dan pengamatan yang

(19)

dilakukan adalah observasi dan pengamatan mengenai analisis tekstual dan fungsi lagu Kapulo Pinang dalam pernikahan dari desa Sijago-jago, Kecamatan Badiri, KabupatenTapanuli Tengah.

Kajian merupakan kata jadian yang terbentuk dari kata “kaji” yang berarti mengkaji, mempelajari, memeriksa, mempertimbangkan secara matang, dan mendalami. Dari keterangan tersebut, dapat diketahui bahwa pengertian kata

“kajian” dalam hal ini adalah suatu penelitian atas pemeriksaan yang dilakukan dengan teliti (Badudu, 1982: 132).

Kajian tekstual adalah penguraian pengertian dari sebuah naskah, syair, dan lirik lagu sehingga dapat dipahami makna dari tiap kata ataupun kalimat yang diberikan. Fungsi adalah kegiatan yang memiliki peranan penting dalam sebuah acara seperti dalam pernikahan.Kesenian Sikambang pada umumnya ditampilkan dalam upacara-upacara adat dimasyarakat pesisir Tapanuli Tengah yang dimainkan oleh anak alek.2

Yang dimaksud dengan fungsi dalam tulisan ini adalah mengikuti konsep yang ditawarkan Merriam (1964:223-226). Menurutnya, penggunaan (uses) dan fungsi (function) merupakan salah satu masalah yang terpenting di dalam etnomusikologi. Penggunaan lagu Kapulo Pinang meliputi pemakaian dalam konteks pesta perkawinan, sedangkan fungsi mantra berkaitan dengan tujuan pemakaian mantra upacara tersebut, yakni melanjutkan generasi manusia suku Pesisir, serta ditambah fungsi-fungsi lain seperti: hiburan, estetika, komunikasi, emosi ungkapan kerinduan sepasang kekasih, dan lain-lain.

2Alek merupakan sebutan untuk pemain musik dan penari kesenian Sikambang di dalam acara adat pernikahan.

(20)

1.4.2 Kerangka Teori

Teori merupakan serangkaian bagian variabel, definisi, yang saling berhubungan yang menghadirkan sebuah pandangan sistematis mengenai fenomena denga menentukan hubungan antar variabel dengan maksud menjelaskan fenomena alamiah.

Setelah penjelasan diatas, maka didalam penulisan skripsi yang membahas tentang Analisis tekstual dan fungsi lagu Kapulo Pinang penulis menggunakan landasan teori semiotika dan teori fungsi yang dipakai oleh Allan P Merriam yaitu fungsi musik dalam pernikahan dan adat masyarakat juga teori semiotika penanda dan petanda yang dipakai oleh Ferdinand De Saussure.

Salah satu sumber daya untuk dapat memahami perilaku manusia melalui hubungannya dengan musik adalah teks. Meskipun teks adalah perilaku bahasa, tetapi bunyi musik dan teks merupakan satu bagian integral dalam musik (Merriam1964:187). Dalam musik vokal Kapulo Pinang, teks merupakan karakteristik penting. Dimana melodi yang sama dinyanyikan dengan teks yang berbeda-beda(strophic).

Studi teks juga memberikan kesempatan dalam menemukan hubungan- hubungan antara aksen bahasa dan aksen musik sebagai reaksi musikal (Nettl 1977:9).Untuk menganalisa struktur teks Kapulo Pinang, penulis berpedoman pada teori semiotika. Selanjutnya, teori ini digunakan dalam usaha untuk memahami bagaimana makna diciptakan dan dikomunikasikan melalui simbol yang membangun peristiwa seni. Istilah semiotik berasal dari bahasa Yunani, semeion. Tokoh perintis teori semiotika adalah Ferdinand de Saussure seorang

(21)

ahli bahasa dari Swiss dan Michael Alexander Kirkwood Hallidayseorang ahli bahasa dari Inggris. Saussure melihat bahasa sebagai sistem yang membuat lambang bahasa itu terdiri dari sebuah imajinasi bunyi (sound image) ata signifier yang berhubungan dengan konsep (signified). Setia bahasa mempunyai lambang bunyi tersendiri.

Halliday melihat bahasa dalam dua hal pengertian lambang bahasa dalam makna konotatif (terbangun dari sikap sosial) dan makna denotative (wajar dan terkonseptual).Dalam kajian kesenian berarti kita harus memperhitungkan peranan seniman pelaku dan penonton sebagai pengamat dari usaha kita untuk memahami proses penciptaan.

Dalam memahami fungsi lagu Kapulo Pinang dalam adat pernikahan di desa Sijago-jago Kecamatan Badiri Tapanuli Tengah, penulis menggunakan teori fungsionalisme (atau disebut uses and function) oleh Merriam (1964).

Teori fungsionalisme adalah salah satu teori yang digunakan dalam ilmu sosial, yang menekankan saling ketergantungan dalam masyarakat-institusi dan kebiasaan dalam lingkungan masyarakat tertentu.Yang dimaksud dengan institusi adalah seperti Negara, agama, keluarga, aliran dalam masyarakat tertentu.

Dalam disiplin ilmu Merriam (1964:7-18) menyebutkan bahwa dalam studi etnomusikologi, maka para ahlinya tidak bisa terlepas dari konteks kebudayaan secara keseluruhan. Untuk memahami fungsi musik khususnya lagu KapuloPinang, penulis berpedoman kepada pendapat Allan P. Merriam (1964:209-226) yang menyatakan tentang penggunaan dan fungsi musik yang meliputi perihal pemakaian musik dan konteks pemakaian atau bagaimana musik

(22)

itu digunakan. Dalam hal penggunaan yang dikemukakan oleh Merriam (1964217-218) perihal penggunaan musik sebagai berikut: (1) penggunaan musik dengan kebudayaan material (2) penggunaan musik dengan kelembagaan sosial, (3) penggunanaan musik dengan manusia dan alam (4) penggunaan musik dengan nilai-nilai estetika, dan (5) penggunaan musik dengan bahasa.

Dalam hal ini, untuk menemukan jawaban perihal fungsi musik, Merriam menyebutkan bahwa terdapat sepuluh fungsi musik dalam ilmu etnomusikologi yaitu: (1) fungsi pengungkapan emosional, (2) fungsi pengungkapan estetika, (3) fungsi hiburan, (4) fungsi komunikasi, (5) fungsi perlambangan, (6) fungsi reaksi, (7) fungsi yang berkaitan dengan norma sosial, (8) fungsi pengesahan lembaga sosial, (9) fungsi kesinambungan budaya, dan (10) fungsi pengintegrasian masyarakat.

Selanjutnya secara tegas Merriam menjelaskan perbedaan pengertian fungsi ini dalam dua istilah yaitu, penggunaan dan fungsi. Menurut Merriam, membedakan pengertian penggunaan dan fungsi adalah penting. Jika berbicara tentang penggunaan musik, maka itu merujuk keapada hal kebiasaan (the ways) musik dipergunakan dalam masyarakat, sebagai praktik yang biasa dilakukan, atau sebagai bagian dari pelaksanaan adat istiadat, baik ditinjau dari aktivitas itu sendiri maupun kaitannya dengan aktivitas-aktivitas lain (1964:210).

