• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB IV. ANALISIS TEKSTUAL LAGU KAPULO PINANG DI DESA

4.2 Transkripsi

4.3 Susunan dan Bentuk Teks Lagu Kapulo Pinang

Lagu Kapulo Pinang adalah salah satu kesenian yang berasal dari suku Pesisir Tapanuli Tengah. Kesenian yang kita kenal sampai dengan sekarang ini dengan istilah Kesenian Sikambang, yang mengandung unsur musikal yang sangat kental. Lagu Kapulo Pinang ini juga menjadi salah satu kesenian yang sangat sakral karena digunakan di setiap upacara adat masyarakat Pesisir terkhususnya apa upacara adat pernikahan. Dikatakan kesenian ini sangat sakral karena penyajian dan waktu yang digunakan tidak sembarangan, harus melalui proses yang panjang mulai dari persatuan kedua keluarga lewat pernikahan, atau juga untuk mengadakan ucapan syukur karan sudah diberikan berkah kepada masyarakat. Acara ini juga terlaksana tidak terlepas dari tokoh ulama dan tokoh masyarakat serta pemerintah setempat. Lagu Kapulo Pinang ini merupakan lagu kedua dari kelima rangkaian lagu dari kesenian Sikambang.

Lagu Kapulo Pinang ini mengandung teks yang berisi tentang ratapan, kesedihan, banyak perumpaan dari anak alek di suatau acara upacara adat pernikahan serta menjadi awal memulai sebuah hubungan baru dalam pernikahan kedua pengantin. Lagu ini juga bisa digunakan dalam acara lain, namun kali ini penulis fokus mengangkat lagu ini dari segi upacara adat pernikahan di Desa Sijago-jago, kecamatan Badiri, Tapanuli Tengah. Lagu Kapulo Pinang ini juga dapat menciptakan intrepetasi berbeda-beda tergantung dari sisi pendengarnya masing-masing. Ini merupakan cara masyarakat berkomunikasi dalam sebuah acara sakral, ditujukan untuk kedua pengantin dan orang tua penganting laki-laki dan orangtua pengantin perempuan.

Bahasa yang digunakan dalam teks lagu Kapulo Pinang ini sendiri adalah baso pasisi (bahasa pesisir), ini merupakan bahasa tradisional dari masyarakat suku Pesisir Tapanuli Tengah. Sama seperti teks pantun pada umumnya, teks yang terkandung dalam lagu Kapulo Pinang terdiri dari kata pembuka, pantun-pantun Kapulo Pinang, dan kalimat penutup. Setiap pantun dalam lagu Kapulo Pinang punya dua baris sampiran diawal dan diakhir. Kata-kata yang digunakan merupakan kata-kata kiasan dan perumpaan tergantung kepada pendengar bagaimana mengartikannya, kadang juga memakai kata kiasan untuk memperindah isi teks lagu Kapulo Pinang tersebut. Dalam teks lagu Kapulo Pinang ini memiliki makna tersirat dan tersurat.

Teks lagu Kapulo Pinang selalu diawali dengan kata “maule”. Ini merupakan sebuah kata kiasan pada awal kalimat pembuka, kalimat penutup, dan penyambung (bridge) ke pantun berikutnya. Teks dari lagu ini juga dapat digolongkan kedalam teks yang berifat Melimastik yang berarti dalam setiap yang terdapat lagu mengandung nada. Dalam penyajiannya teks dari lagu Kapulo Pinang ini tidak memiliki teks yang tertulis dan dilakukan secara spontaniutas karena berbeda-beda kebutuhan nasihat dalam setiap acara yang dilakukan.

Nasihat ini bisa tercipta dari perjalanan kisah perjalan kedua pengantin atau kehidupan masyarakat Pesisir Tapanuli Tengah.

Dalam bab ini, penulis mengkaji teks dari lagu Kapulo Pinang yang disajikan pada upacara adat pernikahan yang ada di Desa Sijago-jago, kecamatan Badir, Tapanuli Tengah. Kajian yang penulis maksudkan adalah kajian semiotik yang meletakkan lambang dan bahasa sebagian dari komunikasi. Komunikasi

yang dapat terjalin dari penyaji kepada pengantin perempuan dan pengantin laki-laki, orangtua, dan kepada seluruh pendengar yang menghadiri undangan di acara pernikahan tersebut.

