• Tidak ada hasil yang ditemukan

Tugas hukum acara pidana

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2017

Membagikan "Tugas hukum acara pidana"

Copied!
26
0
0

Teks penuh

(1)

BAB I PENDAHULUAN Latar Belakang

Dalam sistem peradilan pidana, polisi dan jaksa adalah institusi penegak hukum yang memiliki hubungan fungsional sangat erat, dalam tugasnya masing-masing ya itu polisi sebagai penyidik dan jaksa sebagai pembuat tuntutan dan pelaksana putusan hakim. Kedua institusi ini seharusnya bekerjasama dan berkoordinasi dengan baik untuk mencapai tujuan dari sistem ini, yaitu menanggulangi dan mengendalikan kejahatan yang terjadi di dalam masyarakat sesuai dengan aturan undang-undang yang berlaku (hukum positif).

Terpadu menunjukkan adanya kerja sama antara satu elemen dengan elemen lainnya, tentu dalam hal ini kerja sama sesuai dengan wewenang masing-masing antara Penyidik Polri dengan PU. Romli Atmasasmita mengatakan bahwa sejak dibelakukannya KUHAP, ternyata belum juga bisa diatasi masalah kerja sama dalam bidang penyidikan dan penuntutan antara kedua institusi tersebut sampai saat ini. Ketidaksinergian dan ketidakharmonisan antara kedua institusi tersebut terutama sangat nyata dalam penyidikan kasus-kasus tindak pidana khusus, seperti tindak pidana korupsi dan tindak pidana lainnya yang menarik perhatian masyarakat dan bersifat nasional. Karena dalam kasus tindak pidana korupsi terdapat peran ganda yang diperankan oleh jaksa yaitu melakukan penyidikan dan sekaligus juga melakukan penuntutan, sehingga banyak yang beranggapan telah terjadi monopoli dalam satu tangan, berakibat banyak pihak mengatakan tidak ada kontrol dari luar kejaksaan sesuai kesistiman dalam penegakan hukum pidana terpadu. Hal ini juga sering

menimbulkan persaingan yang tidak sehat antara penyidik dan JPU.

Jika dibahas secara khusus hubungan fungsional antara penyidik dan penuntut umum atau antara jaksa dan polisi, kita harus mengakui kenyataan sekarang bahwa terjadi ketidakserasian yang menjurus pada kerugian pencari keadilan. Akibat sistem dan pemahaman yang tidak memadai, terjadi tidak menentunya ribuan perkara pidana. Kesalahan ini tidak dapat dilimpahkan pada salah satu pihak jaksa dan/atau polisi, akan tetapi pada sistem. Sejarah kekurangharmonisan ini

sebenarnya sudah dimulai sejak tahun 1955, sebagai akibat perebutan kewenangan yang telah ditinggalkan oleh Kolonial Belanda, dan dimulai dari perpecahan antara Ikatan Hakim Indonesia dengan Kejaksaan, karena IKAHI menuntut gaji harus lebih besar dari jaksa. Kemudian merembes kepada kepolisian yang membentuk organisasi “Persatuan Pegawai Kepolisian RI”, tujuan

utamanya tidak mau menjadi “pembantu jaksa” (hulp magistraat), padahal istilah itu tidak benar dan seharusnya diterjemahkan menjadi magistraat pembantu. Akibatnya menggunakan kata sebagai pembantu maka dianggap merendahkan martabat dan kedudukan, sehingga ditolak. Hubungan yang antara jaksa dan polisi di negara-negara Eropa dan Amerika Serikat sangat erat, kecuali di

(2)

1.2 Rumusan Masalah

a) Apa saja tugas penyidik dalam menangani kasus tindak pidana?

b) Apa saja tugas jaksa penuntut umum dalam menangani kasus tindak pidana? c) Apa masalah yang dihadapi oleh penyidik dalam hubungannya dengan JPU? d) Bagaimana solusi untuk mengatasinya?

1.3 Tujuan Penulisan

a) Untuk mengetahui apa saja yang menjadi tugas penyidik dan JPU dalam tugasnya menangani

kasus tindak pidana.

(3)

BAB II TEORI 2.1 Hukum Resposnsif

Hukum responsive adalah model atau teori yang digagas Nonetselznick di tengah kritik pedas neo-Marxis terhadap liberal legalism. Seperti diketahui, legalisma libareal mengaandaikan hukum sebagai institusi mandiri dengan sistem peraturan dan prosedur yang objektif, tidak memihak dan benar-benar otonom. Ikon legalisme liberal adalah otonomi hukum. Wujud paling nyata dari otonomi daerah itu adalah rezim rule of law. Dengan karakternya yang otonom itu, diyakini bahwa hukum dapat mengendalikan represi dan menjaga integritasnya sendiri.

Hukum responsive merupakan teori tentang profil hukum yang dibutuhkan dalam masa transisi. Karena harus peka terhadap situasi di sekitarnya, maka hukum responsive tidak saja dituntut menjadi siste yang terbuka, tetapi juga harus juga mengandalkan kautamaan tujuan yaitu, tujuan social yang yang ingin dicapainya serta akibat-akibat yang timbul dari bekerjana hukum itu.

2.2 Hukum Progresif

Teori hukum progresif tidak lepas dari gagasan Satjipto Rahardjo yang galau dengan cara penyelenggaraan Hukum Di Indonesia. Meski setiap kali persoalan-persoalan hukum muncul dalam nuansa transisi, namun penyelenggaraan hukum terus saja dijalankan layaknya kondisi normal. Hamper tidak ada terobosan yang cerdas mengahadapi kemelut transisi pasca orde baru.

Menurut Rahardjo, pemikiran hukum perlu kembali pada filosofi dasarnya, ya itu hukum untuk manusia. Dengan filosofi tersebut, maka manusia menjadi penentu dan titik orientasi hukum. Hukum bertugas melayani manusia, bukan sebaliknya. Oleh karena itu, hukum itu bukan merupakan institusi yang lepas dari kepentingan manusia. Mutu hukum ditentukan oleh

kemampuaanya untuk mengabdi pada kesejahtraan manusia. Ini menyebabkan hukum progresif menganut ‘ideologi’: hukum yang pro-keadilan dan pro-rakyat.

2.3 Ilmu Aturan dalam Pohon Ilmu

Soal rujukan “ilmu aturan ‘ itu dalam ranah percabangan pohon ilmu, merupakan soal lain lagi. Sebagaimana diketahui, dari sisi substansi keluarga ilmu berpangkal pada dua cabang utama, yakni ilmu formal dan ilmu empiric.

(4)

2.4 Hukum Itu Keseimbangan Kepentingan

Pragmatism amerika, merupakan basis ideology teori pound tetang keseimbangan

kepentingan. Seturut pragmatism di negerinya, pound cenderung menghindari konstruksi-konstruksi teori yang terlampau abstrak seperti umunya teori-teori yang yang muncul di Eropa.

Pada dasarnya, kondisi awal struktur suatu masyarakat selalu berada dalam kondisi yang kurang seimbang. Ada yang terlalu dominan dan ada pula yang terpinggirkan. Untuk menciptakan dunia yang beradab kepentingan-kepentingan sruktural itu perlu ditata ulang dalam pola keseimbangan yang proporsional. Dalam konteks keperlua tersebut, hukum bersifat logis-analitis dan serba abstrak ( hukum murni ) ataupun yang berisi gambaran realitas apa adanya ( sosiologis ) tidak mungkin di andalkan. Hukum dengan tipe tersebut, paling-paling hanya mengukuhkan apa yang ada. Ia tidak merubah keadaan.

BAB III PEMBAHASAN 3.1 Tugas dan Wewenang Penyidik

Dalam KUHAP dalam ketentuan umum, dijelaskan bahwa,

Pasal 1 angka 1 KUHAP

Penyidik adalah pejabat polisi negara Republik Indonesia atau pejabat pegawai negeri sipil tertentu yang diberi wewenang khusus oleh undang-undang untuk melakukan penyidikan.

Pasal 1 angka 2 KUHAP

Penyidikan adalah serangkaian tindakan penyidik dalam hal dan menurut cara yang diatur dalam undang-undang ini untuk mencari serta mengumpulkan bukti yang dengan bukti itu membuat terang tentang tindak pidana yang terjadi dan guna menemukan tersangkanya.

Pasal 1 angka 4 KUHAP

Penyelidik adalah pejabat polisi negara Republik Indonesia yang diberi wewenang oleh undang-undang ini untuk melakukan penyelidikan.

Pasal 1 angka 5 KUHAP

Penyelidikan adalah serangkaian tindakan penyelidik untuk mencari dan menemukan suatu peristiwa yang diduga sebagai tindak pidana guna menentukan dapat atau tidaknya dilakukan penyidikan menurut cara yang diatur dalam undang-undang ini.

(5)

keadaan konkret menuntut adanya tindakan kepolisian (menurut wewenang itu) perlu dilakukan. Wewenang menjadi dasar kebebasan untuk bertindak bagi seorang pejabat yang memilikinya. Kebebasan itu disebut juga sebagai diskersi sehingga wewenang diskresioner, artinya kebebasan bertindak yang melekat pada jabatannya. Tugas adalah pekerjaan sehari-hari yang dilakukan untuk melaksanakan wewenang dan kewajiban sebagai pejabat.