Music is used in certain situation and becomes a part of them, but it may or may not also have a deeper function. If the lover uses song to who his love, the function of such music may be analyzed as the continuity abd perpetuation of the biogocal group. When the supplicant uses music to approach his god, he is employing a particular mechanism in conjiction with other mechanism as such as dance, prayer, organized ritual, and ceremonial acts. The function of

(23)

religions wich may perhaps be interrepted as the establishment of a sense of security vis-à-vis the universe. “Use” them, refers to the situation in wich music is employed in human action; “function”

concerbs the reason for its employment and particulary the broader purpose wich it serve (1964:210).

Penggunaan dan fungsi musik berdasarkan kepada tahap dan pengaruhnya dalam masyarakat tertentu. Musik dipergunakan dalam situasi tertentu dan menjadi bagian dari situasi tersebut. Jika seseorang menggunakan musik untuk mendekatkan diri kepada Tuhan, maka mekanisme tersebut berhubungan dengan mekanisme lain seperti menari, berdoa, mengorganisasikan ritual dan kegiatan uapacara. “Penggunaan” menunjukan situasi musik yang dipakai dalam kegiatan manusia; sedangkan “fungsi” berkaitan dengan alasan mengapa sipemakai melakukan, dan terutama tujuan-tujuan yang lebih jauh dari sekedar apa yang dapat dilayani oleh adanya musik itu.

Diharapkan dengan menggunakan kedua teori ini penulis dapat menyelesaikan penelitiannya dan dapat mengatasi tiap-tiap masalah yang muncul selama penelitian berlangsung. Teori ini akan mengarahkan penulis dalam mengkaji dua aspek dari lagu Kapulo Pinang, yakni makna teks dan fungsinya.

1.5 Metode Penelitian

Metode penelitian adalah sekumpulan peraturan, kegiatan, dan prosedur yang digunakan oleh seorang disiplin ilmu yang melakukan penelitian. Metode penelitian juga merupakan analisis teoritis mengenai suatu cara untuk mencapai hasil dari suatu penelitian.

(24)

Menurut Faisal (1992:17-35) terdapat lima format penelitian ilmu-ilmu sosial. Yang dimaksud adalah: (1) penelitian deksriptif, (2) penelitian eksplanasi, (3) studi kasus, (4) survey, (5) eksperimen. Seperti yang telah disebutkan bahwa penelitian ini menggunakan format deskriptif. Yang dimaksud dengan penelitian dekskriptif (descriptive research) yang biasa juga disebut dengan penelitian taksonomik, dimaksudkan untuk eksplorasi dan klarifikasi mengenai satu fenomena atau kenyataan sosial, dengan jalan mendeskripsikan sejumlah variabel yang berkenaan dengan masalah dan unit yang diteliti.Jenis pendekatan ini tidak sampai mempersoalkan jalinan hubungan antar variabel yang ada.

Selanjutnya yang dimaksud dengan pendekatan kualitatif dalam penelitian ini, adalah dikutip dari pendapat Denzin (2000:6) yang menjelaskan bahwa penelitian kualitatif menekankan sifat realistis yang terbangun secara sosial, hubungan erat antara peneliti dengan subjek yang diteliti, dan tekanan situasi yang membentuk penelitian. Peneliti akan mencari jawaban dari pertanyaan yang menyoroti munculnya pengalaman social sekaligus dengan maknanya. Penelitian kualitatif ini teguh dengan sudut pandang naturalistik sekaligus kukuh dengan pemahaman interpretif mengenai pengalaman manusia (Nelson dkk. dalam Denzin dan Lincoln, 2009:5).

Dalam penelitian ini, penulis mengumpulkan data yang penulis butuhkan dengan menggunakan metode penelitian deksriptif dengan pendekatan kualitatif untuk memahami permasalahan yang penulis temukan saat penelitian berlangsung.Adapun teknik pengumpulan data yang dipakai dalam peneletian ini adalah mencakup: (a) studi kepustakaan, (b) observasi, (c) wawancara, (d) kerja

(25)

laboratorium. Keempat teknik ini dapat dijabarkan sebagai bahan dalam mengumpulkan hasil penelitian yang peneliti kerjakan.

1.5.1 Studi Kepustakaan

Sebelum mengadakan penlitian lapangan, terlebih dahulu penulis melakukan studi kepustakaan. Penulis mencari informasi dan referensi untuk mendapatkan pengetahuan dasar serta memperluas wawasan pengetahuan penulis dalam menyelesaikan sebuah penelitian ilmiah. Dalam hal ini, penulis menggunakan referensi berupa buku dan sebagian besar dari beberapa karya ilmiah yang berkaitan dengan kebudayan Sikambang. Selain itu dalam studi kepustakaan ini juga penulis membaca dan mengutip bahan yang relevan dan memiliki keterkaitan dengan objek penelitian dari majalah, situs internet, dan catatan yang berkaitan dengan objek penelitian.

1.5.2 Observasi

Teknik pengumpulan data dengan observasi adalah metode yang digunakan dengan menggunakan pengamatan dan pengindraan untuk menghimpun data penelitian yang dilakukan secara sengaja. Sesuai dengan pendapat di atas maka penelitian yang dilakukan di lapangan adalah dengan cara peneliti terlibat langsung agar dapat mengamati serta memahami objek yang diteliti. Disamping itu hal ini bertujuan untuk menciptakan komunikasi serta interaksi yang baik antara penulis dengan objek penelitian itu sendiri sehingga data yang diperoleh lebih akurat.

(26)

1.5.3 Wawancara

Wawancara adalah percakapan antara dua orang atau lebih dan berlangsung antara narasumber dan pewawancara. Tujuan dari wawancara adalah untuk mendapatkan informasi dimana pewawancara melontarkan pertanyaan untuk dijawab kemudian dijawab oleh narasumber atau orang yang diwawancarai.

Wawancara merupakan bagian yang sangat penting dalam mengerjakan sebuah objek penelitian dimana dimana data tersebut memerluan kejelian dan teknik tertentu.

Adapun teknik wawancara yang penulis lakukan adalah wawancara berfokus (focus interview) yaitu membuat pertanyaan berpusat pada pokok permasalahan. Selin itu adalah wawancara bebas (free interview) yaitu pertanyaan yang tidak hanya berfokus pada pokok pernasalahan saja tetapi pertanyaan berkembang pada pokok permasalahan lainnya yang bertujuan untuk mendapatkan data lainnya tetapi tidak meyimpang dari pokok permasalahan (Koentjaraningrat, 1985:139). Dalam wawancara ini penulis menggunakan media rekam dan kamera sebagai alat utnuk pengambilan dan penyimpanan data yang diperlukan dari informan yang penulis wawancarai.

