• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB III. DESKRIPSI UPACARA ADAT PERNIKAHAN DI DESA

3.2 Tahapan Upacara Adat Penikahan di Desa Sijago-jago

3.3.1 Upacara Adat Pernikahan Dengan Gala Duo Bale

Menurut adat Sumando pendapat dari Radjoki Nainggolan pernikahan dengan menggunakan Gala Duo Bale harus mempersiapkan beberapa hal berikut ini :

1. Menggantungkan 12 helai selendanng dengan aneka warna di pelaminan pengantin

2. Memakai kelambu tujuh lapis dengan warna berbeda 3. Mengantungkan Tabi dan Langik-langik

4. Memasang 12 bambu berukuran 2 meter pada pelaminan 5. Menggunakan Banta Basusu ( tempat duduk pengantin) 6. Memakai cincin Nabi Sulaiman

7. Memakai Tali Ai

8. Memakai Laba Mangirok

9. Memakai Jajak Lalu Marapule (payung kuning)

10. Memaikan Bi di pintu pelaminan (kain berbentuk celana laki-laki) 11. Memakai Nane Sarumpun

12. Memakai Lapik Pandan berwarna hitam, kuning, dan kain candel 13. Memakai Bua Buntun (tiang bulat dibalut dengan kain kuning)

14. Memasang Sauh di tengah kelambu yang bergambar kuda laut (tempat kaitan kain kelambu kiri dan kanan)

15. Menyembelih kerbau

3.3.2 Upacara Adat Pernikahan Gala Sambilan

Pernikahan dengan menggunakan Gala Sambilan juga harus mempersiapkannya dengan adat Sumando, sebagai berikut :

1. Menggantungkan 9 helai selendang berwarna-warni diatas pelaminan pengantin

2. Memakai Tali Ai

3. Menggunakan Banta Basusun 4. Menngunakan Tingka

5. Mengikat 9 bambu berukuran 2 meter di pelaminan pengantin 6. Memakai Bua Buntun (tiang bulat dengan kain kuning) 7. Meyembelih kambing

3.4 Komponen Upacara Adat Pernikahan di Desa Sijago-jago

komponen yang ada dalam upacara adat pernikahan di Desa Sijago-jago, penulis berpedoman pada sistem upacara keagamaan yang dikemukakan oleh Koentjaraningrat (2009:296) ada empat aspek: (1) tempat upacara keagamaan dilakukan; (2) saat upacara keagamaan dilakukan; (3) benda dan alat-alat yang digunakan dalam upacara keagamaan; (4) orang-orang yang melakukan dan memimpin upacara.

3.4.1 Tempat Upacara Adat Pernikahan

Tempat upacara adat pernikahan dilakukan di satu tempat yaitu dirumah keluarga pengantin perempuan jalan Lopian 23 kecamatan Badiri, dikarenakan pengantin laki-laki berasal dari kota yang berbeda dan tidak memungkinkan karna adat dilakukan dalam satu hari juga jarak yang ditempuh. Hal ini dapat terjadi apabila sudah mendapatkan kesepakatan dan peretujuan dari kedua keluarga pengantin pria dan pengantin wanita.

3.4.2 Waktu Upacara Adat Pernikahan

Menurut informan, setiap waktu pelaksanaan disetiap tahap bersifat relatif.

Hasil dari semua pembicaraan pihak pengantin laki-laki dan pengantin perempuan sudah disepakati dan dibicarakan. Mulai dari tahap risik-risik, sirih tanyo, marisik, manganta kepeng, mato karajo, sampai balik ari atau tapanngi tidak dibatasai kuantitas waktunya.

3.4.3 Benda dan Peralatan Upacara Adat Pernikahan

Upacara adat pernikahan selalu tidak lepas dari dukungan peralatan dan benda dari berbagai jenis dan bentuk. Di setiap tahapan upacara pernikahan benda dan peralatan yang digunakan memiliki fungsi yang berbeda, sebagai berikut:

1. Tahap risik-risik dilaksanakan tanpa benda dan peralatan apapun.

2. Tahap sirih tanyo dilaksanakan menggunakan kampi sirih bakatuk diisi dengan daun sirih, gambir, pinang, dan kapur sirih.