4.4 Analisi Semiotik Tekstual Lagu Kapulo Pinang

Teks lagu Kapulo Pinang merupakan bahasa tradisional (bahasa lisan) Pesisir yang mengandung nilai budaya dari masyarakat Pesisir. Isi dari teks Kapulo Pinang ini berupa nasihat-nasihat dan petuah kehidupan yang dalam penyajiannya berbentuk pantun. Teks Kapulo Pinang memiliki nilai yang sama dengan karya sastra lainnya yang berkaita erat dengan sistem masyarakat pendukungnya.

Menganilisis teks Kapulo Pinang berarti penulis mencari tahu makna-makna yang terkandung dalam teks Kapulo Pinang. Ferdinand De Saussure sebagai bapak semiotika modern (1857-1913) membagi hubungan antara penanda (signifier) dan petanda (signified) berdasarkan kesepakatan signifikasi. Penanda dilihat sebagai wujud konsep didalam karya. Sedangkan, petanda merupakan makna atau nilai-nilai yang terkandung dalam karya sastra dari wujud fisiknya.

-SAUSSURE-

TANDA

PENANDA PETANDA

TANDA

TULISAN KONSEP

TANDA

TEKS “KUCING”

Daftar bagan 4.1 Penanda dan Petanda oleh Ferdinand De Saussure

Lagu Kapulo Pinang ini, penulis berpendapat akar dari salah satu jenis sastra lisan masyarakat Pesisir disebut dengan pantun. Dalam konteks sastra menurut Surana (2010;31) pantun yang dimaksud adalah bentuk puisi lama yang terdiri dari empat lari, berima silang (a-b-a-b). larik pertama dan kedua disebut sebagai sampiran atau bagian objektif, berupa lukisan alam atau hal yang dapat diambil sebagai kiasan. Larik ketiga dan keempat disebut sebagai isi atau bagian subjektif.

Berikut ini merupakan teks Kapulo Pinang yang digunakan saat malam basikambang pada upacara pernikahan masyarakat suku Pesisir masyarakat Sijago-jago, Kecamatan Badiri.

Bait 1 Maule… ei…

Kapulo la pinang…

Jiko la balai…

Kapulo la pinang…ei…

Ambik la haluan maule…

Si timu lawik ambik la haluan maule…

Si timu lawik la maule…

Yang berarti:

Maule…

Ke pulaulah pinang Bila sudah berlayar Kepulaulah pinang

Ambillah haluan (arah tujuan) maule Ketimur laut ambil lah haluanmu maule Ketimur laut lah maule

Penulis menganilisis teks Kapulo Pinang yang disajikan berisi kalimat pembuka, kemudian isi, dan kemudian kalimat penutup. Bait pertama dari teks diatas adalah ungkapan yang disajikan sebagai ungkapan ratapan kedalam bentuk syair. Mengisahkan perjalanan seorang pemuda yang harus meninggalkan tunangannya untuk berlayar ke Pulau Pinang mencoba peruntungan nasib yang dimiliki si pemuda. Seperti yang disebutkan dalam teks si pemuda harus mengambil haluan kearah timur laut untuk sampai ke pulau pinang.

Bait 2 Maule…

Ati ambo dak sanang Jiko bala…i…

Ati ambo dak sanang…

Ai la mato… Maule…

Sapanjang lawik Ai la mato… Maule…

Sapanjang la lawik… Maule…

Yang berarti

Maule…

Hati saya tidak senang Bila sudah berlayar Hati saya tidak senang Air mata ini lah… Maule Sepanjang laut

Air mata imi lah… Maule Sepanjang laut

Pada bait kedua ini penulis mengartikan kesedihan si pemuda yang sangat dalam, dilihat dari perumpamaan yang digunakan sipemuda yaitu air yang mata yang sepanjang lautan. Dalam hal ini penulis berpendapat bahwa ada kegelisahan hati dari sipemuda dalam perjalanan yang dia tempuh menuju pulau Pinang.

Kesedihan yang dimaksudkan dalam syair ini adalah karena sipemuda yang pergi meninggalkan tanah kelahiran dan juga tunangannya.

Bait 3 Maule…

Bukanla dek kijang…

Ambo balari…

Bukanla dek kijang…

Pado yang punyo…

Badan ala tasanda…

La pado untungnyo Yang berarti

Maule

Bukan seperti kijang Saya berlari

Bukan seperti kijang Saya berlari

Pada yang empu-Nya Tubuh bersandar Sudah kepada rejekinya

Penjelasan syair diatas menceritakan tentang sipemuda yang berusaha keras, berlari kencang bagaikan kijang untu mengejar impiannya menjadi orang yang berhasil di tanah rantau, namun pada akhirya semua usaha yang dilakukan oleh si pemuda harus dikembalikan kepada yang Maha Kuasa. Rejeki dan nasib yang dimiliki si pemuda yang sudah diatur.