1.5.4 Kerja Laboratorium

Etnomusikologi bukan hanya sebuah disiplin lapangan, tetapi juga merupakan disiplin laboratorium. Maka semua data yang diperoleh penulis dari berbagai sumber saat pengambilan data di lapangan dicatat, kemudian diolah dan dianalisis dengan teliti.

(27)

Selanjutnya, hasil olahan dan analisis data tersebut kemudian akan dijadikan dalam bentuk karya tulisan berupa data tulisan, gambar, dan suara atau rekaman yang disusun secara sitematis. Hasil dari dari olahan dalam kerja laboratorium ini dapat dilihat dalam suatu bentuk laporan karya ilmiah atau skripsi.

1.6 Lokasi Penelitian

Adapun lokasi penelitian penulis adalah di Kecamatan Badiri kabupaten Tapanuli Tengah serta kecamatan Sibolga kabupaten Tapanuli Tengah dimana lokasi tersebut merupakan kediaman dari narasumber bapak Khairil Husni Siregar serta kelompoknya dan bapak Syariman Irawadi Hutajulu serta kelompoknya sebagai tokoh kesenian Sikambang dan ditempat yang telah peneliti sebutkan sebelumnya berkarya dan berkreasi dalam memainkan musik Sikambang.

.

(28)

BAB II

ETNOGRAFI UMUM MASYARAKAT SIJAGO-JAGO, KECAMATAN BADIRI

Pada bab II ini penulis akan meberikan gambaran mengenai kadaan lingkungan masyarakat Pesisir yang berada di Desa Sijago-jago, Tapanuli Tengah seperti wilayah desa desa Sijago-jago, mata pencaharian, sistem kepercayaan, sistem kekerabatan, bahasa, dan kesenian. Hal ini menurut penulis perlu diuraikan satu persatu secara terperinci. Penulis bertujuan untuk lebih mengenalkan daerah penelitian dan juga sebagai bahan nformasi yang penulis harapkan dapat berguna dikemudian hari.

2.1 Wilayah Desa Sijago-jago

Dalam bab ini penulis menjelaskan tentang lokasi penelitian dengan tujuan umum. Dalam tujuan umum ini penulis akan menjelaskan mengenai lokasi penelitian masyarakat pesisir yag berada di Desa Sijago-jago. Suku Pesisir adalah salah satu suku yang terdapat di Provinsi Sumatera Utara tepatnya yang berada di Tapanuli Tengah Desa Sijago-jago. Desa Sijago-jago ini sendiri merupakan gabungan dari suku pesisir dan suku lainnya yang menetap lama di desa Sijago- jago dan melakukan perkawinan dengan suku berbeda yang tinggal di desa Sijago- jago tersebut. Maka dari itu suku ini bisa dikatakan bukan suku asli dari Tapanuli Tengah. Kata dari Pesisir itu sendiri memiliki arti sebagai “penumpang” (menurut narasumber peneliti bapak Khairil Husni Siregar).

(29)

Table 2.1 Luas Wilayah Desa Sijago-jago

No Kecamatan Luas Wilayah

1 Utara Samudera Indonesia

2 Selatan Kecamatan Pinang Sori

3 Timur Desa Lo Pian dan Kel.

Hutabalang

4 Barat Desa Sitardas

Sumber Kelurahan Desa Sijgao-jago

Desa sijago-jago ini terleak di derah kecamatan Badiri yang memiliki luas wilayah 129,49km2, 5Km dari garis pantai. Luas lautan 400Km2 dan garis pantai 200Km2 dari batas wilayah Kabupaten Tapanuli Tengah.

2.2 Unsur Kebudayaan di Desa Sijago-jago

Koentjaranigrat mengatakan dalam bukunya Pengantar Ilmu Antropologi bahwa ada 7 unsur yang membentuk kebudayaan masyarakat (Koentjaraningrat, Pengantar Ilmu Antropologi 1979:333). Namun, dalam pembahasan ini penulis hanya akan membahas 5 dari ke-7 unsur yang membentuk kebudaayaan yaitu, (1) Mata Pencaharian, (2) Sistem Kepercayaan, (3) Sistem kekerabatan, (4) Bahasa dan (5) Kesenian.

2.2.1 Sistem Mata Pencaharian

Secara klimatologis daerah pesisir memiliki 2 musim, yaitu musim kemarau dan musim penghujan. Diantara kedua musim ini sering disebut sebagai

(30)

musim pancaroba yang diselingi pada saat pergantian musim. Perubahan musim juga sangat mempengaruhi aktivitas masyarakat pesisir. Biasanya pada musim kemarau para ibu-ibu masyarakat pesisir Tapanuli Tengah melakukan pekerjaan seperti merebus ikan dan kemudian dijemur. Kegiatan ini sering dilakukan para ibu-ibu untuk mebantu perekonomian eluarga dan juga menjadi salah satu mata pencaharian dalam masyarakat pesisir. Setelah ikan yang dijemur terebut kering, ikan kemudian dikemas untuk dijual ke pasaran. Ikan ini kemudian kita kenal dengan istilah ikan asin.

Bila musim berganti ke musim pancaroba maka para nelayan tidak akan pergi melaut dikarenakan cuaca dan arah angin yang tidak dapat diprediksi oleh para nelayan, bahkan juga sering disertai dengan hujan ataupun badai.

Berikut adalah jenis mata pencaharian sebagai nelayan dan caranya di desa Sijago-jago:

1. Nelayan Penjaring

Nelayan penjaring adalah nelayan yang menangkap ikan dengan menggunakan jaring. Jaring ini bisa digerakan oleh mesin yang juga dibantu dengn tenaga manusia bersama-sama. Wilayah tangkapan oleh nelayan penjaring berada dari tengah laut samapi ke darat.

2. Nelayan Puke Tapi

Nelaya puke tapi adalah nelayan yang menangkap ikan dengan menggunakan pukat. Pekerjaan ini dilakukan dengan menggunaan tenaga manusia. Para nelayan akan meletakan pukat sejauh 1km dari

(31)

pinggir pantai, bila ikan sudah masuk perangkap maka pukat ini akan di tarik dari pinggir pantai.

3. Nelayan Pamuke

Nelaya pamuke adalah nelayan yang menggunakan jaring atau pukat untuk menangkap ikan. Untuk mengangkat pukat atau jaring tersebut nelayan akan menggunakan tenaga manusia juga dengan banuan tenaga mesin.

4. Pengrajin Nipah

Sebagian besar penduduk juga berprofesi sebagai pengrajin tangan pokok nipah sebagai salah satu mata pencaharian masyarakat yang berada di desa sijago-jago.

Selain berprofesi sebagai nelayan masyarakat desa Sijago-jago juga ada yang bekerja sebagai Wirausaha, TNI, PNS, Polisi, dan profesi umum lainnya.

Hal ini terjadi dikarenakan penduduk menjadi aspek terpenting dalam pelaksanaan dan pengembangan kebudayaan.