3. Tahap marisik dilaksanakan menggunakan kampi sirih bakatuk diisi dengan daun sirih, gambir, pinang, dan kapur sirih.

4. Tahap maminang dilaksanakan menggunakan kampi sirih bakatuk diisi bare kuning (beras yang berwarna kuning karna dicampur dengan kunyit), lilin, imbalo, kemiri, benang dua warna (hitam dan merah), jarum, dan sirih.

5. Tahap manganta kepeng dilaksanakan menggunakan uang dari kampi sirih bakatuk

6. Tahap mato karajo dilaksanakan menggunakan kampi sirih bakatuk, sunting, pisang manis, beras kuning, dua buah pedang bacabuk, langik-langik, bantabasusun, cincin Nabi Sulaiman, sauh, bi, bua buntun, tali ai, nane sarumpun, lapik pandan, laba mangirok, tingka, selendang 12 warna, bambu, dan galeta.

7. Tahap balik ari ataupun tapanggi dilakukan dengan beras kuning.

3.4.4 Pemimpin dan Peserta Upacara Adat Pernikahan

Tahap upacara adat pernikahan yang terakhir ini secara khusus dipimpin oleh dua orang talangke, satu dari pihak pengantin laki-laki dan satunya lagi pihak keluarga perempuan. Penulis menguraikan sebagai berikut;

1. Tahap risik-risik langsung dipimpin talangke dari pihak perempuan dan pihak laki-laki dan pesertanya adalah pihak dari kedua pengantin keluarga laki-laki dan pengantin perempuan.

2. Tahap sirih tanyo langsung dipimpin talangke dari pihak laki-laki dan pihak perempuan dan pesertanya adalah pihak dari keluarga pengantin laki-laki dan pengantin perempuan.

3. Tahap marisik langsung dipimpin talangke dari pihak laki-laki dan pihak perempuan dan pesertanya adalah ibu-ibu kerabat dekat pihak laki-laki, pengantin perempuan, dan juga kedua orangtua pengantin perempuan.

4. Tahap maminang langsung dipimpin talangke dari pihak laki-laki dan pihak perempuan, tokoh masyarakat, ketua adat, dan kedua orangtua serta kerabat dekat.

5. Tahap manganta kepeng langsung dipimpin talangke dari pihak laki-laki dan pihak perempuan, tokoh masyarakat, ketua adat, alim ulama, dan peserta tamu undangan.

6. Tahap mato karajo langsung dipimpin talangke dari pihak laki-laki dan pihak perempuan, tokoh masyarakat, ketua adat, alim ulama, orangtua kedua pengantin, pengantin perempuan, pengantin laki-laki, undangan serta masyarakat setempat.

7. Tahap balik ari/tapanggi langsung dipimpin dari ketua adat dan diikuti oleh pengantin perempuan, pengantin laki-laki, dan keluarga pengantin perempuan dan keluarga pengantin laki-laki.

.

BAB IV

KAJIAN TEKSTUAL LAGU KAPULO PINANG DI DESA SIJAGO-JAGO

Pada bab ini penulis akan mendeskripsikan tentang Lagu Kapulo Pinang yang sudah peneliti kaji pada masyarakat di Desa Sijago-jago, Kecamatan Badiri, Tapanuli Tengah. Lagu Kapulo Pinang ini merupakan salah satu kebudayaan yang dimiliki oleh masyarakat Pesisir dan bersifat sakral. Lagu ini dapat dikatakan sakral karena dibawakan dalam rangkaian adat upacara perkawinan masyarakat Pesisir sebagai salah satu bagian dalam urutan adat upacara perkawinan. Lagu Kapulo Pinang ini dibawakan biasanya pada saat malam Bainai, sebagai lagu pembuka acara malam bainai. Para seniman Sikambang akan memainkan setiap lagu sesuai urutan lagu dan diiringi dengan tarian khas dengan diisi oleh dua atau lebih penari berpasangan. Berikut penulis akan menjelaskan susunan lagu pada kesenian Sikambang.