Bait 4 Maule…

Bukannyo dek riang…

Ambo banyanyi…

Bukannyo dek riang…

Ambo badendang…

Badanla takana… Maule…

Pado untungyo…

Yang berate

Maule

Bukan karena senang Saya bernyanyi Bukan karena senang Saya menari

Mengingat badan Maule

Sudah nasibnya

Syair tersebut menceritakan tentang si pemuda yang sambil bernyanyi dan bersenandung di perantauan untuk mnehilangkan kesedihannya dan juga kerinduannya akan kampong halamannya. Sipemuda benyanyi juga karena senang dan gembira, melainkan si pemuda sudh menerima nasibnya yang belum membaik juga di tanah perantauannya pulau Pinang.

Bait 5 Maule…

Buminyo la kare…

Pulo la Pinang…

Buminyo la kare…

Banyak la dagang…

Maule…

Pulang barutang…

Banyak la dagang…

Yang berarti

Maule

Tananhnya yang kkeras Di pulau Pinang

Tanahnya keras

Sudah banyak usaha (berdagang) Maule

Pulang membawa utang

Sudah banyak usaha (berdagang)

Penulis mengartikan sebagai bahwa si pemuda yang berada di tanah perantauan pulau Pinang sudah mencoba banyak usaha/berdagang untuk memperbaiki nasib dan mencoba peruntungannya, namun si pemuda tidak berhasil dan selalu gagal dalam usahanya untuk berdagang. Buminya yang keras mengartikan bahwa apapun yang dikerjakan tidak akan berhasil karena tanah yang keras tidak akan dapat menghasilkan buah yang baik. Semua usaha yang dilakukan sipemuda sia-sia dan menyisahkan banyak utang untuk diselesaikan.

Bait 6 Maule…

Kian tapikki…

Ala kian la dalam…

Kian tapikki…

Dalam la bacampu…

Maule…

Ati hibo…

Dalam la bacampu…

Maule…

Ati hibo…

Yang berarti :

Maule

Semakin dipikirkan Semakin dalam Semakin dipirkan

Semakin bingung (perasaan yang campur aduk) Maule

Hati iba

Semakin bercampur di dalam

Penulis mengarttikan makna dari syair ini bahwa semakin si pemuda memikirkan kemalangan yang dia alami semakin terpuruk keadaan si pemuda.

Emosi dalam hati yang dimiliki sipemuda semakin bercampur aduk dan membuat hati menjadi iba dan sedih.

Bait 7 Maule…

Dicabik-caik…

Kain la dibali…

Dicabi-cabik…

Ala di eto…

Maule…

Tanga tiga eto…

Maule…

Ala di eto…

Yang berarti :

Maule

Di robek-robekan Kain yang sudah dibeli Di robek-robekan Sudah dihitung Dihitung belah tiga Maule

Sudah dihitung

Penjelasan dari syair ini mengibaratkan hubungan sipemuda dan tunangannya dalam mencaapi kesepakatan untu berpisah sementara karena si pemuda hendak merantau mencari peruntungan ke pulau Pinang. Istilah dari kain yang dibeli adalah mahar yang diberikan si pemuda kepada keluarga perempuan sebelum dia berangkat dan untuk memastikan status tunangannya selagi si pemuda pergi.

Maule…

Mintakla tabik…

Kami la banyanyi…

Mintakla tabik…

Jangan la dibilang Maule…

Sikurang la baso Jangan la dibilang…

Maule…

Sikurang la baso…

Yang berarti

Maule

Mohonlah izin

Kami yang sudah bernyanyi Mohonlah izin

Jangalah disebut Maule

Bahasa yang kurang (tidak sopan/tidak beradat) Janganlah dibilang

Maule

Bahasa yang kurang (tidak sopan/tidak beradat)

Pada bait terakhir dari lagu Kapulo Pinang yang dibawakan penyair seniman sikambang memiliki makna yang berbeda dari syair-syair sebelumnya.

Seperti sudah dijelaskan diawal oleh penulis bahwa syair ini memilki susunan teks pembukaan, isi, dan penutup. Pada bait ini penyair menutup lagu dengan permohonan maaf kepada keluarga pengantin juga masyarakat yang ikut terlibat dalam upacar adat pernikahan yang digelar oleh kedua keluarga pengantin.