2.2.2 Sistem Kepercayaan dan Religi

Pada tahun 1858 masyarakat Kuria Pesisir masih menganut kepercayaan terhadap roh nenek moyang, sedangkan masyarakat yang tinggal di pulau-pulau sekitar Tapian Nauli sudah beragama Islam. Masuk melalui pantai Barus masyarakat yang tinggal di Tapian Nauli menyebut orang Kuria sebagai orang yang masih memiliki kepercayaan terhadap hantu atau roh leluhur. Kemudian pada tahun 1680 penyebaran agama Islam semakin luas dan orang Kuria atau

(32)

penduduk asli tersebut sudah mulai banyak yang memeluk agama Islam, dan melalui ini ikatan perkawinan dilakukan oleh Datuk atau yang kita kenal dengan istilah sebagai Kepala Suku.

Secara keseluruhan, masyarakat Pesisir kemudian memeluk agama Islam.

Adat Sumando menjadi dasar yang digunakan masyarakat karena dalam adat ini menjunjung syariat dan syariat bersendikan kitabullah. Hal ini kemudian diartikan bahwa Suku Pesisir mengedasarkan ide, pelaksaan, dan penghayatan ajaran Agama Islam dan adat Sumando.

Seluruh tingkah laku dan perbuatan masyarakat sehari-hari sudah disesuaikan dengan norma dan ajaran Agama Islam. Hukum yang berlaku juga sesuai dengan ajaran Agama Islam. Dimana dalam pembagian harta warisan akan diberikan kepada anak laki-laki dan perempuan secara merata atau mendapatkan bagian yang sama. Hal ini dapat dilakukan atas kesepakatan bersama, namun jika anak laki-laki tidak menyetujui maka akan kembali ke ajaran Hukum Islam (Faraid) yaitu anak laki-laki mendapatkan dua bagian dari harta warisan sedangkan anak perempuan mendapatkan satu bagian dari harta warisan, tetapi rumah dan emas menjadi milik anak perempuan. Hal ini diartikan bila saudara laki-laki mengunjungi kampung halamannya mereka akan mengunjungi saudari mereka.

2.2.3 Sistem Kekerabatan

Pada umumnya sistem kekerabatan pada masyarakat di Desa Sijago-jago, Kecamatan Badiri berdasarkan garis keturunannya ditarik dari pihak laki-laki atau

(33)

bisa dikenal dengan istilah patrilinear. Patrilinear berarti garis keturunan diwariskan oleh pihak ayah. Garis keturunan tersebut dilihat dari marga yang dibawah oleh keturunan. Contoh, seorang laki-laki yang bermarga Pasaribu menikahi perempuan berboru Nainggolan, maka secara garis keturunan anak-anak mereka akan memiliki marga ayahnya yaitu marga Pasaribu.

Dalam adat masyarakat Desa Sijago-jago ada beberapa adat atau istilah yang digunakan unuk memanggil setiap anggota keluarga. Ini dikenal dengan istilah Baso. Berikut ini bebrapa contoh:

1. Angku adalah Kakek 2. Uci adalah Nenek 3. Aya adalah Ayah 4. Umak adalah Ibu 5. Ogek adalah Abang 6. Uning adalah Kakak 7. Ta’ajo adalah Abang ipar 8. Oncu adalah Tante 9. Ta’uti adalah Kakak ipar 10. Pak Oncu adalah Paman

2.2.4 Bahasa

Bahasa merupakan alat komunikasi yang digunakan untuk menyampaikan keinginan dan juga maksud kepada orang lain dengan cara tulisan, lisan, dan isyarat atau gerakan. Bahasa yang digunakan masyarakat di Desa Sijago-jago,

(34)

Kecamatan Badiri sehari-hari adalah Baso Pasisi (Bahasa Pesisir). Bahasa ini memiliki peranan penting dalam budaya masyarakat, diantaranya adalah kata sambutan (perkawinan, nasihat, tamu), peribahasa, kesenian, dan silsilah atau jenjang umur dalam keluarga. Bahasa ini adalah wujud hubungan persaudaraan dan penuh dengan keakraban yang mengandung pepatah dan mampu menyentuh perasaan.

2.2.5 Kesenian

Kesenian pada umumnya melambangkan kebudayaan dari satu tempat atau daerah yang memiliki peran dan arti penting juga mendalam untuk penggunaannya. Kesenian juga bisa menjadi identitas bagi masyarakat yang mendiami daerah tersebut. Sama halnya dengan kesenian yang dimiliki masyarakat di Desa Sijago-jago, Kecamatan Badiri. Kesenian ini lazim dengan suku Pesisir dan kesenian ini disebut juga dengan kesenian Pesisir Sikambang.

Secara umum kesenian ini mewakili seluruh kesenian yang berlaku dimasyarakat Pesisir Pantai Barat Sumatera, mulai dari Meulaboh di Banda Aceh sampai ke Tapanuli, juga berlaku di Kepulauan Nias dan Pulau Telo.

Kesenian sikambang biasanya digelar dalam berbagai acara baik yang berupa upacara adat ataupun sebagai hiburan seni budaya. Upacara adat yang dimaksudkan adalah upacara pernikahan, upacara Sunat Rasul (Khitanan), penobatan gelar, peresmian, menabalkan nama, menganyun anak.

Arti dari Sikambang ini sendiri berasal dari kat “Si” dan “Kambang”. Kata

“si” ini merupakan kata sandang yang diletakkn di depan sebuah nama.

(35)

Sedangkan kata “Kambang” ini merupakan sebuah nama. Menurut cerita rakyat Sikambang ini adalah seorang pemuda yang terdampar di sekitaran Pantai Barat Sumatera dan sepanjang perjalanannya menyusuri Pantai Barat Sikambang ini selalu bersenandung dengan menggunakan peribahasa ungkapan sambil mengetuk badan kapalnya.

Beberapa pengertian yang diberikan masyarakat di Desa Sijago-jago, yaitu;

1. Nama salah satu seni pertunjukan dalam masyarakat 2. Salah satu jenis ensambel musik pada masyarakat Pesisir 3. Merupan sebutan atau istilah yang akrab dengan masyarakat

Dalam penyajiannya, kesenian sikambang dibagi menjadi empat bagian, yakni alat musik, lagu, tari, dan pantun. Keseluruhan bagian ini memiliki ciri khas dan karakter sendiri baik itu dalam syair pantun, gerakan tarian, dan melodi lagunya itu sendiri.

2.2.5.1 Alat Musik

Alat musik yang terdapat dalam kesenianSikambang adalah sebagai berikut:

1. Gondang sikambang. Alat musik ini termasuk dalam klasifikasi membranofon yang dipukul langsung (directly struck membranophones). Badannya terbuat dari dari kayu, satu sisinya dilapisi dengan kulit dan satu sisinya lagi dibiarkan kosong. Satu sisi yang kosong ini diikat dengan rotan dan diganjal. Gondang ini berfungsi sebagai pembawa ritme yang konstan.