Kewajiban itu sendiri adalah tuntutan pelakanaan tugas yang memiliki sanksi oleh

wewenang, bilamana tugas dan wewenang itu tidak ditaati atau tidak dilaksanakan. Dengan uraian itu, mau ditegaskan bahwa ketiga hal sebagai wewenang, tugas, dan kewajiban adalah bernilai hukum karena mengandung sanksi. Namun, di samping nilai hukum, juga ada implikasi akibat praktisnya yang harus diikuti dengan manajemen adiministrasi ketatausahaan, profesionalitas dan integritas personal pribadi dalam menjalankannya, serta terhadapnya ada supervise dan pengawasan atau control atas pertanggungjawabannya, sebab semuanya itu haruslah diurus secara manajerial untuk diselenggarakan menurut standar ukur teknis yang rapi, akurat, valid, baik dan benar.

Berkaitan dengan Tugas Pokok Polisi dalam rangka penegakan hukum sebagai proses penyelesaian masalah suatu perkara pidana dalam keterkaitannya dengan criminal justice system, maka dilakukan penyidikan oleh penyidik Polri. Sehubungan dengan hal di atas, maka Pejabat Kepolisian Negara Republik Indonesia dalam menjalankan tugas dan wewenangnya di seluruh wilayah Negara Republik Indonesia, khususnya di daerah hukum pejabat yang bersangkutan ditugaskan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan. Hal ini sesuai dengan isi ketentuan Pasal 17 Undang-undang Nomor 2 Tahun 2002 tentang Kepolisian Negara Republik Indonesia. Maka dalam melaksanakan tugas dan wewenang kepolisian tersebut menurut peneliti, harus didasarkan kepada ketentuan peraturan perundangan yang berlaku atau dapat dikatakan harus sesuai dengan prosedur hukum yang berlaku.

Penyidikan merupakan salah satu Tugas Pokok Polri dalam rangka melaksanakan penegakan hukum yang didasarkan pada ketentuan Pasal 13 huruf (b) Undang-undang Nomor 2 Tahun 2002 tentang Kepolisian Negara Republik Indonesia. Sementara dalam kaitannya dengan Polri sebagai penyidik didasarkan kepada ketentuan Pasal 14 ayat (1) huruf (g) Undang-undang Nomor 2 Tahun 2002 tentang Kepolisian Negara Republik Indonesia, yang menyatakan bahwa Kepolisian Negara Republik Indonesia bertugas “melakukan penyelidikan dan penyidikan terhadap semua tindak pidana sesuai dengan hukum acara pidana dan peraturan perundang-undangan lainnya.

Jadi dapat dikatakan bahwa Undang-undang Nomor 2 Tahun 2002 tentang Kepolisian Negara Republik Indonesia memberikan wewenang kepada Polri untuk melakukan tugas

(6)

3.1.1 Pelaksanaan

Penyidikan tindak pidana dilaksanakan setelah diketahui bahwa sesuatu peristiwa yang terjadi merupakan tindak pidana

3.1.2 Diketahuinya Tindak Pidana

Dasar hukumnya adalah Pasal 102 ayat (2) dan (3) KUHAP; Pasal 106 KUHAP; Pasal 108 KUHAP; Pasal 109 ayat (1) KUHAP; Pasal 111 KUHAP. Suatu Tindak Pidana dapat diketahui melalui: Laporan, Pengaduan, tertangkap tangan, diketahui langsung oleh petugas Polri. Setiap petugas Polri tanpa menunggu surat perintah dapat melakukan tindakan penangkapan, larangan meninggalkan tempat, penggeledahan dan lain sebagainya seperti dimaksud dalam Pasal 5 ayat (1) huruf (b) KUHAP ketika terjadi tindak pidana tertangkap tangan. Terhadap tindakan yang

dilakukan, petugas tersebut wajib membuat berita acara dan melaporkannya kepada penyidik sedaerah hukum.

Penyidikan yang mengetahui, menerima laporan atau pengaduan tentang terjadinya suatu peristiwa yang patut diduga merupakan tindak pidana wajib segera melakukan tindakan penyidikan yang diperlukan. Setiap orang yang mengalami, melihat, menyaksikan dan atau menjadi korban peristiwa yang merupakan tindak pidana berhak untuk mengajukan laporan atau pengaduan kepada kepolisian baik lisan maupun tertulis. Begitu juga bagi orang yang mengetahui permufakatan jahat untuk melakukan tindak pidana, seketika itu juga agar melaporkan hal tersebut kepada kepolisian. Kemudian pegawai negeri dalam rangka melaksanakan tugasnya yang mengetahui tentang

terjadinya peristiwa yang merupakan tindak pidana wajib segera melaporkan hal itu kepada kepolisian. Laporan atau pengaduan yang diajukan secara tertulis harus ditanda-tangani oleh pelapor atau pengadu. Laporan atau pengaduan yang diajukan secara lisan harus dicatat oleh penyidik dan ditandatangani oleh pelapor atau pengadu dan penyidik. Setelah menerima laporan atau pengaduan, penyelidik atau penyidik harus memberikan surat tanda penerimaan laporan atau pengaduan kepada yang bersangkutan.

Dalam hal penyidik telah mulai melakukan penyidikan suatu peristiwa yang merupakan tindak pidana, penyidik memberitahukan hal itu kepada penuntut umum. Berdasarkan ketentuan dalam Pasal 111 KUHAP, dalam hal terjadi tindak pidana yang tertangkap tangan setiap orang berhak, sedangkan setiap orang yang mempunyai wewenang dalam tugas ketertiban, ketentraman dan keamanan umum wajib, menangkap tersangka guna diserahkan beserta atau tanpa barang bukti kepada penyelidik atau penyidik. Setelah menerima penyerahan tersangka, penyelidik atau penyidik wajib segera melakukan pemeriksaan dan tindakan lain dalam rangka penyidikan. Penyelidik atau penyidik yang menerima laporan tersebut segera datang ke tempat kejadian dapat melarang setiap orang untuk meninggalkan tempat itu selama pemeriksaan di situ belum selesai.

3.1.3 Pelaksanaan Penyidikan

(7)

yang menjadi dasasr hukumnya adalah: Pasal 5 KUHAP; Pasal 9 KUHAP; Pasal 75 KUHAP; Pasal 102 s/d 105 KUHAP; Pasal 111 KUHAP.

Petugas Polri mempunyai kewewenangan menerima laporan atau pengaduan tentan adanya tindak pidana, mencaru keterangan dan barang bukti, menyuruh berhenti seorang yang dicurigai dan menanyakan serta memeriksa tanda pengenal diri, serta melakukan tindakan lain menurut hukum yang bertanggang jawab. Atas perintah penyidik dapat melakukan tindakan berupa: Penangkapan, larangan meninggalkan tempat penggeledahan dan penyitaan, Pemeriksaan dan penyitaan surat, Mengambil sidik jari dan memotret seorang, Membawa dan menghadapkan seorang pada penyidik.

Berita acara dibuat untuk setiap tindakan tentang: Pemeriksaan tersangka; Penangkapan; Penahanan; Penggeledahan; Pemasukan rumah; Penyitaan benda; Pemeriksaan surat; Pemeriksaan saksi; Pemeriksaan di tempat kejadian; Pelaksanaan penetapan dan putusan pengadilan;

Pelaksanaan tindakan lain sesuai dengan ketentuan dalam undang-undang. Berita acara dibuat oleh pejabat yang bersangkutan dalam melakukan tindakan tersebut dan dibuat atas kekuatan sumpah jabatan. Berita acara tersebut selain ditandatangani oleh pejabat tersebut ditandatangani pula oleh semua pihak yang terlibat dalam tindakan tersebut.

Penyelidikan yang mengetahui, menerima laporan atau pengaduan tentang terjadinya suatu peristiwa yang patut diduga merupakan tindak pidana wajib segera melakukan tindakan

penyelidikan yang diperlukan. Dalam hal tertangkap tangan tanpa menunggu perintah penyidik, penyelidik wajib segera melakukan tindakan yang diperlukan dalam rangka penyelidikan dan penyelidik wajib membuat berita acara dan melaporkannya kepada penyidik sedaerah hukum.

Laporan atau pengaduan yang diajukan secara tertulis harus ditandatangani oleh pelapor atau pengadu. Laporan atau pengaduan yang diajukan secara lisan harus dicatat oleh penyelidik dan ditandatangani oleh pelapor atau pengadu dan penyelidik. Dalam hal pelapor atau pengadu tidak dapat menulis, hal itu harus disebutkan sebagai catatan dalam laporan atau pengaduan tersebut.

Dalam melaksanakan tugas penyelidikan, penyelidik wajib menunjukkan tanda

pengenalnya. Dalam melaksanakan tugas penyelidikan, penyelidik dikoordinasi, diawasi dan diberi petunjuk oleh penyidik.

3.1.4 Penindakan

Penindakan adalah setiap tindakan hukum yang dilakukan terhadap orang maupun benda yang ada hubungannya dengan tindak pidana yang terjadi. Berkaitan dengan hal di atas, tindakan hukum tersebut antara lain, sebagai berikut:

3.1.5 Pemanggilan Tersangka dan Saksi

Yang menjadi dasar hukumnya adalah Undang-undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana, yakni Pasal 7 ayat (1) huruf (g) dan (h) KUHAP; Pasal 11 KUHAP; Pasal 112 KUHAP; Pasal 113 KUHAP; Pasal 116 ayat (4) KUHAP. Undang-undang Nomor 2 Tahun 2002 tentang Kepolisian Negara Republik Indonesia; Peraturan Pemerintah Nomor 27 Tahun 1983 tentang Pelaksanaan Hukum Acara Pidana; Peraturan lain-lainnya.