Permohonan maaf yang dimaksudkan oleh penyair adalah apabila ada kesalahan kata dan perbuatan yang kurang berkenan agar dimaafkan.

Setiap baitnya selalu diawali dengan kata Maule. Makna dari kata Maule itu sendiri seperti ajakan kepada keluarga atau masyarakat untuk ambil bagian dalam upacara pernikahan. Tujuannya adalah agar masyarakat yang hadir dalam upacara pernikahan turut merasakan pesan-pesan yang disampaikan oleh seniman Sikambang dari bait pertama sampai dengan selesai.

Pada saat penelitian berlangsung, penulis juga mengamati bahwa urutan dari teks lagu Kapulo Pinang ini tidak baku. Yang dimaksudkan penulis tidak baku adalah urutan isi teks bisa berubah-ubah atau bertambah tergantung durasi waktu yang diberikan keluarga. Setiap bait lagu dinyanyikan oleh pemain musik secara bergilir dan tidak memiliki urutan penyajian. Namun, walaupun seperti itu setiap kesenian sikambang selalu memiliki penyanyi utama untuk membawakan syair lagu dari kesenian Sikambang.

Maka dari itu, penulis juga akan menjelaskan mengenai penanda dan petanda dari teori Ferdinand De Saussure. Seperti yang sudah penulis jelaskan dalam bab sebelumnya untuk lebih memahami makna dan arti dari syair teks lagu Kapulo Pinang sebagai landasan teori yang penulis gunakan dalam menyelesaikan penelitian yang penulis sedang teliti.

4.4.1 Makna Penanda a. Lagu Pembuka

1. Maule (Mewakili kata Tuan, Leluhur)

Makna dari kata Maule adalah sebagai tuan yang memiliki kedudukan tertinggi dalam acara adat Sikambang.

2. Kapulo La Pinang

Makna dari kata Kapulo la pinang sebagai tujuan ke pulau pinang b. Lagu Inti

1. Ambikla Haluan, Ambikla Haluan di timur la laut

Makna dari kata ambikla haluan, ambikla haluam di timur laut adalah mengambil arah kea rah timur

2. Ati ambo dak sanang, ai mato la sapanjang lawik

Makna dari kata ati ambo dak sanang, ai la mato la sapanjang lawik adalah hati saya tidak lah senang, air mata yang sudah sepanjang laut.

3. Bukanlah dek kijang ambo balari, pado la punyo badan ala tasanda Makna dari kata bukanlah dek kijang ambo balari, pado la punyo badan ala tasanda adalah bukanlah seperti kijang aku berlari, kepada yang Mahakuasa/Empunya badan bersandar.

4. Ambo banyanyi bukanla dek riang

Makna dari kata Ambo banyanyi bukanla dek riang adalah aku bernanyi bukanlah karena senang

c. Lagu Penutup 1. Maule

Makna dari kata maule diujung syair adalah sebagai penutup dari dari satu bait syair.

4.4.2 Makna Petanda a. Lagu Pembuka 1. Maule

Kata maule berasal dari bahasa pesisir adat masyarakat Sumando.

Penggunaan kata maule diawal syair sebagai salam pembuka dan mempersilahkan pemimpin acara untuk memulai acara.

2. Kapulo la Pinang

Kata kapulo la pinang setelah kata maule di syair pembuka sebagai tujuan si pemuda sebagai tempat mengadu nasib di perantauan.

b. Lagu Inti

1. Ambikla Haluan, Ambikla Haluan di timur la laut

Makna dari kalimat Ambikla Haluan, Ambikla Haluan di timur la laut, dalam mencari haluan si pemuda si pemuda mengambil tujuan kearah timur laut.

2. Ati ambo dak sanang, ai mato la sapanjang lawik

Makna dari kalimat Ati ambo dak sanang, ai mato la sapanjang lawik adalah hatinya yang tidak bahagia dan memilukan hati sampai

air mata yang mengalir deras terus menerus bagaikan genangan air laut yang luas.

3. Bukanlah dek kijang ambo balari, pado la punyo badan ala tasanda Makna dari kalimat Bukanlah dek kijang ambo balari, pado la punyo

Badan ala tasanda adalah bagaikan berlari sekuat tenaga untuk mencapai tujuan dan mengandalkan kekuatan sendiri pada akhirmya harus berserah kepada Yang Maha Kuasa.