(36)

Gambar 2.1 Alat Musik Gandang Sikambang (Dokumentasi Penulis)

2. Biola. Alat musik ini diklasifikasikan ke dalam kordofon lute spike fiddle. Cara memainkannya dengan menggesek dawainya untuk menghasilkan bunyi. Biola didalam ensambel ini berperan sebagai pembawa melodi

(37)

Gambar 2.2 Alat Musik Biola Sikambang (Dokumentasi Penulis)

3. Akordeon. Alat musik ini diklasifikasikan kedalam aerofon reed- bebas (free-reed aerophones) yang dimainkan dengan cara mengembangkempiskan kantung udara sambil memainkan tombol akor dengan jari kiri sedangkan jari kanan memainkan tuts melodi. Akordeon berperan sebagai pembawa melodi.

(38)

Gambar 2.3 Alat Musik Akordeon Sikambang ( Dokumentasi Penulis) 4. Singkadu. Alat musik ini diklasifikasikan kedalam aerofon flute

tiup-ujung (end-blow flute aerophones). Terbuat dari bambu dengan panjang 25cm dan memiliki tujuh lubang pada bagian atas berjarak 1cm setiap masing-masing lubang. Alat musik ini berperan sebagai pembawa melodi.

Gambar 2.4 Alat Musik Singkadu (Jurnal Unimed)

(39)

5. Carano. Alat musik ini diklasifikasikan kedalam kelas idiofon, terbuat dari tembaga menjadikan alat musik ini menjadikan badannya sebagai penghasil bunyi utama. Alat musik ini berperan sebagai pembawa tempo.

Alat musik biola dan akordeon adalah alat musik yang diadaptasi dari alat musik Eropa. Dibawa oleh bangsa Eropa pada abad ke-16 yang datang untuk berdagang dan juga mencari rempah-rempah dipelabuhan Barus. Kemudian alat musik ini dipakai oleh masyarakat dalam ensambel Sikambang. Alat musik ini juga menjadi sering dimainkan untuk menigiri vokal atau lagu disetiap kesenian Sikambang.

2.2.5.2 Lagu

Lagu dalam kesenian Sikambang punya hubungan erat dengan seni berbalas pantun. Teks lagu dari kesenian Sikambang merupakan pantung yang diambil dari kehidupan masyarakat suku Pesisir, terdiri dari dua bagian, yaitu (1) sampiran pantun berisikan tentan ungkapan tentang alam, tempat tinggal dan semua hal tentang hal kehidupan ; (2) isi pantun berisikan sesuatu yang ingin disampaikan, misalnya perasaan ungkapan kesedihan, kasih sayang, nasihat, pujian, dan sindiran.

Pantun dalam kesenian ini dibawakan secara bersahut-sahutan atau biasa kita kenal dengan saling berbalas pantun dari satu pantun ke pantun berikutnya.

Teks lagu disesuaikan dengan pembawanya dengan berbagai cara, misalkan pengulangan baris, penambahan kalimat yang berisi penjelasan dari maksud

(40)

pantun yang dibawakan bisa berarti pengurangan, pergantian, atau pengurangan kata.

1. Lagu Kapri, lagu pembuka 2. Lagu Kapulo Pinang, lagu inti 3. Lagu Duo, lagu inti

4. Lagu Talibun, lagu inti 5. Lagu Dampeng, lagu inti 6. Lagu Sikambang, lagu penutup

Sesuai dengan urutan lagu, dalam upacara adat kelima bagian lagu ini bersifat terikat dan tidak bisa dipisahkan dalam penyajiannya diupacara adat satu sama lainnya. Dikatakan terikat dan tidak dapat dipisahkan hal ini karena lagu ini menggambarkan siklus kehidupan seorang manusia.

2.2.5.3 Tari

Dalam kesenian Sikambang tari sangat erat kaitannya dengan lagu-lagu Sikambang. Dari keenam lagu diatas, ada lima jenis tari pula dalam kesenian Sikambang yang ditarikan dalam setiap upacara adat di Desa Sijago-jago, Kecamatan Badiri, yaitu:

1. Tari Sapu Tangan diiringi dengan lagu Kapri. Tarian ini merupakan tari pembuka untuk memulai setiap tarian pada setiap uapacara pernikahan.

Seperti nama tariannya, tarian ini menngunakan sapu tangan sebagai media tariannya. Sapu tangan melambangkan perasaan hati seorang pemuda kepada pemudi yang disukai pada saat terang bulan. Karena, ketika terang

(41)

bulan para nelayan tidak akan pergi melaut. Pada saat inilah para pemudi dan pemuda menngunakan waktu utnuk saling bersenda gurau sambil mempererat hubungan silahturrahmi.

2. Tari Payung diiringi dengan lagu Kapulo Pinang. Tarian ini merupakan tarian muda-mudi, dimana pemuda menggunakan payung dan pemudi menggunakan selendang. Lagu ini juga dikenal dengan tahap pertunangan. Hal ini dapat terjadi karena si pemuda telah menambatkan hatinya kepada si pemudi.

3. Tari Selendang. Tarian ini diiringi dengan lagu Duo, merupakan tarian kepahlawanan dengan gerakan silat yang halus. Tarian ini dilakukan juga secara berpasangan dimana sipemuda dan pemudi menngunakan selendang dengan menggunakan gerakan yang sama.

4. Tari Rande. Tarian ini diiringi dengan lagu Dampeng. Tarian ini umumnya ditarikan oleh sekelompok laki-laki dan bersifat hiburan.

Gerakan yang paling umum dari tarian ini adalah gerakan berputar mengelilingi titik tengah berulangkali sampai lagu selesai.

5. Tari Anak. Tarian ini diiringi dengan lagu Sikambang. Tarian ini dilakukan secara berpasangan. Selendang dilambangkan sebagai perlindungan kepada anak dari semua gangguan yang menimbulkan penyakit dan mara bahaya. Khususnya tarian ini melambangkan ungkapan kasih sayang dari suami kepada istri, dan orangtua kepada anaknya.

(42)
(43)

BAB III

DESKRIPSI UPACARA ADAT PERNIKAHAN DI DESA SIJAGO-JAGO, KECAMATAN BADIRI

Dalam bab ini penulis akan mendeskripsikan tentang upacara pernikahan yang sudah penulis teliti dengan menggunakan beberapa metode penelitian, salah satunya adalah ikut terlibat langsung dalam upacara adat pernikahan di Desa Sijago-jago, Kecamatan Badiri.

3.1 UpacaraAdat Pernikahan Masyarakat Desa Sijago-jago

Pernikahan dilakukan sebagai wujud sistem budaya dan sosial masyarakat.