4.1 Susunan Lagu dan Tarian dalam Kesenian Sikambang

Pada kesenian Sikambang terdapat susunan lagu dan tarian yang sudah dipasangkan dalam setiap urutan lagu, berikut penulis akan menjabarkan susunan lagu dan tarian.

4.1.1 Lagu Kapri dan Tari Saputangan

Lagu Kapridan Tari Saputangan. Merupakan lagu pembuka pada kesenian Sikambang yang dilakukan dalam setiap acara upacara adat pernikahan. Sama

seperti nama tariannya, para penari menggunakan sapu tangan dan tariannya untuk membuka acara. Setiap tarian memiliki arti dalam gerakan tariannya, gerakan dari tarian ini mengartikan curahan hati dan perasaan si pemuda pada si pemudi pada saat terang bulan. Karena mata pencaharian masyarakat Pesisir sebagian besarnya adalah melaut, maka saat terang bulan para pemuda tidak akan melaut. Ini merupakan kesempatan yang baik untuk si pemuda dan pemudi untuk bersama saling bersenda gurau sambil mempererat tali silahturahmi dan ini adalah sebagai pekenalan awal dari si pemuda dengan si pemudi.

4.1.2 Lagu Kapulo Pinang dan Tari Payung

Lagu Kapulo Pinang dan Tari Payung. Merupakan lagu inti pada kesenian Sikambang dalam setiap upacara adat pernikahan. Sama seperti nama tarian, para penari menggunakan payung dengan tariannya. Si pemuda akan menggunakan payung untuk melengkapi tariannya dan si pemudi akan menngunakan selendang.

Pada tahap ini, tarian melambangkan pergaulan si pemuda dan pemudi sudah diikat oleh sebuah pertunangan. Dalam tarian ini para pemuda akan saling bertukar, pemuda akan memberikan payung kepada si pemudi kemudian si pemudi juga akan memberikan selendangnya kepada si pemuda sebagai pertanda mereka sudah menentukan tambatan hatinya. Pertukaran ini dilakukan sebagai bentuk keseriusan si pemuda kepada si pemudi, dan juga karena si pemuda akan berlayar mengarungi lautan untuk mencari peruntungan di negeri orang. Berharap saat mencari peruntungan di negeri orang sipemuda pulang membawa hasil sebagai modal untuk meminang pemudi pujaan hati si pemuda.

4.1.3 Lagu Duo dan Tari Selendang

Lagu Duo dan tari saputangan. Merupakan lagu inti dalam kesenian Sikambang setiap upacara adat pernikahan. Lagu ini dinyanyikan oleh si anak alek. Lagu ini dibawakan pada saat sebelum lagu penutup di lagu Sikambang.

Sama seperti nama tariannya, penari menggunakan selendang sebagai alat gerakan tarian. Tarian ini dilakukan secara berpasangan baik itu penari laki-laki dan perempuan akan menggunakan selendang dan menarikan gerakan yang sama.

Gerakan ini sedikit mengadaptasi gerakan silat yang diperhalus gerakannya. Pada lagu ini juga tersirat makna permintaan maaf dari pihak yang mengundang, apabila terjadi kesalahan pada saat acara berlangsung.

4.1.4 Lagu Dampeng dan Tari Rande

Lagu Dampeng dan Tari Randeini merupakan lagu yang dibawakan sebelum penutup dari lagu Sikambang pada upacara adat pernikahan kesenian Sikambang. Lagu ini dinyanyikan oleh oleh pelaku kesenian sikambang sambil syair dilantukan kemudian pemain musik saling sahut menyaut membalas si penyanyi. Tarian ini dilakukan oleh beberapa penari laki-laki dan pada gerakan tarian dilakukan gerakan berputar sambil mengelilingi titik tengah dari lingkaran tarian tersebut. Umumnya sifat tarian dan lagu ini hanya sebagai hiburan. Gerakan ini dilakukan oleh penari beberapa kali sampe lagu pengiringnya selesai.