(8)

dengan pemeriksaan perkara. Penyidik pembantu mempunyai wewenang seperti tersebut dalam Pasal 7 ayat (1), kecuali mengenai penahanan yang wajib diberikan dengan pelimpahan wewenang dari penyidik.

Penyidik yang melakukan pemeriksaan, dengan menyebutkan alasan pemanggilan jelas, berwenang memanggil tersangka dan saksi yang dianggap perlu untuk diperiksa dengan surat panggilan yang sah dengan memperhatikan tenggang waktu yang wajar antara diterimanya panggilan dan hari seorang itu diharuskan memenuhi panggilan tersebut. Orang yang dipanggil wajib datang kepada penyidik dan jika ia tidak datang, penyidik memanggil sekali lagi, dengan perintah kepada petugas untuk membawa kepadanya.

Jika seorang tersangka atau saksi yang dipanggil memberi alasan yang patut dan wajar bahwa ia tidak dapat datang kepada penyidik yang melakukan pemeriksaan, penyidik itu datang ke tempat kediamannya. Pada saat pemeriksaan tersangka, apabila si tersangka menghendaki untuk dipanggilnya saksi yang menguntunkan, penyidik wajib memanggil dan memeriksa saksi tersebut.

3.1.6 Penangkapan

Yang menjadi dasar hukumnya adalah: Undang-undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana, sebagai berikut: Pasal 5 ayat (1) huruf (b) angka (1) KUHAP; Pasal 7 ayat (1) huruf (d) KUHAP; Pasal 11 sampai dengan 19 KUHAP; Pasal 75 KUHAP; Pasal 111 KUHAP; Undang-undang Nomor 2 Tahun 2002 tentang Kepolisian Negara Republik Indonesia; Peraturan Pemerintah Nomor 27 Tahun 1983 tentang Pelaksanaan Hukum Acara Pidana; Peraturan lainnya (untuk Pasal-pasal yang berhubungan dengan penangkapan). Di dalam Pasal 5 ayat (1) huruf (b) angka (1) KUHAP dijelaskan, “Atas perintah penyidik dapat melakukan tindakan berupa: penangkapan, larangan meninggalkan tempat, penggeledahan dan penyitaan.”

Penyidik Polri mempunyai kewenangan untuk melakukan penangkapan, penahanan, penggeledahan dan penyitaan. Penyidik pembantu mempunyai wewenang seperti tersebut dalam Pasal 7 ayat (1), kecuali mengenai penahanan yang wajib diberikan dengan pelimpahan wewenang dari penyidik. Penyidik pembantu membuat berita acara dan menyerahkan berkas perkara kepada penyidik, kecuali perkara dengan acara pemeriksaan singkat yang dapt langsung diserahkan kepada penuntut umum.

Untuk kepentingan penyelidikan, penyelidik atas perintah penyidik berwenang melakukan penangkapan. Untuk kepentingan penyidikan, penyidik dan penyidik pembantu berwenang melakukan penangkapan. Perintah penangkapan dilakukan terhadap seseorang yang diduga keras melakukan tindak pidana berdasarkan bukti permulaan yang cukup.

Pelaksanaan penangkapan dilakukan oleh petugas kepolisian Negara Republik Indonesia dengan memperlihatkan surat tugas serta memperlihatkan kepada tersangka surat perintah

penangkapan yang mencantumkan identitas tersangka dan menyebutkan alasan penangkapan serta uraian singkat perkara kejahatan yang dipersangkakan serta tempat ia diperiksa. Dalam hal

(9)

Penangkapan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 17, dapat dilakukan untuk paling lama satu hari. Terhadap tersangka pelaku pelanggaran tidak diadakan penangkapan kecuali dalam hal ia telah dipanggil secara sah dua kali berturut-turut tidak memenuhi panggilan itu tanpa alasan yang sah.

Dalam hal terjadi tindak pidana yang tertangkap tangan setiap orang berhak, sedangkan setiap orang yang mempunyai wewenang dalam tugas ketertiban, ketentraman dan keamanan umum wajib, menangkap tersangka guna diserahkan beserta atau tanpa barang bukti kepada penyelidik atau penyidik. Setelah menerima penyerahan tersangka, penyelidik atau penyidik wajib segera melakukan pemeriksaan dan tindakan lain dalam rangka penyidikan. Penyelidik atau penyidik yang menerima laporan tersebut segera datang ke tempat kejadian dapat melarang setiap orang untuk meninggalkan tempat itu selama pemeriksaan di situ belum selesai.

Hal-hal yang harus diperhatikan:

Setelah penangkapan dilakukan, segera diadakan pemeriksaan untuk dapat menentukan apakah perlu diadakan penahanan atau tidak, mengingat jangka waktu penangkapan yang diberikan oleh Undang-undang hanya 1×24 jam, kecuali terhadap tersangka kasus narkotik (2×24 jam);

Terhadap tersangka pelanggaran tidak dapat dilakukan penangkapan, kecuali bila telah dipanggil secara sah dua kali berturut-turut tidak memenuhi panggilam itu tanpa alas an yang sah;

Segera setelah dilakukan penangkapan supaya diberikan 1 (satu) surat perintah penangkapan wajib diberikan kepada tersangka dan 1 (satu) lembar kepada keluarganya.

3.1.7 Penahanan

Dasar hukum dalam melakukan penahanan oleh penyidik adalah: Pasal 7 ayat (1) huruf (d) KUHAP; Pasal 11 KUHAP; Pasal 20 ayat (1) KUHAP; Pasal 21 sampai dengan Pasal 24 KUHAP; Pasal 29 sampai dengan Pasal 31 KUHAP; Pasal 75 KUHAP; Pasal 123 KUHAP.

Dalam melakukan penahanan, penyidik Polri mempunyai kewenangan: …melakukan penangkapan, penahanan, penggeledahan dan penyitaan…. Seperti tercantum di dalam pasal 7 ayat (1) huruf (d) KUHAP. Penyidik pembantu mempunyai wewenang seperti tersebut dalam Pasal 7 ayat (1), kecuali mengenai penahanan yang wajib diberikan dengan pelimpahan wewenang dari penyidik.

Perintah penahanan atau penahanan lanjutan dilakukan terhadap seorang tersangka atau terdakwa yang diduga keras melakukan tindak pidana berdasarkan bukti yang cukup, dalam hal adanya keadaan yang menimbulkan kekhawatiran bahwa tersangka atau terdakwa akan melarikan diri, merusak atau menghilangkan barang bukti dan atau mengulangi tindak pidana. Penahanan atau penahanan lanjutan dilakukan oleh penyidik atau penuntut umum terhadap tersangka atau terdakwa dengan memberikan surat perintah penahanan atau penetapan hakim yang mencantumkan identitas tersangka atau terdakwa dan menyebutkan alasan penahanan serta uraian singkat perkara kejahatan yang dipersangkakan atau didakwakan serta tempat ia ditahan. Tembusan surat penahanan atau penahanan lanjutan atau penetapan hakim, harus diberikan kepada keluarganya. Penahanan tersebut hanya dikenakan terhadap tersangka atau terdakwa yang melakukan tindak pidana dan atau

(10)

Jenis penahanan dapat berupa: Penahanan rumah tahanan Negara, Penahanan rumah, Penahanan kota.

Penyidik atau penuntut umum atau hakim berwenang untuk mengalihkan jenis penahanan yang satu kepada jenis penahanan yang lain sebagaimana dimaksud dalam Pasal 22 KUHAP. Pengalihan jenis penahanan dinyatakan secara tersendiri dengan surat perintah dari penyidik atau penuntut umum atau penetapan hakim yang tembusannya diberikan kepada tersangka atau terdakwa serta keluarganya dan kepada instansi yang berkepentingan.

Pertimbangan melakukan penahanan:

Alasan Subjektif

Penahanan dilakukan terhadap tersangka yang diduga keras berdasarkan bukti yang cukup melakukan atau percobaan melakukan atau pemberian bantuan dalam tindak pidana, dalam hal adanya keadaan yang menimbulkan kekhawatiran bahwa tersangka:

- Akan melarikan diri;

- Akan merusak atau menghilangkan barang bukti;

- Akan mengulangi tindak pidana;

- Akan mempengaruhi atau menghilangkan saksi.

Alasan Objektif

Penahanan tersebut hanya dapat dikenakan dalam hal tersangka melakukan:

- Tindak Pidana yang diancam pidana penjara 5 tahun atau lebih (Pasal 21 ayat (4) huruf (a) KUHAP);

- Tindak Pidana terhadap Pasal-pasal tertentu sebagaimana diatur dalam Pasal 21 ayat (4) huruf (b) KUHAP.

3.1.8 Penggeledahan

Yang menjadi dasar hukum penyidik untuk melakukan penggeledahan adalah: Pasal 5 ayat (1) huruf (b) angka (1) KUHAP; Pasal 7 ayat (1) huruf (d) KUHAP; Pasal 11 KUHAP; Pasal 32 sampai dengan Pasal 37 KUHAP; Pasal 75 KUHAP; Pasal 125 KUHAP; Pasal 126 KUHAP.