Unsur tersebut secara terperinci disebut kedalam adat-istiadat dan aktivitas sosial yang dikenal dengan upacara adat pernikahan Sumando. Ada beberapa tahapan yang dilakukan dalam melksanakan adat uapara pernikahan Sumando, yaitu: (1) Risik-risik, (2) Sirih tanyo, (3) Marisik, (4) Maminang, (5) Manganta, (6) Mata Karajo, (7) Balik Ari atau Tapanggi.

Seluruh rangkaian upacara adat yang ada dalam konteks budaya dan secara Agama Islam banyak mengandung makna tersirat. Setiap makna tersebut disimpan pada tahap upacara adat pernikahan, termasuk juga adat upacara pernikahan masyarakat di Desa Sijago-jago, Kecamatan Badiri.

3.2 Tahapan Upacara Adat Penikahan di Desa Sijago-jago

Setiap tahap dalam adat upacara pernikahan dilaksanakan dalam konteks budaya namun hal ini juga tetap memegang kuat nilai-nilai Agama Islam. Hal ini

(44)

terlihat pada setiap rangkaian acara, dimulai dari tahap menjalin silahturahmi yaitu keluarga pihak mempelai laki-laki mengunjungi keluarga mempelai pihak perempuan. Kemudian dari jalinan silahturahmi ini hubungan terjalin untuk saling menghormati, bermusyawarah, dan melangsungkan tradisi bertujuan untuk mendoakan kedua pengantin. Setelah semua tahapan itu, keluarga perempuan mnegunjungi keluarga laki-laki. Setiap unsur yang terlibat dalam upacara adat pernikahan ini adalah kedua pihak keluarga, kepala desa, pengemuka agama dan kerabat kedua pengantin.

Ada tujuh tahap dalam melaksanakan upacara adat pernikahan di Desa Sijago-jago, Kecamatan Badiri, di antaranya: (1) Risik-risik, (2) Sirih Tanyo, (3) Marisik, (4) Maminang, (5) Manganta Kepeng, (6) Mato Karajo; dan (7) Tapanggi. Namun pada saat penulis melakukan penelitian ketujuh tahapan ini dilakukan dalam waktu semalam saja sebelum melakukan pesta dengan menggunakan Gala dikarenakan keterbatasan jarak dan ekonomi juga untuk menghemat waktu. Hal ini juga dilakukan hanya sebagai sekedar syarat tahap untuk melangsungkan upacara adat pernikahan. Menurut pelaku kesenian Sikambang hal ini sering terjadi karena kurang kesadaran dan pemahaman betapa pentingnya setiap tahapan yang ada. Ketujuh tahapan ini merupakan pelaksaanan dari tradisi Sumando.

3.2.1 Tahapan Risik-risik

Pada tahap ini sang ibu dan anak laki-lakinya akan mulai berbincang tentang keinginan si anak untuk dicarikan jodoh dan menikahkan anaknya.

(45)

Tentunya untuk kriteria yang sesuai dalam sebuah pernikahan adalah yang sudah cukup umur dan akhil baligh didalam Agama dan Hukum Islam telah mencapai tahap kedewasaan. Kemudian sang ibu akan memberitahukan kepada suami dan anak-anaknya serta sanak saudara. Keluarga laki-laki akan berdiskusi untuk menentukan talangke (wakil) yang akan bertugas menjadi juru bicara pada saat mencari calon istri untuk si anak laki-laki. Talangke ini adalah ibu-ibu yang diutus keluarga pihak laki-laki.

Pelaksanaan risik-risik ini dilakukan secara santai. Setelah talangke menyampaikan hasil risik-risik kepada keluarga laki-laki, maka setelahnya orangtua laki-laki akan mempersiapkan dan bertanya kesediaan orangtua dari perempuan tersebut.

Inilah proses dan tahap awal dari sebuah upacara adat pernikahan di masyarakat Desa Sijago-jago, Kecamatan Badiri. Namun biasanya keluarga pengantin yang melakukan tahapan-tahapan ini yang memiliki kemampuan ekonomi menengah ke atas.

3.2.2 Tahapan Sirih Tanyo

Pada tahap ini para talangke dari pihak laki-laki melakukan kunjungan kedua ke pihak perempuan. Tujuan kedatangan kedua ini adalah untuk mengingatkan keluarga perempuan dan memperjelas maksud dan tujuan dari kedatangan keduanya. Perbincangan dimulai dengan meletakkan tepak sirih (kampi sirih bakatuk) yang dibawa talangke kepada keluarga perempuan untuk membuka pembicaraan dalam adat-istiadat dan juga sebaliknya pihak perempuan

(46)

juga meletakan tepak sirih untuk mengawali pembicaraan mereka setalah pihak laki-laki selesai menanyakan kesediaan pihak perempuan. Setelah itu dilanjutkan dengan pemberian tepak sirih sebagai tanda keluarga pihak perempuan menerima lamaran. Dengan ini hubungan silahturahmi kedua pihak keluarga terjalin semakin erat.

3.2.3 Tahapan Marisik

Pada tahap ini adalah kunjungan ketiga. Pihak laki-laki dan perempuan secara bergantian meletakan tepak sirih untuk memulai pembicaran. Talangke dari pihak laki-laki akan bertanya langsung kepada calon mempelai perempuan terhadap kesediaanya menerima lamaran tersebut. Kemudian anak perempuan tersebut akan menjawab dan menyatakan langsung persetujuan lamarannya.

Setelah tahapan itu selesai maka pihak perempuan akan membicarakan jadwal pelaksanaan pertunangan (maminang) bersama dengan pihak laki-laki.

Kemudian bersama-sama kedua pihak keluarga akan membahas tentang mahar atau bantuan yang akan dibawa pada saat acara maminang. Besar kecilnya mahar ditentukan kepada pihak perempuan.

3.2.4 Tahapan Maminang

Pada tahap ini keluarga laki-laki akan mendatangi rumah pihak perempuan. Sebelum pembicaraan dimulai maka seperti biasa tepak sirih akan diberikan satu persatu kepada pihak perempuan. Setelah tercapai mufakat bersama, anak laki-laki dan anak perempuan yang telah bertunangan akan

(47)

merajut hubungan dihadapan seluruh keluarga dan talangke. Setelah upacara ini laki-laki dan perempuan yang sudah bertunangan harus bersedia menerima sanksi apabila mereka melanggar aturan.

3.2.5 Tahapan Manganta Kepeng

Dalam ada Sumando pernikahan dapat dilaksanakan dan terjadi apabila keluarga mempelai dari pihak laki-laki menyerahkan sejumlah uang atau barang yang telah disepakati sebelumnya dalam musyawarah. Hal ini dimaksudkan sebagai tanda pengikat bahwa pada waktu tertentu akan dilangsungkan pernikahan yang nantinya dilaksanakan ijab qhabul dihadapan para wali dan saksi.