4.1.5 Lagu Sikambang dan Tari Anak

Pada lagu ini menggunakan penari secara berpasangan saat menari, alat yang digunakan dalam tarian ini adalah selendang. Lagu Sikambang ini dinyanyikan oleh anak alek, berisi pantun yang berisi nasihat tentang kehidupan masyarakat Pesisir. Isi ungkapan dari pantun yang dilantunkan adalah yang berhubungan dengan alam, keadaan masyarakat, dan semua yang berkaitan dengan kehidupan si anak kelak. Gerakan dari tarian ini pun ditujukan untuk melindungi si anak kelak dari segala penyakit dan marabahaya. Ini juga diartikan sebagai bentuk curahan kasih sayang dari seorang ayah dan ibu kepada si anak.

4.2 Transkripsi

4.3 Susunan dan Bentuk Teks Lagu Kapulo Pinang

Lagu Kapulo Pinang adalah salah satu kesenian yang berasal dari suku Pesisir Tapanuli Tengah. Kesenian yang kita kenal sampai dengan sekarang ini dengan istilah Kesenian Sikambang, yang mengandung unsur musikal yang sangat kental. Lagu Kapulo Pinang ini juga menjadi salah satu kesenian yang sangat sakral karena digunakan di setiap upacara adat masyarakat Pesisir terkhususnya apa upacara adat pernikahan. Dikatakan kesenian ini sangat sakral karena penyajian dan waktu yang digunakan tidak sembarangan, harus melalui proses yang panjang mulai dari persatuan kedua keluarga lewat pernikahan, atau juga untuk mengadakan ucapan syukur karan sudah diberikan berkah kepada masyarakat. Acara ini juga terlaksana tidak terlepas dari tokoh ulama dan tokoh masyarakat serta pemerintah setempat. Lagu Kapulo Pinang ini merupakan lagu kedua dari kelima rangkaian lagu dari kesenian Sikambang.

Lagu Kapulo Pinang ini mengandung teks yang berisi tentang ratapan, kesedihan, banyak perumpaan dari anak alek di suatau acara upacara adat pernikahan serta menjadi awal memulai sebuah hubungan baru dalam pernikahan kedua pengantin. Lagu ini juga bisa digunakan dalam acara lain, namun kali ini penulis fokus mengangkat lagu ini dari segi upacara adat pernikahan di Desa Sijago-jago, kecamatan Badiri, Tapanuli Tengah. Lagu Kapulo Pinang ini juga dapat menciptakan intrepetasi berbeda-beda tergantung dari sisi pendengarnya masing-masing. Ini merupakan cara masyarakat berkomunikasi dalam sebuah acara sakral, ditujukan untuk kedua pengantin dan orang tua penganting laki-laki dan orangtua pengantin perempuan.

Bahasa yang digunakan dalam teks lagu Kapulo Pinang ini sendiri adalah baso pasisi (bahasa pesisir), ini merupakan bahasa tradisional dari masyarakat suku Pesisir Tapanuli Tengah. Sama seperti teks pantun pada umumnya, teks yang terkandung dalam lagu Kapulo Pinang terdiri dari kata pembuka, pantun-pantun Kapulo Pinang, dan kalimat penutup. Setiap pantun dalam lagu Kapulo Pinang punya dua baris sampiran diawal dan diakhir. Kata-kata yang digunakan merupakan kata-kata kiasan dan perumpaan tergantung kepada pendengar bagaimana mengartikannya, kadang juga memakai kata kiasan untuk memperindah isi teks lagu Kapulo Pinang tersebut. Dalam teks lagu Kapulo Pinang ini memiliki makna tersirat dan tersurat.