Penyelidik Polri atas perintah penyidik dapat melakukan penangkapan, larangan meninggalkan tempat, penggeledahan dan penyitaan. Penyidik Polri mempunyai kewenangan melakukan

(11)

Untuk kepentingan penyidikan, penyidik dapat melakukan penggeledahan rumah atau penggeledahan pakaian atau penggeledahan badan menurut tata cara yang ditentukan dalam undang-undang. Dengan surat izin ketua pengadilan negeri setempat penyidik dalam melakukan penyidikan dapat mengadakan penggeledahan rumah yang diperlukan. Dalam hal yang diperlukan atas perintah tertulis dari penyidik, petugas kepolisian Negara Republik Indonesia dapat memasuki rumah. Setiap kali memasuki rumah harus disaksikan oleh dua orang saksi dalam hal tersangka atau penghuni menyetujuinya. Setiap kali memasuki rumah harus disaksikan oleh kepala desa atau ketua lingkungan dengan dua orang saksi, dalam hal tersangka atau penghuni menolak atau tidak hadir. Dalam waktu dua hari setelah memasuki dan atau menggeledah rumah, harus dibuat suatu berita acara dan turunannya disampaikan kepada pemilik atau penghuni rumah yang bersangkutan.

Dalam keadaan yang sangat perlu dan mendesak bilamana penyidik harus segera bertindak dan tidak mungkin untuk mendapatkan surat izin terlebih dahulu, dengan tidak mengurangi

ketentuan Pasal 33 ayat (5) penyidik dapat melakukan penggeledahan: Pada halaman rumah tersangka bertempat tinggal, berdiam atau ada dan yang ada di atasnya; Pada setiap tempat lain tersangka bertempat tinggal, berdiam atau ada; Di tempat tindak pidana dilakukan atau terdapat bekasnya, serta di tempat penginapan dan tempat umum lainnya. Dalam hal penyidik melakukan penggeledahan, penyidik tidak diperkenankan memeriksa atau menyita surat, buku dan tulisan lain yang tidak merupakan benda yang berhubungan dengan tindak pidana yang bersangkutan, kecuali benda yang berhubungan dengan tindak pidana yang bersangkutan atau yang diduga telah

dipergunakan untuk melakukan tindak pidana tersebut dan untuk itu wajib segera melaporkan kepada ketua pengadilan negeri setempat guna memperoleh persetujuannya. Kecuali dalam hal tertangkap tangan, penyidik tidak diperkenankan memasuki: Ruang di mana sedang berlangsung sidang Majelis Permusyawaratan Rakyat, Dewan Perwakilan atau Dewan Perwakilan Rakyat Daerah; Tempat di mana sedang berlangsung ibadah dan atau upacara keagamaan, Ruang di mana sedang berlangsung sidang pengadilan.

Dalam hal penyidik harus melakukan penggeledahan rumah di luar daerah hukumnya, dengan tidak mengurangi ketentuan tersebut dalam Pasal 33, maka penggeledahan tersebut harus diketahui oleh ketua pengadilan negeri dan didampingi oleh penyidik dari daerah hukum di mana penggeledahan itu dilakukan.

Pada waktu menangkap tersangka, penyidik hanya berwenang menggeledah pakaian termasuk benda yang dibawanya serta, apabila terdapat dugaan keras dengan alasan yang cukup bahwa pada tersangka tersebut terdapat benda yang dapat disita. Pada waktu menangkap tersangka dibawa kepada penyidik, penyidik berwenang menggeledah pakaian dan atau menggeledah badan tersangka.

Dalam hal penyidik melakukan penggeledahan rumah terlebih dahulu menunjukkan tanda pengenalnya kepada tersangka atau keluarganya, selanjutnya berlaku ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 33 dan Pasal 34 KUHAP.

(12)

tersangka atau keluarganya tidak mau membubuhkan tandatangannya, hal itu dicatat dalam berita acara dengan menyebut alasannya.

3.1.9 Penyitaan

Yang menjadi dasar dalam penyitaan adalah: Pasal 5 ayat (1) huruf (b) angka (1) KUHAP; Pasal 7 ayat (1) huruf (d) KUHAP; Pasal 11 KUHAP; Pasal 38 sampai dengan 49 KUHAP; Pasal 128 sampai dengan 132 KUHAP.

Penyelidik Polri atas perintah penyidik dapat melakukan tindakan berupa: penangkapan, larangan meninggalkan tempat, penggeledahan dan penyitaan. Penyidik Polri mempunyai kewenangan melakukan penangkapan, penahanan, penggeledahan dan penyitaan.

Penyitaan hanya dapat dilakukan oleh penyidik dengan surat izin ketua pengadilan negeri setempat. Dalam keadaan yang sangat perlu dan mendesak bilamana penyidik harus segera bertindak dan tidak mungkin untuk mendapatkan surat izin terlebih dahulu, penyidik dapat melakukan penyitaan hanya atas benda bergerak dan untuk itu wajib segera melaporkan kepada ketua pengadilan negeri setempat guna memperoleh persetujuannya.

Berdasarkan ketentuan Pasal 39 KUHAP ayat (1),

(1)Yang dapat dikenakan penyitaan adalah:

Benda atau tagihan tersangka atau terdakwa yang seluruh atau sebagian diduga diperoleh dari tindakan pidana atau sebagai hasil dari tindak pidana;

Benda yang telah dipergunakan secara langsung untuk melakukan tindak pidana atau untuk mempersiapkannya;

Benda yang dipergunakan untuk mengahalang-halangi penyelidikan tindak pidana;

Benda yang khusus dibuat atau diperuntukkan melakukan tindak pidana;

Benda lain yang mempunyai hubungan langsung dengan tindak pidana yang dilakukan.

(2) Benda yang berada dalam sitaan karena perkara perdata atau karena pailit dapat juga disita untuk kepentingan penyidikan, penuntutan dan mengadili perkara pidana, sepanjang memenuhi ketentuan ayat (1).

Dalam hal tertangkap tangan penyidik dapat menyita benda dan alat yang ternyata atau yang patut diduga telah dipergunakan untuk melakukan tindak pidana atau benda lain yang dapat dipakai sebagai barang bukti.

Dalam hal tertangkap tangan penyidik berwenang menyita paket atau surat atau benda yang pengangkutannya atau pengirimannya dilakukan oleh kantor pos dan telekomunikasi, jawatan atau perusahaan komunikasi atau pengangkutan, sepanjang paket, surat atau benda tersebut

(13)

Penyidik berwenang memerintahakan kepada orang yang menguasai benda yang disita, menyerahkan benda tersebut kepadanya untuk kepentingan pemeriksaan dan kepada yang

menyerahkan benda itu harus diberikan surat tanda penerimaan. Surat atau tulisan lain hanya dapat diperintahkan untuk diserahkan kepada penyidik jika surat atau tulisan itu berasal dari tersangka atau terdakwa atau ditujukan kepadanya atau kepunyaannya atau diperuntukkan baginya atau jikalau benda tersebut merupakan alat untuk melakukan tindak pidana.

Penyitaan surat atau tulisan dari mereka yang berkewajiban menurut undang-undang untuk merahasiakannya, sepanjang tidak menyangkut rahasia Negara, hanya dapat dilakukan atas

persetujuan mereka atau atas izin khusus ketua pengadilan negeri setempat kecuali undang-undang menentukan lain.

3.1.10 Pemeriksaan Tersangka, dan Saksi

Yang menjadi dasar hukum adalah: Pasal 7 ayat (1) huruf (d) KUHAP; Pasal 11 KUHAP; Pasal 51 KUHAP; Pasal 53 KUHAP; Pasal 75 KUHAP; Pasal 112 sampai dengan 120 KUHAP; Pasal 132 sampai dengan Pasal 133 KUHAP.

Penyidik Polri mempunyai kewenangan melakukan penangkapan, penahanan, penggeledahan dan penyitaan. Untuk mempersiapkan pembelaan: Tersangka berhak untuk

diberitahukan dengan jelas dalam bahasa yang dimengerti olehnya tentang apa yang disangkakan kepadanya pada waktu pemeriksaan dimulai; Terdakwa berhak untuk diberitahukan dengan jelas dalam bahasa yang dimengerti olehnya tentang apa yang didakwakan kepadanya.

Penyidik yang melakukan pemeriksaan, dengan menyebutkan alasan pemanggilan jelas, berwenang memanggil tersangka dan saksi yang dianggap perlu untuk diperiksa dengan surat panggilan yang sah dengan memperhatikan tenggang waktu yang wajar antara diterimanya panggilan dan hari seorang itu diharuskan memenuhi panggilan tersebut. Orang yang dipanggil wajib datang kepada penyidik dan jika ia tidak datang, penyidik memanggil sekali lagi, dengan perintah kepada petugas untuk membawa kepadanya.

Jika seorang tersangka atau saksi yang dipanggil memberi alasan yang patut dan wajar bahwa ia tidak dapat datang kepada penyidik yang melakukan pemeriksaan, penyidik itu datang ke tempat kediamannya. Dalam hal seorang disangka melakukan suatu tindak pidana sebelum

dimulainya pemeriksaan oleh penyidik, penyidik wajib memberitahukan kepadanya tentang haknya untuk mendapatkan bantuan hukum atau bahwa ia dalam perkaranya itu wajib didampingi oleh penasehat hukum sebagaimana dimaksud dalam pasal 56 KUHAP.