Dalam adat Sumando tidak ada istilah Tuhor atau Jujuran seperti yang ada didalam adat Batak. Sebelum sampai kedalam tahap ini, pihak laki-laki akan melakukan pertemuan dengan tokoh agama, ketua adat, serta sanak saudara juga tetangga. Kemudian mengantarkan bantuan kepada pihak perempuan. Selanjutny mahar tersebut dimasukan kedalam Kampi (sejenis tas anyaman) dan juga sudah dilengkapi dengan adat-adat Sumando suku Pesisir di Desa Sijago-jago, Kecamatan Badiri.

Kampi tersebut kemudian dijinjin oleh Oncu dan berjalan didepan serta diiringi rombongan lainnya. Sesampainya pihak laki-laki akan disambut oleh pihak perempuan dengan meneburkan beras kunyit kepada rombongan yang hadir.

Kemudian keluarga pihak laki-laki dan perempuan duduk saling berhadapan, sedangkan ketua adat, tokoh agama, dan tokoh masyarakat akan duduk ditengah-tengahnya sebagai penengah proses upacara. Kemudian ketua

(48)

adat, tokoh agama, dan tokoh masyarakat akan mempersilahkan pihak laki-laki menunjukan mahar dan segala sesuatu yang sudah menjadi tanggung jawab mereka. Salah seorang perwakilan dari pihak laki-laki akan menyerahkan mahar dan seperangkat syarat adat yang sudah diwajibkan serta bantuin lainnya.

Ketika semuanya sudah lengkap dan sudah disaksikan oleh semua yang hadir, ketua adat dan tokoh masyarakat akan menyatakan bahwa mereka telah sah menurut hukum adat yang berlaku dan pihak dari laki-laki dan perempuan dinyatakan resmi bertunangan. Kemudian mahar diserahkan kepada ibu calon mempelai pengantin untuk kemudian disimpan ke dalam kamar.

Kemudian dilanjutkan dengan mentukan hari pernikahan dan sangsi-sangsi yang akan berlaku semasa pertunangan (1) Apabila pihak perempuan mengingkari pertunanganan maka mahar serta bantuan lainnya harus dikembalikan kepada pihak laki-laki sebanyak dua kali lipat. Berlaku juga untuk kebalikannya, mahar yang sudah diberikan tidak dapat dikembalikan atau dinyatakan hilang; (2) bila terjadi hal-hal yang tidak diinginkan seperti, meninggalnya salah satu atau kedua calon pengantin. Maka mahar yang sudah diberikan akan dimusyawarahkan kembali bagaimana untuk mendapatkan hasil yang mufakat.

Setelah itu akan dilakukan malam barinai kepada kedua calon pengantin dirumah calon pengantin perempuan dengan memotong kambing kemudian membuat panggilan kenduri.

(49)

3.2.6 Mato Karajo

Tahap ini berlangsung selama dua hari, dari pagi hingga kemalam hari.

Sebelum dilakukan, keluarga pihak perempuan akan menghias rumah sebagai tanda akan dilangsungkannya pernikahan. Dalam hal ini, apabila rumah calon pengantin tidak memadai makan malam barinai dapat dilakukan dirumah sanak saudara atau ketua adat tentu dengan menyandang izin dari pemilik rumah. Semua dinding dihias dengan 12 warna atau 9 warna. Bagian dalam dan luar rumah ini akan dihias oleh kaum muda dan induk inang. Kegiatan ini dilakukan bertujuan untuk membuat rumah keluarga terlihat seperti layaknya rumah raja. Karena kedua calon pengantin akan menjadi raja dan ratu dalam satu hari.

Ada dua jenis upacara yang akan dilaksanakan (1) upacara adat pesisir (2) upacara akad nikah. Pada upacara adat, akan diadakan dirumah anak daro (anak perempuan). Upacara adat dimulai denga bariani, tepung tawar, bakonde, mandi limo. Upacara ini dilakukan untuk anak daro dan marapule (pengantin laki-laki).

Dua lagi dilakukan oleh anak daro sendiri. Seluruh rangkaian acara akan dipandu dan dibantu oleh induk inang yang mengetahui ketiga proses tersebut.

Upacara barinai dilakukan untuk kedua calon pengantin anak daro dan marapule, dilakukan oleh 12 perwakilan masing pihak keluarga dari kedua pengantin. Perwakilan masing-masing tersebut adalah kedua orangtua calon pengantin, setelah itu dilanjutkan oleh anggota keluarga lainnya dalam upcara tersebut. Namun dalam berinai kedua oranngtua dari kedua pihak calon pengantin mendapatkan 2 giliran yaitu satu di pelaminan anak daro dan satu laginya di marapule. Kemudian upacara selanjutnya adalah dengan penaburan beras kuning

(50)

dan memercikan air dari daun pandan kepada anak daro dan marapule. Saat memercikan air akan sambilan dibacakan doa kepada kedua pengantin, setelah itu mereka akan disalami oleh 12 perwakilan tersebut.

Kemudian acara tepung tawar. Acara ini ini hampir sama dengan barinai, namun yang memberikan perbedaan adalah seluruh keluarga akan memberikan beras kuning sebanyak 3 kali dan percikan air dari daun pandan sebanyak 3 kali juga serta sambil mendoakan anak daro dan marapule dan ucapan harapan.

Selanjutnya upacara bakonde dan mandi limo yang secara khusus dilakukan untuk anak daro. Seluruh rangkaian upacara itu dilakukan bertujuan agar kedua calon pengantin dan seluruh keluarga dihindarkan dari mara bahaya dan perbuatan jahat manusia.

Upacara adat berikutnya adalah memberangkatkan, penyambutan, dan penerimaan marapule dirumah anak daro (mangarak marapule). Uapacara mangarak marapule ini menuju rumah anak daro dilengkapi dengan sunting pernikahan, tepak sirih yang dijinjing oleh oncumarapule, pakaian adat marapule, pasukan galombang duo bale sebagai pengarak marapule, panji-panji nan duo bale, beberapa anak perawan, dan anak alek (pemusik Sikambang) serta masyarakat yang turut mengantar. Setelah arak-arakan lengkap kemudian rombongan bergerak perlahan menuju rumah anak daro. Pemberangkatan ini diiringi dengan lagi Sikambang sepanjang jalan sampai menuju keurmah anak daro.

(51)

Gambar 3.1 Pengantin diarak beserta rombongan keluarga (Dokumentasi Penulis)

Setelah sampai dirumah anak daro, rombongan pihak laki-laki akan disambut oleh pasukan galombang duo bale pihak pengantin perempuan. Kedua pasukan akan bersilat untuk membela raja (marapule) dan ratu (anak daro), saat bersilat pihak marapule harus mampu mengalahkan pihak pesilat dari anak daro agar dapat memasuki halaman rumah anak daro. Setelah itu, akan dilanjutkan dengan tari Rande. Tari ini bertujuan untuk menyambut marapule dihalaman rumah anak daro. Tari ini biasanya dibawakan oleh 4 anak laki-laki atau lebih.