4. Ambo banyanyi bukanlah dek riang

Makna dari kalimat ambo banyanyi bukanlah dek riang adalah karena kegagalan maka sipemuda bernyanyi untuk mmengihilangkan kesedihan hatinya dan bagaimanapun dia harus menerima kenyataan.

c. Lagu Penutup 1. maule

Makna dari kata maule didalam lagu penutup sebagai pertanda bahwa acara akan segera berakhir dan disambut dengan sahutan dari penonton.

BAB V

PENGGUNAAN DAN FUNGSI LAGU KAPULO PINANG DALAM UPACARA ADAT PERNIKAHAN

Budaya merupakan sebuah momen yang bersejarah bagi setiap manusia.

Setiap lapisan masyarakat memiliki ciri dari kebudayaannya sendiri dan juga memiliki pandangan yang berbeda juga tergantung kepada lingkungan sosial dimana mereka berada yang secara otomatis terbentuk dan tersusun dengan sistematis. Hal ini dapat terjadi dikarenakan setiap budaya memiliki fungsi dan cara masing-masing dalam mengatur lingkungsn sosialnya.

Penggunaan dan fungsi dari lagu Kapulo Pinang yang dibawakan oleh pelaku kesenian Sikambang saat peneliti melakukan observasi lapangan dan terbagi kedalam beberapa bagian yang akan peneliti uraikan satu persatu. Penulis membagi fungsi dari lagu Kapulo Pinang menjadi beberapa bagian berdasarkan observasi lapangan dan wawancara kemudian untuk penggunaan diadasarkan pada kebiasaan masyarakat di Desa Sijago-jago yang peneliti dapatkan dari bapak Khairil Asni Siregar. Menurut beliau bahwa masyarakat Pesisir memiliki cara penyampaian nasihat dan petuah disampaikan secara tidak langsung karena dianggap lebih sopan dan lebih pantas. Hal ini dilakukan masyarakat untuk menghindari kesalahpahaman dan lebih memperhalus bahasa. Tentu saja ini masih tetap berpedoman dengan teori pendukung “Use” and “Function” dari Allan P.

Merriam. Pada bab ini penulis hanya mendapat 7 fungsi musik dalam penelitian yang penulis lakukan selama masa observasi lapangan dan juga sesi wawancara

dan penggunaannya dalam upacara adat pernikahan masyarakat yang berada di Desa Sigo-jago.

5.1 Fungsi Lagu Kapulo Pinang Dalam Upacara Adat Pernikahan

Dari teori Allan P. Merriam penulis menjelaskan beberapa fungsi dari lagu kapulo pinang yang penulis dapat pada saat melakukan observasi dan wawancara dengan bapak Khairis Husni Siregar sebagai pelaku kesenian Sikambang yang di desa Sijago-jago. Berikut beberapa penjalasan penulis mengenai fungsi lagu kapulo pinang pada upacara adat pernikahan di Desa Sijago-jago.

5.1.1 Pengintegrasian Masyarakat

Dikatakan sebagai pengintegrasian masyarakat dalam fungsinya karena dalam penyajian lagu Kapulo Pinang pada acara adat pernikahan di Desa Sijago-jago yang diteliti penulis, musik yang dimainkan secara bersamaan dan dengan adanya adegan bersahutan-sahutan pada awal syair dan diakhir syair. Adegan yang dimaksud oleh penulis ketika pemain musik membuka acara dengan kata awal maule maka peserta acara akan segera menyahut secara bersamaan dengan kata „Ooooo‟ begitu dengan kata maule di penutup syair lagu Kapulo Pinang.

Tanpa disadari hal ini menimbulkan rasa kebersamaan dalam upacara adat pernikahan di Desa Sijago-jago, baik itu pemain musik maupun peserta acara.

5.1.2 Hiburan

Sebagai suatu budaya kesenian dari Sikambang, lagu Kapulo Pinang memiliki fungsi sebagai sarana hiburan kepada masyarakatnya. Hiburan yang dimaksud oleh peneliti adalah tarian, musik, dan nyanyian yang dbawan di upacara adat pernikahan di Desa Sijago-jago. Sembari si penyanyi meyampaikan nasehat kepada kedua pengantin pada malam Basikambang, peserta yang menghadiri upacara pernikahan akan menikmati penampilan dari tarian dan juga lantunan musik yang mengiringi penyanyi.