(14)

Keterangan tersangka dan atau saksi dicatat dalam berita acara yang ditandatangani oleh penyidik dan oleh yang memberi keterangan itu setelah mereka menyetujui isinya. Dalam hal tersangka dan atau saksi tidak mau membubuhkan tandatangannya, penyidik mencatat hal itu dalam berita acara dengan menyebut alasannya.

Dalam hal tersangka dan atau saksi yang harus didengar keterangannya berdiam dan bertempat tinggal di luar daerah hukum penyidik yang menjalankan penyidikan, pemeriksaan terhadap

tersangka dan atau saksi dapat dibebankan kepada penyidik di tempat kediaman atau tempat tinggal tersangka dan atau saksi tersebut.

Dalam hal penyidik menganggap perlu, ia dapat minta pendapat orang ahli atau orang yang memiliki keahlian khusus. Ahli tersebut mengangkat sumpah atau mengucapkan janji di muka penyidik bahwa ia akan memberi keterangan menurut pengetahuannya yang sebaik-baiknya kecuali bila disebabkan karena harkat serta martabat, pekerjaan atau jabatannya yang mewajibkan ia

menyimpan rahasia dapat menolak untuk memberikan keterangan yang diminta.

Pemeriksaan merupakan kegiatan untuk mendapatkan keterangan, kejelasan dan keidentikan tersangka atau saksi atau barang bukti maupun tentang unsur-unsur tindak pidana yang telah terjadi, sehingga kedudukan atau perananan seseorang maupun barang bukti di dalam tindak pidana

tersebut menjadi jelas dan dituangkan dalam Berita Acara Pemeriksaan.

Yang berwenang mengeluarkan pemeriksaan adalah penyidik atau penyidik pembantu. Pemeriksaan dilakukan atas dasar: Laporan Polisi, laporan hasil penyelidikan yang dibuat oleh petugas atas perintah penyidik atau penyidik pembantu, Berita Acara Pemeriksaan di TKP, Penangkapan, Penahanan, Penggeledahan dan Penyitaan, Petunjuk dari Penuntut Umum untuk melakukan pemeriksaan tambahan. Dalam hal saksi/ tersangka di luar wilayah hukum penyidik/ penyidik pembantu yang melakukan penyidikan, dapat meminta bantuan Penyidik/ Penyidik Pembantu dari kesatuan dimana saksi/ tersangka berada. Metode pemeriksaan dapat menggunakan teknik

Interview, Interogasi, Konfrontasi, Rekonstruksi.

Dalam pemeriksaan dipertanyakan pula apakah tersangka menghendaki didengarnya saksi yang menguntungkan (a de charge), dan bilamana ada, Penyidik/ Penyidik Pembantu wajib memanggil dan memeriksa saksi tersebut. Pada waktu dilakukan pemeriksaan, dilarang

menggunakan keekrasan atau penekanan dalam bentuk apapun dalam pemeriksaan. Berita Acara Pemeriksaan tersangka ditandatangani oleh Penyidik/ Penyidik Pembantu, Tersangka dan Penasehat Hukum dan Penerjemah bahasa (bila melibatkan Penasehat Hukum dan Penerjemah Bahasa).

(15)

Pemeriksaan ahli. Dalam hal penyidik memerlukan keterangan ahli. Penyidik dapat meminta bantuan seseorang yang memiliki keahlian khusus tentang hal yang diperlukan untuk membuat terang suatu perkara pidana guna kepentingan pemeriksaan. Sebelum diperiksa seorang ahli wajib mengangkat sumpah atau mengucapkan janji di muka penyidik bahwa ia memberikan keterangan menurut pengetahuannya yang sebaik-baiknya kecuali bila disebabkan karena harkat serta martabat pekerjaannya atau jabatannya yang mewajibkan ia menyimpan rahasia dapat menolak untuk memberikan keterangan yang diminta. Pengambilan sumpah atau janji dilaksanakan oleh Penyidik sesuai dengan peraturan perundang-undangan tentang sumpah atau janji yang berlaku baik

mengenai isi maupun tatacaranya. Penyidik dapat mengajukan permintaan keterangan ahli kepada ahli kedokteran kehakiman atau dokter dan atau ahli lainnya untuk melakukan pemeriksaan korban yang luka atau keracunan ataupun mati serta terhadap benda barang bukti dan hal-hal lain yang berkaitan dengan keahliannya. Keterangan yang diberikan oleh ahli sebagaimana tersebut di atas dapat berupa Berita Acara Pemeriksaan atau keterangan tertulis.

Tahap terakhir dalam proses penyidikan yang harus dilalui adalah Penyelesaian dan Penyerahan Berkas Perkara. Yang didasarkan kepada: Pasal 8 KUHAP; Pasal 12 KUHAP; Pasal 107 KUHAP; Pasal 109 ayat (2) KUHAP; Pasal 110 KUHAP; Pasal 138 KUHAP; Pasal 205 KUHAP; Pasal 207 KUHAP; Pasal 212 KUHAP.

Penyelesaian dan penyerahan berkas perkara merupakan kegiatan akhir dari proses penyidikan tindak pidana yang dilakukan oleh Penyidik/ Penyidik Pembantu.

Pertimbangan penyelesaian dan penyerahan berkas perkara; hasil pemeriksaan tersangka dan saksi serta kelengkapan bukti yang diperoleh; Unsur-unsur tindak pidana demi hukum. Kegiatan penyelesaian berkas perkara terdiri dari: pembuatan resume, pembuatan resume merupakan kegiatan penyidik untuk menyusun ikhtisar dan kesimpulan berdasarkan hasil penyidikan suatu tindak pidana yang terjadi. Resume harus memenuhi persyaratan formal dan persyaratan materiil serta persyaratan penulisan yang telah ditentukan; Penyusunan isi berkas perkara; Pemberkasan.

Penyerahan berkas perkara merupakan kegiatan pengiriman berkas perkara berikut penyerahan tanggung jawab atas tersangka dan barang buktinya kepada Penuntut Umum.

Penghentian penyidikan merupakan salah satu kegiatan penyelesaian perkara yang dilakukan apabila: tidak terdapat cukup bukti, peristiwa tersebut bukan merupakan tindak pidana, atau dihentikan demi hukum karena:

1. Tersangka meninggal dunia

2. Tuntutan tindak pidana telah kadaluarsa 3. Pengaduan dicabut bagi delik aduan

Tindak pidana tersebut telah memperoleh putusan Hakim yang telah mempunyai kekuatan hukum yang tetap dan pasti.

(16)

penyidikan untuk keseragaman Standarisasi model formulir dan surat. Pertanggungjawaban petugas dalam pelaksanaan kegiatan penyidikan, Pengawasan.

3.2 Tugas dan wewenang Jaksa Penuntut Umum Pasal 1 butir 6 KUHAP:

a. Jaksa adalah pejabat yang diberi wewenang oleh undang-undang ini untuk bertindak sebagai penuntut umum serta melaksanakan putusan pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap

b. Penuntut umum adalah jaksa yang diberi wewenang oleh undang-undang ini untuk melakukan penuntutan dan melaksanakan penetapan hakim.

Dalam KUHAP dikenal istilah penuntutan yang dijelaskan dalam pasal 1 ayat 7 bahwa, Penuntutan adalah tindakan penuntut umum untuk melimpahkan perkara pidana ke pengadilan negeri yang berwenang dalam hal dan menurut cara yang diatur dalam undang-undang ini dengan permintaan supaya diperiksa dan diputus oleh hakim di sidang pengadilan. Dalam pengertian ini dapat diambil satu kriteria yang berkaitan dengan subjek dalam penuntutan yaitu penuntut umum.

Definisi ini mirip dengan definisi Wirjono Prodjodikoro, perbedaannya ialah dalam definisi Wirjono Prodjodikoro disebut dengan tegas ”terdakwa” sedangkan dalam KUHAP tidak disebutkan terdakwa. Penuntutan menurut Wirjono Prodjodikoro adalah menuntut seorang terdakwa di muka Hakim Pidana adalah menyerahkan perkara seorang terdakwa dengan berkas perkaranya kepada hakim dengan permohonan supaya hakim memeriksa dan kemudian memutuskan perkara pidana itu terhadap terdakwa.

Dalam KUHAP juga dijelaskan tentang pengertian penuntut umum, dalam pasal 13 KUHAP diterangkan bahwa, Penuntut umum adalah jaksa yang diberi wewenang oleh undangundang ini untuk melakukan penuntutan dan melaksanakan penetapan hakim.

Sebelum melakukan penuntutan, jaksa melakukan suatu tindakan yang disebut pra penuntutan. Dalam hal pra penuntutan, KUHAP tidak menjelaskan secara terperinci apa pengertian pra

penuntutan, hanya menerangkan wewenang jaksa dalam pasal 14 KUHAP butir b, yang berbunyi: mengadakan pra penuntutan apabila ada kekurangan pada penyidikan dengan memperhatikan ketentuan Pasal 110 ayat (3) dan ayat (4), dengan memberi petunjuk dalam rangka penyempurnaan penyidikan dari penyidik. Mekipun tidak dijelaskan dengan terperinci dalam KUHAP, namun dalam pasal 14 KUHAP butir b dapat diambil sebuah pengertian pra penuntutan yaitu, tindakan penuntut umum untuk memberi petunjuk kepada penyidik dalam rangka penyempurnaan penyidikan.