Gambar 3.2 Pesilat dari Marapule (Dokumentasi Penulis)

(52)

Setelah itu, marapule akan diterima oleh ibu dari anak daro dan kemudian kakinya dicuci dengan air dalam wadah. Marapule disambut dengan taburan beras kunyit dan digiring ke atas kasur kain tingkah. Setelah itu akad nikah akan dilangsungkan, tapi sebelum itu marapule akan berganti pakaian menjadi pakaian jas bukan menggunakan pakaian adat lagi.

Upacara adat dilakukan sekitar pukul 15.00 WIB. Acara akad pernikahan ini disaksikan oleh kedua pihak keluarga laki-laki dan pihak perempuan beserta kerabat dan tetangga. Akad dimulai dengan memohon izin marapule dan anak daro kepada kedua orangtua mereka. Selanjutnya, akad nikah dilangsungkan dengan dipimpin oleh ayah dari anak daro untuk ijab qhabul nikah dengan marapule. Setelah ijab qhabul anak daro dan marapule kemudian kembali mengganti pakain mereka ke adat Pesisir untuk kemudian diarak keliling kembali disekitar daerah tinggal anak daro. Oncu, ibu, dan ibu-ibu rombongan kerabat anak daro ikut meramaikan, ini sebagai pernyataan dari keluarga anak daro bahwa mereka telah resmi menikah. Kemudian pada malam harinya akan dilakukan malam Basikambang, untuk menyandingkan kedua pengantin dipelaminan.

3.2.6.1 Malam Basikambang

Malam Basikambang adalah malam pertunjukan alat musik, tarian, dan lagu yang ditujukan untuk menghibur kedua pngantin. Pada saat malam basikambang yang diadakan dirumah mempelai pengantin perempuan, pihak keluarga harus menyediakan nasi lamak kepada tamu yang datang. Ini sudah

(53)

menjadi tradisi dalam setiap adat upacara pernikahan terutama dalam masyarakat bukan hanya di Desa Sijago-jago, Kecamatan Badiri tapi seluruh penduduk Pesisir Tapanuli, Sumatera.

Rangkaian acara demi acara dilakukan sembari menghibur pengantin. Pada saat Malam Basikambang kedua pengantin akan duduk terpisah dalam singgasana masing-masing. Berikut rangkaian susunan acara musik dan tarian pada saat dilakukannya Malam Basikambang:

1. Tari Sapu Tanga diiringi dengan Lagu Kapri 2. Tari Payung diiringi dengan Lagu Kapulo Pinang 3. Tari Selendang diiringi dengan Lagu Duo

4. Tari Ana diiringi dengan Lagu Sikambang 5. Talibun

Pada penghujung acara kedua pengantin akan disandingkan. Kedua pengantin akan melakukan upacara bersanding (mampelok tampek basanding) sebagai pertanda bahwa pengantin laki-laki telah diterima dalam keluarga dan sudah menjadi bagian dari keluarga pihak pengamtin perempuan.

(54)

Gambar 3.3 Suasana Mampelo Tampek Basanding yang dilaksanakan dirumah anak daro. Tokoh masyarakat menuntun marapule menuju singgasana anak daro.

(Dokumentasi penulis)

Setelah bersanding kedua pengantin akan melakukan upacara basuok- suokan dan bacokki. Yang pertama basuok-suokan, kedua pengantin akan saling menyuapi satu sama lain. Ini bermakna tugas dan tanggung jawab istri kepada suami dan kasih sayang suami kepada istri. Kemudian bacokki, sebuah permainan Halma dimana kedua pengantin akan saling merampas anak Halma secara malu- malu sebagai bukti kasih sayang antara kedua pengantin.

Sebagai pertanda diterimanya pengantin dan bersatunya kedua pihak keluarga. Maka mereka harus saling menghormati satu dengan yang lain dan dengan penuh rasa persaudaraan.

(55)

3.3 Jenis-jenis Upacara Adat Pernikahan

Dalam upacara adat pernikahan di Desa Sijago-jago, Kecamatan Badiri terdapat dua jenis pernikahan yang dibedakan secara adat Sumando. Pernikahan dengan adat Sumanndo yang pertama adalah dengan menggunakan gala sambilan (9) dan yang kedua adalah gala duo bale (12). Pernikahan dengan gala ini biasanya dilakukan dengan persiapan khusus dan untuk pemilik pesta yang mampu memenuhi setiap syarat dari setiap gala. Pada zaman dahulu pernikahan dengan menggunakan gala hanya dilakukan oleh keluarga kerajaan. Namun berbeda dengan zaman sekarang ini, pernikahan dengan menggunakan gala ditujukan sebagai status sosial dari keluarga laki-laki dan keluarga perempuan.

3.3.1 Upacara Adat Pernikahan Dengan Gala Duo Bale

Menurut adat Sumando pendapat dari Radjoki Nainggolan pernikahan dengan menggunakan Gala Duo Bale harus mempersiapkan beberapa hal berikut ini :

1. Menggantungkan 12 helai selendanng dengan aneka warna di pelaminan pengantin

2. Memakai kelambu tujuh lapis dengan warna berbeda 3. Mengantungkan Tabi dan Langik-langik

4. Memasang 12 bambu berukuran 2 meter pada pelaminan 5. Menggunakan Banta Basusu ( tempat duduk pengantin) 6. Memakai cincin Nabi Sulaiman

7. Memakai Tali Ai

Referensi

Dokumen terkait

bahwa untuk maksud tersebut pada huruf a, maka Peraturan Wali Kota Salatiga Nomor 40 Tahun 2019 tentang Sistem Remunerasi Badan Layanan Umum Daerah Rumah Sakit

Setelah melakukan studi pendahuluan berupa studi pustaka (mengaji ruang lingkup bahan ajar, prosedur dan prinsip penyusunan modul, ruang lingkup pendidikan kecakapan hidup

Kenyataan tersebut mendorong semua pihak untuk menggerakkan pembangunan pembangunan perdesaan dan pertanian.  Terlebih lagi fakta menunjukkan bahwa pertanian merupakan sektor

Disimpulkan bahwa implementasi kebijakan pemberian ASI eksklusif bagi ibu bekerja di Provinsi Kalimantan Selatan belum terlaksana dengan baik karena masih lemahnya komunikasi,

moushiwakearimasen, hontou ni sumimasendeshita, omataseshimashita, suimasen, gomennasai, taihen moushiwakegozaimasen, sumimasen, gomen, ojamashimashita. Dari beberapa data

Penelitian yang dilakukan oleh Hendika Apriyanto tahun 2009 dengan judul “Kompetensi Profesional Guru Sosiologi Dalam Proses Pembelajaran di SMA Negeri 1 Kalasan” dengan

Sasaran Rencana Strategis Balai Besar KSDA Jawa Barat tahun 2010 -2014 adalah tercapainya penurunan konflik dan tekanan terhadap kawasan konservasi (CA, SM, TWA)

Simposium lahan gambut internasional ini dimaksudkan untuk memperkuat momentum dan menjadikannya menjadi aksi untuk mentransformasi restorasi lahan gambut dari fase