Teks lagu Kapulo Pinang selalu diawali dengan kata “maule”. Ini merupakan sebuah kata kiasan pada awal kalimat pembuka, kalimat penutup, dan penyambung (bridge) ke pantun berikutnya. Teks dari lagu ini juga dapat digolongkan kedalam teks yang berifat Melimastik yang berarti dalam setiap yang terdapat lagu mengandung nada. Dalam penyajiannya teks dari lagu Kapulo Pinang ini tidak memiliki teks yang tertulis dan dilakukan secara spontaniutas karena berbeda-beda kebutuhan nasihat dalam setiap acara yang dilakukan.

Nasihat ini bisa tercipta dari perjalanan kisah perjalan kedua pengantin atau kehidupan masyarakat Pesisir Tapanuli Tengah.

Dalam bab ini, penulis mengkaji teks dari lagu Kapulo Pinang yang disajikan pada upacara adat pernikahan yang ada di Desa Sijago-jago, kecamatan Badir, Tapanuli Tengah. Kajian yang penulis maksudkan adalah kajian semiotik yang meletakkan lambang dan bahasa sebagian dari komunikasi. Komunikasi

yang dapat terjalin dari penyaji kepada pengantin perempuan dan pengantin laki-laki, orangtua, dan kepada seluruh pendengar yang menghadiri undangan di acara pernikahan tersebut.

4.4 Analisi Semiotik Tekstual Lagu Kapulo Pinang

Teks lagu Kapulo Pinang merupakan bahasa tradisional (bahasa lisan) Pesisir yang mengandung nilai budaya dari masyarakat Pesisir. Isi dari teks Kapulo Pinang ini berupa nasihat-nasihat dan petuah kehidupan yang dalam penyajiannya berbentuk pantun. Teks Kapulo Pinang memiliki nilai yang sama dengan karya sastra lainnya yang berkaita erat dengan sistem masyarakat pendukungnya.

Menganilisis teks Kapulo Pinang berarti penulis mencari tahu makna-makna yang terkandung dalam teks Kapulo Pinang. Ferdinand De Saussure sebagai bapak semiotika modern (1857-1913) membagi hubungan antara penanda (signifier) dan petanda (signified) berdasarkan kesepakatan signifikasi. Penanda dilihat sebagai wujud konsep didalam karya. Sedangkan, petanda merupakan makna atau nilai-nilai yang terkandung dalam karya sastra dari wujud fisiknya.

-SAUSSURE-

TANDA

PENANDA PETANDA

TANDA

TULISAN KONSEP

TANDA

TEKS “KUCING”

Daftar bagan 4.1 Penanda dan Petanda oleh Ferdinand De Saussure

Lagu Kapulo Pinang ini, penulis berpendapat akar dari salah satu jenis sastra lisan masyarakat Pesisir disebut dengan pantun. Dalam konteks sastra menurut Surana (2010;31) pantun yang dimaksud adalah bentuk puisi lama yang terdiri dari empat lari, berima silang (a-b-a-b). larik pertama dan kedua disebut sebagai sampiran atau bagian objektif, berupa lukisan alam atau hal yang dapat diambil sebagai kiasan. Larik ketiga dan keempat disebut sebagai isi atau bagian subjektif.

Berikut ini merupakan teks Kapulo Pinang yang digunakan saat malam basikambang pada upacara pernikahan masyarakat suku Pesisir masyarakat Sijago-jago, Kecamatan Badiri.