Suasana yang disampaikan oleh penyanyi pada upacara pernikahan menggambarkan pesan dari lagu lagu Kapulo Pinang. Dikarenakan pesan yang disampaikan oleh penyanyi memilki konsep yang sedih, maka kondisi pada saat malam Basikambang akan menjadi sedih mengikuti konsep dari lagu Kapulo Pinang. Disinilah fungsi musik sebagai hiburan itu terbentuk, karena peserta juga ikut merasakan kesedihan dari lagu kapulo pinang yang dibawakan oleh pemusik Sikambang.

5.1.3 Media Komunikasi

Di dalam satu kebudayaan/etnis masyarakat memiliki ciri khas yang hanya akan dipahami oleh masyarakat pendukung dari kebudayaan tersebut. Isyarat yang dimaksud dari penulis termasuk mengandung unsur kepercayaan, kesopanan dan norma yang belaku dalam kebudayaan masyarakat tersebut.

Budaya pernikahan adat di Desa Sijago-jago juga demikian halnya sama, karena budaya Sikambang dikenal dengan tutur bahasanya yang sopan dan halus

dalam menyampaikan maksud dan tujuannya. Juga ada banyak istilah yang hanya masyarakat pendukung dapat mengerti maksud dan tujuan dari istilah tersebut.

Contoh dalam penggunaannya adalah, “ala ambikla aluan, ala ambikla aluan ditimur lawik”. Maksud dari kalimat tersebut bahwa arah timur atau mengambil arah haluan yang baik untuk peruntungan disaat melaut arah timur memiliki arti nasib yang baik.

5.1.4 Norma Sosial

Berfungsi sebagai norma sosial berarti ada aturan atau nilai-nilai sosial yang dipegang teguh dalam masyarakat. Begitu pula sama halnya dengan masyarakat yang ada di Desa Sijago-jago. Nilai yang dimaksud adalah pria yang sudah menikah atau memiliki keluarga menjadi kepala keluarga dalam sebuah rumah tangga dan dengan ini secara langsung kepala keluarga juga bertanggung jawab untuk menafkahi dan melindungi keluarganya. Mayoritas masyarakat yang ada di Desa Sijago-jago adalah nelayan, maka kepala keluarga yang bertanggung jawab akan pergi melaut untuk menafkahi keluarganya. Namun pada masa ini, semakin berkembang zaman kepala keluarga juga bias mendapatkan pekrejaan lain sesuai kemampuan setiap orangnya.

5.1.5 Pengesahan Lembaga Sosial

Pada konteks ini, fungsi musik sebagai pengesahan lembaga sosial yang penulis maksudkan adalah sebagai identitas budaya dari masyarakat tersebut.

Dalam pernikahan juga sama halnya, ini menjadi sebuah identitas yang melekat

pada kebudayaannya. Mulai dari pakaian, susunan acara, dan sampai kepada makanannya juga menjadi sebuah identitas. Ini merupakan warisan budaya yang diterima secara turun-temurun,

Selain menjadi sebuah identitas, kegiatan ini juga menjadi sebuah sumber komersil yang mendatangkan kesejahteraan kepada penggiatnya. Ini juga mampu mempererat budaya persaudaraan.

5.1.6 Kesinambungan Budaya dan Generasi Pesisir

Berfungsi sebagai kesinambungan budaya yang dimaksud adalah ajaran yang terkandung dalam kebudayaan kesenian Sikambang. Penulis berpendapat bahwa fungsi ini sangat penting mengingat semakin berkembangnya zaman dan kebudayaan mulai ditinggalkan sedikit demi sedikit.

Pada upacara adat pernikahan di Desa Sijago-jago, nilai-nilai luhur dan lirik yang terkandung dalam setiap syairnya menjadi wujud yang paling penting demi menjaga kesinambungan dalam budaya. Sesuai dengan ajarannya disampaikan secara sopan dan dengan tutur yang lembut. Juga dalam setiap penyajiannya masyarakat juga dapat mengingat dari daerah mana dia berasal.

Sesuai dengan pendapat Merrriam tentang salah satu fungsi musik adalah untuk melanjutkan generasi keturunan manusia, terutama nyanyian-nyanyian bertema percintaan. Meskipun tema umum dari Lagu Kapulo Pinang ini adalah berupa kesedihan yang dirasakan dua calon mempelai, ketika sang pria harus

Sesuai dengan pendapat Merrriam tentang salah satu fungsi musik adalah untuk melanjutkan generasi keturunan manusia, terutama nyanyian-nyanyian bertema percintaan. Meskipun tema umum dari Lagu Kapulo Pinang ini adalah berupa kesedihan yang dirasakan dua calon mempelai, ketika sang pria harus

Dokumen terkait