3.2.1 Tugas dan Wewenang

(17)

1. Kejaksaan Republik Indonesia yang selanjutnya dalam Undang-Undang ini disebut kejaksaan adalah lembaga pemerintah yang melaksanakan kekuasaan negara dibidang penuntutan serta kewenangan lain berdasarkan Undang-undang.

2. Kekuasaan Negara sebagaimana dimaksud pada ayat 1 dilaksanakan secara merdeka. 3. Kejaksaan sebagaimana dimaksud pada ayat 1 adalah satu dan tidak terpisahkan.

Dalam melakukan tugas, penuntut umum mempunyai wewenang dan tugas yang sudah dijelaskan dalam KUHAP, diantaranya :

1. Menerima pemberitahuan dari penyidik dalam hal penyidik telah mulai melakukan penyidikan suatu peristiwa yang merupakan tindak pidana (Pasal 109 ayat 1) dan

pemberitahuan baik dari penyidik maupun penyidik PNS yang dimaksudkan oleh Pasal 6 ayat (1) huruf b mengenai penyidikan dihentikan demi hukum.

2. Menerima berkas perkara dari penyidik dalam tahap pertama dan kedua sebagaimana dimaksud oleh Pasal 8 ayat (3) huruf a dan b dalam hal acara pemeriksaan singkat menerima berkas perkara langsung dari penyidik pembantu (Pasal 12).

3. Mengadakan pra penuntutan (Pasal 14 huruf b) dengan memperhatikan ketentuan materi Pasal 110 ayat (3) dan (4) dan Pasal 138 ayat (1) dan (2).

4. Memberikan perpanjangan penahanan (Pasal 124 ayat 20), melakukan penahanan dan penahanan lanjutan (Pasal 20 ayat 2), Pasal 21 ayat (2), Pasal 25 dan Pasal 26), melakukan penahanan rumah (Pasal 22 ayat 2, penahanan kota (Pasal 22 ayat 3), serta mengalihkan jenis penahanan.

5. Atas permintaan tersangka atau terdakwa mengadakan penangguhan penahanan serta dapat mencabut penangguhan penahanan dalam hal tersangka atau terdakwa melanggar syarat yang ditentukan (Pasal 31).

6. Mengadakan penjualan lelang benda sitaan yang lekas rusak atau membahayakan karena tidak mungkin disimpan sampai putusan pengadilan pada perkara tersebut untuk

memperoleh putusan pengadilan yang tetap atau mengamankannya dengan disaksikan tersangka atau kuasanya (Pasal 45 ayat 1).

7. Melarang atau membatasi kebebasan hubungan antara Penasehat Hukum dengan tersangka akibat disalahgunakan haknya (Pasal 70 ayat 4), mengawasi hubungan antara penasehat hukum dengan tersangka tanpa mendengar isi pembicaraan antara mereka (Pasal 71 ayat 1), dan dalam kejahatan terhadap keamanan negara maka Jaksa dapat ikut mendengarkan isi pembicaraan penasehat hukum dengan tersangka (Pasal 71 ayat (2). Pengurangan kebebasan hubungan antara penasehat hukum dengan tersangka tersebut dilarang apabila perkara telah dilimpahkan Penuntut Umum ke Pengadilan Negeri untuk disidangkan (Pasal 74).

8. Meminta dilakukan pra peradilan kepada ketua pengadilan negeri untuk memeriksa sah atau tidaknya suatu penghentian penyidikan oleh penyidik (Pasal 80). Maksud Pasal 80 ini adalah untuk menegakkan hukum, keadilan dan kebenaran melalui sarana pengawasan secara horizontal.

9. Dalam perkara koneksitas, karena perkara pidana itu harus diadili oleh pengadilan dalam lingkungan peradilan umum, maka penuntut umum menerima penyerahan perkara dari oditur militer dan selanjutnya dijadikan dasar untuk mengajukan perkara tersebut kepada pengadilan yang berwenang (Pasal 91 ayat 1).

(18)

11. Mengadakan “tindakan lain” dalam lingkup tugas dan tanggung jawab selaku Penuntut Umum (Pasal 14 huruf i)

12. Apabila Penuntut Umum berpendapat bahwa dari hasil penyidikan dapat dilakukan penuntutan, maka dalam waktu secepatnya ia membuat surat dakwaan (pasal 140 ayat 1). 13. Membuat surat penetapan penghentian penuntutan (Pasal 140 ayat (2) huruf a),

dikarenakan :

· Tidak terdapat cukup bukti

· Peristiwa tersebut bukan merupakan tindak pidana · Perkara ditutup demi kepentingan umum.

14. Melakukan penuntutan terhadap tersangka yang dihentikan penuntutan dikarenakan adanya alasan baru (Pasal 140 ayat 2 huruf d).

15. Mengadakan penggabungan perkara dan membuatnya dalam satu surat dakwaan (Pasal 141).

16. Mengadakan pemecahan penuntutan terhadap satu berkas perkara yang memuat beberapa tindak pidana yang dilakukan beberapa orang tersangka (Pasal 142).

17. Melimpahkan perkara ke pengadilan negeri dengan disertai surat dakwaan (Pasal 143) 18. Membuat surat dakwaan (Pasal 143 ayat 2)

19. Untuk maksud penyempurnaan atau untuk tidak melanjutkan penuntutan, Penuntut Umum dapat mengubah surat dakwaan sebelum pengadilan menetapkan hari sidang atau selambat-lambatnya 7 (tujuh) hari sebelum sidang dimulai (Pasal 144).

3.2.2 Voeging dan Splitsing A. Penggabungan Perkara (Voeging)

Dalam hukum acara pidana salah satu tugas penuntut umum adalah melakukan penggabungan perkara. Pada umumnya tiap-tiap perkara diajukan tersndiri dalam sidang pengadilan, namun apabila pada waktu yang sama atau hampir bersamaan penuntut umum

menerima berkas perkara dari penyidik ia dapat melakukan penggabungan perkara dan membuatnya dlam satu surat dakwaan.

Menurut pasal 141 KUHAP dijelaskan tentang kemungkinan-kemungkinan penggabungan perkara pidana :

“Penuntut umum dapat melakukan penggabungan perkara dan membuatnya dalam satu surat dakwaan, apabila pada waktu yang sama atau hampir bersamaan ia menerima beberapa berkas perkara dalam hal:

1. beberapa tindak pidana yang dilakukan oleh seorang yang sama dan kepentingan pemeriksaan tidak menjadikan halangan terhadap penggabungannya;

2. beberapa tindak pidana yang bersangkut-paut satu dengan yang lain

(19)

Dalam suatu tindak pidana dianggap mempunyai sangkut paut (hubungan) dengan yang lain, apabila tindak pidana tersebut dilakukan:

1. Oleh lebih seorang yang bekerja sama dan dilakukan pada saat bersamaan

2. Oleh lebih dilakukan dari seorang pada saat dan tempat yang berbeda, akan tetapi merupakan merupakan pelaksanaan dari kesepakatan tindak pidana yang dibuat oleh mereka.

3. Oleh seorang atau lebih dengan maksud mendapatkan alat yang digunakan melakukan tindak pidana lain atau menghindarkan diri dari pemidanaan karena tindak pidana lain.

B. Pemisahan Perkara (Splitsing)

Pada dasarnya pemisahan berkas perkara disebabkan faktor pelaku tindak pidana. Sesuai dengan bunyi Pasal 142

“Dalam hal penuntut umum menerima satu berkas perkara yang memuat beberapa tindak pidana yang dilakukan oleh beberapa orang tersangka yang tidak termasuk dalam ketentuan Pasal 141, penuntut umum dapat melakukan penuntutan terhadap masing-masing terdakwa secara terpisah.”

Apabila terdakwa terdiri dari beberapa orang, penuntut umum dapat memisah berkas perkara menjadi beberapa berkas sesuai dengan jumlah terdakwa, sehingga :

a) Berkas yang semula diterima penuntut umum dari penyidik, dipecah menjadi dua atau beberapa perkas perkara.

b) Pemisahan dilakukan apabila dalam kasus pidana tersebut terdirir beberapa orang pelaku. Dengan pemisahan berkas tersebut, masing-masing tersangka didakwa dengan satu surat dakwa

c) Pemeriksaan perkara dalam persidangan dilakukan dalam satu persidangan. Masing-masing terdakwa diperiksa dalam persidangan yang berbeda

d) Pada umumnya, pemisahan berkas perkara sangat penting, apabila dalam perkara tersebut kurang barang bukti dan saksi.

Maka dengan pemecahan berkas perkara menjadi beberapa perkara yang berdiri sendiri antara seorang terdakwa dengan terdakwa lainnya, masing-masing dapat dijadikan sebagai saksi secara timbal balik. Sedangkan apabila mereka digabungkan dalam satu berkas dan pemeriksaan sidang pengadilan, antara satu dengan lainnya tidak dapat dijadikan saksi.

Sebagai ilustrasi, contoh kasus pembunuhan aktivis buruh Marsinah, yang menurut Mahkamah Agung dalam putusannya terhadap kasus pembunuhan Marsinah (MA Reg. No. 1174/Pid./1974) menyatakan bahwa tidak dibenarkan terdakwa bergantian dijadikan saksi. Alasannya : “... para saksi adalah para terdakwa bergantian dalam perkara yang sama dengan dakwaan yang sama yang dipecah-pecah bertentangan dengan hukum acara pidana yang menjujung tingga hak asasi manusia.