Bait 1 Maule… ei…

Kapulo la pinang…

Jiko la balai…

Kapulo la pinang…ei…

Ambik la haluan maule…

Si timu lawik ambik la haluan maule…

Si timu lawik la maule…

Yang berarti:

Maule…

Ke pulaulah pinang Bila sudah berlayar Kepulaulah pinang

Ambillah haluan (arah tujuan) maule Ketimur laut ambil lah haluanmu maule Ketimur laut lah maule

Penulis menganilisis teks Kapulo Pinang yang disajikan berisi kalimat pembuka, kemudian isi, dan kemudian kalimat penutup. Bait pertama dari teks diatas adalah ungkapan yang disajikan sebagai ungkapan ratapan kedalam bentuk syair. Mengisahkan perjalanan seorang pemuda yang harus meninggalkan tunangannya untuk berlayar ke Pulau Pinang mencoba peruntungan nasib yang dimiliki si pemuda. Seperti yang disebutkan dalam teks si pemuda harus mengambil haluan kearah timur laut untuk sampai ke pulau pinang.

Bait 2 Maule…

Ati ambo dak sanang Jiko bala…i…

Ati ambo dak sanang…

Ai la mato… Maule…

Sapanjang lawik Ai la mato… Maule…

Sapanjang la lawik… Maule…

Yang berarti

Maule…

Hati saya tidak senang Bila sudah berlayar Hati saya tidak senang Air mata ini lah… Maule Sepanjang laut

Air mata imi lah… Maule Sepanjang laut

Pada bait kedua ini penulis mengartikan kesedihan si pemuda yang sangat dalam, dilihat dari perumpamaan yang digunakan sipemuda yaitu air yang mata yang sepanjang lautan. Dalam hal ini penulis berpendapat bahwa ada kegelisahan hati dari sipemuda dalam perjalanan yang dia tempuh menuju pulau Pinang.

Kesedihan yang dimaksudkan dalam syair ini adalah karena sipemuda yang pergi meninggalkan tanah kelahiran dan juga tunangannya.

Bait 3 Maule…

Bukanla dek kijang…

Ambo balari…

Bukanla dek kijang…

Pado yang punyo…

Badan ala tasanda…

La pado untungnyo Yang berarti

Maule

Bukan seperti kijang Saya berlari

Bukan seperti kijang Saya berlari

Pada yang empu-Nya Tubuh bersandar Sudah kepada rejekinya

Penjelasan syair diatas menceritakan tentang sipemuda yang berusaha keras, berlari kencang bagaikan kijang untu mengejar impiannya menjadi orang yang berhasil di tanah rantau, namun pada akhirya semua usaha yang dilakukan oleh si pemuda harus dikembalikan kepada yang Maha Kuasa. Rejeki dan nasib yang dimiliki si pemuda yang sudah diatur.

Bait 4 Maule…

Bukannyo dek riang…

Ambo banyanyi…

Bukannyo dek riang…

Ambo badendang…

Badanla takana… Maule…

Pado untungyo…

Yang berate

Maule

Bukan karena senang Saya bernyanyi Bukan karena senang Saya menari

Mengingat badan Maule

Sudah nasibnya

Syair tersebut menceritakan tentang si pemuda yang sambil bernyanyi dan bersenandung di perantauan untuk mnehilangkan kesedihannya dan juga kerinduannya akan kampong halamannya. Sipemuda benyanyi juga karena senang dan gembira, melainkan si pemuda sudh menerima nasibnya yang belum membaik juga di tanah perantauannya pulau Pinang.

Bait 5 Maule…

Buminyo la kare…

Pulo la Pinang…

Buminyo la kare…

Banyak la dagang…

Maule…

Pulang barutang…

Banyak la dagang…

Yang berarti

Maule

Tananhnya yang kkeras Di pulau Pinang

Tanahnya keras

Sudah banyak usaha (berdagang) Maule

Pulang membawa utang

Sudah banyak usaha (berdagang)

Penulis mengartikan sebagai bahwa si pemuda yang berada di tanah perantauan pulau Pinang sudah mencoba banyak usaha/berdagang untuk memperbaiki nasib dan mencoba peruntungannya, namun si pemuda tidak berhasil dan selalu gagal dalam usahanya untuk berdagang. Buminya yang keras mengartikan bahwa apapun yang dikerjakan tidak akan berhasil karena tanah yang keras tidak akan dapat menghasilkan buah yang baik. Semua usaha yang dilakukan sipemuda sia-sia dan menyisahkan banyak utang untuk diselesaikan.