(20)

3.2.3 Penghentian dan Penyampingan Penuntutan

Dalam pasal 140 ayat 2 KUHAP dijelaskan bahwa dalam hal penuntut umum memutuskan untuk menghentikan penuntutan karena tidak terdapat cukup bukti atau peristiwa tersebut ternyata bukan merupakan tindak pidana atau perkara ditutup demi hukum, penuntut umum menuangkan hal tersebut dalam surat ketetapan.

Di Bidang Penuntutan ini hukum acara pidana mengenala dua asas, yaitu asas Legalitas dan asas Oportunitas. Adapun yang dimaksud asas Legalitas adalah bahwa apabila terjadi suatu tindakan pidana maka sudah menjadi kewajiban penutu umum untuk melakukan penuntutan ke pengadilan bagi peaku tindak pidana tersebut. Sebagai lawanya adalah asas oportunitas, yang menghendaki meskipun bukti-bukti yang dikumpulkan cukup untuk menjerat tersangka ke pengadilan namun penuntut umum berpendapat bahwa akan lebih banyak kerugian daripada keuntungan untuk kepentingan umum dengan menuntut tersangka daripada meuntutnya, maka penuntut umum wajib untuk mengenyampingkannya (seponeren).

Asas oportunitas tersebut sekarag dicantumkan dalam pasal 35 huruf c Undang-Undang No. 16 Tahun 2004 tentang Kejaksaan Republik Indonesia yang menyatakan bahwa Jkasa Agung mempunyai tugas dan wewenang mengeyampingkan perkara demi kepentingan umum. Didalam pasal itu dijelaskan yang dimaksud dengan kepentingan umum adalah kepentingan bangsa dan negara dan atau kepentingan masyarakat luas.

Dalam pada itu suatu perkara pidana dapat pula dihetikan penututannya oleh penuntut umum karena berpendapat tidak terdapat cukup bukti atau peristiwa itu bukan merupakan tindakan pidana atau perkara tersebut ditutup demi hukum. Adapun yang dimaksud perkara ditutup demi hukum ialah mislanya karena adanya pencabuta pengaduan dlam delik aduan (pasal 75 KUHP), ne bis in idem (paal 76 KUHP), terdakwa meninggal dunia (pasal 77 KUHP), perkara sudah kadaluwarsa (pasal 78 KUHP).

Berdasarkan uraian di atas dapat ditarik perbedaan antara pengeyampingan perkara (seponeren) dan enghentian perkara sebagai berikut:

a. Dalam penyampingan perkara yang bersangkutan memang cukup alasan dan bukti untuk diajukan dan diperiksa ke muka sidang pengadilan. Akan tetapi perkara yang cukup fakta dan bukti ini sengaja dikesampingkan dan tidak dilimpahkan ke sidang pengadilan oleh penutut umum atas alasan demi “kepentingan umum” slanjutnya `dikatakan

mengeyampingan perkara ini merupakn pelaksanaan asas oportunitas dan hanya dapat dilakukan oleh Jaksa Agung setelah memperhatikan saran dan pendapat badan negara yang bersangkutan dnegan masalah tersebut. Selain itu dalam penyampingan perkara apabila sudah dilakuakn penyampingan perkara maka tidak ada alasan untuk mnegajukan perkara kembali ke muka sidang pengadilan.

(21)

c. Perkara yang bersangkutan tidak mempunyai pembuktian yang cukup, sehingga jika perkaranya diajukan ke sidang pengadilan maka diduga kuat bhwa terdakwa kan dibebaskan oleh hakim.

d. Apa yang dituduhkan pada tersangka bukan merupakan suatu tindak pidana kejahatan atau pelanggaran.

e. Alasan ketiga dalam penghentian penuntutan ialah atas dasar perkara ditutup demi hukum.

f. Perkara yang dihentiakan penuntutunya, masih memungkinkan perkaranya dilimpahkan ke muka sidang pengadilan.

g. Umpamanya ditemukan buti baru sehingga denga bukti baru tersebuat dapat diharapkan untuk menghukum terdakwa.

3.3 Masalah yang Dihadapi Oleh Penyidik dalam Hubungannya dengan JPU

Merujuk kepada pertanyaan sebagaimana disebutkan sebelumnya, “apakah keterpaduan antara penyidik dengan PU dalam proses penyidikan sudah dilaksanakan dengan baik atau belum? Jika sekiranya belum, apa sebab-sebabnya?”

Terpadu menunjukkan adanya kerja sama antara satu elemen dengan elemen lainnya, tentu dalam hal ini kerja sama sesuai dengan wewenang masing-masing antara Penyidik Polri dengan PU. Romli Atmasasmita mengatakan bahwa sejak dibelakukannya KUHAP, ternyata belum juga bisa diatasi masalah kerja sama dalam bidang penyidikan dan penuntutan antara kedua institusi tersebut sampai saat ini. Ketidaksinergian dan ketidakharmonisan antara kedua institusi tersebut terutama sangat nyata dalam penyidikan kasus-kasus tindak pidana khusus, seperti tindak pidana korupsi dan tindak pidana lainnya yang menarik perhatian masyarakat dan bersifat nasional. Karena dalam kasus tindak pidana korupsi terdapat peran ganda yang diperankan oleh jaksa yaitu melakukan penyidikan dan sekaligus juga melakukan penuntutan, sehingga banyak yang beranggapan telah terjadi monopoli dalam satu tangan, berakibat banyak pihak mengatakan tidak ada kontrol dari luar kejaksaan sesuai kesistiman dalam penegakan hukum pidana terpadu. Hal ini juga sering

menimbulkan persaingan yang tidak sehat antara penyidik dan JPU.

Mengenai kekurangharmonisan yang terjadi selama ini juga dikemukakan oleh Andi

Hamzah: Jika dibahas secara khusus hubungan fungsional antara penyidik dan penuntut umum atau antara jaksa dan polisi, kita harus mengakui kenyataan sekarang bahwa terjadi ketidakserasian yang menjurus pada kerugian pencari keadilan. Akibat sistem dan pemahaman yang tidak memadai, terjadi tidak menentunya ribuan perkara pidana. Kesalahan ini tidak dapat dilimpahkan pada salah satu pihak jaksa dan/atau polisi, akan tetapi pada sistem. Sejarah kekurangharmonisan ini

sebenarnya sudah dimulai sejak tahun 1955, sebagai akibat perebutan kewenangan yang telah ditinggalkan oleh Kolonial Belanda, dan dimulai dari perpecahan antara Ikatan Hakim Indonesia dengan Kejaksaan, karena IKAHI menuntut gaji harus lebih besar dari jaksa. Kemudian merembes kepada kepolisian yang membentuk organisasi “Persatuan Pegawai Kepolisian RI”, tujuan

(22)

antara jaksa dan polisi di negara-negara Eropa dan Amerika Serikat sangat erat, kecuali di Indoensia.

Dalam praktek saat ini, dapat kita lihat yang sering dijadikan sebagai polemik akibat kekurangharmonisan dalam proses penyidikan dan pra penututan dengan PU antara lain dalam hal adanya bolak balik berkas perkara antara penyidik dengan PU. Sebenarnya dalam KUHAP istilah bolak balik tidak dikenal. Dalam hal ini saya tidak menunjuk apakah penyidik atau PU yang kurang profesional di bidang tugasnya masing-masing, karena masing-masing memiliki argumen yang logis dan dapat dibenarkan, namun belum tentu dapat dipertanggungwabkan.

Alasan penyidik pada umumnya adalah bahwa pengembalian berkas perkara dari JPU untuk diperbaiki oleh penyidik sesuai dengan pentunjuk yang diberikan oleh JPU kadang-kadang oleh penyidik dianggap sebagai mengada-ada, bahkan bila diteliti secara seksama petunjuk yang diberikan oleh PU kepada penyidik sudah tercantum dalam berkas pemeriksaan perkara namun barang kali tidak dibaca atau didalami materi pemeriksaannya. Bahkan ada penyidik yang mengatakan bahwa petunjuk yang diberikan oleh PU mengada-ada bahkan di luar dari konteks perkara. Yang lebih buruk lagi, bila masing-masing pihak baik penyidik maupun PU ataupun salah satu pihak penyidik atau pelapor, mempunyai kepentingan yang berbeda terhadap pelapor atau terlapor, irama bolak balik perkara dari PU kepada penyidik akan terlihat dengan jelas. Apabila kasus-kasus yang terkait dengan tindak pidana korupsi ditangani oleh Penyidik Polri, ada

kecenderungan lebih banyak bolak baliknya jika dibandingkan dengan kasus-kasus tindak pidana umum.

Di satu sisi alasan dari PU mengembalikan berkas perkara kepada penyidik untuk diperbaiki sesuai dengan petunjuk PU adalah untuk memperkuat JPU dalam menyusun dakwaannya dan melakukan penuntutan di persidangan, agar jangan sampai ada terdakwa yang bebas di pengadilan karena dianggap PU tidak profesional dalam melakukan pembuktian terhadap dakwaannya dalam proses penuntutan. Di samping alasan tersebut, alasan lainnya yaitu bila PU tidak dapat

mempertahankan dakwaannya, PU selaku pihak yang mewakili kepentingan publik dan korban sekaligus akan dituntut untuk mempertanggunjawabkannya, baik pertanggungjawaban dari aspek profesinya dan aspek yuridisnya, yang akan berpengaruh kepada pembinaan karier JPU yang bersangkutan.

Persepsi antara polisi dan jaksa tentang pra penuntuan sebagaimana yang telah diteliti oleh Topo Santoso dalam bukunya Luhut Pangaribuan tergambar dalam tabel di bawah ini:

NO. PANDANGAN POLISI PANDANGAN JAKSA

1. Jaksa sering memberikan petunjuk yang tidak jelas. Jaksa memberi tetapi agar mengubah soal X, Y, Z, tetapi sesudah itu diubah, malah meminta diperbaiki lagi agar menjadi soal A, B, C, dan seterusnya.

(23)

2. Jaksa sering tidak mengerti penyidik pidana umum jauh lebih sulit daripada pidana khusus.

Polisi tidak mengerti bahwa penyidikan pidana khusus jauh lebih sulit dari pidana umum dan membutuhkan pengetahuan yang luas.

3. Polisi seharusnya menjadi penyidik utama karena polisilah yang bertanggung jawab terhadap hasil penyidikan.

Jaksa harus ikut serta dalam penyidikan karena menduduki posisi sentral dan yang paling bertanggung jawab di pengadilan.

4. Jaksa sering mengubah isi pasal-pasal tuduhan dari polisi, sehingga melemahkan hasil pemeriksaan polisi, padahal polisi sudah bekerja keras untuk ini.

Polisi sering memberikan dasar hukum pemeriksaan yang kurang kuat, sehingga jaksa lemah di pengadilan. Untuk ini jaksa harus mengubah lagi, karena jaksa yang paling bertanggung jawab.

5. Tidak ada yang mengawasi berkas perkara yang tidak dilanjutkan jaksa ke pengadilan, sedangkan polisi dapat di pra peradilan.

Tidak ada yang dapat mengawasi polisi jika berkas yang diminta jaksa untuk

diperbaikinya tidak dikembalikan ke jaksa lagi. Jumlahnya sudah ribuan.

6. Jika kemampuan polisi memang kurang yang perlu diperbaiki personel polisinya, bukan dengan mengubah sistem yang ada.

Kekurangmampuan polisi harus ditopang dengan sitem yang memberikan proses beracara secara cepat dan tepat.

Apabila permasalahan tersebut berlangsung/dibiarkan terus tanpa ada usaha untuk

memperbaikinya maka dengan sendirinya tujuan politik kriminal penegakan hukum pidana masih jauh dari harapan para pencari keadilan, fungsi hukum sebagai alat untuk menyelesaikan masalah, dan sebagai kontrol sosial tidak dapat diujudkan, yang berakibat masyarakat para pencari keadilan dan korban tidak merasa dilindungi, masyarakat apatis, bahkan akan cenderung menyelesaikan masalahnya dengan main hakim sendiri.

Cara-cara demikian jelas sangat bertentangan dengan tujuan hukum. Dengan demikian ternyata untuk melaksanakan/merealisasikan sistem peradilan yang terpadu tidaklah semudah sebagaimana ditentukan dalam KUHAP.

(24)

Permasalahan kekurangterpaduan dalam tahap proses penyidikan antara penyidik dengan PU sudah lama berlangsung, bahkan dalam berbagai seminar, pertemuan ilmiah, diskusi-diskusi, dan rapat-rapat internal sudah sering dibicaran dan ditawarkan berbagai jalan solusi atau pemecahannya, namun kesalahan yang sama sering terjadi, dengan alasan-alasan yang saling tuding-menuding. Lebih ironis lagi ada satu institusi yang beranggapan bahwa dirinya jauh lebih hebat dari yang lain dan juga ada yang merasa bahwa satu elemen merupakan sub-ordinasi dari elemen yang lain.

Oleh karena itu, usaha-usaha yang perlu diperhatikan agar masalah-masalah yang saya sebutkan di atas dapat diatasi, perlu diperhatikan beberapa hal sebagai berikut:

1. Penyidik dari sejak awal hendaknya melakukan koordinasi dengan PU, jangan ketika hendak menyerahkan berkara perkara, sebagaimana yang sering dilakukan oleh penyidik.

2. Penyidik dalam hal menangani kasus-kasus yang berat agar mengundang PU untuk dilaksanakan gelar perkara atau dilakukan konsultasi melalui sarana komunikasi secara lisan ataupun tertulis.

3. Jika berkas yang dari sejak awal sudah dikonsultasikan dan/atau ikut gelar perkara, penelitian terhadap kelengkapan berkas cukup dilakukan sekali saja oleh PU.

4. Apabila PU beranggapan masih terdapat kekurangan atas kelengkapan berkas yang telah dilimpahkan kepada PU, penyidik dapat melakukan pemeriksaaan tambahan dengan dibantu oleh PU.

Keuntungan dari pemacahan masalah sebagaimana disebutkan di atas sebagai berikut:

1. Menjamin keterbukaan dalam proses dan menghilangkan kecurigaan antara penyidik dengan PU demikian sebaliknya, serta menghilangkan saling menyalahkan.

2. Lebih menjamin kelancaran penyelesaian berkas perkara dan kualitias berkas perkara yang dapat dijadikan sebagai bahan menyusun surat dakwaan.

3. PU dapat mengetahui letak kesulitan yang dialami oleh penyidik dalam melengkapi berkas perkara.

Agar langkah-langkah di atas dapat diterapkan dengan baik, harus dituangkan dalam pedoman pelaksanaan tugas berupa undang-undang atau revisi/amandemen terhadap beberapa substansi KUHAP yang dianggap menimbulkan berbagai masalah dalam prakteknya. Namun mengingat untuk merubah suatu undang-undang waktunya relatif lama baik dalam proses pembahasan antar depertemen maupun di DPR RI, untuk mengatasi kendala-kendala tersebut dapat digunakan dengan cara lain yang lebih cepat, yaitu dituangkan dalam bentuk pedoman berupa Peraturan Bersama antara Kapolri dengan Jaksa Agung RI, dengan sendirinya bila terdapat Peraturan Bersama, dapat dijadikan pedoman oleh kedua instansi ini untuk mengatasi berbagai permasalahan tersebut.

BAB IV PENUTUP Kesimpulan

(25)

kemudian hari tidak mengakibatkan turunnya rasa percaya masyarakat terhadap penyidik dan JPU dalam menangani kasus tindak pidana.

KUHAP telah mengatur jelas tugas, fungsi dan wewenang penyidik dan JPU, yang seharusnya jika dilaksanakan dengan baik oleh penyidik dan JPU sebenarnya tidak akan

menimbulkan masalah antara keduanya sehingga setiap kasus tindak pidana yang ditangani oleh penyidik dan JPU dapat terselesaikan dengan baik dan pada akhirnya tujuan utama dari undang-undang dapat tercapai.

Kritik dan Saran

Demikian makalah yang penulis susun, semoga dapat bermanfaat bagi siapa saja yang membacanya. Namun penulis juga menyadari bahwa mungkin pada penyusunan makalah ini masih terdapat kesalahan, penulis memohon maaf yang sebesar besarnya, karena penulis merupakan orang yang tidak luput dari kesalahn dan khilaf. Akhir kata penulis mengucapkan terimakasih.

Daftar Pustaka

Hamzah, Andi. 2008. Hukum Acara Pidana Indonesia (Edisi Kedua). Jakarta: Sinar Grafika.

Harahap, M. Yahya. 2000. Pembahasan Permasalahn dan Penerapan KUHAP (penyidikan dan penuntutan). Jakarta: (Sinar Grafika).

(26)

UU RI No 2 Tentang kepolisian Negara republic Indonesia dan penjelasanya

Rahardjo, satjipto., 2013 teori hukum( strategi tertib manusia lintas ruang dan generasi) Yogyakarta:Genta

http://tugasdanwewenangaparatpenegakhukum.blogspot.com/

Referensi

Dokumen terkait

Dimana karakteristik inilah yang membuat Rumah Batik Jawa Timur berbeda dengan tempat batik lainnya di wilayah Surabaya yang hanya menjual tetapi tidak menyediakan wadah

Hasil penelaahan dari dokumen LAKIP (Laporan Akuntabilitas Kinerja Instansi Pemerintah) Dinas Kesehatan Provinsi Jawa Tengah tahun 2012 serta dokumen pelaksanaan perubahan

Diajukan guna memenuhi kelengkapan sebagai syarat tugas akhir untuk menyelesaikan program sarjana (S1) dengan judul ”DEGRADASI PERMUKAAN BAHAN ISOLASI RESIN EPOKSI DENGAN BAHAN

Kami pun melakukan kegiatan refleksi untuk hari kedua, yang kemudian kami lanjutkan dengan acara santai, yaitu makan bersama dengan barbeque, nyanyi bersama, dan banyak

Sebagai salah satu Kabupaten dalam Provinsi Jambi, Kabupaten Batanghari merupakan kabupaten yang mempunyai laju pembangunan daerah yang relative stabil, bila

Tujuan dalam penelitian ini untuk mengetahui komoditas padi dan jagung dalam mendukung ketahanan pangan di Kecamatan Sumbang Kabupaten Banyumas, dan untuk mengetahui sektor basis

Analisis perubahan kebijakan kredit pada pembahasan ini hanya mengulas pada perubahan kebijakan kredit dengan memberikan cash discount saja, sedangkan pada perubahan

Pada tahap pertama yaitu eksplorasi konsep, dijelaskan bahwa berdasarkan perumusan masalah yang telah ditetapkan sebelumnya, dilakukan studi literatur mengenai konsep yang