Bait 6 Maule…

Kian tapikki…

Ala kian la dalam…

Kian tapikki…

Dalam la bacampu…

Maule…

Ati hibo…

Dalam la bacampu…

Maule…

Ati hibo…

Yang berarti :

Maule

Semakin dipikirkan Semakin dalam Semakin dipirkan

Semakin bingung (perasaan yang campur aduk) Maule

Hati iba

Semakin bercampur di dalam

Penulis mengarttikan makna dari syair ini bahwa semakin si pemuda memikirkan kemalangan yang dia alami semakin terpuruk keadaan si pemuda.

Emosi dalam hati yang dimiliki sipemuda semakin bercampur aduk dan membuat hati menjadi iba dan sedih.

Bait 7 Maule…

Dicabik-caik…

Kain la dibali…

Dicabi-cabik…

Ala di eto…

Maule…

Tanga tiga eto…

Maule…

Ala di eto…

Yang berarti :

Maule

Di robek-robekan Kain yang sudah dibeli Di robek-robekan Sudah dihitung Dihitung belah tiga Maule

Sudah dihitung

Penjelasan dari syair ini mengibaratkan hubungan sipemuda dan tunangannya dalam mencaapi kesepakatan untu berpisah sementara karena si pemuda hendak merantau mencari peruntungan ke pulau Pinang. Istilah dari kain yang dibeli adalah mahar yang diberikan si pemuda kepada keluarga perempuan sebelum dia berangkat dan untuk memastikan status tunangannya selagi si pemuda pergi.

Maule…

Mintakla tabik…

Kami la banyanyi…

Mintakla tabik…

Jangan la dibilang Maule…

Sikurang la baso Jangan la dibilang…

Maule…

Sikurang la baso…

Yang berarti

Maule

Mohonlah izin

Kami yang sudah bernyanyi Mohonlah izin

Jangalah disebut Maule

Bahasa yang kurang (tidak sopan/tidak beradat) Janganlah dibilang

Maule

Bahasa yang kurang (tidak sopan/tidak beradat)

Pada bait terakhir dari lagu Kapulo Pinang yang dibawakan penyair seniman sikambang memiliki makna yang berbeda dari syair-syair sebelumnya.

Seperti sudah dijelaskan diawal oleh penulis bahwa syair ini memilki susunan teks pembukaan, isi, dan penutup. Pada bait ini penyair menutup lagu dengan permohonan maaf kepada keluarga pengantin juga masyarakat yang ikut terlibat dalam upacar adat pernikahan yang digelar oleh kedua keluarga pengantin.

Permohonan maaf yang dimaksudkan oleh penyair adalah apabila ada kesalahan kata dan perbuatan yang kurang berkenan agar dimaafkan.

Setiap baitnya selalu diawali dengan kata Maule. Makna dari kata Maule itu sendiri seperti ajakan kepada keluarga atau masyarakat untuk ambil bagian dalam upacara pernikahan. Tujuannya adalah agar masyarakat yang hadir dalam upacara pernikahan turut merasakan pesan-pesan yang disampaikan oleh seniman Sikambang dari bait pertama sampai dengan selesai.

Pada saat penelitian berlangsung, penulis juga mengamati bahwa urutan dari teks lagu Kapulo Pinang ini tidak baku. Yang dimaksudkan penulis tidak baku adalah urutan isi teks bisa berubah-ubah atau bertambah tergantung durasi waktu yang diberikan keluarga. Setiap bait lagu dinyanyikan oleh pemain musik secara bergilir dan tidak memiliki urutan penyajian. Namun, walaupun seperti itu setiap kesenian sikambang selalu memiliki penyanyi utama untuk membawakan syair lagu dari kesenian Sikambang.

Maka dari itu, penulis juga akan menjelaskan mengenai penanda dan

Maka dari itu, penulis juga akan menjelaskan mengenai penanda dan

Dokumen terkait